ABSTRAK SAFINAH, Optimasi Separasi dan Purifikasi Senyawa Antibiotika yang Dihasilkan Oleh Aktinomiset Endofit. Di bawah bimbingan ANIS HERLIYATI MAHSUNAH dan SITI NURBAYTI. Optimasi separasi dan purifikasi antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit dilakukan dengan menggunakan beberapa variasi sampel dan pelarut ekstraksi. Isolat aktinomiset yang digunakan yaitu aktinomiset endofit BioMCC AE00048a. Proses optimasi separasi antibiotika dari aktinomiset dilakukan pada sampel berupa broth fermentasi (panen awal fermentasi), biomassa, dan supernatan hasil fermentasi melalui beberapa tahapan proses yaitu ekstraksi, sentrifugasi, sonikasi, filtrasi dan evaporasi. Pelarut ekstraksi yang digunakan yaitu n-butanol, etil asetat, dan n-heksana. Uji bioaktivitas antibiotika dilakukan dengan menggunakan metode agar cakram kertas (Paper Disc Method). Proses purifikasi dilakukan dengan teknik kromatografi kolom, analisa kemurnian dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) serta Fourier Transform Infra Red (FTIR). Hasil ekstraksi menunjukkan senyawa aktif antibiotika berada di dalam sel (intrasel) dengan pelarut optimal berupa etil asetat, diameter zona bening terbesar 13,32 mm pada B. subtilis. Dari hasil purifikasi diketahui bahwa senyawa aktif antibiotika berada pada fraksi etil asetat dalam bentuk kristal putih dan fraksi campuran etil asetat dan metanol. Berdasarkan waktu retensi dan spektra serapan UV-nya diketahui bahwa senyawa dari kedua faksi tersebut adalah sama. Persen kemurnian senyawa antibiotika yang didapatkan sebesar 75,35%. Hasil analisa FTIR diketahui bahwa senyawa aktif antibiotika tersebut merupakan senyawa alifatik yang memiliki gugus fungsi –OH.
Kata Kunci: Senyawa antibiotika, Aktinomiset, Optimasi separasi, Purifikasi
vi
ABSTRACT SAFINAH, The optimation of Separation and Purification Antibiotic Compounds from Endofit Actinomycete. Supervisor ANIS HERLIYATI MAHSUNAH and SITI NURBAYTI. Research about optimation of separation and purification antibiotic compounds from endofit actinomycete had been carried out using several samples and solvents. This research was used endofit actinomycete BioMCC 00048a isolate. The optimation of separation antibiotic compounds by used broth fermentation, biomass, and supernatan. The antibiotic compounds had been resulted by extraction, centrifugation, sonication, filtration and evaporation. Nbuthanol, ethyl acetate, and n-hexane were used as extraction solvents. Bioactivity of antibiotic compounds was tested with paper disc method. The antibiotic compounds was purified with column chromatography, then analyzed with thin layer chromatography (TLC), high performance liquid chromatography (HPLC) and fourier transform infra red (FTIR). Extraction results were showed antibiotic active compounds are intracelluler with the best solvent is ethyl acetate. Purification result was showed antibiotic active compound as a white crystal from ethyl acetate fraction and mixture ethyl acetate and methanol fraction. These studies demonstrate that retention time and UV spectra from both ethyl acetate and mixture ethyl acetate and methanol fraction are same. The purify antibiotic compound yield 75,35%. Analyzing result of FTIR was showed antibiotic active compound is alifatic compound that has hydroxy group (-OH). Keywords: Antibiotic compounds, Endofit actinomycete, The optimation of separation and purification
vii
KATA PENGANTAR Asalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puja, puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah,
barokah
dan
nikmat-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan Laporan Hasil Penelitian ini, yang diberi judul ”Optimasi separasi dan Purifikasi Senyawa Antibiotika yang Dihasilkan oleh Aktinomiset Endofit”. Shalawat serta salam selalu tercurah keharibaan junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw. yang dengan ikhlas menyampaikan risalah-Nya dan tak pernah lelah berjuang di jalan Allah, sehingga kita sebagai umatnya dapat menikmati manisnya Iman dan Islam hingga saat ini. Selesainya pembuatan Laporan Hasil Penelitian ini tak lepas berkat dukungan, sokongan dan bantuan baik materil maupun spirituil dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kaih yang tak terhingga kepada : 1. Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, DR. Sopyansyah Jaya Putra, M.Sis. 2. Ibu Dr. Rer. nat Anis Herliyati Mahsunah, M.Sc. sebagai Pembimbing I yang dengan sabar dan ikhlas membantu penulis selama berlangsungnya penelitian. 3. Ibu Siti Nurbayti, M.Si. sebagai Pembimbing II yang turut membantu dalam penyelesaian laporan penelitian ini. 4. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Furqon dan Ibunda Sumiyati yang telah banyak berkorban demi kesuksesan penulis. 5. Saudara-saudaraku tersayang yang selalu mendampingi penulis dalam mencapai suatu kesuksesan. 6. Sahabat-sahabat Kimia 2004 tersayang, yang bersama-sama penulis berjuang untuk mencapai kesuksesan. 7. Pak Fauzan, Pak Aa, Kak Ummu, Mba Dian, Mba Nia, Pak Ujang, Pak Rudi dan para pegawai BPPT-Biotek serta Mercian yang selalu membantu selama berlangsungnya penelitian.
viii
Laporan hasil penelitian ini merupakan hasil karya maksimal yang dapat penulis berikan, meskipun penulis tahu bahwa laporan hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, tetapi dengan ketidaksempurnaan ini, penulis berharap laporan hasil penelitian ini sedikitnya dapat bermanfaat bagi penulis dan sahabatsahabat Kimia di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam pengembangan dunia Farmasi terutama mengenai antibiotika. Wasalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Desember 2008
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK………………………………………………………...
vi
ABSTRACT……………………………………………………….
vii
KATA PENGANTAR…………………………………………….
viii
DAFTAR ISI………………………………………………………
x
DAFTAR TABEL…………………………………………………
xii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………
xiii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………....
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang……………………………………….
1
1.2.
Perumusan Masalah…………………………………..
3
1.3.
Tujuan Penelitian……………………………………..
3
1.4.
Hipotesis……………………………………………...
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Aktinomiset...………………………………………...
5
2.2.
Tumbuhan Krokot……………………………………
6
2.3.
Antibiotika……………………………………………
7
2.4.
Pelarut Ekstraksi……………………………………...
15
2.5.
Mikroorganisme uji…………………………………..
18
2.6.
Separasi Antibiotika………………………………….
24
2.7.
Isolasi dan Purifikasi…………………………………
25
2.8.
Kromatografi Lapis Tipis…………………………….
28
2.9.
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) .
34
2.10.
Fourier Transform Infra Red (FTIR) ……………….
38
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian………………………..
40
3.2.
Alat dan Bahan……………………………………….
40
3.3.
Prosedur Kerja……………………………………….
41
x
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Optimasi Separasi Senyawa Aktif Aktinomiset….…..
57
4.2.
Variasi Pelarut dan Perlakuan pada Sampel………….
60
4.3.
Pengaruh Penambahan Pelarut pada Sampel Biomassa……………………………………………..
63
4.4.
Purifikasi Ekstrak Hasil Fermentasi Aktinomiset……
65
4.5.
Uji Bioautografi………………………………………
67
4.6.
68
4.7.
Analisa High Performance Liquid Chromatography (HPLC)………………………………………………. Analisa Fourier Transform Infra Red (FTIR)………..
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan…………………………………………...
72
5.2.
Saran………………………………………………….
72
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..
73
LAMPIRAN ………………………………………………………
76
xi
71
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
Karakterisasi etil asetat…………………………………...
16
Tabel 2
Karakterisasi n-Butanol…………………………………..
17
Tabel 3
Karakterisasi n-Heksana………………………………….
17
Tabel 4
Beberapa frekuensi gugus infra merah (IR)……………...
39
Tabel 5
Bobot ekstrak aktinomiset pada tahap optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset……………………………......
57
Tabel 6
Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset…………….
59
Tabel 7
Bobot ekstrak aktinomiset pada tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel…………..……………………….
61
Tabel 8
Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel……………….
62
Tabel 9
Bobot ekstrak aktinomiset pada tahap pengaruh penambahan pelarut pada sampel biomassa……………...
63
Tabel 10
Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap pengaruh penambahan pelarut pada sampel biomassa...…
64
Tabel 11
Bobot ekstrak aktinomiset setelah difraksinasi dalam kolom kromatografi………………………………………
66
Tabel 12
Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset yang telah difraksinasi kolom………………………………………..
66
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Bakteri A. israelii….…………………………………
5
Gambar 2
Tumbuhan Portulaca oleracea L………….………...
7
Gambar 3
Sel A. niger…………………………………………..
18
Gambar 4
Sel B. subtilis………………………………………...
19
Gambar 5
Hifa Candida albicans……………………………….
20
Gambar 6
Sel Escherichia coli………………………………….
21
Gambar 7
Sel Pseudomonas aeruginosa………………………..
22
Gambar 8
Sel Staphylococcus aureus…………………………..
23
Gambar 9
Permukaan gel silika…………………………………
29
Gambar 10
Kromatografi Lapis Tipis……………………………
30
Gambar 11
Lempengan setelah pelarut bergerak setengan dari lempengan……………………………………………
31
Gambar 12
Kromatogram dengan sinar UV……………………...
32
Gambar 13
Kromatogram dengan pereaksi ninhidrin……………
32
Gambar 14
Pengukuran R f…………………………………….....
33
Gambar 15
Diagram alir HPLC………………………………….
35
Gambar 16
Pendeteksian langsung senyawa organik…………....
36
Gambar 17
Puncak senyawa X…………………………………..
37
Gambar 18
Puncak senyawa X pada konsentrasi rendah………..
37
Gambar 19
Puncak serapan senyawa X dan Y dalam campuran...
38
Gambar 20
Diagram alir optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset…………………………………………..
44
Gambar 21
Diagram alir variasi perlakuan sampel…………...….
46
Gambar 22
Diagram alir variasi perbandingan air pada sampel…
47
Gambar 23
Diagram alir purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset….………………………………………..
49
Gambar 24
Pola kromatogram ekstrak aktinomiset dalam eluen n-Butanol p.a………………………………………...
65
xiii
Gambar 25
Uji Bioautografi……………………………………...
67
Gambar 25
Spektra HPLC fraksi etil asetat……………………...
68
Gambar 26
Spektra UV fraksi etil asetat…………………………
69
Gambar 27
Spektra HPLC fraksi etil asetat : metanol……….......
70
Gambar 28
Spektra UV fraksi etil asetat : metanol………………
70
Gambar 29
Hasil uji FTIR ekstrak aktinomiset hasil fraksinasi kolom………………………………..……………….
71
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Bobot ekstrak aktinomiset tahap optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset…..………………………...
76
2
Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset.............................................
77
3
Bobot ekstrak aktinomiset tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel..................................................
80
4
Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel..................................................
82
5
Bobot ekstrak aktinomiset tahap pengaruh penambahan pelarut pada sampel biomassa..................
84
6
Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap pengaruh penambahan pelarut pada sampel biomassa.......................................
84
7
Bobot biomassa aktinomiset tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset..........................................
86
8
Bobot ekstrak aktinomiset tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset..........................................
86
9
Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset...................................................
87
10 Gambar-gambar Peralatan.............................................
88
11 Data Percobaan………………………………………..
89
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Zahner dan Mass (1972) mendefinisikan antibiotika sebagai substansi
yang dihasilkan oleh organisme hidup yang dalam konsentrasi rendah dapat menghambat atau membunuh organisme lainnya. Antibiotika mempunyai nilai ekonomi tinggi terutama di bidang kesehatan karena kegunaannya dalam mengobati berbagai penyakit infeksi. Antibiotika dapat dihasilkan oleh alga, lichen, tumbuhan tingkat tinggi, hewan tingkat rendah, vertebrata, dan mikroorganisme. Saat ini sumber yang sedang dikembangkan karena banyak menghasilkan antibiotika adalah yang berasal dari mikroorganisme, yaitu bakteri dari kelompok aktinomiset. Streptomyces, misalnya, merupakan genus bakteri dari kelompok ini yang terbukti mampu menghasilkan bermacam-macam antibiotika. Pada akhir 1972-an, bakteri dari genus Streptomyces ini telah menghasilkan 2.078 jenis antibiotik (Haslm, 2007). Sekalipun telah banyak menghasilkan antibiotika, eksplorasi terhadap aktinomiset terutama pada genus Streptomyces untuk mencari spesies-spesies baru guna memperoleh antibiotika baru tetap dilakukan. Eksplorasi untuk menemukan jenis antibiotika baru terus dilakukan karena ada faktor resistensi mikroba terhadap antibiotika yang telah ada. Sebagai contoh resistensi terhadap penicillin pada suatu organisme dapat disebabkan oleh produksi penicillinase, suatu enzim yang menginaktifkan penicillin (Pelczar & Chan, 2005).
Beberapa jenis antibiotika baru yang ditemukan dihasilkan oleh bakteri endofit. Bakteri endofit merupakan istilah yang digunakan untuk bakteri yang terdapat dalam suatu jaringan bagian dalam tumbuhan (Nawangsih, 2007). Banyak bangsa kuno seperti orang Mesir kuno, dan orang Yunani kuno sudah menggunakan jamur dan tanaman untuk mengobati infeksi (Pelczar & Chan, 2005). Belum lama ini ditemukan adanya bakteri yang hidup di dalam jaringan bagian dalam tanaman tersebut dan setelah diteliti ternyata bakteri tersebut menghasilkan senyawa antibiotika bahkan beberapa menghasilkan senyawa lain yang sama dengan tanaman tersebut. Oleh karena itu, para ilmuwan lebih memilih mengembangbiakan bakteri endofit untuk menghasilkan antibiotika dalam jumlah besar dibanding menanam dan merawat tanaman penghasil senyawa antibiotika yang serupa. Metode agar cakram kertas (Paper Disc Method) merupakan salah satu cara untuk menguji kesanggupan antibakteri dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme hidup. Mikroorganisme uji yang dipergunakan adalah Bacillus subtilis (B. subtilis), Staphylococcus aureus (S. aureus), Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) dan Escherichia coli (E. coli) (Haslm, 2007). Purifikasi dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi kolom, serta analisa kemurnian dengan uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT), High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Fourier Transform Infrared (FTIR).
1.2.
Perumusan Masalah Pada awal tahun 2007 BPPT-Biotek telah melakukan analisa pendahuluan
mengenai aktivitas senyawa metabolit sekunder aktinomiset dari berbagai kultur seperti tanah humus, daun, bahkan batang tanaman, yang memiliki kemampuan sebagai antibiotika, salah satunya yang diuji dalam penelitian ini adalah isolat aktinomiset endofit BioMCC AE00048a yang didapatkan dari daun tumbuhan Krokot (Portulaca) dari Lampung. Hal ini disebabkan karena salah satu spesiesnya yaitu Portulaca oleracea dikenal sebagai tanaman purslane yang dapat dimakan
sebagai
salad
karena
mengandung
nutrisi
bioprotektif
seperti
antioksidan, vitamin dan asam amino (Spieler, 2006). Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit dari daun tumbuhan Krokot telah diketahui memiliki kemampuan sebagai antibiotika (antibakteri), namun senyawa tersebut belum diketahui jenis pelarut optimal dan keberadaannya di dalam sel (intrasel) ataukah di luar sel (ekstrasel). Selain itu belum diketahui pula persentase kemurnian hasil kromatografi kolom dan gugusgugus fungsional yang terdapat dalam senyawa aktif antibiotika tersebut.
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian mengenai "Optimasi Separasi
Senyawa Antibiotika yang Dihasilkan oleh Aktinomiset Endofit" yaitu : a. Mengetahui pelarut optimal senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset. b. Mengetahui keberadaan senyawa aktif antibiotika yang berasal dari hasil fermentasi aktinomiset.
c. Mengetahui persentase kemurnian senyawa aktif antibiotika hasil kromatografi kolom. d. Mengetahui gugus-gugus fungsional yang terdapat pada senyawa aktif antibiotika hasil fermentasi aktinomiset.
1.4.
Hipotesis Senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit dapat berupa
senyawa di dalam sel (intrasel) atau di luar sel (ekstra sel), sehingga dalam penelitian ini dilakukan pemisahan antara supernatan dan biomassa. Jika senyawa aktif tersebut terdapat di biomassa maka dapat dikatakan senyawa antibiotika berada di dalam sel (intrasel), namun jika senyawa aktif terdapat di supernatan maka senyawa tersebut berada di luar sel (ekstrasel). Senyawa antibiotika tersebut dapat berupa senyawa non polar, semipolar hingga polar, sehingga dilakukan optimasi ekstraksi dengan menggunakan tiga macam pelarut ekstraksi yang mewakili ketiga jenis polaritas tersebut yaitu n-butanol mewakili pelarut polar, etil asetat mewakili pelarut semipolar dan n-heksana yang mewakili pelarut non polar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aktinomiset Aktinomiset adalah kelompok ke-17 dari bakteri yang diakui dalam edisi mutakhir Bergey’s Manual (Pelczar & Chan, 2005) termasuk domain bakteri. Semua aktinomiset adalah gram positif dan mereka bisa bersifat anaerobik atau anaerobik fakultatif. Spesies aktinomiset dapat membentuk spora, dan ketika berada dalam bentuk bakteri tunggal berbentuk batang. Secara morfologi koloni aktinomiset berbentuk seperti fungi dengan adanya jaringan hifa yang bercabang (Holt, 1994). Gambar 1. Bakteri A. israelii Klasifikasi Actinomyces (Prescott, et. al., 2002) :
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Actinomy cete
Domain : Phylum : Sub class : Ordo : Sub ordo : Familia : Genus : Species :
Bacteria Actinobacteria Actinobacteridae Actinomycetales Actinomycineae Actinomycetaceae Actinomyces A. israelii
Banyak spesies aktinomiset bersifat patogen pada manusia dan mamalia lainnya, khususnya pada rongga mulut. Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, bakteri ini dapat menyebabkan aktinomikosis, suatu penyakit khusus dengan terbentuknya bengkak dalam mulut, paru-paru dan saluran gastrointestinal. Namun, aktinomiset juga memiliki peran penting dalam ekologi tanah dengan
menghasilkan sejumlah enzim yang dapat membantu mendegradasi material organik tanaman, lignin dan kitin, dalam pembentukan kompos (Stackebrandt, et. al., 1997). Ada beberapa spesies aktinomiset yang dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa antibiotika dan sampai saat ini penelitian mengenai hal tersebut masih dilakukan. Isolat aktinomiset yang digunakan dalam penelitian ini merupakan isolat aktinomiset endofit BioMCC AE00048a dari daun tumbuhan krokot yang berasal dari Lampung.
2.2.
Tumbuhan Krokot Portulaca (nama daerah: Krokot) adalah genus dari tanaman dari suku
Portulacaceae dengan tinggi dapat mencapai 40 cm. Terdapat sekitar 40-100 spesies yang ditemukan di daerah tropis dan daerah bermusim empat. Portulaca perama kali diidentifikasi di Massachusetts, USA tahun 1672. Salah satu spesiesnya yaitu Portulaca oleracea dikenal sebagai tanaman purslane yang dapat dimakan
sebagai
salad
karena
mengandung
nutrisi
bioprotektif
seperti
antioksidan, vitamin dan asam amino. Di beberapa daerah Portulaca dikenal sebagai tanaman hama. Beberapa spesies Portulaca juga menjadi makanan bagi ulat ngengat dan kupu-kupu (Spieler, 2006).
2
Klasifikasi Ilmiah (Tjitrosoepomo, 2002) :
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Portulaca_ oleracea Gambar
2.
Kingdom: Divisio: Sub division : Class: Sub class : Ordo: Familia: Genus: Species :
Plantae Spermatophyta Angiospermae Dicotyledoneae Monochlamydeae Caryophyllales Portulacaceae Portulaca L. P. oleracea
Tumbuhan Portulaca oleracea L.
2.3. Antibiotika Antibiotika merupakan zat kemoterapeutik yang menghambat atau meniadakan pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri, fungi atau protozoa. Istilah asli antibiotika berarti suatu zat dengan aktivitas biologi membasmi organisme hidup; tetapi antibiotika sekarang digunakan untuk suatu zat dengan aktivitas antibakteri, antifungi atau antiparasit. Secara luas senyawa antibiotika pertama kali digunakan untuk pengobatan modern di mana antibiotika diproduksi dan diisolasi dari organisme hidup, seperti kelas penicillin dihasilkan dari fungi genus Penicillium, atau streptomycin dari bakteri genus Streptomyces. Seiring perkembangan kimia organik, sekarang banyak antibiotika juga diperoleh dari sintesis kimia, seperti obat-obatan sulfa (Sjachri, 1992). Tidak seperti
pengobatan untuk infeksi sebelumnya
yang sering
menggunakan senyawa kimia seperti strychnine dan arsenik, dengan tingkat toksisitas tinggi juga dapat membunuh mamalia, antibiotika dari mikroba tidak
3
memiliki efek samping dan aktivitas terhadap sasaran sangat tinggi. Kebanyakan antibiotika anti bakterial tidak memiliki aktivitas membasmi virus, fungi, atau mikroba lainnya. Antibiotika anti bakterial dapat dikelompokkan berdasarkan spesifikasi sasaran mereka: antibiotika ”narrow-spectrum” dengan sasaran jenis bakteri tertentu, seperti bakteri gram positif dan gram negatif, sedang antibiotika ”broad-spectrum” berpengaruh terhadap sejumlah besar bakteri (Hussar & Holley, 1954).
2.3.1. Definisi Antibiotika Antibiotika, pada dasarnya adalah suatu produk mikrobial yang dalam konsentrasi rendah dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme. Sekarang ini antibiotika umumnya digunakan untuk semua senyawa antimikrobial alami, semi sintetik dan sintetik yang efektif pada konsentrasi rendah (Singleton & Sainsbury, 1987). Definisi yang sama juga disampaikan oleh Pelczar & Chan (2005) yang menyatakan bahwa antibiotika merupakan produk metabolik yang dihasilkan suatu organisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain. Dengan kata lain antibiotika merupakan zat kimia
yang
dihasilkan
oleh
suatu
mikroorganisme
yang
menghambat
mikroorganisme lain.
4
2.3.2. Sejarah Antibiotika Walaupun senyawa antibiotika dapat mengobati penyakit manusia yang disebabkan oleh bakteri seperti tuberkulosis, pes dan kusta, tetapi antibiotika tidak diisolasi dan diidentifikasi sampai abad ke-20. Penggunaan antibiotika pertama yang diketahui, dilakukan oleh orang Cina kuno lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Banyak bangsa kuno lainnya seperti orang Mesir kuno sudah menggunakan jamur dan tanaman untuk mengobati infeksi. Kedua organisme ini memproduksi zat antibiotika, fenomena ini dikenal dengan antibiosis (Pelczar & Chan, 2005). Antibiosis adalah proses penghambatan pertumbuhan suatu organisme oleh organisme yang lain (Hussar & Holley, 1954). Antibiosis pertama kali dijelaskan dalam bakteri pada tahun 1877 ketika Louis Pasteur dan Robert Koch mengamati bahwa Bacillus yang ada di udara mampu menghambat pertumbuhan Bacillus anthracis. Sifat antibiotika Penicillium sp. pertama kali digambarkan di Perancis oleh Ernest Duchesne pada tahun 1897, tetapi pekerjaannya ini tidak tercatat dalam komunitas ilmuwan. Penelitian modern terhadap terapi antibiotika dimulai di Jerman dengan perkembangan antibiotika narrow spectrum, salvarsan, oleh Paul Ehrlich pada tahun 1909, untuk mengatasi masalah syphilis yang menyebar luas. Salvarsan juga efektif membasmi infeksi spirochaetal lainnya, namun salvarsan tidak terlalu lama digunakan dalam pengobatan modern, karena telah terjadi resistensi terhadap antibiotika tersebut. Setelah itu antibiotika berkembang di Inggris seiring ditemukannya kembali Penicillin oleh Alexander Fleming pada tahun 1928. Rene Dubos pada tahun 1939 mengisolasi gramicidin, salah satu antibiotika pertama
5
yang digunakan secara komersial selama Perang Dunia kedua membuktikan keefektifan yang tinggi dalam mengobati luka dan bisul. Lebih dari sepuluh tahun kemudian, Ernest Chain dan Howard Florey tertarik dengan pekerjaan yang berkaitan dengan antibiotika dan berhasil memurnikan penicillin (Van Epps, 2006). Menurut Husein (1982) zat antibiotika kemoterapeutik yang ideal memiliki sifat-sifat sebagai berikut : a. Mempunyai kemampuan untuk merusak atau menghambat mikroorganisme patogen spesifik.
Makin besar jumlah macam mikroorganisme
yang
dipengaruhi, makin baik. Antibiotika berspektrum luas efektif terhadap banyak spesies. b. Tidak mengakibatkan berkembangnya bentuk-bentuk resisten parasit. c. Tidak menimbulkan efek sampingan yang tidak dikehendaki pada inang, seperti reaksi alergi, kerusakan syaraf, iritasi pada ginjal atau saluran gastrointestin. d. Tidak melenyapkan flora mikroba normal pada inang. e. Harus dapat diberikan melalui mulut tanpa diinaktifkan oleh asam lambung atau melalui suntikan (parenteral) tanpa terjadi pengikatan dengan protein darah. f. Memiliki taraf kelarutan yang tinggi dalam zat alir tubuh. g. Konsentrasi antibiotika dalam jaringan atau darah harus dapat mencapai taraf cukup tinggi sehingga mampu menghambat atau mematikan penyebab infeksi (Pelczar & Chan, 2005).
6
2.3.3. Pengelompokan Antibiotika Antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset secara garis besar terbagi menjadi tiga golongan (Madigan, et. al., 2003), yaitu : a. Golongan aminoglikosida. Golongan ini dinamakan aminoglikosida karena strukturnya mengandung amino dan glikosida. Paling sedikit golongan ini mempunyai satu aminoheksosa dan mempunyai pentosa pada gugus aminonya. Aminoglikosida bekerja secara langsung pada ribosom bakteri dan akan menghambat sintesa protein sehingga mengganggu translasi pesan genetik bakteri tersebut. Contoh-contoh antibiotika pada golongan ini adalah streptomisin, neomisin, peromomisin, kanamisin, gentamisin, dan tobramisin. b. Golongan makrolida. Struktur golongan ini terdiri atas cincin lakton yang besar dinamakan makrolid, gugus keton, dan glikosida. Cara kerja golongan makrolid antara lain dengan menghambat sintesis protein. Contoh-contoh antibiotika pada golongan ini antara lain pikromisin, eritromisin, karbomisin, oleandomisin, spiramisin, josamisin, dan tilosin. c. Golongan obat antitumor. Beberapa obat bioaktif yang dihasilkan oleh aktinomiset dapat digunakan untuk kemoterapi kanker. Obat ini umumnya bersifat sitotoksik dengan mengganggu fungsi DNA (contoh: actinomycin D dan anthracyclines) atau cross linking agents (mitomycin C), menyebabkan pecahnya ikatan rantai DNA (bleomycin, streptonigrin), atau interaksi dengan DNA (mithramycin, chromomycin, olivomycin).
7
2.3.4. Cara Kerja Antibiotika Keefektifan suatu antibiotika bermacam-macam tergantung pada lokasi infeksi, kemampuan antibiotika untuk mencapai lokasi infeksi, dan kemampuan mikroba untuk menginaktifkan atau mengekskresikan antibiotika. Beberapa antibiotika dapat berupa bakteriostatik, menghambat pertumbuhan dan reproduksi, bakterisidal, bertindak membunuh organisme, atau bakteriolitik (Madigan, et. al., 2003). Perbedaan ini sebenarnya tidak pasti, tetapi pada derajat tertentu berkaitan dengan dosis. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi cara kerja antibiotika (Prescott, et. al., 2002), sebagai berikut : a. Kondisi organisme memainkan peran utama, karena metabolisme sel tertinggi yaitu pada tahap pertumbuhan dan penggandaan, dengan demikian keefektifan antibiotika lebih besar dalam membasmi populasi bakteri yang memiliki pertumbuhan dan penggandaan yang cepat dibanding bakteri pada keadaan stabil. b.
Jumlah organisme yang tersedia. Kemungkinan menemukan galur atau sel bakteri tunggal yang mampu resisten atau bahkan merusak beberapa antibiotika meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah organisme dalam populasi.
c. Sifat kimia dan fisika alami dari lingkungan organisme. d. Konsentrasi antibiotika dalam lingkungan organisme. e. Daya tahan antimikrobial dari organisme inang.
8
Secara
umum,
antibiotika
bekerja
dengan cara
merubah
proses
metabolisme utama organisme dengan mengganggu beberapa sistem enzim spesifik atau dengan memanfaatkan metabolit tertentu. Penicillin mengganggu sel bakteri dalam penangkapan asam glutamat dan nutrien lainnya dari lingkungan. Streptomycin
mengganggu
siklus
Krebs
dari
metabolisme
karbohidrat.
Aureomycin dan terramycin telah dipastikan dapat menekan fosforilasi dalam sel bakteri, sedang chloramphenicol dapat mencegah sintesis dan pemecahan asam lemak dengan mengganggu aktivitas lipase. Bacitracyn bertindak hampir sama dengan penicillin, dan polymyxin menghancurkan integritas sel bakteri.
2.3.5. Resistensi Terhadap Antibiotika Ketika zat-zat kemoterapeutik seperti sulfonamida dan antibiotika pertama kali digunakan, terbentuknya resistensi pada bakteri jarang terjadi. Resistensi merupakan masalah baru setelah pemakaian antibiotika secara luas menuntun ke arah pelenyapan organisme-organisme yang rentan dari populasi, sementara jumlah organisme yang resisten dapat bertambah dengan bebasnya. Munculnya organisme resisten awalnya diperkirakan akibat terjadinya perubahan dalam satu gen bakteri yang menjadikan bakteri tersebut resisten. Penjelasan lain mengenai terbentuknya resistensi, setidak-tidaknya pada beberapa bakteri gram negatif mempunyai gen khusus yang berfungsi melindungi bakteri tersebut dari pengaruh bakterisidal suatu obat atau antibiotika. Misalnya, gen semacam itulah yang menghasilkan penicillinase pada Staphylococcus yang resisten terhadap penicillin. Beberapa individu dalam suatu spesies bakteri membawa gen resisten sewaktu terjadi infeksi, kemudian memperbanyak diri,
9
sedangkan galur-galur yang sensitif terhambat atau mati. Gen resisten ini dapat pula dipindahsebarkan melalui konjugasi, transformasi atau transduksi dari bakteri lain selama berlangsungnya pengobatan dengan antibiotik (Pelczar & Chan, 2005). Terbentuknya resistensi dapat dikurangi dengan berbagai cara (Pelczar & Chan, 2005), di antaranya : a. Menghentikan penggunaan antibiotika pada infeksi biasa atau sebagai obat luar. b. Menggunakan antibiotika yang sesuai dengan dosis yang tepat pula agar infeksi cepat sembuh. c. Menggunakan kombinasi antibiotika yang telah terbukti keefektifannya, dan d. Menggunakan antibiotika yang lain bila ada tanda-tanda bahwa suatu organisme akan menjadi resisten terhadap antibiotika yang digunakan semula.
2.3.6. Uji Kerentanan Kerentanan
suatu
mikroorganisme
terhadap
antibiotika
dan
zat
kemoterapeutik lain dapat ditentukan dengan teknik pengenceran tabung (tube dilution) atau teknik cawan cakram kertas (paper disc plate). Teknik pengenceran tabung menetapkan jumlah terkecil zat kemoterapeutik yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan organisme in vitro. Jumlah tersebut sebagai KHM (Konsentrasi Hambatan Minimum atau minimal inhibitory concentration) (Pelczar & Chan, 2005).
10
Metode agar cakram kertas merupakan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Metode agar cakram kertas menggunakan cakram-cakram kertas kecil yang diresapi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset dari beberapa pelarut ekstraksi yang berbeda-beda dalam konsentrasi tertentu, diletakkan pada permukaan agar yang telah diinokulasi. Setelah inkubasi, dilakukan pengamatan terhadap zona hambat (daerah jernih) di sekeliling cakram yang menunjukkan bahwa organisme itu dihambat pertumbuhannya oleh ekstrak tersebut yang merembes dari cakram ke dalam agar pada cawan.
2.4. Pelarut Ekstraksi 2.4.1. Etil Asetat Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH 3CO 2CH 2CH3. Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut. Etil asetat adalah pelarut semipolar yang volatil (mudah menguap), tidak beracun dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti fluor, oksigen dan nitrogen). Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi.
11
Tabel 1. Karakterisasi Etil asetat (Baden, 2002) Nama sistematis Nama alternatif
Etil etanoat Etil asetat Etil ester Ester asetat Ester etanol C4 H8O2 60,05 g/mol 0,77 g/cm³, cairan −25 °C 77 °C 50 g/1L (20 °C)
Rumus molekul Massa molar Densitas dan fase Titik lebur Titik didih Kelarutan dalam air Kelarutan dalam etanol, aseton, dietil eter, Larut benzen Penampilan Cairan tak berwarna Indeks refraktif (nD) 1,3716 (20 oC, 589 nm) Kekentalan 1,17 mm2/s pada 20 °C Momen dipol 1,5 D Mudah terbakar, Pembuat iritasi, Bahaya utama Korosif
2.4.2. n-Butanol Butanol atau butil alkohol (kadang-kadang disebut juga biobutanol ketika diproduksi secara biologi dengan bantuan mikroorganisme), merupakan alkohol primer dengan struktur 4 atom karbon dan mempunyai rumus C 4H 10O. Umumnya butanol digunakan sebagai pelarut, senyawa intermediet dalam sintesis kimia dan juga sebagai bahan bakar. Butanol bersifat polar dan seperti kebanyakan alkohol lainnya, butanol cenderung beracun. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya keracunan tingkat rendah pada dosis tunggal yang diujicobakan pada hewan percobaan. Namun butanol cenderung cukup aman bila digunakan dalam kosmetik. Serupa dengan alkohol rantai pendek lainnya, kontak butanol pada kulit disertai penghirupan yang dilakukan terus menerus dapat mengakibatkan depresi pada sistem syaraf pusat.
12
Tabel 2. Karakterisasi n-Butanol (Baden, 2002) Nama sistematis
1-Butanol Butanol Butan-1-ol n-Butanol normal-Butanol Butil alkohol Butyric alkohol Propylcarbinol C4H10O, BuOH 74.12 g/mol Cairan bening 0.81 g/cm³ @ 20 °C, cairan −89 °C 116-118 °C 77 g/1 L H2 O pada 20 °C 1,3993 (20 oC, 589 nm) 1,66 D (1-butanol) Mudah terbakar, Pembuat iritasi 34 °C
Nama alternatif
Rumus molekul Massa molar Penampilan Densitas dan fase Titik lebur Titik didih Kelarutan dalam air Indeks refraktif Momen dipol Bahaya utama Titik nyala
2.4.3. n-Heksana n-Heksana
adalah
hidrokarbon
alkana
dengan
rumus
kimia
CH 3(CH 2)4CH 3. Isomer-isomer heksana sebagian besar tidak reaktif dan seringkali digunakan sebagai pelarut inert dalam reaksi organik karena mereka sangat non polar. Umumnya heksana terdapat di dalam gas, perekat yang digunakan dalam produk kulit, sepatu dan atap rumah. Tabel 3. Karakterisasi n-Heksana (Baden, 2002) Nama alternatif Rumus molekul Massa molar Penampilan Densitas dan fase Titik lebur Titik didih Kelarutan dalam air Kekentalan Bahaya utama Titik nyala
n-Hexane C6H14 86.18 g/mol Cairan tidak berwarna 0.669 g/ml, cairan −94,3 °C 40 °C Tidak larut (0,0095 g/1 L (20 o C)) 0,50 mm2/s pada 20 °C Mudah terbakar, Berbahaya, Berbahaya bagi lingkungan −22 °C
13
2.5. Mikroorganisme Uji 2.5.1. Aspergillus niger Aspergillus niger adalah fungi dan salah satu spesies yang paling umum dari genus Aspergillus. A. niger dapat menyebabkan penyakit yang disebut sebagai jamur hitam pada buah dan sayuran tertentu seperti anggur, bawang dan kacang, selain itu ia merupakan kontaminan makanan yang umum. Habitat A. niger terutama di tanah dan umumnya dalam ruangan berbentuk koloni hitam (Samson, et. al., 2001). Klasifikasi Aspergillus niger (McCauley, 2008) :
Sumber : www.deanza.edu/mccauley/fungi.htm
Domain: Kingdom: Phylum: Class: Ordo: Familia: Genus: Species:
Eukaryota Fungi Ascomycota Eurotiomycetes Eurotiales Trichocomaceae Aspergillus A. niger
Gambar 3. Sel A. niger
A. niger tidak terlalu berbahaya bagi manusia dibandingkan beberapa spesies Aspergillus lainnya, tetapi sporanya bila dalam jumlah besar terhirup dapat menyebabkan penyakit paru-paru berbahaya, yang disebut aspergillosis. Selain itu A. niger merupakan penyebab utama otomycosis (infeksi jamur telinga), yang dapat menyebabkan rasa sakit, dan hilangnya pendengaran sementara (Curtis, et. al., 1979)
14
2.5.2. Bacillus subtilis Bacillus subtilis merupakan bakteri Gram positif, positif katalase, umumnya ditenukan di tanah (Madigan & Martinko, 2005). Sebagai anggota genus Bacillus, B. subtilis memiliki kemampuan membentuk endospora protektif yang kuat, yang menyebabkan ia tahan terhadap kondisi lingkungan ekstrim (Nakano & Zuber, 1998). Klasifikasi Bacillus subtilis (Prescott, et. al., 2002): Kingdom: Phylum: Class: Ordo: Familia: Genus: Species:
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Bacillus_ subtilis
Bacteria Firmicutes Bacilli Bacillales Bacillaceae Bacillus B. subtilis
Gambar 4. Sel B. subtilis
B. subtilis
tidak dianggap
patogen
terhadap
manusia,
ia
dapat
mengkontaminasi makanan tetapi jarang menyebabkan keracunan makanan. B. subtilis menghasilkan enzim proteolitik, subtilin. Spora B. subtilis dapat hidup pada pemanasan yang sangat tinggi dan sering merusak makanan yang dipanggang seperti roti akibat terbentuknya polisakarida rantai panjang yang dihasilkan bakteri tersebut (Ryan & Ray, 2004).
15
2.5.3. Candida albicans Candida albicans adalah fungi diploid (berbentuk yeast) dan merupakan salah satu flora usus, organisme yang bayak hidup pada mulut dan saluran gastrointestinal. Dalam kondisi normal, C. albicans hidup dalam 80% populasi manusia
tetapi
tidak berbahaya,
walaupun
pertumbuhan
yang
berlebih
menyebabkan candidiasis. Candidiasis juga dikenal sebagai sariawan, merupakan kondisi umum yang biasanya mudah diobati pada orang yang memliki daya tahan tubuh tinggi (Ryan & Ray, 2004). Klasifikasi Candida albicans (Pelczar & Chan, 1986) : Kingdom: Phylum: Subphylum: Class: Ordo: Familia: Genus: Species:
Fungi Ascomycota Saccharomycotina Saccharomycetes Saccharomycetales Saccharomycetaceae Candida C. albicans
Sumber : www.naturesia.com/A-IMBN/article Gambar 5. Hifa Candida albicans
2.5.4. Escherichia coli Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif, anaerobik fakultatif, dan tidak menghasilkan spora. E. coli dapat hidup pada berbagai jenis substrat. E. coli menggunakan fermentasi campuran asam untuk menghasilkan laktat, suksinat, etanol, asetat dan karbon dioksida. Pertumbuhan optimal E. coli terjadi pada suhu 37 0 C, tetapi beberapa laboratorium menggunakan suhu hingga 49 0 C.
16
Klasifikasi Escherichia coli (Madigan, et. al., 2002) : Domain: Phylum: Class: Ordo: Familia: Genus: Species:
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Escheric hia_coli
Bacteria Proteobacteria Gamma Proteobacteria Enterobacteriales Enterobacteriaceae Escherichia E. coli
Gambar 6. Sel Escherichia coli E. coli adalah bakteri yang umumnya ditemukan di usus bagian bawah dari hewan berdarah panas (Vogt & Dippold, 2005). Kebanyakan galur E. coli tidak terlalu berbahaya, tetapi ada beberapa yang dapat menyebabkan keracunan makanan yang berbahaya bagi manusia. Galur E. coli yang tidak berbahaya merupakan salah satu flora normal dalam usus, dan menguntungkan inang mereka karena menghasilkan vitamin K, atau mencegah pertumbuhan bakteri patogen dalam usus (Bentley & Meganathan, 1982). E. coli ditemukan oleh ahli gizi dan ahli bakteri Jerman Theodor Escherich pada tahun 1885, dan sekarang diklasifikasikan
sebagai
bagian
famili
Enterobacteriaceae
dari
gamma-
proteobacteria.
2.5.5. Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram negatif, bersifat aerobik dan berbentuk batang. P. aeruginosa bersifat patogen terhadap manusia dan tumbuhan. P. aeruginosa merupakan salah satu spesies dari jenis genus Pseudomonas (Anzai, et. al., 2000).
17
P. aeruginosa mensekresikan berbagai jenis pigmen, termasuk pyocianin (biru-hijau), fluorescein ((kuning-hijau) dan fluorescent, yang sekarang dikenal dengan pyoverdin) dan pyorubin (merah-coklat). Seringkali identifikasi P. aeruginosa melalui penampakan pearlescent (iridescene) dan bau seperti anggur secara in vitro. Secara medis pertumbuhan P. aeruginosa sering diidentifikasikan dengan menghasilkan pyocianin dan fluorescein dengan kondisi pertumbuhan optimal pada suhu 420C (Iglewski, 1996). Klasifikasi Pseudomonas aeruginosa (Madigan, et. al., 2002) :
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Pseudomo nas_aeruginosa Gambar
7.
Kingdom: Phylum: Class: Ordo: Familia: Genus: Species:
Bacteria Proteobacteria Gamma Proteobacteria Pseudomonadales Pseudomonadaceae Pseudomonas P. aeruginosa
Sel Pseudomonas aeruginosa
Kemampuan patogen P. aeruginosa terjadi pada individu yang memiliki daya tahan tubuh rendah, dan biasanya menyerang saluran paru-paru, saluran urin, bekas luka bakar, dan luka yang diperban, dan juga menyebabkan infeksi darah. P. aeruginosa merupakan penyebab utama dari infeksi pada luka bakar dan infeksi telinga luar, dan seringkali membentuk koloni pada alat-alat medis seperti pipa yang ditanamkan dalam tubuh (Fine, et. al., 1996).
18
2.5.6. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri anaerobik fakultatif, Gram positif yang berbentuk kokus dengan penampakan kumpulan seperti buah anggur ketika diamati menggunakan mikroskop, dan memiliki koloni yang besar, berbentuk lingkaran serta berwarna kuning keemasan, sering menyebabkan hemolisis ketika ditumbuhkan dalam media blood agar (Ryan & Ray, 2004). Penampakan keemasan merupakan etimologi dari nama bakteri aureus yang berarti emas dalam bahasa Latin. S. aureus ditemukan di Aberdeen, Skotlandia pada tahun 1880 oleh ahli bedah Sir Alexander Ogston dalam nanah dari bisul saat melakukan pembedahan (Ogston, 1984). Klasifikasi Staphylococcus aureus (Prescott, et. al., 2002) :
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Staphylo coccus_aureus Gambar
8.
Domain: Kingdom: Phylum: Class: Ordo: Familia: Genus: Species:
Bacteria Eubacteria Firmicutes Bacilli Bacillales Staphylococcaceae Staphylococcus S. aureus
Sel Staphylococcus aureus
19
S. aureus umumnya hidup pada kulit dan hidung seseorang. Bakteri ini dapat menyebabkan sejumlah penyakit infeksi kulit sederhana seperti jerawat, bisul, bisul bernanah, dan sindrom kulit terbakar, serta penyakit yang berbahaya seperti pneumonia, radang selaput otak, toxic shock syndrome (TSS), dan keracunan darah (Kluytmans, et. al., 1997).
2.6 . Separasi Antibiotika Tahap penting untuk mendapatkan antibiotika dari substrat fermentasi ialah pemisahan sel, bagian sel atau zat-zat tak larut lainnya dari cairan medium. Produk mungkin berada di dalam sel atau di luar sel. Bila produk tidak disekresikan ke dalam medium (intrasel), maka produk ada di bagian padatan dan harus dikeluarkan dari sel. Cara untuk memecah sel dapat secara kimia atau mekanis, antara lain dengan ultrasonic disrupter untuk memecah dinding sel skala kecil, osmotic shock, enzimatis, high-pressure homogenizer dan sebagainya. Cara mekanis lebih lazim digunakan karena lebih efisien dan mudah digunakan dalam skala besar. Namun kemajuan teknologi seperti DNA rekombinan memungkinkan pemecahan dinding sel menjadi lebih mudah yaitu dengan memasukkan gen pembawa sifat melemahkan dinding sel bakteri, sehingga lisis dinding sel akan terjadi lebih mudah (Suwandi, 1990). Bila produk disekresikan ke dalam medium (ekstrasel), bagian cairan dapat langsung diambil dan diekstraksi pada proses berikutnya, atau ekstraksi dapat langsung dilakukan tanpa memisahkan padatan dan cairan.
20
2.6.1. Filtrasi Filtrasi banyak digunakan baik dalam skala laboratorium maupun skala besar, meskipun kadang-kadang mengalami berbagai kesukaran. Faktor-faktor penyebabnya antara lain sifat, ukuran dan morfologi mikroba; pH dan kepekatan biakan; kontaminasi mikroba yang tak diinginkan dan sifat residu substrat yang tak larut (Suwandi, 1990).
Untuk skala laboratorium biasanya digunakan vacuum filter yang terdiri dari Buchner funnel dan Buchner vacuum flask. Pemisahan dapat dilakukan dengan kertas saring atau dengan bantuan bahan diatomaceous.
2.6.2. Sentrifugasi Sekarang telah banyak dikembangkan centrifuge berkecepatan tinggi untuk memisahkan cairan dan padatan. Alat ini sangat berguna di dalam laboratorium, karena persiapannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan filtrasi. Untuk meningkatkan laju filtrasi dan sentrifugasi dapat dilakukan koagulasi dan flokulasi terlebih dahulu, terutama untuk mengubah koloid menjadi partikel yang mudah mengendap. Koagulasi dan flokulasi dapat dilakukan dengan menambah elektrolit-elektrolit sederhana seperti asam, basa, garam dan ion multivalen maupun polielektrolit (Suwandi, 1990).
21
2.7. Isolasi dan Purifikasi. Beberapa antibiotika terletak di bagian tak larut, sehingga bagian cairan dapat dibuang. Setelah produk dilepaskan dari sel, tahap selanjutnya dilakukan seperti pada produk ekstrasel. Akan tetapi kebanyakan antibiotika terletak di bagian cairan biakan fermentasi. Sesudah dipisahkan dengan filtrasi atau sentrifugasi, produk ada di bagian supernatan bercampur dengan senyawa lain. Untuk mengeliminasi zat-zat tersebut dari produk dapat digunakan liquid extraction atau adsorption (Suwandi, 1990).
2.7.1. Liquid Extraction Pada prinsipnya bila senyawa organik dipapar dengan dua sistem pelarut yang tidak saling larut, senyawa tersebut akan terdistribusi di antara dua sistem dengan perbandingan tertentu. Sifat ini dimanfaatkan untuk mengekstraksi produk dalam filtrat fermentasi dengan pelarut organik. Jenis pelarut organik yang digunakan perlu diseleksi dan pemilihan dapat dilakukan berdasarkan sifat distribusinya, volatilitas, kemudahan recovery dan biayanya. Dalam ekstraksi pelarut, rasio distribusi dinyatakan sebagai pengukuran seberapa baik proses ekstraksi itu dilakukan. Rasio distribusi (D) adalah konsentrasi zat terlarut dalam fase organik dibagi dengan konsentrasi zat terlarut dalam fase air. Nilai rasio distribusi bergantung pada temperatur, konsentrasi zat kimia dalam sistem dan sejumlah parameter lainnya. Bila dirumuskan maka nilai rasio distribusi (Day, Jr & Underwood, 1990), yaitu : D = C org C air
22
Keterangan : D = Rasio distribusi C org = Konsentrasi zat terlarut dalam fase organik (mg/L) C air = Konsentrasi zat terlarut dalam fase air (mg/L)
Selanjutnya hasil ekstraksi dapat dipekatkan, biasanya dilakukan pada temperatur rendah yaitu kurang dari 40 0C dan tekanan juga perlu dikurangi. Kondisi demikian diperlukan untuk menghindari perubahan kimia produk yang dikehendaki. Alat yang biasa digunakan untuk pemekatan hasil ekstraksi adalah rotary evaporator. Alat rotary evaporator dapat menguapkan pelarut dengan cepat dan menjaga distribusi panas lebih merata. Kemampuan alat ini untuk menguapkan pelarut bervariasi, tetapi pada dasarnya lebih dipengaruhi oleh kondisi operasinya seperti temperatur, besarnya vacuum dan jenis pelarut yang digunakan dan diuapkan.
2.7.2. Adsorpsi Hasil isolasi pada tahap awal biasanya masih mengandung kotoran atau senyawa dari biakan fermentasi yang mempunyai sifat fisika-kimia sama dengan produk yang dikehendaki, sehingga proses isolasi menjadi lebih sulit. Oleh karena itu harus dilakukan purifikasi lagi dengan teknik yang dapat memisahkan senyawa-senyawa tersebut, sehingga diperoleh produk berkualitas tinggi. Kromatografi merupakan cara purifikasi yang dapat diandalkan untuk mengeliminasi zat-zat yang masih ada bersama-sama dengan produk. Berdasarkan sifat-sifat bahan yang akan dieliminasi dan diisolasi, produk dapat dipisahkan dengan berbagai macam cara kromatografi seperti adsorpsi, partisi, penukar ion
23
dan lain-lain. Pada penelitian ini kromatografi yang digunakan yaitu adsorpsi. Pada prinsipnya merupakan adsorpsi permukaan dan merupakan cara yang sangat berguna untuk mengisolasi metabolit mikroba. Bahan adsorpsi mempunyai area permukaan luas, disebabkan banyaknya pori halus pada padatan tersebut yang digunakan untuk mengadsorpsi senyawa dengan berat molekul rendah dan untuk mengadsorpsi senyawa polar dari larutan non polar. Besarnya luas permukaan berada dalam orde 200-1000 m2/g adsorben, dengan diameter pori sebesar 0,00030,02 µ m (Bernasconi, et. al., 1995). Adsorben yang lazim digunakan antara lain silika gel, aluminium oksida, karbon aktif dan polistiren. Pembentukan garam suatu produk juga merupakan salah satu cara untuk mengisolasi antibiotika, sebagai contoh garam laktat dan oksalat eritromisin. Teknik ini pada prinsipnya memanfaatkan kurangnya daya larut garam produk fermentasi, sehingga digunakan untuk mengisolasi dan memurnikan produk tersebut.
2.8.
Kromatografi Lapis Tipis Secara umum kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi
campuran menjadi komponen-komponennya. Semua kromatografi memiliki fase diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda.
24
Kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang seragam setebal 0,1-0,3 mm pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang keras (Nur & Adijuwana, 1988). Gel silika (atau alumina) merupakan fase diam. Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang mana dapat menghasilkan flourescent dalam sinar ultra violet. Fase gerak merupakan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai.
2.8.1. Cara Kerja Kromatografi Lapis Tipis Gel silika adalah bentuk dari silikon dioksida (silika). Atom silikon dihubungkan oleh atom oksigen dalam struktur kovalen yang besar. Namun, pada permukaan gel silika, atom silikon berlekatan pada gugus –OH (Nur & Adijuwana, 1988).
Badan utama dari struktur silika Gambar 9. Permukaan gel silika
Jadi, pada permukaan gel silika terdapat ikatan Si-O-H selain Si-O-Si. Gambar 9 menunjukkan bagian kecil dari permukaan silika. Permukaan gel silika sangat polar dan karenanya gugus -OH dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa-senyawa sampel yang sesuai. Fase diam lainnya yang biasa digunakan adalah aluminium oksida. Atom aluminium pada permukaan memiliki gugus -OH.
25
Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan melarutkan senyawa-senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi sebagaimana halnya pergerakan pelarut. Cepatnya senyawa-senyawa dibawa bergerak ke atas pada lempengan, (Nur & Adijuwana, 1988) tergantung pada : 1) Kelarutan senyawa dalam pelarut, bergantung pada besarnya interaksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut. 2) Senyawa melekat pada fase diam, misalnya gel silika tergantung pada besarnya interaksi antara senyawa dengan gel silika.
2.8.2. Kromatogram Sebuah garis menggunakan pensil digambar dekat bagian bawah lempengan dan setetes pelarut dari campuran pewarna ditempatkan pada garis itu. Penandaan pada garis di lempengan untuk menunjukkan posisi awal dari tetesan. Jika ini dilakukan menggunakan tinta, pewarna dari tinta akan bergerak selayaknya kromatogram dibentuk.
26
Gelas arloji
Chamber Plat KLT
Garis pensil Pelarut Spot campuran
Gambar 10. Kromatografi Lapis Tipis Ketika bercak dari campuran itu mengering, lempengan ditempatkan dalam sebuah gelas kimia bertutup berisi pelarut dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Alasan untuk menutup gelas kimia adalah untuk meyakinkan bahwa kondisi dalam gelas kimia terjenuhkan oleh uap dari pelarut. Untuk mendapatkan kondisi ini, dalam gelas kimia biasanya ditempatkan beberapa kertas saring yang terbasahi oleh pelarut. Kondisi jenuh dalam gelas kimia dengan uap mencegah penguapan pelarut. Karena pelarut bergerak lambat pada lempengan, komponenkomponen yang berbeda dari campuran pewarna akan bergerak pada kecepatan yang berbeda dan akan tampak sebagai perbedaan bercak warna (Nur & Adijuwana, 1988).
27
Ketinggian yang dicapai pelarut
Gambar 11. Lempengan setelah pelarut bergerak setengah dari lempengan. 2.8.3. Analisa Kromatogram Ada dua cara untuk menyelesaikan analisis sampel yang tidak berwarna. Yang pertama dengan menggunakan flourescent. Fase diam pada sebuah lempengan lapis tipis seringkali memiliki substansi yang ditambahkan ke dalamnya, supaya menghasilkan flourescent ketika diberikan sinar ultraviolet (UV).
Sinar UV
Gambar 12. Kromatogram dengan sinar UV Cara yang kedua yaitu penunjukkan bercak secara kimia. Sebuah contoh yang baik adalah kromatogram yang dihasilkan dari campuran asam amino. Kromatogram dapat dikeringkan dan disemprotkan dengan larutan ninhidrin. Ninhidrin
bereaksi dengan
asam
amino
menghasilkan
senyawa-senyawa
berwarna, umumnya coklat atau ungu (Nur & Adijuwana, 1988).
28
S e b e lu m d is e m p r o t k a n n in h id r in
S e t e la h d is e m p r o t k a n n in h id r in
Gambar 13. Kromatogram dengan pereaksi ninhidrin Dalam metode lain, kromatogram dikeringkan kembali dan kemudian ditempatkan pada wadah bertutup (seperti gelas kimia dengan tutupan gelas arloji) bersama dengan kristal iodium. Uap iodium dalam wadah dapat berekasi dengan bercak pada kromatogram, atau dapat dilekatkan lebih dekat pada bercak daripada lempengan. Substansi yang dianalisis tampak sebagai bercak-bercak kecoklatan (Day, Jr & Underwood, 1990).
2.8.4. Perhitungan nilai retention factor (Rf) Pengukuran retention factor (Rf) berdasarkan pada jarak yang ditempuh oleh pelarut dan jarak yang tempuh oleh bercak warna masing-masing digunakan untuk memudahkan identifikasi senyawa-senyawa yang muncul (Day, Jr & Underwood, 1990). Ketika pelarut mendekati bagian atas lempengan, lempengan dipindahkan dari gelas kimia dan posisi pelarut ditandai dengan sebuah garis, sebelum mengalami proses penguapan.
29
Pengukuran berlangsung sebagai berikut:
J a r a k ya n g d it e m p u h p e la r u t
J a r a k ya n g d it e m p u h b eberap a k o m p o nen
Gambar 14. Pengukuran Rf Nilai R f untuk setiap warna dihitung dengan rumus sebagai berikut: Rf=jarak yang ditempuh oleh komponen jarak yang ditempuh oleh pelarut Sebagai contoh, jika komponen berwarna merah bergerak dari 1,7 cm dari garis awal, sementara pelarut berjarak 5,0 cm, sehingga nilai R f untuk komponen berwarna merah menjadi: Rf =
1,7 5,0 = 0,34
Jika pengulangan percobaan ini dilakukan pada kondisi yang tepat sama, nilai R f yang akan diperoleh untuk setiap warna akan selalu sama. Sebagai contoh, nilai Rf untuk warna merah selalu adalah 0,34. Namun, jika terdapat perubahan (suhu, komposisi pelarut dan sebagainya), nilai tersebut akan berubah.
2.9.
High Performance Liquid Chromatography (HPLC) HPLC secara mendasar merupakan perkembangan tingkat tinggi dari
kromatografi kolom. Selain dari pelarut yang menetes melalui kolom di bawah gravitasi, didukung melalui tekanan tinggi sampai dengan 400 atm. Ini membuat HPLC lebih cepat.
30
HPLC memperbolehkan penggunaan partikel yang berukuran sangat kecil untuk material terpadatkan dalam kolom yang mana akan memberi luas permukaan yang lebih besar berinteraksi antara fase diam dan molekul-molekul yang melintasinya. Hal ini memungkinkan pemisahan yang lebih baik dari komponen-komponen dalam campuran (Anonimous, 2008).
Pelarut
Pompa untuk menghasilkan tekanan
Prosessor
Sinyal ke prosessor Injeksi sampel
Kolom HPLC
Detektor
Limbah
Gambar 15. Diagram alir HPLC
2.9.1. Waktu Retensi Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detektor disebut sebagai waktu retensi. Waktu retensi diukur berdasarkan waktu dimana sampel diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak yang maksimum dari senyawa itu.
31
Senyawa-senyawa yang berbeda memiliki waktu retensi yang berbeda. Untuk beberapa senyawa, waktu retensi akan sangat bervariasi dan bergantung pada (Anonimous, 2008): a. Tekanan yang digunakan (karena itu akan berpengaruh pada laju alir dari pelarut) b. Kondisi dari fase diam (tidak hanya terbuat dari material apa, tetapi juga pada ukuran partikel) c. Komposisi yang tepat dari pelarut d. Temperatur pada kolom 2.9.2. Detektor Ada beberapa cara untuk mendeteksi substansi yang telah melewati kolom. Metode umum yang mudah dipakai untuk menjelaskan yaitu penggunaan serapan ultra-violet. Banyak senyawa-senyawa organik menyerap sinar UV dari beberapa panjang gelombang. Jika sinar UV dipancarkan pada larutan yang ke luar melalui kolom dan sebuah detektor pada sisi yang berlawanan, akan didapatkan pembacaan langsung berapa besar sinar yang diserap. Jumlah cahaya yang diserap akan bergantung pada jumlah senyawa tertentu yang melalui berkas pada waktu itu (Anonimous, 2008).
32
Detektor UV
Keluaran dari kolom
Sinar UV
Sinar UV yang diserap campuran senyawa
Gambar 16. Pendeteksian langsung senyawa organik
2.9.3. Interpretasi Output dari Detektor Output direkam sebagai rangkaian puncak, dimana masing-masing puncak mewakili satu senyawa dalam campuran yang melalui detektor dan menyerap sinar UV. Selama mengontrol kondisi kolom, waktu retensi dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa yang diperoleh. Puncak juga dapat digunakan untuk mengukur kuantitas dari senyawa yang dihasilkan (Anonimous, 2008). Misalnya, suatu larutan mengandung senyawa murni X yang telah diketahui jumlahnya diinjeksikan pada instrument, tidak hanya waktu retensi dari senyawa tersebut yang dapat direkam, tetapi juga dapat menghubungkan jumlah dari senyawa X dengan puncak dari senyawa yang dihasilkan. Area di bawah puncak sebanding dengan jumlah X yang melalui detektor, dan area ini dapat dihitung secara otomatis melalui layar komputer.
Gambar 17. Puncak senyawa X
33
Jika larutan X kurang pekat, area di bawah puncak akan berkurang meskipun waktu retensi akan sama. Ini berarti dimungkinkan mengkalibrasi instrument sehingga dapat digunakan untuk mengetahui berapa jumlah substansi yang dihasilkan meskipun dalam jumlah kecil.
Gambar 18. Puncak senyawa X pada konsentrasi rendah Jika terdapat dua substansi yang berbeda dalam sebuah campuran (X dan Y), jumlah relatifnya tidak dapat dikatakan jika menggunakan serapan UV sebagai metode pendeteksinya.
Gambar 19. Puncak serapan senyawa X dan Y dalam campuran
Dalam Gambar 19, area di bawah puncak Y lebih kecil dibanding dengan area di bawah puncak X. Ini mungkin disebabkan oleh karena Y lebih sedikit dari X, tetapi dapat sama karena Y mengabsorbsi sinar UV pada panjang gelombang lebih sedikit dibanding dengan X. Ini mungkin ada jumlah besar Y yang tampak, tetapi jika diserap lemah, ini akan hanya memberikan puncak yang kecil.
34
2.10. Fourier Transform Infra Red (FTIR) Spektrofotometer FTIR merupakan alat rutin untuk mendeteksi gugus fungsional, mengidentifikasi senyawaan, dan menganalisis campuran. Setiap tipe ikatan yang berbeda mempunyai sifat frekuensi vibrasi yang berbeda, dan karena tipe ikatan yang sama dalam dua senyawa berbeda terletak dalam lingkungan yang sedikit berbeda, maka tidak ada dua molekul yang berbeda strukturnya akan mempunyai bentuk serapan inframerah (IR) atau spektrum inframerah (IR) yang sama. Dengan membandingkan spektra IR dari dua senyawa yang diperkirakan identik, maka seseorang dapat menyatakan apakan kedua senyawa tersebut identik atau tidak. Pelacakan tersebut lazim dikenal dengan bentuk sidik jari dari dua spektrum inframerah (IR). Jika puncak spektrum IR dari kedua senyawa tepat sama maka dalam banyak hal dua senyawa tersebut adalah identik (Day, Jr & Underwood, 1990). Kebanyakan gugus seperti C-H, O-H, C=O, dan CN, mempunyai serapan IR yang hanya bergeser sedikit dari satu molekul ke molekul yang lain. Berikut ini tabulasi beberapa gugus fungsi yang khas memiliki serapan tertentu pada daerah inframerah (IR) (Day, Jr & Underwood, 1990).
35
Tabel 4. Beberapa frekuensi gugus inframerah (IR) Gugus Fungsi O-H Alkohol/fenol bebas Asam karboksilat H yang terikat NH Amina primer, sekunder dan amida CH Alkana Alkena Alkuna Aromatik -CH2- Bending -CH3 Bending CC Alkuna Alkena Aromatik C=O Aldehid Keton Asam Ester Anhidrida CN Nitrit NO2 Nitro
Panjang Gelombang (µm) 2,74-2,79 3,70-4,0 2,82-3,12 6,10-6,45
Frekuensi (cm-1) 3580-3650 2500-2700 3210-3550 3140-3320
3,37-3,50 3,23-3,32 3,03 ~3,30 6,83 6,90-7,27 4,42-4,76 5,95-6,16 ~6,25 5,75-5,81 5,79-5,97 5,79-5,87 5,71-5,86 5,52-5,68 4,35-5,00 6,06-6,67
2850-2960 3010-3095 3300 ~3030 1465 1450-1375 2190-2260 1620-1680 1475-1600 1720-1740 1675-1725 1700-1725 1720-1750 1760-11810 2000-3000 1500-1650
36
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian
mengenai
Optimasi
Separasi
dan
Purifikasi
Senyawa
Antibiotika yang Dihasilkan oleh Aktinomiset Endofit dilakukan di Laboratorium Proses (laboratorium Recovery) Badan Pengkajian Bioteknologi-BPPT, Pusat Pengkajian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang. Penelitian berlangsung selama 5 bulan terhitung mulai Minggu ketiga dari bulan Februari hingga Juli 2008.
3.2.
Alat dan Bahan Peralatan yang dipergunakan di antaranya: timbangan analitik, [Mettler
AJ100]; laminar air flow, [ICN Gelaire TC-60]; autoclave, [TOMY SS-325]; rotavapor, [RE-121], yang dihubungkan water bath, [Buchi 461]; sonicator, [Ultrasonic Processor XL-2020]; centrifugal concentrator, [TOMY CC-105], yang dihubungkan low temperature trap, [TOMY TU-105] dan centrifugal concentrator, [Sakuma EC-2000] untuk pelarut n-butanol; pH meter, [ф 34 Beckman]; stirer mekanik, [Heidholp MR2002]; termostatik, [Angelantoni Milano QC 5 CDZ 0430]; UV Cabinet II, [CAMAG]; sentrifuge, [Beckman J2HS]; inkubator, [Sanyo]; mikroskop, [Axioskop Zeiss Germany]; mikropipet, [Finnpipette S63712 4027]; jangka sorong, [Digimatic Caliper Mitutoyo Corp.]; labu Erlenmeyer 100, 250 dan 4000 mL; gelas ukur 100 mL dan 500 mL; gelas beaker 50, 100, 500 dan 1000 mL; tabung concentrator 10 mL; tabung sentifuge
50 dan 500 mL; labu bulat 500 dan 1000 mL; ruang asam; pipet volume; bulp; pipet tetes; gelas arloji; spatula; ose; burner; dan peralatan lainnya. Bahan-bahan yang dibutuhkan: isolat aktinomiset endofit BioMCC AE000484 dari daun tumbuhan krokot berasal dari Lampung, malt extract, yeast extract, potato starch, soybean meal, D(+)-glucose, sodium chloride (NaCl), calcium carbonate
(CaCO 3), mineral
berupa
CuSO 4.5H 2O,
MnCl2.4H 2O,
ZnSO 4.7H 2O, NaOH konsentrasi 0,1 dan 2 N, TLC [Merck DB684456], pelarut ekstraksi (n-Heksana, n-Butanol dan etil asetat), ethanol 70 %, mikroorganisme uji berupa Aspergillus niger, Candida albicans, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia coli, parafilm [M IS PM-996], vaseline, aquadest dan tissue.
3.3.
Prosedur Kerja
3.3.1. Pembuatan Seed Culture Isolat Aktinomiset Media ISP dibuat dengan melarutkan 0,2 g malt extract; 0,08 g yeast extract; dan 0,08 g D(+)-glucose dengan 20 mL aquadest dan dimasukkan ke labu Erlenmeyer dengan penutup kapas yang dibaluti kain kasa. Setelah itu pH-nya diatur dengan penambahan NaOH 0,1N hingga mencapai 7,2 sambil diaduk dengan stirer. Kemudian media ISP disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit dengan suhu 121 0C, dan tekanan 2 atm. Media ISP steril didinginkan dalam suhu ruang. Selanjutnya penanaman isolat aktinomiset endofit BioMCC AE000484 dilakukan dalam media ISP secara aseptik. Setelah itu kultur aktinomiset diinkubasi dan di kocok dengan shaker dalam termostatik selama 1-2 x 24 jam pada suhu 30 0C dengan kecepatan 200 rpm.
3.3.2. Fermentasi Aktinomiset Media fermentasi dibuat dengan melarutkan 40 g potato strach; 40 g D(+)glucose; 40 g soybean meal; 10 g yeast extract; dan 5 g NaCl dengan 2.000 mL aquadest, dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer yang diberi penutup berupa kapas yang dibaluti kain kasa. Selanjutnya pH-nya diatur dengan penambahan NaOH 0,1N hingga mencapai 7,4 sambil di aduk dengan magnetic stirer. Kemudian 6,4 g CaCO3 dan 4 mL larutan mineral ditambahkan, lalu diaduk lagi hingga homogen. Larutan mineral didapatkan dengan melarutkan masing-masing 0,25 gram CuSO4.5H 2O, MnCl2.4H 2O, dan ZnSO 4.7H 2O ke dalam 100 mL aquadest. Media fermentasi tersebut selanjutnya disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit dengan suhu suhu 121 0C, dan tekanan 2 atm, lalu didinginkan selama ± 1 jam dalam suhu ruang. Kemudian seed culture ditanamkan dalam media fermentasi sebanyak 1 % dari volume media fermentasi secara aseptik dalam LAF (laminar air flow), lalu diinkubasi dan di kocok dengan shaker dalam termostatik dengan suhu 30 0C, kecepatan 150 rpm, selama ± 3 hari berdasarkan fase pertumbuhan optimal dari bakteri aktinomiset (fase logaritmik).
3.3.3. Optimasi Separasi Senyawa Aktif Aktinomiset Sebanyak 100 mL broth fermentasi diambil dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Sebanyak 100 mL pelarut ekstraksi (n-heksana, n-butanol dan etil asetat) dicampurkan dalam broth fermentasi, diujikan secara triplo. Campuran tersebut di kocok dengan shaker selama ± 3 hari dengan kecepatan 150 rpm.
Sebanyak 100 mL broth fermentasi diambil kembali dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 8.000 rpm selama 15 menit untuk memisahkan antara biomassa dan supernatan. Supernatan hasil sentrifuge dipisahkan dan dimasukkan ke labu Erlenmeyer 250 mL. Kemudian 100 mL pelarut ekstraksi (n-heksana, n-butanol dan etil asetat) ditambahkan yang diujikan secara triplo. Setelah itu supernatan yang telah ditambahkan pelarut ekstraksi di kocok dengan shaker dengan kecepatan 150 rpm selama ± 3 hari. Setelah dikocok selama 3 hari baik broth fermentasi maupun supernatan yang telah bercampur pelarut ekstraksi disentrifugasi dengan kecepatan 8.000 rpm selama 15 menit. Antara fase organik dan fase air dipisahkan. Fase organik kemudian dievaporasi hingga tersisa volume ekstrak 1-2 mL dan dimasukkan ke dalam tabung konsentrator yang telah diketahui bobotnya. Tabung-tabung yang berisi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset dimasukkan ke dalam alat centrifugal concentrator untuk diuapkan selama 3 jam pada suhu -840C hingga didapatkan ekstrak kering hasil fermentasi aktinomiset. Biomassa yang tersisa dicuci dengan cara ditambahkan aquadest sebanyak 100 mL untuk tiap-tiap tabung, kemudian disentrifugasi kembali dengan kecepatan 8.000 rpm selama 15 menit. Setelah disentrifugasi biomassa diambil dan ditimbang, lalu dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge 50 mL yang telah diketahui bobotnya. Pelarut ekstraksi yang sesuai kemudian ditambahkan hingga volume mencapai 35 mL, lalu sel-sel bakteri aktinomiset endofit dihancurkan dengan sonikator selama 20 menit untuk tiap-tiap tabung. Setelah itu disaring dan filtrat yang dihasilkan dimasukkan ke dalam labu destilasi untuk dievaporasi
hingga volume yang tersisa 1-2 mL dan dimasukkan ke dalam tabung konsentrator yang telah diketahui bobotnya. Langkah selanjutnya serupa dengan yang dilakukan pada supernatan. Setelah itu, ekstrak-ekstrak kering hasil fermentasi aktinomiset dari sampel broth fermentasi, supernatan dan biomassa ditimbang dan ditambahkan metanol destilat hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm untuk dilakukan uji bioaktivitas antibiotika. Broth fermentasi
100 mL BF + 100 mL pelarut ekstraksi
100 mL BF
Shaker 3 hr,
Sentrifige
Sentrifuge
8.000 rpm, 15 mnt
8.000 rpm, 15 mnt Fase organik
Fase air
Buang
Biomassa
+ 100 mL pelarut ekstraksi
+ 25 mL pelarut ekstraksi
Shaker 3 hr,
Sonikasi 20 mnt,
Sentrifuge
Filtrasi
Evaporasi Ekstrak
Supernatan
8.000 rpm, 15 mnt Filtrat Fase organik
Fase air Evaporasi
Evaporasi Ekstrak
Buang
Ekstrak
+ MeOH, C = 20.000 ppm
Uji Bioaktivitas
Keterangan : BF = Broth fermentasi Gambar 20. Diagram alir optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset
3.3.4. Variasi Pelarut dan Perlakuan pada Sampel Pada tahap variasi perlakuan dan pelarut pada sampel, media fermentasi yang digunakan hanya sebanyak 1 liter. Sebanyak 100 mL broth fermentasi dimasukkan masing-masing ke dalam 8 buah tabung sentrifuge dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 8.000 rpm. Biomassa yang dihasilkan dipindahkan ke dalam tabung sentrifuge, ditimbang dan ditambahkan aquadest hingga volume mencapai 35 mL lalu disonikasi selama 30 menit. Sebanyak 4 labu biomassa hasil sonikasi difiltrasi dan filtrat yang dihasilkan diekstraksi dengan menggunakan pelarut ekstraksi berupa n-butanol dan etil asetat (duplo). Fase organik hasil ekstraksi dimasukkan ke dalam tabung konsentrator yang telah diketahui bobotnya dan dievaporasi kemudian ditimbang bobot kering ekstrak yang dihasilkan. Sedangkan 4 labu larutan biomassa dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 8.000 rpm, fase organik dan fase air yang bercampur sisa biomassa dipisahkan. Fase organik dimasukkan ke dalam tabung konsentrator yang telah diketahui bobotnya dan dievaporasi, lalu ditimbang bobot kering ekstrak yang dihasilkan. Sisa broth fermentasi dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge sebanyak 6 mL ke dalam tiap-tiap tabung dan ditambahkan pelarut ekstraksi berupa n-butanol dan etil asetat dengan perbandingan 1:1. Selanjutnya campuran dikocok selama 1 jam dan disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 3.000 rpm. Selanjutnya fase organik dan fase air dipisahkan. Fase organik dipindahkan ke dalam tabung konsentrator yang telah diketahui bobotnya dan dievaporasi, lalu ditimbang bobot
kering ekstrak yang dihasilkan. Selanjutnya ekstrak-ekstrak kering hasil fermentasi aktinomiset dari sampel broth fermentasi, dan biomassa ditimbang dan ditambahkan metanol destilat hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm untuk dilakukan uji bioaktivitas antibiotika. Broth fermentasi (BF)
6 mL BF + 6 mL pelarut ekstraksi
8 Labu erlenmeyer @100 mL BF Sentrifuge
Shaker 1 jam,
8.000 rpm, 15 mnt
Sentrifuge 3.000 rpm, 15 mnt Supernatan
Fase organik
8 Labu biomassa + @25 mL aquadest
Fase air
Sonikasi 30 mnt Buang
Evaporasi Buang Ekstrak Filtrat + 100 mL pelarut ekstraksi (duplo)
Lar. biomassa + 100 mL pelarut ekstraksi (duplo)
Ekstraksi
Fase organik
Sentrifuge
Fase air
Evaporasi Buang Ekstrak
8.000 rpm, 15 mnt Fase organik
Evaporasi Ekstrak
+ MeOH destilat, C = 20.000 ppm Uji Bioaktivitas
Gambar 21. Diagram alir variasi perlakuan dan pelarut pada sampel
Fase air
Buang
3.3.5. Pengaruh Penambahan Pelarut pada Sampel Biomassa Pada tahap ini, media fermentasi yang dibuat sebanyak 1 liter. Dari 1 liter tersebut sebanyak 900 mL, dibagi menjadi 3 bagian masing-masing 300 mL dan disentrifugasi
untuk mendapatkan
biomassa,
selanjutnya
biomassa
yang
didapatkan ditimbang dan sel-sel bakteri aktinomiset endofit dihancurkan dengan sonikator dengan terlebih dahulu ditambahkan pelarut ekstraksi yaitu n-butanol, dan etil asetat masing-masing sebanyak 25 mL atau hingga volume pelarut dan biomassa mencapai 35 mL ke dalam tiap-tiap tabung yang berbeda. Kemudian hasil sonikasi difiltrasi dan filtrat yang dihasilkan dievaporasi, lalu ditimbang bobot kering ekstrak yang dihasilkan. Ekstrak-ekstrak kering hasil fermentasi aktinomiset dari sampel biomassa ditimbang dan ditambahkan metanol destilat hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm untuk dilakukan uji bioaktivitas antibiotika. B ro th
fe r m e n ta s i ( B F )
S e n t r if u g e 8 .0 0 0 rp m , 1 5 m n t
B io m a s s a + p e la r u t e k s t r a k s i
S u p e rn a ta n
S o n ik a s i 3 0 m n t , B u ang
F ilt r a s i
F ilt r a t
E n d a p a n b io m a s s a
E v ap o rasi E k s tr a k + M eO H
d e st, C
B uang
= 2 0 .0 0 0 p p m U ji b io a k t iv it a s
Gambar 22. Diagram alir pengaruh penambahan pelarut pada sampel biomassa
3.3.6. Purifikasi Ekstrak Hasil Fementasi Aktinomiset Pada tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset, media fermentasi yang dibuat sebanyak 1 liter. Media tersebut seluruhnya disentrifugasi untuk mendapatkan biomassa. Biomassa yang didapatkan ditimbang dan sel-sel bakteri aktinomiset endofit dihancurkan dengan sonikator, namun terlebih dahulu ditambahkan pelarut ekstraksi etil asetat sebanyak 25 mL atau hingga volume pelarut dan biomassa mencapai 35 mL. Kemudian difiltrasi dan filtrat yang dihasilkan dievaporasi, lalu ditimbang bobot kering ekstrak yang dihasilkan. Sebagian ekstrak kering hasil fermentasi aktinomiset dari sampel biomassa ditimbang dan ditambahkan metanol destilat hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm untuk dilakukan uji bioaktivitas antibiotika. Proses purifikasi dilakukan dengan metode kromatografi kolom. Dalam kromatografi kolom, 100 mg ekstrak kering hasil fermentasi aktinomiset dimasukkan ke dalam kolom yang telah dipreparasi. Secara bertahap kolom dialiri eluen dengan variasi yang digunakan (total volume tiap eluen 100 mL) berupa : n-heksan (%) 100 20 0 0 20 0
etil asetat (%) 0 80 100 80 30 0
metanol (%) 0 0 0 20 50 100
hasil kromatografi kolom ini ditampung tiap 10 mL dalam tabung reaksi. Setelah itu dilakukan analisa kemurnian dengan plat KLT pada tabung ke-1 dan ke-10 dari tiap variasi eluen dengan larutan pengembang berupa n-butanol pa. Hasil analisa KLT dengan spot yang sama digabungkan dan dimasukkan ke dalam tabung
konsentrator yang telah diketahui bobot kosongnya untuk dipekatkan, dan ditimbang kembali untuk mendapatkan bobot ekstrak kering. Sebagian ekstrak kering yang didapatkan dari tiap fraksi eluen hasil kromatografi kolom ditimbang bobotnya, ditambahkan metanol destilat hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm untuk dilakukan uji bioaktivitas antibiotika. Fraksi-fraksi hasil kromatografi kolom yang memiliki zona hambat pada uji bioaktivitas diuji bioautografi. Untuk analisa kemurnian dilakukan dengan analisa HPLC dan FTIR. B r o th fe r m e n t a s i ( B F ) S e n t r if u g e 8 .0 0 0 rp m , 1 5 m n t B io m a s s a + 2 5 m L p e la r u t e k s t r a k s i
S u p ernatan
S o n ik a s i 3 0 m n t , F i lt r a s i
B uang F i lt r a t
B io m a s s a
E vap o rasi E k strak
B uang
+ M e O H d e s t , C = 2 0 .0 0 0 p p m
K r o m a t o g r a f i k o lo m
U ji b i o a k t i v it a s
U ji B io a u t o g r a fi
U ji H P L C
U ji F T I R
Gambar 23. Diagram alir purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset
3.3.6. Regenerasi Mikroba Uji Enam galur mikroba uji, terdiri dari 4 jenis bakteri yaitu Bacillus subtilis, Eshcherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus serta 2 jenis fungi (jamur) yaitu Aspergillus niger dan Candida albicans disiapkan. Keenam mikroba uji tersebut diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasikan dalam media agar yang baru, untuk bakteri digunakan media nutrient agar (NA) dan untuk fungi (jamur) digunakan media potato dextrose agar (PDA). Proses ini dilakukan secara aseptik. Setelah itu mikroba uji tersebut diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam, kecuali untuk A. niger diinkubasi selama 7 hari, untuk bakteri pada suhu 36,7 0C, sedang untuk fungi (jamur) pada suhu 27,2 0C.
3.3.7. Fermentasi Mikroba Uji Terlebih dahulu media cair dibuat untuk mikroba uji, pada bakteri disiapkan media nutrient broth (NB) dan pada fungi (jamur) disiapkan media potato dextrose yeast (PDY). Media nutrient broth (NB) dibuat sebanyak 4 buah dengan menimbang masing-masing sebanyak 0,26 g NB lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 20 mL aquadest, di aduk dengan magnetic stirer sambil diatur pHnya dengan penambahan larutan NaOH 0,1N hingga mencapai pH optimal untuk pertumbuhan bakteri pada NB yaitu 7,4 ± 0,2. Kemudian media cair tersebut disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit pada suhu 121 0C. Media PDY dibuat 1 buah saja untuk fungi (jamur) C. albicans, sedangkan A. niger tidak perlu difermentasi. Media PDY dibuat dengan cara menimbang 0,4 g D(+)-Glucose, 0,1 g yeast extract dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer,
kemudian ditambahkan ekstrak kentang sebanyak 20 mL. Lalu di aduk dengan magnetic stirer sambil diatur pH-nya dengan penambahan larutan HCl 0,1N hingga mencapai pH optimal untuk pertumbuhan fungi (jamur) pada PDY yaitu 5,6 ± 0,2, kemudian disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit pada suhu 121 0C. Penanaman mikroba uji dilakukan secara aseptik dengan cara mikroba uji yang telah diregenerasi diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasikan dalam media cair yang telah steril. Selanjutnya di kocok dengan shaker dalam alat termostatik pada suhu 30 0C dengan kecepatan 150 rpm selama 24 jam.
3.3.8. Pembuatan Media Cawan Media agar dibutuhkan untuk proses penghitungan kultur mikroba uji yang telah diregenerasi. Media yang digunakan yaitu media nutrient agar (NA) untuk bakteri dan media potato dextrose agar (PDA) untuk fungi (jamur). Untuk membuat 12 media agar NA dibuat dengan menimbang sebanyak 6,72 g NA lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 mL dan ditambahkan 240 mL aquadest, lalu di aduk dengan magnetic stirer dan disterilisasi dalam autoclave selama 15
menit dengan suhu 121 0C. Sedangkan untuk membuat 8
media cawan PDA dibuat dengan menimbang 6,24 g PDA dan dimasukkan ke Erlenmeyer 250 mL dan ditambahkan 160 mL aquadest, lalu di aduk dengan magnetic stirer dan disterilisasi dalam autoclave selama 15 menit dengan suhu 121 0C. Selain itu juga disiapkan aquadest steril, dengan mengambil aquadest sebanyak 250 mL dan dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL lalu disterilisasi dalam autoclave.
Untuk media NA dan PDA yang telah disterilisasi disimpan dalam oven pada suhu 50 0C sebelum digunakan untuk membuat media cawan, sedangkan aquadest steril disimpan pada suhu ruang. Media cawan baik NA maupun PDA dibuat dengan menuangkan media NA dan PDA yang telah disterilisasi sebanyak ± 20 mL untuk 1 cawan petri sedang dalam kondisi aseptik. Selanjutnya media tersebut didiamkan hingga beku dan dilapisi dengan menggunakan parafilm, lalu disimpan dalam suhu ruang sampai media tersebut siap digunakan.
3.3.9. Pengenceran Kultur Mikroba Uji Eppendorf cup steril sebanyak 8 buah untuk tiap mikroba uji, tetapi 3 eppendorf cup untuk A. niger disiapkan dan diberi nomor urut 1-8, sebanyak 900 µ L aquadest steril dipipet dan dimasukkan ke dalam tiap eppendorf cup. Panen fermentasi mikroba uji yang telah diregenerasi, didinginkan hingga menjadi suhu ruang. Untuk pengenceran 10 -1, dipipet sebanyak 100 µ L dan dimasukkan ke dalam eppendorf cup nomor 1, dikocok dengan vortex. Pengenceran 10 -2, 10 -3, sampai 10 -8 dilakukan dengan memipet 100 µ L hasil pengeceran sebelumnya dan dimasukkan ke dalam eppendorf cup yang berisi aquadest steril dan dikocok dengan vortex untuk tiap kali melakukan pengenceran. Semua proses tersebut dilakukan secara aseptik. Lain halnya untuk A. niger, setelah diinkubasi selama 7 hari ditambahkan larutan tweens’ 80 untuk meluruhkan sporanya dari kultur agar miring. Sebanyak 100 µ L kultur cair A. niger dipipet dan dimasukkan ke dalam eppendorf yang berisi 900 µ L aquadest steril, lalu dikocok dengan vortex. Untuk A. niger ini dibuat pengenceran hanya hingga pengenceran 10 -3.
3.3.10. Penghitungan Jumlah Sel Mikroba Uji Media agar cawan NA dan PDA yang telah dibuat dan hasil pengenceran mikroba uji pada pengenceran 10-5, 10-6 dan 10-8 disiapkan. Hasil pengenceran tersebut dipipet sebanyak 100 µ L dan dimasukkan ke dalam media agar cawan steril yang sesuai. Kemudian kultur mikroba uji tersebut disebar di atas media agar cawan dengan menggunakan drygalsky. Semua proses tersebut dilakukan secara aseptik. Media agar cawan yang berisi mikroba uji tersebut, diinkubasi dalam inkubator selama
24 jam, hingga jumlah mikroorganisme yang ada
mencapai kisaran 30-300 sel/petri. Setelah diinkubasi dilihat pertumbuhan mikroba uji dan dihitung jumlah sel per koloni dengan menggunakan metode plate count number. Berbeda dengan mikroba uji lainnya, untuk A. niger jumlah selnya langsung dapat dihitung setelah diencerkan menggunakan mikroskop dan haemocytometer dengan ketentuan (Maddox, et. al., 1998) sebagai berikut : a. Jika jumlah sel kurang dari 50 sel pada kotak yang besar, maka sel tersebut dihitung semua (N x 104) b. Jika jumlah sel antara 30-300 dalam masing-masing kotak sedang, hitung seluruh sel di 10 kotak yang mengelilingi kotak besar (ada 25 kotak sedang), kemudian kalikan total jumlah sel tadi dengan 2,5 (N x 2,5 x 104). c. Jika lebih dari 2 sel di masing-masing kotak kecil hitung el di 20 kotak kecil yang mengelilingi kotak besar, kemudian kalikan total jumlah sel dengan 20 (N x 20 x 104).
3.3.11. Uji Bioaktivitas Senyawa Uji Sebelum dilakukan uji bioaktivitas, terlebih dahulu media agar NA dan PDA steril disiapkan (50 mL media tiap cawan) dalam 8 buah cawan petri besar yang telah diberi nomor urut untuk media NA dan 4 buah cawan petri besar untuk media PDA. Larutan ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang akan diuji bioaktivitas disiapkan pula dalam eppendorf steril dengan menambahkan metanol destilat hingga konsentrasi larutan mencapai 20.000 ppm. Dalam kondisi aseptik sejumlah kultur mikroba uji dituang sesuai hasil perhitungan jumlah sel mikroba uji tiap petri ke dalam media NA dan PDA pada Lampiran 2, 4, 6 dan 9. Kaca objek dan kertas cakram steril disiapkan pula, dan letakkan kertas cakram tersebut di atas kaca objek dengan menggunakan pinset steril. Larutan ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang akan diuji dipipet sebanyak 20 µ L dan diletakkan di atas kertas cakram, lalu kertas cakram tersebut dipindahkan ke dalam media yang telah ditambahkan kultur mikroba uji dengan menggunakan pinset. Untuk uji bioaktivitas ini kontrol negatif yang digunakan berupa pelarut metanol destilat dan kontrol positif berupa antibiotika rifampicin dengan konsentrasi 500 ppm dan 1000 ppm. Kemudian didinginkan pada suhu 4 0C selama 2 jam dan diinkubasi selama 2 x 24 jam pada suhu 36-37 0C. Lalu diamati dan diukur zona bening yang mengitari kertas cakram dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran dilakukan pada 24 dan 48 jam. Adanya zona bening menandakan bahwa ekstrak hasil fermentasi aktinomiset memiliki bioaktivitas antibiotika.
3.3.12. Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang memiliki bioaktivitas antibiotika paling tinggi di analisa kembali dengan teknik kromatografi lapis tipis. Adapun variasi eluen yang digunakan yaitu pelarut ekstraksi itu sendiri berupa n-butanol, n-heksana dan etil asetat, serta variasi campuran antara ketiganya seperti nheksana : etil asetat (1:1) dan (1:2), n-heksana : n-butanol (1:1) dan (1:2), nbutanol : etil asetat (1:1). Hasil pemisahan KLT ditandai dengan menggunakan UV Cabinet.
3.3.13. Uji Bioautografi Uji bioautografi dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa aktif hasil pemisahan KLT. Uji biautografi ini dilakukan dengan meletakkan hasil pemisahan KLT ekstrak hasil fermentasi aktinomiset dari hasil fraksinasi kolom secara terbalik di atas media agar yang telah diberi kultur mikroba uji terbaik, B. subtilis, lalu diinkubasi selama 2 x 24 jam pada suhu 36-37 0C dan diamati adanya zona bening yang mengitari spot hasil KLT.
3.3.14. High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Teknik analisa HPLC dilakukan dengan terlebih dahulu membuat larutan stok berupa ekstrak hasil fermentasi aktinomiset dari fraksinasi kolom yang memiliki bioaktivitas antibiotika dengan konsentrasi 20.000 ppm, dan dimasukkan ke dalam eppendorf cup. Selanjutnya larutan stok tersebut diencerkan kembali hingga konsentrasi mencapai 5000 ppm dan diinjeksikan sebanyak 10 µ L ke dalam HPLC (Alliance HPLC-Waters, software Empower) dalam kondisi
temperatur 250C, panjang gelombang UV yang digunakan 254 nm, kolom Sunfire C18, 5 µ m (Waters), 4,6 mm id x 150 mm, pengaliran eluen A; berupa H 2O + 0,05% asam format dan eluen B; berupa asetonitril + 0,05% asam format dengan metode gradien yaitu pada 0-3 menit pertama berupa 20% asetonitril, dan pada 318 menit berikutnya 20-100% asetonitril, dengan laju alir rata-rata (flow rate) 1mL/menit.
3.3.15. Fourier Transform Infra Red (FTIR) FTIR dilakukan dengan menggunakan teknik cakram KBr yaitu sebanyak 0,5-1,0 mg sampel ekstrak aktinomiset hasil kromatografi kolom digerus dan dicampur dengan 100-200 mg serbuk KBr kering dengan lumping agate hingga benar-benar homogen. Campuran tersebut dimasukan ke dalam pencetak khusus menggunakan spatula mikro. Pencetak dihubungkan dengan handy press. Tongkang handy press dilepaskan lalu cakram KBr dikeluarkan. Cakram selanjutnya dimasukan ke dalam KBr disc holder dan direkan spektrum dari sampel tersebut. Identifikasi gugus fungsional dari spektra yang dihasilkan tersebut menggunakan tabel referensi.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Optimasi Separasi Senyawa Aktif Aktinomiset Optimasi separasi senyawa
aktif aktinomiset
ini bertujuan untuk
mengetahui keberadaan senyawa aktif antibiotika hasil fermentasi aktinomiset di dalam sel (intrasel) atau di luar sel (ekstrasel) serta pelarut optimal dari beberapa pelarut ekstraksi yang dipergunakan seperti n-butanol, n-heksana dan etil asetat. Tabel 5. Bobot ekstrak hasil fermentasi aktinomiset pada tahap optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset KEBERADAAN SENYAWA AKTIF
SAMPEL
PELARUT EKSTRAKSI Etil asetat
Broth Fermentasi
n-Heksana n-Butanol
Di luar sel (ekstrasel)
Etil asetat
Supernatan
n-Heksana
n-Butanol
Etil asetat Di dalam sel (intrasel)
Biomassa
n-Heksana
n-Butanol
BOBOT EKSTRAK (g) 0,037 0,044 0,045 0,023 0,027 0,078 0,069 0,079 0,020 0,024 0,020 0,024 0,032 0,049 0,048 0,132 0,098 0,025 0,037 0,043 0,024 0,050 0,045 0,044 0,040 0,068
BOBOT EKSTRAK RATA-RATA (g)
PERLAKUAN
0,042 0,025
Tdk disonikasi
0,075
0,021
0,035
Tdk disonikasi
0,093
0,035
0,040
0,051
Disonikasi
Setelah melalui tahapan proses ekstraksi, sentrifugasi, sonikasi, filtrasi dan evaporasi diperoleh bobot ekstrak hasil fermentasi aktinomiset seperti pada Tabel 4. Dari Tabel 4 diketahui bahwa kelarutan optimal ekstrak hasil fermentasi aktinomiset terbesar berada pada fase n-butanol, dengan urutan jumlah ekstrak terbesar hingga terkecil dilihat dari jumlah ekstrak rata-rata yaitu sampel supernatan > broth fermentasi > biomassa. Setelah dilakukan
uji bioaktivitas
pada ekstrak
hasil
fermentasi
aktinomiset dengan konsentrasi 20.000 ppm, kecuali pada sampel supernatan fase etil asetat konsentrasi hanya mencapai 10.000 ppm karena jumlah ekstrak yang sedikit, didapatkan data diameter zona bening beberapa ekstrak pada pengamatan 24 jam dan 48 jam, yang menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas sebagai antibiotika, seperti pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit merupakan senyawa di dalam sel (intrasel). Data tersebut juga menunjukkan bahwa etil asetat merupakan pelarut ekstraksi terbaik yang dapat digunakan untuk memproduksi senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit. Hal ini dibuktikan dengan besarnya zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak hasil fermentasi aktinomiset dari sampel yang sel-sel bakteri aktinomiset endofit dihancurkan dengan menggunakan sonikator berupa biomassa dengan besar zona hambat yang dihasilkan hingga mencapai 13,32 mm, dan sedikit terlihat pada sampel broth fermentasi.
Tabel 5. Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset. Sampel Broth fermentasi Fs. EtOAc Supernatan Fs. EtOAc Broth fermentasi Fs. n-Hex Supernatan Fs. n-Hex Broth fermentasi Fs. n-BuOH Supernatan Fs. n-BuOH Biomassa Fs. n-Hex Biomassa Fs. EtOAc Biomassa Fs. n-BuOH Cont (-), MeOH dest. Riffampicin 500 ppm Riffampicin 1000 ppm
S. aureus 24 48 6,98 8,54 -
DIAMETER ZONA BENING (mm) B. subtilis E. coli P. aeruginosa 24 48 24 48 24 48 10,11 9,02 10,97 8,38 7,87 8,85 10,06 8,48 8,76 6,57 8,07 8,25 6,62 7,57 -
C. albicans 24 48 -
A. niger 24 48 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9,11 9,75 7,95
9,45 11,65 8,40
12,16 8,41 7,29 6,20
13,32 9,77 7,72 7,31
8,75 -
8,78 -
7,27 8,01 7,52 6,72 6,55 7,05
8,58 8,43 8,09 6,97 7,72
7,72 8,72 -
7,85 8,93 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
11,6
12,25
16,79
17,02
14,06
16,61
14,17
15,38
-
-
-
-
26,17
23,48
20,77
20,89
18,26
18,51
16,65
17,72
-
-
-
-
Keterangan : Diameter kertas cakram = 6 mm, diameter zona bening = diameter zona hambat + diameter kertas cakram.
Dengan demikian dapat dikatakan banyak atau sedikitnya jumlah ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang dihasilkan tidak membuktikan bahwa semua ekstrak tersebut merupakan senyawa aktif antibiotika. Terutama bila pelarut ekstraksi itu merupakan senyawa polar seperti n-butanol, yang tidak hanya dapat melarutkan senyawa polar tetapi juga senyawa-senyawa organik lain yang dihasilkan oleh aktinomiset. Data tersebut juga memperlihatkan bahwa senyawa antibiotika dari ekstrak hasil fermentasi aktinomiset aktif pada mikroba jenis bakteri baik Gram positif dan Gram negatif, namun cenderung lebih aktif pada bakteri Gram positif, tetapi tidak terlalu aktif pada fungi. Hal ini terlihat dari tidak ada atau kecilnya zona bening yang terbentuk pada mikroba uji Aspergillus niger dan Candida albicans. Data yang sama juga diperoleh BenFguira, et. al. (2005) yang menyebutkan zona bening senyawa antibakterial yang dihasilkan oleh Streptomyces sp. Strain US80 (salah satu spesies aktinomiset) untuk bakteri B. Subtilis pada konsentrasi 20 µ g/mL berkisar 25 mm, jauh lebih besar dengan yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu hanya berkisar 13,32 mm.
4.2. Variasi Pelarut dan Perlakuan pada Sampel Tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel bertujuan untuk mengetahui produksi optimal senyawa antibiotika dari sampel broth fermentasi dan biomassa. Dalam prosesnya sampel broth fermentasi terlebih dahulu di kocok dengan shaker selama 1 jam sebelum akhirnya disentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 mnt, sedang sampel biomassa dilarutkan dalam air sebelum sel-sel bakteri aktinomiset endofit dihancurkan dengan sonikator, sebagian sampel
biomassa ditambahkan pelarut ekstraksi (etil asetat dan n-butanol), kemudian disentrifugasi dan sebagian lainnya difiltrasi terlebih dahulu, lalu filtratnya ditambahkan pelarut ekstraksi kemudian diekstraksi. Dari tahap ini didapatkan data bobot ekstrak hasil fermentasi aktinomiset sebagai berikut : Tabel 6. Bobot ekstrak hasil fermentasi aktinomiset pada tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel SAMPEL
PELARUT EKSTRAKSI
BOBOT EKSTRAK (g)
Broth fermentasi
Etil asetat n-Butanol
0,066 0,103 0.035 0.030 0.017 0.019 0.055 0.016 0.011 0.007
Biomassa hasil Filtrasi
Biomassa tanpa Filtrasi
Etil asetat n-Butanol Etil asetat n-Butanol
BOBOT EKSTRAK RATA-RATA (g) 0,066 0,103 0,033 0,018 0,036 0,009
Tabel 6 menunjukkan bahwa ekstrak hasil fermentasi aktinomiset terbesar pada sampel broth fermentasi pada ekstak n-butanol dengan bobot mencapai 0,103 g untuk 100 mL sampel yang dikocok dengan shaker selama 1jam dan disentrifugasi 3.000 rpm selama 15 menit. Hasil ekstraksi ini lebih besar dibandingkan pada tahap sebelumnya hanya mencapai 0,075 g di mana sampel broth fermentasi di kocok dengan shaker selama 3 hari dalam termostatik dengan kecepatan berkisar 150 rpm. Dengan demikian perlakuan pada sampel juga mempengaruhi banyak sedikitnya jumlah ekstrak hasil fermentasi yang diproduksi oleh aktinomiset.
Untuk sampel biomassa baik yang difiltrasi maupun tidak jumlah ekstrak terbanyak terdapat pada ekstrak etil asetat, terutama pada sampel ekstrak biomassa tanpa filtrasi. Hal ini memperkuat data sebelumnya yang menyatakan bahwa pelarut ekstraksi terbaik untuk memproduksi senyawa antibiotika dari bakteri aktinomiset endofit BioMCC AE000484 adalah etil asetat. Pada uji bioaktivitas didapatkan data diameter zona bening beberapa ekstrak pada pengamatan 24 jam dan 48 jam, yang menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas sebagai antibiotika. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 terlihat bahwa hanya sampel biomassa tanpa filtrasi ekstrak etil asetat yang memiliki bioaktivitas antibiotika. Sedangkan sampel lainnya seperti broth fermentasi dan biomassa hasil ekstrak n-butanol tidak menunjukkan adanya aktivitas antibiotika. Tabel 7. Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel Sampel Broth fermentasi Fs. EtOAc Broth fermentasi Fs. n-BuOH Biomassa tnp filtrasi Fs. EtOAc Biomassa tnp filtrasi Fs. n-BuOH Biomassa hsl filtrasi Fs. EtOAc Biomassa hsl filtrasi Fs. n-BuOH Cont (-), MeOH dest Riffampicin 500 ppm Riffampicin 1000 ppm
S. aureus 24 48 6,24 6,24 19,88 18,58 20,93 19,89
DIAMETER ZONA BENING (mm) B. subtilis E. coli 24 48 24 48 6,95 6,94 19,65 18,67 19,42 17,83 20,59 19,80 21,27 19,73
P. aeruginosa 24 48 8,45 7,66 19,45 18,54 20,02 19,20
Keterangan : Diameter kertas cakram = 6 mm, diameter zona bening = diameter zona hambat + diameter kertas cakram.
4.3. Pengaruh Penambahan Pelarut pada Sampel Biomassa Tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan pelarut ekstraksi pada sampel biomassa sebelum sel-sel bakteri aktinomiset endofit dihancurkan dengan sonikator, dan membandingkan hasil yang didapat dengan tahap sebelumnya di mana sampel biomassa terlabih dahulu ditambahkan aquadest (diencerkan). Bobot ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang diperoleh pada tahap ini, sebagaimana terlihat pada Tabel 8. Dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa bobot ekstrak biomassa aktinomiset terbesar dari 300 mL sampel berada pada fase n-butanol sebanyak 0,237 g diikuti oleh fase etil asetat 0,198 g. Data tersebut menunjukkan bahwa bobot ekstrak yang diproduksi pada tahap ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tahapan sebelumnya yang hanya menghasilkan bobot ekstrak berkisar 0,009 g untuk sampel biomassa yang tanpa difiltrasi dan 0,018 g untuk biomassa yang difiltrasi, dalam 100 mL sampel. Hal ini membuktikan bahwa proses sonikasi disertai penambahan pelarut ekstraksi akan mempermudah pemecahan dinding sel aktinomiset endofit sehingga bobot ekstrak yang didapatkan pun lebih optimal. Tabel 8. Bobot ekstrak aktinomiset pada tahap pengaruh penambahan pelarut pada sampel SAMPEL Biomassa Biomassa tanpa Filtrasi Biomassa hasil Filtrasi
PERLAKUAN Tanpa penambahan air Dengan penambahan air
PELARUT EKSTRAKSI Etil asetat n-Butanol Etil asetat
BOBOT EKSTRAK (g) 0,198 0,237 0,033
n-Butanol
0,018
Etil asetat
0,036
n-Butanol
0,009
Untuk selanjutnya ekstrak kering aktinomiset tersebut diuji bioaktivitasnya dan didapatkan data sebagaimana terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset pada tahap pengaruh penambahan pelarut pada sampel Sampel Biomassa Fs. n-BuOH Biomassa Fs. EtOAc Cont (-), MeOH dest Riffampicin 500 ppm Riffampicin 1000 ppm
B. subtilis 24 48 10,13 9,71 14,24 12,81 28,04 26,33 28,85 29,55
DIAMETER ZONA BENING (mm) E. coli S. aureus P. aeruginosa 24 48 24 48 24 48 18,33 16,25 31,65 31,99 21,78 20,27 18,59 17,93 33,44 33,79 23,73 21,65
C. albicans 24 48 -
Keterangan : Diameter kertas cakram = 6 mm, diameter zona bening = diameter zona hambat + diameter kertas cakram.
Dari Tabel 9 terlihat bahwa semua sampel memiliki bioaktivitas antibiotika dan zona bening terbesar terlihat untuk mikroba B. subtilis, dengan diameter zona bening mencapai 14,24 mm pada ekstrak biomassa fase etil setat. Hal ini memperlihatkan bahwa senyawa antibiotika yang diproduksi oleh aktinomiset endofit sangat baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif terutama bakteri Bacillus subtilis. Data lain Meskey et. al. (2006) menyebutkan zona bening yang dihasilkan oleh Streptomyces sp. GW99/1572 (salah satu spesies aktinomiset) terbesar terjadi pada bakteri S. aureus yang juga merupakan bakteri Gram positif. Dari beberapa jurnal didapatkan penghambatan senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset terbesar terjadi pada bakteri dengan Gram yang sejenis dengan Gram bakteri dari isolat aktinomiset yang digunakan yaitu Gram positif.
4.4. Purifikasi Ekstrak Hasil Fermentasi Aktinomiset Pada tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset, dilakukan fermentasi kembali dengan pelarut ekstraksi terbaik berupa etil asetat yang diujikan pada biomassa hasil fermentasi. Tahap fermentasi dilakukan dalam volume 1 L, dan didapatkan bobot biomassa sebanyak 51,310 g. Selanjutnya biomassa disonikasi dan dikonsentratkan sehingga didapatkan bobot ekstrak total sebanyak 0,544 g, selanjutnya dipurifikasi dengan metode kromatografi kolom. Hasil kromatografi kolom ditampung tiap 10 mL dan dilakukan analisa kemurnian dengan metode KLT (Kromatografi Lapis Tipis), yang dilakukan pada tabung ke-1 dan ke-10 dari tiap variasi eluen dengan larutan pengembang berupa n-butanol, dan didapatkan pola kromatogram seperti pada Gambar 24. Gambar 24. Pola kromatogram ekstrak aktinomiset dalam eluen n-Butanol p.a. Rf
Bu
Hx 1
Hx 10
HE 11
HE 12
HE 20
Et 21
Et 22
Et 23
Et 27
Et 30
EM 31
EM 40
HEM 41
HEM 42
HEM 50
Me 51
0,79 0,71
0,51 0,47 0,41
0,26
0,12 0 Keterangan = Pola kromatogram hasil fraksinasi dengan pelarut Hx = n-heksana, HE = n- heksana : etil asetat, Et = etil asetat, EM = etil asetat : metanol, HEM = n-heksana : etil asetat : metanol, Me = metanol, Bu = pola kromatogram terbaik pada ekstrak hasil fermentasi
Me 58
Me 60
aktinomiset dengan larutan pengembang n-butanol. Hasil uji KLT dengan spot yang sama, digabungkan dan dimasukkan ke dalam tabung konsentrator yang telah diketahui bobot kosongnya dan dipekatkan, lalu ditimbang kembali untuk mendapatkan bobot ekstrak murninya, sebagai berikut :
Tabel 10. Bobot ekstrak aktinomiset kromatografi Eluen n-heksan n-heks : EtOAc EtOAc EtOAc EtOAc EtOAc : MeOH n-hek : Et : Me MeOH MeOH
Fraksi 1-11 12-20 21-22 23-26 27-30 31-40 41-50 51-58 59-60
setelah difraksinasi
Bobot Ekstrak (g) 0,001 0,002 0,000 0,000 0,040 0,022 0,040 0,001 0,000
dalam kolom
Total Bobot Ekstrak (g)
0,106
Selanjutnya dilakukan uji bioaktivitas antibiotika dari ekstrak murni hasil kromatografi kolom yang memiliki spot pada analisa KLT, dengan mikroba uji berupa Bacillus subtilis. Pengamatan uji bioaktivitas dilakukan setelah 24 jam, dengan hasil sebagai berikut : Tabel 11. Hasil uji bioaktivitas ekstrak aktinomiset yang telah difraksinasi kolom No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Eluen n-hek : EtOAc EtOAc EtOAc EtOAc : MeOH MeOH Cont. (-) MeOH dest. Cont. (+) Riff 500 ppm. Cont. (+) Riff 1000 ppm.
Bacillus subtilis Fraksi Diameter Zona Bening (mm) 12-20 21-22 27-30 12,04 31-40 9,46 51-58 16,16 17,86
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa ekstrak aktinomiset yang memiliki aktivitas antibiotika berada pada fraksi etil asetat ke-27 hingga ke-30, serta fraksi campuran etil asetat dan metanol (4 : 1). Oleh karena itu, hanya kedua sampel inilah yang selanjutnya dianalisa dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography).
4.5. Uji Bioautografi Hasil uji bioautografi memperlihatkan zona bening yang memanjang antara spot ke-1 dan ke-2 dari fraksi etil asetat dan antara spot ke-5 dan ke-6 dari fraksi campuran etil asetat : metanol (4:1), namun zona hambat tersebut cenderung terletak pada spot terendah, sebagaimana terlihat pada Gambar 25.
Fraksi Etil asetat
Fraksi Campuran Etil asetat : Metanol
Spot yang memiliki aktivitas antibiotika Fraksi etil as etat
Fraksi camp uran e til asetat : metanol
Cawan Petri
Gambar 25. Uji Bioaut ografi Zona Bening
Pertumbuhan bakteri B. subtilis
Spot yang tidak memiliki aktivitas antibiotika Gambar 25. Uji Bioautografi
4.6. Analisa High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Pada analisa HPLC fraksi etil asetat didapatkan beberapa puncak dengan puncak tertinggi pada waktu retensi 6,829 menit. Kemurnian ekstrak hasil fraksinasi kolom yang dihasilkan pada panjang gelombang 254 nm mencapai 75,35%. Hasil pola serapan UV terlihat adanya dua pita, dengan puncak serapan pada pita I 321,0 nm dan pita II 259,1 nm.
Puncak 1 2
Waktu Retensi 3,689 6,829
Area 126457 386470
% Area
Ketinggian
24,65 75,35
8258 38758
6,829
Gambar 26. Spektra HPLC fraksi etil asetat
Gambar 27. Spektra UV fraksi etil asetat
Pada fraksi campuran etil asetat dan metanol terlihat beberapa puncak dan pada waktu retensi 6,816 menit didapatkan pola serapan UV yang serupa dengan yang ada pada fraksi etil asetat yaitu berupa dua pita dengan puncak serapan pada pita I 324,6 nm dan pita II 259,1 nm, namun persen kemurnian yang didapatkan hanya sebesar 14,07%. Oleh sebab itu dapat diasumsikan bahwa sebagian kecil ekstrak hasil fraksinasi etil asetat terdistribusi dalam ekstrak fraksi campuran etil asetat dan metanol.
Puncak 1 2 3 4
Waktu Retensi 1,262 2,069 3,659 6,816
Area 828574 48752 78138 156388
% Area
Ketinggian
74,52 4,38 7,03 14,07
144074 8090 3653 14334
6,816
Gambar 28. Spektra HPLC fraksi etil asetat : methanol
Gambar 29. Spektra UV fraksi etil asetat : metanol
Puncak serapan senyawa aktif antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit BioMCC AE000484 pada analisa HPLC, ditentukan berdasarkan urutan spot pada plat KLT hasil analisa bioautografi yang memiliki bioaktivitas dengan adanya zona hambat di sekitar spot, yaitu spot ke-1 untuk fraksi etil asetat dan spot ke-5 untuk fraksi campuran etil asetat : metanol.
4.7. Analisa Fourier Transform Infra Red (FTIR) Ekstrak kering fraksi etil asetat hasil kromatografi kolom dianalisa dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red) untuk menentukan gugus fungsional yang terdapat pada senyawa antibiotika hasil fermentasi aktinomiset.
32.0
Laboratory Test Result
30 28 26 24 22 1063.31
20 18 %T
-CH 3
16
-C=O Ester
1384.22
14 12
1543.82 2928.45
10 3362.03
8
-OH
-C-H
6 4
Antibiotika Fr.EtOAc Actinomycetes 2.5
1666.37
-C=O Keton
4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
450.0
cm-1
Gambar 30. Hasil uji FTIR ekstrak aktinomiset hasil fraksinasi kolom Berdasarkan hasil uji FTIR, terdapat beberapa pita serapan yang mengidentifikasikan adanya gugus-gugus fungsi seperti, gugus hidroksi (R-OH) pada daerah serapan 3540-3200 nm, gugus alkil (-C-H) pada daerah serapan 29902855 nm dan 1485-1411 nm, gugus alkil berupa metil (-CH 3) pada daerah serapan 2980-2950nm, 2885-2865 nm, 1465-1445 nm dan 1380-1365 nm, senyawa karbonil ester (-C=O) pada daerah serapan 1790-1701 nm dan senyawa karbonil keton (-C=O) pada daerah serapan 1760-1665 nm.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian Optimasi Separasi dan Purifikasi Senyawa Antibiotika yang Dihasilkan oleh Aktinomiset Endofit dapat disimpulkan : a. Senyawa antibiotika yang diproduksi aktinomiset merupakan senyawa di dalam sel (intrasel) dengan pelarut ekstraksi terbaik berupa etil asetat. b. Hasil purifikasi diketahui senyawa antibiotika terdapat pada fraksi etil asetat dan fraksi campuran etil asetat : metanol (4 : 1). c. Pada analisa HPLC baik fraksi etil asetat maupun campuan etil asetat : metanol didapatkan pola serapan UV dan waktu retensi yang sama, untuk itu diasumsikan bahwa senyawa dari kedua fraksi tersebut adalah sama pula. d. Persen kemurnian terbesar terdapat pada fraksi etil asetat yaitu 75,35%. e. Analisa FTIR, menunjukkan senyawa antibiotika yang diproduksi
oleh
aktinomiset senyawa alifatik yang memiliki gugus-gugus fungsi seperti, gugus hidroksi, gugus alkil umum, gugus alkil berupa metil, dan senyawa karbonil keton.
5.2. SARAN Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pemurnian dan elusidasi struktur senyawa antibiotika yang dihasilkan oleh aktinomiset endofit, mengingat bahwa analisa kemurnian ekstrak hasil fraksinasi kolom dengan HPLC hanya
mencapai 75,35 %.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2008. Kromatografi www.chem_is_try.org
Cair
Kinerja
Tinggi
(HPLC).
Anzai, Y., H. Kim, J.Y. Park, H. Wakabayashi & H. Oyaizu. 2000. Phylogenetic Affiliation of The Pseudomonads Based on 16S rRNA Sequence. Japan : Nippon Roche Research Center. Baden, W. 2002. Chemicals Reagents. Germany : Merck. BenFguira, L.F., S. Fotso, R.B.A. Mehdi, L. Mellouli, & H. Laatsch. 2005. Purification and Structure Elucidation of Antifungal and Antibacterial Activities of Newly Isolated Streptomyces sp. Strain Us80. Research in Microbiology 156 (2005) 341-280. Bentley, R. & R. Meganathan. 1982. Biosynthesis of Vit K (Menaquinone) in Bacteria. Bacteriological review. 3 : 241-280. Bernasconi, G., H. Gerster, H. Hauser, H. Stäuble & E. Schneiter. Teknologi Kimia Bag. 2. terj. Dr. Ir. Lienda Handojo, M. Eng. Jakarta : PT Pradnya Paramita. Curtis, A.M., G.J. Smith, & C.E. Ravin. 1979. Air Crescent Sign of Invasive Aspergillosis. Radiological society of North America. Day Jr, R.A. & A.L. Underwood. 1990. Kimia Analisis Kualitatif. Jilid 2. terj. Drs. R. Soendoro. Jakarta : Erlangga. Fine, M.J., M.A. Smith, C.A. Carson, S.S. Mutha, S.S. Sankey, L.A. Wessfeld & W.N. Kapoor. 1996. Prognosis and Outcomes of Patients with Community Acquired Pneumonia. A meta-analysis. JAMA 275 (2) : 134141. Haslm.
2007. Menanam Rumput, http://www.kompas.com
Memanen
Antibiotik.
Bogor
:
IPB.
Holt, J.G. 1994. Berfey’s Manual of Determinative Bacteriology. 9th ed. Williams & Wilkins. Hussar, A. S. & Howard L. H. 1954. Antibiotics and Antibiotic Therapy. New York : The Macmillan Company. Iglewski, B.H. 1996. Pseudomonas in Baron’s Medical Microbiology. 4th ed. Univ. Of Texas Medical Branch.
Kluytmans, J, A. van Belkun & H. Verburgh. 1997. Nasal Carriage of Staphylococcus aureus : Epidemiology, Underlying Mechanisms, and Associated Risks. The Nederlands : Clinical Microbiol. Rev. 10 (3) : 505-520. Maddox, I.S., G.J. Manderson & P-L. Yu. 1998. Industrial Microbiology, Laboratory Programme. Massey University. Madigan, M.T., J.M. Martinko & J. Parker. 2003. Brock Biology of Microorganisms. 10th ed. Pearson education Inc. Madigan, M.T. & J.M. Martinko. 2005. Brock Biology of Microorganisms. 11th ed. Prentice Hall. Maskey, R.P., S. Fotso, M. Sevvana, I. Uson, I.G. Wollny, & H. Laatsch. 2006. Kettapeptin : isolation, Structure Elucidation and Activityof a New Hexadepsipeptide Antibiotic from Terrestrial Streptomyces sp. Journal Antibiotics 59 (5) : 309-314. McCauley, B. 2008. Biology; Fungi. DeAnza College. Nakano, M.M. & P. Zuber. 1998. Anaerobic Growth of Strict Aerobe (B. Subtilis). Annu. Rev. Microbiology. 52 : 165-190. Nur, M.A. & H. Adijuwana. 1988. Teknik Separasi dalam Analisis Pangan. Bogor : IPB. Nawangsih, A.A. 2007. Penyakit Pisang Dapat Ditekan dengan Bakteri Endofit. Bogor : www.google.com Ogston, A. 1984. ”On Abscesses”. Classics in Infectious Diseases”. Rev. Infect dis 6 (1) : 122-128. Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 2. ter. Ratna Sri Hadioetomo. Jakarta : UI Press. Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 1. ter. Ratna Sri Hadioetomo. Jakarta : UI Press. Prescott, L.M., J.P. Harley & D.A. Klein. 2002. Microbiology. 5th ed. New York : McGraw Hill. Ryan, K.J. & C.G. Ray. 2004. Sherris Medical Microbiology. 4th ed. New York : McGraw Hill.
Samson, R.A., J. Houbraken, R.C. Summerbell, B. Flannigan & J.D. Miller. Common and Important Species of Fungi and Actinomycetes in Indoor Environments. In : Microorganisms in Home and Indoor Work Environments. New York : Taylor & Francis. Singleton, P. & D. Sainsbury. 1987. Dictionary of Microbiology and Molecular Biology. 2 nd Edition. New York : John Wiley & Sons Ltd. Sjachri, M. 1992. Diktat Kimia Bahan Alam Hayati. Penelaah : M. Anwar Nur. Bogor : IPB. Spieler, M. 2006. Something Tasty? Just Look Down. The New York Times. Stackebrandt, E., F.A. Rainey & N.L. Ward Rainey. 1997. Proposal for a New Hierachic Classification System, Actinobacteria Classis. Int. J. Syst. Bacteriology. 47 : 479-491. Suwandi, U. 1990. Purifikasi Antibiotik. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. KALBE FARMA. Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta : Gadjah mada University Press. Utomo, D. 2007. Tumbuhan Obat Digunakan Sejak Ribuan Tahun Silam. KBI Gemari. Van Epps, H.L. 2006. Rene Dubos : Unearthing Antibiotics. J. Exp. Med. 2 : 259. Vogt, R.L. & L. Dippold. 2005. Escherichia coli O157:H7 Outbreak Associated with Consumption of Ground Beef. Public health reports. 2 : 174-178.
Lampiran 1. Bobot ekstrak aktinomiset tahap optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset
SAMPEL
PELARUT EKSTRAKSI
Etil asetat Broth Fermentasi
n-Heksana n-Butanol
Etil asetat
Supernatan
n-Heksana
n-Butanol
Etil asetat
Biomassa
n-Heksana
n-Butanol
BOBOT TABUNG KONSENTRATOR (g) 4,120 4,288 4,111 4,280 4,326 4,184 4,278 4,167 4,131 4,150 4,187 4,326 4,273 4,281 4,258 4,128 4,291 4,117 4,176 4,289 4,265 3,678 4,165 4,122 4,265 4,180
BOBOT TABUNG + EKSTRAK (g) 4,157 4,332 4,156 4,303 4,353 4,262 4,347 4,246 4,151 4,174 4,207 4,350 4,305 4,330 4,306 4,260 4,389 4,142 4,213 4,332 4,289 3,728 4,210 4,166 4,305 4,248
BOBOT EKSTRAK (g) 0,037 0,044 0,045 0,023 0,027 0,078 0,069 0,079 0,020 0,024 0,020 0,024 0,032 0,049 0,048 0,132 0,098 0,025 0,037 0,043 0,024 0,050 0,045 0,044 0,040 0,068
BOBOT EKSTRAK YANG DIGUNAKAN (g) 0,0065 0,0063 0,0059 0,0168 0,0068 0,0128 0,0139 0,0115 0,0010 0,0015 0,0020 0,0152 0,0032 0,0061 0,0098 0,0055 0,0109 0,0028 0,0043 0,0028 0,0040 0,0096 0,0044 0,0137 0,0161 0,0119
VOLUME MeOH (µL)*
* Penambahan MeOH dest. hingga konsentrasi mencapai 20.000 ppm, kecuali sampel supernatan fase etil asetat konsentrasi 10.000 ppm.
325 315 295 840 340 640 695 575 100 150 200 760 160 305 490 275 545 140 215 140 200 480 220 685 805 595
Lampiran 2. Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap optimasi separasi senyawa aktif aktinomiset Mikroba Uji Pengenceran Ke10-5 10-6 10-8
C. albicans
B. subtilis
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
> 300 > 300 207
110 110 41
143 ≠ ≠
> 300 > 300 204
> 300 216 152
A. niger Kotak Ke∑ Koloni 1 12 2 14 3 15 4 12 5 16 6 10 7 11 8 11 9 20 10 12 123 ∑ Total Koloni
Rumus :
∑ Koloni Pengenceran ke- x . Vk
sel/petri =
mL/petri = Vm x 10 5 sel/mL fungi atau 10 6 sel/mL bakteri Sel/petri C. albicans 10-8
C.A. =
207
= 2,07 . 1011 sel/petri
10-8 . 10-1 mL/petri = 50 x 105 sel/mL 2,07 . 1011 sel/petri = 2,415 . 10 -5 mL/petri = 241,5 . 10 -3 mL/petri = 241,5 µ L/petri
B. subtilis 10-8
B.S. =
= 4,1 . 1010 sel/petri
41 10-8 . 10-1
mL/petri = 50 x 106 sel/mL 4,1 . 10
10
sel/petri
= 1,22 . 10 -3 mL/petri = 1,22 µ L/petri S. aureus 10-5
S.A. =
143
= 1,43 . 108 sel/petri
10-5 . 10-1 mL/petri = 50 x 106 sel/mL 1,43 . 1010 sel/petri = 3,497 . 10 -1 mL/petri = 0,035 . 10 -3 mL/petri = 0,035 µ L/petri E. coli 10-8
E.C. =
204
= 2,04 . 1011 sel/petri
10-8 . 10-1 mL/petri = 50 x 106 sel/mL 2,04 . 1011 sel/petri = 2,45 . 10 -4 mL/petri = 24,5 . 10 -3 mL/petri = 24,5 µ L/petri
P. aeruginosa 10-8
P.A. =
= 1,52 . 1011 sel/petri
152 10-8 . 10-1
mL/petri = 50 x 106 sel/mL 1,52 . 10
11
sel/petri
= 3,289 . 10 -4 mL/petri = 32,89 . 10 -3 mL/petri = 32,89 µ L/petri A. niger 10-3
A.N. sel/petri = 123 sel x 2,5 x 104 x 103 = 3,075 . 109 sel/petri mL/petri = 50 x 106
sel/mL 9
3,075 . 10 sel/petri = 1,63 . 10 -2 mL/petri = 16,3 . 10 -3 mL/petri = 16,3 µ L/petri
Lampian 3. Bobot ekstrak aktinomiset tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel
SAMPEL
PELARUT EKSTRAKSI
Spl. Ke-
Etil asetat
Broth Fermentasi
n-Butanol
I
Biomassa hasil filtrasi
Etil asetat
II
BOBOT TABUNG KONSENTRATOR (g) 3,682 3,651 3,721 3,522 3,682 3,664 3,720 3,680 3,846 3,655 3,651 3,622 3,714 3,630 4,228 4,062 3,844 4,140 3,676 4,143 3,668 3,636 3,733 3,621 3,718 4,068 4,111 4,060 4,229 4,197 4,249 3,692 4,366 3,689 4,138 4,234 3,660 3,667 3,622 3,718 3,685
BOBOT TABUNG + EKSTRAK (g) 3,687 3,658 3,728 3,526 3,686 3,669 3,726 3,684 3,851 3,660 3,659 3,628 3,722 3,638 4,235 4,069 3,853 4,146 3,684 4,141 3,676 3,643 3,741 3,630 3,729 4,072 4,115 4,064 4,234 4,201 4,253 3,695 4,369 3,691 4,140 4,237 3,663 3,670 3,625 3,721 3,687
BOBOT EKSTRAK (g) 0,005 0,007 0,007 0,004 0,004 0,005 0,006 0,004 0,005 0,005 0,008 0,006 0,008 0,008 0,007 0,007 0,009 0,006 0,008 0,002 0,008 0,007 0,008 0,009 0,011 0,004 0,004 0,004 0,005 0,004 0,004 0,003 0,003 0,002 0,002 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,002
BOBOT TOTAL (g)
0,066
0.103
0,035
0,030
I
n-Butanol
II
I
Etil asetat Biomassa tanpa filtrasi II
I
3,749 4,129 3,658 3,816 4,250 3,735 4,246 4,097 3,659 3,623 3,813 3,676 3,655 3,579 3,736 4,110 4,192 3,626 4,077 3,813 3,685 3,813 3,725 3,577 3,815 3,643 4,226 4,245 4,120 4,078 4,232 3,645 4,269 4,289 4,245 3,760 3,738 4,231 4,129 4,129 4,107 4,232 3,765 4,225 4,218 3,694 3,674 3,620 3,648
3,753 4,132 3,660 3,820 4,252 3,738 4,249 4,098 3,661 3,624 3,814 3,677 3,656 3,581 3,736 4,112 4,193 3,628 4,078 3,816 3,687 3,815 3,727 3,577 3,816 3,645 4,227 4,250 4,125 4,083 4,236 3,651 4,275 4,294 4,250 3,765 3,743 4,235 4,131 4,131 4,109 4,234 3,769 4,227 4,220 3,695 3,676 3,622 3,649
0,004 0,003 0,002 0,004 0.002 0.003 0.003 0.001 0.002 0.001 0.001 0.001 0.001 0.002 0.000 0.002 0.001 0.002 0.001 0.003 0.002 0.002 0.002 0.000 0.001 0.002 0.001 0,005 0,005 0,005 0,004 0,006 0,006 0,005 0,005 0,005 0,005 0,004 0,002 0,002 0,002 0,002 0,004 0,002 0,002 0,001 0,002 0,002 0,001
0,017
0,019
0.055
0.016
0.011
n-Butanol
3,663 4,167 3,653 4,232 3,632 3,687 3,671
II
3,664 4,169 3,654 4,233 3,635 3,690 3,672
0,001 0,002 0,001 0,001 0,003 0,003 0,001
0.007
Lampiran 4. Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap variasi pelarut dan perlakuan pada sampel Mikroba Uji Pengenceran Ke10-5 10-6 10-8
B. subtilis
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
95 50 15
27 3 2
74 35 8
3 2 -
Rumus :
sel/petri =
∑ Koloni Pengenceran ke- x . Vk
mL/petri = Vm x 10 5 sel/mL fungi atau 10 6 sel/mL bakteri Sel/petri B. subtilis 10-6
B.S. =
50
= 5 . 108 sel/petri
10-6 . 10-1 mL/petri = 50 x 106 sel/mL 5 . 108
sel/petri
= 0,1 mL/petri = 100 µ L/petri
S. aureus 10-6
S.A. =
= 3 . 107 sel/petri
3 10-6 . 10-1
mL/petri = 50 x 106 sel/mL 3 . 107
sel/petri
= 1,667 mL/petri = 1.667 µ L/petri E. coli 10-6
E.C. =
= 3,5 . 108 sel/petri
35 -6
10 . 10
-1
mL/petri = 50 x 106 sel/mL 3,5 . 108 sel/petri = 0,143 mL/petri = 143 µ L/petri P. aeruginosa 10-6
P.A. =
2
= 2 . 107 sel/petri
10-6 . 10-1 mL/petri = 50 x 106 sel/mL 2. 107 sel/petri = 2,5 mL/petri = 2.500 µ L/petri
Lampiran 5. Bobot ekstrak aktinomiset tahap pengaruh penambahan pelarut pada sampel biomassa
SAMPEL
PELARUT EKSTRAKSI
Spl. Ke-
BOBOT TABUNG KONSENTRATOR (g)
Etil asetat
Biomassa
4,177 3,534 3,694 3,733 3,743 3,678 3,692 3,715 3,739
n-Butanol
BOBOT TABUNG + EKSTRAK (g) 4,375 3,569 3,730 3,765 3,780 3,712 3,720 3,747 3,742
BOBOT EKSTRAK (g) 0,198 0,035 0,036 0,032 0,037 0,034 0,028 0,032 0,003
0,198
BOBOT EKSTRAK YANG DIGUNAKAN (g) 0,008
0,237
0,022
TOTAL BOBOT EKSTRAK (g)
Lampiran 6. Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap pengaruh penambahan pelarut pada sampel biomassa Mikroba Uji Pengenceran Ke-
B. subtilis
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
C. albicans
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
∑ Koloni
10-5 10-6 10-8
33 -
73 -
22 6 5
44 -
43 3 -
Rumus : sel/petri =
∑ Koloni Pengenceran ke- x . Vk
mL/petri = Vm x 10 5 sel/mL fungi atau 10 6 sel/mL bakteri Sel/petri
VOLUME MeOH (µL) 400
1100
B. subtilis 10-6
B.S. =
= 3,3 . 108 sel/petri
33 10-6 . 10-1
mL/petri = 20 x 106 3,3 . 10
8
sel/mL sel/petri
= 0,061 mL/petri = 61 µ L/petri S. aureus 10-6
S.A. =
73
= 7,3 . 108 sel/petri
10-6 . 10-1 mL/petri = 20 x 106 sel/mL 7,3 . 108
sel/petri
= 0,027 mL/petri = 27 µ L/petri E. coli 10-5
E.C. =
22
= 2,2 . 107 sel/petri
10-5 . 10-1 mL/petri = 20 x 106 sel/mL 2,2 . 107 sel/petri = 0,91 mL/petri = 910 µ L/petri P. aeruginosa 10-6
P.A. =
44
= 4,4 . 108 sel/petri
10-6 . 10-1 mL/petri = 20 x 106 sel/mL 4,4. 108
sel/petri
= 0,045 mL/petri = 45 µ L/petri
C. albicans 10-5
C.A. =
43
= 4,4 . 107 sel/petri
10-5 . 10-1 mL/petri = 20 x 105 sel/mL 4,3. 107
sel/petri
= 0,047 mL/petri = 47 µ L/petri
Lampiran 7. Bobot biomassa aktinomiset tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset Bobot Tabung (g) 9,244 9,248 9,213 9,201 9,156
Bobot Tabung + Biomassa (g) 19,766 19,398 20,536 20,896 16,776
Bobot Biomassa (g)
Total Bobot Biomassa (g)
10,522 10,150 11,323 11,695 7,620
51,310
Lampiran 8. Bobot ekstrak aktinomiset tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset Bobot Tabung Konsentrator (g) 3,375 3,888 3,649 3,659 3,566 3,631 3,677 3,541
Bobot Tabung + Ekstrak (g) 3,749 3,903 3,664 3,676 3,873 3,773 3,701 3,551
Bobot Ekstrak (g)
Total Bobot Ekstrak (g)
0,014 0,015 0,015 0,017 0,307 0,142 0,024 0,010
0,544
Lampiran 9. Perhitungan volume kultur cair mikroba yang ditambahkan ke dalam media agar untuk uji bioaktivitas antibiotika tahap purifikasi ekstrak hasil fermentasi aktinomiset Mikroba Uji Pengenceran Ke-
B. subtilis
10-5 10-6 10-8
55 -
∑ Koloni
Rumus : sel/petri =
∑ Koloni Pengenceran ke- x . Vk
mL/petri = Vm x 10 5 sel/mL fungi atau 10 6 sel/mL bakteri Sel/petri B. subtilis 10-5
B.S. =
55
= 5,5 . 107 sel/petri
10-5 . 10-1 mL/petri = 50 x 106 sel/mL 5,5 . 107
sel/petri
= 0,909 mL/petri = 909 µ L/petri
Lampiran 10. Gambar-gambar Peralatan 1. UV Cabinet II CAMAG
3. Recipro shaker, SR 2S
2. Sentrifuge, Beckman J2-HS
4. Centrifugal concentrator, TOMY CC-105
5. Centrifugal concentration, Sakuma EC-2000
Lampiran 11. Data Percobaan 1. Ekstrak hasil fermentasi aktinomiset
2. Ekstrak hasil fermentasi aktinomiset yang telah ditambahkan metanol hingga konsentrasi 20.000 ppm.
3. Plat KLT ekstrak aktinomiset
4. Uji bioaktivitas antibiotika
Uji bioaktivitas terhadap S. aureus
Uji bioaktivitas terhadap E.coli
Uji bioaktivitas terhadap C. albicans
Uji bioaktivitas terhadap B. subtilis
Uji bioaktivitas terhadap P. aeruginosa
5. Uji bioautografi ekstrak hasil fraksinasi kolom