Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
Politik Indonesia Indonesian Political Science Review http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI
Pembiaran Pada Potensi Konflik dan Kontestasi Semu Pemilukada Kota Blitar: Analisis Institusionalisme Pilihan Rasional Moh. Fajar Shodiq Ramadlan1, Tri Hendra Wahyudi1 1
Universitas Brawijaya, Indonesia
Info Artikel Sejarah Artikel: Diterima 31 Maret 2016 Disetujui 15 Juni 2016 Dipublikasi 15 Juli 2016 Keywords: Local Election; Conflict Managemen; PseudoContestation; Avoiding
Abstrak Pemilukada serentak merupakan langkah baru dalam demokratisasi di Indonesia. Melihat pengalaman penyelenggaraan Pemilukada di banyak daerah yang berpotensi menimbulkan konflik dan kerusuhan, manajemen konflik diperlukan guna mengantisipasi potensi konflik. Artikel ini menjelaskan manajemen konflik pemilukada di Kota Blitar menggunakan pendekatan kelembagaan pilihan rasional, dengan asumsi bahwa lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu mempunyai kemampuan dalam manajemen konflik. Kota Blitar dipilih karena mempunyai aspek yang parikular dimana terdapat dua kandidat, yakni petahana dan perseorangan, tetapi dengan kontestasi yang bersifat semu. Artikel ini merupakan hasil penelitian kualitatif eksploratif. Teknik penggalian data adalah dengan focus group discussion yang melibatkan lembaga-lembaga terkait pemilukada di Kota Blitar. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa meskipun institusi terkait pemilukada memahami potensi konflik, tetapi manajemen konflik yang dipilih adalah metode pembiaran.
Abstract The simultaneous local election is the new step of democratization in Indonesia. Viewing an implementation about the local election in each district which have many of potential conflict and unrest, conflict managements required to anticipate a potential conflict. This paper will suggest to describe about conflict management of the local election in Blitar City using an rational choice institutionalism approach, assuming that institutions has a capacity to solve a problem of conflict management in the local election. Blitar city been selected because it has a particular aspect that the two candidates, namely by incumbent and independent, but the contestation is pseudocontestation. This paper is the result of exploratory qualitative research. The techniques to explore data is use focus group discussion that involved an institutions related with Blitar local election. Belong this research, the institutions that related in the local elections understand a potential conflict, but the selected conflict management is avoiding method.
Alamat
© 2016 Universitas Negeri Semarang ISSN 2477 – 8060
korespondensi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Gedung Darsono Lantai 2, Jl. Veteran, Malang, 65145 Indonesia, Email:
[email protected], cc:
[email protected]
136
(SNPK) Indonesia menunjukkan sejak tahun
Pendahuluan Pemilukada langung serentak menjadi langkah
baru
dalam
demokratisasi
di
2005 hingga 2014, di seluruh wilayah Indonesia,
terjadi
2570
konflik
terkait
Indonesia. Setelah debat panjang di DPR
pemilihan dan jabatan, dalam berbagai bentuk
untuk
tetap
konflik dan tersebar di seluruh Indonesia. Dua
atau
tahun pertama penyelenggaraan Pemilukada
mengembalikan pemilihan kepala daerah ke
(2005-2007), setidaknya terdapat 98 dari 323
DPRD, yang salah satu pertimbangannya
daerah yang menyelenggarakan Pemilukada
adalah
dirundung
menentukan
diselenggarakan
pemilukada
besarnya
pemilukada,
apakah
biaya
Tak
kurang
dari
penyelenggaraan 21 Pemilukada berakhir
merupakan jalan tengah untuk tujuan jangka
bentrokan dan kerusuhan. (Kompas. 28 Juni
panjang untuk menciptakan pemilihan kepala
2013).
yang
lebih
pemilukada
persoalan.
serentak
daerah
maka
penyekenggaraan
efektif
dan
efisien.
Dalam kaitan itu, setidaknya ada 5
Keputusan untuk melaksanakan pemilukada
(lima)
serentak memang baru disahkan pada tahun
menjelang, saat penyelenggaraan, maupun
2015, dan gelombang pertama pemilukada
pengumuman hasil Pemilukada. Pertama,
serentak akan dimulai pada bulan Desember
konflik yang bersumber dari mobilisasi politik
2015 di 271 daerah yang masa jabatan kepala
atas nama etnik, agama, daerah, dan darah.
daerahnya berakhir pada 2015 dan semester I-
Kedua,
2016. Gelombang kedua pemilukada diadakan
kampanye negatif antar pasangan calon kepala
pada Februari 2017 untuk kepala daerah yang
daerah. Ketiga, konflik yang bersumberdari
akhir masa jabatan semester II-2016 dan
premanisme politik dan pemaksaan kehendak.
2017. Gelombang ketiga pemilukada diadakan
Keempat,
pada Juni 2018 untuk AMJ 2018 dan 2019.
manipulasi dan kecurangan penghitungan
Adapun
suara hasil Pemilukada. Kelima, konflik yang
pemilukada
serentak
nasional
disepakati diadakan pada 2027. Pengalaman pemilukada
konflik
yang
yang
potensial,
bersumber
bersumber
baik
dari
dari
bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap
penyelenggaraan
Indonesia
konflik
konflik
(Haris, 2005). Kelima sumber konflik tersebut
pengalaman konflik dan kerusuhan. Sejak
juga menjadi potensi konflik penyelenggaraan
diselenggarakan pertama kali pada Juli 2005,
Pemilukada serentak di berbagai daerah.
tak
Dalam konteks tersebut, kebutuhan atas
dari
1.027
bukan
aturan main penyelenggaraan Pemilukada
tanpa
kurang
di
sumber
pemilukada
diselenggarakan di negeri ini. Tahun 2012,
kapasitas
mengelola
dilaksanakan 73 pemilukada (enam pemilihan
menjadi penting.
konflik
pemilukada
gubernur dan 67 pemilihan bupati/wali kota).
Kota Blitar merupakan salah satu
Data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan
daerah yang menyelenggarakan pemilukada
137
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
pada Desember 2015. Pemilukada di Kota
calon
Blitar, diikuti oleh dua pasangan kandidat,
mensyaratkan
yakni calon incumbent Samanhudi Anwar–
populer, didukung oleh akar rumput, dan
Santoso,
mempunyai
yang
diusung
koalisi
Partai
perseorangan.
Calon
perseorangan
yang
benar-benar
calon
kemampuan mumpuni.
dan
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P),
keuangan
Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai
kontestasi yang terjadi adalah kontestasi semu
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai
(pseude-contestation)
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Golongan
yang
logistik
Gambaran
Karena
tersebut
itu,
menjadikan
Karya (Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat
kontestasi dalam pemilukada Kota Blitar
(Hanura), Partai Amanat Nasional (PAN), dan
relatif berintensitas rendah, atau tidak terjadi
Partai Demokrat. Calon petahana Samanhudi
kompetisi yang ketat. Banyak pihak, baik
Anwar
Blitar, yang
pemerintah, partai politik, penyelenggara
sebelumnya menggantikan Djarot Syaiful
pemilu bahkan masyarakat, berpersepsi bahwa
Hidayat yang kemudian menjabat sebagai
pemilukada Kota Blitar sudah dapat diprediksi
wakil gubernur DKI Jakarta. Sedangkan
siapa yang akan menjadi pemenang. Kondisi
wakilnya Santoso adalah mantan Sekretaris
ini juga menjadikan banyak stakeholder
Daerah Kota Blitar. Calon kedua adalah
menjelang dilaksanaknnya Pemilukada Kota
Muhsin-Dwi
adalah Wali Kota
sebagai
Sumardiyanto,
kandidat
walikota
yang
maju
Blitar menilai bahwa Pemilukada Kota Blitar
dari
jalur
akan berlangsung minim konflik.
perseorangan.
Salah
seorang
kandidat
yang
Yang perlu dikritisi dalam konteks
diprediksi menjadi pemenang, Samanhudi,
pemilukada kota Blitar, sekaligus argumen
juga mengungkapkan bahwa Pemilukada kota
mengapa Kota Blitar dipilih sebagai obyek
Blitar akan berlangsung sangat kondusif.
penelitian
Bahkan nuansa permusuhan baik di tingkat
adalah,
(independent)
kandidat
perseorangan
sebenarnya
merupakan
pasangan
calon
“kandidat boneka” dari petahana (incumbent).
disebutnya
sama
Proses pendaftaran kandidat perseorangan
mengungkapkanbahwa setiap pagi ia sarapan
relatif sangat rapi, detail dan tanpa kendala
bersama
yang berarti, serta mencukupi persyaratan
menunjukkan bahwa Pemilukada Kota Blitar
untuk menjadi calon independen. Padahal,
merupakan kontestasi “semu”.
jika merujuk pada Undang-undang nomor
kontestasi semu inilah, menarik melihat model
8/2015 tentang Pemilihan Umum Kepala
manajemen konflik yang dipilih oleh berbagai
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, prasyarat
stakeholder di dalam pemilukada.
calon
independen
sangat
berat
dan
mempersulit aspek administratif pendaftaran
138
calon
Artikel bagaimana
maupun sekali
lawan.
ini para
pendukung
tak
ada.
Fenomena
hendak
Ia
ini
Dalam
menjelaskan
stakeholder
terkait
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
penyelenggaraan pemilukada di Kota Blitar
Hasil FGD ditranskrip, di-koding, ditabulasi
melihat
untuk kemudian dianalisis
potensi
konflik
yang
terjadi
menjelang pemilukada. Kedua, artikel ini hendak menjelaskan model yang digunakan
Pendekatan
dalam manajemen konflik dalam konteks
Rasional
Institusionalisme
Pilihan
kontestasi “semu” pada pemilukada di Kota
Akar ilmu politik adalah pada studi-
Blitar. Artikel ini memberi sumbangsih dalam
studi tentang lembaga, tentang kelembagaan
kajian
negara, birokrasi, kebijakan publik, yang
pengelolaan
konflik
pemilukada
terutama dalam pilihan-pilihan model yang
kesemuanya
digunakan oleh stakeholder di daerah dalam
kelembagaan. Tetapi pada periode pasca-
pelaksanaan Pemilukada melalui perspektik
Perang Dunia II, disiplin ilmu politik,
institusionalisme pilihan rasional.
terutama di Amerika Serikat, telah mengkritik studi
dilihat
tentang
dalam
kerangka
lembaga-lemabaga
tersebut
Kajian Pustaka
dengan berkembangnya dua pendekatan yang
Metodologi
lebih didasarkan pada asumsi individualistik:
Penelitian ini menggunakan teknik
behavioralisme dan pilihan rasional. Kedua
Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi
pendekatan
Kelompok Terarah dalam penggalian data.
individu bertindak secara otonom sebagai
Dalam teknik FGD, aktor atau kelompok yang
individu, baik berdasarkan karakteristik sosio-
terkait, yang menjadi informan, di kumpulkan
psikologis atau perhitungan rasional untung
pada satu forum, untuk saling berinteraksi,
rugi oleh individu. Dalam kedua teori,
berdiskusi,
atau
individu tidak dibatasi oleh baik lembaga
menguatkan tentang suatu persoalan atau
formal maupun informal, tapi akan membuat
topik spesifik, dengan dipandu oleh fasilitator
pilihan
atau mediator (Somekh and Lewin, 2011: 2-
dipandang lebih determinan dalam proses-
15)
proses berjalannya lembaga-lembaga negara,
dan
saling
Teknik ini
membantah
dipilih
karena
dapat
serta
ini
mereka
pada
mengasumsikan
sendiri. Faktor
bahwa
individu
keputusan-keputusan
politik
mempertemukan dan terjalin komunikasi intra
(Peters, 1999: 25). Hal ini merupakan titik
dan antar pihak terkait pemilukada Blitar,
tolak dari perkembangan pendekatan “new-
mulai penyelenggara pemilu, partai politik
institutionalism”
hingga pemerintah. Melalui pertemuan pada
institusionalisme baru.
satu forum, dapat diidentifikasi cara pandang yang
berbeda
pemaknaan,
terhadap
penafsiran
pemahaman,
suatu
masalah,
berdasarkan latar belakang dan kepentingan.
atau
pendekatan
Tahun 1980-an, perhatian terhadap lembaga formal dan non-formal pada sektor publik dan bagaimana peran penting struktur, mulai
tumbuh
kembali.
Penjelasan
139
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
kelembagaan
digunakan
dalam
studi
Dalam
arikel
ini,
kami
menggunakan
kebijakan dan tata kelola pemerintahan, tetapi
pendekatan institusionalisme pilihan rasional
juga memperhatikan perilaku pada tingkat
dalam menjelaskan relasi kelembagaan dan
individu.
manajemen konflik dalam pemilukada.
Pendekatan
institusionalisme
baru
Institusionalisme
pilihan
rasional
mencerminkan banyak vitur dari versi lama
berawal dari studi tentang perilaku kongres di
dari
untuk
Amerika, dimana terdapat perbedaan yang
memahami politik, di samping, juga memberi
beragam dan tajam terhadap preferensi dan
kemajuan pada studi politik pada sejumlah
karekteristik legislator mengenai kebijakan.
teori dan analisis empiris. Sebagai contoh:
Tetapi meski terjadi perbedaan yang tajam,
“institusionalisme lama” sistem presidensial
kongres masih menunjukkan situasi yang
secara
cukup stabil. Fenomena ini memunculkan
pendekatan
signifikan
institusionalisme
berbeda
degan
sistem
parlementer berdasarkan struktur formal dan
pertanyaan
aturan. Pendekatan “institusionalisme baru”,
perbedaan yang tajam masih dapat berjalan
melihat lebih jauh dan mencoba untuk mecari
dengan stabil. Salah satu penjelasannya adalah
tahu apakah perbedaan-perbedaan tersebut
adanya transaksi atau tawar menawar di antara
benar-benar berbeda, dan jika demikian,
para
bagaimana mengatur kehidupan politik yang
kesepakatan
berbeda tersebut? Apakah perbedaan tersebut
Teradapat proses-proses politik berdasarkan
lantas juga menciptakan perbedaan dalam hal
pertimbangan
kinerja
menyelesaikan
pemerintah?
(Peters,
1999:
25).
bagaimana
legislator
institusi
dalam
terhadap
dengan
perumusan kebijakan
untung
atau
tersebut.
rugi
untuk
masalah-masalah
bersama
Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut, lebih
(Hall dan Taylor, 1996: 9). Institusionalisme
jauh, juga merefleksikan bahwa pendekatan
pilihan
insitusionalisme baru juga melihat bagaimana
institusionalisasi dan relasi antar institusi
sebuah
lembaga-
sebagai mekanisme untuk menyelesaikan
lembaga tersebut direkayasa dan berintraksi
persoalan bersama melalui pertimbangan-
sedemikian rupa untuk mencapai tujuan
pertimbangan rasional dan untung rugi.
sistem,
struktur,
atau
tertentu.
rasional
melihat
proses
Dalam pandangan institusionalisme
Hall dan Taylor (1996: 9) membagi
pilihan rasional-seperti halnya teori pilihan
pendekatan institusionalisme baru ke dalam
rasional-manusia secara individual-yang juga
tiga kelompok teori, yaitu institusionalisme
merupakan representasi dar sebuah institusi-
historis
institutionalism),
dipandang sebagai individu rasional yang
institusionalisme pilihan rasional (rational
bertindak atas dorongan kepentingan rasional,
choice institutionalism) dan institusionalisme
didasari oleh perhitungan ekonomis, untung-
sosiologis (sociological instituti¬onalism).
rugi, memaksimalkan keuntungan dan aksi-
140
(historical
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
reaksi dari aktor lainnya. Asumsi mendasar
institusionalisme, termasuk analisis dalam
dari institusionalisme pilihan rasional adalah
perilaku koalisi, pengembangan lembaga-
bahwa individu adalah aktor sentral dalam
lemabga politik dan kajian tentang konflik
proses
orang-orang
(Hall dan Taylor, 1996: 9). Dalam konteks
bertindak rasional untuk memaksimalkan
penelitian ini, pendekatan institusionalisme
utilitas pribadi. Salah satu mencapai tujuan
baru digunakan dalam melihat bagaimana
tersebut secara efektif adalah melalui tindakan
lembaga-lembaga berperan dan merespon
institusional,
juga
perubahan-perubahan yang menuntut peran
dibentuk oleh lembaga (Peters, 1991: 45).
mereka. Serta, bagaimana aktor-aktor dalam
Tindakan individu mempengaruhi lembaga,
lemabga, atau aktor-aktor yang merefleksikan
tetapi juga diatur oleh aturan-aturan dalam
lembaga, berfikir, dan berperan. Baik peran
lembaga. Karena itu, tindakan atau keputusan
yang diatur dan dibatasi oleh norma dan
lembaga, juga dapat merefleksikan tindakan
aturan, maupun peran yang lebih luas yang
individu.
tidak diatur dalam aturan-aturan formal.
politik,
dan
dan
bahwa
perilaku
Institusionalisme
mereka
pilihan
rasional
melihat keseimbangan institusional sebagai norma
atau
Konflik Pemilukada
aturan-baik formal
maupun
Konflik secara umum didefinisikan
disepakati
bersama.
sebagai suatu situasi dimana dua pihak atau
Pendekatan ini melihat bahwa keadaan normal
lebih berusaha untuk mendapatkan sumber
politik adalah di mana aturan permainan yang
daya yang sama langka di sama waktu
stabil
memaksimalkan
(Wallensteen, 2002: 16). Para sarjana sosial
keuntungan (biasanya keuntungan pribadi)
umumnya setuju bahwa lebih dari satu pihak
yang diberikan oleh aturan-aturan tersebut.
agar sebagai prasyarat terjadinya konflik dan
Para aktor mempelajari aturan-aturan, strategi
faktor waktu dinilai penting. Penyebab utama
adaptasi dan dengan demikian melahirkan
adalah sumber daya yang langka. Sumber
keseimbangan
tidak
daya bukan sekedar soal sumber ekonomi di
semua aktor merasa senang atau diuntungkan
alam, tetapi juga berkaitan dengan orientasi
dengan struktur kelembagaan yang terbentuk,
ekonomi, keamanan manusia, lingkungan, isu-
tetapi yang menjadi tujuan adalah pada
isu sejarah, dll. Dalam konteks politik, jabatan
kondisi yang stabil. Setelah stabil, sangat sulit
atau posisi strategis dalam institusi politik,
untuk mengubah aturan karena tidak ada yang
juga dapat dilihat sebagai sumber daya yang
bisa memastikan hasil dari struktur yang
terbatas.
informal-yang
dan
para
aktor
institusional.
Meski
terbentuk (Clarke and Foweraker, 2005: 572).
Simon Fisher (2000: 6) menyatakan
Ada beberapa fenomena yang menjadi
bahwa konflik merupakan keniscayaan, tak
perhatian para penganut pilihan rasional
terhindarkan dan kerap bersifat reatif. Konflik
141
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
dapat terjadi ketika tujuan masyarakat tidak
(keputusan
sejalan, berbagai pendapat dan konflik bisa
dipertentangkan dalam konflik politik berada
diselesaikan tanpa terjadi kekerasan. Dalam
pada tingkatan political (Urbaningrum, 1999).
perspektif
hubungan
Masalah
yang
Fisher
Penjelasan di atas sejalan dengan
menjelaskan bahwa bahwa konflik disebabkan
konteks pemilukada serentak, yang secara
oleh terjadinya polarisasi sosial, serta kondisi
substansi adalah kompetisi dan konflik.
dimana tidak adanya saling rasa percaya
Terjadi
dalam masyarakat, yang akhirnya melahirkan
masyarakat dalam memperebutkan sumber
permusuhan diantara kelompok yang berbeda
daya yang terbatas, dan pada banyak kasus
dalam suatu masyarakat. selain itu, penyebab
melahirkan konflik vertikal dan horizontal.
konflik
Meski
dalam
masyarakat,
politik).
masyarakat
juga
dapat
polarisasi
kompetisi
di
antara
dan
kelompok
konflik
dalam
disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar
pemilukada jika terkelola akan menjadi celah
manusia.
positif bagi perkembangan masyarakat, tetapi
Sejalan dengan Fisher, T.F. Hoult
bukan proses yang mudah. Dibutuhkan kerja-
(dalam Wiradi, 2000) menyebut konflik
kerja
yang
signifikan
merupakan proses interaksi antara dua (atau
konflik
lebih) orang atau kelompok yang masing-
pengkondisian situasi positif dimasyarakat.
sosial
agar
dalam
mengelola
mengarah
pada
masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek
yang
sama,
yaitu
sumber
daya
Manajemen Konflik Pemilukada
(dijelaskan tanah dan benda-benda lain yang
Dalam pandangan fungsional, konflik
berkaitan dengan tanah, seperti air dan
sebenarnya
perairan, tanaman, tambang, dan juga udara
konflik dapat dipahami sebagai rangkaian aksi
yang berada di atas tanah yang bersangkutan).
dan reaksi antara pelaku dan pihak luar dalam
Konflik yang terjadi dapat berupa konflik
konflik. Manajemen konflik mengacu pada
vertikal, yaitu antar pemerintah, masyarakat
pendekatan untuk mengarahkan pada bentuk
dan
pusat,
komunikasi dan tingkah laku dari pelaku
pemerintah kota dan desa, serta konflik
maupun pihak luar dalam konflik bagaimana
horizontal yaitu konflik antar masyarakat.
mereka mempengaruhi kepentingan mereka.
swasta,
Konflik
antar
pemerintah
pemilukada,
merupakan
dapat
dikelola.
Manajemen
Manajemen konflik tidak hanya dipahami
konflik politik, dan konflik politik dapat
sebagai
digolongkan dalam konflik sosial, terjadi di
menganalisa agar konflik dapat dikontrol
antara anggota masyarakat sebagai akibat dari
tetapi juga dipahami sebagai gagasan, teori
adanya hubungan sosial yang cukup intensif.
dan metode untuk memahami konflik dan
Konflik politik berkaitan dengan penguasa
praktik kolektif untuk mengurangi potensi
politik
142
atau
keputusan
yang
dibuatnya
upaya
mengenali
konflik
dan
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
kekerasan dan meningkatkan harmonisasi
berkomunikasi secara terbuka, untuk
dalam proses politik.
mengatasi perbedaan secara konstruktif
Selama ini, kritik yang berkembang
dan berupaya merumuskan solusi yang
dalam manajemen konflik di banyak kasus
dapat
saling
diterima.
Model
ini
konflik sosial di Indonesia, model manajemen
mengharapkan win-win solution, dimana
konflik cenderung dilakukan dengan cara
semua pihak merasa diuntungkan atau
parsial dan dengan cara dibentuk sedemikian
mengalami kerugian minimal.
rupa (ad hoc). Akibatnya kurang menyentuh
2. Obliging style: strategi ini terjadi jika
jantung dan akar penyelesaian konflik jangka
kepedulian terhadap kepentingan sendiri
panjang. Di banyak kasus, penyelesaian
rendah
konflik dimulai dengan penghentian konflik
kepentingan orang lain tinggi. Gaya ini
melalui
pihak
bersifat non-konfrontatif, menekankan
kemudian
untuk menjaga hubungan dengan orang
dilanjutkan dengan penetapan serangkain
lain daripada mengejar hasil untuk
aturan termasuk sanksi bagi semua pihak agar
kepentingan diri sendiri. Strategi ini akan
tidak mengulangi konflik (Suprapto, 2013).
efektif
cara-cara
keamanan
(peace
koersif
oleh
keeping)
Salah satu model manajemen konflik adalah dual concern model atau model kepedulian ganda. Model ini merupakan salah satu
model
manajemen
konflik
dan
dalam
kepedulian
kondisi
terhadap
pihak
yang
memiliki kepedulian adalah pihak yang kuat dan dominan. 3. Dominating style: strategi ini merupakan
paling
yang paling konfrontatif, yang lebih
sederhana, yang dikembangkan oleh Blake
mementingkan kepentingan diri sendiri
dan Mouton (1964) dan dikembangkan oleh
daripada
sarjana lain, salah satunya adalah Thomas
Manajemen
(1976) dan Pruitt & Rubin (1986). Model ini
strategi ini ditandai dengan upaya atau
bertolak dari pertanyaan apakah seseorang
taktik intimidatif, ejekan, dan berfokus
atau kelompok memiliki kepedulian terhadap
untuk mengalahkan lawan.
kepentingan
orang
konflik
lain.
menggunakan
pihak lain dan apakah pemilihan strategi
4. Avoiding style: strategi ini berarti upaya
menyelesaikan masalah akan efektif dalam
menghindari atau membiarkan masalah.
situasi atau persoalan tertentu. Terdapat lima
Strategi
strategi manajemen dan resolusi konflik
konfrontatif. Untuk jangka waktu tertentu
menurut model kepedulian ganda (Cai and
atau persoalan tertentu, cara ini efektif,
Fink, 2002), yakni:
tetapi dapat menjadi persoalan besar jika
1. Integrating style: strategi manajemen
ini
merupakan
gaya
non-
berakumulasi menjadi persoalan yang
konflik ini ditandai dengan kesediaan
lebihh
pihak-pihak yang berkonflik untuk saling
panjang.
besar
dalam
waktu
jangka
143
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
5. Compromising
style:
mencerminkan
gaya
pihak-pihak
ini yang
Tabel 1. Perspektif Stakeholder tentang Manajemen dan Potensi Konflik Pemilukada
berkonflik berupaya untuk mengejar hasil
di Kota Blitar
yang dapat diterima bersama untuk mencapai hasul yang optimal. Cara ini efektif pada situasi yang tidak ada tekanan, waktu yang terbatas, atau besarnya biaya jika konflik berlarut. Dalam artikel ini, upaya keempat, yakni avoiding style, yang akan diulas karena menjadi pilihan mengelola konflik oleh aktor dan institusi terkait Pemilukada Kota Blitar.
Eksplorasi Persepsi Stakeholder tentang Potensi Konflik Bagian ini akan mengulas bagaimana pemahaman, persepsi dan interpretasi masingmasing stakeholder atau actor/institusi yang peneliti libatkan dalam FGD tentang potensi konflik,
upaya
mengelola
konflik,
dan
Penyelenggara pemilu, yakni KPUD dan
Panwaslu
Kota
Blitar
menyadari
persepsi mereka tentang kondisi politik
sepenuhnya dan bahkan khawatir, jika terjadi
menjelang Pemilukada Kota Blitar. Melalui
persoalan terkait penyelenggaraan pemilu,
pemetaan persepsi soal potensi konflik, serta
maka yang menjadi sasaran utama kesalahan
berkaitan dengan hambatan-hambatan yang
adalah penyelenggara pemilu. Dalam konteks
dirasakan oleh aktor atau institusi terkait
pra-pemilu, baik KPUD dan Panwaslu masih
Pemilukada kota Blitar.
menyadari
Secara
sederhana,
pemetaan
Pemilukada
bahwa
tiap
mempunyai
tahapan potensi
dalam konflik.
perspektif para stakeholder terkait potensi dan
Bahkan persoalan pada satu tahapan, akan
upaya mengelola konflik pemilukada di Kota
turut
Blitar dapat dilihat pada tabel berikut:
Potensi konflik pada aspek yang mendasar,
mengganggu
tahapan
selanjutnya.
misalnya, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT), dapat menjadi alat mendelegitimasi proses penyelenggaraan pemilu. Tidak hanya pada pelaksanaan pemungutan suara, tetapi juga pada penetapan pemenang Pemilukada.
144
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
Potensi konflik yang menurut KPUD
saat
itu
terlibat
dalam
FGD
adalah
dan Panwaslu penting untuk dicermati adalah
Bakesbangpollinmas). Persepi tersebut, selain
pada penerimaan hasil pemilu. Tetapi dalam
karena kontestasi dalam pemilukada Kota
konteks pemilukada Kota Blitar, hasil pemilu
Blitar tidak terlalu kompetitif, pemerintah
bukan
Semua
mengklaim Kota Blitar selama ini, baik secara
stakeholder menyadari kandidat mana yang
sosial dan kultur, dirasa aman dan minim
akan menjadi pemenang – seperti yang sudah
konflik dalam penyelenggaraan pemilu apa
dijelaskan
pun.
menjadi
masalah
pada
utama.
bagian
pendahuluan
sebelumnya.
Persepsi terhadap potensi konflik
Meski menyadari terdapat potensi di
yang lebih beragam justru disampaikan oleh
tiap tahapan pemilu, KPUD dan Panwaslu
partai politik. Meski sebagian partai politik
merasa bahwa ruang gerak mereka juga
juga
terbatas karena mereka juga merupakan
mempunyai peluang menang paling besar –
lembaga birokratis yang harus patuh terhadap
bahkan sebagian di antara parpol di Kota
prosedur dan aturan. Hal ini yang menjadi
Blitar
hambatan
dalam
Pemilukada Kota Blitar sudah dapat diketahui
untuk
sebelum pelaksanaan Pemilukada dimulai –
mengelola konflik. Salah satu perkembangan
tetapi mereka menyadari bahwa terdapat
dalam hal ruang gerak dirasakan oleh
beberapa hal yang dapat menjadi potensi
Panwaslu dengan dikeluarkanya Peraturan
konflik Pemilukada di Kota Blitar. Pandangan
Bawaslu No 7 Tahun 2015 yang menambah
tersebut, tidak lepas karena partai politik
dan mengatur adanya divisi pencegahan dan
merupakan institusi yang di dalamnya berisi
hubungan antar lembaga pada organisasi
aktor-aktor yang terlibat langsung dengan
KPUD
mengambil
dan
langkah
Panwaslu
lebih
luas
66
Panwaslu.
menyadari
kandidat
mengungkapkan
mana
bahwa
yang
pemenang
politik di Kota Blitar dalam jangka waktu
Persepsi soal potensi konflik pilada
yang relatif lebih panjang, dibandingkan
oleh pemerintah Kota Blitar, justru berbeda
dengan aktor yang ada di KPUD, Panwaslu,
dengan
pemilu.
bakesbangpol dan kepolisian. Karena itu,
Persepsi bahwa penyelenggaraan Pemilukada
sebagian pandangan mereka di satu sisi
di Kota Blitar akan berlangsung aman dan
merefleksikan kesadaran, pehamanan dan
tanpa konflik, lebih banyak diungkapan oleh
pengalaman pemilu di masa lalu di Kota
pemerintah Kota Blitar (dalam hal ini, yang
Blitar, serta kemugkinan-kemungkinan yang
persepsi
penyelenggara
terjadi pada pemilu mendatang. 66
Meski demikian, bagaimana pelaksanaan peran pada divisi pencegahan dan hubungan antar lemabaga pada Pemilukada Kota Blitar Desember 2015 lalu, belum dipahami dan diterapkan secara teknis dan spesifik, mengingat aturan bawaslu No. 7 Tahun 2015 merupakan aturan baru.
Partai politik menilai, di beberapa momen pemilu di Kota Blitar, terdapat persoalan
dalam
penyelenggaraan
145
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
Pemilukada, tetapi partai politik melihat
itu, dalam konteks pemilukada Kota Blitar,
persoalan
dengan
struktur aturan yang mensyaratkan syarat
Persoalan
minimal, menjadi refleksi pandangan kritis
pembiaran tersebut terjadi karena model
partai politik terkait kondisi pemilukada di
politik yang lebih mengarah pada politik
Kota Blitar yang didominasi oleh partai dan
transaksional.
kandidat tertentu.
tersebut
mekanisme
ditangani
“pembiaran”.
Beberapa
persoalan
tidak
dilakukan melalui jalur hukum, atau, beberapa pelanggaran
memang
sudah
dikalkulasi
implikasi hukum pada pelanggaran tersebut.
Pembiaran pada Potensi Konflik: Sebuah Pilihan Rasional
Fenomena ini, yang menurut partai politik
Konflik adalah hal yang inheren di
menjadi salah satu sebab pelanggaran dalam
dalam pemilukada, mengingat pemilukada
pemilu dilakukan melalui model pembiaran.
adalah
Partai penegakan
politik
juga
aturan
mengeluhkan
dan
netralitas
ajang
kontestasi
politik
yang
melibatkan banyak anasir kepentingan di masyarakat.
Dengan
demikian,
alih-alih
penyelenggara pemilu. Partai politik melihat
menghindari konflik, yang terpenting adalah
terdapat kecenderungan pada kandidat dan
bagaimana
partai
dalam
penyelenggara Pemilukada agar memiliki
mengintervensi
kapasitas mumpuni ketika berhadapan dengan
politik
pemerintahan
yang
dominan
untuk
pemerintahan
atau
penyelenggara
pemilu.
birokrasi, Meski
serta
demikian,
politik,
karena
kecenderungan
segenap
konflik, baik yang latent maupun ketika sudah bertransformasi faktual.
kecenderungan ini dianggap “lumrah” oleh partai
menyiapkan
Dalam penyelenggara
pemilukada, diuji
dalam
menghadapi
mengapa
keterlibatan
kelompok yang berkuasa berupaya untuk
konflik,
menguasai seluruh instrument kekuasaan,
Kepolisian dan Pemerintah Daerah mutlak
termasuk pada aspek pemilu.
diperlukan. Mengingat, pertama, KPUD dan
Persoalan yang sebenarnya menjadi
itulah
sensitivitas
Panwaslu adalah dua badan ad hoc yang masa
sorotan utama, terutama oleh partai politik di
jabatannya
Kota Blitar yang tidak sepenuhnya terlibat
keterlibatan dan pengalaman mereka dalam
dalam kontestasi Pemilukada Desember 2015,
situasi konfliktual pemilukada sebelumnya
adalah soal struktur aturan yang tidak
relatif
membuka peluang partisipasi dan kompetisi
pemilukada tidak dilengkapi dengan tupoksi
yang lebih luas. Adanya aturan yang dirasa
yang berkaitan dengan deteksi potensi konflik,
membelenggu oleh partai kecil di daerah,
pun ihwal otoritas pengelolaan konflik tidak
karena kader dari partai mereka dipaksa
diatur dalam UU nomor 15/2011 tentang
berkoalisi dengan kader dari partai lain. Selain
Penyelenggara Pemilihan Umum. Dengan
146
sangat
minimal.
berbatas,
Kedua,
sehingga
penyelenggara
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
demikian
sensitivitas
serta
keterampilan
menggali informasi mencegah konflik, tidak
kalaupun hingga finalisasi DPS nama-nama purnawirawan tersebut belum masuk.
dimiliki penyelenggara Pemilu. Hal inilah
Institusi-institusi terkait pemilukada –
yang mengharuskan penyelenggara pemilu –
baik kontestastan dan penyelenggara – sudah
dalam hal pengelolaan konflik - tidak bisa
menerka,
lepas dari peran kepolisian dan pemerintah
bagaimana dan sejauh apa pelanggaran,
daerah.
kecurangan atau cacat dalam prosedur tidak
berhitung
dan
memprediksi
Sebagian partai politik kecil di Kota
bertentangan dengan aspek hukum. Terdapat
Blitar (yang oposisi dengan partai dominan)
kesamaan cara berpikir antara penyelenggara
melihat penyelenggara pemilu dan pemerintah
pemilukada dengan partai dominan yang
daerah lebih nampak sebagai bagian dari aktor
berpeluang besar memenangkan pemilukada,
yang melakukan pembiaran terhadap potensi
yakni potensi konflik yang ada sebaiknya
konflik daripada pihak yang semestinya
diabaikan saja, karena lambat laun akan
menjadi mediator. Parpol-parpol kecil (selain
selesai dengan sendirinya. Namun demikian,
parpol
di balik pengabaian konflik oleh partai
pendukung
adanya
petahana)
indikasi
menengarai
ketidaknetralan
dominan,
sebenarnya
tersembunyi
dugaan
proses pemilu dan pemenangan kandidat
penyelenggara
pemilu
inisiator
pemecah
masalah
yang
melainkan
enggan
potensi
timbul
menjadi
masalah
dalam
memudahkan
skenario
penyelenggara pemilu, bukan soal adanya transaksional,
yakni
ada
agenda
tertentu.
dan
Alasannya, semakin sedikit potensi
tahapan
konflik yang masuk ke ranah penanganan
pemilukada.
KPUD/Panwaslu (misalnya; kasus DPT dan
Hal diatas juga diakui oleh Ketua
sengketa pencalonan walikota) maka potensi
Panwaslu Kota Blitar, diantaranya dalam
gugatan yang masuk ke PTUN, sengketa
kasus daftar pemilih perseorangan (DPS).
proses di Bawaslu ataupun sengketa hasil di
Salah satu kasus adalah terkait beberapa
MK akan bisa diminimalisir. Jika sengketa
pemilih purnawirawan TNI dan Polisi. Secara
semacam
normatif, semestinya Panwaslu menjadi pihak
Pemilukada (KPUD/Panwaslu) harus bekerja
yang mendorong para purnawirawan ini
lebih ekstra; melakukan investigasi, membuat
dipastikan namanya ada dalam DPS, melalui
klarifikasi, menyusun laporan dan keterangan
mekanisme rekomendasi. Tetapi panwaslu
tertulis, dan tindakan lain sebagai konsekuensi
lebih
karena
hukum posisi mereka sebagai pihak teradu
menurutnya proses perbaikan DPS masih
atau pihak terkait. Di sinilah titik temu
cukup panjang dan masih banyak cara
simbiosis antara penyelenggara pemilukada
memilih
wait
and
see,
itu
muncul,
penyelenggara
dengan partai dominan dimungkinkan, sama-
147
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
sama diuntungkan jika proses pemilukada
mendiamkan kecurangan-kecurangan politik
berjalan lancar. Kesamaan cara berpikir
adalah
demikian
lahirnya
rendahnya soliditas di antara partai politik di
konsensus dari para pihak yang punya
luar koalisi-yang dibangun PDIP Kota Blitar,
berbagai kepentingan. Konsensus tersebut
sehingga manuver pencalonan incumbent
bisa saja terwujud dengan atau tanpa proses
tidak mendapatkan perlawanan yang berarti,
yang transaksional.
(3) lemahnya posisi NGO pemantau pemilu,
yang
memungkinkan
hal yang dianggap
lumrah,
(2)
Di samping itu, dengan berlindung di
sehingga laporan-laporan perihal kecurangan
balik kekosongan norma hukum, Panwaslu
pencalonan kepala daerah hanya menjadi
bisa berada di zona nyaman tanpa harus
dokumen internal lembaga, tidak berujung
mengambil
gugatan ke Panwaslu/KPUD.
tanggungjawab
pencegahan/
penyelesaian konflik. Posisi ini bagi mereka
Dari perspektif peserta pemilukada,
menjadi alasan, bahwa kesan ketidaknetralan
pembiaran konflik yang dilakukan
penyelenggara pemilu dalam kasus-kasus
penyelenggara pemilukada akan mendorong
yang
karena
aktor politik yang dominan memiliki skenario
penyelenggara pemilu berpihak, melainkan
sendiri dalam penyelesaian potensi konflik.
ketiadaan
konflik
Sehingga dinamika kepemiluan akan terpisah
membuat pilihan membiarkan konflik itu
menjadi dua aspek, yakni: pertama, aspek
menjadi pilihan yang benar dan taat asas.
normatif Pemilukada, yakni penyelenggaraan
berpotensi
otoritas
konflik
bukan
menyelesaikan
oleh
Strategi pembiaran konflik seperti
teknis tahapan Pemilukada mulai dari (1)
yang terjadi dalam pemilukada Kota Blitar,
pemutakhiran DPT, (2) pendaftaran dan
sebenarnya bukan langkah dalam managemen
penetapan calon kepala daerah, (3) masa
konflik yang ideal. Bahwa kemudian model
kampanye dan masa tenang, (4) distribusi
pembiaran ini menjadikan potensi konflik
logistik,
reda dengan sendirinya, bukanlah sebuah
rekapitulasi hasil pemungutan, serta (6)
langkah
maju.
penetapan calon terpilih.
masalah,
pembiaran
Alih-alih ini
menyelesaikan sejatinya
akan
(5)
pemungutan
suara
dan
Kedua, adalah penyelesaian konflik di
menimbulkan masalah besar jika kekuatan
setiap
politik antara penantang dengan petahana
tercakup
relatif setara. Dinamika konfliktual yang
penyelenggaraan
berujung situasi ‘damai’ ini lebih disebabkan
masing-masing pihak mencari jalan keluar
oleh faktor lain di luar kendali penyelenggara
sendiri-sendiri.
Pemilu, Pemerintah Daerah dan kepolisian.
politik
Diantaranya, (1) paragmatisme para aktor
menginisiasi skenario pengelolaan potensi
politik di luar kubu petahana, sehingga
148
tahapan
pemilukada,
dalam
dominan
yang
tidak
kerangka
normatif
pemilukada,
sehingga
Pada akhirnya kelompok (parpol)
yang
akan
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
konflik,
untuk
mendukung
lancarnya
pemenangan dalam pemilukada. Jika
digambarkan
antisipatif
bagi
kandidat
petahana
(Samanhudi) seandainya gagal mendapatkan
dalam
sebuah
rekomendasi dan diusung oleh PDI-P.
bagan, yang menunjukkan bagaimana relasi
Hal ini tak lepas dari cerita di
antara masing-masing aktor dengan potensi
lapangan, bahwa penilaian DPP PDI-P yang
konflik yang ada dalam Pemilukada Kota
menilai
Blitar, akan tampak pola seperti di bawah ini.
Samanhudi (2009-2014) tidak sebaik rezim
Gambar. 1 Pilihan Institusi dalam Managemen
sebelumnya (Djarot Syaiful Hidayat 2004-
Konflik Pemilukada Kota Blitar
2009). Kekhawatiran ini pada akhirnya tidak
prestasi
pemerintahan
rezim
terbukti dengan keluarnya surat rekomendasi pencalonan (kembali) Samanhudi oleh DPP PDI-P.
Langkah
pengumpulan
KTP
sebelumnya, menjadi skenario cadangan yang digunakan pasangan
untuk calon
mengantisipasi Walikota,
yang
satu dapat
menyebabkan penundaan jadwal pemilukada Kota Blitar hingga tahun 2017. Skema kecenderungan
tersebut pilihan
menggambarkan sikap
dan
arah
Langkah pengumpulan KTP tersebut akhirnya
digunakan
untuk
membuat
managemen konflik yang dipilih oleh institusi
“calon/kandidat boneka’ sebagai penantang
terkait
Karena
petahana dalam pemilukada Kota Blitar 2015.
masing-masing insititusi akan diuntungkan
Calon boneka ini didaftarkan ke KPUD
jika ujung konfliknya adalah jalan damai,
dengan menggunakan dukungan KTP yang
maka tiap istitusi cenderung memilih untuk
telah dikumpulkan sebelumnya oleh petahana.
tidak
konfrontatif
Dengan strategi ini, meskipun parpol lain
terhadap yang institusi atau aktor lain. Relasi
tidak mengajukan calon walikota, pemilukada
utilitarian sangat kental dalam kasus ini.
Kota Blitar tetap bisa digelar pada 9
pemilukada
mengambil
kota
Blitar.
tindakan
Contoh yang merefleksikan pilihan
Desember 2015 karena telah memenuhi
pada sikap pembiaran misalnya, adalah pada
kaidah hukum dengan menyertakan dua
kasus
pasangan calon walikota.
pencalonan
kandidat.
Berdasarkan
penuturan beberapa pihak dalam wawancara,
Jika partai lain di Kota Blitar-
pengumpulan dukungan (berupa Kartu Tanda
terutama partai oposisi-bersikap kritis, ada
Penduduk/KTP) dari penduduk Kota Blitar
kemungkinan
bagi
perseorangan,
keabsahan
dan
yang diduga kuat sebagai calon ‘boneka’ dari
pencalonan
muncul
dari
pasangan
kekhawatiran
langkah
partai
calon
oposisi
menggugat
independen/perseorangan
149
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
pasangan petahana. Misalnya, daftar
dukungan
janggal
yang
melihat
sosok
manusia
sebagai
(tanpa
representasi institusi maupun kelompok sosial
atau
tertentu. Sehingga setiap tindakan mereka
tandatangan yang terindikasi palsu). Demikian
harus dipandang sebagai tindakan rasional
halnya dengan Panwaslu, yang mempunyai
sebagai pemenuhan dorongan kepentingan
tugas dan kewenangan melakukan verifikasi
dan
faktual
institusi/kelompok
kelengkapan
yang
keungkinan
administratif,
keabsahan
materai,
dukungan,
yang-jika
memaksimalkan sosial
keuntungan yang
menaungi
terbukti tidak sah-bisa berdampak pada
mereka. Selain perihal ekonomi, keuntungan
perbaikan
yang
atau
pembatalan
pencalonan.
dimaksud
dalam
pengertian
ini
Namun rupanya, baik LSM pemantau Pemilu,
menyangkut pula minimalisasi reaksi negative
Parpol oposisi maupun Panwaslu Kota Blitar
dari actor lain di luar institusi/kelompok
memilih
individu bersangkutan.
untuk
membiarkan
pencalonan
pasangan independen berjalan mulus.
Dalam kasus pemilukada Kota Bllitar, prosedur pencalonan walikota dari jalur
Ewuh-Pakewuh dan Pembiaran
perseorangan memiliki masalah tersendiri.
Tindakan pembiaran pada potensi
Tetapi, membiarkan persoalan di dalam
konfllik oleh institusi terkait Pemilukada Kota
prosedur tersebut adalah pilihan rasional yang
Blitar menurut penulis bukan semata sikap
pada akhirnya dipilih – dan diterima – semua
konsensus kolektif yang tiba-tiba muncul.
pihak demi terhindar dari disintegrasi sosial.
Sikap tersebut berbasis pada pertimbangan
Stabilitas soasial dinilai lebih mahal jika
untung rugi jika Pemilukada berjalan lancer,
dibandingkan
tanpa
titik
penyimpangan selama proses pengumpulan
ekuilibrium pada kontestasi. Bagan di atas
dukungan pasangan calon walikota dari jalur
mencoba menjelaskan hal tersebut secara
perseorangan, yang berpotensi menimbulkan
umum dimana, masing-masing institusi sadar,
konflik.
Dalam
jika
pilihan
rasional,
sengketa
terjadi
dan
konflik
menemukan
(sengketa)
selama
dengan
analisis aktor
pengungkapan
institusionalisme dan
kelompok
pemilukada berlangsung, dapat memunculkan
melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks
konsekuensi politik, sosial dan psikologis
yang dibatasi secara kolektif, pembatasan-
yang menimpa mereka, baik secara individual
pembatasan tersebut terdiri dari institusi-
maupun kelembagaan, misalnya disintegrasi
institusi, yaitu pola norma dan pola peran
atau polarisasi dalam masyarakat, selama
yang telah berkembang dalam kehidupan
proses
sosial
pemilukada
berlangsung
maupun
ketika kontestasi politik tersebut telah usai. Bagan
atas
linear
perilaku
dari
mereka
yang
memengang peran itu.
dengan
Dalam konteks pola norma yang
pendekatan institusionalisme pilihan rasional,
membatasi institusi terkait pemilukada Kota
150
di
dan
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
Blitar adalah nilai dan norma ewuh pakewuh.
Kesimpulan
Ewuh pakewuh dapat dipahami sebagai sikap
Dari beberapa uraian di atas, terdapat
tidak enak hati jika harus mengambil sikap
beberapa poin yang menjadi kesimpulan,
berbeda dan konfrontatif dengan pihak lain
pertama, kontestasi politik dalam Pemilukada
yang berbeda kepentingan dan pilihan politik.
di Kota Blitar tahun 2015 bukan tanpa
Sikap
atau
persoalan. Ada beberapa potensi konflik di
dan
tiap tahapan Pemilukada, baik pada persiapan
membiarkan penyimpangan yang dilakukan
(terkait Daftar Pemilih Tetap, pendaftaran
pihak lain, sepanjang masih dalam batas
kanddiat,
toleransi, karena konfrontasi adalah pilihan
penyelenggaraan dan pasca pemilu. Hal
terakhir yang sebisa mungkin dihindari.
tersebut dirasakan oleh penyelenggara pemilu
ini
mendorong
sekelompok
orang
seseorang
memilih
diam
Norma di atas, dalam pengamatan
penyiapan
karena
institusi
logistik),
yang
penulis, beberapa kali dalam dialog intensif
tanggungjawab
yang terjadi selama proses FGD Pemilukada
Pemilukada
Kota Blitar. Meski setiap actor atau institusi
Pemilukada di Kota Blitar yang didominasi
mampu
oleh sebagian kecil elit dan partai politik
mengidentifikasi
kelemahan
dan
dalam
mempunyai
Kota
penyelenggaraaan
Blitar.
pemenang
Pemilukada-baik karena tindakan secara sadar
persepsi bahwa Pemilukada di Kota Blitar
atau tidak sadar, misal karena kinerja pihak
minim
lain yang tidak optimal, tetapi sikap yang
“konsensus” bersama di antara aktor politik.
dipilih adalah pembiaran. Sebagian parpol
Selain
oposisi yang hadir dalam FGD menyebut
Pemilukada sudah dapat diketahui bahkan
terdapat upaya ‘main mata’ antara petahana
sebelum pemungutan suara dilakukan. Pada
dengan pasangan calon walikota lain, dan
akhirnya, meski terdapat pemungutan suara,
indikasi upaya transaksional oleh petahana
tetapi kontestasi yang terjadi adalah kontestasi
ketika
semu.
dukungan
calon
konflik
itu,
2014,
situasi
potensi persoalan dari masing-masing tahapan
pengumpulan
Pemilu
Tetapi,
karena
persepsi
memunculkan
sudah
bahwa
terdapat
pemenang
perseorangan, yang diikuti pembiaran oleh
Kedua, persepsi soal konflik disadari
KPUD dan Panwaslu. Pada akhirnya, pilihan
oleh banyak stakeholder terkait Pemilukada di
sikap mendiamkan, membiarkan dan ewuh
Kota Blitar, terutama oleh penyelenggara
pakewuh yang justru dipilih oleh parpol
pemilu dan partai politik. Tetapi persepsi yang
oposisi. Tujuannya adalah terciptanya titik
terkonstruksi di antara para aktor adalah
ekuilibrium dalam kehidupan sosial yang
bahwa potensi konflik dalam Pemilukada
lebih besar, yakni situasi yang harmonis dan
Kota
minim konflik.
kebutuhan jangka panjang, hal ini menjadikan
Blitar
2015
sangat
kecil.
Untuk
kota Blitar tidak mempunyai mekanisme
151
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
manajemen konflik yang baik, belum ada
Daftar Pustaka
early
konflik
Antaranews.com. 2015. Petahana Samanhudi-
Pemilukada. Padahal, kebutuhan terhadap
Santoso Menangi Pilkada Kota Blitar.
manajemen
pemilu,
Diakses di http://www.antaranews.
membutuhkan desain kelembagaan yang di
com/berita/535443/petahana-samanhu
antaranya berisi standar operasional dan
di-santoso-menangi-Pemilukada-kota-
interaksi
blitar pada 27 Desember 2015.
warning
system
konflik
tentang
dalam
kelembagaan.
Disamping
itu,
kebutuhan terhadap manajemen konflik dalam pemilu/Pemilukada, dibutuhkan karena aktor-
Budiardjo, M. (2003). Dasar-dasar ilmu politik. Gramedia pustaka utama.
aktor pada institusi penyelenggara pemilu
Blake, R. R., & Mouton, J. S. (1985). The
(pemerintahan dan keamanan) dapat berganti-
managerial grid III: The key to
ganti.
leadership excellence. Ketiga, model manajemen konflik
Cai, D., & Fink, E. (2002). Conflict style
pada Pemilukada di Kota Blitar lebih tepat
differences between individualists and
disebut sebagai ‘model pembiaran’ oleh
collectivists.
penyelenggara Pemilu, Pemerintah Daerah
Monographs, 69 (1), 67-87.
dan
pihak
kepolisian.
Pembiaran
Communication
ini
Clarke, P. A., & Foweraker, J. (2001).
berlindung di bawah dalih; di satu sisi,
Encyclopedia of democratic thought.
Pemerintah Daerah dan Kepolisian tidak
Taylor & Francis.
memiliki kewenangan intervensi atas proses
Fisher, Simon., et.al, 2000. Mengelola Konflik
Pemilukada, sementara di sisi lain KPUD dan
Ketrampilan
Panwaslu merasa tidak mendapatkan amanat
Bertindak, terj. S.N. Karikasari dkk.,
dari Undang-undang untuk mengemban peran
Jakarta:
sebagai mediator/inisiator pengelola konflik.
Responding to Conflict.
Model pembiaran ini semakin meneguhkan
dan
The
science
antara
institutionalisms.
politik
yang
sedang
berkuasa. Sehingga yang terjadi adalah, partai
British
Untuk
Council
Hall, P. A., & Taylor, R. C. (1996). Political
kesimpulan bahwa telah ada ‘konsensus’ actor-aktor
Strategi
and
the
three
Political
new studies,
44(5), 936-957.
politik dan elit berkuasa menjadi actor
Haris, S. (2005). Mengelola Potensi Konflik
dominan pengendali konflik, dengan tujuan
Pilkada, Kompas tanggal 10 Me
memuluskan
2005i.
strategi
pemenangan
mereka dalam Pemilukada Kota Blitar.
calon
Peters, B. G. (2011). Institutional theory in political
science:
institutionalism. Publishing USA.
152
the
new
Bloomsbury
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
Pruitt, D. G., & Rubin, J. Z. (2004). Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Somekh, B., & Lewin, C. (Eds.). (2011). Theory
and
methods
in
social
research. Sage. Suprapto, S. (2013). Revitalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Bagi Upaya Resolusi Konflik.
Walisongo:
Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan, 21(1), 19-38. Tempo.co. 2015. Pemilukada Sepi, Dua Calon Wali Kota Blitar Menolak Kampanye. Diakses di http://nasional. tempo.co/read/news/2015/09/02/0586 97350/Pemilukada-sepi-dua-calon-wa li-kota-di-blitar-menolak-kampanye pada 1 November 2015 Thomas, K. W. (1992). Conflict and conflict management: Reflections and update. Journal of organizational behavior, 13(3), 265-274. Urbaningrum,
A.
(1999).
Ranjau-ranjau
Reformasi; Potret Konflik Politik Pasca Kejatuhan Soeharto, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Wallensteen,
P.
(2006).
Understanding
Conflict Resolution: War, Peace and the Global System (Arabic edition). Wiradi,
G.
(2000).
Reforma
agraria:
perjalanan yang belum berakhir. Konsorsium
Pembaruan
Agraria,
Sajogyo Institute.
153