ANALISIS PENGARUH KONFLIK PEKERJAAN- KELUARGA TERHADAP

Download pekerjaan-keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dan ...

0 downloads 350 Views 335KB Size
ANALISIS PENGARUH KONFLIK PEKERJAANKELUARGA TERHADAP STRESS KERJA DENGAN DUKUNGAN SOSIAL SEBAGAI VARIABEL MODERASI (STUDI KASUS PADA GURU KELAS 3 SMP NEGERI DI KABUPATEN KENDAL )

TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk menyelesaikan Program Pascasarjana Pada Program Magister Manajemen Pascasarjana Universitas Diponegoro

Disusun Oleh : AFINA MURTININGRUM, SS

NIM : C4A003002 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2005

ii

Saya, Afina Murtiningrum, SS, yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis yang saya ajukan ini adalah hasil karya saya sendiri yang belum pernah disampaikan untuk mendapatkan gelar pada program Magister Manajemen ini ataupun pada program lainnya. Karya ini adalah milik saya, karena itu pertanggungjawabannya sepenuhnya berada di pundak saya.

Afina Murtiningrum, SS

September 2005

ii

PENGESAHAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis berjudul : ANALISIS PENGARUH KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA TERHADAP STRESS KERJA DENGAN DUKUNGAN SOSIAL SEBAGAI VARIABEL MODERASI (STUDI KASUS PADA GURU KELAS 3 SMP NEGERI DI KABUPATEN KENDAL ) Yang disusun oleh Afina Murtiningrum, SS; NIM C4A003002 telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal .......September 2005 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima.

Pembimbing Utama,

Pembimbing Anggota,

Drs. Muji Rahardjo, SU

Dra. Intan Ratnawati, Msi

Semarang, ..... September 2005 Universitas Diponegoro Program Pascasarjana Program Studi Magister Manajemen Ketua Program,

( Prof. Dr. Suyudi Mangunwihardjo )

ii

MOTTO

Jangan menunggu sampai menjadi orang yang bahagia, jika hanya untuk tersenyum. Tersenyumlah agar engkau menjadi orang yang bahagia

( DR. Aidh al-Qarni ) ™

Peristiwa-peristiwa tak mengenakkan yang menimpamu, Itulah yang akan mengajarkanmu bagaimana menikmati anugerah

( DR. Aidh al-Qarni ) ™

Kebiasaan melihat sisi baik dalam setiap kejadian adalah lebih berharga daripada memiliki harta kekayaan

( Samuel Johnson )

ii

ABSTRAK

Konflik yang terjadi karena adanya tumpang tindih antara urusan pekerjaan dan rumah tangga merupakan topik yang penting di lingkungan organisasi dewasa ini. Konflik pekerjaan-keluarga dapat didefinisikan sebagai bentuk konflik peran di mana tuntutan pekerjaan dan keluarga tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Beberapa penelitan sebelumnya telah menyebutkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga berakibat negatif bagi individu seperti kelelahan secara emosional yang pada akhirnya mengarah pada stress kerja. Dari perspektif tersebut, dukungan sosial dapat membantu menurunkan stress kerja yang diakibatkan oleh konflik pekerjaan-keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dan menganalisis pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga, rekan kerja dan atasan. Populasi sebanyak 479 yang merupakan guru-guru SMP Negeri kelas 3 di Kabupaten Kendal diambil sampel secara acak sebanyak 100 orang. Adapun teknik pengambilan sampel adalah purposive random sampling. kemudian dilakukan uji validitas dan reliabilitas, uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas dan uji normalitas. Pengolahan data dengan rumus regresi linier dan regresi moderating serta alat bantu komputer program SPSS.

ii

Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh positif dan signifikan terhadap stress kerja. Sedangkan dukungan sosial terbukti memoderasi hubungan variabel konflik pekerjaan-keluarga terhadap variabel stress kerja. Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa berdasarkan tanggapan responden, dukungan sosial tertinggi adalah dukungan yang bersumber dari pasangan hidup dan keluarga. Untuk menurunkan tingkat stress kerja yang dikarenakan konflik pekerjaankeluarga, peneliti menyarankan beberapa hal : Perlu ditekankan pentingnya sikap perhatian dari keluarga yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk kerja sama yang positif seperti berbagi dalam menyelesaikan urusan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak serta memberikan dukungan terhadap karir atau pekerjaan suami atau istri. Selain itu, dukungan dari atasan (kepala sekolah) dan rekan kerja seperti berdiskusi dalam hal pekerjaan, sikap empati terhadap perasaan guru dan saran dalam mengatasi masalah-masalah guru terutama yang berkaitan dengan pekerjaan akan lebih membantu dalam menurunkan tingkat stress kerja guru.

ii

ABSTRACT

Conflict between the work and family domains is an increasingly important issue in today’s organizational environment. Work-family conflict is an inter-role conflict arising from incompatible pressures from work and family roles. Previous research indicates that work-family conflict results in several negative consequences for individual such as emotional exhaustion which, in turn, leads to job stress. From this perspective, social support represents a form of coping. Social support can help reduce the stress that workers experience from work-family conflict. The purpose of this research is to analyze the relationship between workfamily conflict and job stress, and to analyze the social support moderated the relationship between work-family conflict and job stress. This research uses 100 junior high school teachers in Kendal as the sample of study. We used questionnaires to collect data from the sample. Then, the data are processed using purposive random sampling and analyzed using reliability, validity, multicolinearity, heteroscedacity and normality test. Linier regression and moderating regression is chosen as the most appropriate method for prediction purposes. The result of the analysis shows that there is a positive and significant relationship between work-family conflict and job stress. The result also shows that social support moderated the relationship between work-family conflict and job stress, especially social support coming from family (spouse and children).

ii

This study suggest that family-supportive policies such as child care, job sharing, and support each other are the most important factors for teachers to cope effectively from work-family conflict. Besides that, supervisor (headmaster) and friends’ support, such as sharing of problems through listening, concern and advices may be more helpful to reduce teachers’ level of job stress.

ii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas karunia dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ” ANALISIS PENGARUH KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA TERHADAP STRESS KERJA DENGAN DUKUNGAN SOSIAL SEBAGAI VARIABEL MODERASI (STUDI KASUS PADA GURU KELAS 3 SMP NEGERI DI KABUPATEN KENDAL ) ini. Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 2 Magister Manajemen pada Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro Semarang. Ucapan terima kasih perlu disampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam bentuk bimbingan, arahan, informasi dan dorongan semangat sehingga tesis ini dapat tersusun, mereka itu adalah : 1. Prof. Dr. Suyudi Mangunwihardjo selaku Ketua Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro. 2. Bapak Drs. Muji Rahardjo, SU dan Ibu Drs. Intan Ratnawati, MSi selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan banyak masukan serta semangat kepada penulis. 3. Seluruh dosen Program Magister Manajemen Universitas Diponegoro, terutama kepada Bapak Fuad Mas’ud dan Bapak Drs. Syuhada Sufyan yang telah memberikan bimbingan informal dalam proses penyusunan tesis ini.

ii

4. Bapak dan Ibu tercinta atas dukungan, pengertian dan doanya kepada penulis. I’ll never be able to thank you enough. Always pray and support me.....ok? 5. Kakak-kakak dan adik penulis atas segala bantuan, dukungan dan doanya. Deep in my heart, I really appreciate it ! 6. Semua teman Magister Manajemen UNDIP Angkatan 20 terutama Sorta, Winny, Yanti, Ita dan Sista atas masukan, perhatian dan kebersamaan selama kuliah. Thanks for all the years of support and friendship. I am happy to be part of your classmate. Keep in touch ! 7. Sobatku Arif, Diva dan Sigit untuk nasehat, lelucon-leluconnya dan meluangkan waktunya mendengarkan semua keluh kesah penulis. Thank you so much for all the joy, advices and laughter, I proud having all of you as my friends. 8. Seluruh personel di Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal yang telah membantu melengkapi data yang dibutuhkan penulis. 9. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang ikut membantu penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, ...... September 2005, Penyusun,

Afina Murtiningrum, SS

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………i SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TESIS …………………………………….ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………...iii HALAMAN MOTTO ………………………………………………………………iv ABSTRAK …………………………………………………………………………...v ABSTRACT…………………………………………………………………………vi KATA PENGANTAR ……………………………………………………………..vii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...viii DAFTAR TABEL …………………………………………………………………..ix DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………..x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……………………………………………………….1 1.2. Perumusan Masalah …………………………………………………..7 1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………………..9 1.4. Kegunaan Penelitian ………………………………………………..10 BAB II TELAAH PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 2.1. Telaah Pustaka ………………………………………………………..11 2.1.1. Konflik Pekerjaan-Keluarga ……………………………………..11 2.1.2. Stress Kerja ……………………………………………………...14 2.1.3. Dukungan Sosial ………………………………………………...20 2.1.4. Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Stress Kerja ….22 2.1.5. Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Stress Kerja Dengan Dukungan Sosial Sebagai Variabel Moderasi ………….24 2.2. Penelitian Terdahulu …………………………………………………29 2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis ………………………………………...36 2.4. Hipotesis ……………………………………………………………..37 2.5. Definisi Operasional …………………………………………………37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Dan Sumber Data ………………………………………………41 3.2. Populasi Dan Sampel ………………………………………………...41 3.3. Metode Pengumpulan Data …………………………………………..45 3.4. Teknik Analisis Data ………………………………………………...46 3.4.1. Uji Validitas Dan Uji Reliabilitas ……………………………..47 3.4.2. Uji Asumsi Klasik ……………………………………………..47

ii

3.4.2.1. Uji Multikolinearitas ……………………………………..48 3.4.2.2. Uji Heteroskedastisitas …………………………………..48 3.4.2.3. Uji Normalitas …………………………………………..48 3.4.3. Analisis Deskriptif ………………………………………………49 3.4.4. Analisis Regresi ………………………………………………….49 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Responden …………………………………………………...52 4.1.1. Responden Berdasarkan Umur ……………………………..52 4.1.2. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ……………………..53 4.1.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ………………54 4.1.4. Responden Berdasarkan Sudah Memiliki Anak Atau Belum ……………………….………………………...55 4.2. Analisis Data ………………………………………………………...57 4.2.1.1. Uji Reliabilitas …………………………………………….57 4.2.1.2. Uji Validitas ……………………………………………...58 4.3.1. Statistik Deskriptif ……………………………………………….60 4.3.2. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ……………………………….61 4.3.2.1. Uji Multikolinearitas ……………………………………….61 4.3.2.2. Uji Heteroskedastisitas …………………………………….62 4.3.2.3. Uji Normalitas ……………………………………………..63 4.3.3. Analisis Regresi ………………………………………………….64 4.3.3.1.Pengujian Hipotesis Pertama ……………………………….64 4.3.3.2.Pengujian Hipotesis Kedua ………………………………….66 4.3.3.3.Pengujian Hipotesis Ketiga …………………………………68 4.3.3.4.Pengujian Hipotesis Keempat ………………………………69 BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI MANAJERIAL 5.1.Kesimpulan…………………………………………………………….71 5.2. Implikasi Teoritis ……………………………………………………..75 5.3. Implikasi Manajerial ………………………………………………….76 5.4. Keterbatasan Penelitian ……………………………………………...80 5.5. Agenda Penelitian Mendatang ………………………………………..81 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… -LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………………………………--

ii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Matrik Penelitian Terdahulu …………………………………………..33 Tabel 2.2. Variabel Dan Indikator Dukungan Sosial, Konflik Pekerjaan-Keluarga Dan Stress Kerja ……………………………………………………...40 Tabel 3.1. Jumlah Guru Kelas 3 SMPN Negeri Kabupaten Kendal ……………...42 Tabel 3.2. Desain Inti Dari Pertanyaan ……………………………………………46 Tabel 4.1. Profil Responden Berdasarkan Umur …………………………………53 Tabel 4.2. Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ………………………...54 Tabel 4.3. Profil Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ………………….55 Tabel 4.4. Profil Responden Berdasarkan Sudah Memiliki Anak Atau Belum……………………………………………………………..56 Tabel 4.5. Hasil Uji Reliabilitas ………………………………………………….57 Tabel 4.6. Hasil Uji Validitas …………………………………………………….59 Tabel 4.7. Hasil Analisis Statistik Deskriptif ……………………………………..60 Tabel 4.8. Hasil Uji Multikolinearitas ……………………………………………62 Tabel 4.9. Hasil Uji Statistik Hipotesis Pertama …………………………………65 Tabel 4.10 Hasil Uji Statistik Hipotesis Kedua ……………………………………67 Tabel 4.11 Hasil Uji Statistik Hipotesis Ketiga ……………………………………68 Tabel 4.12 Hasil Uji Statistik Hipotesis Keempat …………………………………69

ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis ………………………………………..36 Gambar 4.1. Hasil Uji Heteroskedastisitas ………………………………………..63 Gambar 4.2. Hasil Uji Normalitas ………………………………………………...64

ii

B A B I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dengan berbagai permasalahannya hanya dapat dipecahkan kecuali dengan penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi, perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sabagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan. Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam proses pendidikan, faktor tenaga kependidikan yaitu guru memegang peranan dalam menjalankan fungsi dan pelaksanaan pendidikan (the people behind the students). Apabila para guru dapat melaksanakan tugas dengan baik, maka akan terpancar profil seorang guru yang berkompeten. Ukuran sukses guru tentunya berkaitan dengan prestasi belajar murid yaitu dengan adanya EBTANAS atau UAN (Ujian Akhir Nasional). Di sinilah para guru berjuang keras agar para murid berkualitas dan tidak kalah dengan sekolah lainnya.

1

Guru, dalam kaitannya sebagai subyek yang berperan dalam dunia pendidikan mengemban tugas dan peranan yang sangat luas dan berat. Guru tidak saja mengemban tugas di sekolah, namun juga tugas sosial kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggalnya. Guru mempunyai citra baik di masyarakat, apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan. (Dewi, 2002). Tuntutan hidup demikian besar pada satu sisi, sementara pada sisi lain tanggung jawab dan beban moral yang dipikul sebagai seorang pengajar dan pendidik yang sangat besar sering mengakibatkan stres/tekanan mental pada guru. Belum lagi jika ia menjadi sasaran kritik atas gagalnya suatu proses pendidikan yang dialami oleh anak didiknya (Toni, 2003). Farber (1991) dalam Sutjipto (2002) mengemukakan bahwa keacuhan siswa, ketidakpekaan penilik sekolah/pengawas, orang tua siswa yang tidak peduli, kurangnya apresiasi masyarakat dengan pekerjaan mereka (guru), kritik masyarakat, kelas yang terlalu padat, kertas kerja yang berlebihan, bangunan fisik sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi, dan gaji yang tidak memadai merupakan beberapa faktor lingkungan sosial yang turut berperan menimbulkan stress kerja. Di samping mengalami stress kerja, para pengajar dalam hal ini guru dilaporkan juga mengalami adanya konflik antar peran dikarenakan adanya profesi ganda. Di rumah sebagai ayah atau ibu dan juga anggota keluarga dengan segala persoalannya, dan di sekolah sebagai guru juga dengan segala

2

persoalannya. Tentunya kedua jenis peran membawa beban yang tidak ringan. (Toni, 2003). Cinamon, dkk (2002) menjelaskan bahwa jumlah anak, jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengurus rumah tangga dan pekerjaan serta tidak adanya dukungan dari pasangan dan keluarga merupakan pemicu terjadinya konflik pekerjaan-keluarga. Tuntutan untuk menyeimbangkan antara tugas pekerjaan sebagai guru dan tuntutan sebagai anggota keluarga berpotensi menimbulkan konflik pekerjaankeluarga yang berdampak pada rendahnya kepuasan kerja,

meningkatkan

absenteeism (kemangkiran kerja) dan menurunkan motivasi karyawan (Triaryati, 2002). Melihat dampak konflik pekerjaan-keluarga dan stress kerja yang berakibat negatif pada kinerja guru maka diperlukan suatu upaya untuk menanggulanginya antara lain dengan menggunakan sumber-sumber positif yang ada di sekitar individu yaitu dukungan sosial (social support). Parasuraman, Greenhaus & Granrose (1992) mengartikan dukungan sosial sebagai tersedianya hubungan sosial, baik yang berasal dari atasan, teman profesi maupun keluarga. Menurut Muluk (1995) dalam Isnovijanti (2002), dukungan sosial merupakan informasi verbal maupun non verbal berupa suatu tindakan yang didapat dari keakraban sosial atau karena kehadiran orang yang mendukung di mana hal ini bermanfaat secara emosional dan perilaku bagi pihak yang menerima

3

dukungan sosial. Dukungan sosial dapat mengurangi beban atau permasalahan yang dihadapi oleh seseorang. Penelitian ini merupakan penelitian awal yang meneliti pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dengan dukungan sosial sebagai variabel moderasi pada profesi guru. Para pengajar SMPN terutama pengajar kelas 3 dipilih sebagai objek penelitian karena mulai tahun pelajaran 2005 pada jenjang SLTP dan SLTA diberlakukan system baru pada ujian akhir nasional (UAN). Kriteria kelulusan dalam UAN amat berbeda dengan yang diberlakukan dalam EBTANAS. Untuk bisa lulus, sesuai dengan bunyi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tentang Ujian Akhir Nasional tahun pelajaran 2005 bahwa rata-rata nilai minimal 6,0 dengan standar minimal kelulusan 4,25. Selain itu, kepada siswa kini akan mendapat Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) dan Surat Tanda Kelulusan (STK) yang berisi seseorang lulus atau tidak lulus. Dengan demikian bisa dinyatakan, tamat tidak berarti lulus. Pelaksanaan UAN pun berbeda dengan EBTANAS. Dalam UAN seluruh mata pelajaran yang diberikan di sekolah, selain ujian tertulis juga diberlakukan ujian praktik. Pelaksanaan ujian praktik pun menjadi tanggung jawab sekolah sepenuhnya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian. Bagi para guru Keputusan Menteri tersebut dirasa amat memberatkan karena kebijakan baru tersebut membuat guru harus bekerja sangat keras agar siswanya bisa memperoleh nilai batas minimal kelulusan yang sudah dipatok pemerintah dan memenuhi keinginan pihak sekolah supaya mengupayakan tingkat kelulusan siswa mencapai 100 persen. Kebijakan baru tersebut tentu saja tidak hanya memforsir waktu dan tenaga mereka untuk

4

mengadakan les tambahan tetapi juga harus datang sejak jam pertama pelajaran dan pulang paling akhir karena harus memberikan pendalaman materi pelajaran. Seperti pada SMPN 1 Kendal dan SMPN 1 Weleri, mulai memasuki kelas 3 para guru kelas 3 sudah disibukkan dengan adanya pelajaran tambahan mulai pukul 05.30 pagi (jam ke-nol) dan harus pulang paling akhir karena masih ada tambahan pelajaran sampai jam 16.00 sore. Apalagi memasuki bulan-bulan akhir menjelang UAN, les tambahan berlangsung setiap hari. Dan itu artinya mereka harus menyisihkan waktu bersama keluarga untuk memenuhi keinginan semua pihak. Rasa frustasi sering muncul jika hasil yang dicapai siswanya tidak menggembirakan. Guru pun mulai takut kalau dituduh menjadi penyebab ketidaklulusan siswa. Rishan Azhari (2004), salah seorang guru mata pelajaran Bahasa Inggris di SMPN 2 Banjarbaru menyatakan bahwa makna pelaksanaan UAN tahun 2003 yang lalu tidak hanya membuat stress peserta didik tetapi juga membuat stress di kalangan guru dan membuat para guru jantungan. Hal ini dikarenakan adanya peraturan baru dalam UAN terutama dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Pertama mereka harus disibukkan dengan adanya les tambahan yang tidak hanya berupa materi tertulis tetapi juga kemampuan berkomunikasi secara lisan dan tulisan karena adanya materi baru berupa listening (menyimak) dan reading (membaca). Dalam pelaksanaan UAN mereka disibukkan dengan pekerjaan mengkoreksi rekaman percakapan (suara) peserta test untuk mengukur sejauh mana kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa secara lisan maupun tulisan, dan

memeriksa hasil karangan (tulisan) peserta test untuk mengetahui

5

kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa tulis. Setelah selesai para guru masih harus memberikan nilai terhadap kemampuan anak didiknya. Semua pekerjaan diatas menimbulkan guru merasa lelah, baik kelelahan secara fisik maupun kelelahan emosional. Hal tersebut bertambah parah jika hasil nilai UAN anak didiknya jeblok karena tidak hanya mempertaruhkan nama baik guru itu sendiri terhadap orang tua siswa tetapi juga nama baik sekolahnya (www.yahoo.com) Semua faktor tersebut di atas merupakan faktor-faktor yang memicu tingkat stress dan konflik pekerjaan-keluarga pada guru dan dukungan sosial dalam hal ini sangat penting dalam mengatasi kedua masalah tersebut. Penelitian ini mengambil lokasi di SMPN Negeri di Kabupaten Kendal. SMPN Negeri Kendal dipilih karena berdasarkan data Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Tengah tentang hasil UAN tahun 2004 yang lalu, SMPN Negeri Kendal termasuk SMPN dengan jumlah siswa jumlah siswa yang tidak lulus tinggi. Data dari Dinas Pendidikan Nasional Kebupaten Kendal menyebutkan bahwa dari 40 SMPN yang ada di Kabupaten Kendal, yang mampu mencapai nilai rata-rata minimal 6,0 dengan standar minimal kelulusan 4,01 hanya sebanyak 18 SMPN sedangkan sebanyak 22 SMPN tidak dapat mencapai nilai rata-rata tersebut. Bahkan di salah satu SMPN Negeri di Kendal, dari 190 peserta UAN, diketahui sebanyak 86 peserta diantaranya dinyatakan tidak lulus. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal manyatakan bahwa banyaknya siswa atau sekolah yang tidak mencapai standar nilai kelulusan dikarenakan berbagai faktor antara lain kurangnya fasilitas yang memadai baik

6

fasilitas buku-buku pelajaran maupun fasilitas laboratorium. Masalah lain adalah rendahnya kualitas sumber daya guru yang kebanyakan hanya memiliki ijazah D3 dan kurangnya kesejahteraan guru. Dalam situasi persaingan global saat ini pada umumnya dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam hal ini para guru SMPN pada khususnya, penelitian mengenai konflik pekerjaan-keluarga dan stress kerja ini menarik untuk dilakukan karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dengan dukungan sosial sebagai variabel moderasi pada guru SMPN kelas 3 di kabupaten Kendal.

1.2. Perumusan Masalah Penelitian mengenai pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dilakukan oleh Russell, et al (1987). Profesi guru diambil sebagai sampel penelitian karena pekerjaan guru mempunyai aspek-aspek tugas yang potensial menimbulkan stress, misalnya dalam hal penegakan disiplin, sikap apatis siswa, konflik kepentingan dengan orang tua, dan kurangnya dukungan dari pihak sekolah. Akibat dari stress yang berkepanjangan dan terus-menerus menimbulkan adanya “burn out” yang nampak dalam bentuk-bentuk symtom-symtom fisik seperti mudah emosi, sakit kepala atau dalam bentuk perilaku naiknya tingkat absensi para guru. Dari penelitian Russell tersebut didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa dukungan sosial yang diterima dari atasan dan rekan kerja terbukti dapat mengurangi timbulnya stress kerja dan “burn out” pada profesi guru.

7

Mengingat bahwa guru memegang peranan yang sangat penting dan strategis dalam menjalankan fungsi dan pelaksanaan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka penulis tertarik untuk meneliti pengaruh dukungan sosial terhadap konflik pekerjaan-keluarga dan stress kerja. Peneliti berusaha lebih menjelaskan pentingnya dukungan sosial sebagai variabel moderasi yang dapat mempengaruhi konflik pekerjaan-keluarga sehingga menurunkan stress kerja. Di samping itu, sejauh ini belum ada penelitian yang secara khusus membahas tentang dukungan sosial sebagai variabel moderasi mempengaruhi konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja, khususnya pada profesi guru. Oleh karena itu permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1.

Bagaimana pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap terjadinya stress kerja pada guru?

2.

Bagaimana pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga ?

3.

Bagaimana pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja ?

4.

Bagaimana pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari atasan ?

8

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian 1.

Untuk menganalisis pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja.

2.

Untuk menganalisis pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga.

3.

Untuk menganalisis pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja.

4.

Untuk menganalisis pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari atasan.

9

1.3.2. Kegunaan Penelitian Manfaat penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan terhadap permasalahan tentang stress kerja dan konflik pekerjaan-keluarga yang terjadi pada guru. 2. Sebagai sumbangan pikiran dalam perkembangan ilmu pengetahuan dibidang peningkatan sumber daya manusia dan sebagai bahan masukan bagi Pihak Sekolah, khususnya para pengawas/kepala sekolah dalam upaya menentukan langkah-langkah pelaksanaan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan tenaga pengajar di masa yang akan datang. 3. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk mengembangkan

keilmuan

dan

praktek

di

bidang

keorganisasian maupun manajemen sumber daya manusia.

10

perilaku

BAB II TELAAH PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work-Family Conflict) Terjadinya perubahan demografi tenaga kerja seperti peningkatan jumlah wanita bekerja dan pasangan yang keduanya bekerja telah mendorong terjadinya konflik antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Hal ini membuat banyak peneliti yang tertarik untuk meneliti sebab dan pengaruh dari konflik pekerjaankeluarga (work-family conflict) tersebut ( Judge et al, 1994). Greenhaus dan Beutell (1985) dalam Yang (2000) mendefinisikan konflik pekerjaan-keluarga (Work-family conflict) sebagai bentuk konflik peran di mana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal : “It is a form of inter-role conflict in which thr role pressures from the work and family domains are mutually noncompatible in some respect. That is, participation in the work (family) role is made more difficult by virtue of participation in the family (work) role”. Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan keluarganya, atau sebaliknya, di mana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan pekerjaannya (Frone & Copper, 1992). Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu seperti pekerjaan yang harus diselesaikan terburu-buru 11

dan deadline. Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah tangga. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya keluarga, komposisi keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap anggota yang lain (Yang, et al, 2000). Frone, Russell & Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaankeluarga sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika kehidupan rumah seseorang berbenturan dengan tanggungjawabnya di tempat kerja, seperti masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Demikian juga tuntutan kehidupan rumah yang menghalangi seseorang untuk meluangkan waktu untuk pekerjaannya atau kegiatan yang berkenaan dengan kariernya. Sependapat

dengan

Frone,

Greenhaus

dan

Parasuraman

(1992)

mengemukakan bahwa konflik pekerjaan-keluarga terjadi karena karyawan berusaha untuk menyeimbangkan antara permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun yang berasal dari pekerjaannya.

12

Gutek et al, (1991) menyebutkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga (workfamily conflict) mempunyai dua komponen, yaitu urusan keluarga mencampuri pekerjaan (family interference with work) dan urusan pekerjaan mencampuri keluarga (work interference with family). Konflik pekerjaan-keluarga dapat timbul dikarenakan urusan pekerjaan mencampuri urusan keluarga seperti banyaknya waktu yang dicurahkan untuk menjalankan pekerjaan menghalangi seseorang untuk menjalankan kewajibannya di rumah, atau urusan keluarga mencampuri urusan pekerjaan (seperti merawat anak yang sakit akan menghalangi seseorang untuk datang ke kantor). Beberapa peneliti menemukan bahwa wanita cenderung menghabiskan lebih banyak waktu dalam hal urusan keluarga sehingga wanita dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan-keluarga khususnya family interference with work (Berk et al, dalam Gutek, 1991). Sebaliknya pria cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk menangani urasan pekerjaan daripada wanita sehingga pria dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaankeluarga khususnya work interference with family daripada wanita . Greenhaus dan Beutell (1985) dalam Yang (2000) mengidentifikasikan tiga jenis konflik pekerjaan-keluarga, yaitu : 1.

Time-based conflict, adalah waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) yang dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga).

2.

Strain-based conflict, terjadi pada saat tekanan salah satu peran mempengaruhi kinerja peran yang lainnya.

13

3.

Behavior-based conflict, berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan atau keluarga). Greenhaus, Bedeian dan Mossholder (1987) dalam Gutek et al (1991)

menemukan bahwa banyaknya waktu yang dicurahkan dalam pekerjaan secara positif berhubungan dengan konflik pekerjaan-keluarga. Cinamon, dkk (2002) dalam penelitiannya pada profesi guru menjelaskan bahwa jumlah anak, jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengurus rumah tangga dan pekerjaan serta tidak adanya dukungan dari pasangan dan keluarga merupakan pemicu terjadinya konflik pekerjaan-keluarga.

2.1.2. Stress Kerja Stress kerja pada umumnya dipandang negatif oleh kebanyakan orang, padahal sebenarnya stress dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negatif. Stress yang dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif disebut distress, sedangkan stress yang memberikan dampak positif disebut eustress. Sebagian dari definisi tentang stress bertolak dari pandangan bahwa hubungan individu dengan lingkungannya dipandang sebagai suatu interaksi stimulus, interaksi respon atau interaksi antara stimulus dan respon. Menurut Gibson, Ivancevich dan Donelly (1991), definisi stimulus melihat stress sebagai suatu kekuatan atau perangsang yang menekan individu, yang menimbulkan tanggapan (respon) terhadap ketegangan (strain). Dalam definisi tersebut terdapat adanya suatu ketidakjelasan tentang kemungkinan tingkat akibat

14

yang ditimbulkan oleh stress yang sama pada individu yang berbeda, atau dengan kata lain definisi stimulus hanya melihat pada aspek stress atau tekanan saja, tanpa melihat akibat yang bakal terjadi. Definisi respon memandang stress sebagai tanggapan fisiologis atau psikilogis dari seseorang terhadap tekanan lingkungannya, dimana stress tersebut kebanyakan berasal dari lingkungan di luar diri individu. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa stress adalah suatu stimulus yang berupa tekanan yang akan mempengaruhi kondisi fisik maupun psikologis individu, dimana tekanan/stimulus tersebut dapat berasal dari dalam diri individu maupun di luar individu. Definisi lain dikemukakan oleh Luthans (1995) yang menyatakan bahwa stress kerja merupakan suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri, yang dipengaruhi oleh perbedaan individual atau proses psikologis, yakni suatu konsekuensi dari setiap tindakan ekstern (lingkungan), situasi atau peristiwa yang terlalu banyak menuntut hal-hal di luar batas kemampuan fisik dan psikologis individu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stress kerja merupakan suatu tanggapan (respon) penyesuaian, baik fisik, psikologis maupun behavioral terhadap situasi kerja, baik yang menyangkut pekerjaan itu sendiri maupun lingkungan kerja. Memang tidak selamanya stress berdampak negatif pada penderitanya, dan bahkan dapat pula berdampak positif. Contoh dampak stress kerja yang bersifat positif, antara lain, adalah motivasi diri, rangsangan untuk bekerja keras, dan timbulnya inspirasi untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan, dampak stress kerja yang

15

bersifat negatif dapat digolongkan ke dalam kategori subyektif seperti kecemasan, acuh, agresif, bosan, depresi, gugup, dan terisolir; kategori perilaku seperti penyalahgunaan obat/narkoba, reaksi meledak-ledak, merokok berlebihan, dan alkoholik; kategori kognitif seperti ketidakmampuan mengambil keputusan secara jelas, sulit konsentrasi, peka kritik, dan rintangan mental; kategori fisiologis dan kesehatan seperti meningkatnya kadar gula, denyut jantung, tekanan darah, tubuh panas dingin, meningkatnya kolesterol, dan lain-lain; dan kategori organisasi seperti ketidakpuasan kerja, menurunnya produktivitas, dan keterasingan dengan rekan sekerja (Luthans, 1995). Stress kerja yang terjadi dalam jangka yang cukup lama dan berlangsung dalam intensitas yang tinggi mengakibatkan individu akan mengalami kelelahan fisik maupun mental. Kondisi ini disebut “burn out”, yang merupakan salah satu bentuk stress yang tampak pada sikap perilaku individu. Burnout merupakan kondisi emosional di mana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat (Pines dan Aronson, 1989 dalam Sutjipto, 2002). Timbulnya kelelahan ini karena mereka bekerja keras, merasa bersalah, merasa tidak berdaya, merasa tidak ada harapan, merasa terjebak, kesedihan yang mendalam, merasa malu, dan secara terus menerus membentuk lingkaran dan menghasilkan perasaan lelah dan tidak nyaman, yang pada gilirannya meningkatkan rasa kesal, dan lingkaran terus berlanjut sehingga dapat menimbulkan kelelahan fisik, kelelahan mental dan kelelahan emosional (Pines dan Aronson, 1989 dalam Sutjipto, 2002).

16

Profesi pekerjaan dan stress kerja memiliki keterkaitan satu sama lain karena karakteristik dari pekerjaan itu sendiri. Profesi guru, polisi, perawat, pengatur lalu lintas udara merupakan beberapa bidang pekerjaan yang lebih banyak stressor dibandingkan profesi yang lainnya. Jones (1991) dalam Sutjipto (2002) menyatakan bahwa profesi yang berkaitan dengan bidang pelayanan publik diindikasikan lebih rentan terhadap stress karena karakteristik sifat pekerjaannya. Profesi guru merupakan pekerjaan pada bidang pelayanan jasa masyarakat yang memiliki stress kerja tinggi karena memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap kehidupan orang lain. Profesi guru pada dasarnya merupakan suatu pekerjaan yang menghadapi tuntutan dan pelibatan emosional. Seseorang terkadang dihadapkan pada pengalaman negatif dengan siswa sehingga menimbulkan ketegangan emosional. Situasi tersebut secara terus menerus dan akumulatif dapat menguras sumber energi guru (Caputo, 1991 dalam Sutjipto, 2002). Kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber emosional, misalnya perasaan frustrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara psikologis. Selain itu, mereka mudah tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas. Berikut adalah contoh ungkapan yang menggambarkan adanya kelelahan emosional dari seorang guru: "Setiap hari saya merasa lelah di sekolah karena saya ingin membuktikan bahwa saya adalah guru yang baik bagi siswa khususnya, orang lain serta diri sendiri.

17

Saya sudah merasa lelah sekali, namun semua yang telah saya berikan apakah akan memperoleh balasan yang seimbang ( Maslach, 1982 dalam Sutjipto, 2004). Stress pada guru bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti tidak sabaran, baik dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswa di kelas, lekas marah, sensitif atau mudah tersinggung, bersikap apatis, kurang dapat konsentrasi dalam mengajar, pelupa, peka terhadap kritik yang ditujukan pada dirinya, atau bisa muncul efek organisatoris/kelembagaan yaitu sering absen (tidak masuk) kerja dengan berbagai alasan, menghindari tanggung jawab, produktivitas kerja/mengajar rendah atau turun, dan justru sering dihinggapi rasa benci terhadap pekerjaan sebagai gejala yang ekstrim. Farber (1991) dalam Sutjipto (2002) mengemukakan bahwa keacuhan siswa, ketidakpekaan penilik sekolah/pengawas, orang tua siswa yang tidak peduli, kurangnya apresiasi masyarakat dengan pekerjaan mereka (guru), kritik masyarakat, pindah kerja yang tidak dikehendaki, kelas yang terlalu padat, kertas kerja yang berlebihan, bangunan fisik sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi, dan gaji yang tidak memadai merupakan beberapa faktor lingkungan sosial yang turut berperan menimbulkan stress kerja. Dilihat dari muaranya, faktor-faktor yang potensial menjadi sumber stress secara umum dapat diklasifikasikan menjadi faktor internal (individu yang bersangkutan) dan faktor eksternal (lingkungan rumah, sosial maupun tempat kerja). Davidson dan Coper (1981) dalam Effendi (2004) menjelaskan : "... special emphasis will also be placed on specific potential stressors in the work environment, underutilization of abilities, underload of boredom, work overload, role conflict, unequity of pay,

18

job future ambiguity, relationship and work, equipment and danger."

Menurut Tatik Suryani, dkk (2001) secara umum terdapat empat faktor yang dapat menjadi sumber penyebab stress kerja, yakni lingkungan luar, organisasi, kelompok kerja serta faktor yang berasal dari dalam diri individu. - Faktor Lingkungan Lingkungan merupakan kondisi di luar organisasi yang akan berpengaruh terhadap organisasi maupun individu-individu yang ada di dalam organisasi. Lingkungan luar merupakan lingkungan makro seperti kondisi sosial, perkembangan teknologi, kondisi ekonomi,politik dan lain-lain. - Kondisi Organisasi Kondisi organisasi dapat menjadi potensi bagi terjadinya stress. Hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan administrasi serta strategi organisasi, struktur dan desain organisasi, proses organisasional yang berlangsung di sebuah organisasi serta kondisi kerja, apabila tidak tepat akan berpengaruh terhadap terjadinya stress kerja. - Faktor Individu Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan timbulnya stress dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian. Faktor demografik berupa jenis kelamin dan usia sedangkan faktor kepribadian berupa tipe kepribadian A.

19

- Kelompok Kerja Kondisi kelompok kerja yang baik akan ditandai oleh adanya keterikatan yang tinggi, penerimaan sosial serta hubungan yang harmonis antar anggota kelompok kerja. Apabila kelompok kerja memiliki keterikatan yang rendah dan sering terjadi konflik akan berakibat pada timbulnya stress.

2.1.3. Dukungan Sosial Dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Di lingkungan pekerjaan, hubungan antar karyawan itu dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas. Buhnis, dkk dalam Erni (1995) mengemukakan dua alasan penting keberadaan dukungan sosial. Pertama, individu membutuhkan bantuan orang lain bilamana tujuan atau aktivitas pekerjaan demikian luas dan kompleks sehingga tidak dapat menyelesaikan sendiri. Kedua, hubungan antara karyawan itu mempunyai nilai sebagai tujuan yaitu pekerjaan yang menuntut hubungan saling membantu. Dukungan sosial adalah suatu transaksi interpersonal yang melibatkan affirmation atau bantuan dalam bentuk dukungan instrumen yang diterima individu sebagai anggota jaringan sosial (House dan Wells, 1987 dalam Russell et al, 1989). House dalam Dunseath, et al (1995) menjelaskan

dukungan sosial

sebagai suatu transaksi interpersonal yang melibatkan perhatian emosional, bantuan instrumental, informasi dan penilaian. Bantuan yang diperoleh dalam 20

hubungan interpersonal dibutuhkan dalam menunjang kelancaran organisasi. Lebih lanjut House dalam Cohen & Syme (1985) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah tindakan yang bersifat menolong atau membantu dengan melibatkan aspek perhatian, emosi, informasi dan penilaian yang positif. Menurut Muluk (1995) dalam Isnovijanti (2002), dukungan sosial merupakan salah satu fungsi ikatan sosial yang mencakup dukungan emosional yang mendorong adanya ungkapan perasaan, pemberian saran dan nasehat, informasi dan pemberian bantuan material dan moril. Lebih lanjut dikatakan bahwa dukungan sosial merupakan informasi verbal maupun non verbal berupa suatu tindakan yang didapat dari keakraban sosial atau karena kehadiran orang yang mendukung di mana hal ini bermanfaat secara emosional dan perilaku bagi pihak yang menerima dukungan sosial. Dukungan sosial dapat mengurangi beban atau permasalahan yang dihadapi oleh seseorang. Oleh karena itu pengertian dukungan sosial dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan model dukungan yang dihasilkan dari interaksi antar pribadi yang melibatkan salah satu atau lebih aspek emosi, penilaian, informasi dan instrumen sehingga dapat mereduksi beban yang diterima oleh individu. Konsep dukungan sosial dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan sumber dukungan tersebut (House dalam Dunseath et al, 1995). Berdasarkan bentuk dukungan sosial terdiri dari : a) dukungan emosional : perilaku memberi bantuan dalam bentuk sikap memberi perhatian, mendengarkan dan simpati terhadap orang lain. Dukungan sosial ini tampak pada sikap menghargai, percaya, peduli dan tanggap terhadap individu yang didukungnya. Dukungan ini yang paling sering

21

muncul pada interkasi sosial antar individu; b) dukungan instrumental : merupakan bantuan nyata dalam bentuk merespon kebutuhan yang khusus seperti pelayanan barang dan bantuan finansial; c) dukungan informasi : berupa saran, nasehat atau berupa feedback yang individu yang didukungnya; d) dukungan penilaian : berupa penilaian yang berisi penghargaan yang positif, dorongan maju atau persetujuan terhadap gagasan atau perasaan pada individu yang lainnya. Berdasarkan sumber dukungan, dukungan sosial ada tiga macam, yaitu : dari pasangan hidup (suami atau istri), keluarga, rekan kerja dan atasan. Dukungan sosial ini didapat dari mereka yang secara signifikan berpengaruh terhadap individu (Ray dan Miller, 1994). Dukungan dari atasan dan rekan kerja dapat mereduksi beban yang diterima dalam pekerjaan, sedangkan dukungan sosial dari pasangan hidup yaitu suami atau istri dan keluarga lebih berperan pada dukungan emosional (Parasuraman, 1992 dalam Farhati, 1996).

2.1.4. Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Stress Kerja Beberapa teori yang relevan mendukung beberapa prediksi yang menyebutkan bahwa konflik peran dalam pekerjaan dan keluarga mengarah pada stress kerja. Teori peran menjelaskan bahwa konflik peran individu terjadi ketika pengharapan dalam hal kinerja salah satu peran menimbulkan kesulitan dalam peran lain (Katz dan Kahn, 1978 dalam Judge et al, 1994). Salah satu bentuk konflik peran adalah peran dalam pekerjaan dan keluarga. Konflik peran dalam pekerjaan dan keluarga berakibat pada stress kerja karena adanya konflik antar peran (interrole conflict) yang berarti terjadi konflik peran di mana tuntutan peran 22

pekerjaan dan keluarga saling tumpang tindih contohnya waktu yang dihabiskan bersama keluarga dengan waktu yang dihabiskan dalam pekerjaan). Baik konflik work interference with family dan family interference with work keduanya dapat menyebabkan terjadinya stress kerja. Konflik work interference with family cenderung mengarah pada stress kerja karena ketika urusan pekerjaan mencampuri kehidupan keluarga, tekanan seringkali terjadi pada individu untuk mengurangi waktu yang dihabiskan dalam pekerjaan dan menyediakan lebih banyak waktu untuk keluarga. Sama halnya dengan konflik family interference with work dapat mengarah pada stress kerja dikarenakan banyaknya waktu untuk berkumpul bersama keluarga menyebabkan kurangnya waktu yang dibutuhkan dalam menangani urusan pekerjaan dan ini merupakan sumber potensial terjadinya stress kerja (Judge et al, 1994). Banyak bukti yang menjelaskan bahwa tekanan antara peran keluarga dan pekerjaan dapat mengarah pada penurunan fisik dan psikologis karyawan (Bedeian et al dalam Thomas & Ganster, 1995). Kahn, et al dalam Thomas & Ganser (1995) menggunakan teori peran dalam menjelaskan tekanan tersebut yang biasa disebut dengan konflik antar peran (interrole conflict). Konflik antar peran terjadi ketika pelaksanaan salah satu peran menyulitkan pelaksaan peran yang lain. Tekanan untuk menyeimbangkan dua peran tersebut dapat menyebabkan timbulnya stress. Konflik pekerjaan-keluarga merupakan

salah satu bentuk

konflik antar peran dimana tekanan dari pekerjaan mengganggu pelaksanaan peran keluarga. Quinn & Staines (1979) dalam Thomas & Ganster menjelaskan dalam surveynya mengenai konflik pekerjaan-keluarga bahwa 38% pria dan 43%

23

wanita yang telah menikah dan memiliki pekerjaan serta anak dilaporkan mengalami konflik pekerjaan-keluarga. Sejak saat itu banyak peneliti yang mengaitkan hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress dan hasil yang diperoleh mengindiksikan bahwa tekanan untuk menyeimbangkan antara tanggung jawab keluarga dan pekerjaan tidak hanya menyebabkan stress kerja tetapi juga ketidakpuasan kerja, depresi, kemangkiran kerja dan penyakit jantung. H1 : Konflik pekerjaan-keluarga (work-family conflict) berpengaruh signifikan positif terhadap terjadinya stress kerja.

2.1.5. Pengaruh Konflik Pekerjaan-Keluarga Terhadap Stress Kerja Dengan Dukungan Sosial Sebagai Variabel Moderasi Dukungan sosial sebagai variabel dalam mengatasi stress kerja yang disebabkan oleh konflik pekerjaan-keluarga telah banyak dijelaskan oleh beberapa peneliti. Lai-I Tsuei (2000) meneliti hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga, stress kerja dan keinginan berpindah dengan sampel 165 pekerja perempuan di perusahaan berteknologi tinggi Science-Based Industrial Park. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap terjadinya stress kerja karena akan mempengaruhi aspek fisik dan psikologi karyawan dan dukungan sosial memiliki andil dalam menanggulangi masalah tersebut. Dalam industri berteknologi tinggi dan kerasnya persaingan antar perusahaan menyebabkan faktor konflik pekerjaan-keluarga dan stress kerja mendapatkan perhatian serius dari pihak perusahaan. Pekerja perempuan yang terbukti mempunyai konflik pekerjaan-keluarga akan mengalami stress yang

24

kemudian menyebabkan adanya penurunan kinerja, dan hal ini tentu saja merugikan pihak perusahaan. Dukungan sosial baik dari pihak keluarga maupun perusahaan memainkan peranan yang penting dalam menanggulangi resiko stress kerja.. Dukungan dari atasan, salah satu komponen dari dukungan sosial, merupakan effek moderator dan menduduki peringkat tertinggi dalam menurunkan tingkat stress kerja karyawan yang disebabkan adanya konflik pekerjaan-keluarga. Maslach (1982) dalam Sutjipto (2004) menyatakan bahwa dukungan sosial yang tidak ada dari atasan dapat menjadi sumber stres emosional yang berpotensi menimbulkan stress kerja. Kondisi atasan yang tidak responsif akan mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan merasa bahwa segala upayanya dalam bekerja tidak akan bermakna. Linda Thomas & Ganster (1995) juga menekankan pentingnya dukungan sosial (dari pihak perusahaan) dalam menurunkan tingkat stress kerja yang dihadapi karyawan dengan adanya konflik pekerjaan-keluarga. Thomas & Ganster menjelaskan bahwa adanya bantuan dalam mengurus anak dengan jadwal kerja yang flexibel, saling memahami satu sama lain, akan dapat menurunkan tingkat stress, meningkatkan produktivitas karyawan dan juga dapat menurunkan tingkat absensi dan keinginan berpindah. Dukungan sosial dari atasan dan rekan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap stress kerja

dengan mempengaruhi

konflik pekerjaan-keluarga. Penelitian lain dijelaskan oleh Tara Kuther (2002) dalam artikelnya yang berjudul Women, Work, Stress and Health. Hasil penelitian yang didapat

25

mengindikasikan bahwa terjadinya stress kerja berhubungan dengan tingginya tingkat konflik pekerjaan-keluarga yang dalam hal ini tidak hanya dialami oleh wanita tetapi juga oleh pria, di mana tingkat konflik pekerjaan-keluarga mempunyai dampak positif terjadinya stress kerja. Semakin tinggi tingkat konflik pekerjaan-keluarga maka semakin tinggi pula tingkat stress kerja. Dukungan sosial yang diterima akan mengurangi tingkat konflik pekerjaan-keluarga, meningkatkan kepuasan kerja dan mengurangi masalah kesehatan yang berhubungan dengan stress kerja. Linda Duxbury, et al (1999) melakukan penelitian pada karyawan di Kanada. Dalam jurnalnya An Examination of The Implications and Costs of WorkLife Conflict In Canada, Linda menemukan bahwa 1 dari 3 orang karyawan (35,6% sampai 40% dari jumlah sampel) mengalami tingkat konflik pekerjaankeluarga yang tinggi, sepertiga dari karyawan Kanada dilaporkan mempunyai tingkat depresi yang tinggi dan merasakan stress kerja, tingkat kemangkiran kerja karyawan meningkat dan jumlah karyawan yang mempunyai tingkat kepuasan kerja tinggi menjadi semakin berkurang. Dari penelitiannya didapatkan bahwa semua hal tersebut di atas dikarenakan adanya perubahan sosial dan demografi, dari sistem tradisonal menjadi dual-career family. Dalam sistem dual-career family dimana kedua orang-tua bekerja (baik suami maupun istri) mengharuskan kedua belah pihak untuk menyeimbangkan antara urusan pekerjaan dan urusan keluarga dan hal ini menyebabkan timbulnya konflik antar peran (interrole conflict). Konflik antar peran terjadi ketika pelaksanaan salah satu peran menyulitkan pelaksanaan peran yang lain. Tekanan untuk menyeimbangkan dua

26

peran tersebut dapat menyebabkan timbulnya stress dan masalah kesehatan. Dan dengan adanya dukungan sosial baik dari keluarga maupun dari atasan dan rekan kerja yang tinggi, dapat menurunkan stress kerja dan menurunkan masalah kesehatan yang dihadapi. Dari hasil penelitian Duxbury (1999) diketahui bahwa paling sedikit seperempat dari tantangan yang dihadapi oleh perusahaanperusahaan di Kanada adalah adanya tuntutan untuk menyeimbangkan antara urusan rumah tangga dan urusan pekerjaan yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat stress kerja karyawan. Sementara itu penelitian mengenai pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja yang dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga, rekan kerja dan atasan dengan studi kasus pada profesi guru dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Cinamon, dkk (2002). Variabel yang menjelaskan konflik pekerjaan-keluarga terdiri dari jumlah anak, waktu yang dihabiskan untuk urusan keluarga dan pekerjaan serta tidak adanya dukungan dari pasangan hidup dan keluarga. Sedangkan variabel stress kerja terdiri dari jumlah kelas, jumlah siswa serta waktu yang dihabiskan guru untuk mengatasi permasalahan siswa serta kurangnya dukungan baik dari pihak sekolah maupun orang tua siswa. Responden terdiri dari 273 guru yang berusia antara 20-64 tahun, 65% responden memiliki pendidikan minimal D3, sebanyak 87% responden telah menikah dan 92% telah memiliki anak. Hasil penelitian menyatakan bahwa guru akan berusaha mengatasi permasalahan baik masalah keluarga maupun masalah pekerjaan sehingga menimbulkan konflik pekerjaankeluarga yang akan mengarah pada terjadinya stress kerja. Penelitian tersebut

27

menyarankan bahwa disamping berusaha untuk menurunkan tingkat konflik pekerjaan-keluarga dengan cara waktu kerja yang lebih flexibel, akan lebih berarti jika pihak sekolah ikut membantu dalam mengatasi masalah siswa dengan meminta dukungan kepada orang tua siswa. Shu-Chin Chew (2002) meneliti pengaruh hubungan konflik pekerjaankeluarga melalui teori pengambilan keputusan (self-determination theory). Dengan responden dengan guru-guru SMP Kaoshiung, penelitian Chew menjelaskan bahwa lingkungan mampengaruhi motivasi seseorang baik di keluarga maupun di tempat kerja. Seseorang yang merasa dihargai dan didukung baik di keluarga (oleh pasangan hidup) maupun di tempat kerja (oleh rekan kerja dan atasan) akan mempengaruhi seseorang secara langsung dalam membuat keputusan. Apabila seseorang mampu membuat keputusan secara tepat untuk menyisihkan waktu untuk urusan keluarga dan pekerjaan maka renggangnya hubungan antar anggota keluarga tidak akan terjadi. Tidak adanya dukungan dari keluarga akan menyebabkan seseorang merasa sendiri, frustasi dan mengarah pada terjadinya konflik pekerjaan-keluarga dan hal tersebut berdampak buruk di tempat kerja dan pada akhirnya akan mengarah pada stress kerja. Hasil penelitian Chew juga menjelaskan bahwa di SMP Kaoshiung, merawat anak merupakan faktor pemicu tertinggi terjadinya konflik pekerjaan-keluarga dan adanya campur tangan keluarga dalam urusan pekerjaan merupakan faktor utama terjadinya stress kerja.

28

H2

:

Pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga.

H3

:

Pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja.

H4

:

Pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari atasan.

2.2. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan dilakukan Russell, et al (1987) menunjukkan adanya pengaruh dukungan sosial terhadap stress kerja dan burn out. Profesi guru diambil sebagai sampel penelitian karena pekerjaan guru mempunyai aspek-aspek tugas yang potensial menimbulkan stress, misalnya dalam hal penegakan disiplin, sikap apatis siswa, konflik kepentingan dengan orang tua, dan kurangnya dukungan dari pihak sekolah. Akibat dari stress yang berkepanjangan dan terusmenerus menimbulkan adanya “burn out” yang nampak dalam bentuk-bentuk symtom-symtom fisik seperti mudah emosi, sakit kepala atau dalam bentuk perilaku naiknya tingkat absensi para guru. Pengambilan sampel menggunakan mailed stratified random pada 600 guru sekolah di negara bagian Iowa dengan komposisi 60% guru SD, 40% guru

29

SLTP. Usia rata-rata 39 dengan pengalaman kerja rata-rata 14,75 tahun. Teknik analisis regresi berganda dipakai untuk memeriksa hubungan antara karakteristik guru, stress kerja, burn out dan dukungan sosial. Didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa dukungan sosial yang diterima dari atasan dan rekan kerja terbukti dapat mengurangi timbulnya stress kerja dan “burn out” pada profesi guru. Penelitian mengenai hubungan antara karakteristik pekerjaan, dukungan sosial dan stress kerja dilakukan oleh Farhati dan Rosyid (1996). Sampel sebesar 63 orang yang terdiri dari 41 laki-laki dan 22 perempuan. Pengukuran stress kerja menggunakan Burn Out Inventory dari Maslach dengan reliabilitas 0,982. untuk skala dukungan sosial terdiri dari tiga subskala berdasarkan sumber dukungan yaitu atasan, rekan kerja dan keluarga. Pengolahan data menggunakan analisa regresi dan korelasi berganda. Dari hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara variabel karakteristik pekerjaan, dukungan sosial dan tingkat stress kerja. King & Peart (1992) juga meneliti hubungan karakteristik pekerjaan dan dukungan sosial terhadap stress kerja dan kepuasan kerja guru. Sebanyak 17.000 guru di Kanada diberikan questionnaire untuk mengukur besarnya pengaruh dukungan sosial terhadap stress kerja dan kepuasan kerja. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 90% guru merasa bangga dan puas terhadap pekerjaannya, tetapi mereka juga menyatakan bahwa profesi guru merupakan sumber potensial terjadinya stress. Sumber stress terbesar berasal dari tuntutan pekerjaan dan waktu, kurangnya dukungan sosial dari pengawas/kepala sekolah dan masalah

30

kebijakan sekolah. Dukungan dari pengawas/kepala sekolah dan kebijakan sekolah yang jelas akan membantu mengatasi masalah stress kerja para guru. Sementara itu Deeter (1997) mengadakan evaluasi psikometris terhadap instrumen yang dipakai untuk mengukur dukungan sosial. Instrumen dukungan sosial tersebut berdasarkan sumber dukungan sosial yaitu dari atasan, rekan kerja, pasangan hidup dan teman serta bentuk dukungan sosial yaitu dalam bentuk sikap perilaku mau mendengar, perhatian dan memberikan bantuan baik yang langsung atau “tangible” seperti nasehat atau saran. Hasilnya adalah bahwa secara teoritis dukungan sosial berpengaruh negatif terhadap stress di tempat kerja atau dengan kata lain tingginya dukungan sosial menyebabkan rendahnya stress kerja. Kuantitas dan kualitas hubungan sosial individu dengan atasan, rekan kerja dan pasangan hidup akan membantu individu mengatasi stress. Pengaruh antara dukungan sosial terhadap timbulnya konflik pekerjaankeluarga dijelaskan dalam penelitian Linda Thomas & Ganster (1995). Thomas dan Ganster melakukan survey data terhadap 398 tenaga medis professional yang telah memiliki anak. Dari survey tersebut diperoleh bukti bahwa dukungan sosial dari supervisor dan keluarga berpengaruh secara langsung dan positif terhadap persepsi karyawan dalam masalah keluarga dan pekerjaan. Dukungan sosial baik dari keluarga maupun supervisor dapat menurunkan konflik pekerjaan-keluarga dan stress kerja. Dukungan organisasi dapat membantu melaksanakan tanggung jawab keluarga dan membantu karyawan dalam mengatur konflik dengan lebih baik antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.

31

Lai-I Tsuei (2000) meneliti hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga, stress kerja dan keinginan berpindah dengan sampel 165 pekerja perempuan di perusahaan berteknologi tinggi Science-Based Industrial Park. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap terjadinya stress kerja karena akan mempengaruhi aspek fisik dan psikologi karyawan dan dukungan sosial memiliki andil dalam menanggulangi masalah tersebut. Dalam industri berteknologi tinggi dan kerasnya persaingan antar perusahaan menyebabkan faktor konflik pekerjaan-keluarga dan stress kerja mendapatkan perhatian serius dari pihak perusahaan. Pekerja perempuan yang terbukti mempunyai konflik pekerjaan-keluarga akan mengalami stress yang kemudian menyebabkan adanya penurunan kinerja, dan hal ini tentu saja merugikan pihak perusahaan. Dukungan sosial baik dari pihak keluarga maupun perusahaan memainkan peranan yang penting dalam menanggulangi resiko stress kerja.. Dukungan dari atasan, salah satu komponen dari dukungan sosial, merupakan effek moderator dan menduduki peringkat tertinggi dalam menurunkan tingkat stress kerja karyawan yang disebabkan adanya konflik pekerjaan-keluarga.

32

Adapun secara garis besar penelitian terdahulu disajikan dalam table 2.1.

Tabel 2.1 Matrik Penelitian Terdahulu

Peneliti Penelitian Hasil hasil yang Russell, et Pengaruh dukungan sosial Didapatkan bahwa al (1987) terhadap stress kerja dan burn menunjukkan dukungan sosial yang out pada profesi guru diterima dari atasan dan rekan kerja terbukti dapat mengurangi timbulnya stress kerja dan “burn out” pada profesi guru. yang diperoleh Hubungan karakteristik Hasil King & pekerjaan dan dukungan sosial menunjukkan bahwa 90% Peart terhadap stress kerja dan guru merasa bangga dan puas (1992) terhadap pekerjaannya, tetapi kepuasan kerja guru. mereka juga menyatakan bahwa profesi guru merupakan sumber potensial terjadinya stress. Sumber stress terbesar berasal dari tuntutan pekerjaan dan waktu, kurangnya dukungan sosial dari pengawas/kepala sekolah dan masalah kebijakan sekolah. Dukungan dari pengawas/kepala sekolah dan kebijakan sekolah yang jelas akan membantu mengatasi masalah stress kerja para guru. Deeter Hubungan antara dukungan Secara teoritis dukungan (1997) sosial terhadap stress kerja. sosial berpengaruh negatif terhadap stress di tempat kerja atau dengan kata lain tingginya dukungan sosial menyebabkan rendahnya stress kerja. Kuantitas dan kualitas hubungan sosial individu dengan atasan, rekan kerja dan pasangan 33

hidup akan membantu individu mengatasi stress. Cinamon, dkk (2002)

Pengaruh konflik pekerjaankeluarga terhadap stress kerja yang dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga, rekan kerja dan atasan dengan studi kasus pada profesi guru.

Hasil penelitian menyatakan bahwa guru akan berusaha mengatasi permasalahan baik masalah keluarga maupun masalah pekerjaan sehingga menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga yang akan mengarah pada timbulnya stress kerja. Penelitian tersebut menyarankan bahwa disamping berusaha untuk menurunkan tingkat konflik pekerjaan-keluarga dengan cara waktu kerja yang lebih flexibel, akan lebih berarti jika pihak sekolah ikut membantu dalam mengatasi masalah siswa dengan meminta dukungan kepada orang tua siswa.

Shu-Chin Chew (2002)

Pengaruh hubungan konflik pekerjaan-keluarga melalui teori pengambilan keputusan (selfdetermination theory)

Hasil penelitian menyatakan tidak adanya dukungan dari keluarga akan menyebabkan seseorang merasa sendiri, frustasi dan mengarah pada terjadinya konflik pekerjaankeluarga dan hal tersebut pada akhirnya akan mengarah pada stress kerja. Hasil penelitian Chew juga menjelaskan bahwa di SMP Kaoshiung, merawat anak merupakan faktor pemicu tertinggi terjadinya konflik pekerjaan-keluarga dan adanya campur tangan keluarga dalam urusan pekerjaan merupakan faktor utama terjadinya stress kerja.

34

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap terjadinya stress kerja karena akan mempengaruhi aspek fisik dan psikologi karyawan dan dukungan sosial memiliki andil dalam menanggulangi masalah tersebut. Pekerja perempuan yang terbukti mempunyai konflik pekerjaan-keluarga akan mengalami stress yang kemudian menyebabkan adanya penurunan kinerja, dan hal ini tentu saja merugikan pihak perusahaan. Dukungan sosial baik dari pihak keluarga maupun perusahaan memainkan peranan yang penting dalam menanggulangi resiko stress kerja.. Dukungan dari atasan, salah satu komponen dari dukungan sosial, merupakan effek moderator dan menduduki peringkat tertinggi dalam menurunkan tingkat stress kerja karyawan yang disebabkan adanya konflik pekerjaan-keluarga. survey data Pengaruh antara dukungan sosial Penelitian Linda Thomas & terhadap timbulnya konflik terhadap 398 tenaga medis professional yang telah pekerjaan-keluarga. Ganster memiliki anak. Dari survey (1995) tersebut diperoleh bukti bahwa dukungan sosial dari supervisor dan keluarga berpengaruh secara langsung dan positif terhadap persepsi karyawan dalam masalah keluarga dan pekerjaan. Dukungan sosial baik dari keluarga maupun supervisor Lai-I Tsuei (2000)

Hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga, stress kerja dan keinginan berpindah dengan sampel 165 pekerja perempuan di perusahaan berteknologi tinggi Science-Based Industrial Park.

35

dapat menurunkan konflik pekerjaan-keluarga dan stress kerja. Dukungan organisasi dapat membantu melaksanakan tanggung jawab keluarga dan membantu karyawan dalam mengatur konflik dengan lebih baik antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.

2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis Berdasarkan hasil telaah pustaka mengenai pengaruh dukungan sosial dalam mengatasi stress kerja yang disebabkan adanya konflik pekerjaan-keluarga, maka dikembangkan kerangka pemikiran teoritis yang mendasari penelitian ini seperti dapat dilihat pada gambar 2.3 Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis

H1 Konflik Pekerjaan-Keluarga

Stress Kerja H2 H3 H4

-

Dukungan Sosial : Pasangan Hidup dan Keluarga Rekan Kerja Atasan

36

2.4. Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis yang disajikan seperti di atas maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut : H1

: Konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh signifikan positif terhadap terjadinya stress kerja.

H2 : Pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga. H3

: Pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja.

H4

: Pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari atasan.

2.5. Definisi Operasional Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konflik pekerjaan-keluarga : konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan (Frone, Russell & Cooper, 1992). Indikator konflik pekerjaan-keluarga terdiri dari : X1 : Time-based conflict, adalah waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (pekerjaan atau keluarga) yang

37

dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga). X2 : Strain-based conflict, terjadi pada saat tekanan salah satu peran mempengaruhi kinerja peran yang lainnya. X3 : Behavior-based conflict, berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan atau keluarga). 2. Stress Kerja : suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri, yang dipengaruhi oleh perbedaan individual atau proses psikologis, yakni suatu konsekuensi dari setiap tindakan ekstern (lingkungan), situasi atau peristiwa yang terlalu banyak menuntut hal-hal di luar batas kemampuan fisik dan psikologis individu. Dengan demikian stress kerja merupakan suatu tanggapan (respon) penyesuaian, baik fisik, psikologis maupun behavioral terhadap situasi kerja, baik yang menyangkut pekerjaan itu sendiri maupun lingkungan kerja (Luthans, 1995) Variabel stress kerja terdiri dari empat indikator yaitu : X4 : Faktor Lingkungan, merupakan kondisi di luar organisasi yang akan berpengaruh terhadap organisasi maupun individu-individu yang ada di dalam organisasi (seperti kondisi sosial, perkembangan teknologi, kondisi ekonomi, politik dan lain-lain). X5 : Kondisi Organisasi, merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan administrasi serta strategi organisasi, struktur dan desain organisasi,

38

proses organisasional yang berlangsung di sebuah organisasi serta kondisi kerja. X6 : Faktor Individu, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian. Faktor demografik berupa jenis kelamin dan usia sedangkan faktor kepribadian berupa tipe kepribadian A. X7 : Kelompok Kerja, kondisi kelompok kerja yang baik akan ditandai oleh adanya keterikatan yang tinggi, penerimaan sosial serta hubungan yang harmonis antar anggota kelompok kerja yang dalam hal ini rekan sekerja. 3. Dukungan Sosial : suatu transaksi interpersonal yang melibatkan perhatian emosional, bantuan instrumental, informasi dan penilaian. Bantuan yang diperoleh dalam hubungan interpersonal dibutuhkan dalam menunjang kelancaran organisasi. Lebih lanjut dukungan sosial adalah tindakan yang bersifat menolong atau membantu dengan melibatkan aspek perhatian, emosi, informasi dan penilaian yang positif (House dalam Dunseath, et al, 1995). Variabel dukungan sosial dibentuk oleh tiga indikator yaitu : X8 : pasangan hidup (suami atau istri) dan keluarga X9 : atasan, yaitu pimpinan atau seseorang dengan kemampuannya berusaha mendorong sejumlah orang agar bekerja sama dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan bersama (Hasibuan, 2001). X10 : rekan kerja, yaitu teman atau kawan sepersekutuan.

39

Tabel 2.2 Variabel dan Indikator Dukungan Sosial, Konflik pekerjaan-keluarga dan Stress Kerja No Variabel 1 Konflik PekerjaanKeluarga

Indikator -Time-based conflict - Strain-based conflict -Behavior-based conflict - Lingkungan - Kondisi organisasi - Individu - Kelompok kerja

Pengukuran Rentang 1 s/d 10 pada masing-masing indikator untuk menyatakan sangat tidak setuju sampai sangat setuju Rentang 1 s/d 10 pada 2 Stress Kerja masing-masing indikator untuk menyatakan sangat tidak setuju sampai sangat setuju 3 Dukungan Sosial - Pasangan Hidup Rentang 1 s/d 10 pada dan Keluarga masing-masing - Rekan Kerja indikator untuk - Atasan menyatakan sangat tidak setuju sampai sangat setuju Sumber : Dikembangkan untuk penelitian ini.

40

B A B III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan dipakai dalam penelitian ini meliputi : a. Data Primer, diambil dari responden guru kelas 3 SMPN Negeri di Kabupaten Kendal, yang sudah berkeluarga, telah bekerja lebih dari satu tahun, dengan tingkat pendidikan sarjana muda/diploma, S1 dan S2 dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada responden berupa data pribadi responden dan tiga kuesioner yang terdiri dari kuesioner dukungan sosial, konflik pekerjaan-keluarga dan stress kerja. b. Data sekunder, yaitu data yang tidak didapat secara langsung dari responden, diperoleh dari data yang dimiliki oleh organisasi atau instansi, studi pustaka, penelitian terdahulu, literature dan jurnal yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

3.2. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dari penelitian ini adalah para guru SMP Negeri di Kabupaten Kendal yang mengajar pada kelas 3 yang berjumlah 479 seperti yang dijelaskan dalam tabel 3.1.

41

Tabel 3.1 Jumlah Guru Kelas 3 SMPN Negeri Kabupaten Kendal No

Nama Sekolah

Jumlah Guru Kelas 3

1

SMPN 1 PLANTUNGAN

13

2

SMPN 2 PLANTUNGAN

13

3

SMPN 1 PAGERUYUNG

11

4

SMPN 2 PAGERUYUNG

13

5

SMPN 1 SUKOREJO

12

6

SMPN 2 SUKOREJO

12

7

SMPN 1 PATEAN

13

8

SMPN 2 PATEAN

13

9

SMPN 3 PATEAN

11

10

SMPN 1 SONGOROJO

13

11

SMPN 2 SINGOROJO

12

12

SMPN 3 SONGOROJO

11

13

SMPN 4 SINGOROJO

13

14

SMPN 1 LIMBANGAN

11

15

SMPN 2 LIMBANGAN

11

16

SMPN 1 BOJA

11

17

SMPN 2 BOJA

11

18

SMPN 3 BOJA

11

19

SMPN 1 KALIWUNGU

12

20

SMPN 2 KALIWUNGU

12

21

SMPN 1 BRANGSONG

13

22

SMPN 2 BRANGSONG

13

23

SMPN 1 PEGANDON

11

24

SMPN 2 PEGANDON

13

25

SMPN 3 PEGANDON

12

26

SMPN 1 GEMUH

11

42

27

SMPN 2 GEMUH

11

28

SMPN 1 WELERI

13

29

SMPN 2 WELERI

12

30

SMPN 3 WELERI

13

31

SMPN 1 CEPIRING

11

32

SMPN 2 CEPIRING

11

33

SMPN 3 CEPIRING

11

34

SMPN 4 CEPIRING

12

35

SMPN 1 PATEBON

11

36

SMPN 2 PATEBON

11

37

SMPN 3 PATEBON

12

38

SMPN 1 KENDAL

13

39

SMPN 2 KENDAL

13

40

SMPN 3 KENDAL

13

Jumlah Sumber : Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal

479

Alasan guru SMPN kelas 3 dijadikan sebagai populasi karena guru-guru kelas tiga umumnya mengalami tingkat stress yang cukup tinggi jika sudah memasuki bulan Januari atau semester lima. Ditambah lagi dengan adanya Kebijakan baru Keputusan Menteri Pendidikan Nasional tentang Ujian Akhir Nasional tahun pelajaran 2005 bahwa rata-rata nilai minimal 6,0 dengan standar minimal kelulusan 4,25 (lebih tinggi dari tahun sebelumnya 4,01) tentu saja tidak hanya memforsir waktu dan tenaga mereka untuk mengadakan les tambahan tetapi juga harus datang sejak jam pertama pelajaran dan pulang paling akhir karena harus memberikan pendalaman materi pelajaran. Dan itu artinya mereka harus menyisihkan waktu bersama keluarga untuk memenuhi keinginan semua pihak.

43

Hal itu memacu timbulnya stress kerja yang tinggi dan konflik pekerjaankeluarga. Penelitian ini mengambil lokasi di SMP Negeri di Kabupaten Kendal. SMP Negeri Kendal dipilih karena berdasarkan data Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Tengah tentang hasil UAN tahun 2004 yang lalu, SMP Negeri Kendal termasuk SMPN dengan jumlah siswa jumlah siswa yang tidak lulus tinggi. Data dari Dinas Pendidikan Nasional Kebupaten Kendal menyebutkan bahwa dari 40 SMPN yang ada di Kabupaten Kendal, yang mampu mencapai nilai rata-rata minimal 6,0 dengan standar minimal kelulusan 4,01 hanya sebanyak 18 SMPN sedangkan sebanyak 22 SMPN tidak dapat mencapai nilai rata-rata tersebut. Bahkan di salah satu SMP Negeri di Kendal, dari 190 peserta UAN, diketahui sebanyak 86 peserta diantaranya dinyatakan tidak lulus. Teknik sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode pemilihan sampel bertujuan (purposive random sampling), dalam penelitian ini elemen sampel yang dipilih dibatasi pada elemen-elemen yang dapat memberikan informasi

berdasarkan

sampel. Tujuan

pertimbangan

yang memenuhi syarat karakteristik

yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui

pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dengan dukungan sosial sebagai variabel moderating, maka karakteristik sampel adalah sampel yang memiliki hubungan

dengan konfik pekerjaan-keluarga dan stress kerja, oleh

karena itu karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah guru SMP Negeri kelas 3 yang sudah berkeluarga, telah bekerja lebih dari satu tahun, dengan tingkat pendidikan sarjana muda/diploma, S1 dan S2. Keluarga yang dimaksud

44

dalam penelitian ini adalah keluarga dalam arti sempit yaitu seseorang yang telah menikah (baik sudah memiliki anak atau belum). Besarnya sampel dihitung dengan rumus Hair et al. Sebagaimana dikatakan oleh Hair et al (1995) bahwa ukuran sampel adalah sebanyak 5 sampai 20 observasi untuk setiap estimate parameter. Karena estimate parameter yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 10 maka sampel yang seharusnya digunakan adalah sejumlah 50 sampai 200, dan peneliti memilih untuk menggunakan sampel sebanyak 100.

3.3. Metode Pengumpulan Data Sekaran (1992) mengemukakan bahwa metode pengumpulan data yang digunakan untuk menunjukkan aktivitas ilmiah yang sistematis adalah dengan Personally Administrated Questionnnaires. Metode ini dilakukan dengan jalan memberikan daftar pertanyaan (kuesioner) kepada para responden. Setelah diberi kesempatan dalam jangka waktu tertentu untuk mengisi daftar pertanyaan tersebut, kemudian ditarik kembali untuk dijadikan data primer bagi penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada guru-guru SMP Negeri kelas 3 guna mendapatkan data tentang dimensi-dimensi dari dukungan sosial serta pengaruhnya terhadap konflik pekerjaan-keluarga dan stress kerja. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner ini dibuat dengan menggunakan skala 1-10 (mulai dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju) untuk mendapatkan data yang bersifat interval dan diberi skor atau nilai.

45

Adapun desain inti dari pertanyaan dalam penelitian ini akan disajikan dalam tabel 3.1. berikut : Tabel 3.2 Desain Inti dari Pertanyaan Variabel Konflik PekerjaanKeluarga

Item-item Pertanyaan SkalaPengukuran 10 point skala digunakan Time-based conflict mulai dari 1 (sangat tidak Strain-based conflict Behavior-based conflict setuju) sampai 10 (sangat setuju).

Stress Kerja

Lingkungan Organisasi Individu Kelompok kerja

Dukungan Sosial

Pasangan Hidup dan 10 point skala digunakan mulai dari 1 (sangat tidak Keluarga setuju) sampai 10 (sangat Rekan Kerja setuju). Atasan

10 point skala digunakan mulai dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 10 (sangat setuju).

Sumber: Ray, Miller (1994); Maslach (dalam Jones, 1991); Smith, et al dalam Luthans (1989).

3.4. Teknik Analisis Suatu penelitian membutuhkan analisis sata interpretasi yang bertujuan menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam rangka mengungkap fenomena sosial tertentu.

Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam

bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Metode yang dipilih untuk menganalisis data harus sesuai dengan pola penelitian dan variabel yang akan diteliti. Untuk menganalisis data, dalam penelitian ini digunakan analisis regresi moderating (Moderating Regression Analysis).

46

3.4.1. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Uji validitas merupakan pengujian terhadap ketepatan instrumen pengukuran yang akan digunakan dalam penelitian, sehingga tidak diragukan sebagai alat pengumpul data yang akurat dan terpercaya. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan kecermatan instrumen penelitian tersebut dapat mengungkapkan gejala-gejala yang akan diukur sehingga memberikan informasi yang akurat tentang semestinya yang akan diukur. Uji validitas diukur dengan mempergunakan teknik korelasi Product Moment Pearson. Sedangkan uji reliabilitas adalah suatu pengujian terhadap instrumen penelitian guna mengetahui konsistensi alat ukur dalam mengungkapkan gejalagejala yang sama dari objek yang diukur jika dilakukan pengukuran ulang. Uji reliabilitas diuji dengan mempergunakan Cronbach Alpha.

3.4.2. Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik digunakan untuk mengetahui kondisi data yang digunakan dalam penelitian. Hal ini dilakukan agar diperoleh model analisis yang tepat. Model analisis regresi linier dalam penelitian ini mensyaratkan uji asumsi klasik terhadap data. Adapun uji tersebut meliputi : uji multikolinearitas, dilakukan dengan melihat nilai VIF dan Tolerance; uji heteroskedastisitas dengan menggunakan scutter plot diagram; uji autokorelasi dengan menggunakan uji Durbin-Watson. sedangkan uji normalitas menggunakan grafik normal probability plot dan grafik histogram.

47

3.4.2.1. Uji Multikolinearitas Pengujian terhadap adanya multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai VIF dan Tolerance yang dihasilkan melalui analisis regresi pada bagian koeffisien. Dalam model regresi tidak terdapat problem multikolinearitas apabila besar tolerance mendekati 1 atau bila hasil R2 semakin kecil (R2 = 1-tolerance). Semakin kecil R2, akan semakin kecil pula variabilitas dari variabel independen yang dijelaskan oleh prediktor (variabel independen) yang lain.

3.4.2.2. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lainnya. Jika variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lainnya tidak tetap maka diduga terdapat masalah heteroskedastisitas. Untuk mengatahui ada tidaknya heteroskedastisitas dalam peneltian ini digunakan scatter plot diagram. Jika data yang dimiliki terletak menyebar di sekitar garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi normalitas dan tidal ada yang berpencar maka dapat dikatakan tidak terjadi hateroskedastisitas tetapi homoskedastisitas.

3.4.2.4. Uji Normalitas Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah data dalam model regresi antara variabel bebas dan variabel terikat keduanya berdistribusi normal atau

48

tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Dalam penelitian ini untuk melihat data berdistribusi normal atau tidak, dengan cara melihat grafik histogram dan normal probability plot. Metode yang lebih handal adalah normal probability plot. Distribusi normal akan membentuk suatu garis lurus diagonal dan floating data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika data menyebar di sekitar garis dan mengikuti garis diagonal, maka data tersebut memenuhi asumsi normalitas.

3.4.3. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif data variabel dimaksudkan untuk mengetahui atau menggambarkan secara umum realitas responden terhadap variabel penelitian. Dalam analisis ini diketahui kisaran nilai maksimum dan minimum, nilai rata-rata dan standar deviasi dari variabel penelitian. Pengolahan data menggunakan bantuan program SPSS.

3.4.4. Analisis Regresi Hasil pengumpulan data akan dihimpun setiap variabel sebagai satu nilai dari setiap responden dan dapat dihitung melalui program SPSS. Metode penganalisaan data menggunakan perhitungan statistik dengan program SPSS untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan, apakah dapat diterima atau ditolak. Dalam penelitian ini akan digunakan perhitungan statistik dengan regresi linier dan regresi moderat.

49

Dalam kerangka pemikiran teoritis terlihat bahwa dukungan sosial, baik yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga, rekan kerja dan atasan merupakan variabel moderating karena dapat memperlemah atau memperkuat hubungan antara variabel konflik pekerjaan-keluarga dengan stress kerja. Untuk menguji dukungan sosial sebagai variabel moderating digunakan uji residual. Uji residual digunakan dengan alasan pengujian variabel moderating, seperti uji interaksi maupun uji selisih nilai absolut, mempunyai kecenderungan akan terjadi multikolinearitas yang tinggi. a.

Untuk menguji hipotesis 1, adanya pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap terjadinya stress kerja, dengan persamaan : Y = a + bX1 + e Dimana : Y

= Stress Kerja

X1 = Konflik Pekerjaan-Keluarga

b.

a

= Intersept

b

= Koefisien regresi

e

= Error

Untuk menguji hipotesis 2, 3 dan 4; adanya pengaruh konflik pekerjaankeluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial (baik berasal dari pasangan hidup dan keluarga, rekan kerja dan atasan), dengan persamaan : Dukungan Sosial = β0 + βn.Xn + e [e]

= β0 + βn.Y

50

Di mana :

Y = Stress Kerja (variabel terikat) β0 = Intercept, diinterpretasikan sebagai nilai Y jika variabel bebas (X1, X2) sama dengan nol. βn = Koefisien variabel bebas Xn = Variabel bebas Æ Konflik Pekerjaan-Keluarga e

= Nilai residual variabel moderating, yaitu dukungan sosial dari persamaan regresi

[ e ] = Nilai absolut residual variabel moderating, yaitu dukungan sosial dan variabel independen. Analisis residual akan menguji pengaruh penyimpangan (deviasi) dari suatu model, dengan sasaran adanya ketidakcocokan (lack of fit) yang dihasilkan dari deviasi hubungan linier antar variabel independen. Jika terjadi kecocokan antara dukungan sosial dan konflik pekerjaan-keluarga (nilai residual kecil atau nol) yaitu dukungan sosial tinggi dan konflik pekerjaan-keluarga rendah, maka stress kerja akan rendah. Dan sebaliknya, jika terjadi ketidakcocokan (lack of fit) antara dukungan sosial dan konflik pekerjaan-keluarga (nilai residual besar) maka stress kerja juga akan menjadi tinggi.

51

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan terlebih dahulu beberapa uji pendahuluan (seperti uji validitas, uji reliabilitas, uji asumsi klasik) sebelum mempresentasikan pengujian hipotesis penelitian beserta analisisnya.

4.1. Profil Responden Responden dalam penelitian ini adalah guru kelas 3 SMP Negeri di Kabupaten Kendal. Adapun jumlah sampel sejumlah 100 orang. Jumlah kuesioner yang disebar sejumlah 240 dan kuesioner yang kembali dan layak uji karena diisi secara lengkap sejumlah 176. 100 responden yang berpartisipasi di dalam penelitian ini selanjutnya dapat diperinci berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan sudah memiliki anak atau belum.

4.1.1. Responden Berdasarkan Umur Profil responden berdasarkan umur menjelaskan bahwa jumlah responden terbanyak adalah kelompok responden berusia antara 30 – 39 tahun yang berjumlah 48 orang (48%), dan sebaliknya jumlah responden terkecil adalah kelompok responden usia 50 – 59 tahun yang berjumlah 7 orang (7%). Profil responden guru berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini.

52

Tabel 4.1 Profil Responden Berdasarkan Umur Usia 20 – 29 tahun 30 – 39 tahun 40 – 49 tahun 50 – 59 tahun

Jumlah (orang) 16 48 29 7

Total 100 Sumber: Data primer diolah, 2005

% (persen) 16 48 29 7 100%

Profil responden berdasarkan usia responden menjelaskan bahwa sebagian besar guru kelas 3 SMP Negeri di Kabupaten Kendal sebagian besar adalah usia produktif. Responden dengan usia produktif cenderung lebih rentan mengalami stress kerja. Seperti yang dikatakan oleh Maslach (1982) dan Farber (1991) dalam Sutjipto (2002) yang menyatakan bahwa guru-guru di bawah usia empat puluh tahun paling beresiko terhadap gangguan yang berhubungan dengan stress kerja. Hal ini wajar, sebab para pekerja pemberi pelayanan di usia muda (dalam hal ini guru) dipenuhi dengan harapan yang tidak realistik, jika dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih tua. Seiring dengan pertambahan usia pada umumnya individu menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga memiliki pandangan yang lebih realistik.

4.1.2. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Profil responden berdasarkan jenis kelamin menjelaskan bahwa 59 orang (59%) responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita, sedangkan sisanya atau sebanyak 41 orang (41%) adalah laki-laki. Profil responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut ini.

53

Tabel 4.2 Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin Jumlah (orang) Laki-laki 41 Perempuan 59 Total 100 Sumber: Data primer diolah, 2005

% (persen) 41 59 100%

Berdasarkan tabel di atas nampak bahwa mayoritas guru SMPN Kendal adalah wanita. Banyaknya jumlah guru wanita berhubungan dengan adanya perubahan demografi tenaga kerja yaitu peningkatan jumlah wanita bekerja dan pasangan yang keduanya bekerja, dan hal ini mendorong terjadinya konflik antara tuntutan pekerjaan dan keluarga yang dikarenakan adanya profesi ganda. Beberapa peneliti menemukan bahwa wanita cenderung menghabiskan lebih banyak waktu dalam hal urusan keluarga sehingga wanita dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan-keluarga khususnya family interference with work. work (Berk et al, dalam Gutek, 1991). Sebaliknya pria cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk menangani urusan pekerjaan daripada wanita sehingga pria dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaankeluarga khususnya work interference with family daripada wanita.

4.1.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Profil responden berdasarkan tingkat pendidikan menjelaskan bahwa jumlah responden terbesar adalah kelompok responden pendidikan tamat D3 yang berjumlah 51 orang (51%), sedangkan jumlah responden terkecil adalah kelompok responden pendidikan tamat S2 yang berjumlah 5 orang (5%). Profil responden berdasarkan tingkat pendidikan ditunjukkan pada tabel 4.3 berikut ini. 54

Tabel 4.3 Profil Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Pendidikan Jumlah (orang) 51 Tamat D3/Sederajat 44 Tamat S1 5 Tamat S2 Total 100 Sumber: Data primer diolah, 2005

% (persen) 51 44 5 100%

Latar belakang pendidikan responden memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya stress kerja. Maslach (1982) dalam Sutjipto (2002) menyatakan bahwa seseorang yang berlatar belakang pendidikan rendah cenderung rentan terhadap stress jika dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan tinggi. Seseorang yang berpendidikan rendah memiliki harapan atau aspirasi yang tinggi sehingga ketika dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka muncullah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan stress. Sebaliknya, bagi seseorang yang berpendidikan tinggi, mereka cenderung mempunyai pandangan yang lebih realistis ketika menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

4.1.4. Responden Berdasarkan Sudah Memiliki Anak Atau Belum Profil responden berdasarkan sudah memiliki anak atau belum menjelaskan bahwa jumlah responden terbesar adalah kelompok responden yang sudah memiliki anak yang berjumlah 83 orang (83%), sedangkan jumlah responden yang belum memiliki anak sejumlah 17 orang (17%). Profil responden berdasarkan sudah memiliki anak atau belum ditunjukkan pada tabel 4.4 berikut ini.

55

Tabel 4.4 Profil Responden Berdasarkan Sudah Memiliki Anak Atau Belum Jumlah Anak Jumlah (orang) Sudah memiliki anak 83 Belum memiliki anak 17 Total 100 Sumber : Data primer diolah, 2005

% (Persen) 83 17 100 %

Apabila dilihat dari tabel di atas, karyawan yang sudah memiliki anak cenderung lebih memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, baik terhadap keluarganya maupun terhadap lingkungannya. Guru di samping memiliki tanggungan kewajiban terhadap keluarganya (baik terhadap pasangan hidup maupun anak) juga tugas sosial kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggalnya karena ia sebagai panutan. Adanya profesi ganda (sebagai guru dan anggota keluarga) akan mengakibatkan timbulnya konflik antar peran (pekerjaan – keluarga). Di rumah sebagai ayah atau ibu dan juga anggota keluarga dengan segala persoalannya, dan di sekolah sebagai guru juga dengan segala persoalannya. Tentunya kedua jenis peran tersebut membawa beban yang tidak ringan karena harus bisa membagi waktu, tenaga dan pikirannya baik untuk keluarga maupun pekerjaannya. Begitu pula dengan stress kerja, Farber (1991) dalam Sutjipto (2002) menyatakan bahwa seseorang yang telah menikah dan memiliki anak cenderung rentan terhadap terjadinya stress kerja karena berhubungan dengan mental seseorang dalam menghadapi masalah pribadi dan tuntutan emosional dalam pekerjaan.

56

4.2. Analisis Data 4.2.1. Analisis Reliabilitas dan Validitas 4.2.1.1 Uji Reliabilitas Dalam penelitian ini, peneliti memakai kuesioner sebagai alat pengukur dukungan sosial. Sebelum dilakukan analisis, kuesioner tersebut harus diuji validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu. Uji reliabilitas merupakan uji kehandalan yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh suatu alat ukur dapat dipercaya. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Pengujian reliabilitas konstruk pada penelitian ini akan menggunakan nilai cronbach alpha yang dihasilkan melalui pengolahan data SPSS. Jika nilai cronbach alpha > 0,60 maka dikatakan reliabel (Nunnally dalam Ghozali 2001). Hasil pengujian reliabilitas dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut ini.

Tabel 4.5 HASIL UJI RELIABILITAS VARIABEL

CRONBACH ALPHA

KEPUTUSAN

Konflik Kerja – Keluarga

0,8585

Reliabel

Stres Kerja

0,9199

Reliabel

Dukungan Keluarga dan Pasangan Hidup

0,9500

Reliabel

Dukungan Rekan Kerja

0,9432

Reliabel

Dukungan Atasan

0,9436

Reliabel

Sumber: Output SPSS diolah

57

Berdasarkan tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa semua pertanyaan pada kuisioner penelitian adalah reliabel, karena cronbach alpha pada setiap varibel yang digunakan dalam penelitian ini bernilai di atas 0,6.

4.2.1.2. Uji Validitas Uji validitas daftar pertanyaan bertujuan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas konstruk. Validitas konstruk diperoleh dengan menghitung korelasi antara masing-masing variabel dengan skor total dengan memakai rumus Correlate Bivariate Pearson (korelasi Pearson) dalam program SPSS. Secara statistik, angka korelasi yang diperoleh harus diuji terlebih dahulu untuk menyatakan apakah nilai korelasi yang dihasilkan signifikan atau tidak. Jika angka korelasi yang diperoleh negatif, hal ini menunjukkan bahwa pernyataan tersebut bertentangan dengan pernyataan lainnya, dan karena itu pernyataan tersebut tidak valid atau tidak konsisten dengan pernyataan yang lain. Hasil uji validitas dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut ini.

58

Tabel 4.6 HASIL UJI VALIDITAS

VARIABEL

KOEFISIEN KORELASI

Konflik Kerja – Keluarga Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Stres Kerja Q8 Q9 Q10 Q11 Q12 Dukungan Keluarga dan Pasangan Hidup Q13 Q14 Q15 Q16 Q17 Dukungan Rekan Kerja Q18 Q19 Q20 Q21 Q22 Q23 Dukungan Atasan Q24 Q25 Q26 Q27 Q28 Q29 Sumber : Data primer diolah, 2005

SIG.

KEPUTUSAN

0,620 0,724 0,708 0,780 0,751 0,776 0,780

0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

0,872 0,894 0,858 0,895 0,854

0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

Valid Valid Valid Valid Valid

0,896 0,934 0,932 0,924 0,882

0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

Valid Valid Valid Valid Valid

0,898 0,899 0,906 0,875 0,866 0,863

0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

Valid Valid Valid Valid Valid Valid

0,811 0,886 0,891 0,918 0,893 0,902

0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

Valid Valid Valid Valid Valid Valid

Berdasarkan tabel 4.6 dapat dijelaskan bahwa seluruh pertanyaan/konstruk yang digunakan adalah valid. Hal ini dapat dilihat dari nilai masing-masing 59

koefisien korelasi dari konstruk mimiliki nilai positif dan angka signifikansi yang lebih kecil dari 0,05.

4.3.1

Statistik Deskriptif Analisis deskriptif data variabel dimaksudkan untuk mengetahui atau

menggambarkan secara umum realitas responden terhadap variabel penelitian. Dalam analisis ini diketahui kisaran nilai maksimum dan minimum, nilai rata-rata dan standar deviasi dari variabel penelitian. Hasil analisis deskripstif ditunjukkan pada tabel 4.7 berikut ini. Tabel 4.7 HASIL ANALISIS STATISTIK DESKRIPTIF N Konf. Kerja-Keluarga Stres kerja Dukungan Keluarga Dukungan Rekan Kerja Dukungan Atasan Valid N (listwise)

100 100 100 100 100 100

Minimum 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00

Maximum 10.00 10.00 10.00 10.00 10.00

Mean 5.8000 5.8700 6.7000 6.3800 6.6000

Std. Deviation 2.7852 2.6502 2.6150 2.3389 2.4037

Sumber: Output SPSS Berdasarkan tabel 4.7 dapat dijelaskan bahwa pada variabel konflik kerjakeluarga menunjukkan nilai rata-rata tanggapan responden sebesar 5,8000 dengan standar deviasi sebesar 2,7852. Pada variabel stres kerja menunjukkan nilai ratarata tanggapan responden yang lebih tinggi dibandingkan konflik kerja-keluarga yaitu sebesar 5,8700 dengan standar deviasi sebesar 26502. Pada variabel dukungan sosial (keluarga, rekan kerja, dan atasan) nilai rata-rata tanggapan responden tertinggi dimiliki oleh variabel dukungan keluarga yaitu sebesar 6,7000 dengan standar deviasi sebesar 2,6150, kemudian diikuti 60

oleh variabel dukungan atasan dengan nilai rata-rata sebesar 6,6000 dengan standar deviasi sebesar 2,4037 dan variabel dukungan rekan kerja dengan nilai rata-rata sebesar 6,3800 dengan standar deviasi sebesar 2,3389. Hasil ini menjelaskan bahwa berdasarkan tanggapan responden dukungan sosial tertinggi adalah dukungan yang bersumber dari pasangan hidup dan keluarga. Dukungan sosial yang berasal dari keluarga akan mengurangi tingkat konflik pekerjaankeluarga, meningkatkan kepuasan kerja dan mengurangi masalah kesehatan yang berhubungan dengan stress kerja.

4.3.2

Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

4.3.2.1. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang baik

seharusnya

tidak

terjadi

korelasi

diantara

variabel

bebas.

Multikolinearitas dideteksi dengan menggunakan nilai tolerance dan variance inflation factor (VIF). Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF yang tinggi (karena VIF = 1/tolerance) dan menunjukkan adanya kolinearitas yang tinggi. Nilai cutoff yang umum dipakai adalah nilai tolerance 0,10 atau sama dengan nilai VIF dibawah 10. Hasil uji multikolinearitas ditunjukkan pada tabel 4.8.

61

Tabel 4.8 HASIL UJI MULTIKOLINEARITAS VARIABEL

TOLERANCE

VIF

KEPUTUSAN

Konflik Kerja – Keluarga

0,885

1,130

Bebas Multikol

Dukungan Keluarga dan

0,310

3,222

Bebas Multikol

Dukungan Rekan Kerja

0,256

3,912

Bebas Multikol

Dukungan Atasan

0,231

4,335

Bebas Multikol

Pasangan Hidup

Sumber: Output SPSS diolah Berdasarkan tabel 4.8 dapat dijelaskan bahwa model regresi pada penelitian ini tidak mengalami gangguan multikolinearitas atau tidak terdapat korelasi antar variabel bebas. Hal ini tampak pada nilai tolerance untuk kelima variabel bebas yang lebih besar dari 10 persen (0,1) dan Variance Inflation

4.3.2.2 Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lainnya. Jika variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lainnya tidak tetap maka diduga terdapat masalah heteroskedastisitas. Penelitian ini akan menggunakan grafik scatterplot untuk mendeteksi terjadi atau tidaknya heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan program SPSS, hasil grafik scatterplot dapat dilihat pada gambar 4.1 berikut ini.

62

Gambar 4.1 HASIL UJI HETEROKEDASTISITAS SCATTER PLOT 3

Regression Studentized Residual

2

1

0

-1

-2

-3 -2

-1

0

1

2

Regression Standardized Predicted Value

Sumber: Output SPSS Gambar 4.1 grafik scatterplot menunjukkan bahwa titik-titik tersebar tanpa membentuk suatu pola tertentu dan tersebar baik di bawah atau di atas angka 0 pada sumbu y. Hal ini berarti, hasil uji heterokedastisitas menunjukkan bahwa model regresi tidak mengalami gangguan heteroskedastisitas.

4.3.2.3. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data dalam model regresi antara variabel bebas dan variabel terikat keduanya berdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Dalam penelitian ini untuk melihat data berdistribusi normal atau tidak, dengan cara melihat grafik histogram dan normal probability plot. Metode yang lebih handal adalah normal probability plot yang ditunjukkan pada gambar 4.2 berikut ini.

63

Gambar 4.2 HASIL UJI NORMALITAS NORMAL PROBABILITY PLOT 1,00

,75

Expected Cum Prob

,50

,25

0,00 0,00

,25

,50

,75

1,00

Observed Cum Prob

Sumber: Output SPSS Gambar 4.2 grafik normal probbability plot menunjukkan pola grafik yang normal, hal ini terlihat dari titk-titik yang menyebar disekitar garis diagonal dan penyebarannya mengikuti garis diagonal. Hal ini menunjukkan bahwa model regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas.

4.3.2. Analisis Regresi 4.3.3.1. Pengujian Hipotesis Pertama Pengujian hipotesis pertama bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang positif antara konflik pekerjaan keluarga terhadap terjadinya stres kerja. Hasil pengolahan data SPSS pengujian hipotesis pertama ditunjukkan pada tabel 4.9 berikut ini.

64

Tabel 4.9 HASIL UJI STATISTIK HIPOTESIS PERTAMA

PENGUJIAN STATISTIK

NILAI

Adjusted R – square

0,277

F-hitung

38,978

Sig.

0,000

t-hitung

6,243

Sig.

0,000

Konstanta ( C )

13,371

Konflik Pekerjaan-Keluarga

0,533

Sumber: Output SPSS yang diolah Berdasarkan pengolahan data SPSS dihasilkan persamaan regresi linier sebagai berikut: Y = 13.371 + 0.533 X1 + e , yang menunjukkan nilai koefisien regresi yang positif sebesar 13.371 , hal ini berarti konflik pekerjaan – keluarga memiliki pengaruh yang positif terhadap stres kerja, atau dengan kata lain semakin besar konflik yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga maka semakin meningkatkan stres kerja pada profesi guru. Hasil ini diperkuat oleh hasil uji t yang menunjukkan nilai angka signifikansi sebesar 0,000 (lebih kecil dari 0,05) menjelaskan bahwa konflik pekerjaan – keluarga memiliki pengaruh yang signifikan (nyata) terhadap stres kerja. Nilai dari adjusted R-square adalah 0.277, hal ini berarti 27,7% variasi stress kerja dapat dijelaskan oleh variasi dari konflik pekerjaan-keluarga, sedangkan sisanya (100% - 27,7% = 73,3%) dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain di luar model. Dari uji Anova atau F test didapat F hitung sebesar 38,978 dengan tingkat signifikansi 0.000. Karena signifikansi jauh lebih

65

kecil dari 0.05, maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi stress kerja. Konflik pekerjaan - keluarga pada guru cenderung mengarah pada stress kerja karena ketika urusan pekerjaan mencampuri kehidupan keluarga, tekanan seringkali terjadi pada individu untuk mengurangi waktu yang dihabiskan dalam pekerjaan dan menyediakan lebih banyak waktu untuk keluarga. Sama halnya dengan konflik keluarga - pekerjaan dapat mengarah pada stress kerja dikarenakan banyaknya waktu untuk berkumpul bersama keluarga menyebabkan kurangnya waktu yang dibutuhkan dalam menangani urusan pekerjaan. Guru yang mengalami tingkat konflik pekerjaan-keluarga yang tinggi akan mempunyai tingkat depresi yang tinggi sehingga mengarah pada stress kerja, tingkat kemangkiran kerja meningkat dan produktivitas menjadi berkurang.

4.3.3.2.Pengujian Hipotesis Kedua Pengujian hipotesis kedua bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga. Pengambilan keputusan untuk variabel moderating adalah jika nilai koefisien regresi bernilai negatif dan angka signifikansi menunjukkan hasil yang signifikan (lebih kecil dari 0,05). Hasil pengolahan data SPSS pengujian hipotesis kedua ditunjukkan pada tabel 4.10 berikut ini.

66

Tabel 4.10 HASIL UJI STATISTIK HIPOTESIS KEDUA PENGUJIAN STATISTIK

NILAI

R – square

0,062

F-hitung

6,468

Sig.

0,013

t-hitung

-2,543

Sig.

0,013

Standardized Coefficients Beta

-0,249

Sumber: Output SPSS yang diolah Hasil pengolahan data SPSS menunjukkan nilai koefisien regresi (standardized coefficients) yang negatif sebesar –0,249 dan angka signifikansi sebesar 0,013 (lebih kecil dari 0,05). Hal ini berarti pengaruh konflik pekerjaankeluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga. Hasil pengolahan di atas sejalan dengan pendapat Thomas & Ganster (1995) yang menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat membantu menurunkan stress kerja yang disebabkan karena konflik pekerjaan-keluarga. Dalam sistem dual-career family dimana kedua orang-tua bekerja (baik suami maupun istri) mengharuskan kedua belah pihak untuk menyeimbangkan antara urusan pekerjaan dan urusan keluarga dan hal ini menyebabkan timbulnya konflik antar peran (interrole conflict). Tekanan untuk menyeimbangkan dua peran tersebut dapat menyebabkan timbulnya stress dan masalah kesehatan. Dukungan sosial dari pasangan hidup dan keluarga yang tinggi dapat menurunkan stress kerja dan menurunkan masalah kesehatan yang dihadapi. Dukungan dari pasangan hidup dan keluarga dapat diterjemahkan

67

sebagai sikap penuh perhatian yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk kerja sama yang positif, berbagi dalam menyelesaikan urusan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak serta memberikan dukungan moral dan emosional terhadap karir atau pekerjaan suami atau istri.

4.3.3.3.Pengujian Hipotesis Ketiga Pengujian hipotesis ketiga bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja. Hasil pengolahan data SPSS pengujian hipotesis ketiga ditunjukkan pada tabel 4.11 berikut ini. Tabel 4.11 HASIL UJI STATISTIK HIPOTESIS KETIGA

PENGUJIAN STATISTIK

NILAI

R – square

0,045

F-hitung

4,577

Sig.

0,035

t-hitung

-2,139

Sig.

0,035

Standardized Coefficients Beta

-0,211

Sumber: Output SPSS yang diolah Hasil pengolahan data SPSS menunjukkan nilai koefisien regresi (standardized coefficients) yang negatif sebesar –0,211 dan angka signifikansi sebesar 0,035 (lebih kecil dari 0,05). Hal ini berarti pengaruh konflik pekerjaankeluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja. Sisi positif yang dapat diambil bila memiliki hubungan 68

yang baik dengan rekan kerja yaitu mereka merupakan sumber emosional bagi individu saat menghadapi masalah dengan klien. Individu yang memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan merasa nyaman, diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang lain. Dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja mampu membantu guru mendapatkan feedback positif dan peningkatan kemampuan dan ketrampilan sehingga lebih tahan terhadap timbulnya stress kerja yang berasal dari konflik pekerjaan-keluarga. Dukungan sosial dapat mengurangi perasaan tertekan dan ketidakpuasan pada saat guru dihadapkan pada tekanan dan kekakuan dari pekerjaan mereka.

4.3.3.4.Pengujian Hipotesis Keempat Pengujian hipotesis keempat bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari atasan. Hasil pengolahan data SPSS pengujian hipotesis keempat ditunjukkan pada tabel 4.12 berikut ini. Tabel 4.12 HASIL UJI STATISTIK HIPOTESIS KEEMPAT

PENGUJIAN STATISTIK

NILAI

R – square

0,059

F-hitung

6,106

Sig.

0,015

t-hitung

-2,471

Sig.

0,015

Standardized Coefficients Beta

-0,242

Sumber: Output SPSS yang diolah 69

Hasil pengolahan data SPSS menunjukkan nilai koefisien regresi (standardized coefficients) yang negatif sebesar –0,242 dan angka signifikansi sebesar 0,015 (lebih kecil dari 0,05). Hal ini berarti pengaruh konflik pekerjaankeluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari atasan. Dukungan dari atasan, salah satu komponen dari dukungan sosial, merupakan effek moderator dalam menurunkan tingkat stress kerja karyawan yang disebabkan adanya konflik pekerjaan-keluarga. Kondisi atasan yang tidak responsif akan mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan merasa bahwa segala upayanya dalam bekerja tidak akan bermakna. Dukungan sosial dari atasan mempunyai pengaruh langsung terhadap stress kerja dengan mempengaruhi konflik pekerjaan-keluarga.

70

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

5.1

Kesimpulan Tuntutan untuk menyeimbangkan antara tugas pekerjaan sebagai guru dan

tuntutan sebagai anggota keluarga berpotensi menimbulkan konflik pekerjaankeluarga yang berdampak pada rendahnya kepuasan kerja,

meningkatkan

absenteeism (kemangkiran kerja) dan menurunkan motivasi karyawan (Triaryati, 2002). Melihat dampak konflik pekerjaan-keluarga dan stress kerja yang berakibat negatif pada kinerja guru maka diperlukan suatu upaya untuk menanggulanginya antara lain dengan menggunakan sumber-sumber positif yang ada di sekitar individu yaitu dukungan sosial (social support). Parasuraman, Greenhaus & Granrose (1992) mengartikan dukungan sosial sebagai tersedianya hubungan sosial, baik yang berasal dari atasan, teman profesi maupun keluarga. Berdasarkan telaah pustaka telah dikembangkan empat pertanyaan, yaitu: konflik kerja-keluarga berpengaruh positif terhadap terjadinya stres kerja (hipotesis 1), pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga (hipotesis 2), pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja (hipotesis 3), dan pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari atasan (hipotesis 4).

71

Selanjutnya, untuk menguji hipotesis yang telah dikembangkan secara empiris, pada bab III diuraikan metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini. Populasi dalam penelitian ini adalah para guru SMPN Negeri di Kabupaten Kendal yang mengajar pada kelas 3 yang berjumlah 479. Teknik sampling yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode pemilihan sampel bertujuan (purposive random sampling), dalam penelitian ini elemen populasi yang dipilih berdasar sampel dibatasi pada elemen-elemen yang dapat memberikan informasi berdasarkan pertimbangan yang memenuhi syarat karakteristik sampel. Besarnya sampel dihitung dengan rumus Hair et al. Sebagaimana dikatakan oleh Hair et al (1995) bahwa ukuran sampel adalah sebanyak 5 sampai 20 observasi untuk setiap estimate parameter. Karena estimate parameter yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 10 maka sampel yang seharusnya digunakan adalah sejumlah 50 sampai 200, dan peneliti memilih untuk menggunakan sampel sebanyak 100. Pada bab IV diuraikan hasil analisis data dengan menggunakan teknik analisis regresi linier dan analisis regresi moderating (Moderating Regression Analysis), dengan kedua teknik tersebut telah digunakan untuk menguji 4 hipotesis yang diajukan. Model yang diajukan dapat diterima, hasil pengujian kualitas kuesioner (reliabilitas dan validitas), uji asumsi klasik dapat dipenuhi. Selanjutnya pada bab ini juga telah dilakukan analisis regresi linier untuk menguji hipotesis 1 dan analisis regresi moderating untuk menguji hipotesis 2,3, dan 4. Hasil pengujian hipotesis dari ketiga variabel dukungan sosial sebagai variabel moderasi terbukti memiliki pengaruh dalam menurunkan stress kerja

72

yang disebabkan oleh konflik pekerjaan-keluarga. Hasil uji hipotesis dapat ditarik suatu kesimpulan : 1. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel konflik pekerjaan-keluarga dengan variabel stress kerja. Nilai koefisien regresi yang positif sebesar 0.533, hal ini dapat diinterpretasikan bahwa variabel konflik pekerjaan-keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap stress kerja atau semakin besar konflik pekerjaan-keluarga maka semakin meningkatkan stress kerja pada profesi guru. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh positif terhadap stress kerja dapat diterima. 2. Pengaruh variabel konflik pekerjaan-keluarga terhadap variabel stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga. Pengambilan keputusan untuk variabel moderating adalah jika nilai koefisien regresi bernilai negatif dan angka signifikansi menunjukkan hasil yang signifikan (lebih kecil dari 0,05). Hasil pengolahan data SPSS menunjukkan nilai koefisien regresi

( standardized coefficients )

yang

negatif sebesar – 0,249 dan angka signifikansi sebesar 0,013 (lebih kecil dari 0,05). Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga dapat diterima. 3. Pengaruh variabel konflik pekerjaan-keluarga terhadap variabel stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja. Hasil pengolahan data SPSS menunjukkan nilai koefisien regresi ( standardized

73

coefficients ) yang negatif sebesar – 0,211 dan angka signifikansi sebesar 0,035 (lebih kecil dari 0,05). Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja dapat diterima. 4. Pengaruh variabel konflik pekerjaan-keluarga terhadap variabel stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari atasan. Hasil pengolahan data SPSS menunjukkan nilai koefisien regresi ( standardized coefficients ) yang negatif sebesar –0,242 dan angka signifikansi sebesar 0,015 (lebih kecil dari 0,05). Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stress kerja dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari atasan dapat diterima. 5. Pada variabel dukungan sosial (keluarga, rekan kerja, dan atasan) nilai ratarata tanggapan responden tertinggi dimiliki oleh variabel dukungan keluarga yaitu sebesar 6,7000 dengan standar deviasi sebesar 2,6150, kemudian diikuti oleh variabel dukungan atasan dengan nilai rata-rata sebesar 6,6000 dengan standar deviasi sebesar 2,4037 dan variabel dukungan rekan kerja dengan nilai rata-rata sebesar 6,3800 dengan standar deviasi sebesar 2,3389. Hasil ini menjelaskan bahwa berdasarkan tanggapan responden dukungan sosial tertinggi adalah dukungan yang bersumber dari pasangan hidup dan keluarga. Dukungan sosial yang berasal dari keluarga akan mengurangi tingkat konflik pekerjaan-keluarga, meningkatkan kepuasan kerja dan mengurangi masalah kesehatan yang berhubungan dengan stress kerja.

74

5.2

Implikasi Teoritis Dari analisis data dalam penelitian ini terdapat beberapa temuan yang

memberikan dukungan terhadap temuan peneliti terdahulu mengenai pengaruh konflik pekerjaan-keluarga terhadap stres kerja yang dimoderasi oleh variabel dukungan sosial (pasangan hidup dan keluarga, rekan kerja, dan atasan), yaitu: a. Konflik

pekerjaan-keluarga

yang

dialami

oleh

para

guru

akan

menyebabkan timbulnya stres kerja. Hasil ini konsisten dengan temuantemuan peneliti terdahulu (Kahn, et al dalam Thomas & Ganster, 1995; Judge et al, 1994).

Kahn, et al dalam Thomas & Ganster (1995)

menggunakan teori peran dalam menjelaskan konflik antar peran (interrole conflict). Konflik antar peran terjadi ketika pelaksanaan salah satu peran menyulitkan pelaksaan peran yang lain. Tekanan untuk menyeimbangkan dua peran tersebut dapat menyebabkan timbulnya stress. Konflik pekerjaan-keluarga merupakan

salah satu bentuk konflik antar peran

dimana tekanan dari pekerjaan mengganggu pelaksanaan peran keluarga. b. Konflik pekerjaan-keluarga memiliki pengaruh terhadap stres kerja yang dimoderasi oleh variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga, rekan kerja, dan atasan. Hasil ini mendukung temuantemuan peneliti terdahulu (Russell et. al., 1987; Lai I-Tsuei, 2000; Linda Thomas & Ganster, 1995). Hasil studi Lai I-Tsuei (2000) menemukan bahwa konflik pekerjaan-keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap terjadinya stress kerja karena akan mempengaruhi aspek fisik dan psikologi karyawan dan dukungan sosial memiliki andil dalam

75

menanggulangi masalah tersebut. Dukungan sosial baik dari pihak keluarga maupun perusahaan memainkan peranan yang penting dalam menanggulangi resiko stress kerja. Dukungan dari atasan, salah satu komponen dari dukungan sosial, merupakan effek moderator dan menduduki peringkat tertinggi dalam menurunkan tingkat stress kerja karyawan yang disebabkan adanya konflik pekerjaan-keluarga. Dengan demikian teori yang dibangun dalam penelitian ini, setelah dilakukan penelitian dan uji analisis ternyata benar dan terbukti.

5.3

Implikasi Manajerial Berdasarkan hasil penelitian ini diperolah bukti bahwa konflik pekerjaan-

keluarga mempengaruhi stres kerja, dan variabel dukungan sosial yang berasal dari pasangan hidup dan keluarga, rekan kerja, dan atasan merupakan variabel moderasi antara konflik pekerjaan-keluarga dan stres kerja, yang mana dukungan sosial memainkan peranan yang penting dalam menanggulangi resiko stres kerja. Berdasarkan nilai signifikansi yang dihasilkan variabel dukungan sosial, yang paling dominan adalah dukungan sosial yang bersumber dari pasangan hidup dan keluarga, diikuti oleh dukungan sosial atasan dan dukungan sosial dari rekan kerja. Berdasarkan temuan-temuan ini maka penelitian ini merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

76

a. Dengan semakin meningkatnya tanggung jawab dan beban yang dihadapi oleh guru SMP Negeri di Kabupaten Kendal, maka seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kehidupan para guru agar lebih sejahtera, yaitu dengan meningkatkan kompensasi dan tunjangan-tunjangan hidup lainnya. Selanjutnya,

untuk

menciptakan

suasana

belajar

mengajar

yang

menyenangkan (kondusif), hal utama yang perlu diciptakan adalah penyediaan fasilitas pengajaran secara lengkap di SMP Negeri Kabupaten Kendal. Fasilitas-fasilitas

tersebut meliputi pengadaan buku-buku

pelajaran secara memadai, fasilitas laboratorium (bahasa dan komputer), sarana olah raga dan ibadah serta sarana hiburan (alat musik atau tari). b. Dukungan sosial yang berasal dari atasan mampu menanggulangi stres kerja yang diakibatkan adanya konflik pekerjaan-keluarga pada profesi guru. Oleh karena itu hendaknya para atasan yang dalam hal ini adalah kepala sekolah SMP Negeri di Kabupaten Kendal agar melakukan hal-hal sebagai berikut : -

melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, akrab, memperhatikan, dan mengayomi guru-guru yang menjadi bawahannya di sekolah, tidak bersikap otoriter sebagai atasan sehingga guru tidak takut bersikap terbuka terhadap atasan (kepala sekolah). Dengan demikian akan terjadi interaksi antara guru dengan atasan (kepala sekolah) yang harmonis.

-

Melakukan pembinaan guru secara profesional, artinya melakukan serangkaian usaha bantuan kepada guru terutama bantuan yang berujud layanan profesional guna meningkatkan proses dan hasil belajar mengajar

77

yang menyenangkan, misalnya : dengan mengirim guru untuk mengikuti seminar atau training (pelatihan atau lokakarya yang terkait dengan pengajaran, pengembangan diri dan profesi). -

Melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna kepada guru. Jenis dukungan yang diharapkan dari guru antara lain : a. Saran dari atasan (kepala sekolah) dalam mengatasi masalah-masalah guru terutama yang berkaitan dengan pekerjaan. b. Kesediaan atasan (kepala sekolah) untuk berempati terhadap perasaanperasaan guru. c. Peran atasan (kepala sekolah) dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan tugas pekerjaan. d. Memberi umpan balik yang konstruktif terhadap kinerja guru. e. Memberi contoh tingkah laku yang dapat dijadikan panutan di tempat kerja.

c. Untuk mempererat hubungan diantara rekan kerja, dapat dilakukan melalui pengembangan hobi, minat dan persahabatan yang dapat berupa pertandingan atau lomba-lomba antar guru dalam satu sekolah maupun dengan sekolah lain. Dapat juga diadakan pertemuan-pertemuan rutin (sharing) antar guru-guru SMP Negeri Kendal untuk membahas masalah proses belajar mengajar ataupun hal lain. Pengembangan sikap persahabatan dalam lingkungan sekolah baik antar guru maupun atasan merupakan cara yang efektif dalam mengurangi stress kerja. Untuk mengurangi kejenuhan atau kebosanan rutinitas kerja perlu adanya

78

refreshing untuk relaksasi yang dapat berupa liburan (tamasya) yang mengikutsertakan guru dan keluarganya. Selain untuk mengembangkan sikap persahabatan, liburan bersama keluarga juga dapat sebagai jembatan bagi atasan (kepala sekolah) untuk menekankan kepada keluarga para guru bahwa dukungan dari keluarga merupakan peranan yang sangat penting yang dibutuhkan para guru dalam menjalankan pekerjaannya dan dalam rangka menurunkan konflik pekerjaan dan stress kerja. Perlu ditekankan pentingnya sikap perhatian dari keluarga yang ditunjukkan dalam berbagai bentuk kerja sama yang positif seperti berbagi dalam menyelesaikan urusan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak serta memberikan dukungan terhadap karir atau pekerjaan suami atau istri. d. Agar dapat meminimalkan terjadinya konflik pekerjaan-keluarga (workfamily conflict) pada profesi guru, sebaiknya dilakukan konseling (pembimbingan) yang diberikan kepada para guru secara rutin, yang mana dalam proses pembimbingan tersebut akan dibicarakan mengenai dampak buruk konflik pekerjaan-keluarga terhadap guru terutama dampak buruk terhadap pekerjaannya yang berupa menurunnya motivasi kerja dan kepuasan kerja serta meningkatnya kemangkiran kerja.

79

5.5.

Keterbatasan Penelitian

a. Keterbatasan dalam populasi penelitian yang hanya menggunakan kelompok guru SMP Negeri di Kabupaten Kendal yang mengajar pada kelas 3. Selain hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya, pemilihan guru SMP Negeri di Kabupaten Kendal dilakukan juga atas pertimbangan biaya dan waktu penelitian yang terbatas. b. Keterbatasan dalam variabel dan indikator yang digunakan dalam penelitian, yaitu hanya satu variabel yang berpengaruh secara langsung dan tiga variabel yang hanya berfungsi sebagai moderating untuk menjawab permasalahan yang ada. Peneliti menduga banyak faktor lainnya yang memiliki pengaruh terhadap timbulnya stres kerja pada guru. c. Hasil-hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan pada kasus lainnya di luar obyek penelitian ini.

80

5.4

Agenda Penelitian Mendatang a. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan menggunakan populasi yang lebih luas, yaitu mengembangkan variasi populasi hingga pada guru-guru yang mengajar di SMP Negeri di Kotamadya sehingga dapat diperbandingkan kondisi stres kerja guru di Kabupaten dengan kondisi stres keja guru yang mengajar di Kota. b. Pada penelitian mendatang sebaiknya menggunakan jumlah variabel dan jumlah indikator hendaknya lebih banyak lagi dan disesuaikan dengan obyek penelitian yang dipakai. c. Pada

penelitian

mendatang

direkomendasikan

juga

menggunakan

responden penelitian dari kelompok guru yang mengajar di sekolahsekolah swasta. d. Pada penelitian mendatang dimungkinkan untuk meneliti obyek penelitian pada

perusahaan

bidang

jasa

diperbandingkan.

81

lainnya

sehingga

hasilnya

dapat

DAFTAR PUSTAKA

Beehr, et al. 1992. The Meaning of Occupational Stress Items to Survey Respondents. Journal of Applied Psychology, Vol.77, No.5, p:623-628. Bedeian, A G; Burke, B G; Moffett, R G. 1998. Outcomes of Work-Family Conflict Among Married Male and Female Professionals. Journal of Management, Vol.14, No.3, p:475-490. Cinamon, R C, Yisrael Rich & Mina westman. 2002. Occupation Type and The Work-Family Conflict : The Case of Teachers. www.yahoo.com. Chew, Shu-Chin. 2002. Investigating the Relationship of Work-Family Conflicts Through the Self-Determination Theory. www.yahoo.com. Electronical Theses Heap of NSYSU, June 20th 2002. Deeter, D R and Ramsey, R P. 1997. Considering Source and Types of Social Support : A Psychometric Evaluation of the House and Wells (1978) Instrument. Journal of Personal Selling and Sales Management, Vol. XVII, No.1.1997. Dewi Widiananda. 1996. Stress Pada Guru, Bagaimana Menanggulanginya?. BPK Penabur KPS Jakarta. Dunseath, J; Beehr, T A; King D W. 1995. Job Stress-Social Support Buffering Effects Across Gender, Education and Occupational Groups in Municipal Workforce. Journal of Public Personnel Administration. Winter 1995, p:60-83. Duxbury, Linda and Higgins, Chris. 2003. Work-Life Conflict in Canada in the New Millenium : A Status Report. www.yahoo.com. October 2003. Frone, M R; Russell, M; Cooper, M L.1992. Antecedents and Outcomes of WorkFamily Conflict : Testing a Model of The Work-Family Interface. Journal of Applied Psychology, Vol.77, No.1, p:65-78. Fuad Mas’ud. 2004. Survai Diagnosis Organisasional : Konsep & Aplikasi. Badan Penerbit Universitas Diponegoro 2004. Gibson; Ivancevich; Donnelly J R. 1995. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jilid I Edisi 5 Erlangga 1995.

82

Gutek, B A; Searle, S; Klepa, L. 1991. Rational Versus Gender Role Explanations for Work-Family Conflict. . Journal of Applied Psychology, Vol.76, No.4, p:560-568. Isnovijanti, T. 2002. Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Stress Kerja Dan Kepuasan Kerja (Studi Kasus : Polres Pati Polda Jateng). Tesis Magester Manajemen Universitas Diponegoro, tidak diterbitkan. Judge, T A; Boudreau, J W; Bretz, R D. 1994. Job and Life Attitudes of Male Executives. Journal of Applied Psychology, Vol.79, No.5, p:767-782 King, A J C; Peart, M J.1992. The Satisfaction and Stress of Being a Teacher. Worklife Report, Vol.8, No.6, p:12-13. Kuther, Tara. 2002. Women, Work, Stress, and Health. www.yahoo.com. 11 Oktober 2002. Melayu H. Hasibuan. 1999. Organisasi dan Motivasi. Cetakan III Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Mungin Eddy Wibowo. 2002. Bagaimana Profil Guru Masa Depan. Suara Merdeka, Senin, 13 Mei 2002. Nyoman Tri Aryati. 2002. Pengaruh Adaptasi Kebijakan Work-Family Issue Terhadap Absence dan Turnover. Jurnal Widya Manajemen & Akuntansi, Vol.2, No.3 Desember 2002, h:241-254. Parasuraman, S and Greenhaus, J H. 1992. Role Stressors, Social Support and Well-being Among Two-Career Couples. Journal of Organizational Behavior, Vol.13, No.4 July 1992, p:339-356. Rahim, A. 1996. Stress, Strain and Their Moderators : An Empirical Comparison of Enterpreneurs and Managers. Journal of Small Bussiness Management, January 1996. Rishan Azhari. 2004. Perlukah Ujian Akhir Nasional (UAN) Dihapuskan?. www.yahoo.com, Sabtu 11 Desember 2004. Russell; Daniel W; Altmaier. 1987. Job-related Stress, Social Support, and Burnout Among Classroom Teachers. Journal of Applied Psychology, Vol.72, No.2, p:269-274. Sarros; James C; Anne M.1992. Social Support and Teacher Burnout. Journal of Education Administration, Vol.30, No.1, p:55-69.

83

Sutjipto. 2002. Apakah Anda Mengalami Burnout. Kompas, 2 Februari 2002. Tatik Suryani; Harry Widyantoro. 2001. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Stress Kerja Pada Tenaga Edukatif Tetap Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya. Jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia, h:1-12. Thomas, L T and Ganster, D C. 1995. Impact of Family-Supportive Variables on Work-Family Conflict and Strain : A Control Perspective. Journal of Applied Psychology, Vol.80, No.1, p:6-15. Tri Mardiana Muafi. 2001. Studi Empiris Pengaruh Stressor Terhadap Kinerja. Jurnal Siasat Bisnis, Vol.1, No.6 Th. 2001, h:165-179. Triana Nilasari. 2004. Menghadapi Dua Tantangan Wanita Sebagai Guru dan Ibu Keluarga. www.yahoo.com, BPK Penabur KPS Jakarta. Tsuei, Lai-I. 2002. The Relationship among Work-Family Conflict, Job Burnout, and Turnover Intention of Female Professionals in High-Tech. Theses of Human Resources Management, 20 November 2000. Yang, N; Chen, C C; Zou Y. 2000. Sources of Work-Family Conflict : A Sino-US Comparison of The Effects of Work and Family Demands. Academy Management Journal, Vol. 43, No.1, p:113-123.

84