Siaran Pers
Alat Musik Tradisional Jepang, Koto sebuah pelajaran dari Jepang…
Depok, 22 Februari 2009 – Senin, 23 Februari, bertempat di Auditorium Gedung IX, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, digelar LEKTUR musik Jepang, Koto, oleh Chieko Fukuda, seorang pemain Koto professional. Pada kesempatan ini, akan dilakukan juga dialog dengan para peserta pertunjukkan. Koto adalah alat musik tradisional Jepang. Pertama kali dikenal di Jepang sekitar abad ke-7, ketika sejumlah bangsawan Jepang yang pergi ke Cina untuk mempelajari kebudayaan dan kesenian di sana kembali dan membawa Guzheng, sejenis kecapi Cina. Koto dikembangkan dari Guzheng tersebut. Chieko mengenal koto pertama kali dari ayahnya, Tanehiko FUKUDA (kepala sekoalh kedua Mitsunonekai, sekolah koto shamisen) dan mendalaminya sejak usia 3 tahun. Lulus pada tahun 1988 dari the 3rd NHK Ikuseikai College dan mulai bekerja pada Agency for Cultural Affairs. Tahun 1993 ia memenangi the arts Festival Prize dari the Agency for Cultural Affairs untuk resital keduanya sebagai pemenang termuda sepanjang sejarah. Tahun 1997 ia meraih The Arts Festival Excellent Prize Dari The Agency For Cultural Affairs pada recital ke-6 dan tahun 1998 CD pertamanya “Akikazenokyoku” dirilis oleh Japan Traditional Cultural Foundations. Ia sempat berkeliling ke empat kota di Jerman pada tahun 1999 bersama dengan “Chieko Fukuda Ensemble” yang diorganisir oleh Japan Foundation. Setelah tur ini, ia melanjutkan tur seupa ke-11 kota di enam negara lainnya. Pada tahun 2004 ia menggantikan ayahnya menjadi kepala sekolah Mitsunonekai ke-3. Pada tahun 2008, Chieko didominasikan menjadi special advisor untuk Cultural Exchange 2008 oleh The Agency Of Cultural Affairs. Saat ini ia menjabat sebagai direktur Nihon Sankyoko Kyokai, Direktur Ikutaryu Kyokai dan Kepala Sekolah Mitsunonekai. Kegiatan yang dilakukannya saat ini adalah tampil di TV, radio, ataupun pertunjukkanpertunjukkan serta mengajar. Ia juga tampil sebagai pemain musik klasik dan berkolaborasi dengan musisi musik cadas DEMON KOGURE. Pengalaman yang dibawa oleh musisi Jepang ini diharapkan mampu merangsang lebih banyak penggiat seni dan budaya tanah air untuk mensyiarkan berbagai alat musik tradisional Indonesia di kancah nasional maupun internasional. Melalui Chieko, publik Indonesia dapat mengambil banyak pelajaran bahwa musik tradisional dapat memancarkan pesona yang kuat di era postmodern ini. Dan bagaimana mewujudkannyalah, yang menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi masyarakat kita. Alat Musik tradisional merupakan “emas bermelodi” yang sudah semestinya di”eksploitasi” sedemikian rupa untuk menjadi salah satu “duta besar” di komunitas global, bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang kaya. *** Keterangan lebih lanjut Devie Rahmawati Deputi Director Corporate Communications Universitas Indonesia 0811.11.03951