POST POWER SYNDROME OF THE RETIRED CIVIL SERVENT

Download post power syndrome, karena pada subjek 2 hubungan komunikasi subjek masih berjalan melalui telepon maupun .... memiliki derajat self-estee...

0 downloads 373 Views 1MB Size
POST POWER SYNDROME OF THE RETIRED CIVIL SERVENT Yuli Handayani, Dona Eka Putri, Psi, MPsi Undergraduate Program, Faculty of Psychology, 2008 Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id Key words: post power syndrome, retirement, civil servent ABSTRACT : Pensions are often regarded as an unpleasant thing that some people feel anxious because they do not know what kind of life to be faced later. The purpose of this research is to know the symptoms of Post Power Syndrome and determine the factors that cause a person experiencing Post Power Syndrome. To collect the data in-depth interviews and non-participant observation were employed in the study. The number of the subjects consisted of two people who have undergone pension for a minimum of six months. The finding of this study indicates that both subjects experience symptoms of post power syndrome. The physical symptoms in both subjects are the changes in vision, hearing, and sensory motor decline after retirement. Emotional symptoms in both subjects after retirement can be seen in subject 1. He feel stressed and sad because he was retired and could not do anything else, except that subjects also experienced a decline in self-esteem. In subject 2, the change is in the emotion. When the subject was confused, he keeps silence at home.

Judul

: Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang Mengalami Masa Pensiun

Nama/ NPM : Yuli Handayani/ 10503211 Pembimbing : Dona Eka Putri, Psi, MPsi ABSTRAK Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba, sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak. Memasuki masa pensiun memang tidak mudah. Terlebih lagi jika sebelumnya seseorang memiliki kedudukan atau jabatan, maka saat pensiun tiba, jabatan itu akan lenyap, oleh karena individu akan kehilangan identitas dan label. Hal ini akan sangat rentan bagi individu untuk mengalami goncangan ketika pensiun yang biasa dikenal sebagai post power syndrome. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gejala-gejala Post Power Syndrome, serta mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami Post Power Syndrome. Penelitian kualitatif diarahkan untuk menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview), dalam penelitian ini digunakan wawancara mendalam (in-depth interview) untuk menggali mengenai post power syndrome pada pegawai negeri sipil yang mengalami masa pensiun. Wawancara mendalam ini lebih seperti percakapan sehari-hari dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Teknik ini dapat berubah tergantung pada tingkatan wawancara yang telah terstruktur sebelumnya. Penelitian ini menggunakan Observasi non-partisipan. Observasi non-partisipan adalah peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi. Dalam penelitian ini, subjek berjumlah dua orang, dengan karakteristik subjek Pegawai negeri sipil yang telah mengalami wajib pensiun yang berusia 56 tahun ke atas, minimal telah menjalani pensiun selama enam bulan. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua subjek mengalami gejalagejala post power syndrome berupa gejala fisik pada kedua subjek mengalami perubahan pada penglihatan, pendengaran serta sensorik motorik yang menurun setelah pensiun. Gejala emosi, pada kedua subjek mengalami perubahan emosi setelah pensiun hal tersebut dapat dilihat pada subjek 1, subjek merasa stres dan sedih karena sudah pensiun sehingga tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain itu subjek juga mengalami penurunan harga diri. Pada subjek 2, perubahan emosi yang terjadi subjek merasa ruang geraknya terbatas, karena ketika pensiun subjek merasa bingung hanya berdiam diri di rumah. Selain itu terdapat pula perbedaan mengenai gejala perilaku dalam mengisi waktu senggang pada kedua subjek, melakukan hal yang berbeda. Pada subjek 2, subjek terlihat lebih aktif dalam mengisi waktu senggangnya apabila dibandingkan subjek 1 yang mengisi waktu senggangnya tidak diisi dengan kegitan yang dapat menyibukkan dirinya. Faktor-faktor penyebab post power syndrome pada kedua subjek, yaitu kehilangan jabatan yang berkaitan dengan kehilangan harga diri membuat subjek mengalami post power syndrome. Selain itu, pada faktor kehilangan hubungan eksklusif kedua subjek mengalami hal tersebut hal ini dapat dilihat setelah pensiun kpada subjek satu pada saat subjek bekerja subjek merasa bangga saat tergabung dengan kelompok kerjanya akan tetapi setelah pensiun, subjek tidak pernah lagi berhubungan dengan kelompok sprofesinya. Sedangkan pada subjek 2, subjek cenderung merasa kehilangan lingkungan intelektualitasnya, selain itu subjek merasa tidak dapat lagi mengembangkan potensi yang ada pada dirinya setelah pensiun. Faktor ketiga,

kehilangan kewibawaan dan perasaan berarti pada kedua subjek mengatakan pada usianya tidak mampu melakukan suatu pekerjaan, subjek ingin tetap dapat bekerja seperti waktu sebelum pensiun akan tetapi kondisi subjek sudah tidak mendukung. Kehilangan kontak sosial pada rekan kerja pada subjek 2, kehilangan kontak sosial bukan merupakan faktor penyebab post power syndrome, karena pada subjek 2 hubungan komunikasi subjek masih berjalan melalui telepon maupun SMS. Faktor yang terahkir kehilangan sebagian sumber penghasilan yang terkait dengan perubahan pola hidup yang dihadapai sesudah pensiun. Kata Kunci : post power syndrome, pegawai negeri sipil, masa pensiun A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Bekerja merupakan suatu aktivitas yang dilakukan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan bekerja individu dapat memperoleh kepuasan tersendiri, karena disamping mendatangkan uang dan fasilitas, juga dapat memberikan nilai dan kebanggaan tersendiri. Individu dapat berprestasi ataupun melakukan kebebasan menuangkan kreativitas. Dengan bekerja individu dapat menunjukkan produktivitas untuk membuktikan dirinya (Hutapea, 2005). Ketika individu mencapai suatu keberhasilan dalam pekerjaannya, individu akan berusaha mengaktualisasikan secara optimal, keterampilan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga memiliki posisi atau jabatan yang baik dalam tempatnya bekerja. Akan tetapi manakala suatu waktu, individu juga harus siap melepas jabatan tersebut. Apabila mengalami perubahan yang berk aitan d eng an pekerjaan, umumnya diawali ketika masa pensiun. Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba, sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi kelak (Rini, 2001). Memasuki masa pensiun memang tidak mudah. Terlebih lagi jika sebelumnya seseorang memiliki kedudukan atau jabatan, maka saat pensiun tiba, jabatan itu akan lenyap, oleh karena individu akan kehilangan identitas dan label (Dinsi, 2006). Menurut

penelitian Dinsi (2006) pihak yang paling takut menghadapi masa pensiun adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Para Pegawai Negeri Sipil yang telah habis masa purna tugasnya atau pensiun, mengalami mental shock (faktor kejiwaan). Menjelang akhir masa kerjanya, mereka tampak kurang beraktivitas dan sering sakit-sakitan. Mental shock ini terjadi, karena adanya ketakutan tentang apa yang harus dihadapi kelak, ketika masa pensiun tiba. Terasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya, karena pekerjaan dan jabatan yang selama ini dipegang, harus ditinggalkan. Kehilangan pekerjaan dan jabatan inilah yang membuat mereka stres, cemas dan depresi. Individu yang memasuki masa pensiun sering dianggap sebagai individu yang tuna karya (tidak dibutuhkan lagi tenaga dan pikirannya). Anggapan semacam ini membuat individu tidak bisa lagi menikmati masa pensiunnya dengan hidup santai dan ikhlas. Ketakutan menghadapi masa pensiun, membuat banyak orang mengalami problem serius baik dari sisi kejiwaan maupun fisik, terlebih individu yang memiliki ambisi yang besar serta sangat menginginkan posisi yang tinggi dalam pekerjaannya. Hal ini akan sangat rentan bagi individu untuk mengalami goncangan ketika pensiun yang biasa kita kenal sebagai post power syndrome (Dinsi, 2006).

Post power syndrome yaitu gej ala kejiwaan yang kurang stabil dan muncul tatkala seseorang turun dari jabatan yang dimiliki sebelumnya, ditandai dengan wajah yang tampak jauh lebih tua, pemurung, sakitsakitan, lemah mudah tersinggung, merasa tidak berharga, melakukan pola-pola kekerasan yang menunjukkan kemarahan baik dirumah maupun tempat lain (Rini, 2001). Post Power Syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lansia dan pensiun dari pekerjaannya, hanya saja banyak orang yang berhasil melalui fase ini d en g a n c e p a t d a n d a p at m e n e r ima kenyataan dengan hati yang lapang. Namun pada kasus-kasus tertentu, individu tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah dengan tuntutan hidup yang harus mendesak. Bila dirinya adalah satu-satunya penopang hidup keluarga, risiko terjadinya Post Power Syndrome yang berat semakin besar. Dukungan dan pengertian dari orangorang tercinta serta lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga sangat membantu dan kematangan emosi sangat berpengaruh pada terlewatinya Post Power Syndrome (Wardhani, 2006). Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini akan melihat Post Power Syndrome pada pegawai negeri sipil yang mengalami masa pensiun. 2. Pertanyaan Peneitian Pertanyaan yang ingin dikaji atau dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana gejala-gejala Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang mengalami masa pensiun, Mengapa seseorang mengalami Post Power Syndrome ketika pensiun. 3. Tujuan Peneitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gej ala-gej ala Post Power Syndrome, serta mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami Post Power Syndrome. 4. Manfaat Peneitian

1. Manfaat teoritis, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti pada perkembangan ilmu psikologi. Terutama pada psikologi perkembangan khususnya mengenai keadaan psikologis para pensiunan yang mengalami post power syndrome agar masa pensiunnya tidak diisi dengan sesuatu hal yang tidak menyenangkan. 2. Manfaat praktis, Diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa hasil kajian mengenai Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang mengalami masa pensiun. Serta dapat memberikan masukan bagi para pensiunan untuk dapat mempersiapkan diri menghadapi masa pensiunnya, karena semakin cepat mempersiapkan maka hasilnya akan semakin baik. B. Tinjauan Pustaka 1. Post power syndrome a. Pengertian Post power syndrome Post Power Syndrome adalah gejala kejiwaan yang kurang stabil yang muncul tatkala seseorang turun dari jabatan yang dipegang sebelumnya serta kekhawatiran memasuki masa tua dan persepsi yang menganggap diri semakin tua, merasa tidak dihargai, dan tidak power full lagi. Post power syndrome juga dapat terjadi. b. Gej ala-gej ala post power syndrome Dinsi (2006), membagi gejala-gejala post power syndrome ke dalam tiga tipe, yaitu: a. Gejala Fisik. Yaitu menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibandingkan pada waktu dia menjabat. Rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, menjadi pemurung, sakitsakitan, dan tubuhnya menjadi lemah, tidak bergairah. b. Gejala Emosi. Yaitu cepat tersinggung, merasa tidak b er h ar g a , in g in m e n ar ik d iri d ar i lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi, dan lain sebagainya.

c. Gejala Perilaku. Yaitu umumnya malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain. c. Faktor-faktor Penyebab Seseorang Mengalami Post Power Syndrome Menurut Turner & Helms (1983), terdapat beberapa faktor penyebab berkembangnya Post Power Syndrome pada diri seseorang yaitu : a. Kehilangan jabatan yaitu kehilangan harga diri karena hilangnya jabatan individu merasa kehilangan perasaan memiliki dan atau dimiliki, artinya dengan jabatan pula individu merasa menjadi bagian penting dari institusi. Dengan jabatan pula individu merasa lebih yakin atas dirinya, karena mendapat pengakuan atas kemampuannya. Selain itu, individu tersebut merasa puas akan kepemilikan kekuasaan yang terkait dengan jabatan yang diemban. Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa individu yang masih bekerja memiliki derajat self-esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sudah tidak bekerja lagi. Individu yang pensiun akan mengalami penurunan harga diri yang meliputi kehilangan perasaan diterima, diakui dan dihargai oleh keluarga, masyarakat, dan rekan sekerja. Selain itu juga muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu lagi melakukan segala sesuatu seperti pekerjaanya yang membuat tampak tidak berguna dan dibutuhkan lagi. Untuk itu dibutuhkan cara yang tepat agar individu tidak selalu merasakan kehilangan harga diri, misalnya dengan menyibukkan diri melalui aktifitas-aktifitas seperti terlibat dalam kegiatan sosial sebagai volunter (Papalia, 2002), atau memperdalam ibadah dan pegetahuannya dalam hal keagamaan untuk menjadi p e m u k a a g a ma y a n g d ih o rm a ti d i daerahnya.

b. Kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif, misalnya kelompok Perwira Tinggi, kelompok Komandan, kelompok Manager, dan lain-lain yang semula memberikan kebanggan tersendiri. Individu kadangkala mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial yang berarti bagi dirinya atau dibanggakannya. Dalam hal ini kelompok sosial bisa kelompok bisnis atau kelompok seprofesinya. Dengan terjadinya pensiun, maka individu kehilangan identitasnya tersebut sehinggaindividu harus mengkonstruksi dan mengevaluasi identitas dirinya menjadi identitas diri yang baru yang lebih rendah arti dan kebanggaan. c. Kehilangan kewibawaan atau kehilangan perasaan berarti dalam satu kelompok tertentu. Jabatan memberikan perasaan berarti yang menunjang peningkatan kepercayaan diri seseorang. Misalnya saja, kehilangan kewibawaan di depan anak buah atau lingkungan sekitar karena sudah tidak menjabat lagi. Pekerjaan yang dilakukan individu sebelum pensiun mungkin merupakan pekerjaan yang dapat menimbulkan kepuasan dan keberartian diri bagi individu. Dengan datangnya pensiun, berarti segala atribut yang dimilikinya harus ditanggalkan termasuk pekerjaan yang menimbulkan kepuasan tersebut, maka individu perlu menyiapkan kegiatan pengganti agar kehilangan tersebut tidak menjadi masalah. d. Kehilangan kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan, dengan jabatan yang jelas, maka seseorang memiliki kerangka pelaksanaan tugas yang jelas, yang berpengaruh terhadap kontak sosial pula. Pensiun tentunya menyebabkan individu kehilangan sebagian besar kelompok sosialnya. Pada individu sebagian besar waktunya habis di lingkungan pekerjaan maka kelompok sosial yang paling besar dimilikinya adalah teman-teman sejawatnya, bawahan, atasan, maupun klien-kliennya. Untuk mengatasi

kehilangan kontak sosial yang berorintasi pada pekerjaannya ini, maka individu harus mencari aktivitas-aktivitas dan orang-orang di lingkungannya yang baru sebagai sumber dukungan sosial baginya. e. Kehilangan sebagian sumber penghasilan yang terkait dengan jabatan yang pernah dipegang. Bagi sejumlah individu, tidak bekerja lagi berarti hilangnya sumber keuangan. Ha l in i mengak ibatkan berubahnya cara atau pola hidup individu dan keluarganya, yang sebelumnya hidup dengan berlebihan atau berkecukupan, kini harus bisa lebih hemat. d. Pensiun Pensiun adalah peran baru dalam hidup seseorang yang berhenti dari pekerjaan formal dan tidak bekerja lagi serta mengalami perubahan ekonomi berupa pendapatan yang jauh berkurang dari sebelumnya. Dibutuhkan aspek kesiapan mental dalam menghadapi perubahan sosial serta membutuhkan penerimaan diri yang baik, sehingga tidak menimbulkan depresi, frustasi dan stres pada diri individu (Turner & Helms, 1983). e. Masalah yang Terjadi Pada Masa Pensiun Menurut Hutapea (2005) saat memasuki masa pensiun seseorang akan mengalami berbagai masalah, diantaranya mengenai kepuasan kerja dan pekerjaan, usia, kesehatan, dan status sosial sebelum pensiun. Berikut ini penjelasan mengenai masalah tersebut : a. Kepuasan Kerja dan Pekerjaan Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri karena disamping mendatangkan uang dan fasilitas, dapat juga memberikan nilai dan kebanggan pada diri sendiri (karena berprestasi atau pun kebebasan menuangkan kreativitas). Pekerjaan juga dapat memberikan pendapatan, prestise, wewenang, dan otonomi yang diharapkan para pekerja. Menurut Erikson (dalam Hurlock, 1980) pada usia kerja terjadi pada usia madya (5 5-65) seseorang memasuki masa berprestasi dimana selama usia ini, orang

akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi. Apalagi orang berusia madya mempunyai kemauan yang kuat untuk berhasil, mereka akan mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil dari masa-masa persiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya. b. Usia Banyak orang yang takut menghadapi masa tua karena asumsinya jika sudah tua, fisik pun akan makin melemah, makin banyak penyakit, cepat lupa, penampilan tidak menarik dan makin banyak hambatan lain yang membuat hidup makin terbatas. Pensiun sering diidentikkan dengan tanda seseorang memasuki masa tua. Banyak orang mempersepsi secara negatif dengan menganggap bahwa pensiun itu merupakan pertanda dirinya sudah tidak berguna lagi dan tidak dibutuhkan karena usia tua dan produktivitas menurun sehingga tidak menguntungkan lagi bagi perusahaan atau organisasi tempat mereka bekerja. c. Kesehatan Beberapa orang peneliti menemukan bahwa kesehatan mental dan fisik merupakan prakondisi yang mendukung keberhasilan seseorang beradaptasi terhadap perubahan hidup yang disebabkan oleh pensiun. Hal itu masih ditambah dengan persepsi orang tersebut terhadap penyakit atau kondisi fisiknya. Jika ia menganggap bahwa kondisi fisik atau penyakitnya sebagai hambatan besar dan bersikap pesimistik terhadap hidup, sehingga ia akan mengalami masa pensiun dengan penuh kesukaran. Menurut hasil penelitian, pensiun tidak menyebabkan orang menjadi cepat tua dan sakit-sakitan, karena justru berpotensi meningkatkan kesehatan karena mereka semakin bisa mengatur waktu untuk berolah tubuh. Persepsi seseorang tentang bagaimana ia akan nenyesuaikan diri dengan masa pensiunnya. Hal ini erat kaitannya dengan rencana persiapan yang

dibuat jauh sebelum pensiun (termasuk pola atau gaya hidup yang dilakukan) akan memberi kepuasan dan rasa percaya diri pada individu yang bersangkutan. d. Status Sosial Sebelum Pensiun Status sosial berpengaruh terhadap kemampuan seseorang menghadapi masa p e n s iu n n y a . J ik a s e m a s a k e r j a ia mempunyai status sosial tertentu sebagai hasil dari prestasi kerja keras (sehingga mendapatkan penghargaan dari masyarakat dan organisasi), ia pun cenderung lebih memiliki kemapuan adaptasi yang lebih baik (karena konsep diri yang positif dan social network yang baik). Namun, jika status sosial itu didapat bukan murni dari hasil jerih payah prestasinya(misalnya lebih karena politis dan uang atau harta ) orang itu justru cenderung mengalami kesulitan saat menghadapi pensiun karena begitu pensiun, kebanggaan dirinya lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang menempel pada dirinya selama ia bekerja. C. Metode Penelitian 1. Pendekatan Kualitatif Sesuai dengan latar belakang masalah penelitian, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengetahui bagaimana post power syndrome pada pegawai negeri sipil yang mengalami masa pensiun. Patton (dalam Poerwandari, 1998) menyatakan bahwa penelitian kualitatif dan kuantitatif merupakan dua pandangan yang berbeda yang harus dipilih bukan karena salah satunya baik, melainkan karena pendekatan yang dipilih memang sesuai dengan masalah penelitian dan paling baik untuk menjawab masalah tersebut. Perbedaan metode kualitatif dengan kuantitatif terletak pada keluasan cakupan (breath) dan kedalaman (depth). Penelitian kuantitatif menuntut digunakannya pendekatan yang terstandarisasi, sehingga pengalaman-pengalaman manusia dibatasi pada kategori tertentu, sedangkan penelitian kualitatif memungkinkan peneliti mempelajari isu-isu tertentu secara

mendalam dan mendetail karena pengumpulan data tidak dibatasi pada kategori-kategori tertentu saja. 2. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, subjek yang diteliti berjumlah dua orang, dengan karakteristik subjek sebagai berikut :Pegawai negeri sipil yang telah mengalami wajib pensiun yang berusia 56 dan 60 tahun.Minimal telah menjalani pensiun selama enam bulan, karena menurut Valentino, (2006) merupakan hal yang wajar apabila seseorang mengalami Post Power Syndrome minimal enam bulan lamanya setelah pensiun. 3. Tahap-tahap Penelitian a. Tahap Persiapan, Pedoman wawancara yang dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai post power syndrome pada pegawai negeri sipil yang mengalami masa pensiun, sehingga pertanyaan yang diajukan relevan dengan masalah penelitian. Kemudian pedoman wawancara dikonsultasikan dengan dosen pembimbing sebagai expert judgement (penilaian ahli) untuk mendapatkan masukan apakah pertanyaan yang diajukan sudah dapat menggali informasi yang ingin diperoleh dari penelitian dan feedback (umpan balik). b. Tahap pelaksanaan, Sebelum dilakukan pengumpulan data, peneliti menghubungi dan membuat janji dengan subjek terlebih dahulu untuk melakukan wawancara. Setelah bertemu dengan subjek, peneliti memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari penelitian, serta meminta izin kepada subjek untuk menggunakan alat perekam saat mengajukan pertanyaan dan

segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang akan diteliti. Saat pelaksanaan, peneliti melakukan observasi, mencatat dan merekam semua jawaban yang diberikan oleh subjek. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara dengan significant other untuk mengecek agar data yang diperoleh berasal dari berbagai sumber. Setelah peneliti melakukan wawancara dan observasi, peneliti menganalisis data yang ada kemudian menulis laporannya. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan tipe wawancara mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam ini lebih seperti percakapan sehari-hari d i b a n d in g k a n d e n g a n w a w a n c a r a terstruktur. Tehnik ini dapat berubah tergantung pada tingkatan wawancara yang telah terstruktur. Teknik ini dapat berubah tergantung pada tingkatan wawancara yang telah terstruktur sebelumnya. Penelitian ini menggunakan Observasi non-partisipan. Observasi non-partisipan adalah peneliti berada diluar subjek yang diamati dan tidak ikut dalam kegiatankegiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian peneliti akan lebih leluasa mengamati kemunculan tingkah laku yang terjadi (Sukandarrumidi, 2004). 5. Alat Bantu Pengumpul Data Dalam penelitian, informasi atau data yang dibutuhkan bisa dalam bentuk verbal dan non verbal. Oleh sebab itu dalam melakukan observasi dan wawancara peneliti memerlukan beberapa alat bantu yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mempermudah proses jalannya suatu penelitian. Beberapa sarana atau instrumen yang digunakan adalah menggunakan media perekam suara, catatan atau tulisan tangan, pedoman wawancara, dan pedoman observasi. 6. Keakuratan Penelitian Untuk mencapai keakuratan dalam suatu penelitian dengan metode kualitatif, ada beberapa teknik yang digunakan dan salah satu teknik tersebut adalah triangulasi. Triangulasi adalah suatu teknik

pemeriksaan keakuratan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi dapat dibedakan menjadi emapat macam yaitu triangulasi data, pengamat, teori, dan metodologis. 7. Teknik Analisa Data Data yang diperoleh akan di analisa dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif. Adapun tahapan tersebut adalah mengorganisasikan data, mengelompokkan data, analisis kasus, dan menguji asumsi. D. Hasil Dan Analisis. 1. Hasil Observasi dan Wawancara a. Gambaran Umum Subjek Subjek satu adalah seorang pensiunan perhubungan laut. Saat ini subjek berusia 59 tahun, subjek mempunyai tubuh yang kurus, berkulit cokelat, rambut yang sudah beruban, mata yang kecil, serta terlihat kulit subjek yang mulai mengeriput dan kendor. Subjek mempunyai hidung yang mancung, bibir yang tebal serta susunan gigi yang kurang rapih. Pada observasi pertama subjek memakai kaos berwarna kuning yang warnanya pudar dan celana training berwarna hitam, serta subjek juga memakai kacamata yang berframe hitam. Sedangkan pada observasi kedua, subjek memakai kemeja tangan panjang berwarna dasar putih dilengkapi garis-garis tipis berwarna biru, subjek juga mengenakan celana bahan berwarna abu- abu. Ketika observasi ketiga dilakukan subjek memakai kaos oblong berwarna putih dan celana bahan berwarna hitam. Pada saat peneliti datang pertama kali ke rumah subjek untuk observasi, subjek masih terlihat enggan untuk berbicara. Peneliti memulai pembicaraan dengan menanyakan subjek dulu pensiunan darimana, dari awal situlah subjek mulai berbicara mengenai masalahnya setelah pensiun, walaupun sesekali subjek berpangku tangan sambil memandang lurus

ke depan apabila peneliti menanyakan tentang masa pensiun, terkadang sesekali memutar bola matanya. Subjek dua mempunyai tubuh aga gemuk, berkulit putih, rambut yang beruban. Mata yang terlihat aga sipit karena kelopak mata subjek yang mulai menurun dan kendur. Serta kulit subjek yang mulai mengeriput. Selain itu subjek memiliki hidung yang mancung, bibir yang tipis dan susunan gigi yang rapih. Pada saat wawancara subjek menjawab dengan baik setiap pertanyaan yang peneliti ajukan. Subjek terlihat santai menjawab pertanyaan. Hal ini dilihat saat subjek menjawab pertanyaan peneliti, subjek selalu mengarahkan pandangannya ke arah peneliti. Walaupun terkadang sesekali subjek menyandarkan tubuhnya serta menyilangkan kaki, ketika peneliti menanyakan masalah serta perubahan yang terjadi setelah pensiun. b. Pembahasan 1) Bagaimana gejala-gejala Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang mengalami masa pensiun ? Gejala fisik post power syndrome pada kasus kedua subjek, diantara kedua subjek mengalami perubahan pada kekuatan fisiknya akibat pensiun, dengan perubahan itu subjek 1 merasakan semangatnya untuk beraktifitas berkurang. Pada subjek 2, semangatnya untuk beraktifitas itu tetap ada, tetapi kekuatan fisik subjek tidak mendukung sehingga banyak aktifitas yang tidak mampu subjek lakukan. Selain kekuatan fisik yang menurun pada subjek 1 juga mengalami penurunan pada penglihatan, pendengaran, serta sensosik motoriknya. Pada subjek 2, penglihatan dan pendengarannya juga menurun apabila dibandingkan saat sebelum pensiun. Penglihatan subjek yang dirasakan berkurang setelah pensiun, sehingga subjek tidak berani untuk keluar rumah apabila tidak didampingi oleh seorang teman, selain itu subjek juga merasakan penyakit yang muncul setelah pensiun, seperti

reumatik selain itu subjek juga memiliki riwayat penyakit yaitu asma, penyakit subjek ini lebih dirasakan setelah pensiun. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Dinsi, (2006) seseorang yang mengalami post power syndrome, gejala fisiknya akan semakin lemah, menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibandingkan pada waktu dia menjabat. Rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, menjadi pemurung, sakit-sakitan, dan tubuhnya menjadi lemah, tidak bergairah. Makin banyak penyakit, cepat lupa dan makin banyak hambatan lain yang membuat hidup semakin terbatas. Sehingga dampak yang lebih jauh adalah akan mudah terserang penyakit. Hal seperti ini juga akan membawa dampak yaitu tidak mau menghadapi kenyataan bahwa dirinya harus pensiun akan membawa masalah serius seperti halnya post-power syndrome dan depresi, Hutapea (2005). Gejala emosi.Pada kasus antara subjek 1 dan subjek 2 adanya kesamaan mengenai gejala emosi. Pada kedua subjek mengalami perubahan emosi setelah pensiun. Pada subjek 1, subjek merasa lebih emosi karena subjek berada di rumah setiap hari, sehingga mengetahui semua permasalahan yang ada di rumah dalam hal ini mengenai permasalahan anak-anak karena subjek menjaga anak-anak di rumah karena istri subjek bekerja. Seperti yang dikatakan Hadgestad (dalam Santrock 1995), pria cenderung menolak untuk melakukan pekerjaan rumah tangga karena sebelumnya tugas mereka adalah sebagai penari nafkah, yang sebagian besar waktunya habis di luar rumah, sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anak. Hal ini tentu menyebabkan mereka merasa jenuh di masa pensiunnya. Selain itu, subjek juga terkadang mengalami beda pendapat dengan istri subjek, subjek juga mengatakan pernah

tersinggung dengan kata-kata istri subjek. Dinsi, (2006 ) mengatakan pria yang baru pensiun cenderung lebih banyak mengalami konflik perkawinan dibandingkan dengan kondisi sebelum pensiun. Pria yang baru pensiun namun istrinya masih bekerja, cenderung mengalami konflik perkawinan lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang sama-sama baru pensiun, namun istrinya tidak bekerja. Dalam hal ini pada kasus subjek 1, istri subjek masih bekerja. Sedangkan pada subjek 2, subjek dengan suaminya sudah sama-sama pensiun. Subjek 1, merasa stres dan sedih karena subjek tidak dapat berbuat apa-apa lagi dan tidak dapat mencari pekerjaan. Selain itu pada subjek 1, subjek juga mengalami penurunan harga diri karena subjek sudah pensiun. Subjek merasa orang-orang di lingkungan sekitar subjek kurang menghormati subjek setelah pensiun ini. Karena apabila ada tetangga subjek yang melewati rumahnya, tetangga subjek tidak menegur. Masa pensiun, sering membuat orang merasa cemas, stres dan depresi. Mereka merasa dirinya tidak berguna lagi, apalagi bila orang-orang yang ditemuinya tidak lagi bersikap hormat dan sopan kepadanya, Dinsi (2006). Hal ini juga dikuatkan oleh Hema (2003) antara pria dan wanita, laki-laki lebih rentan terhadap Post Power Syndrome karena pada wanita umumnya lebih menghargai relasi daripada prestise, prestise dan kekuasaan itu lebih dihargai oleh laki-laki. Pernyataan Powel (1983) bahwa sejauh mana kesiapan individu dalam membuat perencanaan sebelumnya akan membantunya mengurangi stres akibat ketidaksiapan dirinya menghadapi pensiun. Pada kasus subjek 1, subjek tidak melakukan persiapan sebelum pensiun, subjek hanya membuka usaha warung setelah pensiun itupun atas dasar ide istri subjek, karena melihat subjek pada saat itu tidak memiliki aktifitas. Pada subjek 2, subjek merasakan hidupnya saat itu hanya melihat dinding rumah saja. Ruang gerak subjek menjadi terbatas, karena ketika

pensiun subjek merasa bingung hanya berdiam diri di rumah. Samhuri (2005) menambahkan orang yang pensiun akan merasa kecewa dengan kehidupan barunya. Orang yang pensiun kemungkinan akan menjadi pendiam, menyendiri dan miskin aktifitas. Sehingga ia akan merasa dirinya ditolak, dan tidak dihargai. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedua subjek mengalami gejala post power syndrome yaitu gejala emosi, pada kedua subjek mengalami perubahan emosi setelah pensiun hal tersebut dapat dilihat dari pada subjek 1, subjek merasa stres dan sedih karena sudah pensiun sehingga tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain itu subjek juga mengalami penurunan harga diri. Pada subjek 2, perubahan emosi yang terjadi subjek merasa ruang geraknya terbatas, karena ketika pensiun subjek merasa bingung hanya berdiam diri di rumah. Gejala perilaku.Pada kasus subjek 1 dan subjek 2 mengenai gejala perilaku. Subjek 1 dan subjek 2 mengalami perubahan perilaku setelah pensiun. Subjek 1 setelah pensiun lebih banyak berada di rumah dengan menonton TV dan waktu senggangnya diisi dengan tidur siang. Aktifitas baru yang dikerjakan setelah pensiun pada subjek 1, yaitu membuka usaha warung, tetapi usaha warung tersebut tidak dikelola dengan baik karena subjek mengatakan usahanya tersebut dibuat atas ide istri subjek untuk mengisi waktu subjek setelah pensiun. Pada kasus subjek 1, kemungkinan subjek memiliki tipe kepribadian mandiri yang c e n d e r u n g m e n g a l a m i p o s t p o w er syndrome. Hal ini dikarenakan pada masa pensiun tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberi kesibukan pada dirinya hutapea (2005). Hal ini dapat dilihat dengan kegiatan subjek yaitu subjek mengatakan warungnya hanya sambilan saja, kegiatan warung ini dibawa santai, warungnya tersebut dibuka dengan sekehendak hati subjek.

Pada kasus subjek 2, waktu senggangnya diisi dengan membaca. Selain itu subjek juga tidak berminat untuk keluar karena subjek merasa bingung apabila hendak keluar rumah karena subjek sudah tidak bekerja lagi. Karena saat bekerja dahulu subjek mempunyai tujuan yang jelas yaitu bekerja. Akan tetapi setelah pensiun subjek berada di rumah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hurlock (1980) berpendapat bahwa pensiun adalah suatu periode di mana seseorang harus berhenti dari pekerjaannya pada usia tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Secara personal, datangnya masa pensiun bisa diasosiasikan sebagai hilangnya aktivitas utama yang telah lama ditekuni yaitu pekerjaan. Dalam hal ini subjek 2 merasakan hal tersebut. Selain itu Santrock (1995), mengatakan masa pensiun pada wanita diisi dengan kegiatan yang lebih berorintasi pada kegiatan sosial yang melibatkan banyak orang. Selain itu memiliki kegiatan pengganti yang cukup menyibukkan, yaitu mengerjakan pekerjaan rumah tangga atau terlibat ikut mengasuh cucu-cucunya. Hal ini juga dilakukan subjek 2 dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga setelah pensiun ini, akan tetapi mengasuh cucu tidak dilakukan subjek, karena anak subjek belum ada yang berkeluarga. Pada subjek 2, setelah pensiun subjek juga mengikuti pengajian dan kegiatan PKK. Sedangkan pada subjek 1, subjek juga mengikuti kegiatan pengajian setelah pensiun. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam mengisi waktu senggang pada kedua subjek, melakukan hal yang berbeda. Pada subjek 2, subjek terlihat lebih aktif dalam mengisi waktu senggangnya apabila dibandingkan subjek 1 yang mengisi waktu senggangnya tidak diisi dengan kegitan yang dapat menyibukkan dirinya. Untuk itu dibutuhkan cara yang tepat agar individu tidak selalu merasakan kehilangan harga diri, misalnya dengan menyibukkan diri melalui aktifitasaktifitas seperti terlibat dalam kegiatan

sosial sebagai volunter (Papalia, 2002), atau memperdalam ibadah dan pegetahuannya dalam hal keagamaan untuk menjadi pemuka agama yang dihormati di daerahnya. Berdiam diri atau membiarkan diri menganggur dan melamun hanya membangkitkan emosi dan pikiran negatif saja. Menghilangkan kesepian dengan melibatkan diri pada orang-orang terdekat cara yang dapat dilakukan untuk mengisi waktu luang (Hutapea, 2005). Berdasarkan gejala-gejala post power syndrome yang dialami oleh kedua subjek maka dapat ditarik kesimpulan bahwa post power syndrome yang dialami oleh subjek 1 lebih tinggi dibandingkan dengan subjek 2. Hal ini dapat dilihat berdasarkan gej ala-gej ala yang dialami subjek 1 yaitu dalam gejala emosi dan perilaku. Subjek mengalami perubahan emosi setelah pensiun, dengan perubahan emosi ini membuat subjek terkadang mengalami konflik dengan istri, subjek merasa kurang dihormati karena subjek telah pensiun sedangkan istri subjek masih bekerja. Subjek juga merasa lebih emosi karena berada di rumah setiap hari, subjek merasa anak-anak sering membuat kesalahan. Pada subjek 2, hubungan subjek dengan suami cenderung baik-baik saja, karena subjek dan suaminya sudah samasama pensiun. Mengenai gejala perilaku pada subjek 1, masa pensiun subjek lebih banyak diisi dengan menghabiskan waktunya untuk menonton TV dan tidur siang seharian. Pada subjek 2, subjek mengisi hari-harinya dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Masa pensiun subjek 1 tidak diisi dengan kegiatan yang dapat menyibukkan dirinya dengan d e m ik ia n su b jek ce n d e r u n g le b ih mengalami gejala perilaku post power syndrome. 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan seseorang mengalami Post Power Syndrome ?

a. Kehilangan jabatan Pada kasus subjek 1 dan subjek 2, pada kedua subjek merasakan kehilangan kegiatan atau rutinitas pekerjaannya yang tidak dilakukannya lagi karena sudah pensiun. Selain itu, subjek merasa tidak mampu lagi untuk bekerja, karena sudah pensiun. Subjek 1 merasa tidak dapat m e m b e r i k a n m a n f a at , s u b j e k j u g a merasakan perubahan sikap dari lingkungan maupun keluarga. Sebagai contoh apabila ada tetangga subjek yang lewat tidak menegur subjek sedangkan dalam keluarga anak-anak dan istri terkadang protes karena subjek sudah pensiun. Individu yang pensiun akan mengalami penurunan harga diri yang meliputi kehilangan perasaan diterima, diakui dan dihargai oleh keluarga, masyarakat, dan rekan sekerja. Selain itu juga muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu lagi melakukan segala sesuatu seperti pekerjaanya yang membuat tampak tidak berguna dan dibutuhkan lagi (Turner & Helms, 1983). Untuk itu dibutuhkan cara yang tepat agar individu tidak selalu merasakan kehilangan harga diri, misalnya dengan menyibukkan diri melalui aktifitasaktifitas seperti terlibat dalam kegiatan sosial sebagai volunter (Papalia, 2002), atau memperdalam ibadah dan pengetahuannya dalam hal keagamaan untuk menjadi pemuka agama yang dihormati di daerahnya. Pada subjek 2, subjek merasa ingin tetap dapat berkreasi dan bekerja, tetapi dengan melihat situasi dan kondisi saat itu, sudah waktunya subjek untuk pensiun. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hurlock (1980) bahwa pensiun adalah suatu periode di mana seseorang harus berhenti dari pekerjaannya pada usia tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan tempatnya bekerja, tanpa mempertimbangkan apakah dirinya senang atau tidak, sehingga mendesak pekerja usia lanjut berhenti bekerja untuk memberikan kesempatan bagi pekerja yang lebih muda. Secara personal, datangnya masa pensiun bisa diasosiasikan sebagai hilangnya aktivitas

utama yang telah lama ditekuni yaitu pekerjaan. Super (1985) juga mengatakan bahwa pensiun sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bekerja lagi secara formal dan menuntut individu untuk menyesuaikan diri terhadap berkurangnya karier dalam hal ini subjek ingin tetap dapat berkreasi dan bekerja, tetapi dengan melihat situasi dan kondisi saat itu subjek harus pensiun selain itu subjek juga harus mendefinisikan arti dirinya.Pada subjek 2, subjek merasa terganggu apabila ada seseorang yang membicarakan masalah negara, karena subjek mengetahui betul hal yang terjadi sebenarnya bukan seperti yang orang-orang bicarakan. Sehingga subjek terkadang ingin memberikan pendapatnya, akan tetapi subjek menyadari bahwa dirinya telah pensiun. Kehilangan jabatan yaitu kehilangan harga diri karena hilangnya jabatan individu merasa kehilangan perasaan memiliki dan atau dimiliki, artinya dengan jabatan pula individu merasa menjadi bagian penting dari institusi. Dengan jabatan pula individu merasa lebih yakin atas dirinya, karena mendapat pengakuan atas kemampuannya. Selain itu, individu tersebut merasa puas akan kepemilikan kekuasaan yang terkait dengan jabatan yang diemban, hal ini dirasakan oleh subjek terkait dengan saat subjek masih bekerja dahulu (Turner & Helms, 1983). b. Kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif. Pada kasus subjek 1 saat subjek bekerja subjek merasa bangga saat tergabung dengan kelompok kerjaannya. Tetapi setelah pensiun, subjek tidak pernah lagi berhubungan dengan kelompok sprofesinya dahulu. Pada subjek 2, setelah pensiun subjek merasa kehilangan lingkungan intelektualitasnya, selain itu subjek juga merasa tidak dapat lagi mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Individu kadangkala mengidentifikasikan dirinya atau dibanggakan. Dalam hal ini kelompok

sosial bisa kelompok bisnis atau kelompok seprofesinya. Kelompok ini bisa dijadikan individu sebagai identitas dirinya. Dengan terjadiny a pensiun, maka ind ividu kehilangan identitasnya tersebut sehingga individu harus mengkonstruksi dan mengevaluasi identitas dirinya menjadi identitas diri yang baru yang lebih rendah arti dan kebanggaan (Turner & Helms, 1983). Super (1985) juga menambahkan bahwa setelah pensiun seseorang akan menutut individu menyesuaikan diri t e r h a d a p b er k u r a n g n y a k a r i e r d a n mendefinisikan arti dirinya terkait dengan jabatan yang pernah di pegang sebelumnya. Samhuri (2005) juga mengatakan orang yang pensiun akan merasa kecewa dengan kehidupan barunya yaitu kehilangan status, dan merasa kehilangan diri yang penting, perasaan dibutuhkan lagi, hal ini akan segera menimbulkan depresi. c. Kehilangan kewibawaan dan perasaan berarti. Subjek 1 dan subjek 2 mengatakan setelah pensiun subjek merasakan kehilangan pekerjaan yang dahulu di kerjakannya. S e l a i n i tu , p a d a s u b j e k 2 , s u b j e k mengatakan pada usianya tidak mampu melakukan sesuatu pekerjaan. Subjek ingin tetap dapat bekerja seperti waktu sebelum pensiun akan tetapi keadan fisik subjek sudah tidak mendukung. Subjek 1 dan subjek 2 juga mengatakan setelah pensiun ini, subjek jarang berkunjung ke kantor atau bahkan tidak pernah. Pada subjek 1, subjek merasa menjadi orang asing apabila subjek datang ke tempatnya bekerja, sedangkan pada kasus subjek 2 mengatakan rekan seangkatannya sudah tidak bekerja lagi di kantor tersebut, sehingga subjek tidak pernah datang ke kantor. Samhuri (2005) mengatakan masa pensiun merupakan masa bulan madu kedua, akan tetapi masa pensiun juga akan mengalami kehilangan teman sejawat, merasa diri tidak dihargai dan ditolak apabila seseorang menghadapi masa pensiun dengan sikap masa bodoh dengan menganggap biasa saja dan mereka tidak

mempersiapkan dengan hati-hati. Maka hal tersebut akan dirasakan oleh sebagian pensiunan. Selain itu, jabatan memberikan perasan berarti yang menunjang peningkatan kepercayaan diri seseorang. Misalnya saja, kehilangan kewibawaan di depan anak buah atau lingkungan sekitar karena sudah tidak menjabat lagi. Pekerjaan yang dilakukan individu sebelum pensiun mungkin merupakan pekerjaan yang dapat menimbulkan kepuasan dan keberartian diri bagi individu. Dengan datangnya pensiun, berarti segala atribut yang dimilikinya harus ditanggalkan termasuk pekerjaan yang menimbulkan kepuasan tersebut, maka individu perlu menyiapkan kegiatan pengganti agar kehilangan tersebut tidak menjadi masalah (Turner & Helms, 1983). d. Kehilangan kontak sosial pada rekan kerja. Faktor keempat, pada kasus 1 dan kasus 2 adanya perbedaan. Pada kasus subjek 1 mengenai faktor penyebab post power syndrome yaitu kehilangan kontak sosial pada rekan kerja, subjek mengatakan tidak pernah berhubungan dengan temantemannya. Komunikasi subjek dengan teman-teman di kantor juga sudah tidak berjalan lagi. Jabatan yang jelas maka seseorang akan memiliki kerangka pelaksanaan tugas yang jelas, yang berpengaruh terhadap kontak sosial pula. Pensiun tentunya menyebabkan individu kehilangan sebagian besar kelompok sosialnya. Pada individu sebagian besar waktunya habis di lingkungan pekerjaan maka kelompok sosial yang paling besar dimilikinya adalah teman-teman sejawatnya, bawahan, atasan, maupun klien-kliennya. Untuk mengatasi kehilangan kontak sosial yang berorintasi pada pekerjaannya ini, maka individu harus mencari aktivitas-aktivitas dan orang-orang di lingkungannya yang baru sebagai sumber dukungan sosial baginya (Turner & Helms, 1983). Selain itu Dinsi, (2006) juga

mengungkapkan mereka yang habishabisan dalam bekerja, sehingga mengabaikan sosialisasi dengan sesamanya. Akibatnya, pada saat pensiun, mereka merasa kehilangan harga diri dan kesepian, karena tidak memiliki teman-teman. Sedangkan pada subjek 2 kehilangan kontak sosial bukan merupakan faktor penyebab post power syndrome, karena pada subjek 2 hubungan komunikasi subjek masih berjalan melalui telepon maupun SMS. e. Kehilangan sebagian sumber penghasilan. Pada kasus subjek 1 mengenai faktorfaktor penyebab, post power syndrome yaitu kehilangan sebagian sumber penghasilan. Setelah pensiun, subjek 1 merasakan berkurangnya penghasilan selain itu terjadi perubahan pola hidup keluarga. Dengan perubahan pola hidup tersebut subjek mendapat protes dari istri dan anak subjek. Pada kasus subjek 2, setelah pensiun subjek merasakan pemasukan gajinya berkurang subjek hanya menerima tigaperempat dari gajinya saja. Perubahan juga terjadi pada pola hidup keluarga subjek menjadi lebih hemat. Tetapi, dengan perubahan tersebut keluarga subjek menerimanya terutama anak-anak subjek tidak banyak menuntut. Karena subjek selalu menanamkan apabila menginginkan sesuatu harus berusaha terlebih dahulu. Kehilangan sebagian sumber penghasilan yang terkait dengan jabatan yang pernah dipegang. Bagi sejumlah individu, tidak bekerja lagi berarti hilangnya sumber keuangan. Hal in i mengak ibatkan berubahnya cara atau pola hidup individu dan keluarganya, yang sebelumnya hidup dengan berlebihan atau berkecukupan, kini harus bisa lebih hemat. Individu juga harus mempersiapkan aktivitas atau usaha-usaha tertentu yang dapat mengkompensasikan kekurangan yang dialami (Turner & Helms, 1983). Pada subjek satu setelah pensiun yang menjadi sumber perekonomian keluarga yaitu subjek dan istrinya, selain itu melalui

tambahan penghasilan warung dan dana pensiun. Setelah pensiun yang menjadi sumber perekonomian keluarga subjek dan suaminya, juga melalui bantuan anak-anak subjek yang sudah bekerja, serta subjek memiliki tabungan pensiun. Dalam melakukan persiapan pensiun itu dapat dilakukan dengan merencanakan dana pensiun yang dimiliki, sebagai kebutuhan mendasar yang menunjang kelangsungan hidup dimasa pensiun dan untuk mengantisipasi masalah besar yang akan terjadi dikemudian hari dalam hal ini berkurangnya pendapatan rutin (Hutapea, 2005). Individu juga harus mempersiapkan aktivitas atau usaha-usaha tertentu yang dapat mengkompensasikan kekurangan yang dialami (Turner & Helms, 1983). Berdasarkan penjelasan mengenai faktorfaktor penyebab post power syndrome, maka dapat ditarik kesimpulan subjek 1 cenderung lebih merasakannya karena subjek masih memiliki 2 orang putri yang masih sekolah dan menjadi tanggung jawab subjek. Pada subjek 2, kedua anak subjek sudah bekerja. Dalam hal perekonomian, pada subjek 1 posisi subjek sebagai kepala keluarga, maka setelah pensiun post power syndrome cenderung lebih dirasakan, sedangkan pada subjek 2 subjek sebagai istri yang berfungsi membantu perekonomian di belakang kepala keluarga. Individu yang merupakan penopang hidup keluarga risiko terjadinya post power syndrome yang berat semakin besar (Wardhani, 2006). Faktor internal kemungkinan juga dapat menyebabkan post power syndrome. Pada subjek 1, subjek cederung memiliki pribadi yang tertutup, apabila subjek mengalami masalah subjek cenderung menampung masalahnya sendiri dari pada membicarakannya ke orang lain. Istri subjek pun cenderung kurang mengerti masalah yang subjek rasakan setelah pensiun. Beberapa kasus post power syndrome terjadi lebih parah bagi individu yang memiliki pribadi-pribadi yang

introvert (tertutup) terjadi psikosomatis dimana sakit yang disebabkan beban emosi tidak dapat tersalurkan (Hema, 2003). Pada subjek 2, subjek menjalin komunikasi yang baik dengan suami subjek, terkadang subjek pun bertukar pikiran dengan kakak subjek yang tinggal di depan rumah karena mereka sama-sama pensiunan PNS. E. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa kedua subjek memiliki gejala-gej ala post power syndrome yaitu : a. Gejala fisik. Pada kedua subjek mengalami gejala-gej ala post power syndrome berupa gejala fisik, yaitu kedua subjek mengalami penurunan kekuatan fisik setelah pensiun, selain itu kedua subjek juga mengalami perubahan pada, pendengaran serta sensorik motorik yang menurun setelah pensiun. b. Gejala emosi. Kedua subjek mengalami gejala post power syndrome berupa gejala emosi, pada kedua subjek mengalami perubahan emosi setelah pensiun. Pada subjek satu perubahan emosi yang terjadi yaitu, setelah pensiun subjek merasa sedih dan stress karena tidak dapat berbuat apaapa lagi serta tidak dapat mencari pekerjaan. Selain itu, subjek juga merasa lebih emosi karena subjek setiap hari berada di rumah, sehingga mengetahui semua permasalahan yang ada, istri subjek juga mengatakan subjek cenderung mudah tersinggung. Pada subjek kedua perubahan emosi yang terjadi yaitu subjek merasakan setelah pensiun, subjek saat itu hanya melihat dinding rumah saja, ruang gerak subjek menjadi terbatas, karena ketika pensiun subjek merasa bingung hanya berdiam diri di rumah. c. Gejala perilaku. Pada kedua subjek mengalami perubahan perilaku setelah pensiun yaitu pada subjek 1 setelah pensiun subjek lebih banyak berada di rumah

dengan menonton TV dan waktu senggangnya diisi dengan tidur siang. Selain itu aktivitas baru yang dikerjakan setelah pensiun pada subjek satu yaitu membuka usaha warung dan mengikuti pengajian. Pada subjek dua perubahan perilaku setelah pensiun yaitu subjek merasa bingung apabila hendak keluar rumah karena tidak memiliki tujuan, sedangkan saat subjek bekerja dahulu subjek keluar rumah dengan tujuan untuk bekerja. Setelah pensiun subjek lebih banyak berada di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan waktu senggangnya diisi dengan membaca buku serta akivitas baru setelah pensiun yaitu subjek mengikuti kegiatan PKK dan pengajian. Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan post power syndrome pada subjek, dapat ditarik kesimpulan bahwa : a. Kehilangan jabatan. Pada kedua subjek mengalami kehilangan jabatan setelah pensiun, kedua subjek merasakan kehilangan kegiatannya atau rutinitasnya pekerjaannya yang tidak dilakukan lagi karena sudah pensiun. Pada subjek satu, subjek merasa tidak mampu lagi untuk bekerja, serta subjek merasa tidak dapat memberikan manfaat serta tidak produktif. Pada subjek dua, subjek ingin tetap dapat berkreasi dan bekerja, tetapi dengan melihat situasi saat itu, maka sudah waktunya subjek pensiun. b. Kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif. Kedua subjek mengalami kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif setelah pensiun yaitu pada subjek satu, saat subjek bekerja subjek merasa bangga saat tergabung dengan kelompok kerjanyanya. Tetapi setelah pensiun, subjek tidak pernah lagi berhubungan dengan kelompok sprofesinya dahulu. Pada subjek kedua, subjek merasa kehilangan lingkungan intelektualitasnya, karena saat subjek berbicara bukan dengan lingkungan

kerjanya subjek merasa tidak sejalan pemikirannya. c. Kehilangan kewibawaan dan perasaan berarti. Kedua subjek mengalami kehilangan kewibawaan dan perasaan berarti hal ini dapat dilihat bahwa pada kedua subjek tidak pernah lagi berkunjung ke kantor, pada subjek satu subjek merasa menjadi orang asing apabila datang ke kantornya, sedangkan pada subjek dua, hal yang menyebabkan subjek tidak pernah berkunjung ke kantor bahwa, rekan seangkatan subjek sudah tidak ada yang bekerja lagi di kantor tersebut. d. Kehilangan kontak sosial pada rekan kerja. Pada subjek satu mengalami kehilangan kontak sosial pada rekan kerja, yaitu subjek tidak pernah lagi berhubungan dengan teman-temannya, selain itu komunikasi subjek dengan teman-temannya juga sudah tidak berjalan. Sedangkan pada subjek dua, kehilangan kontak sosial pada rekan kerja bukan merupakan faktor penyebab post power syndrome, karena pada subjek dua hubungan komunikasi subjek masih berjalan melalui telepon maupun SMS. e.Kehilangan sebagian sumber penghasilan. Pada kedua subjek mengalami kehilangan sebagian sumber penghasilan sesudah pensiun, Kedua subjek merasakan berkurangnya penghasilan setelah pensiun selain itu terjadi perubahan pola hidup keluarga. Pada subjek satu, perubahan pola hidup tersebut mendapat protes dari istri dan anak subjek. Sedangkan pada subjek dua, perubahan pola hidup tersebut dapat diterima oleh keluarga subjek, selain itu subjek juga memiliki tabungan pensiun. 2. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1. Bagi Subjek 1 Diharapkan dapat selalu berpikir positif terhadap masa pensiun yang dihadapi.

Subjek juga disarankan menekuni usaha warung yang dimiliki serta mengelolanya dengan baik agar subjek mendapat kesibukan. Selain itu, subjek juga dapat mengikuti kegiatan-kegiatan sosial yang ada di lingkungan sekitar rumah, misalnya kegiatan RT atau RW, dan pengajian, sehingga masa pensiun bukanlah merupakan masa yang menakutkan. Masa pensiun merupakan pola kehidupan yang baru yang akan diisi dengan kegiatan yang bermanfaat dan menyenangkan. 2. Bagi Subjek 2 Diharapkan subjek tetap menekuni kegiatan sosial yang dilakukannya yaitu kegiatan PKK dan pengajian di lingkungan RT, di luar kegiatan subjek sebagai ibu rumah tangga. 3 . B a g i Instansi-instansi Maupun Perusahaan Tempat Individu Bekerja Disarankan untuk mengadakan programprogram atau pelatihan-pelatihan untuk menghadapi masa persiapan pensiun bagi pekerja agar dapat membantu pekerja mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun terkait dengan aktivitas dikemudian hari sebelum masa pensiun itu tiba, agar menjadi lebih baik. 4. Bagi Peneitian Selanjutnya Disarankan untuk mengadakan penelitian dengan metode kuantitatif dengan melihat faktor-faktor lain yang kemungkinan lebih mempengaruhi, seperti : jenis kelamin, mengenai masa persiapan pensiun yang dilakukan, kemudian subjek penelitian dengan kriteria subjek yang mengalami PHK. DAFTAR PUSTAKA Anjaswari, A. (2003) Dampak perceraian pada pembentukan nilai pernikahan remaja akhir putri : Suatu penelitian kualitatif terhadap remaja akhir putri dari keluarga bercerai dengan keluarga utuh. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Dinsi, V,. Setiati, E., & Yuliasari, E. (2006). Ketika pensiun tiba. Jakarta : Wijayata Media Utama. Flick. U. (1998). An introduction to qualitative research. London : SAGE Publications Inc. Heman. E, (2003). Ciri-ciri post power syndrome. http:// www.Gereja Toraja.com Hurlock, E B. (1980). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, edisi kelima. Alih Bahasa : Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta : Erlangga. Hutapea, R. (2005). Sehat dan ceria di usia senja, melangkah dengan anggun. Jakarta : Rieneka Cipta. Iwang. (2007). Masa pensiun. http:// www.wordpress.com Marwan. (2007). Pegawai Negeri Sipil. http://www.Palembang.go.id Marshall, C., and Rosman, G.B. (1990). Designing qualitative research. California : SAGE Publications Inc. Minichello, V. (1996). In-depth interview 2nd edition. Melbourne : Logman. Moleong, L. J. (2002). Metode penelitian kualitatif. Bandung : Remaja. Rosda Karya. Nilam, W. (2007). Post power syndrome. http://www.Rommysmg.wordpress. com. Papalia, D.E., Strens, H.L., Feldman, R.D., & Camp, C.J. (2002). Adult development and aging, second edition. New York : Mc. Graw Hill. Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian manusia. Depok : Lembaga Pengembangan Sarana dan Pendidikan Psikologi

(LPSP3). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Powel, D.H. (1983). Understanding human adjustmen. Massachusetts : Powel Assosiates Inc. Republik Indonesia. (2007). Himpunan peraturan perundang-undangan, Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sekertariat Negara : Jakarta. Rini, J.F. (2001). Pensiun dan http//www.epengaruhnya. psikologi.com/lansia. Samhuri. (2005). Bugar dan sehat memasuki masa-masa pensiun, one day afteryour retired. Yogyakarta : Enigma Publishing. Santrock, J.W. (1995). Life-span developmental : Perkembangan masa hidup, edisi kelima. Jakarta : Erlangga. Sawitri, S. (2002). Apakah post power syndrome ?. http:// home kompas.co.id/litbang/kliping. Sukandarrumidi . (2004). Metodologi penelitian petunjuk praktis untuk peneliti pemula. Yogyakarta : Gajah Mada Yogyakarta Press. Super, D.E. & Crites, J.O. (1985). Appraising vocational fitness : By means of psychological test. New York : englewoods Cliffs. Tomb, D.A. (2000). Buku saku psikiatri, edis i keena m. Alih bahasa : Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta : Erlangga. Tuner, J.S & Helms, D.B. (1983). Life-span developmental, second edition. New York : Holt-Saunders International Editions. W a r d h a n i , D . ( 2 0 0 6 ) . P o s t p o we r syndrome. http// www.Wedang Jahe.com.