PRODUKSI GLUKOSAMIN DENGAN METODE HIDROLISIS

Download AAF 11/3 PID 301), desikator (Pyrex Duran), Sokhlet (Pyrex), alat titrasi (Fatex- ...... Tropical Journal of Pharmaceutical Research. ... J...

0 downloads 504 Views 22MB Size
PRODUKSI GLUKOSAMIN DENGAN METODE HIDROLISIS BERTEKANAN SEBAGAI BAHAN PENUNJANG KESEHATAN SENDI

EKO CAHYONO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Produksi Glukosamin dengan Metode Hidrolisis Bertekanan sebagai Bahan Penunjang Kesehatan Sendi” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Eko Cahyono NRP C351120201

4

RINGKASAN EKO CAHYONO. Produksi Glukosamin dengan Metode Hidrolisis Bertekanan sebagai Bahan Penunjang Kesehatan Sendi. Dibimbing oleh PIPIH SUPTIJAH dan IETJE WIENTARSIH. Kitin merupakan biopolimer yang tersusun atas unit N-asetil-DGlukosamin. Struktur kitin sangat mirip dengan selulosa yang membedakan pada gugus asetaminda diganti oleh gugus hidroksil pada atom karbonnya. Kitosan sebagai polimer yang tersusun dari 2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa dapat diperoleh dengan cara ekstraksi kitin. Pengubahan molekul kitin menjadi kitosan diperoleh dengan cara mengubah gugus asetamida (–NHCOCH) pada kitin menjadi gugus amina (–NH3) pada kitosan. Glukosamin salah satu turunan dari kitosan yang merupakan gula amino dan prekursor penting dalam sintesis biokimia dari protein dan lipid. Glukosamin merupakan senyawa yang ditemukan secara alami dalam tubuh, terbuat dari glukosa dan asam amino glutamin. Glukosamin dibutuhkan untuk menghasilkan glikosaminoglikan, molekul yang digunakan dalam pembentukan dan perbaikan tulang rawan dan jaringan tubuh lainnya. Oleh karena itu efektivitas pemberian glukosamin secara oral perlu dilakukan untuk mengetahui peningkatan volume cairan sinovial secara in vivo pada tikus percobaan galur sprague dawley. Tujuan penelitian ini adalah mengkarakterisasi kitosan limbah kulit udang meliputi perhitungan rendemen, analisis proksimat dan logam berat, menentukan konsentrasi asam dan waktu pemanasan terbaik dalam pembuatan glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan dan menganalisis pengaruh efektivitas pemberian glukosamin terbaik dalam meningkatkan cairan sinovial hewan uji. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Agustus 2014, terdiri dari tiga tahap yaitu proses pembuatan kitosan, proses pembuatan glukosamin, dan efektivitas pemberian glukosamin. Penelitian tahap satu terdiri atas proses deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Kitosan yang dihasilkan selanjutnya dianalisis proksimat, kadar logam berat, dan derajat deasetilasi. Pada tahap kedua kitosan dihidrolisis secara kimia dengan menerapkan metode bertekanan pada pembuatan glukosamin dengan perlakuan konsentrasi asam dan waktu pemanasan. Glukosamin yang dihasilkan selanjutnya dianalisis rendemen, loss on drying, nilai pH, tingkat kelarutan, loss on ignition, derajat deasetilasi dan kandungan logam berat. Glukosamin terbaik pada tahap kedua selanjutnya diproduksi secara masal dan diaplikasikan secara in vivo pada hewan percobaan. Dosis glukosamin yang diberikan 500, 1000, 1500 mg/kgBB secara pre-oral selama 28 hari. Analisis yang dilakukan meliputi pengukuran berat badan, peningkatan cairan sinovial dengan photo X-ray, dan biokimia serum darah pada hewan percobaan. Hasil analisis karakteristik kitosan menunjukkan rendemen 14%. Nilai kadar air 12,29%; kadar abu 0,99%; total nitrogen 2,20%; kadar lemak 3,13%; dan karbohidrat 81,39%. Viskositas 1713,04 cps; derajat deasetilasi 98,65%. Kandungan logam berat merkuri 0,00001±2,7735 ppm, kadmium 0,00079±3,4641 ppm, tembaga 0,01105±1,7320 ppm, timbal 0,00316±2,3094 dan arsen 0.00098±1,7320. Hasil analisis glukosamin memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,05) terhadap rendemen 65,33% pada konsentrasi HCl 5% dan waktu

6

pemanasan 60 menit, loss on drying 0,60% pada konsentrasi HCl 5% dan waktu pemanasan 150 menit, nilai pH 5,66 pada konsentrasi HCl 5% dan waktu pemanasan 90 menit, kelarutan 9633% pada konsentrasi HCl 8% dan waktu pemanasan 60 menit, loss on ignition 0,233% pada konsentrasi HCl 5 % dan waktu pemanasan 150 menit, derajat deasetilasi 99,44% dan kandungan logam merkuri 0,00005±1,0414 ppm, kadmium 0,00087±1,1547 ppm, tembaga 0,00109±1,1547 ppm, timbal 0,00153±1,7265 dan arsen 0,00170±1,4410 ppm. Hasil pengujian efektivitas glukosamin secara in vivo pada dosis 1.500 mg/kgBB dapat meningkatkan cairan sinovial secara maksimal, dan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar SGOT-SGPT dan kreatinin darah. Kata kunci : glukosamin, metode hidrolisis bertekanan, efektivitas glukosamin.

SUMMARY EKO CAHYONO. Production of Glucosamine as a Subtance to Promote Joint Health Using a Controlled Pressure Method. Supervised by PIPIH SUPTIJAH and IETJE WIENTARSIH. Chitin is a biopolymer constructed from N-Acetyl-D-Glucosamine units. The structure of chitin closely resembles that of cellulose but is distinguished by the replacement of the hydroxyl group on the carbon atom with an acetyl amine group. Chitosan is a 2-amino-2-deoxy-β-D-glucose polymer which can be produced by processing chitin. Chitin molecules can be transformed to produce chitosan by changing the Acetamide group (–NHCOCH) for an amine group (–NH3). Glucosamine is a derivative of chitosan which is both an amino sugar and an important precursor in the biochemical synthesis of proteins and lipids. Glucosamine is a substance which occurs naturally in the body, produced from glucose and the amino acid glutamine. Glucosamine is needed in order to produce glycosaminoglycans, molecules used for the formation and repair of cartilage and other body tissues. Hence the effectiveness of glucosamine administered orally in vivo to laboratory mice of the sprague dawley strain needs to be tested in order to know whether there is a resulting increase in synovial fluid volume. The goals of this research were to determine the characteristics of chitosan from shrimp shelling waste through measuring yield, proximate analysis and heavy metal concentrations, to determine the optimal acid concentration and heating time for producing glucosamine with a low-pressure hydrolysis method and to analyse the effectiveness of the optimally produced glucosamine in increasing synovial fluid animal experiments. The research was carried out from January to August 2014 and comprised three stages. These were the production of chitosan, the glucosamine production process, and the effectiveness of administering glucosamine. The first stage comprised deproteination, demineralization, and deacetylation processes. The chitosan produced was subjected to proximate analysis, analysis of heavy metal concentrations and of the degree of deacetylation. In the second stage, the chitosan was hydrolysed chemically to produce glucosamine using a low-pressure method with several acid concentration and heating time treatments. The glucosamine produced from each treatment was tested for yield, loss on drying, pH value, solubility, loss on ignition, deacetylation level and heavy metal concentrations. In the second stage the glucosamine was mass produced using the treatment which yielded the best glucosamine and was administered in vivo to laboratory animals. Glucosamine was administered orally in doses of 500, 1000, 1500 mg/kg of body weight for 28 days. Analyses carried out on the laboratory animals comprised measurement of body weight, increases in synovial fluid volume using X-ray images, and biochemical analysis of blood serum. The analysis of chitosan characteristics gave a yield of 14%. Proximate analysis yielded the following concentrations: water 12.29%; ash 0.99%; nitrogen 2.20%; fat 3.13%; carbohydrate 81.39%. Viscosity was 1713.04 cps and the deacetylation level was 98.65%. Heavy metal concentrations were Mercury 0.00001±2.7735 ppm, Cadmium 0.00079±3.4641 ppm, Copper 0.01105±1.7320 ppm, Lead 0.00316±2.3094 and Arsenic 0.00098±1.7320. Analysis of the

8

glucosamine produced showed a significant (p<0.05) correlation with yield, 65.33% at HCl concentration of 5% and heating time of 60 minutes, loss on drying 0.60% at HCl concentration of 5% and heating time of 150 minutes, a pH value of 5.66 at HCl concentration of 5% and heating time of 90 minutes, 96.33% solubility at HCl concentration of 8% and heating time of 60 minutes, loss on ignition of 0.233% at HCl concentration of 5 % and heating time of 150 minutes, deacetylation level 99.44% and heavy metal concentrations of Mercury 0.00005±1.0414 ppm, Cadmium 0.00087±1.1547 ppm, Copper 0.00109±1.1547 ppm, Lead 0.00153±1.7265 and Arsenic 0.00170±1.4110 ppm. The test results for the effectiveness of glucosamine administered orally in vivo showed that a dose of 1500 mg/kg/BW produced a maximal increase in synovial fluid, and did not have a significant effect (p>0,05) on the concentration of SGOT-SGPT and creatinine in blood. Key words: glucosamine, low-pressure hydrolysis method, glucosamine effectiveness.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

10

PRODUKSI GLUKOSAMIN DENGAN METODE HIDROLISIS BERTEKANAN SEBAGAI BAHAN PENUNJANG KESEHATAN SENDI

EKO CAHYONO

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

12

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi

Judul Penelitian

: Produksi Glukosamin dengan Metode Hidrolisis Bertekanan sebagai Bahan Penunjang Kesehatan Sendi

Nama

: Eko Cahyono

NRP

: C351120201

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Dra Pipih Suptijah, MBA Ketua

Prof Dr Dra Ietje Wientarsih, Apt, MSc Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan

Dekan Sokolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal ujian : 03 Desember 2014

Tanggal Pengesahan :

14

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segenap limpahan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini mengangkat tema dengan judul "Produksi Glukosamin dengan Metode Hidrolisis Bertekanan sebagai Bahan Penunjang Kesehatan Sendi". Tesis ini merupakan salah satu syarat mendapatkan gelar magister di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis terutama kepada: 1. Dr Dra Pipih Suptijah, MBA selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan fikiran dalam membimbing penulis. 2. Prof Dr Dra Ietje Wientarsih, Apt MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan selama penyusunan tesis ini. 3. Dr Tati Nurhayati, SPi MSi selaku dosen penguji luar komisi atas bimbingan, arahan, kritik, dan saran yang sangat membantu kepada penulis. 4. Dr Ir Wini Trilaksani, MSc selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan saran dalam penulisan tesis. 5. Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 6. Ayahanda Hadini Masyuri dan Ibu Minayah Iskandar (Alm) tercinta atas limpahan kasih sayang dan doa yang selalu mengalir tanpa henti, serta motivasi dan dukungan yang tak terhingga kepada penulis. 7. Sri Handayani, Skom dan Ariya Putra, SE adik-adiku tercinta yang telah membetikan motivasi, doa, dan dukungannya selama ini. 8. Hamburadul Gaenk La Ode Muhammad Hazairin Nadia SPi MSi; Yunialdi Hapynes Teffu, SPi MSi; Tri Dian Oktiana STp MSi; Febrina Olivia Akerina SPi MSi; dan Asti Nur Annisa SPi MSi terima kasih atas kebersamaan selama ini baik suka maupun duka. 9. Wisma Komiu Andi Achmadi, SPi MSi; Normawati K. Mboto, SPi MSi; Tri Nur Ekawati Lukman, SKm MSi; dan Mardiana STp MSi terima kasih atas kebersamaanya. 10. Teman-teman Teknologi Hasil Perairan 2011, 2012 dan 2013 terima kasih atas kebersamaannya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan masukan dari semua pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan. Terima kasih.

Bogor, Januari 2015

Eko Cahyono

16

18

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2. KARAKTERISASI KITOSAN LIMBAH KULIT UDANG Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 3. PENERAPAN METODE HIDROLISIS BERTEKANAN PADA PRODUKSI GLUKOSAMIN Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 4. EFEKTIVITAS GLUKOSAMIN SECARA IN VIVO PADA TIKUS Sprague Dawley Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan 5. PEMBAHASAN UMUM Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP

xvi xvi xvi 1 3 3 3 3 4 5 10 18

19 20 25 35

36 37 40 43 45 47 47 48 63

DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Diagram alir pembuatan kitosan limbah kulit udang Spektrum FTIR kitosan Diagram alir pembuatan glukosamin metode hidrolisis bertekanan Rendemen glukosamin Loos on drying glukosamin Nilai pH glukosamin Kelarutan glukosamin Loss on ignition glukosamin Spektrum FTIR glukosamin hasil penelitian Spektrum FTIR glukosamin komersil Diagram alir penelitian secara in vivo Selisih pertumbuhan berat badan hewan percobaan Penampakan cairan sinovial melalui photo x-ray

6 14 21 25 27 28 29 30 31 32 38 40 41

DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Hasil karakteristik limbah kulit udang Karakteristik kitosan kulit udang Kandungan logam berat kitosan Karakteristik glukosamin penelitian pendahuluan Kandungan logam berat glukosamin Kadar SGOT dan SGPT serum darah tikus Kadar kreatinin serum darah tikus

10 11 15 25 33 43 44

DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Hasil analisis statistik rendemen glukosamin Hasil analisis statistik loss on drying glukosamin Hasil analisis statistik nilai pH glukosamin Hasil analisis statistik kelarutan glukosamin Hasil analisis statistik loss on ignition glukosamin Hasil analisis statistik kadar SGOT serum darah Hasil analisis statistik kadar SGPT serum darah Hasil analisis statistik kadar kreatinin serum darah

57 58 59 60 61 62 62 62

20

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas merupakan sumber daya alam yang tidak ada habisnya, hampir semua potensi kelautan yang ada belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan komoditas perikanan khususnya krustasea menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Cangkang invertebrata laut, terutama krustasea mengandung kitin berkisar antara 20-60% (Rochima et al. 2007). Kulit udang mengandung beberapa komponen antara lain protein, pigmen, lemak, dan mineral berupa kalsium karbonat. Limbah padat krustasea (kepala, kaki, kulit, dan ekor) merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan seafood (Abllo et al. 2002). Salah satu alternatif upaya pemanfaatan limbah krustasea agar menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi dengan pengolahan menjadi kitin dan kitosan (Dutta et al. 2004; Toan 2009). Kitin merupakan biopolimer alami terbanyak kedua setelah selulosa dan merupakan polimer aminoglukan dari N-asetil-D-glukosamin yang tidak larut dalam air (Dutta et al. 2004). Kitin memiliki biopolimer yang sangat panjang dan tidak bercabang. Setiap rantai polimer terdiri dari 2.000-5.000 unit monomer N-asetil-D-Glukosamin yang terpaut melalui ikatan β-(1-4) glukosa. Kitosan merupakan senyawa turunan kitin adalah senyawa penyusun rangka luar hewan berkaki banyak misalnya kepiting, ketam, udang, dan serangga. Kitosan termasuk polisakarida linear yang berisi campuran dari D-glukosamin. Derajat deasetilasi kitosan berkisar antara 76,26-91,60% untuk komersil dengan berat molekul antara 100.000-1.000.000 KDa (Patria 2013). Kitosan telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang misalnya sebagai pengawet hasil perikanan (Dahiya et al. 2005), membantu proses reverse osmosis (Agusnar 2007), sebagai bahan aditif produk agrokimia (Saputra et al. 2009), sebagai antimikroba (Mahae et al. 2011), sebagai antibakteri (Islama et al. 2011), antitumor (Qin et al. 2004), sebagai anti inflamasi (Oliveira et al. 2012), sebagai antikanker (Kuppusamy dan Karuppaiah 2012), aktivitas biologis (Xia et al. 2010), dan sebagai antioksidan (Rajalakshmi et al. 2013). Kitosan dapat diaplikasikan lebih lanjut dengan memanfaatkan turunannya misalnya oligomer kitosan, karboksimetil kitosan, dan glukosamin. Glukosamin adalah salah satu turunan dari kitosan yang merupakan gula amino dan prekursor penting dalam sintesis biokimia dari protein glikosilasi dan lipid (Kelly 1998). Glukosamin secara alami terdapat pada tubuh, terutama pada jaringan penghubung dan jaringan tulang rawan serta hati dan ginjal (Camara dan Dowelss 1998). Glukosamin merupakan senyawa yang diperlukan untuk biosintesis berbagai senyawa termasuk glikolipid, glikoprotein, dan proteoglikan, yang semua senyawa terlibat dengan struktur dan fungsi sendi. Glukosamin tersusun dari glukosa dan asam amino glutamin. Produksi glukosamin akan menurun seiring dengan pertambahan usia. Glukosamin secara luas telah digunakan untuk mencegah gejala osteoatritis. Glukosamin dapat dihasilkan melalui beberapa metode ekstraksi yaitu proses hidrolisis kimiawi dengan penambahan HCl dengan rendemen 87,3% (Mojarrad 2007), proses enzimatis dengan bantuan enzim α-amilase dengan rendemen 91,1% (Pan et al. 2011), proses fermentasi dengan bantuan (Aspergillus sp.) dengan rendemen 5,48% (Chang et al. 2011), dan proses gabungan antara ketiganya. Anderson et al. (2005)

mengevaluasi glukosamin dengan LD50 secara oral pada hewan percobaan dosis 2.700 mg/kg selama 12 bulan dianggap aman karena tubuh dapat memetabolisme glukosa dengan pemberian parenteral. Konsumsi glukosamin yang aman berkisar 1.500 mg/bb (BPOM 2004; EFSA 2009) dan 2.000 mg/bb (Hathcock dan Shao 2006). Bersama dengan kondroitin, glukosamin dapat membantu mengatasi masalah sendi pada penderita osteoatritis. Kondroitin sendiri adalah suplemen makanan yang biasa digunakan bersama glukosamin. Kondroitin merupakan senyawa rantai gula bercabang yang menyusun tulang rawan. Glukosamin juga merupakan komponen penting dari membran sel dan protein permukaan sel serta molekul struktural interstisial yang menyangga sel secara bersama-sama. Secara tidak langsung, glukosamin berperan dalam pembentukan permukaan artikular, tendon, ligamen, cairan sinovial, kulit, kuku, pembuluh darah dan sekresi lendir dalam pencernaan, pernafasan, dan sistem saluran pada kemih (Martin 2004). Osteoartritis (OA) dikenal juga sebagai artritis degeneratif, yaitu kondisi sendi terasa nyeri akibat inflamasi ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi (Martin 2004). Osteoartritis terdiri atas osteoartritis primer yang dikenal juga sebagai artritis degeneratif sendi dan osteoartritis sekunder yang disebabkan oleh trauma atau cedera (Mahajan et al. 2005). Osteoartritis dapat menyerang semua tulang rawan dalam tubuh, termasuk tulang belakang, lutut hingga pergelangan kaki, bahu hingga pergelangan tangan, dan juga jari-jari tangan maupun kaki. Kartilago merupakan suatu jaringan tulang rawan biasanya menutupi ujung tulang penyusun sendi. Suatu lapisan cairan sinovial terletak diantara tulang tersebut yang berfungsi sebagai pelumas untuk mencegah ujung tulang tersebut bergesekan dan saling mengikis satu sama lain (Reyes et al. 2000). Kondisi kekurangan cairan ini lapisan kartilago yang menutup ujung tulang akan bergesekan satu sama lain. Gesekan tersebut akan membuat lapisan tersebut semakin tipis dan pada akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri. Hasil penelitian Berief et al. (2001) menunjukkan bahwa perubahan struktural dalam komposisi molekul ini memiliki dampak negatif pada sifat biomekanik artikular kartilago dewasa normal dan cairan sinovial. Osteoatritis biasanya menyerang orang tua dan paling banyak dalam bentuk atritis, lebih dari 80% menyerang kaum lansia dengan usia di atas 50 tahun. Data statistik menunjukkan bahwa lebih dari 40 juta warga dunia khususnya di Amerika Serikat menderita osteoatritis. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui efektivitas glukosamin dalam mencegah penyakit osteoartritis dengan jalan peningkatan cairan sinovial dan proses produksinya dengan menerapkan metode hidrolisis bertekanan. Rumusan Masalah Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif sendi akibat keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis. Penyakit ini ditandai dengan kerusakan pada tulang rawan (kartilago) dan umumnya menyerang lansia khususnya wanita. Terapi secara farmakologis bertujuan mengurangi rasa nyeri yang timbul tetapi tidak menghilangkan gangguan klinis dari sendi. Terapi glukosamin secara alami dapat mencegah atau memperbaiki gangguan persendian. Glukosamin komersil dihasilkan dari gula beramin. Oleh karena itu perlu penelitian produksi glukosamin dari kitosan dengan menerapkan metode hidrolisis bertekanan dalam mencegah osteoartitis dengan cara peningkatan cairan sinovial.

22

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah melakukan karakterisasi kitosan limbah kulit udang windu (Panaeaus monodon), menentukan konsentrasi asam dan waktu pemanasan terbaik dalam pembuatan glukosamin dengan penerapan metode hidrolisis bertekanan, dan menganalisis pengaruh efektivitas pemberian glukosamin dalam meningkatkan cairan sinovial. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai upaya pendayagunaan limbah dan pengembangan metode pada produksi glukosamin serta sebagai bahan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah pengambilan sampel limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) di perusahan pembekuan udang, karakterisasi bahan baku, proses pembuatan kitosan, pengujian mutu kitosan limbah kulit udang, proses pembuatan glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan, pengujian mutu glukosamin, pengujian efektivitas glukosamin dalam meningkatkan cairan sinovial secara in vivo pada tikus putih, serta pengujian toksisitas glukosamin melalui pengujian serum darah SGOT-SGPT dan kreatinin.

2 KARAKTERISASI KITOSAN LIMBAH KULIT UDANG WINDU (Penaeus monodon) Latar Belakang Teknologi polimer saat ini berkembang dengan pesat seiring dengan semakin beragamnya produk polimer. Eksplorasi terhadap polimer yang pesat mendorong keinginan untuk menemukan jenis polimer yang lebih baik sehingga mudah diperoleh untuk kepentingan aplikasi. Zulfikar dan Ratnadewi (2006) menyatakan bahwa pemanfaatan produk polimer telah berkembang keberbagai aspek kehidupan, sedangkan penghasil polimer difokuskan pada sumberdaya alam yang jauh lebih murah dan mudah didapat. Polimer tersebut merupakan biopolimer, suatu polimer yang mudah diperoleh, dan ramah lingkungan serta mudah terdegradasi. Kitin merupakan biopolimer organik terbanyak kedua yang ditemukan di alam setelah selulosa, terdapat di berbagai spesies binatang baik darat maupun perairan (Suptijah et al. 1992). Kitosan merupakan senyawa organik turunan dari kitin, senyawa golongan karbohidrat dari biomaterial kitin yang dihasilkan dari limbah laut, khususnya golongan udang, kepiting, rajungan, lobster, ketam, dan kerang-kerangan (Rochima et al. 2007). Kitosan adalah poliglukosamin atau biasa disebut juga dengan ß-1,4-2 acetamido-2-dioksi-D-glukosa yang dihasilkan dari kitin dengan proses deasetilasi menggunakan suhu tinggi dan alkali berkonsentrasi tinggi (Dutta et al. 2004; Rochima et al. 2007). Proses transformasi kitin menjadi kitosan secara umum adalah tahap deasetilasi dengan penggunaan basa kuat misalnya KOH dan NaOH. Robert (2008) menjelaskan bahwa proses deasetilasi dapat dilakukan dengan konsentrasi basa antara 33-39,5% suhu 60-80 °C selama 4-6 hari dan dianggap lebih ramah lingkungan. Hasil karakterisasi kitosan dari limbah kulit udang mengandung rendemen 15,21% (Islama et al. 2011) 15% (Hossain 2013). Kadar air 1,25% (Mohanasrinivasan et al. 2013); 7,96% (Hossain 2013); 1,7±0,35%. Kadar abu 1,20% (Islama et al. 2011); 0,91±0,1% (Trung dan Thong 2012); 3,35±0,2% (Walke et al. 2014). Kadar lemak 0,70-4,01 (Naznin 2005). Kadar protein 0,93±0,1% (Trung dan Thong 2012). Berat molekul 165.394 kDa (Islama et al. 2011); 110,967 g/mol (Patria 2013); 1,05x106 Da (Hossain 2013); 329±1,8 kDa (Walke et al. 2014). Viskositas 121±52 cPs (Trung dan Thong 2012); 191,1 cPs (Patria 2013). Derajat deasetilasi 82,3±0,5% (Trung dan Thong 2012); 81,24% (Hossain 2013); 75% (Walke et al. 2014). Karbohidrat 74,12% (Isa et al. 2012). Kelarutan 0,9±0,8% (Trung dan Thong 2012); 1% (Walke et al. 2014). Kitosan umumnya tidak larut dalam air tetapi sedikit larut dalam asam klorida dan asam nitrat serta larut baik dalam asam lemah seperti asam formiat dan asam asetat. Aplikasi kitosan dewasa ini telah banyak digunakan dalam bidang industri baik pangan maupun nonpangan. Kitosan dapat diaplikasikan lebih lanjut dengan memanfaatkan beberapa turunannya seperti oligomer kitosan, karboksimetil kitosan, dan glukosamin.

24

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu kitosan dari limbah kulit udang windu (Peneaus monodon) dengan menghitung rendemen kitosan limbah kulit udang, menganalisis kandungan proksimat kitosan limbah kulit udang, dan menganalisis logam berat kitosan limbah kulit udang. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2014 di Laboratorium Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan, Laboratoriam Biokimia Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Laboratorium Pengujian Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit udang windu (Panaeus monodon) dari pabrik pembekuan udang. Bahan pendukung lainnya dalam proses pembuatan kitosan antara lain larutan NaOH 3 N (proses deproteinasi), HCl 1 N (proses demineralisasi), NaOH 50% (proses deasetilasi). Bahan untuk analisis proksimat antara lain Kjeldahl, selenium 0,25 g, H2SO4 pekat 3 mL, NaOH 40% 20 mL, H3BO3 2% 10 mL, indikator bromcresol greenmethyl red, dan benzena. Bahan yang digunakan untuk analisis logam berat antara lain HNO3 pekat 15 mL, HClO4 5 mL dan akuades. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperangkat alat produksi kitosan stainless steel, kompor gas (Hitachi), timbangan digital (Quattro), dan gelas ukur (Pyrex). Alat yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain oven listrik (Yamato DV 41), Kjeldahl sistem, tanur listrik (Yamato AAF 11/3 PID 301), desikator (Pyrex Duran), Sokhlet (Pyrex), alat titrasi (FatexS), cawan porselin, gegep, gelas piala 200 mL (Pyrex), labu takar (Pyrex), Kjeldahl 50 mL (Pyrex), erlenmeyer 125 mL (Pyrex), pipet tetes, tabung reaksi (Pyrex), labu takar (Pyrex), ubbelohde dilution viscometer (Type R-85 viscometer), pH meter (Hanna), seperangkat alat Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), dan Atomic Absorption Spektrofotometer (AAS). Tahap Penelitian Tahap pembuatan kitosan dari limbah kulit udang meliputi proses deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi (Suptijah et al. 1992). a. Deproteinasi Bahan baku kulit udang dicampur dengan larutan NaOH 3 N dengan perbandingan 1:10 b/v. Campuran tersebut dipanaskan pada suhu 100 °C selama 2 jam dan cuci sampai netral. b. Demineralisasi Sampel dari proses deproteinasi selanjutnya ditambahkan larutan HCl 1 N dengan perbandingan 1:7 b/v. Proses pencampuran dipercepat dengan pengadukan agar terjadi reaksi antara mineral dengan HCl. Pencucian dilakukan terhadap bahan tersebut sampai netral.

c. Deasetilasi Sampel kitin direndam dalam larutan NaOH 50% dengan perbandingan 1:20 b/v. Sampel tersebut dipanaskan pada suhu 100 ºC selama 2 jam sambil diaduk dan ditiriskan selanjutnta dicuci dengan air sampai netral. Kitosan dijemur sampai kering sehingga diperoleh kitosan larut asam. Diagram alir proses pembuatan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.

Analisis:

Bahan baku

   

Deproteinasi NaOH 3 N (1:10) 2 jam

Demineralisasi HCl 1 N (1:7) 2 Jam

Deasetilasi NaOH 50% (1:20) 2 Jam

Kitosan

Berat kering Kadar air (SNI 2006) Kadar abu (AOAC 2005) Kadar protein (AOAC 2005)

Analisis:      

Rendemen Kadar air (SNI 2006) Kadar abu (AOAC 2005) Kadar protein (AOAC 2005) Kadar lemak (AOAC 2005) Derajat deasetilasi (Swann dan Patwardhan 2011)  Viskositas (Sophanodora dan Benjakul (1993)  Logam berat (SNI 2013)

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan kitosan kulit udang Sumber : Suptijah et al. (1992)

Rendemen Kitosan (AOAC 2005) Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam mengetahui berat akhir suatu bahan setelah proses produksi. Persentase berat kitosan dalam cangkang udang windu (Penaeus monodon) dihitung dengan rumus:

Kadar Air (SNI 01-2354.2-2006) Prinsip penentuan kadar air adalah penghilangan molekul air pada bahan dengan oven pada suhu 95-100 ºC selama 16-24 jam. Penentuan kadar air dengan mengeringkan cawan porselin dalam oven pada suhu 105 ºC selama 1 jam. Cawan porselin dimasukkan ke dalam desikator selama ±15 menit dan ditimbang sampai diperoleh berat konstan (A: berat cawan). Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan porselin (B: berat cawan dan samperl sebelum dikeringkan). Sampel dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 ºC selama 5 jam. Sampel hasil pengeringan dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin ditimbang kembali

26

sampel (C: berat cawan dan sampel setelah dikeringkan). Kadar air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan: A : Berat cawan (gram) B : Berat sampel dan cawan sebelum dikeringkan (gram) C : Berat sampel dan cawan setelah dikeringkan (gram)

Kadar Abu (AOAC 2005) Analisis kadar abu dimulai dengan mengeringkan cawan pengabuan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 ºC. Cawan pengabuan dimasukkan ke dalam desikator selama 1 menit (A: berat cawan). Sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan selanjutnya dipijarkan di atas nyala api sampai tidak berasap lagi (B: berat cawan dan samperl sebelum dikeringkan). Sampel hasil pembakaran dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 ºC selama 7 jam. Sampel hasil pengabuan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang kembali (C: berat cawan dan sampel setelah dikeringkan). Kadar abu dapat dihitung dengan rumus berikut:

Keterangan: A : Berat cawan porselin kosong (gram) B : Berat sampel dan cawan sebelum dikeringkan (gram) C : Berat sampel dan cawan setelah dikeringkan (gram)

Total Nitrogen (AOAC 2005) Analisis kadar protein terdiri dari tiga tahap yaitu tahap destruksi, destilasi, dan titrasi. Analisis kadar protein dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 1 gram dan masukkan ke dalam labu Kjeldahl 50 mL dan 3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi hingga cairan berwarna hijau bening pada suhu 410 ºC. Campuran tersebut dibiarkan hingga dingin, kemudian dipindahkan ke alat destilasi. Labu Kjeldahl yang telah digunakan dicuci dengan akuades. Air cucian tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 20 mL NaOH pekat hingga berwarna coklat kehitaman, selanjutnya didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 mL yang berisi 5 mL H3BO3 dan diberikan indikator methylene blue, selanjutnya dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai berubah menjadi warna merah muda. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan persamaan di bawah ini:

Kadar Lemak Disability Soxhletasi (SNI 01-2354.3-2006) Prinsip pengujian kadar lemak adalah sampel diekstraksi dengan pelarut organik dengan bantuan pemanasan. Pelarut yang mengikat lemak selanjutnya dipisahkan dengan penguapan (evaporasi), sehingga lemak tertinggal dalam labu. Pengujian kadar lemak dengan menimbang labu lemak yang telah dipanaskan pada suhu 105–110 °C selama 1 jam (A gram). Sebanyak 1 gram sampel kitosan ditimbang (X gram). Sampel dimasukkan ke dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring ditutup dengan kapas bebas lemak. Selongsong dimasukkan ke dalam alat extractor soxhlet dengan menambahkan larutan petroleum eter sebagai larutan pengekstrak. Suhu pada alat extractor soxhlet diatur 60 °C selama 25 menit. Proses ekstraksi dan evaporasi dilakukan sebanyak 2 kali. Pengeringan labu lemak dalam oven dengan suhu 105 °C selama 1 jam. Pendinginan labu lemak dalam desikator selama 1 jam dan menimbang kembali berat labu (B gram). Penentuan rumus kadar lemak kasar sebagai berikut:

Keterangan: A = Berat labu lemak kosong (gram) B = Berat labu lemak dengan lemak (gram) X = Berat sampel (gram)

Viskositas Kitosan (Sophanodora dan Benjakul 1993) Analisis viskositas kitosan diukur menggunakan ubbelohde dilution viscometer VT 04. Sampel kitosan cair dimasukkan ke dalam cup viskometer. Spindel nomer 2 dimasukkan ke dalam cup yang berisi sediaan kitosan cair. Alat viscometer VT 04 dihidupkan hingga spindel berputar untuk mengukur viskositas pada sediaan kitosan cair selama 1 menit. Layar digital akan menunjukkan suatu angka (hasil pengukuran laju air sediaan). Angka tersebut merupakan nilai viskositas dari sediaan. Derajat Deasetilasi (Swann dan Patwardhan 2011) Pengujian Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) digunakan untuk menganalisis gugus fungsi dengan cara menentukan hasil spektrum bahan dengan serapan energi molekul organik melalui sinar Infrared. Sinar infrared digunakan untuk menentukan setiap gugus dalam molekul bahan. Setiap molekul memiliki serapan infrared yang berbeda-beda umumnya disajikan dalam bentuk panjang gelombang antara 450-4.000cm‾1. Tahapan analisis derajat deasetilasi sebagai berikut: Sampel uji yang disiapkan berupa garam rangkap dan garam kompleks. Sebanyak 1 mg garam rangkap CuSO4(NH3)2SO4 6H2O ditimbang dan dihaluskan bersamaan dengan 200 mg KBr menggunakan mortar hingga halus. Campuran bahan tersebut dibentuk pelet menggunakan alat press dan pre-vakum selama 2-3 menit. Bahan pelet selanjutnya dipres kembali menggunakan pompa hidrolik dengan mengatur tekanannya menjadi 80 KN selama 5 menit. Pelet yang telah siap dimasukkan ke dalam hollder pada lintasan sinar infrared FTIR. Pengukuran dilakukan dengan alat FTIR dengan mengamati grafik atau spektrum

28

yang terbentuk. Data yang dihasilkan disimpan dan dilakukan pembahasan terhadap puncak-puncak yang terbentuk. Logam Berat (SNI 7853:2013) Penetapan kadar logam secara kuantitas dilakukan dengan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Unsur logam dilepaskan dari matriks bahan dengan cara destruksi atau pengabuan dengan menggunakan microwave. Hasil destruksi diatomisasi dengan graphite furnace (GF). Atom dari unsur tersebut berinteraksi dengan sinar lampu katode (jenis logam) yang sesuai. Interaksi yang terjadi berupa serapan yang besarnya dapat dilihat dalam tampilan monitor AAS. Jumlah serapan sebanding dengan konsentrasi unsur logam. Pengujian kadar logam dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 5 gram. Sampel dimasukkan ke dalam beaker teflon secara merata agar mengalami proses pengeringan sempurna. Sampel dikeringkan kembali ke dalam oven pada suhu 105 ºC selama 24 jam. Sampel yang telah mengering selanjutnya dihaluskan hingga berbentuk bubuk. Sebanyak 4 gram sampel bubuk ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Sampel dimasukkan ke dalam beaker teflon. Sebanyak 5 mL larutan aqua regia (percampuran HCl dan HNO3 pekat dengan perbandingan 3:1 v/v) ditambahkan pada sampel dan dipanaskan pada suhu 130 °C hingga mengering. Sampel yang telah kering dipindahkan ke dalam sentrifus polietilen. Sebanyak 30 mL akuades ditambahkan ke dalam sampel dan dibiarkan mengendap. Fase cair dari sampel ditampung untuk diukur kadar logam dengan menggunakan Atomic Absorption Spektrofotometer (AAS) asetilen. Kadar logam berat dihitung dengan rumus:

Keterangan: D : kadar comtoh µg/L dari hasil pembacaan ASS E : kadar blangko contoh µg/L dari hasil pembacaan ASS W : berat contoh (gram) V : volume akhir larutan contoh yang disiapkan (mL) P : faktor pengencer

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Kitosan Kulit Udang Windu Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah kulit udang windu (Panaeus monodon) yang diperoleh dari pabrik pembekuan. Hasil karakteristik limbah kulit udang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil karakteristik limbah kulit udang Komposisi Kimia Kadar air Kadar abu Kadar protein

Persentasi (%) 12,09±0,008 24,42±0,004 20,27±0,006

Kulit udang mengandung beberapa komponen seperti pigmen, mineral, protein, dan kitin. Berdasarkan hasil analisis kulit udang diperoleh kadar air (12,09±0,008%), kadar abu (24,42±0,004%), dan kadar protein (20,27±0,06%). Hasil penelitian Isa et al. (2012) kulit udang mengandung kadar protein (15,05%) dan kitin (8,15%). Ploydee dan Chaiyana (2014) menyatakan limbah kepala udang segar mengandung kadar air (86,1±2,2%), kadar abu (22,2±0,6%), protein kasar (40,7±2,7%), lemak (13,9±1,1%), dan kitin (23,2%). Semua komponen dari kulit udang dapat diisolasi dan diekstraksi dengan menerapkan sistem zero waste sehingga kulit udang tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Rendemen Kitosan Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam pembuatan kitosan. Efisien dan efektifnya proses ekstraksi bahan baku untuk pembuatan kitosan dapat dilihat dari nilai rendemen yang dihasilkan. Rendemen kitosan diperoleh dari perbandingan antara berat kering kitosan yang dihasilkan dengan berat bahan baku. Semakin besar rendemen yang dihasilkan maka semakin efisien perlakuan yang diterapkan. Rendemen kitosan hasil penelitian ini adalah 14%. Berdasarkan hasil penelitian Islama et al. (2011) berkisar 15,21-18%; Hossain (2013) 15,14%; Mohanasrinivasan et al. (2013) 17%. Kitosan dihasilkan melalui proses deasetilasi dengan basa konsentrat. Rendemen kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi reagen, temperatur, waktu reaksi, dan ukuran partikel. Konsentrasi NaOH tinggi akan meningkatkan jumlah gugus asetil yang terlepas dari kitin sehingga meningkatkan derajat deasetilasi kitosan. Temperatur rendah akan memperlambat laju reaksi. Berdasarkan penelitian Partia (2013) pengaruh suhu dan waktu pemanasan pada proses deasetilasi kitin akan menurunkan rendemen kitosan. Hal ini dikarenakan suhu yang tinggi akan menyebabkan rantai molekul pada kitosan akan terdepolimerisasi dan mengakibatkan terjadinya penurunan berat molekul dan rendemen kitosan.

30

Karakteristik Kitosan Karakterisasi kitosan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi bau, warna, bentuk, kadar air, kadar abu, kadar lemak, karbohidrat, total nitrogen, viskositas, logam berat, dan derajat deasetilasi. Hasil analisis karakteristik kitosan dari limbah udang windu (Peneaus monodon) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik kitosan kulit udang (% Basis kering)

Spesifikasi Warna Bau Bentuk Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar lemak (%) Total nitrogen (%) Karbohidrat (%) Viskositas (cPs) Derajat deasetilasi (%) Keterangan: *) by difference

Hasil Analisis Putih Kecokelatan

EFSA 2010

Tidak berbau Serpihan 12,29 0,99 3,13 2,20 81,39* 1.713,04 98,65

≤ 10 ≤3 ≤1 ≤6 ≥ 90

-

GRAS 2012 White to off white powder Netral 18-120 mesh ≥ 10 ≤ 0.5 0,02 g/100g 25-5.000 75-95

Warna dan Bau Kitosan yang diperoleh dari penelitian ini berwarna putih kecokelatan dan berbentuk serpihan. Hasil penelitian Suptijah et al. (1992) kitosan berwarna putih kekuningan dan berbentuk serpihan atau bubuk halus. Warna kitosan yang dihasilkan dari penelitian ini disebabkan selama proses demineralisasi dan deproteinasi masih terdapat bahan organik yang belum hilang secara sempurna. Hasil penelitian Ploydee dan Chaiyana (2014) menyatakan bahwa kitosan yang diproduksi dengan cara biologis memiliki warna lebih gelap dibandingkan dengan kitosan yang diproduksi secara kimia. Hal ini diduga masih terdapatnya kandungan protein yang mencapai 0,4±0,3% dan kalsium 1,6±0,6% selama proses produksi. Berdasarkan GRAS (2012) kitosan komersil berbentuk serbuk, berwarna putih, dan tidak berbau. Kadar Air Kadar air yang dihasilkan merupakan perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan. Kadar air kulit udang 12,09±0,008 (Tabel 1). Hal ini dikarenakan setiap bahan bila diletakkan dalam udara terbuka maka kadar air akan mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara disekitarnya. Kadar air kitosan penelitian ini adalah 12,29% (Tabel 2). Kadar air kitosan hasil penelitian Suptijah et al. (1992) kurang dari 10%; Isa et al. (2012) 1,40%; Abdulkarim et al. (2013) 8,70%; Walke et al. (2014) 1,8%. Kadar air yang tinggi dari hasil penelitian ini diduga diakibatkan terjadinya penyerapan uap air ketika kitosan dalam keadaan terbuka. Hal ini dikarenakan kitosan mengandung gugus amino yang memiliki kemampuan untuk mengikat molekul air. Walke et al. (2014) menyatakan bahwa kitosan merupakan senyawa yang bersifat higroskopis di alam oleh karena itu sampel kitosan

memiliki kemampuan menyerap air selama peyimpanan. Kadar air kitosan komersil berdasarkan EFSA (2010) yaitu ≤ 10%; GRAS (2012) yaitu ≥ 10%. Kadar Abu Abu merupakan residu anorganik yang diperoleh dengan cara mengabukan komponen-komponen organik dalam suatu bahan. Jumlah dan komposisi abu dalam mineral tergantung pada jenis bahan. Kadar abu bisa digunakan sebagai indikasi kandungan mineral dalam sampel. Kadar abu merupakan bagian berat mineral dari bahan yang didasarkan atas berat keringnya. Tabel 1 menyatakan bahwa bahan baku kulit udang memiliki kadar abu yang tinggi yaitu 24,42±0,004% yang disebabkan banyaknya mineral yang terdapat dalam kutikula kulit udang. Kadar abu setelah menjadi kitosan menurun hingga mencapai 0,99% (Tabel 2) yang berarti kandungan mineral yang tersisa sangat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa proses demineralisasi pada pembuatan kitosan telah berjalan dengan baik sehingga tidak banyak mineral tersisa. Kadar abu kitosan hasil penelitian Suptijah et al. (1992) 2,5%; Islama et al. (2011) 1,20%; Isa et al. (2012) 5,60%; Mohanasrinivasan et al. (2013) 2,28%. Kadar abu yang rendah dari kitosan hasil penelitian dipengaruhi oleh konsentrasi asam klorida dan suhu pemanasan. Asam klorida dalam proses demineralisasi berperan melarutkan garam kalsium dengan terbentuknya gas CO2 dan H2O dipermukaan larutan. Hasil penelitian Walke et al. (2014) menyatakan bahwa proses demineralisasi akan berjalan dengan baik pada konsentrasi HCl 1 N dengan suhu 110 ºC dan lama pemanasan 30 menit menghasilkan kadar abu 0,48%. Kandungan abu dari kitosan merupakan parameter yang penting. Kadar abu yang besar dapat mempengaruhi tingkat kelarutan dan dapat menurunkan viskositas. Penentuan kadar abu merupakan indikator keefektifan dari tahap demineralisasi untuk menghilangkan mineral pada kulit udang. Besarnya kadar abu yang terkandung pada bahan menunjukkan proses demineralisasi yang kurang sempurna. Kadar abu kitosan komersil berdasarkan EFSA (2010) yaitu ≤ 3%; GRAS (2012) yaitu ≤1%. Kadar Lemak Analisis kadar lemak dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kandungan lemak yang terdapat pada kitosan. Validitas hasil analisis tergantung sampel yang baik dan persiapan sampel sebelum dilakukan analisis. Idealnya komposisi sampel yang dianalisis harus mendekati sama dengan kondisi saat sampel diambil (Hermanto et al. 2007). Hasil pengujian kadar lemak kitosan pada penelitian ini adalah 3,13% (Tabel 2). Hasil penelitian Trung dan Phuong (2012) menyebutkan kadar lemak kulit udang 11,9±1,4%. Kadar lemak yang tinggi dari kitosan hasil penelitian dipengaruhi konsentrasi asam pada proses demineralisasi dan konsentrasi basa pada proses deproteinasi. Semakin tinggi konsentrasi larutan diharapkan mampu mendenaturasi protein, lemak, pigmen, dan beberapa bahan organik serta melepaskan mineral pada bahan. Berdasarkan hasil penelitian Naznin (2005) kadar lemak kitosan berkisar 0,70-4,01%. Hal ini dikarenakan kosentrasi larutan yang tinggi pada proses demineralisasi dan deproteinasi dapat mereduksi protein, lemak, pigmen, dan beberapa bahan organik.

32

Total Nitrogen Protein merupakan senyawa organik yang kompleks. Struktur dasar dari protein adalah rantai asam amino dan berperan sebagai cadangan energi bagi tubuh. Protein merupakan bagian terpenting dari molekul biokimia dalam kehidupan setiap makhluk hidup setelah lemak dan karbohidrat. Protein merupakan komponen dasar dari jaringan hewan (Mandel et al. 2012). Tabel 1 menyatakan bahwa bahan baku kulit udang memiliki kadar protein yang cukup tinggi yaitu 20,27±0,06%. Hal ini dikarenakan protein merupakan komponen utama penyusun jaringan kulit udang setelah kitin dan beberapa mineral. Kadar nitrogen setelah menjadi kitosan dalam penelitian ini 2,20% (Tabel 2). Kadar nitrogen kitosan berdasarkan hasil penelitian Suptijah et al. (1992) ≤ 1%; Trung dan Phuong (2012) 0,93±0,1%. Kadar nitrogen yang tinggi dari hasil penelitian diduga diakibatkan proses deproteinasi yang tidak sempurna sehingga menyebabkan rantai asam amino tidak dapat dirombak sehingga denaturasi protein tidak berlangsung dengan baik dan kadar protein pada kitosan masih cenderung tinggi. Abdulkarim et al. (2013) menyatakan bahwa kadar protein kitosan yang tinggi dapat dikaitkan dengan waktu perendaman, dan metode yang digunakan selama proses pembuatan kitosan. Kadar nitrogen kitosan komersil berdasarkan EFSA (2010) yaitu ≤ 6%; GRAS (2012) yaitu ≤ 0,02 gram/100 gram. Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang merupakan turunan dari gula. Sumber gula utama adalah glukosa dan galaktosa walaupun beberapa bahan juga mengandung maltosa dan fruktosa. Glukosa akan dimetabolisme dalam proses glikolisis membentuk pirufat dan dapat diubah menjadi laktat dan memasuki siklus asam sitrat yang membentuk CO2. Hasil perhitungan kadar karbohidrat pada penelitian ini dengan metode by difference menunjukkan bahwa kitosan mangandung karbohidrat 81,39%. Kadar karbohidrat kitosan berdasarkan hasil penelitian Isa et al. (2012) 74.12%; Kamala et al. (2013) 54,31%. Metode by difference ini masih digunakan oleh FDA tetapi metode ini dapat menghasilkan nilai yang salah karena ada kemungkinan terjadi akumulasi kesalahan dari metode-metode yang digunakan untuk mengukur komponen lain, dan kemungkinan adanya komponen non karbohidrat yang terukur sebagai karbohidrat dan menyebabkan penyimpangan yang lebih besar. Viskositas Viskositas merupakan salah satu sifat fisik kitosan yang cukup penting. Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan. Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan kitosan sebagai larutan pada konsentrasi dan suhu tertentu. Viskositas kitosan biasanya diukur pada suhu 60 ºC dengan konsentrasi 6,67% (b/b) (Leiner 2006). Viskositas kitosan yang diperoleh dari penelitian ini adalah 1.713,04 cPs (Tabel 2). Viskositas diukur dengan viskometer ubbelohde pada kecepatan 50 rpm menggunakan spindel nomor 2 selama 1 menit. Berdasarkan hasil penelitian Suptijah et al. (1992) nilai viskositas kitosan 600 cPs; Trung dan Phuong (2012) 1.214±52 cPs; Walkes et al. (2014) 602 cPs. Kisaran nilai ini telah masuk standar viskositas kitosan antara 25-5.000 cPs (GRAS 2012). Nilai viskositas yang tinggi

dari penelitian ini dipengaruhi oleh distribusi molekul kitosan dalam larutan serta berat molekut dari kitosan, sedangkan berat molekul kitosan berhubungan langsung dengan panjang rantai polimernya. Jika ukuran rantai polimernya menjadi kecil maka laju gerak translasinya menjadi cepat sehingga viskositas menjadi rendah dan sebaliknya. Berdasarkan hasil penelitian Avena et al. (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi berat molekul dari kitosan maka distribusi molekul kitosan dalam larutan semakin lambat sehingga menghasilkan viskositas yang tinggi, sebaliknya semakin kecil berat molekul kitosan maka distribusi molekul kitosan dalam larutan semakin cepat sehingga menghasilkan kitosan dengan viskositas yang rendah. Derajat Deasetilasi Derajat deasetilasi (DD) merupakan suatu parameter lepasnya gugus asetil dari kitin. Derajat deasetilasi diketahui dengan perhitungan berdasarkan ikatan amida dan adanya gugus amina dari spektrum FTIR. Derajat deasetilasi kitosan penelitian ini adalah 98,65% lebih tinggi dari standar mutu kitosan yang telah ditetapkan (GRAS 2012) yaitu 75-95%. Berdasarkan hasil penelitian Suptijah et al. (1992) derajat deasetilasi kitosan berkisar 80-90%; Mohanasrinivasan et al. (2013) 74,82%; Trung dan Phuong (2012) 82,3±05%; Hossain (2013) 81,24%; Walke et al. (2014) 75-85%. Derajat deasetilasi merupakan parameter penting yang mempengaruhi sifat kitosan seperti kelarutan, reaktivitas kimia, dan biodegradasi. Spektrum FTIR kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Spektrum FTIR kitosan

Derajat deasetilasi yang tinggi diduga dipengaruhi oleh proses deasetilasi kitin menjadi kitosan meliputi jumlah larutan alkali yang digunakan, waktu, dan suhu reaksi. Pada penelitian ini menggunakan metode Suptijah et al. (1992) konsentrasi NaOH 50% pada suhu 100 ºC selama 2 jam. Hal ini erat kaitanya dengan laju reaksi dimana konsentrasi NaOH yang tinggi menghasilkan gugus OH‾ yang tinggi sehingga gugus CH3COO‾ yang terlepas semakin tinggi dan

34

menghasilkan gugus amida yang semakin banyak. Peningkatan suhu pada proses deasetilasi akan meningkatkan kecepatan reaksi dalam deasetilasi molekul kitin menjadi kitosan. Semakin lama waktu proses maka reaksi akan berlangsung semakin lama sehingga molekul NaOH yang teradisi ke molekul kitin semakin banyak dan menyebabkan gugus asetil yang terlepas semakin banyak. Shahidi (2005) menyatakan bahwa suhu yang tinggi akan menyebabkan ikatan antar sesama molekul menjadi lemah, viskositas menjadi rendah, dan molekul bergerak lebih cepat sehingga gugus OH‾ dari larutan NaOH akan lebih cepat beradisi dengan gugus NHCOCH3 pada kitin dalam mengeliminasi gugus asetil. Rokhati (2006) menambahkan bahwa waktu reaksi juga menyebabkan terjadinya degradasi kitosan yang ditandai dengan menurunnya viskositas sehingga lamanya waktu proses tidak begitu berpengaruh terhadap derajat deasetilasi. Sedjati et al. (2007) menyatakan semakin tinggi mutu kitosan berarti semakin tinggi pula tingkat kemurniannya. Kemurnian kitosan dapat dilihat dari kadar air dan kadar abu yang rendah dengan derajat deasetilasi yang tinggi. Semakin tinggi derajat deasetilasinya maka semakin banyak gugus amino pada rantai molekul kitosan sehingga kitosan akan semakin reaktif. Kadar Logam Berat Logam berat merupakan bahan pencemar berbahaya karena bersifat toksik dan mempengaruhi berbagai aspek biologi dan ekologi. Pembuangan limbah logam berat ke lingkungan sungai, muara dan pantai dapat merusak lingkungan, beracun bagi organisme dan biota di lingkungan akuatik, kebanyakan berasal dari sumber antropogenik yang terus meningkat, informasi mengenai perilaku dan biotoksisitasnya masih terbatas dan terjadi akumulasi pada organisme akuatik (Setyawan et al. 2004). Pengujian kadar logam berat dilakukan untuk mengetahui kandungan logam berat jenis merkuri, kadmium, tembaga, timbal, dan arsen yang terdapat pada kitosan. Hasil pengujian kandungan logam berat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kandungan logam berat kitosan Logam Merkuri Kadmium Tembaga Timbal Arsen

Hasil Analisis (ppm) 0,00001±2,7735 0,00079±3,4641 0,01105±1,7320 0,00316±2,3094 0,00098±1,7320

BPOM (2007) (ppm) <5 <5 <5 <5

EFSA (2010) (ppm) 0,100 0,250 0,250 0,250

GRAS (2012) (ppm) 0,005 0,050 0,100 0,100

Logam berat adalah logam dengan massa jenis 5 gram/cm3 atau lebih dengan nomor atom 22-92. Logam ringan adalah logam yang mempunyai berat jenis <5 gram/cm3 (Sudarmaji et al. 2006). Beberapa jenis logam berat misalnya kadmium, merkuri, timbal, arsen, dan tembaga merupakan elemen yang sangat beracun yang dapat mempengaruhi banyak spesies makhluk hidup terutama manusia (Hadi 2014). Spesies krustasea masih mampu mereduksi logam esensial seperti zing, tembaga, dan Mn namun tidak mampu meredukdi logam non esensial contoh tembaga dan merkuri (Darmono 1995).

Merkuri Merkuri (Hg) adalah salah satu jenis logam berat yang sangat berbahaya, khususnya metil merkuri (MeHg). Melalui proses akumulasi secara biologi (bioakumulasi), proses perpindahan secara biologi (biotransfer), dan pembesaran secara biologi (biomagnifikasi) yang terjadi secara alamiah. Organisme laut mengakumulasi MeHg dalam konsentrasi tinggi dan selanjutnya terjadi keracunan pada manusia yang mengkonsumsinya (Lasut 2009). Hasil analisis kandungan logam merkuri kitosan 0,00001±2,7735 ppm. Nilai ini masih di bawah standar mutu yang ditetapkan oleh BPOM (2007) 5 ppm; EFSA (2010) 0,100 ppm; GRAS (2012) 0,005 ppm. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kitosan masih aman untuk dikonsumsi sebagai bahan tambahan makanan. Barrebard et al. (1994) menyatakan bahwa efek keracunan merkuri tergantung dari kepekaan individu dan faktor genetik. Individu yang peka terhadap keracunan merkuri adalah anak dalam kandungan (prenatal), bayi, anakanak, dan orang tua. Gejala yang timbul akibat keracunan merkuri dapat merupakan gangguan psikologik berupa rasa cemas. Kadmium Kadmium (Cd) merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah. Apabila kadmium masuk ke dalam tubuh maka sebagian besar akan terakumulasi di dalam ginjal, hati, dan sebagian yang dikeluarkan lewat saluran pencernaan. Kadmium dapat mempengaruhi otot polos pembuluh darah secara langsung maupun tidak langsung melalui ginjal akibatnya terjadi kenaikan tekanan darah. Senyawa ini bisa mengakibatkan penyakit liver dan gangguan ginjal serta tulang. Hasil pengukuran kandungan kadmium pada kitosan 0,00079±3,4641 ppm. Nilai ini masih berada di bawah standar yang direkomendasikan BPOM (2007) <5 ppm; EFSA (2010) 0,250 ppm; GRAS (2012) 0,50 ppm. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kitosan memiliki kandungan kadmium yang sangat rendah sehingga kitosan dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada makanan. Darmono (1999) menyatakan bahwa kadmium adalah logam non-esenssial yang sering mencemari lingkungan dan mengakibatkan toksik pada hewan dan manusia. Sifatnya mudah terakumulasi dalam jaringan tanaman dan hewan. Tembaga Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam non-ferrous yang paling penting dan banyak dipakai mulai dari industri sederhana sampai industri berteknologi tinggi. Tembaga adalah bahan penting yang sangat diperlukan dalam berbagai aplikasi karena sifat fisik dan mekanis termasuk konduktivitas listrik dan panas yang luar biasa tinggi, ketahanan terhadap korosi yang tinggi, dan mempunyai kemampuan las yang baik. Banyak penelitian yang telah dilakukan pada tembaga baik secara mikroskopik maupun makroskopik (Arifin 2007). Hasil pengukuran kandungan tembaga pada kitosan 0,01105±1,7320 ppm. Nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa kitosan memiliki kandungan tembaga yang rendah hal ini dikarenakan tidak adanya aktivitas industri di sekitar perairan yang menghasilkan buangan sehingga kitosan dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada makanan dan nutraseutika. Hendri et al. (2010) menyatakan bahwa logam tembaga merupakan logam esensial bagi hewan air yang bermanfaat

36

dalam pembentukan heamosianin sistem darah dan enzimatik hewan air. Logam tembaga dibutuhkan organisme laut untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya sebagai kofaktor kerja enzim. Akan tetapi bila jumlah tembaga yang masuk ke dalam tubuh secara berlebihan maka akan berubah fungsi menjadi racun bagi tubuh organisme tersebut. Timbal Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal dengan nama timah hitam, dalam bahasa ilmiahnya dinamakan Plumbum, logam ini disimbolkan dengan Pb. Timbal merupakan salah satu logam berat yang mencemari lingkungan terutama yang berasal dari gas buangan kendaraan bermotor. Timbal ditambahkan sebagai bahan adiktif bensin dalam bentuk timbal organik (Hobbelen et al. 2004). Hasil pengukuran kandungan timbal pada kitosan 0,00316±2,3094 ppm. Nilai ini masih berada di bawah standar yang direkomendasikan BPOM (2007) <5 ppm; EFSA (2010) 0,250 ppm; GRAS (2012) 0,100 ppm. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kitosan memiliki kandungan timbal yang sangat rendah sehingga kitosan dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada makanan. Kandungan timbal pada kitosan dapat terdeteksi dengan adanya akumulasi timbal pada pembakaran kendaraan bermotor yang menyebabkan terjadinya peningkatan gas emisi buang yang menggandung timbal. Gas emisi yang dihasilkan akan mencemari tanaman. Darmono (2001) menunjukkan toksisitas akut pada sapi yang mengalami keracunan timbal dengan pemberian pakan yang mengandung timbal yang berbeda. Akumulasi timbal terjadi pada jaringan hati, ginjal, dan otot hewan percobaan. Arsen Arsen (As) merupakan salah satu logam berat yang digunakan dalam kehidupan manusia. Arsen adalah suatu unsur kimia metaloid (Herman 2006). Logam arsen sebenarnya tidak beracun hanya saja bila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dapat menjadi beracun. Hal ini dipengaruhi oleh respirasi seluler dengan mengkombinasikan dengan beberapa sulfihidril dari enzim mitokondrial, oksidasi piruvat, dan fosfatase tertentu (Lubis dan Aman 2006). Hasil pengukuran kandungan As pada kitosan 0,00098±1,7320 ppm. Nilai ini masih berada di bawah standar yang rekomendasikan BPOM (2007) <5 ppm; EFSA (2010) 0,250 ppm; FDA (2012) 0,100 ppm. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kitosan memiliki kandungan As yang cukup rendah sehingga kitosan dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada makanan. Kadar logam arsen yang rendah diduga karena tidak adanya aktivitas industri pertambangan yang membuang limbah ke perairan sekitar tempat pengambilan sampel. Kitong et al. (2012) menyatakan bahwa konsentrasi alami arsen dalam sedimen perairan berkisar antara 1-50 ppm. Konsentrasi arsen menurun dengan semakin jauhnya jarak dari daerah pertambangan. Konsentrasi arsen pada sedimen dua kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi arsen ditanah. Hal ini disebabkan karena pelapukan batu yang lebih tinggi dan masukan dari sumber-sumber antropogenik sehingga kandungan arsen lebih tinggi disedimen sungai dari pada ditanah.

Simpulan Berdasarkan hasil karakteristik kitosan limbah kulit udang windu maka dapat disimpulkan bahwa rendemen yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 14%. Kitosan mengandung kadar air 12,29%; kadar abu 0,99%; kadar lemak 3,13%; kadar nitrogen 2,20%; karbohidrat 81,39%; viskositas 1.713,04 cPs; dan derajat deasetilasi 98,65%. Analisis kandungan logam berat merkuri 0,00001±2,7735 ppm; kadmium 0,00079±3,4641 ppm; tembaga 0,01105±1,7320 ppm; timbal 0,00316±2,3094 ppm; dan arsen 0,00098±1,7320 ppm masih berada di bawah standar sebagai bahan tambahan pangan dan nutraseutika. Saran Diperlukan pengembangan metode cut processing dalam ekstraksi kitosan untuk meminimalkan waktu dan biaya produksi.

38

3 PENERAPAN METODE HIDROLISIS BERTEKANAN PADA PRODUKSI GLUKOSAMIN

Latar Belakang Glukosamin adalah salah satu turunan dari kitosan dan merupakan gula amino dan prekursor penting dalam sintesis biokimia dari protein glikolisis dan lipid (Kelly 1998). Glukosamin hidroklorida memiliki nama lain yakni 2-amino-2-deoksi-D-glukosa, kitosamin hidroklorida, dan D-(+)-glukosamin hidroklorida. Secara struktural, glukosamin merupakan gula beramin dengan rumus molekul C6H13NO5HCl dengan berat molekul 215,63 kDa. Glukosamin dalam bentuk murni umumnya berbentuk serbuk kristal putih dengan titik leleh 190-194 ºC. Glukosamin memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dalam air dengan titik larut 100 mg/mL pada suhu 20 ºC (Kralovec dan Barrow 2008). Glukosamin dapat dihasilkan dengan beberapa metode ekstraksi yakni proses kimiawi, proses enzimatis, proses fermentasi, dan proses gabungan antara ketiganya. Ekstraksi secara kimiawi menghasilkan rendeman 87,3% (Mojarrad et al. 2007); 45,64±1,95% (Afridina 2011); 51,04% (Rismawan 2012); 68,91% (Sibi et al. 2013). Secara enzimatis menghasilkan rendemen 50% (Cui et al. 2006); 0,19 g/15 jam (Hsieh et al. 2007); 42% (Jamailahmadi et al. 2011); 91,1% (Pan et al. 2011), 42% (Wu 2011). Secara fermentasi menghasilkan rendemen 5,48% (Chang et al. 2011); 7,86% (Sitanggang et al. 2012). Kombinasi ekstraksi secara enzimatis dan kimiawi menghasilkan rendemen 11,7% (Nwe et al. 2002). Pada ekstraksi glukosamin dengan menerapkan metode hidrolisis bertekanan dengan autoklaf menghasilkan rendemen sebesar 69,80%, loss on drying sebesar 0,92%, dan titik leleh 190-192 ºC (Ernawati 2012). Proses ekstraksi yang umum dilakukan pada produksi glukosamin skala industri adalah proses hidrolisis kimiawi dengan kombinasi asam HCl dan basa NaOH pada konsentrasi tertentu. Kajian tentang ekstraksi glukosamin secara kimiawi dengan penerapan metode hidrolisis bertekanan perlu dilakukan untuk mengoptimalkan konsentrasi asam HCl dan waktu pemanasan. Penerapan metode ini tidak dapat mengontrol suhu dan tekanan selama proses ekstraksi. Hasil penelitian yang diharapkan adalah memperoleh metode produksi glukosamin hidroklorida yang efektif dan efisien baik dari segi kualitas dan kuantitas, waktu ekstraksi, biaya produksi, dan tingkat keamanan. Penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi asam HCl dan waktu pemanasan terbaik dalam pembuatan glukosamin dengan menerapkan metode hidrolisis bertekanan.

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2014. Bertempat di Laboratorium Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan, Laboratoriam Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Pengujian Hasil Hutan Fakultas Kehutanan dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan limbah udang windu (Panaeus monodon) dari Tahap 1, asam klorida (HCl) 5%, 8% dan 10%, isopropil alkohol (IPA). Bahan pendukung lainnya untuk analisis spesifikasi glukosamin antara lain akuades, K2SO4 pekat 1 mL. Alat yang digunakan antara lain presto stainless steel (Vicenza), kompor gas (Hitachi), timbangan digital (Quattro), jar, dan gelas ukur (Pyrex). Alat yang digunakan untuk analisis spesifikasi glukosamin antara lain oven listrik (Yamato DV 41), tanur listrik (Yamato), desikator (Pyrex Duran), cawan petri (Pyrex), cawan porselin, gegep, gelas piala 200 mL (Pyrex), termometer, kertas saring, pipet tetes (Pyrex), tabung reaksi (Pyrex), labu takar (Pyrex), pH meter (Hanna), seperangkat alat Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), dan Atomic Absorption Spektrofotometer (AAS). Tahap Penelitian Pada penelitian pendahuluan dalam pembuatan glukosamin dengan menggunakan presto tekanan ±0,8-1 Atm/psi pada perlakuan konsentrasi asam HCl 3%, 4%, dan 5% b/v dan waktu pemanasan selama 30 menit. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi HCl 5% mampu menghidrolisis kitosan menjadi glukosamin sacara sempurna. Konsentrasi HCl 3% dan 4% belum mampu menghidrolisis kitosan menjadi glukosamin secara sempurna. Berdasarkan hal tersebut pada penelitian utama menggunakan konsentrasi HCl 5%, 8%, dan 10% dan waktu pemanasan hingga 150 menit diharapkan mampu menghasilkan glukosamin dengan kualitas yang baik. Pada penelitian utama proses pembuatan glukosamin metode hidrolisis bertekanan dengan tekanan ±0,8-1 Atm/psi menggunakan presto dengan perlakuan konsentrasi HCl 5%, 8%, dan 10% b/v dan waktu pemanasan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Sampel diekstraksi dalam jar dengan berbagai konsentrasi dan lama pemanasan yang berbeda. Kemudian alkohol ditambahkan pada sampel untuk memisahkan sampel dan pengotor, selanjutnya dicuci dengan isopropil alkohol (IPA) hingga pH mencapai 3-5. Glukosamin dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 40 ºC selama 48 jam sehingga diperoleh glukosamin hidroklorida yang siap untuk digunakan. Diagram alir proses pembuatan glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan dapat dilihat pada Gambar 3.

40

Kitosan

Konsentrasi HCl 5, 8, dan 10% waktu pemanasan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit Tekanan ±0,8-1 Atm/psi Analisis: Presipitasi Alkohol

Penetralan pH 3-5

Glukosamin

 Kelarutan (Ernawati 2013)  pH (SNI 2004)  Loss on drying (Ileleji et al. 2010)  Loss on Ignition (Santisteban et al. 2004)  Derajat deasetilasi (Swann dan Patwardhan 2011)  Logam berat (SNI 2013)

Gambar 3 Pembuatan glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan

Rendemen Glukosamin (AOAC 2005) Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam mengetahui berat akhir suatu bahan setelah proses produksi. Persentase (%) berat glukosamin dari kitosan dihitung dengan rumus:

Uji Kelarutan (Ernawati 2013) Kelarutan merupakan salah satu cara yang paling mudah dilakukan untuk mengetahui sampel sebagai glukosa atau glukosamin. Uji ini dilakukan dengan cara melarutkan sampel glukosamin dalam air. Sebanyak 100 mg sampel dilarutkan dalam 1 mL air dingin bersuhu 24 ºC sehingga sampel larut sempurna. Derajat Keasaman (SNI 06-6989.11:2004) Salah satu parameter yang ditetapkan dalam penentuan standar mutu glukosamin adalah pH atau derajat keasamannya. Pengukuran pH adalah pengukuran banyaknya ion H+ pada suatu larutan. Cara determinasi pH glukosamin menggunakan pH meter dengan cara menimbang sebanyak 1 gram sempel selanjutnya dituangkan ke gelas piala 40 mL yang telah berisi air dan mengukur tingkat keasamannya pada suhu 25 °C menggunakan pH meter.

Loss on Drying (Ileleji et al. 2010) Timbang 1 gram sampel glukosamin (W1). Cawan perti yang berisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 ºC selama 3 jam. Sampel yang telah dipanaskan ditimbang kembali (W2). Bobot yang hilang selama pemanasan (loss on drying) dihitung dengan persamaan berikut:

Keterangan: W1: Bobot sampel awal sebelum dioven W2: Bobot sampel setelah dioven

Loss on Ignition (Santisteban et al. 2004) Residu pengapian dilakukan untuk mengukur berat sisa dari sampel ketika asam sulfat ditambahkan ke dalam sampel dan dinyalakan. Pengukuran residu pengapian dilakukan sebagai berikut: Cawan porselin dipanaskan dalam tanur listrik suhu 600 °C selama 30 menit. Cawan porselin ditimbang secara akurat dengan menggunakan timbangan analitik (B). Sebanyak 1 gram sampel ditimbang (C). Sebanyak 1 mL asam sulfat ditambahkan ke dalam sampel selanjutnya dipanaskan dengan bunsen gas menggunakan api kecil sampai sampel hangus terbakar secara menyeluruh. Sebanyak 1 mL asam sulfat ditambahkan pada sampel hangus sampai merata. Sampel dipanaskan kembali dengan api sedang sampai mengeluarkan asap putih. Sampel dimasukkan ke dalam tahur listrik pada suhu 600 °C selama 2 jam. Sampel ditimbang untuk mengetahui residu dari pembakaran (A). Perhitungan Loss on Ingition dengan rumus:

A: berat wadah dan residu setelah pemanasan B: berat wadah kosong C: berat sampel

Derajat Deasetilasi (Swann dan Patwardhan 2011) Pengujian Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) digunakan untuk menganalisis gugus fungsi dengan cara menentukan hasil spektrum bahan dengan serapan energi molekul organik melalui sinar Infrared. Sinar infrared digunakan untuk menentukan setiap gugus dalam molekul bahan. Setiap molekul memiliki serapan infrared yang berbeda-beda umumnya disajikan dalam bentuk panjang gelombang antara 450-4.000 cm‾1. Tahapan dari analisis derajat deasetilasi sebagai berikut: Sampel uji yang disiapkan berupa garam rangkap dan garam kompleks. Sebanyak 1 mg garam rangkap CuSO4(NH3)2SO4 6H2O ditimbang dan dihaluskan bersamaan dengan 200 mg KBr menggunakan mortar hingga halus. Campuran bahan tersebut dibentuk pelet menggunakan alat press dan pre-vakum selama 2-3 menit. Bahan pelet selanjutnya dipres kembali menggunakan pompa hidrolik dengan mengatur tekanannya menjadi 80 KN selama 5 menit. Pelet yang telah siap dimasukkan ke dalam hollder pada lintasan sinar infrared FTIR. Pengukuran dilakukan dengan alat FTIR dengan mengamati

42

grafik atau spektrum yang terbentuk. Data yang dihasilkan disimpan dan dilakukan pembahasan terhadap puncak-puncak yang terbentuk. Logam Berat (SNI 7853:2013) Penetapan kadar logam secara kuantitas dilakukan dengan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Unsur logam dilepaskan dari matriks bahan dengan cara destruksi atau pengabuan menggunakan microwave. Hasil destruksi diautomisasi dengan graphite furnace (GF). Atom dari unsur tersebut berinteraksi dengan sinar lampu katoda (jenis logam) yang sesuai. Interaksi yang terjadi berupa serapan yang besarnya dapat dilihat dalam tampilan monitor AAS. Jumlah serapan sebanding dengan konsentrasi unsur logam. Pengujian kadar logam dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 5 gram. Sampel dimasukkan ke dalam beaker teflon secara merata agar mengalami proses pengeringan sempurna. Sampel dikeringkan kembali ke dalam oven pada suhu 105 ºC selama 24 jam. Sampel yang telah mengering selanjutnya dihaluskan hingga berbentuk bubuk. Sebanyak 4 gram sampel bubuk ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Sampel dimasukkan ke dalam beaker teflon. Sebanyak 5 mL larutan aqua regia (percampuran HCl dan HNO3 pekat dengan perbandingan 3:1 v/v) ditambahkan pada sampel dan dipanaskan pada suhu 130 °C hingga mengering. Sampel yang telah kering dipindahkan ke dalam sentrifus polietilen. Sebanyak 30 mL akuades ditambahkan ke dalam sampel dan dibiarkan mengendap. Fase cair dari sampel ditampung untuk diukur kadar logam dengan menggunakan Atomic Absorption Spektrofotometer (AAS) asetilen. Kadar logam berat dihitung dengan rumus:

Keterangan: D : Kadar contoh µg/L dari hasil pembacaan ASS E : Kadar blangko contoh µg/L dari hasil pembacaan ASS W : Berat contoh (gram) V : Volume akhir larutan contoh yang disiapkan (mL) P : Faktor pengencer

Analisa Data Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor perlakuan yaitu konsentrasi asam HCl dan waktu pemanasan. Perlakuan konsentrasi asam terdiri tiga taraf yaitu konsentrasi HCl 5%, konsentrasi HCl 8%, dan konsentrasi HCl 10%. Perlakuan waktu pemanasan terdiri lima taraf, yaitu 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Model rancangan yang digunakan adalah:

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan: Yij

:

µ Αi Βi (αβ)ij Ԑij

: : : : :

Respon pada perlakuan k dengan kombinasi perlakuan taraf ke-i pada A dan taraf ke-j pada B. Rataan umum Pengaruh perlakuan ke-i pada A Pengaruh perlakuan ke-j pada B Pengaruh perlakuan taraf ke-i dari faktor A, dan taraf ke-j dari faktor B Galat percobaan perlakuan k dengan kombinasi rata ke-i dan ke-j

Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut: H0

:

Interaksi antara konsentrasi asam (Faktor A) dan waktu pemanasan (Faktor B) tidak memberikan pengaruh terhadap mutu glukosamin.

H1

:

Interaksi antara konsentrasi asam (Faktor A) dan waktu pemanasan (Faktor B) memberikan pengaruh terhadap mutu glukosamin.

Analisis data dilakukan menggunakan analisis ragam (Anova) dengan uji-F. Suatu perlakuan memberikan pengaruh nyata apabila F hitung < F tabel dengan derajat bebas pada taraf 5 % dan berpengaruh sangat nyata apabila nilai F hitung < F tabel dengan derajat bebas pada taraf 1 %. Uji lanjut yang digunakan untuk mengetahui taraf terbaik dari masing-masing perlakuan adalah uji Duncan.

44

Hasil dan Pembahasan Proses pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian pendahuluan menerapkan sistem hidrolisis bertekanan dengan menggunakan presto. Proses ini memiliki prinsip yang sama dengan Ernawati (2013) dimana hidrolisis glukosamin dengan autoklaf dapat mengontrol suhu dan tekanan. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan sampel kitosan dihidrolisis dengan perlakuan konsentrasi HCl 3%, 4%, dan 5% dengan waktu pemanasan 30 menit. Indikator yang digunakan untuk menentukan keberhasilan hidrolisis kitosan menjadi glukosamin dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik glukosamin penelitian pendahuluan HCl (%) 3 4 5

Penampakan Butiran Butiran Serbuk

Warna Kecokelatan Cokelat jernih Kuning jernih

Kelarutan (%) 53,00±1,2545 58,00±0,6418 82,00±0,8107

Remdemen (%) 62,50±1,0530 62,80±1,0431 68,60±1,2036

Berdasarkan hasil karakteristik glukosamin pada Tabel 4 perlakuan hidrolisis dengan asam HCl 5% ditetapkan sebagai perlakuan terbaik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi HCl 5% mampu menghidrolisis kitosan menjadi glukosamin secara sempurna. Penggunaan konsentrasi HCl 3% dan 4% belum mampu menghidrolisis kitosan menjadi glukosamin secara sempurna. Berdasarkan data tersebet maka pada penelitian utama digunakan HCl 5%, 8%, dan 10% dan waktu pemanasan 30, 60, 90, 120 dan 150 menit diharapkan mampu menghasilkan glukosamin dengan kualitas yang baik. Parameter spesifikasi glukosamin hidroklorida meliputi rendemen, loss on drying (LoD), nilai pH, tingkat kelarutan, loss on ignition (LoI), dan uji serapan FTIR. Rendemen Glukosamin Rendemen merupakan persentasi bagian tertentu yang diinginkan terhadap bagian utuh dari suatu bahan. Glukosamin yang diproduksi dengan perlakuan konsentrasi asam dan lama pemanasan berbeda dapat memotong rantai polimer pada kitosan menjadi monomer glukosamin. Rendemen glukosamin pada perlakuan konsentrasi HCl dan waktu pemanasan dapat dilihat pada Gambar 4. c

b

d f f e e d

a f f

f f e e d

e e

Gambar 4 Rendemen glukosamin. Waktu pemanasan 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode hidrolisis bertekanan dengan konsentrasi HCl dan waktu pemanasan yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen (p<0,05). Interaksi antara konsentrasi HCl dan waktu pemanasan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen. Berdasarkan uji lanjut Duncan penurunan rendemen terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi HCl dan waktu pemanasan. Rendemen glukosamin tertinggi pada perlakuan konsentrasi HCl 5% dan waktu pemanasan 60 menit yaitu 65,33%. Penggunaan konsentrasi asam rendah dan waktu pemanasan yang singkat dapat meningkatkan rendemen 1,35%. Penerapan metode hidrolisis bertekanan dengan konsentrasi HCl 5% dan waktu pemanasan 60 menit menghasilkan rendemen tertinggi yaitu 65,33%. Hasil penelitian Ernawati (2012) menyatakan bahwa hidrolisis glukosamin dari kitin dengan metode autoklaf pada konsentrasi HCl 8% dan waktu pemanasan 60 menit dengan tekanan 1 Atm/15psi menghasilkan rendemen 69,80%. Prinsip dari metode hidrolisis bertekanan yang menggabungkan sistem kerja antara konsentrasi asam, tekanan, dan suhu mempengaruhi hidrolisis kitosan menjadi glukosamin. Hal ini erat kaitannya dengan laju reaksi suatu senyawa yang dipengaruhi oleh luas permukaan, konsentrasi, suhu, tekanan, dan waktu reaksi. Sutresna (2007) menyatakan laju reaksi menunjukkan perubahan konsentrasi suatu zat. Konsentrasi pereaksi dalam suatu reaksi kimia semakin lama semakin berkurang, sedangkan hasil reaksi semakin lama semakin bertambah. Tekanan dalam pembuatan glukosamin berperan penting dalam pemotongan ikatan polimer menjadi unit-unit yang lebih kecil (monomer). Pada pemberian tekanan proses puffing dapat terjadi. Pamungkas et al. (2008) menjelaskan Puffing dapat diartikan sebagai suatu proses pemasukan gas ke dalam sampel yang kemudian terjadi ekspansi selanjutnya dilepaskan dan mengakibatkan pemutusan terhadap struktur luar dari struktur seluler sebuah sampel. Proses pemutusan polimer kitosan menjadi glukosamin akan cenderung lebih cepat dengan bantuan asam. Asam HCl berperan dalam proses pemotongan ikatan β-1,4-2 acetamido-2-deoksi-D-glukosa dari kitosan. Kitosan merupakan polimer yang mengandung gugus hidroksil (-OH) dan gugus amina (-NH2) pada rantai karbonnya. Gugus Cl‾ dari asam HCl berikatan dengan gugus (NH3) sehingga membentuk ikatan baru yaitu glukosamin (NH3Cl). Suhu juga turut berperan dalam mempengaruhi laju reaksi. Apabila suhu suatu reaksi dinaikkan, maka menyebabkan partikel semakin aktif dalam bergerak, sehingga menyebabkan laju reaksi semakin besar. Sebaliknya, apabila suhu diturunkan maka partikel semakin tidak aktif sehingga laju reaksi semakin kecil. Kombinasi perlakuan antara konsentrasi asam, tekanan, dan suhu dapat mempercepat proses depolimerisasi kitosan menjadi glukosamin sehingga waktu pemanasan cenderung menjadi lebih singkat. Loss on Drying (LoD) Pengujian loss on drying (LoD) dilakukan untuk mengukur jumlah air dan bahan volatil yang terdapat pada sampel dengan cara mengeringkan di bawah kondisi atau suhu tertentu. Nilai LoD glukosamin pada perlakuan konsentrasi HCl dan waktu pemanasan dapat dilihat pada Gambar 5.

46

e

b

b

a e

cd

de de

de

de

e de

cd c

de cd

c

c

Gambar 5 Loss on drying glukosamin. Waktu pemanasan 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode hidrolisis bertekanan dengan konsentrasi HCl dan waktu pemanasan yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap LoD (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan, nilai LoD glukosamin terbaik pada perlakuan konsentrasi HCl 5% dan waktu pemanasan 150 menit yaitu 0,60%. Penerapan metode hidrolisis bertekanan terbukti dapat menurunkan nilai LoD 0,08%. Interaksi antara konsentrasi HCl dan waktu pemanasan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai LoD dalam penelitian ini telah memenuhi standar yang disyaratkan oleh CARGIL (2004); EFSA (2009) yaitu 1%. Rata-rata hasil uji LoD menunjukkan bahwa nilai pengurangan bobot glukosamin setelah pemanasan 105 °C selama 2 jam berkisar antara 0,60 – 1,47%. Nilai LoD yang tinggi diduga karena masih terdapatnya senyawa dari protein, lemak, dan zat volatil pada bahan yang proses ekstraksinya belum sempurna. Marhadi et al. (2003) menyatakan bahwa zat volatil merupakan senyawa kimia yang mempunyai berat molekul kecil yang mengandung karbon dan dapat terdestilasi dengan mudah dalam tekanan atmosfer. Penerapan metode hidrolisis bertekanan pada pembuatan glukosamin diharapkan dapat membantu proses penghilangan senyawa pengotor dengan bantuan pencucian alkohol dan pengeringan untuk menghilangkan sisa bahan pencucinya. Selain itu alkohol pada proses presipitasi juga berperan dalam menghilangkan pengotor dengan cara mengendapkan glukosamin Nilai pH Nilai pH atau derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau basa yang dimiliki oleh suatu zat, larutan atau benda. Nilai pH glukosamin pada perlakuan konsentrasi HCl dan waktu pemanasan dapat dilihat pada Gambar 6.

b

c d

de

e d a

de d

d

a

e d

e d

d

de

d

d

Gambar 6 Nilai pH glukosamin. Waktu pemanasan 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode hidrolisis bertekanan dengan konsentrasi HCl dan waktu pemanasan yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai pH (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan, konsentrasi HCl dan waktu pemanasan yang berbeda menunjukkan hasil yang nyata terhadap tinggi rendahnya nilai pH. Nilai pH glukosamin terbaik pada perlakuan konsentrasi HCl 5% dan waktu pemanasan 90 menit yaitu 5,66. Interaksi antara konsentrasi HCl dan waktu pemanasan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Penurunan nilai pH terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi asam pada proses ekstraksi glukosamin. Hasil analisis nilai pH glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan menghasilkan nilai pH berkisar antara 5,60-5,66. Nilai pH glukosamin yang dihasilkan masih cenderung asam tetapi sudah masuk kategori konsumsi berdasarkan CARGIL (2004); EFSA (2009) yaitu berkisar antara 3-5. Proses ekstraksi glukosamin secara kimia menggunakan konsentrasi asam klorida menghasilkan glukosamin hidroklorida dengan proses penetralan yang dilakukan berulang dan memerlukan waktu yang cukup lama. Proses penetralan dilakukan dengan larutan isopropil alkohol dengan derajat keasaman mencapai 5-6. Berbeda dengan Chang et al. (2011) menyatakan bahwa ekstraksi glukosamin dengan metode fermentasi menghasilkan nilai pH yang netral. Hal ini dikarenakan proses fermentasi akan terjadi secara optimum pada media caried 250 mL dengan pH 7 selama 7 hari. Proses fermentasi menggunakan pH netral menghasilkan glukosamin dengan pH netral pula. Tingkat Kelarutan Kelarutan adalah kuantitas maksimal suatu zat kimia terlarut (solut) untuk dapat larut pada pelarut tertentu membentuk larutan homogen. Kelarutan suatu zat dasarnya sangat tergantung pada sifat fisika dan kimia solut dan pelarut pada suhu, tekanan dan pH larutan. Secara luas kelarutan suatu zat pada pelarut tertentu merupakan suatu pengukuran konsentrasi kejenuhan dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit solut (bahan) pada pelarut sampai solut tersebut mengendap

48

(tidak dapat larut lagi). Tingkat kelarutan glukosamin pada perlakuan konsentrasi HCl dan waktu pemanasan dapat dilihat pada Gambar 7. b c c c

b c c

c c c c c

a c c c c c

Gambar 7 Kelarutan glukosamin. Waktu pemanasan 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi HCl memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelarutan glukosamin (p<0,05) namun perbedaan waktu pemanasan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkat kelarutan glukosamin. Berdasarkan uji lanjut Duncan, penggunaan konsentrasi HCl menunjukkan hasil yang nyata terhadap tingkat kelarutan glukosamin. Kelarutan glukosamin terbaik pada perlakuan konsentrasi HCl 5% dan waktu pemanasan 60 menit yaitu 96,33%. Hal ini dikarenakan proses ekstraksi glukosamin menggunakan konsentrasi HCl yang rendah akan menghasilkan glukosamin dengan tingkat kemurnian yang lebih tinggi sehingga tingkat kelarutan yang dihasilkan semakin tinggi pula. Interaksi antara konsentrasi HCl dan waktu pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap kelarutan glukosamin yang diproduksi dengan metode hidrolisis bertekanan. Hasil pengujian tingkat kelarutan glukosamin hidroklorida dilakukan menggunakan air bersuhu 24 ºC menghasilkan tingkat kelarutan berkisar antara 91,87-96,33%. Semakin tinggi suhu pelarut yang digunakan maka semakin tinggi kelarutan dari suatu bahan, sebaliknya semakin rendah suhu pelarut maka semakin rendah tingkat kelarutan suatu bahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Kralovec dan Barrow (2008) menyatakan bahwa glukosamin dapat larut dengan baik pada larutan bersuhu 20 ºC. Suatu zat yang larut dengan mudah pada pelarut yang bersuhu rendah mengindikasikan bahwa zat tersebut memiliki tingkat kelarutan yang baik. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa glukosamin yang diproduksi dengan metode hidrolisis bertekanan sesuai standar baku yang ditetapkan oleh CARGIL (2004); EFSA (2009) yaitu 90,00%. Tingkat kelarutan yang tinggi diduga glukosamin yang dihasilkan melalui metode hidrolisis dengan tekanan, suhu, dan asam dapat memotong polimer kitosan menjadi unit yang lebih kecil sehingga ion Cl‾ dari HCl lebih mudah berikatan dengan gugus amin kitosan sehingga membentuk NH3Cl. Adanya gugus hidroksil O-H dan NH3Cl pada unit karbon terkecil menyebabkan glukosamin hidroklorida bersifat larut dalam air. Standar baku penampakan glukosamin secara visual menurut CARGIL (2004); EFSA (2009) adalah putih. Ketika glukosamin

dilarutkan dalam air, larutan akan cenderung jernih dan tidak berwarna. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan warna glukosamin yang dilarutkan yakni cenderung jernih dan agak kekuningan. Hal ini diduga terjadi suatu reaksi enolisasi glikosil amino sebagai akibat adanya interaksi antara gula amino dengan asam kuat (HCl) pada suhu tinggi sehingga terbentuk komponen furfural yang berwarna coklat (Afridina 2011). Loss on Ignition (LoI) Loss on Ignition (LoI) atau residu pengapian merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. LoI merupakan bagian dari analisis proksimat yang bertujuan untuk mengevalusi nilai gizi suatu produk atau bahan pangan terutama total mineral. Total loss on ignition glukosamin pada perlakuan konsentrasi HCl dan waktu pemanasan dapat dilihat pada Gambar 8. a

a

a d

d

d

cd

d bc

cd

d

d

cd bc

bc

b

b

b

Gambar 8 Loss on ignition glukosamin. Waktu pemanasan 30 menit, 60 menit, 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa konsentrasi HCl tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai LoI glukosamin (p<0,05) namun perbedaan waktu pemanasan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai LoI glukosamin. Berdasarkan uji lanjut Duncan, waktu pemanasan berbeda menunjukkan hasil yang nyata terhadap nilai LoI glukosamin. Nilai LoI glukosamin terbaik pada perlakuan konsentrasi HCl 5% dan waktu pemanasan 150 menit yaitu 0,23%. Interaksi antara konsentrasi HCl dan waktu pemanasan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai LoI glukosamin yang diproduksi dengan metode hidrolisis bertekanan. Rata-rata hasil uji LoI menunjukkan bahwa nilai pembakaran glukosamin berkisar antara 0,23-0,75%. Hal ini dikarenakan proses ekstraksi glukosamin dengan asam dan lama pemanasan yang berbeda menghasilkan nilai LoI yang lebih tinggi. Semakin tinggi konsentrasi asam maka semakin tinggi residu yang dihasilkan. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan asam rendah dalam memecah komponen kitosan menjadi glukosamin dengan bantuan tekanan sehingga menghasilkan glukosamin dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Pada konsentrasi asam yang tinggi beberapa komponen organik terdapat pada glukosamin yang mengakibatkan nilai LoI menjadi meningkat. Nilai LoI dalam

50

penelitian ini telah memenuhi standar yang disyaratkan oleh CARGIL (2004); EFSA (2009) yaitu 0,1%. Derajat Deasetilasi Glukosamin Derajat deasetilasi dapat diketahui dengan perhitungan ikatan amida dan adanya gugus amina dari spektra FTIR. Derajat deasetilasi pada pembuatan glukosamin bervariasi tergantung jumlah larutan asam yang digunakan, waktu reaksi, dan suhu reaksi. Kualitas produk glukosamin yang baik memiliki tingkat kemurnian yang tinggi dan dinyatakan dengan besarnya nilai derajat deasetilasi (Rokhati 2006). Derajat deasetilasi glukosamin yang diukur dalam penelitian ini adalah 99,44% (Gambar 9) lebih tinggi dibandingkan dengan glukosamin standar yaitu 97,99% (Gambar 10). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat kemurnian glukosamin yang diproduksi dengan menggunakan metode hidrolisis bertekanan sesuai dengan standar mutu glukosamin komersil dan yang telah ditetapkan (CARGIL 2004) berkisar antara 75-95% dan EFSA (2009) sebesar 98%. Spektrum FTIR glukosamin penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Spektrum FTIR glukosamin hasil penelitian

Hasil pengukuran spektrum FTIR menunjukkan bahwa spektrum glukosamin hidroklorida standar (Gambar 10) memperlihatkan gugus OH‾ yang dominan dengan garis lebar dan kuat pada bilangan gelombang 3.292,45 cm-1 sedangkan pada glukosamin hidroklorida hasil hidrolisis dengan metode hidrolisis bertekanan (Gambar 9) menunjukkan gugus OH‾ yang dominan pada bilangan gelombang 3.412,69 cm-1. Secara keseluruhan pita serapan gugus pada glukosamin hasil hidrolisis menunjukkan kemiripan dengan glukosamin komersil. Namun masih terdapat sedikit selisih pada bilangan gelombang yang ditampilkan hal ini dikarenakan glukosamin yang diproduksi dengan metode hidrolisisi bertekanan memiliki tingkat kemurnian yang lebih tinggi. Berdasarkan spektrum FTIR menunjukkan pita serapan pada panjang gelombang 500-4.000 cm-1 terlihat lebar, kuat, tegas, dan bersih (Gambar 9) dibandingkan dengan pita serapan pada glukosamin standar (Gambar 10) yang terlihat lebar, kuat, tegas dan kurang

bersih. Hal ini dikarenakan glukosamin mengandung bahan tambahan seperti zat pewarna, bahan pemanis, dan bahan penyalut sehingga serapan pita yang hasilkan cenderung tidak bersih. Brugnerotto (2001) menambahkan bahwa monomer glukosamin hidroklorida akan menunjukkan gugus OH‾ pada 3.350 cm-1 sedangkan apabila berbentuk polimer gugus OH‾ semakin mendekati 3.450 cm-1. Gugus N-H yang dominan pada glukosamin hasil hidrolisis yang dilakukan oleh Mojarrad et al. (2007) yaitu 3.333-3.380 cm-1. Pita serapan gugus N-H amida primer ditunjukkan pada 3.450 cm-1 sedangkan pita serapan amida sekunder berada pada bilangan 1.566 cm-1. Bentuk sampel padat pita amida primer berada pada kisaran bilangan gelombang 1.6401.620 cm-1. Pita amida sekunder berdasarkan penelitian Pavia et al. (2009) berada didaerah bilangan 1.550 cm-1, Mojarrad et al. (2007) yaitu 1.535-1.583 cm-1.

Gambar 10 Spektrum FTIR glukosamin komersil

Secara keseluruhan pita serapan gugus fungsi pada glukosamin hasil penelitian menunjukkan kesamaan dan cenderung lebih tinggi dibandingkan glukosamin standar dan terdapat sedikit selisih pada bilangan gelombang yang ditampilkan. Hal ini terjadi karena adanya kisaran nilai serapan gelombang pada setiap gugus fungsi. Perbedaan serapan gelombang pada sampel standar dan sampel hasil memenuhi kriteria gugus fungsi pada bilangan gelombang infrared. Kadar Logam Berat Logam berat merupakan bahan pencemar berbahaya karena bersifat toksik dan mempengaruhi berbagai aspek biologi dan ekologi. Pembuangan limbah logam berat ke lingkungan sungai, muara, dan pantai beracun bagi organisme dan biota di lingkungan akuatik, kebanyakan berasal dari sumber antropogenik yang terus meningkat, informasi mengenai perilaku dan biotoksisitasnya masih terbatas dan terjadi akumulasi pada organisme akuatik (Setyawan et al. 2004).

52

Pengujian kadar logam berat dilakukan untuk mengetahui kandungan logam berat jenis merkuri, kadmium, tembaga, timbal, dan arsen yang terdapat pada glukosamin. Hasil pengujian kandungan logam berat tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Kandungan logam berat glukosamin Logam Merkuri Kadmium Tembaga Timbal Arsen

Hasil analisis (ppm) 0,00005±1,0414 0,00087±1,1547 0,00109±1,1547 0,00153±1,7265 0,00170±1,4410

CARGIL (2004) (ppm) <0,02 <0,5 <0,5 <0,1 <0,5

EFSA (2009) (ppm) 0,001 0,001 0,001 0,001 3,000

Salah satu komponen limbah cair yang bersifat toksik adalah logam berat. Biota yang tergolong dalam keluarga moluska akan mengalami kematian dalam tenggang waktu 96 jam bila logam berat yang terlarut dalam perairan berada dalam kisaran 0,16-0,5 ppm. Konsentrasi logam berat yang berada dalam kisaran 2,5-3,0 ppm dalam perairan dapat membunuh ikan (Heryando 2000). Merkuri Merkuri (Hg) merupakan salah satu jenis logam berat yang berbentuk merkuri murni, organik maupun anorganik dan sangat berbahaya. Bahaya yang ditimbulkan terjadi melalui proses akumulasi secara biologi (bioakumulasi), proses perpindahan secara biologi (biotransfer), dan pembesaran secara biologi (biomagnifikasi) (Lasut 2009). Hasil analisis kandungan logam berat merkuri pada glukosamin adalah 0,00001±2,7735 ppm. Peningkatan kadar Hg dari kitosan menjadi glukosamin 0,00005±1,0414 ppm. Hal ini diduga diakibatkan dari proses ekstraksi glukosamin yang menggunakan larutan asam sehingga kadar merkuri yang telah terakumulasi dalam bahan menjadi meningkat dengan adanya proses asam. Namun hasil yang diperoleh masih berada di bawah standar mutu yang ditetapkan oleh CARGIL (2004) 0,02 ppm; EFSA (2009) 0,001 ppm sehingga glukosamin masih aman untuk dikonsumsi sebagai suplemen yang dapat membantu menurunkan resiko penyakit persendian. Kadmium Kadmium (Cd) adalah logam non-esenssial yang sering mencemari lingkungan dan mengakibatkan toksik pada hewan dan manusia. Sifatnya yang mudah tertimbun dalam jaringan menyebabkan kadmium mudah mencemari pakan ternak baik hijauan maupun biji-bijian dan juga dalam jaringan hewan (Darmono 1999). Kadmium mempunyai sifat kumulatif yang menyebabkan gangguan pada fungsi hati, ginjal dan paru-paru. Hasil pengukuran kandungan kadmium pada glukosamin adalah 0,00087±1,1547 ppm. Hasil ini masih di bawah standar yang rekomendasikan CARGIL (2004) 0,5 ppm; EFSA (2009) 0,001 ppm. Kadmium beresiko tinggi terhadap pembuluh darah, jika masuk ke dalam tubuh maka akan terakumulasi di dalam ginjal dan hati. Kadmium dapat mempengaruhi otot polos pembuluh darah

secara langsung maupun tidak langsung melalui ginjal, sebagai akibatnya terjadi kenaikan tekanan darah. Senyawa ini bisa mengakibatkan penyakit liver dan gangguan ginjal serta tulang. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa glukosamin memiliki kandungan kadmium yang sangat rendah sehingga dapat digunakan sebagai suplemen yang dapat membantu mencegah resiko penyakit persendian. Tembaga Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam non-ferrous yang paling penting dan banyak dipakai mulai dari industri sederhana sampai industri berteknologi tinggi. Tembaga adalah bahan penting dan sangat diperlukan dalam banyak aplikasi karena sifat fisik dan mekanisnya, ketahanan terhadap korosi yang tinggi, dan mempunyai kemampuan penyambungan yang baik. Penelitian dasar dan terapan dilakukan pada tembaga baik secara mikroskopik maupun makroskopik (Arifin 2007). Hasil pengukuran kandungan tembaga pada glukosamin adalah 0,00109±1,1547 ppm. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa glukosamin memiliki kandungan tembaga yang cukup rendah sehingga glukosamin dapat dimanfaatkan sebagai suplemen yang dapat membantu menurunkan resiko penyakit persendian. CARGIL (2004) menyatakan bahwa kandungan tembaga pada glukosamin 0,5 ppm. Logam tembaga yang terdapat pada glukosamin akibat dari pencemaran lingkungan perairan, yaitu akibat akumulasi logam dalam jaringan krustasea yang merupakan bahan baku dari kitosan dan glukosamin. Hasil penelitian Hendri et al. (2010) menyatakan bahwa logam tembaga merupakan logam esensial bagi hewan air yang bermanfaat dalam pembentukan hemosianin sistem darah dan enzimatik hewan air. Logam tembaga dibutuhkan organisme laut untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya sebagai kofaktor kerja enzim. Akan tetapi bila jumlah tembaga yang masuk ke dalam tubuh secara berlebihan maka akan berubah fungsi menjadi racun bagi tubuh organisme tersebut. Timbal Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang terbentuk secara alami dari percikan larva gunung berapi dan dalam bentuk biji logam. Peningkatan aktivitas manusia seperti pertambangan, peleburan, dan penggunaan bahan bakar minyak dapat meningkatkan kadar logam tembaga di perairan (Suherni 2010). Hasil pengukuran kandungan timbal pada glukosamin adalah 0,00153±1,7265 ppm. Kadar timbal yang rendah pada glukosamin dikarenakan sampel yang diambil atau dibudidayakan berasal dari perairan yang jauh dari aktifitas industri. Hasil ini masih di bawah standar yang rekomendasikan CARGIL (2004) 0,1 ppm; EFSA (2009) 0,001 ppm. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa glukosamin memiliki kandungan timbal yang sangat rendah sehingga glukosamin dapat dimanfaatkan sebagai suplemen yang dapat membantu menurunkan resiko penyakit persendian. Hasil penelitian Albalak et al. (2003) yang dilakukan di Jakarta, menyatakan bahwa seperempat dari anak-anak sekolah di Jakarta memiliki kandungan timbal dalam darah berkisar dari 10-14,9 µg/dL.

54

Kandungan ini melampaui batas yang ditetapkan oleh pusat pengontrolan dan pencegahan penyakit Amerika Serikat yaitu kurang dari 10 µg/dL. Arsen Arsen (As) merupakan salah satu logam berat yang digunakan dalam kehidupan manusia. Arsen adalah suatu unsur kimia metaloid (Herman 2006). Logam arsen sebenarnya tidak beracun hanya saja bila dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dapat menjadi beracun. Hal ini dipengaruhi oleh respirasi seluler yang mengkombinasikan beberapa sulfihidril dari enzim mitokondrial, oksidasi piruvat dan fosfatase tertentu (Lubis dan Aman 2006). Hasil pengukuran kandungan arsen pada glukosamin adalah 0,00170±1,4410 ppm. Hasil ini masih di bawah standar yang rekomendasikan CARGIL (2004) 0,1 ppm; EFSA (2009) 3,000 ppm. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa glukosamin memiliki kandungan arsen yang cukup rendah sehingga glukosamin dapat dimanfaatkan sebagai suplemen yang dapat membantu menurunkan resiko penyakit persendian. Kadar logam arsen yang rendah diduga tidak adanya aktivitas industri pertambangan yang membuang limbah ke perairan sekitar tempat pengambilan sampel. Kitong et al. (2012) menyatakan bahwa konsentrasi alami arsen dalam sedimen perairan berkisar antara 1-50 ppm. Konsentrasi arsen menurun dengan semakin jauhnya jarak dari daerah pertambangan. Konsentrasi arsen yang ada disedimen dua kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi arsen ditanah. Hal ini disebabkan karena pelapukan batu yang lebih tinggi dan masukan dari sumber-sumber antropogenik sehingga kandungan arsen lebih tinggi disedimen sungai dibandingkan dalam tanah. Simpulan Penerapan metode hidrolosis bertekanan menghasilkan glukosamin terbaik pada konsentrasi HCl 5% waktu pemanasan 60 menit menghasilkan rendemen sebesar 65,33%, tingkat kelarutan sebesar 96,33% dengan tingkat kemurnian yang relatif tinggi mencapai 99,44%, sedangkan nilai LoD sebesar 0,60% dan nilai LoI sebesar 0,23% dengan waktu pemanasan 150 menit dan nilai pH sebesar 5,66 dengan waktu pemanasan 90 menit. Saran Diperlukan pengembangan teknik dan metode pembuatan glukosamin dengan sistem hidrolisis bertekanan yang dapat mengontrol suhu dan tekanan selama proses produksi.

4 EFEKTIVITAS GLUKOSAMIN SECARA IN VIVO PADA TIKUS GALUR Sprague Dawley Latar Belakang Glukosamin secara alami terdapat pada tubuh, terutama pada jaringan penghubung dan jaringan tulang rawan (Camara dan Dowelss 1998). Glukosamin terdapat pada jaringan tulang rawan hewan, krustasea, serangga, dan jamur. Zhao et al. (2013) menyatakan bahwa glukosamin digunakan sebagai substrat dalam mensintesis mukopolisakarida dan biopolimer dalam sendi dan tulang, dengan demikian glukosamin membantu memulihkan kerusakan pada tulang rawan dan penurunan cairan sinovial. Ketika tulang rawan mengalami kerusakan glukosamin secara alami akan merangsang sel-sel tulang rawan untuk menghasilkan proteoglikan. Glukosamin bertindak sebagai anti-inflamasi dan memiliki toksisitas rendah dibandingkan obat anti-inflamasi komersil. Produksi glukosamin melalui proses hidrolisis kimiawi umumnya dilakukan pada skala industri (Mojarrad et al. 2007; Sibi et al. 2013). Penerapan metode hidrolisis bertekanan mampu menghasilkan glukosamin dengan tingkat kemurnian 99,44% (Cahyono et al. 2014). Tingkat kemurnian glukosamin yang tinggi diharapkan mampu mencegah atau mengobati penyakit osteoatritis dengan peningkatan cairan sinovial. Matin (2004) menyatakan bahwa osteoatritis merupakan penyakit degeneratif sendi, yaitu sendi terasa nyeri akibat inflamasi. Osteoartritis dapat menyerang semua tulang rawan khususnya persendian. Persendian merupakan suatu jaringan tulang rawan (kartilago) biasanya menutupi ujung tulang pada sendi. Reyes et al. (2000) menjelaskan bahwa lapisan sinovial terletak diantara persendian yang berfungsi sebagai pelumas untuk mencegah ujung tulang saling bergesekan dan mengikis satu sama lain. Kondisi kekurangan cairan sinovial ujung tulang akan bergesekan dan menimbulkan rasa nyeri. Hasil penelitian Berief et al. (2001) menunjukkan bahwa kekurangan cairan sinovial mengakibatkan ujung tulang bergesekan. Gesekan tersebut membuat lapisan sinovial semakin tipis dan pada akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri. Aziz (2008) menyatakan bahwa injeksi glukosamin dosis 1,5 gram/hari mampu mencegah inflamasi pada sendi. Scanzelloy et al. (2009) menambahkan bahwa pemberian glukosamin secara oral dosis 250 mg/kg/BB/hari memberikan respon pada membran sinovial untuk memproduksi cairan sinovial. Wen et al. (2010) menyatakan pemberian glukosamin secara tunggal dosis 250 mg/kg/hari dalam air selama 18 minggu mampu menumbuhkan tulang 0,5 mm. Berdasarkan hasil pengujian toksisitas LD50 glukosamin dosis 1.500 mg/kg (BPOM 2004) dan 2.000 mg/kg (Hathcock dan Shao 2006) merupakan dosis yang aman untuk dikonsumsi bagi penderita osteoatitris. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian efektifitas glukosamin yang diproduksi dengan menerapkan metode hidrolisis bertekanan dalam meningkatkan cairan sinovial pada persendian tikus percobaan. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian glukosamin pada dosis 500, 1.000, dan 1.500 mg/kgBB terhadap pertumbuhan badan, peningkatan cairan sinovial dan biokimia serum darah tikus percobaan.

56

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2014 di Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan diantaranya glukosamin hidroklorida, glukosamin komersil, pakan tikus, air minum, kloroform 1 mL, reagen 1 (100 mmol/L bafer tris pH 7; 500 mmol/L L-Alanin; 1.200 U/L LDH), reagen 2 (15 mmmol/L 2-oxoketoglutarat; 0,18 mmol/L NADH), tikus putih betina galur sprague dawley sebanyak 30 ekor berumur 5 bulan dengan berat rata-rata 300-350 gram/ekor. Alat yang digunakan adalah kandang tikus yang terbuat dari wadah plastik yang berukuran panjang x lebar x tinggi (30 x 25 x 10 cm) dan tertutup kawat kasa serta disusun berdasarkan perlakuan percobaan. Wadah tempat pakan juga terbuat dari bahan plastik berbentuk mangkuk, wadah tempat minum khusus untuk tikus, killing jar, dan timbangan digital (Quatrro). Alat untuk analisis adalah seperangkat alat photo X-ray, pipet mikro, dan inkubator (Heraeuse B5042). Tahapan Penelitian

Pada penelitian ini dilakukan pengujian toksisitas sub akut dari glukosamin yang diproduksi dengan metode hidrolisis bertekanan. Pengujian toksisitas sub akut pada penelitian ini dilakukan secara in vivo menggunakan hewan percobaan tikus putih betina galur sprague dawley sebanyak 30 ekor, berat rata-rata 300-350 gram, dan berumur sekitar 5 bulan. Sebelum dilakukan pengujian tikus percobaan ini harus diadaptasikan terlebih dahulu dengan kondisi lingkungan di laboratorium selama ±1 minggu. Ruangan diatur dengan siklus gelap dan terang masing-masing 12 jam. Pakan dan minuman diberikan secara ad-libitum. Pakan yang digunakan merupakan pakan ransum untuk tikus. Minuman yang diberikan yaitu air mineral dengan menggunakan botol khusus untuk tikus. Pakan diletakkan dalam wadah pada kandang. Jumlah pakan tersebut sudah mencukupi untuk kebutuhan tikus dengan umur 5 bulan. Pemberian glukosamin dilakukan secara oral setiap hari sebanyak 1 mL/ekor dengan dosis 500, 1.000, dan 1.500 mg/kg/BB. Alat yang digunakan adalah sonde oral tikus dengan volume 1 mL. Diagram alir penelitian secara in vivo pada tikus dapat dilihat pada Gambar 11.

30 ekor tikus S. Dawley

Adaptasi 1 minggu

Pengelompokan

Kelompok 1 (6 ekor)

Kelompok 2 (6 ekor)

Kelompok 3 (6 ekor)

Kelompok 4 (6 ekor)

Kelompok 5 (6 ekor)

Kontrol negatif Tanpa Glcn

Kontrol positif Glcn komersil

Glukosamin 500 mg/kg/BB

Glukosamin 1000 mg/kg/BB

Glukosamin 1500 mg/kg/BB

Peningkatan cairan sinovial

Pengamatan pertumbuhan berat badan

Pengujian biokimia darah

Gambar 11 Diagram alir pengujian secara in vivo

Pertumbuhan Hewan Percobaan (Smith 1988) Pengukuran pertumbuhan berat badan pada tikus putih betina galur sprague dawley sebanyak 30 ekor yang dibagi ke dalam enam kelompok. Masingmasing kelompok diberikan makan dan minum secara ad-libitum. Satu ekor tikus dewasa mampu mengkonsumsi pakan 8-10 gram/100 gram BB setiap hari. Pengukuran berat badan dilakukan setiap tiga hari sekali untuk menghidari stres pada hewan percobaan. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk diagram batang dengan menghitung selisih berat badan per tiga hari selama 28 hari. Efektifitas Glukosamin dengan Photo X-ray (Shubhangi et al. 2012) Prinsip pengujian photo X-ray adalah sinar-x yang menembus bahan mampu membentuk gambar pada film. Bagian yang mudah ditembus sinar-x (otot, lemak, dan jaringan lunak) menghasilkan film berwarna hitam. Bagian yang sulit ditembus sinar-x (seperti tulang) menghasilkan film berwarna putih. Tahap pengujian X-ray yaitu menyiapkan killing jar yang telah diberi kloroform sebanyak 1 mL. Pembiusan dilakukan dengan memasukkan tikus percobaan ke dalam killing jar selama ±2 menit. Hewan percobaan diletakkan pada plat X-ray selanjutnya dilakukan penyinaran sinar-x dengan tingkat pencahayaan 100 kali. Gambar yang diperoleh selanjutnya dicetak dalam bentuk film. Penentuan efektivitas glukosamin dilakukan dengan cara melihat volume cairan sinovial pada sendi secara visual.

58

Analisis Biokimia Darah (IFCC 1991) Analisis darah yang diamati adalah serum glutamat oxaloacetic transferase (SGOT), serum glutamic piruvic transferase (SGPT) dan kreatinin darah dengan cara sebanyak 100 µL serum darah dipipet ke dalam kuvet, kemudian ditambahkan 1.000 µL reagen 1 (100 mmol/L bufer tris pH 7; 500 mmol/L L-Alanin; 1.200 U/L LDH). Campuran diinkubasi selama 5 menit lalu ditambahkan reagen 2 (15 mmmol/L 2-oxoketoglutarat; 0,18 mmol/L NADH) sebanyak 250 µL. Campuran larutan diinkubasi selama 1 menit lalu diukur absorbansinya. Setelah ukuran absorbansi pertama ditunggu 1 menit dan diukur absorbansinya lagi, kemudian ditunggu 1 menit lagi dan diukur absorbansi terakhir. Selanjutnya dihitung aktivitas GOT dan GPT pada sampel menggunakan metode international federation of clinical chemistry (IFCC). Analisa Data Analisis data kadar biokimia serum darah tikus (SGOT, SGPT, dan kreatinin). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap satu faktor yaitu dosis glukosamin dengan lima taraf yaitu kontrol negatif (tanpa glukosamin), kontrol positif (glukosamin komersil), glukosamin dosis 500 mg/kgBB, glukosamin dosis 1.000 mg/kgBB, dan glukosamin dosis 1.500 mg/kgBB. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 6 kali. Model matematika yang digunakan dalam rancangan acak lengkap ini (Steel dan Torrie 1989) adalah: Yij = μ + αi + Ԑij Keterangan: Yij µ αi Ԑij

: Respon pengaruh perlakuan dosis glukosamin pada taraf i ulangan ke-j : Pengaruh rata-rata umum : Pengaruh perlakuan pada taraf ke-i : Pengaruh galat percobaan pada konsentrasi taraf ke-i dan ulangan ke-j

Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut: H0

:

Pemberian dosis glukosamin tidak memberikan pengaruh terhadap kadar biokimia serum darah.

H1

:

Pemberian dosis glukosamin memberikan pengaruh terhadap kadar biokimia serum darah.

Analisis data dilakukan menggunakan analisis ragam (Anova) dengan uji-F. Perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata apabila F hitung > F tabel dengan derajat bebas pada taraf 5 % dan berpengaruh nyata apabila nilai F hitung < F tabel dengan derajat bebas pada taraf 5 %. Uji lanjut yang digunakan untuk mengetahui taraf terbaik dari masing-masing perlakuan adalah uji Duncan.

Hasil dan Pembahasan Pertumbuhan Berat Badan pada Tikus Percobaan Penimbangan bobot badan tikus dilakukan setiap tiga hari sekali selama 28 hari untuk menghindari tingkat stres pada tikus percobaan. Penimbangan bobot badan tikus bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tikus dan memperkirakan tingkat kesehatan tikus akan indikasi keracunan akibat pemberian glukosamin. Data pertumbuhan berat badan tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Selisih pertumbuhan berat badan tikus. Perlakuan kontrol negatif (tanpa glukosamin), kontrol positif (glukosamin komersil), dosis 500 mg/kgBB, dosis 1000 mg/kgBB, dan dosis 1500 mg/kgBB.

Hasil pengukuran pertumbuhan berat badan tikus percobaan (Gambar 12) terlihat adanya peningkatan rata-rata bobot badan sebesar 0,2-0,5 g/3 hari untuk masing-masing perlakuan. Adaptasi konsumsi pakan dan kondisi lingkungan dilakukan sebelum perlakuan. Perlakuan pemberian glukosamin dosis 500, 1.000, dan 1.500 mg/kgBB tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan berat badan. Tetapi memberikan pengaruh terhadap penurunan nafsu makan. Hal ini diduga glukosamin mengandung gugus amin yang digunakan untuk membentuk glikoprotein (mengandung protein dan 1% karbohidrat dari 80% produk konsumsi) sehingga diduga metabolisme glukosamin yang diberikan mampu memenuni kebutuhan sebagian nutrisi pada hewan percobaan. Perbedaan berat badan tikus percobaan secara umum diakibatkan umur, kondisi lingkungan, dan konsumsi pakan. Sihombing dan Tuminah (2011) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berperan penting pada kenaikan berat badan tikus adalah pakan. Selain itu pemeliharaan dan pengawasan lingkungan hewan percobaan berperan penting untuk kesehatan dan pertumbuhan hewan. Sarana kandang harus memadai dengan ventilasi, suhu, dan kelembaban dapat diatur optimum. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan berat badan tikus percobaan yang diberikan glukosamin dengan berbagai konsentrasi masih dalam ketegori aman. Hal ini menunjukkan bahwa glukosamin tidak mengandung senyawa toksik yang dapat menghambat metabolisme pada tubuh. Akarasereenont et al. (2012) menyatakan bahwa konsumsi glukosamin dengan dosis 1.500 mg/hari tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai SGOT sebesar 21,2±4,9 dan SGPT sebesar 16,5±5,0.

60

Efektivitas Glukosamin Pengukuran hasil primer (pemeriksaan radiologi) merupakan tanggapan terhadap hasil pengobatan yang dilakukan selama kurang lebih 28 hari. Pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk melihat struktur yang mengalami kelainan. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menentukan sebuah diagnosis. Efektivitas terapi suplemen glukosamin dengan menggunakan photo X-ray dapat dilihat pada Gambar 13. A

B

C

D

E

15 Gambar 13

Penampakan cairan sinovial melalui photo X-ray. Perlakuan (A) kontrol negatif (tanpa glukosamin), (B) kontrol positif (glukosamin komersil), (C) dosis glukosamin 500 mg/kgBB, (D) dosis glukosamin 1000 mg/kgBB, (E) dosis glukosamin 1500 mg/kgBB.

Cairan sendi disebut juga cairan sinovial merupakan cairan bening lengket yang dilepaskan oleh membran sinovial dan bertindak sebagai pelumas untuk sendi. Cairan sinovial berperan sebagai nutrisi untuk pertumbuhan tulang rawan. Denton (2010) menyatakan cairan sinovial memiliki kemiripan seperti putih telur secara tekstur dan warna. Cairan ini berada disetiap persendian makhluk hidup. Kraus et al. (2007) menyatakan analisis perkiraan jumlah cairan sinovial bisa dilakukan dengan menggunakan metode radioisotop. Teknik ini mencakup pemotretan secara radiologi untuk menentukan cairan sinovial secara primer. Hasil analisis radiologi menggunakan photo X-ray pada persendian (Gambar 13) menunjukkan adanya perubahan volume cairan sinovial pada kontrol dan ketiga perlakuan. Kontrol negatif tidak terjadi peningkatan cairan sinovial. Hal ini diduga glikoprotein tidak lagi memproduksi glukosamin sebagai hasil metabolisme dimana glikoprotein merupakan bentuk dasar pada matriks ekstra seluler dari jaringan penyambung. Oleh karena itu peningkatan kadar glukosamin dalam plasma darah dapat merangsang membran sinovial untuk menghasilkan cairan sinovial yang berguna bagi persendian. Wen et al. (2010) menyatakan bahwa pemberian glukosamin sulfat secara signifikan meningkatkan volume cairan sinovial dalam tulang rawan. Glukosamin mampu melindungi perubahan tulang rawan selama memasuki fase monopouse. Martin (2004) menjelaskan osteoaritris umumnya menyerang kaum lansia. Hal ini dikarenakan pada fase monopouse terjadi pelepasan mineral dalam tulang. Pada kontrol positif (glukosamin komersil) dan perlakuan dosis glukosamin 500 mg/kgBB menunjukkan peningkatan volume cairan sinovial yang relatif sama. Hal ini dikarenakan dosis yang diberikan sama sehingga peningkatan volume sinovial cenderung sama. Scanzelloy et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian glukosamin 250 mg/kg/BB/hari memberikan respon pada membran sinovial pada pasien osteoaritris stadium akhir yang dilakukan selama 3 bulan. Perlakuan dosis 1.000 dan 1.500 mg/kgBB menunjukkan bahwa peningkatan cairan sinovial terjadi secara berkala. Hal ini dikarenakan pemberian dosis secara maksimum memberikan respon yang sangat baik pada membran sinovial untuk memproduksi cairan sinovial yang berfungsi bagi persendian. BPOM (2004) menyebutkan dosis maksimum yang dapat diterima oleh konsumen yaitu 1.500 mg/kg/hari. Aziz (2008) menyatakan bahwa pemberian glukosamin dengan cara disuntikkan dosis 1,5 g/hari pada penderita osteoatritis memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam mencegah inflamasi dan pembengkakan sendi pada hari ke-10 selama 18 hari. Biokimia Serum Darah Tikus Percobaan Pemeriksaan darah digunakan sebagai skrining dalam menunjang diagnosis dari berbagai penyakit. Pemeriksaan darah digunakan untuk melihat kemampuan tubuh dalam melawan suatu penyakit. Pemeriksaan darah meliputi pemeriksaan SGOT, SGPT, dan kreatinin. SGOT dan SGPT SGOT dan SGPT merupakan dua enzim transaminase yang dihasilkan terutama oleh sel hati. Bila sel hati rusak, biasanya kadar kedua enzim ini meningkat (Hayes 2007). SGPT akan memindahkan gugus amino pada alanin ke gugus keto dari β-ketogutarat membentuk glutamat dan piruvat selanjutnya

62

piruvat diubah menjadi laktat. SGOT juga berperan dalam deaminase asam amino. Enzim tersebut mengkatalis pemindahan gugus amino pada aspartat ke gugus keto dari β-ketogutarat membentuk glutamat dan oksaloasetat selanjutnya oksaloasetat diubah menjadi malat. Hasil pengukuran kadar SGOT dan SGPT serum darah dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kadar SGOT-SGPT serum darah tikus percobaan Kadar rata-rata (UI/L) SGOT SGPT a a Kontrol negatif (tanpa glukosamin) 60,17± 2,48 71,00±1,67 a a Kontrol positif (glukosamin komersil) 62,67± 3,56 72,50±1,04 a a Dosis 500 mg/kg BB 62,33±3,88 73,17±0,75 Dosis 1000 mg/kg BB 62,17±2,71a 70,17±4,35a a Dosis 1500 mg/kg BB 62,00±1,67 70,67±2,33a Nilai normal (Lella et al. 2010) 30-70 UI/L 50-80 UI/L Keterangan: Nilai SGOT dan SGPT glukosamin. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p0,05). Pemberian glukosamin

Kadar SGOT dan SGPT secara keseluruhan berada dalam kisaran normal. Pemberian glukosamin yang dilakukan selama 28 hari dengan dosis 500, 1.000 dan 1.500 mg/kgBB tidak memberikan pengaruh yang nyata (p0,05) terhadap kadar SGOT dan SGPT. Hasil analisis memperlihatkan bahwa nilai SGOT dan SGPT masih dalam ambang normal dengan nilai rata-rata SGOT sebesar 61,87±2,86 dan SGPT sebesar 71,50±2,02 UI/L. Cerda et al. (2013) dalam penelitian konsumsi glukosamin yang dilakukan selama 4 minggu menghasilkan nilai SGOT sebesar 171,5 dan SGPT 222 UI/L. Hal ini dikarenakan pada sel darah, laju regenerasi sel hati terjadi dalam keadaan normal serta hati tidak mengalami kerusakan. Secara normal organ mengalami regenerasi sel termasuk hati. Sel yang telah mengalami kerusakan digantikan oleh sel yang baru, jadi pada keadaan non patologis keberadaan SGOT dan SGPT dalam darah itu normal. Hal tersebut terjadi karena regenerasi sel hati yang secara normal terjadi. Girindra (1986) menyatakan bahwa sel hati yang telah rusak akan digantikan oleh sel hati yang baru. Enzim SGOT dan SGPT akan tetap keluar dan masuk ke dalam peredaran darah meskipun sel hati mengalami kerusakan. Apabila sel hati mengalami kerusakan enzim SGOT dan SGPT tetap ada dalam darah dengan jumlah yang besar sebagai indikator dari kerusakan sel hati. Hal ini juga menunjukan bahwa hati bekerja dan menjalankan fungsinya secara normal. Kreatinin Kreatinin adalah protein yang merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam urin dalam kecepatan yang sama (Corwin 2001). Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi, konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih besar dari nilai normal mengindikasikan adanya gangguan fungsi ginjal. Hasil pengukuran kadar kreatinin serum darah dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kadar kreatinin serum darah tikus percobaan Pemberian glukosamin Kadar rata-rata kreatinin (gr/dL) Kontrol negatif (tanpa glukosamin) 0,425±0,016a Kontrol positif (glukosamin komersil) 0,410±0,021a Dosis 500 mg/kg BB 0,415±0,187a Dosis 1000 mg/kg BB 0,428±0,007a Dosis 1500 mg/kg BB 0,423±0,017a Nilai normal (Syahida et al. 2012) 0,65±0,06 Keterangan: Nilai kreatinin glukosamin. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p0,05).

Hasil analisis dari pemberian glukosamin dengan dosis 500, 1.000, dan 1.500 mg/kg BB tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar kreatinin. Hal ini dikarenakan glukosamin tidak memiliki efek toksik terhadap ginjal dimana akumulasi protein dalam darah tidak terjadi. Nabella dan Kartini (2011) menjelaskan bahwa kreatinin dianggap sebagai marker terbaik dalam menilai kerusakan ginjal tetapi peningkatan kadar kreatinin dapat terjadi jika fungsi ginjal sudah mengalami penurunan sekitar 50–70%. Amin et al. (2007) diagnosis gagal ginjal akut ditetapkan bila kadar kreatinin darah meningkat hingga 2-3 kali sebesar 1,5 mg/dl dari kondisi normal 0,6–1,1 gr/dL. Listina dan Merata (2007) menyatakan bahwa pada penderita gagal ginjal, kadar serum kreatinin akan cenderung meningkat dan kadar hemoglobin darah akan cenderung menurun. Hal ini disebabkan karena adanya defisiensi eritropoietin, hemolisis karena faktor ekstrakorpuskuler, adanya metabolik toksik yang merupakan inhibitor eritropoesis, dan kecenderungan berdarah karena disfungsi trombosit. Semakin tinggi kadar serum kreatinin pada penderita gagal ginjal, maka kadar hemoglobin darah akan cenderung menurun. Begitu juga sebaliknya jika kadar hemoglobin darah naik, maka kadar serum kreatinin juga menurun. Sennang et al (2005) menyebutkan bahwa penggunaan serum kreatinin sebagai biomarker mengukur fungsi ginjal merupakan delayed marker yang bersifat nonspesifik dan tidak sensitif dalam mendiagnosis dini terjadinya gagal ginjal akut disaat ginjal belum mengalami kematian sel berupa apoptosis maupun nekrosis. Simpulan Berdasarkan pengamatan efektivitas pemberian glukosamin pada tikus percobaan maka dapat disimpulkan bahwa glukosamin dapat menurunkan nafsu makan hewan percobaan. Glukosamin dosis 1.500 Mg/kgBB dapat meningkatkan cairan sinovial secara maksimal berdasarkan foto radiologi. Berdasarkan hasil analisis pengujian serum darah tidak terjadi gangguan metabolisme selama pemberian dosis glukosamin selama 28 hari. Saran Perlunya analisis lanjutan mengenai histopatologi pada hewan percobaan untuk mengetahui toksisitas glukosamin.

64

5. PEMBAHASAN UMUM Kitin merupakan biopolimer yang tersusun atas unit N-asetil-DGlukosamin. Struktur kitin sangat mirip dengan selulosa yang membedakan pada gugus asetamido diganti oleh gugus hidroksil pada atom karbonnya. Kitin alfa terdapat lebih banyak di alam misalnya pada hydrozoa, nematode, rotifera, moluska, dan atropode. Kitin beta ditemukan pada moluska, tinta cumi, dinding sel seranga, dan lambung cumi-cumi (Rochima 2014). Kitosan sebagai polimer yang tersusun dari 2-acetamido-2-deoksi-D-glukosa dapat diperoleh dengan cara mengolah kitin. Pengubahan molekul kitin menjadi kitosan diperoleh dengan cara mengubah gugus asetamido (–NHCOCH) pada kitin menjadi gugus amina (–NH3) pada kitosan (Purwanti 2014). Hasil karakterisasi kitosan limbah udang mengandung rendemen 14% lebih rendah dibandingkan Puvvada et al. (2012) 34%. Rendemen yang rendah dikarenakan pada proses deproteinasi sebagian dari struktur kitin ikut menghilang bersamaan dengan protein. Rokhati (2006) menambahkan bahwa pengaruh suhu dan waktu pemanasan pada proses deasetilasi kitosan akan menurunkan rendemen. Kitosan yang dihasilkan berwarna putih kecokelatan dan berbentuk serpihan dengan kadar air 12,29%. Berdasarkan hasil penelitian Darmanto (2002) kadar air kitosan 7,90% hal ini menunjukkan bahwa kurangnya waktu pengeringan sehingga kadar air yang dikandung dalam kitosan lebih tinggi. EFSA (2012) menyebutkan kadar air kitosan harus ≤ 10%. Hal ini erat kaitannya dengan kitosan yang memiliki kemampuan untuk mengikat molekul air. Kadar abu hasil penelitian adalah 0,99%. Hasil penelitian Bansal et al. (2011) kadar abu kitosan 0,3%. Berdasarkan EFSA (2012) standar untuk kadar abu kitosan komersil ≤ 3%. Hal ini menunjukkan bahwa proses demineralisasi telah berjalan dengan sempurna. Kadar mineral pada kulit udang yang harus dihilangkan mencapai 24,42±0,004% berupa kalsium karbonat. Azhar et al. (2010) menyatakan bahwa proses demineralisasi bertujuan menghilangkan mineral berupa CaCO3 dalam jumlah besar dan Ca3(PO4)2 dalam jumlah kecil. Proses demineralisasi akan berjalan sempurna dengan bantuan asam klorida. Asam klorida dalam proses demineralisasi akan melarutkan garam-garam kalsium. Sebagai akibat dilepaskan gas CO2 dan terbentuk ion Ca2+ sehingga ion H2PO4‾ akan terlarut dalam air. Kadar nitrogen hasil penelitian adalah 2,20%. Berdasarkan hasil penelitian Toan (2009) kadar protein nitrogen antara 0,53±0,06-0,94±0,01%. Kadar nitrogen yang tinggi diakibatkan proses deproteinasi yang kurang sempurna sehingga menyebabkan rantai asam amino tidak dapat dirombak pada proses tersebut sehingga denaturasi protein tidak berlangsung dengan baik. Kadar protein kitosan komersil menurut EFSA (2010) ≤ 6%; GRAS (2012) adalah 0,02 gram/100gram. Viskositas kitosan penelitian ini adalah 1.713,04 cPs. Berdasarkan hasil penelitian Puvvada et al. (2012) viskositas kitosan 304 cPs. Viskositas yang tinggi dipengaruhi oleh distribusi molekul kitosan dalam larutan. Semakin tinggi berat molekul semakin tinggi viskositas. Hal ini erat kaitanya dengan laju translasi dalam larutan, semakan tinggi berat molekul maka semakin lambat translasinya dan viskositas akan semakin tinggi. GRAS (2012) menyebutkan standar viskositas kitosan berkisar 25-5.000 cPs. Derajat deasetilasi kitosan hasil penelitian 98,65% lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Hargono dan Djaeni (2003) 82,45%

hal ini dikarenakan konsentrasi NaOH 50% yang digunakan merupakan titik optimal untuk menghasilkan derajat deasetilasi yang tinggi. Konsentrasi NaOH yang tinggi tidak efisien dalam proses deasetilasi karena akan merusak struktur bahan. Patria (2013) menyatakan konsentrasi dan suhu yang tinggi dalam proses deasetilasi akan menyebabkan rantai molekul pada kitosan terdepolimerisasi yang mengakibatkan penurunan derajat deasetilasi. Standar derajat deasetilasi kitosan berdasarkan EFSA (2010) ≥90%; GRAS (2012) 75-95% sebagai produk nutraseutika. Kandungan logam berat kitosan misalnya merkuri 0,00001±2,7735 ppm, kadmium 0,00079±3,4641 ppm, tembaga 0,01105±1,7320 ppm, timbal 0,00316±2,3094 ppm, dan arsen 0,00098±1,7320 ppm. Nilai ini masih berada dibawah standar yang rekomendasikan oleh BPOM (2007); EFSA (2010); GRAS (2012) berkisar antara 0,1-5 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa sampel kulit udang yang diperoleh tidak tercemar oleh aktifitas industri dan juga penambangan. Hasil karakterisasi kitosan selanjutnya dihidrolisis menjadi glukosamin dengan kadar rendemen 65,33%. Hasil penelitian Sibi et al. (2013) menyatakan bahwa rendemen gkukosamin 68,91%. Rendemen glukosamin sangat dipengaruhi oleh metode ekstraksi. Pan et al. (2011) ekstraksi glukosamin secara enzimatis menghasil rendeman yang relatif tinggi 91,1%. Loss on drying 0,60% pada konsentrasi HCl 5% dan waktu pemanasan 150 menit. Nilai pH glukosamin 5,66 pada konsentrasi HCl 5% dan waktu pemanasan 90 menit. Nilai pH yang dihasilkan telah memenuhi standar yang ditetapkan CARGIL (2004); EFSA (2009) berkisar 3-5. Nilai pH sangat dipengaruhi oleh pengunaan asam, semakin tinggi konsentrasi asam maka semakin rendah nilai pH dari bahan. Kelarutan glukosamin hasil penelitian 96,33% pada konsentrasi HCl 8% dan waktu pemanasan 60 menit. Kelarutan merupakan salah satu indikator keberhasilan transformasi kitosan menjadi glukosamin. Glukosamin larut dalam air karena adanya ikatan hidroksil antara OH‾ dan NH3Cl. Proses pemotongan polimer kitosan oleh HCl menjadi unit yang lebih kecil sehingga ion Cl¯ dari HCl lebih mudah berikatan dengan gugus amin kitosan sehingga membentuk NH3Cl menyebabkan glukosamin hidroklorida bersifat larut dalam air. Berdasarkan CARGIL (2004); EFSA (2009) kelarutan glukosamin mencapai 90%. Loss on ignition 0,23% pada konsentrasi HCl 5 % dan waktu pemanasan 150 menit. Derajat deasetilasi yang diperoleh dari penelitian 99,44% lebih tinggi dibandingkan dengan derajat deasetilasi glukosamin komersil 97,99%. Hal ini dikarenakan glukosamin komersil mengandung bahan tambahan misalnya zat pewarna, bahan pemanis, dan bahan penyalut sehingga serapan pita yang hasilkan cendering tidak bersih. Glukosamin terbaik selanjutnya diaplikasikan untuk melihat efektivitasnya dalam meningkatkan cairan sinovial pada tikus percobaan. Hasil pengukuran selisih pertumbuhan berat badan terlihat adanya peningkatan rata-rata 0,2-0,5 g untuk masing-masing perlakuan. Perbedaan selisih berat badan tikus percobaan dipengaruhi oleh pemberian glukosamin yang berbeda. Analisis radiologi menggunakan photo x-ray pada persendian menunjukkan adanya perubahan volume cairan sinovial pada kontrol positif dan ketiga perlakuan. Kontrol negatif tidak terjadi peningkatan cairan sinovial. Hal ini diduga glikoprotein tidak lagi memproduksi glukosamin sebagai hasil metabolisme. Wen et al. (2010) menyatakan bahwa pemberian glukosamin secara signifikan meningkatkan volume cairan sinovial dalam tulang rawan. Analisis serum darah secara keseluruhan berada dalam kisaran normal. Pemberian

66

glukosamin selama 28 hari dengan dosis 500, 1.000 dan 1.500 mg/kgBB menghasilkan nilai SGOT serum darah 61,87±2,86 dan SGPT 71,50±2,02 UI/L. Berdasarkan Lella et al. (2010) standar nilai SGOT dan SGPT untuk hewan uji 30-70 UI/L SGOT dan 50-80 UI/L SGPT. Nilai yang dihasilkan masih memenuhi dalam standar hewan uji. Hal ini terjadi karena pada sel darah, laju regenerasi sel hati yang tetap pada keadaan normal serta hati tidak mengalami kerusakan. Kadar kreatinin serum darah 0,42±0,05 mg/dL. Menurut Syahida et al. (2012) standar hewan uji untuk kadar kreatinin 0,65±0,06 gr/dl dianggap masih dalam ambang normal. Hal ini karena glukosamin tidak memiliki efek toksik terhadap ginjal dimana akumulasi protein dalam darah tidak terjadi.

Kesimpulan Karakteristik kitosan limbah kulit udang yang digunakan dalam penelitian ini masih berada di bawah standar sebagai bahan tambahan makanan dan nutraseutika. Pembuatan glukosamin dengan metode hidrolisis bertekanan menghasilkan glukosamin yang sesuai dengan standar sebagai suplemen bagi penderita osteoartritis. Berdasarkan hasil analisis efektivitas glukosamin dosis 1.500 mg/kgBB dapat meningkatkan cairan sinovial secara maksimal dan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar SGOT-SGPT dan Kreatinin serum darah tikus percobaan dengan galur sprague dawley yang dipelihara selama 28 hari. Saran Perlakuan pemberian glukosamin tunggal terbukti dapat meningkatkan cairan sinovial, namun belum mampu menumbuhkan tulang rawan sehingga disarankan meneliti lebih lanjut tentang glukosamin dan kondroitin untuk menumbuhkan atau menebalkan tulang rawan.

DAFTAR PUSTAKA Abdulkarim A, Isa AT, Abdulsalam S, Muhammad AJ, Ameh AO. 2013. Extraction and characterisation of chitin and chitosan from mussel shell. Civil and Environmental Research. 3(2):108-114. Abllo P, Carbonell A, Torres P. 2002. Biogeography of benthic crustaceans on the shelf and upper slop of the iberian peninsula mediterranean coasts: implication for the establishment of natural management areas. Scientia Maria. 66(2):183-196. Afridiana N. 2011. Recovery glukosamin hidroklorida dari cangkang udang melalui hidrolisis kimiawi sebagai bahan sediaan suplemen osteoarthritis [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Agustini TW, Sedjati S. 2007. The effect of chitosan concentration and storage time on the quality of salted-dried anchovy (Stolephorus heterolobus). Journal Coastal Development. 10(2):63-71. Agusnar H. 2007. Penggunaan kitosan dari tulang rawan cumi-cumi (Loligo pealli) untuk menurunkan kadar ion logam Cd dengan spektrofotometri serapan atom. Jurnal Sains Kimia. 11(1):15-20. Akarasereenont P, Chatsiricharoenkul S, Pongnarin P. 2012. Bioequivalence study of 1,500 mg glucosamine sulfate in thai healthy volunteers. Journal Bioequiv Availab. 4(6):091-095. Albalak R, Noonan G, Buchanan S, Flanders WD, Gotway CC, Kim D, Jones RL, Sulaiman R, Blumenthal W, Tan R, Curtis G, McGeehin, Michael A. (2003) Blood lead levels and risk factors for lead poisoning among children in Jakarta Indonesia. The Science of The Total Environment. 301(1-3):75-85. Amin I, Rusli B, Hardjoeno. 2007. Creatinine and creatinine clearance value of leptospirosis patients. Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 13(2):53-55. Anderson JW, Nicolosi RJ, Borzelleca JB. 2005. Glucosamine effects in humans: a review of effects on glucose metabolism, side effects, safety considerations and efficacy. Journal Food and Chemical Toxicology. 10(43):187–201. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis. 18thed. Maryland: Association of Official Analytical Chemists Inc. Arifin Z. 2007. Pentingnya mineral tembaga (Cu) dalam tubuh hewan dalam hubungannya dengan penyakit. Jurnal Wartazoa. 17(2):093-099. Avena B, Olsen RJ, Olson CW, Chiou DA, Yee E, Bechtel E. 2006. Water vapor permeability of mammalian and fish gelatin films. Journal of Food Sciences. 71(4):202-207. Aziz LFAE, Fotouh SA, dan Galal N. 2008. Efficacy and safety of glucosamine sulfate in experimental animals. Journal Egyptian Society Phannaco. 29(2):485-501. Azhar M, Efendi J, Syofyeni E, Lesi RM, Novalina S. 2010. Pengaruh konsentrasi NaOH dan KOH terhadap derajat deasetilasi kitin dari limbah kulit udang. Jurnal Eksakta. 1(l1):1-7.

68

Bansal V, Sharma PK, Sharma N, Pal OP, Malviya R. 2011. Applications of chitosan and chitosan derivatives in drug delivery. Advances in Biological Research. 5(1):28-37. [BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2004. Ketentuan pokok pengawasan suplemen makanan. Jakarta (ID): Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. [BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2007. Pengunaan chitosan pada produk pangan. Jakarta (ID): Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia. Brief AA, Maurer SG, DiCesare PE. 2001. Use of glucosamine and chondroitin sulfate in the management of osteoarthritis. Journal of the American Academy of Orthopedic Surgeons. 10(6):71-78. Brugnerotto J, Lizardib J, Goycoolea FM, ArguÈelles-Monalc W, Desbrie Áresa J, Rinaudo M. 2001. An infrared investigation in relation with chitin and chitosan Characterization. Journal Polymer. 71(42):3569-3580. Cahyono E, Suptijah P, Wientarsih I. 2014. Development of a pressurized hydrolysis method for producing glucosamine. Asian Journal of Agriculture and Food Sciences. 2(5):390-396. Camara, Da CC, Dowless GV. 1998. Glucosamine sulfate for osteoarthritis. Annals of Pharmacotherapy. 11(32):580-587. CARGIL. 2004. Notification of gras determination for REGENASURETMG ucosamine hydrochloride. Iceland (IL). Product Applications Chemist. Cerda C, Bruguera M, Pares A. 2013. Hepatotoxicity associated with glucosamine and chondroitin sulfate in patients with chronic liver disease. World Journal Gastroenterol. 19(32):5381-5384. Charernsriwilaiwat N, Opanasopit P, Rojanarata T, Ngawhirunpat T. 2012. In vitro antioxidant activity of chitosan aqueous solution: effect of salt form. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 11(2):235-242. Chang YF, Sitanggang AB, Wu HS. 2011. Optimizing biotechnological production of glucosamine as food ingredient from (Aspergillus sp.) BCRC 31742. Journal of food biotechnology. 9(2):75-82. Corwin EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Yudha EK, Wahyuningsih E, Yulianti D, Karyuni PE, editor. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Handbook of Patophysiology. Ed ke-3. Cui J. Yang Y, Du Y, Fan F, Qiu Y, Li Y, John F. Kennedy. 2006. Enzymatic preparation of chitosan from the waste (Aspergillus niger) mycelium of citric acid production plant. Carbohydrate Polymers. 238(64):151–157 Dahiya N, Tewari R, Tiwari, RP, Hoondal GS. 2005. Chitinase from (Enterobacter sp.) NRG4: Its purification, characterization and reaction pattern. Journal of Biotechnology. 8(2):134-145. Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta (ID): UI-Press. Darmono. 1999. Kadmium (Cd) dalam lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan dan produktivitas ternak. Jurnal Wartazoa. 8(1):28-32. Denton J. 2010. Synovial fluid analysis in the diagnosis of joint disease. Journal Osteoarticular Pathology. 18(4):158-168. Dutta PK, Dutta J, Tripathi VS. 2004. Chitin and chitosan, chemistry, properties and applications. Journal of Scientific and Industrial. 63(5):20-23.

[EFSA] European Food Safety Authority. 2009. Scientific Opinion on the substantiation of a health claim related to glucosamine hydrochloride and reduced rate of cartilage degeneration and reduced risk of development of osteoarthritis pursuant. European Food Safety Authority. 7(10):1-9. [EFSA] European Food Safety Authority. 2010. Scientific opinion on the safety of chitin-glucan as a novel food ingredient. European Food Safety Authority. 8(7):1-17. Ernawati. 2013. Pembuatan glukosamin hidroklorida (Glcn HCl) dengan metode autoklaf. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Girindra A. 1986. Patologi Klinik Veteriner. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Goy EC, de Britto D, Assis OBG. 2009. A review of the antimicrobial activity of chitosan. Ciencia e Technology. 9(3):241-247. GRAS. 2012. Chitoclear® shrimp-derived chitosan: food usage conditions for general recognition of safety. Iceland (IL): GRAS Hadi AG. 2013. Synthesis of chitosan and its use in metal removal. Chemistry and Materials Research. 3(3):22-26. Hathcock JN, Shao A. 2006. Risk assessment for glucosamine and chondroitin sulfate. Regulatory Toxicology and Pharmacology. 10(47):78–83. Hargono, Djaeni. 2003. Utilization of chitosan prepared from shrimp shell as fat diluent. Journal of Coastal Development. 7(1):31-37. Hayes MA. 2007. Pathophysiology of The Liver. Amerika Serikat (US): Saunder Company. Hendri M, Diansyah G, Tampubolon J. 2010. Konsentrasi letal (LC50 48 jam) logam tembaga (Cu) dan logam kadmium (Cd) terhadap tingkat mortalitas juwana kuda laut (Hippocampus spp). Jurnal Penelitian Sains. 13(1):26-30. Herman DZ. 2006. Tinjauan terhadap tailang mengandung unsur pencemaran arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dari sisa pengolahan biji logam. Jurnal Geologi Indonesia. 1(1): 31-36. Hermanto MW, Chiu MS. 2007. Robust optimal control of polymorphic transformation in batch crystallization. American Institute of Chemical Engineers Journal. 53(10):2643-2650. Heryando P. 2000. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Hobbelen PHF, Koolhaas JE, C.A.M. vanGestel CMA. 2004. Risk assessment of heavy metal pollution for detritivores in floodplain soils in the Biesbosch, the Netherlands, taking bioavailability into account. Journal Environmental Pollution. 129(11):409–419. Hossain MS. 2013. Extraction and characterization of chitosan from shrimp shell and its utilization to increase shelf life of banana. [thesis]. Bangladesh (BL): Bangladesh Agricultural University. Hsieh JW, Wu HS, We YH, Wang SS. 2007. Determination and kinetics of producing glucosamine using fungi. Journal Biotechnology. 10(23):1009-1016.

70

[IFCC] International Federation of Clinical Chemistry. 1991. Approved recommendation on IFCC methods for the measurement of catalytic concentration of enzymes. New York (US): International Federation of Clinical Chemistry. Ileleji KE, Gracia AA, Kingsly ARP, Clemetson CL. 2010. Comparison of standard moisture loss on drying methods for determination of moisture content of corn distillers dried grains with solubles. Journal of Association of Official Analytical Chemists International. 93(3):825-831. Isa MT, Ameh AO, Gabriel JO, Adama KK. 2012. Extraction and characterization of chitin from nigerian sources. Nigeria. Journal of Practices and Technologyes. 5(4):73-81. Islama M, Masum S, Rahmana MM, Mollab AI, Shaikh AA, Roya SK. 2011. Preparation of chitosan from shrimp shell and investigation of its properties. Journal of Basic and Applied Sciences. 11(1):77-80. Junianto. 2008. Perancangan proses dan peningkatan skala ekstraksi kitin dari kulit udang secara biologis. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jamailahmadi K, Behravan J, Najafi MF, Yazdi MT, Shahverdi AR, Faramarzi MA. 2011. Enzymatic production of N-Acetyl-D-Glucosamine from chitin using crude enzyme preparation of (Aeromonas sp). Journal Biotechnology. 10(3):292-297. Kamala K, Sivaperumal P, Rajaram R. 2013. Extraction and characterization of water soluble chitosan from parapeneopsis stylifera shrimp shell waste and its antibacterial activity. International Journal of Scientific and Research Publications. 3(4):1-8. Kelly GS. 1998. The role of glucosamine sulfate and chondroitin sulfates in the treatment of degenerative joint disease. Alternative Medicine Review. 3(1):27-39. Kitong MT. Abidjulu J, Koleangan HSJ. 2012. Analisis merkuri (Hg) dan arsen (As) di sedimen sungai ranoyapo kecamatan amurang Sulawesi Utara. Jurnal Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam. 1(1):16-19. Kuppusamy S, Karuppaiah J. 2012. Antioxidant and cytotoxic efficacy of chitosan on bladder cancer. Asian Pacific Journal of Tropical Disease. 10(6):769-773. Kraus VB, Stabler TV, Kong J, Varju G, McDaniel G. 2007. Measurement of synovial fluid volume using urea. Osteoarthritis Cartilage. 15(10):1217–1220. Kralovec JA, Barrow CJ. 2008. Marine Neutraceticals and Functional Foods. New York (US): CRC Press. Lalla JK, Shah MU, Edward. 2010. Preclinical animal toxicity studies. Journal of Pharmacology and Bio Sciences. 1(2):01-33. Lasut MT. 2009. Proses Bioakumulasi dan biotransfer merkuri (Hg) pada organisme perairan di dalam wadah terkontrol. Jurnal Matematika dan Sains. 14(3):89-95. Leiner PB. 2006. The physical and chemical properties of gelatin. [internet]. 24 Juli 2014. 1(1): Spanyol (ES). http:///www.pbgelatin.com.

Lubis H, Aman C. 2008. Pemeriksaan kandungan logam merkuri, timbal, dan kadmium dalam daging rajungan segar yang berasal dari TPI gabion belawan secara spektrofotometri serapan atom. Majalah Kedokteran umum Nusantara. 41(1):39-47. Mahae N, Chalat C, Muhamud P. 2011. Antioxidant and antimicrobial properties of chitosan-sugar complex. Journal International Food Research. 18(4):1543-1551 Mahajan A, Verma S, Tandon V. 2005. Osteoarthritis. Journal of the Association of Physicians of India. 53(10):634-641. Mandel SA, Fishman JT, Youdim MB. 2009. Modeling sporadic parkinson's disease by silencing the ubiquitin E3 ligase component SKPIA. Journal Parkinsonism Relat Disord. 15(3):48-51. Martin W, Craing. 2004. Glucosamine: Review of its effectiveness in treating knee osteoarthritis: WCB Evidence Based Practice Group. Mohanasrinivasan V, Mishra M, Paliwal JS, Singh SK, Selvarajan E, Suganthi V, Devi CS. 2013. Studies on heavy metal removal efficiency and antibacterial activity of chitosan prepared from shrimp shell waste. Journal Biotechnology. 1(3):01-09 Mojarrad JS, Nemati M, Valizadeh H, Ansarin M, Bourbour S. 2007. Preparation of glucosamine from exoskeleton of shrimp and predicting production yield by response surface methodology. Pharmacognosy and Food Science, and Pharmaceutics. 1(1):1-5 Marhadi, Soewarno TS, Jannie BSL, Apriantono A, Yasnin S. 2003. Isolasi dan identivikasi komponen volatil biji atung (Parinarium glaberrium). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 16 2):121-128. Naznin R. 2005. Extraction of chitin and chitosan from shrim (Metapenaeus monoceros) shell by chemical method. Journal of Biological Sciences. 8(7):1051-1054. Nwe N, Chandrachang S, Stevens WS, Maw T, Tan TK, Khor E, Wong SM. 2002. Production of fungal chitosan by solid state and submrged fermewntation. Carbohydrate Polymers. 10(1):1-3 Oliveira MI, Santos SG, Oliveira MJ, Torres AL, Barbosa MA. 2012. Chitosan drives anti-inflammatory macrophage polarisation and pro-inflammatory dendritic cell stimulation. Journal European Cells and Materials. 24(10):136-153. Pan SK, Wu SJ, Kim JM. 2011. Preparation of glucosamine by hydrolysis of chitosan with commercial α-amylase and glucoamylase. Journal of Zhejiang. 12(11):931-934. Patil RS, Ghormade V, Mukund V, Deshpande. 2000. Chitinolytic enzymes: an exploration. Journal Enzyme Microbial Technology. 26(10):473–483. Patria A. 2013. Production and characterization of chitosan from shrimp shells waste. International Journal of the Bioflux Society. 6(4):339-344. Pamungkas WH, Bintoro N, Rahayu S, Rahardjo B. 2008. Perubahan laju pengeringan pasta dengan perlakuan awal puffing udara. [Internet]. Yogyakarta (ID). Hal 1-15. [20 desember 2014]. http://repository.ipb.ac.id/ bitstream/handle/123456789/8248/26WH_Pamungkas.pdf. Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS, Vyvyan JR. 2009. Introduction to Spectroscopy. 5th edition. Amerika Serikat (US): Belmont.

72

Ploydee E, Chaiyanan S. 2014. Production of high viscosity chitosan from biologically purified chitin isolated by microbial fermentation and deproteinization. International Journal of Polymer Science. 10(1):01-08. Purwanti A. 2014. Evaluasi proses pengolahan limbah kulit udang untuk meningkatkan mutu kitosan yang dihasilkan. Jurnal Teknologi. 7(1):83-90. Puvvada YS, Vankayalapati S, Sukhavasi S. 2012. Extraction of chitin from chitosan from exoskeleton of shrimp for application in the pharmaceutical industry. Pharmaceutical Journal. 1(9):258-263. Qin C, Zhou B, Zenga L, Zhanga Z, Liu Y, Du Y, Xiao L. 2004. The physicochemical properties and antitumor activity of cellulase-treated chitosan. Journal Food Chemistry. 8146(3):107–115. Rajalakshmi A, Krithiga N, Jayachitra A. 2013. Antioxidant activity of the chitosan extracted from shrimp exoskeleton. Journal of Scientific Research. 16(10):1446-1451. Reyes, Delos G, Koda RT, Lien EJ. 2000. Glucosamine and chondroitin sulfates in the treatment of osteoarthritis: a survey. Progress in Drug Research. 2000(55):82-103. Shahidi F, Arachchi JKV, Jeon YJ. 1999. Food applications of chitin and chitosan. Trends in Food Science and Technology. 10(1):37-51. Robert GAF. 2008. Thirty years of progress in chitin and chitosan. Bioengineering Research Unit. 10(13):07-15. Rochima E, Suhartono MT, Sugiyono DS. 2007. Viscosity and Molecule Weight of Enzymatic Reaction Chitosan by Chitin Deacetylase from (Bacillus papandayan K29-14) Isolate. [internet]. Bandung (ID). Hal 1-18. [7 januari 2014]. http://chemistry.unpad.ac.id/isc-proceeding/Pdf/OP/03050310%20OP081%2020Emma%20Rochima.pdf Rochima E. 2014. Kajian pemanfaatan limbah rajungan dan aplikasinya untuk bahan minuman. Kesehatan berbasis kitosan. Jurnal Akuatika. 5(1):71-82 Rokhati N. 2006. Pengaruh derajat deasetilasi khitosan dari kulit udang terhadap aplikasinya sebagai pengawet makanan. Jurnal Reaktor. 10(2):54-58. Rismawan. 2012. Rendemen Glukosamin dari Kitin Udang [skripsi]. Bogor (ID): Sekolah Tinggi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Santisteban JI, Mediavilla R, pez-Pamo EO, Dabrio CJ, Zapata MBR, Garcıa MJG, Castan S, Alfaro PEM. 2004. Loss on ignition: a qualitative or quantitative method for organic matter and carbonate mineral content in sediments. Journal Paleolim. 28(10):161–179. Saputra KA, Angela A, Surya R, Gifsan Y, Priskila. 2009. Application of Chitosan as Preservatives on Organic Fruits. Asian Journal of Food and Agro-Industry. 28(79):264-270. Scanzelloy CR, Umohz, EF. Pesslerx C, Tornek D, Miles T, DiCarlo E, Potteryy HG, Mandlzz L, Mar R, Rodeo S, Goldring SR dan Crowzz MK. 2009. Local cytokine profiles in knee osteoarthritis: elevated synovial fluid interleukin-15 differentiates early from end-stage disease. Journal Osteoarthritis and Cartilage. 17(8):1040-1048 Setyawan AD, Indrowuryanto W, Winarno K. 2004. Pencemaran logam berat Fe, Cd, Cr, dan Pb pada lingkungan mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Jurnal Environmental. 4(2):45-49.

Sennang N, Sulina, Badji A. Hardjoeno. 2005. Laju fitrasi glomerulus pada orang dewasa berdasarkan tes klirens kreatinin menggunakan persamaan cockroftgault dan modification of diet in renal disease. Jurnal Media Nusantara. 24(2):01-10. Shubhangi DC, Chinchansoor RG, Hiremath PS. 2012. Edge detection of femur bones in x-ray images–a comparative study of edge detectors. International Journal of Computer Applications. 42(2):0975–8887. Sitanggang AB, Sophia L, Wu HS. 2012. Aspects of glucosamine production using microorganisms. International Food Research Journal. 19(2):393-404. Sibi G, Dhananjaya K, Ravikumar KR, Mallesha H, Venkatesha RT, Trivedi D, Bhusal KP, Neeraj, Gowda K. 2013. Preparation of glucosamine hydrochloride from crustacean shell waste and it’s quantitation by RPHPLC. American-Eurasian Journal of Scientific Research. 8(2):63-67. Sihombing M, Tuminah S. 2011. The changes on hematological, blood biochemical values, Organ and body weight of rat at different ages. Jurnal Veteriner. 12(1):58-64 [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Air dan air limbah bagian 11: Cara uji derajat keasaman pH dengan menggunakan alat pH meter. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Cara uji kimia-Bagian 6: Penentuan kadar logam berat merkuri (Hg) pada produk perikanan. Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Cara uji kimia bagian 2: Penentuan kadar air pada produk perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2013. Metode uji kadar logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dalam produk pertanian dan olahannya dengan metode spektrofotometer serapan atom (SSA). Jakarta (ID): Badan Standarisasi Nasional. Smith, B. (1988). Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Coba di Daerah Tropis. Jakarta (ID): UI Press Sophanodora P, Benjakula S. 1993. Convertion an utilization of from prawn shell. Ole BL, Buchanan A, Fardiaz D, editor. Development of food scince and technology in Southest Asia. Proceeding at The 8th Asia Good Conference. Hal:17-21. Steel RBD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta (ID): Gramedia. Sudarmaji, Mukono J, Corie IP. 2006. Toksikologi logam berat B3 dan dampaknya terhadap kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2(2):129-142. Suherni. 2010. Keracunan timbal di Indonesia. [ulasan]. Global lead adviceand support service. 21(30):01-19. Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H, Purwaningsih S, Santoso J. 1992. Pengaruh berbagai isolasi khitin kulit udang terhadap mutunya. Laporan Penelitian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sutesna (2007). Cerdas Belajar Kimia. Jakarta (ID): Srikandi media perkasa.

74

Swann GEA, Patwardhan SV. 2011. Application of Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) for assessing biogenic silica sample purity in geochemical analyses and palaeoenvironmental research. Journal Climate of the Past. 10(7):65-74. Syahida M, Maskat MY, Suri R,Mamot S, Hadijah H. 2012. Soursop (Anona muricata L.): Blood hematology and serum biochemistry of SpragueDawley rats. Journal International Food Research. 19(3):955-959. Toan NV. 2009. Production of chitin and chitosan from partially autolyzed shrimp shell materials. Journal The Open Biomaterials. 3(1):21-24. Trung TS, Phuong PTD. 2012. Bioactive compounds from by-products of shrimp processing industry in vietnam. Journal of Food and Drug Analysis. 20(1):194-197. Walke S, Srivastava G, Nikalje M, Doshi J, Kumar R, Ravetkar S, Doshi P. 2014. physicochemical and functional characterization of chitosan prepared from shrimp shells and investigation of its antibacterial, antioxidant and tetanus toxoid entrapment efficiency. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research. 26(2):215-225. Wen ZH, Tang ZCC, Chang YC, Huang SY, Hsieh SP, Lee CH, Huang GS, Ng HF, Neoh CA, Hsieh CS, Chen WF, Jean YH. 2010. Glucosamine sulfate reduces experimental osteoarthritis and nociception in rats: association with changes of mitogen-activated protein kinase in chondrocytes. Journal Osteoarthritis and Cartilage. 10(18):1192-1202. Wu S. 2011. Preparation of water soluble chitosan by hydrolysis with commercial α-amylase containing chitosanase activity. Food Chemistry. 10(128) 769–772 Xia W, Liu P, Zhang J, Chen J. 2010. Biological activities of chitosan and chitooligosaccharides. Journal Food Hydrocolloids. 1(10):1-10. Zhou C, Sui Q, Sun N, Wang J, Huang K, Che H. 2013. Glucosamine sodium sulfate can penetrate skin and may affect glucose metabolism in rats. Journal Drug Metabolitc Toxicol. 4(2):01-06. Zulfikar, Ratnadewi AAI. 2006. Isolasi dan karakterisasi fisikokimia-fungsional kitosan udang air tawar (Macrobrechium sintangense deMan.) Jurnal Teknologi Proses. 5(2):129-137.

Lampiran

76

Lampiran 1 Hasil analisis statistik rendemen glukosamin Analisis ragam rendemen glukosamin Sumber Jumlah Derajat keragaman kuadran bebas Corrected Model 1366,094(a) 14 Intercept 165567,831 1 Konsentrasi HCl 602,641 2 Waktu Pemanasan 446,704 4 Interaksi 316,749 8 Galat 67,863 30 Total 167001,788 45

Kuadran F. Hitung Signifikan nilai tengah 97,578 43,136 0,000 165567,831 73192,435 0,000 301,320 133,204 0,000 111,676 49,369 0,000 39,594 17,503 0,000 2,262

Keterangan: Signifikasi < 0,05 berarti berpengaruh nyata Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi asam HCl Konsentrasi HCl Konsentrasi 10% Konsentrasi 8% Konsentrasi 5%

N 15 15 15

1 55,8134

α = 0,005 2

3

61,5004 64,6575

Uji lanjut Duncan terhadap waktu pemanasan Waktu Pemanasan

N

30 menit 150 menit 120 menit 90 menit 60 menit

9 9 9 9 9

1 55,4316

α = 0,005 2

3

59,6670 60,4984 63,1351 64,5534

Lampiran 2 Hasil analisa statistik Loss on Drying (LoD) glukosamin Analisis ragam Loss on Drying (LoD) Glukosamin Sumber Jumlah Derajat Kuadran keragaman kuadran bebas nilai tengah Corrected Model 1,788(a) 14 0,128 Intercept 59,821 1 59,821 Konsentrasi HCl 0,626 2 0,313 Waktu Pemanasan 1,025 4 0,256 Interaksi 0,137 8 0,017 Galat 1,397 30 0,047 Total 63,006 45

F. Hitung

Signifikan

2,742 1284,495 6.717 5,504 0,368

0,010 0,000 0,004 0,002 0,929

Keterangan: Signifikasi < 0,05 berarti berpengaruh nyata Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi asam HCl α = 0,005 Konsentrasi HCl N 2 1 Konsentrasi 5% 15 0,9867 Konsentrasi 8% 15 1,2256 Konsentrasi 10% 15 1,2467 Uji lanjut Duncan terhadap waktu pemanasan Waktu Pemanasan

N

150 menit 120 menit 90 menit 60 menit 30 menit

9 9 9 9 9

1 0,9111 1,0778

α = 0,005 2 1,0778 1,1772 1,2432

3

1,1772 1,2432 1,3556

78

Lampiran 3 Hasil analisa statistik nilai pH glukosamin Analisa ragam nilai pH glukosamin Sumber Jumlah Derajat Kuadran nilai keragaman kuadran bebas tengah Corrected Model 0,036(a) 14 0,003 Intercept 1413,777 1 1413,777 Konsentrasi HCl 0,025 2 0,012 Waktu Pemanasan 0,011 4 0,003 Interaksi 0,000 8 6,06E-005 Galat 0,025 30 0,001 Total 1413,838 45

F. Hitung

Signifikan

3,024 1678627,253 14,646 3,117 0,072

0,005 0,000 0,000 0,029 1,000

Keterangan: Signifikasi < 0,05 berarti berpengaruh nyata Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi asam HCl Konsentrasi HCl

N

Konsentrasi 10% Konsentrasi 8% Konsentrasi 5%

15 15 15

1 5,5760

α = 0,005 2

3

5,6060

Uji lanjut Duncan terhadap waktu pemanasan α = 0,005 Waktu pemanasan N 2 1 150 menit 9 5,5856 30 menit 9 5,5967 120 menit 9 5,6000 60 menit 9 5,6133 5,6133 90 menit 9 5,6300

5,6333

Lampiran 4 Hasil analisa statistik tingkat kelarutan glukosamin Analisa ragam tingkat kelarutan glukosamin Sumber Jumlah Derajat keragaman kuadran bebas Corrected Model 88,805(a) 14 Intercept 400558,208 1 Konsentrasi HCl 67,237 2 Waktu Pemanasan 19,792 4 Interaksi 1,776 8 Galat 161,787 30 Total 400808,800 45

Kuadran nilai F. Hitung Signifikan tengah 6,343 1,176 0,341 400558,208 74275,257 0,000 33,619 6,234 0,005 4,948 0,918 0,467 0,222 0,041 1,000 5,393

Keterangan: Signifikasi < 0.05 berarti berpengaruh nyata Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi asam HCl α = 0,005 Konsentrasi HCl N 1 2 Konsentrasi 10% 15 92,7067 Konsentrasi 8% 15 94,6933 Konsentrasi 5% 15 95,6400 Uji lanjut Duncan terhadap waktu pemanasan α = 0.005 Waktu pemanasan N 1 30 menit 9 93,2444 150 menit 9 94,1778 120 menit 9 94,3333 90 menit 9 94,7333 60 menit 9 95,2444

80

Lampiran 5 Hasil analisis Loss on Ingition (LoI) glukosamin Analisa ragam Loss on Inginition (LoI) glukosamin Sumber Jumlah Derajat Kuadran nilai keragaman kuadran bebas tengah Corrected Model 0,991(a) 14 0,071 Intercept 14,507 1 14,507 Konsentrasi 0,010 2 0,005 Waktu 0,890 4 0,223 Interaksi 0,090 8 0,011 Galat 1,095 30 0,037 Total 16,593 45

F. Hitung

Signifikan

1,939 397,444 0,139 6,097 0,310

0,063 0,000 0.871 0,001 0,956

Keterangan: Signifikasi < 0,05 berarti berpengaruh nyata Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi asam HCl α = 0.005 Konsentrasi HCl N 1 konsentrasi 5% 15 05467 konsentrasi 8% 15 0,5767 konsentrasi 10% 15 0,5800 Uji lanjut Duncan waktu pemanasan Waktu pemanasan

N

150 menit 120 menit 90 menit 60 menit 30 menit

9 9 9 9 9

1 0,3444 0,4778

α = 0,005 2 0,4778 0,6000

3

0,6000 0,6944 0,7222

Lampiran 6 Hasil analisis kadar SGOT serum darah

Analisa ragam kadar SGOT serum darah Sumber keragaman Perlakuan Galat Total

Jumlah kuadran 23,133 220,333 243,467

Derajat bebas 4 25 29

Kuadran nilai tengah 5,783 8,813

F. Hitung

Signifikan

0,656

0,628

Keterangan: Signifikasi > 0,05 berarti tidak berpengaruh nyata

Lampiran 7 Hasil analisis kadar SGPT serum darah

Analisa ragam kadar SGPT serum darah Sumber keragaman Perlakuan Galat Total

Jumlah kuadran 39,000 144,500 183,500

Derajat bebas 4 25 29

Kuadran nilai tengah 9,750 5,780

F. Hitung

Signifikan

1,687

0,184

Keterangan: Signifikasi > 0,05 berarti tidak berpengaruh nyata

Lampiran 8 Hasil analisis wkadar kreatinin serum darah

Analisa ragam kadar Kreatinin serum darah Sumber keragaman Perlakuan Galat Total

Jumlah kuadran 0,001 0,007 0,008

Derajat bebas 4 25 29

Kuadran nilai tengah 0,000 0,000

F. Hitung

Signifikan

1,212

0,331

Keterangan: signifikasi > 0,05 berarti tidak berpengaruh nyata

82

RIWAYAT HIDUP Eko Cahyono dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1988 di Makapa B Kecamatan Toili Barat Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan ayah Hadini Masyuri dan ibu Minayah Iskandar. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Inpres Makapa B dari tahun (1993-1999). Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 2 Toili Barat dari tahun (1999-2002). Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Toili dari tahun (2002-2005). Penulis diterima di Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan (STPL) Palu pada jurusan Teknologi Hasil Perikanan dari tahun (2007-2011) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Swasta (USMPTS). Pada tahun 2012 mendapatkan kesempatan melanjutkan ke jenjang Magister pada Mayor Teknologi Hasil Perairan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.