1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG OSTEOARTHRITIS ADALAH

Download Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan biaya osteoarthritis pasien umum dan JKN. B. Perumusan Masalah. Berd...

0 downloads 560 Views 276KB Size
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Osteoarthritis adalah penyakit sendi yang progresif, secara khas terjadi pada pasien usia menengah hingga pasien usia lanjut. Penyakit ini terjadi ketika tulang rawan sendi rusak akibat tekanan mekanik ataupun perubahan biokimia. Osteoarthritis dapat terjadi bersamaan dengan arthritis jenis lain, seperti gout atau rheumatoid arthritis. Osteoarthritis cenderung mempengaruhi sendi yang sering digunakan seperti tangan dan tulang belakang, serta sendi yang menopang berat badan, seperti lutut dan pinggul. Gejala dari osteoarthritis antara lain sendi terasa nyeri dan mengalami kekakuan, sendi membengkak, timbul suara saat sendi bergerak, serta penurunan fungsi sendi (American College Rhematology, 2012). Prevalensi osteoarthritis total di Indonesia 34,3 juta orang pada tahun 2002 dan mencapai 36,5 juta orang pada tahun 2007. Diperkirakan 40% dari populasi usia diatas 70 tahun menderita osteoarthritis, dan 80% pasien osteoarthritis mempunyai keterbatasan gerak dalam berbagai derajat dari ringan sampai berat yang berakibat mengurangi kualitas hidupnya karena prevalensi yang cukup tinggi. Oleh karena sifatnya yang kronik-progresif, osteoarthritis mempunyai dampak sosio-ekonomi yang besar, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena osteoarthritis (Soeroso, 2006).

1

2

Pengatasan osteoarthritis terbagi menjadi empat cara, yaitu perubahan gaya hidup, terapi nonfarmakologi, terapi farmakologi, dan pembedahan (Vincent dan Watt, 2014). Terapi farmakologi osteoarthritis bertujuan untuk membebaskan nyeri, memelihara kemampuan bergerak, dan atau mengurangi inflamasi (Maiwenn dkk., 2008). Obat yang biasa digunakan dalam pengatasan osteoarthritis adalah analgesik oral, suplemen nutrisi, dan NSAID (Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs). NSAID yang biasa digunakan dalam pengobatan osteoarthritis adalah asam karboksilat, asetil salisilat, aspirin, salisilat yang tak terasilasi (salsalate, difusinal, choline salisilat), asam asetat (etodolak, diklofenak, indometachin, ketorolak), asam propionat (fenoprofen, flubiprofen, ibuprofen, ketoprofen, naproxen, oxaprozin), fenamat (meclofenamat, asam mefenamat), oksikam (piroksikam, meloksikam), dan coxibs (celecoxib) (Dipiro dkk., 2008). Osteoarthritis memerlukan biaya yang besar pada komunitas. Biaya langsung yang ditimbulkan oleh osteoarthritis meliputi kunjungan ke dokter, pengobatan, dan tindakan operasi. Biaya tidak langsung meliputi semua yang hilang akibat ketidakmampuan bekerja. Biaya yang terkait dengan osteoarthritis dapat menjadi signifikan nilainya pada lansia yang menjadi tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari sehingga memerlukan bantuan orang lain. Komunitas pada negaranegara yang sedang berkembang perlu lebih memahami osteoarthritis dan dapat mengembangkan alternatif terapi untuk mengatasinya (Royal College of Physicians, 2008).

3

Pasien dengan cara bayar umum adalah pasien yang sedang melalukan pengobatan dan biaya untuk pengobatannya berasal dari pasien. Sedangkan pasien dengan cara bayar JKN adalah pasien yang sedang melakukan pengobatan namun biaya pengobatannya ditanggung oleh pemerintah, dalam hal ini adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan. Kedua jenis pasien ini memerlukan biaya pengobatan yang tidak sama karena obat yang diberikan kepada kedua jenis pasien ini berbeda. Rumah Sakit (RS) PKU Muhammadiyah adalah rumah sakit swasta yang terletak di Jalan KH. Ahmad Dahlan 20 Yogyakarta. Rumah Sakit

PKU

Muhammadiyah Yogyakarta dipilih untuk melakukan penelitian ini, karena rumah sakit ini memiliki poli rematologi. Osteoarthritis merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam poli rematologi. Dengan demikian, rumah sakit PKU Muhammadiyah

banyak

dikunjungi

pasien

osteoarthritis.

RS

PKU

Muhammadiyah Yogyakarta melayani pasien umum dan JKN. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan biaya osteoarthritis pasien umum dan JKN.

B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana

gambaran

pengunaan

Muhammadiyah Yogyakarta?

obat

osteoarthritis

di

RS

PKU

4

2. Apa saja komponen biaya dan berapakah rata rata biaya pasien osteoarthritis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta? 3. Komponen biaya apakah yang memberikan proporsi paling besar dalam pengobatan pasien osteoarthritis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta? 4. Bagaimana perbandingan biaya pasien osteoarthritis umum dan JKN di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui

gambaran

penggunaan

obat

osteoarthritis

di

RS

PKU

Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Mengetahui komponen biaya dan rata rata biaya pasien osteoarthritis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 3. Mengetahui komponen biaya yang memberikan proporsi paling besar dalam pengobatan pasien osteoarthritis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 4. Mengetahui perbandingan biaya pasien osteoarthritis umum dan JKN di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai informasi dan masukan dalam pengobatan osteoarthritis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

5

2. Dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam menentukan obat apa saja yang digunakan untuk terapi osteoarthritis. 3. Bagi masyarakat umum dapat menjadi gambaran biaya pengobatan penyakit osteoarthritis. 4. Bagi peneliti dapat digunakan untuk memperdalam pengetahuan mengenai osteoarthritis dan farmakoekonomi.

E. Tinjauan Pustaka 1. Osteoarthritis a. Definisi Osteoarthritis Osteoarthritis adalah penyakit sendi yang progresif, secara khas terjadi pada pasien usia menengah hingga pasien usia lanjut. Penyakit ini terjadi ketika tulang rawan sendi rusak akibat tekanan mekanik ataupun perubahan biokimia. Osteoarthritis dapat terjadi bersamaan dengan arthritis jenis lain, seperti gout atau rheumatoid arthritis. Osteoarthritis cenderung mempengaruhi sendi yang sering digunakan seperti tangan dan tulang belakang, serta sendi yang menopang berat badan, seperti lutut dan pinggul. Gejala dari osteoarthritis antara lain sendi terasa nyeri dan mengalami kekakuan, sendi membengkak, timbul suara saat sendi bergerak, serta penurunan fungsi sendi (American College Rheumatology, 2012). Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif, dimana keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis.

6

Ditandai dengan kerusakan tulang rawan (kartilago) hyaline sendi, meningkatnya ketebalan serta sklerosis dari lempeng tulang, pertumbuhan osteofit pada tepian sendi, meregangnya kapsula sendi, timbulnya

peradangan,

dan

melemahnya

otot-otot

yang

menghubungkan sendi (Felson, 2008). b. Epidemiologi Osteoarthritis Osteoartritis merupakan penyakit sendi pada orang dewasa yang paling umum di dunia. Felson (2008) melaporkan bahwa satu dari tiga orang dewasa memiliki tanda-tanda radiologis terhadap osteoarthritis. Osteoarthritis pada lutut merupakan tipe osteoarthritis yang paling umum dijumpai pada orang dewasa. Penelitian epidemiologi dari Joern dkk. (2010) menemukan bahwa orang dewasa dengan kelompok umur 60-64 tahun sebanyak 22%. Pada pria dengan kelompok umur yang sama, dijumpai 23% menderita osteoarthritis pada lutut kanan, sementara 16,3% sisanya didapati menderita osteoarthritis pada lutut kiri. Berbeda halnya pada wanita yang terdistribusi merata, dengan insiden osteoarthritis pada lutut kanan sebanyak 24,2% dan pada lutut kiri sebanyak 24,7 %. Prevalensi osteoarthritis total di Indonesia 34,3 juta orang pada tahun 2002 dan mencapai 36,5 juta orang pada tahun 2007. Diperkirakan 40% dari populasi usia diatas 70 tahun menderita osteoarthritis, dan 80% pasien osteoarthritis mempunyai keterbatasan gerak dalam berbagai derajat dari ringan sampai berat yang berakibat

7

mengurangi kualitas hidupnya karena prevalensi yang cukup tinggi. Oleh karena sifatnya yang kronik-progresif, osteoarthritis mempunyai dampak sosio-ekonomi yang besar, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena osteoarthritis (Soeroso, 2006). c. Faktor Risiko Osteoarthritis Osteoarthritis dapat terjadi pada semua ras dan jenis kelamin. Osteoarthritis lebih sering menyerang pada seseorang dengan usia lebih dari 40 tahun. Osteoarthritis dapat terjadi lebih dini pada orang orang yang memiliki faktor risiko (American College Rhematology, 2012). Berikut ini adalah faktor risiko terjadinya osteoarthritis pada seseorang: 1) Usia Prevalensi dan keparahan osteoarthritis meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Semakin meningkat usia seseorang, semakin bertambah rasa nyeri dan keluhan pada sendi (Arthritis Foundation, 2015). Risiko seseorang mengalami gejala timbulnya osteoarthriris lutut dimulai pada usia 50 tahun (Kraus, 1997). Studi Framingham menunjukkan bahwa 27% orang berusia 63 – 70 tahun memiliki bukti radiografik menderita osteoarthritis lutut, yang meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun atau lebih (Felson dkk., 1995). Studi mengenai kelenturan pada osteoarthritis

8

telah menemukan bahwa terjadi penurunan kelenturan pada pasien usia tua dengan osteoarthritis lutut (Pay dkk., 1997). 2) Jenis Kelamin Prevalensi osteoarthritis pada laki-laki sebelum usia 50 tahun lebih tinggi dibandingkan perempuan, tetapi setelah usia lebih dari 50

tahun

prevalensi

perempuan

lebih

tinggi

menderita

osteoarthritis dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin berkurang setelah menginjak usia 80 tahun. Hal tersebut diperkirakan karena pada masa usia 50–80 tahun wanita mengalami pengurangan hormon esterogen yang signifikan (Felson dan Zhang, 1998). 3) Obesitas Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar kemungkinan seseorang untuk menderita osteoarthritis. Hal ini disebabkan karena seiring dengan bertambahnya berat badan seseorang, beban yang akan diterima oleh sendi pada tubuh semakin besar. Beban yang diterima oleh sendi akan memberikan tekanan pada bagian sendi yang berpengaruh, contohnya pada bagian lutut dan pinggul (Arthritis Foundation, 2015). Obesitas

merupakan

faktor

risiko

terkuat

yang

dapat

dimodifikasi. Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut. Peningkatan berat badan akan melipatgandakan beban sendi lutut saat berjalan. (Felson, 2000).

9

4) Genetika Genetika

memainkan

peranan

dalam

perkembangan

osteoarthritis. Kelainan warisan tulang mempengaruhi bentuk dan stabilitas sendi yang dapat menyebabkan osteoarthritis. (Hensen dan Elliot, 2005). 5) Trauma Studi Framingham menemukan bahwa orang dengan riwayat trauma lutut memiliki risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita osteoarthritis lutut (Felson, dkk., 1995). 6) Aktivitas Fisik Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama (2 jam atau lebih setiap hari), berjalan jarak jauh (2 jam atau lebih setiap hari), mengangkat barang berat (10 kg – 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), mendorong objek yang berat (10 kg – 50 kg selama 10 kali atau lebih setiap minggu), naik turun tangga setiap hari merupakan faktor risiko osteoarthritis lutut (Lau dkk., 2000). d. Gejala dan Tanda Klinik Osteoarthritis Pada umumnya, pasien osteoarthritis mengatakan bahwa keluhankeluhan yang dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan. Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien osteoarthritis:

10

1) Nyeri sendi Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini dapat ditemukan meski osteoarthritis masih tergolong dini (secara radiologis). Umumnya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja) (Soeroso, 2006). Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan sendi (sinovitis), efusi sendi, dan edema sumsum tulang (Felson, 2008). 2) Hambatan gerakan sendi Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri (Soeroso, 2006). 3) Kaku pagi Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari (Soeroso, 2006).

11

4) Krepitasi Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini umum dijumpai pada pasien osteoarthritis lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu (Soeroso, 2006). 5) Pembesaran sendi (deformitas) Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar (Soeroso, 2006). 6) Pembengkakan sendi yang asimetris Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (< 100 cc) atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi berubah (Soeroso, 2006). 7) Tanda-tanda peradangan Tanda–tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan) dapat dijumpai pada osteoarthritis karena adanya sinovitis. Biasanya tanda–tanda ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada osteoarthritis lutut (Soeroso, 2006).

12

8) Perubahan gaya berjalan Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien osteoarthritis, terlebih pada pasien lanjut usia. Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan terutama pada osteoarthritis lutut (Soeroso, 2006). e. Diagnosis Osteoarthritis Kebanyakan dokter mendeteksi osteoarthritis berdasar gejala yang khas dan uji fisik. Dalam beberapa kasus, X-rays atau tes penggambaran yang lain berguna untuk mendeskripsikan keparahan penyakit atau membantu menunjukkan masalah sendi lain (American College Rhematology, 2012). Melalui

penggambaran,

osteoarthritis

biasanya

didiagnosis

menggunakan radiograf yang dapat menunjukkan joint space width (JSW) dan osteofit. Akhir akhir ini, ada cara lain yang dapat dilakukan, yaitu menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI), Ultrasound (US), dan Optical Coherence Tomography (OCT) Cara ini dapat meningkatkan hasil diagnosis dan manajemen osteoarthritis dalam jaringan (Braund dan Gold, 2012). f. Penatalaksanaan Osteoarthritis Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan osteoarthritis. Tujuan terapi hanya mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi yang terpengaruh.

Paling

sering,

terapi

dilakukan

dengan

13

mengkombinasikan terapi fisik dan terapi obat, serta terkadang dengan pembedahan (American College Rhematology, 2012). 1) Terapi Fisik Penurunan berat badan dan latihan bermanfaat untuk pasein osteoarthritis. Beban yang berlebihan dapat memberikan tekanan pada lutut pan pinggul. Setiap penurunan berat badan 10 pon selama 10 tahun, dapat mengurangi perkembangan osteoarthritis lutut hingga 50 %. Latihan fisik dapat meningkatkan kekuatan otot, menurunkan nyeri sendi dan kekakuan, serta menurunkan kemungkinan kecacatan pada pasien osteoarthritis (American College Rhematology, 2012). 2) Terapi Obat (Farmakologi) Terapi farmakologi terbagi menjadi dua, yaitu sistemik dan topikal. Terapi sistemik terbagi menjasi analgesik nonopioid, NSAID, analgesik opioid serta glukosamin dan kondroitin. Sedangkan terapi topikal menggunakan analgesik topikal (Felson , 2000). a) Analgesik oral Untuk pasien osteoarthritis dengan nyeri ringan hingga sedang, penggunaan analgesik asetaminofen sebanding dengan penggunaan NSAID. Dosis harian asetaminofen tidak boleh lebih dari 4 gram. Dalam dosis terapetik, asetaminofen jarang menimbulkan toksisitas hepar, namun harus digunakan hati-

14

hati pada pasien dengan penyakit hati dan pasien yang mengkonsumsi alkohol (Felson, 2000). Tramadol merupakan analgesik oral, sintetis agonis opioid yang menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Tramadol digunakan untuk pasien dengan nyeri parah yang memiliki kontraindikasi dengan NSAID. Dosis harian tramadol adalah 200 hingga 300 mg, diberikan dalam empat dosis bagi. Pasien dengan nyeri parah yang tidak memberikan respon saat diberikan tramadol dan NSAID, dapat diberikan analgesik opioid (Felson, 2000). b) Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAID) Pasien yang tidak dapat ditangani dengan analgesik nonopioid dapat diberikan NSAID. Pemilihan antara NSAID dan inhibitor spesifik COX-2 berdasarkan faktor risiko, toksisitas gastrointestinal dan renal. Bagi pasien osteoarthritis dengan gangguan gastrointestinal atas, seperti pendarahan dan obstruksi, Obat yang digunakan adalah inhibitor spesifik COX2 atau NSAID dengan terapi gastroprotektif. Contoh inhibitor spesifik COX-2 adalah celecoxib. Inhibitor COX-2 dapat menyebabkan toksisitas ginjal, sehingga harus menjadi perhatian jika digunakan pada pasien dengan kerusakan ginjal ringan hingga sedang serta tidak dapat digunakan untuk pasien dengan kerusakan ginjal parah (Felson, 2000).

15

Penggunaan NSAID nonselektif dimulai dari dosis rendah analgesik dan dinaikkan hingga dosis total anti inflamasi jika dosis rendah tidak menghilangkan gejala. NSAID nonselektif memiliki efek terhadap gastrointestinal, yaitu mencegah agregasi platelet, sehingga meningkatkan risiko pendarahan (Felson, 2000). c) Glukosamin dan Kondroitin Penggunaan glukosamin dan kondrotin sulfat untuk terapi osteoarthritis

dengan

cara

membantu

substrat

untuk

membentuk kartilago (Felson, 2000). d) Analgesik topikal Pasien osteoarthritis tangan atau lutut dengan nyeri ringan hingga sedang dapat menggunakan analgesik topikal sebagai terapi tambahan atau monoterapi (Felson, 2000). 3) Pembedahan Pembedahan dapat menjadi pilihan untuk kasus osteoarthritis yang parah. Kasus ini terjadi saat sendi mengalami kerusakan berat, atau saat pengobatan secara farmakologi gagal untuk mengurangi nyeri dan kehilangan banyak fungsi. Pembedahan terdiri dari arthroscopy, memperbaiki sendi dengan sedikit pemotongan. Ketika kerusakan sendi tidak dapat diperbaiki, maka dapat

dilakukan

Rhematology, 2012).

penggantian

sendi

(American

College

16

2. Farmakoekonomi a. Definisi Farmakoekonomi Farmakoekonomi adalah deskripsi dan analisis biaya terapi menggunakan obat untuk memelihara fungsi kesehatan dan sosial. Penelitian farmakoekonomi adalah proses identifikasi, mengukur, dan membandingkan harga (yang akan dikeluarkan konsumen) dengan konsekuensi (klinik, ekonomi, humanistik) dari produk dan pelayanan kefarmasian (Bootman, 2005). Cost didefinisikan sebagai nilai sumber daya yang digunakan pada suatu program atau terapi obat tertentu. Consequance didefinisikan sebagai efek, keluaran, atau outcome (keadaan keluar) dari suatu program pemberian terapi obat tertentu. Pertimbangan cost dan consequence memberikan perbedaan pada sebagian besar metode evaluasi farmakoekonomi dari evaluasi penggunaan obat dan strategi dalam pengalokasian biaya (Sanchez, 2005). Evaluasi

ekonomi

secara

formal

didefinisikan

sebagai

perbandingan antara biaya dan konsekuensi dari dua atau lebih alternatif tindakan. Biaya (cost) adalah sumber daya yang digunakan untuk melakukan suatu tindakan atau mengimplementasikan suatu keputusan, sedangkan konsekuensi (consequence) adalah keluaran (outcome), baik positif atau negatif, dari aksi maupun keputusan tadi. Evaluasi ekonomi menilai efisiensi, hubungan antara konsekuensi (output) dan biaya (input). Tujuan utamanya adalah memungkinkan

17

para pembuat keputusan untuk mengalokasikan sumber daya dengan lebih baik (Vogenberg, 2011). b. Kategori Biaya 1) Biaya medis langsung (direct medical cost) Biaya medis langsung adalah biaya yang harus dibayarkan untuk pelayanan kesehatan. Biaya ini meliputi biaya pengobatan, tenaga medis, biaya tes laboratorium, dan biaya pemantauan efektivitas dan efek samping (Kulkarni dkk., 2009). 2) Biaya medis tidak langsung (direct non medical cost) Biaya medis tidak langsung adalah biaya yang harus dikeluarkan secara langsung dengan pembelian produk atau jasa pelayanan kesehatan. Biaya yang termasuk di dalamnya adalah biaya transportasi dari dan ke rumah sakit, makanan untuk keluarga pasien (Kulkarni dkk., 2009). 3) Biaya tidak langsung (indirect cost) Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas pasien maupun keluarga, kehilangan pendapatan karena tidak bisa bekerja akibat sakit dan kehilangan waktu (Kulkarni dkk., 2009). 4) Biaya tidak teraba (intangible cost) Biaya tidak teraba adalah biaya yang berhubungan dengan rasa sakit pasien dan penderitanya, khawatir tertekan, efeknya pada kualitas hidup. Kategori ini tidak bisa diukur dengan mata uang,

18

namun sangat penting bagi pasien maupun dokter (Kulkarni dkk., 2009). c. Perspektif analisis Perspektif adalah sudut pandang mana yang diambil peneliti dalam melakukan evaluasi farmakoekonomi. Perspektif analisis terbagi menjadi empat, yaitu: 1) Perspektif pasien yaitu pasien mendapatkan pelayanan kesehatan dengan harga yang murah. 2) Perspektif penyedia pelayanan kesehatan yaitu menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan masyarakat. 3) Perspektif pembayar (perusahaan asuransi) yaitu membayarkan biaya terkait dengan pelayanan kesehatan yang digunakan peserta asuransi selama pelayanan kesehatan yang digunakan peserta termasuk dalam tanggungan perusahaan yang bersangkutan. Menyusun program pelayanan kesehatan yang lebih efektif sehingga nantinya dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. 4) Perspektif masyarakat yaitu masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan untuk mencegah terjangkitnya berbagai penyakit, seperti program pencegahan penyakit untuk imunisasi (Vogenberg, 2001). d. Metode Evaluasi Farmakoekonomi 1) Cost of Illness (CoI) CoI adalah metode evaluasi biaya langsung dan tak langsung dan memperkirakan keseluruhan biaya akibat suatu penyakit

19

tertentu pada populasi yang ditentukan. Metode evaluasi ini sering disebut sebagai Burden of Illness dan meliputi pengukuran biaya langsung dan tak langsung akibat suatu penyakit yang spesifik (Sanchez, 2005). Sebuah penyakit akan menghabiskan sumber daya, oleh sebab itu akan timbul biaya. Cost of Illness adalah total dari 3 komponen, yaitu biaya medis, biaya non medis, dan kehilangan produktivitas atau biaya tak langsung (Bootman dkk., 2005). 2) Cost Minimization Analysis (CMA) CMA mempertimbangkan alternatif pilihan yang kurang menghabiskan biaya (lebih murah) ketika membandingkan dua atau lebih alternatif terapi. Beberapa alternatif pilihan dalam CMA harus diasumsikan atau menunjukkan keamanan dan efikasi yang ekivalen, misalnya terdapat dua alternatif yang ekivalen secara terapetik. Ketika ekivalensi keluaran telah diketahui, maka biaya dapat diidentifikasi, dihitung, dan dibandingkan dalam unit mata uang (Sanchez, 2005). Contohnya adalah keputusan untuk menggunakan obat generik atau branded yang menghasilkan efek sama namun dengan biaya paling rendah (Walley dkk., 2004). 3) Cost Effectiveness Analysis (CEA) CEA membandingkan program atau alternatif perlakuan yang memiliki profil keamanan dan efikasi yang berbeda. Dua atau lebih program yang dibandingkan dengan CEA harus memiliki outcome

20

klinik yang sama dalam physical unit (misal penurunan nilai HbA1c, tekanan darah). Biaya dihitung dalam unit mata uang, sedangkan keluarannya dinyatakan dalam unit natural atau unit lain selain mata uang. Yang terpilih adalah program yang memiliki biaya rendah dengan efektivitas tinggi (Vogenberg, 2001). 4) Cost Benefit Analysis (CBA) CBA merupakan alat utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan proses pembuatan keputusan untuk pengalokasian dana pada program pelayanan kesehatan (Bootman dkk., 2005). Keuntungan diukur sebagai keuntungan ekonomis berhubungan dengan suatu intervensi. Oleh sebab itu, baik biaya (cost) dan keuntungan (benefit) dinyatakan dalam bentuk uang. Keunggulan analisis ini adalah memungkinkan perbandingan antara dua alternatif yang sangat berlainan dan tidak hanya potensial di bidang obat-obatan. Namun, pendekatan ini tidak secara luas diterima penggunaannya pada bidang ekonomi kesehatan (Walley dkk., 2004). 5) Cost Utility Analysis (CUA) CUA adalah metode untuk membandingkan alternatif perlakuan yang melibatkan pendapat pasien tentang kualitas hidup yang terkait dengan pelayanan kesehatan (health related quality of life). CUA dapat membandingkan biaya, kualitas, dan kuantitas hidup pasien. Biaya diukur dalam unit mata uang, sedangkan keluarannya

21

diukur dengan alat ukur tertentu yang menitikberatkan pasien. Alat ukur yang sering digunakan adalah Quality Adjusted Life Year (QLAY) gained. QLAY biasanya digunakan untuk mengukur status kesehatan seseorang dan dikombinasikan dengan data morbilitas dan mortalitas (Sanchez, 2005). e. Cost of Therapy (CoT) Konsep mengenai cost (biaya) berkaitan dengan sumber daya yang digunakan atau dikonsumsi untuk memproduksi barang dan jasa. Adanya suatu penyakit dapat dikatakan memiliki biaya karena menggunakan sumber daya untuk mengatasinya. Biaya untuk mengatasi penyakit (Cost of Illnes / CoI) merupakan penjumlahan dari tiga komponen, yaitu sumber daya medis untuk terapi, sumber daya non medis (personal dan sector lain), dan hilangnya produktivitas atau biaya tidak langsung. Seperti halnya Cost of Illnes / CoI, Cost of Therapy (CoT) dapat diklasifikasikan menjadi medis, non medis langsung, dan tidak langsung (produktivitas). Namun, biaya tidak langsung masih menjadi suatu kontroversi. Cost of Therapy (CoT) merupakan penjumlahan dari sumber daya yang digunakan dan dihemat dari suatu terapi pada tiga kategori tersebut. Konsekuensi terapi yang secara umum mempengaruhi penggunaan sumber daya terbagi ke dalam empat tipe, yaitu : 1) Efek samping terapi, sumber daya yang digunakan untuk mengatasinya dipertimbangkan sebagai bagian dari Cost of

22

Therapy (CoT) karena sumber daya tersebut tidak akan digunakan bila tidak ada terapi. 2) Mencegah atau meringankan penyakit, jika suatu penyakit dapat dicegah atau keparahannya dapat dikurangi maka jasa medis dihemat. Hal ini termasuk ke dalam Cost of Therapy (CoT) sebagai suatu penghematan (biaya negatif). 3) Suatu intervensi menyediakan informasi yang menyebabkan penggunaan atau penghematan sumber daya. 4) Terapi dapat memperpanjang harapan hidup dan sumber daya pelayanan medis yang digunakan selama perpanjangan hidup tidak akan dikonsumsi tanpa adanya terapi. Namun hal ini dianggap paling kontroversial (Bootman dkk., 2005).

3. Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Rumah Sakit (RS) PKU Muhammadiyah Yogyakarta beralamat di Jalan K.H. Ahmad Dahlan No. 20 Yogyakarta. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta memiliki akreditasi penuh tingkat lengkap untuk 16 pelayanan yaitu administrasi dan manajemen, pelayanan medis, pelayanan gawat darurat, pelayanan keperawatan, rekam medis, farmasi, K.3, radiologi, laboratorium, kamar operasi, pengendalian infeksi rumah sakit, perimatal risiko tinggi, pelayanan rehabilitasi medis, pelayanan gizi, pelayanan intensif, dan pelayanan darah.

23

RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta memiliki instalasi gawat darurat, pelayanan medis (pelayanan rawat jalan/poliklinik, pelayanan rawat inap, pelayanan rawat intensif, pelayanan bedah, dan pelayanan bersalin), pelayanan penunjang (instalasi laboratorium, instalasi radiologi, instalasi rehabilitasi mesik, instalasi farmasi, instalasi gizi, pelayanan diagnostik lain, CSSD, dan laundry), dan pelayanan pemeliharaan kesehatan (medical check up serta klub dan senam kesehatan). Pada pelayanan rawat jalan/poliklinik RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta memiliki pelayanan bedah umum, bedah tulang, bedah syaraf, bedah urologi, bedah anak, bedah digesti, reumatologi, penyakit dalam, penyakit jantung, penyakit paru, ginjal dan hipertensi, kandungan, keluarga berencana, penyakit anak, imunisasi dan tumbuh kembang anak, terapi tumbuh kembang anak,terapi wicara, penyakit syaraf, kesehatan jiwa, konsultasi psikologi, penyakit THT, penyakit mata, kulit dan kelamin, rehabilitasi medis, radiologi, klinik gigi, dan anastesi (Anonim, 2014).

4. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Usaha ke arah itu sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT

24

Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi-bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali. Untuk mengatasi hal itu, pada 2004, dikeluarkan UndangUndang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan UndangUndang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat

memenuhi kebutuhan dasar

kesehatan masyarakat yang layak (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

25

F. Landasan Teori Osteoarthritis merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan jangka panjang. Pengobatan jangka panjang tersebut berdampak pada biaya yang diperlukan oleh pasien osteoarthritis. Biaya pengobatan osteoarthritis meliputi biaya obat dan biaya (biaya tindakan medis, biaya pendaftaran, dan biaya jasa resep). Pemerintah telah menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 01 Januari 2014. Pasien yang berobat ke rumah sakit dapat menggunakan JKN tersebut apabila pasien telah terdaftar sebagai peserta. Namun, pasien yang belum terdaftar menjadi peserta, saat berobat ke rumah sakit termasuk dalam pasien umum. Dengan demikian, cara pembayaran pasien dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pasien umum dan pasien JKN. Perbedaan cara pembayaran ini dapat menyebabkan perbedaan biaya yang diperlukan oleh pasien. Hasil penelitian yang dilakukan Hartanto (2013) menyebutkan bahwa pembiayaan umum merupakan pembiayaan yang memerlukan biaya terbesar dibanding pembiayaan lain. Komponen biaya terbesar dari total biaya yang diperlukan adalah biaya obat.

G. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran penggunaan obat pasien osteoarthritis RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2014, biaya rata-rata yang diperlukan pasien umum dan JKN serta komponen biaya, termasuk komponen biaya dengan proporsi terbesar.

26

H. Kerangka Konsep Pasien osteoarthritis

Cara pembayaran :  Umum  JKN  

Obat yang diperoleh Tindakan yang diperoleh Biaya Osteoarthritis:  Biaya Obat  Biaya Non obat  Biaya tindakan medis  Biaya Pendaftaran  Jasa Kefarmasian Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian