9 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PENCERNAAN RUMINANSIA PENCERNAAN

Download 1976). Meskipun rumput memiliki kandungan serat kasar yang tinggi, tetapi tetap diperlukan untuk menjaga fungsi rumen. Kebutuhan serat kasa...

0 downloads 364 Views 307KB Size
9 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

Pencernaan Ruminansia Pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan

makanan di dalam alat pencernaan (Sutardi 1980). Church dan Pond (1976) mengemukakan bahwa proses pencernaan pada ruminansia dapat dibagi menjadi tiga yaitu mekanis, hidrolitik dan fermentatif. Perbedaan antara hidrolitik dan fermentatif yaitu pada pencernaan hidrolitik yang berupa polimer-polimer dihidrolisis menjadi monomer, sedangkan pada fermentative monomer-monomer tersebut dikatabolisasi lebih lanjut. Saluran pencernaan sapi perah terdiri atas mulut, esophagus, lambung (rumen, reticulum, omasum, abomasum), usus halus dan usus besar. Rumen merupakan bagian lambung terbesar yaitu kurang lebih 62% dari total lambung sapi dewasa (Fahey dan Berger, 1988). Ukuran lambung pada sapi berkisar antara 160 sampai 210 liter (Linn dkk., 1989). 2.2.

Pakan Sapi Perah Pakan merupakan faktor utama dan mempunyai peran yang sangat penting

dalam usaha peternakan. Pakan yang diberikan pada ternak akan memberikan pengaruh terhadap produktivitasnya. Pakan merupakan faktor lingkungan terbesar yang berpengaruh terhadap produktivitas ternak yaitu kurang lebih 60% (Siregar, 1992). Sapi perah merupakan ternak ruminansia yang membutuhkan hijauan

10 sebagai sumber makanannya. Kebutuhan hijauan berkisar antara 60 sampai 90% dari total ransum yang diberikan. Rumput

merupakan kelompok pakan berkualitas rendah, karena

mengandung serat kasar lebih dari 18%, protein kurang dari 7,0%, dan TDN kurang dari 50% (Hartadi, 1980). Rumput yang berkualitas rendah tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi sapi perah sehingga diperlukan konsentrat untuk melengkapinya. Konsentrat yaitu bahan pakan yang banyak mengandung karbohidrat mudah dicerna dengan kandungan serat kasar rendah (Soewardi, 1976). Meskipun rumput memiliki kandungan serat kasar yang tinggi, tetapi tetap diperlukan untuk menjaga fungsi rumen. Kebutuhan serat kasar untuk sapi perah laktasi lebih dari 17% (Sudono, 1983). Sedangkan Linn dkk., (1989) menyatakan bahwa kebutuhan serat kasar sapi perah awal laktasi minimal 18% dari bahan kering dan meningkat selama laktasi sampai 21%. Dalam penentuan konsumsi digunakan penghitungan berdasarkan bahan kering. Kandungan bahan kering dari isi rumen berkisar antara 7 sampai 14%. Owens dan Goetsch, (1988) berpendapat untuk sapi perah laktasi dengan bobot badan 500 kg, hanya terdapat bahan kering 12,5%. Kebutuhan bahan kering untuk sapi perah laktasi berkisar antara 3 sampai 4% dari berat badannya. Pada sapi perah dengan bobot badan 450 kg, produksi rata-rata 13 kg/hari dan kadar lemak 3,5% dibutuhkan bahan kering ransum kurang lebih 11,25 kilogram (2,5% berat badan) dan kebutuhan bahan kering tersebut dari hijauan minimal 6,8 gram (Sudono, 1983).

11 Dalam campuran konsentrat biasanya digunakan bahan pakan dasar antara lain dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kedelai, bungkil kelapa sawit, ampas tahu, tepung ikan, dan gaplek. Fungsi utama dari bahan pakan yang dicampur dalam konsentrat yaitu mensuplai energi tambahan yang diperlukan untuk produksi susu maksimal yang tidak terpenuhi oleh hijauan. Campuran konsentrat dari bahan-bahan pakan sumber protein dan energy kandungannya bervariasi antara 16 sampai 18% berdasarkan bahan kering (Blakely dan Bade, 1992). Selain hijauan dan konsentrat biasanya diberikan juga pakan tambahan untuk mengoptimalkan produksi susu sapi perah. Pakan tambahan yang sering diberikan antara lain supplemen, vitamin, mineral, dan urea. Ampas tahu dan ampas bir juga biasanya diberikan secara terpisah dari konsentrat, kedua bahan pakan ini digolongkan sebagai hasil ikutan yang memiliki kandungan protein tinggi yaitu diatas 20%. Karena nilai gizi yang masih tinggi maka kedua bahan pakan tersebut digunakan sebagai pakan tambahan untuk ternak ruminansia dan menghasilkan performa yang baik (Hernaman dkk, 2008) 2.3.

Mikroba Rumen Proses pencernaan pada ternak ruminansia membutuhkan peranan dari

mikroba untuk mencerna makanan. Rumen merupakan ekosistem yang mengandung komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik adalah mikroba rumen dengan populasi berkisar antara 1010 sampai 1012 sel/ml cairan rumen (Ogimoto dan Imai, 1981).

12 Rumen merupakan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroba karena suhu, pH, kelembaban relatif stabil dan memiliki kondisi anaerob. Mikroba yang terdapat pada rumen antara lain bakteri, protozoa dan fungi. Fungsi mikroba rumen secara umum adalah untuk metabolisme karbohidrat yaitu selulose, hemiselulose, dan serat kasar lainnya, metabolisme nitrogen, mineral, lemak dan vitamin. Bakteri merupakan mikroba terbanyak pada cairan rumen yaitu berkisar antara 109 sampai 1010 sel/ml. Bakteri rumen secara morfologis terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok bulat (cocci) dan kelompok gabungan bentuk spiral (spirilla) dan batang (rods). Bakteri bentuk batang dan spiral hidup dalam kondisi anaerob, sedangkan bentuk cocci gram negatif ada yang hidup dalam kondisi aerob. Ada juga bakteri yang hidup dalam kondisi fakultatif yaitu hidup pada kondisi sedikit oksigen (streptococcus), bakteri ini biasanya hidup pada dinding rumen (Ogimoto dan Imai, 1981; Czerkawski, 1986). Pada rumen terdapat protozoa yang bervariasi, berdasarkan fungsinya terdapat beberapa kelompok protozoa yaitu kelompok protozoa pencerna protein antara lain Ophryoscholex caudatus, pencerna selulose, hemiselulose dan pati antara lain Diplodinium polyplastron. Kelompok pencerna gula, pati, pektin, dan glucose yaitu Isotricha intestinalis. Kelompok protozoa pencerna pati, maltose dan selobiose yaitu Dasytricha ruminantrium. Kemudian kelompok pencerna pati, maltose dan sucrose antara lain Entodinnium caudatum (Czerkawski, 1986; Arora, 1989).

13 2.4.

Fermentasi Zat Makanan Fermentasi adalah perubahan kimia dari molekul-molekul kompleks

(protein, karbohidrat, lemak dan senyawa lainnya) menjadi molekul-molekul sederhana dan mudah dicerna oleh aktifitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pada ransum sapi perah 75% yang diberikan adalah karbohidrat. Bahan organik terbanyak dari karbohidrat yang ada pada ransum adalah selulose dan pati. Selulose merupakan sumber energi yang sangat potensial bagi ternak ruminansia (Czerkawski, 1986; Fahey dan Berger, 1988; Arora, 1989) Bakteri pencerna selulose mengeluarkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulose, bakterinya antara lain Ruminococcus albus, R. flavefaciens, Bacteroides succinofenes, Butyrivibrio fibrisolvens, dan clostridium lockheadii.Maka ransum pada sapi perah minimal 15% mengandung serat kasar dari bahan kering ransum (Yokoyama dan Johnson, 1989) 2.5. Complete Feed Complete feed merupakan sistem pemberian pakan dalam bentuk tunggal dari hasil pencampuran bahan-bahan pakan untuk menghindari seleksi pakan oleh ternak,

meningkatkan

nilai

nutrisi,

palatabilitas,

efisiensi

pakan,

serta

memudahkan pemberian pakan di lapangan (Owens, 1979). Hartadi dkk. (1997) Menyatakan bahwa complete feed adalah makanan yang cukup gizi untuk ternak tertentu, didalam tingkat fisiologi tertentu, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan mampu

14 memenuhi kebutuhan hidup pokok atau produksi ataupun keduanya tanpa tambahan substansi lain. 2.5.

Probiotik Probiotik adalah feed supplement mikroba hidup yang dapat memberikan

keuntungan kepada induk semang melalui keseimbangan mikroba rumen dalam saluran pencernaan (Fuller, 1989). Probiotik yang diberikan terdiri dari satu atau beberapa strain mikroba dan dapat diberikan dalam beberapa bentuk yaitu tepung, tablet, kapsul, pasta, dan cairan. Wallace (1994) memberikan definisi bahwa probiotik adalah mikroba hidup atau kultur mikroba hidup berupa feed additive yang memberikan efek keuntungan bagi ternak dan bertujuan untuk memperbaiki keseimbangan mikroba rumen. Probiotik merupakan hasil bioteknologi nutrisi ruminansia yaitu dapat dengan cara rekombinasi informasi genetik dari dua genotip menjadi genotip baru dan dapat dengan cara biotransfer. Biotransfer dapat melalui feed additive dan dapat dengan inokulasi bakteri rumen dari ternak donor kepada ternak resipien (Wallace, 1994 dan Winugroho dkk, 1994). Probiotik berperan untuk merangsang pertumbuhan mikroba rumen dan aktivitas fermentasi pada rumen. Mikroba yang biasa digunakan untuk probiotik dalam bentuk feed additive antara lain S. cereviseae (Ducluzeau dkk, 1991; Fuller, 1992, dan Wallace, 1994). Saccharomyces cereviseae memanfaatkan oksigen didalam rumen sehingga kondisi rumen lebih anaerob, dengan demikian memungkinkan berkembangnya mikroba rumen terutama bakteri selulolitik.

15 Saccharomyces cereviseae dapat membunuh dan menekan pertumbuhan bakteri aerob yang pada umumnya bersifat pathogen (Williams dan Newbold, 1990; Wallace, 1994) 2.6.

Performans Sapi Perah Performans produksi sapi perah yaitu sifat-sifat produksi yang ditampilkan

sapi perah secara kualitatif maupun kuantitatif. Pertumbuhan dan produksi susu temasuk kedalam sifat kuantitatif. Sifat kuantitatif antara pertumbuhan dan produksi susu saling terkait dan akan ditampilkan secara penuh apabila ditunjang denga faktor lingkungan yang cocok. Kemampuan produksi sapi perah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik. Oleh karena itu produksi setiap ekor sapi akan bervariasi dari kuantitas maupun kualitasnya. Pakan merupakan faktor lingkungan terbesar yang dapat mempengaruhi produksi susu (Castle dan Watkins 1979; Ensminger, 1980) 2.7.

Produksi Susu Kemampuan memproduksi susu pada sapi perah merupakan sifat genetis

dan berbeda pada setiap bangsanya. Setiap bangsa sapi perah memiliki karakteristik yang berbeda dalam jumlah dan komposisi yang dihasilkan, terutama pada kandungan lemaknya (Blakely dan Bade, 1992). Pada umumnya produksi susu dari sapi perah betina bervariasi disetiap masa laktasinya. Variasi jumlah produksi susu tersebut dipengaruhi oleh lingkungan (pakan, tatalaksana, keadaan iklim, serta kesehatan) dan faktor

16 keturunan (genetis). Bath dkk, (1978) menyatakan bahwa produksi susu sapi perah akan meningkat secara cepat dari minggu ke-3 sampai dengan minggu ke-6, kemudian secara perlahan akan menurun sampai produksi terendah pada bulan ke-10. 2.9.1. Kualitas Susu Sapi Perah Kualitas susu merupakan penilaian terhadap susunan dan keadaan susu, Apandi dan Chairunnisa (1975) mengemukakan bahwa penilaian susunan susu meliputi penilaian kadar lemak, kadar protein, bahan kering tanpa lemak (SNF), mineral, vitamin, dan angka refraksi serum pada suhu 27,5°C. Adapun komposisi susu sapi perah tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen Penyusun Susu Sapi Perah Komponen Air Bahan Kering Protein Lemak Gula (Laktosa) Mineral (Abu) Sumber : Hadiwiyoto (1995)

Kisaran

Rata-rata

85,50 - 89,50 10,50 - 14,50 2,90 - 5,00 2,50 - 6,00 3,60 - 5,50 0,60 - 0,90

87,20 12,80 3,60 3,70 4,80 0,70

Susu yang memiliki kualitas baik harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh SNI (1998), Codex (1962), dan Dirjen Peternakan (1983) sebagaimana tercantum pada Tabel 2.

17 Tabel 2. Standar Kualitas Susu Sapi Perah Karakteristik No 1 Berat Jenis (pada suhu 27°C) Minimum 2 Warna, Bau, Kekentalan 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Kadar Lemak Minimum Kadar bahan kering tanpa lemak Minimum Derajat Asam Uji Alkohol 70% Uji Katalase Uji Reduktase Angka refraksi Angka Reduktase Cemaran Mikroba Maksimum *total kuman

SNI 1,028

Syarat Codex 1,028

Ditjen 1,028

Tidak berubah Tidak berubah Tidak berubah 3,0% 2,7% 2,7% 8% 8% 8% 6-7°SH Negatif 3 cc Negatif 36 - 38 2 - 5 Jam

8°SH Negatif 3 cc Negatif 34 2 jam

Negatif Negatif 3 jam

1x106 CFU Negatif Negatif -0,500C

1x106 CFU Negatif Negatif -

Negatif

Negatif

Positif

Positif

12 13

*E. Colli (Pathogen) *Salmonella Kadar Protein Minimum Titik Beku

14

Uji Pemalsuan

1x106 CFU Negatif Negatif 2,7% -0,520C s/d -0,560C Negatif

15

Uji Peroxsidase

Positif

2.9.2. Berat Jenis Susu Berat jenis susu merupakan perbandingan antara volume susu dengan berat sejumlah volume air dengan temperatur yang sama. Berat jenis susu dapat diukur menggunakan laktodensimeter yang telah ditera pada suhu 27,50 C dan pengukurannya dilakukan setelah tiga jam dari pemerahan atau suhunya telah terletak antara 20-30°C, karena pada saat itu temperatur susu dalam keadaan stabil.

18 Berat jenis susu dipengaruhi oleh bahan kering seperti protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Apabila bahan kering susu tinggi maka kadar bahan kering susu akan semakin tinggi pula, sedangkan kadar lemak susu akan cenderung menurun (Ressang dan Nasution, 1982). Berat jenis susu juga dipengaruhi oleh perbandingan antara kadar lemak dan kadar bahan kering tanpa lemak (Soewardi, 1976). Hadiwiyoto (1995) menambahkan bahwa selain dipengaruhi bahan kering tanpa lemak, berat jenis juga dipengaruhi oleh adanya penguapan gas-gas dalam susu sehingga dapat memperbesar berat jenis susu.

2.9.3. Kadar Lemak Susu Kadar lemak dalam susu dikarakteristikan sebagai campuran trigliserida yang terdiri dari 50% asam lemak rantai pendek (C4 – C14) dan 50% asam lemak rantai panjang (C16 – C20) (Bath dkk, 1978). Hadiwiyoto (1955) berpendapat bahwa lemak susu mengandung berbagai asam lemak, yaitu asam butirat, asam kaproat, asam laurat, asam kaprilat, asam kaprat, asam miristrat, asam palmitat, asam stearat, asam oleat, asam deoksi stearat. Lemak pada susu berperan dalam menentukan rasa, bau, dan tekstur (Suradi, 1989). Kadar lemak susu sangat penting karena dalam perdagangan digunakan untuk menentukan kualitas susu dan harga susu. Standar yang diterapkan oleh SNI (1998), kadar lemak dalam susu minimal 3,0%, dan yang diterapkan oleh Codex adalah 2,7%. 2.9.4. Kadar Protein Susu Sapi Perah Protein yang terdapat dalam susu terdiri dari kasein dan protein serum atau whey protein. Protein yang terkandung dalam susu sangat dipengaruhi kandungan

19 protein dalam ransum. Etgen dan Reaves (1978) menyatakan bahwa kekurangan protein dalam ransum akan mengakibatkan menurunnya kondisi tubuh ternak, menurunnya produksi susu dan protein susu. Berdasarkan standar dari SNI (1998), kadar protein pada susu minimal sebesar 2,7%. 2.9.5. Kadar Total Solid Total Solid atau Bahan kering total susu adalah kandungan susu yang terdiri dari lemak, kasein, albumin, globulin, laktosa, vitamin, dan mineral. Kandungan bahan kering pada susu sangat dipengaruhi oleh kandungan air pada susu. Air berguna sebagai pelarut unsur-unsur pokok dalam susu. Wikantadi (1977) menyatakan bahwa naik atau turunnya kandungan air dalam susu akan mempengaruhi presentasi bahan padat total. 2.9.6. Kadar Solid non Fat Solid non fat atau Bahan kering tanpa lemak merupakan kandungan yang bahan kering setelah kadar lemak susu diketahui dan dihilangkan. Menurut Ichikawa (1998), bahan kering tanpa lemak terdiri dari mineral (Ca, P, K, Cl, Na, Mg), protein, karbohidrat (laktosa dan glukosa), dan vitamin. Bahan kering tanpa lemak berbanding terbalik dengan kadar lemak. Semakin tinggi kadar lemak, maka semakin rendah kandungan bahan kering tanpa lemaknya, begitupun sebaliknya. Bahan kering tanpa lemak pada susu adalah 8,65% (Eniza, 2004). Berdasarkan Codex dan SNI (1998) bahwa kandungan bahan kering tanpa lemak minimal adalah sebesar 8%.