UJI TOKSISITAS SUBKRONIK POLISAKARIDA KRESTIN DARI EKSTRAK Coriolus versicolor TERHADAP KADAR SGPT Mus musculus L. Ariesta Adriana Sagita, Sri Puji Astuti Wahyuningsih, Saikhu Akhmad Husen Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Airlangga Jl. Mulyorejo, Surabaya
[email protected] ABSTRACT
Coriolus versicolor contained polysaccharide krestin (PSK). Recent studies demonstrated that PSK could be immunomodulator. But PSK contained poison. This research evaluated the effect of subchronic toxicity of PSK to SGPT levels on mice. Polysaccharide krestin was administrated for 62 days by gavage which divided by 4 groups: P0 is control, P1 1,5 mg/kg of body weight, P2 3 mg/kg of body weight, and P3 6 mg/kg of body weight. After that, blood was taken for measuring SGPT levels. Data analyzed by One Way Anova and Duncan test with α = 5%. The result of this research showed that there was not difference of SGPT levels between control group and treatment group. The conclusion of the reasearch that PSK was not influence the level of SGPT on mice. Key words: polysaccharide krestin, Coriolus versicolor, subchronic toxicity test, hepatocyte damage, SGPT
PENDAHULUAN Jamur telah menjadi bahan pengobatan tradisional di daerah oriental, seperti Jepang, Cina, Korea, dan daerah Asia lainnya sejak berabad-abad lalu, (Ooi, dan Liu, 1999). Salah satu jamur yang telah menarik perhatian banyak orang untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor. Menurut Cui dan Christi (2003), PSK bermanfaat sebagai imunostimulator dengan menginduksi produksi interleukin-6, interferon, imunoglobulin G, makrofag dan limfosit T. Menurut Hosokawa et al., (1985), PSK terbukti mampu mengontrol
atau
menghambat
metastasis
kanker
paru-paru.
Sedangkan
Wahyuningsih dkk., (2010) menyatakan bahwa PSK dapat meningkatkan kondisi sel imunokompeten, dapat memulihkan serta menguatkan fungsi respon imun 1
non-spesifik, dan dapat memulihkan serta menguatkan respon spesifik yang telah terinjeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Semua bahan obat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami proses metabolisme dan menghasilkan metabolit. Penggunaan suatu bahan obat yang sama dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan penumpukan metabolit dalam hati yang bersifat toksik terhadap hepatosit (Donatus, 2001). Polisakarida krestin dapat menjadi toksik dalam tubuh mencit apabila dikonsumsi terus menerus dengan dosis perlakuan dalam jumlah kecil dan jangka waktu lama. Uji toksisitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui perubahan berupa akumulasi, toleransi, metabolisme dan kelainan khusus di organ atau sistem organ (Murtini dkk., 2010). Uji toksisitas subkronik dilakukan dengan memberikan bahan berulang-ulang, biasanya setiap hari atau ada jeda dua hari setiap minggu selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan coba, yaitu 3 bulan bagi mencit (Lu, 1995). Menurut Guyton dan Hall (1997), hati berperan pada proses metabolisme karbohidrat, lemak, protein, koagulasi darah, detoksifikasi, dan sebagai penyimpan vitamin. Hati mudah rusak oleh bahan-bahan yang diserap karena hati memiliki banyak fungsi (Sodikin, 2011). Enzim glutamate piruvat transaminase (GPT) merupakan enzim sitosol yang sebagian besar terdapat di dalam hati, otot, jantung, ginjal dan otak. Jika kadar SGPT tinggi maka ada indikasi terjadi kerusakan sel di dalam hati (Widjaja, 2010).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan selama 7 bulan di Laboratorium Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga. Penelitian ini menggunakan 24 ekor mencit dewasa berumur 8-10 minggu, berat badan sekitar 25-30 gram yang diperoleh dari Instalansi Kandang Hewan Percobaan (IKHP) Pusvetma Surabaya. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak C.versicolor, pakan kelinci, air PDAM, dan sekam sebagai alas kandang. Bahan 2
yang digunakan untuk isolasi dan pengukuran kadar polisakarida krestin yaitu: aquadest, aquabidest, ammonium sulfat, phosphate buffered saline (PBS), phenol dan sulphuric acid. Bahan yang digunakan untuk pengujian kadar enzim SGPT yaitu: serum darah, R1 yang terdiri dari TRIS, L-Alanine, dan LDH (lactate dehydrogenase), dan R2 yang terdiri dari 2-oxoglutarate. Alat yang digunakan untuk penelitian ini antara lain kandang berupa bak plastik berukuran 30 x 13 x 19 cm dengan tutup dari kawat kasa, peralatan bedah, jarum injeksi ukuran 24G, disposible syringe 1 ml, cawan petri, timbangan digital, tabung dialisis, gelas ukur, beaker glass, ependorf, sentrifuge, blender, tabung erlenmeyer, rotary vacuum evaporator, Whatman paper no. 41, vortex. Jamur dicuci dengan air sampai bersih kemudian dikering-anginkan. Selanjutnya, jamur dipotong kecil-kecil lalu dimasukkan dalam oven pada suhu 400 C selama 24 jam untuk menghilangkan kandungan airnya. Setelah 24 jam, jamur dihaluskan dengan cara diblender sampai menjadi serbuk kasar. Serbuk kasar sebanyak 200 gram ditambah air sebanyak 3 liter dan dipanaskan pada suhu 800-980 C selama 2-3 jam untuk melarutkan polisakarida. Selanjutnya supernatan disaring dengan menggunakan saringan. Hasil yang didapat berupa supernatan dari ketiga ekstraksi ± 2 liter dan disimpan dalam suhu 4 0 C. Larutan ekstrak jamur difiltrasi menggunakan kertas Whatman no.41 dengan corong buchner dan vakum kemudian diambil supernatannya. Supernatan diliofilisasi menggunakan freeze drying, untuk 150 ml dilakukan liofilisasi selama ± 24 jam (Wahyuningsih dkk., 2009). Pemberian dosis PSK pada 4 kelompok perlakuan sebagai berikut: P0, diberi larutan saline; P1, diberi PSK dosis 1,5 mg/kg BB; P2, diberi dosis 3 mg/kg BB; P3, diberi PSK 6 mg/kg BB. Pemberian dosis PSK dilakukan secara gavage selama 62 hari. Pengambilan darah dilakukan melalui intracardiac dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge lalu diletakkan secara miring. Setelah itu, diletakkan di dalam kulkas semalam. Kemudian disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm pada suhu 40 C selama 15 menit dan diambil serumnya. Serum disimpan dalam suhu -200 C sampai pengukuran enzim GPT dilakukan. 3
Pengujian kadar SGPT adalah sebagai berikut: membuat monoreagent yang digunakan sebagai larutan blanko. Cara membuat monoreagent yaitu 1000 µl R1 dicampur dengan 250 µl R2 kemudian diabsorbansi dengan λ 365 nm. Langkah selanjutnya adalah membuat sampel, yaitu 10 µl serum darah dicampur dengan 1000 µl R1 kemudian didiamkan selama 1 menit. Selanjutnya ditambah R2 sebanyak 250 µl lalu dibaca di spektrofotometer pada panjang gelombang 365 nm pada menit ke 1, 2, 3, dan 4. Untuk menentukan kadar SGPT digunakan rumus: Kadar SGPT =
x 3971
Keterangan: A = waktu pengamatan Data hasil penelitian dianalisis statistik menggunakan program SPSS yang meliputi uji normalitas, homogenitas, one way anova dan dilanjutkan uji Duncan untuk mengetahui adanya perbedaan kadar SGPT pada 4 kelompok perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil menunjukkan bahwa polisakarida krestin (PSK) dari ekstrak Coriolus versicolor tidak mempengaruhi kadar SGPT pada mencit.
4
Tabel 1. Rerata kadar SGPT dan hasil analisis uji Duncan pada 4 kelompok perlakuan Dosis Kelompok PSK perlakuan (mg/kg BB)
Kadar SGPT (IU/L) pada ulangan ke1
2
3
4
5
Rerata 6
13,9a ± 2,17 12,58 a ± P1 1,5 11,91 11,91 14,57 11,91 13,24 11,91 1,11 12,36 a ± P2 3 13,24 17,20 9,27 11,91 10,6 11,91 2,73 11,59 a ± P3 6 11,91 9,13 9,13 17,20 10,6 11,91 3,34 Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan ada beda tidak signifikan. P0: pemberian larutan salin; P1: pemberian PSK dosis 1,5 mg/kg BB; P2: pemberian PSK dosis 3 mg/kg BB; P3: pemberian PSK dosis 6 mg/kg BB. P0
0
11,91
11,91
15,88
13,24
17,20
13,24
Gambar 1. Grafik rata-rata kadar SGPT. Keterangan: Huruf yang sama menunjukkan ada perbedaan yang tidak signifikan. P0: pemberian larutan salin; P1: pemberian PSK dosis 1,5 mg/kg BB; P2: pemberian PSK dosis 3 mg/kg BB; P3: pemberian PSK dosis 6 mg/kg BB.
5
Hati adalah tempat metabolisme utama, karena hati berfungsi mengelola sistem pembuluh darah dan sistem parenkim hepatika. Sistem pembuluh hepatika memungkinkan masuknya racun ke dalam hati melalui vena portal; sebelum racun itu disekresi ke dalam empedu dan disalurkan ke saluran sistematik melalui vena hepatika. Jadi hati memiliki kesempatan untuk mengekskresikan racun dari darah sewaktu racun itu pertama kali melintas hati, kemudian menyimpannya dalam parenkim. Di dalam sistem parenkim hati, terdapat beragam sistem enzim pemetabolisme senyawa asing. Karena adanya sistem parenkim hepatika ini hati dapat menjadi tempat metabolisme racun (Donatus, 2001). Menurut Stacey (2004), gangguan fungsi hati dapat dideteksi pada aktivitas serum glutamate piruvat transaminase (SGPT), serum glutamate oksaloasetat transaminase (SGOT), alkaline phosphatase (AP), γ-glutamyl transaminase
(GGT),
sorbitol
dehydrogenase
(SDH),
ornithine
carbamoyltransferase (OCT) dan lactate dehydrogenase (LD). Salah satu enzim yang diteliti pada penelitian ini adalah SGPT. Pada pengukuran kadar SPGT mencit menunjukkan kelompok P0 berbeda tidak signifikan dengan kelompok P1, P2, P3. Ini menunjukkan bahwa PSK tidak mempengaruhi proses metabolisme biokimia darah. Hal ini didukung oleh penelitian Hor et al., (2011) bahwa Coriolus versicolor tidak mempengaruhi kadar enzim transaminase.
KESIMPULAN Pemberian polisakarida krestin (PSK) dari ekstrak Coriolus versicolor selama 62 hari tidak mempengaruhi kadar SGPT pada mencit.
6
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan payung penelitian yang didanai oleh DIPA Universitas Airlangga tahun 2012 dalam Riset Unggulan Perguruan Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Cui, J. dan Christi, Y., 2003, Polysaccharopeptides of Coriolus versicolor: Physiological Activity, Uses and Production, Biotechnology Advances 21: 109-122 Donatus, I. A., 2001, Toksikologi Dasar, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta Guyton, A. C., dan Hall, J. E., 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi Sembilan, EGC, Jakarta Hosokawa, M., Mizukoshi, T., Sugawara, M., dan Kobayashi, H., 1985, Thearapeutic Effect of PSK and Busulfan on the Recurrent and Metastatic Disease After the Surgical Removal of 3-Methylcholanthrene-Induced Tumors in Autochthonous C57BL/6 Mice When Administrated in Conjunction with Chemothearapy or Surgery, Recent Advances in Chemotherapy, Anticancer Section, 2:768-769 Lu, F. C., 1995, Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko, Edisi Kedua, UI Press, Jakarta. Murtini, J. T., Priyanto, N., dan Siregar, T. H., 2010, Toksisitas Subkronik Alginat pada Histopatologi Hati, Ginjal dan Lambung Mencit, http://www.bbrp2b.kkp.go.id/publikasi/prosiding/2008/brawijaya/16.%20T OKSISITAS%20%20SUBKRONIK%20ALGINAT%20PADA%20HISTOPA TOLOGI.pdf, 3 Oktober 2011 Ooi, V. E., dan Liu F. A.., 1999, A Review of Pharmacological Activities of Mushroom Polysaccharides, Int J Med Mushroom, 1:196-206 Sodikin, 2011, Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobiller, Salemba Medika, Jakarta Stacey, N. H., 2004, Oocupational Toxicology 2nd Edition, CRC Press, USA Wahyuningsih, S. P. A., 2009, Pemanfaatan Ekstrak Jamur Coriolus versicolor sebagai Imunomodulator Respon Imun Non Spesifik pada Tikus Putih 7
akibat Induksi 2-Methoxyethanol, Laporan Penelitian DIPA, Universitas Airlangga, Surabaya Wahyuningsih, S. P. A., dan Darmanto, W., 2010, Uji Toksisitas Akut Polisakarida Krestin dari Ekstrak dan Miselium Jamur Coriolus versicolor: Upaya Menggali Potensi Bahan Hayati sebagai Imunomodulator Respon Imun Terhadap Mycobacterium tuberculosis, Laporan Penelitian, Universitas Airlangga, Surabaya Widjaja, S., 2010, Gangguan Faal (Fungsi) Hati yang Sering Ditanyakan oleh Penderita, http://www.medistra.com/index.php?option=com_content&view=article&i d=106, 8 Oktober 2011
8