Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
i
ii
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
/^EϵϳϴͲϲϬϮͲϭϵϯϭϴͲϴͲϮ
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan
Peluang dan Tantangan Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Riau Pekanbaru, 29 Oktober 2015
TERBIT TAHUN 2016
Editor : Asep Hidayat, S.Hut., M.Agr., Ph.D. Dr. Sudarmalik, S.Hut., M.Si. Eka Novriyanti, S.Hut., M.Si., Ph.D. Henti Hendalastuti Rachmat, S.Hut., M.Si., Ph.D. Agus Wahyudi, S.Hut., M.Si.
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Huta Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
iii
iv
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Peluang dan Tantangan Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Riau Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan Editor : Asep Hidayat, S.Hut., M,Agr., Ph.D. Dr. Sudarmalik, S.Hut., M.Si. Eka Novriyanti, S.Hut., M.Si., Ph.D. Henti Hendalastuti Rachmat, S.Hut., M.Si., Ph.D. Agus Wahyudi, S.Hut., M.Si.
Tim Penyunting Penanggung Jawab : Ir. R. Gunawan Hadi Rahmanto, M.Si. (Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan) Sekretariat: Dedy Rahmanto, S.Hut., M.Ec.Dev. Fitri Agustina, S.H., M.P.P. Shinta Pangesti
© 2016 Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan ISBN 978-602-19318-8-2 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis dalam bentuk dan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Diterbitkan oleh : Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan Jl. Raya Bangkinang-Kuok Km. 9, Bangkinang, Kode Pos 28401 Telp (0761).6700911, Fax (0761).6700768 Website : www.balithut-kuok.go.id E-mail :
[email protected]
Desain Sampul : Tim Sekretariat Data Informasi dan Sarana Penelitian (Foto oleh Opik Taufik Akbar)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
v
vi
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
KATA PENGANTAR Permasalahan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Riau bukan hanya merupakan isu regional melainkan menjadi isu nasional bahkan internasional. Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alamnya, tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung membawa dampak yang signifikan terhadap perubahan lingkungan dan ekosistem. Kompleksitas permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Riau menjadi latar belakang terselenggaranya Seminar Hasil Penelitian dengan tema “Peluang dan Tantangan Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Riau” ini. Pengelolaan pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan merupakan permasalahan yang bersifat multi dimensi dan multi sektor, sehingga diperlukan pendekatan yang multi approach dan terintegrasi. Seminar ini bertujuan untuk membentuk suatu sinergi dengan multi pihak untuk mengenali tantangan-tantangan yang dapat menghambat dan menggali potensi atau peluang yang ada di Propinsi Riau, sehingga dapat membantu mewujudkan terciptanya pembangunan lingkungan hidup dan hutan lestari, sekaligus bertujuan sebagai upaya promosi penyebarluasan hasil-hasil penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH). Diharapkan, dengan berbagai diskusi dari Seminar ini, dapat memberikan informasi dan alternatif solusi yang optimal yang berarti bagi perumusan strategi pengelolaan pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan yang berkelanjutan. Pada kesempatan ini, kami megucapkan terima kasih kepada penyaji materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan Seminar ini. Semoga prosiding ini bermanfaat.
Pekanbaru,
September 2016
Kepala Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan,
Ir. R. Gunawan Hadi Rahmanto, M.Si
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
vii
viii
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................................................... DAFTAR ISI............................................................................................................ SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI.................................................................................................................. SAMBUTAN DAN UCAPAN SELAMAT DATANG KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU........................................................................... RUMUSAN SEMINAR HASIL PENELITIAN......................................................
vii ix vii xv xix
PELUANG JENIS KAYU ALTERNATIF SEBAGAI BAHAN BAKU PULP Yeni Aprianis...............................................................................................
1
PENGARUH KONSENTRASI PEREKAT ASAM SITRAT TERHADAP KARAKTERISTIK PAPAN SERAT KERAPATAN SEDANG KAYU BINUANG (Octomeles sumatrana) Agus Wahyudi.............................................................................................
13
POTENSI PENGEMBANGAN TIGA JENIS POHON LOKAL PADA LAHAN GAMBUT DI RIAU Ahmad Junaedi...........................................................................................
21
PERTUMBUHAN DAN KESUBURAN TANAH PADA TEGAKAN JABON DI RIAU 6\R¿D5DKPD\DQWL......................................................................................
41
POTENSI DAN PELUANG BUDIDAYA LEBAH JENIS GALO-GALO (Trigona itama Cockerell ) DI PROVINSI RIAU Purnomo, Syasri Jannetta..........................................................................
51
SERANGAN HAMA DAN PENYAKIT DAUN PADA PERIODE PERMUDAAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.) Avry Pribadi................................................................................................
69
KERAGAMAN GENETIK PERTUMBUHAN PADA UJI KETURUNAN SURIAN (Toona sinensis Merr) DI CIAMIS-PROVINSI JAWA BARAT Jayusman.....................................................................................................
85
PROSPEK PENGEMBANGAN KAYU PERTUKANGAN LOKAL SEBAGAI KOMODITAS BISNIS KPHP DI LAHAN KERING Nur Arifatul Ulya, Sri Lestari dan Bambang Tejo Premono..................
97
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
ix
PENGUJIAN MEKANIS KAYU: PEMBEBANAN PADA DUA TITIK TUMPU PADA KAYU FLAMBOYAN (Delonix regia (Boj. ex Hook.) Raf Kanti Dewi Rizqiani....................................................................................
109
VARIASI MUTU BIBIT MALAPRI (Pongamia pinnata (L) Merril) BERDASARKAN DIMENSI UKURAN BENIH Jayusman....................................................................................................... 117 PRESENTASI NARASUMBER............................................................................... NOTULIS PEMBAHASAN...................................................................................... JADWAL ACARA SEMINAR HASIL PENELITIAN............................................. DAFTAR PESERTA SEMINAR...............................................................................
x
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
129 236 257 258
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI PADA PEMBUKAAN SEMINAR HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN PEKANBARU, 29 OKTOBER 2015
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Yth. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Yth. Kepala Badan Lingkungan Hidup Propinsi Riau Yth. Kepala Badan Litbang Daerah Propinsi Riau Yth. Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah Propinsi Riau Yth. Kepala Pusat Pembangunan Pengendalian Ekoregion Sumatera Yth. Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Propinsi Riau Yth. Kepala Dinas Kehutanan atau yang mengurusi Kehutanan Kabupaten se Propinsi Riau Yth. Kepala BLH Kabupaten se Propinsi Riau Yth. Kepala UPTD Tahura serta Kepala UPTD Benih, Rehabilitasi dan Konservasi Hutan Yth. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian LHK yang berada di Prop. Riau Yth. Kepala Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan serta Para Kepala UPT Lingkup Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK se Indonesia Yth. Para Kepala KPHL/P se Propinsi Riau Yth. Para Akademisi, Praktisi Kehutanan, LSM, Penyuluh, Widyaiswara dan Pimpinan Perusahaan yang bergerak di bidang Kehutanan serta Seluruh hadirin yang berbahagia
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia Nya pada pagi ini kita dapat menghadiri acara kegiatan Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) dengan tema “Peluang dan tantangan pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di Riau” dalam keadaan sehat wal’afiat.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
xi
Seminar hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan ini mempunyai nilai sangat strategis mengingat tiga hal, SHUWDPD Hutan Tanaman Industri di Indonesia yang didominasi oleh jenis Acacia dan Eucalyptus terus mengalami penurunan produktivitasnya, sementara BPTSTH telah meneliti dan mengkaji 7 jenis tanaman alternatif yang bisa menggantikan jenis-jenis yang sekarang dominan. .HGXD Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi sektor agribisnis yang cukup pesat, namun di sisi lain, pesatnya pembangunan tersebut juga menimbulkan permasalahan lingkungan (pencemaran dan penurunan kualitas air dan udara), konflik penguasaan lahan oleh berbagai pihak, sehingga diperlukan solusi agar pembangunan Riau dapat berkelanjutan. .HWLJD, perlunya solusi yang tepat untuk mengatasi kebakaran/ kabut asap yang telah menjadi bencana di Provinsi Riau dalam beberapa tahun terakhir dan menimbulkan kerugian yang sangat besar. +DGLULQ\DQJVD\DKRUPDWL, Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan yang merupakan salah satu unit pelaksana teknis Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempunyai tugas pokok melaksanakan penelitian di bidang teknologi serat tanaman hutan. Balai ini diharapkan juga mampu menyumbangkan hasil penelitian untuk menjawab permasalahan daerah, permasalahan lingkungan hidup dan kehutanan yang berkembang di provinsi Riau, maupun permasalahan terkait pengembangan KPH. Kedepannya BPTSTH diharapkan dapat berperan aktif untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan Riau, dan secara khusus dalam pembangunan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Dalam menjalankan peran pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kami mengacu pada beberapa target Renstra Kementerian LHK 2015-2019, yaitu: (1) Meningkatnya kualitas LH dengan indikator kinerja Indeks Kualitas Lingkungan Hidup berada pada kisaran 66,5-68,6, angka pada tahun 2013 sebesar 63,12. Anasir utama pembangun dari besarnya indeks ini yang akan ditangani, yaitu air, udara dan tutupan hutan; (2)
Meningkatnya sumbangan sektor kehutanan terhadap Produk Dometik Bruto, dengan indikator kinerja sumbangan sektor kehutanan untuk Produk Domestik Bruto Indonesia meningkat setiap tahun, dimana angka pada tahun 2013 sebesar
xii
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Rp. 56,994 trilyun berdasarkan harga berlaku dan Rp. 17,442 trilyun sesuai harga konstan tahun 2000. Komponen pengungkit yang akan ditangani yaitu produksi hasil hutan, baik kayu maupun non kayu (termasuk tumbuhan dan satwa liar) dan eksport; dan, (3)
Meningkatnya keseimbangan ekosistem, dengan indikator kinerja derajat keberfungsian ekosistem meningkat setiap tahun, yang merupakan agregasi berbagai penanda (penurunan jumlah hotpsot kebakaran hutan dan lahan, peningkatan populasi spesies terancam punah, peningkatan kawasan ekosistem esensial yang dikelola oleh para pihak, penurunan konsumsi bahan perisak ozon, dan lain-lain).
Peran strategis Badan Litbang dan Inovasi adalah menyediakan Iptek bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mendukung Pencapaian Sasaran Strategis Kementerian LHK tersebut. Hadirin sekalian Badan Litbang dan Inovasi akan memberikan perhatian dan dukungan untuk menjawab permasalahan daerah dengan memberikan mandat kepada UPT-UPT Badan Litbang dan Inovasi di daerah. Pada satu sisi Provinsi Riau memiliki keunikan karena merupakan provinsi dengan luasan gambut +/- 45 % dari luas total provinsi sementara di sisi lainnya provinsi Riau juga merupakan salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Namun demikan, tingginya angka pertumbuhan tersebut juga menimbulkan dampak pembangunan seperti kabut asap yang timbul sebagai akibat pembakaran lahan untuk membuka lahan untuk aktivitas ekonomi. Disisi lainnya timbul konflik penguasaan lahan yang melibatkan masyarakat perseorangan maupun perusahaan. Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, dapat berkontribusi dalam memberikan solusi permasalahan tersebut melalui kajian/penelitian resolusi konflik penguasaan lahan/ land tenurial tersebut. Terkait permasalahan pemanfaatan lahan gambut yang ramah lingkungan ataupun untuk tujuan konservasi, BPTSTH dapat mendukung dengan memberikan hasil penelitian tentang aspek silvikultur native species di lahan gambut. Dari sisi teknologi yang mendukung peningkatan pemanfaatan kayu, BPTSTH meneliti aspek teknologi serat dalam hal pulping dan kertas serta teknologi papan serat. Dari sisi pemberdayaan masyarakat, BPTSTH melakukan kajian teknik budidaya, teknologi Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
xiii
pengolahan madu & propolis serta kelembagaan usaha budidaya madu dengan tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat. Badan Litbang dan Inovasi juga berkomitmen untuk terus mendukung pembangunan KPH seiring dengan kesadaran akan arti pentingnya pengelolaan di tingkat tapak. Adanya tantangan penyelesaian masalah kehutanan secara umum dan eskalasi masalah pengelolaan hutan di tingkat tapak, semakin mendorong untuk mengefektifkan pengelolaan hutan dengan pendekatan KPH. Bertitik tolak dari pemikiran tersebut maka dukungan Badan Litbang dan Inovasi terhadap KPH dirancang untuk bisa berkelanjutan. Saudara-saudara sekalian, Akhir kata, harapan kami semoga seminar ini bermanfaat baik bagi BPTSTH, maupun para pihak terkait dan para pengguna hasil litbang. Melalui seminar ini diharapkan terjalin koordinasi dan komunikasi yang baik di antara kita dalam menyikapi permasalahan pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di Provinsi Riau. Di samping itu, kami mengharapkan berbagai masukan dari Saudara sekalian sebagai bahan formulasi kebijakan pimpinan dan memberikan umpan balik yang dapat memperkaya wawasan peneliti, serta memberikan manfaat bagi kita semua. Akhirnya, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirohim dengan ini “Seminar HasilHasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Serat” kami nyatakan dibuka secara resmi. PANTUN Ingin rasa memakan kari Kari cendawan batang keladi Girang rasa tidak terperi Bertemu peserta seminar yang baik budi Terima kasih. Wassalamua’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kepala Badan Litbang dan Inovasi
Dr. Henri Bastaman, MES xiv
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
SAMBUTAN DAN UCAPAN SELAMAT DATANG KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU PADA ACARA SEMINAR HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN
PEKANBARU, 29 OKTOBER 2015 PANTUN Mencari timba si anak dara dibawah sarang burung tempua Salam sembah pembuka bicara Selamat datang untuk semua peserta Assalamualaikum Wr.Wb Yth. Kepala Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian LHK Yth. Kepala Badan Lingkungan Hidup Propinsi Riau Yth. Kepala Badan Litbang Daerah Propinsi Riau Yth. Kepala Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah Propinsi Riau Yth. Kepala Pusat Pembangunan Pengendalian Ekoregion Sumatera Yth. Kepala Pusat Litbang lingkup Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK Yth. Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Propinsi Riau Yth. Kepala Dinas Kehutanan atau yang mengurusi Kehutanan Kabupaten se Propinsi Riau Yth. Kepala BLH Kabupaten se Propinsi Riau Yth. Kepala UPTD Tahura Yth. Kepala UPTD Benih, Rehabilitasi dan Konservasi Hutan Yth. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian LHK yang berada di Prop. Riau Yth. Para Kepala UPT Lingkup Badan Litbang dan Inovasi Kementerian LHK se Indonesia Yth. Para Kepala KPHL/P se Propinsi Riau Yth. Para Akademisi Yth. Para Pimpinan Perusahaan yang bergerak di bidang Kehutanan Yth. Para NGO Yth. Seluruh undangan dan peserta seminar yang berbahagia
Tiada kata yang lebih pantas untuk kita ucapkan selain memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan inayah Nya atas terselenggaranya kegiatan Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
xv
dengan tema “Peluang dan tantangan pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di Riau”. Dalam kesempatan yang berbahagia ini kami atas nama Pemerintah Daerah Propinsi Riau, mengucapkan selamat datang dan ucapan terima kasih kepada para undangan sekalian karena di sela-sela kesibukan tugas kita masing-masing, masih dapat meluangkan waktu untuk dapat menghadiri pertemuan pada hari ini guna lebih mengeratkan silahturahmi dan meningkatkan kerjasama serta sinergi lintas institusi agar bisa saling memberikan masukan dalam menciptakan tata kelola manajemen lingkungan hidup dan kehutanan yang lestari. Saudara sekalian yang saya hormati, Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan merupakan salah satu unit pelaksana teknis Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tugas pokok Balai ini adalah melaksanakan penelitian di bidang teknologi serat tanaman hutan. Namun demikian, balai ini juga diharapkan ikut melakukan penelitian dimana output penelitiannya diharapkan dapat menjawab kebutuhan atau permasalahan lingkungan hidup dan kehutanan yang ada di Riau. Bapak Kepala Badan dan hadirin sekalian, Sebagaimana yang kita ketahui problema dan tantangan permasalahan lingkungan hidup dan kehutanan, khususnya di Riau semakin berkembang dan kian kompleks. Persoalan yang dihadapi bukan hanya sebatas maraknya ilegal logging ataupun perambahan hutan, melainkan meluas ke persoalan lainnya. Laju deforestrasi dan degradasi hutan yang tinggi di Riau menimbulkan berbagai masalah lingkungan hidup yang serius seperti contoh yang baru-baru ini terjadi yaitu penerapan status siaga kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan yang menyebabkan kualitas udara di Riau di level berbahaya. Tidak perlulah kita saling tuding siapa yang bersalah, lebih baik kita mencari akar permasalahannya dan berdiskusi mencari solusi yang efektif. Oleh karena itu, seminar hasil penelitian yang diselenggarakan di Pekanbaru ini merupakan kesempatan bagi seluruh pihak-pihak yang terkait untuk dapat memberikan masukan dan pertimbangan dalam bingkai akademis dan praktis dalam tatanan operasional dan juga untuk dapat saling berbagi informasi guna memetakan dan mendokumentasikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang untuk mewujudkan pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan yang berkelanjutan. Hadirin sekalian yang berbahagia, Marilah kita manfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya untuk berdialog dan berdiskusi, sehingga diharapkan dapat membangun pola pikir dan komunikasi yang harmonis diantara para stakeholders. Sinergi yang terbangun nanti dapat dimanfaatkan xvi
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
untuk mencari, mendorong, dan mengawal perbaikan manajemen pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan yang berkeadilan, berkelanjutan dan mampu menampung kepentingan multi pihak untuk membantu mewujudkan terciptanya pembangunan lingkungan hidup dan hutan lestari. Hadirin sekalian yang berbahagia, Sekali lagi kami ucapkan selamat datang di Bumi Lancang Kuning, selamat menikmati kota Pekanbaru. Semoga mendapatkan kesan baik yang mendalam pada kesempatan kali ini. PANTUN Andai permata jadi hiasan Emas tetap jadi hantaran Kedatangan tuan puan memang dinantikan Jutaan terima kasih kami ucapkan Terima kasih,
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau,
Ir. Fadrizal Labay
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
xvii
xviii
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
RUMUSAN SEMINAR HASIL PENELITIAN “Peluang dan Tantangan Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Riau” BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN
Memperhatikan arahan Kepala Badan Litbang dan Inovasi, Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, paparan 8 pemakalah utama dan hasil diskusi yang berkembang selama Seminar Hasil Penelitian: “Peluang dan Tantangan Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Riau” yang dilaksanakan di Perpustakaan Daerah Provinsi Riau tanggal 29 Oktober 2015, dirumuskan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di Provinsi Riau harus dilakukan secara menyeluruh, melibatkan berbagai stakeholders, serta menggunakan hasil-hasil riset sebagai landasan ilmiah. Pemasyarakatan hasil-hasil riset harus terus dilakukan untuk memberikan informasi hasil riset terkini yang dapat digunakan oleh berbagai stakeholders sebagai rujukan dalam menentukan berbagai kebijakan dalam pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di Provinsi Riau. 2. Antochephalus Camnosperma
cadamba auriculatum
(Jabon),
Cratoxylon
(terentang),
arborescens
Octomeles
(geronggang),
sumatrana
(binuang),
Endospermum diadenum (sesendok), Macaranga hypoleuca (mahang putih), dan Macaranga gigantea (sekubung) merupakan beberapa jenis kayu lokal yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pulp. Dari ketujuh jenis tersebut, jenis terentang unggul dalam pengolahan pulp secara mekanis-kimia, sedangkan kayu geronggang unggul dalam pengolahan pulp secara kimia. Sedangkan jenis jabon memiliki kelebihan pertumbuhan yang cepat pada jenis tanah mineral. 3. Jenis pohon lokal Mahang (Macaranga pruinosa) dan Geronggang (Cratoxylon arborescens) mempunyai potensi yang baik untuk rehabilitasi hutan dan lahan gambut, termasuk pada lokasi-lokasi yang rawan dan bekas kebakaran. Kedua jenis pohon lokal ini memiliki potensi yang cukup tinggi di beberapa daerah di Provinsi Riau, mempunyai pertumbuhan yang relatif lebih cepat dibandingkan jenis lokal Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
xix
lahan gambut lainnya, kemampuan hidup/persen hidup yang lebih tinggi, menjaga keragaman biodiversitas, dan mampu menjaga kondisi iklim mikro (terutama kelembaban seresah) berada pada kondisi yang relatif tidak mudah terbakar dibandingkan jenis eksotik (Acacia crassicarpa). 4. Manajemen tapak dan perbaikan kualitas bibit melalui pemuliaan tanaman pada ketiga jenis lokal Mahang (Macaranga pruinosa), Geronggang (Cratoxylon arborescens) dan Skubung (Macaranga gigantea) diperlukan pada ketiga jenis tanaman lokal tersebut sehingga produktifitas pertumbuhannya dapat menyaingi tanaman eksotik yang saat ini digunakan sebagai pohon penghasil kayu serat (A. mangium dan A. crassicarpa). 5. Tanaman Jabon (Antochepalus cadamba) yang merupakan jenis kayu penghasil pulp memiliki kemampuan hidup/ persen hidup yang tinggi baik ditanam secara monokultur maupun secara agroforestry, namun penanaman jabon dengan pola agroforestry menghasilkan pertumbuhan tanaman/ produktifitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pola monokultur. 6. Pengembangan pada skala demplot yang cukup luas hingga akhir daur serta kajian keekonomian, pemasaran dan kebijakan diperlukan untuk pengembangan jenis-jenis alternatif lokal potensial penghasil pulp sehingga dapat direkomendasikan dan diterapkan baik oleh industri maupun oleh masyarakat. 7. Lebah galo-galo (Trigona itama) yang merupakan salah satu jenis lebah lokal memiliki prospek bagus dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah Riau. Lebah ini memiliki keunggulan karena tidak memerlukan tempat khusus, mudah beradaptasi, mudah dibudidayakan, sumber pakan yang melimpah, propolis dan madu yang dihasilkan memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan lebah Apis, serta hasil analisa usaha budidaya menunjukkan budidaya lebah ini sangat layak dikembangkan, dan mudah untuk dikembangkan. Potensi pengembangan lebah ini dapat dilihat dari adanya kemungkinan dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti.
xx
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
8. Kebijakan Pembangunan HTI di Provinsi Riau selama ini telah menciptakan penguasaan lahan dan pemasaran kayu HTI oleh beberapa grup yang memiliki modal besar. Penguasaan secara monopoli/ duopoli tersebut turut didorong oleh adanya kepentingan pemangku kekuasaan serta adanya interaksi antara birokrasi dan pengusaha yang memungkinkan terjadinya keikutsertaan dan besarnya pengaruh pengusaha dalam proses agenda setting kebijakan pembangunan HTI. Untuk menciptakan pembangunan HTI yang baik diperlukan peninjauan kembali kebijakan Kerja Sama Operasi (KSO) serta pembangunan tata kelola yang dapat menghilangkan biaya transaksi tinggi. 9.
Konsentrasi logam berat Cd, Cu, Pb, dan Zn pada air laut, padatan terlarut, alga dan ikan di Dumai Bagian Barat pada sekitar perkotaan dan kawasan industri lebih tinggi dibandingkan dengan Dumai Bagian Timur menunjukkan perlu adanya antisipasi pencemaran logam berat dari aktifitas antropogenik. Selain itu, kandungan logam berat pb pada ikan Gulama yang melebihi ambang batas konsumsi dan kandungan logam pb yang lebih dari 50% bersumber dari aktifitas antropogenik memerlukan upaya serius penanganan pencemaran logam pb di Perairan Dumai.
Pekanbaru, 29 Oktober 2015 Tim Perumus: 1. Ir. C. Nugroho, S.P., M.Sc. 2. Sujarwo Sujatmoko, S.Hut., M.Sc. 3. Asep Hidayat, S.Hut, M.Agr, Ph. D 4. Dedy Rahmanto, S.Hut., M.Ec.Dev. 5. Agus Wahyudi, S.Hut., M.Si. 6. Eka Novriyanti, S.Hut., M.Si. Ph.D
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
xxi
xxii
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
PELUANG JENIS KAYU ALTERNATIF SEBAGAI BAHAN BAKU PULP Yeni Aprianis
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan Jl. Raya Bangkinang-Kuok Km.9 Kotak Pos 4/BKN 28401 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Beberapa jenis kayu lokal yang memberikan peluang sebagai bahan baku pulp, yaitu Antochephalus cadamba (Jabon), Cratoxylon arborescens (geronggang), Camnosperma auriculatum (terentang), Octomeles sumatrana (binuang), Endospermum diadenum (sesendok), Macaranga hypoleuca (mahang putih), dan Macaranga gigantea (sekubung). Pemilihan kayu tersebut karena memiliki kualitas serat I dan II. Peluang jenis kayu alternatif sebagai bahan baku pulp dilihat dari sisi sifat kayu dan pengolahan pulpnya. Sifat kayu yang diamati meliputi dimensi serat dan kandungan kimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu sesendok memiliki serat yang lebih panjang dibandingkan keenam jenis lainnya. Pengolahan pulp secara kimia memiliki peluang terhadap kayu geronggang, sedangkan kayu terentang memiliki peluang di pengolahan pulp semi-mekanis. Kata kunci: kayu lokal, sifat kayu, pengolahan pulp
I. PENDAHULUAN Provinsi Riau merupakan provinsi yang kaya bahan baku alternatif pulp. Hasil eksplorasi Suhartati et al. (2012) menyebutkan bahwa paling tidak terdapat 7 (tujuh) jenis kayu alternatif pulp yang tersebar di Riau. Ketujuh jenis kayu ini tersebar di lahan mineral dan gambut, yaitu Antochephalus cadamba (Jabon), Cratoxylon arborescens (geronggang), Camnosperma auriculatum (terentang), Octomeles sumatrana (binuang), Endospermum diadenum (sesendok), Macaranga hypoleuca (mahang putih), dan Macaranga gigantea (sekubung). Penelitian mengenai jenis kayu tersebut mulai dari prospek pegembangan, peluang dan sebarannya berturut-turut telah dikaji oleh Panjaitan dan Ardhana (2010); Danu dan Bogi (2012) dan Mindawati (2007). Namun demikian, aplikasi dalam pengolahan pulp belum banyak dilakukan. Pemilihan jenis kayu alternatif sumber bahan baku pulp dan kertas sangat penting. Hal ini disebabkan setiap jenis kayu/pohon-pohon memiliki sifat kimia (selulosa, lignin, dan zat ekstraktif), fisik (berat jenis, kadar air), dan karakteristik serat yang berbeda. Sifat kimia akan mempengaruhi kebutuhan bahan kimia dalam proses pembuatan pulp, karakteristik serat menentukan kualitas pulp yang dihasilkan, dan berat jenis berpengaruh terhadap pemilihan proses pulp yang akan digunakan. Ketujuh jenis kayu alternatif pulp
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
1
memiliki berat jenis 0,3-0,5. Proses pengolahan yang paling cocok untuk kayu dengan berat jenis tersebut adalah proses pulping secara semi-mekanis (Cameron, 2004). Pengolahan pulp dengan teknik ini sekaligus sebagai upaya untuk peningkatan rendemen. Makalah ini disusun untuk memberikan informasi tentang peluang penggunaan tujuh jenis kayu alternatif sebagai sumber bahan baku pulp dan kertas. Arti peluang pada makalah ini dibatasi pada sifat kayu dan sifat pengolahan pulp, meliputi kualitas kayu (karakteristik serat, sifat kimia), sifat pengolahan pulp secara semi-mekanis dan kimia. II. KARAKTERISTIK DIMENSI SERAT Dimensi serat merupakan salah satu sifat penting kayu yang dapat digunakan sebelum memilih bahan baku yang akan digunakan sehingga terjadi efisiensi dan terjaganya kualitas serat yang dihasilkan dan diinginkan. Dimensi serat (panjang serat, diameter serat, tebal dinding sel, lebar lumen) dari 7 jenis kayu alternatif tersebut dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Dimensi serat tujuh jenis kayu alternatif *
1
Jabon
1,56
23,95
2
Geronggang
1,32
31,18
2,07
27,05
3
Terentang
1,24
21,37
2,60
16,18
4
Binuang
1,42
27,06
1,97
23,11
5
Sesendok
1,85
52,14
2,54
47,06
6
Mahang
1,45
36,82
2,27
32,26
7
Sekubung
1,59
26,34
2,36
18,03
8
Acacia mangium **
1,40
18,36
-
-
9
A. crassicarpa **
1,30
34,24
-
-
Jenis kayu
Panjang serat (mm)
Diameter serat (μm)
Keterangan : * = Suhartati et al. (2011) & Rinanda et al. (2012) ** = Suhartati et al. (2014)
2
Diameter lumen (μm) 18,38
Tebal dinding sel (μm) 2,78
No
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Dari tabel diatas diketahui bahwa panjang serat ketujuh jenis kayu tersebut berkisar 1,24-1,85mm. Menurut klasifikasi IAWA, sesendok dengan panjang serat 1,85 mm termasuk jenis pohon yang memiliki kelas serat panjang (Tabel 1). Serat panjang sesendok lebih panjang dibandingkan dengan kayu akasia. Semakin panjang serat kayu maka pulp yang dihasilkan akan memiliki kekuatan yang tinggi. Serat kayu yang panjang memiliki titik tangkap yang lebih luas terhadap gayagaya yang mengenainya. Pulp serat panjang lebih mudah dalam proses pencucian, tetapi lebih sukar dalam proses penyaringan. Kayu dengan serat panjang digunakan sebagai sebagai bahan baku kertas yang membutuhkan kekuatan yang tinggi, seperti kantong semen, sebaliknya bagi kayu serat pendek diutamakan untuk pembuatan kertas tisu. Diameter serat mempengaruhi sifat serat mudah menggepeng pada saat penggilingan dan kontak serat pada saat pembentukan lembaran. Semakin lebar diameter serat akan mempengaruhi ikatan antar serat lebih kuat sehingga kekuatan tarik tinggi. Diameter serat kayu alternatif berkisar 21,37-52,14 μm (Tabel 1). Diameter serat terkecil dimiliki oleh jenis kayu terentang, sedangkan yang terbesar dimiliki oleh kayu sesendok. Kayu sesendok memiliki diameter serat lebih besar dibandingkan diameter serat akasia. Tebal dinding serat mempengaruhi kekuatan kertas dan rendemen pulp. Serat berdinding tebal menghasilkan permukaan lembaran kertasnya lebih kasar, tebal, dan sulit digiling. Serat binuang lebih tipis diantara keenam jenis lainnya (Tabel 1). Serat berdinding tipis dan diameter lebar mudah collaps saat pembentukan lembaran. Serat tersebut memiliki ikatan antar serat yang kuat sehingga kekuatan retak dan tariknya tinggi. III. SIFAT KOMPONEN KIMIA KAYU Kandungan kimia ketujuh jenis kayu alternatif pulp terlihat pada Tabel 2. Pulp dan kertas membutuhkan kayu yang memiliki kadar selulosa tinggi namun kadar lignin rendah. Semakin tinggi kadar selulosa maka rendemen pulp yang dihasilkan akan meningkat. Jabon memiliki kandungan selulosa tinggi dibanding 6 jenis kayu lainnya (Tabel 2).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
3
Tabel 2. Kandungan kimia tujuh jenis kayu alternatif Jenis kayu
Persentase kandungan kimia (%) Selulosa
Lignin
Ekstraktif
Jabon
54,73
30,97
1,35
Geronggang
51,71
30,01
1,33
Terentang
53,03
26,92
3,25
Binuang
53,75
33,70
2,48
Sesendok
52,01
32,28
4,75
Mahang
52,11
30,52
4,74
Sekubung
55,14
35,97
4,89
Sumber : Suhartati et al. (2011) & Rinandaet al. (2012)
Lignin dan zat ekstraktif adalah kandungan kimia yang keberadaannya tidak diinginkan dalam proses pengolahan pulp. Zat ekstraktif yang tinggi dapat menyebabkan timbul noda berupa bercak berwarna coklat pada kertas. Diantara 7 jenis kayu alternatif yang memiliki zat ekstraktif tertinggi adalah sekubung, 4,89% (Tabel 2). Bukti lain menunjukkan zat ekstraktif akan teroksidasi dengan mudah menjadi berwarna merah disekitar kulit kayu sekubung sesaat setelah ditebang/dipotong (Gambar 1).
Gambar 1. Zat ekstraktif kayu sekubung (Yeni Aprianis, 2015)
4
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
IV. PENGOLAHAN PULP SEMI-MEKANIS Pengolahan pulp semi-mekanis sudah mulai diterapkan semenjak tahun 1970-an. Beberapa jenis proses pembuatan pulp mekanis dan semi-mekanis, yaitu: RMP (Refiner Mechanical
Pulping),
TMP
(Thermomechanical
Pulping)
dan
CTMP
(Chemithermomechanical Pulping) (Cameron, 2004). Semi-mekanis merupakan pengolahan pulp melalui aksi kimia dan mekanis. Tujuan utama proses pulp mekanis adalah pemisahan dan penguraian serat dari kayu (refining). Proses refining memisahkan serat pada bagian dinding primer-sekunder. Serat yang diperoleh masih dibungkus oleh lamela tengah yang kaku. Pada kondisi yang ideal aksi mekanis dapat menghasilkan serat terpisahkan dari matrik kayu, panjang serat dipertahankan, kumpulan serat harus diikuti dengan pengupasan lapisan terluar lamela tengah, lapisan dinding primer, dan terakhir penguraian permukaan dinding sekunder (Sundholm, 1999 dalam Illikainen, 2008). Tipe pemutusan serat pada proses pulp mekanis dan semi-mekanis diilustrasikan secara sistematik oleh Franzen et al. (1986) dalam Johansson et al. (2011) pada Gambar 2. Pemisah serat pada Gambar 2 membutuhkan energi yang tinggi. Pada proses refining, banyaknya energi yang dibutuhkan untuk menggiling kayu menjadi pulp dalam satuan massa pulp merupakan konsumsi energi spesifik.
garis perkiraan pemisahan serat
Gambar 2. Tipe pemisahan serat (Johansson et al., 2011)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
5
Pada pengolahan pulp semi-mekanis, sebelum refining bahan baku dilunakkan terlebih dahulu dengan menggunakan bahan kimia. Menurut Bierman (1996) dan Bowyer et
al.
(2007)
bahan
kimia
yang
biasa
digunakan
dalam
proses
CTMP
(Chemithermomechanical pulping) adalah natrium sulfit (Na2SO3) atau natrium hidroksida (NaOH). Bahan-bahan kimia ini membantu terjadinya depolimerisasi lignin dan polisakarida. Sjöström (1995) menyatakan bahwa gugus-gugus fungsi sangat mempengaruhi reaktivitas lignin. Polimer lignin mengandung gugus-gugus metoksil, gugus hidroksil fenol, dan beberapa gugus aldehida ujung dalam rantai samping. Menurut Achmadi (1990) dalam Lubis (2007), gugus fungsi yang sangat mempengaruhi reaktivitas lignin terdiri dari hidroksil fenolik, hidroksil benzilik, dan gugus karbonil. Frekuensinya beragam sesuai dengan lokasi morfologis lignin. Konsentrasi bahan kimia yang ditambahkan sangat mempengaruhi kecepatan reaksi. Reaksi delignifikasi akan menurun sejalan dengan berkurangnya konsentrasi bahan kimia. Konsentrasi NaOH yang biasa digunakan pada pulp semi-mekanis maksimum adalah 8%, sedangkan konsentrasi di atasnya merupakan pengolahan pulp semikimia ( Roliadi, 1989). Menurut Siagian et al. (2001) perlakuan konsentrasi 4, 6, dan 8% NaOH terhadap kayu A. mangium memberikan pengaruh terhadap tingkat kecerahan pulp yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi NaOH maka warna pulp semakin tidak cerah, karena selulosa mengalami kerusakan. Selain berpengaruh terhadap kecepatan reaksi, konsentrasi bahan kimia juga akan mempengaruhi rendemen dan sifat fisik pulp (Lai dan Iwamida, 1993). Penambahan NaOH mendekati konsentrasi 8% membuat kondisi lebih basa, menyebabkan terjadi pengembangan dinding sel dan pelepasan gugus hidroksil pada lignin melalui transfer ion hidrogen ke ion hidroksil bebas (Zanuttini, 1999). Pengolahan pulp semi-mekanis menggunakan konsentrasi NaOH 8% untuk ketujuh jenis kayu alternatif jabon, geronggang, terentang, binuang, sesendok, mahang, dan sekubung dilaporkan Aprianis et al. (2012; 2013; 2014). Hasil sifat pengolahan dan fisik pulp di rangkum pada Tabel 3.
6
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Tabel 3. Sifat pengolahan pulp semi-mekanis tujuh jenis kayu alternatif* Jenis kayu
Jabon
Tempat tumbuh Rohil
Geronggang Terentang Binuang Sesendok
Mahang Sekubung Mangium**
Sifat Pengolahan dan Fisik Pulp Semi-mekanis T.K (% I.T I.R (Kpa I.S R.P (%) ISO) (Nm/g) m/g) (Nm2/kg) 75,13 ± 48,50 ± 45,67 ± 2,10 ± 7,58 ± 0,69
0,10
0,44
0,02
0,07
77,37 ±
52,38 ±
33,95 ±
1,90 ±
3,99 ±
0,65
0,54
0,35
0,02
0,02
76,55 ±
38,36 ±
67,87 ±
3,68 ±
4,67 ±
1,14
0,41
3,34
0,45
0,36
73,30 ±
29,56 ±
42,52 ±
2,10 ±
3,68 ±
Kampar
6,85
0,76
2,99
0,20
1,05
Sumatera
67,19 ±
33,39 ±
2,93 ±
0,55 ±
1,55 ±
5,43
0,85
0,19
0,06
0,28
75,84 ±
38,76 ±
6,17 ±
0,74 ±
1,46 ±
0,78
0,60
0,06
0,08
0,21
76,27 ±
36,45 ±
7,24 ±
1,00 ±
1,69 ±
1,40
3,61
0,28
0,21
0,40
66,95 ±
41,50 ±
14,39 ±
0,43
2,12
2,30
Bengkalis Kuansing
Barat Kampar Siak Palembang
4,44 ± -
0,08
Keterangan:
R.P = Rendemen pulp putih T.K = Tingkat kecerahan I.T = Indeks tarik I.R = Indeks retak I.S = Indeks sobek Sumber *= Aprianis et al. (2012); (2013); (2014) **= Siagian et al.(2001)
Ketujuh kayu tersebut tersebar di wilayah Riau dan Sumatera Barat. Kayu tersebut ditemui di lahan mineral (jabon, terentang, binuang, sesendok, dan sekubung) dan lahan gambut (geronggang dan mahang). Rendemen pulp semi-mekanis menunjukkan hasil yang relatif sama, kecuali jenis sesendok yang menghasilkan rendemen pulp paling rendah (Tabel 3). Sementara sifat fisik yang dihasilkan sangat beragam baik indeks tarik, retak, dan sobek, dan tingkat kecerahan (Tabel 3). Sifat pulp semi-mekanis kayu jabon dan geronggang lebih tinggi dibandingkan dengan akasia mangium. Untuk memilih jenis kayu mana yang terbaik pada pengolahan pulp semi-mekanis dilakukan dengan nilai
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
7
skoring. Indikasi pemilihan didasarkan pada nilai skoring terendah. Hasil nilai skoring disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai skoring pengolahan pulp semi-mekanis tujuh jenis kayu alternatif Jenis kayu
Nilai skoring pulp semi-mekanis
Total skoring
R.P
T.K
I.T
I.R
I.S
Jabon
5
2
2
2
1
12
Geronggang
1
1
4
4
3
13
Terentang
2
3
1
1
2
9
Binuang
6
7
3
3
4
23
Sesendok
7
6
7
7
6
33
Mahang
4
4
6
6
7
27
Sekubung
3
5
5
5
5
23
Keterangan : sama dengan keterangan pada Tabel 3
Total nilai skoring pulp terendah diperoleh jenis kayu terentang (Tabel 4). Artinya terentang secara keseluruhan memiliki sifat pulp semi-mekanis lebih baik dibandingkan dengan keenam jenis kayu lainnya. Oleh karena itu kayu terentang sangat direkomendasikan sebagai sumber bahan baku alternatif pulp semi-mekanis. Kelebihan lain, terentang memiliki berat jenis (0,30) yang relatif lebih mempermudah penguraian serat. Pulp yang diperoleh dari sistem semi-mekanis cocok untuk kertas surat kabar dan pembuatan kertas cetak A. V. PENGOLAHAN PULP KIMIA Pada umumnya, industri pulp di Indonesia menggunakan pengolahan pulp kimia. Keuntungan pengolahan pulp kimia dibandingkan dengan pulp semu-mekanis adalah memiliki kekuatan kertas yang lebih kuat. Pengolahan pulp kimia ketujuh jenis kayu ini dilakukan oleh Rinanda et al. (2012), Novriyanti et al. (2013). Rangkuman sifat pengolahan pulp kimia dapat dilihat pada Tabel 5. Kayu geronggang membutuhkan bahan baku yang lebih sedikit untuk menghasilkan pulp yang yang sama untuk kayu lainnya karena memiliki berat jenis yang lebih besar (Tabel 5).
8
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Tabel 5. Sifat pengolahan pulp kimia tujuh jenis kayu alternatif* Jenis kayu
Rendemen sulfat (%)
Berat jenis
Konsumsi kayu (m3/ton pulp)
Jabon
49,06
0,38
5,36
Geronggang
44,97
0,46
4,83
Terentang
45,24
0,30
5,82
Binuang
44,97
0,30
7,41
Sesendok
48,11
0,39
5,33
Mahang
40,56
0,38
6,49
Sekubung
45,24
0,31
7,13
Krasikarpa**
50,46
0,49
4,04
Sumber * = Rinanda et al. (2012) & Novriyanti et al. (2013) **= Suhartati et al. (2014)
Disisi lain berat jenis yang terlalu tinggi (> 0,7) membutuhkan kondisi pemasakan yang lebih lama dibandingkan berat jenis lebih rendah (Pasaribu dan Tampubolon, 2007). Namun geronggang membutuhkan kayu lebih banyak dibandingkan krassikarpa untuk memperoleh 1 ton pulp. VI. PENUTUP Peluang ketujuh jenis kayu alternatif sebagai bahan baku pulp ditentukan oleh berat jenis kayu, rendemen, dan sifat fisik pulp. Pengolahan pulp semi-mekanis berpeluang terhadap jenis kayu terentang, sedangkan kayu geronggang berpeluang terhadap pengolahan pulp kimia. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fitri windra sari dan Minal aminin yang telah bersama mengerjakan pulp semi-mekanis, serta Dinas kehutanan yang ada di Propinsi Riau maupun Sumatera Barat dalam kemudahan memperoleh sampel kayu penelitian ini.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
9
DAFTAR PUSTAKA Aprianis, Y., Minal A., Fitri W.S. 2012. Sifat pengolahan pulp kayu jabon dan geronggang. Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Riau. Aprianis, Y., Minal A., Fitri W.S. 2013. Sifat pengolahan pulp kayu terentang dan binuang. Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Riau. Aprianis, Y., Minal A., Fitri W.S. 2014. Sifat pengolahan pulp kayu alternatif. Laporan hasil penelitian. Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Riau. Bowyer, J.L, R. Shmulsky, J.G Haygreen. 2007. Forest Product and Wood Science an Intoduction Fifth Edition. Blackwell Publishing, Oxford. Cameron, J.H. 2004. Mechanical pulping. Pulping. Elsevier Ltd. USA Danu dan R. Bogidamanti. 2012. Pohon terentang sebagai bahan baku alternatif pulp. Tekno Hutan Tanaman. 5(1) : 29-35. Johansson, L., J. Hill, D. Gorski dan P. Axelsson. 2011. Improvement of energi efficiency in TMP refining by selective wood disintegration and targeted application of chemical. Nordic Pulp and Paper Research Journal. 26(1): 31-46. Illikainen, M. 2008. Mechanisms of thermo-mechanical pulp refining. Dissertation Faculty of Technology of the University of Oulu. Mindawati, N. 2007. Beberapa jenis pohon alternatif untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri pulp. Mitra Hutan Tanaman. 2(1) : 1-7. Novriyanti, E., Rima R., Yeni A. 2013. Sifat dasar dan kegunaan kayu sumatera. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Riau. Lai, Y.Z dan T. Iwamida. 1993. Effect of chemical treatments on ultra-high-yield pulping fiber separation. Wood Sci Technol. 27: 195-203. Lubis, A.A. 2007. Isolasi lignin dari lindi hitam (Black liquor) proses pemasakan pulp soda dan pulp sulfat (Kraft). Tesis Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Panjaitan. S dan A. Ardhana. 2010. Prospek pengembangan jenis tanaman terentang (Camnospermae auriculata) di Kalimantan. Galam. 4 (1) : 71-79. Pasaribu, R.A & Tampubolon. 1997. Persyaratan teknis bahan baku, air dan bahan penolong untuk industri kertas dan rayon. Diktat Pelatihan Verifikasi Eksportir Produk Industri Kehutanan. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan, Bogor. Rinanda. R, E. Nurrohman, A. Winarsih. 2012. Sifat dasar kayu Sumatera. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Roliadi, H. 1989. Pengolahan pulp secara mekanis. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan, Bogor.
10
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Siagian, R.M., H. Roliadi & T.H. Martua. 2001. Sifat pulp kimia-Termomekanik (CTMP) kayu mangium (Acacia mangium Wild) dari berbagai tingkat umur. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 19 (4): 245 – 257. Suhartati, Rinanda. R, E. Nurrohman, A. Winarsih. 2011. Sifat dasar kayu Sumatera dan kegunaannya. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Suhartati, S. Rahmayanti, A. Junaedi, E.Nurrohman. 2012. Sebaran dan Persyaratan Tumbuh Jenis Alternatif Penghasil Pulp di Wilayah Riau. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Suhartati, Y. Rahmayanto & Y. Daeng. 2014. Dampak penurunan daur tanaman HTI acacia terhadap kelesterian produksi, ekologis, dan sosial. Info Teknis Eboni. 11(2): 103-116. Sjöström, E. 1995. Kimia Kayu, Dasar-Dasar dan Penggunaan. Terjemahan Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Zanuttini, M., V. Marzocchi & M. Citroni. 1999. Alkaline treatment of poplar wood. Holz alsh Roh und Werkstoff. 57: 185-190.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
11
12
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
PENGARUH KONSENTRASI PEREKAT ASAM SITRAT TERHADAP KARAKTERISTIK PAPAN SERAT KERAPATAN SEDANG KAYU BINUANG (Octomeles sumatrana) Agus Wahyudi
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan – Kuok Jl. Raya Bangkinang – Kuok km 9, Kotak Pos 4/BKN Bangkinang 28401 – Riau e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pembuatan papan serat khususnya produk papan serat kerapatan sedang (MDF) yang ramah lingkungan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu tropis Indonesia. Kayu binuang memiliki potensi yang cukup besar di hutan sekunder Riau, namun pemanfaatannya masih sebatas untuk papan cetakan bangunan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sifat-sifat papan serat kerapatan sedang kayu binuang dengan menggunakan perekat asam sitrat. Proses pembuatan pulp dilakukan dengan cara termomekanis, papan serat dibuat dengan proses kering dengan suhu kempa 180oC dan waktu 10 menit. Sebagai perlakuan pada penelitian ini perekat asam sitrat dengan kadar 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam sitrat berperan dalam meningkatkan sifat kestabilan dimensi dan sifat mekanik papan serat kerapatan sedang kayu binuang. Papan serat dengan pemberian perekat asam sitrat 20% memiliki nilai keteguhan rekat internal 0,22 MPa, keteguhan patah 8,28 MPa dan keteguhan elastis 0,81 GPa. Ikatan yang terjadi antara papan serat kayu binuang dengan perekat asam sitrat adalah perubahan ikatan gugus ester dari kelompok karboksil. Kata kunci : kayu binuang, papan serat, proses kering, asam sitrat, ikatan ester.
I.
PENDAHULUAN Binuang (Octomeles sumatrana) adalah salah satu jenis tanaman pioner yang
tumbuh di lahan mineral hutan sekunder Indonesia. Menurut data Kementerian Kehutanan tahun 2013, luas hutan sekunder Indonesia yang berada di dalam kawasan hutan mencapai 40,82 juta ha dan 1,82 juta ha berada di Propinsi Riau (Anonim, 2014). Kayu binuang termasuk jenis fast growing dengan riap 25-40 m3/tahun (Pratiwi dan Alrasjid, 1988). Binuang yang tumbuh pada tanah vulkanik di Bogor, pada umur 4 tahun mampu mencapai tinggi 25 m dan diameter batang 47 cm (Soerigenara dan Lemmens, 1995). Kayu binuang belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Propinsi Riau karena berbagai sebab, seperti misalnya karena kayunya yang ringan, kurang kuat dan tidak awet. Pemanfaatannya masih sebatas sebagai kayu papan untuk bahan pembuatan peti bibit tanaman dan papan cetakan dalam pengecoran bangunan. Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah kayu binuang adalah melalui sentuhan teknologi menjadi produk papan panel berupa papan serat.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
13
Papan serat kerapatan sedang atau Medium Density Fiberboard (MDF) merupakan salah satu jenis produk panel kayu yang dibuat dari bahan-bahan ber-lignoselulosa. Dalam pembuatan papan MDF, bahan baku yang digunakan dapat berasal dari serat berbagai jenis kayu atau limbah berbahan lignoselulosa ditambah bahan perekat untuk menyatukan ikatan antar serat (Xing et al., 2007). Bahan perekat yang umumnya digunakan adalah urea formaldehida, phenol formaldehida dan melamin formaldehida tergantung dari tujuan akhir penggunaan papan serat. Perekat urea formaldehida paling banyak digunakan dalam pembuatan papan serat karena harganya yang relatif murah, tidak berwarna dan konsentrasi yang dibutuhkan sedikit (8-15%). Produk papan MDF dengan bahan perekat berbasis formaldehida menyisakan permasalahan. Senyawa formaldehida dapat menyebabkan kanker, iritasi pada mata dan kerongkongan serta gangguan pernapasan (Roffael, 1993). Selain itu urea formaldehida, melamin formaldehida, phenol formaldehida, serta isosianat merupakan perekat yang menggunakan bahan baku turunan minyak bumi sehingga tidak ramah lingkungan. Usaha mengurangi penggunaan perekat sintetis, telah banyak dilakukan dengan mensubstitusinya dengan penggunaan perekat alami. Asam sitrat merupakan asam organik yang banyak terdapat pada jeruk lemon. Asam sitrat banyak diteliti sebagai perekat atau agen ikatan silang dalam pembuatan produk molding, papan partikel dan papan serat dengan performa yang baik (Umemura et al., 2012, 2012a, 2012b, 2013; Widyorini et al., 2013; Syamani et al., 2013; Sugawara et al., 2014). Mekanisme ikatan yang terjadi adalah ikatan silang antara asam polikarboksilat dengan selulosa yang dimulai dari terbentuknya cyclic anhydrate pada saat press panas yang kemudian berikatan dengan selulosa membentuk ikatan ester (Harifi dan Montazer, 2012). Penggunaan asam sitrat sebagai perekat dalam pembuatan papan serat kerapatan sedang dari jenis-jenis kayu fast growing seperti kayu binuang belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika dan mekanika papan MDF kayu binuang dengan perekat asam sitrat pada berbagai kadar konsentrasi II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan alat Kayu binuang (Octomeles sumatrana Miq.) berasal dari hutan sekunder lahan mineral di Kab.Indragiri Hulu – Riau sebanyak 3 pohon dengan rata-rata diameter 15 – 14
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
20 cm, asam sitrat, dan aquadest. Peralatan yang digunakan hot press, kaliper, micrometer, cetakan kayu ukuran 25 x 25 cm, aluminium foil, gergaji, mesin UTM dan peralatan tulis. B. Pembuatan papan Pembuatan pulp kayu binuang dilakukan dengan proses termomekanis dan pembuatan papan serat dilakukan dengan proses kering. Asam sitrat dilarutkan dalam aquades (60 wt%) dan kadar asam sitrat (wt%) yang diberikan 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 30% berdasarkan berat kering pulp kayu binuang. Setelah pulp kayu binuang dan larutan asam sitrat dicampur merata, kemudian dioven pada suhu 80ͼC selama 24 jam. Campuran pulp kayu binuang dan asam sitrat kemudian dicetak dalam cetakan ukuran 250 x 250 mm, kemudian dipress panas dengan suhu 180ͼC selama 10 menit. Ukuran papan MDF yang dibuat 250 x 250 x 7 mm, dengan target kerapatan 0,7 g/cm 3. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sebelum dilakukan pengujian papan MDF kayu binuang dikondisikan pada suhu ruangan selama 14 hari. Sifat papan MDF kayu binuang diuji berdasarkan standar JIS A 5905 – 2003. Pengujian meliputi keteguhan patah (MOR), keteguhan elastic (MOE), keteguhan rekat internal (IB) dan pengembangan tebal serta daya serap air setelah direndam 24 jam. C. Analisa data Nilai rata-rata sifat fisik dan mekanis papan serat kerapatan sedang kayu binuang dengan berbagai konsentrasi asam sitrat di bandingkan dengan standar JIS A 5905 – 2003. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Papan MDF kayu binuang memiliki kadar air 5 - 7%, dan kerapatan papan antara 0,71 g/cm3 sampai 0,88 g/cm3 meningkat seiring dengan peningkatan kadar asam sitrat. Papan MDF kayu binuang dengan asam sitrat memiliki nilai pengembangan tebal masih cukup tinggi yaitu diatas 17% sedangkan standar JIS A 5905 maksimal 17%. Hubungan antara pengembangan tebal papan MDF kayu binuang dan kadar asam sitrat disajikan pada Gambar 1. Pengembangan tebal papan MDF kayu binuang menurun seiring dengan peningkatan kadar asam sitrat. Penurunan tertinggi terdapat pada asam sitrat 30% sebesar 130% dibandingkan tanpa asam sitrat. Menurut Vukusic et al. (2006) ikatan silang asam polikarboksilat dengan selulosa dapat mencegah terjadinya penyerapan air sehingga pengembangan tebal dapat ditekan pada kayu fir dan beech.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
15
WĞŶŐĞŵďĂŶŐĂŶƚĞďĂů;йͿ
60.00 50.00 40.00
30.00 20.00 10.00 0.00 0
5
10
15
20
25
30
<ĂĚĂƌĂƐĂŵƐŝƚƌĂƚ;йͿ
Gambar 1. Pengembangan tebal papan MDF kayu binuang pada berbagai kadar asam sitrat
Daya serap air papan MDF kayu binuang menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi kadar asam sitrat yang diberikan. Daya serap air papan MDF kayu binuang dengan kadar asam sitrat yang berbeda disajikan pada Gambar 2. Ikatan silang asam polikarboksilat dengan gugus hidroksil kayu menurunkan sifat higroskopi kayu (Vukusic et al. 2006).
120.00
ĂLJĂƐĞƌĂƉĂŝƌ;йͿ
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 0
5
10
15
20
25
30
<ĂĚĂƌĂƐĂŵƐŝƚƌĂƚ;йͿ
Gambar 2. Daya serap air papan MDF kayu binuang pada berbagai kadar asam sitrat
Sifat mekanika keteguhan rekat internal (internal bonding) papan MDF kayu binuang pada berbagai konsentrasi asam sitrat disajikan pada Gambar 3. Nilai rata-rata keteguhan rekat internal papan MDF kayu binuang dengan kadar asam sitrat minimal 20% memiliki nilai keteguhan rekat internal lebih dari 0,20 MPa. Papan MDF kayu 16
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
binuang dengan perlakuan asam sitrat 20%, 25% dan 30% memiliki nilai keteguhan rekat internal yang memenuhi standar JIS A 5905 type 5 (minimal 0,2 MPa) (Gambar 3).
<ĞƚĞŐƵŚĂŶƌĞŬĂƚŝŶƚĞƌŶĂů ;DWĂͿ
0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05
0.00 0
5
10
15
20
25
30
<ĂĚĂƌĂƐĂŵƐŝƚƌĂƚ;йͿ
Gambar 3. Keteguhan rekat internal papan MDF kayu binuang pada berbagai kadar asam sitrat
Sifat mekanika modulus patah dan modulus elastis papan MDF kayu binuang yang diberi perekat asam sitrat meningkat seiring dengan meningkatnya kadar asam sitrat (Gambar 4 dan 5). Pemberian asam sitrat minimal 10% mampu meningkatkan modulus patah papan MDF kayu binuang, sehingga memenuhi standar JIS A 5905-2003 (minimal nilai MOR 5 MPa).
DŽĚƵůƵƐŽĨZƵƉƚƵƌĞ;DWĂͿ
12.00 10.00
8.00 6.00
4.00 2.00
0.00 0
5
10
15
20
25
30
<ĂĚĂƌĂƐĂŵƐŝƚƌĂƚ;йͿ
Gambar 4. Modulus patah papan MDF kayu binuang pada berbagai kadar asam sitrat
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
17
DŽĚƵůƵƐŽĨĞůĂƐƚŝĐŝƚLJ;'WĂͿ
1.20 1.00 0.80 0.60
0.40 0.20 0.00
0
5
10
15
20
25
30
<ĂĚĂƌĂƐĂŵƐŝƚƌĂƚ;йͿ
Gambar 5. Modulus elastis papan MDF kayu binuang pada berbagai kadar asam sitrat
Modulus elastis papan MDF kayu binuang dengan pemberian perekat asam sitrat minimal 15% mempunyai nilai 0,8 GPa memenuhi standar dalam JIS A 5905-2003 (minimal nilai MOE 0,8 GPa). Peningkatan nilai modulus patah dan modulus elastis pada papan MDF kayu binuang yang diberi asam sitrat terjadi karena adanya gugus ikatan ester (Umemura et al., 2012, 2013). Papan MDF kayu binuang dengan perekat asam sitrat perlu ditingkatkan sifat fisiknya. Peningkatan sifat fisik dapat dilakukan dengan pemberian press panas dengan suhu yang lebih tinggi dan atau pemberian pelapis pada papan serat untuk mengurangi penyerapan air dari lingkungan. IV. PENUTUP Sifat fisik dan mekanik papan MDF kayu binuang dengan perekat asam sitrat meningkat seiring dengan meningkatnya kadar asam sitrat yang diberikan. Pemberian asam sitrat minimal 20% dalam pembuatan papan MDF kayu binuang memiliki sifat mekanis yang memenuhi standar JIS A 5905 type 5, namun sifat fisik pengembangan tebal dan penyerapan airnya masih tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Eko Sutrisno dan Andi Mandala Putra yang telah membantu dalam pembuatan tulisan papan serat ini.
18
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
DAFTAR PUSTAKA Anonim (2014). Statistik kementerian kehutanan 2013. Kementerian Kehutanan. Jakarta Harifi, T. dan Montazer, M. (2012). Past, present and future prospects of cotton crosslinking : new insight into nano particle. Carbohydrate Polymers 88 : 1125-1140 Japanese Standards Association (2003). Fibreboards. Japanese Industrial Standard (JIS) A 5905-2003. Japan. Roffael, E. (1993). Formaldehyde release from particle board and other wood based panels. Kuala Lumpur: FRIM Kepong Sugawara, R dan Umemura, K. (2014) Bonding composition and board. United States Patent. No. US 2014/0011042 A1. Syamani, F.A., and Munawar, S.S. (2013) Eco-friendly board from oil palm frond and citric acid. Wood Research Journal. 4(2) : 72-75. Soerianegara, I. and Lemmens. (1995). Plant Resources of South-East Asia No. 5 (2) Timber trees: Minor commercial timbers. PROSEA Bogor Indonesia, Umemura, K., Ueda, T., Munawar, S.S. dan Kawai, S. (2012) Application of citric acid as natural adhesive for wood. J Appl Polym Sci 123:1991–1996 Umemura, K., Ueda, T., dan Kawai, S. (2012a) Characterization of woodbased molding with citric acid. J Wood Sci. 58:38–45 Umemura, K., Ueda, T. dan Kawai, S. (2012b) Effects of molding temperature on the physical properties of wood-based molding bonded with citric acid. Forest Prod J. 62:63–68 Umemura, K., Sugihara, O., dan Kawai, S. (2013). Investigation of a new natural adhesive composed of citric acid and sucrose for particleboard. J Wood Sci 59:203–208 Widyorini, R., Yudha, A.P., Adifandi, Y., Umemura, K., dan Kawai, S. 2013. Characteristic of bamboo particleboard bonded with citric acid. Wood Research Journal. 4(1) : 31-35. Xing. C., Deng. J., dan Zhang. S.Y. (2007). Effect of thermo mechanical refining on properties of MDF made from black spruce bark. Wood Sci Technol. 41:329-338 Vukusic, S.B., D. Katovic, C. Schramm, J. Trajkovic dan B. Sefc. (2006). Polycarboxylic acids as non-formaldehyde anti swelling agents for wood. Holzforschung. 60 : 439-444
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
19
20
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
POTENSI PENGEMBANGAN TIGA JENIS POHON LOKAL PADA LAHAN GAMBUT DI RIAU Ahmad Junaedi
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan – Kuok Jl. Raya Bangkinang – Kuok km 9, Kotak Pos 4/BKN Bangkinang 28401 – Riau *E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Terjadinya penurunan produktivitasjenis eksotik krasikarpa pada lahan gambut di Riau menjadi titik awal untuk melihat kemungkinan pengembangan jenis pohon lokal.Hal ini pun diperkuat oleh adanya ancaman terhadap keberadaan jenis pohon lokal akibat degradasi hutan dan deforestasi yang masih terus berlangsung. Tiga dari sekian banyak jenis pohon lokal lahan gambut yaitu mahang (Macaranga pruinosa), geronggang (Cratoxylon arborescens)dan skubung (Macaranga gigantea) mempunyai potensi yang baik apabila dikembangkan untuk rehabilitasi lahan gambut bekas kebakaran dan rentan terbakar. Hal ini ditunjukkan oleh persen hidup dan pertumbuhannya yang cukup baik, suhu serasah dan tanah gambut tetap stabil serta kelembaban serasah dan tanah gambutnya tetap tinggi. Selanjutnya, pemuliaan pohon dan perbaikan teknik silvikultur perlu terlebih dahulu dilakukan apabila jenis lokal akan diarahkan sebagai penghasil kayu pulp. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar produktivitas jenis lokal dapat menyamai produktivitas krasikarpa sebagai bahan baku pulp. Kata kunci : pohon lokal, pertumbuhan, silvikultur, rehabilitasi, kayu pulp
I. PENDAHULUAN Degradasi hutan dan deforestasi telah terjadi dengan laju yang sangat menghawatirkan di lahan gambut Riau. Hal ini sebagaimana dilaporkan oleh Forest Watch Indonesia (2014) bahwa dari 690 ribu ha tutupan hutan yang hilang di Riau, 500 ribu ha berada di lahan gambut. Angka deforesatsi di lahan gambut Riau ini pun tertingi di Indonesia. Degradasi dan deforestasi hutan pada lahan gambut di Riau terutama disebabkan oleh pembalakan dan pembukaan lahan liar yang diikuti oleh pembakaran hutan. Kegiatan illegal ini telah mengakibatkan menurunnya dan bahkan hilangnya fungsi dan manfaat hutan. Lebih jauh, kebakaran hutan telah menjadi bencana yang berdampak tidak hanya pada penurunan fungsi dan kualitas hutan, tetapi berdampak buruk bagi masyarakat dan menimbulkan beban ekonomi yang tidak sedikit. Rusak dan hilangnya fungsi hutan tidak hanya memicu terjadinya bencana, tetapi juga akan meninggalkan lahan-lahan yang kritis dan marginal. Lahan tersebut akan mengalami penurunan kualitas dan fungsi untuk produksi dan pengatur tata air DAS (Kementerian Kehutanan, 2011). Jenis lahan seperti ini akan sangat sulit dikelola karena telah mengalami perubahan karakteristik yang ditandai oleh kondisi tanah yang tidak subur, iklim mikro yang tak kondusif dan kondisi aerasi maupun drainase yang tidak baik
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
21
(Yuwono, 2009; Soldatos et al., 2013). Hal ini dikarenakan jenis tanah gambut (histosol) merupakan jenis tanah yang pelapukannya terhambat. Produktivitasnya akan tergantung dari asupan hara dari vegetasi di atasnya, sehingga apabila vegetasinya hilang maka kesuburannnya pun akan cepat menurun. Untuk itu, upaya rehabilitasi dalam rangka mencegah tingkat kerusakan lebih lanjut serta mengembalikan produktivitas, fungsi dan manfaat hutan tersebut akan dapat dilakukan dengan berbasis penanaman pohon (vegetasi). Jenis pohon lokal dapat dipilih sebagai salah satu alternatif yang akan ditanam di lahan gambut Riau. Hal ini antara lain dikarenakan secara ekologis merupakan jenis terbaik untuk dipilih (Jayusman et al., 1994). Upaya penanaman jenis lokal pun mempunyai beberapa keungulan antara lain menghindari kepunahan suatu jenis pohon, menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah kemungkinan meledaknya hama penyakit (Istomo, 2008). Selain itu, jenis pohon lokal pun bisa dipromosikan sebagai jenis alternatif yang mungkin akan menggantikan jenis eksotik krasikarpa di hutan tanaman yang performanya terus menurun. Namun, dalam praktiknya perlu dipilih jenis-jenis lokal yang tepat, sehingga penanaman (rehabilitasi) yang dilakukan akan lebih berhasil. Untuk memenuhi kebutuhan informasi mengenai jenis – jenis lokal yang dapat dipilih maka makalah ini mencoba menyajikan informasi mengenai potensi pengembangan tiga jenis pohon lokal Riau di lahan gambut. Ketiga jenis tersebut adalah mahang (Macaranga pruinosa), geronggang (Cratoxylum arborescens) dan skubung (Macaranga gigantea). Potensi ketiga jenis tersebut ditinjau berdasarkan aspek pengetahuan silvikultur, pertumbuhan, kegunaan dan ekologi. II.
POHON LOKAL VS NON-LOKAL (EKSOTIK) Morse et al. (2007) menyatakan bahwa jenis tanaman asli atau jenis pohon lokal
adalah jenis yang tersebar alami, hidup dan tumbuh pada suatu lokasi tanpa ada campur tangan manusia. Definisi lainnya disampaikan Lowe et al. (2012) yang menyatakan bahwa jenis pohon lokal merupakan jenis yang sudah ada sejak zaman es akhir pada suatu lokasi dan telah mampu beradaptasi dengan baik terhadap kondisi tanah dan iklim. Sementara itu, jenis eksotik dapat didefiniskan sebagai spesies yang hidup dan tumbuh di luar lokasi geografi (habitat) alaminya (Nair, 2001).
22
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Salah satu konsep penting yang harus diperhatikan bahwa penentuan jenis lokal atau eksotik tergantung kepada batasan yang digunakan. Batasan ini berupa lokasi geografis, administrasi dan tipe ekosistem. Jenis pohon lokal bisa mengacu pada sebutan area atau lokasi tertentu misalnya jenis pohon lokal suatu negara, jenis pohon lokal suatu wilayah, jenis pohon lokal suatu pulau atau jenis pohon lokal suatu tipe ekosistem tertentu. Jenis pohon lokal maupun eksotik masing-masing mempunyai keungulan dan kelemahan. Membandingkan keduanya untuk kepentingan pengembangan bisa dipandang dari beberapa aspek, antara lain pertumbuhan, ketersediaan bahan tanaman (benih, stek, bibit dll), kemudahan membudidayakan, ketersediaan informasi pengelolaan (sivikultur) dan aspek ekologi (biodiversitas, hidrologi, iklim dan kesuburan tanah). Banyak laporan yang menunjukkan bahwa pertumbuhan jenis eksotik lebih baik dibandingkan jenis pohon lokal. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh jenis-jenis eksotik dari genera Acacia, Eucalyptus dan Pinus (Tabel 1). Akan tetapi beberapa hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa jenis-jenis lokal tertentu mempunyai pertumbuhan yang menjanjikan dan bahkan lebih baik dibandingkan jenis eksotik seperti pada jenis pohon local Schizolobium parahyba di Kostarika (Tabel 1). Bahan tanaman (benih, bibit, stek dll) jenis eksotik umumnya lebih mudah diperoleh dalam jumlah yang memadai dibandingkan jenis lokal. Informasi pengelolaan atau silvikultur jenis eksotik pun telah lama dikenal dan sudah tersedia (Thorpe et al., 2006). Berbeda dengan jenis eksotik, informasi mengenai ketersediaan bahan tanaman, kemudahan pembudidayaan maupun teknik pembudiyaan jenis lokal umumnya belum tersedia. Jenis pohon lokal dipandang mempunyai nilai positif yang lebih baik terhadap lingkungan dibandingkan jenis eksotik. Nilai positif kekayaan hayati jenis lokal tidak pelu diperdebatkan lagi, apalagi saat ini justru keberadaannya banyak mengalami ancaman serius akibat degradasi dan deforestasi. Pohon lokal merupakan bagian dari kekayaan hayati (biodiversity) ekosistem maupun wilayah setempat yang secara alami mempunyai fungsi yang tidak bisa digantikan begitu saja oleh jenis-jenis eksotik. Nilai positif lain dari jenis pohon lokal adalah mampu menyediakan keseimbangan dan kesinambungan habitat bagi organisme lain (fauna maupun flora), mencegah timbulnya hama dan penyakit, fungsi hidrologi dan penyerap karbon (Jhonnson & Stawell, 2001; Harrison et al., 2005; Omoro, 2012, Loinaz et al., 2013).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
23
Tabel 1. Perbandingan pertumbuhan beberapa jenis pohon lokal dan eksotik di dunia. No.
Pertumbuhan jenis
Pertumbuhan jenis
eksotik
lokal
Grevillea robusta : 1.
riap DBH = 1.39 cm/tahun Gmelina arborea :
2.
riap tinggi = 0,38 m/tahun Gmelina arborea :
3.
4.
5.
Acrocarpus
Nath et al. (2011)
cm/tahun Khaya grandifolia =
Nigeria
Brenes &
Vochysia tinggi = 1,9 m/tahun,
V. guatemalensis
riap dbh = 2 cm/tahun
Eucalyptus grandis :
Bauhinia thonningii =
riap tinggi = 0,88
riap tinggi = 0,16
m/tahun
cm/tahun Vochysia
Onefeli & Adesoye(2014)
riap tinggi = 0. 45 cm
Kostarika
Montagnini (2006)
Mulizane et al. Zimbabwe
(2005)
Kostarika
Carpenter et
Guatemalensis : riap
al. (2004)
tinggi < 0,85 m/tahuN
Tectona grandis : riap Schizolobium parahyba 6.
Sumber
diameter = 1,33
rendah dibandingkan
tinggi > 1,4 m/tahun
India
fraxinifolius:riap
pertumbuhannya lebih Guatemalensis = riap
Pinus tecunum : riap
Lokasi
tinggi = 1,89 m/tahun; : riap tinggi = 2,14 riap DBH = 2,47
m/tahun; riap dbh =
cm/tahun
2,59 cm/tahun
Kostarika
Piotto et al. (2004)
Sementara itu, pohon eksotik dipandang sebagai jenis yang membahayakan lingkungan terutama terhadap biodiversitas tanaman lokal karena bersifat invasif seperti yang ditunjukkan Acacia nilotica di TN Baluran (Djufri, 2004; Setyawati, 2013), maupun Acacia mangium pada beberapa wilayah di Sumatera. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa jenis eksotik pun mempunyai nilai positif terhadap lingkungan apabila ditanam pada kondisi yang sangat ektrim dimana pohon lokal sangat sulit hidup
24
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
dan tumbuh. Beberapa pohon eksotik juga berperan menjadi fasilitator atau pohon perawat (nurse tree) seperti Eucalyptus camaldulensis, E. globulus, E. saligna, Pinus patula, Acacia auriculiformis dan jati (Senbeta et al., 2002;McNamara et al., 2006; Sakai et al., 2009). Pohon tersebut berperan untuk mempersiapkan kondisi lingkungan (iklim mikro, hara dan air) yang lebih sesuai untuk pohon lokal dan tanaman bawah. Penanaman jenis pohon eksotik akan menciptakan ekosistem hutan tertentu yang khas. Kendatipun ada kemungkinan tipe ekosistem hutan yang terbentuk berbeda dengan ekosistem hutan awalnya, tetapi kemungkinan besar secara ekologi lebih baik jika dibandingkan dengan lahan marginal yang tidak dikelola. III. MENGENAL TIGA JENIS POHON LOKAL RIAU Sebagai negara dengan julukan mega biodiversitas, Indonesia memiliki sekitar 4000 jenis pohon (Pemerintah Indonesia, 1985 dalam Oldfield, 1988). Dari sekian banyak jenis pohon tersebut, beberapa diantaranya merupakan jenis pionir yang dapat dijumpai pada lahan gambut. Mahang (Macaranga pruinosa), skubung (Macaranga gigantea) dan geronggang (Cratoxylum arborescens) adalah tiga di antara jenis pionir yang tumbuh di Riau. A. Mahang Mahang termasuk dalam famili Euphorbiaceae dengan nama botanis Macaranga pruinosa Miq. sinonim dengan Macaranga maingayi tersebar secara alami di Sumatera dan Kalimantan. Mahang ditemukan pada hutan rawa gambut sampai ketinggian tempat 100 meter di atas permukaan laut/m dpl (Anonim, 2013). Mahang ditemukan di sekitar Riau pada hutan rawa gambut di Kab. Siak, Dumai dan Bengkalis (Suhartati et al., 2012). Mahang termasuk jenis cepat tumbuh (fast growing species) yang intoleran. Tinggi mahang mencapai 30 - 40 m dan diamater 40 - 50 cm (National Herbarium, 2009; Suhartati et al., 2012) Danu (2010) melaporkan bahwa produksi benih mahang terjadi sepanjang tahun, tetapi panen raya umumnya pada bulan Juli-Agustus. Dalam satu pohon potensi benih yang dapat diperoleh adalah sebanyak 1,83 kg. Dengan ketersediaan materi tanam seperti ini, nampaknya sumber materi tanam tidak akan menjadi kendala dalam pengembangan jenis ini. Pengetahuan silvikultur mahang sangat kurang. Informasi yang tersedia adalah mengenai teknik perbanyakan generatif. Suhartati et al. (2012) menyatakan bahwa biji
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
25
mahang dapat disemai pada media campuran pasir dan top soil (1 : 1), tetapi tidak dilaporkan pesentase benih yang berkecambah. Pemanfaatan kayu mahang tidak terbatas pada kayu yang berukuran besar, tetapi kayu berdiameter kecil (diameter 5 – 10 cm) banyak dimanfaatkan. Masyarakat Riau memanfaatkan kayu berukuran kecil untuk cerucuk (tiang penyangga pada saat pembuatan bangunan beton), sedangkan yang berukuran lebih besar untuk palet kayu (alas peti kemas atau alas barang). Peluang pemanfaatan kayu mahang lainnya adalah sebagai bahan baku serat pulp kertas. Untuk pulp kelas kayu mahang termasuk kelas II (Rahmayanti et al., 2009). Selain kayunya, daun mahang berpotensi sebagai sumber bahan aktif anti jamur (Grosvenoret et al., 1995 dalam Lim et al, 2009), anti bakteri dan anti oksidan (Lim et al., 2009). B. Skubung Skubung termasuk dalam famili Euphorbiceae dengan nama botanis Macaranga gigantea (Reichb.f. & Zoll.)Mull.Arg.) Jenis ini tersebar secara alami di Sumatera dan Sulawesi (Whitmore et al., 1989; Soerinegara &Lemmens, 2001). Skubung ditemukan di sekitar Riau yakni di Kab. Kampar, Rokan Hulu, Inderagiri Hulu, Pelalawan, Kuantan Singingi dan Dumai (Suhartati et al., 2012). Selain ditemukan di hutan rawa dan rawa gambut dataran rendah, jenis tersebut dapat ditemukan juga di lahan mineral sampai ketinggian tempat 1000 m dpl. Skubung merupakan jenis yang semi-toleran yang masih dapat tumbuh di bawah tegakan (naungan). Tinggi pohon skubung dapat mencapai 20 – 30 m dengan diameter mencapai 20 -30 cm (Suhartati et al., 2012). Benih skubung dapat diperoleh sepanjang tahun dengan bulan bunga/buah rayanya pada Oktober – Nopember (Danu, 2010). Jumlah benih dapat mencapai 6,15 kg/pohon. Melimpahnya benih ini menjadi salah satu indikasi bahwa materi tanam tidak akan menjadi kendala dalam pengembangan jenis skubung. Pengetahuan silvikultur jenis skubung masih sangat kurang. Informasi yang dapat diakses adalah mengenai teknik perbanyakan bibit secara generatif, walaupun informasinya masih belum memadai. Bibit skubung dapat diperoleh dengan menyemai benih pada media campuran top soil : pasir (1 : 1) (Suhartati et al., 2012), walaupun belum ada laporan berapa besar persentase perkecambahaan dengan cara ini . Informasi lain menyebutkan bahwa defisiensi hara tanah merupakan faktor paling penting yang 26
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
mempengaruhi pertumbuhan awal bibit skubung di lahan yang terdegradasi (Nussbaum et al., 1995). Pemanfaatan dan potensi pemanfaatan skubung secara umum mirip dengan mahang. Kayu skubung telah banyak dimanfaatkan masyarakat Riau untuk cerucuk dan palet kayu. Potensi pemanfaatan kayu skubung yang lain adalah sumber bahan baku pulp dan campuran pembuatan papan semen (Rahmayanti et al., 2009: Azrieda et al., 2012). Sementara itu, daunnya berpotensi sebagai sumber bahan aktif anti oksidan dan anti bakteri (Lim et al., 2009). C. Geronggang Geronggang termasuk famili Gutiferae atau Hyperaceceae. Nama botanis dari gerongggang antara lain Cratoxylum arborescens, Cratoxylon arborescens, Cratoxylum cuneatum dan Cratoxylon glaucum (Soerinegara dan Lemmens, 2001; Anonim, 2009). Geronggang merupakan salah satu jenis tumbuhan asli pada hutan rawa gambut. Selain di rawa gambut, jenis ini dapat tumbuh pada tipe tanah berpasir dan lempung berpasir (Soerinegara dan Lemmens, 2001). Geronggang dapat tumbuh pada ketingggian 0-1800 m dpl dengan tipe iklim A atau B. Pengetahuan silvikultur geronggang masih sangat terbatas. Informasi silvikultur yang sudah dipublikasikan baru sekitar teknik pembibitan. Geronggang dapat diperbanyak secara generatif dan vegetatif. Danu (2010a,b) melaporkan bahwa bibit geronggang asal anakan alam dapat disapih dengan media tanah (top soil) dan diberi naungan 75%, sedangkan secara vegetatif adalah dengan memanfaatkan stek pucuk yang diakarkan pada beberapa media yang bisa dipilih yakni pasir, zeolit, campuran sabut kelapa dan sekam padi (2:1,v/v) dan campuran sabut kelapa dan arang sekam padi (2:1,v/v).
Penambahan
hormon
dengan
konsentrasi
rendah (0,1138%
Asam
Naftalenasetat + 0,057 % Asam Indobultirat) bisa dilakukan untuk memicu pertumbuhan akar. Kayu geronggang banyak dimanfaatkan masyarakat Riau antara lain untuk papan dan bahan bangunan lain. Ada pun peluang pemanfaatan lainnya adalah untuk bahan baku pulp (kelas II) (Junaedi & Aprianis, 2010). Selain itu kulit batang geronggang mengandung Į-0DQJRVWLQGDQȕ- Mangostin yang berpotensi sebagai obat anti oksidan, anti virus dan anti kanker (Syam et al., 2014; Ibrahim et al., 2015).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
27
IV. PERTUMBUHAN TEGAKAN TIGA JENIS POHON LOKAL DAN EKOLOGINYA Penelitian mengenai aspek pertumbuhan dan ekologi pada tegakan jenis lokal mahang (Macaranga pruinosa), geronggang (Cratoxylum arborescens) dan skubung (Macaranga gigantea) pada lahan gambut di Pelalawan, Riau dilakukan Junaedi et al. (2011,2012,2013,2014&2015). Pada penelitian ini digunakan jenis eksotik krasikarpa sebagai pembanding. Teknik silvikultur yang dijadikan rujukan adalah silvikultur jenis krassikarpa di HTI Pulp PT. RAPP. Deskripsi lengkap mengenai lokasi dan metode pada penelitian tersebut bisa dilihat pada Junaedi et al.(2011). Penjelasan tentang beberapa hasil penting dari penelitian tersebut diuraikan dalam tulisan ini. Untuk memperjelas penemuan yang diperoleh, data dibandingkan dengan studi literatur. A. Pertumbuhan Tegakan Persen hidup ketiga jenis yang diteliti secara keseluruhan lebih baik dibandingkan jenis eksotik krasikarpa yang persen hidupnya pada umur 3,5 hanya tersisa 28% (Junaedi et al., 2015). Selanjutnya, dua dari tiga jenis yang diteliti yakni geronggang dan mahang memiliki persen hidup lebih dari 80% pada umur 3,5 tahun, sehingga apabila didasarkan kepada penilaian kemampuan hidup Departemen Kehutanan (2009) termasuk jenis dengan kemampuan hidup yang baik. Perbandingan persen hidup ketiga jenis pohon lokal dengan beberapa jenis lokal lahan gambut yang lain menunjukkan adanya variasi. Persen hidup geronggang dan mahang lebih baik dibandingkan terentang, punak dan pulai rawa, tetapi lebih rendah dibandingkan Shorea leprosula dan Shorea uliginosa (Tabel 2). Pohon lokal lebih mampu beradapatasi dan tahan terhadap faktor penggangu yang mungkin muncul di lahan gambut dibanding jenis krassikarpa menunjukan sifat yang sangat rentan terhadap gangguan yang memengaruhi pertumbuhannya di lahan gambut (Junaedi et al., 2014). Junaedi (2014) telah menduga bahwa beberapa gangguan yang menyebabkan kematian pada krassikarpa adalah serangan jamur Ceratosystis sp dan rayap. Hal ini sesuai dengan tanda dan gejala yang ditemukan di lapangan. Rayap berikut sarangnya dapat ditemukan pada beberapa batang krassikarpa, sementara tanda berupa layu dan mati pucuk merupakan salah satu tanda adanya serangan Ceratosytis sp sebagaimana yang sebelumnya telah dilaporkan oleh Tarigan et al. (2011).
28
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Tabel 2. Kemampuan hidup (persen hidup) beberapa jenis pohon lokal lahan gambut Umur
Persen
(tahun)
Hidup
1 Mahang
3,5
81
Riau
2 Geronggang
3,5
85
Riau
3 Skubung
3,5
64
Riau
5 Geronggang
4
67
Riau
6 Shorea leprosula
4
85
Riau
7 Shorea belangeran
4
95
Kalteng
8 Shorea uliginosa
3
95
Riau
9 Terentang
2
65
Riau
10 Pulai rawa
3
17
Riau
11 Geronggang
2
72
GSK,Riau
12 Jelutung rawa
2
35
GSK,Riau
13 Punak
2
64
GSK,Riau
14 Palaquium sp
2
49 – 66
GSK,Riau
15 Pulai rawa
1
96
Kalteng
16
1
87
Kalteng
17 Shorea belangeran
3
30 – 80
Kalteng
18 Punak
1
30-70
Kalteng
19 Pulai rawa
1
50 -90
Kalteng
No.
Jenis pohon lokal
Punak
Lokasi
Sumber Junaedi et al. (2015)
Daryono (2009)
Gunawan (2013)
Panjaitan et al. (2003) Rachmanadi et al. (2003)
Seperti terlihat pada Table 3 pertumbuhan terbaik di antara ketiga jenis lokal ditunjukkan oleh mahang dengan riap tinggi dan diameter pada umur 3,5 tahun adalah 2,5 m/tahun dan 2,8 cm/tahun. Namun, pertambahan riap diameter dan tinggi mahang masih jauh tertinggal dibandingkan riap pertumbuhan eksotik krassikarpa yang mencapai riap lebih dari dua kalinya (Gambar 1). Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab superiornya pertumbuhan jenis eksotik krasikarpa dibandingkan jenis lokal antara lain adalah penggunaan bibit unggul dan kemampuan mengakses hara. Krasikarpa yang diteliti Junaedi et al. (2011,2012,2013 &2014) berasal dari bibit yang sudah terseleksi yakni dari Areal Produsi Benih PT. RAPP Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
29
dengan asal provenans Papua Nugini, sedangkan bibit ketiga jenis lokal berasal dari cabutan alam (bibit asalan). Selanjutnya, krasikarpa pun mampu mengakses hara secara lebih baik dibandingkan jenis pohon karena tergolong jenis polong-polongan (legume) yang mampu mengfiksasi nitrogen (N) serta perakarannnya pun dapat berasosisasi dengan jamur mikoriza (Yama et al., 2014). 6
5
Riap DBH (cm/tahun) Riap tinggi (m/tahun)
4
3
2
1
0 Mahang
Krassikarpa-A
Krassikarpa-B
Gambar 1. Perbandingan riap jenis lokal terbaik dengan krasikarpa Keterangan : Krasikarpa-A = Krassikarpa dari bibit terseleksi PT. RAPP; Krasikarpa-B = Krassikarpa dari bibit asalan (Cole et al., 1996)
Faktor perbedaan mutu bibit diduga merupakan faktor penentu lebih baiknya pertumbuhan krasikarpa dibandingkan pohon lokal. Hal ini berdasarkan dua fakta, pertama adalah adanya perbedaan yang tidak terlampau jauh antara riap mahang dengan riap krasikarpa yang diduga masih menggunakan bibit asalan. Cole et al. (1996) melaporkan bahwa riap tinggi dan diameter krasikarpa pada tanah masam di kawasan Tropis Hawaii adalah 2,8 m/tahun dan 3 cm/tahun (Gambar 1). Fakta kedua adalah adanya salah satu jenis lokal yakni geronggang yang perakarannya mempunyai kemampuan yang sama dengan krasikarpa untuk berasoasiasi dengan jamur mikoriza (Tawarayaet al., 2003), tetapi pertumbuhannya jauh tertinggal dari krassikarpa yang berasal dari bibit unggul. Dengan demikian, upaya perbaikan kualitas bibit pada ketiga jenis lokal perlu dilakukan untuk meningkatkan performa pertumbuhannya. Upaya ini bisa diprioritaskan kepada jenis geronggang yang dari segi pertumbuhannya relatif tidak berbeda dengan mahang dan mempunyai sistem perakaran yang dapat berasosiasi dengan jamur mikoriza.
30
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Tabel 3. Pertumbuhan beberapa jenis pohon lokal lahan gambut No. 1
Jenis pohon Mahang
Tinggi
DBH
(m/tahun) (cm/tahun) 2,5
2,8
2,2
2,4
1,97 Geronggang
1,75 1,18 -
2
2,89
-
1,6
2,1
2,5
-
4
Macaranga sp Tetramerista
5
glabra
Riau
(2015) Gunawan (2013) Daryono (2009)
Kalimantan
Saito et al. (2005) Junaedi et al.
Riau
(2015)
Sabah,
Howlett &
Malaysia
Davidson (2003) Nugroho & Adman
0,53
-
0,51
-
Ploiarium
1,89 -
alternifolium
2,32
Combretocarpus
0,27 -
7
rotundatus
2,55
9
Shorea leprosula
1,9
3,18
10
Shorea uliginosa
2,0
2,33
11
Shorea belangeran
1,5
1,6
6
Sumber Junaedi et al.
1,75
Skubung 3
Lokasi
(2012) Kalimantan
Panjaitan et al. (2003)
Kalimantan
Saito et al. (2005)
Riau Kalimantan
Daryono (2009)
Kendatipun pertumbuhan jenis lokal mahang, geronggang dan skubung yang bersumber dari bibit asalan belum lebih baik dibandingkan krasikarpa yang berasal dari bibit terseleksi; namun, pertumbuhan mahang dan geronggang secara keseluruhan nampak lebih baik dibandingkan jenis-jenis lokal gambut lainnya (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa untuk kategori jenis lokal yang berasal dari bibit asalan mahang dan geronggang dapat dikategorikan sebagai jenis yang lebih cepat tumbuh (fast growing).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
31
B. Ekologi 1.
Biodiversitas Tanaman Bawah Tanaman bawah di tegakan jenis lokal mahang, geronggang dan skubung pada lahan
gambut di Riau lebih beragam/banyak dibandingkan di bawah jenis eksotik krasikarpa (Junaedi et al., 2014). Pada umur tegakan 3,5 tahun, sekitar 5 jenis tumbuhan bawah bisa ditemukan dibawah tegakan jenis lokal, sedangkan di bawah tegakan krassikarpa hanya sekitar 2 -3 jenis. Akan tetapi dari segi tutupan tanaman bawah, nampak bahwa tutupan tanaman bawah di tegakan jenis krasikarpa lebih rapat dibandingkan di tegakan jenis lokal. Rapatnya tutupan tanaman bawah di krassikarpa diduga karena tutupan tajuk yang rendah akibat banyak tanaman mati sehingga lebih banyak cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan. Kondisi ini sangat kondusif bagi tumbuhnya tanaman bawah terutama pada jenis paku-pakuan. 2. Iklim Mikro di Bawah Tegakan Junaediet al. (2014) melaporkan kondisi iklim mikro dibawah tegakan 3 jenis lokal (mahang, geronggang dan skubung) dan krasikarapa yang ditanam di lahan gambut di Riau menunjukkan bahwa suhu udara, suhu permukaan dan suhu tanah dibawah tegakan jenis yang diteliti relatif tidak ada perbedaan yang mencolok. Kisaran suhu udara pada rentang amatan pkl. 09.00 – 16.00 untuk jenis mahang, geronggang, skubung dan krasikarpa berturut-turut adalah 26,0 – 30,5oC; 26,3 – 30,4oC; 25,0 – 31,8oC dan 25,0 – 30,8oC. Sementara kisaran suhu tanah berturut-turut adalah 27,6 – 28,7 oC; 27,2 – 28 oC; 26,9 – 27,7 oC dan 27,4 – 28,7 oC. Kondisi iklim mikro di sekitar serasah ini dapat dijadikan sebagai salah satu parameter kerentanan kebakaran. Junaedi et al. (2014) melaporkan bahwa iklim mikro di sekitar serasah jenis lokal maupun krasikarpa masih relatif lembab (kelembaban > 50%), kendatipun pada musim kering (kedalaman muka air > 100 cm) (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa penanaman jenis mahang, geronggang dan skubung dapat dijadikan salah satu cara pencegahan kebakaran hutan dan lahan (Tabel 4). Kelembaban serasah tetap terjaga dikarenakan rapatnya kanopi tegakan jenis lokal akibat persen hidupnya yang tinggi dan juga pertumbuhannya yang relatif cepat.
32
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Tabel 4. Iklim mikro di sekitar serasah mahang, geronggang, skubung dan krasikarpa berumur 2 – 3 tahun di lahan gambut di Riau Mahang
Geronggang
Skubung
Krasikarpa
Musim kering Ks (%)
71,26 ± 10,20b 79,78 ± 8,07b 56,04 ± 5,33c
91,24 ± 7,42a
Ts(oC)
29,12 ± 0,84a
28,57 ± 0,52a 29,03 ± 0,72a
28,92 ± 0,73a
Tbs (oC)
28,50 ± 0,25a
28,40 ± 0,35a 28,57 ± 0,68a
28,78 ± 0,17a
Ks (%)
88,44 ± 0,66a
89,41 ± 1,46a 87,03 ± 1,55a
91,79 ± 1,38a
Ts(oC)
27,78 ± 0,26a
27,33 ± 0,24a 27,98 ± 0,67a
28,08 ± 0,19a
Tbs (oC)
27,67 ± 0,22a
27,30 ± 0,15a 27,68 ± 0,34a
28,00 ± 0,19a
Musim basah
Sumber : Junaedi (2014), Ks = kelembaban serasah, Ts = suhu serasah, Tbs = Suhu di bawah serasah
3.
Tanah Krasikarpa yang berdaun semu (filodae) relatif berpengaruh tidak baik terhadap
produktivitas/kesuburan lahan gambut, karena serasahnya sukar terdekomposisi. Lambatnya dekomposisi ini menghambat asupan hara tersedia ke lantai hutan sehingga proses siklus hara akan terhambat. Ditambah lagi sebagian besar biomassa kayu dikeluarkan dari hutan krasikarpa pada saat panen, sehingga akan menyebabkan tidak seimbangnya input-ouput hara di dalam hutan. Tanah di bawah tegakan jenis lokal (mahang, geronggang dan skubung) dan krasikarpa menunjukkan sifat yang sama. Kemiripan sifat ini diduga salah satunya berhubungan erat dengan asupan hara yang berasal dari dekomposisi serasah. Proses dekomposisi serasah baik pada jenis lokal (k = 0,98 – 1,19 tahun-1) maupun jenis krasikarpa tergolong lambat (k= 0,98 tahun-1) (Junaedi, 2014). Kandungan lignin yang tinggi (jenis lokal = 36,8 – 41,1 % & krassikarpa = 33,8%) diduga merupakan penyebab utama lambatnya dekomposisi tersebut (Junaedi, 2014)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
33
Tabel 10. Perbedaan sifat tanah di bawah tegakan mahang, geronggang, skubung dan krasikarpa di lahan gambut yang didrainase di Pelalawan, Riau Variabel1
Mahang
Geronggang
Skubung
Krassikarpa
0,231 ± 0,07
0,23 ± 0,007
0,23 ± 0,02
0,22 ± 0,02
225,18 ±
200, 47 ±
16,84
16,84
215,60 ± 31,13
31,77
pHtn (H2O)
2,96 ± 0,07
2,96 ± 0,07
2,93 ± 0,07
3,07 ± 0,07
Carbontn (%)
43,43 ± 0,62
44,07 ± 0,12
43,33 ± 0,65
44,50 ± 0,81
Nitrogentn (%)
1,65 ± 0,08
1,66 ± 0,07
1,74 ± 0,05
1,75 ± 0,05
C/Ntn
26,45 ± 1,28
26,58 ± 1,11
24,89 ± 0,78
25,55 ± 1,20
P tersediatn (ppm)
37,86 ± 3,81
30,37 ± 0,99
29,7 ± 4,09
38,97 ± 4,08
- Catn (me/100 g)
6,81 ± 1,71
6,28 ± 1,32
3,92 ± 1,24
3,64 ± 1,62
- Mgtn (me/100 g)
1,67 ± 0,14
2,2 ± 0,30
1,67 ± 0,20
2,19 ± 0,35
- Kn (me/100 g)
0,44 ± 0,04ab
0,41 ± 0,02b
0,53 ± 0,04a
0,54 ± 0,04a
- Natn (me/100 g)
0,67 ± 0,003
0,62 ± 0,08
0,69 ± 0,05
0,75 ± 0,12
Berat isitn (g/cm3) Kadar airtn (%)
182,22 ±
Basa dapat ditukar :
159,67 ± KTKtn (me/100 g) KBtn (%)
158,0 ± 4,33
164,33 ± 7,88
150 ± 1,53
2,91
6,02 ±0,98
5,73 ± 0,63
4,5 ± 0,92
4,43 ± 1,11
Sumber : Junaedi (2014)
Lambatnya dekomposisi serasah jenis lokal yang berdampak terhadap relatif tidak adanya perbaikan kandungan unsur hara di lahan gambut menunjukkan bahwa penanaman jenis ini untuk tujuan hutan tanaman diduga akan mengakibatkan penurunan kesuburan lahan. Hal ini dikarenakan hara dalam jumlah banyak akan secara rutin dikeluarkan melului biomassa yang dipanen, sementara input hara dari serasahnya relatif lambat. Namun, jika ketiga jenis tersebut akan tetap dicoba untuk dikembangkan di hutan tanaman, maka diperlukan perlakuan-perlakuan silvikultur yang dapat mempercepat dekomposisi serasah.
34
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
V. PENUTUP Mahang dan geronggang mempunyai karakteristik antara lain adalah daya hidup baik (lebih baik dibandingkan jenis eksotik), petumbuhan yang relatif lebih cepat dibandingkan jenis lokal lahan gambut lainnya, serta mampu menjaga kondisi iklim mikro (terutama kelembababan serasah) berada pada kondisi yang relatif tidak mudah terbakar. Dengan karakteristik tersebut, mahang dan geronggang dapat dipilih sebagai jenis yang akan ditanam pada kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan gambut, terutama untuk lokasi-lokasi bekas kebakaran atau yang rentan terbakar. Akan tetapi, karena pertumbuhannya masih tertinggal dari jenis eksotik krasikarpa dan serasahnya sukar terdekomposisi, perbaikan kualitas bibit melalui pemuliaan dan manajemen tapak mutlak diperlukan apabila akan dikembangkan di hutan tanaman. UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan terimakasih disampaikan kepada Tim Silvikultur jenis lokal terutama teknisi yang telah membantu pengumpulan data yaitu Bapak Sunarto dan Bapak Arifin. Penghargaan dan terimakasih disampaikan juga kepada Divisi R and D PT. Riau Fiber dan pihak Kepala Desa Lubuk Ogong (Bapak H. Dhalan ) dan staf atas kerjasamanya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2009). Geronggang. CIRAD. http://tropix.cirad.fr. Diakses 13 April 2009. Anonim. (2013). Macaranga pruinosa (Miq.) Mull.Arg.,in DC. Prodr.15, 2 (1866).www.asiaplant.net. Diakses Tanggal 10 Oktober 2013. Azrieda, N. A. R., A. K. Razali, Rahim, S. Rahin & K. Izran, K. (2012). Physical and Mechanical Properties of Portland Cement- Bonded Flakeboards Fabricated from Macaranga gigantea and Neolamarckia cadamba. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 35 (4): 795 – 804. Carpenter, F.L , J.D. Nichols & E. Sandi. (2004). Early growth of native and exotic trees planted on degraded tropical pasture. Forest Ecology & Management. 196 : 367378. Cole ,T.G. , R.S. Yost, R. Kablan & T. Olsen. (1996). Growth of twelve Acacia species on acid soils in Hawaii. Forest Ecology & Management 80 : 175-186.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
35
Danu. (2010a). Teknik peningkatan poduksi benih tanaman hutan penghasil kayu pulp jenis : mahang, skubung terentang. Ringkasan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Bogor. Danu. (2010b). Teknik pembibitan tanaman hutan secara generative jenis gerunggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume) dan jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.)Havil). Ringkasan hasil penelitian. Balai Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan. Daryono, H. (2009). Potensi, permasalahan dan kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan hutan dan lahan rawa gambut secara lestari. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 6 (2): 71 – 101. Departemen Kehutanan. (2009). Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Djufri. (2004). Acacia nilotica (L.) Willd.ex Del. dan Permasalahannya di TamanNasional Baluran Jawa Timur. Biodiversitas 5 (2): 96-104. Forest Watch Indonesia. (2014). Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009 – 2013. Forest Watch Indonesia. Bogor. Gunawan, H. (2013). Peatland restoration in Riau biosphere reserve, Indonesia. Prosiding Seminar Biologi, Medan April 2013. Harrison, S., T.J. Venn, R. Sales, E.O. Mangaoang& J. F. Herbohn. (2005). Estimated financial performance of exotic and indigenous tree species in smallholder plantations in Leyte Province. Annals of Tropical Research 27(1): 67-80. Howlett & Davidson. (2003). Effects of seed availability, site conditions, and herbivory on pioneer recruitment after logging in Sabah, Malaysia. Forest Ecology and Management 184: 369–383. Ibrahim, M.Y., N.M. Hashim, S. Mohan, M.A. Abdulla, S.I. Abdelwahab, I.A Arbab, M. Yahayu, L.Z. Ali & O.E. Ishag. (2015) Į -Mangostin from Cratoxylum arborescens: An in vitro and in vivo toxicological evaluation. Arabian Journal of Chemistry (8) :129–137. Junaedi, A & Y. Aprianis. (2010). Sifat kayu geronggang sebagai jenis pulpable alternative pada lahan gambut. Buletin Hasil Hutan 16 (3): 153 - 161. Junaedi, A ,A. Pribadi, A.B. Siswanto & Sunarto. (2014). Silvikultur jenis alternatif penghasil serat untuk pulp di Lahan gambut. LHP TA 2013. Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. (Tidak diterbitkan). Junaedi, A., A. Pribadi, A.B. Siswanto, R. Nainggolan & Sunarto. (2015). Silvikultur jenis alternatif penghasil serat untuk pulp di Lahan gambut. LHP TA. 2014. Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. (Tidak diterbitkan).
36
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Junaedi, A., S. Rahmayanti, A.B. Siswanto & Sunarto. (2011). Uji Kesesuaian jenis alternatif penghasil kayu pulp di lahan gambut.Laporan hasil penelitian tahun 2011. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. Kuok. Junaedi, A., S. Rahmayanti,A. Pribadi, A.B. Siswanto & Sunarto. (2012). Silvikultur jenis alternatif penghasil serat untuk pulp di Lahan gambut. LHP TA 2012. Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. (Tidak diterbitkan). Kementerian Kehutanan . 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No : P. 63/Menhut-II/2011. Lim, T.Y.., Y.Y. Lim & C.M. Yule. 2009. Evaluation of antioxidant, antibacterial and anti-tyrosinase activities of four Macaranga species. Food Chemistry 114 : 594–599. Loinaz, G.R. I. Amezaga & M. Onaindia. 2013. Use of native species to improve carbon sequestration and contribute towards solving the environmental problems of the timberlands in Biscay, northern Spain. Journal of Environmental Management 120: 18 – 26. Lowe, S., N.Repper, L. Miles & S.G.Wallace. (2012). Notes on tree planting and the use of native species in North East England. Northumberland Wildlife Trust McNamara, S., D.V. Tinh, P.D. Erskine, D. Lamb, D. Yates & S. Brown. 2006. Rehabilitating degraded forest land in central Vietnam with mixed native species plantings. Forest Ecology and Management 233 (2-3) : 358 – 365. Morse, L.E. J. M. Swearingen & J.M. Randall. 2007. Defining what is native- what is a native plant? www.fhwa.dot.gov/environment/rdsduse. Diakses Tanggal 9 Oktober 2013. Mulizane, Cat. Katsvanga, Iw. Nyakudya & J.F. Mupangwa. 2005. The Growth Performance of Exotic and Indigenous Tree Species in Rehabilitating Active Gold Mine Tailings Dump at Shamva mine in Zimbabwe. J. Appl. Sci. Environ. Mgt. 9 (2) :57 – 59. Nair, K.S.S. (2001). Pest outbreaks in tropical forest plantation : Is there a greater risk for exotic tree species ? CIFOR. Bogor. National Herbarium. (2009). Macaranga pruinosa. www.nationalherbarium. com. Diakses 11 Mei 2009. Nugroho, A.W & B. Adman . (2012). Pertumbuhan tanaman jenis lokal pada lahan reklamasi tambang di Tenggarong Seberang, Kalimantan Timur. Makalah pada prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian BPTKSDA pada Tanggal 3 Nopemebr 2011 di Balikpapan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
37
Nussbaum, R., J. Anderson & T. Spencer. (1995). Factors limiting the growth of indigenous tree seedlings planted on degraded rainforest soils in Sabah, Malaysia. Forest Ecology and Management (4) : 149-159. Omoro, L.M.A. (2012). Impacts of indigenous and exotic tree species on ecosystem services: Case study on the mountain cloud forests of Taita Hills, Kenya. Academic dissertation.Faculty of Agriculture and Forestry of theUniversity of Helsinki. Helsinki, Finlandia. Panjaitan, S., D. Rachmanadi & Rusman. (2003). Penampilan beberápa jenis tanaman lokal di Lahan rawa gambut. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian & Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru , Januari 2003.. Pusat Penelitian & Pengembangan Bioteknologi & Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Hlm 88 – 109 Rachmanadi, D., P.D. Santoso, S. Panjaitan, H.S. Fadhil, Rusmana & R. Supriadi. 2003. Penampilan beberapa jenis tanaman rehabilitasi pada hutan rawa gambut pasca kebakaran. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian & Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru, Januari 2003.. Pusat Penelitian & Pengembangan Bioteknologi & Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Hlm 88 – 109 Rahmayanti, S., Suhartati, Y. Aprianis. (2009). Jenis-jenis tanaman local potensial sebagai bahan baku pulp. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Peneltian Hutan Penghasil Serat. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor Saito , H., M. Shibuya , S.J. Tuah , M. Turjaman ,K. Takahashi , Y. Jamal , H. Segah ,P.E. Putir & S.H. Limin. (2005). Initial screening of fast growing tree species being tolerant of dry tropical peatland in Central Kalimanta, Indonesia. Journal of Forestry Research. 2 (2): 1 – 10. Sakai, A, .Atsushi Sakai, T. Visaratana, T. Vacharangkura, R. Thai-ngam, N. Tanaka, M. Ishizuka & S. Nakamura. (2009). Effect of species and spacing of fast-growing nurse trees on growth of an indigenous tree, Hopea odorata Roxb., in northeast Thailand. Forest Ecology & Management 257 : 644 – 652. Senbeta, F., D. Teketay & B.E, Naslund. (2002). Native woody species regeneration in exotic tree plantations at Munessa-Shashemene Forest, Southern Ethiopia. New Forests 24: 131–145. Setyawati, T. (2013). Ancaman jenis asing invasif di Kawasan Hutan Indonesia. Bahan presentase yang disampaikan pada Jambore Penyuluh Kehutanan di Yogyakarta pada Tanggal 15 – 18 Mei 2013. Puskonser. Soerinegara, I. & R.H.M.J. Lemmens (eds). (2001). Plant resources of South-East Asia. Prosea. Bogor. Timber trees: Major commercial timbers 5 (1): 102 – 108.
38
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Soldatos, P., B. Osborne, D. scordia & S.L. Cosentino. (2013). What is marginal land? Review of current perception. Workshop of European Biomass Conference. Copenhagen 6th June 2014. Suhartati, S. Rahmayanti, A. Junaedi & E. Nurrohman. (2012). Sebaran dan persyaratan tumbuh jenis alternatif penghasil pulp di wilayah Riau. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Syam, S., A. Bustamam, R. Abdullah, M. A. Sukari, N.M. Hashim, M. Ghaderian, M. Rahmani, S. Mohan, S. I. Abdelwahab & H.M. Ali. (2014) ȕ-Mangostin induces p53 dependent G2/M cell cycle arrest and apoptosis through ROS mediated mitochondrial pathway and NfkB suppression in MCF-7 cells. Journal of Functional Foods. (6): 290 – 304. Tawaraya, K, Y. Takaya, M. Turjaman, S.J. Tuah, S.H. Limin, Y. Tamai, J.Y. Cha, T. Wagatsuma & M. Osaki. 2003. Arbuscular mycorrhizal colonization of tree species grown in peat swamp forests of Central Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management. 182: 381–386. Thorpe, J., N. Henderson, and J. Vandall. (2006). Ecological and Policy Implications of Introducing Exotic Trees for Adaptation to Climate Change in the Western Boreal Forest. Saskatchewan Research Council Publication. Whitmore, T.C, I.G.M Tantra & U. Sutisna. (1989). Tree Flora of Indonesia: Check list for Kalimantan. Forest Research & Development Agency. Bogor. Yama, D., A. Muin & R.S. Wulandari. 2014. Asosiasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada tegakan akasia (Acacia crassicarpa A. Cunn.Ex Benth) di lahan gambut PT. Kalimantan Subur Permai Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Lestari. 2(1): 33 – 40. Yuwono, N.W. 2009. Membangun kesuburan tanah di lahan marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 9 (2): 137-141.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
39
40
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
PERTUMBUHAN DAN KESUBURAN TANAH PADA TEGAKAN JABON DI RIAU Syofia Rahmayanti
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan Jl. Raya Bangkinang – Kuok Km. 9 Kotak Pos 4 / BKN Bangkinang 28401 e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Jabon (Anthocephalus cadamba) merupakan salah satu jenis pohon lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai penghasil serat untuk pulp karena memenuhi persyaratan berat jenis dan nilai dimensi serat dan turunannya. Dari aspek pertumbuhan, tanaman yang dikembangkan sebagai bahan baku industri pulp diharapkan mempunyai pertumbuhan yang cepat. Tulisan ini memaparkan hasil penelitian terkait pertumbuhan dan kesuburan tanah pada tegakan jabon yang dilakukan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan pada plot penelitian di Riau. Plot penelitian dibangun di Desa Pasir Intan, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Rokan Hulu. Evaluasi pertumbuhan awal jabon pada umur 28 bulan menunjukkan kemampuan hidup jabon adalah 88,33% pada plot monokultur dan 87,33% pada plot agroforestri. Pada umur 3,5 tahun volume pohon jabon pada plot monokultur adalah 17,77 m3/ha, sedangkan pada plot eks agoforestri mencapai 67,28 m 3/ha. Pada areal yang ditanami jabon kandungan C, N, KTK, dan kejenuhan basa meningkat. Kata kunci: jabon, kesuburan tanah, pertumbuhan
I. PENDAHULUAN Salah satu bentuk HTI (Hutan Tanaman Industri) yang saat ini memegang peranan penting dalam menunjang pengembangan industri kayu serat domestik adalah HTI-kayu serat atau HTI-pulp. Pentingnya pembangunan HTI-pulp antara lain dapat dilihat dari besarnya ketergantungan jenis industri ini kepada kayu serat. Pada saat ini lebih dari 90% bahan baku pulp dan kertas berasal dari kayu, karena kayu mempunyai sifat unggul, yaitu : rendemen yang dihasilkan tinggi, kandungan lignin relatif rendah dan kekuatan pulp dan kertas yang dihasilkan tinggi (Pasaribu dan Tampubolon, 2007). Jenis Acacia dan Eucalyptus yang selama ini dikembangkan oleh banyak perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp dan kertas secara monokultur mengalami banyak permasalahan. Perkembangan pemilihan jenis yang akan dikembangkan oleh HTI-pulp menunjukkan kecenderungan bahwa ada kebutuhan untuk mulai mencari jenis lain. Hal ini dikarenakan jenis yang dikembangkan saat ini cenderung tidak dapat mempertahankan produktivitasnya secara konsisten seiring pertambahan rotasi. Mindawati et al. (2010) melaporkan bahwa produktivitas Eucalyptus urograndis umur 7
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
41
tahun di Sumatera Utara menurun dari 242,m3/ha pada rotasi satu menjadi 240,1 m3/ha pada rotasi kedua. Salah satu jenis pohon lokal yang dapat dimanfaatkan sebagai penghasil serat untuk pulp adalah jabon (Anthocephalus cadamba). Persyaratan kayu sebagai bahan baku pulp antara lain terkait dengan berat jenis dan nilai dimensi serat dan turunannya. Mindawati (2007) menyatakan bahwa berat jenis kayu yang disyaratkan untuk bahan baku pulp ada pada kisaran 0,3 – 0,8. Berat jenis kayu jabon adalah 0,42 (Martawijaya et al., 1981). Berdasarkan nilai dimensi serat dan turunannya, kayu jabon termasuk ke dalam kelas II (Aprianis dan Junaedi, 2009). Nilai dimensi serat dan turunannya digunakan untuk menduga kualitas bahan baku kertas (Anonim, 1976). Dari aspek pertumbuhan, tanaman yang dikembangkan sebagai bahan baku industri pulp diharapkan mempunyai pertumbuhan yang cepat. Tulisan ini akan memaparkan hasil penelitian terkait pertumbuhan dan kesuburan tanah pada tegakan jabon yang dilakukan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan pada plot penelitian di Riau. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada plot penelitian di Desa Pasir Intan. Plot penelitian di Desa Pasir Intan, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau terdapat pada koordinat 100°11’34” - 100°12’16” BT dan 0°57’20” - 0°57’35” LU. Ketinggian tempat adalah 85 m dpl, curah hujan 247,41 mm/hari dengan suhu harian 32°C. Jenis tanah pada umumnya podsolik merah kuning dan lempung (ultisol). B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah Jabon (Anthocephalus cadamba), tegakan jabon umur 1, 2, 3 dan 4 tahun. benih kacang panjang, timun dan cabe, pupuk kimia majemuk NPK, pupuk kandang kotoran sapi, herbisida berbahan aktif paraquat, dan insektisida berbahan aktif diklorfos. C. Prosedur Penelitian Penanaman pada plot penelitian di Desa Pasir Intan dilakukan pada bulan Desember 2010, dengan jarak tanam jabon 4m x 5m. Plot penelitian terdiri dari plot
42
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
kontrol yang ditanami jabon saja (monokultur), dan plot perlakuan yang ditanami jabon dan tanaman semusim (agroforestri). Plot monokultur dan plot agroforestri terdiri atas 3 plot ulangan yang masing-masing berisikan 100 pohon. Plot berbentuk persegi panjang, setiap ulangan mempunyai luas 2000 m 2. Plot monokultur dan plot agroforestri berjarak ± 1000 m. Pengamatan terhadap jumlah tanaman jabon yang hidup, tinggi dan diameter dilakukan pada umur 28 bulan setelah tanam (BST). Penyulaman jabon dilakukan pada 3 dan 6 BST. Pemeliharaan terhadap jabon berupa pembersihan gulma dan pemberian pupuk NPK dosis 100 gram/tanaman sebanyak 3 kali setahun setiap 4 bulan sekali mulai umur 4 bulan hingga umur 2 tahun. Pemupukan dilakukan dengan menaburkan pupuk pada lubang dangkal yang dibuat mengelilingi pohon, berjarak ± 30 cm dari batang. Pada plot agroforestri penanaman tanaman semusim dilakukan 2 minggu setelah penanaman jabon dan berlangsung selama setahun. Tanaman semusim ditanam pada gawangan yang terdapat di antara jabon dengan jarak tanam 50cm x 50cm. Jenis tanaman semusim yang ditanam selama setahun berturut-turut adalah kacang panjang, timun dan cabe. Pemeliharaan tanaman semusim berupa pemupukan dengan pupuk kandang, pemeliharaan gulma, dan penyemprotan pestisida. Pengamatan pertumbuhan awal dilakukan pada umur 15 bulan dan 28 bulan. Kemampuan hidup jabon diamati pada umur 28 bulan. Pengukuran tinggi dan diamater untuk menghitung volume pohon dilakukan pada umur 1, 2, dan 3,5 tahun. Perkiraan volume pohon diperoleh dengan persamaan: V = ¼ D2HF Dimana: V : volume (m ) D : diameter (m) H : tinggi (m) F : faktor bentuk pohon (0,47) (Krisnawati et al., 2011) apabila tinggi pohon yang digunakan adalah tinggi total, bukan tinggi batang bebas cabang. Pengambilan sampel tanah untuk analisa kesuburan dilakukan pada sebelum penanaman, tahun 1, tahun 2, dan tahun 3 setelah tanam.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
43
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kemampuan Hidup Kemampuan hidup jabon pada plot penelitian secara monokultur dan agroforestri dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Kemampuan hidup jabon umur 28 bulan pada plot penelitian di Desa Pasir Intan Plot
Kemampuan hidup 28 bulan
Monokultur
88,33±4,93
Agroforestri
87,33±9,50
Dari tabel di atas terlihat bahwa pada pengamatan 28 bulan setelah tanam kemampuan hidup jabon adalah 88,33% pada plot monokultur dan 87,33% pada plot agroforestri. Secara uji statistik tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pola tanam monokultur atau pun agroforestri tidak berpengaruh pada kemampuan hidup jabon hingga 28 bulan. Ada atau tidaknya tanaman semusim tidak mempengaruhi kemampuan hidup jabon hingga umur 28 bulan. Jika dibandingkan dengan kemampuan hidup jabon 28 bulan ini dengan jenis Acacia mangium di HTI, terlihat bahwa kemampuan hidup jabon lebih baik Menurut Tim Peneliti BPHPS (2009), data PT RAPP tahun 2008 menunjukkan kemampuan Intensitas pemeliharaan tanaman semusim di antara jabon pada plot agroforestri berupa pengolahan lahan, pemupukan maupun adanya limbah organik sisa panen membantu meningkatkan kesuburan tanah yang berdampak positif pada peningkatan pertumbuhan jabon. hidup Acacia mangium pada
umur 3 tahun (36 bulan) adalah 42,64% dengan jumlah tanaman 710 batang/ha pada plot sampling permanen (PSP) dengan jenis tanah podsolik. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan persentase tumbuh tanaman jabon di Desa Pasir Intan mempunyai daya hidup yang jauh lebih tinggi dibanding Acacia mangium di PT RAPP pada umur yang lebih muda. Jenis tanah pada tanaman jabon di Desa Pasir Intan sama dengan PSP A. mangium di PT RAPP, yaitu podsolik. Mangium dan jabon merupakan jenis pohon cepat tumbuh. Analisis pertumbuhan jabon yang dilakukan Wahyudi (2012) menyebutkan bahwa persentase hidup jabon di Mandau Talawang, Kalimantan Tengah pada umur 12 tahun adalah 57,7% dengan kerapatan tanaman 641 pohon per ha. Beberapa tanaman jabon di lokasi ini mengalami kerontokan
44
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
daun yang diawali dengan pembusukan akar akibat serangan Armellaria mellea dan ada juga yang mati pucuk disebabkan jamur Gloesporium anthocephali. Sementara itu, tanaman jabon di Desa Pasir Intan hingga umur 28 tidak mengalami gangguan hama yang berarti. B. Pertumbuhan diameter dan tinggi Hasil pengamatan pertumbuhan jabon pada plot penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan jabon pada umur 15 bulan mempunyai tinggi 2,98 m dan diameter 6,48 cm pada plot monokultur; dan tinggi 4,97 m dan diameter 9,41 cm pada plot agroforestri (Tabel 2). Penelitian Junaedi dan Rochmayanto (2009) terhadap pertumbuhan awal HTI jabon umur 1 tahun di lahan mineral menunjukkan rata-rata pertumbuhan tinggi adalah 2,36 m dengan diameter 2,90 cm pada umur tegakan 1 tahun. Plot penelitian di Desa Pasir Intan menunjukkan pertumbuhan jabon yang lebih baik daripada di lahan HTI, baik secara monokultur maupun agroforestri. Tabel 2. Pertumbuhan jabon pada plot penelitian di DesaPasirIntan Plot
Pertumbuhan jabon 15 bulan
Pertumbuhan jabon 28 bulan
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Monokultur
2,98±0,22
6,48±0,41
6,12±0,26
8,24±0,49
Agroforestri
4,97±0,53
9,41±0,77
9,38±0,26
11,90±1,10
Pada umur 28 bulan pertumbuhan jabon menunjukkan rataan tinggi dan diameter 6,12 m dan 8,24 cm pada plot monokultur; 879,90 cm dan 11,90 cm pada plot agroforestri. Uji statistik terhadap tinggi dan diameter jabon pada 15 dan 28 bulan menunjukkan perbedaan signifikan (p <0.05). Pertumbuhan jabon di Desa Pasir Intan secara agroforestri lebih baik daripada monokultur. Tinggi dan diameter jabon pada agroforestri umur 28 bulan meningkat 53,33% dan 44,42% dibanding monokultur. Hal ini menunjukkan bahwa penanaman tanaman semusim selama setahun berpengaruh terhadap tinggi dan diameter jabon. Di samping mendapatkan hara dari pemberian pupuk kandang pada tanaman semusim, dekomposisi dari tanaman semusim setelah panen berakhir juga memberikan hara terhadap jabon pada agroforestri. Wahyudi dan Mindawati (2009) mengatakan pada penanaman sengon secara agroforestri pada tahun pertama di Balangan,
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
45
Kalimantan Selatan memberikan hasil terbaik dibanding sistem monokultur intensif dan monokultur konvensional. Pemberian pupuk dasar dan pupuk lanjutan untuk padi pada agroforestri dengan sengon memberikan efek positif terhadap pertumbuhan sengon. Gambar 1 menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter jabon umur 3 hingga 28 bulan. Pertumbuhan tinggi dan diameter jabon pada agroforestri untuk setiap pengamatan terlihat lebih besar dari pada jabon pada monokultur. Intensitas pemeliharaan tanaman semusim di antara jabon pada plot agroforestri berupa pengolahan lahan, pemupukan maupun adanya limbah organik sisa panen membantu meningkatkan kesuburan tanah yang berdampak positif pada peningkatan pertumbuhan jabon . Hal inipun terlihat pada sistem agroforestri untuk jenis ekaliptus pada perkebunan kecil di Brazil, sistem penanaman campuran antara Eucalyptus camaldulensis dengan kacangkacangan dan padi menunjukkan volume E.camaldulensis signifikan lebih besar dibanding E.camaldulensis secara monokultur pada 16 bulan setelah tanam (Ceccon, 2005).
Apr-13
Sep-12
Mar-12
Oct-11
Jun-11
3 6 10 15 21 28 BLN BLN BLN BLN BLN BLN
A
AGROF
Apr-13
AGROF
0.00
MONO
Sep-12
MONO
2.00
Mar-12
4.00
Oct-11
6.00
diameter (cm)
8.00
Apr-11
tinggi/ŚĞŝŐŚƚ(cm)
10.00
Jun-11
12.00
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 Apr-11
14.00
3 6 10 15 21 28 BLN BLN BLN BLN BLN BLN
B
Gambar1. Pertumbuhan tinggi (A) dan diameter (B) jabon pada plot penelitian di Desa Pasir Intan
46
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
C. Volume pohon Tabel 3 berikut memuat perkiraan volume tegakan jabon pada plot penelitian di Desa Pasir Intan. Tabel 3. Perkiraan volume tegakan jabon di Desa Pasir Intan Umur
Diameter
Tinggi
Volume
Populasi
Volume/ha
(tahun)
(cm)
(m)
pohon
(N/ha)
(m3/ha)
(m3) Monokultur 1
6,48
2,98
0,015
268
3,94
2
8,24
5,82
0,046
265
12,30
3,5
9,25
6,80
0,068
260
17,77
Ex Agroforestri 1
9,41
4,97
0,052
339
17,53
2
11,90
8,79
0,146
336
49,14
3,5
12,82
10,40
0,201
335
67,28
Tabel 3 menunjukkan pada umur yang sama terdapat perbedaan diameter, tinggi dan volume pohon jabon pada plot monokultur dan eks agroforestri. Pada umur 3,5 tahun volume pohon jabon pada plot monokultur adalah 17,77 m 3/ha, sedangkan pada plot eks agoforestri mencapai 67,28 m3/ha atau tiga kali besar. Hal ini didukung oleh volume per pohon dan jumlah populasi pada plot eks agroforestri yang lebih besar. Berdasarkan laporan BPHPS (2009) pada plot sampling permanen PT RAPP,tanaman Acacia mangium umur 3 tahun mempunyai tinggi 12,6 m, diameter 10,5 cm, volume pohon 0,08 m3. Volume pohon jabon pada plot eks agroforestri umur 2 tahun dapat melampaui volume pohon A. mangium pada umur 3,5 tahun. Menurut Indrajaya dan Siarudin (2013), pada hutan rakyat jabon di Kabupaten Garut, Jawa Barat, estimasi volume pada umur 3 tahun mencapai 95,5 m 3/ha dengan populasi 659 pohon/ha. Sementara pada plot eks agroforestri di lokasi penelitian dengan populasi separuhnya dapat mencapai volume 67,28 m 3/ha atau 70%-nya. Krisnawati et al (2011) mengatakan tegakan berumur hingga 5 tahun memiliki riap diameter rata-rata 1,2 – 11,6 cm per tahun dan riap tinggi rata-rata 0,8-7,9 m per tahun. Secara umum riap Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
47
diameter turun sekitar 2 cm per tahun dan riap tinggi sekitar 3 m per tahun sampai umur 10 tahun. Setelah itu pertumbuhan jabon turun secara signifikan. Beberapa karakteristik sifat tanah pada plot jabon di Desa Pasir intan menunjukkan perubahan nilai dari awal sebelum penanaman hingga umur 3 tahun (Tabel 4). Tabel 4. Sifat tanah pada plot jabon di Desa Pasir Intan Nilai Awal
Karakteristik
1 tahun Mono
Agrof
2 tahun Mono
Ex
3 tahun Mono
Agrof
Ex Agrof
pH
5,27 – 5,30
5,50
5,88
5,03
5,10
5,2
5,2
C (%)
0,92 – 1,76
1,16
1,39
1,04
1,09
2,5
2,2
N (%)
0,11 – 0,19
0,14
0,12
0,10
0,11
0,31
0,28
C/N ratio
9,2 – 9,3
8,30
11,60
10,88
10,06
7,47
7,79
P-tsd (ppm)
1,93 – 9,4
2,90
4,90
6,70
6,53
5,09
9,48
Ca (me/100gr)
4,12 – 4,16
2,97
4,38
4,60
5,09
6,01
6,16
Mg (me/100gr)
2,47 – 3,26
1,58
2,17
3,31
2,71
2,42
2,36
Na (me/100gr)
0,27
0,34
0,32
0,18
0,19
0,09
0,12
K (me/100gr)
0,46 – 0,48
0,68
0,80
0,74
0,80
0,25
0,27
KTK(me/100gr)
14,56 -16,33
14,56
18,41
17,60
16,92
23,7
26,1
Kejenuhan basa (%)
38,64 – 49,35
41,60
58,10
50,15
52,13
51,1
52,6
Liat (%)
58,7
56,20
43,86
50,25
48,70
61,00
51,00
Debu (%)
37 – 38,6
38,40
49,40
44,85
45,61
37,00
47,00
Pasir (%)
4,3 – 6,1
5,40
6,74
4,90
5,70
2,00
2,00
Tekstur :
Keterangan : Kriteria sifat kimia tanah berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (1987)
Pada tahun ke 3, kandungan C, N, KTK, dan kejenuhan basa meningkat. Peningkatan kandungan C dan N diperoleh dari ketersediaan bahan organik yang berasal dari serasah daun jabon. Kondisi awal vegetasi areal merupakan semak dan alang-alang. Hal ini menunjukkan kandungan unsur hara tanah pada areal yang ditanami jabon mengalami peningkatan. Nilai KTK mencerminkan besarnya kandungan basa yang dapat diikat dan dimanfaatkan oleh tanaman. Menurut Foth (1988) semakin tinggi nilai KTK suatu tanah berarti semakin banyak unsur-unsur yang dapat dipertukarkan dalam tanah,
48
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
sehingga semakin banyak unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Dengan demikian kesuburan tanah akan meningkat. IV. PENUTUP Kemampuan hidup, pertumbuhan dan volume pohon jabon hingga umur 3,5 tahun pada plot agroforestri lebih baik daripada plot monokultur. Kondisi kesuburan tanah pada plot di lokasi penelitian lebih baik dengan ditanami jabon. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Bapak Kepala Desa dan Sekretaris Desa Pasir Intan, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Rokan Hulu, Pak Sugito dan keluarga atas bantuannya pada pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (1976). Vademecum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Kehutanan. Aprianis, Y. dan A. Junaedi. (2009). Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) Sebagai Bahan Baku Pulp. Mitra Hutan Tanaman. 4(1). Ceccon, E. (2005). Eucalyptus agroforestry system for small farms : 2-year experiment with rice and beans in Minas Gerais, Brazil. Springer.New Forests 29: 261–272. Foth. (1988). Dasar-dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Hardjowigeno, S.. (1987). Ilmu Tanah. Jakarta. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Indrajaya, Y dan M. Siarudin. 2013. Daur finansial hutan rakyat jabon di Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 10 (4): 201-2011 Junaedi, A. dan Y. Rochmayanto. (2009). Studi Awal Pertumbuhan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di HTI Pulp Lahan Mineral dan Gambut. Ekspose hasil penelitian BPHPS. Pekanbaru 15 Juni 2009. Krisnawati, H., Kallio, M. dan Kanninen, M. (2011) AnthocephaluscadambaMiq.: ekologi, silvikultur dan produktivitas. Bogor. CIFOR. Martawijaya, A., I. Kartasujana , K. Kadir dan S. Prawira. (1981). Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Hutan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
49
Mindawati, N. (2007). Beberapa jenis pohon alternatif untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri pulp. Mitra Hutan Tanaman. 2 (1) : 1-7. Mindawati, N., A. Indrawan, A. Mansur & O. Rusdiana. (2010). Kajian pertumbuhan tegakan hybrid Eucalyptus urograndis di Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7 (1) : 39-50. Pasaribu, R.A dan A.P.Tampubolon. (2007). Status Teknologi Pemanfaatan Serat Kayu Untuk Bahan Baku Pulp. Workshop Sosialisasi Program dan Kegiatan BPHPS Guna Mendukung Kebutuhan Riset Hutan Tanaman Kayu Pulp dan Jejaring Kerja. (Tidak diterbitkan). Tim Peneliti Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. (2009). Laporan Hasil Penelitian. Kajian penurunan daur HTI terhadap aspek silvikultur, ekologis dan kualitas pulp. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. Wahyudi. (2012). Analisis pertumbuhan dan hasil (Anthocephaluscadamba. Jurnal Perennial. 8 http://juornal.unhas.ac.id/index.php/perennial
tanaman (1):
jabon 19-24.
Wahyudi and Mindawati, N. (2010). Monoculture versus agroforestry system in plantation management. InRimbawanto, A., Febrianto, F., Komar, E. T (eds) Proceeding International Seminar Research on Plantation Forest Management Challenges and Opportunities. Bogor, 5-6 November 2009. Centre for Plantation Forest Research and Development.
50
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
POTENSI DAN PELUANG BUDIDAYA LEBAH JENIS GALO-GALO (Trigona itama Cockerell ) DI PROVINSI RIAU Purnomo dan Syasri Jannetta
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan Jl. Raya Bangkinang – Kuok Km. 9 Kotak Pos 4 / BKN Bangkinang 28401 Telp. 0811-7500764, Fax. 0762-21370
Abstrak Lebah galo-galo (Trigona itama) merupakan salah satu jenis lebah lokal di Riau dari suku Apidae. Keberadaannya mudah dijumpai di areal hutan, kebun maupun lahan-lahan pekarangan. Sampai saat ini lebah jenis tersebut belum dimanfaatkan dan hidup liar di alam. Perkembangan teknologi perlebahan telah dapat mengungkap hasil riset produk lebah, diantaranya propolis. Hasil riset mengungkap keunggulan propolis dari marga Trigona dibandingkan produk serupa dari lebah marga Apis, sehingga saat ini kalangan usaha di bidang perlebahan mulai memanfaatkan lebah marga Trigona. Hasil riset yang dilakukan oleh Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan (BPTSTH) menunjukkan bahwa budidaya T. itama mudah dilakukan karena tidak membutuhkan tempat khusus, mudah beradaptasi dan tidak tergantung musim pembungaan. Tanaman pakan T. itama sangat beragam dari rerumputan, tanaman semak dan tanaman keras, lebah galo-galo dapat dipelihara secara menetap di lahan-lahan disekitar tempat tinggal, khususnya di pedesaan. Produk utamanya berupa propolis dan madu denga nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan produk serupa dari lebah Apis. Hasil analisa usaha budidaya lebah T. itama layak untuk dikembangkan dan dapat menjadi kegiatan usaha yang menguntungkan bagi masyarakat. Kata kunci: budidaya, T.itama, propolis, skala usaha
I.
PENDAHULUAN Usaha di bidang perlebahan sudah sejak zaman dahulu dilakukan oleh sebagian
masyarakat Riau, khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan. Usaha yang dilakukan adalah memungut atau berburu madu lebah hutan (Apis dorsata F) yang bersarang secara liar di pohon-pohon yang menjulang tinggi (rata-rata diatas 20 m). Masyarakat Riau biasa menyebut pohon yang disukai oleh lebah hutan untuk bersarang dengan sebutan “Pohon Sialang”. Selain berburu madu hutan, kegiatan budidaya lebah sayak (Apis cerana F) juga sudah dilakukan oleh sebagian masyarakat dan dipelihara di lahan-lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal mereka. Rerata produk madu hutan yang dihasilkan di Propinsi Riau pada saat ini adalah sekitar 470 ton/tahun dan menempati urutan pertama/tertinggi dibanding produksi madu hutan propinsi lain di Indonesia. Kisaran produksi madu hutan Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah 125 Ton/ ha (Julmansyah, 2007) sedangkan produksi madu Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) Propinsi Kalimantan Barat adalah 20-25 ton/th (Riak Bumi Foundation, 2012).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
51
Ketertinggalan petani lebah Riau dibanding petani lebah daerah lain seperti di
jawa atau petani lebah di negara-negara lain yang telah maju dibidang perlebahannya adalah dalam hal diversifikasi produk. Produk-produk lebah seperti bee pollen, lilin, royal jelly, bee venom dan propolis sampai saat ini belum dieksplor. Beberapa jenis lebah lokal selain A. dorsata juga belum dikelola dengan baik bahkan untuk jenis Trigona yang oleh masyarakat Riau dikenal dengan sebutan “galo-galo” sampai saat ini masih dipandang sebelah mata dan dibiarkan hidup liar di alam. Makalah ini ditulis untuk memberikan informasi kepada berbagai pihak, khususnya petani lebah madu di Riau bahwa lebah T. itama merupakan jenis lebah lokal Riau yang memiliki potensi penghasil propolis, mudah dalam budidaya dan berpeluang besar untuk diternakkan pada skala usaha rumah tangga. II.
MENGENAL LEBAH T. itama
A. Morfologi dan Taxonomi Lebah T. itama merupakan salah satu dari beberapa jenis lebah sosial yang termasuk suku apidae (Gambar 1). Lebah jenis ini tak bersengat (stingless), bertubuh kecil dan ramping, berwarna hitam dan panjang 6 mm. Memiliki kepala yang membesar ke arah depan, matanya sempit ke arah mandibula, mata majemuk (Ocelli) membentuk garis lurus pada vertek, antena filiform, torak agak membulat, abdomen pendek berbentuk oval, stigma kecil, kakinya kuat dengan bagian ujung melebar dan pipih serta berbulu (Sakagami et al., 1990, Gambar 2).
Gambar.1. Lebah Pekerja T. itama (Purnomo, 2015)
52
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Gambar.2. Morphologi T. itama (Sakagami et al., 1990)
T. itama diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas
: Insecta
Bangsa/ Ordo
: Hymenoptera
Suku/ Famili
: Apidae
Anak Suku/ Sub Famili
: Apinae
Tribus
: Meliponidae
Marga
: Trigona
Jenis /Species
: Trigona itama Cockerell
B. Koloni, Sarang dan Habitat T. itama hidup berkoloni, dalam satu koloni lebah memiliki satu ratu, lebih dari 1000 pekerja dan lebih dari 100 lebah jantan. Masing-masing individu mempunyai tugas dan saling bertautan. Lebah ratu bertugas hanya untuk bertelur dan mengendalikan koloni (Eckert & Shaw, 1977). Lebah pekerja membuat sarang, membersihkan sarang, memberikan makanan ke lebah muda dan lebah ratu, menyimpan makanan, mencari makanan dan manjaga sarang sesuai dengan tingkat umurnya. Lebah jantan bertugas hanya mengawini lebah ratu (Free, 1982). Sarang T. itama terbuat dari material resin yang berasal dari tumbuhan. Hanya memiliki satu pintu masuk dan keluar untuk semua anggota koloni. Pintu terbuat dari resin menyerupai bentuk sebuah corong, berukuran panjang yang beragam, pendek
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
53
(Gambar 3) atau panjang menyerupai belalai (Gambar 4). Salmah (1983) melaporkan bahwa sarang T. itama terbagi menjadi 3 bagian sebagian tempat untuk menyimpan anakan, nektar atau madu dan pollen (Gambar 5). Sarang T. itama berbentuk Comb yaitu susunan sel yang teratur seperti sisir (Gambar 6). Gambar.3. Pintu Keluar Masuk T. itama (Bentuk Corong) (Purnomo, 2015)
Gambar.4. Pintu Keluar Masuk T. itama (Bentuk Belalai) (Purnomo, 2015)
Gambar.5. Sarang Koloni T. itama (Brood, Sel madu, sel pollen) (Purnomo, 2015)
Gambar.6. Sisiran Brood T. itama (Bentuk Comb) (Purnomo, 2015)
T. itama banyak dijumpai hidup di hutan primer, hutan sekunder, lahan-lahan pertanian dan perkebunan (Inoue et al., 1984). Pohon yang memiliki lubang berongga adalah tempat yang paling disukai untuk bersarang dan berkembang biak (Sakagami, 1982). C. Pakan Lebah T. itama Pakan T. itama adalah cairan gula sederhana berupa nektar flora dan nektar ekstraflora seperti: pucuk/tunas daun muda atau bagian ketiak/stomata daun (nektar
54
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat). Pakan lain berupa pollen (tepungsari bunga) dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan protein, vitamin dan mineral T. itama juga membutuhkan getah (resin) tanaman untuk keperluan membangun sarang dan pertahanan diri dari berbagai gangguan. III. POTENSI DAN SEBARAN T. itama DI RIAU A. T. itama Sebagai Agen Penyerbuk Tanaman Proses penyerbukan tanaman terjadi apabila serbuksari menempel pada kepala putik. Serbuksari yang menempel pada kepala putik bisa jadi berasal dari bunga itu sendiri atau dari bunga lain dari tanaman sejenis. Akan tetapi tidak semua tanaman berbunga mampu melakukan penyerbukan sendiri. Mereka memerlukan perantara yang dapat membantu proses penyerbukan, seperti: air, angin, serangga, burung dan kelalawar (Crene & Walker, 1984). Perantara kelompok serangga yang paling efektif membantu proses penyerbukan adalah suku Apidae marga Trigona (Free, 1993). Tubuh T. itama yang mungil dengan dipenuhi bulu-bulu pada badan dan kakikakinya sangat efektif untuk membawa pollen dan berpindah ke kepala putik dalam proses penyerbukan pada tanaman. Banyaknya jenis dan luasnya sebaran lebah Trigona membuatnya banyak dimanfaatkan sebagai penyerbuk tanaman. Di Australia bagian utara, lebah Trigona digunakan untuk penyerbukan tanaman mangga (Mangifera indica, Anderson et al., 1982). Di Mexico, Amerika tengah dan Guiana Perancis, Trigona dimanfaatkan untuk peningkatan hasil panen Vanilla (Vanilla planifolia, Schwarz 1984). Di Brazil, lebah Trigona digunakan untuk membantu penyerbuk Kluwih (Arthocarpus artilis, Brantjes 1981). Produksi buah stroberi dengan proses penyerbukan melibatkan peran lebah Trigona dapat meningkatkan produksi sebesar 15 % dengan citarasa lebih manis (Erniwati, 2013). Lebah Trigona berperan penting dalam penyerbukan tumbuhtumbuhan yang hidup di hutan, sehingga membantu proses regenerasi dan suksesi tanaman. Hambali, GG (1979) mencatat 25.000 tanaman berbunga asal Indonesia proses penyerbukannya sangat tergantung pada kehadiran Trigona dan lebah lain. Banyak ilmuan menduga, bila lebah punah dari muka bumi, maka 30% sumber pangan akan ikut menurun. Di Indonesia, budidaya lebah madu marga Apis sudah populer dan banyak dilakukan, namun berbeda untuk budidaya lebah marga Trigona, pengetahuan masyarakat tentang budidaya marga Trigona masih minim. Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
55
B. T. itama Sebagai Penghasil Propolis Propolis berbentuk padat namun lembut, lentur dan sangat lengket menyerupai aspal. Propolis merupakan campuran dari liur lebah dan dengan getah (resin) yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai jenis tanaman. Sumber getah dapat berasal dari bunga, pucuk (tunas) daun, dahan yang patah atau batang yang terluka. Warna propolis bervariasi dari kuning terang, coklat kemerahan hingga hijau tergantung sumber tanamannya. Di daerah Riau, propolis T. itama yang paling sering dijumpai yang berwarna coklat gelap cenderung hitam. Propolis digunakan sebagai bahan perekat sarang dan senjata untuk melindungi diri dari berbagai gangguan seperti bakteri, cendawan, maupun virus. Letak propolis pada sarang terletak di pintu masuk sarang dan di seluruh tepian sarang yang biasanya tersimpan dengan pola zig zag (Gambar 7). Pola zig zag ini merupakan cara penyimpanan propolis yang efektif untuk mengisi celah, menyumbat jalan masuk ke sarang. Lapisan tipis yang menyelimuti sel-sel larva dan sel-sel madu juga merupakan propolis. Propolis juga berperan sebagai filter alami yang melindungi sarang lebah dari udara luar yang dapat mengancam kehidupan koloni lebah. Propolis juga menjadi lapisan antiseptik yang dilalui oleh lebah, sehingga lebah seperti “baru mandi” setibanya di pusat sarang yang steril.
Gambar.7. Raw Propolis pada sarang (pola zig zag) (Purnomo, 2015)
Potensi propolis sebagai obat sudah banyak diungkap oleh banyak ilmuan dan terbukti dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Kandungan antioksidan pada propolis sangat tinggi yaitu 9.674 atau 403 kali lebih banyak dibandingkan dengan jeruk, dankandungan fenolnya 135,68 atau 320 kali lebih banyak dibandingkan apel merah (Moppatoba, 2010).
56
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Dikatakan oleh Hasan, (2006) bahwa propolis Trigona spp mempunyai daya hambat bakteri sekitar 1,5 – 2 kali lipat dibandingkan propolis lebah bersengat (Apis), dan mengandung antibiotik golongan Anpisilin 10 mg/Kal. Menurut Moppatoba dalam Trubus (2010) propolis Trigona mengandung flavonoid 4%, sedangkan Apis hanya 1,5 % dan jauh diatas standar internasional yang hanya 1 %. Hasil penelitian Mustofa tentang Nutrisi Propolis dalam Trubus (2010) propolis mengandung lebih dari 180 unsur fitokimia, beberapa diantaranya adalah flavonoid berbagai turunan asam karbonat, fitosterol dan terpenoid. Zat tersebut diatas terbukti memiliki sifat antiinflamantesi, antimicrobial, antihistamin, anti-mutagenic dan anti alergi. Flavonoid bersifat anti oksidan yang dapat mencegah infeksi serta turut menumbuhkan jaringan. C. Sebaran T. itama di Riau Lebah T. itama dapat dijumpai dengan mudah di hampir seluruh pedesaan di Riau bahkan di seluruh pulau Sumatera. Hasil survey di alam liar Riau, koloni T. itama umumnya ditemukan di rongga-rongga pohon baik pohon yang masih hidup maupun yang sudah mati (Gambar.8).
Pohon Rambutan
Pohon Jengkol
Pohon Cempedak Air
Pohon Roda-roda
Gambar.8. Beberapa rongga pohon yang ditempati koloni T. itama (Purnomo. 2015)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
57
Data hasil survey keberadaan koloni yang bersarang di alam di Dusun Sei Maki desa Kuok, Kecamatan Kuok, Kabupaten Kampar Riau bulan Pebruari 2015 dapat dilihat pada Tabel 1: Tabel 1. Pohon yang dijadikan tempat bersarang lebah T. itama Dusun Sei Maki,Kuok, Kabupaten Kampar pada bulan Februari 2015 Jumlah pohon
Rerata
yang dijadikan
Volume
sarang
Rongga (cm3)
Rambutan (Naphelium lappaceum Linn)
26
8.770
Jengkol ( Phitecolobium lobatum Benth)
22
4.570
Cempedak (Artocarpus champeden Spreng)
14
4.780
Akacia ( Acacia mangium Willd)
11
6.770
Angsana (Pterocarpus indica Willd)
8
4.280
Roda-roda (Hura crepitans Linn )
6
4.860
Jenis pohon
Berdasarkan tabel 1 diperoleh informasi bahwa di Dusun Sei Maki, Kuok, Kampar, Riau sediktinya dijumpai 6 jenis pohon yang dijadikan tempat bersarang T.itama. Jenis pohon yang dominan adalah jenis rambutan (Naphelium lappaceum) 26 koloni. Kesukaan T.itama bersarang di pohon rambutan diduga karena rata-rata volume rongga pada jenis rambutan (8770 cm3) adalah lebih luas dibandingkan rongga batang dari jenis-jenis yang lain. Dugaan lain mengapa T. itama tertarik pada pohon tertentu adalah adanya pengaruh senyawa kimia yang terkandung pada jenis pohon tertentu yang menjadi senyawa attractant bagi jenis T. itama. Hal ini didukung Bankova (2005) yang menyatakan bahwa kelompok lebah stingless bee (Trigona spp) menghabiskan waktunya lebih banyak untuk mengumpulkan resin (60 - 70%) yang digunakan sebagai pertahanan dirinya dari serangan penyakit dan musuh. Sedangkan 30% sisa waktunya digunakan untuk mengumpulkan nectar dan pollen. Tabel 1 menginformasikan bahwa sekitar 3 jenis pohon merupakan pohon yang memiliki kandungan resin, diantaranya adalah rambutan, cempedak, dan akasia. Menurut Eltz et al. (2003), resin yang diperoleh oleh T.itama di konversi menjadi propolis melalui serangkain proses enzimatis.
58
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Sarang T. itama di alam ditemukan berada di dalam lubang atau rongga batang pohon yang kering. Berbeda dengan jenis lebah penyengat, pintu masuk dan keluar pada lebah jenis Trigona berupa lubang menyerupai belalai dan hanya berjumlah satu untuk setiap sarangnya. Senyawa yang menyusun lubang terowongan tersebut terbuat dari resin tanaman (Salmah, 1983). Menurut Bankova et al. (2000), sebanyak 91.55 % species Trigona sp. bersarang pada pohon yang masih hidup dan sebanyak 0,5 % bersarang pada pohon yang telah mati. IV. PELUANG PENGEMBANGAN BUDIDAYA T. itama DI RIAU A. Kondisi Lokasi Pendukung Budidaya lebah T. itama Lebah T. itama umumnya menyukai daerah dengan suhu 26-340C dan itu sesuai dengan suhu di Riau yang berkisar 26-310C. Selain kondisi iklim, dan keberadaan vegetasi di Riau yang sangat beragam, memberi harapan untuk pengembangan usaha budidaya T. itama secara luas. Beberapa jenis tanaman yang dikunjungi lebah T. itama sebagai sumber nektar, pollen dan atau getah terlihat pada tabel 2. Tabel. 2. Jenis tanaman dan bagian tanaman yang dikunjungi lebah T. itama No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jenis Tanaman Nama Lokal Mangga Manggis Keluwih Nangka Sawo Jarak Nyamplung Pulai Juwet Kumbi Buni Ela-ela Belimbing Jambu Biji Jambu Air Jambu Mete Kelapa Jeruk
Nama Latin Mangifera indica Garcinia mangostana L Artocarpus altilis Artocarpus heterophyllus Manilkara kauki Jatropha sp Canophylum innophylum Alstonia scholaris Syzygium cumini Ervatamia sphaerocarpus Antidesma bunius (l) Spring Sansevieria trifasciata Averhoa sp Psidium guajava Eugenia aquea Anacardium occidentale Cocos nucifera Citrus sp
Bagian Tanaman yang dikunjungi Nektar Pollen Getah V v v V v V v V v V v V v V v v V v v V v v V v v V v V V v V v V v V v V v V v -
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
59
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55
Alpukat Coklat Rambutan Pinang Areca Aren Flamboyan Bidara Asam Bantenan Sonokeling Pisang Pepaya Buah Naga Randu Durian Kelengkeng Kacang Jagung Cempaka Matahari Bougenvil Kendal Ceruring Kepundung Bunga Bangkai Kelor Asoka Anggrek tanah Kenanga Euphorbia Mawar Bunga Pukul 8 Matoa Akasia Kelapa Sawit Mengkudu Meranti
Persea gratissima Gaertn Theobroma cacao Nephelium lappaceum catechu L Arenga pinnata Delonix regia Ziziphus mauritiana Tamarindus indica Spandias pinnata Dalbergia latifolia Musa sp Carica papaya Hylocereus undatus Ceiba pentandra Durio zibethinus Niphelium longanum Arachis hypogaea Zea mays Michelia sp Helianthus annuus Bougainvillea glabra Cordia obliqua Auct Lansium domesticum Correa Baccaurea racemosa Muell. Amorpophalus sp Moringa oleifera Saraca asoca (Roxb.) Wilde Spathoglottis plicata Cananga odorata Euphorbia dentata Michx Rosa sp Turnera ulmifolia L Pometia pinnata Acacia mangium Elaeis guineensis Jacq. Morinda citrifolia L Shorea sp
V V V V
v v v
-
V V V V V V V V V V V V V V V V V V
v v v v v v v v v v v V V
-
V V V
-
-
V V V V
v
v -
V V -
v v
-
V -
v -
V
Sumber :
Hasil pengamatan aktivitas lebah di Dusun Sei Maki, Desa Kuok, Kecamatan Kuok, Bulan Februari – April 2015
60
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Pemindahan koloni yang bersarang di rongga pohon ke lokasi tempat budidaya dapat dilakukan dengan melihat kondisi pohon. Pemindahan koloni ini dapat dilakukan dengan memotong batang atau cabang yang berisi koloni lebah atau juga dengan tidak dipotong. Bila memungkinkan, batang akan dipotong sepanjang 50-100 cm tergantung besar kecilnya sarang mereka. Setelah dipotong batang pohon dibiarkan di tempat semula sampai matahari terbenam atau malam hari. Pada sore hari lebah-lebah pekerja yang sedang diluar mencari makan akan kembali ke dalam sarang. Setelah koloni lebah lengkap, potongan batang dapat dipindah ke tempat yang diinginkan. Jika tidak memungkinkan di bawa malam hari, maka potongan batang yang berisi koloni lebah tersebut dimasukkan kedalam karung dan langsung dibawa ke tempat yang kita inginkan. Konsekuensinya, koloni lebah tidak sempurna karena ada beberapa lebah pekerja yang sedang diluar akan tertinggal. Tetapi apabila batang pohon tidak memungkinkan untuk dipotong, maka sarang anakan (brood) yang terdapat pada rongga pohon dapat dipindahkan langsung ke kotak pemeliharaan. Setelah sarang anakan berhasil dipindahkan ke kotak, lubang masuk kotak diolesi cerumen sel atau memindahkan cerobong pintu ke lubang kotak agar lebah dapat mengenali koloninya. Kotak yang berisi sarang anakan ditempatkan terlebih dahulu di tempat semula agar lebah pekerja yang berada diluar masuk ke dalam kotak. Setelah koloni lebah lengkap, kemudian kotak tersebut dapat dipindahkan ke tempat yang diinginkan. 2. Memancing dan membuat perangkap. Perangkap terbuat dari ruas bambu yang diberi lubang pada bagian bawah dengan diameter 15 mm dan digantung vertikal di cabang-cabang pohon yang agak terlindung (Gambar.10). Lebah yang masuk adalah koloni hasil penangkaran alami bukan koloni lebah yang bermigrasi. Koloni Trigona tidak mempunyai sifat yang suka migrasi, seperti genus Apis. Setelah bambu terisi koloni lebah maka bambu tersebut dapat dipindah ke lokasi yang diinginkan. Budidaya dapat dilakukan dengan tetap menggunakan bambu tersebut sebagai tempat bersarang, atau sel-sel anakan (brood) dipindahkan ke dalam kotak yang telah kita siapkan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
61
Gambar.10. Perangkap Bambu (Purnomo, 2015)
C. Beberapa Kemudahan Budidaya lebah T. itama 1.
Budidaya dengan cara menetap Ukuran tubuh T. itama yang lebih kecil dari tubuh lebah A. mellifera dan A. cerana
F memungkinkan mereka masuk ke kelopak bunga yang cukup kecil sehingga ketersediaan pakan T. itama lebih beragam. Budidaya T. itama tidak perlu digembalakan dan cukup ditempatkan di sekitar rumah (Gambar 11).
Gambar 11. Budidaya T. itama di sekitar BPTSTH, Kuok
Lebah dari genus Apis, misalnya A. mellifera membutuhkan sumber nektar dan polen yang melimpah sebagai pakan. Jika ketersediaan pakan ini tidak lagi memadai, peternak lebah akan menggembalakannya mengikuti siklus pembungaan tanaman sumber pakan. Hal sebaliknya justru terjadi pada genus Trigona. T. itama bukan lebah penghasil madu yang utama maka kebutuhan nektar dan polen tidak terlalu besar. Dengan sumber pakan yang terbatas, ia masih bisa bertahan hidup. T. itama lebih banyak menghasilkan propolis, sehingga getah pohon harus dalam jumlah yang memadai. Getah berbagai pohon tetap tersedia sepanjang hari selama pohon tersebut hidup.
62
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
2. Tidak perlu dipelihara secara itensif Budidaya lebah T. itama tidak sama dengan budidaya lebah A. mellifera atau A. cerana yang membutuhkan perhatian khusus dari pemiliknya. Dalam budidaya T. itama cukup ditempatkan pada tempat teduh. Sarang bisa berupa satu ruas bambu yang dilubangi pada bagian bawah sebagai pintu, kotak kayu (papan) sederhana, atau silinder yang terbuat dari pohon aren. T. itama adalah lebah liar yang biasa hidup bebas di alam dan mengurus sendiri seluruh kebutuhan hidupnya. Trigona akan mencari sendiri nektar, polen dan nutrisi lainnya. Dengan ketersediaan sumber pakan yang minim, T. itama mampu bertahan dan tidak mudah bermigrasi. Namun, yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan pohon penghasil getah. 3. Tidak perlu peralatan khusus Untuk membudidayakan A. mellifera, dibutuhkan sejumlah peralatan, misalnya masker, alat pengasap, pisau, sikat lebah, pengungkit, kotak eram, kotak kawin, kotak starter, polen trap, tempat air, cadangan makanan (feeder frame), serta ekstraktor. Budidaya T. itama tidak memerlukan peralatan, cukup menyediakan kotak budidaya, penutup rambut, pisau panen untuk mengambil propolis dan penyedot madu untuk pemanenan madu. 4. Tidak perlu takut disengat T. itama adalah lebah berukuran sangat kecil dan tidak memiliki sengat. Ketika kotak dibuka untuk mengecek atau memanen propolis, masker sebagai pelindung dan alat pengasapan untuk mengusirnya tidak diperlukan. Jika mereka merasa terganggu, mereka akan menggigit, tetapi gigitannya tidak sakit. T. itama juga punya kebiasaan mengerumuni rambut di kepala seseorang yang dianggapnya mengancam keberadaan koloninya. Saat itu T. itama akan mengeluarkan propolis dan menempel di rambut sehingga rambut perlu ditutupi. 5. Tahan hama penyakit Sarang T. itama tertutup dengan lubang sempit, ditambah kondisi dalam sarang (cadangan madu,polen,dan royal jelly) dipenuhi propolis, sehingga T. itama tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang biasa ditemukan pada lebah Apis, tidak dikenal pada kehidupan lebah T. itama. Hama yang kadang ditemukan pada sarang T. itama adalah semut, namun jarang terjadi.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
63
6. Tidak mengenal masa paceklik Masa paceklik atau produksi yang menurun pada budidaya lebah A. mellifera biasa terjadi. Bahkan, masa paceklik sudah merupakan rutinitas tahunan. Kondisi perubahan iklim, misalnya hujan hampir di sepanjang tahun, masa paceklik panjang adalah risiko yang harus dihadapi. Pada masa paceklik, ketersediaan nektar daan polen dari alam menurun di bawah kecukupan bagi koloni lebah. Nektar adalah karbohidrat sumber energi kehidupan lebah. Jika karbohidrat ini lebih dari kebutuhan hidupnya, lebah mengubahnya menjadi madu. Para peternak biasa menyediakan gula agar lebah tetap bertahan hidup dan tidak kabur. Sedangkan pollen, merupakan senyawa protein yang digunakan oleh lebah untuk pertumbuhan dan perkembangan koloni. Jika ketersediaan polen minim maka pertumbuhan dan pertambahan koloni terhambat, bahkan terhenti. Kesulitan rutin yang biasa terjadi saat masa paceklik pada lebah genus Apis, tidak berlaku untuk lebah T. itama. Hal ini karena, 1). T. itama adalah lebah berbadan mini, sehingga kebutuhan terhadap nektar dan polen tidak terlalu besar, 2). T. itama bukanlah lebah yang memproduksi madu sebagai hasil utama, sehingga tidak membutuhkan nektar dalam jumlah yang banyak, 3). T. itama mampu mengambil sumber nektar yang jauh beragam dan luas, 4). T. itama lebih suka memproduksi propolis, dimana getah sebagai sumbernya relatif tersedia sepanjang tahun. 7. Produktivitas propolis lebih tinggi Kemampuan T. itama dalam memproduksi propolis lebih tinggi dibanding A. mellifera. Fenomena ini terjadi secara alamiah, karena T. itama adalah lebah yang lemah. Oleh karena itu, sebagai bentuk pertahanan diri beserta koloninya, T. itama dianugerahi kemampuan memproduksi propolis. Propolis ini akan melindunginya dari ancaman predator dan hama lainnya. V.
PRODUK DAN ANALISA BIAYA BUDIDAYA LEBAH T. itama Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa produk utama dari budidaya
lebah T. itama adalah propolis. Produksi propolisnya dapat mencapai 80 %, atau produksi propolis 5x lebih besar dari lebah A. cerana dan A. mellifera. Dalam satu koloni, produksi propolis Trigona dapat mencapai 3 kilo per tahun, lebah genus Apis hanya berkisar 20 – 30 gram saja per tahunnya. Harga raw propolis T. itama pada saat ini berkisar Rp 400.000,-/Kg. Selain propolis, lebah T. itama juga menghasilkan madu, walaupun tidak
64
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
sebanyak madu yang dihasilkan oleh lebah marga Apis. Satu koloni T. itama bisa menghasilkan 100-500 ml madu per panen. Dalam satu tahun dapat dilakukan 4 kali pemanenan. Harga madu T. itama pada saat ini berkisar Rp 250.000,-. – Rp. 300.000,/liter. Dengan asumsi analisa usaha budidaya T. itama selama 5 tahun (lampiran 1), dengan jumlah 50 koloni (0 Tahun), 75 koloni (1 Tahun 50 + 25 koloni hasil penangkaran), 100 koloni (2 Tahun 50 + 50 koloni hasil penangkaran), 150 koloni (3 Tahun 50 + 150 koloni hasil penangkaran), 200 koloni (4 Tahun 50 + 150 koloni hasil penangkaran), 250 koloni (5 Tahun 50 + 200 koloni hasil penangkaran), Setiap 25 koloni T. itama di jaga oleh 1 orang tenaga upah, panen madu dan propolis dilakukan setiap 3 bulan sekali atau 4 kali dalam 1 tahun, panen propolis mentah kisaran 300 gr – 400 gr per koloni per 3 bulan, panen madu antara 250 - 300 ml per koloni, dan suku bunga tetap 12% maka dihasilkan NPV sebesar Rp. 291.255.449,-/5 tahun dengan BCR 2,56. Hasil analisa usaha
di
atas
mengindikasikan
bahwa
usaha
kemitraan
perlebahan
antara
investor/perusahaan dengan masyarakat desa akan memberikan profit yang tinggi bagi semua pihak yang terlibat. VI. PENUTUP Budidaya T. itama sangat mudah dilakukan karena tidak membutuhkan tempat khusus, mudah beradaptasi dan tidak tergantung musim pembungaan. Tanaman pakan T. itama sangat beragam dari rerumputan, tanaman semak sampai dengan tanaman keras sehingga lebah tersebut dapat dipelihara secara menetap di lahan-lahan di sekitar tempat tinggal, khususnya di pedesaan. Produk utama yang berupa propolis dan madu mempunyai nilai jual lebih tinggi dibandingkan produk serupa dari lebah Apis. Hasil analisa usaha budidaya lebah T. itama sangat layak untuk dikembangkan dan dapat menjadi kegiatan usaha yang menjanjikan bagi masyarakat. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada (Alm) Harris, Suhendar, Avry Pribadi dan Michael Daru Enggar Wiratmoko yang telah membantu dalam pengelolaan koloni Trigona itama ini.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
65
DAFTAR PUSTAKA Anderson,D.L., M. Sedgley., J.R.T. Short & A.J. Allwood 1982. Insect Pollination of Manggo in Northern Australia. Aust.J. Res.33: 541-548. Bankova. V. 2005. Chemical diversity of propolis and the problem of standardization. J. Ethnoplarm. 100: 114 - 117. Bankova. V. de Castro SL., Marucci MC. 2000. Propolis Recent advances in Chemistry and Plant Origin. J. Apiologic. 31: 3 - 15. Brantjes, N.B.M. 1981. Nectar and Pollination of bread fruit Artocarpus altilis. Morales. Acta Bot. Neerl (4): 345 - 352. Crane,E & P. Walker. 1984. Pollination directory for world crops. London. International Bee Research Association. 183 pp. Eckert, J.E. & F.R. Shaw. 1977. Beekeeping. New York Mac Millan Publishing Co Inc. 536 pp. Erniwati. (2013). Kajian Biologi Lebah Tak Bersengat (Apidae : Trigona) di Indonesia. Fauna Indonesia. 12(1): 29-34. Free,J.B. (1982). Bees and Mankind . London George Allen & Unwin. xi +455 pp. Free,J.B. (1993). Insect Pollination of Crops. London. Academic Press. 544 pp. Hasan,A.E.Z. (2006). Potensi Propolis Lebah Madu Trigona spp Sebagai Bahan Antibakteri. Seminar Nasional HKI. Bogor. Hambali , G.G. (1979). Potensi Lebah Getah Trigona. Kongres Nasional Biologi IV. Perhimpunan Biologi. Bandung. pp 1-10. Inoue,T.,S.F. Sakagami., S.Salmah & S. Yamane. (1984). The Process of Colony Multiplication in the Sumatera Stingless bees Trigona (Tetragonula) leeviceps Moppatoba. (2010). Propolis dari Lebah Tanpa Sengat Cara Ternak dan Olah. Trubus Swadaya, Depok. Sakagami, S.F., T.Inoue., S. Salmah. (1990). Stingless Bees of Central Sumatera in: Ohgushi R., Sakagami,S.E and Roubik, D.W. (Eds). Natural History of Social Bees in Eguatorial Sumatera. Hokaido University Press, Japan. pp. 125-137. Sakagami, S.F. (1982). Stingles Bees in : H.R. Herman (ed) 1082. Social Insects. Academic Press, New York.
66
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Salmah, S. (1983) Aspek Morphologi dan Ekologi lebah tak bersengat Trigona (Tetragonula) leaviceps smith di Sumatera Barat. Prosiding Kongress Entomologi II, Jakarta. Schwarz, H.Z. (1948). Stingless bees (Meliponinae) of The Western Memisphone Bult. Am. Mus. Nat. Hist. 90(XVIII). 546 pp.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
67
68
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
ANALISA FINANSIAL USAHA LEBAH MADU6KVCOC
SERANGAN HAMA DAN PENYAKIT DAUN PADA PERIODE PERMUDAAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.) Avry Pribadi
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan – Kuok Jl. Raya Bangkinang – Kuok km 9, Kotak Pos 4/BKN Bangkinang 28401 – Riau
[email protected]
ABSTRAK Kebun jabon memiliki permasalahan serius dalam serangan hama dan penyakit yang dapat mengurangi produktivitas tegakan. Beberapa studi terdahulu menyatakan bahwa keberadaan hama dan penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti temperatur, kelembaban, dan intensitas cahaya. Tujuan penelitian adalah untuk (1) mengetahui tingkat serangan hama dan penyakit pada tegakan jabon di dua musim (hujan dan kemarau) dan (2) mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit pada musim hujan dan kemarau. Pengamatan pada Hutan Rakyat (HR) Pasir Pangaraian menunjukkan penurunan tingkat serangan penyakit bercak daun (leaf spot) pada bulan Maret s.d bulan November (36.33% to 35.34%). Kecenderungan yang serupa juga terjadi pada serangan hama ulat (A. hilaralis) yang menunjukkan penurunan (27.59% di bulan Maret dan 6.26% di bulan November), kepik (C. sumatranus) yang menunjukkan penurunan dari 9.14% di bulan Maret dan 1.89% di bulan November. Persamaan regresi menunjukkanbahwa temperatur, kelembaban, curah hujan, dan jumlah hari hujan mempengaruhi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh hama dan penyakit sebesar 49,3% pada musim kemarau (Maret) dan 46% pada musim hujan (November). Sementara itu pada HR Beringin, penyakit bercak daun menunjukkan peningkatan serangan sebesar 50% pada musim kemarau ke 73,53% pada musim hujan. Sedangkan pada hama ulat pemakan daun (A. hilaralis) menunjukkan kecenderungan yang sama yaitu meningkat pada musim hujan (5% pada musim kemarau dan 7,35% pada musim hujan). Kata kunci: hama dan penyakit, jabon, kejadian serangan, tingkat kerusakan, faktor abiotik
I. PENDAHULUAN Jenis Acacia dan Eucalyptus yang selama ini dikembangkan oleh banyak perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp dan kertas dalam pola yang monokultur memungkinkan munculnya berbagai permasalahan. Salah satunya adalah serangan hama yang dapat menurunkan kualitas tegakan. Serangan hama ini bahkan menunjukkan kemungkinan yang meningkat setiap rotasinya. Nair (2001) menyatakan bahwa serangan hama Coptotermes curvignathus pada HTI Acacia mangium di Malaysia dapat menurunkan tegakan sebesar 10%-50%. Selain itu Sudarmalik (2008) menyatakan bahwa biaya operasional untuk pembangunan HTI Acacia crassicarpa pada lahan gambut mengalami peningkatan untuk setiap rotasinya, dikarenakan kebutuhan nutrisi tanah yang meningkat dan harus diganti dengan input pupuk.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
69
ini adalah untuk mengetahui (1) perbedaan tingkat serangan berbagai jenis hama dan penyakit pada jabon di HR Riau pada umur 1 tahun dan 2 tahun pada musim hujan dan kemarau dan (2) pengaruh beberapa faktor abiotik (temperatur, kelembaban, dan curah hujan) terhadap tingkat serangan hama dan penyakit di musim hujan dan kemarau. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini berlokasi di HR Pasir Pangaraian yang berumur 2 tahun dan HR Pekanbaru (Beringin) yang berumur 1 tahun. Penelitian ini berlangsung selama 10 bulan mulai bulan Maret s.d Desember 2012. B. Rancangan penelitian Masing-masing lokasi penelitian (HR Pasir Pangaraian dan HR Beringin) dilakukan pengamatan sebanyak 2 kali yaitu pada musim kemarau (bulan Maret) dan musim hujan (bulan November) tahun 2012. Alasan pemilihan kedua musim tersebut adalah ingin mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat serangan dan keparahan oleh hama dan penyakit yang menyerang jabon. Penentuan petak pengamatan dilakukan dengan metode systematic sampling. Pemilihan petak pengamatan dilakukan dengan memperhatikan keterwakilannya terhadap beberapa faktor, diantaranya kemiringan (slope), kedekatan dengan akses jalan, dan sumber air. Setiap petak pengamatan yang terpilih kemudian dilakukan pengamatan terhadap keseluruhan jumlah tegakan yang berada pada plot tersebut (sensus). Pengamatan dilakukan terhadap tingkat kesehatan per tegakan yang meliputi organ daun, tunas, batang, dan akar. Penilaian tingkat kerusakan oleh hama dan penyakit berdasarkan tingkat keparahan (severity level) dengan mengacu pada penilaian kesehatan hutan menurut Irwanto (2010). Pengamatan dilakukan terhadap kejadian dan tingkat serangan oleh berbagai jenis hama, penyakit dan jenis kerusakan lain yang menyerang jabon. C. Pengolahan dan analisa data 1.
Pengolahan data Penghitungan kejadian serangan hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan rumus menurut Tulung (2000);
70
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
K =n x 100% N Keterangan: K = Kejadian serangan oleh hama tertentu n = Jumlah tanaman yang terserang oleh hama tertentu N = Total jumlah tanaman Tingkat kerusakan/keparahan akibat serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ditentukan dengan rumus Kilmaskossu dan Nerokouw (1993): I =ni . Vi x 100% N.V Keterangan: I : Tingkat kerusakan per tanaman ni : Jumlah tanaman dengan skor ke-i Vi : Nilai skor serangan N : Jumlah tanaman yang diamati V : Skor tertinggi
Untuk tingkat skor yang digunakan adalah: 0 : sehat 1 : Sangat Ringan (serangan 1% - 20%) 2 : Ringan (serangan 21% - 40%) 3 : Sedang (serangan 41% - 60%) 4 : Berat (serangan 61% - 80%) 5 : Sangat Berat (serangan 81% - 100%).
D. Analisa data Data yang diperoleh di tabulasi dengan menggunakan beberapa kategori (parameter), berdasarkan jenis kerusakan/penyebab kerusakan, organ tanaman yang terserang, dan tingkat kerusakan/ intesitas serangan. Kemudian data tersebut dilakukan analisa secara deskriptif kuantitatif dengan melakukan komparasi pada 2 musim (musim kemarau dan hujan). Data berupa tingkat serangan (severity level)/ intensitas serangan dan kejadian serangan dilakukan pengujian secara statistic (t- test) untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat/keparahan dan kejadian serangan oleh OPT (hama perusak daun yang disebabkan oleh ulat A. hilaralis dan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh kelompok dari Pestalotia sp., Cercospora sp., Curvularia sp., dan Colletotrichum sp.) pada musim hujan dan kemarau. Data sekunder berupa temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan yang diperoleh dari BMKG Pekanbaru dianalisa secara regresi multivariate linear dan korelasi Pearson (pearson correlation) untuk mengetahui pengaruh dari beberapa faktor abiotik tersebut di musim hujan dan kemarau terhadap tingkat keparahan daun yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit daun (severity level).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
71
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tingkat serangan hama dan penyakit pada jabon di HR Pasir Pengaraian (jabon umur 2 tahun) dan HR Beringin (jabon umur 1 tahun). Pengamatan tegakan jabon umur 2 tahun pada HR Pasir Pangaraian menunjukkan tingkat kerusakan tertinggi disebabkan oleh penyakit bercak daun (leaf spot) pada bulan Maret (musim kemarau) (36.33%). Sedangkan pada musim hujan penyakit bercak daun hanya menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (35.34%), akan tetapi masih merupakan tipe kerusakan yang paling dominan (Tabel 1). Hal ini berbeda dengan pernyataan Anonim (1971) dalam Sutarman et al., (2004) yang menyatakan bahwa penularan propagul infektif patogen terjadi lewat pemencaran oleh percikan air hujan maupun penyiraman secara manual atau dengan alat penyiram otomatis. Konidiospora Pestalotia theae (penyebab bercak daun pada bibit tanaman Pinus merkusii) dari tumbuhan sakit atau sisa tanaman sakit dapat disebarkan melalui kontak, percikan air dan aliran udara lokal, dan diduga dengan demikian juga bersifat sebagai patogen tular tanah. Sehingga diduga ada faktor lain yang menyebabkan mengapa tidak ada perbedaan intensitas serangan penyakit bercak daun di musim hujan dan kemarau. Sedangkan penyakit yang diduga disebabkan oleh defisiensi hara (kekurangan unsur N) terlihat dengan penampakan gejala perubahan warna daun menjadi kuning pucat menunjukkan peningkatan persentase sebesar 4.29% pada musim hujan. Peningkatan ini terjadi diduga ada hubungannya dengan tekstur tanah di lokasi ini yang didominasi oleh pasir. Berdasarkan penelitian Rahmayanti, et al., (2013) menunjukkan bahwa tekstur tanah di lokasi HR Pasir Pangaraian didominasi pasir sebesar 92% dan sisanya adalah debu serta tanah liat. Hal ini jika dihubungkan dengan limpasan air hujan maka pemberian pupuk NPK yang dilakukan pada musim hujan akan dengan mudah tercuci ke dalam tanah, tetapi tanah tidak memiliki kemampuan untuk mengikat unsur yang ada pada pupuk tersebut sehingga tanaman tetap mengalami kekurangan unsur N yang diperlihatkan dari daun yang berwarna kuning pucat. Sedangkan pada musim kemarau, hara yang tersedia pada pupuk NPK tidak mudah lolos karena limpasan maupun infiltrasi air hujan terjadi lebih lambat jika dibandingkan pada musim hujan sehingga diduga mampu memberikan kesempatan bagi akar untuk menyerapnya. Hal ini didukung oleh studi Marno (2013) yang menyatakan bahwa daya larut merupakan kemampuan suatu jenis pupuk untuk terlarut dalam air. Daya larut juga menentukan cepat atau lambatnya
72
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
unsur hara yang ada di dalam pupuk untuk diserap tanaman atau hilang karena tercuci. Pupuk dengan daya larut tingi lebih cepat diserap oleh tanaman, tetapi mudah tercuci oleh hujan. Pupuk yang mengandung nitrogen biasanya mempunyai daya larut yang tinggi. Selain itu, Chaerun dan Anwar (2008) menyatakan bahwa aplikasi pupuk N pada lahan pertanian dengan irigasi akan mengalami kehilangan N yang akan larut dalam air irigasi atau air permukaan. Pada aplikasi pupuk nitrogen tersebut mengalami kehilangan sekitar 80% yang dilarutkan sebagai aliran air permukaan jika dibandingkan dengan tanpa pemberian pupuk nitrogen (0 kg/ha). Aplikasi irigasi dan curah hujan merupakan faktor yang mempercepat terjadinya kehilangan NO 3-N pada zona perakaran dalam tanah melalui proses leaching yang bergerak melalui zona tidak jenuh air. Kualitas hidup tanaman juga sangat bergantung dari ketercukupan hara dari lingkungannya. Selain ditentukan oleh kemampuan tanaman dalam menyerap, perolehan hara juga tergantung dari tingkat ketersediaan hara di tanah. Tingkat kebutuhan hara antar tanamannya pun berbeda-beda (Fitter dan Hay, 1992). Tabel 1. Rekapitulasi tingkat serangan berbagai kerusakan (jenis, lokasi, dan keparahan) pada musim kemarau dan hujan pada tegakan jabon di HR Pasir Pangaraian Parameter Jenis kerusakan Persentase Maret Persentase Nov Lokasi kerusakan Persentase Maret Persentase Nov
Jenis OPT (Organisme Penggangu Tanaman) 1 Bercak daun
2 (Arthrochista hilarallis) Ulat pemakan daun
36.33ns
3 Belalang
4 (Cosmoleptrus sumatranus) Kepik
5 Perubahan warna daun
27.59
9.47
9.14
5.35
35.34ns
6.26
31.05
1.89
9.64
Daun
Batang
Akar
66.73ns
23.84ns
9.43ns
64.77 ns
24.38 ns
10.85 ns
Keterangan: Kategori penilaian untuk tingkat keparahan 1 : sangat ringan (dengan tingkat keparahan 0%-20%) 2 : ringan (dengan tingkat keparahan 21%-40%) 3 : sedang (dengan tingkat keparahan 41%-60%) 4 : berat (dengan tingkat keparahan 61%-80%) 5 : sangat berat (dengan tingkat keparahan 81%-100%)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
73
Pada pengamatan jenis kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama, menunjukkan kemungkinan penurunan dominasi pada persentase jenis serangan hama defoliator (A. hilaralis) sebesar 21.33% pada musim hujan. Kemungkinan yang sama juga terjadi pada serangan kepik penghisap (Cosmoleptrus sumatranus) yaitu mengalami penurunan sebesar 7.25% pada musim hujan. Hal ini berbanding terbalik dengan hama belalang (ordo orthoptera) yang menunjukkan kean peningkatan pada musim hujan sebesar 21.58%. Hal ini didukung oleh pernyataan Subyanto (2000), adanya curah hujan akan menambah kelembaban dan mempengaruhi vegetasi tanaman yang dibudidayakan. Hal ini mendorong keadaan yang cocok untuk perkembangan serangga hama, karena ketersediaan makanan yang cukup. Akan tetapi tidak semua jenis serangga mengalami perkembangan pada musim hujan, dan sebaliknya serangga-serangga tertentu pada musim hujan mengalami kematian. Serangga-serangga yang berkembang biak pada musim kemarau, misalnya jenis kutu tanaman (ordo homoptera dan hemiptera) karena pengaruh hujan yang berupa butiran-butiran air merupakan tenaga mekanis dapat mematikan serangga ini. Sebagai contoh hama belalang (Valanga nigricornis) bertelur pada akhir musim hujan atau awal musim kemarau, kemudian menetas dan berkembang menjadi dewasa pada musim hujan. Sebelum musim hujan berakhir, belalang betina dewasa bertelur lagi di dalam tanah dan telur tersebut akan tetap dorman (diapause) selama musim kemarau. Pada pengamatan tingkat kesehatan tegakan jabon umur 2 tahun menunjukkan peningkatan kesehatan jika dibandingkan pada musim kemarau (Gambar 1). Kemungkinan ini terlihat dari rendahnya tingkat kerusakan daun pada tegakan jabon pada yang berada pada kategori kerusakan sedang dan berat di musim hujan dibanding pada musim kemarau. Dugaan awal adalah pengaruh dari air hujan yang menyebabkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit meningkat yang terlihat dari peningkatan turgoritas. Menurut Yaacob and Tindall (1995), ketahanan turgor pada tanaman tidak hanya disebabkan oleh faktor endogen tetapi juga karena adanya gangguan luar (mekanis) misalnya curah hujan, angin, dan benturan fisik. Selain itu, menurut Syah et al. (2007), berkurangnya kandungan air tanah pada musim kemarau akan menyebabkan terganggunya fisiologis tanaman yang kemudian akan berdampak pada rentannya dinding sel tanaman (kehilangan turgoritas) sehingga faktor-faktor eksternal seperti jaringan hifa
74
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
dari fungi pathogen menjadi semakin mudah masuk ke dalam jaringan sel dengan merusak dinding sel.
MXPOD K WHJDN DQ
3HUVHQWDVH0DUHW
3HUVHQWDVH1RY
VDQJDWULQJDQ
ULQJDQ
VHGDQJ
EHUDW
7LQJNDW.HUXVDNDQ Gambar 1. Grafik perkembangan tingkat kerusakan serangan hama dan penyakit daun jabon pada HR Pasir Pangaraian
Pada pengamatan HR Beringin (jabon umur 1 tahun) menunjukkan bahwa pada jenis kerusakan serangan penyakit bercak daun menunjukkan kemungkinan meningkat pada musim hujan sebesar 23.53%. (Tabel 2). Kemungkinan yang sama juga terjadi pada serangan serangga hama defoliator (A. hilaralis), kepik (C. sumatranus) dan belalang (ordo orthoptera) secara umum menunjukkan peningkatan kejadian serangan. Kemungkinan ini berbeda dengan yang terjadi pada HR Pasir Pangaraian yang hanya menunjukkan peningkatan serangan pada jenis hama belalang sedangkan untuk jenis hama ulat A. hilaralis dan C. sumatranus menunjukkan penurunan tingkat serangan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
75
Tabel 2. Rekapitulasi tingkat serangan berbagai kerusakan (jenis, lokasi, dan keparahan) pada musim kemarau dan hujan pada pertanaman jabon di HR Beringin) Parameter Jenis kerusakan Persentase Maret Persentase Nov Lokasi kerusakan Persentase Maret Persentase Nov
Jenis OPT (Organisme Penggangu Tanaman) 1
3
4
Bercak daun
2 (Arthrochista hilarallis) Ulat pemakan daun
Belalang
(Cosmoleptrus sumatranus)Kepik
50 73.53
5 7.35
11.67 17.16
3.33ns 4.9ns
Daun
Akar
Batang
60 54.55
32ns 36.36ns
4ns 3.64ns
Keterangan: Kategori penilaian untuk tingkat keparahan: 1 : sangat ringan (dengan tingkat keparahan 0%-20%) 2 : ringan (dengan tingkat keparahan 21%-40%) 3 : sedang (dengan tingkat keparahan 41%-60%) 4 : berat (dengan tingkat keparahan 61%-80%) 5 : sangat berat (dengan tingkat keparahan 81%-100%)
HR Pasir Pangaraian memiliki 5 jenis kerusakan yang menyerang daun lebih banyak dari jenis kerusakan pada HR Beringin (7 jenis kerusakan). Jenis kerusakan yang tidak terdapat pada HR Beringin adalah perubahan warna daun. Dugaan terhadap perbedaan ini lebih dimungkinkan karena adanya perbedaan terhadap nutrisi dan kondisi fisik tanah. HR Beringin merupakan lokasi yang berdekatan dengan sungai sehingga menjadi tempat akumulasi unsur-unsur hara dan sifat fisik tanah yang didominasi lempung. Hal tersebut terlihat pada daun yang berwarna kekuningan yang menunjukkan kekurangan unsur N. Unsur N diperlukan tanaman sebagai pertumbuhan vegetatif (sebagai penyusun basa nitrogen dalam DNA) dan sebagai unsur penyusun klorofil daun. Sedangkan akar yang terlihat di permukaan tanah menunjukkan bahwa kurangnya nutrisi tanah pada solum tersebut, sehingga akar untuk mencari lapisan tanah yang lebih subur yang berada pada lapisan permukaan atas tanah.
76
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
WHJDN DQ
3HUVHQWDVH0DUHW
3HUVHQWDVH1RY
VDQJDW ULQJDQ
ULQJDQ
VHGDQJ
EHUDW
VDQJDW EHUDW
7LQJNDW.HUXVDNDQ
Gambar 2. Grafik perkembangan tingkat kerusakan serangan hama dan penyakit daun jabon pada HR Beringin
Pengamatan juga menunjukkan bahwa pada jabon umur 2 tahun (HR Pasir Pangaraian) memiliki ketahanan terhadap serangan penyakit leaf spot lebih baik jika dibandingkan pada jabon umur 1 tahun (HR Beringin). Hal ini terlihat dari tingkat kerusakan yang berada pada kisaran 50%-75,53% berbeda dengan yang terjadi pada jabon umur 2 tahun yang berada pada kisaran 36,33%-35,34%. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kesehatan tegakan jabon sampai pada umur 2 tahun. Meskipun berada pada lokasi yang berbeda, kondisi lingkungan (jenis tanah, curah hujan, kelembaban, dan intensitas sinar matahari) relatif tidak memiliki perbedaan yang nyata. B. Peranan beberapa faktor abiotik pada musim hujan dan kemarau terhadap intensitas serangan/keparahan.
HR Pasir Pangaraian pada musim hujan menunjukkan bahwa kombinasi faktor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 46% (Tabel 3). Dua faktor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah kelembaban dan curah hujan (sebesar 23%). Menurut Anonim (1998), faktor lingkungan yang memperngaruhi perkembangan penyakit leaf spot adalah curah hujan dan kelembaban. Pada musim kemarau menunjukkan bahwa kombinasi faktor lingkungan (temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan/intensitas serangan sebesar 49,3% (Tabel 3). Berbeda dengan musim hujan, pada musim ini dua faktor lingkungan yang dominan berpengaruh terhadap tingkat
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
77
keparahan/intensitas serangan adalah temperatur (13,5%) dan kelembaban (15,8%). Berdasarkan fungsi regresi tersebut, tingkat kerusakan hanya akan meningkat ketika kelembaban meningkat satu satuan. Sementara, dengan peningkatan temperatur, curah hujan dan hari hujan satu satuan akan menurunkan tingkat kerusakan (serangan menurun). Kelembaban merupakan faktor penting dibanding temperatur dan hari hujan. Tabel 3. Persamaan regresi linear dan koefisien determinan (R) tingkat keparahan dengan temperatur, kelembaban, dan curah hujan pada HR Pasir Pangaraian Bulan Pengamatan
Persamaan regresi Y = 364,738 – 12,236X1 Y = - 146,479 + 2,069X2
Maret/ musim
Y = 35,272 – 1,024X3
kemarau
Y = 35,468 – 0,350X4 Y = 55,986 – 6,092X1 + 1,652X2 – 0,008X3 – 0,450X4 Y = 439,408 – 15.378X1 Y = -375,646 + 4,521X2
November/ musim
Y = 35,392 – 0,240X3
hujan
Y = 33,712 – 0,020X4 Y = -428,345 + 1,137X1 + 4,784X2 – 0.007X3 – 0,181X4
R2 (%) 13,5 15,8 1,9 0,8 49,3 12,2 23,0 23,0 10,6 46,0
Keterangan : X1 : temperatur X2 : kelembaban X3 : curah hujan X4 : jumlah hari hujan Y : tingkat keparahan akibat serangan hama dan penyakit Selain itu, faktor abiotik juga berpengaruh terhadap turgoritas dan fisiologi tanaman yang akhirnya akan mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama. Temperatur lingkungan berpengaruh terhadap sintesis senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid dan flavonoid yang mempengaruhi ketahanan tumbuhan terhadap hama dan penyakit (Wiyono, 2007). Temperatur tidak hanya berpengaruh terhadap fisiologis tanaman, akan tetapi juga terhadap serangga hama. Menurut Pedzolt and Seaman (2010), 78
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
faktor makanan adalah unsur utama dalam menentukan perkembangan serangan hama dan penyakit tanaman. Selain itu faktor lain berupa predator dan kompetitor juga akan mempengaruhi keberadaan hama dan penyakit. Sehingga faktor temperatur memilki pengaruh tidak hanya terhadap tanaman inang tetapi juga kepada organisme pengganggu. Tingkat korelasi faktor lingkungan terhadap tingkat keparahan menunjukkan beberapa variasi. Pada musim hujan, peningkatan temperatur, curah hujan, dan jumlah hari hujan berbanding terbalik dengan tingkat keparahan serangan dan sebaliknya. Sedangkan peningkatan kelembaban akan menyebabkan peningkatan tingkat keparahan pada musim hujan dan sebaliknya (Tabel 4). Sebaliknya, pada musim kemarau menunjukkan bahwa peningkatan temperatur dan curah hujan berbanding lurus dengan meningkatnya tingkat keparahan. Sedangkan untuk kelembaban dan hari hujan menunjukkan perbandingan yang terbalik. Hal ini berarti semakin sedikit hari hujan dan kelembaban yang semakin rendah maka tingkat keparahan organ daun semakin meningkat. Tabel 4. Nilai koefisien korelasi temperatur, kelembaban, curah hujan, dan hari hujan dengan tingkat keparahan/intensitas serangan pada HR Pasir Pengaraian Bulan Pengamatan November/ musim hujan Maret/ musim kemarau
Temperatur
Parameter abiotik Kelembaban Curah Hujan
Hari hujan
-0,349
0,480
-0,131
-0,106
-0,367
0,398
-0,164
-0,08
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan dan penyebaran OPT yang kemudian akan berdampak pada tingkat keparahan yang disebabkan oleh OPT diantaranya adalah temperatur, kelembaban lingkungan, intensitas cahaya, curah hujan, dan jarak tanam (Purnomo, 2007). Kelembaban yang berlebihan, berlangsung lama atau terjadi berulangkali, baik dalam bentuk hujan, dan embun merupakan faktor yang sangat
membantu perkembangan epidemik hama dan penyakit yang kemudian akan berdampak pada tingkat keparahan yang ditimbulkannya. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa tingkat keparahan serangan OPT pada daun jabon yang terjadi pada musim hujan lebih disebabkan oleh faktor kelembaban (berkorelasi positif) jika dibandingkan dengan curah hujan dan jumlah hari hujan yang menunjukkan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
79
kecenderungan berbanding terbalik dengan tingkat keparahan/intensitas serangan (Tabel 5.) HR Beringin pada musim hujan menunjukkan bahwa kombinasi faktor lingkungan menunjukkan pengaruh terhadap tingkat keparahan serangan sebesar 26,9% (Tabel 5. Berbeda dengan HR Pasir Pangaraian, dua faktor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah temperatur (20,3%) dan kelembaban (13,8%). Sedangkan curah hujan justru menunjukkan pengaruh yang rendah (0,8%). Tabel 5. Persamaan linear regresi dan koefisien determinan (R) tingkat keparahan dengan temperatur, kelembaban, dan curah hujan pada HR Beringin Bulan Pengamatan
Persamaan regresi Y = -7,589 + 1,130X1 Y = 36,627 - 0,165X2
Maret/ musim
Y = 21,905 – 9,524X3
kemarau
Y= 22,557 – 0,211X4 Y = -15,614 + 0,997X1 + 0,135X2 – 0,009X3 – 0,085 Y = 124,913 – 3,668X1 Y = -92,277 + 1,342X2
November/ musim
Y = 29,436 – 0,032X3
hujan
Y= 29,528 – 0,091X4 Y = -144,893 + 0,538X1 + 1,782X2 – 0,007X3 – 0,110X4
R2 (%) 15,4 8,5 6,9 0,41 49,1 20,3 13,8 13,0 0,50 26,9
Keterangan: X1 : temperatur X2 : kelembaban X3 : curah hujan X4 : hari hujan Y : Tingkat keparahan serangan oleh serangan hama dan penyakit Pada musim kemarau menunjukkan bahwa kombinasi faktor lingkungan
menunjukkan berpengaruh terhadap tingkat keparahan serangan sebesar 49,1% (Tabel 5). Pada musim ini dua faktor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah temperatur (15,4%) dan kelembaban (8,5%).
80
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Tingkat korelasi faktor lingkungan terhadap tingkat keparahan serangan di HR Beringin menunjukkan beberapa variasi. Berdasarkan hasil tersebut, pada musim hujan, peningkatan temperatur, curah hujan, dan jumlah hari hujan akan menyebabkan peningkatan tingkat keparahan serangan (Tabel 7), dan peningkatan kelembaban akan menyebabkan peningkatan tingkat keparahan serangan. Pada musim kemarau, menunjukkan bahwa penurunan nilai kelembaban, curah hujan, dan hari hujan akan menyebabkan menaikkan tingkat keparahan. Sementara peningkatan temperatur akan berbanding lurus tingkat keparahan. Tabel 7. Nilai koefisien korelasi temperatur, kelembaban, dan curah hujan dengan tingkat keparahan/intensitas serangan pada HR Beringin Bulan Pengamatan
Temperatur
Parameter abiotik Kelembaban Curah Hujan
Hari Hujan
Maret/ musim kemarau
0,154
-0,085
-0,187
-0,202
November/ musim hujan
-0,203
0,238
-0,022
-0,050
Faktor lain yang menjadikan peningkatan kejadian serangan leaf spot pada musim hujan adalah kemunculan daun muda yang dapat dijadikan inang baru bagi jamur penyebab leaf spot (Cercospora sp. dan Pestalotia sp.) Selain itu infeksi oleh konidia patogen selama periode basah berkaitan dengan temperatur dan lamanya periode tersebut. Sementara kelembaban yang disebabkan oleh adanya hujan berpengaruh terhadap viabilitas konidia. Hal ini terungkap dalam penelitian Wastie (1972) yang menemukan bahwa Cercospora gloeosporioides yang menyebabkan penyakit gugur daun pada tanaman karet tidak dapat berkembang apabila kelembaban relatif <97%. Marssonina rosae dan C. gloeosporioides (Ordo Melanconiales), merupakan patogen yang sifatnya sama, baik dalam morfologi badan buah, metode pemencaran, maupun ketahanan konidiumnya terhadap kelembaban relatif udara. Sedangkan Minogue dan Fry (1983) menyatakan bahwa periode laten infeksi tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai komponen lingkungan seperti kelembaban nisbi udara, temperatur udara, curah hujan, dan lama penyinaran cahaya matahari.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
81
IV. PENUTUP Tegakan jabon berumur 1 dan 2 tahun pada lokasi Pasir Pangaraian dan Beringin menunjukkan tingkat keparahan tertinggi oleh serangan penyakit leaf spot (bercak daun) pada musim hujan dan kemarau. Sedangkan jenis hama yang dominan adalah jenis defoliator (A. hilaralis). Faktor abiotik yang merupakan kombinasi dari temperatur,
kelembaban, curah hujan, dan hari hujan memberikan pengaruh hampir 50% terhadap tingkat keparahan serangan terhadap daun jabon. Berdasarkan hal ini perlu dilakukan usaha pencegahan dan antisipasi terhadap serangan hama dan penyakit pada daun jabon di musim hujan maupun kemarau. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih Bapak Ramiduk Nainggolan dan Bapak Sunarto selaku teknisi yang telah membantu dalam pengumpulan data dan PT. Asia Forestama Raya Rumbai atas kerjasamanya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (1971). Pestalotia theae. C.M.I. Description of pathogenic fungi and bacteria No. 318 Anonim.(1998). Report on Plant Disease no.648. University of Extension.Departement of Crop Science. Diakses 11 Februari 2013
Illinois
Aprianis Y., Wahyudi, A., Hidayat, A., Nurrohman, E., Sasmita, T., dan Kosasih. (2007). Analisa Kualitas Serat dan Sifat Pengolahan Pulp Jenis Alternatif Baru Penghasil Serat. Kuok. Laporan Hasil Penelitian BPHPS Kuok (Tidak diterbitkan). Chaerun, S.K., dan Anwar, C. (2008). Dampak Lingkungan Penggunaan Pupuk Urea Pada Pembebanan N dan Hilangnya Kandungan N di Sawah. Jurnal Pendidikan IPA. VI (7): 1-8. Fitter, A.H. dan Hay, R.K.M. (1992). Fisiologi Lingkungan Tanaman. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press Gottwald, T.R. (1985). Influence of temperature, leaf wetness period, leaf age, and spore concentration on infection of pecan leaves by conidia of Cladosporium caryigenum. Phytopathology. 75: 190-194.
82
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Irwanto. (2010). Penilaian Kesehatan Hutan Tegakan Jati (Tectona grandis) dan Eukaliptus (Eucalytus pellita) pada Kawasan Hutan Wanagama I. http://naturehealthy.webs.com/kesehatan_hutan.pdf. Diunduh 20 Desember 2010 Minogue K.P, and Fry W.E. (1983). Models for the spread of disease: model description. Phytopathology 7, pp 1168-1172 Nair, K.S.S. (2001). Pest Outbreaks in Tropical Forest Plantation: Is there a greater risk for exotic tree species. Bogor. CIFOR Kilmaskossu S.T.E.M and J. P. Nerokouw. (1993). Inventory of Forest Damage at Faperta Uncen Experiment Gardens in Manokwari Irian Jaya Indonesia. Proceedings of the Symphosium on Biotechnological and environmental Approaches to Forest and Disease Management. Bogor. SEAMEO Petzoldt, C. and A. Seaman. (2010). Climate Change Effect on Insect and Pathogens. http://www.climateandfarming.org. Pathogens. Diakses 3 Februari 2010 Pribadi, A. (2011) Serangan Hama dan Tingkat Kerusakan Daun Akibat Hama Defoliator pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. VII(4): 451-458 Purnomo, B. (2007). Interaksi faktor-faktor penyebab penyakit tanaman. http:// www.purnomo.byethost16.com/epi3.pdf. Diunduh 30 Desember 2010. Subyanto. (2000). Bahan Ajar Ilmu Hama Hutan Fakultas Kehutanan. Yogyakarta. UGM Press. Sudarmalik. (2008). Analisa Finansial Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Kuok. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat (Tidak diterbitkan). Syah M.J.A., Ellina M., Titin, Dewi, Firdaus U. (2007). Teknologi Pengendalian Getah Kuning pada Buah Manggis. Search http//www.pustakadeptan. go.id/inovasi/kl070102.pdf. Diunduh 10 Febrruari 2013 Tulung, M. (2000). Study of Cacoa Moth (Conopomorpha cramerell) Control in North Sulawesi. Eugenia. 6(4): 294 - 299 Wastie, R. L. (1972). Secondary leaf fall of Hevea brasiliensis: meteorological and other faktors affecting infection by Colletotrichum gloeosporioides. Ann. appl.Biol. 72,p: 283 - 293. Wiyono, S. (2007). Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. Makalah pada Keanekaragaman Hayati di tengah Perubahan Iklim: Tantangan Masa Depan Indonesia. Jakarta. KEHATI
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
83
LAMPIRAN Data parameter abiotik yang dicatat pada 2 musim pengamatan pada HR Pasir Pangaraian. Bulan pengamatan November/ musim hujan Maret/ musim kemarau
Rata-rata parameter abiotik Temperatur
Kelembaban
curah hujan
(oC)
(%)
(mm)
26
90,2
0,4
7
25,7
91,4
246,6
16
Jumlah hari hujan
Data parameter abiotik yang dicatat pada 2 musim pengamatan pada HR Beringin Bulan Pengamatan November/ musim hujan Maret/ musim kemarau
84
Rata-rata parameter abiotik Temperatur
Kelembaban
curah hujan
Jumlah hari
(oC)
(%)
(mm)
hujan
27,0
87,8
16,6
8
26,3
91,4
252,3
15
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
KERAGAMAN GENETIK PERTUMBUHAN PADA UJI KETURUNAN SURIAN (Toona sinensis Merr) DI CIAMIS-PROVINSI JAWA BARAT Jayusman
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan JI. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Telp. (0274) 895954, 896080, Fax. (0274) 896080 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian adalah mempelajari nilai daya hidup dan parameter genetik pada pertumbuhan awal plot uji keturunan surian (Toona sinensis) di Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok yang terdiri dari 60 famili dari 7 populasi, 4-pohon/plot dengan 4 ulangan. Kemampuan tumbuh tanaman cukup baik yang ditunjukkan dengan kisaran daya hidup sebesar 69,44 % - 92,41 % dan kisaran pertumbuhan tinggi sebesar 66,43 cm – 94,37 cm. Terdapat perbedaan yang nyata diantara famili dan populasi untuk daya hidup dan sifat tinggi. Nilai heritabilitas individu (h²i) sifat tinggi sebesar 0,21 dan tergolong sedang, sedangkan nilai heritabilitas famili (h²f) sifat tinggi sebesar 0,33 dan nilai ini tergolong rendah. Kata kunci: famili, keragaman genetik, heritabilitas, populasi, daya hidup, surian (Toona sinensis)
I. PENDAHULUAN Toona sinensis Merr di dunia perdagangan dikenal dengan nama surian yaitu jenis yang memiliki pertumbuhan yang cepat, mudah ditanam, kayunya dikenal mempunyai spektrum kegunaan yang luas dan sangat sesuai untuk furnitur, interior ruangan, panel dekoratif, kerajinan tangan, alat musik, kotak cerutu, finir, peti kemas dan konstruksi. Pucuk dan daun surian banyak mengandung karoten, asam amino, vitamin dan mengandung zat ekstraktif dengan fungsi menghambat nafsu makan serangga dan pengusir serangga (Edmonds and Staniforth, 1998; Chang, 2002). Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan SK 272/Menhut-V/2004 tentang kelompok dan nama jenis tanaman dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, maka jenis surian dikelompokkan sebagai kayu pertukangan. Jenis surian telah menjadi pilihan utama pada budidaya hutan rakyat di beberapa propinsi di pulau Sumatera dan Jawa (RLPS, 2003). Budidaya jenis surian di hutan rakyat sampai saat ini belum disertai perbaikan penggunaan benih unggul dengan sifat genetik yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga produktifitasnya masih belum optimal. Salah satu upaya penyiapan benih unggul dapat ditempuh melalui pembangunan kebun benih atau melalui konversi plot uji keturunan menjadi kebun benih. Plot uji keturunan dapat menjadi langkah awal untuk memperbaiki genetik sifat pohon (Mayo, Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
85
1987; Matheson, 1990). Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan telah melakukan kegiatan eksplorasi benih secara individual di pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi sebagai materi genetik untuk pembangunan plot uji keturunan Toona sinensis Merr di desa Cikuda, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis tahun 2011. Hasil penelitian pendahuluan pada fase semai menunjukkan adanya variasi nilai keragaman genetik semai (Jayusman, 2011), tetapi informasi parameter genetik di tingkat lapangan masih sangat terbatas, sehingga kegiatan evaluasi periodik terhadap perkembangan tanaman sangat diperlukan karena akan memberikan informasi penting yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk tujuan seleksi awal. Tujuan penelitian adalah melakukan identifikasi dan memprediksi parameter genetik sifat pertumbuhan surian yang mencakup tinggi pada awal pertumbuhan di plot uji keturunan. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi Pengujian dan pengamatan tanaman surian dilakukan di plot uji keturunan yang merupakan wilayah hutan penelitian Universitas Siliwangi di desa Cikuda, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Tipe Iklim A dengan curah hujan PPWDKXQ GHQJDQ VXKX XGDUD EHUNLVDU Û& - Û& -HQLV WDQDK SRGVRO GHQJDQ kelerengan rata-rata 5 sampai dengan 150%, fisiografi dataran dengan ketinggian tempat 780 m dpl. B. Penanaman dan Pengamatan Uji Keturunan Plot uji keturunan ditanam pada bulan Januari 2012 mengikuti rancangan acak lengkap berblok (Randomized Completely Blok Design) yang terdiri atas 60 famili dari 7 populasi, 4 pohon per plot dengan jumlah Blok 4 (sebagai ulangan). Jarak tanam yang digunakan adalah 2 m x 3 m. Pada umur 12 bulan pengukuran tinggi pohon dilakukan dengan galah ukur dan pengamatan daya tumbuh melalui pengamatan jumlah pohon yang tumbuh dibandingkan jumlah pohon yang ditanam. Materi uji keturunan diperoleh dari pohon induk yang tersebar di Bulukumba, Enrekang,
Tanatoraja
dan
Bantaeng
(Sulawesi
Selatan),
Wonosobo
(Jawa
Tengah/Jateng), Magetan (Jawa Timur/Jatim) dan Tanggamus (Lampung). Kriteria
86
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
seleksi pohon induk dilakukan dengan memilih pohon yang memiliki fenotipe baik dengan tinggi pohon dan tinggi bebas cabang optimal, batang lurus-silindris dengan diameter besar, pohon sehat dan tidak terserang hama dan penyakit (Simpson, 1998). Deskripsi dan kondisi geografis asal usul famili surian yang diuji tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi dan Kondisi Geografis Asal Usul Famili Di Uji Keturunan Surian Kondisi Geografis Populasi
Jumlah Famili
Elevasi (m dpl)
Lintang Utara
Bujur Timur
(Elevation)
(Latitude)
(Longitude)
Bantaeng (Sulsel)
662
05° 26' 675"
120° 00' 553"
6
Enrekang (Sulsel)
665
05° 21' 23"
120° 03' 020"
13
Bulukumba (Sulsel)
455
05° 10' 15"
120° 20' 000"
5
Tana Toraja (Sulsel)
715
01° 20' 051"
134° 47' 001"
10
Wonosobo (Jateng)
770
07° 22' 292"
109° 01' 696"
19
Magetan (Jatim)
815
07° 33' 056"
111° 13' 086"
5
Tanggamus (Lampung)
426
05° 18' 701"
104° 39' 478"
2
C. Analisis Data Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis varian. Jika terdapat perbedaan yang nyata diantara populasi dan famili, maka dilakukan uji lanjutan berdasarkan uji jarak Duncan Multiple Range Test (DMRT). Model matematis untuk uji keturunan dengan Rancangan Acak Lengkap Berblok atau Randomized Completely Blok Design (Hardiyanto, 2007). Semua variabel perlakuan diasumsikan bersifat random, kecuali populasi bersifat tetap (fixed). Pengaruh faktor genetik terhadap penampilan pohon diketahui dari nilai heritabilitas. Heritabilitas individu (H2i) dan famili (H2f) diprediksi mengikuti rumus (Hardiyanto, 2007 dan Cotterill, 1987).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
87
H2i
ı2f = -----------------------------------ı2f ı2bf/b ı2e
-------------------------------------(2.1)
H2f
ı 2f = -----------------------------------ı2f ı2bf/b ı2e/nb
-------------------------------------(2.2)
Keterangan : H2i
=
nilai heritabilitas individu
H2f ı2f ı2fb ı2e
= = =
nilai heritabilitas famili komponen varian famili komponen varian famili dengan blok
=
komponen varian error
= =
rerata harmonik jumlah pohon per plot rerata harmonik jumlah blok
n b
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian difokuskan untuk mengetahui kemampuan tumbuh setiap tanaman dan pertumbuhan tinggi tanaman di plot uji keturunan pada umur 12 bulan setelah penanaman. A. Hasil Penelitian Hasil pengamatan terhadap daya hidup tanaman surian umur 12 bulan dari 7 populasi tertera pada Gambar 1.
Gambar 1. Nilai simpangan baku dan notasi uji lanjut pada daya hidup 7 populasi Surian pada umur 12 bulan setelah tanam
88
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Gambar 1 menunjukkan bahwa masing-masing populasi memberikan daya hidup yang beragam dengan kisaran 69,44 % – 92,41% atau dengan rerata 84,65 %. Hasil analisis varians pengaruh asal populasi terhadap daya hidup tanaman menunjukkan perbedaan yang nyata dan berdasarkan kriteria tersebut dilanjutkan uji lanjutan terhadap terhadap daya hidup tanaman surian berdasarkan masing-masing populasi Populasi Wonosobo memiliki nilai daya hidup tertinggi yaitu 92,41% dan nilai tersebut memiliki kesamaan dengan populasi Bantaeng, Tanggamus dan Bulukumba tetapi berbeda dengan
Populasi Tanatoraja, Enrekang dan Magetan. Populasi Magetan
menunjukkan nilai daya hidup terendah dengan nilai sebesar 69,44%. Hasil pengukuran pada pertumbuhan tinggi tanaman surian di plot Uji Keturunan disampaikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Nilai simpangan baku dan Notasi Uji Lanjut pada pertumbuhan Tinggi Tanaman dari 7 populasi Surian pada umur 12 bulan setelah tanam
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa variasi rerata pertumbuhan tinggi tanaman berdasarkan tingkat populasi berkisar 66,43 cm – 94,37 cm. Nilai tersebut setara dengan tanaman surian umur 2 tahun yang mencapai kisaran 70 cm – 192 cm (Zanzibar, 2000) dan pertumbuhan surian di plot konservasi eksitu umur 20 bulan yang mencapai kisaran 181,7 - 239 cm (Jayusman et al., 2008). Untuk mengetahui pengaruh famili dan populasi terhadap pertumbuhan tinggi tanaman dilakukan analisis varians yang hasilnya tertera pada Tabel 2.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
89
Tabel 2.
Analisis Varians tinggi tanaman pada uji keturunan surian umur 12 bulan setelah tanam di Ciamis
Sumber Variasi
Kuadrat Rerata Harapan
Db
Kuadrat Rerata
Blok
3
69854**
ı2e + 3,5585 Var(rep*fam(pop)) + 0,2344 Var(fam(pop) + 0,2886 Var(pop) + 3,476 Var(rep)
Populasi
6
130790**
ı2e + 3,4716 Var(rep*fam(pop)) + 13,083 Var(fam(pop) + 101,56 Var(pop)
Fam (populasi)
53
80206**
ı2e + 3,515 Var(rep*fam(pop)) + 13,137 Var(fam(pop)
Blok* fam (pop)
170
168574**
ı2e + 3,339 Var(rep*fam(pop))
Galat
556
367362
ı2e
Keterangan: ** = Signifikan pada taraf uji 0,01 * = Signifikan pada taraf uji 0,05
Hasil analisis varian pada Tabel 3 menunjukkan bahwa keragaman sifat tinggi tanaman menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antar populasi dan antar famili. Untuk mengetahui perbedaan sifat tinggi masing-masing populasi maka dilakukan uji DMRT yang selengkapnya tertera pada Gambar 2. Secara umum populasi Wonosobo memiliki pertumbuhan tinggi terbaik yaitu sebesar 94,11 cm dan berbeda
dengan
populasi lainnya untuk pertumbuhan tinggi tanaman, sedangkan populasi Magetan dan Bantaeng menduduki peringkat terbawah untuk pertumbuhan tinggi tanaman yaitu masing-masing 66,18 cm dan 64,76 cm. Penaksiran komponen varians dan analisis varians untuk mengetahui pengaruh populasi terhadap pertumbuhan tinggi tanaman surian hasilnya tertera pada Tabel 3.
90
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Tabel 3. Taksiran komponen varians pertumbuhan di Uji keturunan Toona sinensis umur 12 bulan setelah tanam di Ciamis ı2f
ı2e
34,70
589,51
Sifat Tinggi Tanaman
Besarnya dalam % terhadap total varians (amount (%) for variance total) Sifat Tinggi Tanaman
ı2f (%)
ı2e (%)
5,56
94,44
Keterangan : ı2f = komponen varians famili dalam populasi ı2e = komponen varians sisa
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa pada sifat tinggi tanaman, komponen varians famili sebesar 5,56% sedangkan komponens sisa (lingkungan atau non-genetik) sebesar 94,44%. B. Pembahasan Surian dikelompokkan sebagai jenis cepat tumbuh (fast growing species) yang pada pengujian ini menunjukkan daya hidup sebesar 84,65 % dan nilai daya hidup tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman surian yang ada di plot konservasi eksitu yang lokasinya berdekatan pada umur 3 (tiga) tahun dan masih mampu mempertahankan daya hidup sebesar 92 % (Jayusman et al., 2008). Perbandingan dengan jenis cepat tumbuh lainnya yaitu jenis sengon (Falcataria mollucana) pada umur 8 bulan di Kediri – Jawa Timur relatif tidak berbeda jauh yaitu sebesar 86,53% (Ismail dan Hadiyan, 2008). Nilai daya hidup surian pada pengujian ini juga masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan jenis lambat tumbuh (slow growing species) lainnya yaitu jenis Instia bijuga umur 18 bulan di plot uji keturunan Sobang sebesar 91,64 % (Mahfudz et al., 2010). Komparasi daya hidup tanaman surian dengan jenis yang berbeda maupun lokasi yang beragam dapat dijadikan informasi awal dalam perbaikan pengelolaan tanaman pada perkembangan umur lebih lanjut. Hasil evaluasi terhadap nilai daya hidup yang kurang maksimalnya di plot uji keturunan tersebut tidak terlepas dari pengaruh iklim yang ekstrim pada periode awal setelah penanaman yang menyebabkan daya hidup surian di lapangan sampai umur satu tahun tidak optimal. Kondisi ekstrim tersebut tidak terjadi pada jenis-jenis yang menjadi pembanding di atas.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
91
Kendali faktor genetik sampai umur 12 bulan pada sifat pertumbuhan tinggi tanaman terbukti kurang kuat, karena faktor lingkungan masih sangat dominan berperan dalam mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman di lapangan. Kondisi ini juga terjadi pada jenis Eusyderoxylon zwageri pada tinggi tanaman yang memiliki komponen varian sisa sebesar 76,81% dan varian famili sebesar 23,19% dan jenis Melaleuca cajuputi pada sifat tinggi tanaman yang memiliki varians sisa sebesar 81,03% dan varian famili sebesar 18,97% (Susanto, 2010). Untuk mengetahui proporsi faktor genetik yang diturunkan dari induk kepada keturunannya, maka dilakukan penaksiran nilai heritabilitas berdasarkan nilai komponen varian (Tabel 5). Hasil penaksiran heritabilitas individu (h²i) dan heritabilitas famili (h²f) untuk sifat tinggi masing-masing sebesar 0,21 dan 0,33. Mengacu klasifikasi Cotteril and Dean (1990) yang mengklasifikasikan nilai <0,1 ketegori rendah, 01-03 kategori sedang dan >0,3 kategori tinggi, maka nilai heritabilitas individu termasuk kategori sedang. Berdasarkan klasifikasi heritabilitas family (Burdon and Shelbourne, 1971) menetapkan nilai <0,4 kategori rendah, 0,4-0,6 kategori sedang dan >0,6 kategori tinggi, maka heritabilitas famili surian pada umur 12 bulan termasuk rendah. Heritabilitas individu menunjukkan bahwa pertumbuhan sifat tinggi cukup kuat dikendalikan faktor genetik. Heritabilitas famili sifat tinggi sebesar 0,33 menunjukkan bahwa 33% adalah kontribusi faktor genetik pada sifat tinggi sedangkan pengaruh lingkungan sebesar 67%. Besarnya nilai heritabilitas individu (h²i) sifat tinggi surian lebih besar dibandingkan hasil uji keturunan Araucaria cuninghamii umur 5 tahun di Bondowoso dengan nilai h²i untuk sifat tinggi sebesar 0,11 (Setiadi, 2010), tetapi lebih rendah dari jenis Eusyderoxylon zwageri umur 1 tahun di plot uji keturunan Bondowoso sebesar 0,58 (Susanto, 2008). Nilai heritabilitas famili mengacu ketentuan pada sifat tinggi termasuk ketegori rendah dan hal ini mengindikasikan bahwa variasi pertumbuhan sifat tinggi masih cukup kuat dipengaruhi faktor lingkungan. Pertumbuhan tanaman surian akan terus berlangsung karena umur tanaman yang masih muda, sehingga nilai heritabilitas pada plot uji keturunan surian tersebut juga masih dapat berubah. Nilai heritabilitas pada tanaman umumnya akan selalu berubah seiring pertambahan umur dan perubahan lingkungan serta pengendalian genetik karakter tersebut (Zobel and Talbert, 1984). Seberapa besar perubahan nilai heritabilitas yang dapat terjadi karena pengaruh umur serta perubahan lingkungan masih menjadi perdebatan, namun berdasarkan fakta
92
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan nilai heritabilitas yang nyata, disebabkan oleh perubahan lingkungan serta waktu atau bertambahnya umur tanaman. Pada fase pertumbuhan awal kinerja faktor genetik masih relatif labil dan belum cukup kuat. Nilai parameter genetik dapat berubah selama berlangsungnya proses tumbuh dan bertambahnya umur tanaman. Pada uji keturunan Acacia mangium dari provenans Queensland menunjukkan nilai heritabilitas sifat tinggi yang beragam pada umur 1 sampai umur 8 tahun (Nirsatmanto, 2005). IV. PENUTUP A. 1. Kesimpulan a.
Tanaman surian pada plot uji keturunan berumur 12 bulan setelah tanam menunjukkan nilai rerata daya hidup cukup baik yaitu 84,65 %.
b.
Prediksi nilai heritabilitas individu dan famili untuk sifat tinggi termasuk kategori sedang dan rendah, hal ini menunjukkan bahwa peran genetik belum terlalu optimal dibandingkan peran lingkungan dalam mempengaruhi pertumbuhan awal jenis surian di lapangan sampai umur 12 bulan.
A.2. Saran a.
Evaluasi tahap lanjut terhadap pertumbuhan dilapangan perlu dilakukan agar dapat memberikan informasi yang kontinyu sehingga prediksi genetik jenis surian ke depan lebih akurat.
b.
Penambahan parameter pengamatan perlu dilakukan terutama terkait sifat-sifat tanaman yang dibutuhkan untuk pemuliaan kayu pertukangan yaitu mencakup parameter tinggi bebas cabang dan bentuk batang.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tim Pemuliaan Surian (Toona sinensis) Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian dilapangan dan Universitas SiliwangiTasikmalaya yang telah membantu menyediakan lahan untuk plot pengujian
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
93
DAFTAR PUSTAKA Cotteril, P.P. (1987). Short Note. On estimating heritability according to practical application. Silvae genetica 36(1): 46-48. Cotteril, P.P and C.A Dean. (1990). Successful the Breeding with Index Selection. Australia CSIRO Devision of Forestry and Forest Product.. Edmonds and Staniforth. (1998). American Journal of Chinese Medicine. 30(Nos. 2 & 3): 307-314. Hardiyanto, E. B. (2007). Hand Out Mata Kuliah Pemuliaan Pohon II. Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta (tidak diterbitkan). Chang Hui-Chiu. (2002). Extract from the Leaves of Toona sinensis Roemor Exerts Potent Antiproliferative Effect on Human Lung Cancer Cell. American Journal of Chinese Medicine, 30(Nos. 2 & 3): 307-314. Ismail, B dan Y, Hadiyan. (2008). Evaluasi Awal Uji Keturunan Sengon (Falcataria mollucana) Umur 8 Bulan di kabupaten Kediri, Jawa Timur. Jurnal Pemulian Tanaman Hutan. 2(3): 287-293. Jayusman, A. Fiani dan W.S Manik. (2008). Evaluasi Variasi Pertumbuhan Beberapa Populasi Tanaman Surian Di Plot Konservasi Eksitu. Prosiding Ekspose Hasilhasil Penelitian Peran Penelitian dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Hutan di Sumbagut. Medan, 3 Desember 2008. Jayusman. (2011). Keragaman Genetik 8 Populasi Surian (Toona sinensis) Pada Tingkat Persemaian. Wana Benih. 12(3). Mahfudz, M. Na’iem, Sumardi dan E.B Hardiyanto (2010). Variasi Pertumbuhan Pada Uji Keturunan Merbau (Instia bijuga O.Ktze) Di Sobang, Banten. Jurnal Pemulian Tanaman Hutan. 4(3): 157-165. Matheson, A.C. (1990). Breeding Strategies for MPTS (Tree Improvement of Multipurpose Species. Ed. Glover N and N Adams in Multiporpose Tree Species Network Technical Series, Vol (2). pp 67 - 99. Mayo, O. (1987). The Theory of Plant Breeding. Second Edition. Oxford Science Publications. pp 30 – 64. Nirsatmanto, A. (2005). Study on Statistical Genetic Analysis and Application to The Breeding in Acacia mangium. Disertation Kyushu University. (Tidak diterbitkan). RLPS.
94
(2003). Data Potensi RLPS/htnrkt.htm
Hutan
Rakyat.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
www.dephut.go.id/informasi/rr/
Setiadi, D. (2010). Taksiran Parameter Genetik Untuk Pertumbuhan dan Kelurusan Batang Uji Keturunan Araucaria cunninghamii Umur 5 Tahun di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal Pemulian Tanaman Hutan 4(3): 117-124. Burdon, R. D. and Shelbourne, C. J. A. (1971). Breeding populations for re-current selection: conflicts and possible solutions. N Z Jour. For. Sci. 1(2): 174-193. Simpson, D. (1998). Selection of Superior Trees. Tree Improvement, Apllied Research and Technology Transfer. USA. Science Publishers, Inc. pp 107-124. Susanto, M. (2008). Analisis komponens varians uji keturunan Melalaleuca cajuputi Subsp. cajuputi di Paliyan, Gunung Kidul. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Volume 5 (s): 137-144. Susanto, M. (2010). Variasi Genetik Pertumbuhan Pada Uji Provenans dan Uji Keturunan Eusideroxylon zwageri di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 4(3): 137-144. Zanzibar. (2000). Pertumbuhan Jenis Tanaman Andalan Yang Unggul (AYU) Pada Umur 2 Tahun. Balai Teknologi Perbenihan. Laporan BTP 309 (03) Maret 2000. 19 hlm. (Tidak diterbitkan). Zobel, B.J and J.T Talbert. (1984). Applied Forest Tree Improvement. Canada John Wiley and Sons, Inc.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
95
96
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
PROSPEK PENGEMBANGAN KAYU PERTUKANGAN LOKAL SEBAGAI KOMODITAS BISNIS KPHP DI LAHAN KERING Nur Arifatul Ulya, Sri Lestari dan Bambang Tejo Premono
Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu Palembang, Telp/Fax: (0711) 414864 . E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Data statistik kehutanan Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa produksi kayu bulat nasional yang berasal dari hutan tanaman dan hutan alam tidak mampu memenuhi kebutuhan industri perkayuan nasional. Salah satu upaya untuk memenuhi permintaan kayu bulat adalah dengan penambahan luas hutan tanaman. Dalam kaitannya dengan fungsi bisnis, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) berperan memberikan jaminan supply bahan baku bagi industri hulu serta mendorong berkembangnya industri hilir. Kayu pertukangan lokal Sumatera Bagian Selatan yang terdiri dari bambang lanang (Michelia sp.) dan kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai komoditas bisnis KPHP di lahan kering karena secara finansial layak untuk diusahakan, pemasarannya jelas, dan aspek silvikulturnya telah diketahui. Secara umum, jenis-jenis ini juga bisa dikembangkan pada lahan kering di daerah-daerah lain di Sumatera. Sehingga diharapkan pada akhirnya mampu menyumbang bagi pasokan kayu nasional. Kata kunci: bambang lanang, kayu bawang, silvikultur, kesatuan pemangkuan hutan, finansial
I.
PENDAHULUAN Produksi kayu bulat Indonesia pada tahun 2013 adalah 23.227.012,25 m 3. Kayu
bulat tersebut sebagian besar berasal dari hutan tanaman, yaitu 19.554.418 m 3 (84,19%) dan sisanya 3.672.594,25 m3 (15,81%) dari hutan alam. Sementara itu kebutuhan bahan baku kayu industri perkayuan nasional berdasarkan jumlah kapasitas industri pada tahun 2013 adalah 70.013.474 m3 (Kementerian Kehutanan, 2014). Data tersebut menunjukkan adanya defisit bahan baku industri perkayuan sebesar 46.786.462 m 3. Adapun industri perkayuan tersebut meliputi industri kayu lapis, wood chips (WC), kayu gergajian, laminated veneer lumber (LVL), veneer dan wood pellet (WP). Rendahnya pasokan bahan baku kayu dari hutan alam dan hutan tanaman yang telah dibangun sejak tahun 1990-an sampai saat ini mengindikasikan perlunya penambahan luasan hutan tanaman, peningkatan keberhasilan penanaman maupun peningkatan produktivitas hutan tanaman dalam rangka memenuhi kebutuhan pasokan kayu nasional. Kegiatan tersebut dapat dilakukan di kawasan hutan produksi di wilayah dengan IUPHHK-HTI, IUPHHK-HA, hutan rakyat, hutan desa, hutan hak maupun
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
97
kawasan hutan produksi lainnya di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dalam hal ini adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produsi (KPHP). KPH merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil dengan tugas mencakup perencanaan dan pengelolaan hutan (rehabilitasi, pemeliharaan, perlindungan, pemanfaatan). Dengan demikian KPH mengemban fungsi teknis (menyusun rencana pengelolaan hutan sampai pemanfaatan hutan), fungsi manajerial (perencanaan sampai HYDOXDVLVHUWDPHQMDEDUNDQNHEƋDNDQNHKXWDQDQ GDQIXQJVLELVQLVPHQGRURQJLQYHVWDVL di wilayahnya). Dalam kaitannya dengan fungsi bisnis, KPH diharapkan mampu memberikan jaminan supply bahan baku bagi industri hulu (industri pulp dan kertas dan/atau industri pengolahan kayu serta mendorong berkembangnya industri hilir (dari industri pulp dan kertas serta industri pengolahan kayu) di daerah (Ekawati, 2014). Dengan demikian, pemilihan jenis tanaman yang dikembangkan di wilayah KPH menjadi sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan. Jenis tanaman yang dikembangkan oleh KPH seyogyanya merupakan jenis yang mempunyai nilai ekonomi, sesuai tempat tumbuhnya dan memiliki produktivitas yang tinggi. Balai Penelitian Kehutanan Palembang pada tahun 2009 telah menetapkan jenisjenis kayu pertukangan lokal prioritas untuk penelitian dan pengembangan terutama di Sumatera bagian selatan (Sofyan et al., 2010). Jenis bambang lanang (Michelia sp.), sungkai (Penorema canescens), kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) dan tembesu (Fagraea fragrans) dinilai sebagai empat jenis teratas yang mewakili lahan kering (tanah mineral), sementara gelam (Melaleuca cajuputi) merupakan jenis prioritas bagi lahan basah (rawa). Dari keempat jenis kayu pertukangan prioritas lahan kering, jenis yang mewakili lokalitas Sumatera bagian selatan adalah bambang lanang (Michelia sp.), kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) dan tembesu (Fagraea fragrans). Adapun sungkai (Penorema canescens) cenderung menyebar secara merata di seluruh daratan Sumatera. Bambang lanang (Michelia sp.) dan kayu bawang (Azadirachta excelsa) prospektif untuk dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman. Bambang lanang (Michelia sp.) dan kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) mempunyai daur lebih pendek. Premono dan Lestari (2013) menyatakan bahwa umumnya masyarakat mulai memanen kayu bawang pada umur 15 tahun dengan volume per batang 0,83 m3. Bambang lanang (Michelia sp.) di lahan masyarakat dipanen pada umur 15 tahun dengan hasil 1 m 3 kayu
98
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
gergajian (Martin dan Premono, 2010). Sedangkan tembesu (Fagraea fragrans) sampai saat ini masih merupakan hasil regenerasi alami yang dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat di kebun (Martin dan Premono, 2014). Hasil penelitian Sumadi dan Saepuloh (2011) menunjukkan bahwa di kebun masyarakat pada umur 20 tahun tembesu mempunyai volume rata-rata per pohon sebesar 0,39 m3 dan kerapatan efektif sebesar 8,51 m3/ha/tahun yang menunjukkan bambang lanang dan kayu bawang lebih prospektif menghasilkan kayu bervolume besar dalam waktu lebih singkat dibandingkan tembesu. Artikel ini akan membahas prospek pengembangan jenis lokal yaitu bambang lanang (Michelia sp.) dan kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) sebagai komoditas bisnis KPHP, terutama untuk di lahan kering. Informasi mengenai prospek pengembangan dan keunggulan bambang lanang dan kayu bawang sebagai kayu pertukangan lokal, diharapkan dapat dijadikan acuan para pengambil keputusan untuk menjadikan kedua kayu pertukangan lokal tersebut sebagai komoditas bisnis di KPHP lahan kering. II.
DESKRIPSI JENIS
A. Bambang lanang (Michelia champaca) Bambang lanang (Michelia champaca) dikenal oleh masyarakat lokal dengan nama bambang, medang bambang. Bambang lanang merupakan jenis pohon penghasil kayu pertukangan yang pada awalnya hanya dikembangkan oleh orang Lintang. Mereka tinggal di Muara Pinang, Pendopo, Ulu Musi dan Talang Padang di Kabupaten Empat Lawang, Provinsi Sumatera Selatan sejak kira-kira 100 tahun yang lalu. Kini jenis bambang lanang sudah menyebar di luar Kabupaten Empat Lawang, tepatnya di Kota Pagaralam, Kabupaten Lahat, Musi Rawas, Muara Enim, Ogan Komering Ulu (UKO), OKU Selatan, bahkan sampai di Provinsi Lampung dan Bengkulu (Martin dan Premono, 2010). Bambang lanang tumbuh cepat meskipun tanpa perawatan intensif. Batangnya lurus dengan tinggi bebas cabang pada umur 10 tahun bisa mencapai 20 meter dengan produksi berupa kayu gergajian mencapai kurang lebih 1 m 3 per-pohon pada umur 15 tahun (Martin dan Premono, 2010). Masyarakat menanaman bambang lanang pada lahan produktif, subur dan mudah dijangkau. Hal ini dilakukan agar bambang lanang dapat menjadi penjamin kebutuhan keluarga ketika komoditas pertanian utama di kebun
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
99
masyarakat seperti kopi, kakao dan karet tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga (Martin dan Premono, 2010). Masyarakat yang memiliki lahan kopi atau kakao hanya 0,25 hektar dan pemilik lahan sempit lainnya menanam bambang lanang sebagai pagar batas kebun atau dalam posisi yang tidak terlalu mengganggu tanaman pokoknya. Kayu bambang lanang memiliki serat yang halus, digolongkan ke dalam kelas kuat dan kelas awet II (Lukman, 2012). Lukman (2012) menambahkan bahwa kayu bambang lanang dapat digunakan sebagai bahan baku industri, konstruksi, furniture, veneer, plywood, papan partikel, ukiran dan barang-barang dekorasi. Masyarakat di Kabupaten Lahat terutama daerah Jarai dan Muara Payang telah banyak yang melakukan usaha penangkaran untuk memenuhi kebutuhan bibit bagi masyarakat di sekitarnya (Nurlia dan Martin, 2011). Petani melakukan perbanyakan bibit bambang lanang untuk penanaman dengan cara memilih buah yang telah matang (berwarna merah), kemudian merendamnya semalam sampai dua malam dalam air dingin, untuk melunakkan daging buahnya dan biji mudah dibersihkan. Biji (benih) yang telah diperoleh dapat langsung disemai dalam media perkecambahan yang berupa tanah (top soil) atau campuran tanah dan pasir (1:1). Dalam waktu 10 hari sampai dua atau tiga minggu, benih telah mulai berkecambah. Setelah tinggi kecambah sekitar 5-7,5 cm atau telah terbentuk dua helai daun, kecambah siap disapih ke dalam polibag yang berisi media sapih tanah. Setelah 4-6 bulan dipersemaian, bibit siap ditanam di lapangan (Lukman, 2012). Kegiatan pemeliharaan, berupa pemupukan, penyiangan dan pengendalian hama (penyemprotan herbisida dan pestisida) pada umumnya belum banyak dilakukan. Pada kebun campuran, kegiatan tersebut ditujukan untuk memupuk dan menyiangi tanaman kopi atau kakaonya. Pemangkasan cabang pohon bambang lanang bertujuan agar tanaman kopi di bawahnya tidak ternaungi. Kegiatan penjarangan untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih optimal dengan menebang individu-individu pohon yang tumbuh jelek pada umumnya juga belum dilakukan (Lukman, 2012). Penelitian mengenai budidaya bambang lanang telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Palembang, mulai dari perkecambahan sampai penanaman. Herdiana et al. (2006) menggunakan media tabur campuran tanah dan pasir (1:1) untuk meningkatkan daya kecambah, keserempakan tumbuh dan kecepatan tumbuh. Lukman (2012) menyatakan perbanyakan bibit melalui anakan alam/cabutan, harus dipelihara
100
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
dalam sungkup plastik. Media sapih campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 4:1 menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter cabutan bambang lanang lebih tinggi dibanding media tanah (Lukman, 2012). Lukman (2012) menambahkan bahwa cabutan yang telah disungkup selama satu bulan, setelah 5 bulan disapih menghasilkan pertambahan tinggi dan diameter lebih tinggi dari tanpa disungkup. B. Kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) Kayu bawang merupakan jenis tanaman kayu pertukangan unggulan lokal yang memiliki sebaran alami di Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Bengkulu Tengah (Premono dan Lestari, 2013). Kayu Bawang tumbuh baik pada ketinggian 0 - 1000 m dpl, dengan curah hujan tahunan sekitar 3.500 mm dan curah hujan bulanan antara 150 - 500 mm. Umumnya tumbuh pada semak belukar dekat pemukiman. Di Bengkulu Utara hanya ditemukan di daerah yang tersentuh aktivitas manusia (bekas ladang, kebun atau tegalan) (Martin dan Galle, 2009). Anwar et al. (1999) menduga semua tanaman yang ada merupakan hasil budidaya (ditanam secara sengaja). Pohon kayu bawang umumnya menempati strata paling atas dan merupakan pohon dominan di kebun masyarakat. Jenis ini dapat mencapai tinggi 30 m dengan diameter sampai 75 cm. Tumbuh pada jenis tanah alluvial dan podsolik merah kuning (Martin dan Galle, 2009). Kayu bawang memiliki serat yang halus sehingga mudah diolah, termasuk dalam kelas kuat III dan kelas awet IV dengan berat jenis 0,56 gram/cm 3 (Siahaan dan Saepuloh, 2007). Menurut Siahaan dan Saepuloh (2007), kayu jenis ini berwarrna kuning kemerah-merahan dengan sedikit corak coklat, mudah diolah, memiliki aroma bawang dan dilaporkan tahan serangan rayap/bubuk. Pemanfaatan kayu bawang biasanya digunakan sebagai kayu konstruksi, furnitur seperti lemari, meja, kursi, tempat tidur sampai kontruksi bangunan misalnya kusen, dinding dan sebagainya (Martin dan Galle, 2009). Masyarakat di Bengkulu Utara mendapatkan bibit dari permudaan alam yang banyak tersebar di sekitar pohon induk. Budidaya kayu bawang di kebun masyarakat tidak memerlukan persyaratan perawatan yang intensif. Tajuk pohonnya yang sempit memungkinkan tanaman ini dapat berasosiasi dengan tanaman pertanian sampai umur kurang lebih lima tahun. Ketika petani merawat tanaman pertanian (pembersihan gulma), berarti kayu bawang akan terawat bersamaan (Martin dan Galle, 2009).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
101
Meskipun anakan alamnya banyak tersebar di kebun masyarakat, periode berbunga dan berbuah kayu bawang tidak teratur sehingga bisa menjadi kendala apabila diperlukan bibit dalam jumlah besar. Pembiakan vegetatif kayu bawang menjadi potensial untuk memenuhi permintaan bibit kayu bawang. Salah satu teknik pembiakan vegetatif yang dapat dilakukan adalah stek pucuk (Utami et al., 2012). Untuk memacu pertumbuhan bibit kayu bawang di persemaian, penggunaan pupuk organik, baik pupuk majemuk lengkap lambat urai, limbah kelapa sawit (solid) maupun cuka kayu, dinilai efektif dalam memacu pertumbuhan bibit kayu bawang asal benih maupun cabutan/anakan alam di persemaian karena secara keseluruhan mampu meningkatkan riap tinggi dan diameter terbaik (Utami et al., 2011). III.
PROSPEK FINANSIAL, PEMASARAN DAN INDUSTRI
A. Prospek Finansial Kayu bambang lanang dan kayu bawang mempunyai permintaan pasar yang tinggi terutama di daerah penyebaran aslinya. Hal ini dapat dilihat dari sering tidak terpenuhinya permintaan pasar yang disebabkan oleh keterbatasan pasokan kayu dari petani. Hasil analisis finasial budidaya jenis bambang lanang secara monokultur pada tingkat suku bunga 11-13% memberikan nilai NPV lebih dari 1, IRR di atas tingkat suku bunga dan BCR lebih dari 1, dengan asumsi nilai lahan tidak diperhitungkan (sudah ada nilai lahan) (Balai Penelitian Kehutanan Palembang, 2014). Secara umum analisis finansial budidaya kayu bambang lanang secara murni maupun campuran layak diusahakan pada tingkat suku bunga 12% (Ulya, et al., 2006). Kayu bawang banyak ditanam dalam pola tanam campuran. Pola penanaman campuran kayu bawang yang banyak ditemukan di Provinsi Bengkulu antara lain kayu bawang-karet, kayu bawang-kakao, kayu bawang-sawit dan kayu bawang-karet unggul. Hasil analisis finansial pada tingkat suku bunga 11% dan 13 % menunjukkan bahwa polapola yang dikembangkan masyarakat layak secara finansial. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pola penanaman tidak peka terhadap perubahan tingkat harga dan volume produksi. Implikasinya, walaupun tingkat harga dan volume produksi berubahubah, pola penanaman yang dikembangkan oleh masyarakat tidak berubah. Pemenuhan kebutuhan hidup secara layak dapat dinikmati oleh masyarakat apabila mereka
102
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
membudidayakan kayu bawang dengan luas sekitar 0,34-1,01 ha dengan pola penanaman campuran dengan tanaman tahunan (Premono dan Lestari, 2013). B. Pemasaran Di Kabupaten Lahat, pohon bambang lanang pada umur 10 tahun sudah dapat dipanen dengan volume 0,5 m3/pohon tetapi harganya lebih rendah dibanding yang berumur 15 tahun yaitu dengan harga Rp. 900.000/m 3. Sedangkan pada umur 15 tahun volumenya rata-rata 1 m3/pohon dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp. 1.000.000/m3 (Ulya, et al., 2006). Harga kayu bambang lanang di tingkat petani di Kabupaten Lahat, Empat Lawang dan Kota pagaralam berkisar antara Rp. 900.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- per m3. Harga kayu bambang lanang di depot kayu mencapai Rp. 2.000.000,sampai dengan Rp. 2.600.000,- per m3. Lebih dari 50% marjin keuntungan dinikmati oleh para pelaku industri kayu rakyat, mulai dari penggesek/pengumpul kayu, pemilik
sawmill, pemilik depot, atau bahkan sampai ke pengrajin furniture. Jenis industri kayu rakyat sebagian besar berupa depot kayu (40%), pengusaha atau pengrajin furniture
(20%) dengan hasil berupa meja, kursi, lemari, dan tempat tidur, penggesek/pengumpul (20%), industri penggergajian kayu atau sawmill (13%) dan depot kayu dan funiture (7%). Hampir semua pelaku industri kayu rakyat yang termasuk ke dalam kelima katergori tersebut di atas tersebar merata di tiga wilayah yang menjadi fokus kegiatan penelitian. Sedangkan industri sawmill hanya terdapat di Kabupaten Lahat (Lestari, Premono dan Waluyo, 2012). Petani pemilik kayu bawang menjual kayu bawang dalam bentuk tegakan/pohon berdiri secara borongan. Harga kayu bawang di masyarakat berkisar Rp. 800.000 900.000 per pohon dengan perkiraan kubikasi sekitar 1 m 3. Harga kayu bawang olahan di tingkat lokal (desa) berkisar Rp. 1.500.000 - 2.000.000 per m3, tergantung ukuran kayu dan kualitas kayunya. Para tengkulak kayu/pengepul desa akan menjual kayunya untuk kebutuhan lokal dan ke wilayah lainnya. Ada juga tengkulak luar daerah yang datang ke desa-desa untuk membeli kayu dari para pengepul di desa (Premono dan Lestari, 2012). Saluran pemasaran kayu bawang di Provinsi Bengkulu ada 4 saluran yaitu: 1) Saluran 1: Petani/pemilik kayu-penebang/pemilik chainsaw-tengkulak/pengumpul kayukonsumen; 2) Saluran 2: Petani/pemilik kayu-tengkulak/pemborong di desa- depot kayu-
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
103
konsumen; 3) Saluran 3: Petani/pemilik kayu- tengkulak/pemborong di desa-depot kusen di kota-konsumen; 4) Saluran 4: Petani/pemilik kayu-tengkulak di desa- depot kayu di kota-depot kusen di kota-konsumen. Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran 1 dengan nilai efisiensi sebesar 20,83%. Pemasaran kayu bawang yang ada di Provinsi Bengkulu secara umum dapat dikatakan efisien, hal ini disebabkan telah berkembangnya usaha perkayuan dan tata usahanya terutama jenis kayu bawang. Hampir di setiap desa yang menjadi sumber kayu bawang telah memiliki usaha pengolahan kayu bawang skala kecil. Disamping itu, jumlah pelaku pemasaran kayu bawang cukup banyak sehingga memudahkan petani untuk melakukan transaksi proses tawar menawar dan memperoleh informasi mengenai harga kayu bawang (Premono dan Lestari, 2012). C. Industri Kayu bambang lanang dan kayu bawang, selain ditampung oleh industri kecil skala lokal, juga mempunyai peluang untuk diserap oleh industri pengolahan hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi diatas 6.000 m3 per tahun. Untuk Provinsi Sumatera Selatan, terdapat industri 2 kayu lapis (kapasitas 140.000 m 3 per tahun), kayu gergajian (5 industri, kapasitas 137.500 m3 per tahun), veneer (3 industri, kapasitas 110.000 m3 per tahun). LVL terdiri dari 1 industri dengan kapasitas 50.000 m 3 per tahun. Di Provinsi Bengkulu, terdapat satu industri yang bisa menyerap kayu bambang lanang dan kayu bawang, yaitu industri veneer dengan kapasitas 40.000 m3 per tahun. Pada skala nasional (termasuk Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu), kayu bambang lanang dan kayu bawang mempunyai peluang untuk diserap oleh industri kayu lapis (150 industri, kapasitas 12.397.315 m3 per tahun), penggergajian (278 industri, kapasitas 7.155.596 m3 per tahun), veneer (102 industri, kapasitas 3.040.295 m3 per tahun) dan industri LVL (14 industri, kapasitas 565.750 m 3 per tahun) (Kementerian Kehutanan, 2014) IV.
PENUTUP Pemilihan jenis yang dikembangkan sebagai komoditas bisnis hutan tanaman
merupakan suatu yang sangat penting karena seperti halnya bisnis pada umumnya, bisnis hutan tanaman di KPHP juga mengharapkan manfaat (benefit). Jenis yang dipilih sebagai komoditas bisnis KPHP diharapkan mampu memberikan manfaat finansial, ekonomi,
104
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
mempunyai pasar yang jelas, sesuai dengan tempat tumbuh (kondisi tapak KPHP) dan diketahui aspek budidayanya. Kayu bambang lanang (Michelia sp.) dan kayu bawang (Azadirachta excelsa (Jack) Jacobs) merupakan dua jenis kayu pertukangan lokal Sumatera Bagian Selatan yang mempuntai prospek untuk dikembangkan sebagai komoditas bisnis KPHP. Kedua jenis ini secara finansial layak untuk dikembangkan, memiliki saluran pemasaran yang jelas serta peluang pasar dan industri yang terbuka mulai dari tingkat lokal sampai nasional. Kayu bambang lanang dan kayu bawang mempunyai daur yang tidak terlalu lama (daur pendek sampai sedang), teknik budidayanya telah diketahui baik secara tradisional maupun dengan dukungan penelitian silvikultur. Selain itu, kedua jenis ini bisa ditanam secara monokultur maupun pola campuran. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut di atas, jenis kayu pertukangan lokal untuk lahan kering Sumatera bagian Selatan yang terdiri dari bambang lanang dan kayu bawang merupakan jenis-jenis yang mempunyai prospek untuk dikembangkan sebagai komoditas bisnis di KPHP lahan kering. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atas dukungan dana dalam pelaksanaan kegiatan penelitian kayu bambang dan kayu bawang di Sumatera Bagian Selatan.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, G., Gunsiryadi, Amrina. (1999). Prospek Pengembangan Kayu Wawang (Protiumjavanicum Burm F.) sebagai Komoditas Hutan Unggulan dalam Pengusahaan Hutan Rakyat di Provinsi Bengkulu (Tinjauan dari Aspek Silvikultur). Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur Peluang dan Tantangan menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. (2014). Sintesa Hasil Penelitian BPK Palembang terkait RPI Pusprohut. Balai Penelitian Kehutanan Palembang.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
105
Ekawati, S. (2014). Pembangunan KPH di Indonesia dalam “Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Langkah Awal Menuju Kemandirian”. Hernowo, B dan S. Ekawadi Eds. Yogyakarta. Penerbit PT. Kanisius. . Kementerian Kehutanan. (2014). Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013. Jakarta Kementerian Kehutanan. Herdiana, N., H. Siahaan, dan T. R. Saefulloh. (2006). Pengaruh Jenis Media Tabur Terhadap Perkecambahan Bambang Lanang. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Hutan Tanaman Pola Campuran. Musi Rawas, 13 Juli 2011. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Lukman, A.H. (2012). Status Budidaya Bambang Lanang dalam Pengusahaan Kayu Rakyat di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Hutan Tanaman Pola Campuran, Musi Rawas, 13 Juli 2011. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Martin, E dan F.B. Galle. (2009). Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Penanam Pohon Penghasil Kayu Pertukangan: Kasus Tradisi Menanam Kayu Bawang (Disoxylum molliscimum BL) oleh Masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 6(2): 117 – 134. Martin, E. dan B.T. Premono. (2010). Hutan Tanaman Kayu Pertukangan adalah Portfolio: Pelajaran dari Keswadayaan Penyebarluasan Bambang Lanang di Masyarakat. Prosiding Seminar Nasional Kontribusi Litbang dalam Peningkatan Produktivitas dan Kelestarian Hutan. Bogor, 29 November 2010. Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Martin, E. dan B.T. Premono. (2014). Upaya Komoditisasi Tembesu dalam Perspektif Sosial Budaya Petani dan Pasar dalam Bunga Rampai Tembesu Kayu Raja Andalan Sumatera. Bogor. FORDA Press. Nurlia, A. dan E. Martin. (2011). Persepsi dan Motivasi Masyarakat dalam Membudidayakan Bambang lanang Lanang. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Rakyat di Lahan Masyarakat Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Pola Campuran. Musi Rawas, 13 Juli 2011. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Premono, B.T. dan S. Lestari. (2012). Analisis Pemasaran Kayu Bbawang di Provinsi Bengkulu Utara. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Hutan Tanaman Pola Campuran. Musi Rawas, 13 Juli 2011. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Premono, B.T. dan S. Lestari. (2013). Analisis Finansial Agroforestri Kayu Bawang (Dysoxilum Mollissimum Blume) dan Kebutuhan Lahan Minimum di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 10(4): 211 – 223. Siahaan, H. dan T.R. Saepuloh. (2007). Teknik Silvikultur Kayu Bawang. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, 21 Agustus 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan.
106
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Sofyan, A., E. Martin, A. H. Lukman, dan A.W. Nugroho. (2010). Status Riset dan Rencana Penelitian Jenis-jenis Prioritas Kayu pertukangan di Sumatera. Prosiding Peran Litbang Kehutanan dalam Implementasi RSPO, Pekanbaru, 4-5 November 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sumadi, A. dan T.R. Saepuloh. (2011). Pertumbuhan Tembesu pada Pola Campuran dengan Karet di Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Hutan Tanaman Pola Campuran. Musi Rawas, 13 Juli 2011. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Ulya, N. A., E. Martin, E. A. Waluyo dan J. P. Tampubolon. (2006). Teknologi dan Kelembagaan Social Forestry di Hutan Rakyat. Laporan Penelitian Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Barat, Palembang. Utami, S., A.P. Yuna, T.R. Saepuloh. (2011). Budidaya Jenis Kayu bawang Aspek Manipulasi Lingkungan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Palembang. (Tidak diterbitkan). Utami, S. A,P. Yuna, N. Herdiana dan T.R. Saepuloh. (2012). Sebaran dan Persyaratan Tempat Tumbuh Kayu Bawang (Dysoxylum mossilimum Blume) di Provinsi Bengkulu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Introduksi Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan di Lahan Masyarakat melalui Hutan Tanaman Pola Campuran. Musi Rawas, 13 Juli 2011. Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
107
108
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
PENGUJIAN MEKANIS KAYU: PEMBEBANAN PADA DUA TITIK TUMPU PADA KAYU FLAMBOYAN (Delonix regia (Boj. ex Hook.) Raf Kanti Dewi Rizqiani
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan – Kuok Jl. Raya Bangkinang – Kuok km 9, Kotak Pos 4/BKN Bangkinang 28401 – Riau Email :
[email protected]
ABSTRAK Sebagaimana diketahui, kayu memiliki beberapa karakteristik dalam proses pemakaian, pemanfaatan dan pengolahannya. Salah satu diantaranya adalah kemampuan kayu untuk menahan beban yang diberikan terhadap kayu tersebut. Kemampuan kayu dalam menahan beban yang diberikan terhadap kayu ini, menjadi ukuran seberapa besar tingkat kekuatan kayu. Kayu flamboyan yang merupakan salah satu kayu rakyat diprediksi dapat menggantikan kayu dari hutan alam. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian mekanis kayu dengan metode two point loading terhadap kayu flamboyan untuk mengevaluasi kemungkinan penggunaannya sebagai bahan baku kayu pertukangan dan konstruksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu flamboyan tidak dianjurkan untuk penggunaan kayu konstruksi.. Nilai MOEtrue dari pengujian lentur two point loading kayu flamboyan adalah 123408.5 kgf/cm2, sedangkan nilai MOEapparent -nya 110480.6 kgf/cm2. Besarnya gaya geser (G) hasil dari pengujian ini adalah 4499.154701 N. Nilai dari MOR pada pengujian pembebanan pada dua titik tumpu kayu flamboyan adalah 135.9405 kgf/cm2 artinya kayu flamboyan mampu menahan beban maksimal sebesar 135.9405 kgf/cm2 . Kata kunci: pembebanan pada dua titik tumpu, kayu flamboyan, MOE, MOR.
I.
PENDAHULUAN Potensi kayu sebagai bahan struktural saat ini belum tergantikan oleh bahan lain
secara menyeluruh. Kelebihan sifat kayu dibandingkan dengan bahan material lain, seperti logam dan plastik dalam segi fungsi dan estetika, telah membuat kayu menjadi meningkat konsumsi dan pemakaiannya. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Akan tetapi buruknya pengelolaan hutan serta maraknya illegal logging mengurangi suplai kayu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kementerian Kehutanan (2011) mencatat bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia selama periode 2009 – 2010 mencapai 832.126,9 hektar per tahun. Pemerintah pun harus membatasi pasokan kayu dari hutan alam untuk mengurangi laju kerusakan hutan sehingga kayukayu rakyat pun mulai dilirik untuk dijadikan sebagai subtitusi kayu hutan alam. Dalam pemakaiannya kayu tersebut harus memenuhi syarat: mampu menahan bermacam-macam beban yang bekerja dengan aman dalam jangka waktu yang direncanakan; mempunyai ketahanan dan keawetan yang memadai melebihi umur pakainya; serta mempunyai ukuran penampang dan panjang yang sesuai dengan pemakaiannya dalam konstruksi (Anonim, 1995). Kayu flamboyan merupakan kayu yang
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
109
berasal dari suku Fabaceae atau polong-polongan. Kayu jenis ini memiliki kekerasan sedang dan serat lurus terpadu. Kegunaannya untuk membuat barang-barang bubutan, barang-barang hiasan (ukiran ringan), perabot rumah tangga, vinir indah dan kayu lapis, barang kerajinan dan perpatungan, pintu panel dan komponen alat musik. Kayu flamboyan ini memiliki berat jenis antara 0,53-0,72, termasuk Kelas Awet III dan Kelas Kuat II-III jika dilihat dari besar berat jenisnya. Pada penelitian ini dilakukan pengujian sifat mekanis kayu dengan menggunakan dua titik tumpu atau two point loading ini bertujuan untuk mengetahui nilai beban maksimum (Pmax) yang bisa diberikan ke kayu flamboyan dan mengetahui apakah kayu flamboyan dapat digunakan sebagai bahan konstruksi atau tidak.
II. Bahan dan Metode A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kayu flamboyan yang digunakan merupakan kayu rakyat yang berasal dari Bogor dengan bagian kayu yang digunakan adalah bagian pangkal kayu. Sedangkan alat yang digunakan adalah table saw dan Universal Testing Machine (UTM). B. Metoda 1. Persiapan Contoh Uji Dalam pengujian sifat mekanis kayu dengan menggunakan dua titik tumpu atau two point loading terdapat langkah-langkah dalam pembuatan dan persiapan contoh uji diantaranya: 1. Membuat balok dengan ukuran 5 cm x 5 cm x 80 cm berdasarkan (ASTM) D 143-94 (Tjokrodimuljo, 1988, Gambar 1) dan 2. Mengukur dan memberikan paku pada contoh uji di tiga titik berbeda (Gambar 2).
110
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Gambar 1. Contoh Uji berdasarkan American Society for Testing and Materials (ASTM) D 143-94.
Gambar 2. Titik-titik Pemberian Paku.
2. Pengujian Dalam pengujian menggunakan UTM instron ini, terdapat beberapa langkah diantaranya: 1. Balok kayu diletakkan pada UTM Instron dengan panjang span 71 cm dan jarak antara dua point 36 cm. (Gambar 3), 2. Penyettingan beban yang akan diberikan dengan meletakkannya tepat di atas permukaan kayu, dan 3. Menggerakkan beban dengan komputer untuk pengujian sifat mekanis dengan two point loading pada contoh uji tersebut.
Gambar 3. Pengujian Sampel Kayu Flamboyan. (Sumber: Hadjib N, Abdurachman, Basri E, 2015)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
111
3. Perhitungan MOR
3 x Pmax x a
=
MOE true =
2 x b x h2
MOEapparent =
a(3L2 - 4a2 ¨3 4 x b x h3 [¨
3 x a x (lb)2 [¨3 4 x b x h3 [¨OE
Dimana: B
: lebar sampel (cm)
h
: tebal sampel (cm)
a
: jarak dari ujung kayu menuju beban (cm)
Pmax
: beban maksimal yang diterima beban lentur (kgf)
L
: span (cm)
Lb
: jarak antar beban (cm)
¨3¨OEWXUXQDQSHUWDPD3WHUKDGDSOE ¨3¨ : turunan pertama P terhadap L G
: gaya geser
MOR : modulus of rupture MOE : modulus of elasticity III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kollman, Kuenzi dan Stamn (1975) dalam Nugroho (2007), menyatakan bahwa sifat mekanis kayu merupakan sifat yang berhubungan dengan ukuran kemampuan kayu untuk menahan gaya luar yang bekerja padanya (membebani kayu tersebut). Gaya luar sendiri adalah gaya yang datang dari luar benda, bekerja (membebani) pada benda tersebut dan cenderung merubah ukuran dan bentuk benda tadi (Brown et al, 1952). Terdapat banyak sekali gaya luar yang dapat mempengaruhi durabilitas/jangka waktu pemakaian dari kayu dalam suatu bangunan atau kontruksi. Gaya luar tersebut salah satunya adalah beban. Beban merupakan gaya luar yang mempengaruhi suatu benda (dalam hal ini kayu bangunan) karena adanya gaya berat yang diberikan. Untuk dapat mengetahui kemampuan kayu dalam menahan beban, terdapat beberapa metoda pengujian secara destruktif sesuai dengan ASTM D 198-05 antara lain: Metoda one point loading (OPL), Metoda two point loading, dan Metoda third point loading. Metoda Two
112
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
point loading merupakan salah satu cara pengujian yang digunakan untuk mengetahui kapasitas pembebanan dari kayu dengan menggunakan dua beban pada tempat yang berbeda di permukaan kayu dengan jarak yang sama dari pinggir kayu. Sifat mekanis yang sering digunakan sebagai acuan dalam perencanaan suatu struktur bangunan antara lain modulus elastisitas (MOE), modulus patah (MOR), keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan geser. Dengan pembebanan secara manual, respon yang diberikan contoh uji balok kayu dapat teramati dengan baik. Keruntuhan dimulai dengan timbulnya retak-retak pada balok di tepi bawah, retak tersebut secara perlahan merambat ke tengah dengan kemiringan tertentu sesuai dengan arah serat pada bagian tersebut. Bersamaan dengan perambatan retak tersebut, lendutan pada balok kayu juga akan membesar. Setelah lendutan yang terjadi cukup besar, daya dukung balok akan turun secara drastis. Begitu runtuh, daya dukung balok uji langsung hilang.
<ƵƌǀĂϭ͘dĞŐĂŶŐĂŶͲZĞŐĂŶŐĂŶ;ƚƌƵĞͿ 1500
W;ŬŐĨͿ
1000
928.190002
500 0
33.204514 0 0.5
1
-500
1.5
2
2.5
3
3.5
LJ;ĐŵͿ
Gambar 4. Kurva Hubungan Beban dan Lendutan (Keterangan: P = Beban, y = Lendutan).
<ƵƌǀĂϮ͘dĞŐĂŶŐĂŶͲZĞŐĂŶŐĂŶ;ĂƉƉĞƌĞŶƚͿ 1500
W;ŬŐĨͿ
1000 807.571655 500 52.038116
0 0 -500
0.5
1
1.5
2
LJ;ĐŵͿ
Gambar 5. Kurva Hubungan Beban dan Lendutan (Keterangan: P = Beban, y = Lendutan).
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
113
Dari kurva hubungan beban-lendutan pada Gambar 4 dan 5, terlihat bahwa pada awal-awal pembebanan kurva berbentuk linier dan material kayu masih berperilaku elastik. Setelah mencapai nilai beban tertentu, bentuk kurva sudah nonlinier yang mana berarti kayu sudah memasuki fase in-elastis. Keadaan ultimit dicapai pada saat pembebanan mencapai beban maksimum yang ditandai dengan terjadinya lendutan cukup besar pada balok kayu. Besarnya kemiringan pada bagian yang linier pada keseluruhan kurva tersebut tidak lain adalah menggambarkan kekakuan balok uji. Kekakuan didefinisikan sebagai besarnya gaya yang diperlukan untuk memperoleh satu unit lendutan (displacement), semakin kaku balok uji maka semakin besar kemiringannya (Rochman, 2003). Pada penelitian ini besarnya nilai gaya yang diperlukan (Pmax) adalah 1286.857 kgf. Dari kurva hubungan beban dan lendutan, kita dapat mengetahui nilai modulus of rupture (MOR), dan pada daerah elastis kita dapat mencari nilai modulus of elasticity (MOE).
W;ŬŐĨͿ
<ƵƌǀĂϯ͘DKƚƌƵĞ 1000 800 600 400 200 0
y = 4480.1x + 38.254 R² = 0.9997
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
LJ;ĐŵͿ Gambar 6. Kurva MOEtrue
<ƵƌǀĂϰ͘DKĂƉƉĞƌĞŶƚ 1000 y = 1122.9x + 0.6351 R² = 0.9993
W;ŬŐĨͿ
800 600 400 200 0 0
0.1
0.2
0.3
0.4
LJ;ĐŵͿ Gambar 7. Kurva MOEapparent
114
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
0.5
0.6
0.7
0.8
Dari kurva linier (gambar 6 dan gambar 7) diperoleh nilai rumus regresi yaitu y = 4480.x + 38.25 dan y = 1122.x + 0.635. Nilai MOE true yang didapat yaitu sebesar 123408.5 kg/cm2. Sedangkan nilai MOEapparent yakni sebesar 110480.6118 kg/cm2 . MOEtrue merupakan nilai MOE yang sebenarnya. Nilai MOE ini tidak terpengaruh oleh gaya geser, sebab pada bagian tengah murni akibat gaya lentur. Pada bagian kiri dan kanan balok lentur juga terjadi modulus of elasticity (MOE). Nilai MOE ini dipengaruhi oleh gaya geser (G). Gaya geser ini dapat mereduksi nilai MOE yang sebenarnya. Nilai MOE ini dikenal dengan MOEapparent. Nilai G harus dicari karena dalam mendapatkan nilai lendutan akibat gaya geser terlebih dahulu harus mengetahui besar nilai G material kayu. Nilai tersebut yang dapat diperoleh dari pengujian laboratorium, yaitu dengan memanfaatkan perbandingan lendutan akibat pengujian balok ukuran sebenarnya dan bebas cacat (Callister, 1989 dan Wirjomartono, 1977). Nilai G yang didapatkan untuk kayu flamboyan dalam penelitian ini adalah sebesar 4499.15 N. Modulus of rupture (MOR) menyatakan kemampuan benda untuk menahan tekanan dari luar. Nilai dari MOR pada pengujian two point loading kayu flamboyan adalah 135.9405 kgf/cm2 yang merupakan beban maksimal yang dapat ditahan oleh balok kayu flamboyan tersebut. Nilai MOR jauh lebih kecil dari nilai MOE, karena kekuatan lentur kayu tersebut jauh lebih besar dari kekakuan lenturnya. Nilai MOR yang sangat kecil ini juga menggambarkan bahwa kayu flamboyan tersebut tidak tepat digunakan untuk kayu konstruksi. Kegunaan kayu flamboyan dapat diperuntukan sebagai bahan baku kayu pertukangan (berdasarkan pengujian). IV. PENUTUP Nilai MOEtrue dari pengujian lentur two point loading kayu flamboyan adalah 123408.5 kgf/cm2, sedangkan nilai MOEapparent nya yaitu 110480.6 kgf/cm2. Perbedaan antara MOEtrue dan MOEapparent adalah bahwa MOEtrue tidak terpengaruh gaya geser karena terjadi pada bagian tengah kayu sehingga murni disebabkan oleh gaya lentur. Besarnya gaya lentur (G) hasil dari pengujian ini adalah 4499.154701 N. MOR menyatakan kemampuan benda untuk menahan tekanan dari luar. Nilai dari MOR pada pengujian two point loading kayu flamboyan adalah 135.9405 kgf/cm2. Artinya kayu flamboyan mampu menahan beban maksimal sebesar 135.9405 kgf/cm 2 dan tidak tepat
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
115
digunakan untuk kayu konstruksi. Kegunaan kayu flamboyan dapat diperuntukan sebagai bahan baku kayu pertukangan. UCAPAN TERIMA KASIH. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Laboratorium Rekayasa Desain Bangunan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan, serta berbagai pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. (1995). Buku peraturan klasifikasi dan konstruksi kapal laut: Peraturan kapal kayu. Biro Klasifikasi Indonesia. Jakarta. Ditjen Perhubungan Laut. American Society Institute. (2005). ASTM D 198. Standard Test Methods of Static Tests of Lumber in Structural Stress. In Annual Book of ASTM Standard United State: Philadelphia. Callister, W.D., (1989). Materials Science and Engineering T. Singapore: John Willey & Sons. Hadjib, N., Abdurachman., Basri, E. (2015). Karakteristik Fisis dan Mekanis Glulam Jati, Mangium, dan Trembesi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 33(2). [Kemenhut] Kementrian Kehutanan. (2012). Statistik 2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Nugroho, Aditya. (2007). Perubahan Sifat Fisik dan Sifat Mekanik Beberapa Jenis Kayu Akibat Serangan Penggerek Kayu Laut di Perairan Pulau Rambut. [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Rochman, A. (2003). Analisis Kekuatan Balok Pratekan Kayu dan Bambu (tinjauan teoritis dan eksperimental), Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tjokrodimuljo, K. (1988). Pengujian Bahan Teknik, Laboratorium Bahan Konstruksi Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Wirjomartono. (1977). Konstruksi Kayu II. Diktat Kuliah. Fak. Teknik Sipil. Universtas Gadjah Mada.
116
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
VARIASI MUTU BIBIT MALAPRI (Pongamia pinnata (L) Merril) BERDASARKAN DIMENSI UKURAN BENIH Jayusman
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan JI. Palagan Tentara Pelajar Km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582 Email :
[email protected]
ABSTRAK
Pengamatan pengaruh dimensi ukuran benih terhadap nilai kecambah, kecepatan berkecambah dan kualitas semai telah dilakukan pada jenis malapari (Pongamia pinnata Merril). Hasil pengujian menunjukkan bahwa benih berukuran besar menunjukkan nilai kecambah dan kecepatan berkecambah lebih tinggi dibandingkan benih berukuran kecil maupun benih campuran. Hasil sidik ragam dari pengujian menunjukkan bahwa tinggi bibit, jumlah daun, kekokohan bibit, dan total biomassa bibit berbeda nyata tetapi nilai kecambah, kecepatan berkecambah, diameter bibit tidak berbeda nyata. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa benih berdimensi besar meningkatkan kualitas bibit Malapari. Kata kunci: biomassa, dimensi benih, kekokohan bibit, kualitas bibit, malapari dan nilai kecambah.
I. PENDAHULUAN Program pengembangan jenis-jenis potensial untuk penghasil biodisel memiliki nilai strategis dimasa mendatang sebagai upaya memenuhi berbagai tujuan ekologi dan sumber energi yang terbarukan. Salah satu jenis yang prospektif dikembangkan adalah Malapari atau Pongamia pinnata (L) Merril. Malapari merupakan arboreal legume, termasuk dalam famili Fabaceae atau Leguminosae, dengan subfamili Papilionoideae. P. Pinnata selain menyebar secara luas di India dan tumbuh secara alami di Indonesia diantaranya terdapat di kepulauan Maluku, di daerah pesisir pantai Sumatera dan Jawa (Mukta et al., 2008). Di samping sebagai tanaman yang berguna di berbagai industri tanin, perkayuan, bioenergi, obat-obatan, pakan ternak, pelindung abrasi dan untuk konservasi daerah pantai, tanaman legume ini mempunyai kelebihan sebagai pupuk hayati nitrogen karena kemampuannya dalam membentuk nodul sebagai hasil simbiosis dengan bakteri pemfiksasi nitrogen (Duke, 1983; Fredericks, et al., 1990). Sejalan dengan upaya pengembangan jenis malapari, maka kebutuhan informasi yang mendukung penyiapan bibit yang memiliki sifat unggul (fisik, fisiologis, genetis) dan memiliki pertumbuhan yang cepat, dan mampu beradaptasi secara baik dengan faktor biotis maupun abiotis lainnya penting untuk dilakukan. Salah satu Informasi awal yang
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
117
penting adalah pemenuhan informasi perbenihan diantaranya informasi nilai kecambah dan kualitas bibit. Aras et al., (2007) menyebutkan pentingnya penanganan morfologi benih
termasuk taksonominya sedangkan Hassanein (2010) menyebutkan bahwa
tanaman penghasil biodiesel membutuhkan upaya peningkatan nilai kecambah dan pertumbuhan bibit karena penting secara ekonomi. Penguasaan Informasi perbenihan akan berperan besar dalam kegiatan produksi bibit dalam jumlah dan kualitas yang optimal. Selain itu kegiatan penting lainnya adalah menyusun informasi kinerja bibit yang akan berperan penting untuk kepentingan seleksi bibit yang berkualitas. Evaluasi terhadap benih dan bibit telah banyak dilakukan antara lain Styrax benzoine Dryand (Jayusman, 1997), Gonystylus bancanus
(Utami, et al., 2006), Tamarindus indica
(Muhammad & Amusa, 2003), Toona sinensis (Yoursheng and Sziklai, 1985) dan Melia azedarach (Kurniati et al., 2007) sedangkan pada malapari belum banyak dilakukan. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi besarnya pengaruh dimensi ukuran benih terhadap besarnya nilai kecambah, kecepatan berkecambah dan pengaruhnya terhadap kualitas bibit malapari. Informasi hasil pengujian akan dimanfaatkan untuk perbaikan kualitas bibit malapari. II. BAHAN DAN METODE 1. Lokasi Penelitian a. Eksplorasi dan koleksi benih Eksplorasi dan koleksi benih dilakukan di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, Propinsi Banten. TN Ujung Kulon terletak di Kecamatan Sumur dan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten dan secara geografis terletak antara ƍƎ– ƍƎ%7GDQƍƎ/6(Balai TNUK, 2015). b. Pengujian benih dan bibit Pengujian nilai kecambah, kecepatan berkecambah dan evaluasi bibit malapari dilakukan di polibag yang diletakkan di bedeng persemaian Laboratorium Kultur Jaringan Kaliurang, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH).
118
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah benih yang dikoleksi dari lokasi Taman Nasional Ujung Kulon - Propinsi Banten. Sebanyak 100 calon pohon induk yang teridentifikasi dipilih 25 pohon induk yang memenuhi persyaratan mengacu cara Simpson (1998) yaitu pohon dengan fenotipik baik, memiliki tinggi total dan tinggi bebas cabang optimal, batang lurus-silindris dengan diameter besar, pohon sehat (tidak terserang hama penyakit). Koleksi buah dilakukan dengan memilih buah yang masak fisiologis (ditandai kulit buah berwarna coklat tua dan belum pecah) dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Ekstraksi benih dan penanganan benih dari lapangan mengacu pada cara Schmidt (2000) dengan mengeringkan buah sehingga kulit buah pecah. Benih dikeluarkan dari kulit buah/polong dan kemudian disimpan di dalam kantong plastik dan diberi label. Alat yang digunakan adalah mistar ukur, kaliper, oven, handcaunter, timbangan analitik, dan alat tulis. Tabel 1. Deskripsi Pengelompokan Benih Pongamia pinnata (Manonmani et al, 1996) No
Dimensi Ukuran Benih
Kriteria Benih
Lokasi
Panjang (cm)
Lebar (cm)
Berat (gr)
Koleksi Benih
1
Besar
3,16 – 5,10
1,21 – 1,90
3,10 – 7,50
TN Ujung Kulon
2
Kecil
1,20 – 3,15
0,50 – 1,20
1,50 – 3,00
TN Ujung Kulon
3
Campuran
1,20 – 5,10
0,50 – 1,90
1,50 – 7,50
TN Ujung Kulon
Penetapan kriteria benih
adalah untuk menyederhanakan
pengelompokan dan
perbandingan berdasarkan ukuran benih yang secara umum berlaku di masyarakat. 3. Metode Penelitian Pengujian benih dan bibit malapari dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 replikasi. Pengelompokan benih malapari berdasarkan perlakuan dimensi ukuran benih yaitu menggunakan 20 benih, dengan demikian jumlah benih yang
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
119
dibutuhkan untuk pengujian berjumlah 5 x 20 x 3 = 300 benih dengan parameter percobaan adalah: a. Nilai Kecambah merupakan kecepatan dan jumlah perkecambahan dan interaksinya. Nilai perkecambahan ditetapkan dengan rumus Gzabator dalam Hartman et al. (1997) sebagai berikut: GV =
----------------------------------------------------------------(2.1)
PV x MDG
Keterangan: GV
=
Germination value (nilai perkecambahan)
PV
=
Peak value adalah nilai maksimum dari hasil bagi antara persen jadi yang berkecambah sampai pada hari anakan muncul terbanyak dengan jumlah biji yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat berkecambah tertinggi. Mean Daily Germination adalah hasil bagi antara jumlah benih yang
MDG =
berkecambah dengan jumlah hari pengamatan b. Kecepatan berkecambah adalah paramater vigor dengan nilainya ditetapkan dengan rumus Sadjad (1972) sebagai berikut: Kct =
i .1 1 tŝ
----------------------------------------------------------------(2.2)
Keterangan: Kct = i = KN = :L =
Kecepatan perkecambahan Hari Pengamatan Kecambah Normal (%) Waktu (etmal)
Pengujian kualitas bibit dilakukan pada umur 4 bulan setelah penyapihan mengacu rancangan RAL dengan 5 ulangan. Setiap perlakuan menggunakan 20 bibit. Pengamatan dilakukan pada bibit umur 4 bulan terhadap parameter: a. Tinggi bibit (cm): dilakukan dengan mengukur tinggi bibit dari pangkal sampai ujung bibit b. Diameter bibit (mm): dilakukan dengan mengukur diameter batang bibit pada 1 cm diatas permukaan tanah di polibag
120
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
c. Kekokohan bibit dihitung sebagai ratio antara tinggi bibit (cm) dengan diameter bibit (mm). d. Jumlah daun (lembar) dilakukan dengan menghitung jumlah daun yang telah berkembang sempurna. e. Total biomassa kering (gr) dilakukan dengan melakukan penghitungan berat kering WRWDOVHWHODKSHQJHULQJDQGLRYHQSDGDVXKX&ÛVDPSDLEHUDWNRQVWDQ 4. Analisa Data Data hasil pengukuran setiap sifat dianalisis keragamannya dan apabila ditemukan perbedaan yang nyata diantara variasi dimensi benih, maka dilakukan uji lanjutan berdasarkan berdasarkan Uji Duncan Multiple Range Test (Steel and Torrie, 1980). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Nilai Kecambah dan Kecepatan Berkecambah Pengamatan terhadap nilai kecambah malapari berdasarkan variasi dimensi ukuran benih menghasilkan nilai kecambah yang beragam dengan kisaran nilai 0,11 - 0,98 dengan nilai rerata 0,49.
Pengamatan terhadap kecepatan berkecambah malapari
berdasarkan variasi dimensi ukuran benih menghasilkan kecepatan berkecambah dengan kisaran nilai 0,96 – 3,1 dengan nilai rerata 1,85. Nilai rerata masing-masing nilai kecambah dan kecepatan berkecambah berdasarkan ukuran benih tertera pada Gambar 1.
A. Nilai kecambah Gambar 1.
B. Kecepatan berkecambah
Nilai simpangan baku dan notasi uji lanjut pada parameter nilai kecambah benih (A) dan kecepatan berkecambah benih (B) Pongamia pinnata berdasarkan dimensi ukuran benih.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
121
B. Kualitas bibit Evaluasi terhadap beberapa parameter kualitas bibit yang dilakukan antara lain pertumbuhan tinggi bibit, diameter batang bibit, kekokohan bibit, jumlah daun bibit dan total biomassa kering yang hasilnya tertera pada Gambar 2.
A. Tinggi Bibit
C. Jumlah Daun
122
B.Diameter Batang Bibit
D. Kekokohan bibit
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
E. Total biomassa bibit Gambar 2.
Nilai simpangan baku dan notasi uji lanjut parameter tinggi (A), diameter bibit (B), jumlah daun (C), kekokohan bibit (D) dan total biomassa (E) Pongamia pinnata berdasarkan ukuran benih
Hasil analisis varians menunjukkan bahwa dimensi ukuran benih berpengaruh tidak nyata terhadap nilai kecambah, kecepatan berkecambah, diameter bibit,
tetapi
berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi bibit, jumlah daun, kekokohan bibit dan total biomassa bibit malapari. Hasil evaluasi beberapa parameter kualitas bibit pada umur 4 bulan menunjukkan bahwa benih berukuran besar menunjukkan kecenderungan pertumbuhan lebih besar terutama pada tinggi bibit, diameter bibit, produksi jumlah daun, kekokohan batang bibit dan total biomassa. Pada histogram Gambar 2 menunjukkan bahwa benih berukuran kecil mengindikasikan memiliki kualitas pertumbuhan bibit yang lebih rendah dibandingkan benih campuran. C. Pembahasan Nilai kecambah dan kecepatan berkecambah merupakan salah satu aspek nilai viabilitas benih untuk hidup, yang ditunjukkan oleh gejala pertumbuhan atau gejala metabolismenya (Mugnisyah et al., 1994). Nilai rerata kecambah malapari dalam pengujian ini adalah 0,49 dan nilai tersebut dikategorikan medium. Implikasi dari nilai tersebut adalah masih diperlukannya upaya peningkatan nilai kecambah melalui perbaikan teknik seleksi benih. Seleksi berdasarkan dimensi ukuran benih besar pada percobaan ini meskipun mampu meningkatkan nilai kecambah menjadi 0,54 tetapi belum masuk kategori tinggi. Untuk peningkatan nilai kecambah tersebut dapat ditambahkan kegiatan seleksi benih berdasarkan penentuan waktu pemanenan buah dan perbaikan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
123
penanganan benih sebelum dikecambahkan. Sebagai pembanding pada jenis Toona sinensis nilai kecambah yang dihasilkan lebih besar nilainya yaitu 0,85 (Sinaga, 2004) dan dikategorikan memiliki nilai GV (Germination Value) tinggi. Vigoritas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh normal pada keadaan lingkungan yang sub-optimal atau sesudah benih melampui suatu periode simpan yang lama (Sutopo, 1998). Untuk mengetahui tingkat vigoritas benih dapat dilakukan pengamatan kecepatan berkecambah. Hasil pengamatan terhadap kecepatan berkecambah malapari menunjukkan bahwa perkecambahan dimulai pada hari ke 15 setelah penyemaian dengan benih berukuran besar menunjukkan nilai Germination Rate terbaik yaitu 2,43 (% KN/etmal) diikuti benih campuran 1,64 (% KN/etmal) dan benih berukuran kecil 1,47 (% KN/etmal). Implikasi dari nilai tersebut menunjukkan bahwa seleksi berdasarkan ukuran benih besar mampu meningkatkan kecepatan benih berkecambah sehingga waktu penyiapan bibit dapat diefisiensikan. Nilai viabilitas benih selalu lebih tinggi daripada nilai vigoritas, hal ini menunjukkan bahwa benih yang berkecambah belum tentu vigor (Kuswanto, 1996). Nilai kecambah benih malapari tertinggi dihasilkan ukuran benih besar (0,54) diikuti benih campuran (0,52) dan benih kecil (0,43). Besarnya nilai kecambah yang dihasilkan antara lain juga dipengaruhi oleh kecepatan hari berkecambah, jumlah benih berkecambah maupun lamanya hari berkecambah. Peubah puncak kecambah sering memiliki nilai rendah apabila benih tidak menunjukkan puncak hari berkecambah. Benih yang dipanen pada saat masak fisiologis akan kemampuan berkecambah sangat baik (Sutopo, 1998). Kondisi tersebut identik dengan kondisi penimbunan bahan makanan dan berat kering maupun daya tumbuh mencapai tingkat maksimum, karena mutu benih dapat diketahui dari watak genetiknya maupun kondisi fisik di lapangan seperti penentuan saat panen buah. Kualitas benih selalu dihubungkan dengan tingkatan genetik, fisis dan fisiologis dari benih tersebut. Berdasarkan aspek fisiologis, benih bisa dianggap berkualitas jika mempunyai persen kecambah yang tinggi, dari segi fisik bahwa kualitas benih berhubungan dengan ukuran, struktur, serta ketahanan dari penyakit. Benih dianggap berkualitas secara genetik apabila membawa sifat-sifat unggul dari induknya. Besar biji
124
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
mempengaruhi dalam viabilitasnya, biji-biji yang lebih besar mempunyai viabilitas yang lebih baik dari pada biji yang ringan, hal ini berkaitan dengan ketersediaan cadangan makanan dalam biji tersebut (Mugnisyah et al., 1994; Laksmi et al., 1999). Peningkatan nilai kecambah dan kecepatan berkecambah malapari berdasarkan seleksi benih berukuran besar sejalan dengan percobaan pada benih Melia azedarach dimana nilai nilai daya kecambah dan kecepatan berkecambah tertinggi dihasilkan benih berukuran besar (Suita dan Megawati, 2009) dan pada pohon (Quercus rubra menunjukkan benih berukuran kecil menghasilkan nilai perkecambahan dan daya hidup yang rendah (Kormanik et al.,1998). Hasil evaluasi pada pengujian ini menunjukkan bahwa benih besar berpotensi menghasilkan nilai kecambah, kecepatan, dan pertumbuhan bibit yang cenderung lebih baik dibandingkan benih berukuran kecil dan campuran. Hasil serupa juga diperoleh pada evaluasi benih dan bibit Styrax benzoine Dryand (Jayusman 1997), tetapi hasil berbeda pada jenis Quercus petrae, yang menunjukkan ukuran benih tidak menghasilkan tingkat daya perkecambahan dan daya hidup bibit yang berbeda (Tilki, 2010). Hasil berbeda tersebut sangat terkait variasi respon benih dan tipe benih yang diuji. Berdasarkan tingkat respon perkecambahan maka terdapat tipe benih yang membutuhkan waktu lama untuk berkecambah dan benih yang membutuhkan waktu cepat untuk berkecambah (Sutopo, 1998). Kondisi beragam tersebut menunjukkkan bahwa setiap jenis akan menghasilkan tipikal benih yang beragam sehingga evaluasi secara komprehensif sangat dibutuhkan untuk mendeskripikan sifat-sifat benih yang bermanfaat bagi budidaya dan pengelolaannya. Banyak penelitian menekankan bahwa penggunaan benih yang telah dipilih yang tipikal bagi kultivar yang bersangkutan adalah penting dalam percobaan, jika tidak maka hasilnya tidak akurat (Suita, 2014; Ghildiyal et al., 2009).
IV. PENUTUP Dimensi ukuran benih (ponganmia pinnata) berukuran besar menunjukkan nilai terbaik terhadap parameter nilai kecambah, kecepatan berkecambah dan kualitas bibit yang dihasilkan dibandingkan benih berukuran kecil dan benih campuran. Seleksi terhadap benih malapari dengan memilih benih-benih berukuran besar akan meningkatkan kulitas bibit yang dihasilkan.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
125
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tim Pemuliaan Malapari (Pongamia pinnata) Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan yang telah banyak membantu dalam eksplorasi dan koleksi materi genetik dilapangan.
DAFTAR PUSTAKA) Aras, A, Akkemik, U and Kaya, Z, (2007). Fruit and seed Morphology and Its Taxonomic Problem in Turkey. Departmen of Biology, Faculty of Science, Istambul University, Turkey. P.J. Bot. 39(6): 1907-1916, 2007. Balai TNUK. (2015). Taman Nasional “Ujung Kulon National Park. Letak dan Luas. Profl Balai TN Ujung Kulon 2015. Balai Taman Nasional Ujung Kulon. Hassanein, A.M.A. (2010). Improving Seed Germination and Seedling Growth of Some Economically Important Trees by Seed Treatments and Growing Media. Journal of Horticultura Science & Ornamental Plant 2 (1): 23-31, 2010. Duke,
J.A (1983). Pongamia pinnata (L.) Crops.Unpublished. Purdue University.
Pierre.
Handbook
of
Energy
Fredericks, J.B., C. Hagedom and S.W. Vanscoyoc. (1990). Isolation of Rhizobium leguminosarum (biovar trifolii) Strain from Ethiopian Soils and Symbiotic Effectiveness on African Annual Clover Species. Applied and Environmental Microbial. pp 1087-1092. Ghildiyal S.K, C.M. Sharma and S. Gairola. (2009). Environmental Variation in Seed and Seedling characteristics Of Pinus Roxburghii Sarg. Fromuttarakhand, India. Applied Ecology and Environmental Research 7(2): 121-129. Hartman H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R.L. Genewe. (1997). Plant Propagation Principles and Practices. 6th edition. New Jersey. Upper Saddle River. Jayusman. (1997). Hubungan Antara Variasi Ukuran Biji dengan Nilai Kecambah dan Pertumbuhan Semai Kemenyan Durame (Styrax benzoin DRYAND). Buletin Penelitian Kehutanan. BPK Pematang Siantar. 13 (3): 249 - 265. Kormanik P.P, Sung S.S, Kormanik T.L, Schlarbaum S.E, Zarnoch S.J. (1998). Effect a corn size on development red oak 10 seedling. Can. J. For.Res.28. pp 1805-1813. Kuswanto H. (1996). Dasar-Dasar Teknologi, Produksi dan Sertifikasi Benih. Andi. Yogyakarta. pp 80 – 86. Laksmi, R, Sunarti, S, Tambunan, P dan Mangkuwibowo F. (1999). Viabilitas dan Variabilitas Benih Antar Famili Pada Kebun Benih Eucalyptus pellita di Wonogiri dan Kalimantan Selatan. Wana Benih. pp 37 - 45.
126
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Manonmani V, K Vanangamudi and R.S Vinaya Ray. (1996). Effect of seed size on seed germination and Vigour in Pongamia pinnata. Journal of Tropical Forest 9 (1): 15. Mugnisyah, W.Q, Setiawan, A. Suwarto dan Santiwa, C. (1994). Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. Jakarta Raja Grafindo Persada.. pp 14 - 64. Muhammad, S and Amusa N.A. (2003). Effect of Sulphuric Acid and Water Treatmens on Seed Germination of Tamarind (Tamarindus indica L). African Journal of Biotechnology. 2(9): 276-279. Mukta N, I.Y.L.N. Murthy and P. Sripal. (2008). Variability assessment in Pongamia pinnata (L.) Pierre germplasm for biodiesel traits. Hyderabad, Andhra Pradesh India. Directorate of Oil seeds Research. Sadjad, S. (1972). Kekuatan tumbuh benih. Penataran penyuluhan pertanian spesialis. Bogor Bagian Penataran BIMAS. Departemen Agronomi IPB. Schmidt, L. (2000). Guide to Handling of Tropical and Subtropical Forest Seed. Denmark DANIDA Forest Seed Centre.. pp. 181 - 390. Simpson D. (1998). Selection of Superior Trees. Tree Improvement, ApIlied Research and Technology Tranfer. USA. Science Publishers, Inc.. pp 107 - 124. Sinaga, M.A, 2004. Pengaruh Sumber Benih dan Pembuangan Sayap Terhadap Viabilitas Benih Suren (Toona sinensis Merr). [Skripsi]. Medan. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.. (Tidak diterbitkan). Steel, R.G.D. and Torrie, J.H. (1980) Principles and Procedures of Statistics: A Biometrical Approach. 2nd Edition. New York. McGraw Hill Book Co. Suita, E dan Megawati. 2009. Pengaruh Ukuran Benih Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Mindi (Melia azedarch.L). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 6 (1). Sutopo, L. 1998. Teknologi Benih. Jakarta. Rajawali. pp. 22; 31 - 32. Suita E. 2014. Pengaruh Seleksi Benih Terhadap Viabilitas Benih Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan. 2(2):99-108. Tilki, F. 2010. Influence of a corn size and Storage duration on moisture content, germination and survival of Quercus petare. Journal of Enviromental Biology, 31:325-328. Utami, N.K, Witjaksono, Hoesen, D.H.H. 2006. Perkecambahan Biji Dan Pertumbuhan Semai Ramin (Gonystylus Bancanus Miq.) Pada Berbagai Media Tumbuh. Jurnal Biodiversitas. 7(3): 264-268. Wright J. 1976. Introduction to Forest Genetics. Departemen of Forestry. Michigan State University. Academic Press New York San Fransisco London.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
127
Yoursheng C and Sziklai O. 1985. Preliminary study on the germination of Toona sinensis (A.JUSS) Roem Seed from eleven Chinese provenances. For. Ecol. Manage. 10: 269-281.
128
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
PRESENTASI NARASUMBER
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
129
130
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Potensi Pengembangan Tiga Jenis Pohon Lokal Pada Lahan Gambut di Riau Ahmad Junaedi Peneliti Muda Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
131
132
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
133
134
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
135
136
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
137
138
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
139
140
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
141
142
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
143
144
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Pertumbuhan dan Kesuburan Tanah Pada Tegakan Jabon di Lahan Mineral Syofia Rahmayanti Peneliti Muda Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
145
146
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
147
148
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
1
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
149
150
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
151
152
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
153
154
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
155
156
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
157
Peluang Jenis Kayu Alternatif Sebagai Bahan Baku Pilp Yeni Aprianis Peneliti Muda Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
158
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
159
160
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
161
162
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
163
164
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Potensi dan Peluang Budidaya Lebah Madu Jenis Galo-galo (7ULJRQD itama &RFNHUHOl) di Riau Drs. Purnomo Peneliti Madya Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
165
166
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
167
168
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
169
170
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
171
172
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
173
174
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
175
176
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
177
178
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
179
180
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
181
182
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
183
Refleksi 25 Tahun Pembangunan Hutan Tanaman Industri: Suatu Kajian Ekonomi Politik Dr. Sudarmalik Peneliti Muda Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan
184
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
185
186
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
187
188
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
189
190
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
191
192
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
193
194
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
195
Evaluasi Pengaruh Aktivitas Antropogenik Terhadap Kontaminasi Logam Berat Di Peraian Pantai Dumai Bintal Amin Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universsitas Riau
196
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
197
198
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
199
200
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
201
202
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
203
204
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
205
206
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
207
208
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
209
210
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
211
212
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
213
214
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
215
216
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
217
218
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
219
220
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
221
222
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Fenomena Kebakaran Hutan Riau Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wishnu Sukmantoro World Wild Fund Indonesia Sumatera Tengah
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
223
224
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
225
226
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
227
228
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
229
230
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
231
232
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
233
234
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
235
NOTULENSI PEMBAHASAN KEGIATAN
: SEMINAR HASIL PENELITIAN “PELUANG DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DI RIAU
TEMPAT
: AULA PERPUSTAKAAN SOEMAN HS PEKANBARU
TANGGAL
: 29 OKTOBER 2015
WAKTU
: 08.00 s.d selesai
SESI I Moderator : Ir. C. Nugroho S. Priyono, M.Sc Materi : 1. Potensi Pengembangan 3 Jenis Pohon Lokal pada Lahan Gambut di Riau oleh Ahmad Junaedi, M.Sc x
Hampir dari setengah kejadian deforestrasi di pulau Sumatera terjadi di Propinsi Riau (data tahun 2009). Pada tahun berikutnyayang terjadi adalah bukan semakin berkurang, namun semakin meningkat. Pada tahun 2009-2013, laju deforestrasi di Propinsi Riau menjadi kejadian tertinggi di Indonesia yaitu seluas 690.000 ha.
x
Rehabilitasi berbasis tanaman jenis eksotik sudah banyak dilakukan. Namun dalam penelitian ini lebih mengutamakan tanaman jenis lokal, antara lain Mahang, Geronggang dan Skubung. Pengembangan jenis lokal perlu mengetahui pertumbuhan, pemanfaatan, pengetahuan silvikultur dan ketersediaan materi tanam serta ekologinya.
x
3 jenis tanaman lokal : a. Mahang (Macaranga pruinosa) Termasuk ke dalam family Euphorbiaceae, ditemukan pada hutan rawa gambut dan juga lahan kering s.d 100 m dpl. Di Riau dapat ditemukan di Siak, Dumai, Bengkalis dan Kampar. Diduga fast growing dengan tinggi mencapai 40 m dan diameter 50 cm, bersifat intoleran. Ketersediaan benih melimpah,
236
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
tetapi pengetahuan silvikultur jenis masih terbatas. Pemanfaatan kayu untuk cerocok dan palet, daun/pucuk untuk teh herbal dan obat infeksi jamur. Peluang pemanfatan yaitu serat kayunya masuk kelas II untuk pembuatan pulp. b. Geronggang (Cratoxylum arborescens) Termasuk famili Gutiferae. Pohon asli hutan rawa gambut, tapi dapat tumbuh pada berpasir dan lempung berpasir, ketinggian 0 -1800 m dpl, pada ilim A dan B. Jenis fast growing yang tersebar di Pulau Sumatera & Kalimantan; di Riau antara lain ditemukan di Siak dan Bengkalis. Ketersediaan benih melimpah, tapi pengetahuan silvikultur jenis masih terbatas. Pemanfaatan kayu untuk papan dan cerucuk. Peluang pemanfaatan kulit batang sebagai antioksidan, antikanker dan antivirus karena mengandung Į-Mangostin dan ȕ-Mangostin. Peluang pemanfatannya yaitu serat kayunya masuk kelas II untuk pembuatan pulp. c. Skubung (Macaranga gigantea) Termasuk famili Euphorbiaceae dengan nama daerah biruwak, sangkubang, kecubung, mahang gajah, Simalur. Tersebar di Sumatera dan Sulawesi. Di Riau ditemukan anatra lain di Kab. Kampar, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Pelalawan, Kuansing dan kota Dumai. Ditemukan di lahan gambut dan juga mineral s.d 1000 m dpl. Benih melimpah, tetapi pengetahuan silvikultur masih kurang. Di Riau kayunya dimanfaatkan untuk cerucuk dan palet. Potensi pemanfaatan serat kayu untuk pulp dan campuran papan semen. x
Tanaman Mahang, Geronggang dan Skubung memiliki persen hidup termasuk baik dan tinggi dibanding krassikarpa, yaitu sebesar 81%, 85% dan 64%. Tanaman Krasikarpa lebih rentan untuk terkena serangan genoderma (Jamur). Selain itu, penyebab kematian Krassikarpa adalah patah cabang, tanda rayap, patah pangkal, patah bagian batang dan roboh.
x
Kesimpulan : a. Mahang dan geronggang dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan gambut terdegradasi (terutama di areal bekas kebakaran atau pada aeral yang rawan kebakaran)
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
237
b. Potensi geronggang sebagai penghasil kayu serat perlu didukung oleh upaya perbaikan silvikultur dan pemuliaan pohon. c. Jenis pohon lokal mahang, skubung dan geronggang menyimpan potensi pemanfaatan non kayunya (daun & kulit) sebagai bahan obat-obatan. 2. Peluang Jenis Kayu Alternatif Sebagai Bahan Baku Pulp oleh Yeni Aprianis, S.Si, M.Sc x
Akhir-akhir ini, prospek industri kertas semakin meningkat sehingga akan berpengaruh terhadap kebutuhan bahan baku yang meningkat pula. Bahan baku pembuatan kertas lebih mengutamakan bahan dari tanaman akasia dan tanaman eucalyptus, namun tanaman akasia dan eucalyptus lebih sering terkena serangan hama penyakit.
x
Kayu lokal memiliki potensi untuk mendobrak dominasi tanaman akasia dan eucalyptus. Harapan kedepannya adalah kayu lokal ini mampu bersaing dan beradaptasi dengan lingkungannya
x
7 (tujuh) jenis tanaman alternatif antara lain : a. Jabon (Anthocephalus cadamba) b. Geronggang (Cratoxylum arborescens) c. Terentang (Campnosperma auriculatum) d. Binuang (Octomeles sumatrana) e. Sesendok (Endospermum diadenum) f. Mahang (Macaranga hypoleuca) g. Sekubung (Macaranga gigantea)
x
Dalam memilih bahan baku pulp, perlu diketahui karakteristik serat dari dimensi serat (Panjang serat, Diameter serat, Tebal dinding sel, Diameter lumen). Pada sifat komponen kimia kayu, hampir semua jenis dari 7 (tujuh) jenis tanaman alternatif memiliki persentase selulosa yang sama.
x
Pada pulp semi-mekanis, yaitu adanya gabungan aksi kimia dan aksi mekanis dengan keunggulan pulp semi-mekanis antara lain rendemen lebih banyak, ramah lingkungan, daya cetak tinggi dan sifat opasitas tinggi.
x
Terentang memiliki peluang untuk pulp semi-mekanis berdasarkan metode skoring yang digunakan dibandingkan dengan 6 (enam) jenis tanaman lainnya.
238
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
x
Kesimpulan : a. Kayu sesendok memiliki serat yang lebih panjang dibandingkan dengan keenam jenis kayu yang lain. b. Kayu terentang memberikan peluang jika diolah sebagai pulp semi-mekanis. c. Kayu geronggang disarankan untuk diolah sebagai pulp kimia.
3. Pertumbuhan dan Kesuburan Tanah pada Tegakan Jabon di Lahan Mineral oleh Dra. Syofia Rahmayanti -
Kebutuhan industri pulp dan kertas semakin meningkat sehingga berdampak pada pemanfaatan kayu di perusahaan yang semakin tinggi. Adakah jenis lokal yang dapat digunakan untuk industri HTI-pulp? Padahal ada 4000 spesies pohon dimana 267 spesies bernilai jual tinggi dan 647 spesies dilindungi.
Kriteria aspek silvikultur untuk pemilihan jenis pohon sebagai bahan baku industri pulp antara lain : pertumbuhan cepat, produktivitas tinggi, cabang sedikit, bebas cabang tinggi/batang lurus, mudah ditanam, mudah pembibitan, bebas hama penyakit
Jabon (Antocephalus cadamba Miq.) -
Berat jenis 0,42
-
Nilai dimensi serat dan turunannya : kelas II
-
Perbanyakan dapat dilakukan dengan biji
-
Tinggi bebas cabang 20-30 m
-
Diameter mencapai 100 cm
-
Volume 23 m3/ha/th (Lemmens et al,1995)
-
Sebaran alami : Kab. Rokan Hulu dan Indragiri Hulu
Untuk aspek lingkungan, produksi seresah dari jabon tertinggi pada umur 2 tahun, menurun pada umur yang lebih tua. Memperlihatkan bahwa puncak pertumbuhan jabon pada umur 2 dan 3 tahun.
Kesimpulan : a. Kemampuan hidup jabon hingga 28 bulan pada plot agroforestri dan plot monokultur cukup tinggi namun tidak signifikan berbeda. b. Pertumbuhan jabon dan volume pohon pada plot agroforestri lebih baik daripada plot monokultur.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
239
c. Produktivitas serasah jabon dan laju dekomposisi tertinggi diperoleh pada jabon umur 2 tahun. d. Kondisi kesuburan tanah pada plot di lokasi penelitian lebih baik dengan ditanami jabon. 4. Papan MDF Kayu Binuang dengan Perekat Asam Sitrat oleh Agus Wahyudi
Binuang (Octomeles sumatrana Miq) termasuk ke dalam Famili Datiscaceae. Jenis pioner lahan mineral di hutan sekunder Indonesia (40,82 jt ha) - propinsi Riau (1,82 jt ha). Tanaman fast growing species, riap 25-40 m3/th (Pratiwi & Alrasjid, 1988), pada tanah vulkanic Bogor umur 4 th dpt mencapai tinggi 25 m diameter 47 cm (Soerianegara & Lemmens, 2001). Berat jenis 0,33; Kelas kuat IV-V; Kelas awet V. Pemanfaatan hanya sebatas untuk peti bibit/buah dan papan cetakan cor bangunan.
Penggunaan asam sitrat : penstabil dimensi kayu, karena adanya ikatan silang di selulosa. Kadar asam sitrat mulai dari 0% - 30%. Semakin tinggi asam sitrat semakin menurun daya serap air. Kadar sitrat 20% up, sudah memenuhi standar JIS untuk internal banding. Kadar sitrat 10% up sudah mampu menyamai standar JIS untuk kelas keteguhan patah. Kadar sitrat 15% up sudah mampu menyamai standar JIS untuk kelas keteguhan elastis.
Kesimpulan : a. Sifat fisik dan mekanik papan MDF kayu binuang dengan perekat asam sitrat meningkat seiring dengan meningkatnya kadar asam sitrat. b. Pemberian perekat asam sitrat minimal 20% dapat membuat papan MDF kayu binuang memenuhi standar JIS A 5905 type 5.
DISKUSI No
Nama
1.
Makmun
Pertanyaan
Riau memiliki jenis endemik
Dalam penelitian ini tidak
Murot
yg patut diperhitungkan. Di
bermaksud untuk menyelesaikan
(Dishutbun
wilayah Kepulauan Meranti,
permasalahan kebakaran dan HTI.
Kep.
jenis geronggang memiliki
Namun hanya sebagai solusi apabila
Meranti)
240
Jawaban
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
terjadi penurunan produktivitas.
No
Nama
Pertanyaan
Jawaban
potensi pertumbuhan yang cukup tinggi.
1. Penelitian ini tidak ditanam/di ujicobakan di lahan bekas
Ahmad Junaedi :
kebakaran. Di plot penelitian
1. Bagaimana sifat-sifat dari ketiga jenis ini jika ditanam
tanaman Geronggang terdapat
di atas lahan bekas terbakar?
beberapa burung yang bersarang
Biasanya yg ditanam di atas
disana
lahan bekas terbakar adalah
2. Jenis-jenis yang diteliti berdasarkan berbagai aspek.
pulai.
Terkait dengan budidaya
2. Apakah kita sudah siap ketika permintaan terhadap
tanaman sudah dikuasi karena
tanaman tersebut tinggi?
telah dilakukan penelitian oleh
Terkait dengan budidaya
peneliti Bogor. Dalam konsep
tanamannya apalagi Mahang
kebakaran, tanaman ini diteliti
termasuk tanaman yang sulit
hanya terkait pencegahan, bukan
untuk dibudidayakan
penanganan. Jenis ini bisa selamat dari kebakaran apabila kebakaran tersebut terjadi dalam skala menengah
Yeni Aprianis :
Apakah 7 jenis itu layak
Dari 7 jenis ini, bukan bermaksud
untuk menggantikan
melakukan pembandingan
krassikarpa? Terkait dengan
terhadap 7 (tujuh) jenis ini
potensi satwa yang tinggal di
dengan tanaman krassikarpa,
areal tersebut yg
tetapi untuk mengetahui jenis
kemungkinan akan berubah
tanaman mana yang lebih dahulu
Yeni Aprianis :
di utamakan dari 7 (tujuh) jenis tanaman tersebut sebagai kayu alternatif sebagai bahan baku pulp.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
241
No 3.
Nama
Pertanyaan
Jawaban
Dodi
Yeni Aprianis
Yeni Aprianis:
Frianto
Mohon dijelaskan data acacia
Jawaban sama dengan jawaban
BPTSTH
dan eucalyptus jika
penanya 1 (satu).
Kuok
dibandingkan dengan 7 (tujuh) jenis tersebut
Ahmad Junaedi :
1. Jenis gelam memiliki
Ahmad Junaedi : 1. Tanaman mampu bertahan tetapi
kemampuan bertahan dari
tidak dalam keadaan kejadian
kebakaran sedang, karena
kebakaran yang hebat.
memiliki lapisan getah .
2. Tipikal lahan gambut yang cocok
Apakah tanaman geronggang
untuk tanaman tersebut adalah
mampu bertahan hidup
gambut tengah dan atas.
terhadap kebakaran di lahan
Untuk teknik budidaya sudah ada
gambut?
peneliti bogor yang meneliti akan ke-
2. 3 jenis lokal tersebut bisa
3 jenis tanaman tersebut.
ditanami di lahan gambut yang seperti apa? Bisakah di lahan gambut yg sudah ditanami sawit dan dikanalisasi?
Bagaimana teknik budidaya 3 jenis local tersebut?
4.
Kadishut
Riau
1. Pengalaman di Riau : jenis
Ahmad Junaedi mahang dan sesendok pernah
Ahmad Junaedi
Untuk skala usaha? Masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
ditanam oleh perusahaan HTI PT. Wirakarya Sakti berani (PT Khulim) di Minas Æ tapi melakukan uji coba penanaman skala gagal 2. Jenis tersebut merupakan jenis pionir, dikhawatirkan
242
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
25 hektar, namun terkait dengan anggaran yang ada, kami belum
No
Nama
Pertanyaan
Jawaban
nantinya akan mati sendiri
berani untuk menanam dengan
saat usianya mulai dewasa
luasan sebesar 25 hektar.
3. Saran : lakukan ujicoba penanaman/budidaya sehingga nantinya dapat dikembangkan dalam skala besar.
Yeni Aprianis:
Yeni Aprianis:
7 jenis tersebut harus
Jawaban sama dengan jawaban
dibandingkan dengan jenis
penanya 1 (satu).
yang terkenal di masyarakat 5.
Makmun
Murot
1. Apakah jabon cocok ditanam 1. Secara alami, tanaman Jabon
(Dishutbun Kep.
Syofia Rahmayanti : di lahan mineral/gambut?
ditemukan di lahan mineral,
2. Perbandingan sistem
Meranti)
Syofia Rahmayanti :
namun untuk pembudidayaan
monokultur dan agroforestry,
lebih baik dilakukan di alamnya.
karena sistem agroforestry
Tanaman Jabon apabila ditanam
lebih menarik bagi
di lahan gambut, pertumbuhannya
masyarakat, Apakah
akan stagnan saat memasuki usia
agroforestri tersebut bisa
2 tahun.
dilakukan di lokasi lain?
2. Sistem agroforestry lebih baik dilakukan di lahan mineral karena kebanyakan penanaman palawija dilakukan di lahan mineral. Namun terkendala di pemasaran sehingga menyebabkan harga jabon turun
Agus Wahyudi:
Agus Wahyudi
Apakah MDF hasil penelitian
MDF merupakan produk yg bs
juga memiliki potensi yang
dikembangkan di UKM dengan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
243
No
Nama
Pertanyaan
Jawaban
bagus untuk diproduksi
modal sedang. Bahan baku tidak
komersil? Terkait kualitas dan
harus kayu solid, bisa
harga
menggunakan limbah kayu penggergajian. Perekat yang digunakan juga mudah didapatkan
6.
Samsir
Syofia Rahmayanti :
Syofia Rahmayanti :
Alam
Paparan lebih banyak aspek
Dalam melirik tanaman Jabon
Dishut
teknis, sedangkan aspek
tidak hanya semata-mata karena
Kuansing
social budaya dan ekonomi
melihat hasil study semata, tetapi
belum dijelaskan
juga diikuti oleh trend pada saat itu (tahun 2008-2009). Maka kami memilih tanaman Jabon untuk ditanam di lahan masyarakat. Hasilnya setelah 3,5 tahun memang tidak seindah yang dibayangkan, tetapi kalau dilihat dari angka dengan tanaman akasia bisa lebih bagus. Itupun bukan dari bibit hasil pemuliaan.
Dari analisa budaya, telah dilakukan wawancara, hampir 70% masyarakat ingin mengembangkan jenis tanaman Jabon di desa mereka dengan alasan cerita indah dan hasil yang menarik. Namun, masih terkendala dari segi pemasaran. Nilai ekonomis jabon tidak seperti yang diharapkan oleh petani.
244
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
No 7.
Nama Zainal
Pertanyaan
Dishut Siak
Jawaban
Syofia Rahmayanti
Syofia Rahmayanti :
Mohon penjelasan, pada umur
Kasus di Kabupaten Rokan Hilir :
berapa jabon bisa dipanen?
keputusan Bupati Æ perusahaan
Bagaimana pemasarannya?
veneer menerima jabon dari masyarakat dengan syarat biaya transportasi pengangkutan kayu sampai ke perusahaan menjadi beban pemilik lahan. Terkendala di harga (Rp 250.000,-/m³) sampai di pabrik (1 m³ = 5 pohon) Umur panen pohon tidak bbisa dipastikan, di Kabupaten Rokan Hulu 3 tahun. Jabon bisa dipanen aat diameter mencapai 13 cm
8.
Sudarmalik
Agus Wahyudi
BPTSTH
Apakah bisa MDF hasil
MDF merupakan produk yg bs
penelitian tersebut lebih
dikembangkan di UKM dengan
dikembangkan lagi ke skala
modal sedang. Bahan baku tidak
yg lebih bagus, shg
harus kayu solid, bisa menggunakan
pengusaha/masyarakat bisa
limbah kayu penggergajian. Perekat
lebih tertarik?
yang digunakan juga mudah
Kuok
Agus Wahyudi
didapatkan 9.
Yos Rizal
Syofia Rahmayanti
Dishutbun
Prospek jabon di Rohul bisa
Rokan Hulu
dikembangkan. Kendala di Rohul memang di kegiatan pemasaran. Saran : penelitian tanaman lebih banyak difokuskan yang bermanfaat/
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
245
No
Nama
Pertanyaan
Jawaban
berdampak positif bagi masyarakat, bukan hanya untuk perusahaan 10. Sadino (UPT
Syofia Rahmayanti :
1. Dikatakan bahwa jenis sistem 1. Jarak tanam memang 4x5 m,
Perbenihan
agroforestry lebih bagus
tanaman antara merupakan
Dishut
daripada sistem monokultur,
pilihan masyarakat itu sendiri
Propinsi)
apakah pernah jarak tanam
yaitu tanaman semusim (jangka
4x5 ini ditanam dengan jenis
waktu lebih pendek dari tanaman
tanaman gaharu atau kayu
utama). Untuk kayu putih dan
putih? Hasilnya seperti apa?
gaharu belum dilaksanakan
Karena saat ini masyarakat di
penelitian sehingga perlu
Riau sedang “hobi”
dilakukan penelitian lebih lanjut.
menanam tanaman gaharu dan kayu putih. 2. Belum ada rekomendasi kedepannya? 3. Jenis tanaman Jabon yang digunakan Jabon merah atau Jabon putih? 11. Moderator
Rekomendasi Terbuka peluang jenis-jenis alternative untuk ditanam di lahan gambut Dibutuhkan kajian tambahan berupa kebun benih, rekomendasi dan info teknis yang dibutuhkan masyarakat
246
Syofia Rahmayanti :
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
2. Rekomendasi penanaman belum sampai sana karena pertumbuhan tanamannya masih dipantau. 3. Jenis yang ditanam adalah jenis tanaman Jabon Putih (Anthocephalus cadamba)
No
Nama
Pertanyaan
Jawaban
Masih ada tantangan yg perlu diselesaikan misalnya aspek pertumbuhan, social budaya dan ekonomi Papan MDF merupakan peluang yang bisa dilaksanakan di industry UKM
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
247
SESI II Moderator : Eka Novriyanti, S.Hut, M.Si, Ph.D Materi : 1. Potensi Peluang Budidaya Lebah Jenis galo-Galo (Trigona itama Cockerell) di Provinsi Riau oleh Drs. Purnomo
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada berbagai pihak, khususnya petani lebah madu di riau bahwa T. itama merupakan jenis lebah local Riau yang memiliki potensi untuk dibudidaya karena merupakan penghasil propolis, pembudidayaan yang mudah, dan berpeluang besar untuk diternakkan pada skala usaha rumah tangga.
4 Jenis lebah yg ada di Riau (Apis dorsata, Apis mellifera, Apis cerana, Trigona sp)
Riau menghasilkan produksi madu tertinggi di Indonesia ± 500-600 ton per tahun
Saat ini pengusaha mulai melirik lebah jenis Trigona spp, khusunya untuk menghasilkan produk propolis
Provinsi Riau cocok digunakan sebagai lokasi untuk budidaya Trigona sp
Kelebihan budidaya lebah Trigona sp : mudah beradaptasi, mudah dibudidayakan, pakan melimpah dan mudah dipelihara
Produk utama Trigona adalah propolis dan madu yg nilai jualnya lebih tinggi daripada lebah Apis,
Hasil analisa usaha : layak dikembangkan untuk usaha skala rumah tangga
2. Refleksi 25 tahun Pembangunan Hutan Tanaman Industri : Suatu Kajian Ekonomi Politik oleh Dr. Sudarmalik, S.Hut, M.Si
Di Riau ada 58 IUPHHK-HT sejuas 1,6 juta ha
Penggunaan areal hutan di Riau sebagian besar untuk HTI dan pekebunan sawit
Ekonomi politik merupakan keputusan ekonimi termasuk keputusan siapa yang dapat konsesi yang dipengaruhi oleh ekonomi dan politik, akan tetapi tidak mencampurkan antara analisis ekonomi dan analisis politik. Sedangkan politik ekonomi adalah keputusan ekonomi yang didorong oleh kepentingan-kepentingan
248
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
ekonomi. Analisis data yang diperlukan meliputi analisis isi, analisis stakeholder, dan deskriptif.
Analisis isi meliputi 4 periode pembangunan HTI yakni: 1) Periode pengembangan gagasan (1980-1990); 2) periode implementasi gagasan (19902000); 3) periode puncak pengembangan (2000-2009); dan 4) periode kesadaran lingkungan (2009-sekarang).
Kebijakan yg mempengaruhi pembangunan HTI : 1. Kebijakan nasional Æotonomi daerah (insentif IUPHHK_HT bersifat disinsentif bagi kelestarian hutan) 2. Kebijakan sector kehutanan bersifat insentif : contoh : pembiayaan HTI melalui penyertaan modal pemerintah
Tipologi HTI di Propinsi Riauu adalah adanya praktek monopoli/duopoly yang dilakukan oleh dua perusahaan besar dan aktor-aktor lainnya sehingga perusahaan kecil tidak dapat berkembang karena adanya barrier to entry.
Kebijakan pembangunan HTI di Provinsi Riau selama ini telah menciptakan penguasaan lahan dan pemasaran kayu HTI oleh beberapa grup yang memiliki modal besar.
Adanya monopoli/duopoly tersebut didorong oleh adanya kepentingan pemangku kekuasaan . Selain itu adanya interaksi antara pengusaha dan pemerintah yang memungkinkan terjadinya keikutsertaan dan besarnya pengaruh pengusaha dalam proses agenda setting kebijakan pembangunan HTI. Akibatnya laba yang ada hanya bisa dinikmati oleh pihak monopoli. Tetapimasyarakat ttidak ikut merasakan keuntungannya
x
Untuk menciptakan pembangunan HTI yang baik diperlukan peninjauan kembali pebijakan Kerja SAma Operasi (KSO) serta pembangunan tata kelola yang dapat menghilangkan biaya transaksi tinggi
3. Evaluasi Pengaruh Aktifitas Antropogenic Terhadap Kontaminasi Logam Berat di Perairan oleh Prof. Dr. Ir. Bintal Amin, M.Sc
80% kebakaran hutan dan lahan di Riau disebabkan oleh konversi lahan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
249
Ada dua macam suksesi, yakni suksesi primer dan suksesii sekunder. Suksesi primer melahirkan perubahan ekosistem yang drastic sedangkan suksesi sekunder melahirkan jenis-jenis alami yang baru.
Dalam skala tertentu dan terkendali pembakaran lahan adalah strategi untuk tujuan memperbaiki ekosistem atau mendorong biodiversitas. Akan tetapi jika dilakukan dalam skala besar justru dan tidak terkendali justru menimbulkan kerusakan ekosistem dan kemusnahan biodiversitas.
Adanya disturbance (gangguan) akan perubahan ekosistem sehingga biodiversitas menjadi lebih beraneka ragam dibandingkan kondisi stabil
Tata kelola Lingkungan Hidup dan kehutanan: a. Monitoring hotspot kebakaran b. Early warning system c. Penempatan tim damkar/MPA di lokasi rawan kebakaran d. Moratorium pembukaan lahan dan hutan secara permanen e. Pemulihan wilayah gambut dengan restorasi habitat f. Perijinan pembakaran lahan dengan sekat bakar dan strategi pengontrolan api untuk konversi di bawah 10 hektar g. Dalam jangka waktu 3-5 tahun, sekat kanal menjadi prioritas di lahan gambut h. Pengembangan system agroforestry
4. Fenomena Kebakaran Hutan Riau dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Wishnu Sukmantoro x
Aktivitas
antropogenik
meliputi
aktivitas
pelayaran,
pemukiman,
dan
pembangunan kawasan industri. Aktivitas-aktivitas inilah yang menunjang terjadinya pencemaran lingkungan yaitu pencemaran logam-logam berat. x
Logam-logam berat yang membahayakan bagi tubuh manusia apabila terpapar diantaranya adalah Cd, Cu, Pb, dan Zn.
x
Penelitian ini terfokus pada paparan logam berat di dalam air laud an di dalam tubuh ikan (ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan gulama, yakni ikan yang banyak ditemukan di perairan dumai).
250
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
x
Perairan yang diamati meliputi dua kawasan yaitu perairan 1 (kawasan yang dekat dengan aktivitas antropogenik) dan perairan 2 (kawasan yang agak jauh dari aktivitas antropogenik).
x
Hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya logam-logam berat baik di perairan 1 dan 2 akan tetapi di kawasan yang agak jauh dengan aktivitas antropogenik memiliki kadar logam berat dalam jumlah yang tidak terlalu besar.
x
Kandungan logam berat yang dimiliki oleh ikan gulama yang paling tinggi adalah logam Pb. Akan tetapi secara keseluruhan kadar logam yang dikandung oleh ikan gulama masih di bawah ambang batas. Semakin besar ukuran ikan gulama, kandungan logam nya semakin kecil.
DISKUSI No 1.
Nama Makmun
Uraian
Purnomo :
Purnomo
Murot
Ada peluang kerjasama dengan
(Dishutbun
Dishut Kep. Meranti karena
nectar tanaman, kemudian
Kep
vegetasi di KEp Meranti masih
dihisap oleh lebah (ada produksi
Meranti)
cukup tinggi
hormaon di lambung) kemudian
Apa saja karakteristik madu yang bagus untuk dikonsumsi? Keunggulan madu dari lebah
1. Madu yang bagus : diambil dari
dimuntahkan kembali ke sarang menjadi madu. Madu yang sesuai SNI : bebas logam berat,
Trigona dibandingkan dengan
bebas pestisida (tidak boleh ada
lebah yang lain
cemaran apapun di madu). 2. Keunggulan dari madu Trigona sp. adalah madu dibungkus oleh sel propolis dengan kandungan tinggi sehingga madu nya pun mengandung propolis. Selain itu daya jual propolis yang tinggi pun dapat menjadi peluang usaha yang bagus untuk industri kecil.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
251
No 2.
Nama Melque
Uraian
Purnomo :
Purnomo :
(Dishut
Pemancingan lebah dengan
Cara pemancingan dengan
Rokan
metode glodhog apakah berbeda
menggunakan glodok merupakan
Hilir)
antara lebah Trigona dengan
cara yang cukup efektif. Setelah
jenis apis
dilakukan pengasapan, lebah akan meninggalkan sarang dan berpindah ke glodok yang telah disiapkan. Pemunculan calon ratu harus dihindari dengan cara pemeriksaan secara berkala sarang lebah. Cirri kemunculan calon ratu baru adalah kemunculan lebah-lebah jantan
3.
Makmun
Sudarmalik :
Sudarmalik :
Murot
Apakah HTI sudah menganut
Selama ini belum menganut asas
(Dishut
azas keberlanjutan? Jika belum,
berkelanjutan. Pemerintah lebih
Kep
diperlukan evaluasi
mengedepankan aspek ekonomi
Meranti)
dibandingkan aspek social dan lingkungan.
Kondisi monopoli
HTI di Riau yang tinggi juga karena ekonomi. Propinsi
mengedepankan Monopoli Riau
aspek
HTI
masih
di
tinggi
sehingga aspek lingkungan dan aspek sosial agak terabaikan.
Wisnu :
Wisnu :
Apa kontribusi NGO dalam
Peran WWF bekerjasama dengan
pengendalian kebakaran hutan
Jikalahari di bidang monitoring
dan lahan?
hotspot. WWF sudah meramalkan fenomena el nino (kemarau
252
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
No
Nama
Uraian panjang) pada tahun 2014-2015 di Riau (hasil kajian WWF yang dipublikasikan di Riau Pos tahun 2010) Æ bisa digunakan sebagai early warning system, sehingga masyarakat sudah mengantisipasi dampak dari el nino tersebut diantaranya ketersediaan air, kemarau panjang, dan kebakaran lahan. Tim WWF bekerjasama dengan polisi, Taman Nasional dan tim patroli gajah melakukan pemantauan hotspot secara intensif. Kemudian menempatkan MPA dan damkar di tempattempat spesifik hotspot kebakaran hutan. Yang tidak kalah penting adalah memonitoring dan patrol lahan konsesi. Hasilnya tahun 2015 ini jumlah hotspot di Riau tidak terlalu tinggi
4.
Wisnu :
Dishut
Mohon solusi penanganan
Perlu dievaluasi di wilayah2 yg
Siak
karhutla di Riau
konsentrasi hotspotnya tinggi Æ
Sadino
Wisnu :
perlu dipulihkan atau tidak Solusi penanganan kebakaran hutan dan lahan :
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
253
No
Nama
Uraian
Perlu dikaji dampak konsesi lahan gambut dari aspek ekonomi dan lingkungan
Early warning system
Penanganan lahan gambut
Pemahaman fire management oleh pihak yang terjun langsung di lapangan dan masyarakat umum
Kendala : sumber air, kurangnya aksesibilitas (peta akses ke lokasi kebakaran), system tanggap darurat dengan cepat (proses evakuasi) 5.
Arya –
Wishnu :
jurusan.
1. Siapa yg salah dalam bencana
1. Sulit untuk menentukan siapa
Wishnu
Kehutanan
dampak asap ini?
yang bersalah dalam bencana
Universitas
Pemerintah/masyarakat/perusah
asap karena cara untuk
Riau
aan?
menentukan pelaku kebakaran
2. Cara pencegahan dampak asap?
hutan itu adalah harus ada pelaku
3. Apakah penanganan kasus
di tempat kejadian kebakaran.
hukum kurang tegas?
2. Dari sisi peraturan yang ada
4. Apa hukuman pembakar lahan?
sudah cukup tegas, akan tetapi dari sisi monitoring lahan dan pemerintah masih terbatas (keterbatasan personil monitoring).
6.
Sudarmalik
Wishnu Tanggapan : perlu pemetaan tata ruang desa dan tata batas,
254
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
No
Nama
Uraian sehingga pemilik lahan harus bertanggung jawab jika lahannya terbakar. Masalah saat ini lahan yg terbakar tidak diketahui siapa pemiliknya, jadi tidak ada yang dipidanakan (contoh kasus di Rimbo Panjang)
7.
Moderator
Rekomendasi 1. Ada potensi pengembangan
usaha Trigona itama di Prov Riau dalam skala usaha rumah tangga 2. Terjadi monopoli pembangunan
HTI oleh perusahaan, sehingga masyarakat tidak bisa ikut menikmati keuntungan dalam usaha HTI ini karena adanya barrier to entry oleh perusahaan-perusahaan bermodal besar. 3. Pemerintah, LSM, masyarakat
dan mahasiswa perlu bekerjasama dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan 4. Polutan pencemaran logam berat
di perairan Dumai masih di bawah ambang batas tetapi masyarakat tetap perlu waspada dalam mengkonsumsi hasil laut
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
255
No
Nama
Uraian yang diperoleh dari kawasan dengan aktivitas antropogenik
256
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
JADWAL ACARA SEMINAR HASIL PENELITIAN Peluang dan Tantangan Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Riau Waktu
Materi
Keterangan
07.30-08.00 Registrasi
Panitia
08.00-08.45 Opening
Panitia
Pembacaan Doa
Panitia
Laporan Panitia Penyelenggara
Kepala BPTSTH
Sambutan Selamat Datang
Kepala Dinas Kehutanan Prov. Riau Kepala Badan Litbang dan Inovasi
Sambutan dan Pembukaan 08.45-09.00 Coffee Break 09.00-12.00 Presentasi dan Diskusi Sesi I
Moderator : : Ir. C. Nugroho S. Priyono, M.Sc Pertumbuhan dan Kesuburan Tanah Narasumber : Ahmad Junaedi, pada Tegakan 3 Jenis Pohon Lokal S.Si, M.Sc Riau di Lahan Gambut. Pertumbuhan dan Kesuburan Tanah Narasumber : Dra. Syofia pada Tegakan Jabon di Lahan Mineral Rahmayanti Peluang Jenis Kayu Alternatif Sebagai Narasumber : Yeni Aprianis, Bahan Baku Pulp S.Si, M.Sc Pengaruh Konsentrasi Perekat Asam Narasumber : Agus Wahyudi, Sitrat Terhadap Karakteristik Papan S.Hut, M.Si Serat Kerapatan Sedang Kayu Binuang (Octomeles sumatrana) 12.00-13.00 ISHOMA 13.00-16.00 Presentasi dan Diskusi Sesi II Ekonomi Politik Pembangunan HTI
Eka Novriyanti, S.Hut, M.Si, Ph.D Dr. Sudarmalik, S.Hut, M.Si
Potensi Peluang Pengembangan Drs. Purnomo Budidaya Lebah Trigona itama di Riau Evaluasi Pengaruh Aktifitas Prof. Dr. Ir. Bintal Amin, M.Sc Antropogenic Terhadap Kontaminasi Logam Berat di Perairan oleh Prof. Dr. Ir. Bintal Amin, M.Sc. Fenomena Kebakaran Hutan Riau Wisnu Sukmantoro dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan 16.00-16.15 Coffee Break 16.15-16.30 Pembacaan Rumusan Seminar dan Tim Perumus dan Panitia Penutupan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
257
DAFTAR PESERTA SEMINAR NO.
NAMA
UNIT KERJA
1.
C. Nugroho S Priyono
Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi
2.
Sujarwo Sujatmoko
Sekretariat Badan Litbang dan Inovasi
3.
Hisan
TN. Bukit Tiga Puluh
4.
Gunawan Hadi Rahmanto
5.
Dedy Rahmanto
6.
Sadino
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan UPT Perbenihan Dishut Provinsi Riau
7.
Endang Kurniawati
8.
Anita
9.
Pawit
10.
Sali
11.
Refiansal
12.
Michael Daru Enggar
13.
Juliswan
14.
Faisal
15.
Fahrizal Labay
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Dinas Pertanian dan Perkebunan Tanah Datar Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Tasik Besar Sarkap Provinsi Riau Dinas Kehutanan Provinsi Riau
16.
Mukhlis Fauzan
SKM Kehutanan Pekanbaru
17.
Wazir
18.
Ahmad Junaedi
19.
Syofia Rahmayanti
20.
Purnomo
21.
Agus Wahyudi
22.
Kosasih
23.
Jusmar
Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim, Provinsi Riau Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Badan Koordinasi dan Penyuluhan Provinsi Riau
258
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
24.
Eka Novriyanti
25.
Yeni Aprianis
26.
Ferdy A.H
27.
Asani
28.
Richi Rotari
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan TN. Tesso Nilo
29.
Timpal Mian P
Dinas Kehutanan Provinsi Riau
30.
Dodi Frianto
31.
Syasri Jannetta
32.
Ramiduk Nainggolan
33.
Sigid D
34.
Marwoto
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Pekanbaru Balai Diklat Kehutanan Pekanbaru
35.
Kadarianto
Balai Diklat Kehutanan Pekanbaru
36.
Auzar
Dinas Kehutanan Pelalawan
37.
Melque H
Dinas Kehutanan Rokan Hilir
38.
Arifin Budi Siswanto
39.
Busrianto
40.
T. Amrizal S
41.
Sri Rahayu Prastyaningsih
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah II Medan Balai Perbenihan Rehabilitasi dan Konservasi Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Riau Universitas Lancang Kuning
42.
H Yosrizal S.P
43.
Fahrurazi
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Rokan Hulu Dinas Kehutanan Kampar
44.
Muhammad Saufi, S.Hut
Dinas Kehutanan Kampar
45.
Gan Cahyadi, S.P
Dinas Kehutanan Kampar
46.
Ika Soliha, S.Hut
Dinas Kehutanan Kampar
47.
H. Sanusi
Dinas Kehutanan Kampar
48.
Ery Jonang
Dinas Kehutanan Kampar
49.
Krisno Dwi Raharjo
Balai Penelitian Tanaman Hutan
Teknologi
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Serat
259
50.
Susyati
51.
Nur Yeni
52
Diding R
53.
Eki Sughitan
54.
Syafruddin DN
55.
Amirti
56.
Wisno A
57.
Rika F
58.
Sarmiayati
59.
Sudarmalik
60.
Delfitri Adi
61.
Ayi Erian Suryana
62.
M. Murod
Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah Provinsi Riau Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah Provinsi Riau Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Pekanbaru Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Pekanbaru Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Pekanbaru Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah Provinsi Riau Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indragiri Rokan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indragiri Rokan Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah Provinsi Riau Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Pekanbaru Dinas Kehutanan Kepulauan Meranti
63.
Iskandar
Dinas Kehutanan Indragiri Hulu
34.
Yusri
Dinas Kehutanan Indragiri Hulu
65.
Abdullah
66.
Hasmar
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Dinas Kehutanan Indragiri Hulu
67.
Aprizal Lisman
Universitas Riau
68.
Khalid Afif
Universitas Riau
69.
Tawin
70.
Lolia Santi
71.
Hendri DS
72.
Harmizar
73.
Sudirman
74.
Saepul Iksan
Balai Penelitian Tanaman Hutan Balai Penelitian Tanaman Hutan Balai Penelitian Tanaman Hutan Balai Penelitian Tanaman Hutan Balai Penelitian Tanaman Hutan Balai Penelitian Tanaman Hutan
260
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Teknologi
Serat
Teknologi
Serat
Teknologi
Serat
Teknologi
Serat
Teknologi
Serat
Teknologi
Serat
75.
Wismulyo
Balai Penelitian Tanaman Hutan Universitas Riau
Teknologi
Serat
76.
Ari Wispinaldo
77.
Delvia Roza
Teknologi
Serat
Teknologi
Serat
Defer Yoza
Balai Penelitian Tanaman Hutan Balai Penelitian Tanaman Hutan Universitas Riau
78.
Meilastiti Mulya Wijaya
79. 80.
Wisnu Sukmantoro
World Wildlife Fund
81.
Farika Dian N
82.
Andhika Silva Yunianto
83.
Ahmad Rojidin
84.
Minal Aminin
85.
Kanti Dewi Rizqiani
86.
Bintal Amrin
Balai Penelitian Tanaman Hutan Balai Penelitian Tanaman Hutan Balai Penelitian Tanaman Hutan Balai Penelitian Tanaman Hutan Balai Penelitian Tanaman Hutan Universitas Riau
87.
Dyah Purbo Arumi
SMK Kehutanan Pekanbaru
89.
Alfinazri
90.
Shinta Pangesti
91.
Opik Taupik Akbar
92.
Eko Sutrisno
93.
Agus Wahyudi
94.
Andi Mandala Putra
95.
Suhendar
96.
Sunarto
97.
Sugiharto
98.
Zainal
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Siak
99.
Agus Winarsih
100.
Samsir Alam
Teknologi
Serat
Teknologi
Serat
Teknologi
Serat
Teknologi
Serat
Teknologi
Serat
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Kuansing
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
261
262
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015
263
264
Prosiding Seminar Hasil Penelitian 2015