POTENSI USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DALAM MENGHADAPI

Download Penelitian ini bertujuan untuk melihat kondisi dan potensi yang dimiliki usaha peternakan sapi perah rakyat saat ini dalam menghadapi ... s...

0 downloads 422 Views 57KB Size
Sulistyati M., dkk., Potensi Usaha Peternakan Sapi Perah

Potensi Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat dalam Menghadapi Pasar Global (Potential of Small Scale Dairy Farm for Facing in Global Market) Marina Sulistyati, Hermawan, dan Anita Fitriani Fakultas Peternakan – Universitas Padjadjaran E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat kondisi dan potensi yang dimiliki usaha peternakan sapi perah rakyat saat ini dalam menghadapi pasar bebas di bidang persusuan yang sudah dicanangkan pemerintah sejak tahun 1998. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Gabungan Kelompok Tani-Ternak Mitra Puspa Mekar, Parongpong, kabupaten Bandung Barat, yang saat ini kondisinya dalam posisi berbenah diri setelah koperasi susu yang menaungi mereka kolaps karena kesalahan manajemen, dan bermitra dengan KPSBU Lembang dalam hal pakan, reproduksi, dan pemasaran susu. Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh peternak yang tercatat sebagai anggota gapoktannak Mitra Puspa Mekar dan dapat ditemukan pada saat pencacahan. Dari 244 orang responden di tiga kecamatan (Parongpong, Cisarua, dan Ngamprah), diungkap profil mereka sebagai peternak sapi perah, pengelolaan usaha peternakan, dan potensi yang mereka miliki sebagai peternak sapi perah saat ini. Data diolah secara deskriptif untuk memperoleh nilai rataan dari seluruh responden. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) usaha peternakan sapi perah masih dapat menarik minat masyarakat, (2) upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produksi susu masih perlu dibantu dalam hal sarana dan prasarana, yang diikuti dengan peningkatan pemahaman dan kesadaran untuk memperbaiki manajemen pengelolaan usaha, (3) pemasaran susu yang dilakukan oleh koperasi, masih memerlukan bantuan proteksi dari pemerintah, agar IPS tetap membeli susu hasil produksi peternak sapi perah rakyat. Kata kunci: sapi perah, usaha peternakan sapi perah rakyat, profil, potensi Abstract This study aims to see the condition and potential of dairy cattle farming business in the face of the people currently in the field of dairy-free market that has been proclaimed by the government since 1998. The research was conducted in the region of Gapoktannak Mitra Puspa Mekar, Parongpong, West Bandung regency, which is currently the condition is in a position to clean themselves after their dairy cooperative that houses collapsed due to mismanagement, and partnered with KPSBU Lembang in terms of feeding, reproduction, and marketing of milk.Respondents that used in this study were all farmers who registered as a member and can be found at the time of enumeration. 244 respondents form Parongpong, Cisarua, and Ngamprah district, expressed their profile as dairy farmers, farm business management, and their potential as dairy farmers today. Descriptive data processed to obtain the range and average value of all respondents. From this reseach can be concluded that: (1) dairy farm businesses are stillable to attract public interest, (2) efforts to increase the quantity and quality of milkproduction still needs to be assisted in terms of facilities and infrastructure, followed by an increased understanding and aware-ness to improve the management business management, (3) conducted by the milk marketing cooperatives, still need help from government protection, so that Milk Processing Industry still buy milk production of dairy farmers. Key words: dairy cow, small scale dairy farm, profile, potency

Pendahuluan Usaha peternakan sapi perah di Indonesia saat ini sebagian besar (90%) masih merupakan usaha peternakan rakyat yang merupakan defenisi usaha tani dalam arti sempit dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan subsistensi petani dan keluarganya (Mubyarto, 1995). Selanjutnya Atmadilaga (1975) mengemukakan bahwa peternakan rakyat merupakan suatu usaha keluarga yang tidak menggunakan hukum ekonomi produksi secara ketat. Kesempatan ekonomi dalam memanfaatkan setiap peluang yang menguntungkan sedangkan manifestasinya berbeda-beda di berbagai

daerah sesuai dengan pola pertanian dan pola tanam. Selanjutnya dikatakan bahwa pemeliharaan ternak yang dilakukan para petani di pedesaan masih bersifat tradisional. Namun demikian, usaha peternakan sapi perah sampai saat ini masih terus bertahan. Rendahnya produktivitas sapi perah disebabkan oleh kondisi manajemen usaha sapi perah di tingkat peternak yang masih tradisional. Manajemen budidaya (on farm) yang baik dan benar belum diadopsi dengan sempurna oleh peternak. Hal ini diperburuk dengan sistem mata rantai pengumpulan distribusi susu yang tidak memadai (Kuswaryan, 1992). 17

JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2013, VOL. 13, NO. 1

Berdasarkan keberadaan dan keberlanjutan usaha peternakan sapi perah dari waktu ke waktu, hingga saat usaha peternakan sapi perah termasuk usaha yang tahan terhadap kondisi krisis moneter tahun 1997 yang mengguncang dunia usaha secara global. Tanpa bantuan dan kebijakan yang mendukung secara nyata, usaha peternakan sapi perah rakyat ini mampu bertahan dan tetap eksis mampu memberikan penerimaan yang sepadan kepada peternaknya. Pada saat guncangan krisis moneter berlangsung, pemerintah membuat kebijakan yang sangat tidak berpihak pada peternak, yakni pada tahun 1998 mencabut Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yang menjamin (keharusan) penyerapan produksi susu di tingkat petani oleh IPS (industri pengolahan susu) dikaitkan dengan impor susu yang IPS lakukan. Akibatnya, mulai saat itu IPS tidak mempunyai kewajiban untuk membeli susu produksi dalam negeri terkait dengan kepentingan IPS untuk memproduksi susu olahannya, artinya, posisi tawar koperasi sebagai pengelola susu peternak menjadi sangat rendah. Tingginya nilai tukar dollar menyebabkan harga susu impor menjadi dirasakan mahal oleh IPS, dan harga susu dalam negeri dianggap lebih menguntungkan daripada susu impor. Kondisi ini memberi keuntungan tersendiri pada usaha sapi perah di Indonesia, produksinya diserap oleh pelaku usaha pengolahan susu. Seiring dengan perjalanan waktu, harga bahan baku pakan dan sarana penunjang usaha sapi perah terus merangkak naik, tanpa diimbangi dengan perbaikan manajemen usaha koperasi, bahkan manajemen usaha pada sebagian besar koperasi tidak dikelola dengan baik dan benar, terbukti dengan semakin buruknya tata niaga susu di tingkat peternak dan koperasi. Pada akhirnya, beberapa koperasi persusuan mulai menghilang dari peredaran, bahkan untuk tingkat koperasi susu yang cukup besar pun terkena masalah ini, satu demi satu berguguran, termasuk KUD Puspa Mekar Parongpong yang berada di antara KUD Sarwa Mukti Cisarua dan KPSBU Lembang. Dari sekian banyak peternak mantan anggota KUD Puspa Mekar, masih tersisa beberapa peternak yang bergabung dalam kelompok peternak sapi perah yang bertahan hingga saat ini, dan mereka bergabung dalam satu gabungan kelompok taniternak Mitra Puspa Mekar dan berafiliasi dengan KPSBU Lembang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi yang dimiliki peternak sapi perah saat ini, bagaimana kondisi peternakan sapi perah dalam menghadapi pasar global yang menuntut standar kualitas produksi yang 18

baku, dan bagaimana peran koperasi dalam membantu pelaksanaan usaha ternak sapi perah anggotanya. Sehingga dapat memberikan gambaran kebijakan yang harus diberikan oleh pemerintah, agar usaha peternakan sapi perah rakyat dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi yang nyata dalam memenuhi kebutuhan susu nasional. Materi dan Metode Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, 1989). Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Gabungan Kelompok Tani-Ternak Mitra Puspa Mekar, Parongpong, kabupaten Bandung Barat, yang saat ini kondisinya dalam posisi berbenah diri setelah koperasi susu yang menaungi mereka kolaps karena kesalahan manajemen, dan dalam pengelolaannya bermitra dengan KPSBU Lembang dalam hal pakan, reproduksi, dan pemasaran susu. Penelitian ini menggunakan metode sensus, sehingga seluruh peternak yang tercatat sebagai anggota Gapoktannak Mitra Puspa Mekar dan dapat ditemukan pada saat pencacahan merupakan responden penelitian. Dari hasil pencacahan ke lapangan diperoleh responden sebanyak 244 peternak, yang tersebar di tiga kecamatan, yakni Parongpong, Cisarua, dan Ngamprah. Dari responden diungkap profil mereka sebagai peternak sapi perah, pengelolaan usaha peternakan, dan potensi yang mereka miliki sebagai peternak sapi perah saat ini. Analisis data dilakukan setelah mendapat jawaban dari responden, selanjutnya dilakukan analisis menggunakan teknik analisis statistika deskriptif. Hasil dan Pembahasan Profil peternak sapi perah rakyat Sebagaimana umumnya, peternak sapi perah rakyat didominasi dengan tingkat pendidikan SD dan SMP, namun adanya peternak dengan tingkat pendidikan S1 dan S2, menjadi fenomena baru. Hal ini menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi perah mulai menarik minat para lulusan PT untuk berkecimpung langsung di lapangan. Pendidikan merupakan salah satu frame of reference atau kerangka tujuan yang akan mempengaruhi seorang memberi makna pada pesan yang diterimanya (Rachmat, 2002). Latar belakang pendidikan formal responden yang cukup tinggi diikuti dengan tingkat pengetahuan responden merupakan salah satu faktor

Sulistyati M., dkk., Potensi Usaha Peternakan Sapi Perah

penunjang bagi responden untuk memahami mengenai pola kemitraan dan cara pemeliharaan. Lebih menarik lagi jika pengamatan diarahkan kepada lamanya pengalaman beternak sapi perah, justru didominasi oleh peternak baru (010 tahun). Jika dicermati, 10 tahun ke belakang berarti setelah pemasaran susu di Indonesia memasuki pasar bebas (1998), tidak ada proteksi terhadap produksi susu dalam negeri. Pengalaman adalah sesuatu yang terjadi pada individu dalam suatu saat, termasuk proses-proses psikologi, kesan sensoris dan aktivitas motoris (Soejabrata, 1976). Soeharjo dan Patong (1973) mengatakan pengalaman beternak adalah lamanya seseorang berkecimpung dalam usaha ternak. Lebih jauh diungkapkan, seseorang yang mempunyai pengalaman lebih lama akan lebih cepat tanggap dalam pengambilan keputusan, karena pengalaman merupakan pedoman dalam kegiatan usahanya. Kondisi tersebut terjadi pada saat produksi susu dalam negeri dianggap murah oleh IPS daripada harga susu impor, sehingga mereka berlomba untuk mencari dan membeli susu hasil peternakan sapi perah rakyat yang dipasarkan oleh koperasi. Anggota keluarga yang menjadi tanggungan peternak menjadi kendala tersendiri dalam upaya pengembangan usahanya, hasil usaha hampir selalu terserap untuk digunakan untuk keperluan rumah tangga, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengalokasikan sebagian dana hasil usaha untuk mengembangkan usahanya. Sehingga skala pemilikan ternak (campuran) didominasi pada kisaran 1-5 ekor, skala usaha yang secara umum tidak dapat diandalkan sebagai usaha pokok. Faktor pembatas lain dalam upaya peningkatan skala usaha adalah keterbatasan pemilikan lahan yang dikuasai peternak, sehingga pengadaan hijauan pakan hanya dapat mengandalkan pihak luar. Baik itu membeli kepada pihak luar, kerjasama pemanfaatan lahan terlantar, optimalisasi lahan kehutanan, dan lain-lain, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hijauan bagi sapi perah yang dipeliharanya. Dengan kata lain, untuk keperluan hijauan pakan bagi ternak yang ada pun sudah mengandalkan kepada pihak luar, dan menjadi beban tersendiri bagi peternak. Dengan demikian, tampak bahwa dalam periode awal pasar bebas susu di Indonesia dengan nilai tukar Rupiah ke Dollar rendah, harga susu produksi dalam negeri jauh lebih rendah daripada harga susu impor, sehingga seluruh produksi susu produksi dalam negeri diserap cepat oleh IPS, tidak terlalu memperhatikan kualitas susu yang dihasilkan. Sehingga menggenjot peternak untuk memproduksi

susu semaksimal mungkin, dan kondisi ini diperhatikan oleh masyarakat non peternak atau oleh anggota keluarga peternak untuk ikut menjadi peternak sapi perah. Kondisi ini diperkuat dengan faktor penunjangnya, antara lain: terbatasnya lapangan kerja yang bisa mereka geluti karena tingkat pendidikan yang rendah (dominasi SD dan SMP), keterbatasan pemilikan lahan untuk berusaha dibidang pertanian (sayur dan tanaman hias), dan anggota keluarga yang harus ditanggung oleh peternak juga relatif banyak (dominasi 2-4 orang), yang potensial dijadikan tenaga kerja keluarga dalam usaha peternakan sapi perah. Pengelolaan usaha Berbagai kegiatan terkait dengan pengelolaan usaha sapi perahnya, peternak mengandalkan Bapak sebagai pekerja utamanya dibantu oleh isterinya, kecuali untuk masalah penerima uang setoran susu justru didominasi oleh para Ibu dibantu oleh Bapak. Hanya sebagian kecil anak dimanfaatkan sebagai tenaga kerja keluarga dalam usaha peternakan sapi perah, demikian pula tenaga kerja luar keluarga porsinya masih kecil (< 10%). Tenaga kerja luar keluarga ini banyak dimanfaatkan oleh peternak dengan skala pemilikan di atas 5 ekor sapi produktif. Kondisi kandang dan sarana pelaksanaan pemerahan masih jauh dari ideal, perlu segera dibenahi untuk meningkatkan kualitas ternak dan hasil ternak. Keterbatasan modal peternak sapi perah mengharuskan perbaikan sarana dan prasarana ini dilakukan dengan sistem program perguliran, dengan modal awal bisa dari dana pemerintah atau dana pinjaman oleh kelompok. Pemberian pakan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan, perlu diketahui dan dilaksanakan oleh peternak, agar diperoleh produksi susu yang optimal dengan kualitas standar, tanpa mengorbankan kondisi sapi perahnya. Dalam mengelola ternaknya, peternak mengandalkan pelayan koperasi/gapoktannak sebagai pelaksana masalah reproduksi (IB dan pemeriksaan kebuntingan) dan pemeliharaan kesehatan ternaknya (pemeriksaan dan pengobatan), dan untuk masalah ini sebagian besar peternak memberikan penilaian yang sangat baik kepada petugas pelaksana dalam merespon kebutuhan mereka. Perlu diperhatikan disini bahwa keberhasilan dalam pelaksanaan perkawinan sapi perah dengan IB, tidak hanya tergantung pada petugas, namun juga pada kecermatan dan ketepatan peternak dalam mendeteksi awal terjadinya berahi dan melaporkannya kepada petugas, di samping itu 19

JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2013, VOL. 13, NO. 1

juga kondisi sapi perah itu pada saat berahi menjadi faktor yang sangat berperan. Berbagai argumentasi diajukan oleh peternak untuk masalah penjualan ternaknya, dan jika dikelom-pokkan untuk penjualan pedet (jantan dan betina) lebih dikarenakan ketidakadaan biaya untuk memelihara hingga besar dan sebagai sumber penerimaan di luar susu, penjualan betina muda dan dara dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, penjualan jantan (bukan pejantan) sebagai sapi pedaging untuk menambah penghasilan usaha, sedangkan penjualan induk (dengan jumlah di atas 25% dari total induk) lebih dikarenakan produktivitasnya sudah dianggap tidak memadai lagi oleh peternak. Angka tersebut perlu mendapat perhatian, karena tingginya jumlah penjualan ternak dan khusus untuk induk, jika argumentasinya karena produktivitas dan kesehatan, maka berarti performans induk cepat menjadi turun sebagai akibat kurang baiknya manajemen pemeliharaan (khususnya pemberian pakan yang tidak seimbang dan tidak sesuai dengan kebutuhannya). Potensi usaha peternakan sapi perah rakyat a. Produksi susu, harga susu, dan penerimaan dari susu (Oktober 2011) Dengan pola pemberian pakan hijauan berupa jerami padi dan konsentrat yang dicampur dengan ampas tahu dan onggok, produksi susu dapat digenjot lebih tinggi dari normal, namun dengan kualitas kurang baik dan berdampak buruk pada induknya (ambruk). Produksi susu bulanan berkisar antara 901-1.200 liter/bulan/peternak atau 30-40 liter/hari/peternak dengan harga susu antara Rp 3.100-3.199 /liter mendominasi produksi dan harga susu di tingkat peternak, sehingga penerimaan bulanan yang diterima peternak (Oktober 2011) didominasi pada kisaran Rp 1-2 juta (40%), yang jika dikurangi dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan maka pendapatan peternak menjadi sangat rendah. b. Struktur polulasi Dengan jumlah sapi perah campuran sebanyak 1.033 ekor, tampak bahwa struktur populasinya kurang baik jika ditinjau dari aspek keberlanjutan usaha. Populasi sapi perah non produktif (di luar induk) terlalu banyak (46,18%) padahal idealnya ada pada angka 30,00% (Bath, dkk., 1978) hal ini menyebabkan beban yang harus ditanggung oleh sapi produktif menjadi lebih berat

20

lagi. Tampaknya dipertahankannya (pedet) jantan menjadi penyebab utamanya, tingginya harga jual pedet jantan bahkan lebih mahal daripada pedet betina, untuk dijadikan bakalan sapi potong, menjadi alasan yang paling masuk akal. c. Penyediaan lahan untuk kandang cadangan dan keinginan menambah jumlah ternak Dengan keterbatasan pemilikan lahan, peternak tidak melupakan untuk menyediakan lahan untuk unit kandang cadangan jika terjadi penambahan populasi sapi perahnya. Sebanyak 56,15% peternak menyediakan lahan cadangan untuk unit kandang cadangan, dengan dominasi pada 4-5 unit kandang cadangan, dengan total unit kandang cadangan sebanyak 990 unit kandang. Namun ternyata, peternak yang tidak mengalokasikan cadangan kandang tambahan tetap berminat menambah ternaknya, sebanyak 88,93% peternak berminat menambah sapi perahnya dengan total penambahan ternak sebanyak 997 ekor. Dengan perbaikan manajemen pemberian pakan, dapat diharapkan peningkatan produksi dan kualitas susu, sekaligus memperbaiki kondisi sapi, sehingga dapat memperpanjang masa produksi sapi perah. Pemeliharaan sapi perah jantan (pedet hingga muda) dapat dilakukan secara spesialis terpisah dari usaha sapi perah, sehingga tidak membebani modal usaha sapi perah, oleh karena itu seluruh pedet jantan dikeluarkan pada umur optimal (paling besar memberikan keuntungan), sekaligus untuk memperbaiki struktur populasi secara keseluruhan. Jika kondisi di atas dapat dipertahankan, maka penerimaan usaha meningkat dan masa produksi sapi perah lebih panjang, dan peternak memelihara pedet betina, maka peluang untuk meningkatkan skala usaha menjadi lebih terbuka, tanpa tergantung kepada pihak lain. Pemasaran susu dari peternak dapat difokuskan ke pihak Gapoktannak atau Koperasi, tidak kepada pihak lain yang hanya menerima susu tanpa memberikan pelayanan sebagaimana biasa koperasi lakukan. Rendahnya posisi tawar koperasi dalam memasarkan susu yang dikelolanya, menyebabkan harga susu yang diterima koperasi menjadi terbatas, lebih lanjut yang akan diterima oleh peternak pun menjadi rendah. Oleh karena itu, perlu bantuan dari pihak pemerintah agar pemasaran susu yang dilakukan oleh koperasi dapat diterima oleh IPS dan pihak lainnya dengan harga yang wajar.

Sulistyati M., dkk., Potensi Usaha Peternakan Sapi Perah

6.56%

0.82% 0.41%

1.64%

2.87% SD

13.11%

0-5

10.66%

SMP

19.67%

5-10

26.64%

SMA

10-15

S1 77.46%

15-20

S2

27.46%

>20

tad

tad

12.70%

Tingkat Pendidikan

Pengalaman Beternak (tahun)

0.41% 0.82% 2.46% 2.46% 9.43% 6.15%

1 2 5

16.80%

25.82%

4 5

35.66%

6 7

Tanggungan Peternak 3.69% 10.25% 9.02% 21.31%

tdk punya 1-100

1.64% 2.05% 4.51% 4.92%

3.69% 3.69% 9.43%

2

15.57%

>5.000

Pemilikan lahan

4 5

22.13%

8.61%

6 7

15.98%

Penguasaan Ternak (ekor, campuran) 2.05% 2.05% 3.28% 5.33% 2.46% 6.15%

23.77% 0 1-300 301-600 601-900

501-1.000 1.001-5.000

3

17.62%

5.74%

101-500 40.16%

1

901-1200 15.98%

38.93%

1201-1500 1501-1800

Penjualan Susu

Tabel 1. Pemanfaatan Tenaga Kerja dalam Pengelolaan Usaha Pelaksana kegiatan (N) Pelaksana kegiatan (%) No Kegiatan Bapak Ibu Anak LK Bapak Ibu Anak LK 1 Pemeliharaan ternak dan kandang 182 131 11 19 73,4 52,8 4,4 7,7 2 Pemerahan 178 119 15 24 71,8 48,0 6,0 9,7 3 Penyetoran susu 159 132 11 17 64,1 53,2 4,4 6,9 4 Mencari rumput 184 124 11 19 74,2 50,0 4,4 7,7 5 Pengambilan keputusan 206 179 6 7 83,1 72,2 2,4 2,8 6 Penerima uang setoran susu 138 164 4 3 55,6 66,1 1,6 1,2 Catatan: (a) data diperoleh dari 231 responden, (b) satu pekerjaan dapat dikerjakan oleh lebih dari satu orang. 21

JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2013, VOL. 13, NO. 1

Tabel 2. Pelayanan Koperasi/Gapoktannak No Jenis pelayanan Cepat 1 Pelaksanaan IB 201 87,01% 2 Pelaksanaan PKB 199 86,15% Pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dan 3 200 86,58% pengobatan ternak Catatan: hanya 231 responden yg memberikan jawaban

Cukup 15 6,49% 26 11,26% 23

Lambat 15 6,49% 6 2,60%

9,96%

Tabel 3. Penjualan Sapi Perah Setahun Terakhir Penjualan sapi setahun terakhir Induk Dara Betina Muda Pedet Betina Pedet Jantan Pelaku 63 11 9 30 53 (orang) Jumlah (ekor) 148 14 23 70 90

2.05% 4.51%

5.33%

2.87% 4.51%

<1 juta

10.26%

1-2 juta

13.84%

4.45%

0.19%

8

3,46%

Jantan 32 79

Induk Betina muda

2-3 juta 27.05%

Pedet Betina

3-4 juta 53.82%

4-5 juta 39.75%

13.93%

17.42%

Pedet Jantan

5-10 juta >10 juta

Jantan Muda

kering

Penerimaan Susu 7.79%

2.05% 4.92%

0.00% 3.28% 2.05% 43.85%

5.33%

Struktur Populasi Ternak 0

0.82%

1

0.41%

1.64% 0.00%

2.87%

6

4.51% 4.92%

Cadangan Unit Kandang Tambahan Kesimpulan Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Usaha peternakan sapi perah masih dapat menarik minat masyarakat, 2. Upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produksi susu masih perlu dibantu dalam hal sarana dan prasarana, yang diikuti dengan 22

0 1 2

13.11% 4.92%

5 1.23%

9.84%

2

4

9.84%

1.23%

8.20%

3 10.25%

6.97%

3 38.52%

4 5

11.48%

6

Keinginan Menambah Jumlah Sapi peningkatan pemahaman dan kesadaran untuk memperbaiki manajemen pengelolaan usaha, 3. Pemasaran susu yang dilakukan oleh koperasi, masih memerlukan bantuan proteksi dari pemerintah, agar IPS tetap membeli susu hasil produksi peternak sapi perah rakyat.

Sulistyati M., dkk., Potensi Usaha Peternakan Sapi Perah

Daftar Pustaka Atmadilaga, D. 1975. Kedudukan Usaha Ternak Tradisional dan Perusahaan Ternak dalam Sistem Pembangunan Pertanian. Biro Research dan Afiliasi Fakultas Peternakan UNPAD. Bandung. Bath, D.L., F.N. Dickinson, H.A. Tucker and R.D. Appleman. 1978. Dairy Cattle Principles, Practice, Problems, Profit. 2nd Ed. Lea and Febiger, Philadephia. Kuswaryan, S. 1992. Analisis Ekonomi Usaha Ternak Sapi Perah Sebagai Upaya Substitusi

Impor Susu. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada. Program KPK Universitas Brawidjaya. Yogyakarta. Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Rachmat, J. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Singarimbun, M. dan Efendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Lembaga Penelitian dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.

23