1. PENDAHULUAN

Download Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu ... steel dinding dalam terjadi serangan korosi ... Korosi P...

0 downloads 414 Views 14MB Size
LAJU KOROSI LAPISAN KROM PADA KNALPOT BERBAHAN BAJA KARBON AISI 1010 Edi Sutrisno / 20407297 Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Mesin Universitas Gunadarma Jl. Margonda Raya No.100, Depok 16424 E-mail : [email protected] ABSTRAK Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari korosi disebut perkaratan, pada penelitian ini dilakukan pengamatan pada komponen knalpot type vega-R yang mengalami korosi yang terjadi akibat adanya proses pemanasan yang sangat tinggi. Komponen knalpot tersebut terbuat dari logam paduan baja karbon type AISI 1010 dengan struktur mikro terdiri dari matrik fasa besi-• (ferrit) dan fasa krom. Berdasarkan hasil pengamatan, struktur mikro knalpot mengalami perubahan setelah dilakukan proses pemanasan pada suhu yang sangat tinggi (panas) pada hasil data perhitungan laju korosi ini setiap sampel dengan pemanasan pada suhu 6000C didapatkan hasil rata-rata laju korosi sebesar 72,24 mm/y sedangkan pada suhu 700 0C hasil rata-rata laju korosi yang didapat yaitu 310,61 mm/y, dan waktu yang diperlukan pada proses pemanasan berbeda dengan perbandingan waktu berkisar antara 5 menit, 1 jam dan 2 jam mengalami suatu penurunan laju korosinya pada setiap sampelnya. Sedangkan pengamatan pada struktur mikro pada knalpot dilapisi krom keras yang sudah dilakukan proses pemanasan dan mengalami suatu proses krom oksidasi, dapat dilihat setiap sampel yang dipanaskan dengan suhu yang sama dan waktu untuk pemansannya berbeda mengalami suatu perubahan pada krom oksidasinya lebih besar setiap sampelnya. Pada bahan knalpot memiliki distribusi nilai kekerasan lebih meningkat dapat dilihat pada suhu 600 0C dengan waktu 5 menit didapatkan hasil 57,2 sedangkan pada waktu 1 jam didapatkan hasil 57,8 dan pada waktu 2 jam didapatkan hasil distribusi nilai kekerasannya 58,4 hal yang sama terjadi pada distribusi tingkat kekerasan pada suhu 7000C yaitu mengalami suatu peningkatan tingkat kekerasannya. A. Kata Kunci : Struktur Mikro, Perhitungan Laju Korosi, Kekerasan Rockwell

(udara) mengalami suatu reaksi reduksi. Korosi logam umumnya adalah berupa oksida atau karbonat, korosi dapat juga diartikan sebagai serangan yang merusak logam karena logam bereaksi secara kimia atau elektrokimia dengan lingkungan. Ada definisi lain yang mengatakan bahwa korosi adalah kebalikan dari proses ekstraksi logam dari bijih mineralnya. Contohnya bijih mineral logam besi di alam bebas ada dalam bentuk senyawa besi oksida atau besi sulfida, setelah diekstraksi

1. PENDAHULUAN Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari korosi disebut perkaratan, contoh korosi yang paling lazim adalah korosi pada baja karbon. Pada peristiwa korosi ini logam akan mengalami suatu reaksi oksidasi, sedangkan oksigen

1

dan diolah, akan dihasilkan besi yang digunakan untuk pembuatan baja atau baja paduan. Selama pemakaian baja tersebut akan bereaksi dengan lingkungan yang menyebabkan korosi (kembali menjadi senyawa besi oksida). Korosi dipengaruhi oleh mikroba yang merupakan inisiasi atau aktifitas korosi akibat aktifitas mikroba dan proses korosi. Korosi pertama di indentifikasi hampir 100 jenis dan telah dideskripsikan awal tahun 1934, bagaimanapun korosi yang disebabkan oleh aktifitas mikroba tidak dipandang serius saat degradasi pemakaian sistem industri moderen hingga pertengahan tahun 1970. Ketika itu pengaruh serangan mikroba semakin tinggi, sebagai contoh pada kendaraan bermotor terutama pada exhaust knalpot yang secara langsung terkena panas yang cukup tinggi dan pada tangki air stainlees steel dinding dalam terjadi serangan korosi lubang yang luas pada permukaan sehingga para industriawan menyadari serangan tersebut. Selama tahun 1980 dan berlanjut hingga awal tahun 2000 fenomena tersebut dimasukkan sebagai bahan perhatian dalam biaya operasi dan pemeriksaan sistem industri. Dari fenomena tersebut banyak institusi mempelajari dan memecahkan masalah ini dengan penelitian untuk mengurangi bahaya korosi tersebut.

diartikan sebagai serangan yang merusak logam karena logam bereaksi secara kimia atau elektrokimia dengan lingkungan. Ada definisi lain yang mengatakan bahwa korosi adalah kebalikan dari proses ekstraksi logam dari bijih mineralnya. 2.2 Fenomena Korosi Logam Korosi merupakan kerusakan akibat reaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pendekatan korosi secara umum melibatkan faktorfaktor sebagai berikut : 1. Logam. Komposisi, struktur atom, keheterogenan struktur secara mikroskopik dan tegangan (tarik, tekan dan siklus). 2. Lingkungan. Sifat kimia, konsentrasi bahan reaktif dan pengotor, tekanan,suhu, kecepatan dan lain-lain. 3. Antar muka logam/lingkungan. Kinetika oksidasi dan pelarutan logam, kinetika proses reduksi bahan di dalam larutan, lokasi produk korosi dan pertumbuhan dan pelarutan film. Perhitungan laju korosi dapat dilakukan dengan melihat rumus laju korosi secara umum :

Wloss T A D

2. LANDASAN TEORI Definisi Korosi Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari korosi disebut perkaratan, contoh korosi yang paling lazim adalah korosi pada baja karbon. Pada peristiwa korosi ini logam akan mengalami suatu reaksi oksidasi, sedangkan oksigen (udara) mengalami suatu reaksi reduksi. Korosi logam umumnya adalah berupa oksida atau karbonat, korosi dapat juga

= Kehilangan berat ( mg) = Waktu (jam) = Luas permukaan (in2) = Kerapatan Benda Uji (gr/cm3)

2.1

2.3 Klasifikasi Korosi Serangan korosi merupakan bahaya nasional yang rata dengan tingkat kerugian sebagai akibatnya lebih besar dari segala bencana alam yang pernah dialami. Namun karena keawaman kita terhadap keberadaannya, maka bahaya dan kerugian yang sedemikian besar ini terjadi tanpa kita sadari atau ketahui dan celakanya/ironinya kita dengan suka rela menerima segala resiko kerugian tersebut, misalnya jika knlapot motor kita bocor.

2

Untuk mengetahui perihal korosi ada 5 jenis korosi menurut prosesnya ,yaitu : 1. Jenis korosi yang terjadi melalui proses elektrokimia : a. Korosi Atmosfer b. Korosi Galvanis c. Korosi Arus Liar d. Korosi Air Laut e. Korosi Tanah (Soil Corrosion) f. Oxygen Concentration Cell 2. Jenis korosi yang terjadi melalui proses kimia : a. Korosi Pelarutan Selektif b. Korosi Merkuri c. Korosi Asam (Acid Corrosion) d. Korosi Titik Embun (Dew Point Corrosion) e. Korosi Grafitisasi 3. Jenis korosi yang terjadi melalui proses elektro kimia, kimia dan fisik : a. Korosi Erosi b. Korosi Regangan 4. Jenis korosi yang terjadi akibat kerusakan mekanis : a. Korosi Gesekan b. Korosi Kelelahan (Corrosion Fatigue) c. Korosi Erosi 5. Jenis korosi yang terjadi akibat pada suhu tinggi : a. Oksidasi

kering, pergunakan metal yang sesuai (lihat katodik proteksinya).

Gambar 2.1 Uniform Attack[1] 2.3.2 Korosi Galvanis Korosi galvanis mempunyai prinsip reaksi sebagaimana halnya seperti sel galvanis. Korosi galvanis ini sendiri merupakan proses pengkaratan elektro kimiawi apabila dua macam metal yang berbeda potensial dihubungkan secara langsung di dalam elektrolit yang sama. Elektron ini mengalir dari metal yang kurang mulia (anodik) menuju ke metal yang mulia (katodik). Akibatnya elektron yang kurang mulia (anodik) tersebut berubah menjadi ion-ion positif karena kehilangan suatu elektron. Ion-ion positif metal tersebut bereaksi dengan ion negatif yang berada di dalam elektrolit menjadi suatu garam metal. Karena peristiwa tersebut, permukaan anoda kehilangan suatu metal sehingga terbentuklah suatu sel-sel karat atau jika merata disebut juga dengan serangan korosi permukaan (Surface Attack). Masing-masing metal mempunyai potensial yang lazim disebut Potential Electromotive (EMF). Cara menghambatnya : pilih kombinasi metal yang sesuai galvarik serinya, beri pemisah antara kedua metal, beri inhibitor, cegah reaksi kimia berupa perpindahan ion dari kedua metal tersebut.

2.3.1 Uniform Attack Uniform corrosión / attack merupakan jenis korosi berupa reaksi kimia atau elektrokimia yang biasa terjadi pada permukaan material atau pada area yang lebih luas. Metal akan menipis dan kemudian akan rusak. Jenis ini mudah dideteksi, diprediksi laju korosinya dan mudah dikontrol tapi merupakan salah satu perusak terbesar dari material. Cara menghambat atau menghentikannya adalah: lindungi permukaan logam misalnya : cat, minyak dan lain-lain, kurangi kontak konduktivitas sehingga tidak terjadi reaksi kimia misalnya : metal tetap

2.3.3 Korosi Regangan Gaya-gaya mekanis seperti tarikan (tensile) atau kompresi (compressive) berpengaruh kecil pada proses

3

pengkorosian pada bagian metal yang sama jika ditinjau dari laju pengkorosiannya dalam mils per tahun. Namun demikian apabila itu merupakan kombinasi antara regangan tarik (tensile stress) dan lingkungan yang korosif, maka kondisi ini merupakan salah satu dari penyebab utama kegagalan material. Kegagalan ini berupa retakan yang lazim disebut dengan retak korosi regangan (stress corrosion cracking). Sifat retak jenis ini sangat spontan/tiba-tiba terjadinya. Regangan biasanya bersifat internal yang disebabkan oleh perlakuan yang diterapkan seperti bentuk dingin (cold forming) atau yang merupakan hasil sisa pengerjaan (residual) seperti pengelingan, pengepresan dan lain-lain. Untuk material kuningan (brass) jenis retak korosi regangan ini disebut juga season cracking dan pada material baja karbon rendah disebut kerapuhan basa (caustic embrittlement). Jenis serangan korosi ini sangat begitu cepat dalam ukuran menit yakni jika semua persyaratan untuk terjadinya korosi regangan ini telah terpenuhi pada suatu momen/saat tertentu yakni adanya regangan internal dan terciptanya kondisi korosif yang berhubungan dengan konsentrasi zat korosi (corrodent) dan suhu lingkungan.

dengan zat asam di udara. Katoda dapat pula berupa kotoran-kotoran atau impurities yang berada di dalam material. Sedangkan bagian anoda dapat berupa metal yang berada di bawah lapisan film okssida yang terkelupas atau terletak pada batas butir dimana terjadi ketidaktepatan (mis match) yang cukup lebar dari Kristal metal atau komposisi metal pada permukaan yang kurang/tidak homogen. Karena regangan pada metal yang peka, film oksidasi permukaan pecah (film repture mechanism). Akibatnya terjadi permukaan yang tidak terlindungi film oksida. Terjadi perbedaan potensial antara bagian terbuka yang menjadi anoda terhadap bagian yang terlindungi film oksida, beda potensial dapat mencapai 0,15 volt. Selanjutnya dengan adanya elektrolit maka akan terjadilah sel korosi biasa, karena area anoda sempit jika dibandingkan dengan area katoda. Maka pada daerah anoda terjadi alur yang terbentuknya film oksida di tempat tersebut, dengan hilangnya regangan di sekitar alur terbentuklah film oksida di tempat tersebut sehingga menciptakan daerah katoda yang sangat dekat dengan daerah anoda (ujung alur) sehingga mempercepat terjadinya reaksi lebih lanjut. Akan halnya reaksi pada kristal, takik (notch) awal berasal dari daerah perbatasan kristal yang secara kimiawi lebih aktif dari permukaan kristal karena adanya kelainan (discontinuity) pada kristal tersebut. Sekali terjadi takik konsentrasi reganga pada ujung takik menyebabkan pecahnya film oksida ditempat tersebut dan sekaligus mencegah film oksida lebih lanjut karena itu proses korosi berjalan terus.

Mekanisme retak korosi regangan adalah proses elektrokimia mekanika, sebagaimana telah dibahas bahwa retak korosi regangan dapat dipercepat dengan penggunaan arus anodik dan dapat dihentikan dengan menggunakan arus katodik (cathodic protection). Karena kita yakin bahwa sebagian dari proses korosi regangan disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor elektrokimia dan faktor mekanis. a. Faktor Elektrokimia Faktor ini bisa terjadi apabila pada material terdapat bagian anodik dan bagian lain katodik serta berada dalam larutan yang menghantar arus (elektrolit). Bagian katodik dapat berupa lapisan tipis oksida metal akibat bereaksinya metal

4

menimbulkan abrasi lebih barat lagi. Korosi erosi ini dikatakan juga sebagai korosi karena kecepatan turbulensi dan benturan yang terjadi karena adanya gesekan relatif antara elektrolit dan permukaan logam. Bentuk korosi ini terutama disebabkan oleh efek olakan dan peronggaan. Olakan atau turbulensi disebabkan oleh paking pemasangan yang tidak tepat, tonjolan akibat pengelasan, solder pada bagian dalam pipa atau sambungan, tikungan yang jari – jarinya terlalu kecil atau apa saja yang menghalangi aliran. Peningkatan laju aliran juga menyebabkan hancurnya aliran laminar dan terjadinya olakan (aliran turbulen). Pada olakan atau turbulensi ini molekul – molekul fluida akan memberikan tekanan langsung pada logam sehingga terjadi keausan mekanik yang akan menyebabkan terjadinya korosi. Kerusakan berupa peronggaan sering dijumpai pada bagian dalam pipa dimana zat cair seolah – olah diam, vibrasi – vibrasi pada dinding pipa yang dihasilkan oleh mesin pompa yang menimbulkan obilasi tekanan transversal pada lapisan zat cair dinding – dindingnya.

b. Faktor Mekanis Dengan berlanjutnya sel korosi yang semakin merasuk ke dalam material maka terjadilah alur dengan dasar yang menyempit/meruncing yang disebut notch. Pada ujung notch ini terjadi konsentrasi regangan sehingga cukup kuat untuk mengawali retak mekanis. Dengan melemahnya tenaga menkanis (sebagai hasil terkumpulnya konsentrasi reganagan) karena terkuras untuk mengawali retak mekanis, maka dengan sendirinya proses peretakan berhenti. Setelah itu terjadilah kembali proses sel korosi seperti awalnya dan diteruskan oleh proses mekanis sebagaimana telah diuraikan di atas dan pada waktu yang bersamaan yang menandakan telah terjadinya retak mekanis pada contoh baja karbon rendah dalam larutan 20% NH4NO3 yang mendidih. Retakan mekanis tersebut memecahkan film oksida dan membuat bagian anodik ke elektrolit sehingga terjadi sel korosi. 2.3.4 Korosi Erosi Erosion corrosion merupakan kerusakan pada permukaan metal yang disebabkan aliran fluida yang sangat cepat, merusak permukaan metal dan lapisan film pelindung. Korosi dapat pula terjadi pada permukaan yang bergerak cepat sementara fluida disekitarnya mengandung partikel - partikel padat. Jenis korosi ini yang perlu diperhatikan keretakan korosi erosi (stress corrosion cracking) dan penggetasan zat air. Dalam hal ini perusakan karena erosi dan korosi saling mendukung. Logam yang telah kena erosi akibat terjadi keausan dan menimbulkan bagian – bagian yang tajam dan kasar. Bagian – bagian inilah yang mudah terkena korosi dan bila ada gesekan akan

Gambar 2.2 Korosi Erosi[1] 2.3.5 Korosi Kelelahan (Corrosion Fatigue) Korosi kelelahan (corrosion fatigue) adalah metal yang retak oleh adanya regangan yang terjadi bergantian atau berulang-ulang. Makin besar regangan yang terjadi pada setiap cycle makin cepat akan terjadinya kegagalan tersebut. Kegagalan banyak terjadi pada daerah

5

dimana cycle dan regangan berada di atas garis lengkung yang teratas atau di atas batas kelelahan (endurance limit/fatigue limit) dan tidak terjadi kegagalan jika cycle dan regangan berada dibawah batas kelelahan. Untuk baja maupun logam lainnya batas kelelahan yang sebenarnya berada kira-kira sepruh dari kuat tarik. Untuk logam lain korosi kelelahan atau batas ketahanan (endurance limit) adalah suatu nilai regangan dimana nilai-nilai regangan dibawahnya tidak menyebabkan kegagalan di dalam jumlah cycle tertentu. Frekuensi untuk penerapan regangan biasanya dicantumkan karena merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah cycle yang menyebabkan kegagalan. Di dalam lingkungan yang korosif kegagalan pada tingkat regangan tertentu terjadi hanya pada jumlah cycle yanglebih sedikit dan kelelahan sebenarnya tidak tampak lagi dengan kata lain kegagalan dapat saja terjadi pada nilai regangan berapa saja asalkan cycle-nya cukup besar. Kegagalan yang terjadi karena kombinasi antara kelelahan dan korosi disebut korosi kelelahan (corrosion fatigue), kerusakan akibat korosi kelelahan biasanya selalu lebih besar dari jumlah kerusakan akibat korosi dan kerusakan akibat kelelahan secara terpisah. Korosi kelelahan biasanya terjadi di dekat titik-titik yang menderita beban, lasan pada pautan, lasan pada nosel dan lain-lain. Bellow pemuaian juga peka terhadap korosi kelelahan pada suhu tinggi, korosi kelelahan terjadi karena dipacu oleh proses oksidasi, kegagalan berupa paduan antara pembentukan oksida dan kelelahan.

serangan oksidasi yang cepat (accelerated oxcidation). Dengan melapiskan lapisan tipis Na•SO• pada paduan 30% C• - Co atau 30% Cr Ni dan mengoksidasinya pada suhu 600•C hingga 900•C (1110•F 1650•C) di dalam kondisi O• pada tekanan 1 atm yang mengandung 0,15% (SO• + SO•) terjadi laju oksidasi yang tertinggi pada suhu 600•C hingga 750•C. Lapisan oksidasi sebagian besar terdiri dari campuran Na•SO• dengan Co SO• atau NOSO•. Sulfida metalik sering merasuk kedalam batas butir dari logam paduan sebagai inklusi atau jaringan sulfide, kondisi ini sering disebut dengan sulfidasi (sulfidation). Disarankan untuk memperlambat laju oksidasi suhu diupayakan di atas 600•C, karena pada suhu ini terbentuk lapisan Cr•O• yang pada suhu 550•C tidak akan terbentuk. Keberadaan Cr•O• meningkatkan derajat penguapan (volatility) dan mengurangi pembentukan Na•SO• yang mengendap dipermukaan logam paduan pada suhu tinggi. Oksida yang merusak ini (Na•SO•) dapat berasal dari udara yang terkontaminasi garam dari laut, demikian juga gas SO• dan SO• yang berasal dari minyak bakar juga mempunyai andil pada proses percepatan oksidasi ini. Paduan kromium persentase lebih tinggi resistan terhadap korosi suhu tinggi dibandingkan dengan yang berpersentase rendah. Penyebab korosi suhu tinggi ini diperkirakan disebabkan oleh salah satu sifat oksida yang dominan yakni sifat elektro kimiawi pada suhu tinggi di samping sifat fluxing pada titik cairnya. Hal ini terbukti dengan terbentuknya Fe•O• yang konduktif dan keropos dan jika dipenuhi dengan elektrolit cair akan menghasilkan sel korosi yang terdiri dari Fe•O• sebagai elektroda oksigen dan bahan dasar sebagai anoda. Laju oksidasinya menjadi sangat tinggi jauh melebihi oksidasi metal yang langsung berhubungan dengan oksigen, hal ini disebabkan oleh terjadinya migrasi ion-ion oksigen dan metalyang sangat cepat. Untuk

2.3.6 Korosi Suhu Tinggi Korosi suhu tinggi terjadi apabila di dalam minyak bakar (fuel) tidak terdapat unsur kontaminan yang bersifat mentalik. Pertama kali disadari adanya jenis korosi ini adalah pada sudu-sudu pertama pada turbin gas yang bekerja dibawah suhu antara 650•C hingga 700•C (1200•F1300•F). Sudu-sudu tersebut menderita

6

mengupayakan agar logam baja tahan terhadap proses oksidasi diperlukan logam pencampur seperti kromium. Dengan dicampurnya baja dengan kromium dapat menaikkan ketahanannya terhadap oksidasi itu sendiri. Logam aluminium dan silica dapat pula menjadi faktor peningkatan ketahanan baja terhadap oksidasi, namun hanya dalam jumlah yang sangat terbatas sebab kedua unsure tersebut sangat mempengaruhi sifat mekanis baja.

embun yang menempel pada permukaan yang memiliki beda potensial tersebut. Karena walaupun suatu jenis metal tahan korosi di suatu lokasi bersifat sama ditempat lain, misalnya baja berlapis galvanis tahan korosi di daerah pedesaan jarang tahan korosi di daerah sekitar kawasan industri. Produk korosi yang makin lama makin menebal dan menutup permukaan baja cenderung dilindungi oleh permukaan tersebut, sehingga laju pengkorosiannya menurun dengan bertambahnya waktu. Namun apabila suatu permukaan selalu basah baik oleh air hujan atau kelembaban udara disekitar ruang tersebut, dimana hujan tidak mampu membersihkan permukaan tersebut justru makin lama laju pengkorosianya makin hebat dibandingkan dengan permukaan yang terbuka ke udara bebas. Elektron mengalir dari daerah anodik ke daerah katodik dan meninggalkan ion-ion ferum yang bermuatan positif dan tidak stabil. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pengkorosian atmosfer, antara lain sebaga berikut : Ø Jumlah zat pencemar di udara (debu, gas). Ø Suhu. Ø Kelembaban kritis. Ø Arah dan kecepatan angin. Ø Radiasi matahari. Yang tidak begitu mudah untuk ditentukan adalah waktu/lama bertahannya kebasahan di atas suatu permukaan baja, serta jumlah zat pencemar seperti SO• dan klorida. Tingkat laju pengkorosian dari metal yang terbuka ke atmosfer pada umumnya lebih rendah dari laju pengkorosian baja dari air tanah atau dalam tanah.

2.3.7 Korosi Atmosfer Jenis korosi ini terjadi akibat proses elektrokimia antara dua bagian benda padat khususnya metal besi yang berbeda potensial dan langsung berhubungan dengan udara terbuka. Adapun mekanisme terjadinya jenis korosi ini adalah sebagai berikut : Fakta membuktikan tidak ada benda khususnya metal besi yang bebas dari kotoran di dalam materialnya yang lazim disebut dengan impurities, yang berupa oksida dari metal besi tersebut akibat bereaksi dengan zat asam di udara, perbedaan struktur molekuler dari material metal itu sendiri, serta perbedaan tegangan di dalam bagian-bagian metal besi tersebut. Secara alami hal-hal tersebut menimbulkan perbedaan potensial antara bagian-bagian, perbedaan potensial ini menyebabkan sebagian dari metal bersifat katodis yakni kotoran, oksida dan struktur molekuler yang katodis serta bagian anodis yakni bagian besi yang murni. Jika keadaan udara dingin dan basah maka akan terbentuk bintik-bintik embun di permukaan metal besi yang dingin. Juga apabila jatuh hujan maka permukaan metal menjadi basah. Di dalam udara terdapat banyak sekali sampah, debu sebagai pencemar yang kadang-kadang menimbulkan larutan yang sangat azam jika bercampur dengan partikel-partikel air. Larutan yang PH-nya yang sangat rendah inilah yang berfungsi sebagai bahan penghantar yang sangat baik sehingga terjadilah sel korosi di dalam titik

2.4

Baja

Baja adalah logam paduan antara besi (Fe) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja berkisar 0.2% hingga 1.7% l di dalam sesuai gradenya. Dalam

7

proses pembuatan baja akan terdapat unsur-unsur lain selain karbon yang akan tertinggal didalam baja seperti mangan (Mn), silicon (Si), kromium (Cr), vanadium dan unsur-unsur lainnya. Dalam hal aplikasi, baja sering digunakan sebagai bahan baku untuk alat-alat perkakas, alatalat pertanian, komponen-komponen otomotif, kebutuhan rumah tangga, dan lain-lain.

mobil, struktur bangunan, pipa gedung, jembatan, kaleng, pagar dan lain-lain. b. Baja karbon menengah (medium Carbon Steel) Baja karbon menengah adalah baja yang mengandung karbon 0.3% C-0.6% C. Baja karbon menengah memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan baja karbon rendah yaitu kekerasannya lebih tinggi daripada baja karbon rendah, kekuatan tarik dan batas regang yang tinggi, tidak mudah dibentuk oleh mesin, lebih sulit dilakukan untuk pengelasan, dan dapat dikeraskan (diquenching) dengan baik. Baja karbon menengah banyak digukan untuk poros, rel kereta api, roda gigi, pegas, baut, komponen mesin yang membutuhkan kekuatan tinggi, dan lain-lain. c. Baja karbon tinggi (High Carbon Steel) Baja karbon tinggi adalah baja yang mengandung karbon 0.6% C-1.7% C dan memiliki tahan panas yang tinggi, kekerasan tinggi, namun keuletannya lebih rendah. Baja karbon tinggi mempunyai kuat tarik paling tinggi dan banyak digunakan untuk material tools. Salah satu aplikasi dari baja ini adalah dalam pembuatan kawat baja dan kabel baja. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung didalam baja maka baja karbon ini banyak digunakan dalam pembuatan pegas dan alatalat perkakas seperti palu, gergaji, atau pahat potong.

2.4.1 Klasifikasi Baja Baja dapat diklasifikasikan berdasarkan komposisi kimianya seperti kadar karbon dan paduan yang digunakan. Berikut merupakan klasifikasi baja berdasarkan komposisi kimianya. 1. Baja Karbon Baja karbon terdiri dari besi dan karbon. Karbon merupakan unsur pengeras besi yang efektif dan murah. Oleh karena itu, pada umumnya sebagian besar baja hanya mengandung karbon dengan sedikit unsur paduan lainnya. Perbedaan persentase kandungan karbon dalam campuran logam baja menjadi salah satu pengaplikasian baja. Berdasarkan kandungan karbon, baja dibagi kedalam tiga macam yaitu : a. Baja karbon rendah (Low Carbon Steel) Baja karbon rendah adalah baja yang mengandung karbon kurang dari 0.3% C. Baja karbon rendah merupakan baja yang paling mudah diproduksi diantara semua karbon, mudah di machining dan dilas, serta keuletan dan ketangguhannya sangat tinggi tetapi kekerasannya rendah dan tahan aus. Sehingga pada penggunaannya, baja jenis ini dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan komponen bodi

8

Selain itu, baja jenis ini banyak digunakan untuk keperluan industri lain seperti pembuatan kikir, pisau cukur, mata gergaji dan sebagainya.

Pada umumnya, baja paduan mempunyai sifat yang unggul dibandingkan dengan baja karbon biasa diantaranya: 1. Keuletan yang tinggi tanpa pengurangan kekuatan tarik. 2. Tahan terhadap korosi dan keausan yang tergantung pada jenis paduannya. 3. Tahan terhadap perubahan perubahan suhu, ini berarti bahwa sifat fisiknya tidak banyak berubah. 4. Memiliki butiran yang halus dan homogen.

2. Baja paduan Baja paduan didefinisikan sebagai suatu baja yang dicampur dengan satu atau lebih unsur campuran seperti nikel, mangan, molybdenum, kromium, vanadium dan wolfarm yang berguna untuk memperoleh sifat-sifat baja yang dikehendaki seperti sifat kekuatan, kekerasan, dan keuletan. Paduan dari beberapa unsur yang berbeda memberikan sifat khas dari baja. Masialkan baja yang dipadu dengan Ni dan Cr akan menghasilakan baja yang mempunyai sifat keras dan ulet. Berdasrkan kadar paduannya baja paduan dibagi menjadi tiga macam yaitu: a. Baja paduan rendah (low Alloy Steel) Baja paduan rendah merupakan baja yang elemen paduannya kurang dari 2.5% wt misalnya unsur Cr, Mn, Ni, S, Si, P, dan lain-lain. b. Baja paduan menengah (medium Alloy Steel) Baja paduan menengah merupakan baja yang elemen paduannya 2.5%10% wt misalnya unsur Cr, Mn, S, Si, P , dan lain-lain. c. Baja paduan tinggi (high Alloy steel) Baja paduan tinggi merupakan baja paduan yang elemen paduannya lebih dari 10% wt masialnya unsur Cr, Mn, Ni, S, Si, P, dan lain-lain.

2.4.2

Baja AISI 1010 Baja AISI 1010 merupakan salah satu baja paduan yang didefinisikan sebagai suatu baja yang dicampur dengan satu atau lebih unsur campuran seperti nikel, kromiun, molibden, vanadium, mangan, dan lain-lain. Suatu kombinasi antara dua unsur atau lebih unsur campuran memberikan sifat khas dibandingkan dengan satu campuran misalnya baja yang dicampur dengan kromium dan nikel akan menghasilkan baja yang mempunyai sifat keras dan kenyal. Adapun pengaruh unsur-unsur campuran terhadap sifat-sifat baja adalah sebagai berikut: 1. Baja karbon mempunyai kekuatan yang terbatas dan tegangan baja yang berpenampang besar harus dikurangi. Kekuatan baja dapat dinaikan dengan menambah unsur campuran seperti nikel, mangan, dalam jumlah yang kecil kedalam besi dan menguatkannya. 2. Kekenyalan baja dapat diperoleh dengan menambah sedikit nikel yang menyebabkan butiranbutirannya menjadi halus. 3. Ketahanan pemakaian baja dapat diperoleh dengan menambah unsur penstabil karbid, misalnya kromium dan nikel sehingga terjadi penguraian karbid. Cara lain untuk menghasilkan ketahanan pakai adalah dengan menambah nikel dan

9

mangan agar transformasi temperature rendah dan akan menyebabkan pembentukan austenite dengan jalan pendinginan. Baja paduan ini dilakukan pengerjaan panas untuk kekerasan dan ketahanan. 4. Ketahanan baja terhadap tahan karat diperoleh dengan menambahkan unsur krom sampai 12% sehingga membentuk lapisan tipis berupa oksida pada permukaan baja untuk mengisolasikan antara besi dengan unsur-unsur yang menyebabkan karatan. Baja tahan karat yang paling baik terutama pada temperature tinggi, yaitu diperoleh dengan cara menggunakan nikel dan kromiumbersama-sama untuk menghasilkan suatu struktur yang berlapis.

penting lainnya, yaitu delta-ferrite dan gamma-austenite. Logam Fe bersifat polymorphism yaitu memiliki struktur kristal berbeda pada temperatur berbeda. Pada Fe murni, misalnya, alpha-ferrite akan berubah menjadi gamma-austenite saat dipanaskan melewati temperature 9100C. Pada temperatur yang lebih tinggi, mendekati 14000C gamma-austenite akan kembali berubah menjadi delta-ferrite. (Alpha dan Delta) Ferrite dalam hal ini memiliki struktur kristal BCC sedangkan (Gamma) Austenite memiliki struktur kristal FCC.

Baja AISI 1010 juga merupakan salah satu jenis baja dengan unsur paduannya 0,08-0,13 % Carbon, 0,05 % Sulphur, 0,30-60 % Mangan dan 0,04% Phosphorus. Aplikasi yang umum dari baja karbon jenis ini adalah knalpot motor, knalpot mobil dll.

Gambar 2.3 Diagram Kesetimbangan Fasa Fe-Fe3C[2] 1. Ferrite Ferrite adalah fase larutan padat yang memiliki struktur BCC (body centered cubic). Ferrite dalam keadaan setimbang dapat ditemukan pada temperature ruang, yaitu alpha-ferrite atau pada temperatur tinggi, yaitu delta-ferrite. Secara umum fase ini bersifat lunak (soft), ulet (ductile), dan magnetic (magnetic) hingga temperatur tertentu, yaitu Tcurie. Kelarutan karbon di dalam fase ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan kelarutan karbon di dalam fase larutan padat lain di dalam baja, yaitu fase Austenite. Pada temperatur ruang, kelarutan karbon di dalam alpha-ferrite hanyalah sekitar 0.05%. Berbagai jenis baja dan besi tuang dibuat dengan mengeksploitasi sifat-sifat ferrite. Baja lembaran berkadar karbon rendah

2.4.3 Diagram Fe-Fe3C Diagram kesetimbangan fasa FeFe3C adalah alat penting untuk memahami struktur mikro dan sifat-sifat baja karbon, suatu jenis logam paduan besi (Fe) dan karbon (C). Karbon larut di dalam besi dalam bentuk larutan padat (solid solution) hingga 0.05% berat pada temperatur ruang. Baja dengan atom karbon terlarut hingga jumlah tersebut memiliki alpha ferrite pada temperature ruang. Pada kadar karbon lebih dari 0.05% akan terbentuk endapan karbon dalam bentuk hard intermetallic stoichiometric compound (Fe3C) yang dikenal sebagai cementite atau carbide. Selain larutan padat alpha-ferrite yang dalam kesetimbangan dapat ditemukan pada temperatur ruang terdapat fase-fase

10

dengan fase tunggal ferrite misalnya, banyak diproduksi untuk proses pembentukan logam lembaran. Dewasa ini bahkan telah dikembangkan baja berkadar karbon ultra rendah untuk karakteristik mampu bentuk yang lebih baik. Kenaikan kadar karbon secara umum akan meningkatkan sifat-sifat mekanik ferrite sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Untuk paduan baja dengan fase tunggal ferrite, factor lain yang berpengaruh signifikan terhadap sifat-sifat mekanik adalah ukuran butir. 2. Austenite Fase Austenite memiliki struktur atom FCC (Face Centered Cubic). Dalam keadaan setimbang fase Austenite ditemukan pada temperatur tinggi. Fase ini bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada temperatur tinggi. Kelarutan atom karbon di dalam larutan padat Austenite lebih besar jika dibandingkan dengan kelarutan atom karbon pada fase Ferrite. Secara geometri, dapat dihitung perbandingan besarnya ruang intertisi di dalam fase Austenite (atau kristal FCC) dan fase Ferrite (atau kristal BCC). Perbedaan ini dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena transformasi fase pada saat pendinginan Austenite yang berlangsung secara cepat. Selain pada temperatur tinggi, Austenite pada sistem Ferrous dapat pula direkayasa agar stabil pada temperatur ruang. Elemen-elemen seperti Mangan dan Nickel misalnya dapat menurunkan laju transformasi dari gamma-austenite menjadi alphaferrite. Dalam jumlah tertentu elemenelemen tersebut akan menyebabkan Austenite stabil pada temperatur ruang. Contoh baja paduan dengan fase Austenite pada temperatur ruang misalnya adalah Baja Hadfield (12%Mangan) dan Baja Stainless 18.8 (8%Ni).

3. Cementite Cementite atau carbide dalam sistem paduan berbasis besi adalah stoichiometric inter-metallic compund Fe3C yang keras (hard) dan getas (brittle). Nama cementite berasal dari kata caementum yang berarti stone chip atau lempengan batu. Cementite sebenarnya dapat terurai menjadi bentuk yang lebih stabil yaitu Fe dan C sehingga sering disebut sebagai fase metastabil. Namun, untuk keperluan praktis, fase ini dapat dianggap sebagai fase stabil. Cementite sangat penting perannya di dalam membentuk sifatsifat mekanik akhir baja. Cementite dapat berada di dalam sistem besi baja dalam berbagai bentuk seperti: bentuk bola (sphere), bentuk lembaran (berselang seling dengan alpha-ferrite), atau partikel-partikel carbide kecil. Bentuk, ukuran, dan distribusi karbon dapat direkayasa melalui siklus pemanasan dan pendinginan. Jarak rata-rata antar karbida, dikenal sebagai lintasan Ferrite rata-rata (Ferrite Mean Path), adalah parameter penting yang dapat menjelaskan variasi sifat-sifat besi baja. Variasi sifat luluh baja diketahui berbanding lurus dengan logaritmik lintasan ferrite rata-rata. 2.4.4 Reaksi-reaksi Invarian dan Konstituen Mikro Penting Secara keseluruhan ada tiga reaksi penting di dalam diagram Kesetimbangan Fase Fe-Fe3C, yaitu: Reaksi Peritectic, Reaksi Eutectic, dan Reaksi Eutectoid sebagaimana terlihat di dalam diagram kesetimbangan. Untuk sistem Besi Baja, reaksi Eutectoid adalah reaksi yang sangat penting karena dengan mengontrol Reaksi Eutectoid kita dapat memperoleh berbagai konstituen mikro atau micro constituent yang diinginkan untuk mendapatkan sifatsifat tertentu. Berdasarkan kadar karbonnya, baja dapat pula diklasifikasikan menjadi (1) baja eutectoid, (2) baja hypoeutectoid, dan (3) baja hypereutectoid.

11

Gambar 2.6 Struktur Mikro dari Pearlite[2] Gambar 2.6 diatas menunjukkan struktur mikro pearlite dalam perbesaran lebih tinggi. Daerah yang lebih terang pada gambar adalah ferrite sedangkan daerah yang lebih gelap pada gambar adalah carbide atau cementite. Konstituen mikro lain yang dapat diperoleh dengan mengendalikan reaksi eutectoid adalah Bainite. Bainite adalah suatu campuran non-lamellar dari ferrite dan cementite yang terbentuk pada dekomposisi Austenite melalui reaksi eutectoid. Berbeda dengan pearlite yang terbentuk pada laju transformasi atau pendinginan sedang strukturnya adalah acicular, terdiri atas ferrite lewat jenuh dengan partikel-partikel carbide terdispersi secara diskontinu. Dispersi dari bainite tergantung pada temperatur pembentukannya.

Gambar 2.4 Reaksi-reaksi Invarian Di dalam Sistem Fe-Fe3C[2] 2.4.5 Proses Perlakuan Panas Baja Karbon Telah dijelaskan sebelumnya bahwa reaksi eutectoid sangat penting di dalam mengendalikan struktur mikro baja. Dengan mengendalikan reaksi eutectoid, dapat diperoleh 3 konstituen mikro penting yaitu: (1) pearlite, (2) bainite, dan (3) (tempered) martensite.

2.5

Krom (Kromium) Kromium adalah sebuah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang (simbol) Cr dan nomor atomnya adalah 24. Kromium merupakan logam tahan korosi (tahan karat) dan dapat dipoles menjadi mengkilat. Dengan sifat ini kromium/krom banyak digunakan sebagai pelapis pada ornamen-ornamen bangunan, komponen pada kendaraan seperti knalpot pada sepeda motor maupun sebagai pelapis perhiasan seperti emas. Perpadauan kromium/krom dengan besi dan nikel dapat menghasilkan baja tahan karat (korosi). Kegunaan dari krom sendiri untuk mengeraskan baja, pembuatan baja tahan karat (korosi) dan membentuk logam alloy (logam campuran) yang berguna. Namun kebanyakan fasa krom digunakan untuk proses pelapisan logam yang dapat menghasilkan permukaan logam yang

Gambar 2.5 Tiga Konstituen Mikro Penting dari Baja Karbon[2] Pearlite adalah suatu campuran lamellar dari ferrite dan cementite. Konstituen ini terbentuk dari dekomposisi Austenite melalui reaksi eutectoid pada keadaan setimbang, di mana lapisan ferrite dan cementite terbentuk secara bergantian untuk menjaga keadaan kesetimbangan komposisi eutectoid. Pearlite memiliki struktur yang lebih keras daripada ferrite, yang terutama disebabkan oleh adanya fase cementite atau carbide dalam bentuk lamel-lamel.

12

keras dan juga dapat mencegah timbulnya korosi.

Konfigurasi elektronik untuk kromium menyimpang dari diagram Aufbau. Dibandingkan molibdenum dan wolfram, kromium lebih mudah bereaksi dengan asam non oksidator menghasilkan Cr (II), tetapi dengan asam oksidator reaksinya menjadi terhambat dengan terbentuknya lapisan kromium (III) oksida. Kromium mempunyai variasi tingkat oksidasi yang paling banyak, sehingga logam kromium lebih banyak membentuk persenyawaan. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan logam golongan 6 pada tingkat oksidasi rendah tidak stabil dengan naiknya nomor atom.

2.5.1 Sifat Fisik dan Kimia Kromium Kromium mempunyai konfigurasi elektron, sangat keras, mempunyai titik leleh dan titik didih tinggi di atas titik leleh dan titik didih unsur-unsur transisi deret pertama lainnya. Bilangan oksidasi yang terpenting adalah +2, +3, dan +6, apabila dalam keadaan murni dapat larut dengan lambat sekali dalam asam encer membentuk garam kromium (II). Kromium (II) bersifat mereduksi, kromium (III) sangat stabil dan penting, dan kromium (VI) bersifat sangat mengoksidasi. Kromium tahan korosi, oleh karena itu digunakan sebagai lapisan pelindung pada pelapisan elektrolitik.. Beberapa sifat fisik kromium dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Senyawa-senyawa oksida kromium, seperti Cr2O3 dan Cr(OH)3 bersifat amfoterik. Hal ini disebabkan oleh karena sifat basa oksida dan hidroksida kromium menurun (atau sifat asam naik) dengan naiknya tingkat oksidasi. Sama seperti CrO3 yang mempunyai tingkat oksidasi lebih tinggi bersifat asam. Hal ini dapat dipahami bahwa Cr (VI) mempunyai jari-jari ionik lebih pendek dan rapatan muatan lebih tinggi sehingga spesies ini mempunyai kecenderungan yang lebih besar sebagai akseptor pasangan elektron.

Tabel 2.1 Beberapa Sifat Fisik Kromium[3] Karakteristik Massa atom relatif

24Cr

51,996

Jari-jari atom (nm)

0,117 +2

Jari-jari ion(pm) M , M+3, M+4, M+5, M+6 (Bilangan koordinasi 6) Ke elektronegatifan Energi ionisasi (IE) kJ/mol-1

73, 61.5, 55, 49, 44 1,6 659

Kelimpahan (ppm)

122

Densitas (g cm-3)

7, 14

Titik leleh (oC)

1900

Titik didih (oC)

2690

Konfigurasi elektronik

Gambar 2.7 Diagram Fasa Krom Oksidasi[3]

[18Ar] 3d54s1

13

3.

BAHAN DAN PERCOBAAN

3.2

Bahan Percobaan Bahan atau material yang dipakai pada penelitian ini adalah exhaust knalpot yang telah mengalami suatu karat (korosi) dan baja karbon ini kandungan karbonnya nominal 0,08-0,13%. Ini adalah kekuatan baja relatif rendah tetapi dapat dipadamkan dan marah untuk kekuatan meningkat. Komposisi paduan Carbon Steel type AISI 1010 tersebut ditunjukkan pada tabel 3.1.

3.1

Prosedur Penelitian Dalam pelaksanaan suatu kegiatan penelitian, biasanya selalu diawali dengan penetapan tahapan atau langkah-langkah penelitian. Berikut ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang dilakukan dari awal penelitian hingga akhir, yang ditunjukkan melalui sebuah diagram alir atau flowchart.

Tabel 3.1 Komposisi Kimia Carbon Steel Type AISI 1010[4] C Mn P S % % % %

Mulai

Studi Literatur

0,080,13

Material Exhaust Knalpot

3.3

0,04

0,05

Proses Analisa Perhitungan Laju Korosi Pada Exhaust Knalpot Carbon Steel Type AISI 1010 Dilapisi Krom Keras Pada proses ini exhaust knalpot carbon steel type AISI 1010 dipotong menjadi tiga bagian dengan ukuran masing-masing bagian yaitu 3 cm setiap bagian yang dipotong. Setelah dipotong menjadi tiga bagian, setiap bagian pada potongan bahan exhaust knalpot tersebut dipotong (dibelah) menjadi empat bagian dan di dapatlah 12 sampel (specimen) yang nantinya akan diuji atau dianalisa. Setelah proses pemotongan selesai 12 specimen tersebut nantinya untuk dilakukan proses pemanasan didalam tungku pemanas, dimana proses pemanasan tersebut dilakukan dengan perbandingan suhu dan waktu. Dalam proses pemanasan ini suhu yang dipakai adalah pada suhu 6000C dan suhu 7000C, namun sampel yang diuji untuk pengujian metalografi dan rockwell hanya ada enam sampel dimana tiga sampel untuk pengujian pemanas dalam suhu 6000C dan tiga sampel pada suhu 700 0C, sedangkan waktu yang digunakan untuk pemanasannya pada suhu 6000C adalah berkisar antara sampel pertama 5 menit, sampel ke-dua 1 jam dan sampel

Material Exhaust Knalpot

Pengujian (Metalografi dan Rockwell)

0,30-0,60

Cacat

Baik Pengambilan Data

Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Penelitian Diagram pada gambar 3.1 menggambarkan langkah suatu proses yang dilakukan dalam melakukan metode penelitian sehingga memperoleh hasil dari penelitian yang sesuai dengan literatur pustaka. Langkah-langkah prosesnya berupa yaitu terminal yang menyatakan mulai dan selesai dari suatu proses, pengolahan yang menyatakan suatu proses yang berlangsung dan keputusan untuk menyatakan dalam mengambil keputusan dari proses yang telah diolah dengan cara membandingkan.

14

ke-tiga 2 jam, sedangkan pada pemanasan suhu 7000C ini sendiri berkisar antara sampel pertama 5 menit, sampel ke-dua 1 jam dan sampel ke-tiga 2 jam.. Setelah proses pemanasan ini selesai selanjutnya dilakukan suatu analisa fenomena yang terjadi pada suatu korosi yang terjadi pada bahan atau sampel yang dipanaskan tersebut. Bagian yang nantinya akan diamati adalah pada bagian yang berdekatan pada suatu fasa struktur krom keras pada bahan tersebut.

pengamplasan (grinding), pemolesan (polishing), dan pengetsaan (etching), dengan sebelumnya perlu diperhatikan beberapa langkah persiapan terlebih dahulu. Langkah-langkah pengujian Metalografi dapat dilihat pada diagram alir (gambar 3.4). Mulai

Sampel Korosi Exhaust Knalpot

Pengamplasan (Grinding)

3.4

Pengujian Bahan Bagaimanapun baiknya suatu material dipersiapkan, pasti memiliki cacat-cacat kisi yang akan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan struktur material tersebut. Dengan mengamati sifat mekanik logam, akan diperoleh informasi sifat-sifat cacat kisi tersebut. Pada beberapa cabang industri, pengujian mekanik yang biasa dilakukan seperti uji metalografi, uji tarik, uji kekerasan, uji impact, uji creep, dan uji tarik, dimana kegunaan pengujian tersebut bukan untuk mempelajari keadaan cacatnya, tetapi untuk memeriksa kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan standar spesifikasinya. Dalam hal ini penulis hanya melakukan beberapa pengujian yakni : uji metalografi, dan uji kekerasan.

Pemolesan (Polishing)

Pengetsaan (Etching)

Struktur Mikro

Cacat

Baik Analisa

Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.2 Diagram Alir Proses Metalografi

3.4.1 Metalografi Metalografi adalah suatu pengetahuan yang khusus mempelajari struktur logam dan mekanisnya, dalam Metalografi dikenal pengujian makroskopi dan pengujian mikroskopi. Bila pengujian makroskopi dilakukan dengan mata telanjang atau memakai kaca pembesar, maka pada pengujian mikroskopi menggunakan suatu alat yaitu mikroskop optis bahkan mikroskop elektron. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk melihat struktur dan fasa yang terkandung pada turbo charger yang telah mengalami patahan. Terdapat beberapa langkah penting dalam pengujian metalografi, diantaranya

Penjelasan diagram alir pada gambar 3.2 adalah sebagai berikut : • Pengamplasan (Grinding) Pengamplasan ini bertujuan untuk menghaluskan permukaan sampel dengan goresan yang searah. Amplas yang digunakan adalah dari nomor 100, 200, 400, 500, 600, 800, 1000, 1200, 1500 dan 2000. Selama pengamplasan sampel harus dialiri air bersih, hal ini untuk menghindari timbulnya panas dipermukaan sampel yang kontak langsung dengan kertas amplas.

15



benda yang tidak terdeformasi kedalam permukaan logam yang diuji (specimen) kekerasan, sehingga akan terjadi suatu bekas penekanan (lekukan) yang kemudian dijadikan dasar untuk penilaian kekerasannya, penekanan dilakukan sampai lekukan yang bersifat tetap. Logam yang akan diuji akan lebih keras bila bekas yang terjadi lebih kecil. Gambar 3.4 menggambarkan diagram langkah suatu proses yang dilakukan dalam melakukan metode penelitian uji kekerasan.

Pemolesan (Polishing) Proses ini bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa goresan dari proses pengamplasan. Pemolesan dilakukan pada mesin poles dengan media kain beludru dan memakai pasta intan 1•m. • Pengetsaan (Etching) Mengetsa (etching) dengan etching reagents (bahan etsa) dilakukan untuk memperoleh gambaran yang nyata dari permukaan specimen, sehingga dalam keadaan siap diletakkan dibawah mikroskop. • Analisa Sampel yang telah melalui beberapa tahapan perlakuan seperti di atas, selanjutnya sampel tersebut diamati dibawah mikroskop optis dengan struktur mikro pembesaran 400 X. • Alat Potret (Camera) Camera digunakan untuk memotret gambar struktur yang telah diamati dibawah mikroskop, sehingga camera ini harus dapat dipasang pada mikroskop untuk dapat melakukan pemotretan strukturmikro dengan mudah dan cepat.

Mulai

Sampel Korosi Exhaust Knalpot

Pengujian Bahan

Pengambilan Data

Selesai

Gambar 3.4 Diagram Alir Uji Kekerasan Berikut ini merupakan cara pengujian dan penggunaan dengan menggunakan metode pengujian Rockwell, yaitu : 1. Cara Uji Kekerasan Rockwell Cara Rockwell ini juga didasarkan kepada penekanan sebuah indentor dengan suatu gaya tekan tertentu kepermukaan yang rata dan bersih dari suatu logam yang diuji kekerasannya. Setelah gaya tekan dikembalikan ke gaya minor maka yang dijadikan dasar perhitungan untuk nilai kekerasan Rockwell bukanlah hasil pengukuran diameter ataupun diagonal bekas lekukan tetapi justru dalamnya bekas lekukan yang terjadi itu. Inilah kelainan cara Rockwell dibandingkan dengan cara pengujian kekerasan lainnya.

Gambar 3.3 Metallurgical Microscope[5] 3.4.2 Uji Kekerasan (Hardness Test) Percobaan kekerasan (hardness test) yang akan dilakukan adalah percobaan kekerasan dengan cara mekanis statis (bukan mekanis dinamis) dari itu meliputi cara-cara Rockwell, Brinell dan Vickers. Ketiga cara tersebut didasarkan pada cara penekanannya (Identation) suatu

16

Pengujian Rockwell yang umumnya biasa dipakai ada tiga jenis yaitu HRA, HRB, dan HRC. HR itu sendiri merupakan suatu singkatan dari kekerasan Rockwell atau Rockwell Hardness Number dan kadang-kadang disingkat dengan huruf R saja. • Rockwell A dan C adalah jenis alat uji kekerasan yang digunakan untuk pengujian kekerasan logam ferrous seperti besi, baja, dengan identor kerucut diamond 120 0 dengan pembebanan 60 KPa untuk Rockwell A dan 150 KPa untuk Rockwell C. • Rockwell B digunakan untuk pengujian kekerasan logam non ferrous seperti aluminium, tembaga dan lain-lain, Bahan-bahan atau perlengkanpan yang dipakai untuk pengujian kekerasan Rockwell adalah sebagai berikut : 1. Mesin pengujian kekerasan Rockwell yang ditunjukkan pada gambar 3.7 2. Identor (penetrator) berupa bola baja berukuran Ø 1/16 dan kerucut diamond 120º 3. Mesin gerinda 4. Amplas kasar dan halus 5. Benda uji (test specimen)

Spesifikasi Alat Uji Kekerasan Rockwell. Nama alat : Rockwell Hardness Tester Merk : AFFRI serie 206. RT206.RTS Loading : Maximum 150 KPa Minimum 60 KPa Specifikasi : HRC Load : 150 KPa Identor : Krucut Diamond 120º HRB Load : 100 KPa. Identor : Steel Ball Ø 1/16• HRA Load : 60 KPa. Identor : Kerucut Diamond 120º HRD Load : 100 KPa. Identor : Krucut Diamond 120º HRF Load : 60 KPa. Identor : Steel Ball Ø 1/16• HRG Load : 150 KPa. Identor : Steel Ball Ø 1/16• 2.

Cara Uji Kekerasan Brinell Cara uji Brinell dilakukan dengan penekanan sebuah bola baja yang terbuat dari baja chrom yang telah dikeraskan dengan diameter tertentu, oleh suatu gaya tekan secara statis kedalam permukaan logam yang diuji tanpa hentakan ke permukanan logam yang diuji harus rata dan bersih. Setelah gaya tekan ditiadakan dan bola baja dikeluarkan dari bekas lekukan, maka diameter paling atas dari lekukan tadi diukur secara teliti untuk kemudian dipakai untuk menetukan kekerasan logam yang diuji dengan menggunakan rumus: BHN =

2F πD ( D − D 2 − d 2 )

Dimana : F = Beban yang diberikan (KP atau Kgf) D = Diameter identor yang digunakan d = Diameter bakas lekukan Kekerasan ini disebut kekerasan brinell yang biasa disingkat dengan HB atau BHN (Brinell Harness

Gambar 3.5 Alat Uji Kekerasan Rockwell

17

Number). Bertambah keras logam yang diuji bertambah tinggi nilai HB.

3.

Nilai Kekerasan bergantung pada hasil diagonal rata-rata jejak identor (d), kemudian dipakai untuk menetukan kekerasan logam yang diuji dengan menggunakan rumus:

Dimana: P = Beban atau load (gf) d = Diagonal rata-rata jejak identor (µm)

Gambar 3.6 Identor dan Cara Uji Kekerasan Brinell[6] Cara Uji Kekerasan Vickers Cara Vikers ini didasarkan kepada penekanan oleh suatu gaya tekan tertentu oleh sebuah identor berupa pyramid diamond terbalik yang memiliki sudut puncak 136° kepermukaan logam yang diuji kekerasannya, dimana permukaan logam yang diuji ini harus rata dan bersih. Setelah gaya tekan secara statis ini kemudian ditiadakan dan pyramid diamond dikeluarkan dari bekas yang terjadi (permukaan bekas merupakan segi empat karena pyramid merupakan pyramid sama sisi). Maka diagonal segi empat bekas teratas diukur secara teliti untuk kemudian digunakan sebagai kekerasan logam yang diuji. Nilai kekerasan yang diperoleh sedemikian itu disebut kekerasan Vickers yang biasa disingkat dengan Hv atau HVN (Hardness Vickers Number).

Gambar 3.8 Identor dan Cara Uji Kekerasan Vickers[6] 4. 4.1

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Mikro Laju Korosi Lapisan Krom Keras Pada Knalpot Berbahan Baja Karbon AISI 1010 Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari korosi disebut perkaratan, contoh korosi yang paling lazim adalah korosi pada baja karbon. Pada korosi exhaust knalpot baja karbon AISI 1010 yang dilapisi krom keras ini di akibatkan karena proses pemanasan suhu yang sangat tinggi, dimana pada proses pemanasannya dilakukan perbandingan suhu dan waktu yang berbeda-beda. Dengan kisaran suhu mencapai 6000C dan 700 0C, dengan perbandingan waktu yang berbeda pula berkisar 5 menit, 1 jam dan 2 jam. Dengan kondisi perbandingan

Gambar 3.7 Alat Uji Kekerasan Vickers / Mikro Vickers[6]

18

tersebut maka terjadilah suatu reaksi yaitu berupa korosi pada bahan itu dan dapat mengubah struktur mikro serta kekerasan pada komponen tersebut.

Cr2O3 (Crome Oxide)

Exhaust knalpot pada motor vega R ini terbuat dari jenis logam paduan yaitu baja karbon AISI 1010 dilapisi krom keras. Dimana paduan tersebut struktur awal mikronya terdiri dari fasa besi-• (ferrit) dan fasa krom sebagai pelapisannya, dengan fasa besi-• (ferrit) sebagai fasa utamanya. Dimana pada bahan carbon steel type AISI 1010 dilapisi krom keras ini komposisi yang terdapat di dalamnya terdiri dari unsur paduannya 0,08-0,13 % Carbon, 0,05 % Sulphur, 0,30-60 % Mangan dan 0,04% Phosphorus. Aplikasi yang umum dari baja karbon jenis ini adalah knalpot motor, knalpot mobil.

Ferrit

Baja 1010

Cr (Crome)

25 µm

Gambar 4.3 Struktur Mikro Laju Korosi Pada Knalpot Baja Karbon TipeAISI 1010 Dilapisi Krom Keras Bagian Pinggir Pada gambar 4.3 ditunjukkan struktur mikro korosi pada knalpot baja karbon tipe AISI 1010 yang diamati dari bagian pinggir menuju titik tengah (horizontal). Bagian struktur mikro tersebut disusun oleh beberapa fasa di dalamnya, pada bahan knalpot ini terdapat fasa besi- • (ferrit), crom (Cr) dan Cr2O3 (crome oxide/proses oksidasi). Cr2O3 (Crome Oxide)

Cr (Crome) 25 µm

Gambar 4.1 Bahan Exhaust Knalpot Untuk Proses Analisa Perbandingan Laju Korosi Lapisan Krom Berbahan Baja Karbon AISI 1010

Gambar 4.4 Struktur Mikro Laju Korosi Lapisan Krom Setelah Proses Pemanasan Pada Suhu 6000C Untuk Waktu 5 Menit

4.1.1 Struktur Mikro Laju Korosi Lapisan Krom Pada Knalapot Berbahan Baja Karbon AISI 1010 Setelah Dilakukan Proses Pemanasan Suhu 6000C

Cr2O3 (Crome Oxide) Cr (Crome)

25 µm

Gambar 4.5 Struktur Mikro Laju Korosi Lapisan Krom Setelah Proses Pemanasan Pada Suhu 6000C Untuk Waktu 1 Jam

Gambar 4.2 Sampel Bahan Pada Suhu 6000C Yang Akan DigunakanUntuk Pengujian Metalografi

19

4.1.2 Struktur Mikro Laju Korosi Lapisan Krom Pada Knalpot Berbahan Baja Karbon AISI 1010 Setelah Dilakukan Proses Pemanasan Pada Suhu 7000C

Cr2O3 (Crome Oxide) Cr (Crome) 25 µm

Gambar 4.6 Struktur Mikro Laju Korosi Lapisan Krom Setelah Proses Pemanasan Pada Suhu 6000C Untuk Waktu 2 Jam

Gambar 4.7 Sampel Bahan Pada Suhu 700 0C Yang Akan Digunakan Untuk Pengujian Metalografi

Pada gambar 4.4 ditunjukkan bahwa suhu yang dipakai untuk proses pemanasannya menggunakan suhu 6000C dan waktu yang diperlukan untuk proses pemanasannya hanya 5 menit dan didapatkan fasa Cr2O3 (crome oxide)-nya sangat tipis, dimana berbeda dengan gambar 4.5 yang dilakukan proses pemanasannya dengan suhu yang sama tetapi hanya berbeda waktu pemanasannya. Pada gambar 4.5 waktu yang diperlukan yaitu 1 jam dan didapatkan fasa Cr2O3 (crom oxide)-nya tidak sama dengan gambar 4.4 yang hanya proses pemanasannya memerlukan waktu 5 menit, pada gambar 4.5 ini fasa Cr2O3 (crome oxide)-nya terlihat tidak begitu tipis. Sedangkan pada gambar 4.6 didapatkan fasa Cr2O3 (crome oxide)-nya berbeda dengan gambar 4.4 dan 4.5 dikarenakan pada gambar 4.6 proses pemanasannya ini dilakukan pada suhu yang sama (tetap) yaitu pada suhu 6000C dan proses pemanasannya memakan waktu 2 jam, dimana fasa Cr2O3 (crome oxide)nya sedikit banyak dengan fasa Cr2O3 (crome oxide)-nya pada gambar 4.5. Dimana dari gambar 4.4, 4.5 dan 4.6 tingkat korosi yang terjadi pada proses pemanasan dengan suhu yang sama (tetap) akan tetapi waktu yang dibutuhkan setiap specimen (sampel) berbeda-beda, korosi yang ditimbulkan sangat terlihat berbeda dengan specimen 1 dengan specimen yang lainnya, dimana crome oxide-nya mengalami suatu peningkatan setiap sampelnya.

Cr (Crome)

25 µm

Cr2 O3 (Crome Oxide)

Gambar 4.8 Struktur Mikro Laju Korosi Lapisan Krom Setelah Proses Pemanasan Pada Suhu 700 0C Untuk Waktu 5 Menit

Cr2 O3 (Crome Oxide)

Cr (Crome) 25 µm

Gambar 4.9 Struktur Mikro Laju Korosi Lapisan Krom Setelah Proses Pemanasan Pada Suhu 700 0C Untuk Waktu 1 Jam

20

crome dengan perbandingan proses pemanasan dengan waktu yang berbeda maka dapat dihasilkan atau dapat terbentuk suatu crome oxide atau korosi yang berbeda dan hasil struktur mikro yang di dapat pada crome oxide semakin lebar setiap sampel yang diuji dengan waktu yang berbeda pula.

Cr2O3 (Crome Oxide)

25 µm

Cr (Crome)

Gambar 4.10 Struktur Mikro Laju Korosi Lapisan Krom Setelah Proses Pemanasan Pada Suhu 700 0C Untuk Waktu 2 Jam

4.1.3 Tabel Struktur Mikro Korosi Pada Lapisan Knalpot Berbahan Karbon AISI 1010 Suhu 6000C

Pada gambar 4.8, 4.9 dan 4.10 ditunjukkan bahwa suhu yang dipakai untuk proses pemanasannya menggunakan suhu 7000C dan waktu yang diperlukan untuk proses pemanasannya berbeda-beda. Pada gambar 4.8 waktu yang dipakai untuk proses pemanasannya hanya 5 menit dan didapatkan fasa Cr2O3 (crome oxide)nya/korosi yang didapatkan pada pemanasannya sangat tipis, dimana berbeda dengan gambar 4.9 yang dilakukan proses pemanasannya dengan suhu yang sama yaitu suhu 7000C tetapi hanya perbedaan waktu pemanasannya. Pada gambar 4.9 waktu yang diperlukan untuk proses pemanasannya yaitu 1 jam dan didapatkan fasa Cr2O3 (crome oxide)nya/korosi yang dihasilkan tidak sama dengan gambar 4.8 yang hanya proses pemanasannya memerlukan waktu 5 menit, pada gambar 4.9 ini fasa Cr2O3 (crome oxide)-nya/korosi yang terbentuk terlihat tidak begitu tipis. Sedangkan pada gambar 4.10 didapatkan fasa Cr2O3 (crome oxide)nya/korosi yang terbentuk berbeda dengan gambar 4.8 dan 4.9 dikarenakan pada gambar 4.10 proses pemanasannya ini dilakukan pada suhu yang sama (tetap) yaitu pada suhu 7000C dan proses pemanasannya memakan waktu 2 jam, dimana fasa Cr2O3 (crom oxide)nya/korosi yang terbentuk sedikit banyak dengan fasa Cr2O3 (crome oxide)nya/korosi yang terlihat pada gambar 4.9. Jadi dapat disimpulkan bahwa fasa Cr2O3 (crome oxide)-nya/korosi yang terbentuk dalam suatu logam yang mengandung fasa

Laju Krom Baja Pada

Tabel 4.1 Lapisan Korosi Krom Setelah Dipanaskan Pada Suhu 6000C Untuk Waktu 5 Menit Tebal Lapisan Korosi Krom NO

Hasil Pemanasan (µm)

d1

14

d2

23

d3

17

d4

28

d5

8

dtotal

90

Tabel 4.2 Lapisan Korosi Krom Setelah Dipanaskan Pada Suhu 6000C Untuk Waktu 1 Jam Tebal Lapisan Korosi Krom NO

Hasil Pemanasan (µm)

21

d1

34

d2

31

d3

28

d4

40

d5

23

dtotal

156

yaitu pada suhu 6000C dengan waktu pemanasannya 2 jam selisih 1 jam dengan tabel 4.2 pada sampel ke-dua dengan waktu pemanasannya hanya 1 jam, pada sampel ke-tiga ini diperoleh hasil dtotal 242 µm dengan rata-rata yang didapatkan adalah 48,4 µm.

Tabel 4.3 Lapisan Korosi Krom Setelah Dipanaskan Pada Suhu 6000C Untuk Waktu 2 Jam

4.1.4 Tabel Struktur Mikro Laju Korosi Pada Lapisan Krom Knalpot Berbahan Baja Karbon AISI 1010 Pada Suhu 7000C

Tebal Lapisan Korosi Krom NO

Tabel 4.4 Lapisan Korosi Krom Setelah Dipanaskan Pada Suhu 7000C Untuk Waktu 5 Menit

Hasil Pemanasan (µm)

d1

57

d2

63

d3

51

d4

43

d1

68

d5

28

d2

90

dtotal

242

d3

46

d4

108

d5

80

dtotal

392

Tebal Lapisan Korosi Krom NO

Hasil Pemanasan (µm)

Ditunjukkan pada tabel 4.1 sampai dengan tabel 4.3 bahwasannya setiap sampel yang dilakukan proses pemanasan dengan suhu yang tetap (sama) tetapi waktu pemanasannya berbeda dapat dilihat hasil yang diperoleh mengalami suatu tingkat kenaikan korosi setiap sampel yang dipanaskan dengan suhu tetap (sama) tetapi waktu yang berbeda, pada tabel 4.1 sampel pertama dengan suhu pemanasannya 6000C dan waktu yang dibuthkan hanya 5 menit dapat diperoleh dtotal 90 µm dengan rata-rata yang didapat pada tabel tersebut adalah 18 µm. Sedangkan berbeda dengan tabel 4.2 dan tabel 43 dimana pada tabel 4.2 sendiri sampel ke-dua diperoleh hasil dtotal 156 µm dengan rata-rata yang di dapatkan pada tabel 4.2 sampel ke-dua dengan waktu pemanasannya 1 jam adalah 31,2 µm. Sedangkan pada tabel 4.3 sampel ke-tiga ini sendiri dengan suhu yang sama (tetap)

Tabel 4.5 Lapisan Korosi Krom Setelah Dipanaskan Pada Suhu 7000C Untuk Waktu 1 Jam Tebal Lapisan Korosi Krom NO

Hasil Pemanasan (µm)

22

d1

180

d2

200

d3

137

d4

214

d5

157

dtotal

888

1 jam dengan tabel 4.5 pada sampel ke-dua dengan waktu pemanasannya hanya 1 jam, pada sampel ke-tiga ini diperoleh hasil dtotal 1056 µm dengan rata-rata yang didapatkan adalah 211,2 µm. Dapat dilihat juga pada gambar 4.11 yaitu grafik perbandingan rata-rata diameter korosi (µm) mengalami suatu kenaikan pada setiap sampelnya atau setiap perbedaan waktu proses pemanasannya, perbedaan tersebut terjadi pada setiap lapisan korosi krom yang terjadi pada bahan knalpot setiap sampelnya yang telah dilakukan proses pemanasan.

Tabel 4.6 Lapisan Korosi Krom Setelah Dipanaskan Pada Suhu 7000C Untuk Waktu 2 Jam Tebal Lapisan Korosi Krom NO

Hasil Pemanasan

d1

157

d2

171

d3

257

d4

200

d5

271

dtotal

1056

Hasil Pembesaran ( µm )

(µm)

1200 1000 800 600

Suhu 600°C

400

Suhu 700°C

200 0 5 Menit

1 Jam

2 Jam

Waktu ( T )

Gambar 4.11 Grafik Perbandingan Diameter RataRata Laju Korosi (µm) Dalam Suhu 600 0C dan 7000C

Ditunjukkan pada tabel 4.4 sampai dengan tabel 4.6 bahwasannya setiap sampel yang dilakukan proses pemanasan dengan suhu yang tetap (sama) tetapi waktu pemanasannya berbeda dapat dilihat hasil yang diperoleh mengalami suatu tingkat kenaikan korosi setiap sampel yang dipanaskan dengan suhu tetap (sama) yaitu pada suhu 700 0C tetapi waktu yang berbeda, pada tabel 4.4 sampel pertama dengan suhu pemanasannya adalah 7000C dan waktu pemanasannya hanya dibutuhkan waktu 5 menit dapat diperoleh dtotal 392 µm dengan rata-rata yang didapat pada tabel tersebut adalah 78,4 µm. Sedangkan berbeda dengan tabel 4.5 dan tabel 4.6 dimana pada tabel 4.6 dengan suhu pemanasannya 7000C dan waktu yang dibutuhkan untuk proses pemanasannya 1 jam pada sampel ke-dua diperoleh hasil dtotal 888 µm dengan rata-rata yang di dapatkan adalah 177,6 µm. Pada tabel 4.6 sampel ke-tiga ini sendiri dengan suhu yang sama (tetap) yaitu pada suhu 7000C dengan waktu pemanasannya 2 jam selisih

4.1.5 Data Laju Korosi Pada Suhu 600 0C Untuk Waktu 5 Menit, 1 Jam dan 2 Jam Dalam penelitian ini dapat diperlihatkan data proses pengkorosian pada media pengkorosiannya adalah udara. Dimana berikut ini merupakan data perhitungan laju korosi dan selanjutnya data tersebut dapat diperoleh dalam bentuk tabel. A. Data Laju Korosi Untuk Waktu 5 Menit. Diketahui = Wloss = 5 mg D = 8,29 gram/cm3 A = 6 in2 T = 5 menit (0,083 jam) Ditanyakan = mpy (mm/y) . . . ? Dijawab =

23

Wloss D A T = B.

Ditanyakan Dijawab

Data laju korosi untuk waktu 1 jam Diketahui : Wloss = 12 mg D =8,29 gram/cm3 A = 6 in2 T = 1 jam Ditanyakan

= mpy (mm/y) . . . ?

Dijawab

: B.

C.

= 24 mg = 8,29 gram/cm3 = 6 in2 = 5 menit = 0,083 jam

Data laju korosi untuk waktu 2 jam Diketahui : Wloss = 17 mg D = 8,29 gram/cm3 A = 6 in2 T = 2 jam Ditanyakan = mpy (mm/y) . . . ? Dijawab :

Data laju korosi untuk waktu 1 jam Diketahui : Wloss = 36 mg D = 8,29 gram/cm3 A = 6 in2 T = 1 jam Ditanyakan Dijawab

C.

4.1.6 Data Laju Korosi Pada Suhu 700 0C Untuk Waktu 5 Menit, 1 Jam dan 2 Jam

24

= mpy (mm/y). . . ? :

Data laju korosi untuk waktu 2 jam Diketahui: Wloss = 44 mg D = 8,29 gram/cm3 A = 6 in2 T = 2 jam Ditanyakan Dijawab

A. Data laju korosi untuk waktu 5 menit. Diketahui :

= mpy (mm/y). . . ? :

= mpy (mm/y). . . ? :

terbentuk melindungi lapisan krom terhadap pertumbuhan pada lapisan krom oksidasi (Cr2O3) selanjutnya. Pada data laju korosi dengan perbedaan suhu dan waktu diperoleh hasil setiap pemanasan dengan waktu yang berbeda laju korosi yang terjadi mengalami suatu penurunan, dan suhu yang berbeda pula menghasilkan nilai laju korosi yang sangat tinggi. Dimana pada suhu 700 0C hasil data laju korosi dalam waktu pemanasan 5 menit didapatkan hasil 776,16 mm/y sedangkan pada suhu 6000C perbedaan nilai data laju korosi berbeda jauh dengan suhu 7000C. Hasil yang diperoleh pada suhu 6000C dalam waktu pemanasan 5 menit didapatkan hasil laju korosi 161,7 mm/y, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suhu dan waktu pemanasan yang berbeda dengan media korosi udara hasil data laju korosi yang didapatkan mengalami suatu penurunan dan selanjutnya data perhitungan laju korosi dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini :

4.2

4.2.1

Pengkorosi

Tabel 4.8 Kekerasan Lapisan Krom Untuk Waktu 5 Menit Indentor : Sampel Kerucut Diamond 1200 Load : 150 Kp 58 Lapisan Krom Pada 60 Baja Karbon AISI 61 1010 57 (5 Menit) 50 Rata-rata ± 57,2 ± 4,32 Simpangan baku

Laju Korosi (mm/y) 6000C

7000C

(Udara)

Ditunjukkan pada tabel 4.8 hasil pengujian kekerasan rockwell pada bahan baja karbon tipe AISI 1010 dilapisi krom keras pada sampel pertama dengan waktu pemanasannya 5 menit didapatkan nilai kekerasan rata-rata 57,2 HRC.

Waktu 5 Menit

161,7

776,16

1 Jam

32,21

96,62

2 Jam

22,81

59,048

Jumlah

216,72

931.828

Rata-rata

72,24

310,61

Kekerasan Rockwell Pada Baja Karbon AISI 1010 Dilapisi Lapisan Krom Keras Pada Suhu 6000C

Gambar 4.12 Benda Uji (Specimen) Sesudah di Uji Kekerasan Rockwell Pada Suhu 600 0C

Tabel 4.7 Data Laju Korosi Lapisan Krom Pada Knalpot Berbahan Baja Karbon AISI 1010 Dengan Suhu Pemanasan 6000C dan 7000C Media

Kekerasan Lapisan Krom Pada Baja Karbon AISI 1010

Tabel 4.9 Kekerasan Lapisan Krom Untuk Waktu 1 Jam Indentor : Kerucut Sampel Diamond 1200 Load : 150 Kp 53 Lapisan Krom 58 Pada Baja Karbon AISI 1010 60 (1 Jam) 59

Dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap krom oksidasi (Cr2O3) yang sudah

25

Rata-rata ± Simpangan baku

4.2.2

59 57,8 ± 2,77

Dari tabel 4.9 hasil uji kekerasan Rockwell pada bahan carbon steel type AISI 1010 dilapisi krom keras pada sampel ke-dua dengan waktu pemanasan 1 jam dengan suhu 6000C, memiliki nilai rata-rata kekerasannya sebesar 57,8 HRC berbeda dengan sampel pertama mempunyai nilai rata-rata 57,2 HRC. Pada sampel ke-dua ini nilai rata-rata kekerasannya meningkat sebesar 0,6 HRC. Tabel 4.10 Kekerasan Lapisan Krom Untuk Waktu 2 Jam Indentor : Kerucut Sampel Diamond 1200 Load : 150 Kp 49 Lapisan Krom 58 Pada Baja Karbon 62 AISI 1010 61 (2 Jam) 62 Rata-rata ± 58,4 ± 5,50 Simpangan baku

Kekerasan Rockwell Pada Baja Karbon AISI 1010 Dilapisi Lapisan Krom Keras Pada Suhu 7000C

Gambar 4.13 Benda Uji (Specimen) Sesudah di Uji Kekerasan Rockwell Pada Suhu 700 0C

Tabel 4.11 Kekerasan Lapisan Krom Untuk Waktu 5 Menit Indentor : Kerucut Sampel Diamond 1200 Load : 150 Kp 43 Lapisan Krom 48 Pada Baja Karbon 52 AISI 1010 52 (5 Menit) 43 Rata-rata ± 47,6 ± 4,50 Simpangan baku Dari tabel 4.11 uji kekerasan rockwell pada bahan baja karbon AISI 1010 dilapisi krom keras pada sampel pertama dengan temperatur pemanasannya 700 0C dengan waktu pemanasannya 5 menit didapatkan nilai rata-rata kekerasannya yaitu 47,6 HRC.

Dari tabel 4.10 hasil uji kekerasan Rockwell pada bahan baja karbon AISI 1010 dilapisi krom keras pada sampel ketiga dengan waktu pemanasan 2 jam lebih lama dibandingkan dengan sampel pertama dan ke-dua namun temperatur pemanasan sama yaitu pada suhu 6000C, dengan demikian pada sampel ke-tiga ini memiliki nilai rata-rata kekerasannya sebesar 58,4HRC berbeda dengan sampel pertama dan ke-dua dimana pada sampel pertama nilai kekerasan rata-rata yang didapat mempunyai nilai rata-rata 57,2 HRC. Pada sampel ke-dua ini nilai rata-rata kekerasannya yaitu 57,2 HRC, dengan demikian pada sampel ke-tiga nilai kekerasannya meningkat 1,2 HRC dengan sampel pertama sedangkan dengan sampel ke-dua meningkat sebesar 0,6 HRC.

Tabel 4.12 Kekerasan Lapisan Krom Untuk Waktu 1 Jam Indentor : Kerucut Sampel Diamond 1200 Load : 150 Kp 54 Lapisan Krom 58 Pada Baja Karbon 58 AISI 1010 55 (1 Jam) 48 Rata-rata ± 54,6 ± 4,09 Simpangan baku Ditunjukkan pada tabel 4.12 uji kekerasan Rockwell pada bahan baja karbon tipe AISI 1010 dilapisi krom keras

26

dengan proses pemanasan pada temperatur 700 0C dalam waktu 1 jam didapatkan nilai rata-rata kekerasannya 54,6 HRC berbeda dengan sampel pertama yang hanya didapat nilai kekerasannya 47,6 HRC, pada sampel ke-dua ini lebih meningkat nilai rata-rata kekerasannya sebesar 7 HRC dibandingkan dengan nilai rata-rata kekerasan pada sampel pertama yang proses pemanasannya hanya 5 menit.

tersebut setiap sampel/specimen yang telah dilakukan proses pemanasan dengan perbandingan suhu dan waktu yang dipakai berbeda rata-rata kekerasannya semakin bertambah, pada suhu 600 0C rata-rata yang diperoleh bertambah/meningkat sebesar ±0,6 HRC. Sedangkan pada suhu 7000C rata-rata yang kekerasannya meningkat ± 4,4 HRC, jadi dapat disimpulkan bahwa tingkat kekerasan yang telah dilakukan proses pemanasan dengan perbandingan suhu dan waktu pada bahan baja karbon AISI 1010 dilapisi krom keras setiap sampelnya meningkat tingkat kekerasannya.

Tabel 4.13 Kekerasan Lapisan Krom Untuk Waktu 2 Jam Indentor : Kerucut Sampel Diamond 1200 Load : 150 Kp 51 Lapisan Krom 57 Pada Baja Karbon 63 AISI 1010 62 (2 Jam) 62 Rata-rata ± 59 ± 5,04 Simpangan baku

Grafik Perbandingan Kekerasan Rockwell Pada Suhu 600 0 C dan 7000 C 70

Rata -rata

60 50 40 30

Suhu 600 °C

20

Suhu 700 °C

10 0

Dari tabel 4.13 diatas hasil uji kekerasan rockwell pada proses pemanasannya dalam waktu 2 jam nilai rata-rata kekerasan yang didapat sebesar 59 HRC dimana pada sampel ke-tiga ini berbeda dengan sampel pertama dan kedua, pada sampel ke-tiga nilai rata-rata kekerasan yang didapat meningkat lebih besar dibandingkan dengan sampel pertama dan ke-dua. Pada sampel ke-tiga nilai rata-rata meningkat sebesar 11,4 HRC pada sampel pertama sedangkan pada sampel ke-dua meningkat 4,4 HRC. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap sampel dengan suhu dan waktu yang berbeda dalam pengujian rockwell pada bahan baja karbon tipe AISI 1010 dilapisi krom keras mengalami suatu peningkatan nilai kekerasannya. Dapat dilihat pada gambar 4.14 grafik perbandingan rata-rata kekerasan pengujian rockwell pada suhu 6000C dan 700 0C dimana setiap sampel mengalami peningkatan kekerasan dengan waktu pemanasannya berbeda dan suhu yang dipakai juga berbeda. Dalam grafik

5 Menit

1 Jam

2 Jam

Waktu ( T )

Gambar 4.14 Perbandingan Rata-Rata Kekerasan Rockwell Pada Suhu 600 0C dan 7000C

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat distribusi kekerasan pada pengujian rockwell baja karbon AISI 1010 jumlah krom oksidasinya (Cr2O3) meningkat dengan meningkatnya waktu proses pemanasannya, dikarenakan kekuatan lapisan meningkat krom oksidasinya (Cr2O3) sangat keras. 5. 5.1

PENUTUP

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian laju korosi yang terjadi pada knalpot berbahan baja karbon AISI 1010 yang dilapisi krom keras maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Struktur mikro paduan baja karbon AISI 1010 dilapisi krom keras yang

27

digunakan sebagai bahan komponen knalpot disusun oleh partikel fasa besi-• (ferrit) sebagai fasa utamanya dan fasa krom sebagai campuran dari bahan exhaust knalpot tersebut, dan struktur mikro pada knalpot mengalami perubahan ketika dipanaskan dengan waktu dan suhu yang berbeda berkisar antara waktu 5 menit, 1 jam dan 2 jam, sedangkan suhu yang digunakan untuk proses pemanasannya yaitu pada suhu 6000C dan 7000C. 2. Data perhitungan laju korosi lapisan krom pada knalpot berbahan baja karbon AISI 1010 didapatkan hasil penurunan setiap sampelnya, dimana penurunan tersebut dikarenakan adanya perbandingan waktu dan suhu pemanasan. Dapat diambil data pada suhu 6000C pada waktu pemanasan 5 menit dibandingkan dengan suhu 7000C pada waktu yang sama yaitu pada waktu 5 menit dalam suhu 7000C data perhitungan laju korosi didapatkan hasil 776,16 mm/y sedangkan pada suhu 6000C didapatkan hasil laju korosi yaitu 161,7 mm/y. 3. Distribusi nilai kekerasan pada setiap sampel yang di uji dengan suhu dan waktu yang berbeda mengalami suatu peningkatan nilai kekerasannya yaitu pada suhu 600 0C untuk waktu 5 menit distribusi nilai kekerasannya didapatkan hasil 57,2 HRC, sedangkan untuk waktu 1 jam nilai kekerasannya bertambah menjadi 57,8 HRC dan pada waktu 2 jam distribusi nilai kekerasannya juga meningkat menjadi 58,4 HRC. Sedangkan pada suhu 7000C distribusi nilai kekerasannya meningkat sama halnya dengan pada suhu 6000C. 4. Dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap krom oksidasi (Cr2O3) yang

sudah terbentuk melindungi lapisan krom terhadap pertumbuhan pada lapisan krom oksidasi (Cr2O3) selanjutnya dan tingkat distribusi kekerasan pada pengujian rockwell baja karbon AISI 1010 jumlah krom oksidasinya (Cr2O3) meningkat dengan meningkatnya waktu proses pemanasannya, dikarenakan kekuatan lapisan meningkat dan krom oksidasinya (Cr2O3) sangat keras. DAFTAR PUSTAKA [1] Sri W., Karat dan Pencegahannya, Cetakan Kedua, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001. [2] Rahmat S., Pengetahuan Bahan, diakses melalui, http://www.scribd.com/doc/909926 43/ PengetahuanBahanBabKetiga, pada tanggal 15 April 2012. [3]

Erwantoindonesia, diakses melalui, http://erwantoindonesia.wordpress. com/2012/03/28/kromium-2/, pada tanggal 9 agustus 2012

[4]

[5]

[6]

28

Dmitri_Kopeliovich, Carbon Steel Sae 1010, diakses melalui, http://www.substech.com/dokuwiki /doku.php?id=carbon_steel_sae_10 10, pada tanggal15 April 2012. Google, Brinell & Vickers Hardness Test, diakses melalui, http://www.substech.com, pada tanggal 20 April 2011. Tata S. dan Shinroku Saito, Pengetahuan Bahan Teknik, Cetakan Kelima, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2005.