198
OPTIMALISASI PROSES KOORDINASI PROGRAM KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY) DI RUMAH SAKIT X SURABAYA OPTIMIZATION OF COORDINATING PROCESS OF PATIENT SAFETY PROGRAM IN HOSPITAL X SURABAYA Lukman Hakim, Widodo J. Pudjirahardjo Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya E-mail:
[email protected]
ABSTRACT A health care which is not concerned to the patient safety can cause adverse event and impact an injury to the patient, extension of treatment time and increased maintenance costs. A good coordination between units provide safe health care for the patient. This study describes coordination process between units in the implementation of the hospital patient safety program. The research was in Hospital X Surabaya with a descriptive design cross-sectional study of the 44 respondents who are representing each units on patient safety program. Data was collected by using questionnaires distributed to respondents to assess the respondent’s knowledge about coordination, the type of dependency, coordinating mechanisms, communication processes, integration, synchronization, simplification of patient safety programs. The results showed that most respondents had a level of knowledge coordination in the medium category, most types of dependencies between units were pooled interdependence, the majority of inter-unit coordinating mechanism was the standardization, while communication, integration, synchronization, and inter-unit simplification processes was not quite good. Optimization that can be applied in patient safety program are mapping inter-unit dependency and coordinating mechanisms, arranging procedure of each patient safety program, granting more authority to some employees, enforcement performance appraisal and reward system, and simplification of coordination workflow. Keywords: coordination, coordination mechanism, interdependence, patient safety
PENDAHULUAN
Colorado ditemukan KTD (Adverse Event) sebesar
Isu keselamatan (safety) di era global saat
2,9%, 6,6% di antaranya menyebabkan kematian.
ini menjadi pusat perhatian dunia di berbagai sektor,
Sedangkan di New York angka KTD adalah sebesar
termasuk di sektor kesehatan. Isu keselamatan di
3,7% dengan angka kematian
sektor kesehatan terkait dengan rumah sakit salah
kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di
satunya
Terdapat
seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun
berbagai macam obat, tes dan prosedur, alat
berkisar 44.000-98.000 per tahun (Kohn, et al.,
dengan
1999).
adalah
keselamatan
teknologinya,
pasien.
bermacam
jenis
tenaga
13,6%. Angka
profesi dan non profesi di rumah sakit yang siap
Rumah Sakit X Surabaya merupakan salah
memberikan pelayanan kepada pasien selama 24
satu rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah
jam.
provinsi Jawa Timur yang berstatus Badan Layanan
Keberagaman
dan
kerutinan
pelayanan
tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat
Umum
menghasilkan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD).
keselamatan pasien rumah sakit di RS X Surabaya
Institute of Medicine (IOM) di Amerika
Daerah
dikoordinir
oleh
(BLUD).
Tim
Penerapan
Peningkatan
Pasien
program
Mutu
Serikat tahun 1999 menerbitkan laporan yang
Keselamatan
mengemukakan hasil penelitian di rumah sakit di
keselamatan
Utah dan Colorado serta New York. Di Utah dan
Surabaya mengalami peningkatan sebesar 59,7%
pasien
(TPMKP).
dan
masih menjadi
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014
Insiden di
RS
X
199
dari 62 kasus pada tahun 2012 menjadi 99 kasus
bahan masukan kepada Direktur untuk menentukan
pada tahun 2013. Khusus KTD meningkat sebesar
kebijakan dan keputusan terkait porgram KPRS di
88,2% dari 17 kasus pada tahun 2012 menjadi 32
RS X Surabaya.
kasus pada tahun 2013.
PUSTAKA
Joint
Commission
International
(JCI)
menyebutkan komunikasi merupakan salah satu
Tipe
Ketergantungan
dan
Mekanisme
Koordninasi
akar penyebab terjadinya kesalahan pemberian
Ketergantungan merupakan konsep dasar
tindakan medis dalam kejadian sentinel (Wachter,
dalam
2008). The Institute of Medicine mengungkapkan
pekerjaan yang tidak memiliki ketergantungan maka
kurangnya
tidak perlu dilakukan koordinasi (Raposo & Fuks,
pembagian
kerja
dan
koordinasi
teori
koordinasi,
penegakan keselamatan di rumah sakit (Kohn, et
antarkelompok yang meliputi reciprocal (resiprokal),
al.,
sequential (berurutan) dan pooled (berkelompok).
(1983)
mekanisme
koordinasi
yang
memperkenalkan dapat
membantu
masing-masing
yang efektif dan menyelesaikan permasalahan yang
ketergantungan lainnya.
Suatu
mekanisme
organisasi
koordinasi
harus
yang
paling
dan
yang
berbeda
Reciprocal
mengetahui tepat
ketergantungan
Setiap tipe ketergantungan memiliki karakteristik
organisasi untuk meningkatkan proses koordinasi
ditemui.
jenis
maupun
2002).
Mintzberg
3
tugas
antarprofesi sebagai salah satu hambatan budaya
1999).
Terdapat
suatu
(ketergantungan
dengan
tipe
interdependence
resiprokal),
mensyaratkan
hasil
dibutuhkan untuk mencapai tujuan secara efisien
(output) setiap kelompok menjadi masukan (input)
dan efektif.
bagi kelompok yang lain dalam organisasi untuk
Tujuan
penelitian
adalah
menganalisis
mencapai
tujuan
masing-masing
yang
telah
proses koordinasi program keselamatan pasien
ditetapkan bersama. Sequential interdependence
rumah sakit (KPRS) di RS X Surabaya sebagai
(ketergantungan
dasar
program
kelompok untuk menyelesaikan tugasnya terlebih
KPRS. Analisis proses koordinasi meliputi analisis
dahulu sebelum kelompok lain dapat menyelesaikan
tingkat pengetahuan petugas terkait koordinasi,
tugasnya. Pooled interdependence (ketergantungan
identifikasi tipe ketergantungan dan mekanisme
berkelompok), tidak membutuhkan adanya interaksi
koordinasi,
antarkelompok karena setiap kelompok bertugas
optimalisasi
proses
analisis
koordinasi
komunikasi,
integrasi,
sinkronisasi dan simplifikasi program Keselamatan
digunakan sebagai bahan
mensyaratkan
satu
secara terpisah.
Pasien Rumah Sakit (KPRS). Manfaat penelitian antar lain dapat
berurutan),
Ketergantungan merupakan konsep dasar dalam
teori
koordinasi,
suatu
tugas
maupun
pertimbangan untuk pelaksanaan evaluasi terutama
pekerjaan yang tidak memiliki ketergantungan maka
dalam kajian koordinasi antar unit kerja dan sebagai
tidak perlu dilakukan koordinasi (Raposo & Fuks,
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014
200
2002). Pengertian koordinasi menurut Sughanda
Integrasi merupakan suatu usaha untuk
(1991) sebagai proses penyatupaduan gerak dari
menyatukan berbagai macam tindakan dari bagian,
seluruh
instansi
potensi
dan
sejumlah
unit
di
dalam
maupun
unit
yang
berbeda
sehingga
organisasi atau yang berbeda fungsi agar secara
menjadi satu kesatuan tindakan yang terarah pada
benar mengarah pada sasaran yang sama guna
suatu sasaran yang telah ditentukan dan disepakati
memudahkan
efisien.
bersama (Sugandha, 1991). Sinkronisasi adalah
Sedangkan definisi koordinasi menurut Naja (2004)
suatu usaha untuk menyesuaikan, menyelaraskan
adalah sinkronisasi yang teratur dari sejumlah
berbagai kegiatan dan tindakan yang terdapat pada
usaha
kuantitas,
setiap unit sehingga diperoleh keserasian dalam
waktu, pengarahan, persamaan yang menghasilkan
pelaksanaan tugas atau kerja. Simplifikasi adalah
keselarasan dan kesatuan tindakan untuk tujuan
penerapan
yang ditetapkan. Mintzberg (1983) memperkenalkan
alternatif cara yang lebih baik dan lebih mudah
3 mekanisme koordinasi sebagai elemen dasar
dalam menjalankan suatu tugas. Hal tersebut dapat
sebuah struktur yang menjaga keutuhan organisasi
dilakukan antara lain dengan membuat program
dan
yang
untuk
pencapaian
menciptakan
secara
kelayakan
disesuaikan berdasar tipe
Mekanisme koordinasi
ketergantungan.
mutual adjusment
untuk
reciprocal interdependence, direct supervision untuk sequential
dibuat
Sinkronisasi
menemukan
sederhana
dan
dapat
METODE Penelitian
tergolong
sebagai
metode
penelitian descriptive dan bersifat cross sectional.
untuk pooled interdependence (Bijman, 2003). Integrasi,
realistik,
untuk
dikerjakan (Sulistyowati, et al., 1999).
interdependence, dan standardization
Komunikasi,
terorganisisir
dan
Unit
analisis
dalam
penelitian
adalah
seluruh
bagian, unit atau instalasi kerja di RS X Surabaya
Simplifikasi komunikasi
yang terkait program keselamatan pasien rumah
secara vertikal dan komunikasi secara horizontal.
sakit. Jumlah responden dalam penelitian adalah 44
Komunikasi
orang yang mewakili
Komunikasi
dapat
vertikal
berupa
merupakan
komunikasi
unit analisis
dan dipilih
langsung dari atasan ke bawahan. Sedangkan
berdasarkan metode purposive sampling. Kriteria
komunikasi horizontal melibatkan unit kerja dengan
sebagai
level dan hirarki yang sama (Mittermayer & Monroy,
maupun pejabat struktural yang berperan sebagai
2008). Indikator komunikasi efektif untuk koordinasi
champion
adalah informasi yang bermutu yaitu cepat, jumlah
Pasien (PMKP) dan atau petugas non champion
cukup, dan tepat waktu (Sulistyowati, et al., 1999).
PMKP di RS X Surabaya dengan perbandingan 1:1
Suprapto (2009) membagi komunikasi menjadi 5
di dalam satu unit analisis. Champion merupakan
unsur
petugas yang ditunjuk oleh Tim PMKP sebagai
yang
meliputi
sumber,
komunikan dan feedback.
pesan,
saluran,
responden
Peingkatan
yakni
Mutu
petugas
dan
fungsional
Keselamatan
pelopor penegakkan keselamatan pasien di masing-
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014
201
masing unit. Responden di beberapa unit analisis
budaya keselamatan pasien (Fleming, 2005).
seluruhnya memiliki status non champion karena belum memiliki petugas yang
bertindak sebagai
champion PMKP di unit tersebut. Pengumpulan
Tingkat yakni
ketika
komunikasi
data
diperoleh
kesalahan menjawab
informal
pelaksanaan
terbesar pertanyaan
dan
dengan
responden tentang
waktu
permulaan
memberikan
persetujuan
menggunakan instrumen yang telah dilakukan uji
terhadap
validitas dan reliabiltas. Penelitian dilakukan pada
koordinasi sebaiknya mulai dilaksanakan ketika
rentang
s.d. Juni 2014.
suatu pekerjaan sedang berlangsung. Koordinasi
Variabel penelitian meliputi pengetahuan petugas
program KPRS dilakukan secara menyeluruh yang
terkait koordinasi, tipe ketergantungan antar unit
dimulai dari saat perencanaan (Depkes RI, 2008).
kerja,
kerja,
Tingkat kesalahan terbesar kedua yaitu ketika
komunikasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi
responden menilai bahwa komunikasi informal antar
program KPRS.
petugas dan atau unit kerja bukan merupakan
waktu
Oktober
mekanisme
Peneliti
2013
koordinasi
melakukan
antar
unit
pengelompokkan
kalimat
bahwa
koordinasi
komunikasi
KPRS
antarunit
kerja
menyatakan
bahwa
bentuk koordinasi. Hal ini perlu diberikan penjelasan
sendiri terkait tipe ketergantungan dan mekanisme program
yang
koordinasi
dapat
informal
dilaksanakan sehingga
dengan
memberikan
berdasarkan tugas pokok unit yang diisi mandiri
anggapan
oleh responden. Sedangkan tingkat pengetahuan,
Koordinasi yang efektif di dalam beberapa situasi,
komunikasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi
khususnya
diidentifikasi
petugas
dicapai dengan pelaksanaan komunikasi informal
terhadap komponen pada masing-masing variabel.
antar petugas dan atau unit kerja secara intensif
Jawaban responden selanjutnya dilakukan analisis
(Mintzberg, 1983).
oleh
Tipe Ketergantungan Tugas Antar Unit Kerja
berdasarkan
peneliti
untuk
penilaian
menggambarkan
proses
koordinasi program KPRS secara keseluruhan.
reciprocal
pelaksanaan
koordinasi.
interdependence
dapat
terkait Program KPRS di RS X Surabaya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil identifikasi hubungan tugas antarunit
Pengetahuan Petugas terkait Koordinasi Sebagian
kemudahan
memiliki
program KPRS antarunit kerja.Sebanyak 18 unit
pengetahuan tentang koordinasi dengan kategori
kerja diidentifikasi memiliki tipe ketergantungan
sedang.
upaya
pooled interdependence terhadap unit kerja lain.
petugas
Namun sebagian dari unit kerja tersebut juga
Sehingga
optimalisasi
besar
responden
kerja dapat diketahui tipe ketergantungan tugas
perlu
peningkatan
dilaksanakan pengetahuan
tentang koordinasi program KPRS. Petugas harus
memiliki
meningkatkan
reciprocal
interdependence
tertentu.
Prioritas
pengetahuan
mereka
dengan
mempelajari sejumlah referensi untuk menunjang
tipe
ketergantungan
tipe
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014
sequential
terhadap
unit
ketergantungan
dan kerja yaitu
202
reciprocal
interdependence
yang
diikuti
oleh
demikian, kinerja seluruh unit kerja menentukan
sequential dan pooled interdependence. Jumlah unit
seberapa sukses organisasi yang ada.
kerja dengan tipe ketergantungan reciprocal dan
Mekanisme Koordinasi Antar Unit Kerja terkait
sequential interdependence terhadap unit kerja lain
Program KPRS di RS X Surabaya
masing-masing adalah 12 dan 19
unit kerja.
Mekanisme
koordinasi
diidentifikasi
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketergantungan
berdasarkan tipe ketergantungan tugas antar unit
antar unit kerja dengan unit kerja lain masih
kerja. Sebanyak 12 Unit kerja diidentifikasi memiliki
tergolong cukup tinggi.
mekanisme koordinasi mutual adjustment terhadap
Sebagian mengelompokkan
petugas
belum
ketergantungan
tugas
dapat
unit kerja lain. Unit kerja tersebut adalah Instalasi
secara
Gilut, IRJA, IRNA, IGD, IBS, ICU, SMF, ISA, IPS,
mandiri sehingga harus dilakukan pengecekkan
TPMKP,
ulang terhadap unit kerja terkait, khususnya tipe
Implementasi mutual adjustment dalam program
ketergantungan reciprocal interdependence yang
KPRS
mensyaratkan hasil dari satu unit menjadi masukan
komunikasi
bagi unit lain, demikian sebaliknya dan seterusnya
intensitas yang relatif tinggi.
(Gittel,
2009).
kerja
lain
dan
Komite
diwujudkan
informal
Medik.
dalam
antarunit
bentuk
kerja
dengan
Mekanisme koordinasi mutual adjustment
ketergantungan reciprocal interdependence adalah
menuntut kemampuan adaptasi dan hubungan yang
Instalasi Gilut, IRJA, IRNA, IGD, IBS, ICU, SMF,
baik
ISA, IPS, TPMKP, Komite PPI dan Komite Medik.
koordinasi sangat bergantung terhadap kemampuan
Ketergantungan
adaptasi satu sama
merupakan
dalam
penerapan
dengan
antara
PPI
tipe
mendasar
Unit
Komite
suatu
konsep
antar
petugas.
Keberhasilan
lain yang
pelaksanaan
belum
pernah
teori koordinasi,
mengetahui
apabila tidak terdapat ketergantungan tugas maka
karakteristik
koordinasi tidak perlu dilakukan (Raposo & Fuks,
karakteristik
2002).
termasuk masukan, kemampuan, proses maupun Sebagian besar unit kerja memiliki tipe
ketergantungan tugas pokok program KPRS yang termasuk
ke
dalam
pooled
dan
mengenali
antara tugas
situasi
keduanya. masing-masing
maupun Identifikasi
unit
kerja
hasil dibutuhkan dalam mutual adjustment (Fugate, et al., 2006).
interdependence.
Sementara mekanisme koordinasi direct
Beberapa karakteristik tugas pokok program KPRS
supervision dimiliki oleh 19 unit kerja yakni TPMKP,
di RS X Surabaya hanya dilakukan di dalam unit
Komite PPI, Komite Keperawatan, IRNA, Gilut, IGD,
kerja tanpa melibatkan unit kerja lain. Pooled
IBS, ICU, PK, PA, ISA, IPS, PSP, Gizi, Farmasi,
interdependence
Hemodialisa, Radiologi, Rehabilitasi Medik dan
tidak
membutuhkan
adanya
interaksi antarunit kerja karena setiap unit kerja
Rekam
bertugas secara terpisah (Bijman, 2003). Meski
supervision terjadi akibat pertumbuhan dan skala
Medik.
Mekanisme
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014
koordinasi
direct
203
tugas pokok antarunit kerja yang semakin besar.
Para petugas sudah tahu dengan pasti apa yang
Direct
harus dikerjakan oleh mereka masing-masing tanpa
supervision
dapat
dilaksanakan
dengan
menunjuk seseorang yang bertugas mengkoordinir,
harus
melakukan pengawasan dan bertanggung jawab di
antara mereka sendiri (Mintzberg, 1983).
dalam proses koordinasi (Lunenburg, 2012). Peran seorang
koordinator
sangat
penting
dalam
mengkhawatirkan
Proses menghasilkan
masalah
perencanaan berbagai
koordinasi
program
macam
di
KPRS
kegiatan
dan
menentukan mekanisme penjadwalan karena hasil
aktivitas yang spesifik yang tersebar di dalam
pekerjaan di antara 16 unit kerja menjadi bahan
berbagai unit kerja. Setiap unit kerja memiliki
masukan bagi pekerjaan lain. Penjadwalan dan
karakteristik kegiatan maupun aktivitas terkait tugas
supervisi
program KPRS yang berbeda dengan unit kerja lain.
yang
tidak
dilaksanakan
dapat
menganggu atau menunda aktivitas pekerjaan lain. Sedangkan standardization
mekanisme
diidentifikasi
terdapat
Perbedaan karakteristik kegiatan maupun aktivitas
koordinasi
diperlukan sebuah mekanisme koordinasi yang
di
dilakukan oleh unit kerja untuk menghubungkan
dalam
hubungan tugas 18 unit kerja dengan unit kerja lain
tugas (Mittermayer & Monroy, 2008).
terkait impementasi program KPRS. Mekanisme
Komunikasi Antar unit Kerja terkait Program KPRS
koordinasi
standardization
tidak
membutuhkan Pelaksanaan komunikasi antar unit kerja
interaksi dengan unit kerja lain dalam pelaksanaan terkait program KPRS dapat diidentifikasi melalui 5 program.
Mekanisme
koordinasi
standardization unsur komunikasi yang meliputi ketepatan encoding
program KPRS diimplementasikan dalam bentuk pesan, kelengkapan isi pesan, kesesuaian media penyusunan
protap
atau
Standar
Prosedur komunikasi,
kesamaan
pemahaman,
dan
Operasional (SPO) terkait program KPRS. Bentuk pemberian lain
implementasi
standardization
feedback
selama
pelaksanaan
adalah komunikasi. Pelaksanaan komunikasi antar unit
persyaratan
jabatan,
pendidikan
dan
pelatihan kerja terkait program KPRS di RS X Surabaya
berkala, serta perumusan target yang harus dicapai. dijelasakan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Komunikasi Antar unit Kerja terkait Program KPRS di RS X Surabaya tahun 2014 Tingkat Pelaksanaan Integrasi
U
ketepatan encoding pesan kelengkapan isi pesan kesesuaian media komunikasi kesamaan pemahaman pemberian feedback
Sering
Selalu n 3 6 1 13 5
% 6,9 13,6 2,3 29,6 11,3
Sebagian besar responden menilai bahwa ketepatan unit kerja dalam encoding pesan masih tergolong
Tidak Pernah n % 4 9,1 5 11,4 4 9,1 6 13,6 5 11,4
Jarang
Total
n % n % n % kete 3 12 27,3 44 100 pata kele 6 9 20,5 44 100 ngka 18 40,9 44 100 kese 1 suai kesa 13 12 27,3 44 100 maa pem 5 15 34,1 44 100 beri jarang. Pengirim atau sumber harus memperhatikan proses
encoding
secara
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014
cermat agar isi pesan
204
mudah
dipahami
oleh
penerima
dan
Salah
tidak
satu
keberhasilan
komunikasi
salah pengertian (Suprapto, 2009). Peningkatan
komunikan dengan komunikator sehingga tercipta
Mutu
pemahaman
komunikasi saluran
Keselamatan dilakukan
yang
komunikasi
efektif.
yang
Pasien
mensyaratkan
secara
reguler
Namun
pemilihan media
sesuai
dalam
melalui
implementasi
yang
kesamaan
proses
menimbulkan ambiguitas sehingga menyebabkan
dan
adalah
kunci
sama.
persepsi
Budaya
antara
keselamatan
pasien menyangkut sistem pelayanan kesehatan khususnya
rumah
sakit
meliputi
sikap
saling
percaya, alur dan kesamaan persepsi dalam proses
program KPRS masih belum optimal sehingga
komunikasi
(Stavrianopoulos,
berpotensi terjadi kesalahan dalam komunikasi.
diidentifikasi
masih
jarang
2012). memiliki
Petugas kesamaan
Khusus media komunikasi secara lisan dan
pemahaman dalam proses komunikasi. Namun
penggunaan telepon telah disinggung di dalam PMK
petugas sudah sering memberikan umpan balik
RI
Pasien
dalam komunikasi. Umpan balik akan semakin
Rumah Sakit. Rumah sakit secara kolaboratif perlu
sering terjadi antar komunikan dan komunikator
untuk mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
apabila
prosedur
termasuk
dilakukan. Frekuensi komunikasi diantara petugas
mencatat (atau memasukkan ke komputer) perintah
yang menjalankan tugas merupakan faktor kunci
yang
dalam koordinasi (Havens, et al., 2010).
Nomor
1691
tentang
perintah
lengkap
lisan
atau
Keselamatan
dan
hasil.
telepon
Penerima
perintah
membacakan kembali (read back) perintah atau
intensitas
komunikasi
semakin
sering
Integrasi Antar unit Kerja terkait Program KPRS di RS X Surabaya
hasil pemeriksaan dan mengkonfirmasi bahwa yang Pelaksanaan
integrasi
antar unit
kerja
sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. terkait program KPRS dapat diidentifikasi yang Koordinasi yang efektif sangat tergantung terhadap ditinjau berdasarkan metode pengintegrasian terkait keakuratan
sebuah
informasi
yang
memegang
peran penting khususnya sejumlah kelompok tugas
pelaksanaan program KPRS yang dijabarkan pada Tabel 2 berikut.
yang terkait satu sama lain (Gittel, 2009). Tabel 2 Integrasi Antar unit Kerja terkait Program KPRS di RS X Surabaya tahun 2014 Tingkat Pelaksanaan Aspek Integrasi
Selalu
kerjasama sebagai satu tim motivasi prioritas kepentingan bersama kepemimpinan kesepakatan kerja bersama perumusan tujuan dan perancangan
Peningkatan
kerja
sama
n 6 9 11 9 6
% 13,6 20,5 25,0 20,5 13,6
Sering n 22 21 11 17 18
% 50,0 47,6 25,0 38,6 40,9
Jarang n 12 9 18 12 15
% 27,3 20,5 40,9 27,3 34,1
Tidak Pernah n % 4 9,1 5 11,4 4 9,1 6 13,6 5 11,4
Total n 44 44 44 44 44
% 100 100 100 100 100
dapat
dan outbond yang dapat dikoordinir oleh TPMKP.
dilaksanakan dengan berbagai metode pelatihan
Setiap rumah sakit berdasarkan PMK RI Nomor
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014
205
1691 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
pasien.
harus
menjadi penghambat dalam penegakan budaya
menyelenggarakan
pelatihan
tentang
Ketiadaan
unsur
kepemimpinan
kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung
keselamatan pasien (Stavrianopoulos, 2012).
pendekatan
Integrasi
interdisiplin
dan
kolaboratif
dalam
dapat
dicapai
dapat
dengan
rangka melayani pasien. Penciptaan kerjasama dan
kesepakatan kerja bersama melibatkan unit kerja di
hubungan kerja yang positif dapat meningkatkan
dalam
pencapaian tujuan keselamatan pasien (Beckett &
program KPRS. Unit kerja RS X Surabaya secara
Kipnis, 2009).
umum sudah sering melibatkan diri di dalam
Program Keselamatan Pasien merupakan never
perumusan
ending
KPRS.
proses,
karena
itu
diperlukan
budaya
perancangan
dan
tujuan
Proses
dan
perumusan
perancangan
perancangan
tujuan
program
tersebut
harus
termasuk motivasi yang cukup tinggi untuk bersedia
mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit,
melaksanakan program keselamatan pasien secara
kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan,
berkesinambungan dan berkelanjutan (Depkes RI,
kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan
2008).
dalam
faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien
mendorong dan menjamin implementasi program
sesuai dengan Tujuh Langkah Keselamatan Pasien
keselamatan
Rumah Sakit (Depkes RI, 2008).
Sedangkan
organisasi
pasien melalui
nilai
kepemimpinan
secara
terintegrasi
penerapan
Tujuh
dalam
Langkah
Sinkronisasi Antar unit Kerja terkait Program KPRS di RS X Surabaya
Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit masih Pelaksanaan sinkronisasi program KPRS jarang ditemukan. Pemimpin juga berperan dalam antar unit kerja diidentifikasi berdasar prosedur, mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan pembagian tugas, tumpang tindih tugas, intervensi koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan dan kehadiran yang dijabarkan dalam Tabel 3. pengambilan
keputusan
tentang
keselamatan
Tabel 3 Sinkronisasi Antar unit Kerja terkait Program KPRS di RS X Surabaya tahun 2014 Tingkat Pelaksanaan Aspek Sinkronisasi terdapat prosedur kerja pembagian tugas terdapat tumpang tindih tugas intervensi tugas pokok kehadiran dalam progress report
Selalu n 8 10 2 2 5
% 18,2 22,7 4,5 4,5 11,4
Sering
Jarang
n 19 15 17 10 20
n 11 13 11 14 13
% 43,2 34,1 38,6 22,7 45,5
% 25 29,5 25 31,8 29,5
Tidak Pernah n % 6 13,6 6 13,6 14 31,8 18 40,9 6 13,6
Total n 44 44 44 44 44
% 100 100 100 100 100
Pelaksanaan sinkronisasi antarunit kerja terkait
kehadiran dalam progress report. RS X Surabaya
program KPRS di RS X Surabaya diidentifikasi
secara umum telah mempunyai prosedur kerja yang
berdasar adanya prosedur kerja, pembagian tugas,
tertuang
tumpang tindih tugas, intervensi tugas pokok, dan
Operasional (SPO) terkait program KPRS. Adanya
dalam
bentuk
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014
Standar
Prosedur
206
SPO juga diperkuat dengan pernyataan sebagian
dalam progress report dapat saling memberikan
besar
masukan dan evaluasi demi tercapainya budaya
responden
prosedur
kerja
yang
menilai keberadaan
dengan
intensitas sering. SPO
keselamatan pasien dikoordinir oleh TPMKP dan
keselamatan pasien di RS X Surabaya. Simplifikasi Antar unit Kerja terkait Program KPRS di RS X Surabaya
diimplementasikan di unit kerja terkait. Tujuan Pelaksanaan simplifikasi antar unit kerja perencanaan
prosedur
memutuskan
keputusan
yakni
untuk
dapat terkait program KPRS dapat diidentifikasi melalui
yang
tepat
terhadap simplifikasi prosedur kerja, penyederhanaan alur
tindakan maupun kegiatan yang akan dilakukan koordinasi,
tahapan
program
KPRS,
dan
(Mittermayer & Monroy, 2008). penjabaran terhadap kekhususan tujuan program Sinkronisasi
antar
KPRS
RS
unit
kerja
terkait KPRS. Simplifikasi antar unit kerja terkait program
program
di
X
Surabaya
juga KPRS di RS X Surabaya diidentifikasi berdasarkan
diimplementasikan dalam bentuk pembagian tugas, penyederhanaan prosedur kerja, alur koordinasi, yang
diharapkan
akan
meminimalisir
adanya tahapan program KPRS, dan penjabaran tujuan
tumpang tindih dan intervensi tugas pokok. Stoner program KPRS secara khusus. Prosedur yang (1996)
mengungkapkan
pembagian
kerja
dan sederhana memudahkan petugas dalam melakukan
spesialisasi
diperlukan
untuk
membantu aktivitas dan memunculkan tingkat kepuasan yang
perusahaan
mendayagunakan
sumber
secara tinggi (Nursa’adah, 2013). Simplifikasi prosedur
efisien, meskipun hal tersebut memperberat beban dapat dengan menggunakan bahasa umum yang koordinasi.
Sinkronisasi
akan
menurunkan sederhana sehingga mudah dipahami oleh berbagai
kemungkinan tugas yang saling tumpang tindih profesi. Prosedur keselamatan pasien di RS X sehingga dapat menurunkan duplikasi kegiatan, Surabaya secara umum telah dilakukan proses bahkan meniadakan kegiatan yang tidak dibutuhkan simplifikasi
yang
responden
menilai
ditandai
dengan
mayoritas
(Sulistyowati, et al., 1999). pada
frekuensi
tingkat
Salah satu upaya sinkronisasi antarunit pelaksanaan sering dan selalu. Petugas di RS X kerja terkait program KPRS di RS X Surabaya yakni Surabaya sebagian besar dapat dengan mudah dengan mengagendakan pertemuan rutin atau rapat memahami
prosedur kerja dalam
implementasi
untuk membahas perkembangan program KPRS. program KPRS. Depkes RI (2008) menghimbau untuk menekankan Keselamatan pasien merupakan program prioritas keselamatan pasien dalam agenda rapat kerja yang melibatkan berbagai unit kerja di rumah manajemen rumah sakit. Unit kerja di RS X sakit secara holistik sehingga selalu diperlukan Surabaya memiliki frekuensi yang cukup sering koordinasi untuk mencapai tujuan secara optimal. dalam kehadiran pertemuan rutin untuk membahas Alur koordinasi yang panjang dapat menghambat pogress report program KPRS. Kehadiran unit kerja koordinasi
antarunit
kerja.
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014
Sebagian
besar
207
responden menilai masih jarang ditemukan alur
bersama sebelum implementasi program KPRS.
koordinasi yang sederhana selama implementasi
Langkah awal yang dapat dijalankan yaitu maping
program KPRS di RSU Haji Surabaya. Koordinasi
ketersediaan SPO di unit kerja sehingga dapat
antarunit kerja masih membutuhkan waktu yang
ditindaklanjuti dengan penyusunan dan pengesahan
relatif lebih lama dan masih melibatkan individu
SPO program KPRS yang belum tersedia.
dalam jumlah besar. Beberapa kondisi menuntut
Tingkat
pengetahuan
dan
hubungan
hanya membutuhkan sedikit individu yang terlibat
komunikasi petugas antarunit kerja terkait proses
selama pelaksanaan koordinasi antarunit kerja,
koordinasi
misalnya dalam memberikan tindakan terhadap
belum
pasien gawat darurat.
pengetahuan petugas dapat dilaksanakan dengan
sudah
program
optimal.
KPRS Upaya
diidentifikasi
masih
optimalisasi
tingkat
Program KPRS di RSU Haji Surabaya
melakukan penjadwalan terhadap seluruh petugas
menerapkan
untuk
simplifikasi
terhadap
tahap
diikutsertakan
pelatihan.
diwajibkan
mayoritas responden yang mengungkapkan bahwa
menyampaikan isi pelatihan kepada rekan kerja di
pemecahan
masing-masing unit sebagai bentuk tindak lanjut
KPRS
menjadi
beberapa
tahapan sudah cukup sering ditemukan. Bentuk
penyederhanaan
tujuan
umum
menjadi
ringkasan
dan
pelatihan.
simplifikasi yang lain menurut Sulistyowati (1999) adalah
membuat
Petugas
pelaksanaan. Hal ini ditandai dengan penilaian
program
untuk
dalam
Optimalisasi petugas
dapat
hubungan
dilakukan
dengan
standarisasi
tujuan khusus dengan sasaran lebih jelas atau
penggunaan
tujuan dibuat lebih rasional. Namun sebagian besar
berkomunikasi,
responden
terdapat
bentuk standar prosedur operasional atau prosedur
penjabaran tujuan program KPRS secara khusus.
tetap. TPMKP juga dapat menetapkan kebijakan
Tujuan
dapat
tentang ketentuan penggunaan saluran komunikasi
mengidentifikasi metode dan sasaran yang sesuai
(telepon, tulisan, lisan, maupun yang lain) dan
sehingga program KPRS dapat berjalan secara
penjelasanan mengenai teknis pelaksanaan serta
efisien dan efektif.
mewajibkan petugas untuk melakukan pengecekan
SIMPULAN
kembali tentang informasi yang telah disampaikan.
mengaku
yang
masih
dijabarkan
jarang
secara
khusus
Tipe ketergantungan antarunit kerja yang paling
banyak
teridentifikasi
adalah
pooled
bahasa
komunikasi
terutama
dan
istilah
dalam
yang
tertuang
dalam
Integrasi,
sinkronisasi
koordinasi
program
proses
dan
KPRS
simplifikasi diidentifikasi
interdependence sehingga mekanisme koordinasi
sudah cukup baik berdasarkan sebagian besar
yang paling sesuai adalah standardization. TPMKP
masing-masing
harus memastikan masukan, proses kerja maupun
penilaian
hasil yang ingin dicapai dibahas dan disepakati
sinkronisasi
sering. dan
aspek
berada
Upaya
optimalisasi
simplifikasi
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014
pada
proses
rentang integrasi, koordinasi
208
program
KPRS
dapat
dilaksanakan
dengan
menerapkan sistem penilaian kinerja dan pemberian reward, penyusunan skema kerja antarunit, dan penyederhanaan
alur
koordinasi
dengan
memberikan kewenangan lebih terhadap beberapa petugas tertentu. DAFTAR PUSTAKA Beckett, C. D. & Kipnis, G., 2009. Collaborative Communication: Integrating SBAR to Improve Quality/Patient Safety Outcomes. Journal for Healthcare Quality, 31(5), pp.19-28. Bijman, J., 2003. Multiple interdependencies: applying the Netchain approach to cooperative restructurin. Germany, Conference of Vertical Markets and Cooperative Hierarchies. Depkes RI, 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien (Patient Safety). Jakarta: KKPRS. Emanuel, L. et al., 2008. What Exactly Is Patient Safety?. Advances in Patient Safety: New Directions and Alternative Approaches , I(18). Fleming, M., 2005. Patient Safety Culture Measurement and Improvement: A “How To” Guide. Health Care Quarterly,8(Special), pp. 14-19. Fugate, B., Sahin, F. & Mentzer, J. T., 2006. Supply Chain Management Coordination Mechanisms. Journal of Business Logistics, 27(2), pp. 129-161. Gittel, J. H., 2009. Relational Coordination: Guidelines for Theory, Measurement and Analysis. Waltham: Brandeis University. Havens, D. S., Vasey, J. & Gittell, J. H., 2010. Relational coordination among nurses and other providers: impact on the quality of patient care. Journal of Nursing Management, Volume 18, pp. 926-937. Kohn, L. T., Corrigan, J. M. & Donaldson, M. S., 1999. To Err Is Human: Building a Safer Health System, Washington, D.C.: National Academy Press. Lunenburg, F. C., 2012. Organizational Structure: Mintzberg’s Framework. International Journal of Scholarly, Academic, Intellectual Diversity, 14(1). Mintzberg, H., 1983. Structure in fives: designing effective organizations. New Jersey: Prentice-Hall. Mittermayer, H. & Monroy, C. R., 2008. Adaptation of coordination mechanisms to network structures. Journal of Industrial Engineering and Management, 1(2), pp.169-185. Naja, H. R. D., 2004. Manajemen Fit and Proper Test. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Nursa’adah, R., 2013. Pengaruh Simplifikasi Prosedur Pelayanan Pelanggan terhadap
Tingkat Kepuasan Pelanggan Pelayanan Perpanjangan Surat Ijin Mengemudi (SIM) di SIM Corner Kota Surabaya. Kebijakan dan Manajemen Publik, 1(1), pp. 20-26. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Raposo, A. B. & Fuks, H., 2002. Defining Task Interdependencies and Coordination Mechanisms for Collaborative Systems. Frontiers in Artificial Intelligence and Applications, Volume 74, pp. 88-103. Stavrianopoulos, T., 2012. The Development of Patient Safety Culture. Health Science Journal, 6(2), pp. 201-211. Stoner, J. A. F., Freeman, R. E. & Gilbert Jr, D. R., 1996. Manajemen. Bahasa Indonesia ed. Jakarta: PT Indeks, Gramedia Group. Sugandha, D., 1991. Koordinasi Alat Pemersatu Gerak Administrasi. Jakarta: Intermedia. Sulistyowati, Sopacua, E. & Rochmah, T. N., 1999. Pelaksanaan Penggerakan dan Pengawasan Pengendalian di Puskesmas. Modul Pelatihan Manajer Puskesmas. Surabaya: Kanwil Depkes Jawa Timur. Suprapto, T., 2009. Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Jakarta: PT. Buku Kita. Wachter, R. M., 2008. Understanding Patient Safety. New York: McGrawHill.
Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 2 Nomor 3 Juli-September 2014