PSIKOLOGI OLAHRAGA

Download Dengan kata lain, Psikologi Olahraga lebih terarah pada aspek ... buku mengenai Psikologi Olahraga yang berjudul The Psychology of Physical...

4 downloads 629 Views 709KB Size
PSIKOLOGI OLAHRAGA

Oleh : Supriyadi

Tidak Dijual Hanya Untuk Kalangan Sendiri: Mahasiswa Prodi Psikologi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ergonomi

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR - BALI 2015/2016

1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini, karyasiswa harus dapat : 1. Memahami pengertian dari Psikologi Olahraga 2. Menjelaskan sejarah singkat dari Psikologi Olahraga 3. Mengaplikasikan manfaat dari Psikologi Olahraga

1.2 Pengertian Psikologi Olahraga Psikologi adalah sebuah bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental manusia secara ilmiah. Para praktisi dalam bidang psikologi disebut para psikolog. Para psikolog berusaha mempelajari peran fungsi mental dalam perilaku individu maupun kelompok, selain juga mempelajari tentang proses fisiologis dan neurobiologis yang mendasari perilaku. Menurut asal katanya, psikologi berasal dari Yunani Kuno: Psychē yang berarti jiwa dan –logia/logos yang artinya ilmu, sehingga secara etimologis, psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Perilaku yang dipelajari adalah perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya, mulai dari perilaku sederhana sampai yang kompleks. Perilaku manusia ada yang disadari, namun ada pula yang tidak disadari, dan perilaku yang ditampilkan seseorang dapat bersumber dari luar ataupun dari dalam dirinya sendiri. Ilmu psikologi diterapkan pula ke dalam bidang olahraga yang lalu dikenal sebagai Psikologi Olahraga. Penerapan psikologi ke dalam bidang olahraga ini adalah untuk 2

membantu agar bakat olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan sebaikbaiknya tanpa adanya hambatan dan faktor-faktor yang ada dalam kepribadiannya. Dengan kata lain, tujuan umum dari Psikologi Olahraga adalah untuk membantu seseorang agar dapat menampilkan prestasi optimal, yang lebih baik dari sebelumnya. Beberapa definisi yang lain antara lain : Psikologi Olahraga adalah studi tentang tingkah laku manusia dalam situasi olahraga, fokus kajiannya adalah pada belajar dan performa, dan memperhitungkan baik pelaku maupun penonton. Weinberg and Gould (1995) mengartikan Psikologi Olahraga sebagai studi khusus mengenai manusia dan perilakunya dalam aktivitas olahraga dan latihan. Jadi, Psikologi Olahraga dapat diartikan sebagai psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga, meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi secara langsung terhadap atlet dan faktor-faktor di luar atlet yang dapat mempengaruhi penampilan (performance) atlet tersebut. Weinberg and Gould (1995) mengemukakan bahwa Psikologi Olahraga : 1. Mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu. 2. Memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya. Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa Psikologi Olahraga secara spesifik diarahkan untuk : 1. Membantu para profesional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak. 2. Membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar. 3. Meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan olahraga. Seraganian (1993) serta Willis and Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik Psikologi Olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Jelas bahwa Psikologi Olahraga lebih diarahkan pada kemampuan prestasi pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatan olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, 3

misalnya untuk menang. Dengan kata lain, Psikologi Olahraga lebih terarah pada aspek sosial dengan keberadaan lawan tanding.

1.3 Sejarah Singkat Psikologi Olahraga di Dunia Salah satu studi pendahuluan dalam Psikologi Olahraga telah dilakukan oleh George W. Fitz yang menyelidiki waktu reaksi (reaction time) yang tercantum dalam “Psychological Review“ tahun 1895. Fitz adalah Kepala Departemen Anatomi, Psikologi, dan Latihan Fisik pada Harvard’s Lawrence Scientific School sejak 1891 sampai 1899, dan sebagai penanggungjawab berdirinya Laboratorium Pendidikan Jasmani yang pertama di Amerika Utara. Fitz telah menciptakan alat-alat untuk mengukur kecepatan dan ketepatan seseorang menyentuh objek yang dihadapi tiba-tiba dan dalam posisi yang tak terduga. William G. Anderson, tokoh pendidikan jasmani terkemuka dan tokoh berdirinya American Association for Health, Physical Education, Recreation and Dance (AAHPERD). Selama tahun akademik 1897-1898 menyelesaikan eksperimen mengenai Mental Practice, Transfer of Training dan Transfer of Muscular Strength. Psikologi Olahraga pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898. Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih cepat jika mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika membalap sendiri. Triplett menyimpulkan adanya pengaruh psikologis tertentu yang ia sebut sebagai faktor keberadaan orang lain atau presence of others. Triplett juga melakukan penelitian terhadap anak-anak yang memancing. Ditemukan bahwa setengah dari anak-anak tersebut dipengaruhi oleh keberadaan anak lain. Jadi ada pengaruh lingkungan sosial sebagai faktor munculnya sikap kompetitif. Sehubungan dengan dilakukannya penelitian tersebut , maka Triplett dianggap sebagai orang pertama yang melakukan studi dalam Psikologi Olahraga. Tahun 1918, Coleman Robert Griffith melakukan studi terhadap atlet football dan basket di University of Illinois tentang faktor-faktor psikologis pada atlet-atlet tersebut antara latihan dan pertandingan. Ada tiga bidang perhatiannya dalam melakukan penelitian yaitu psychomotor learning, skilled performance, dan kepribadian. Ia menulis dua buku yang sangat terkenal yaitu The Psychology of Coaching tahun 1926 dan The Psychology of

4

Athletics tahun 1928. Griffith juga menulis 25 artikel ilmiah dari hasil penelitiannya dalam olahraga, sehingga disebut Father of Sport Psychology di Amerika Serikat. Griffith lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk meneliti keterampilan psikomotor, proses belajar, dan variabel-variabel kepribadian. Sehubungan dengan itu Griffith mengembangkan sejumlah alat-alat tertentu meliputi : 1. Alat mengukur waktu reaksi otot yang diberi reaksi beban 2. Tes kecerdikan dalam baseball 3. Tes ketegangan otot dan relaksasi 4. Tes untuk membedakan empat tipe serial reactions times 5. Tes mengukur ketenangan, koordinasi otot-otot dan kemampuan belajar 6. Tes waktu reaksi tehadap sinar, suara, dan tekanan 7. Tes untuk mengukur kepekaan otot 8. Tes kesiapan mental yang dikembangkan khusus bagi atlet Menjelang Perang Dunia I, Psikologi Olahraga di dunia sudah cukup eksis. Sementara itu, di berbagai belahan dunia lain, Psikologi Olahraga mulai berkembang dan mendapat tempatnya sendiri. Di Jepang, riset mengenai Psikologi Olahraga dan aktivitas fisik atau Psychology of Physical Activity and Sport dilakukan tahun 1920 oleh Mitsuo Matsui. Laboratorium Psikologi olahraga pertama di dunia didirikan oleh Carl Diem di “Deutsche Hochscule Fur Leibesubungen“ di Berlin pada tahun 1920. Di Rusia A. Z. Puni mendirikan Laboratorium Psikologi Olahraga di “Institute of Physical Culture“ di Leningrad pada awal tahun 1925. Pasca Perang Dunia II, baik di Eropa maupun di AS dan Asia, perhatian terhadap motor learning dan Psikologi Olahraga bermunculan kembali. Di RRC, banyak bermunculan institusi yang memfokuskan pada pendidikan fisik/ jasmani atau physical education. Tahun 1942, Wu Wenzhong dan Xiao Zhonguo menulis buku mengenai Psikologi Olahraga yang berjudul The Psychology of Physical Education. Keduanya merupakan tokoh dari National Institute of Wu Shu. Warren R. Johnson pada tahun 1949 mengawali penelitian mengenai bermacammacam elemen stres dan dampaknya terhadap penampilan atlet. Tujuan dari salah satu penelitian tersebut adalah membandingkan reaksi emosional sebelum bertanding pada 5

pemain sepak bola dan pegulat. Johnson berkesimpulan bahwa emosi kuat sebagai gejala wajar dari rasa takut dan resah sebelum bertanding tidak tampak sebagai faktor utama yang istimewa dalam sepak bola, tetapi pada indikasi yang kuat bahwa ini merupakan sesuatu yang penting dan serius dalam gulat. Setelah periode tersebut Psikologi Olahraga mengalami kemandekan. Baru pada tahun 1960-an Psikologi OLahraga kembali mulai berkembang. Perkembangan ini ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan membuka konsentrasi pengajaran pada Psikologi Olahraga. Puncaknya adalah pembentukan International Society of Sport Psychology (ISSP) oleh para ilmuwan dari penjuru Eropa. Kongres internasional pertama diadakan pada tahun yang sama di Roma, Italia. Pada tahun 1966, sekelompok Psikolog Olahraga berkumpul di Chicago untuk membicarakan pembentukan Ikatan Psikologi OLahraga. Yang kemudian dikenal dengan nama North American Society for the Psychology of Sport and Physical Activity (NASPSPA). Jurnal pertama Psikologi Olahraga terbit tahun 1970 dengan nama The International Journal of Sport Psychology. Kemudian diikuti oleh Journal of Sport Psychology tahun 1979. Meningkatnya minat melakukan penelitian dalam bidang psikologi olahraga di luar laboratorium memicu pembentukan Association for the Advancement of Applied Sport Psychology (AAASP) pada tahun 1985 dan lebih berfokus secara langsung pada psikologi terapan baik dalam bidang kesehatan maupun dalam konteks olahraga. Perkembangan Psikologi Olahraga di RRC dilaporkan oleh: Ma Qiwei, dkk. pada pertemuan Beijing Asian Games Scientific Congress, tanggal 16-20 September 1990, sebagai berikut: 1. Pada dekade 1956-1966, tulisan dan karangan mengenai Psikologi Olahraga dari luar negeri mulai dikumpulkan dan diterjemahkan. Psikologi Olahraga berangsur-angsur dijadikan mata kuliah resmi di Institut Pendidikan Jasmani. 2. Dekade 1979-1989 adalah periode saat Psikologi Olahraga berkembang pesat. 3. November 1979, dalam pertemuan tahunan Third Annual Academic Meeting of China Society of Psychology di Tianjin, diresmikan berdirinya Physical Education and Sport Psychology Commission.

6

4. Desember 1980 diresmikan berdirinya National Society of Sport Psychology yang berafiliasi dengan Congress of China Society of Sport Science (CSSS).

Psikologi Olahraga kini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kongres ISSP di Yunani tahun 2000 telah dihadiri lebih dari 700 peserta yang berasal dari 70 negara. American Psychological Association telah memasukkan Psikologi Olahraga dalam divisi mandiri yaitu Divisi 47 tentang Exercise and Sport Psychology.

1.4 Sejarah Psikologi Olahraga di Indonesia Psikologi Olahraga di Indonesia merupakan cabang psikologi yang amat baru, sekalipun pada praktiknya kegiatan para psikolog di dalam berbagai cabang olahraga di Indonesia telah berlangsung beberapa tahun lamanya. Secara resmi Ikatan Psikologi Olahraga (IPO) di Indonesia yang berada di bawah naungan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) baru dibentuk tanggal 3 Maret 1999 dan baru ditandatangani secara resmi pada tanggal 24 Juli 1999 dan diketuai oleh Monty P. Satiadarma. Tetapi, psikolog Singgih D. Gunarsa (d/h Go Ge Siong) bersama dengan psikolog Sudirgo Wibowo (d/h Ng Tjong Ping) telah mempelopori kegiatan Psikologi Olahraga bulutangkis nasional yang memanfaatkan jasa psikolog dan ilmu psikologi dalam mencapai puncak prestasi mereka, baik nasional maupun internasional. Peran psikolog Singgih D. Gunarsa yang demikian besar di dalam mempelopori tumbuhnya Psikologi Olahraga di tanah air terus berlanjut selama kurang lebih dua dekade secara sendirian. Sekalipun ada beberapa psikolog lain yang sesekali turut memberikan sumbangan ilmu kepada dunia olahraga di tanah air, hanya Singgih D. Gunarsa lah yang secara resmi dan berkesinambungan tercatat aktif berperan memberikan jasa psikologinya bagi keolahragaan di Indonesia. Kesadaran mengenai betapa pentingnya faktor psikologis, faktor mental, sayangnya tidak disertai dengan tersedianya tenaga khusus yang telah mempelajari bidang baru tersebut secara formal. Pribadi-pribadi yang menyadari hal tersebut belajar sendiri dari buku, kepustakaan, mengikuti seminar dan pertemuan-pertemuan internasional, disamping belajar dari pakar-pakar dalam bidang ini. 7

Kian tahun Psikologi Olahraga kian mengalami peningkatan kajian dan mengalami perkembangan yang berarti. Seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang Psikologi Olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan profesinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya. Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi Psikologi Olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang Psikologi Olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi Psikologi Olahraga yang meliputi: 1) Prinsip Psikologi Olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam. Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan 8

pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa.

1.5 Manfaat Psikologi Olahraga Peranan Psikologi Olahraga pada hakekatnya tidak berbeda dengan peranan ilmu penegtahuan pada umumnya, yaitu menurut Kerlinger (1975; dalam KONI Pusat, 1995) bahwa ilmu pengetahuan berperan dan berfungsi untuk : (1) dapat menjelaskan dan memahami gejala (explanation and understanding), (2) dapat membuat perkiraan (prediction) dengan secara tepat, dan (3) untuk dapat mengawasi (control) dan mengendalikan gejala. Sesuai dengan pendapat Kerlinger tersebut maka manfaat mempelajari Psikologi Olahraga adalah sebagai berikut (KONI Pusat, 1995) : a) Untuk dapat menjelaskan dan memahami tingkah laku atlet dan gejala-gejala psikologi yang terjadi dalam olahraga pada umumnya. Ini sangat perlu dilakukan karena tingkah laku manusia yang tampak (dapat dilihat) pada hakekatnya tidak terlepas dari sikap (attitude) yang tidak tampak. Sikap individu dipengaruhi oleh banyak faktor psikologis, seperti : sifat-sifat pribadi, motif-motif, pemikiran, perasaan, pengalaman, pengetahuan, hambatan yang dialami hidup, dan pengaruhpengaruh lingkungan lainnya. 2) Untuk dapat meramalkan atau dapat membuat prediksi dengan tepat kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi pada atlet, berkaitan dengan permasalahan psikologis. Dengan membuat prediksi secara tepat, dapat ditentukan programprogram dan target-target sesuai keadaan dan kemampuan atlet yang bersangkutan serta dapat dihindarkan hal-hal yang kurang menguntungkan perkembangan atlet. Misalnya dengan memahami sifat-sifat dan kemampuan atlet dapat diramalkan

9

kemungkinan bakat yang ada pada diri atlet tersebut, sehingga dapat diarahkan untuk menekuni cabang olahraga yang sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuannya. 3) Untuk dapat mengontrol dan mengendalikan gejala tingkah laku dalam olahraga. Dengan

perlakuan-perlakuan

untuk

menanggulangi

hal-hal

yang

kurang

menguntungkan, juga dapat memberi perlakuan-perlakuan untuk mengembangkan kemampuan dan segi-segi positif yang dimiliki atlet. Misalnya atlet yang dihinggapi rasa jemu berlatih (boredom) harus diberi perlakuan khusus dengan variasi latihan yang menarik, bila atlet tersebut memiliki motif berprestasi tinggi maka perlu sering diberi kesempatan untuk berlomba, dsbnya.

Latihan 1. Menurut Anda perlukah Anda mempelajari Psikologi Olahraga? Jelaskan jawaban Anda! 2. Menurut Anda bolehkah Anda mempelajari Psikologi Olahraga? Jelaskan jawaban Anda! 3. Bagaimanakah perkembangan Psikologi Olahraga di daerah Anda? Jelaskan jawaban Anda!

10

BAB 2 KEPRIBADIAN DALAM OLAHRAGA 2.1 Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini, karyasiswa harus dapat : 1. Memahami dan mampu mengaplikasikan pengertian dari kepribadian. 2. Menggambarkan dan mampu mengaplikasikan pendekatan sifat kepribadian, dengan referensi khusus pada teori Freud, Eysenck, dan Cattel.

2.2 Pengantar Sejak lebih kurang setengah abad yang lalu adanya hubungan timbal balik antara jiwa dan raga, atau antara gejala fisik dan psikis, telah menjadi bahan pembahasan para ahli psikologi. Ronge (1951) menyebutkan manusia sebagai suatu organisme, yang mengikuti hukum-hukum biologi, hukum-hukum dalam pikir, rasa keadilan, dsb. Perasaan atau emosi memegang peranan penting dalam hidup manusia. Semua gejala emosional seperti : rasa takut, marah, cemas, stres, penuh harap, rasa senang dsb, dapat mempengaruhi perubahan-perubahan kondisi fisik seseorang. Perasaan atau emosi dapat memberi pengaruh-pengaruh fisiologis seperti : ketegangan otot, denyut jantung, peredaran darah, pernafasan, berfungsinya kelenjar-kelenjar hormon tertentu. Sehubungan itu semua maka jelaslah bahwa gejala psikis akan mempengaruhi penampilan dan prestasi atlet. Dalam hubungan ini pengaruh gangguan emosional perlu diperhatikan, karena gangguan emosional dapat mempengaruhi "psychological stability" atau keseimbangan psikis secara keseluruhan, dan ini berakibat besar terhadap pencapaian prestasi atlet. Dalam melakukan kegiatan olahraga, lebih-lebih untuk dapat mencapai prestasi yang tinggi, diperlukan berfungsinya aspek-aspek kejiwaan tertentu : misalnya untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam cabang olahraga panahan atau menembak, maka atlet harus

11

dapat memusatkan perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang, dapat berkonsentrasi penuh meski ada gangguan angin atau suara, dllnya. Untuk menjadi peloncat indah atau peloncat menara yang berprestasi tinggi, atlet yang bersangkutan harus memiliki rasa percaya diri, keberanian, daya konsentrasi, kemauan keras, koordinasi gerak yang baik, dan rasa keindahan ini semua akan dapat terganggu apabila atlet yang bersangkutan mengalami gangguan mental. Emosi atau perasaan atlet perlu mendapat perhatian khusus dalam olahraga, karena emosi atlet disamping mempengaruhi aspek-aspek kejiwaan yang lain (akal dan kehendak), juga mempengaruhi aspek-aspek fisiologisnya sehingga jelas akan berpengaruh terhadap peningkatan atau merosotnya prestasi atlet. Menurut Alderman (1974), penampilan atlet dapat ditinjau dari empat dimensi : 1. Dimensi kesegaran jasmani, berkaitan dengan sistem pernapasan dan jantung atlet, daya tahan, kekuatan otot, dan fleksibilitas. 2. Dimensi ketrampilan yaitu koordinasi gerak, keindahan gerak, kelentukan, dan waktu reaksi. 3. Dimensi pembawaan fisik, bisa dilihat dari segi-segi antropometri (tinggi dan berat badan), dan kemampuan gerak. 4. Dimensi psikologis dan tingkah laku. Beberapa referensi juga menyebutkan bahwa penampilan atlet dipengaruhi oleh : 1. Fisik. Berkaitan dengan stamina, kekuatan, fleksibilitas dan koordinasi. Perlu proses untuk membentuk suatu kondisi fisik menjadi seperti apa yang ditargetkan dan dapat dicapai melalui suatu prosedur latihan yang baik, teratur, sistematis, dan terencana. Ada kondisi fisik yang berkaitan dengan bakat yang merupakan faktor bawaan sejak lahir atau faktor keturunan. Artinya ada faktor-faktor yang bisa dikembangkan tetapi dalam mengembangkan faktor-faktor tertentu, tentu tidak dapat melewati kerangka batas dan faktor keturunan sejak lahir. Misalnya, stamina yang berkaitan dengan kapasitas vital paru-paru yang dimiliki menjadi sesuatu yang khas bagi diri seorang atlet, yang membedakannya dengan atlet lain. Begitu pula dengan kekuatan.

12

2. Teknik. Dipengaruhi oleh berbagai ketrampilan dasar, baik bakat yang diperoleh ketika dilahirkan maupun hasil belajar. 3. Psikis. Berkaitan dengan dorongan, akal, dan kecerdasan.

2.3 Pengertian Kepribadian Salah satu pertanyaan paling dasar yang dihadapi oleh psikologi adalah “Mengapa kita semua berbeda?" Tentu saja, dalam beberapa hal, kita semua sama, seperti dalam struktur otak dan mekanisme persepsi dan daya ingat. Namun, ada perbedaan besar di antara kita yaitu cara-cara kita berpikir, merasa dan berperilaku dalam menanggapi situasi tertentu. Psikologi kepribadian berkaitan dengan perbedaan-perbedaan individual. Pervin (1993) telah menawarkan definisi sederhana dari kepribadian: "Kepribadian merupakan karakteristik dari orang untuk pola perilaku yang konsisten”. Secara umum, ada empat faktor yang mempengaruhi bagaimana kita merespons suatu situasi tertentu yaitu : genetik yang menyusun kita, pengalaman masa lalu kita, sifat situasi di mana kita menemukan diri kita dan kehendak bebas kita. Masing-masing faktor ditekankan oleh satu atau lebih teori kepribadian. Ada beberapa faktor yang berpengaruh besar terhadap penampilan/kemampuan bermain atlet (selain faktor fisik, teknik dan taktik) yaitu : 1. Komponen psikis (motivasi dan kepercayaan diri). 2. Jenis olahraga. 3. Tingkatan pertandingan. 4. Ciri kepribadian.

Personality atau kepribadian berasal dari kata Persona, kata persona merujuk pada topeng yang biasa digunakan para pemain sandiwara di Jaman Romawi. Secara umum kepribadian menunjuk pada bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi individu-individu lainnya.

13

Gambar 2.1 Kepribadian digambarkan sebagai persona/topeng (Sumber : dedihumas.bnn.go.id, 2015)

George Kelly memandang bahwa kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sementara Gordon Allport merumuskan kepribadian sebagai “sesuatu” yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu yang bersangkutan. Menurut Allport, kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pikiran individu secara khas. Allport menggunakan istilah sistem psikofisik dengan maksud menunjukkan bahwa jiwa dan raga manusia adalah suatu sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta diantara keduanya selalu terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku. Sedangkan istilah khas dalam batasan kepribadian Allport itu memiliki arti bahwa setiap individu memiliki kepribadiannya sendiri. Tidak ada dua orang yang berkepribadian sama, karena itu tidak ada dua orang yang berperilaku sama. Sigmund Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem yaitu Id, Ego dan Superego. Dan tingkah laku, menurut Freud, tidak lain merupakan hasil dari konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian tersebut. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar batasan melukiskan kerpibadian sebagai suatu struktur atau organisasi hipotesis, dan tingkah laku dilihat sebagai sesuatu yang diorganisasi dan diintegrasikan oleh kepribadian. Atau dengan kata lain kepribadian dipandang sebagai “organisasi” yang menjadi penentu atau pengarah tingkah laku kita. Sebagian besar batasan juga menekankan perlunya memahami arti perbedaan-perbedaan individual. Dengan istilah “kepribadian”, keunikan dari setiap individu ternyatakan. Dan 14

melalui studi tentang kepribadian, sifat-sifat atau kumpulan sifat individu yang membedakannya dengan individu lain diharapkan dapat menjadi jelas atau dapat dipahami. Teori kepribadian memandang kepribadian sebagai sesuatu yang unik dan atau khas pada diri setiap orang. Sebagian besar batasan menekankan pentingnya melihat kepribadian dari sudut “sejarah hidup”, perkembangan, dan perspektif. Kepribadian, menurut teori kepribadian, merepresentasikan proses keterlibatan subjek atau individu atas pengaruhpengaruh internal dan eksternal yang mencakup faktor-faktor genetik atau biologis, pengalaman-pengalaman sosial, dan perubahan lingkungan. Atau dengan kata lain, corak dan keunikan kepribadian individu itu dipengaruhi oleh faktor-faktor bawaan dan lingkungan.

2.4 Kepribadian Menurut Sigmund Freud

Gambar 2.2 Sigmund Freud, tokoh dari psikoanalisis (Sumber : belajarpsikologi.com, 2015)

Sigmund Freud lahir di Freiberg, 6 Mei 1856, meninggal di London, 23 September 1939 pada umur 83 tahun. Ia adalah seorang Austria keturunan Yahudi dan pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Konsep dari teori Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam bawah sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku. Selain itu, dia juga memberikan pernyataan bahwa perilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya. Alam bawah sadar yang digambarkan Freud memiliki tiga unsur, yaitu Id, Ego dan Superego. 15

1. Id Id merupakan kepribadian yang asli, Id merupakan sumber dari kedua sistem/energi yang lain yaitu Ego dan Superego. Id terdiri dari dorongan-dorongan biologis dasar seperti kebutuhan makan, minum dan seks. Di dalam Id terdapat dua jenis energi yang bertentangan dan sangat mempengaruhi kehidupan dan kepribadian individu, yaitu insting kehidupan dan insting kematian. Insting kehidupan ini disebut libido. Dorongan-dorongan dalam Id selalu ingin dipuaskan dan dalam pemuasannya Id selalu berupaya menghindari pengalaman–pengalaman yang tidak menyenangkan. Oleh karenanya cara pemuasan dari dorongan ini disebut prinsip kesenangan (pleasure principle). 2. Ego Ego merupakan energi yang mendorong untuk mengikuti prinsip kenyataan (reality principle), dan beroperasi menurut proses sekunder. Tujuan prinsip sekunder ini adalah mencegah terjadinya tegangan sampai ditemukannya suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan. Ego menjalankan fungsi pengendalian yang berupaya untuk pemuasan dorongan Id itu bersifat realistis dan sesuai dengan kenyataan. Dengan kata lain fungsi Ego adalah menyaring dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh Id berdasarkan kenyataan. 3. Superego Superego adalah suatu gambaran kesadaran akan nilai-nilai dan moral masyarakat yang ditanamkan oleh adat istiadat, agama, orang tua, guru dan orang- orang lain pada anak. Karena itu pada dasarnya Superego adalah hati nurani (concenience) seseorang yang menilai benar atau salahnya suatu tindakan seseorang. Itu berarti Superego mewakili nilainilai ideal dan selau berorientasi pada kesempurnaan. Cita-cita individu juga diarahkan pada nilai-nilai ideal tersebut, sehingga setiap individu memiliki gambaran tentang dirinya yang paling ideal (Ego-ideal). Bersama-sama dengan Ego, Superego mengatur dan mengarahkan tingkah laku individu yang mengarahkan dorongan-dorongan dari Id berdasarkan aturanaturan dalam masyarakat, agama atau keyakinan-keyakinan tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk.

16

Gambar 2.3 Id, Ego, dan Superego (Sumber : everdnandya.wordpress.com, 2015)

2.5 Kepribadian Menurut Hans J. Eysenck Hans J. Eysenck lahir di Jerman pada tanggal 4 Maret 1916. Dia menerima gelar doktor di bidang psikologi dari University of London tahun 1940. Selama Perang Dunia II, dia bekerja sebagai psikolog di bagian gawat darurat perang. Teori kepribadian Eysenck memiliki komponen biologis dan psikometris yang kuat. Menurut Eysenck kepribadian adalah keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Pola tingkah laku itu berasal dan dikembangkan melalui interaksi fungsional dari empat sektor utama yang mengorganisir tingkah laku; sektor kognitif (intelligence), sektor konatif (character), sektor afektif (temperament), sektor somatik (constitution). Kepribadian menurut Eysenck memiliki empat tingkatan hirarkis, mulai dari hirarki yang tinggi ke hirarki yang rendah : tipe – traits – habit – respon spesifik. 1. Hirarki tertinggi : Tipe, kumpulan dari trait. 2. Hirarki kedua : Trait, kumpulan kegiatan, kumpulan respon yang saling berkaitan atau mempunyai persamaan tertentu. 3. Hirarki ketiga : Habitual Response, kebiasaan tingkah laku atau berpikir, kumpulan respon spesifik, respons yang berulang-ulang terjadi kalau individu menghadapi kondisi atau situasi yang sejenis. 4. Hirarki terendah : Spesific Response, tingkah laku yang dapat diamati, yang berfungsi sebagai respon terhadap suatu kejadian.

17

Gambar 2.4 Empat tingkatan hirarki Eysenck (Sumber : allpsych.com, 2015)

Gambar 2.5 Extraversion Trait (Sumber : allpsych.com, 2015)

Ada tiga dimensi kepribadian menurut Eysenck, yaitu Extraversion (E), Neuroticism (N), dan Psychoticism (P). Menurutnya Neurotisisme dan Psikotisisme itu bukan sifat patologis. Tiga dimensi itu adalah bagian normal dari struktur kepribadian. Semuanya bersifat

bipolar; Extraversion-Intraversion,

Neuroticism-Emotional

Stability,

dan

Psychoticism-Impulse Control. Orang yang memiliki skor tinggi pada tiga dimensi tersebut memiliki kecenderungan melakukan kriminalitas. Semua orang berada dalam rentangan bipolar yang mengikuti kurva normal, artinya sebagian besar orang berada di tengah-tengah polarisasi. Masing-masing dimensi saling bertentangan dan merupakan tipe dari kumpulan sembilan trait, jadi semuanya ada 27 trait. 18

Eysenck membagi empat tipe kepribadian dasar, yaitu : 1) Tinggi N dan Rendah E

: tipe Melankolis

2) Tinggi N dan Tinggi E

: tipe Koleris

3) Rendah N dan Tinggi E

: tipe Sanguinis

4) Rendah N dan Rendah E

: tipe Plegmatis

Gambar 2.6 Empat tipe kepribadian Eysenck

EXTRAVERSION (E) Extraversion Trait

Intraversion Trait

Sociable, lively, active, assertive, sensation Tidak sosial, pasif, ragu, pendiam, banyak seeking, ventureso

carefree,

dominance,

surgent, pikiran, sedih, penurut, pesimis, penakut, tertutup, damai, tenang, dan terkontrol

Penyebab utama perbedaan antara extraversion dan intraversion adalah tingkat keterangsangan korteks (CAL = Cortical Arousal Level), kondisi fisiologis yang sebagian besar bersifat keturunan. CAL rendah artinya korteks tidak peka, reaksinya lemah. Sebaliknya CAL tinggi, korteks mudah terangsang untuk bereaksi.

19

NEUROTICISM (N) Trait dari neurotisisme adalah: anxious, depressed, guild feeling, low self esteem, tension, irrational, shy, moody, emotional. Dasar biologis dari Neuroticism adalah kepekaan reaksi sistem saraf otonom (ANS = Autonomic Nervous System). Orang yang kepekaan ANSnya tinggi, pada kondisi lingkungan wajar sekalipun sudah merespon secara emosional sehingga mudah mengalami gangguan neurotik. Neurotisisme dan ekstraversi bisa digabung dalam hubungan CAL dan ANS, dan dalam bentuk garis absis ordinat. Kedudukan setiap orang pada bidang dua dimensi itu tergantung kepada tingkat ekstraversi dan neurotisismenya.

PSYCHOTICISM (P)

Skor Psychoticism Tinggi Egosentris,

dingin,

tidak

Skor Psychoticism Rendah mudah Baik hati, hangat, penuh perhaitan, akrab,

menyesuaikan diri, impulsif, kejam, agresif, tenang, sangat sosial, empatik, kooperatif, curiga, psikopatik dan anti sosial

dan sabar

Seperti extraversion dan neuroticism, psychoticism mempunyai unsur genetik yang besar. Secara keseluruhan tiga dimensi kepribadian itu 75% bersifat herediter, dan hanya 25% yang menjadi fungsi lingkungan. Dan pria memiliki skor yang lebih besar dibanding wanita dalam dimensi psikotisisme karena hormon progesteron pria lebih besar daripada wanita. Eysenck (1952; dalam Jarvis, 2006) awalnya mengusulkan bahwa kepribadian bisa benar-benar dijelaskan dengan hanya dua sifat, extraversion dan neuroticism. Ekstravert menggambarkan bagaimana seseorang itu hidup, bersosialisasi dan impulsif, sementara neurotisisme menjelaskan bagaimana kestabilan emosi seseorang. Satu pertanyaan yang timbul adalah Mengapa bisa tiga karakteristik yang berbeda seperti keaktifan, sosialisasi dan impulsif dikelompokkan bersama sebagai satu sifat. Jawabannya adalah bahwa, melalui proses matematis yang disebut analisis faktor, Eysenck menemukan bahwa dalam banyak kasus, orang yang sama cenderung menjadi hidup, impulsif dan bersosialisasi. Ketika 20

perilaku karakteristik cenderung mengelompok bersama-sama dengan cara ini, kita dapat mengatakan bahwa mereka membentuk satu sifat. Ekstravert dan neurotisisme dapat diukur dengan tes kepribadian yang disebut Eysenck Personality Inventory (EPI). Beberapa item dari EPI ditampilkan dalam Kotak 2.1.

Kotak 2.1 Contoh Item dari Eysenck Personality Inventory (EPI) YA TIDAK 1. Apakah Anda sering lama untuk kegembiraan? [ ] [ ] 2. Apakah Anda sering perlu memahami teman-teman untuk menghibur Anda? [ ] [ ] 3. Apakah Anda biasanya riang? [ ] [ ] 4. Apakah Anda merasa sangat sulit untuk mengambil jawaban tidak? [ ] [ ] 5. Apakah Anda berhenti dan berpikir hal-hal di atas sebelum melakukan apapun? [ ] [ ] (Sumber: Jarvis, 2006)

Pertanyaan 1, 3 dan 5 merupakan bagian dari skala ekstravert (E), sementara pertanyaan 2 dan 4 merupakan bagian dari skala neurotisisme (N). Skala E dan N masingmasing ditandai dengan skor 24. Skor tinggi pada skala E akan menunjukkan bahwa Anda sangat ekstravert sementara skor rendah akan menunjukkan bahwa Anda sangat intravert, yaitu, tenang, soliter, dan sama sekali tidak impulsif. Skor tinggi pada skala N akan menunjukkan bahwa Anda sangat neurotik, yaitu, emosi tidak stabil, sedangkan nilai yang sangat rendah akan menunjukkan bahwa Anda adalah seorang yang sangat stabil, orang yang tidak mudah terusik. Ini ditunjukkan dalam Kotak 2.2. Kotak 2.2 Arti dari skor EPI Skor EPI Intravert 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 skala E 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Ekstravert Stabil 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 skala N 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Neurotik (Sumber: Jarvis, 2006)

Kebanyakan orang punya skor antara 5 dan 20 pada setiap skala. Dalam versi yang lebih baru dari teorinya, Eysenck (1975) menambahkan ciri kepribadian ketiga, yaitu psychoticism, ukuran seberapa lembut atau keras hati seorang individu. Faktor ini kemudian dimasukkan ke dalam skala ketiga dalam tes kepribadian Eysenck, Eysenck Personality Questionnaire (EPQ). Dengan melihat salah satu dari empat tipe kepribadian seseorang,

21

ekstravert dan neurotisisme, atau temperamen kita dapat mengklasifikasikan mereka seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Empat tipe kepribadian Eysenck (Sumber: Jarvis, 2006)

2.6 Kepribadian Menurut Raymond B. Cattell Cattell tidak setuju dengan pandangan Eysenck bahwa kepribadian bisa dipahami dengan melihat hanya tiga dimensi kepribadian. Sebaliknya ia berpendapat bahwa perlu untuk melihat jumlah sifat yang jauh lebih besar untuk mendapatkan gambaran lengkap dari kepribadian seseorang. Seperti Eysenck, Cattell menggunakan teknik matematika analisis faktor untuk melihat jenis perilaku apa yang cenderung dikelompokkan bersama-sama pada orang-orang yang sama. Dia mengidentifikasi 16 faktor kepribadian. 16 ciri-ciri kepribadian Cattell ini ditunjukkan dalam Kotak 2.3. Kotak 2.3 Cattell’s 16 personality factors reserved -- outgoing stable -- unstable sober -- happy-go-lucky shy -- adventurous trusting -- suspicious forthright -- shrewd conservative -- experimenting undisciplined -- controlled

unintelligent -- intelligent humble -- assertive expedient -- conscientious tough-minded -- tender-minded practical -- imaginative placid -- apprehensive group-dependent -- self-sufficient relaxed -- tense

(Sumber: Jarvis, 2006) 22

Cattell menghasilkan tes kepribadian mirip dengan EPI yang masing-masing diukur dari 16 sifat. Tes itu disebut 16PF, memiliki total 160 pertanyaan, 10 pertanyaan yang berhubungan dengan masing-masing faktor kepribadian. Contoh empat item dari skala kekuatan-ego (expedient--conscientious) yang ditunjukkan dalam Kotak 2.4. Eysenck menyatakan bahwa 16 faktor Cattell itu akan cocok dengan tiga miliknya. Misalnya, faktor relaxed--tense, faktor placid--apprehensive, dan faktor stable--unstable semua diwakili oleh sifat Eysenck neurotisisme. Argumen antara Eysenck dan Cattell benarbenar hanya matematika. Untuk psikolog olahraga, yang penting terutama bukan siapa yang benar, tetapi tes mana yang lebih berguna dalam memahami performance olahraga.

Kotak 2.4 Contoh Item Skala kekuatan-ego dari 16PF 1. Jika Anda diberikan hidup untuk hidup lagi, apakah Anda (a) Pada dasarnya ingin menjadi sama ATAU (b) Merencanakannya sangat berbeda 2. Apakah Anda pernah memiliki mimpi yang mengganggu? (a) Ya ATAU (b) Tidak ada 3. Apakah suasana hati Anda kadang-kadang tampak tidak masuk akal bagi Anda? (a) Ya ATAU (b) Tidak ada 4. Apakah Anda merasa lelah ketika Anda telah melakukan apa-apa untuk membenarkan itu? (a) Jarang ATAU (b) Sering (Sumber: Jarvis, 2006)

2.7 Faktor-Faktor Pembentuk Kepribadian dan Pengukuran Kepribadian Kepribadian merupakan hasil interaksi antara faktor keturunan dengan faktor lingkungan. Dimana perkembangan kepribadian individu ditentukan oleh dua hal, yaitu : 1. Faktor intern, terdiri atas bawaan dan potensi psikologis. Potensi psikologis individu yaitu potensi tentang diri individu yang dapat memilih/menolak sesuatu aturan/stimulus lingkungan yang hendak mengembangkan dirinya. 2. Faktor ekstern, yaitu faktor-faktor di luar individu.

Pengukuran kepribadian dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, diantaranya adalah : 1. Observasi 23

2. Wawancara 3. Tes psikologi : rating scale, unstructured projective test, dan questionnaires

2.8 Kepribadian dan Penampilan Atlet Ada hubungan positif antara kepribadian dan beberapa aspek penampilan atlet. Menurut Ogilvie, ada delapan sifat khusus yang sangat erat berhubungan dengan penampilan atlet antara lain: emosi stabil, ulet, cermat, tertib diri, yakin diri, ketegangan kecil, percaya diri, dan terbuka. Sementara dari hasil penelitian pada 10 orang atlet Indonesia yang memiliki prestasi tingkat dunia disebutkan bahwa terdapat tujuh ciri kepribadian yang menunjang prestasi atlet yaitu : komitmen, ambisi prestatif, gigih, kerja keras, mandiri, cerdas, swakendali (Maksum, 2015). Ketujuh ciri kepribadian tersebut telah diuji secara empirik dan terbukti merupakan prediktor keberhasilan atlet meraih prestasi tinggi. Lingkungan keluarga dan lingkungan olahraga memiliki pengaruh besar pada terbentuknya ciri kepribadian dan munculnya prestasi atlet. Di lingkungan keluarga, individu yang memiliki pengaruh besar adalah orang tua, terutama ayah. Di lingkungan olahraga, individu yang berpengaruh besar adalah pelatih dan sesama atlet. Pengaruh pelatih terhadap kepribadian atlet : a) Selama proses latihan dan pertandingan hubungan pelatih dan atlet membawa pengalaman bersama yang memberi efek terhadap kepribadian atlet. b) Semakin dekat hubungan pelatih dan atlet semakin besar atlet meniru kepribadian pelatih. c) Pelatih yang mengerti atlet dapat membantu atlet yang mengalami konflik. Konflik atlet biasanya terjadi karena : ada perbedaan antara keinginan dengan tujuan, perbedaan perasaan terhadap kompetisi, perbedaan antara kepentingan pribadi dan regu. Latihan 1. Menurut Anda apakah faktor kepribadian mempengaruhi performance atlet? Jelaskan jawaban Anda! 2. Menurut Anda, petinju Mike Tyson tergolong tipe kepribadian manakah bila dilihat dari kepribadian Eysenck? Jelaskan jawaban Anda! 24

3. Menurut Anda apakah faktor lingkungan dapat mempengaruhi kepribadian atlet? Jelaskan jawaban Anda!

25

BAB 3 MOTIVASI DALAM OLAHRAGA 3.1 Tujuan pembelajaran Pada akhir bab ini, karyasiswa harus dapat : 1. Menjelaskan dan mengaplikasikan pengertian dari motivasi 2. Menjelaskan dan mengaplikasikan dimensi dari motivasi 3. Memahami dan mampu mengaplikasikan teori dari motivasi

3.2 Pengertian Motivasi a) Motivasi berasal dari kata latin Movere yang berarti bergerak atau berpindah. Dari kata itu kemudian diperoleh kata motif dan motivasi. b) Motif adalah penggerak, alasan, dorongan, kekuatan /potensi yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan individu punya kecenderungan untuk bertingkah laku. c) Motivasi adalah kecenderungan untuk berperilaku secara selektif ke suatu arah tertentu yang dikendalikan oleh adanya konsekuensi tertentu, dan perilaku tersebut akan bertahan sampai sasaran perilaku dapat tercapai (Alderman, 1974). d) Motivasi adalah Keterlibatan seseorang dalam aktivitas tertentu dalam upaya memperoleh hasil atau sasaran tertentu (Morgan, 1986). e) Motivasi merupakan arah dan intensitas usaha seseorang (Sage, 1977).

3.3 Dimensi Motivasi Motivasi mengandung tiga komponen penting yang saling berkaitan erat, yaitu : a. Kebutuhan. Kebutuhan timbul dalam diri individu apabila si-individu merasa adanya kekurangan dalam dirinya (ada ketidakseimbangan antara apa yang dimiliki dengan apa yang menurut persepsi si-individu harus dimiliki). 26

b. Dorongan. Untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut, dalam diri siindividu akan timbul dorongan berupa usaha pemenuhan kebutuhan secara terarah. Maka, dorongan biasanya berorientasi pada tindakan tertentu yang secara sadar dilakukan oleh seseorang/individu. c. Tujuan. Komponen ketiga dari motivasi adalah tujuan. Pencapaian tujuan berarti mengembangkan keseimbangan dalam diri seseorang/si-individu. Aspek-aspek yang mempengaruhi atau menentukan intensitas motivasi (Gunarsa, 2004) : 1. Atlet itu sendiri 2. Hasil penampilan 3. Suasana pertandingan, seperti ada pelatih yang mendampingi, tekanan penonton 4. Tugas atau penampilan Kebutuhan atlet sehingga mendorongnya berperilaku dalam aktivitas olahraga menurut Martens (1987) karena : 1. Kesenangan, memperoleh kesempatan untuk memenuhi kebutuhan akan suatu aktivitas, dan ketegangan; 2. Bertemu dengan sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan berhubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok; 3. Memperlihatkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan akan merasa berharga. Dari uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut : 1. Motivasi adalah keinginan untuk mencapai atau memuaskan suatu kebutuhan. 2. Motivasi untuk melakukan olahraga dapat datang dari diri sendiri, dikenal dengan motivasi intrinsik, dapat pula datang dari lingkungan, atau disebutmotivasi ekstrinsik.

Di dalam proses pembinaan olahraga ada beberapa bentuk motivasi yang dibedakan yaitu : 1. Motivasi secara umum, artinya motivasi seseorang untuk melibatkan diri di dalam suatu aktivitas olahraga dalam upaya memperoleh hasil tertentu.

27

2. Motivasi berprestasi (achievement motivation) : orientasi seseorang untuk tetap berusaha mendapatkan hasil yang terbaik semaksimal mungkin dengan dasar kemampuan untuk tetap berupaya menyelesaikan tugas sebaik-baiknya, karena dengan itu ia merasa bangga (Gill, 1986). Achievement motivation ini merupakan salah satu karakteristik yang menentukan kesuksesan atlet untuk meraih prestasi (Cox et al., 1985). Jenis-jenis motivasi : 1. Motivasi Intrinsik Adalah motivasi yang datang dari dalam diri individu dan sedikit dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar. Penting bagi seorang atlet karena setiap individu mempunyai individual differences yang membedakan dengan orang lain. Individual differences ini meliputi kesenangan, tingkat kepuasan, kemampuan, penyesuaian diri, tingkat emosi, kerentanan, dsbnya. Lebih ampuh untuk bisa memunculkan sebuah perilaku tertentu karena motivasi ini berasal dari dalam diri sehingga mempunyai kecenderungan yang lebih kuat dan tahan lama. Berbeda dengan motivasi ekstrinsik, ketika sumber motivasi sudah hilang atau berkurang nilainya, maka perilaku yang diharapkan tidak akan muncul a. Motivasi intrinsik untuk tahu (knowledge) Seseorang melibatkan diri dalam sebuah aktivitas karena kesenangan untuk belajar. Dalam konteks olahraga, motivasi ini penting dalam proses latihan untuk memastikan bahwa mereka selalu terlibat dalam proses latihan dengan baik. Pelatih harus selalu kreatif menciptakan metode latihan yang selalu memberi sesuatu yang baru kepada para pemain. b. Motivasi intrinsik yang berkaitan dengan pencapaian (accomplishment) Manusia selalu memiliki naluri untuk mencapai sesuatu. Seseorang melakukan aktivitas karena terdorong oleh kesenangan mencoba untuk melampaui dirinya sendiri. Artinya ada keinginan untuk lebih dan lebih. Seorang pelatih bisa menciptakan ini dengan membawa unsur kompetisi dalam proses latihan. Para pemain harus selalu mengikuti kompetisi yang kompetitif dengan jenjang yang selalu meningkat. Selain untuk mengevaluasi kemampuan, tapi juga agar selalu terfasilitasi untuk melewati pencapaian yang sudah pernah diperoleh. 28

c. Motivasi intrinsik untuk merasakan stimulasi (stimulation) Mendorong seseorang untuk terlibat dalam sebuah aktivitas dalam rangka merasakan kenikmatan yang sensasional. Contohnya pada atlet panjat tebing, pendaki gunung, adalah contoh orang-orang yang selalu ingin merasakan pengalaman sensasional ini. Untuk atlet lain, dengan mendapat pencapaian tertinggi

maka pengalaman sensasional tercapai. Bayangkan jika seseorang

berhasil mendapatkan medali emas olimpiade, pasti luar biasa. Untuk itu atlet harus selalu dirangsang untuk selalu men-set sasarannya setinggi mungkin.

2. Motivasi Ekstrinsik Adalah motivasi yang datang dari luar individu. Dengan kata lain, motivasi yang dimiliki seseorang tersebut dikendalikan oleh objek-objek yang berasal dari luar individu. Seperti: hadiah, trofi, uang, pujian. Tidak selamanya bersifat sementara, tapi dengan penanganan yang tepat, motivasi ini bisa memberi kekuatan yang tidak kalah dengan motivasi ekstrinsik. Jenisnya: a. External regulation Bahwa sebuah perilaku muncul dalam rangka mendapatkan benda-benda/sesuatu yang bersifat eksternal (medali, trofi) dan dalam rangka menghindari tekanan (tekanan sosial). Contoh: “Saya akan pergi berlatih hari ini karena saya tidak ingin dicadangkan oleh pelatih pada pertandingan mendatang!” b. Introjected regulation Pemain mulai menginternalisasi alasan-alasan dari perilakunya. Internalisasi alasan ini untuk mengganti external regulation. Mengganti kontrol eksternal dengan sesuatu yang berasal dari dalam diri sendiri. Contoh: “Saya berlatih karena saya akan merasa bersalah seandainya tidak datang.” c. Regulated through identification Pada fase ini, muncul perilaku-perilaku yang dinilai dan menjadi pilihan untuk dilakukan. Pemain sudah bisa mengidentifikasi perilaku yang harus diambil. Contoh:

29

“Saya memilih untuk berlatih karena berlatih akan membantu saya tampil lebih baik pada pertandingan mendatang.” d. Integrated regulation Pemain sudah memilih sebuah perilaku untuk dikerjakan yang bergerak dari motivasi eksternal ke tindakan yang terpilih. Ada pilihan-pilihan aktivitas lain yang muncul bersamaan dengan aktivitas yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemain. Pada tahap ini motivasi eksternal mencapai titik efektifnya karena sudah menjadi pengatur perilaku atlet dan memberi kesadaran bagi atlet akan perilaku yang seharusnya dilakukan. Contoh: “Lebih baik saya tinggal di rumah dibanding jalanjalan dengan teman-teman. Jadi besok akan lebih siap saat bertanding.”

Studi mengenai motivasi pada hakekatnya merupakan studi tentang perilaku manusia (Alderman, 1974) dimana motif merupakan salah satu determinan yang sangat penting pendorong perilaku manusia. Menurut Anshel (1977) bila dilihat dari sumbernya maka motivasi dibedakan menjadi : a. Orientasi Pelaku (Participant Centered Orientation/PCO). Sumber motivasi terletak pada diri individu yang bersangkutan. b. Orientasi Situasional (Situational Centered Orientation/SCO). Lingkungan yang memberi peluang dan memupuk motivasi seseorang. c. Orientasi Interaksional (Interactional Orientation/IO). Motivasi yang terbentuk karena kombinasi Faktor Pelaku dan Faktor Lingkungan.

3.4 Teori Motivasi Beberapa teori mengenai motivasi yang akan dibahas adalah : 1. Teori hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) -- Abraham Maslow 2. Teori ERG -- Clayton Alderfer 3. Teori kebutuhan untuk maju (need for achievement) -- David McClelland 4. Teori motif dari Henry Murray

30

1. Maslow

mengembangkan teori hierarchy of needs dimana kebutuhan manusia

dengan sendirinya membentuk semacam hierarki kebutuhan. a) Physiological needs / kebutuhan fisiologis b) Safety & security needs / kebutuhan akan rasa aman c) Belongingness & love / kebutuhan sosial (rasa memiliki) d) Self esteem & status / kebutuhan akan penghargaan dan status e) Self actualization / kebutuhan akan aktualisasi diri Motivasi membuat seseorang mau berperilaku dan apabila suatu kebutuhan telah dicapai maka kebutuhan yang lebih tinggi akan jadi kebutuhan baru.

2. Alderfer Membagi kebutuhan menjadi : a. Existence Yaitu keinginan akan kesejahteraan fisiologis dan material. b. Relatedness Yaitu keinginan untuk memuaskan hubungan antar personal. c. Growth Yaitu keinginan akan perkembangan dan pertumbuhan psikologis berkelanjutan.

3. Motif sosial dari David Mc.Clelland Berpendapat bahwa motif sosial dapat dibedakan dalam : a.

n-achievement / motif berprestasi yaitu keinginan untuk berprestasi.

b.

n-affiliation/ motif berafiliasi yaitu kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain,

membina hubungan baik, menjalin hubungan baru, dan

berteman. c.

n-Power/ motif berkuasa yaitu perilaku individu menanamkan pengaruh atas orang lain.

4. Teori motif dari Henry Murray

31

Mengemukakan suatu daftar dari 20-an kebutuhan yang pada umumnya mendorong manusia untuk bertindak/berperilaku. Kebutuhan-kebutuhan bervariasi, ada yang berlawanan (n-nurturance, n-affiliation, n-aggression, n-autonomy, dll). Salah satunya nachievement yaitu konsep motif berprestasi. Untuk menggambarkan kepribadian individu. Adanya kebutuhan/keinginan untuk berprestasi (virus n-ach). Keinginan, hasrat, kemauan, dorongan untuk dapat unggul, yaitu mengungguli prestasi yg pernah dicapainya sendiri atau megungguli prestasi orang lain. Tercermin dari perilaku individu yang selalu mengarah pada suatu standar keunggulan (standard of excellence). Suka akan tugas-tugas yang menantang, tanggung jawab secara pribadi, terbuka akan umpan balik.

Untuk memahami keadaan atlet :  Pelatih harus peka terhadap kebutuhan atlet.  Perlu mendengarkan keinginan dan kebutuhan atlet. Sehingga sebagai pangkal-tolak menimbulkan motivasi, maka atlet hendaknya :  Diberi penghargaan, pengakuan atas prestasi yang telah dicapai.  Diberi tantangan untuk berusaha lebih keras. Teknik yang dapat digunakan oleh pelatih dalam meningkatkan motivasi atlet : 1. Motivasi verbal 2. Motivasi behavioral (perilaku) 3. Motivasi insentif 4. Supervisi 5. Gambar-gambar 6. Khayalan mental Sementara menurut Anshel (1997) ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi atlet agar mencapai prestasi optimal, yaitu : a) Saling mengenal diantara anggota tim b) Terencana c) Berorientasi ke masa depan d) Mengembangkan keterampilan 32

e) Memberikan penghargaan f) Menanamkan disiplin secara tegas bukan keras g) Mencari kesamaan pandangan h) Membuat kegiatan melatih menjadi menarik, misal memvariasikan bentuk latihan i) Bersikap konsisten terutama dalam menerapkan aturan j) Lebih menekankan pada proses daripada hasil k) Waspada terhadap kecenderungan berpikir negatif l) Mengembangkan sikap saling menghargai m) Peka terhadap perlunya atlet untuk istirahat, cuti, liburan n) Mengembangkan sikap kepemimpinan diantara kelompok atlet o) Memberikan masukan yang wajar atas kekeliruan atlet, sebaliknya juga atas keberhasilan p) Tahu membatasi diri dan bersikap konsisten dalam menerapkan disiplin q) Tidak mempermalukan, mengintimidasi, dan mengkritik kepribadian atlet Teknik meningkatkan motivasi (Whitehead, 1995) : 1. Tekankan pada penguasaan teknik secara individual Diwujudkan dalam bentuk memberikan umpan balik atau masukan-masukan yang konkrit, dan jangan cenderung menyalahkan karena pelatih yang hanya berfokus pada kesalahan cenderung akan mengurangi nilai dari masukannya dan kemungkinan membuat atlet menjadi stres. 2. Jangan terlalu membandingkan antar teman latihan Membandingkan antar teman latihan cenderung akan merusak motivasi atlet. Hal ini disebabkan oleh rasa ketidakpuasan dan munculnya rasa malu sehingga akan menyebabkan timbulnya rasa frustrasi dari atlet tersebut. Ketika seorang atlet terlalu sering dibandingkan, maka harga diri atlet tersebut menjadi terganggu. 3. Memberikan banyak pilihan saat latihan Secara konseptual motivasi intrinsik menekankan pada keingintahuan dan penguasaan. Untuk itu proses latihan harus bervariasi sehingga atlet mempunyai

33

banyak pilihan. Pilihan inilah yang akan membuat atlet menyesuaikan diri dengan kemampuannya, sehingga persepsi atas penguasaan materi menjadi lebih baik. 4. Jangan merusak fokus intrinsik dengan pemberian reward yang tidak tepat Pemberian reward (hadiah) yang tidak tepat sasaran akan merusak motivasi intrinsik dari seorang atlet. Di dalam proses latihan, motivasi yang muncul dari para atlet seharusnya adalah keingintahuan, keinginan untuk memperbaiki diri atau keinginan untuk mendapatkan sensasi dari teknik yang dijalankan. Bentuk reward akan cenderung membuat atlet menjadi terdorong untuk mendapatkan hadiah tersebut. Oleh karenanya proses pemberian reward harus tepat sasaran. 5. Buat latihan menjadi menyenangkan Latihan yang menyenangkan akan membuat tekanan menjadi berkurang. Keinginan untuk semakin tahu dan semakin bisa akan muncul jika situasi latihan menyenangkan. 6. Jangan mengubah situasi latihan menjadi membosankan Proses latihan pada dasarnya adalah aktivitas ang menyenangkan, tapi pelatih terkadang membuat proses latihan menajdi sesuatu yang menjemukan karena berbagai macam penyebab. Penyebab yang paling umum adalah variasi latihan yang tidak cukup menarik. Pelatih seharusnya menciptakan variasi-variasi latihan yang bisa merangsang para atlet untuk selalu berusaha dan berkompetisi. Jika proses latihan tidak banyak menuntut kerja atlet, maka proses latihan tersebut akan berubah menjadi menjemukan. 7. Tingkatkan pemahaman terhadap tujuan latihan dengan melatihkan nilai-nilai utama dalam olahraga tersebut Seseorang akan menjalani proses latihan dengan serius ketika mereka paham dengan kebutuhan latihan mereka. Untuk itu proses latihan harus benar-benar dipahami oleh para atlet.

Latihan 1. Menurut Anda, perlukah seorang pelatih mengetahui motivasi dari atlet binaannya? Jelaskan jawaban Anda! 34

2. Berdasarkan pengalaman Anda, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi motivasi seorang atlet? Jelaskan jawaban Anda! 3. Menurut Anda, apakah pemberian reward (baik berupa hadiah, uang, mobil, rumah, dll) kepada atlet berprestasi perlu diberikan terutama untuk meningkatkan motivasi atlet? Jelaskan jawaban Anda!

35

BAB 4 FRUSTRASI 4.1 Tujuan Pembelajaran Pada akhir bab ini, karyasiswa harus dapat : 1. Memahami dan mampu menjelaskan pengertian dari frustrasi 2. Memahami dan mengaplikasikan faktor-faktor penyebab frustrasi 3. Memahami dan mampu mengaplikasikan cara penanggulangan frustrasi

4.2 Pengertian Frustrasi Frustrasi, berasal dari bahasa latin frustratio, adalah perasaan kecewa atau jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Frustrasi diartikan juga sebagai keadaan terhambat dalam mencapai suatu tujuan. Dalam KBBI, "frustrasi" bermakna: rasa kecewa akibat kegagalan didalam mengerjakan sesuatu atau akibat tidak berhasil dalam mencapai suatu cita-cita. Dapat timbul apabila jurang antara harapan dan hasil yang diperoleh tidak sesuai. Semakin penting tujuannya, semakin besar frustrasi dirasakan. Rasa frustrasi bisa menjurus ke stres. Frustrasi dapat berasal dari dalam (internal) atau dari luar diri (eksternal) seseorang yang mengalaminya. Dalam referensi lain diterangkan bahwa, frustrasi adalah suatu proses yang menyebabkan orang merasa akan adanya hambatan terhadap terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, atau menyangka bahwa akan terjadi sesuatu hal yang menghalangi keinginannya. Contoh, anak kecil sering merasa tertekan ketika harus dipaksa untuk melakukan sesuatu oleh orang tuanya, seperti makan, tidur, buang air dsbnya, yang harus dilakukan pada waktu dan tempat tertentu. Semuanya itu merupakan halangan bagi terpenuhinya keinginan anak untuk melakukan hal tersebut dengan kehendak pribadinya. Pada dasarnya setiap individu memiliki kebutuhan-kebutuhan untuk segera dipenuhi, namun ada kalanya kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi karena adanya halangan tertentu. Orang yang sehat secara mental akan dapat menunda pemuasan kebutuhannya untuk sementara atau ia dapat menerima frustrasi itu untuk sementara, 36

sambil menunggu adanya kesempatan yang memungkinkan mencapai keinginannya itu. Tetapi jika seseorang tidak mampu menghadapi frustrasi dengan cara yang wajar maka ia akan berusaha mengatasinya dengan cara-cara yang lain tanpa mengindahkan orang dan keadaan sekitarnya (misalnya dengan kekerasan) atau ia akan berusaha mencari kepuasan dalam khayalan. Apabila rasa tertekan itu sangat berat sehingga tidak dapat diatasi mungkin akan mengakibatkan gangguan jiwa pada orang tersebut. Sebenarnya frustrasi dipengaruhi oleh banyak hal selain frustrasi itu sendiri, akan tetapi juga dipengaruhi oleh cara orang memandang suatu masalah/peristiwa, apakah ditanggapi dengan perasaan terbebani dan tertekan, ataukah biasa-biasa saja. Jadi frustrasi itu disebabkan oleh tanggapan terhadap situasi, yang dipengaruhi oleh kepercayaan diri sendiri dan kepercayaan kepada lingkungan. Dengan kata lain, frustrasi adalah kondisi seseorang yang dalam usaha dan perjuangannya mencapai satu tujuan jadi tehambat, sehingga harapannya menjadi gagal dan ia merasa sangat kecewa lalu orang menyatakan : dia mengalami frustrasi. Frustrasi dapat mengakibatkan berbagai bentuk tingkah laku reaktif, misal : seseorang dapat mengamuk dan menghancurkan orang lain, merusak barang. Frustrasi juga dapat memunculkan titik tolak baru bagi satu perjuangan dan usaha atau bisa juga menciptakan bentuk-bentuk adaptasi baru dan pola pemuasan kebutuhan yang baru. Jadi, frustrasi dapat menimbulkan situasi yang menguntungkan (positif) dan sebaliknya juga mengakibatkan timbulnya situasi yang destruktif merusak (negatif) sehingga nantinya dapat mengakibatkan timbulnya macam-macam bentuk gangguan mental.

4.3 Sumber-sumber Frustrasi a) Sumber frustrasi yang berasal dari dalam, bisa berupa kekurangan diri sendiri, seperti kurangnya rasa percaya diri atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan. Konflik juga dapat menjadi sumber internal dari frustrasi saat seseorang mempunyai beberapa tujuan yang saling berinterferensi satu sama lain. b) Penyebab eksternal dari frustrasi mencakup kondisi-kondisi di luar diri seperti jalan yang macet, tidak punya uang, atau tidak kunjung mendapatkan jodoh.

37

Salah satu sebab yang membuat orang frustrasi adalah hambatan/rintangan fisik, sosial, dan pribadi. Dalam hal hambatan, ada beberapa macam hambatan yang biasanya dihadapi oleh individu seperti : a) Hambatan fisik misalnya kemiskinan, kekurangan gizi, bencana alam dsbnya. b) Hambatan sosial misalnya kondisi perekonomian yang kurang bagus, persaingan hidup yang keras, perubahan tidak pasti berbagai aspek kehidupan. c) Hambatan pribadi misalnya keterbatasan-keterbatasan pribadi individu, seperti cacat fisik atau penampilan fisik yang kurang menarik bisa menjadi pemicu frustrasi dan stres pada individu. Reaksi-reaksi frustrasi yang sifatnya positif antara lain : 1. Mobilitas dan penambahan aktivitas Misalnya karena mendapat rintangan dalam usahanya, maka terjadi pemanggilan rangsangan untuk memperbesar energi, potensi, kapasitas, sarana, keuletan dan keberanian untuk mengatasi semua kesulitan. Frustrasi menjadi stimulus untuk memobilisir segenap energi dan tenaga hingga mampu menembus setiap rintangan/hambatan. 2. Berpikir secara mendalam disertai wawasan jernih Membuat orang untuk melihat realitas dengan berpikir lebih objektif dan lebih mendalam agar dapat mencari jalan atau alternatif penyelesaian lain. 3. Tawakal, pasrah pada Tuhan Menerima situasi dan kesulitan yang dihadapi dengan sikap yang rasional dan sikap ilmiah. 4. Membuat dinamika nyata suatu kebutuhan Kebutuhan-kebutuhan bisa hilang dengan sendirinya, karena sudah tidak diperlukan oleh seseorang dan sudah tidak sesuai lagi dengan kecenderungan serta aspirasi pribadi. 5. Kompensasi atau subtitusi dari tujuan Kompensasi adalah usaha untuk mengimbangi kegagalan dan kekalahan dalam satu bidang, tapi sukses dan menang di bidang lainnya. 6. Sublimasi

38

Yaitu usaha untuk mengganti kecenderungan egoistik, nafsu/dorongan-dorongan biologis primitif dan aspirasi sosial yang tidak sehat dalam bentuk tingkah laku terpuji yang bisa diterima di masyarakat. Reaksi-reaksi frustrasi yang sifatnya negatif antara lain : 1. Agresi Yaitu kemarahan dan luapan emosi kemarahan yang meledak-ledak. Seseorang bisa mengadakan penyerangan kasar karena mengalami kegagalan. 2. Regresi Adalah perilaku yang surut kembali pada pola reaksi atau tingkat perkembangan yang primitif, pada pola tingkah laku kekanak-kanakan, infantile dan tidak sesuai dengan tingkah usianya. Semua ini disebabkan karena individu yang bersangkutan mengalami frustrasi berat yang tidak tertanggungkan, didorong oleh adanya rasa jengkel, kecewa ataupun tidak mampu memecahkan masalah. Pola tingkah lakunya antara lain, berupa : menjerit-jerit, berguling-guling di tanah, menangis meraung-raung, membanting kaki, mengisap ibu jari, mengompol, berbicara gagap. Tingkah laku demikian ini mungkin bisa menimbulkan respon simpati dari orang lain, terhadap dirinya dan orang yang bersangkutan untuk sementara waktu bisa terhibur atau merasa puas, akan tetapi pada hakekatnya tingkah laku kekanakkanakan itu merupakan ekspresi dari rasa kalah, menyerah dan keputus-asaan. 3. Fiksasi Merupakan suatu respon individu yang selalu melakukan sesuatu yang bentuknya stereotipe, yaitu selalu memakai cara yang sama. Semua itu dilakukan sebagai alat pencapaian tujuan, menyalurkan kejengkelan ataupun balas dendam. 4. Represi Merupakan usaha untuk menghilangkan atau menekankan ketidaksadaran beberapa kebutuhan, pikiran-pikiran yang jahat, nafsu-nafsu dan perasaan yang negatif. Karena didesak oleh keadaan yang tidak sadar maka terjadilah kompleks-kompleks terdesak yang sering mengganggu ketenangan batin berupa mimpi-mimpi yang menakutkan, halusinasi, delusi, ilusi, dll. 5. Rasionalisasi

39

Adalah proses pembenaran kekalutan sendiri dengan mengemukakan alasan yang masuk akal atau yang bisa diterima secara sosial untuk menggantikan alasan yang sesungguhnya. Jika seseorang mengalami frustrasi dan kegagalan, biasanya ia selalu mencari kesalahan dan sebab musababnya pada orang lain, atau mencarinya pada keadaan di luar dirinya, dia menganggap dirinya yang benar dan orang lain atau kondisi dan situasi dari luar yang menjadi bidang keladi dari kegagalannya. Dia tidak mau mengakui kesalahan dan kekurangan sendiri. Misalnya : seorang yang gagal melaksanakan tugasnya akan berkata ”tugas itu terlalu berat bagi pribadi saya yang masih amat muda ini”, atau dalih ”tugas semacam itu bagi saya tidak ada harganya, dan tidak masuk dalam bidang perhatian saya”. 6. Proyeksi Proyeksi adalah usaha melemparkan atau memproyeksikan kelemahan sikap-sikap diri yang negatif pada orang lain. 7. Teknik anggur masam Usaha memberikan atribut yang jelek atau negatif pada tujuan yang tidak bisa dicapainya. 8. Teknik jeruk manis Adalah usaha memberikan atribut-atribut yang bagus dan unggul pada semua kegagalan, kelemahan dan kekurangan sendiri. 9. Identifikasi Adalah usaha menyamakan diri sendiri dengan orang lain. Semua itu bertujuan untuk memberikan kepuasan semu pada dirinya. 10. Narsisme Adalah perasaan superior, merasa dirinya penting dan disertai dengan cinta diri yang patologis dan berlebihan. Orang ini sangat egoistis dan tidak pernah peduli dengan dunia luar. 11. Autisme Adalah gejala menutup diri secara total dari dunia nyata dan tidak mau berkomunikasi lagi dengan dunia luar yang dianggap kotor dan jahat, penuh kepalsuan dan mengandung bahaya yang mengerikan.

40

4.4 Frustrasi pada Atlet Frustrasi dapat terjadi pada atlet yang mempunyai sifat pesimis maupun pada atlet yang memiliki sifat optimis yang sangat tinggi. Atlet yang mempunyai sifat pesimis dapat dikatakan “kalah sebelum berperang” karena atlet yang memiliki sifat pesimis ini mudah terkena frustrasi sehingga mengalami kegagalan sedikit saja, diangapnya sebagai kegagalan yang akan terjadi dialami seterusnya. Sedangkan apabila atlet memiliki sifat optimis yang sangat tinggi (over confidence) maka akan sangat mudah mengalami frustrasi. Kegagalan yang dialaminya akan membuat atlet tersebut kecewa serta kehilangan keseimbangan emosi.

4.5 Jenis-jenis Frustrasi Ada tiga jenis frustrasi, yaitu : 1. Frustrasi Lingkungan Frustrasi yang disebabkan oleh halangan/rintangan yang terdapat dalam lingkungan (faktor eksternal). 2. Frustrasi Pribadi Frustrasi yang tumbuh dari ketidakpuasan seseorang dalam mencapai tujuan dengan perkataan lain frustrasi pribadi ini terjadi karena adanya perbedaan antara tingkatan aspirasi dengan tingkatan kemampuannya. 3. Frustrasi Konflik Frustrasi yang disebabkan oleh konflik dari berbagai motif dalam diri seseorang. Dengan adanya motif saling bertentangan, maka pemuasan dari salah satu motif akan menyebabkan frustrasi bagi motif yang lain.

Teknik-teknik untuk mengatasi atau mengurangi frustrasi yaitu sebagai berikut : 1. Teknik Intervensi  Konsentrasi (Pemusatan perhatian) Cara ini pertama-tama menghilangkan semua pikiran yang mengganggu dan hanya memusatkan seluruh perhatian dan pikiran pada tugas yang sedang dihadapi. Ada beberapa orang yang mampu dengan cepat menghalau berbagai pikiran yang mengganggu perhatian 41

dan konsentrasinya, namun tidak sedikit yang begitu lama termakan oleh gangguan pikirannya.  Pengaturan pernapasan Pada orang yang mengalami ketegangan atau kecemasan maka respirasi akan meninggi. Keadaan seperti ini dapat diatasi dengan pernapasan yang dalam dan pelan, sehingga irama pernapasan yang semula cepat atau meninggi secara berangsur-angsur melambat atau menurun. Mengatur pernapasan juga merupakan usaha penenangan diri.  Relaksasi otot secara progresif Caranya adalah melakukan kontraksi otot secara penuh kemudian dikendurkan. Latihan ini dilakukan secara berulang-ulang selama kurang lebih 60 menit. Bila otot-otot telah mencapai keadaan rileks yang sungguh-sungguh, maka keadaan ini akan mengurangi ketegangan emosional juga menurunkan tekanan darah serta denyut nadi. 2. Mencari sumber stres, kecemasan dan frustrasi itu sendiri Pada atlet maka peran pelatih besar sekali. Hubungan dari hati ke hati antara atlet dan pelatih akan memungkinkan pelatih mengorek apa yang sebenarnya sedang dialami oleh atlet. Demikian atlet juga akan dengan terbuka menceritakan apa yang sedang dialami. 3. Pembiasaan/berlatih Pada atlet dilakukan dengan jalan melatih atlet menghadapi situasi-situasi yang bisa timbul dalam pertandingan. Bentuk pelatihan pembiasaan adalah dengan simulasi. Yaitu dalam latihan sengaja dibuat situasi yang dapat menimbulkan ketegangan dalam batasbatas tertentu. Dengan cara ini atlet tidak lagi peka (sensitif) terhadap pengaruh lingkungan. 4. Teknik-teknik khusus Penanganan ketegangan dengan menggunakan teknik khusus lebih menekankan pada pendekatan individual, misalnya; melalui pemberian musik yang menjadi kegemarannya. Menanamkan dan memperkuat keyakinan atlet bahwa persiapan yang mereka lakukan sudah mantap dan menyeluruh. Menjauhkan atlet dari official yang pencemas. Menjelaskan kepada atlet bahwa ketegangan/kecemasan dalam pertandingan adalah wajar. Bahkan dalam batas-batas tertentu hal itu memang diperlukan.

42

Latihan 1. Menurut Anda, apakah penyebab atlet mengalami frustrasi? Jelaskan jawaban Anda! 2. Menurut Anda, bagaimanakah cara yang paling efektif untuk mengatasi atlet yang frustrasi? Jelaskan jawaban Anda! 3. Menurut Anda, apakah pelatih dapat menjadi penyebab frustrasi bagi atlet? Jelaskan jawaban Anda!

43

BAB 5 SELF CONFIDENCE (PERCAYA DIRI) 5.1 Tujuan Pembelajaran : Pada akhir bab ini, karyasiswa harus dapat : 1. Memahami dan mampu menjelaskan pengertian dari self confidence 2. Memahami dan mengaplikasikan aspek-aspek self confidence 3. Memahami dan mampu mengaplikasikan faktor-faktor pembentuk self confidence 4. Memahami dan mampu mengaplikasikan cara-cara untuk meningkatkan self confidence

5.2 Pengertian Self Confidence (Percaya Diri) a) Menurut Sigmund Freud, kepercayaan diri adalah sesuatu tingkatan rasa sugesti tertentu yang berkembang dalam diri seseorang sehingga merasa yakin dalam berbuat sesuatu. b) Menurut Lauster (2002), kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. c) Menurut Angelis (2003), percaya diri berawal dari tekad pada diri sendiri, untuk melakukan segalanya yang diinginkan dan dibutuhkan dalam hidup. Percaya diri terbina dari keyakinan diri sendiri, sehingga mampu menghadapi tantangan hidup apapun dengan berbuat sesuatu. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa percaya diri (self confidence) merupakan adanya sikap individu yakin akan kemampuannya sendiri untuk bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkannya sebagai suatu perasaan yang yakin pada 44

tindakannya, bertanggung jawab terhadap tindakannya dan tidak terpengaruh oleh orang lain. Orang yang memiliki kepercayaan diri mempunyai ciri-ciri: toleransi, tidak memerlukan dukungan orang lain dalam setiap mengambil keputusan atau mengerjakan tugas, selalu bersikap optimis dan dinamis, gembira, serta memiliki dorongan prestasi yang kuat. Rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang, tetapi ada proses tertentu di dalam pribadinya sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya diri itu. Rasa percaya diri yang kuat terjadi melalui proses : a) Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu. b) Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihannya tersebut. Rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang, tetapi ada proses tertentu di dalam pribadinya sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya diri itu. c) Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri atau rasa sulit menyesuaikan diri. d) Pengalaman didalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.

5.3 Aspek-Aspek Percaya Diri Menurut Lauster (1997) orang yang memiliki kepercayaan diri yang positif adalah : Keyakinan akan kemampuan diri. Sikap positif seseorang tentang dirinya bahwa mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukannya. a) Optimis. Sikap positif seseorang yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuan. b) Objektif. Orang yang memandang permasalahan atau segala sesuatu sesuai dengan kebenaran semestinya, bukan menurut kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri.

45

Bertanggung jawab. Kesediaan seseorang untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya. c) Rasional dan realistis. Analisis terhadap suatu masalah/hal/kejadian dengan mengunakan pemikiran yang diterima oleh akal dan sesuai dengan kenyataan.

5.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya percaya diri Kepercayaan diri dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal: a) Faktor Internal Yang termasuk dalam faktor internal yaitu : 1) Konsep Diri Terbentuknya kepercayaan diri pada seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Konsep diri merupakan gagasan tentang dirinya sendiri. Seseorang yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya orang yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif. 2) Harga Diri Yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. Orang yang memiliki harga diri tinggi akan menilai pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain. Orang yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa usahanya mudah menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri. Akan tetapi orang yang mempuyai harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan. 3) Kondisi fisik Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada kepercayaan diri. Penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang. 4) Pengalaman hidup

46

Kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan, yang paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri. Lebih-lebih jika pada dasarnya seseorang memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang perhatian. b) Faktor Eksternal 1) Pendidikan Pendidikan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat individu merasa di bawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada individu lain. 2) Pekerjaan Bekerja dapat mengembangkan kreativitas dan kemandirian serta rasa percaya diri. Rasa percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain materi yang diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga didapat karena mampu mengembangkan kemampuan diri. 3) Lingkungan Lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan keluarga seperti anggota keluarga yang saling berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Begitu juga dengan lingkungan masyarakat. Semakin bisa memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat, maka harga diri semakin berkembang.

Sikap-sikap seseorang yang tidak percaya diri a. Tidak memiliki sesuatu (keinginan, tujuan, target) yang diperjuangkan secara sungguh sungguh. b. Tidak memiliki keputusan melangkah yang decissive (mengambang) c. Mudah frustrasi atau give-up ketika menghadapi masalah atau kesulitan d. Kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah e. Sering gagal dalam menyempurnakan tugas-tugas atau tanggung jawab (tidak optimal) f. Canggung dalam menghadapi orang 47

g. Tidak

bisa

mendemonstrasikan

kemampuan

berbicara

dan

kemampuan

mendengarkan yang meyakinkan h. Sering memiliki harapan yang tidak realistis i.

Terlalu perfeksionis

j.

Terlalu sensitif (perasa)

5.5 Cara-Cara Untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri 1) Perhatikan postur tubuh Sikap duduk atau berdiri seseorang, mengirimkan pesan tertentu pada orang-orang yang ada di sekeliling kita. Jika pesan tersebut memancarkan rasa percaya diri, maka kita akan mendapatkan tanggapan positif dari orang lain dan ini akan memperbesar rasa percaya diri sendiri. Jadi mulai perhatikan sikap duduk dan berdiri untuk menunjukkan bahwa kita memiliki rasa percaya diri. 2) Bergaul dengan orang-orang yang memiliki rasa percaya diri dan berpikiran positif Lingkungan membawa pengaruh besar pada seseorang. Jika kita terus-menerus berbaur dengan orang yang memiliki rasa rendah diri, pengeluh dan pesimis, seberapa besarpun percaya diri yang kita miliki, perlahan tapi pasti akan pudar dan terseret mengikuti lingkungan. Sebaliknya, jika kita dikelilingi orang-orang yang penuh kebahagiaan dan percaya diri, maka akan tercipta pula atmosfir positif yang membawa keuntungan bagi diri kita. 3) Ingat kembali saat kita merasa percaya diri Percaya diri adalah sebuah perasaan, dan jika kita pernah merasakannya sekali, tak mustahil untuk merasakannya lagi. Mengingat kembali pada saat dimana kita merasa percaya diri dan terkontrol akan membuat kita mengalami lagi perasaan itu dan membantu meletakkan kerangka rasa percaya diri itu dalam pikiran. 4) Latihan Kapanpun ingin merasakan rasa percaya diri, kuncinya adalah latihan sesering mungkin. Hal ini dapat dibawa dalam tidur. Dengan kemampuan yang terlatih, tak akan kesulitan menampilkan rasa percaya diri kapanpun itu dibutuhkan. 5) Kenali diri sendiri 48

Pikirkan segala hal tentang apa yang kita sukai berkenaan dengan diri sendiri dan segala yang kita tahu dapat dilakukan dengan baik. Jika kesulitan melakukan ini, ingat tentang pujian yang diperoleh dari orang-orang – Apa yang mereka katakan saat kita melakukannya dengan baik. Sebuah gagasan bagus untuk menuliskan hal tersebut, hingga bisa dilihat lagi untuk mengibarkan rasa percaya diri kapanpun dibutuhkan untuk inspirasi. 6) Jangan terlalu keras pada diri sendiri Jangan terlalu mengkritik diri sendiri, jadilah sahabat terbaik bagi diri sendiri. Pembicaraan yang positif dapat berubah jadi senjata terbaik untuk menaikkan rasa percaya diri, jadi pastikan kita menanam kebiasaan ini, jangan biarkan permasalahan orang lain membuat diri sendiri menjadi terpuruk. 7) Jangan takut mengambil risiko Jika kita seorang pengambil risiko, maka pasti akan ditemukan bahwa tindakan ini mampu membuahkan rasa percaya diri. Tidak ada yang lebih bermanfaat dalam menumbuhkan rasa percaya diri dengan mendorong diri sendiri keluar dari zona nyaman. Selain itu, tindakan ini juga berfungsi bagus untuk mengurangi rasa takut akan hal-hal yang tidak diketahui, dan bisa menjadi pembangkit rasa percaya diri yang luar biasa.

Latihan 1. Menurut Anda, apakah Anda seseorang yang memiliki self confidence (percaya diri)? Jelaskan jawaban Anda! 2. Bagaimanakah pendapat Anda mengenai atlet yang terlalu percaya diri (over self confidence)? Jelaskan jawaban Anda! 3. Menurut Anda, apakah faktor keluarga berperan dalam pembentukan self confidence (percaya diri)? Jelaskan jawaban Anda! 4. Bagaimanakah cara untuk meningkatkan self confidence (percaya diri) pada atlet yang kurang percaya diri (lack of confidence)? Jelaskan jawaban Anda!

49

REFERENSI Anshel, M. H. 1997. Sport Psychology: From Theory to Practice. 3rd ed. Scottsdale, AZ: Gorsuch Scarisbrick. Cox, R. H.; Qiu, Y.; and Liu, Z. 1985. Overview of Sport Psychology. Gunarsa, S. D. 2004. Psikologi Olahraga Prestasi. PT. BPK Gunung Mulia: Jakarta. Jarvis, M. 2006. Sport Psychology: A Student’s Handbook. Routledge, Taylor & Francis Group: London. KONI PUSAT. 1995. Psikologi Olahraga : Seri Bahan Penataran Pelatihan Tingkat Dasar. Pusat Pendidikan dan Penataran : Jakarta. Maksum, A. Ciri Kepribadian Atlet Berprestasi Tinggi. Disertasi. Perpustakaan Universitas Indonesia. Available at: http://lib.ui.ac.id. Pervin, L. 1993. Personality Theory and Research. John Wiley & Sons: New York. Sachs, M. L. 1993. Professional Ethics in Sport Psychology. In Singer, R. N.; Murphey, M; & Tennant, L. K. (Ed.). Handbook of Research in Sport Psychology. MacMillan: New York. Seraganian, P. 1993. Exercise Psychology: The Influence of Physical Exercise on Psychological Processes. John Wiley & Sons: New York Weinberg, R. S.; and Gould, D. 1995. Foundations of Sport and Exercise Psychology. Champaign, IL: Human Kinetics. Willis, J. D.; and Campbell, L. F. 1992. Exercise Psychology. Champaign, IL: Human Kinetics Yunus, M. 1991. Psikologi Olahraga. Fakultas Ilmu Pendidikan: Malang.

50