Widyana, Pola asuh anak dan pernikahan usia dini
POLAASUH ANAK DAN PERNIKAHAN USIA DINI Erni Dwi Widyana, Afnani Toyibah, Luh Putu Mega Esa Prani Poltekkes Kemenkes Malang, Jl. Besar Ijen No 77C Malang email:
[email protected]
Abstract: The early married couple often have difficulty in parenting because to lack of knowledge and experience about parenting and child development. The purpose of this study is to determine the differences in parenting between early married couples with adult married couple. The research uses a comparative analytic research design with cross sectional approach. The population are 75 of early married couples and 179 of adults married couples with a sample are the 41 of adults married couples and 41 of early married couples. The sampling technique is Proportional Random Sampling. Research instrument used a questionnaire. Data analysis used Chi Square. The results showed from 41 early married couples almost all (95.1%) applied permissive parenting, and the small part (4.9%) applied democratic parenting, while all of (100%) the adults married couples applied democratic parenting. Based on testing with statistical test Chi Square obtained at 70.607 with p value = 0.001. This means H0 is rejected that there are the differences in parenting between early married couple with adult married couple. Keywords: parenting, early married Abstrak: Pasangan yang menikah pada usia dini sering mengalami kesulitan dalam mengasuh anak karena kurangnya pengetahuan serta pengalaman. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui perbedaan pola asuh anak antara pasangan yang menikah usia dini dengan pasangan yang menikah usia dewasa penuh di wilayah kerja Puskesmas Wagir Malang. Desain penelitian ini adalah analitik komparatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi sebanyak 75 pasangan usia dini dan 179 pasangan usia dewasa penuh dengan sampel sebanyak 41 pasangan usia dini dan 41 pasangan usia dewasa penuh. Teknik sampling proporsional random sampling. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Teknik analisa dengan menggunakan Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan dari 41 pasangan usia dini hampir seluruhnya (95,1%) menerapkan pola asuh permisif, dan sebagian kecil (4,9%) menerapkan pola asuh demokratis, sedangkan seluruh (100%) pasangan usia dewasa penuh menerapkan pola asuh demokratis. Berdasarkan uji statistik Chi Square diperoleh sebesar 70,607 dengan p value = 0,001 maka Ho ditolak, berarti ada perbedaan pola asuh anak antara pasangan yang menikah usia dini dengan pasangan yang menikah usia dewasa penuh. Kata Kunci: pola asuh, pernikahan dini
PENDAHULUAN
berumah tangga atau bermasyarakat. Secara psikologis kedua pasangan yang melakukan pernikahan usia dini kurang siap untuk menjalani suatu kehidupan berumah tangga dan mengasuh anak. Pernikahan usia dini lebih sering terjadi di daerah pedesaan dari pada di perkotaan. Rendahnya tingkat pendidikan, status ekonomi yang rendah, dan adat di lingkungan masyarakat merupakan suatu faktor pencetus dilakukannya pernikahan usia dini (Noorkasiani dkk, 2009).
Pernikahan dini merupakan ikatan pernikahan yang dilakukan pada pasangan yang berusia kurang dari 21 tahun, menurut perspektif hukum dalam UU pernikahan tahun 1974 pasal 6 ayat 2 ditetapkan bahwa untuk melangsungkan pernikahan harus mencapai umur 21 tahun, sebelum umur tersebut harus dengan persetujuan orang tua. Pernikahan pada usia dini lebih memberikan dampak negatif dalam kehidupan ISSN 2301–4024
33
33
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 1, APRIL 2015: 33-39
Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007, di beberapa daerah didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan terdata dilakukan oleh pasangan usia dibawah 16 tahun. Jumlah kasus pernikahan dini di Indonesia mencapai 50 juta penduduk dengan rata-rata usia pernikahan 19 tahun. Kejadian pernikahan usia dini di Jawa Timur 39,43%, Kalimantan Selatan 35,48%, Jambi 30,63%, dan Jawa Barat 36% (Juspin et al, 2009). Analisis survei penduduk antar sensus dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKN) tahun 2007 didapatkan angka pernikahan di perkotaan lebih rendah dibandingkan di pedesaan. Pernikahan usia dini untuk kelompok usia 15–19 tahun di pedesaan sebesar 5,28% sedang di perkotaan sebesar 11,8%. Hal ini menunjukkan bahwa wanita usia muda di pedesaan lebih banyak melakukan pernikahan usia muda (Fadlyana & Larasaty, 2009). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 22 Maret 2013 di UPTD Puskesmas Wagir, dari 7 desa di kecamatan Wagir terdapat 75 pasangan suami istri yang menikah di usia 20 tahun ke bawah. Sebanyak 1,3% yang menikah usia 15 tahun, sebesar 6,67% pasangan yang menikah usia 16 tahun, sebesar 9,3% pasangan suami istri yang menikah usia 17 tahun, sebanyak 20% yang menikah usia 18 tahun, sebanyak 17,3% yang menikah usia 19 tahun, dan sebanyak 45,3% yang menikah usia 20 tahun. Rata-rata usia saat pernikahannya yaitu 18 tahun. Peran orang tua sangat besar artinya bagi perkembangan psikologis anak-anaknya dalam proses pendewasaan. Tidak jarang akibatnya merugikan perkembangan fisik dan mental anaknya. Perlakuan salah pada anak (Child Abuse) dapat terjadi. Child Abuse (CA) dapat terjadi di semua lingkungan masyarakat. Pada masyarakat menengah ke bawah lebih sering karena kemiskinan, pada masyarakat menengah keatas karena ambisi orang tua yang menginginkan anaknya untuk selalu menjadi yang terbaik. Penyebab secara umum adalah degradasi moral, kesalahan pola asuh, paparan media, tingat ekonomi dan pendidikan yang rendah (Astuti & Yudianto, 2010).
34
Terdapat beberapa jenis pola asuh yang bisa diterapkan orang tua yaitu pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif. Ketiga jenis pola asuh tersebut memiliki masing-masing ciri tersendiri. Pola asuh otoriter bersifat mutlak atau absolute, pola asuh demokratis bersifat tegas dan tetap menghormati kebebasan anak, sedangkan pola asuh permisif bersifat memberikan kebebasan kepada anak sesuai dengan keinginannya. Pada pasangan usia dini, ketidaksiapan secara psikologis untuk menjalani suatu rumah tangga dan mendalami peran sebagai orang tua memungkinkan mereka mengalami kesulitan dalam mengasuh anak dan kemungkinan terjadi kesalahan dalam mengasuh anak mereka. Tidak jarang anak dari pasangan usia dini diasuh oleh anggota keluarga lain karena mereka masih menikmati masa muda dan ada yang melanjutkan pendidikan. Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengidentifikasi perbedaan pola asuh anak antara pasangan yang menikah usia dini dengan pasangan yang menikah usia dewasa penuh. Tujuan khususnya adalah: 1) mengidentifikasi pola asuh anak pada pasangan yang menikah usia dini, 2) mengidentifikasi pola asuh anak pada pasangan yang menikah usia dewasa penuh, 3) menganalisa perbedaan pola asuh anak antara pasangan yang menikah usia dini dengan pasangan yang menikah usia dewasa penuh. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah penelitian analitik komparatif. Proses pengumpulan data secara cross sectional yaitu mengukur pola asuh anak pada pasangan usia dini dan usia dewasa penuh yang dilakukan pada saat itu dengan hasil yang diperoleh secara bersamaan. Populasi dalam penelitian ini semua pasangan yang menikah pada usia dini sebanyak 75 orang dan semua pasangan yang menikah usia dewasa penuh sebanyak 179 orang di wilayah Puskesmas Wagir Kabupaten Malang. Teknik sampling yang digunakan adalah proporsional random sampling, setelah diketahui proporsi jumlah subjek perwilayah kemudian dilakukan simple random sampling. Jumlah sampel sebanyak 41 orang
ISSN 2301–4024
Widyana, Pola asuh anak dan pernikahan usia dini
pasangan yang menikah usia dini dan 41 orang pasangan yang menikah usia dewasa penuh. Variabel bebas pada penelitian ini adalah pernikahan usia dini dan pernikahan usia dewasa penuh sedangkan variabel terikatnya adalah pola asuh anak. Kriteria inklusinya adalah pasangan suami istri yang bersedia menjadi responden, pasangan suami istri yang memiliki satu anak, anak berusia 1–5 tahun, jarak usia pernikahan dengan pengambilan data tidak lebih dari 5 tahun. Sedangkan kriteria eksklusi nya pasangan suami istri yang telah bercerai, anak yang tidak diasuh oleh orang tuanya. Instrumen yang telah digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tentang pola asuh yang terdiri dari 30 pertanyaan yang terdiri dari 3 pilihan jawaban yaitu “A” tentang pola asuh otoriter, “B” tentang pola asuh demokratis, “C” tentang pola asuh permisif. Pada penyusunannya, telah dibuat kisi-kisi penyusunan instrument berdasarkan indikator dari variabel penelitian kemudian dilanjutkan dengan penulisan butir-butir instrumen. Klasifikasi pola asuh tersebut berdasarkan kategori: jika jawaban A >10 merupakan pola asuh otoriter, jika jawaban B >10 merupakan pola asuh demokratis dan jika jawaban C >10 merupakan pola asuh permisif. Penelitian ini dilaksanakan di Desa wilayah kerja Puskesmas Wagir yang terdiri dari 8 Desa yaitu Desa Sumbersuko, Pandan Landung, Jedong, Parangargo, Siti Rejo, Sukodadi, Sidorahayu, Pandan rejo. Pada tanggal 29 Mei sampai 27 Juni 2013. Uji statistik dalam penelitian ini menggunakan Chi Square . Hipotesis satatistik yang diuji adalah Ada perbedaan pola asuh anak antara pasangan yang menikah usia dini dengan pasangan yang menikah usia dewasa penuh. Kesimpulan: H1 diterima jika p-value < 0,05 ( = 0,05 ), dan H1 ditolak jika p-value > 0,05 ( = 0,05). HASIL PENELITIAN Karakteristik responden berdasarkan jenis pendidikan dapat terlihat bahwa pada pasangan usia dini sebagian besar (75,6%) memiliki
ISSN 2301–4024
pendidikan SMP, sedangkan pada pasangan usia dewasa sebagian besar (51,2%) memiliki pendidikan SMA dan sebagian kecil (2,4%) memiliki pendidikan SD. Berdasarkan kriteria usia saat pernikahan didapatkan bahwa sebagian besar (51,2%) pasangan usia dini menikah pada usia 19–20 tahun, dan sebagian kecil (2,4%) yang menikah pada usia 13–14 tahun (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi frekuensi umur pasangan usia dini saat menikah Umur (tahun ) 13-14 15-16 17-18 19-20 Total
F
%
1 3 16 21 41
2.4 7.3 39.0 51.2 100
Tabel 2. Distribusi frekuensi pasangan usia dini berdasarkan umur sekarang Umur (tahun ) 13-14 15-16 17-18 19-20 Total
F
%
5 15 18 3 41
12.2 36.6 43.9 7.3 100
Tabel 4. Distribusi frekuensi pasangan usia dewasa penuh berdasarkan umur saat menikah Umur (tahun) 21-22 23-24 25-26 27-28 29-30 31-32 Total
F
%
19 14 6 1 1 41
46.3 34.1 14.6 2.4 2.4 100
Tabel 5. Distribusi frekeunsi pasangan usia dewasa penuh berdasarkan umur sekarang Um ur (tahun ) 21-22 23-24 25-26 27-28 29-30 31-32 Total
F
%
17 16 6 1 1 41
41.5 39.0 14.6 2.4 2.4 100
35
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 1, APRIL 2015: 33-39
Tabel 6. Karakteristik pola asuh anak pada pasangan usia dini Pola Asuh Otoriter Demokratis Permisif Total
F 2 39 41
% 4,9 95,1 100
Tabel 7. Karakteristik pola asuh anak pada pasangan usia dewasa penuh Pola Asuh Otoriter Demokratis Permisif Total
F 41 41
% 100 100
Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa hampir seluruh (95,1%) pasangan usia dini menerapkan pola asuh permisif dan sebagian kecil (4,9%) menerapkan pola asuh demokratis, sedangkan seluruh (100%) pasangan usia dewasa penuh menerapkan pola asuh demokratis. Pengujian dengan uji statistik Chi Square diperoleh 70,607 dengan p value = 0,001 sedangkan = 0,05 (p value < 0,05) maka H0 ditolak, berarti ada perbedaan pola asuh anak antara pasangan yang menikah usia dini dengan pasangan yang menikah usia dewasa penuh. PEMBAHASAN
Tabel 8. Perbedaan pola asuh anak antara pasangan usia dini dengan pasangan usia dewasa penuh Pola Asuh Otoriter Demokratis Permisif
Usia dini 2 39
Usia saat Menikah Usia % % dewasa 4,9 41 100 95,1 -
Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa saat ini hampir setengah (43,9%) pasangan usia dini berumur 21–22 tahun, dan sebagian kecil (7,3%) berumur 23–24 tahun. Responden berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa hampir setengah (46,3%) pasangan usia dewasa penuh menikah pada umur 21–22 tahun, dan sebagian kecil (2,4%) yang menikah pada umur 31–32 tahun. Pada usia sekarang, berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa saat ini hampir setengah (41,5%) pasangan usia dewasa penuh berumur 23–24 tahun, dan sebagian kecil (2,4%) yang berumur 29–30 tahun dan 33–34 tahun. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa hampir seluruh (95,1%) pasangan usia dini menerapkan pola asuh permisif dan sebagian kecil (4,9%) menerapkan pola asuh demokratis (Tabel 5). Pada Tabel 6 dinyatakan bahwa seluruh (100%) pasangan usia dewasa penuh menerapkan pola asuh demokratis dan tidak satupun (0%) pasangan usia dewasa penuh yang menerapkan pola asuh otoriter ataupun permisif.
36
Pola asuh permisif merupakan pola asuh yang lebih menonjolkan kasih sayang orang tua kepada anaknya tanpa memberikan batasan ataupun tuntutan kepada anak. Orang tua cenderung lebih mengikuti segala permintaan anak tanpa mengajarkan suatu kedisiplinan, kemandirian, ataupun nilai-nilai positif maupun negatif dan tidak memberikan penjelasan kepada anak. Dampak dari pola asuh ini yaitu kelak anak akan menjadi manja, dan cenderung suka memaksakan kehendak. Menurut Noe’man (2012) menyatakan bahwa pola asuh permisif merupakan pengasuhan yang lebih mengedepankan kasih sayang, tetapi tidak memberi batasan berupa tuntutan. Orang tua yang permisif cenderung sangat toleran, lembut, dan tidak menuntut anak untuk berprilaku mandiri, atau bertanggung jawab. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini memiliki kemampuan yang rendah untuk mengontrol diri dan cenderung menuntut setiap keinginan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden dengan usia dini saat menikah menerapkan pola asuh permisif terhadap anaknya (95,1%). Pasangan usia dini menikah pada usia 19–20 tahun sebanyak (51,2%), dan sebagian kecil (2,4%) yang menikah pada usia 13–14 tahun. Umur sangat menentukan kematangan seseorang baik secara fisik maupun psikologis. Menjalani peran dalam kehidupan berumah tangga memerlukan kesiapan diri secara fisik maupun mental untuk mampu menjalankan kewajiban
ISSN 2301–4024
Widyana, Pola asuh anak dan pernikahan usia dini
tersebut dengan baik. Mengasuh anak untuk mewujudkan karakteristik atau kepribadian anak yang baik membutuhkan suatu keterampilan dan pengendalian diri yang baik pula dari para orang tua. Pada usia muda, kecenderungan sifat remaja masih melekat ataupun kedewasaan masih kurang. Seseorang dengan usia muda masih sulit melepaskan diri dari sifatnya saat remaja dan masih bersifat kurang dewasa sehingga kestabilan emosional dan kemandirian sebagai orang tua dan untuk mengasuh anak masih kurang. Usia muda untuk menikah juga membatasi kesempatan seseorang untuk bergaul dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya sehingga akan menyulitkan para orang tua untuk beradaptasi dengan peran sebagai orang tua sehingga tidak jarang para pasangan usia dini mengalami kesulitan dalam mengasuh anak. Pasangan usia dini berada pada rentang usia dibawah 21 tahun, yang mana pada saat ini belum dianggap matang secara psiklogis maupun fisik. Pada usia kurang dari 21 tahun pasangan ini memiliki emosional yang kurang stabil sehingga mereka memiliki kemungkinan lebih besar untuk sulit mengendalikan diri dan menjalani kewajiban dalam hidup berumah tangga dan mengasuh anak. Tidak jarang ditemukan pada pasangan usia muda masih banyak bergantung pada orang tua mereka yang menunjukkan bahwa tingkat kemandirian dan kesiapan masih kurang untuk menjalani peran dan kewajiban sebagai orang dewasa sehingga kurang memahami dalam mendidik ataupun mengasuh anak. Supartini (2004) menjelaskan apabila terlalu muda untuk menjadi orang tua maka kemungkinan besar tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh pasangan usia dewasa penuh (100%) menerapkan pola asuh demokratis dalam mengasuh anak. Anak telah diasuh mulai sejak balita untuk diberikan stimulus positif oleh orang tuanya, sehingga orang tua ikut berperan aktif dalam proses perkembangan anaknya. Para pasangan usia dewasa penuh mulai memperkenalkan suatu kedisiplinan, tanggung jawab, dan kemandirian kepada anaknya sejak
ISSN 2301–4024
dini. Menurut Surbakti (2009) menyatakan bahwa pola asuh demokratis atau authoritative merupakan pola asuh yang mendorong anak untuk menjadi mandiri tetapi tetap memberikan batasanbatasan atau aturan serta mengontrol perilaku anak. Pasangan usia dewasa menikah pada umur 21–22 tahun sebanyak (46,3%), dan sebagian kecil (2,4%) yang menikah pada umur 31–32 tahun sedangkan usia saat ini hampir setengah (41,5%) pasangan usia dewasa penuh berumur 23–24 tahun. Hal ini menujukkan bertambahnya usia ibu saat ini dan dasar untuk menuju jenjang pernikahan adalah usia dewasa penuh maka akan membuat ibu lebih siap dan mampu untuk menjalankan kewajiban pengasuhan anak. Umur merupakan suatu periode terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan baru. Bertambahnya umur seseorang, bertambah pula pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki. Kematangan umur seseorang akan mempengaruhi kematangan psikologis seseorang dan mempermudah seseorang untuk menjalani peran dalam kehidupan salah satunya adalah peran menjadi orang tua dan mengasuh anak. Seorang wanita dikatakan dewasa jika telah menginjak usia 21 tahun keatas. Kedewasaan seseorang dikaitkan dengan kematangan psikologis ditunjang dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama kehidupannya sehingga akan membantu kesiapan seseorang untuk menjalani peran sebagai orang tua. Hal ini akan mempermudah pasangan usia dewasa untuk beradaptasi dan mengasuh anak. Kematangan psikologis yang dimiliki para pasangan usia dewasa akan meminimalisir ketidakstabilan emosional dalam menjalani perannya sehingga para pasangan usia dewasa akan mampu mengarahkan pola asuh anaknya untuk membentuk kepribadian anak yang baik berdasarkan pemahamannya tentang cara mengasuh anak dan pasangan usia dewasa akan lebih mampu memberikan stimulus-stimulus serta lebih berperan aktif dalam mengasuh anaknya. Menurut Verawati (2013), kedewasaan ibu secara psikologis sangat penting karena akan berpengaruh terhadap pola asuh anak, yaitu ibu lebih mampu berperan aktif dan mampu
37
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 1, APRIL 2015: 33-39
memberikan stimulus-stimulus kepada anak untuk mengembangkan kemampuan dasar yang dimilikinya. Usia 21 tahun keatas dikatakan telah memasuki masa dewasa dan telah dianggap memiliki kematangan baik dari segi fisik maupun psikologis. Pasangan usia dewasa memiliki kematangan emosional yang lebih stabil dibandingkan pasangan usia dini karena mereka memiliki pengalaman yang lebih banyak serta lebih lama bisa mempersiapkan diri untuk menjalani peran sesungguhnya pada masa dewasa salah satunya untuk menjalani peran pengasuhan anak. Kematangan psikologis pasangan usia dewasa akan membantu mengarahkan emosional mereka dalam mendidik anak, sehingga mereka akan lebih mampu untuk mengontrol pola pengasuhan anak sehingga akan terwujud kepribadian anak yang lebih baik. Menurut Verawati (2013) kedewasaan ibu secara fisik maupun mental sangat penting, karena hal ini akan berpengaruh terhadap pola asuh dan perkembangan anak kelak dikemudian hari. Peran aktif seorang ibu terhadap perkembangan anak-anaknya sangat diperlukan terutama pada saat mereka masih balita untuk mengembangkan kemampuan dasar yang dimilikinya. Bertambahnya umur pasangan usia dini hingga menginjak umur 21 tahun merupakan suatu proses pendewasaan diri sesuai dengan tanggung jawabnya. Namun mereka tidak bisa sepenuhnya berubah melainkan memerlukan proses yang lebih lama karena pada awalnya mereka menuju ke jenjang pernikahan pada usia muda dengan sedikit pengetahuan serta pengalaman, sehingga mereka bisa menemui kesulitan dalam menentukan pengasuhan pada anaknya. Kedewasaan seseorang dikaitkan dengan kematangan psikologis ditunjang dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama kehidupannya sehingga akan membantu kesiapan seseorang untuk menjalani peran sebagai orang tua. Dariyono (2004) menyatakan bahwa kehidupan psikososial usia dewasa semakin kompleks dibandingkan dengan usia remaja karena selain bekerja, akan memasuki kehidupan pernikahan, membentuk keluarga baru, 38
memelihara anak-anak. Supartini (2010) menyatakan apabila terlalu muda tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial. Menurut Verawati (2013) kedewasaan ibu secara fisik maupun mental sangat penting, karena hal ini akan berpengaruh terhadap pola asuh dan perkembangan anak kelak di kemudian hari. Seiring dengan bertambahnya usia maka akan bertambah pula pengalaman yang dimiliki pasangan ini. Hal ini akan sangat membantu pasangan usia dewasa dalam mengasuh anak. Mereka akan memiliki gambaran tentang pola perkembangan anak, serta jenis perkembangan anak disetiap usianya. Hasil penelitian menyatakan bahwa hampir seluruh (95,1%) pasangan usia dini menerapkan pola asuh permisif, dan sebagian kecil (4,9%) menerapkan pola asuh demokratis sedangkan seluruh (100%) pasangan usia dewasa penuh menerapkan pola asuh demokratis. Pola asuh permisif yang diterapkan oleh pasangan usia dini dalam mendidik dan membesarkan anaknya merupakan jenis pola asuh yang lebih mengedepankan kasih sayang, tetapi tidak memberi batasan tuntutan. Pasangan usia dini memiliki keterbatasan dalam pemahaman tentang cara mengasuh anak, sehingga akan mengalami kesulitan dalam mengarahkan jenis pengasuhan anak. Mereka cenderung memiliki kekhawatiran yang berlebihan tentang anaknya sehingga cenderung memenuhi segala permintaan anaknya ataupun memanjakan anaknya sesuai kemampuannya. Pemberian stimulus dari para pasangan usia dini akan lebih sedikit kepada anaknya karena mereka kurang mengetahui tentang pola perkembangan anak sesuai usianya. Menurut Noe’man (2012) orang tua yang permisif biasanya sangat toleran, lembut, dan tidak menuntut anak untuk berprilaku matang, mandiri, atau bertanggung jawab. Menurut Verawati (2013) menyatakan bahwa sering tidak disadari oleh sebagian kalangan dari dampak pernikahan usia dini adalah bagaimana mendidik anak dengan pola asuh yang tepat karena masih banyak ditemui orang tua sebagai sosok permisif yang merupakan akibat dari ketidak stabilan emosionalnya. Berbeda halnya dengan pasangan usia dewasa yang ISSN 2301–4024
Widyana, Pola asuh anak dan pernikahan usia dini
menerapkan pola asuh demokratis. Pasangan usia dewasa akan mulai memberikan stimulus positif dalam mengasuh anak saat anak masih berusia balita dan selalu mengikuti setiap perubahan perkembangannya. Sejak balita anaknya mulai diajarkan suatu kemandirian, tanggung jawab, serta tindakan yang bersifat positif maupun negatif melalui stimulus sehingga anak bisa diarahkan menuju kepribadian yang positif. Pola asuh demokratis yang diterapkan oleh pasangan ini merupakan pola asuh yang bersifat menghargai keinginan ataupun pendapat anak, namun tetap memberikan tuntutan kepada anak. Menurut Surbakti (2009) menyatakan bahwa pola asuh demokratis atau authoritative merupakan pola asuh yang mendorong anak untuk menjadi mandiri tetapi tetap memberikan batasan-batasan atau aturan serta mengontrol perilaku anak. PENUTUP Kesimpulan dari penelitian yaitu hampir seluruh (95,1%) pasangan usia dini menerapkan pola asuh permisif dalam mengasuh anak dan sebagian kecil (4,9%) yang menerapkan pola asuh demokratis, seluruh pasangan usia dewasa penuh (100%) menerapkan pola asuh demokratis dalam mengasuh anak, berdasarkan uji statistik dengan Chi Square diperoleh 70,607 dengan p value = 0,001 sedangkan = 0,05 (p value < 0,05) maka H0 ditolak berarti ada perbedaan pola asuh anak antara pasangan usia dini dengan pasangan usia dewasa penuh di Wilayah Kerja Puskesmas Wagir Kabupaten Malang tahun 2013. Dengan adanya penelitian ini diharapkan bagi para calon orang tua, ataupun para remaja pranikah disarankan menunggu usia 21 tahun untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan untuk menyiapkan diri secara fisik maupun psikologis.
ISSN 2301–4024
Bagi para orang tua diharapkan mampu menentukan pola asuh yang tepat untuk anaknya yaitu orang tua bisa menentukan pola asuh sesuai dengan situasi dalam mendidik anak karena ketiga jenis pola asuh tersebut saling berkaitan dan memilik keuntungan serta kelemahan masingmasing. Bagi tenaga kesehatan diharapkan mampu memberikan penyuluhan kepada para orang tua tentang berbagai pola asuh yang bisa diterapkan dalam mendidik anak beserta keuntungan dan kelebihannya masing-masing. Para orang tua bisa dilibatkan pada program Bina Keluarga Balita yang ada di Puskesmas. DAFTAR PUSTAKA Astuti, Eny & Yudianto, Ahmad. 2010. Child Abuse yang Berakhir Kematian. Jurnal Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Halaman 63-70. Fadlyana,E & Larasaty, S. 2009. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Jurnal Seri Pediatri. Volume 11 No. 2; Halaman 135-140. Juspin, Landung, Mochtar Thaha, Ridwan Abdullah, Andi Zulkifli.2009. Study Kasus Kebiasaan Pernikahan Usia Dini pada Masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja. Jurnal MKMI. Volume 5; Halaman 89-94. Noorkasiani. Heryati, Rita Ismail. 2009. Sosiologi Keperawatan.Jakarta: EGC. Noe’man, Rani Razak. 2012. Amazing Parenting. Jakarta: Noura Books. Septiari, Bety Bea. 2012 Mencetak Balita Cerdas dan Pola Asuh Orang Tua.Yogyakarta: Nuh Media. Surbakti, E.B. 2009. Kenalilah Anak Remaja Anda. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC. Verawati. 2013. Nikah Muda, Didik Anak Tak Maksimal. h t t p: / / sul bar. bkkbn .go. i d/ List s/ Ar t ikel / DispForm.aspx?ID=129&ContentTypeId=0x01003DC ABABC04B7084595DA364423DE7897 . 12 April 2013.
39