BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indikator utama derajat kesehatan masyarakat adalah angka kematian bayi (AKB) atau Infant Mortility Rate (IMR) (Notoatmodjo, 2007). Pada tahun 1960, angka kematian bayi (AKB) masih sangat tinggi yaitu 216 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 1992 AKB tercatat 68 per 1000 kelahiran hidup, kemudian menurun menjadi 57 per 1000 kelahiran hidup di tahun 1994, turun lagi menjadi 46 per 1000 kelahiran hidup di tahun 1997, dan pada tahun 2002-2003 penurunannya sudah mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini terus menurun, tetapi AKB di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, yaitu 4,6 lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 lebih tinggi dari Filipina dan 1,8 lebih tinggi dari Thailand. Dari semua penyebab kematian bayi di atas, terdapat tiga penyebab utama yang masih menjadi tantangan besar untuk diatasi. Ketiga hal tersebut adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), komplikasi perinatal dan diare. Gabungan tiga penyebab ini memberikan peran sebesar 75% terhadap kematian bayi (United Nation Development Program [UNDP], 2007). Diare adalah salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Angka kematian karena diare di Indonesia telah menurun tajam, dari peringkat pertama pada tahun 1972 sampai peringkat kelima pada 1996. Penelitian yang dilakukan oleh Aryani di Departemen Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama 1996-1997, menunjukkan bahwa diare akut terjadi pada 85 pasien berusia 2-24 bulan dengan insidensi tertinggi (42,4%) pada usia 0-11 bulan (Hendrawati, Firmansyah & Darwis , 2005), sedangkan menurut Sunoto (2008) dalam Ariningrum, Sundari & Riyadina (2009), penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu penyakit endemis dan masih sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat.
1
2
Adanya kejadian diare pada balita dapat disebabkan karena kesalahan pemberian makanan. Kesalahan ini dapat berupa bayi yang diberi makanan selain ASI pada usianya yang baru 4 bulan atau adanya praktek pemberian makan bayi dengan susu formula atau replacement feeding (Gibney, 2009). Menyusui merupakan cara yang alami untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Beberapa keuntungan terbaik menyusui yang sudah dilaporkan adalah menurunkan risiko diare dan otitis media akut (Agostoni et al, 2009). Di seluruh dunia, bayi yang diberikan ASI eksklusif selama 4 bulan pertama kehidupan hanya sekitar kurang dari 35% (World Health Organization [WHO], 2002 ). Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2002-2003 pemberian ASI eksklusif pada bayi berumur 2 bulan hanya 64%. Persentase ini menurun dengan jelas menjadi 46% pada bayi berumur 2 - 3 bulan dan 14% pada bayi berumur 4 - 5 bulan (Setyowati & Rahayu, 2008), sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008, cakupan pemberian ASI eksklusif hanya sekitar 28,96%. Angka ini dirasakan masih sangat rendah bila dibandingkan dengan target pencapaian ASI eksklusif tahun 2010 sebesar 80% (Departemen Kesehatan [Depkes], 2008). ASI bukan sekedar sebagai makanan, tetapi juga sebagai suatu cairan yang terdiri dari sel hidup seperti sel darah putih dan mengandung antibodi, hormon, faktor-faktor pertumbuhan, enzim, serta zat yang dapat membunuh bakteri dan virus,
sedangkan susu formula adalah cairan yang berisi zat mati, yang di
dalamnya tidak ada sel hidup seperti pada ASI (Roesli, 2005). Di negara-negara berkembang, bayi yang mendapat ASI mempunyai angka kesakitan dan kematian yang secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi susu formula (Suharyono, 2008). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Herawati (2009) mengungkapkan bahwa pola pemberian makanan (feeding) pada bayi berpengaruh terhadap terjadinya diare. Susu bubuk formula atau Powdered Infant Formula (PIF) biasanya dibuat dari bahan susu sapi atau produk kedelai dengan proses industri. Selama proses pembuatan, sejumlah nutrisi ditambahkan kedalamnya agar lebih mirip dengan
3
ASI tetapi, kualitasnya tetap berbeda, terutama pada lemak, protein dan ketiadaan faktor antiinfeksi (WHO, 2009). Susu bubuk formula bukanlah produk steril, bahkan jika proses produksinya sudah memenuhi standar higienitas saat ini sehingga kadang-kadang susu formula mengandung bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit yang serius. Para ahli dari FAO/WHO menyimpulkan bahwa Enterobacter sakazakii dan Salmonella enterica adalah patogen yang paling banyak dijumpai di susu bubuk formula. Penyakit parah dan sebagian kematian pada bayi telah dikaitkan dengan susu bubuk formula yang telah terkontaminasi dengan Enterobacter sakazakii dan Salmonella enterica, baik pada tahap pembuatan atau persiapan (Food and Agriculture Organization [FAO]-WHO, 2007). Berdasarkan data di atas, penulis tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan frekuensi diare antara bayi yang diberi ASI eksklusif dan bayi yang diberi susu formula pada rentang usia 2-4 bulan di wilayah kerja puskesmas Klaten Tengah.
A. Rumusan Masalah Adakah perbedaan frekuensi diare antara bayi yang diberi ASI eksklusif dengan bayi yang diberi susu formula pada rentang usia 2-4 bulan?
B. Tujuan Mengetahui adanya perbedaan frekuensi diare antara bayi yang diberi ASI eksklusif dengan bayi yang diberi susu formula pada rentang usia 2-4 bulan di wilayah kerja puskesmas Klaten Tengah.
C. Manfaat 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu kedokteran khususnya di bidang kesehatan masyarakat.
4
2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka upayaupaya pencegahan diare pada balita khususnya di wilayah Klaten Tengah. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk kampanye ASI eksklusif khususnya ditujukan kepada ibu-ibu yang mempunyai bayi dan balita.