Analisis Gender Terhadap Hukum Keluarga Islam Indonesia (Studi Terhadap Hak-hak Wanita Pasca Cerai)
Azni UIN Sultan Syarif Kasim Riau Email:
[email protected] Abstract: Indonesia as a modern Muslim state, through its Islamic family law, has greatly sought the indiscrimination against women, especially in the context of the law and its implementation. This study aims to determine number of women’s rights after divorce which has been formulated in Indonesian Islamic family law. The library research by using content analysis approach obtainsthe findings of the research are the rights acquired by women after divorce which are in Indonesian Islamic family law such as; mut'ah, livelihood, refuse of reconciliation, hadlanah and joint property rights, are no gender bias and are not found any elements of marginalization, subordination, double work load, negative labeling and violence against women in Islamic family law in Indonesia. Abstrak: Indonesia sebagai negara muslim modern, melalui hukum keluarga Islamnya, telah mengupayakan indiskriminasi terhadap kaum wanita terutama dalam konteks hukum dan pelaksanaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hak-hak yang diperoleh wanita pasca cerai sebagaimana telah dirumuskan dalam hukum keluarga Islam Indonesia sebagai bentuk transformasi fiqh kedalam undang-undang. Penelitian perpustakaan dengan menggunakan pendekatan content analisis ini telah menghasilkan temuan bahwa hak-hak yang diperoleh oleh wanita setelah perceraian yang terdapat dalam hukum keluarga Islam Indonesia seperti; hak mut’ah, hak nafkah, hak menolak rujuk, hak hadlanah dan harta bersama, tidak bias gender. Hal ini tidak ditemukan adanya unsur marjinalisasi, subordinasi, beban kerja ganda, pelabelan negatif dan kekerasan terhadap wanita dalam hukum keluarga Islam di Indonesia. Kata kunci: analisis gender, pasca cerai, hak-hak wanita
Pendahuluan Islam adalah agama yang mengangkat harkat derajat kaum perempuan.Sejak awal kedatangannya, Islam memposisikan perempuan menduduki posisi yang sama dengan laki-laki. Hal ini terbukti ketika Allah SWT memerintahkan kepada Adam As untuk mengerjakan sesuatu, maka hal itupun diperintahkan juga kepada isterinya, Hawa.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
26
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
Hal yang sama juga terjadi ketika Allah melarang Adam mengerjakan sesuatu.1 Selain hal tersebut, ternyata Islam juga merevisi perlakuan tradisi Jahiliyah terhadap perempuan, sepertimemberikan hak talak bagi isteri (khulu’) ketika terjadi ketidakcocokan atau perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya,2perempuan berhak mewarisi dan memiliki kekayaan dan berhak men-tasharruf-kannya3 dan perempuan memiliki hak penuh untuk memelihara anaknya (haq al-hadlanah).4 Selanjutnya, dalam masyarakat Islam, perempuan menempati kedudukan penting yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tidak ada undang-undang atau aturan manusia sebelum Islam yang memberikan hak-hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam.5 Islam datang membawa prinsip persamaan diantara manusia, tidak ada perbedaan antara satu individu dengan individu yang lain. Begitu juga tidak ada perbedaangender antara laki-laki dan perempuan.6 Penghargaan Islam yang begitu tinggi terhadap kaum perempuan tidaklah berarti penistaan terhadap laki-laki di sisi lain. Islam mengakui eksistensi keduanya dan memberikan tata aturan yang lebih adil dalam masyarakat.Islam mengatur peran bagi laki-laki dan perempuan dengan tetap membingkainya dalam prinsip kesetaraan dan kesejahteraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal-hal yang berhubungan
1QS. Al-A’raf ayat 19 : Tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim” Baca Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang : CV. Toha Putera, 1998), hlm. 173 2Baca QS. Al-Ahzab: 28-29. Lihat juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1 adalah perceraian yang terjadi atas permintaan (i), “bahwa yang dimaksud dengan isteri dengan memberikan tebusan atau ‘iwad} kepada dan atas persetujuan suaminya” Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Dirjenbinbaga Islam, 1998), hlm. 14 3KHI pasa 171 (c) Bahwa bagi laki-laki atau perempuan berhak menjadi ahli waris, yakni: “orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragamaIslam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. BacaDepartemen Agama RI, Ibid, hlm. 81 4Lihat KHI pasal 1 (g) Hadlanah, berasal dari bahasa arab اberarti “pengasuhan, pekerjaan mengasuh anak” yakni: kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri”. Baca lagi Departemen Agama RI, Ibid, 5Syarif Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, cet. Ke-1, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 33-37. 6Lihat QS. al-Hujurat ayat 13.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
27
dengan kebebasan untuk berakad (transaksi), termasuk di dalamnya untuk melakukan akad nikah.7 Dalam Islam, pernikahanyang disyari’atkan bertujuan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tetapi dalam kehidupan rumah tangga, hal-hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Dalam hal kehidupan rumah tangga yang sulit mempertahankan kebersamaan, kedua belah pihak dapat memikirkan alternatif untuk mengakhiri hubungan sebagai suami istri. Perceraian bukanlah sesuatu yang diharamkan dalam Islam, kendatipun tidak disukai oleh Allah SWT.8 Perceraian menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi pihakpihak yang ingin memutuskan bercerai.Implikasi itu berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh pihak mantan suami maupun mantan istri.Persoalan-persoalan yang muncul pasca perceraian antara lain idah (masa menunggu), rujuk, mut’ah, nafkah iddah, pembagian harta bersama, dan hadlanah (pemeliharaan anak). Kitab-kitab fiqih klasik pada umumnya menyatakan bahwa perceraian adalah hak suami, iddah dikenakan hanya bagi perempuan, dan perempuan tidak boleh menolak rujuk. Tetapi istri pun mempunyai hak antara lain mut’ah (kompensasi perceraian), nafkah selama iddah, dan pengasuhan anak, sedangkan soal harta bersama (gono-gini), tidak ada kitab klasik yang membahasnya. Masuknya Islam ke Indonesia memunculkan masalah-masalah baru yang sebelumnya tidak tercakup dalam kitab-kitab fikih tradisional. Untuk itulah diperlukan fiqih baru yang kontekstual untuk masyarakat Indonesia.Dalam format legal formal, fiqh Indonesia berbentuk Hukum Keluarga Islam seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Komplikasi Hukum Islam tahun 1991 serta Peraturan Pemerintah lainnyayang sesuai dengan konteks Indonesia.9 Jika dibandingkan antara fiqih tradisional dan perundangundangan Islam Indonesia, hak-hak wanita dalam perudang7Muhammad
Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2004), hlm. 185. 8ق (أperkara halal yang dibenci oleh Allah adalah talak). Lihat Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, “kitab al-Thalaq”, hadis no.1863. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “Kitab al-Thalaq”, hadis no. 2008. 9Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia; Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 139 Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
28
undanganIslam tersebuttampaknya mendapatkan porsi yang lebih banyak.Namun, apakah hak-hak wanita tersebut, terutama hak-hak wanita pasca perceraian, sudah mendapat porsi yang menggembirakan bila dilihat dari perspektif gender ?. Hal ini menarik untuk ditemukan jawabannya. Untuk itu, penulis mencoba menggali dan mendalami persoalan ini dalam bentuk penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejumlah hak-hak perempuan yang telah dirumuskan dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia sebagai bentuk transformasi fiqh ke perundang-undangan. Kemudian setelah mengetahui hak-hak wanita tersebut akan dilakukan analisis sejauh mana hak-hak wanita pasca perceraian dalam Hukum Keluarga Islam Indonesia itu mengangkat harkat dan martabat seorang wanita Indonesia atau berkeadilan gender . Penelitian ini bersifat kualitatif.10Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka bentuknya adalah deskriptif-kualitatif.Deskriptif artinya penelitian ini menggambarkan dan menjelaskan secara sistematis dan faktual mengenai hak-hak wanita pasca perceraian dan hal-hal yang berkaitan dengannya sebagaimana terdapat dalam sumber data, yaitu kitab-kitab fikih serta perundang-undangan perkawinan Indonesia.Dengan demikian, penelitian dengan menggunakan bentuk deskriptif-kompratif ini meniscayakan adanya eksplorasi data-data faktual yang kemudian dianalisis data-data tersebut untuk mendapatkan kesimpulan terhadap hukum keluarga Islam Indonesia berkeadilan gender atau tidak. Pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan (library research), dengan melacak kitab-kitab fikih tiap-tiap mazhab, buku-buku perundang-undangan di bidang hukum perkawinan, khususnya perceraian dan hak-hak wanita yang ditimbulkannya yang berlaku di Indonesia, dan sumber-sumber lain yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. Sumber data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer ini ada dua jenis, yaitu kitab-kitab fikih mazhab11dan perundang-undangan perkawinan di Indonesia.Sumber primer berupa perundang-undangan perkawinan di Indonesia ialah
10“Dalam
penelitian kualitatif, beberapa pakar tidak menyarankan menyusun kerangka pemikiran.Karena kerangka pemikiran sebagai dasar perumusan hipotesis.Pada penelitian kualitatif tidak menguji hipotesis”. 11Jika dalam penelitian ini ditemukan istilah “fikih atau fiqih mazhab”, “fikih tradisional”, atau “fikih klasik”, yang dimaksud adalah sama. Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
29
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.12 Hak-Hak Wanita Pasca Cerai dalam Hukum Keluarga Islam Indonesia 1. Hak Mut’ah13 Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah merumuskan persoalan mut’ah pada pasal 1, 149, 158, dan 160, sedangkan dalam Undangundang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak terdapat ketentuan yang mengatur mut’ah.Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, mut’ah adalah pemberian mantan suami kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.14 Untuk menegaskannya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mut’ah adalah sesuatu (uang, barang dsb) yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati)”.15Dengan demikian dapat dipahami bahwa mut’ah merupakan salah satu hak yang diterima oleh istri setelah terjadinya perceraian.16
12Menyebutkan
Inpres tentang KHI sebagai perundang-undangan sebetulnya tidak tepat, karena berdasarkan hirarki atau tata urutan perundang-undangan di Indonesia, Inpres (Instruksi Presiden) tidak termasuk di dalamnya.Inpres bahkan tidak termasuk sebagai “hukum tertulis” walaupun bentuknya tertulis.Digunakannya istilah “perundang-undangan” dalam penelitian ini bukanlah dalam arti teknis ilmu hukum, tetapi karena pada dasarnya Inpres termasuk bagian dalam sistem hukum nasional dan banyak dijadikan rujukan dalam praktik hukum di Indonesia. 13 “Harta benda yang diserahkan suami kepada isterinya karena perceraian”.Taqiy al-Din Abi Bakr al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, (Madinah : Markaz al-Uswah, 1426 H), hlm. 497, lihar juga Ibrahim Anis, et.al., Mu’jam al-Wasith, Jilid 2, (t.tp : t.p, t.th), hlm. 852-853 14 KHI pasal 1 huruf j: 15Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005), hlm.. 768. 16Selain menerima mut’ah, istri yang ditalak juga menerima hak-hak lain dari suami yang mentalaknya itu. Lebih lengkap baca KHI pasal 149: “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a). Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baikberupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qabla al dukhul; b). Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam idah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c). Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qabla al dukhul; d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai umur 21 tahun.” Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
30
Di Indonesia, mut’ah dapat dibagi ke dalam dua bentuk; mut’ah wajib dan mut’ah sunnat.Suami wajib memberikan mut’ah kepada istri yang dicerainya dengan syarat bahwa mahar belum ditetapkan, istri ditalak ba’da al-dukhuldan perceraian atas inisiatif suami.17Apabila salah satu dari tiga syarat pada mut’ah wajib di atas tidak terpenuhi, maka suami sunat memberikan mut’ah kepada istri yang dicerainya itu.Meskipun Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mengatur tentang mut’ah wajib dan mut’ah sunnat, namun selanjutnya tidak ditemui aturan yang menjelaskan secara tegas tentang jenis dan kadar mut’ah yang harus diberikan oleh suami. Jenis dan kadar mut’ah dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam ditentukan berdasarkan atas kepatutan dan kemampuan suami.18 Aturan Kompilasi Hukum Islam yang demikian berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Menurut jumhur ulama, mut’ah menjadi wajib diberikan oleh seorang suami kepada istri yang diceraikan dengan syarat: (a) perceraian itu terjadi atas keinginan suami, (b) antara suami istri itu belum pernah melakukan hubungan badan (qabla al-dukhul)19, dan (c) sewaktu akad pernikahan dulu, suami tidak menegaskan tentang jumlah mahar yang akan diterima oleh istri. Perbedaan yang paling menonjol antara Kompilasi Hukum Islam dengan pendapat fukaha adalah pada persyaratan yang poin (b).Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan ba’da al-dukhul, sedangkan jumhur ulama mensyaratkan qabla al-dukhul. Apabila dikaitkan dengan upaya perlindungan terhadap hak-hak perempuan, dapat disimpulkan bahwa hak mut’ah bagi istri yang diceraikan suaminya sebagaimana yang telah diatur dalam kitab-kitab fikih dan perundang-undangan perkawinan di Indonesia, sesungguhnya telah memposisikan wanita sebagai makhluk yang dihormati dan diperhatikan. Di samping sebagai penghibur bagi perempuan yang telah 17KHI
pasal 158: “Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da al-dukhul; b. perceraian itu atas kehendak suami. 18 KHI pasal 160: Besarnya mut’ah disesuaikan dengan keperaturan dan kemampuan suami” 19 Abu Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Syirazi, al-Mahadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i, Juz 3, (mesir : Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi, t.th), hlm. 80. Lihat juga Al-Imam Sahnun ibn Sa’id al-Tanukhi, al-Mudawanah al-Kubra, Jilid 2 (Beirut : Dar al-Sadir, 1332 H), hlm. 229. Lihat lagi Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsuth, Juz. 2, ( Beirut : Dar al-Ma’rufah, 1989), hlm. 61, lihat juga Abu Muhammad Ali ibn ahmad ibn Sa’id ibn Hazm, al-Muhalla, (Bierut : Dar al-Fik, 1427 H), hlm. 274 Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
31
dicerai, juga mut’ah dimaksudkan sebagai jaminan kehormatan bagi perempuan. 2. Hak Nafkah20 Dalam perundang-undangan di Indonesia, ketentuan tentang hak wanita memperoleh nafkah pasca cerai disebutkan dalam UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 41 huruf [c] dan Kompilasi Hukum Islam pasal 81,149,152 dan 162. Khusus bagi wanita yang memiliki suami berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil atau yang dipersamakan, haknya untuk memperoleh nafkah pasca cerai juga diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 pasal 8 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 pasal 1 ayat [4]. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak merinci apa saja bentuk nafkah yang dapat diterima oleh istri pasca perceraian. Begitu juga, Undang-Undang ini tidak pula mengatur secara tegas berapa lama istri berhak memperoleh nafkah dari suaminya pasca perceraian, apakah hanya selama masa iddah, lebih lama ataukah lebih sebentar.Undang-Undang ini hanya menyebutkan secara umum bahwa Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan untuk bekas istrinya.21 Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam yang lebih rinci mengatur tentang hak-hak yang dapat diterima oleh wanita pasca perceraian.Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 disebutkan bahwa diantara kewajiban yang harus ditunaikan oleh suami yang menceraikan istrinya adalah menyediakan nafkah, tempat tinggal, dan pakaian buat isteri, dan kewajiban tersebut hanya dibatasi selama istri menjalani masa iddah.22 20
Dalam terminilogi fiqih, yang disebut dengan nafkah adalah pengeluaran seseorang untuk keperluan orang yang berada dalam tanggungjawabnya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal. Lihat Abd Rahman al-Jaziri, Al-fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, Juz 4, (Beirut : Dar al-Fikr, 2003), hlm. 426. 21Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 41 huruf [c]: "Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri."Baca Martiman Prodjojohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. 3, (Jakarta : ILCP, 2011), hlm. 83 22KHI pasal 149: "Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: [a] Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas istrinya, balk berupa uang atau benda, kecuali bekas istri. tersebut qabla al dukhul; [b) Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah diiatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; [c] Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qabla al dukhul; [d] Memberikan biaya Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
32
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
Adapun bagi istri yang sedang menjalani masa iddah talak ba’in tetapi tidak hamil dan tidak pula nusyuz23, aturan yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam memungkinkan untuk dipahami secara berbeda, yaitu:bekas istri tersebut tidak berhak memperoleh nafkah, tempat tinggal ataupun pakaian. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa keumuman ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 81 yang menyatakan bahwa suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi bekas istri yang masih berada dalam iddah24 ditakhsish oleh pasal 149 huruf [b] yang menyatakan bahwa tempat kediaman diberikan kepada istri yang menjalani masa idah kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.25 Atau mantan istri tersebut berhak memperoleh tempat tinggal, tidak nafkah dan pakaian. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa keumuman ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf [b] yang menyatakan bahwa bekas istri yang ditalak ba’in dan tidak hamil adalah tidak berhak menerima nafkah, tempat tinggal dan pakaian ditakhsish oleh pasal 81 yang menyatakan suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi bekas istri yang masih berada dalam masa iddah.Selanjutnya, Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa istri yang dicerai melalui prosedur li’an tidak berhak menerima nafkah, meskipun dia sedang menjalani masa iddah.26 hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai umur 21 tahun." 23 Bagi jumhur ulama, apabila isteri tidak memberikan kesempatan bagi suami untuk berkhalwat dan menyetubuhinya tanpa alasan yang dibenarkan syara’, maka isteri dipandang nusyuz yang tidak berhak memperoleh nafkah dari suaminya. Lihat Muhammad Jawab al-Mughniyah, al-Fiqh “ala Mazahib al-Khamsah, (Beirut : Dar alJawab, t.th), h. 402 24KHI pasal 81 ayat [1]: "Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam iddah." Ayat [2]: "Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat." Ayat [3] "Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat penyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alas-alai rumah tangga." Ayat 4: "Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya." 25KHI pasal 149 huruf [b]: "Bilamana perkawinan putus karma talak, maka bekas suami wajib: memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil." 26KHI pasal 162: "Bilamana Li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
33
Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, khusus bagi suami yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil dan yang dipersamakan yang melakukan perceraian diwajibkan pula tunduk terhadap ketentuan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 pasal 8 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 pasal 1 ayat [4]. Aturan tersebut memuat tentang pembagian gaji setelah Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan resmi bercerai, yaitu; apabila perceraian terjadi atas kehendak suami yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka dia tidak wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya.27Pembagian gaji tersebut adalah sepertiga untuk suami, sepertiga untuk bekas istrinya dan sepertiga untuk anak-anaknya.Apabila dari pernikahan mereka itu tidak ada anak, maka bagian gaji yang wajib diserahkan oleh suami kepada bekas istrinya adalah setengah dari gajinya.28 Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan jika alasan perceraian disebabkan karena istri berzinah, atau istri melakukan kekejaman/penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami, atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturutturut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah.29Sebaliknya, apabila perceraian terjadi atas kehendak istri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.30 Akan tetapi, istri tetap berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya jika istri meminta cerai karena dimadu, atau suami berzina, atau suami melakukan kekejaman/penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, atau suami menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar
selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah." 27PP Nomor 10 Tahun 1983 pasal 8 ayat [1] 28PP Nomor 10 Tahun 1983 pasal 8 ayat [3] 29PP Nomor 45 Tahun 1990 pasal 1 ayat [4] yang mengubah ketentuan pasal 8 PP Nomor 10 Tahun 1983, yaitu diantara ayat [3] dan ayat [4] lama disisipkan satu ayat yang dijadikan ayat [4] baru, berbunyi: "Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan kepada alasan perceraian disebabkan karena istri berzinah dan atau istri melakukan kekejaman atau penganiayaan berat balk lahir maupun batin terhadap suami dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan dan atau istri telah meninggalkan suami selama dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya." 30PP Nomor 10 Tahun 1983 pasal 8 ayat [4] lama, atau pasal 8 ayat [5] baru setelah diubah oleh PP Nomor 45 tahun 1990. Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
34
disembuhkan, atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alas an yang sah.31 3. Hak Menolak Ruju’32 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 dan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tidak memuat aturan tentang rujuk. Peraturan perundangundangan di Indonesia yang mengatur masalah rujuk adalah Undangundang Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk,33 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 10,118,150 dan 163-169. Di Indonesia, tidak semua perceraian boleh dirujuk. Rujuk hanya dapat dilakukan dalam hal-hal; a).Putusnya pernikahan karena talak, kecuali talak yang telah terjadi tiga kali atau talak yang terjadi qabla aldukhul (suami belum pernah sama sekali menyetubuhi istrinya), dan b).Putusnya pernikahan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.34 Berkaitan dengan pelaksanaan ruju’, Kompilasi Hukum Islam pasal 164 mengatur bahwa seorang perempuan berhak menolak kehendak suaminya untuk ruju’.35Bahkan lebih ditegaskan lagi bahwa rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan 31PP
No. 10/1983 pasal 8 ayat [5] lama, atau pasal 8 ayat [6] baru setelah diubah oleh PP Nomor 45 tahun 1990, menyatakan bahwa : "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat [5] tidak berlau, apabila isteri meminta cerai karena dimadu dan atau suami berzinah dan atau suami melakuku kekejaman atau penganiayaan berat balk lahir maupun batin terhadap isteri dan atau suami menjadli pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan dan atau suami telah meninggalkan isui selama dua tahun berturut-turut tanpa izin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya." 32 Ruju’ berarti berpaling atau kembali. Maksudnya “meneruskan pernikahan pada waktu menjalani iddah talak raj’i”. Baca Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut : Dar alMasyriq, 1986), h. 250. Lihat juga Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (Mesir : Dar al-Fikr al-Arabiyah, 1957), 366. Baca juga Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh alIslami wa Adillatuhu, cet. 3, (Damascus : Dar al-Fikr, 1989), h. 461. 33Semula Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura. Akan tetapi, dengan lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 1954 yang disahkan pads tanggal 26 Oktober 1954, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 diberlakukan untuk seluruh daerah luar Jawa dan Madura. 34KHI pasal 163 ayat [2]. 35KHI pasal 164: "Seorang wanita dalarn idah talak raj'i berhak mengajukan keberatan atau kehendak rujuk DAri bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi." Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
35
tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama,36 dan telah melakukan proses penolakan ruju’ oleh isteri.37 Dengan demikian, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, hak talak bukanlah hak suami secara mutlak. Talak tidak dapat dilakukan sepihak, karena dalam pelaksanaannya harus ada izin pengadilan. Pengadilan memberi izin menjatuhkan talak apabila ada persetujuan istri. Dengan demikian, yang berkepentingan untuk rujuk pun adalah suami dan istri, sehingga persetujuan istri mutlak diperlukan. 4. Hak Hadlanah38 Setidaknya ada dua peraturan di Indonesia yang bisa dikaitkan dengan pemeliharaan anak, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. UndangUndang Perkawinan tidak mengatur pemeliharaan anak pasca perceraian secara khusus, sedangkan Kompilasi Hukum Islam menyorotinya secara khusus dalam dua pasal, serta beberapa pasal lain yang bisa dikaitkan. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur pemeliharaan anak dalam pasal 41, dalam bahasan tentang akibat putusnya perkawinan.Disebutkan dalam pasal itu bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan anak.Tanggung jawab atas pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan anak berada pada pihak bapak, dan pengadilan dapat mewajibkannya, meskipun jika bapak tidak dapat 36 KHI pasal 165: "Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama." 37 Proses penolakan rujuk yang dilakukan oleh istri terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu: a). Penolakan rujuk dapat dilakukan oleh istri ketika kehendak rujuk belum didaftarkan kepada PPN atau P3N yang berwenang. b). Istri melakukan penolakan rujuk ketika pengajuan rujuk telah didaftarkan kepada PPN atau P3N.Artinya, istri dapat mengajukan keberatan atas kehendak rujuk bekas suaminya di hadapan PPN atau P3N yang disaksikan oleh dua orang saksi.Dalam keadaan demikian, suami belum dapat mengikrarkan rujuknya. Baca Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. 38 Hadhanah atau hadanah berarti pengasuhan atau pekerjaan mengasuh anak.Mendidik anak oleh orang yang berhak mengasuhnya, atau mendidik dan merawat seseorang yang tidak mampu menguruh dirinya sendiri karena tidak mumayyiz, seperti anak kecil dan orang gila”. Ahmad Warson Munawwir, Kamus alMunawwir, (Yoyakarta : Pustaka Progresif, 1984), h.296. baca juga Abu Zakarya alNawawi, Mughni al-Muhtaj, Juz.3, (Beirut : Dar al-Fikr, 1995), h. 576
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
36
memenuhinya, ibu bisa membantu.Kemudian bila ada perselisihan mengenai penguasaan anak, Pengadilan dapat memberi keputusan siapa yang berhak atas anak.39 Meski ringkas dan tidak khusus, ada satu poin penting dari Undang-Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 berkaitan dengan hadanah, yaitu bahwa kewajiban orang tua memelihara anak tetap berlaku meskipun mereka telah bercerai. Namun memang tidak ada keterangan tentang siapa-siapa yang berhak atau harus memelihara anak pasca perceraian itu. Perkara hadlanah sebagai akibat perceraian mendapat perhatian khusus dalam Kompilasi Hukum Islam, meskipun tidak cukup lengkap, sehingga lagi-lagi, jika terdapat masalah hadanah yang tidak diatur dalam Kompilasi Hukurn Islam, hakim masih harus merujuk kitabkitab fikih. Adapun biaya pemeliharaan tetap menjadi kewajiban ayah; oleh siapapun si anak dipelihara atau bersama siapapun si anak tinggal.40Jika anak itu masih bayi, biaya penyusuannya pun menjadi tanggungan ayah atau walinya.41Tetapi jika anak itu hasil hubungan tidak sah, berdasarkan Pasal 100, anak itu hanya mengikuti nasab ibunya dan dipelihara oleh ibunya.42 Secara lebih spesifik, hadlanah diatur dalam pasal 156 bahwa anak yang belum mumayiz berhak mendapat pengasuhan dari ibunya sampai ia mumayiz, biaya nafkah anak tersebut tetap menjadi tanggungan ayah, jika anak telah mumayiz, ia boleh memilih apakah akan diasuh oleh ibunya atau ayahnya.43 Di sini tidak dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Keduanya dianggap sama. Begitu pula usia 21 tahun 108 sebagai batas seorang anak dianggap dewasa, berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Selain itu, syarat beragama Islam agak sulit 39Lihat
isi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UUP) pasal 41 pasal 105: "Dalam hal terjadinya perceraian; a. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun diserahkan kepada ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya." 41KHI pasal 104 ayat [1]: "Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya." 42KHI pasal 100: "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya." 43 Lihat KHI pasal 156. 40KHI
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
37
dimasukkan ke dalam pengertian ini, karena soal agama tidak ada hubungannya dengan kemampuan menjamin keselamatan anak. Artinya, status agama pengasuh tidak menjadi hal yang dipentingkan dalam aturan hadanah di Indonesia. 5. Hak Harta Bersama Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,44 harta kekayaan suami istri dalam perkawinan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:harta bersama dan harta milik pribadi masingmasing suami istri.45Harta pribadi dapat berubah statusnya menjadi harta bersama jika suami dan istri membuat perjanjian yang mereka sepakati bersama yang isinya bahwa semua harta pribadi baik yang sudah ada sebelum perkawinan dilangsungkan maupun setelah akad perkawinan akan menjadi harta bersama yang dikuasai secara bersamasama pula. Tanpa adanya perjanjian yang mereka sepakati, harta pribadi tetap terpisah dan dikuasai oleh masing-masing suami istri, sedang harta pencarian otomatis menjadi harta bersama. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 85-87 ditegaskan bahwa pada dasamya tidak ada percampuran harta suami dan harta istri dalam perkawinan. Harta istri tetap, menjadi harta istri, dan harta suami tetap menjadi harta suami.Namun demikian, suami istri dapat saja membuat perjanjian perkawinan yang disepakati bersama tentang percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencarian masing-masing.46 44Ketentuan hukum tentang harts kekayaan suami istri dalam suatu perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor I Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-undang Nomor I tahun 1974 hal tersebut diatur pada pasal 35-37 dan pasal 65, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada pasal 85-97. 45Harta bersama, yaitu semua harta kekayaan yang diperoleh selama ikatan pernikahan, baik oleh suami saja, istri saja, atau keduanya,kecuali harta yang diperoleh melalui hibah, hadiah dan warisan yang diperuntukkan khusus untuk individu suami atau istri. Harta bersama dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Kemudian, harta milik pribadi masing-masing suami istri, yaitu harta yang telah dimiliki oleh masing-masing suami atau istri sebelum mereka menikah (sering disebut juga dengan harta bawaan) atau harta yang diperoleh masing-masing suami istri dalam ikatan pernikahan melalui hibah, hadiah dan warisan yang diperuntukkan khusus buat yang bersangkutan. 46KHI pasal 47 ayat [1]: "Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dengan membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan." Ayat [2]: "perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
38
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 37 juga menentukan pembagian harta bersama apabila perkawinan putus karena perceraian. Pasal tersebut berbunyi: "Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing." Dalam penjelasan pasal 37 tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "hukumnya masing-masing" ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Dalam KHI dijelaskan bahwa apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama47, kemudian janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.48 Analisis Gender: Sebuah Pembacaan Hak-hak Wanita Pasca Cerai Menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, perceraian merupakan salah satu faktor yang menyebabkan putusnya ikatan pernikahan.49 Karena tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera.50 Hukum keluarga Islam di Indonesia menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian, yaitu bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan suami isteri yang akan bercerai tersebut.51 Tidak hanya itu, usaha untuk mencegah terjadinya perceraian juga tampak dari upaya pemerintah mendirikan sebuah lembaga yang bernama “Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4)”. Dalam kaitan ini, sebelum berpekara ke Pengadilan Agama, suami istri yang ingin bercerai itu mendatangi BP4 setempat terlebih dahulu untuk mendapatkan nasehat seperlunya. Setelah usaha Islam." 47
Lihat KHI pasal 96 ayat 1 Baca KHI pasal 97 49UU perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 38 dan KHI pasal 113 menyebutkan perkawinan dapat putus karena; a) kematian, b) perceraian, c) atas putusan Pengadilan 50Hal ini telah dijelaskan secara eksplisit dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 1 “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahas Esa”. 51UU Perkawinan RI pasal 39 ayat (1) dan KHI pasal 115; “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. 48
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
39
memperbaiki dan memulihkan bangunan rumah tangga agar kembali sehat tetap tidak berhasil, maka barulah suami istri mengajukan perkara perceraiannya ke Pengadilan Agama. Selanjutnya pengajuan perceraian ke pengadilan bukan saja menjadi hak insiatif suami dalam bentuk cerai talaq52 dan atau li’an53, tetapi juga istri punya hak untuk mengajukan perceraian ke pengadilan dalam bentuk cerai gugat54 dan atau khuluk.55 Selain itu, ada hak bersama yang diperoleh oleh suami atau isteri untuk mengajukan pembatalan perkawinan dalam bentuk fasakh56 di Pengadilan Agama. Dengan demikian, secara yuridis tidak ada yang diistimewakan antara suami dan istri untuk mendapat hak-hak mereka di Pengadilan Agama terutama hak-hak mengajukan/menuntut perceraian. Oleh karenanya, dalam hal mengajukan/menuntut perceraian di pengadilan tidak terlihat bias gender, karena masing-masing pihak (suami istri) samasama punya hak untuk melakukan perceraian, sementara penentuan dapat atau tidaknya sebuah perceraian itu terjadi diputuskan oleh Pengadilan. Selain itu, apabila dilihat dari segi akibat yang muncul setelah perceraian, ternyata ada perbedaan antara perceraian yang diajukan oleh suami melalui cerai talak dengan perceraian yang diajukan oleh istri melalui cerai gugat dan khuluk. Perceraian yang diajukan oleh suami mengakibatkan pasangan suami istri bercerai dengan talak raj’i57 (kecuali qabla dukhul), sedangkan perceraian yang diajukan oleh istri mengakibatkan pasangan suami istri bercerai dengan talak ba’in sughra.58 52Perceraian yang dikategorikan sebagai cerai talak apabila inisiatif perceraian itu berasal dari suami dan suami mengucapkan ikrar talak di depan sidang pengadilan. Hal ini terdapat dalam KHI pasal 17 “talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131 Kompilasi Hukum Islam” 53Li’an adalah perceraian suami istri yang inisiatif perceraiannya itu berasal dari permintaan suami karena alasan istri berbuat zina, tetapi suami tidak dapat menghadirkan empat orang saksi yang mengetahui perbuatan tersebut, sedangkan istri menyangkal perbuatan zina tersebut. 54Yang dimaksud dengan cerai gugat adalah perceraian suami istri atas inisiatif perceraiannya itu berasal dari istri. 55Khuluk adalah perceraian suami istri yang inisiatif perceraiannnya berasal dari permintaan istri, dan suami bersedia mengucapkan ikrar talak dengan syarat istri memberinya tebusan (‘iwadl) 56KHI pasal 70 – 74. 57KHI pasal 118 “Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah”. 58KHI pasal 119 ayat (1) “talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah”.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
40
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
Tentu saja, hal ini mempengaruhi perbedaan hak yang dapat diterima oleh masing-masing suami istri setelah bercerai. Dalam kasus perceraian dalam talak raj’i, suami berhak melakukan rujuk dan istri pun berhak memperoleh nafkah, kiswah dan tempat tinggal, sedangkan dalam kasus perceraian talak ba’in, suami tidak berhak melakukan rujuk dan istri pun tidak berhak memperoleh nafkah ‘iddah, kiswah dan tempat tinggal kecuali kalau dia sedang hamil. Kemudian setelah terjadinya perceraian antara suami istri, hukum keluarga Islam di Indonesia mengatur dan merumuskan hak-hak yang diperoleh oleh wanita akibat dari perceraian tersebut. Berdasarkan pendekatan hukum berkeadilan gender, hak-hak yang diperoleh wanita setelah perceraian dapat dianalisa sebagai berikut : 1. Hak memperoleh mut’ah, dapat dilihat pada posisi wanita sebagai: a. Marjinalisasi (pemiskinan secara ekonomi) Pada pasal yang mengatur perolehan mut’ah bagi wanita setelah perceraian yaitu ; pasal 1, 149, 158, 159 dan 160 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merumuskan adanya mut’ah wajib dan mut’ah sunnah. Artinya, seorang suami yang menceraikan isterinya wajib memberikan mut’ah kepada mantan istrinya apabila terpenuhinya syarat-syarat mut’ah wajib. Namun, apabila syarat-syarat untuk mut’ah wajib tidak terpenuhi, suami juga harus memberikan mut’ah kepada sang mantan istri dalam bentuk mut’ah sunnah. Dengan demikian, bila ditilik dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa untuk perolehan mut’ah ini bagi istri yang diceraikan, tidak ada unsur pemiskinan terhadap mantan istri dan tentunya mengedepankan keadilan. b. Subordinasi (anggapan tidak penting) Aturan Kompilasi Hukum Islam tentang persyaratan mut’ah wajib, yaitu salah satunya adalah point (b) “antara suami istri sudah pernah melakukan hubungan badan (ba’da duhul)”, adalah bertentangan dengan pendapat jumhur ulama yang mempersyaratkan mu’tah wajib diantaranya adalah “antara suami istri belum pernah melakukn hubungan badan (qabla duhul)”. Hal ini jelas mengisyaratkan bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak menganggap tidak penting (subordinasi) keberadaan wanita setelah perceraian. Suami wajib memberikan mut’ah tersebut apabila perceraian tersebut terjadi ba’da duhul, dan
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
41
kalau pun terjadi qabla duhul, maka suami harus memberikan mut’ah meskipun dalam bentuk mut’ah sunnat. 2. Hak Memperoleh Nafkah, dapat dianalisis berdasarkan pada aspek: a. Marjinalisasi (pemiskinan ekonomi) Hak memperoleh nafkah bagi wanita setelah perceraian diatur oleh UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 41 huruf (c) dan KHI pasal 81, 149, 152 dan 162, merumuskan bahwa wanita akan memperoleh nafkah, kiswah dan tempat tinggal setelah perceraian selama masa iddah dengan syarat tidak melakukan nusyuz. Meskipun KHI tidak menyebutkan berapa jumlah pasti nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istri ataupun bekas istrinya, namun pemberikan nafkah tersebut sesuai dengan penghasilan suami.59 Begitu juga dengan perlengkapan tempat tinggal, selain mempertimbangkan kemampuan suami, harus pula disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggal mereka.60 Ini menunjukan bahwa hukum keluarga Islam di Indonesia tidak me-marjinal-kan wanita setelah diceraikan oleh suami. b. Subordinasi (anggapan tidak penting) Dalam Hukum Kelurga Islam di Indonesia disebutkan bahwa apabila perceraian terjadi atas kehendak istri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya.61 Akan tetapi, istri tetap berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya jika istri meminta cerai karena dimadu, atau suami berzina, atau suami melakukan kekejaman/penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, atau suami menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan, atau suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah.62 Hal ini menunjukan 59KHI
pasal 80 ayat (4) “Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung : (a) nafkah, kiswah dan tempat tinggal bagi isteri, (b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak, (c) biaya pendidikan bagi anak. 60KHI pasal 81 ayat [4]: "Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya Berta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, balk berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya." 61PP Nomor 10 Tahun 1983 pasal 8 ayat [4] lama, atau pasal 8 ayat [5] baru setelah diubah oleh PP Nomor 45 tahun 1990. 62PP No. 10/1983 pasal 8 ayat [5] lama, atau pasal 8 ayat [6] baru setelah diubah oleh PP Nomor 45 tahun 1990, berbunyi: "Ketentuan sebagaimana dimaksud Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
42
bahwa Hukum Keluarga Islam di Indonesia sangat menjunjung tinggi posisi wanita. Ia tetap mendapat hak nafkah setelah perceraian, meskipun perceraian itu berasal dari pihak istri. 3. Hak Menolak Rujuk, dapat dilihat dari pendekatan di bawah ini : a. Subordinasi Berkaitan dengan pelaksanaan rujuk, Kompilasi Hukum Islam pasal 164 mengatur bahwa seorang perempuan berhak menolak kehendak suaminya untuk rujuk.63Bahkan pada pasal 165 Kompilasi Hukum Islam lebih ditegaskan lagi bahwa rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.64 Hal ini menunjukkan bahwa Hukum Keluarga Islam di Indonesia menempati posisi wanita sebagai posisi tawar menawar yang menentukan (bargaing position) sama dengan posisi laki-laki. b. Pelabelan Negatif (streotype) Menurut fuqaha, menjatuhkan talak adalah hak suami yang tidak dimiliki oleh yang lain, termasuk istri. Suami bebas melakukan talak di tempat manapun secara sepihak, tanpa memerlukan persetujuan istri. Oleh karena itulah dengan sendirinya dalam masalah rujuk pun akan berlaku demikian. Artinya, talak yang dijatuhkan suami tidak dapat ditolak oleh istri, maka rujuknya pun tidak dapat ditolak.Selain itu, karena talak ini dijatuhkan oleh suami, maka yang paling berkepentingan untuk rujuk tentu juga suami.Jadi logis bila fukaha merumuskan bahwa rujuk itu hak mutlak suami. Hal tersebut berbeda dengan perkembangan kontemporer di Indonesia.Menurut peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, hak talak bukanlah hak dalam ayat [5] tidak berlau, apabila isteri meminta cerai karena dimadu dan atau suami berzinah dan atau suami melakuku kekejaman atau penganiayaan berat balk lahir maupun batin terhadap isteri dan atau suami menjadli pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan dan atau suami telah meninggalkan isui selama dua tahun berturut-turut tanpa izin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 63KHI pasal 164: "Seorang wanita dalarn idah talak raj'i berhak mengajukan keberatan atau kehendak rujuk DAri bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi." 64 KHI pasal 165: "Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama." Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
43
suami secara mutlak.Talak tidak dapat dilakukan sepihak, karena dalam pelaksanaannya harus ada izin pengadilan.Pengadilan memberi izin menjatuhkan talak apabila ada.persetujuan istri. Dengan demikian, yang berkepentingan untuk rujuk pun adalah suami dan istri, sehingga persetujuan istri mutlak diperlukan. Tidak hanya itu, jika ditelaah pasal-pasal yang mengatur tentang rujuk dan permasalahannya dan mengaitkannya dengan pasal-pasal lain yang dianggap cukup signifikan, maka diyakini bahwa banyak faktor lain yang menyebabkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menentukan seorang suami yang melakukan rujuk harus mendapat persetujuan dari bekas istrinya. Ini jelas bahwa Hukum Keluarga Islam di Indonesia mengangkat derajat kaum wanita. 4. Hak Hadlanah, dapat dianalisa melalui kaca mata sebagai berikut: a. Marjinalisasi Meski ringkas dan tidak khusus, ada satu poin penting dari Undang-Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 berkaitan dengan hadanah, yaitu bahwa kewajiban orang tua memelihara anak tetap berlaku meskipun mereka telah bercerai. Secara lebih spesifik, hadanah diatur dalam KHI pasal 156. Dalam butir a disebutkan bahwa anak yang belum mumayiz berhak mendapat pengasuhan dari ibunya sampai ia mumayiz. Jika anak telah mumayiz, ia boleh memilih apakah akan diasuh oleh ibunya atau ayahnya (butir b). Ini menunjukkan bahwa hukum keluarga Islam di Indonesia memposisikan sama berhak antara suami dan istri dalam memelihara anak (hak hadhanah) meskipun setelah perceraian. b. Beban Kerja Ganda (Double Burden) Dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia menetapkan bahwa biaya pemeliharaan tetap menjadi kewajiban ayah; oleh siapapun si anak dipelihara atau bersama siapapun si anak tinggal.65Jika anak itu masih bayi, biaya penyusuannya pun
65KHI
pasal 105: "Dalam hal terjadinya perceraian; a. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun diserahkan kepada ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya." Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
44
menjadi tanggungan ayah atau walinya.66 Ini menunjukkan bahwa Hukum Keluarga Islam di Indonesia tidak membebani kaum wanita terutama dalam masalah pembiayaan kehidupan anak, meskipun secara hubungan perkawinan antara kedua orang tua anak tersebut tidak ada lagi karena perceraian. 5. Hak Harta Bersama Dalam hukum keluarga Islam di Indonesia dijelaskan, bahwa harta bersama, yaitu semua harta kekayaan yang diperoleh selama ikatan pernikahan, baik oleh suami saja, istri saja, atau keduanya,67 kecuali harta yang diperoleh melalui hibah, hadiah dan warisan yang diperuntukkan khusus untuk individu suami atau istri. Harta bersama dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.Sedangkan harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.68Ketentuan ini tidak pernah ada dalam kitab-kitab fiqh. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Kelurga Islam di Indonesia telah memperlihatkan keberpihakannya ke kaum wanita. Mereka akan mendapatkan harta dari hasil perkawinan mereka apabila diceraikan oleh suami mereka. Dengan demikian, ketentuan Hukum Keluarga Islam tentang hak-hak yang diperoleh oleh perempuan yang telah diceraikan oleh suami mereka adalah ketentuan yang mengangkat derajat perempuan itu sendiri atas dasar prinsip keadilan. Penutup Berdasarkan paparan sebelumnya, maka peneliti mendapatkan kesimpulan sebagai berikut; pertama, penelitian ini mendapatkan hasil 66KHI pasal 104 ayat [1]: "Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya." 67KHI pasal I huruf [f] menyebutkan: "Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. 68KHI pasal 91 ayat [I]: "Harta bersama s:bagaimana tersebut dalam pada 85 di atas dapat berUpa benda berwujud atau tidak berwujud. Ayat [2] "Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga."Ayat [3] "Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban."
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
45
temuan bahwa hak-hak wanita setelah perceraian mendapat legitimasi yang cukup kuat dalam hukum keluarga Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilihat bahwa secara tegas, hukum keluarga Islam menetapkan bahwa; a). seorang istri yang telah ditalak berhak mendapatkan mut’ah dari mantan suami, b). wanita yang sedang hamil, baik talak raj’i maupun talak ba’in, harus diberikan nafkah penuh, sedangkan yang tidak hamil hanya diberikan nafkah tempat tinggal saja. Nafkah ini diberikan kepada isteri selama masa iddah, kecuali mantan istri telah melakukan nusyuz, c).Suami memang mempunya hak untuk men-talakkan istrinya, namun untuk rujuk adalah hak istri menerima atau menolak rujuk suaminya berdasarkan pertimbangan yang dibenarkan, d).Suami dan istri sama-sama punya hak untuk mengasuh anak (hadlanah) selama memenuhi persyaratan yang ditentukan, namun pembiayaan untuk kehidupan anak-anak tetap menjadi tanggung seorang suami, meskipun antara suami isteri telah bercerai, dan e).Harta bersama merupakan harta sepencaharian suami isteri selama masa pernikahan. Jika terjadi perceraian, menurut hukum keluarga Islam di Indonesia, harta tersebut dibagi dua dengan sama banyak, terlepas siapa yang bekerja selama masa pernikahan terjadi. Kedua, berdasarkan Feminist Legal Theory (FLT) dan Hukum Berkeadilan Gender dapat disimpulkan bahwa hak-hak yang diperoleh oleh wanita setelah perceraian seperti; hak mut’ah, hak nafkah, hak menolak rujuk, hak hadlanah dan harta bersama, tidak bias gender. Hal ini tidak ditemukan adanya unsur marjinalisasi (pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting), beban kerja ganda (double burden), pelabelan negatif (streotype) dan kekerasan (violence) terhadap wanita dalam hukum keluarga Islam di Indonesia. Daftar Pustaka Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, “kitab al-Thalaq”, hadis no.1863. Abu Zahrah, Muhammad, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, Mesir : Dar al-Fikr al-Arabiyah, 1957 Anis, Ibrahim, et.al., Mu’jam al-Wasith, Jilid 2, t.tp : t.p, t.th Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang : CV. Toha Putera, 1998 ________, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Dirjenbinbaga Islam, 1998
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
46
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 2005 Hasyim, Syarif, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, cet. Ke-1, Bandung: Mizan, 2001 Al-Husaini, Taqiy al-Din Abi Bakr, Kifayah al-Akhyar, Madinah : Markaz al-Uswah, 1426 H Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali ibn ahmad ibn Sa’id, al-Muhalla, Bierut : Dar al-Fik, 1427 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, “Kitab al-Thalaq”, hadis no. 2008. Al-Jaziri, Abd Rahman, Al-fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, Juz 4, Beirut : Dar al-Fikr, 2003 Ma’luf, Louis, al-Munjid, Beirut : Dar al-Masyriq, 1986 Al-Mughniyah, Muhammad Jawab, al-Fiqh “ala Mazahib al-Khamsah, Beirut : Dar al-Jawab, t.th Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Yoyakarta : Pustaka Progresif, 1984 Al-Nawawi, Abu Zakarya, Mughni al-Muhtaj, Juz.3, Beirut : Dar al-Fikr, 1995 Prodjojohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. 3, Jakarta : ILCP, 2011 PP Nomor 10 Tahun 1983 PP Nomor 45 tahun 1990. Al-Sarakhi, Syams al-Din, al-Mabsuth, Juz. 2, Beirut : Dar al-Ma’rufah, 1989 Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia; Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997 Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2004 Al-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf, al-Mahadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i, Juz 3, Mesir : Mathba’ah Musthafa al-Babi alHalabi, t.th
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015
Azni: Analisis Gender terhadap Hukum Keluarga Islam…
47
Al-Tanukhi, Al-Imam Sahnun ibn Sa’id , al-Mudawanah al-Kubra, Jilid 2 Beirut : Dar al-Sadir, 1332 H Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk Undang-undang Nomor 32 tahun 1954 Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet. 3, Damascus : Dar al-Fikr, 1989.
Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Vol. 49, No. 1, Juni 2015