927 STUDI PEMANFAATAN CAIRAN RUMEN SAPI POTONG

Download 26 Mar 2016 ... Abstrak. Tanaman eceng gondok (Eichornia crasipes L.) merupakan jenis tanaman terbesar yang hidup mengapung di air. Dampak ...

0 downloads 412 Views 363KB Size
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

STUDI PEMANFAATAN CAIRAN RUMEN SAPI POTONG SEBAGAI BIOAKTIVATOR TERHADAP KUALITAS KOMPOS ECENG GONDOK (Eichornia Crasipes L.) Sebagai Bahan Ajar Poster Untuk Kelas XII SMA The Study On Rumen Liquid of Cow as Bioaktivator Of The Quality Of Water Hyacinth Compost (Eichornia crasipes L.) As Biology Teaching Materials For Senior High School Grade XII Rahayu Sundayanti*, Rr Eko Susetyarini, Lud Waluyo Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas No. 246 Malang, 085607775005, [email protected] Abstrak Tanaman eceng gondok (Eichornia crasipes L.) merupakan jenis tanaman terbesar yang hidup mengapung di air. Dampak negatifnya berupa gangguan terhadap pemanfaatan perairan, memperbesar kehilangan air melalui proses evapotranspirasi, dan menurunkan hasil perikanan. Usaha penanganan limbah secara biologi dapat dilakukan dengan memanfaatkan limbah peternakan untuk dijadikan sebagai bioaktivator mikroba dalam pengomposan. Fungsi bioaktivator adalah meningkatkan kualitas bahan organik kompos. Cairan rumen merupakan salah satu tempat hidupnya populasi mikroba (bakteri, protozoa dan jamur) yang berperan dalam penguraian makanan terutama sellulosa pada hewan ruminansia. Tujuan peneltian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi paling efektif terhadap kualitas kompos eceng gondok (Eichornia crasipes L.). Jenis penelitian yang digunakan adalah True Experiment recearch dan design yang digunakan adalah penelitian True Posttest Only Control Group Design yaitu penelitian dengan adanya perlakuan, ulangan, dan kontrol. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Anava 1 arah dan uji lanjut dengan Uji Duncan‘s 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi cairan rumen sapi potong dengan konsentrasi 40% memiliki kualitas kompos yang efektif mulai dari suhu 30,470C, pH 6,76, rasio C/N 14,55 dengan warna kompos hitam kecoklatan. Kata Kunci: Kualitas Kompos, Konsentrasi Cairan Rumen, Eceng Gondok (Eichornia crasipes L.) Abstract Water hyacinth (Eichornia crasipes L.) is species of biggest plant which live float in water. This water hyacinth is reputed as disturber or water weeds because can appear many damage. Negative impact from this plant is disturbance to waters utilization, can enlarge loss of water from evapotranspiration process, and can do with utilize waste of animal husbandry to become microbe bio activator in compost. The function of bio activator is to increase the quality of compost organic materials. Rumen liquid is one of live place of microbe population (bacteria, protozoa, and fungi) which have a role in food analyzing especially cellulose at ruminant animals. The aim of this research is to the best effective concentration about compost quality of water hyacinth (Eichornia crasipes L). Kind of this research is True Experiment Research and the design using True Posttest Only Control Group Design is research with treatment, repetition, and control. Data result then analyze using Anava One Way and detailed test with Duncan‘s 5%. Result of this research was shown that giving rumen liquid concentration of cow with 40% concentration have an effective quality compost from temperature 30,47%, pH 6,76, rasio C/N 1,55 with the color of compost is black brownish. Keywords: Compost Quality, Rumen Liquid Concentration, Water Hyacinth (Eichornia crasipes L.) 927

Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

PENDAHULUAN Tanaman eceng gondok (Eichornia crasipes L.) merupakan salah satu jenis tanaman air yang mengapung. Fenomena ini dapat menimbulkan permasalahan baru, oleh karena itu perlu penanganan khusus. Tanaman eceng gondok mengalami proses degradasi, dikarenakan kandungan sellulosa yang tinggi. Daun eceng gondok (Eichornia crasipes L.) banyak mengandung kalsium lebih tinggi dibanding batang dan akarnya. Kalsium dalam daun berguna sebagai menetralkan asam organik dari hasil metabolisme yang bersifat pada hewan ternak (Yonathan, 2012). Tanaman eceng gondok (Eichornia crasipes L.) merupakan bahan organik yang dijadikan kompos mempunyai kualitas dalam pembuatan kompos dengan kandungan nitrogen per berat kering mencapai antara 2,2-2,5% dan rasio C/N adalah 20. Banyak petani yang sudah mengenal pupuk anorganik yang unsur haranya sangat tinggi namun laju pertumbuhan ekonomi sangat meningkat, hal ini berdampak pada kenaikan barang termasuk harga pupuk anorganik. Masalah seperti ini dapat diatasi dengan cara pembuatan pupuk kompos, yaitu dengan menggunakan tumbuhan eceng gondok sebagai bahan organik yang dibantu dengan cairan rumen sapi sebagai bioaktivator. Fungsi dari bioaktivator ini adalah untuk mempercepat proses dekomposisi atau pada saat proses pengomposan itu terjadi serta dapat meningkatkan kualitas bahan. Cairan rumen sapi memiliki kondisi penting dalam proses pencernaan agar dapat berjalan secara optimal. Hal ini tidak akan lepas dari peran mikroba yang sangat membantu dalam proses pencernaan dan penyediaan zat makanan serta energi bagi ruminansia. Di dalam cairan rumen terdapat mikroorganisme yang dapat membantu dalam penguraian yaitu bakteri, fungi, dan protozoa. Sesuai hasil survei, ketersediaan cairan rumen sapi sangatlah begitu banyak, apabila setiap harinya memotong sapi sebanyak 5 ekor maka cairan rumen sapi dalam 5 ekor sebanyak 155 liter. Jumlah cairan rumen sapi yang dihasilkan mencapai 31 liter per ekor. Menurut Suwahyono (2015), jika ternak sapi dewasa dapat memproduksi kotoran mencapai rata-rata 3 kg/hari. Kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan organik seperti tumbuhan, hewan, atau limbah organik lainnya dimana didalamnya memiliki interaksi antara organisme yang bekerja didalamnya. Kegunaan dari kompos adalah untuk memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan bahan organik tanah (Indriani, 2011). Permasalahan ini berkaitan dengan konsep biologi yang diajarkan kepada siswa sekolah menengah atas (SMA) kelas XII semester 2, materi bioteknologi salingtemas pada KD ―4.10 Kurikulum 2013. Pencapaian dalam materi tersebut akan dikembangkan dengan berbagai cara salah satunya adalah melakukan inovasi pembelajaran berupa bahan ajar. Penggunaan bahan ajar ini akan membantu guru dalam proses pembelajaran terutama pada materi bioteknologi. Oleh karena itu, diperlukan teknik yang inovatif untuk memanfaatkan eceng gondok sebagai media kompos agar tidak menjadi limbah biomassa yang memiliki daya guna terutama untuk para petani. Bahan ajar poster merupakan salah satu bahan ajar cetak yang sangat umum namun masih sedikit sekali para guru untuk memiliki kemampuan dalam mengembangkan. Fungsi utama poster adalah menyampaikan bahan ajar secara langsung kepada siswa, namun, poster juga memiliki keterbatasan dalam proses penyampaian karena tidak mampu menyampaikan materi secara rinci (Munawaroh, 2008). 928

Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober-November. Jenis penelitian ini adalah penelitian sesungguhnya (True Experimental Research). Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Genengan Rt/Rw: 03/01 Glagahsari kecamatan Sukorejo Kabupaten Pasuruan dan diuji di Balitkabi Malang. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah desain factorial (factorial design) menggunakan dua faktor. Faktor pertama adalah jenis cairan rumen (R) yang terdiri dari cairan rumen sapi. Sedangkan faktor ke dua adalah konsentrasi cairan rumen (E) yang terdiri dari 10%, 20%, 30%, 40%, 50%. Penelitian ini diuji dengan menggunakan ANOVA satu arah. Penelitian dilakukan beberapa tahapan yaitu: Penelitian tahap I ini mengambil tanaman eceng gondok yang akan digunakan sebagai bahan organik, kemudian mencacah tanaman eceng gondok dan menjemur sampai kering. Setelah kering menimbang eceng gondok sampai 500 gr. Penelitian tahap II, mengambil cairan rumen sapi potong ditempat pemotongan hewan. Menyiapkan alat dan bahan yang digunakan sebagai starter, memeras cairan rumen sapi dengan menggunakan kain saring. Kemudian menganduk cairan rumen sapi potong dengan menambahkan gula merah sebagai nutrisi mikroorganisme untuk pertumbuhan. Menutup ember dengan menggunakan plastik dan diaklimasi selama 12 jam. Mengukur pH pada cairan rumen sapi yang sudah jadi. Penelitian tahap III yaitu pembuatan kompos dengan menggunakan metode keranjang takakakura, yang harus dilakukan yang pertama yaitu menyiapkan keranjang plastik berlubang sebanyak 24 keranjang. Memotong kardus sesuai dengan diameter sekeliling keranjang dan melapisi bagian bawah keranjang dengan menggunakan bantalan sekam, memasukkan semua bahan organik ke dalam keranjang yang sudah tercampur dengan tanah, menyemprotkan cairan rumen hingga merata, menutup keranjang dengan menggunakan bantalan sekam dan kain gelap agar tidak terrganggu serangga, meletakkan masing-masing perlakuan di tempat yang tidak terena cahaya dan mempunyai sirkualasi udara yang baik. Parameter yang diuji adalah kualitas fisik (warna dan suhu) dan kualitas kimia (pH dan rasio C/N). Selanjutnya hasil dari penelitian ini akan dikembangkan sebagai bahan ajar biologi berupa poster sebagai media pembelajaran siswa SMA kelas XII dalam materi bioteknologi salingtemas bidang pertanian. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi kualitas fisik (suhu dan warna) dan kualitas kimia (pH dan Rasio C/N). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap sampel pupuk kompos tanaman eceng gondok (Eichornia crasipes L.) diperoleh data sebagai berikut:

929

Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

a. Hasil Penelitian Kualitas Fisik Tabel 1.1 Data Hasil Pengamatan Parameter Perubahan Warna Pupuk Kompos

Tabel 1.2 Data Hasil Pengamatan Suhu Pupuk Kompos Eceng Gondok (Eichornia crasipes L.)

Tabel 1.4 Data Hasil Pengamatan Rasio C/N Pupuk Kompos Eceng Gondok (Eichornia crasipes L.)

b. Analisis Data Hasil Penelitian

930

Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

Tabel 1.8 Hasil Ringkasan Notasi Uji Duncan 5% Kualitas Suhu

Keterangan: - Perlakuan yang diikuti dengan notasi huruf yang sama, menunjukkan tidak beda nyata. - Perlakuan yang diikuti dengan notasi huruf yang berbeda, menunjukkan berbeda nyata Tabel 4.8 Hasil Notasi Uji Duncan 5% Kualitas pH Keterangan:

- Perlakuan yang diikuti dengan notasi huruf yang sama, menunjukkan tidak beda nyata. - Perlakuan yang diikuti dengan notasi huruf yang berbeda, menunjukkan berbeda nyata 931

Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

Penelitian Tahap III Hasil penelitian ini berkaitan dengan salah satu materi bioteknologi

Gambar 1.1 Desain Pengembangan Poster PEMBAHASAN Kualitas fisik Kompos 1. Warna kompos Berdasarkan tabel 1.1 pada pengamatan warna kompos, merupakan kualitas fisik, pengamatan warna kompos dilakukan selama proses fermentasi berlangsung. Warna kompos yang paling baik dan paling cepat waktunya terjadi pada perlakuan R 1E5U1 (50%) dan R4E4U4 (40%). Perlakuan ini telah menunjukkan warna coklat sampai hitam kecoklatan, bau seperti tanah dan strukturnya remah. Perlakuan ini terjadi pada hari ke-5. Sementara untuk perlakuan R3E3U3 (30%) mengalami perubahan warna coklat layu namun pada hari terakhir telah mengalami perubahan warna hitam coklat. Perbedaan struktur ini diduga karena beberapa hal diantaranya mikroba yang digunakan belum semuanya aktif, atau bahan organik yang memiliki kadar rasio C/N yang tinggi sehingga sulit untuk diuraikan. Oleh karena itu, bakteri yang bekerja dalam proses penguraian membutuhkan waktu yang lama. Hampir semua perlakuan telah mengalami perubahan yang signifikan selama proses fermentasi. Isroi (2007), menyebutkan bahwa warna kompos yang sudah matang adalah adalah coklat kehitaman. Apabila kompos masih berwarna hijau ataupun warnanya mirip dengan bahan mentahnya berarti kompos belum matang. Selama proses pengomposan padapermukaankompos seringkali juga terlihat misellium yang berwarna putih. Dalam pembuatan kompos dapat diperkaya dengan menggunakan tambahan cairan rumen sapi yang merupakan sumber unsur hara makro dan mikro lengkap. Proses pengomposan atau membuat kompos adalah proses biologis karena selama proses pengomposan tersebut dapat berlangsung, sejumlah jasad hidup yang disebut jasad mikroba akan hidup seperti bakteri dan jamur akan berperan aktif. 2. Suhu Kompos Salah satu kualitas fisik kompos adalah perubahan suhu. Suhu pupuk pada setiap perlakuan kompos mengalami peningkatan sehingga tertinggi. Suhu tertinggi pada hari pertama didapatkan pada perlakuan R1E5U1 dengan nilai suhu mencapai 34.10C pada konsentrasi 50%, hal ini dikarenakan terdapat air mineral yang dibutuhkan sangat cukup dan mikroba yang terkandung cukup stabil. Sesuai dengan hasil uji anova satu arah perubahan suhu pada hari pertama sampai dengan hari ke-11 mengalami keputusan tidak adanya pengaruh berbagai konsentrasi cairan rumen sapi potong terhadap kualitas suhu pupuk kompos. Hal ini terjadi karena perubahan suhu yang belum stabil. Namun pada hari 932

Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

15 sudah mengalami perubahan suhu yang signifikan sesuai dengan suhu lingkungan yaitu 300C. Yusriani (2012) menyatakan bahwa, setiap perlakuan pada saat proses pengomposan terjadi, setiap organisme yang bekerja pada saat pendegradasian bahan baku sangat membutuhkan kondisi yang dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer/mikroorganisme tersebut akan bekerja giat untuk mendegradasi bahan organik. Sedangkan apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai maka organisme tersebuat akan dorman, pindah ke tempat yang lain atau bahkan mati. Oleh karena itu, pada saat membuat kompos harus menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri. Berdasarkan suhu yang dihasilkan selama proses pengomposan, aktivitas suhu yang dihasilkan adalah panas. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses pengomposan. Hal ini semua tergantung pada tumpukan bahan baku. Temperatur suhu yang dibutuhkan berkisar antara 30-600C menunjukkan aktivitas mikroba secara cepat. Suhu yang tinggi diatas 600C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik yang dapat bertahan hidup. Peningkatan pada penelitian ini terjadi pada awal proses pengomposan hingga waktu sampai mencapai suhu tertinggi. Dalam penelitian ini didapatkan suhu awal setiap perlakuan berkisar antara 30,1-34,10C. Peningkatan suhu yang terjadi pada awal pengomposan ini, disebabkan karena panas yang dihasilkan pada saat perombakan bahan organik oleh mikroorganisme, pada tahap ini mikroorganime akan memperbanyak diri, sampai mencapai suhu yang stabil. Perlakuan suhu yang dihasilkan selama proses pengomposan, dapat diketahui bahwa jenis mikroba yang bekerja dalam penguraian pupuk kompos tanaman eceng gondok (Eichornia crasipes L.) adalah mikroba mesofilik karena mikroba jenis ini dapat hidup dibawah suhu 450C. Suhu rata-rata pupuk kompos yang telah matang akan semakin turun dan stabil, mendekati suhu kamar (27-300C). Suhu pada penelitian ini mengalami penurunan yang stabil yaitu mencapai rata-rata 300C. Kualitas Kimia Kompos 1. pH Kompos pH digunakan untuk mengevaluasi hasil metabolisme mikroorganisme di lingkungan. Berdasarkan grafik garis, secara keseluruhan pH pupuk kompos mengalami fluktuasi. Pola derajat keasaman (pH) setiap perlakuan baik kontrol maupun variasi berbagai konsentrasi cairan rumen sapi potong pada hari terakhir didapatkan nilai pH mencapai rata-rata 6-7. Uji kualitas kimia terutama pH dilakukan dengan cara mengambil bagian tanah lapisan dalam lalu dilarutkan dengan menggunakan air murni dalam wadah, biarkan tanahnya terendam didasar wadah sehingga airnya bening kembali. Setelah itu masukkan kertas lakmus ke dalam wadah tersebut kemudian mengamati dengan parameter kertas pH. Sesuai dengan uji anova satu arah pengaruh cairan rumen sapi potong terhaddap kualitas kompos eceng gondok (Eichornia crasipes L.) dapat dilihat pada tabel 1.3 bahwa diperoleh nilai signifikasi 0,000 < 0,05 dengan demikian H0 ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh berbagai konsentrasi cairan rumen sapi potong terhadap 933

Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

kualitas kompos eceng gondok. Hasil uji one way anova dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan didapatkan hasil perlakuan yang diikuti notasi huruf yang sama menyatakan bahwa perlakuan tidak beda nyata yang artinya setiap perlakuan terutama kualitas pH menunjukkan bahwa pH tidak ada perbedaan baik itu perlakuan kontrol maupun variasi konsentrasi cairan rumen sapi potong. Hal ini disebabkan karena penurunan suhu sejalan dengan penurunan pH. Penurunan pH mengindikasikan adanya peran bakteri terbentuk asam dan fungi yang menghasilkan panas akibat dekomposisi bahan organik komplek menjadi asam organik sederhana. Dalam proses pengomposan, pada tahap awal proses dekomposisi, akan terbentuk asam-asam organik. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan jamur dan mendekomposisi lignin dan selulosa pada bahan organik. Selama proses pengomposan asam-asam organik tersebut menjadi netral dan kompos akan menjadi matang. Semakin tinggi pH pada saat proses pengomposan maka semakin cepat proses penguraian bahan organik kompos. pH akan mendekati normal ketika proses penguraian selesai. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5-7,5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6,8-7,4. proses pengomposan akan menyebabkan terjadinya perubahan pada bahan ternak dan pHnya. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral (Isroi dkk, 2009). Dalam standar kualitas kompos, kompos mempunyai pH antara 6,80-7,49. pada penelitian ini pH yang dihasilkan menunjukkan kompos mempunyai pH yang netral seperti pada perlakuan R1E3U3 pH mencapai 7,48 memiliki pH tertinggi. Anif, dkk (2007) menyatakan kualitas kompos yang baik salah satunya ditunjukkan dengan pH yang normal karena dapat meningkatkan kualitas tanah karena derajat keasamannya sesuai dengan kebutuhan tanaman. 2. Rasio C/N Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat dan nitrogen kompos. prinsip dalam pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik agar dapat mendekati dengan rasio C/N tanah. Proses pembuatan kompos tergantung pada kerja mikroorganisme yang memerlukan sumber karbon untuk mendapatkan energi dan bahan sel-sel baru, bersama dengan pasokan nitrogen untuk protein sel. Nitrogen merupakan unsur hara paling penting. Perbandingan karbon dan nitrogen (C/N) berkisar antara 25-35: 1. Jika perbandingan jauh lebih tinggi, proses metabolisme membutuhkan waktu yang lama sebelum karbon dioksidasi menjadi karbon dioksida, sehingga jika perbandingan lebih kecil, maka nitrogen yang merupakan komponen penting pada kompos akan dibebaskan sebagai ammonia. Bahan baku dengan kadar C/N yang tinggi kemudian dengan proses fermentasi, terjadi penurunan jumlah C dalam bahan dan C/N menjadi semakin kecil oleh aktivitas mikroorganisme pengurai. Hal ini disebabkan karena proses fermentasi terjadi reaksi C menjadi CO2 dan CH4 yang berupa gas, kecepatan reaksi fermentasi terhadap penurunan rasio C/N dipengaruhi karena faktor cairan rumen sapi yang diberikan pada pupuk kompos. Rasio C/N yang rendah menunjukkan kandungan N yang lebih tinggi. Kelebihan nilai N ini biasanya akan dibuang dalam NH3, terutama bila pengomposan berada pada suhu tinggi. pH tinggi dan aerasi yang cukup, serta fosfor yang cukup pula. Djuarnani (2005), menyatakan bahwa proses pengomposan yang baik akan menghasilkan rasio C/N yang 934

Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

ideal sebesar 20 – 40, tetapi rasio paling baik adalah 30. Jika rasio C/N tinggi, aktivitas biologi mikroorganisme akan berkurang. Selain itu, diperlukan beberapa siklus mikroorganisme untuk menyelesaikan degradasi bahan kompos yang dihasilkan akan memiliki mutu rendah. Selain masalah nisbah C/N, kualitas kompos yang dihasilkan sangat tergantung pada bahan organik yang digunakan dan cara pengomposannya. Teknik pengomposan dan jumlah bahan yang berbeda akan membutuhkan waktu yang berbeda dan mendapatkan nilai rasio C/N rasio yang berbeda pula. Rasio C/N yang tinggi juga dapat dipengaruhi oleh bahan organik yang digunakan sebagai pengomposan. Ismayana (2012), menyatakan bahwa pada kompos yang memiliki kandungan rasio C/N yang rendah akan banyak mengandung amoniak (NH3) yang dihasilkan oleh bakteri amoniak. Senyawa ini dapat dioksidasi lebih lanjut menjadi nitrit dan nirat yang mudah diserap oleh tanaman. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai studi pemanfaatan cairan rumen sapi potong sebagai bioaktivator terhadap kualitas kompos eceng gondok (Eichornia crasipes L.), maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsentrasi cairan rumen sapi potong yang paling efektif terhadap kualitas kompos eceng gondok (Eichornia crasipes L.) adalah perlakuan dengan konsentrasi 40% yaitu suhu 30,47, pH 6,76, rasio C/N 14,55 yang stabil dan berwarna hitam kecoklatan. Semakin tinggi konsentrasi cairan rumen sapi yang diberikan semakin tinggi pula kualitas kompos yang dihasilkan. 2. Hasil penelitian pengaruh cairan rumen sapi potong terhadap kualitas kompos eceng gondok (Eichornia crasipes L.) dapat dijadikan sebagai bahan ajar SMA kelas XII dalam bidang bioteknologi terutama dalam bidang pertanian. Saran 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait dengan:  Mengaplikasikan pupuk kompos eceng gondok (Eichornia crasipes L.) pada tanaman.  Membuat dan menganalisis pupuk kompos dengan menggunakan bahan organik yang lain dalam bentuk pupuk cair dan cairan rumen hewan lain.  Menganalisis hasil fermentasi pupuk kompos eceng gondok (Eichornia crasipes L.) dalam bentuk cair sehingga dapat diketahui perbedaan kualitasnya (kandungan N, C, P, K, dan rasio C/N).  Sebaiknya wadah untuk mensterilisasikan cairan rumen sapi potong harus diperperhatikan dengan baik dan benar. DAFTAR PUSTAKA Anif Sofyan, Rahayu Triastuti, Faatih Mukhlissul. 2007. Pemanfaatan Limbah Tomat Sebagai Pengganti EM4 Pada Proses Pengomposan Sampah Organik. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. No 2 Vol 8 (2007): 119-143 Djurnani N, Kristian dan Setiawan. 2008. Cara Cepat Membuat Kompos. Yogyakarta. Argo Media Indriani dan Yovita Heti. 2011. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya 935

Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016

Isroi. 2008. Pengomposan. Fakultas Teknologi Pertanian. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press Ismayani, A, Indrasti S.N, Suprihatin, Maddu A, Freedy A. (2012). Faktor rasio C/N awal dan laju aerasi pada proses co-composting bagasse dan blontong. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 22 (3): 173-179 Munawaroh, I. 2008. Pengembangan Bahan Pembelajaran Sederhana dan Grafis. Departemen Pendidikan Nasional Silabus SMA. 2013. Silabus SMA Kelas XII Kurikulum 2013 Suwahyono. 2015. Cara Cepat Membuat Kompos Dari Limbah. Jakarta: Penebar Swadaya Yusriani L M, Gamayanti K N, Pertiwiningrum A. 2012. Pengaruh Penggunaan Limbah Cairan Rumen dan Lumpur Gambut Sebagai Starter Dalam Proses Fermentasi Metanogenik. Bulletin Peternakan Vol. 36 (1): 32-39, Februari 2012 ISSN 01264400. Yonathan A, Praseyta A.R, Pramudono B. 2012. Produksi Biogas Dari Eceng Gondok (Eichornia crasipes L.): Kajian Konsistensi dan pH Terhadap Biogas Dihasilkan. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 1, No. 1, Tahun 2012, Halaman xx-xx. (Online). (http://ejournal-s1.undip.ac.id/indekx.php/jtki) (Diakses tanggal 20 Mei 2015)

936