84 PENGARUH BERBAGAI DOSIS PROSTAGLANDIN F2 α

Download 21, No. 2, Mei 2005. 84. Pengaruh Berbagai Dosis Prostaglandin F2 α terhadap Kualitas Birahi pada Kambing Lokal. The Effect of Variety Dose...

0 downloads 484 Views 95KB Size
Media Kedokteran Hewan

Vol. 21, No. 2, Mei 2005

Pengaruh Berbagai Dosis Prostaglandin F2  terhadap Kualitas Birahi pada Kambing Lokal The Effect of Variety Doses of Prostaglandin F2  against the Quality of Estrus on Local Goats Wurlina Bagian Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas A irlangga, Surabaya

Abstract There have been methods to synchronized estrus for donor and recipient in the program of artificial insemination and embryo transfer in goats. Hormon that commonly used for estroes synchronization is PGF2 . Two injections of PGF2 11 days apart were employed in this experiment. Eighteen indigenous goats were used in this experiment. The goats were divided into 3 groups, each group consisted of 6 goats. Each goat was injected with 4 mg/ im (group 1), 6 mg/im (group 2) and 8 mg/im (group 3) respectively. Estrus was determined based on the consentration estrogen (estradiol 17 ) in blood measured by Immunoassay Microparticle (IMx). The result showed that there was no significant difference in the synchrony of estroes among (p>0.05) those three treatment groups. Key words: Prostaglandin F2, Local goat, Estradiol 17  

Pendahuluan

Dalam pelaksanaan transfer embrio pada kambing kondisi fisiologis uterus induk donor dan resipien harus sama, agar embrio yang dip indahkan dari induk donor ke induk resipien dapat tumbuh secara normal. Cara untuk menyamakan kondisi fisiologis antara uterus induk donor dan resipien dapat dilakukan dengan penyerentakan birahi. Bila induk donor dan resipien dapat mengalami birahi dalam waktu yang bersamaan, maka keadaan uterus donor dan resipien setelah birahi selesai akan mengalami perubahan fisiologis yang sama, karena keduanya berada dibawah pengaruh korpus luteum. Hormon yang sering digunakan untuk pelaksanaan penyerentakan birahi a dalah menggunakan preparat progesterone, GnRH dan prostaglandin atau kombinasi dari hormon tersebut (Chenault et al.,2003, Husein and Kridli, 2003). Prinsip pemberian preparat progesteron ialah menghambat terjadinya ovulasi dalam jangka waktu tertentu dan pemberian hormon ini harus dilakukan secara terus menerus selama 12 -14 hari. Kadar progesterone yang tinggi dalam darah akan menekan sekresi FSH dan LH dari hipofisis anterior sehingga menyebabkan tidak terjadinya ovulasi. Pada saat penghentian pemberian progesterone secara tiba -tiba akan diikuti dengan ovulasi (Lopez -Gatius et al., 2003; Pierson et al.,2003, Barrett et al.,2002). Pemberian progesteron sering menyebabkan terbentuknya folikel

sistik, keadaan ini tidak disukai sehingga jarang digunakan. Prinsip pemberian PGF2  adalah melisis atau meregresi korpus luteum diikuti penurunan sekresi progesteron dan akan menyebabkan perubahan pada siklus reproduksi, yaitu terjadinya siklus birahi yang baru dengan dimulainya pertumbuhan folikel dalam ovarium, selanjutnya setelah folikel tersebut menjadi masak akan mengalami ovulasi yang didahului dengan timbulnya gejala birahi (Husein and Kridli, 2003, Mai et al.,2002). Menurut Douglas and Ginter (1973) yang dikutip oleh Partodihardjo (1980) penyuntikan PGF2  pada domba atau kambing dengan dosis 6 sampai 8 mg per ekor dapat memperpendek siklus birahi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan dosis PGF2 yang efektif dan efisien melalui pengukuran kadar estradiol 17  dengan teknik Immunoassay Microparticle (IMx) mengingat kambing lokal di Indonesia badannya lebih kecil dari pada domba maupun kambing yang berasal dari luar negeri. Keuntungan pengukuran kadar estradiol 17  menggunakan IMx adalah teknik ini menggunakan 2 jenis metoda pemeriksaan yaitu Microparticle Enzyme Immunoassay (MEIA) untuk mengukur analit dengan berat molekul besar dan Fluorocence Polarization Immunoassay (FPIA) untuk mengukur analit dengan berat molekul kecil.

84

Wurlina; Pengaruh Berbagai Dosis Prostaglandin F2  terhadap Kualitas Birahi pada …

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan 3 macam dosis prostaglandin F 2  (PGF2) untuk penyerentakan birahi. Masing-masing dosis diberikan 2 kali penyuntikan PGF2 dengan selang waktu 11 hari secara intramuskuler. Alasan dilakukan penyuntikan ulangan pada hari ke 11 adalah korpus luteum telah berfungsi sehingga akan diregresi dan diikuti dengan timbulnya birahi. Dalam penelitian ini digunakan induk kambing lokal berumur 2-4 tahun sebanyak 18 ekor, sehat, dengan berat badan yang hampir sama, kemudian diacak menggunakan metode rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan, masing masing ulangan berisi 6 ekor kambing. Prosedur pel aksanaan adalah sebagai berikut: Kelompok I: disuntik PGF2 4 mg/ekor; Kelompok II : disuntik 6 mg/ekor; dan Kelompok III: disuntik PGF2 8 mg/ ekor. Deteksi Birahi Deteksi birahi dilakukan setelah penyuntikan PGF2 berdasarkan: 1) observasi perubahan pada vulva dan keluarnya lendir transparan dari vulva; dan 2) tingkah laku dengan menaiki sesama teman dan diam apabila dinaiki oleh pejantan. Induk kambing dinyatakan birahi bila sudah m enunjukkan gejala tenang apabila dinaiki pejantan, vulva bengkak dan kemerahan serta keluarnya cairan bening dari vulva. Kualitas Birahi Kualitas timbulnya birahi diukur berdasarkan kadar hormon estradiol 17  didalam darah, pada saat birahi setelah penyuntikan PGF2 kedua. Pengambilan darah dilakukan 2 kali yaitu pagi dan sore hari. Pengukuran kadar hormon estradiol 17  menggunakan teknik IMx (Immunoassay Microparticle) . Teknik IMx (Immunoassay Microparticle) . IMx adalah suatu metoda untuk pemerik saan hormon menggunakan 2 jenis metode pemeriksaan yaitu Microparticle Enzyme Immunoassay (MEIA) untuk mengukur analit dengan berat molekul besar dan Fluoroscence Polarization Immunoassay (FPIA) untuk mengukur berat molekul kecil. Teknik MEIA meng gabungkan reaksi ikatan antigen antibody dengan reaksi enzimatis dengan cara sebagai berikut : analit melekat pada mikropartikel yang telah dilapisi oleh antibodi / antigen yang sesuai, kemudian konyugat yang telah dilabel enzim melekat pada analit tersebut, Ikatan kompleks tersebut kemudian melekat pada matrik fiberglass, enzim yang dilabel pada konyugat kemudian bereaksi dengan substrat 4 metyl umbelliferil posphat (MUP), kehadiran analit dideteksi dari jumlah substrat yang bereaksi dengan enzim yang

85

berubah menjadi Umbelliferon. Sumber cahaya pada IMx mengarahkan sinar dengan 365 nm kearah matrik. Substrat MUP yang telah bereaksi dengan enzim dan berubah menjadi MU berfluororesensi. Suatu sampel dibaca 8 kali (Anonimus, tanpa tahun). Analisis Data Waktu timbulnya birahi, kadar estradiol 17  saat penyuntikan PGF2  dan saat timbulnya birahi dianalisis menggunakan Anava.

Hasil dan Pembahasan Timbulnya Birahi Induk kambing sebanyak 18 ekor yang men dapatkan perlakuan penyuntikan PGF2  pertama memperliharkan gejala birahi dengan menunjukkan vulva kemerahan, mengeluarkan lendir dan diam bila didekati pejantan. Hasinya dapat dilihat pada Table 1. Tabel 1. Kambing yang Menunjukkan Birahi Setelah Penyuntikan PGF2 Pertama dan Waktu Timbulnya Birahi Setel ah Penyuntikan PGF2 Kedua Jumlah birahi Jumlah birahi Waktu setelah setelah timbulnya Dosis N penyuntikan penyuntikan Birahi PGF2 (hari) PGF2 ke I PGF2 ke II 4 mg

6

3 (50%)

6(100%)

3,17 a + 0,57

6 mg

6

3 (50%)

6 (100%)

3,00 a + 0,00

8 mg

6

3 (50%)

6 (100%)

3,68 a + 0,58

Superskrip sama pada kolom sama menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) Induk kambing yang menunjukkan birahi sebanyak 50% saat dilakukan suntikan PGF2  pertama adalah kambing yang korpus luteumnya sedang menurun fungsinya sehingga penyuntikan PGF2 dapat meregresi atau melisis korpus luteum, diikuti dengan timbulnya gejala birahi. Induk kambing lainnya sebanyak 50%, tidak menunjukkan gejala birahi setelah penyuntikan PGF2  pertama. Menurut beberapa penel iti diduga induk kambing ini tidak mempunyai korpus luteum fungsional dalam ovariumnya yaitu induk kambing yang berada pada stadium awal dari siklus birahi, yang korpus luteumnya dalam kondisi mulai tumbuh. Pada keadaan yang demikian PGF2  tidak mampu menghancurkan sel lutein dalam korpus luteum (Barrett et al., 2002; Richardson et al., 2002). PGF2 sangat efektif untuk dipakai sebagai penggertak birahi pada ternak dalam fase diestrus, sebab pada fase ini terdapat korpus luteum

Media Kedokteran Hewan

Vol. 21, No. 2, Mei 2005

fungsional sehingga korpus lu teum tersebut akan diregresi atau dilisis, sedangkan PGF2  tidak efektif untuk korpus luteum yang baru tumbuh. Hal ini merupakan alasan untuk pemyerentakan birahi pada kambing menggunakan PGF2  hendaknya dilakukan 2 kali dengan selang waktu 11 hari. Pada penyuntikan PGF2 kedua mengakibatkan 100% induk kambing menunjukkan gejala birahi. Ini disebabkan karena semua induk kambing berada dalam kondisi korpus luteumnya sedang berfungsi sehingga penyuntikan PGF2  kedua yang diberikan 11 hari setelah penyuntikan PGF2 pertama mempunyai efek maksimal yaitu meregresi korpus luteum dan akan diikuti pertumbuhan folikel sehingga timbul gejala birahi (Mai et al.,2002, Yildiz et al., 2003). Ada perbedaan kecepatan timbulnya birahi setelah penyuntikan PGF2  pertama dan kedua. Hal ini disebabkan bahwa pengaruh luteolisis yang ditimbulkan oleh penyuntikan PGF2  pertama dengan pengaruh penyuntikan PGF2  kedua yang dilakukan 11 hari kemudian. Penelitian pada domba oleh Yildiz et al. (2003) dengan 2 kali penyuntikan PGF2  secara intramuskuler dengan dosis 8 mg per ekor dalam selang waktu 11 hari tanpa memperhatikan siklus birahinya ternyata domba akan mengalami birahi dalam waktu 54 ± 2,7 jam, sedangkan penyerentakan birahi pada kambing dengan menggunakan PGF2  ternyata memberikan hasil yang berbeda yaitu birahi timbul 38 ± 2,3 jam setelah penyuntikan kedua.Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbe daab jenis ternak sebab masing-masing ternak mempunyai respon yang berbeda terhadap PGF2 . Kualitas Birahi Hasil rata-rata pengukuran kualitas birahi setelah penyuntikan PGF2 kedua pada induk kambing local melalui kadar estradiol 17 menggunakan IMx dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-Rata Kadar Estradiol 17 pada Induk Kambing Lokal Saat Birahi Setelah Penyun tikan PGF2 Kedua Kadar Estradiol 17 (pg/ml) saat Dosis N birahi PGF2 Pagi (X ± SD) Sore (X ± SD) 4 mg

6

43,32 a ± 12,94

47,37 a ± 14,78

6 mg

6

45,11 a ± 10,17

46,10 a ± 12,20

8 mg

6

40,65 a ± 7,65

45,34 a ± 10.47

Superskrip sama pada kolom yang sam a menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05)

Kadar estradiol 17 saat penyuntikan PGF2  ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada ketiga perlakuan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa reproduksi kambing dalam keadaan yang sama akibat penyuntikan PGF2 pertama, sehingga pada hari ke 11, saat akan dilakukan penyuntikan PGF2 kedua, korpus luteum kambing dalam keadaan telah berfungsi dan terbukti terjadinya birahi yang bersamaan (p>0,05). Pada penelitian ini penyerentakan birahi pa da kambing lokal dengan penyuntikan PGF2  2 kali selang waktu 11 hari dengan dosis 4 mg per ekor ternyata sudah cukup menyebabkan timbulnya gejala birahi. Kualitas birahi setelah penyuntikan PGF2  kedua melalui pengukuran kadar estradiol 17  pada penelitian ini ternyata tidak terdapat perbedaan yang nyata pada ketiga perlakuan (p >0.05). Hal ini disebabkan oleh ukuran dan berat kambing lokal lebih kecil daripada kambing maupun domba ras unggul.

Kesimpulan

Penyerentakan birahi pada kambing lokal secara efektif dan efisien dapat menggunakan PGF2  dengan dosis 4 mg/ekor secara intramuskuler dengan pola penyuntikan dua kali selang waktu 11 hari.

Daftar Pustaka

Anonimus (tanpa tahun) IMx. Petunjuk Training Untuk Customer. PT. Abbott Indonesia. Diagnostic Division. Jakarta. Barrett, D.M, P.M. Bartlewski, S.J. Cook, W.C. Rawling. 2002. Ultrasound and Endocrine Evaluation of the Ovarian Respon to PGF2 alpha given at Different Stage of the Luteal Phase in ewes. Theriogenology. Vol. 58(7) : 1409 –1424. Chenault, J.R, J.F.Boucher, K.J. Dame, J.A. Meyer, S.L. Wood-Follis. 2003. Intravaginal Progesterone Insert To Synchronize Return To Estrus of Previously Inseminated Dairy Cows. J. Dairy Sci. Vol. 86(6): 2039-2049. Husein, M.Q and R.T. Kridli. 2003. Effect of Progesterone prior to GnRH -PGF2 alpha Treatment on Induction of Estrus and Pregnancy in Anoestroes Awassi Ewes. Reprod Domest Anim. Vol. 38(3): 228- 232. Lopez-Gatius, F., K.Muruqavel, P.Santolaria, J. Yaniz and M. Lopez-Bejar. 2003. Effect of Presychro nization During the Preservice Period on subsequent Ovarian Activity In Lactating. Theriogenology. Vol. 60(3): 545-552.

86

Wurlina; Pengaruh Berbagai Dosis Prostaglandin F2  terhadap Kualitas Birahi pada …

Mai, H.M., D. Oqwu, L.O. Edvie and A.A.Voh. 2002. Detection of Oestrus in Bunaji Cows Under Field Condition. Trop Anim Health Prod. Vol. 34 (1): 35-47. Mcksick, B.C., M.C. Wiltbank, R. Sartori, P.G. Marnet, D.L. Thomas. 2002. Effect of Presence or Absence of Corpora Lutea on Milk Production in East Dairy Ewes. J. Dairy Sci. Vol. 85(4): 790 -796. Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara.Jakarta. Hal. 173-181. Pierson, J.T., H. Baldassarre, C.L. Keefer, B.R. Downey. 2003. Influence of GnRH administration on Timing of the LH Surge and Ovulation in Dwarf Goats. Theriogenology. Vol.60 (3) : 397 -406.

87

Richardson, A.M., B.A. Hensley, T.J. Marple, S.K. Johnson, and J.S. Stevenson. 2002. Characteris tics of Estrus before and after first Insemination and Fertility after Synchronized Estrus Using GnRH, PGF2 alpha and Progesterone. J.Anim Sci. Vol. 80(11): 2792 - 2800 Yildiz, S., M. Saatci, M. Uzunn, and B. Guven. 2003. Effect of Ram Introduction After the Second Prostaglandin F2 alpha Injection on day 11 on the LH Surge Characteristics in fat -tailed-Ewes. Reprod Domest Anim. Vol. 38(1): 54-57.