POLA PENGASUHAN GIZI DAN STATUS GIZI LANJUT USIA DI

Download mana pola asuh gizi pada lansia dengan status gizi yang berbeda (gizi kurang, gizi baik, ... dengan status gizi baik dan status gizi lebih ...

0 downloads 443 Views 320KB Size
POLA PENGASUHAN GIZI DAN STATUS GIZI LANJUT USIA DI PUSKESMAS LAU KABUPATEN MAROS TAHUN 2012 NURSING OF NUTRITION ASPECTS AND NUTRITIONAL STATUS AMONG ELDERLY IN LAU HEALTH CENTER MAROS REGENCY 2012

Wiwi Indraswari1,A. Razak Thaha2, Nurhaedar Jafar2 1

2

Puskesmas Lau, Kecamatan Lau, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin,

Alamat Korespondensi: Wiwi indraswari Puskesmas Lau, Kecamatan Lau Kabupaten Maros HP: 085299718880 Email: [email protected]

ABSTRAK Semakin meningkatnya Usia Harapan Hidup (UHH) penduduk menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun, dan pada tahun 2020 diperkirakan meningkat menjadi 28,8 juta (11,34%) dengan UHH 71,1 tahun, lansia di Indonesia yang mengalami gizi kurang (IMT 16,5 – 18,49) sebesar 31% dan gizi lebih sebesar 1,8%, pengasuhan gizi mungkin memiliki efek positif pada asupan energi dan zat gizi lain serta kualitas hidup penduduk lansia dan lansia yang menderita malnutrisi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sejauh mana pola asuh gizi pada lansia dengan status gizi yang berbeda (gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih). Penelitian ini merupakan penelitian kualitaitf dengan rancangan studi kasus (case study). Tehnik yang digunakan adalah indepth interview, observasi dan dokumentasi. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Lau Kabupaten Maros Sulawesi Selatan pada bulan September 2012. Informan dalam penelitian ini adalah lansia, keluarga yang menjadi pengasuh lansia dan tinggal dalam rumah yang sama dengan lansia, dan juga tetangga. Pengasuhan gizi dimulai dari tahap perencanaan menu, penyajian dan evaluasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan gizi pada lansia dengan status gizi baik dan status gizi lebih berbeda dengan lansia dengan status gizi kurang. Pada lansia dengan status gizi baik, lansia sendiri yang menentukan menu makanan yang akan disediakan, lebih memilih makan bersama dengan anggota keluarga yang lain di meja makan, makanan yang sesuai dengan gizi seimbang dan bervariasi, dan tekstur makanan yang disesuaikan dengan kemampuan lansia untuk mengunyah. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa selain dari aspek penyediaan makanan, aspek psikososial juga berperan dalam status gizi kurang yang dialami oleh lansia, hal ini disebabkan karena mereka mengonsumsi makanan yang kurang dari kebutuhannya sebagai akibat dari kondisi psikososial yakni kesepian dan kurangnya perhatian dan kasih sayang dari pihak keluarga. Kata kunci : Pola asuh gizi, Status gizi, dan Lansia.

ABSTRACT The increasing of life expectancy age (LEA) of population cause the number of elderly in Indonesia continue increase each year, and in 2020 is predicted will increase by 28.8 million (11.34%) with LEA 71.1 years, the elderly in Indonesia who underweight (BMI 16.5 – 18.49) were 31% and overweight were 1.8%, nutritional care and treatment may have positive effects on the energy and nutrient intakes as well as the quality of life of elderly residents and patients who suffer from malnutrition. This study was aimed to identify the nursing of nutritional aspects among elderly with different nutritional status (underweight, normal and overweight). This study was a qualitative study with case study design. Data collection used indepth interview, observation and documentation. This study was conducted in coverage area of Lau Health Center, Maros Regency, South Sulawesi on September 2012. The informans were elderly, family member who take care and living with the elderly, and neighbors. The nutritional care starts from the stage of planning the menu, presentation and evaluation. The results showed that, nutritional care in elderly with good nutritional status and and overweight are different from in elderly with malnutrition status. In elderly with good nutritional status, themselves decide which food menu will be available, preferring to eat along with other family members at the dinner table, foods accordance with nutritional balanced and varied, and the texture of the food that is tailored to the ability of the elderly to chew. It can be concluted that apart from the aspect of the provision of food, psychosocial aspects also play a role in malnutrition status experienced by the elderly, this is because they consume less food than their needs as a result of the psychosocial condition of loneliness and lack of attention and affection from the family. Key Word : Nursing of Nutrition, Nutritional status, and Elderly

PENDAHULUAN Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari usia harapan hidup penduduknya. Demikian juga dengan Bangsa Indonesia sebagai suatu negara berkembang dengan perkembangannya yang cukup baik, maka harapan hidup penduduknya diproyeksikan makin tinggi yaitu dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2000. Sebagai perbandingan buat kita, yaitu Jepang dengan usia harapan hidup penduduknya yang tertinggi di dunia, dimana pria dapat mencapai 76 tahun dan wanita 82 tahun (Panjaitan, 2003). Data dari Badan Pusat Statistik tahun 1998 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Lansia di Indonesia pada tahun 1980 hanya 7,9 juta orang (5,45%) dengan usia harapan hidup 52,2 tahun. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lansia sekitar 11,3 juta (6,29%) dengan UHH 59,8 tahun. Sedangkan pada tahun 2000, jumlahnya meningkat menjadi 7,18% (14,4 juta orang) dengan UHH 64,5 tahun. Pada tahun 2006 angkanya meningkat hingga lebih dua kali lipat menjadi sebesar kurang lebih 19 juta (8,9%) dengan UHH 66,2 tahun, pada tahun 2010 sebesar 23,9 juta (9,77%) dengan UHH 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan UHH 71,1 tahun. Jumlah ini termasuk terbesar keempat setelah China, India dan Jepang (Badan Pusat Statistik, 2010). Di Sulawesi Selatan, Usia Harapan Hidup dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2007 UHH sebesar 70,2 tahun menjadi 71,64 tahun pada tahun 2008 (Badan Pusat Statistik, 2010). Dari 24 Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, Maros menempati urutan kesepuluh dalam jumlah lansia dan memiliki Usia Harapan Hidup sebesar 71,64 tahun pada 2008. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Maros, pada tahun 2010 jumlah lansia (60-70 tahun) sebesar 26.535 orang (8,3%), dan pada tahun 2011 berkurang menjadi 23.114 orang (7,2%) (BPS Maros, 2011). Studi di Pakistan dengan 526 sampel manula menunjukkan adanya hubungan terbalik antara usia dengan status gizi, makin tinggi usia makin rendah BMI (p=0.002; r= -0.1304) juga penurunan asupan seiring bertambahnya usia. Ditemukan obese, gizi lebih, serta gizi kurang pada riset di sana sebesar 13.1, 3.1 dan 10.9% (Alam dkk., 2011). Riset yang dilakukan pada manula di Tanzania menunjukkan pada usia kurang dari 70 tahun ditemukan gangguan inkontinensia urin dan gangguan buang air besar, tetapi pada usia lebih dari 70 tahun ditemukan gangguan berupa inkontinensia urin, BAB, mandi, berpakaian, makan serta bergerak pada mayoritas sampel (Nyaruhucha dkk., 2004). Prevalensi gizi buruk (IMT <16,49) pada lansia tahun 1998 sebesar 7,23% menjadi 11,56% tahun 2001 sedangkan prevalensi gizi lebih yaitu 10,51% pada tahun 1998 menjadi 8,11% tahun 2001. Menurut Revina dalam Saniawan (2009) lansia di Indonesia banyak yang mengalami gangguan pemenuhan gizi yaitu yang mengalami gizi kurang (IMT 16,5 – 18,49) sebanyak 31% dan gizi lebih sebanyak 1,8%. Gizi kurang berhubungan dengan penyakit tertentu dan gangguan fungsi,

tetapi sedikit yang diketahui tentang hubungannya dengan asupan gizi dan pengasuhan gizi di kalangan lansia (Milne dkk., 2006). Pengasuhan gizi mungkin memiliki efek positif pada asupan energi dan zat gizi lain serta kualitas hidup penduduk lansia dan lansia yang menderita malnutrisi (Barton dkk., 2000; Akner dkk., 2001; Potter dkk., 2001; Milne dkk., 2006; Nijs dkk., 2006). Meningkatnya angka kunjungan lansia di beberapa sarana kesehatan di Maros menandakan bahwa masalah kesehatan lansia harus senantiasa diperhatikan. Permasalahan tersebut menjadi semakin rumit dan kompleks, sehingga diperlukan upaya yang serius dan berkesinambungan dalam penanganannya. Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana pola pengasuhan gizi yang baik bagi lansia agar terjadi status gizi yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana pola asuh gizi pada lansia dengan status gizi yang berbeda (gizi kurang, gizi baik, dan gizi lebih).

METODE PENELITIAN Jenis dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus (case study) yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi pola pengasuhan gizi yang terkait dengan status gizi pada lansia. Teknik yang digunakan adalah indepth interview dan observasi. Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Lau Kabupaten Maros Sulawesi Selatan dengan alasan bahwa jumlah lansia (>60 tahun) yang terdaftar dan angka kunjungan terbesar terdapat di wilayah kerja Puskesmas Lau Kabupaten Maros. Informan Informan dalam penelitian ini adalah informan yang dipilih dengan berdasarkan

mengidentifikasi

definisi konseptual penelitian. Informan adalah lansia, keluarga yang menjadi

pengasuh lansia dan tinggal dalam rumah yang sama dengan lansia dan juga tetangga. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara penggalian data dari berbagai sumber data untuk menjernihkan informasi di lapangan. Adapun data yang diperoleh adalah data primer. Data primer ini diperoleh dengan cara sebagai berikut: Wawancara Mendalam (Indepth Interview) Pengumpulan data lebih ditekankan melalui wawancara mendalam (indepth interview), yaitu berupa dialog secara individu menggunakan pertanyaan-pertanyaan bebas agar informan mengutarakan pandangan, pengetahuan, perasaan serta sikap dan perilaku serta kebiasaan berupa pengalaman pribadi yang berkaitan dengan pengasuhan gizi pada lansia.

Pengamatan (Observasi) Pengamatan dilakukan di lokasi penelitian yaitu aktivitas selama mengasuh lansia, bagaimana interaksi lansia dengan anggota keluarga yang lain dan masyarakat sekitar,dan lain-lain. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari wawancara mendalam dilakukan secara manual sesuai dengan petunjuk pengolahan data kualitatif serta sesuai dengan tujuan penelitian ini dan selanjutnya dianalisis dengan metode “content analysis” atau analisis isi kemudian diinterprestasikan dan disajikan dalam bentuk narasi. Tahap pertama dilakukan reduksi data yang merupakan proses pemilihan, pemusatan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang ditemukan di lapangan. Data yang ada digolongkan sesuai dengan variabel penelitian, disajikan dalam bentuk teks berikut analisisnya dengan menggunakan fakta-fakta yang ada di lapangan. Selain itu disertai juga penjelasan dari beberapa sumber mengenai persepsi informan, setelah itu ditarik kesimpulan dengan melakukan pemaknaan atas pola-pola peristiwa dan alur sebab akibat yang menjawab semua variabel dalam penelitian ini.

HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi kepada informan (pengasuh), maka dapat diketahui sejauh mana pola pengasuhan gizi yang mempengaruhi status gizi pada lansia. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa pengasuhan gizi dalam penelitian ini terdiri dari aspek penyediaan makanan, psikososial, praktik hygiene dan praktik kesehatan dalam rumah tangga. Penyediaan Makanan Lansia dengan Status Gizi Kurang Menu makanan setiap harinya ditentukan oleh pengasuh sehingga lansia mau tidak mau hanya mengonsumsi makanan yang disediakan oleh pengasuh. Dalam hal ini, pengasuh tidak berusaha untuk membujuk lansia untuk menghabiskan makanannya, bahkan pengasuh cenderung untuk bersikap acuh. Seperti yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : "saya yang tentukan makanan setiap hari, mungkin itu sebabnya kurang dia makan"

(Ms, 31 th, 19 Sept 2012) Kemudian dari hasil wawancara diketahui bahwa lansia dengan status gizi kurang lebih sering makan seorang diri, misalnya di kamar atau di depan TV. Kebiasaan lansia yang sering makan seorang diri membuat lansia menjadi kesepian dan keinginan makannya menjadi berkurang. Hal ini sebagaimana terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : "tidak mau makan sama-sama di meja makan, selalu makan sendirian di kamar"

(sn, 30 th, 18 Sept 2012)

Dalam kehidupan sehari-hari, menu yang disediakan oleh pengasuh tidak sesuai dengan menu gizi seimbang yang dianjurkan. Dari hasil observasi diketahui bahwa menu makanan yang disediakan tidak lengkap karena tidak tersedia buah dan sayuran yang merupakan sumber serat. Hal ini sebagaimana terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : "kadang ada sayur, kadang tidak, malas juga makan sayur, kalau ikan dia suka"

(Ms, 31 th, 19 Sept 2012) Dari hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa makanan yang disediakan hari ini biasanya akan dipanaskan dan disediakan untuk esok harinya. Hal ini menyebabkan lansia menjadi bosan terhadap menu yang disajikan. Menu yang disediakan tidak bervariasi, baik dari segi jenis bahan makanan maupun pengolahannya yang lebih sering dimasak. Hal ini sebagaimana terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : "biasanya makanan ini hari,itu juga yang dimasak/dipanaskan besoknya"

(pt, 15 th, 20 Sept 2012) Kemudian tekstur makanan yang disediakan tidak sesuai dengan kemampuan lansia dalam mengunyah. Makanan yang disediakan tidak lunak. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara kepada pengasuh berikut ini : "makanannya tidak lunak, sama saja dengan makanan untuk anggota keluarga yang lain"

(hl, 45 th, 15 Sept 2012) Terdapat seorang lansia (Ny. R) yang tinggal bersama dengan adiknya (Tn. K) yang juga merupakan seorang lansia dan dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini. Ny. R mengalami gizi kurang, sedangkan saudaranya Tn. K mengalami gizi baik. Keduanya diasuh oleh anak dari Tn. K yang merupakan keponakan Ny. R. Pengasuhan dalam hal penyediaan makanan keduanya sama, namun kurang dari segi personal hygiene. Hal yang paling mencolok dari kedua lansia tersebut adalah kehidupan psikososial lansia, dimana Ny. R lebih senang makan seorang diri, menyendiri di kamar dan tidak suka bergaul dengan masyarakat sekitar. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara kepada pengasuh berikut ini : "kalau ada yang dia minta, saya usahakan masakkan, tapi memang dia yang malas makan"

(sn, 30 th, 18 Sept 2012) Lansia dengan Status Gizi Baik Lansia biasanya menentukan sendiri menu makanan yang akan disediakan, namun tentunya penentuan menu tidak setiap hari ditentukan oleh lansia, hanya kadang-kadang saja. Setiap makan, dia selalu menghabiskan makanan yang disediakan, bahkan biasa menambah makanannya. Sebagaimana yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : "selalu habis makanannya tiap kali makan, biasa nambah" (li, 51 th, 25 Sept 2012)

Lansia dengan status gizi baik lebih sering makan bersama dengan anggota keluarga yang lain, bahkan kadang lansia sendiri yang memanggil anak-anak atau cucu untuk makan bersama di meja makan. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara kepada pengasuh berikut ini : "pasti makan bersama di meja makan kalau waktu makan"

(ni, 29 th, 17 Sept 2012) Makanan yang disediakan oleh pengasuh memenuhi persyaratan gizi seimbang untuk lansia, dalam hal ini lengkap sumber karbohidrat, protein, lemak dan serat. Dari hasil observasi, diketahui bahwa menu makanan hari pertama dan kedua berbeda, baik dari segi pengolahan (digoreng, dimasak kuning dan dibakar) dan dari segi jenis bahan makanan, kadang sayur labu, kangkung, bayam, pisang, pepaya, dan lain-lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa, makanan yang disediakan sesuai dengan gizi seimbang dan bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara kepada pengasuh : "pasti ada ikan, sayur, pisang, lengkap makanannya"

(rn, 39 th, 16 Sept 2012) "beda menunya setiap hari, kadang ikannya digoreng, besoknya dimasak, besoknya lagi dibakar"

(ni, 29 th, 17 Sept 2012) Makanan yang disediakan disesuaikan dengan kemampuan lansia untuk mengunyah dan mencerna makanan. Jadi dalam hal ini, nasi yang disediakan berstruktur lunak, ikan yang lebih sering dimasak dan dibakar daripada digoreng. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara kepada pengasuh berikut ini : "kalau sakit, pasti saya masakkan bubur dan makanan yang lunak"

(li, 51 th, 25 Sept 2012) Lansia dengan Status Gizi Lebih Diketahui bahwa kadang-kadang lansia yang menentukan menu makanan, hal ini menyebabkan nafsu makan tinggi sehingga lansia menghabiskan makanan yang disediakan. Pengasuh sering menyediakan berbagai makanan yang enak dan kaya akan energi, terutama sumber lemak (terutama coto). Dengan disediakannya makanan-makanan tersebut menyebabkan asupan gizi melebihi kebutuhan tubuh lansia dan pada akhirnya menyebabkan kegemukan. Sebagaimana yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : " kadang dia yang tentukan makanan, suka makan coto "

(ti, 52 th,19 Sept 2012) "bapak sering meminta dibelikan coto, digorengkan ikan, pokoknya makanan yang berlemak,padahal sakit jantung"

(ti, 52 th,19 Sept 2012)

Dari hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa lansia dengan status gizi lebih sering makan bersama dengan anggota keluarga yang lain, baik di meja makan maupun depan TV. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara kepada pengasuh berikut ini : "makan bersama di meja makan setiap kali makan"

(ti, 52 th,19 Sept 2012) Makanan yang disediakan oleh pengasuh memenuhi persyaratan gizi seimbang untuk lansia, dalam hal ini lengkap sumber karbohidrat, protein, lemak dan serat. Dalam sehari, menu yang disediakan terdapat nasi, ikan, sayur dan buah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa, makanan yang disediakan sesuai dengan gizi seimbang dan bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara kepada pengasuh : "pasti disediakan ikan, sayur, buah, setiap hari beda menunya, tidak pernah makanan hari ini dipanaskan untuk besok"

(ti, 52 th,19 Sept 2012) Psikososial Lansia dengan Status Gizi Kurang Dalam hal dukungan emosi, pengasuh cenderung untuk tidak memperhatikan kebutuhan lansia dan tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup sehingga lansia merasa tersisihkan dan sedih. Seperti yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : " saya tinggal berdua dengan nenek, kadang dia kesepian kalau saya pergi kerja " (pt,15 th, 20 Sept 2012) Interaksi lansia yang semakin berkurang baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekitar rumah. Hal ini disebabkan karena menurunnya derajat kesehatan dan kemampuan fisik sehingga lansia secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar. Seperti yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : "jarang keluar cerita-cerita dengan tetangga"

(pt, 15 th, 20 Sept 2012) Lansia dengan Status Gizi Normal Dukungan sosial internal maupun eksternal lansia terpenuhi dengan baik. Dukungan sosial yang dimaksud disini adalah dukungan dalam bentuk dukungan emosi dan dukungan instrumental. Seperti yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh: "setiap hari dikasi uang kadang Rp.2.000, kadang Rp. 5.000,-"

(ni, 29 th, 17 Sept 2012) Kehadiran pasangan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi pada lansia. Pasangan merupakan tempat yang terbaik untuk peran dukungan, yaitu pasangan menghargai kelanjutan hidup dari pasangannya yang berusia lanjut. Seperti yg terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh:

"bapak masih sehat karena masih ada ka (istri) atur sehari-harinya, mulai dari makanan, pakaian, apalagi kalau sakit- sakit"

(li, 51 th, 25 Sept 2012) Lansia dengan Status Gizi Lebih Kehidupan psikososial lansia dengan status gizi sangat baik, dimana dukungan instrumental dan dukungan penghargaan terpenuhi dengan baik. Dukungan penghargaan berupa kepercayaan terhadap kemampuan lansia, dan kepercayaan untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Sebagaimana yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : "bapak masih aktif, bikin kandang ayam, berkebun, sering juga disuruh jaga cucu"

(ti, 52 th,19 Sept 2012) "masih suka pergi shalat mesjid, cerita-cerita dengan ditetangga kalau sore"

(ti, 52 th,19 Sept 2012) Praktik Hygiene Lansia dengan Status Gizi Kurang Personal hygiene bagi lansia dengan status gizi kurang masih sangat kurang. Berdasarkan hasil observasi, informan mandi hanya sekali dalam sehari, malas keramas, tidak mencuci tangan sebelum dan setelah makan, kuku lansia yang panjang dan kotor, bau badan, gigi yang tidak bersih, kebersihan kamar, seprai dan kamar mandi yang kurang. Kurang terpeliharanya personal hygiene pada lansia tidak hanya dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran dan kebiasaan lansia akan pentingnya menjaga kebersihan tubuh, namun juga disebabkan kurangnya peran keluarga dalam memelihara kebersihan diri. Seperti yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : " mandi sekali sehari, dingin dia rasa"

(sn, 30 th, 18 Sept 2012) "...gatal sekali pi rambutnya baru keramas”

(br, 53 th, 21 Sept 2012) Lansia dengan Status Gizi Baik dan Lebih Berbeda dengan lansia dengan status gizi kurang, dari hasil observasi dapat dilihat bahwa lansia dengan status gizi baik memiliki personal hygiene yang jauh lebih baik. Hal ini disebabkan kesadaran lansia dan keluarga akan pentingnya kebersihan bagi kesehatan. Sebagaimana yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : "rajin sikat gigi, mandi 2x sehari, rajin potong kuku, sebelum dan setelah makan cuci tangan"

(ni, 29 th, 17 Sept 2012) "mandi 2 kali sehari, 3 kali keramas setiap minggu, kalau sudah mandi pasti ganti baju"

(ti, 52 th,19 Sept 2012)

Praktik Kesehatan dalam Rumah Tangga Lansia dengan Status Gizi Kurang Lansia jarang bahkan ada lansia yang tidak ingin berobat ke tempat pelayanan kesehatan dan lebih memilih untuk berobat di dukun. Keengganan lansia untuk berobat ke tempat pelayanan kesehatan disebabkan kebiasaan lansia yang sejak muda terbiasa untuk berobat ke dukun jika sakit dan alasan lainnya adalah karena kurangnya dukungan transportasi. Seperti yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : "tidak mau berobat ku bidan desa, kalau dukun mau ji"

(hl, 45 th, 15 Sept 2012) "kadang tidak ada yang antar ke puskesmas kalau mengeluh sakit"

(Ms, 31 th, 19 Sept 2012) Lansia dengan Status Gizi Baik dan Lebih Di rumah lansia dengan status gizi baik tersedia obat-obatan dasar seperti antibiotik, obat hipertensi dan sakit kepala sehingga jika lansia mengeluh sakit, maka pengasuh atau anggota keluarga yang lain langsung memberikan obat tersebut. Selain itu, lansia juga hanya ingin berobat di tenaga kesehatan profesional dan pantang bagi mereka untuk berobat di dukun. Sebagaimana yang terungkap dari hasil wawancara pada pengasuh : "kalau sakit, pasti dibawa ke puskesmas, tersedia juga obat-obatan dasar di rumah"

(li, 51 th, 25 Sept 2012) "tersedia obat-obatan di rumah, anak juga seorang perawat, tidak pernah ke dukun"

(ti, 52 th,19 Sept 2012) PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pengasuhan gizi pada lansia dengan status gizi kurang berbeda dengan pengasuhan gizi pada lansia dengan status gizi baik dan status gizi lebih. Hal ini dapat dilihat dalam hal penyediaan makanan yang dimulai dari perencanaan menu, implementasi (pada saat makan) dan tahap akhir yaitu evaluasi. Bagi lansia pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu dalam proses beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang dialaminya selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel tubuh sehingga dapat memperpanjang usia (Sativa, 2010). Implementasi membahas tentang cara penyajian, sesuai dengan standard gizi seimbang yang ditentukan, variasi menu dan sesuai dengan kemampuan mengunyah. Morley (2009) menyatakan bahwa lansia mengalami penurunan tajam dalam nafsu makan, menyebabkan kurangnya asupan energi dan perkembangan selanjutnya mengalami malnutrisi dan berakhir pada penyakit-penyakit tertentu. Selanjutnya, lansia memilih untuk makan setelah semua anggota keluarga yang lain selesai makan, atau kadang mereka lebih duluan mengambil makanan di dapur

dan kemudian memakannya di dalam kamarnya sendiri. Hal ini menyebabkan lansia merasa kesepian dan tidak nyaman dengan kondisi dan keadaan sekitarnya. Seorang lansia bernama Ny. S yang berperan dalam penyediaan makanan sehari-hari mulai dari tahap penentuan menu hingga penyajiannya. Namun, Ny. S memiliki masalah gizi kurang, dari hasil wawancara diketahui bahwa Ny. S merasa dirinya kesepian, tinggal seorang diri di rumah, tidak ada tempat untuk mencurahkan isi hatinya, mengobrol, dan sebagainya. Wirakusumah (2003) menyebutkan bahwa perubahan lingkungan sosial, kondisi yang terisolasi, kesepian dan berkurangnya aktivitas menjadikan para lansia mengalami rasa frustasi dan kurang bersemangat. Akibatnya, selera makan terganggu dan pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya penurunan berat badan. Selanjutnya Harris (2004) menyatakan bahwa interaksi sosial yang berkurang akan menyebabkan kesepian sehingga dapat mempengaruhi nafsu makan, asupan makanan, berat badan dan kesejahteraan secara keseluruhan. Kemudian untuk menu, bervariasi setiap hari, dalam artian bahwa makanan hari ini berbeda dengan makanan besok dan hari selanjutnya. Namun, dari hasil observasi diketahui bahwa menu yang tersedia tidak memenuhi standard pemenuhan gizi. Misalnya saja, dalam sehari tidak tersedia ikan (sumber protein) atau kadang juga tidak tersedia sumber serat seperti sayur dan buah-buahan. Selanjutnya, menu makanan yang disediakan sehari-hari disesuaikan kemampuan lansia untuk mengunyah. Begitu pula pada saat lansia sakit, tekstur makanan yang disediakan oleh pengasuh disesuaikan dengan keinginan lansia. Terdapat seorang lansia perempuan yang bernama Ny.R (gizi kurang) yang tinggal dengan saudara laki-lakinya yang bernama Tn. K (gizi baik) yang mendapatkan pengasuhan gizi yang baik, dimana makanan yang disediakan bervariasi, sesuai dengan pemenuhan kebutuhan gizi dan sesuai dengan kemampuan lansia untuk mengunyah. Setiap kali makan, Ny. R lebih memilih untuk makan di kamarnya seorang diri dibandingkan makan bersama dengan anggota keluarga yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah gizi kurang yang dialami oleh lansia tersebut bukanlah akibat dari pengasuhan gizi yang tidak sesuai mulai dari tahap perencanaan hingga penyajian, namun lebih kepada masalah psikososial yang dialami oleh lansia, dimana Ny. R merasa kesepian, kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup sehingga lansia merasa tersisihkan dan sedih. Penelitian yang dilakukan Muis (2006) bahwa terjadinya kekurangan gizi pada lansia oleh karena sebab-sebab yang bersifat primer maupun sekunder. Sebab-sebab primer meliputi ketidaktahuan, isolasi sosial, hidup seorang diri, baru kehilangan pasangan hidup, gangguan fisik, gangguan indera, gangguan mental, dan kemiskinan hingga kurangnya asupan makanan. Sebabsebab sekunder meliputi malabsorpsi, penggunaan obat-obatan, peningkatan kebutuhan zat gizi serta alkoholisme. Menurut Watson (2003), faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan malnutrisi

pada lansia dan jika bergabung maka akan mengakibatkan keburukan nutrisi yang akhirnya dapat membahayakan status kesehatan mereka. Untuk lansia dengan status gizi baik penentuan menu makan tidak setiap hari ditentukan oleh lansia, namun kadang-kadang jika lansia menginginkan suatu makanan tertentu, maka pengasuh akan menyediakannya sesegera mungkin. Dengan tersedinya menu makanan yang diinginkan oleh lansia, maka lansia akan tergugah nafsu makannya untuk mengonsumsi makanan tersebut sehingga asupannya akan tercukupi dan pada akhirnya akan menjaga status gizi lansia. Dari hasil observasi, diketahui bahwa lansia dengan status gizi baik selalu makan bersama dengan anggota keluarga yang lain, mereka berbincang-bincang di meja makan. Bahkan kadangkadang lansia sendiri yang memanggil anggota keluarga yang lain untuk makan bersama di meja makan, hal ini karena lansia menyukai suasana yang ramai dan menyenangkan di meja makan. Makanan senantiasa bervariasi setiap harinya baik dari segi jenis maupun pengolahannya dan setiap saat tersedia di meja makan. Pengasuh tidak pernah menyediakan makanan hari ini sama dengan makanan esok harinya, apalagi memanaskan makanan hari ini untuk disediakan esok harinya. Selain makanan bervariasi, standar pemenuhan gizi juga terpenuhi, misalnya saja dalam sehari menu makanan lengkap, tersedia sumber karbohidrat, protein, lemak dan serat. Menu makanan yang disediakan sehari-hari disesuaikan kemampuan lansia untuk mengunyah. Begitu pula pada saat lansia sakit, tekstur makanan yang disediakan oleh pengasuh disesuaikan dengan keinginan lansia. Khusus untuk lansia dengan status gizi lebih, sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa menu makanan kadang-kadang ditentukan oleh lansia sendiri. Selain itu, kebiasaan makannya juga tidak berubah secara signifikan. Kebiasaan mengkonsumsi makan yang berlebih pada waktu muda menyebabkan berat badan berlebih dan juga karena kurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan mengkonsumsi makan berlebih tersebut sulit untuk diubah walaupun lanjut usia menyadari dan berusaha untuk mengurangi makan. Kegemukkan merupakan salah satu pencetus berbagai penyakit, misalnya penyakit jantung, diabetes mellitus, penyempitan pembuluh darah dan tekanan darah tinggi (Nugroho, 2004). Kondisi psikososial lansia erat kaitannya dengan tingkat kepuasan dan depresi. Ruslianti (2006) menemukan bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat kepuasan terhadap kondisi psikososial lansia. Semakin tinggi tingkat kepuasan lansia semakin baik kondisi psikososial lansia. Perasaan bahagia yang dimiliki lansia dapat meningkatkan kepuasan diri pada lansia. Menurut penelitian yang dilakukan Jauhari (2003) disebutkan bahwa hal yang membuat sebagian besar lansia bahagia adalah terjaminnya kebutuhan hidup. Dengan demikian lansia akan merasa puas. Terjaminnya kebutuhan hidup bisa didapat bila ada dukungan sosial bagi lansia baik dari keluarga, masyarakat maupun dari pemerintah.

Dari hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa lansia dengan status gizi baik memiliki personal hygiene yang baik dan lebih dibandingkan dengan lansia dengan status gizi kurang. Mencuci tangan pakai sabun dengan benar pada 5 waktu penting yaitu sebelum makan, sesudah buang air besar, sebelum memegang bayi, sesudah menceboki anak, dan sebelum menyiapkan makanan dapat mengurangi angka kejadian diare sampai 40%. Cuci tangan pakai sabun dengan benar juga dapat mencegah penyakit menular lainnya seperti tifus dan flu burung. Seseorang yang mengalami penyakit akan kehilangan nafsu makan sehingga berdampak pada menurunnya asupan energi dan zat gizi. Hal ini akan memperburuk kondisi tubuh dan membawa pada kondisi kurang gizi. Suhardjo (2008) menambahkan bahwa antara infeksi dan status gizi kurang terdapat pola interaksi bolak-balik. Infeksi menimbulkan efek langsung pada katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah menimbulkan kehilangan nitrogen. Pemanfaatan pelayanan kesehatan sangat berbeda bagi lansia dengan status gizi kurang dengan status gizi baik. Ketidakinginan lansia untuk berobat ke tempat pelayanan kesehatan bukan karena biaya yang tinggi namun karena memang dari kebiasaan mereka yang sejak dari dulu lebih memilih untuk berobat ke dukun. Dengan enggannya lansia untuk berobat ke tempat pelayanan kesehatan, maka dapat mengakibatkan keadaan kesehatan lansia akan menjadi sakit karena tidak ditangani oleh petugas kesehatan yang profesional.

KESIMPULAN DAN SARAN Untuk lansia dengan status gizi baik, pola pengasuhan gizi yang baik mulai dari tahap perencanaan, dimana lansia sendiri yang kadang-kadang menentukan menu makanan yang disediakan, lansia lebih memilih makan bersama dengan anggota keluarga yang lain di meja makan karena menyukai suasana kebersamaan dan kenyamanan, makanan yang sesuai dengan gizi seimbang dan bervariasi baik dari segi pengolahan maupun jenis bahan makanan, dan tekstur makanan yang lebih lunak sehingga lansia mampu mengunyah dan mencerna makanan tersebut. Sebaiknya lansia tidak hanya mendapatkan perhatian maupun dukungan dari keluarga saja, tapi dari masyarakat dan pemerintah juga. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mendapatkan dukungan tersebut, antara lain dapat dibentuk wadah tempat lansia bersosialisasi bersama per groupnya.

DAFTAR PUSTAKA Akner G, Cederholm T. (2001). Treatment of Protein-Energy Malnutrition in Chronic Nonmalignant Disorders. Am J Clin Nutr.74:6–24. Alam, Pawelec, Larbi and Paracha. (2011). Relationship Between Anthropometric Variables and Nutrient Intake in Apparently Healthy Male Elderly Individuals: A study from Pakistan. Nutrition Journal 2011, 10:111. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3207878/pdf/1475-2891-10-111.pdf . Diakses Tanggal 25 Maret 2012. Badan Pusat Statistik. (2010). Data Statistik Indonesia: Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, 2005.http://demografi.bps.go.id/versi1/index.php?option=com_tabel&task=&Itemid=1. Diakses Tanggal 20 Maret 2012. Barton AD, Beigg CL, Macdonald IA, Allison SP. (2000). A Recipe for Improving Food Intakes in Elderly Hospitalized Patients. Clin Nutr.;19:451–4a. Harris NG. (2004). Nutrition in Aging. Di dalam: Mahan LK, Escott-Stump S, editor. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy 11th ed. USA. Elsevier. Jauhari M. (2003). Status Gizi, Kesehatan dan Kondisi Mental Lansia di Panti Social Tresna Werdha Budi Mulia 4 Jakarta. tesis. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Milne A, Avenell A, Potter J. (2006). Meta-Analysis: Protein and Energy Supplementation in Older People. Ann Intern Med. Morley. (2009). Undernutrition: Diagnosis, Causes, Consequences And Treatment. Di dalam: Raats M, de Groot L, van Staveren W, editor. Food For the Ageing Population. England. Woodhead Publishing Limited. Muis. (2006). Gizi Pada Usia Lanjut. Di dalam: Matrono H. H & Boedhi-Darmojo R, editor. Buku Ajar Geriatri: Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta. Balai Penerbit FK UI. Nijs KA, de Graaf C, Siebelink E, Blauw YH, Vanneste V, Kok FJ, van Staveren WA. (2006). Effect of Family-Style Meals on Energy Intake and Risk of Malnutrition in Dutch Nursing Home Residents: A Randomized Controlled Trial. J Gerontol A Biol Sci Med Sci. 61:935– 42b. Nugroho. (2004). Keperawatan Komunitas 2. Jakarta. CV. Sagung Seto. Nyaruhucha, Msuya and Matrida. (2004). Nutritional Status, Functional Ability and Food Habits of Institutionalised and Non-Institutionalised Elderly People in Morogoro Region, Tanzania. East African Medical Journal Vol. 81 No. 5 May 2004. http://www.ajol.info/index.php/eamj/article/viewFile/9168/2088. Diakses Tanggal 25 Maret 2012. Panjaitan, Suryadi. (2003). Beberapa Aspek Anemia Penyakit Kronik Pada Lanjut Usia. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6356. Diakses Tanggal 20 Maret 2012. Potter JM, Roberts MA, McColl JH, Reilly JJ. (2001). Protein Energy Supplements in Unwell Elderly Patients – A Randomized Controlled Trial. J Parenter Enteral Nutr. 25:323–9. Ruslianti dan Clara M Kusharto. (2006). Model Hubungan Aspek Psikososial dengan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Lansia. Jurnal Gizi dan Pangan , Juli 2006 1 (1) : 29-35. Saniawan I Made. (2009). Status Gizu Pada LanjutUsia Pada Banjar Paang Tebel di DesaPeguyangan Kaja Wilayah KerjaPuskesmas III Denpasar Utara. Jurnal Ilmiah Keperawatan Vol.2. h. 45 – 59. Sativa, Oriza. (2010). Karakteristik Perawatan Lansia Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Gizi Di Panti Werdha Tresna Abdi Dharma Asih Binjai. Diakses Tanggal 19 Maret 2012. Suhardjo. (2008). Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta. Bumi Aksara. Watson. (2003). Perawatan Pada Lansia. Jakarta. EGC. Wirakusumah, ES. (2003). Menu Sehat Lanjut Usia. Jakarta . Puspa Swara