ANALISIS STRUKTUR INDUSTRI KA ANALISIS STRUKTUR

Download Struktur industri menggambarkan bagaimana keadaan industri kakao ini, yang dinilai dari beberapa elemen seperti konsentrasi ratio (CR4), ha...

0 downloads 567 Views 780KB Size
ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KINERJA INDUSTRI KAKAO DI INDONESIA

SEPTIANA ULY A. S. SITORUS

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 201

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012

Septiana Uly A.S. Sitorus H44080052

RINGKASAN

SEPTIANA ULY A. S. SITORUS. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Dibimbing oleh ADI HADIANTO. Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia, terutama sebagai penghasil devisa negara, penyedia lapangan kerja, mendorong pengembangan agribisnis dan agroindustri. Laju permintaaan kakao terus meningkat setiap tahun seiring dengan meningkatnya konsumsi produk berbahan dasar kakao. Menurut BPS (2010), konsumsi kakao Indonesia dibedakan atas konsumsi cokelat instan dan cokelat bubuk. Perkembangan konsumsi kedua jenis cokelat tersebut dari tahun 1981-2008 relatif berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan yaitu masing-masing sebesar 35.71 persen untuk konsumsi cokelat instan dan 17.31 persen untuk konsumsi coklat bubuk. Tingginya permintaan tersebut menciptakan persaingan di sektor industri produk berbahan dasar kakao. Hal ini berdampak pada penetapan harga dan kinerja pada industri kakao di Indonesia yang selanjutnya akan mempengaruhi struktur, perilaku, dan kinerja industri itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1) stuktur industri, 2) perilaku industri, 3) kinerja industri kakao di Indonesia, dan 4) faktor-faktor yang mempengaruhi struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao di Indonesia. Industri kakao yang dimaksud dalam penelitian ini adalah industri kakao dengan kode KBLI 15314 yaitu industri pengupasan, pembersihan, dan pengeringan kakao menjadi konsumsi cokelat, dan waktu analisis yang dilakukan pada periode 2000-2009. Adapun metode yang digunakan untuk menganalisis tujuan 1,2,3 adalah metode Structure, Conduct, Performance (SCP), sedangkan metode yang digunakan untuk menjawab tujuan ke-4 adalah Ordinary Least Square (OLS). Struktur industri menggambarkan bagaimana keadaan industri kakao ini, yang dinilai dari beberapa elemen seperti konsentrasi ratio (CR4), hambatan masuk pasar (MES), pangsa pasar, derajat perbedaan produk, dan informasi yang diperoleh untuk masuk dalam suatu industri. Hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata nilai CR4 adalah sebesar 67.41 persen, besarnya nilai rata-rata MES adalah sebesar 45.12 persen, produknya terdiferensiasi, dan akan sulit untuk memperoleh informasi untuk memasuki industri, sehingga dapat disimpulkan bahwa industri kakao ini bersifat oligopoli. Perilaku industri kakao di Indonesia dilihat dari strategi harga, strategi produk dan strategi promosi. Strategi harga dilihat dengan pertimbangan biaya produksi, strategi produk dilihat dengan pengklasifikasian dari harga produk, dan strategi promosi dilakukan secara visual melalui iklan. Sedangkan untuk kinerja industri kakao dilihat dari besarnya PCM yaitu 21.29 persen, X-eff sebesar 122.10 persen. Dilihat dari besarnya PCM, nilai ini tergolong rendah untuk kinerja suatu industri. Rendahnya kinerja industri kakao ini diduga karena besarnya nilai tambah belum bisa menutupi nilai input secara maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri digambarkan oleh variabel dependen yang dijelaskan dengan variabel Price Cost Margin (PCM),

sedangkan yang menjadi variabel independen adalah CR4, MES, produktivitas (PROD), efisiensi internal (X-eff), dan jumlah perusahaan (JLP). Dari lima variabel independen ini hanya ada satu variabel saja yang berpengaruh signifikan, yaitu efisiensi internal (x-eff). Hal ini sesuai dengan hipotesa karena efisiensi internal menggambarkan upaya untuk meminimumkan biaya produksi, hal ini dimana semakin tinggi efisiensi internal akan meningkatkan PCM. Berdasarkan hasil analisis, saran yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu: industri diharapkan mampu menekan biaya produksi dan mampu meningkatkan nilai output menjadi lebih tinggi, sehingga nilai tambah ikut meningkat dan dapat menutupi biaya input sehingga kinerja dari masing-masing industri ikut meningkat dan semakin meningkatkan persaingan sehingga hanya industri yang mampu bertahanlah yang akan tetap ada dalam suatu persaingan. Kata kunci : Struktur, Perilaku, Kinerja Industri Kakao

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, DAN KINERJA INDUSTRI KAKAO DI INDONESIA

SEPTIANA ULY A. S. SITORUS H44080052

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Judul Nama NIM

: Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia : Septiana Uly A. S. Sitorus : H44080052

Disetujui Pembimbing

Adi Hadianto, SP, M.Si NIP. 19790615 200501 1 004

Diketahui Ketua Departemen

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003

Tanggal :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 7 September 1990 di Medan, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Bapak TM. Sitorus dan Ibu R. Panjaitan. Penulis memulai pendidikan dari tingkat kanakkanak di TK Methodist 5 Medan dan menyelesaikannya pada tahun 1996, menyelesaikan pendidikan dasar di SD Santa Maria Pekanbaru pada tahun 2002, menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SMP Santa Maria Pekanbaru pada tahun 2005, dan menyelesaikan pendidikan sekolah tingkat atas di SMAN12 Medan pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke Pergururan Tinggi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dalam Komisi Pelayanan Anak (KPA). Penulis juga pernah mengikuti kepanitian seperti IPB Art Contest (IAC)

dan

beberapa

pelatihan

mengenai

entrepreneur.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini hingga selesai dengan baik. Skripsi yang berjudul “Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia” ini ditulis sebagai syarat melakukan penelitian dan tugas akhir dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Penulisan pada skripsi ini bertujuan untuk melihat bagaimana struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao yang ada di Indonesia sehingga dapat memberi manfaat bagi para pembaca pada umumnya, selain itu dapat juga memberikan masukan pada pihak stakeholder. Penulis menyadari bahwa skripsi penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Juli 2012

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus. Selain itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen pembimbing atas arahan, bimbingan, waktu, dan kesabaran yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas pelajaran dan pengalaman berharga yang telah diberikan. 2. Novindra, SP, M.Si dan Hastuti SP, MP, M.Si sebagai dosen penguji pada sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Orang tua tersayang (Drs.TM Sitorus dan Dra. R. Panjaitan) yang selalu mendoakan dan menyemangati, serta kasih sayang yang telah diberikan. 4. Saudara-saudaraku tercinta Kak Emmy, Kak Teres, Kak Cima, Bang muel, Daniel, Bang Gonmy, Bang Martin, dan Abbey yang selalu mendoakan, memberikan dukungan dan semangat, serta kasih sayang. 5. Dinas terkait (BPS, Departemen Pertanian, Direktorat Jendral Perkebunan) yang telah memberikan data dalam penelitian ini sehingga penulisan skripsi ini dapat dilakukan dengan baik. 6. Teman-teman satu bimbingan (Mafia Sartika Dewi, Adelina Anjani, Novianti, Anissa Saras waty, Rani Sumarni, Latifah Hanum, dan Vicky Amelia) atas kerjasama dan semangatnya dalam memotivasi penyelesaian skripsi ini

7. Teman-teman ESL 45 yang saling mendukung, terutama sahabat ESL 45 Riakantri Siregar, Tantri Sianturi, Dyah Puspitaloka, dan Pebri Antoni Sagala yang saling memotivasi. 8. Teman-teman Pondok Putri yang juga turut mendukung dan saling memotivasi. (Erti Sinaga, Fennyka Pratami Putri, Evi Sinaga, Satriani Situmorang, Gusti, Dian Silalahi, Nikita, Febby Silalahi). 9. Staf dan dosen pengajar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, serta

seluruh

pihak

yang

tidak

dapat

disebutkan

satu

persatu.

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................

x

I.

1

PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.

Latar Belakang ....................................................................... Rumusan Masalah .................................................................. Tujuan Penelitian .................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................

1 8 11 12 12

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................

13

2.1.

Tinjauan Teoritis .................................................................... 2.1.1. Keseimbangan Pasar ..................................................... 2.1.2. Konsep Ekonomi Industri ........................................... Pendekatan Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar .................. 2.2.1. Struktur Pasar ............................................................ 2.2.2. Perilaku Pasar ............................................................ 2.2.3. Kinerja Pasar .............................................................. Tinjauan Penelitian Terdahulu ...............................................

13 21 22 23 23 26 27 29

III. KERANGKA PEMIKIRAN .........................................................

32

II.

2.2.

2.3.

3.1. IV.

Kerangka Operasional ...........................................................

32

METODE PENELITIAN ..............................................................

34

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 4.2. Jenis dan Sumber Data .......................................................... 4.3. Metode Analisis Data ............................................................. 4.3.1. Analisis Struktur Pasar ................................................ 4.3.2. Analisis Perilaku Pasar................................................. 4.3.3. Analisis Kinerja Pasar .................................................. 4.3.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Industri Kakao di Indonesia .................................................... 4.4. Uji Statistik ............................................................................ 4.4.1. Uji R-Squared (R2) .................................................... 4.4.2. Uji F .......................................................................... 4.4.3. Uji t ........................................................................... 4.5. Uji Ekonometrika .................................................................. 4.5.1. Uji Normalitas ............................................................ 4.5.2. Uji Multikolinearitas .................................................. 4.5.3. Uji Autokorelasi ........................................................

34 34 34 35 37 38 39 40 41 41 42 42 42 43 44

4.5.4. Uji Heteroskedastisitas .............................................. V.

VI.

44

GAMBARAN UMUM ...................................................................

46

5.1. Prospek Kakao di Indonesia .................................................... 5.1.1. Produksi Kakao di Indonesia ........................................ 5.1.2. Konsumsi Kakao di Indonesia ................................... . 5.2. Industri Kakao di Indonesia ...................................................

46 47 48 48

HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................

51

6.1. Analisis Struktur Industri Kakao di Indonesia ......................... 6.1.1. Konsentrasi Pasar ........................................................ 6.1.2. Hambatan Masuk Pasar .............................................. 6.1.3. Derajat Perbedaan Produk .......................................... 6.1.4. Informasi ................................................................. ... 6.2. Analisis Perilaku Pasar ........................................................... 6.2.1. Strategi Harga ............................................................. 6.2.2. Strategi Produk dan Promosi ...................................... 6.3. Analisis Kinerja Pasar ............................................................ 6.3.1. Analisis Price Cost Margin (PCM) ............................ 6.3.2. Analisis Efisiensi Internal (X-eff) ............................... 6.4. Hasil Uji Analisis Hubungan Struktur dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja .................................................. 6.4.1. Uji R-Squared (R2) .................................................. 6.4.2. Uji F 6.4.3. Uji t ............................................................................. 6.4.4. Uji Multikolinearitas .................................................. 6.4.5. Uji Autokorelasi ........................................................... 6.4.6. Uji Heteroskedastisitas................................................. 6.4.7. Uji Normalitas ............................................................ 6.4.8. Hubungan Struktur dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja ................................................

51 51 53 54 55 55 55 57 58 58 59 61 61 61 62 62 62 63 63 64

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................

68

7.1. Kesimpulan ............................................................................. 7.2. Saran ........................................................................................

68 69

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

71

LAMPIRAN ..............................................................................................

7

DAFTAR TABEL

Nomor 1

Halaman Perkembangan Luas Areal Kakao Indonesia Menurut Status Penguasaannya Tahun 2005–2008 .........................................

3

Produksi Kakao di Indonesia Menurut Status Pengusahaan Tahun 2000-2009 ....................................................................

4

Perkembangan Konsumsi Cokelat Instan dan Cokelat Bubuk di Indonesia Tahun 1981–2008 ....................................................

5

4

Proyeksi Permintaan Kakao Indonesia, 2010-2012 ................

9

5

Jumlah Perusahaan Yang Masuk Dalam Industri Kakao, 20102012 ..........................................................................................

10

Perbedaan Pasar Berdasar Struktur Pasar ...............................

26

2 3

6

DAFTAR GAMBAR

Nomor 1

Halaman Perkembangan Harga Domestik Kakao Indonesia Tahun 19922008 ...........................................................................................

5

2

Klasifikasi Struktur Pasar ..........................................................

17

3

Penetapan Harga Pasar Persaingan Sempurna ..........................

18

4

Keuntungan Pasar Persaingan Sempurna ..................................

18

5

Penentuan Harga Pasar Monopoli .............................................

18

6

Keuntungan Pasar Monopoli .....................................................

19

7

Penetapan Harga Pasar Monopolistik ........................................

20

8

Keuntungan Pasar Monopolistik ...............................................

20

9

Harga Keseimbangan Antara Permintaan dan Penawaran ........

21

10

Alur Kerangka Pemikiran Penelitian .........................................

33

11

Kurva CR4 Industri Kakao Tahun 2000-2009 ...........................

52

12

Kurva MES Industri Kakao Indonesia Tahun 2000-2009 .........

54

13

Kurva Price Cost Margin Industri Kakao Tahun 2000-2009......

59

14

Kurva Efisiensi Internal Industri Kakao Tahun 2000-2009 ......

60

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor 1

Halaman Nilai Input, Nilai Output, Nilai Tambah, Input TK, dan Barang yang dihasilkan Industri Kakao Tahun 2000-2009 (ribu Rp) ..

73

Rasio Konsentrasi Industri Kakao di Indonesia Tahun 20002009 ...........................................................................................

73

Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Kakao di Indonesia Tahun 2000-2009 .......................................................................

74

Price Cost Margin Industri Kakao di Indonesia Tahun 20002009 ...........................................................................................

74

Efisiensi Internal Industri Kakao di Indonesia Tahun 20002009 ...........................................................................................

75

6

Produktivitas Industri Kakao di Indonesia Tahun 2000-2009.....

75

7

Hasil Regresi Industri Kakao di Indonesia tahun 2000-2009 dengan menggunakan software Minitab 14 ..............................

7

2 3 4 5

I. PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

sumberdaya alam, terutama dari hasil pertanian. Sektor pertanian menjadi sektor penting sebagai penyedia input bagi sektor lain, sehingga sektor pertanian dikatakan berpengaruh dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka Indonesia mulai mencanangkan masa depan menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian akan semakin kuat. Sektor perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang dianggap pertumbuhannya paling konsisten jika dilihat dari hasil produksi, luas areal lahan, dan produktivitasnya. Sektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan harga yang berlaku, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. Menurut BPS (2011), tanaman perkebunan Indonesia mampu menghasilkan 153 884.70 miliar rupiah terhadap PDB Indonesia, sedangkan untuk tenaga kerja sektor ini mampu menyerap 39 328 915 tenaga kerja. Beberapa komoditas perkebunan yang dianggap penting di Indonesia, seperti: karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu merupakan komoditas unggulan yang menyumbang devisa bagi negara secara rutin. Kelapa sawit, karet dan kakao tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan tanaman

perkebunan lainnya dengan laju pertumbuhan lebih dari lima persen per tahun. Pertumbuhan yang pesat dari ketiga komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan areal komoditas tersebut guna meningkatkan jumlah produksi. Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia, yakni sebagai penghasil devisa negara, penyedia lapangan kerja, mendorong pengembangan agribisnis dan agroindustri, karena kakao dianggap sebagai salah satu komoditas unggulan subsektor perkebunan dari 15 komoditas unggulan nasional yang dicanangkan untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia karena ekspor kakao Indonesia mampu membantu untuk meningkatkan devisa Indonesia, hal ini dibuktikan dengan mampunya kakao sebagai penyumbang devisa Indonesia peringkat keempat setelah kelapa sawit, karet, dan kelapa. Indonesia yang juga dikenal sebagai negara penghasil kakao terbesar ketiga di dunia turut berperan aktif dalam ekspor komoditas kakao dunia karena Indonesia menyumbang sebesar 15 persen kakao untuk dunia. (Direktorat Jendral Perkebunan , 2010). Indonesia sebagai negara pengekspor dituntut untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan pasar internasional sehingga sering mengesampingkan permintaan dalam negeri sendiri. Konsumsi kakao dalam negeri hanya berkisar sepertiga dari total produksi kakao Indonesia. (Direktorat Jendral Perkebunan, 2010). Kakao merupakan komoditas yang paling banyak dikelola oleh rakyat, pada periode 1987-2009, luas areal kakao PR bertambah dengan laju rata-rata sebesar

2

39.46 persen per tahun sedangkan pada tahun 1967-1986 rata-rata pertumbuhan luas areal kakao PR hanya sebesar 21.56 persen per tahun. Sebaliknya luas areal kakao PBN dan PBS tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama periode 1987-2009, namun cukup besar peningkatannya pada periode sebelumnya yakni pada tahun 1967-1986 yang mana besarnya masing-masing adalah 23.59 persen dan 37.97 persen. Tabel 1 akan menunjukkan bahwa periode empat tahun terakhir yakni 20052008, luas areal kakao PR dan PBN mengalami peningkatan masing-masing sebesar 7.14 persen dan 11.06 persen, sementara luas areal kakao PBS relatif tidak mengalami peningkatan luas areal yaitu sebesar 0.36 persen Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Kakao Indonesia Menurut Status Penguasaannya Tahun 2005-2008 Tahun

PR Luas (Ha)

Growth (%)

PBN Luas Growth (Ha) (%)

Luas (Ha)

PBS Growth (%)

Total Luas Growth (Ha) (%)

2005

1 081 102

-

38 295

-

47 649

-

1 167 046

-

2006

1 219 633

12.81

48 930

27.77

52 257

9.67

1 320 820

13.18

2007

1 272 782

4.36

57 343

17.19

49 155

(5.94)

1 379 279

4.43

2008

1 326 784

4.24

50 584

(11.79)

47 848

(2.66)

1 425 216

3.33

2009* Ratarata

1 372 705

3.46

55 165

9.06

47 473

(0.78)

1 475 343

3.52

6.22

10.56

0.07

6.11

Keterangan: * = angka sementara Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010

Seiring dengan perkembangan luas areal maka produksi kakao Indonesia juga terus mengalami peningkatan dari tahun 1967-2009 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 18.15 persen. Peningkatan produksi yang cukup signifikan terjadi pada PR periode 1987-2009 hingga mencapai 90.19 persen. Sementara itu, produksi kakao untuk PBN dan PBS juga terus mengalami peningkatan walaupun dalam kuantitas yang relatif kecil. Berikut ini produksi kakao periode 2000-2009 akan disajikan dalam tabel 2.

3

Tabel 2. Produksi kakao di Indonesia Menurut Status Pengusahaan Tahun 2000-2009 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009*

PR 363628 476924 511379 634877 636783 693701 702207 671370 740681 694783

PBN 34790 33905 34083 32075 25830 25494 33795 34643 31130 32588

PBS 22724 25975 25693 31864 29091 29633 33384 33993 31783 31070

Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010

Tingginya permintaan kakao turut meningkatkan konsumsi kakao di Indonesia. Menurut BPS (2010), konsumsi kakao Indonesia dibedakan atas konsumsi cokelat instan dan cokelat bubuk. Perkembangan konsumsi kedua jenis cokelat tersebut dari tahun 1981-2008 relatif berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan yaitu masing-masing sebesar 35.71 persen untuk konsumsi cokelat instan dan 17.31 persen untuk konsumsi cokelat bubuk. Konsumsi cokelat bubuk sangat berfluktuasi dan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yang mencapai 20.8 gr/kapita. Perkembangan konsumsi cokelat instan juga berfluktuasi dan cenderung meningkat sejak tahun 2004, hingga pada akhirnya tahun 2005 mencapai 31.2 gr/kapita, kemudian sejak tahun 2006 konsumsi cokelat instan berfluktuasi cenderung menurun hingga pada tahun 2008 hanya mencapai 23.4 gr/kapita. Pada tabel 3akan ditunjukkan besarnya konsumsi cokelat instan dan cokelat bubuk masyarakat Indonesia dari tahun 1981 hingga tahun 2008.

4

Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Cokelat Instan dan Cokelat Bubuk di Indonesia Tahun 1981-2008 Cokelat Instan Cokelat Bubuk Tahun Konsumsi Pertumbuhan Konsumsi Pertumbuhan (gr/ kapita) (%) (gr/ kapita) (%) 1981 10.4 1984 5.2 -50 1987 5.2 0 1990 5.2 0 1993 10.4 100 1996 20.8 100 1999 7.8 5.2 -75 2002 15.6 100 10.4 100 2003 7.8 -50 5.2 -50 2004 15.6 100 10.4 100 2005 31.2 100 10.4 0 2006 15.6 -50 10.4 0 2007 23.4 50 10.4 0 2008 23.4 0 10.4 0 Rata-rata 35.71 17.31 Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010

Perkembangan harga domestik kakao juga ikut mengalami peningkatan sejak tahun 1992 hingga 2008 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 24.64 persen. Peningkatan

Harga domestik (Rp)

yang cukup tajam terjadi pada tahun 1998 hingga mencapai 203.65 persen. 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0

Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010

Gambar 1. Perkembangan Harga Domestik Kakao Indonesia Tahun 1992-2008

5

Disisi lain, pada kenyataannya harga kakao ini masih dianggap rendah dibanding komoditas sawit dan karet, sehingga banyak perkebunana kakao yang dikonversi menjadi sawit maupun karet. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa butuh adanya perbaikan kinerja industri pada kakao. Menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditas (Bappebti, 2011), harga kakao pada tahun 2011 menurun dari tahun 2010 yaitu dari 3 400 dolar AS per ton menjadi 2 200 dolar AS per ton. Hal ini juga diakibatkan dari nilai ekspor yang menurun dari tahun 2010 ke tahun 2011 sebesar 40 persen, yakni dari 430 000 ton menjadi 207 000 ton, sedangkan produksi kakao terus meningkat. Hal ini dipengaruhi karena terjadinya krisis eropa pada tahun 2011, sedangkan tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Eropa. Selain itu pada penutupan perdagangan di Bursa ICE, harga kakao terus melemah karena prediksi bahwa permintaan terhadap komoditas pangan akan mengalami penurunan. Harga kakao berjangkan untuk kontrak pengiriman bulan September mengalami penurunan sebesar 12 dolar AS (0.52 persen) dan ditutup pada posisi 2 307 dolar AS per ton. Penurunan harga yang terjadi pada kakao ini diprediksi karena permintaan akan komoditas pangan, termasuk kakao ikut menurun sehingga berimbas pada pukulan harga yang melemah. (Kompas, 2012) Namun, bagi industri pengolahan kakao masalah harga yang dipaparkan diatas tidak menjadi satu hambatan yang menakutkan dalam pengolahan kakao. Hal ini jelas terlihat kontras karena menurut BPS (2011), industri masih menjadi konsumen terbesar kakao. Hal ini didukung karena industri lebih menghasilkan nilai tambah yang lebih. Menurut Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI, 2009) dalam Rahmanu (2009) menyatakan bahwa perusahaan pengolahan kakao yang ada di Indonesia berjumlah 28 perusahaan, namun hingga sampai tahun 2006 hanya ada

6

15 perusahaan yang tersedia dan dari 15 perusahaan pengolahan kakao hanya 10 perusahaan saja yang melakukan aktivitas produksi dan sisanya lima perusahaan lagi tidak melakukan aktivitas produksi. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi pengolahan kakao di Indonesia belum berkembang dengan baik, namun pada kenyataannya permintaan akan kakao terus mengalami peningkatan baik di pasar domestik maupun pasar intenasional. Menurut data BPS (2011), terdapat beberapa perusahaan baru yang masuk dalam industri kakao. Masuknya perusahaan baru dalam pengolahan kakao menggambarkan bahwa produksi kakao Indonesia mengalami peningkatan dan menjadi perhatian yang terus dikembangkan. Daerahdaerah yang menjadi sentra pemasok kakao juga terus mengalami peningkatan produksi sebagai penyumbang kakao Indonesia. Industri dinilai mampu memperbaiki kondisi yang tidak stabil dalam perkebunan kakao. Melalui peran industri maka dapat dilihat bagaimana persaingan kakao secara industrialisasi. Selain itu dari struktur industri yang tercipta dapat ditentukan bagaimana kinerja industri yang tepat dan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kinerja dari masing-masing industri. Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan adanya pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP). Pendekatan SCP ini mampu menjelaskan bagaimana langkah yang semestinya diambil, karena dengan mengetahui struktur, perilaku, dan kinerja pasar maka dapat diketahui kebijakan mana yang paling tepat untuk dilakukan. Antara struktur, perilaku, dan kinerja industri yang saling berhubungan satu sama lain dan ketiga hal ini akan saling mempengaruhi. Oleh karena itu penelitian dengan pendekatan SCP ini penting untuk dilakukan.

7

1.2.

Rumusan Masalah Kakao merupakan salah satu komoditas sektor perkebunan yang memiliki

peran penting dalam sektor perekonomian Indonesia. Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2010), kakao merupakan salah satu komoditas unggulan dalam subsektor perkebunan yang dicanangkan untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia karena kakao Indonesia mampu meningkatkan devisa negara. Potensi kakao sebagai salah satu komoditas unggulan menyebabkan tingginya permintaan akan kakao, tingginya permintaan yang meningkat setiap tahun diiringi dengan meningkatnya konsumsi kakao di Indonesia. Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2010), permintaan kakao untuk tahun 2010-2012 diprediksi akan mengalami peningkatan. Selama periode 19692009, ekspor total Indonesia mencapai lebih dari 70 persen dari total produksinya, dan sisanya digunakan untuk konsumsi dalam negeri dengan industri sebagai konsumen terbesar dalam konsumsi kakao. Hal ini disebabkan karena sangat elastisnya harga ekspor rill kakao dalam mempengaruhi kakao nasional. Sedangkan yang dikonsumsi oleh masyarakat dari konsumsi industri hanya sebesar 23.4 gr/kapita cokelat instan dan 10.4 gr/kapita cokelat bubuk pada tahun 2008. Sementara itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) pada tahun 2006, dari total kapasitas terpasang industri pengolahan nasional yang mencapai 300 ribu ton, pemanfaatan kapasitas produksinya baru 50 persen saja atau sekitar 150 ribu ton. Berikut proyeksi permintaan kakao Indonesia tahun 2010-2012 akan dipaparkan pada tabel 4.

8

Tabel 4. Proyeksi Permintaan Kakao Indonesia, 2010-2012 No Tahun Ekspor Industri Total permintaan (Ton) (Ton) (Ton) 1 2010 573 378 150 000 762 378 2 2011 596 503 150 000 746 503 3 2012 616 629 150 000 766 629 Rata-rata pertumbuhan (%) 0.43 0.00 0.73 Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan, 2010

Selama periode tahun 2010-2012, permintaan kakao diproyeksikan akan naik sebesar 0.73 persen. Kenaikan ini disebabkan karena volume ekspor 0.43 persen. Pada tahun 2010 total permintaan biji kakao kering diproyeksikan mencapai 726.38 ribu ton, kemudian naik menjadi 746.50 ribu ton pada tahun 2011 dan diproyeksikan naik kembali pada tahun 2012 menjadi sebesar 766.63 ribu ton. Disamping karena faktor tingginya permintaan yang disebutkan diatas, industri pengolahan kakao di Indonesia juga turut mengambil peran dalam mengolah kakao dalam negeri. Adanya industri yang mengelola kakao karena kakao memiliki potensi untuk bersaing sebagai komoditas perkebunan, selain itu kakao juga mampu menghasilkan keuntungan dan sangat besar peluangnya untuk dijadikan sebagai produk berbahan dasar kakao yang lebih baik. Tingginya permintaan produk berbahan dasar kakao ini dinilai mampu menghasilkan keuntungan yang lebih, sehingga tidak sedikit perusahaan yang masuk kedalam industri pengolahan kakao ini. BPS (2011) mempublikasi bahwa jumlah perusahaan yang masuk dari tahun 2000-2009 cenderung berfluktuatif. Jumlah perusahaan yang masuk dalam industri pengolahan kakao tertinggi terjadi pada tahun 2002, yaitu sebanyak 34 perusahaan, sedangkan jumlah perusahaan terendah terdapat pada tahun 2009. Pada tabel 5 akan dicantumkan banyaknya jumlah perusahaan yang masuk dalam industri pengolahan kakao.

9

Tabel 5. Jumlah Perusahaan yang Masuk Dalam Industri Kakao, 2000-2009 Tahun Jumlah Perusahaan Tahun Jumlah Perusahaan 2000 24 2005 31 2001 26 2006 25 2002 34 2007 18 2003 25 2008 18 2004 17 2009 15 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011

Masuk dan keluarnya jumlah perusahaan ini membuktikan bahwa persaingan akan kakao Indonesia cukup kompetitif, semakin sedikit jumlah perusahaan dalam suatu industri menunjukkan bahwa tingginya hambatan untuk masuk dalam industri, selain itu tingginya hambatan juga menggambarkan kinerja yang baik dalam suatu industri. Sedangkan mudahnya suatu perusahaan baru untuk masuk ke dalam industri kakao terjadi karena mudahnya memperoleh informasi, rendahnya hambatan masuk indusri, banyaknya penjual, dan produk yang homogen. Hal ini menjadi satu perhatian karena akan meninmbulkan suatu struktur pada industri kakao Indonesia yang berdampak pada penetapan harga (perilaku industri) dan kinerja industri kakao dalam negeri. Namun untuk memasuki suatu industri kakao tidaklah mudah, industri kakao baru harus dapat memahami kondisi pasar yang ada. Struktur industri yang tercipta tidak dapat dihindari, namun untuk menciptakan suatu persaingan yang diinginkan dalam industri dapat melakukan perbaikan perilaku dan kinerja industri dengan meninjau struktur industri yang telah tercipta, karena ketiga hal ini memang sangat erat hubungannya. Pada akhirnya penelitian ini akan melihat bagaimana persaingan kakao dari segi industri dengan melakukan analisis struktur, perilaku, dan kinerja dari masing-masing industri. Dari

10

rumusan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi perumusan masala dalam penelitian ini yaitu: 1.

Bagaimana struktur industri kakao di Indonesia?

2.

Bagaimana perilaku industri kakao di Indonesia?

3.

Bagaimana kinerja industri kakao yang ada di Indonesia?

4.

Bagaimana hubungan struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja industri kakao di Indonesia? Dari keempat rumusan masalah ini penulis berharap dapat mengetahui hasil

yang menjadi penelitian penulis sehingga dapat memperoleh dan menyajikan hasil yang tepat. 1.3.

Tujuan Penelitian Melihat dari rumusan masalah yang telah dipaparkan maka tujuan penelitian

dilakukan untuk menjawab rumusan masalah, yang akan dipaparkan dalam empat poin yaitu: 1.

Mengetahui struktur industri kakao yang ada di Indonesia

2.

Mengetahui perilaku industri kakao yang ada di Indonesia

3.

Mengetahui kinerja industri kakao yang ada di Indonesia

4.

Mengetahui hubungan struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao, serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja industri kakao di Indonesia Secara singkat penelitian ini akan membahas tentang struktur, perilaku, dan

kinerja industri kakao yang ada di Indonesia sehingga pada akhirnya dapat memberi kebijakan yang paling tepat.

11

1.4.Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca, pelaku usaha/industri kakao, maupun stakeholder yang berpartisipasi di dalamnya sehingga dapat mengambil kebijakan yang sesuai, maka diharapkan dari penelitian ini dapat : 1.

Memberikan informasi mengenai persaingan kakao dari segi industri melalui pendekatan struktur, perilaku, dan kinerja industri (SCP).

2.

Membantu industri kakao dalam mengambil keputusan yang tepat dengan melihat aspek SCP.

1.5.

Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini membahas mengenai struktur, perilaku, dan kinerja industri

kakao di Indonesia dengan data yang digunakan bersifat time series pada tahun 2000-2009 melalui pendekatan SCP. Dalam penelitian ini akan dibatasi dengan hasil olahan kakao menjadi cokelat, dalam arti penelitian ini lebih mengkerucutkan pada cokelat. Data yang diperoleh untuk melanjutkan penelitian ini berasal dari kode industri KBLI 15314 yaitu industri pengupasan, pembersihan, dan pengeringan kakao menjadi konsumsi cokelat. Adapun penelitian ini dilakukan untuk melihat bahwa kakao Indonesia juga bersaing didalam negeri. Disamping itu penelitian mengenai SCP ini mampu melihat persaingan yang terjadi didalam industri dengan melihat bagaimana struktur dan perilakunya. Dan melalui kinerja mampu melihat keuntungan yang diperoleh sehingga dapat memprediksi produksi cokelat

kedepannya.

12

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Tinjauan Teoritis Ekonomi pertanian merupakan suatu aplikasi ilmu ekonomi dengan bidang

pertanian, dimana ilmu ini digunakan untuk memecahkan permasalahanpermasalahan pertanian. Menurut Mubyarto (1989), ekonomi pertanian pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations. Ilmu ekonomi pertanian didefinisikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi umum yang mempelajari fenomena-fenomena dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pertanian baik mikro maupun makro. Cramer and Jensen (1994), mengemukakan bahwa ekonomi pertanian adalah pengaplikasian ilmu sosial yang menghadapkan bagaimana manusia memilih untuk menggunakan teknik ekonomi dengan kondisi sumberdaya yang semakin terbatas dan langka seperti lahan, tenaga kerja, kapital, dan manajemen untuk memproduksi makanan dan serat hingga untuk memproduksinya kepada masyarakat. Terjadinya permintaan kakao merupakan jumlah dari seluruh permintaan individual, karena masing-masing individu dihadapkan pada pilihan, seperti permintaan yang tidak terbatas dan adanya keterbatasan sumberdaya. Cramer and Jansen (1994), mengungkapkan bahwa dalam pasar terdapat pelaku pasar yang mengendalikan keadaan pasar, hal ini dinyatakan sebagai perilaku pasar. Perilaku pasar adalah pola tingkah laku para pelaku pasar dalam melakukan penyesuaian dengan struktur pasar yang dihadapi dapat berupa praktekpraktek penentu harga komoditi, seragamnya biaya pemasaran, praktek persaingan bukan harga seperti kolusi, pasar gelap, praktek-praktek tidak jujur dan

kebijaksanaan harga yang kurang mendorong perbaikan mutu. Keragaan pasar sangat ditentukan oleh struktur pasar dan perilaku pasar. Keragaan pasar dapat dilihat dari tingkat harga dan marjin pemasaran. Cramer and Jensen (1994) juga mengungkapkan bahwa terdapat beberapa jenis struktur pasar berdasarkan persaingan yang terjadi, yaitu: (a) Persaingan Sempurna/Persaingan Murni (Pure Competition). Pasar ini ditandai dengan banyaknya perusahaan dalam industri, produknya bersifat homogen, dan terdapat kebebasan perusahaan secara individu dalam masuk atau keluar industri. (b) Monopoli Murni (Pure Monopoly). Pasar ini ditandai dengan hanya ada satu perusahaan dalam industri serta produk perusahaan yang bersifat diferensiasi. (c) Monopsoni (Monopsony), yaitu pasar dengan satu pembeli yang menghadapi banyak penjual. (d) Pasar persaingan tidak sempurna (Imperfect Competition). Beberapa struktur pasar yang termasuk di dalamnya, yaitu pasar yang terdiri atas dua penjual disebut duopoli dan pasar yang terdiri dari sejumlah kecil penjual (lebih dari dua) disebut oligopoli. Sebaliknya, situasi pasar dengan dua pembeli disebut duopsoni dan pasar dengan sejumlah kecil pembeli disebut oligopsoni. (e) Persaingan Monopolistis (Monopolistic

Competition). Pasar jenis ini

merupakan suatu organisasi pasar yang terdiri dari banyak perusahaan yang menjual komoditi sangat serupa tetapi tidak identik. Tomek (1990) mengemukakan bahwa struktur pasar adalah berbagai aspek yang ada di pasar yang dapat mempengaruhi pelaku pasar, dimana pelaku pasar

14

terdiri dari produsen dan konsumen. Struktur pasar dibedakan menjadi empat kelompok. Adapun faktor-faktor dalam struktur pasar yaitu: 1. Banyaknya Penjual dan Pembeli Penjual dan pembeli yang bertindak sebagai pelaku pasar akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang terjadi dalam sebuah pasar. Banyaknya penjual dan pembeli tentu akan mempengaruhi penentuan harga dan besarnya penguasaan pasar. Semakin sedikit jumlah penjual dalam suatu pasar maka penguasaan terhadap pasar semakin kuat dan cenderung monopoli. 2. Derajat Perbedaan Produk (Homogen atau Terdiferensiasi) Kondisi produk dibagi menjadi dua jenis, yaitu: produk yang homogen dan heterogen. Perbedaan jenis produk dapat mempengaruhi perilaku produsen yang berada didalam pasar untuk bersaing. Perbedaan corak produk (produk differentiation) memberikan keluasan yang lebih besar bagi produsen guna mengatur strategi pasar. Produk yang memiliki ciri khusus atau unik biasanya cenderung digemari oleh konsumen tertentu. Melalui keunggulan produk tersebut pihak produsen memiliki kekuatan tambahan guna mengendalikan keadaan pasar sehingga mampu menjadi monopolis di wilayah-wilayah pasarnya sendiri. Konsumen dihadapkan pada pilihan produk yang terbatas. Dengan demikian, keadaan ini menciptakan kekuatan pasar bagi produsen yang bersangkutan

sehingga

produsen

tersebut

pada

gilirannya

akan

mampu

mengendalikan keadaan pasar. Sebaliknya bila produk yang ditawarkan produsen bersifat homogen maka hal ini menyebabkan konsumen memiliki banyak alternatif pilihan untuk berbelanja. Konsumen dapat memilih pada konsumen mana saja sehingga hal tersebut memberikan alternatif yang terbatas bagi produsen dalam

15

membuat keputusan pasar. Dengan demikian pasar cenderung kompetitif dan produsen tidak dapat mengendalikan keadaan pasar guna menentukan harga dan output di dalam pasar yang secara semena-mena. Selanjutnya, harga dan output pasar akan tercipta melalui mekanisme pasar. 3. Hambatan Untuk Memasuki Pasar Hambatan untuk memasuki sebuah pasar dapat dilihat dari mudah tidaknya suatu pesaing untuk masuk ke dalam suatu pasar. Hambatan untuk memasuki sebuah pasar dapat disebabkan oleh munculnya persaingan yang semakin ketat. Hambatan ini dapat dilihat dari mudah atau tidaknya pesaing-pesaing potensial untuk masuk ke pasar. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk dalam penelitian ini adalah dengan mengukur skala ekonomi yang dillihat melalui output perusahaan yang menguasai pasar. 4. Mudah atau Tidaknya Informasi yang Diperoleh Adanya informasi yang tidak sempurna akan mempengaruhi kemampuan pasar untuk menetapkan harga keseimbangan/ekuilibrium. Pembuktian efisiensi dari harga persaingan mengasumsikan bahwa harga ekuilibrium ini diketahui oleh semua pelaku ekonomi. Jika beberapa pelaku ekonomi tidak memiliki informasi penuh tentang harga yang berlaku dan mutu produk tidak tersedia secara bebas, tangan tak terlihat Adam Smith tidak akan sangat efektif. Keputusan-keputusan yang tidak tepat yang didasari oleh informasi yang salah tentang harga atau mutu dapat menghasilkan alokasi yang tidak efisien. Pasar persaingan sempurna dicirikan dengan banyaknya jumlah penjual dan pembeli yang berada dalam pasar, jenis produk yang dipasarkan bersifat homogen, tidak ada hambatan untuk memasuki sebuah pasar bagi pesaing, dan informasi

16

mengenai pasar mudah untuk diperoleh. Sebaliknya, pada pasar monopoli hanya ada satu penjual dan berperan sebagai penentu harga, produk yang dipasarkan terdiferensiasi, hambatan yang sulit untuk memasuki sebuah pasar karena sudah ditentukan, seperti: modal teknologi, skala ekonomi, dan informasi mengenai pasar sangat sulit untuk diperoleh. Tidak jauh berbeda dengan pasar monopoli, pasar oligopoli juga hanya terdiri dari beberapa penjual, produk yang dipasarkan homogen maupun terdiferensiasi, ada hambatan yang cukup besar untuk memasuki sebuah pasar, dan sulit untuk memperoleh informasi mengenai pasar oligopoli. Sedangkan, pada pasar monopolistik hampir sama dengan pasar persaingan dimana banyak penjual dan pembeli dalam pasar, produk yang dipasarkan terdiferensiasi, tidak ada hambatan untuk masuk dan keluar pasar, dan mudah untuk memperoleh informasi. (Gambar 2) Cenderung Perfect Competition

Pasar Persaingan Sempurna

Pasar Monopolistik

Cenderung Monopoly

Pasar Oligopoli

Pasar Monopoli

Banyak penjual pembeli

Banyak penjual pembeli

Terdapat beberapa penjual

satu penjual dan banyak pembeli

Produk homogen

Produk terdiferensiasi

Produk homogen & terdiferensiasi

Produk terdiferensiasi

Tidak ada hambatan masuk pasar

Tidak ada hambatan masuk pasar

Terdapat hambatan masuk pasar

Besar hambatan masuk pasar

Informasi mudah diperoleh

Informasi mudah diperoleh

Informasi sulit untuk diperoleh

Informasi sangat sulit diperoleh

Sumber: Agricultural Product Prices (Tomek, 1990)

Gambar 2. Klasifikasi Struktur Pasar 17

Tomek (1990) mengungkapkan bahwa penetapan harga dan keuntungan yang terjadi pada pasar persaingan sempurna berasal dari jumlah permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar sehingga terjadi harga keseimbangan pada titik equilibrium. (Gambar 3 dan 4) P

P S

P

P D

MR= MC= P

Q

Q

i.) PPS pada pasar

ii.) PPS pada perusahaan

Gambar 3. Penetapan Harga Pasar Persaingan Sempurna P

MC AC

P*

AVC

AC*

Q* Q Gambar 4. Keuntungan Pasar Persaingan Sempurna Menurut Nicholson (1999), penentuan harga pada pasar monopoli akan memaksimalkan laba dengan berproduksi di tingkat dimana pendapatan marginal sama dengan biaya marginal dan akan dijelaskan dalam gambar 5. P MC P*

AC

MR

D

Q

Q*

18

Gambar 5. Penentuan Harga Pasar Monopoli Gambar selanjutnya menunjukkan bahwa Q* akan menghasilkan harga sebesar P* di pasar sehingga laba yang diperoleh pada perusahaan monopli adalah sebesar P*EAC. (Gambar 6)

Harga, biaya

P* C

MC

E

AC

A MR

D

Keluaran per periode Q* Gambar 6. Keuntungan Pasar Monopoli Penetapan harga pada pasar oligopoli terdiri dari empat model, yaitu: 1. Quasi-competitive model: mengasumsikan bahwa perilaku pengambilan keputusan harga oleh semua perusahaan (harga diberlakukan tetap), dengan kata lain tindakan perusahaan dalam oligopoli tidak mempengaruhi harga pasar dan perusahaan lain. Perusahaan bertindak sebagai price taker. 2. Cartel model: mengasumsikan bahwa perusahaan-perusahaan yang ada dipasar bergabung membentuk kartel, dimana kartel bertindak sebagai monopoli. 3. Cournot model: mengasumsikan bahwa perusahaan menganggap tindakannya dapat mempengaruhi harga pasar, tetapi tidak berpengaruh pada tindakan perusahaan lain. 4. Conjectural variations model: mengasumsikan bahwa perusahaan dalam oligopoli menganggap bahwa tindakannya dapat mempengaruhi harga pasar dan tindakan perusahaan lain. Perusahaan sebagai price leader.

19

Penetapan harga pada pasar monopolistik yang dijelaskan oleh gambar dibawah ini terjadi ketika kurva permintaan berpotongan dengan biaya rata-rata sehingga tidak mungkin memperoleh laba yang lebih. Perusahaan hanya dapat bertahan pada tingkat output dimana MR=MC. (Gambar 7) P

P*

MC AC MR D Q* Q Gambar 7. Penetapan Harga Pasar Monopolistik

Keuntungan maksimum pada pasar monopolistik dapat dilihat dari kurva permintaan yang terletak diatas kurva biaya rata-rata yang dijelaskan pada gambar 8. P MC P*

a

c

b

AC

MR D Q Q* Gambar 8. Keuntungan Pasar Monopolistik Mubyarto (1989) mengemukakan bahwa dalam ekonomi pertanian terdapat tiga hal yang saling berkaitan yaitu: harga, permintaan, dan penawaran. Salah satu gejala ekonomi yang sangat penting yang berhubungan dengan perilaku petani baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen adalah harga. Harga merupakan ukuran nilai dari barang-barang dan jasa-jasa. Suatu barang memiliki harga karena

20

disebabkan oleh dua hal yaitu: barang itu berguna dan barang itu jumlahnya terbatas. Barang-barang yang berguna bagi manusia dan jumlahnya terbatas ini disebut barang-barang ekonomi. 2.1.1. Keseimbangan Pasar Keseimbagan pasar terjadi karena adanya permintaan dan penawaran dalam suatu pasar. Permintaan adalah Jumlah barang atau komoditas yang mampu dibeli oleh seorang konsumen karena peningkatan pendapatan riil akan tergantung dari efek substitusi dan efek pendapatannya. Penawaran dapat dilihat dari kurva penawaran agregat yang merupakan merupakan penjumlahan secara horizontal kurva penawaran individual di pasar. Kurva penawaran dapat didefinisikan sebagai kurva tempat kedudukan hubungan antara jumlah barang atau komoditas yang ditawarkan pada berbagai tingkat harga. Mubyarto (1989) menyatakan bahwa inti dari teori permintaan dan penawaran adalah terjadinya harga keseimbangan sebagai akibat permainan bersama gaya-gaya permintaan dan penawaran. Teori keseimbangan ini akan dijelaskan dalam gambar 9 berikut. P

S

P*

D

Q

q* Gambar 9. Harga Keseimbangan Antara Permintaan dan Penawaran

21

Kondisi keseimbangan yang terjadi di pasar tentunya menjadi relatif tidak stabil apabila ada kekuatan-kekuatan yang mendorong harga dan jumlah barang atau komoditas yang pada akhirnya akan mencapai keseimbangan baru. 2.1.2. Konsep Ekonomi Industri Jaya (2001) menyatakan bahwa konsep-konsep industri sangat penting untuk diketahui dan dipahami. Konsep ekonomi industri berkaitan erat dengan aspek ekonomi. Ekonomi industri merupakan seperangkat konsep dan analisis mengenai persaingan dan monopoli dengan berbagai macam pasar yang berada diantara keduanya. Ekonomi industri merupakan suatu keahlian khusus dalam ilmu ekonomi yang membantu menjelaskan mengapa suatu pasar perlu diorganisir dan bagaimana pengorganisasiannya mempengaruhi cara kerja pasar industri. Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur pasar, perilaku, dan kinerja pasar. Hasibuan (1993) dalam Sari (2011) mengemukakan bahwa pengertian industri dapat dibedakan secara makro dan mikro. Secara mikro, pengertian industri adalah kumpulan perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang- barang homogen atau barang-barang yang mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat. Pengertian industri secara makro adalah kegiatan yang menciptakan nilai tambah, yakni semua produk barang maupun jasa. jadi dapat disimpulkan pengertian industri secara luas yaitu suatu unit usaha yang melakukan kegiatan ekonomi yang mempunyai tujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang terletak pada satu bangunan atau lokasi tertentu serta memiliki catatan administrasi

22

tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seseorang atau lebih yang bertanggungjawab atas resiko usaha tersebut. 2.2.

Pendekatan Struktur, Perilaku, dan Kinerja Pasar Ekonomi industri menyebutkan bahwa para ahli ekonomi melakukan

pendekatan-pendekatan untuk melihat hubungan keterkaitan antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar yang masing-masing pendekatan memiliki pola tersendiri di dalam mempelajari hubungan keterkaitan perilaku industri sehingga mewarnai perbedaan dalam struktur analisis yang dilakukan, akan tetapi antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar memiliki hubungan ketergantungan satu dengan yang lainnya. Teori Structure, Conduct, Performance (SCP) ini menjelaskan bahwa kinerja suatu industri pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh struktur pasar. Struktur pasar (structure) dianggap akan mempengaruhi perilaku dan strategi perusahaan dalam suatu industri dan perilaku (conduct) akan mempengaruhi kinerja (performance), Paradigma SCP menyatakan bahwa konsentrasi pasar yang tinggi akan membuat perusahaan lebih mudah untuk menguasai pasar dan menghasilkan keuntungan atau marjin yang tinggi, dimana srtuktur pasar mempengaruhi profitabilitas secara positif. 2.2.1. Struktur Pasar Struktur pasar menunjukkan karakteristik pasar, seperti elemen sejumlah pembeli dan pejual, keadaan produk, keadaan pengetahuan penjual dan pembeli, serta keadaan rintangan/hambatan pasar. Perbedaan pada elemen-elemen itu akan membedakan cara masing-masing pelaku pasar dalam industri berperilaku, yang pada gilirannya akan menentukan perbedaan kinerja pasar yang terjadi. Keadaan

23

jumlah dan distribusi penjual dalam pasar mempengaruhi harga jual yang berlaku dan output yang terdapat di dalam pasar. Pada struktur pasar persaingan sempurna ditandai oleh adanya sejumlah besar penjual di dalam pasar dan masing-masing diantara mereka memiliki kekuatan pasar yang relatif sama. Sebagai akibatnya para pesaing pasar tidak memiliki kekuatan pasar yang berguna untuk mengendalikan keadaan pasar, selanjutnya keadaan harga dan output pasar berjalan menurut mekanisme pasar. Berbeda dengan kondisi pada pasar monopoli dimana jumlah penjual bersifat tunggal sehingga keadaan pasar dapat dikendalikan sepenuhnya oleh monopolis, baik dari segi penentuan harga maupun jumlah output. Menurut Jaya (2001), elemen dalam struktur pasar terdiri dari: pangsa pasar, konsentrasi, dan hambatan. 1) Pangsa Pasar (Market Share) Pangsa pasar menunjukkan besarnya persentase pendapatan perusahaan dari total pendapatan industri yang dapat diukur dari 0-100 persen. Semakin tinggi pangsa pasar maka semakin tinggi pula kekuatan pasar yang dimiliki perusahaan tersebut. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang sangat dominan akan menciptakan monopoli yang bersandar pada profit yang maksimal, hal sebaliknya juga jika pangsa pasar suatu perusahaan rendah maka persaingan yang tercipta yaitu persaingan sempurna/persaingan efektif. 2) Konsentrasi (Concentration) Konsentrasi atau pemusatan merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis dimana perusahaan tersebut menyadari adanya saling ketergantungan. Kelompok perusahaan ini terdiri dari 2, 4, dan 8 perusahaan. Jaya (2001) mengungkapkan bahwa suatu hubungan yang positif antara keuntungan

24

dan tingkat konsentrasi ini adalah merupakan halangan masuk yang besar bagi perusahaan baru karena dengan keuntungan yang diperoleh maka perusahaanperusahaan yang ada dalam industri akan berusaha untuk meningkatkan konsentrasinya. 3) Hambatan Masuk Pasar (Barrier to Entry) Hambatan untuk memasuki sebuah pasar dapat dilihat dari mudah tidaknya suatu pesaing untuk masuk ke dalam suatu pasar. Hambatan untuk memasuki sebuah pasar dapat disebabkan oleh munculnya persaingan yang semakin ketat. Salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk dalam penelitian ini adalah dengan mengukur skala ekonomi yang dillihat melalui output perusahaan yang menguasai pasar. Nilai output tersebut kemudian dibagi dengan output total industri. Data ini disebut dengan Minimum Efficiency Scale (MES). Produsen yang efisien dalam berproduksi pada dasarnya memiliki kekuatan alamiah untuk menghambat para pesaing potensial untuk memasuki pasar. Harga jual produk yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dapat diatur pihak produsen yang mapan menurut selera yang diinginkan. Produsen yang mapan dapat menentukan tingkat harga dan output yang diinginkan untuk menentukan keuntungan. Sebaliknya pada produsen yang memiliki keputusan yang lemah dalam memasuki pasar akan sulit menentukan tingkat harga dan output, hal ini pula yang menyebabkan produsen lemah akan sering gagal melakukan penetrasi pasar dan menguasai keadaan pasar. Jaya (2001) mengemukakan bahwa masuknya hambatan dalam mencakup segala sesuatu akan memungkinkan terjadinya kecepatan pesaing baru. Shepherd (1990) dalam Sari (2001), menyatakan bahwa hambatan terdiri dari dua jenis, yaitu

25

hambatan eksogen dan hambatn endogen. Hambatan eksogen merupakan hambatan untuk masuk ke dalam suatu pasar yang berasal dari luar perusahaan, seperti: modal, skala ekonomi, diferensiasi produk, diferensiasi intensitas penelitian dan pengembangan, investasi yang besar dan integritas vertikal. Sedangkan hambatan endogen dapat berupa kebijakan harga dari establish firm, strategi penguasaan produksi, strategi penggunaan bahan baku, strategi pemasaran produk dan image dari loyalitas merek produk itu sendiri. Pada tabel 4 akan dipaparkan perbedaan mendasar dari masing-masing struktur pasar. Tabel 4. Perbedaan Pasar Berdasar Struktur Pasar Tipe pasar Persaingan sempurna

Pangsa pasar Produk Pesaing >50 persen dan tidak Homogen satupun produsen yang dapat menguasai pangsa pasar dan didalamnya banyak penjual dan pembeli

Hambatan Tidak ada

Monopoli

Menguasai 100 persen Tidak pangsa pasar dan hanya ada memiliki satu penjual pengganti

Sangat sulit Sangat sulit memasuki memperoleh pasar informasi

Monopolistik Tidak satupun produsen yang Heterogen menguasi pangsa pasar >10 persen dan didalamnya banyak penjual

Mudah untuk memasuki Mudah untuk pasar memperoleh informasi

Oligopoli

Sulit memasuki pasar

Menguasai pangsa pasar sekitar 60 persen dan terdapat beberapa penjual

Homogen dan heterogen

Informasi Mudah memperoleh informasi

Sulit memperoleh informasi

Sumber: Ekonomi Industri (Jaya, 2001)

2.2.2. Perilaku Pasar Tindakan produsen dalam menjalankan suatu pasar memiliki ciri tersendiri untuk menjalankan usahanya dalam suatu pasar sehingga hal ini akan berpengaruh pada perbedaan strategi yang dijalankan dalam melaksanakan penetrasi pasar. Menurut Teguh (2010), pasar yang berstruktrur oligopoli cenderung memiliki perilaku kolusi, meskipun perilaku ini juga dapat terjadi pada pasar monopoli.

26

Setiap pesaing yang berada pada pasar oligopoli pada dasarnya memiliki dua pilihan untuk berkolusi, yaitu menganut kolusi formal atau kolusi informal. Kolusi formal ditandai dengan adanya perjanjian-perjanjian yang bersifat mengikat. Perjanjian ini dapat meliputi persetujuan harga, produksi, wilayah pasar dan lainnya yang sifatnya saling menguntungkan. Disamping itu pada persekutuan yang bersifat formal diberlakukan pula ancaman-ancaman yang dikenakan kepada setiap anggota yang melakukan pelanggaran perjanjian yang telah disepakati. Berbeda dengan kolusi informal, anggota yang tergabung dalam persekutuan ini tidak saling mengenal secara langsung satu dengan yang lainnya secara tepat. Sebaliknya mereka akan bersekutu secara diam-diam guna menciptakan situasi yang aman bagi masing-masing pesaing yang terdapat di dalam pasar. (Teguh, 2010) Pemimpin pasar (leader) biasanya akan menentukan harga dan output menurut pandangannya yang menguntungkan dan terhindar dari ancaman pemerintah dan persaingan pasar. Sebaliknya perusahaan-perusahaan kecil akan mengikuti harga yang telah disepakati oleh pemimpin pasar. Perusahaanperusahaan kecil bebas menentukan pilihan apakah akan mengikuti keputusan pemimpin pasar atau menentukan harga jual sesuai keputusan sendiri, namun dengan konsekuensi yang diterima yaitu akan menghadapi ancaman kemungkinan keluar dari pasar. (Teguh, 2010) 2.2.3. Kinerja Pasar Teguh (2010) mengemukakan bahwa kinerja pasar merupakan hasil-hasil atau prestasi yang muncul di dalam pasar sebagai reaksi akibat terjadinya tindakantindakan para pesaing pasar yang menjalankan berbagai strategi dan menguasai

27

kondisi pasar. Kinerja pasar dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti harga, keuntungan, dan efisiensi. Harga sering dijadikan sebagai faktor terpenting dalam pembedaan kinerja pasar yang bersaing sempurna dengan pasar yang tidak bersaing. Pada pasar persaingan sempurna harga jual yang terjadi di pasar cenderung lebih rendah karena mengikuti gejolak pasar yang berlangsung dikarenakan di dalam pasar tidak ada satupun produsen yang dapat mengendalikan pasar. Sebaliknya pada pasar yang tidak bersaing seperti monopoli harga jual di pasaran cenderung tinggi karena produsen monopolis memiliki kemampuan penuh guna mengendalikan pasar sehingga monopolis dapat menentukan harga jual yang tinggi sesuai kehendaknya dibanding harga jual yang ditentukan oleh persaingan pasar sempurna. Dalam hal keuntungan, pasar persaingan sempurna akan menerima keuntungan normal (normal profit). Produsen umumnya berproduksi pada situasi harga sama dengan biaya marjinal dan biaya rata-rata. Sebaliknya pada pasar monopoli, keuntungan yang diterima adalah super normal (extra profit) karena produsen berproduksi pada tingkat harga diatas biaya rata-rata pada rentangan kurva biaya rata-rata yang sedang menurun. Dengan kata lain, monopolis sengaja berproduksi pada situasi kapasitas produksi yang rendah sehingga keuntungan yang diperolah menjadi lebih tinggi. Akibat dari penentuan keuntungan ini akan mempengaruhi efisiensi ekonomi. 2.3.

Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai analisis Struktur, Perilaku, Kinerja telah banyak

dilakukan, terutama penelitian mengenai industri. Beberapa penelitian mengenai analisis struktur, perilaku, kinerja industri diantaranya:

28

1.

Sari (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Struktur, Perilaku, Kinerja Industri Pengolahan Susu di Indonesia, menyimpulkan bahwa bentuk struktur pasar industri susu di Indonesia adalah oligopoli ketat dengan rata-rata ratio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4)

sebesar 72.68 persen,

hambatan masuk pasar dengan melihat nilai MES sebesar 29.05 persen yang tergolong cukup tinggi. Perilaku industri pengolahan susu ini dapat dilihat dari strategi penerapan harga, strategi produk, dan promosi. Kinerja industri ini tergolong rendah dengan nilai PCM sebesar 25.10 persen, growth sebesar 37.62 persen, dan x-eff sebesar 20.32 persen. Hasil kinerja yang masih rendah ini disimpulkan terjadi karena dalam proses produksi terjadi peningkatan biaya dan industri belum mampu menekan biaya produksi dengan baik. 2.

Sucianti (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Pakan Ternak di Indonesia menyimpulkanbahwa struktur industri pakan ternak di Indonesia tergolong dalam pasar oligopoli longgar dengan rata-rata konsentrasi sebesar 38.33 persen. Penetapan harga bergantung pada harga bahan baku pakan, peningkatan mutu produk ditingkatkan sesuai dengan SNI, promosi yang dilakukan melalui iklan, majalah, dan internet. Kinerja industri dilihat dari nilai rata- rata PCM sebesar 20.43 persen, x-eff sebesar 31.96 persen, dan growth sebesar 25.17 persen. Hal ini menyimpulkan bahwa kinerja perusahaan yang masih rendah belum dikelola dengan baik.

3.

Is (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing Kakao di Pasar Internasional menyimpulkan bahwa struktur pasar kakao dipasar internasional menunjukkan kecenderungan ke arah pasar persaingan oligopoli

29

namun sedikit memiliki kekuatan monopoli dengan nilai CR4 sebesar

82

persen dan nilai rata- rata Herfindahl Index sebesar 2.621. 4.

Rahmanu (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao Indonesia menyimpulkan bahwa kakao olahan Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif pada tahun 1988 hingga tahun 1995 dengan nilai RCA dibawah satu dan memiliki keungulan komparatif pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 dengan nilai RCA diatas satu. Hal ini dikarenakan pada tahun 1988 sampai dengan tahun 1995 nilai ekspor hasil olahan kakao masih relatif sedikit dan mulai meningkat pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 seiring dengan meningkatnya permintaan hasil olahan kakao dunia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi industri makanan dan minuman dunia.

5.

Yuliati (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2005-2009 menyimpulkan bahwa dengan hasil perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) komoditi kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tinggi. Pada periode tersebut nilai RCAnya selalu lebih besar dari satu dan Indeks konsentrasi pasar kakao berada pada kisaran 39.47- 44.45 persen. Dari referensi penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka

dapat dibedakan bahwa penelitian yang dilakukan pada Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia mampu bersaing secara industrialisasi dengan hasil struktur industri yang tercipta adalah oligopoli selama periode 20002009. Struktur oligopoli dinilai mampu menghasilkan keuntungan yang cukup tinggi dan mampu menciptakan persaingan yang kondusif, sehingga dapat

30

disimpulkan bahwa persaingan kakao di Indonesia akan lebih efektif jika dikelola oleh industri pengolahan kakao. Penulis mengharapkan adanya keberlanjutan mengenai penelitian Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia yang lebih lanjut untuk melihat persaingan kakao di periode selanjutnya

31

III.

3.1.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Operasional Penelitian ini akan membahas tentang struktur, perilaku, dan kinerja industri

pasar kakao yang ada di Indonesiaselama periode 2000-2009. Penelitian ini berguna untuk mengetahui bagaimana struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao yang ada di Indonesia. Berdasarkan kerangka pemikiran analisis struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao di Indonesia, penelitian ini bermula dari permintaan kakao yang terus mengalami peningkatan, sehingga menciptakan persaingan pada sektor industri. Disamping itu persaingan yang terjadi antar industri akan mempengaruhi penerapan harga dan kinerja bagi masing-masing industri tersebut. Selanjutnya hal ini akan mempengaruhi struktur, perilaku, dan kinerja industri kakao di Indonesia. Masuknya industri baru juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan persaingan dalam industri sehingga dapat menciptakan perbedaan dalam suatu industri baru dapat menyebabkan persaingan yang baru bagi industri lainnya. Struktur pasar akan dijelaskan dengan besarnya pangsa pasar, konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar, dan hambatan untuk memasuki pasar. Perilaku pasar dapat dijelaskan secara deskriptif dengan melihat strategi harga dan strategi promosi yang dijalankan oleh perusahaan pengolahan kakao. Sedangkan untuk kinerja pasar dapat dinilai dengan analisis Price Cost Margin (PCM) dan nilai efisiensi. Setelah diperoleh hasil penilaian struktur, perilaku, dan kinerja maka hal yang dilakukan selanjutnya adalah melihat hubungan antara struktur, perilaku, dan kinerja pasar ini. Selanjutnya hal yang dianalisis adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pasar kakao dengan melihat keterkaitan antara variabelvariabel antara hambatan masuk pasar (MES), konsentrasi rasio (CR4),

produktivitas (PROD), jumlah perusahaan dan efisiensi internal (X-eff) yang ditetapkan sebagai variabel independen, dan PCM ditetapkan sebagai variabel dependen. Pada akhirnya hasil yang diperoleh akan dapat menjelaskan kebijakan yang seharusnya diambil. Tingginya permintaan kakao

Masuknya perusahaan baru dalam industri pengolahan kakao Persaingan industri terhadap produk berbahan dasar kakao Berpengaruh terhadap penetapan harga dan kinerja masing-masing industri Perbaikan struktur, perilaku, dan kinerja

Struktur Pasar  Pangsa pasar  CR4,  Hambatan masuk pasar

Perilaku pasar  Strategi harga  Strategi promosi

Kinerja Pasar  PCM  X-eff

Hubungan antara Struktur, Perilaku, dan Kinerja Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pasar kakao di Indonesia Rekomendasi saran

Gambar 10. Alur Kerangka Pemikiran Penelitian

33

IV.

4.1.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan studi kasus

Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kakao di Indonesia. Kegiatan penelitian ini dilakukan pada bulan Februari- Juli 2012. 4.2.

Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data

sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Pertanian, Direktorat Jendral Perkebunan seperti nilai input, nilai output, nilai tambah, input tenaga kerja, barang yang dihasilkan dari seluruh perusahaan kakao yang ada di Indonesia, dan data lainnya, serta referensi lain (perpustakaan, buku, penelitian terdahulu, dan internet). Data yang diperoleh merupakan time series dari tahun 2000-2009. 4.3.

Metode Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode statistik

deskriptif dan metode kuantitatif. Metode deskriptif untuk menganalisis perilaku industri kakao di Indonesia dilakukan dengan cara wawancara terhadap PT. Ceres dan PT. Mayora sebagai salah satu perwakilan industri kakao di Indonesia untuk mendapatkan informasi yang lebih pasti. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis struktur dan kinerja industri kakao dengan pendekatan SCP dan untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industri kakao di Indonesia digunakan pendekatan OLS (Ordinary Least Square) dengan bantuan software Microsoft Excel 2007, Minitab 14, dan Eviews 6.

4.3.1. Analisis Struktur Pasar Untuk mengetahui suatu struktur pasar maka ada komponen yang harus diperhatikan seperti: pangsa pasar, derajat perbedaan produk, hambatan masuk pasar, informasi yang diperoleh untuk memamsuki sebuah pasar, dan konsentrasi rasio. 4.3.1.1. Pangsa Pasar Penguasaan pasar bagi perusahaan memiliki pangsa pasar yang berbedabeda berkisar 0-100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Secara ringkas pangsa pasar menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil penjualan. Jaya (2001) merumuskan pangsa pasar sebagai berikut: MSi = Dimana:

100%

Msi

= Pangsa pasar perusahaan i (%)

Si

= Penjualan perusahaan i (rupiah)

Stot

= Penjualan total seluruh perusahaan (rupiah)

4.3.1.2. Derajat Perbedaan Produk Derajat perbedaan produk dijelaskan secara deskriptif dengan tujuan untuk melihat apakah suatu pasar komoditas produk menetapkan produknya sebagai komoditas homogen ataupun heterogen, karena perbedaan jenis produk dapat mempengaruhi perilaku produsen yang berada didalam pasar untuk bersaing. Perbedaan corak produk (produk differentiation) memberikan keluasan yang lebih besar bagi produsen guna mengatur strategi pasar.

35

4.3.1.3. Hambatan Masuk Pasar Hambatan dalam memasuki pasar dapat dilihat dengan munculnya berbagai pesaing baru dalam suatu pasar guna mendapatkan keuntungan dan menguasai pasar. Untuk melihat suatu hambatan dalam pasar dapat mengunakan pengukuran skala ekonomis melalui pendekatan output peusahaan. Nilai ini disebut dengan Minimum Efficiency Scale (MES) yang dirumuskan oleh Jaya (2001) sebagai berikut: 100%

MES = 4.3.1.4. Informasi

Informasi yang diperoleh oleh suatu pasar akan dijelaskan secara deskriptif karena ketika informasi yang tidak sempurna terjadi maka akan mempengaruhi kemampuan

pasar

untuk

menetapkan

harga

keseimbangan/

ekuilibrium.

Pembuktian efisiensi dari harga persaingan mengasumsikan bahwa harga ekuilibrium ini diketahui oleh semua pelaku ekonomi. 4.3.1.5. Rasio Konsentrasi (CR) Tingkat konsentrasi dapat dihitung melalui rasio konsentrasi (CR). Rasio konsentrasi merupakan presentase dari total output industri atau pendapatan penjualan. Rasio sejumlah perusahaan mengukur pangsa pasar relatif dari total output industri yang dipertanggungjawabkan oleh perusahaan-perusahaan itu. Jaya (2001) merumuskan konsentrasi rasio sebagai berikut: CRm = ∑

Penelitian ini menggunakan rasio dari empat perusahaan (CR4) yang menunjukkan pangsa

pasar empat perusahaan terbesar dalam industri pengolahan kakao di

Indonesia yang dirumuskan dengan:

36

CR4 = ∑

atau CR4 = ms1+ ms2+ ms3+ ms4

Dimana: CR4

: Rasio konsentrasi sebanyak 4 perusahaan (%)

Msi

: pangsa pasar perusahaan i (%) Pangsa pasar diukur dari tingkat konsentrasi melalui rasio konsentrasi.

Rasio konsentrasi yang digunakan menunjukkan besarnya kontribusi nilai penjulan output perusahaan terbesar terhadap total nilai produksi industri. Semakin besar angka persentasinya (mendekati 100 persen) maka konsentrasi industri dari produk tersebut semakin besar, yang menggambarkan bentuk pasarnya adalah monopoli. Sebaliknya, jika empat perusahaan menguasai minimal 40 persen pangsa pasar maka struktur industri tersebut adalah berbentuk oligopoli. 4.3.2. Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku perusahaan dalam industri itu sendiri. Perilaku menganalisis tingkah laku dan penerapan strategi perusahaan dalam suatu industri untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaing. Perilaku industri kakao di Indonesia akan dianalisis dengan melihat strategi harga, strategi produk dan promosi yang dilakukan. 4.3.2.1. Strategi Harga Strategi penerapan harga tergantung dari beberapa faktor produksi terutama bahan baku. Dalam industri kakao ini penerapan harga dilihat dari apakah ada kesepakatan yang terjadi dalam industri sesama pesaing yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Strategi dalam penentuan harga ini merupakan unsur

37

yang menghasilkan pendapatan bagi para produsen. Harga juga merupakan unsur yang paling flexibel dimana unsur ini dapat berubah dengan cepat. 4.3.2.2. Strategi Produk dan Promosi Strategi yang dilakukan oleh perusahaan ataupun industri- industri lain dalam memproduksi suatu produk perlu melihat kondisi pasar karena dalam memilih barang konsumen cenderung memperhatikan tiga hal, yaitu: nilai, biaya, dan kepuasan. Selanjutnya akan dilihat pula apakah terdapat stategi khusus yang perlu dilakukan seperti melakukan diversifikasi produk ataupun kesepakatan jumlah penawaran produk. Selain itu ada pula strategi lain yang dilakukan oleh produsen seperti promosi. Promosi merupakan suatu bagian yang penting dalam menjual produk untuk mempertahankan keberlangsungan produksi, pengembangan inovasi, dan mendapatkan keuntungan (profit). 4.3.3. Analisis Kinerja Pasar Analisis kinerja industri kakao di Indonesia dilakukan dengan analisis Price Cost Margin (PCM), efisiensi internal (X-eff) dan pertumbuhan output (Growth). PCM didefinisikan sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga diatas biaya produksi dan juga sebagai persentase keuntungan dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung. Tingkat PCM yang tinggi pada umumnya dapat tercipta jika konsentrasi rasio yang tinggi, artinya semakin tinggi nilai tambah dalam suatu industri maka kinerja industri tersebut juga semakin efisien dalam meminimumkan biaya sehingga keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. PCM dirumuskan sebagai rasio dari nilai tambah perusahaan atau industri dikurangi dengan total seluruh pengeluaran upah dari perusahaan atau industri terhadap nilai output industri tersebut. Secara ringkas PCM menggambarkan hubungan antara

38

struktur pasar terhadap kinerja perusahaan, Jaya (2001) merumuskan PCM sebagi berikut: 100%

PCM =

Efisiensi internal (X-eff) menunjukkan kemampuan perusahaan dalam suatu industri untuk menekan biaya produksi. Semakin efisien suatu industri maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar pula. Untuk mengukur tingkat efisiensi internal dirumuskan dengan: (Jaya, 2001) 100%

Efisiensi-X =

Produktivitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan output pada periode waktu dengan membandingan input tenaga kerja yang dikeluarkan. Untuk mengukur produktivitas memerlukan rumus: (Jaya, 2001) Produktivitas =

100%

4.3.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Industri Kakao di Indonesia Analisis hubungan struktur dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja dapat dianalisis dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) atau metode kuadrat sederhana. Hal ini dilakukan karena penggunaan metode OLS dianggap paling tepat untuk menggambarkan hubungan antara variabel dan penggunaannya juga lebih mudah dibanding metode lainnya dalam pendeskripsian hasil regresi. Bentuk umum dari persamaan dari regresi linear sederhana ini yaitu: Yi = β0 + β1Xi + εi Nilai

PCM

dijadikan

sebagai

variabel

dependen

karena

PCM

menggambarkan keuntungan dari suatu industri serta mewakili variabel kinerja itu

39

sendiri, sedangkan nilai CR4, Minimum Efficiency Scale (MES), Growth, produktivitas (PROD), efisiensi internal (X-eff), dan jumlah perusahaan (JLP) menjadi variabel independen karena diduga dapat mempengaruhi variabel dependen (PCM). Berdasarkan variabel dependen dan variabel independen maka bentuk persamaan yang diduga yaitu: PCMt = β0 + β1CR4 + β2MES + β3PROD + β4X-eff + β5JLP + εi Dimana: PCM

: Proksi keuntungan perusahaan terbesar (%)

CR4

: Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (%)

MES

: Minimum Efficiency Scale (%)

X-eff

: Efisiensi internal (%)

PROD

: Produktivitas tenaga kerja (%)

JLP

: Jumlah perusahaan

ε

: Galat

β0

: Intersep (β0 > 0)

β1, β3, β4, β5, β6

: Koefisien kemiringan parsial (β0, β1, β3, β4, β5 > 0)

4.4.

Uji Statistik Uji statistik dilakukan untuk menganalisis hubungan-hubungan antar

variabel dengan menentukan parameter-parameter yang akan diestimasi dan melakukan pengujian-pengujian sehingga model tersebut dapat dikatakan baik. Pengujian dilakukan dengan uji statistik terhadap model penduga melalui uji F. Uji t digunakan untuk parameter-parameter regresi serta melihat besarnya (persen) variabel bebas (independen) dan dijelaskan oleh variabel dependen melalui koefisien determinasi (R-Squared).

40

4.4.1. Uji R- Squared (R2) Menurut Gujarati (1978), besaran R2 atau yang dikenal sebagai koefisien determinasi merupakan besaran yang paling lazim digunakan untuk mengukur kebaikan-suai (goodness of fit) garis regresi.secara verbal, R2 mengukur proporsi (bagian) atau prosentase total variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi. R2 memiliki dua sifat, yaitu: R2 merupakan besaran yang nilainya selalu positif, dan batas R2 adalah 0 ≤ R 2 ≤1. Dengan kata lain, R2 digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel independen terhadap variabel dependen. Nilai R2 akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya jumlah variabel independen yang dimasukkan ke dalam model. 4.4.2. Uji F Uji F digunakan untuk melihat apakah model penduga yang digunakan sudah layak untuk menduga parameter yang ada dalam model, selain itu Uji F dapat juga digunakan untuk mengetahui pengaruh seluruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hipotesis: H0: b1 = b2=...= bi = 0 (dimana tidak ada variabel independen yang berpengaruh terhadap variabel dependen) H1: minimal ada salah satu bi ≠ 0 (dimana terdapat variabel independen yang berpengaruh terhadap variabel dependen) Kriteria uji: Probability F-Statistic < α, maka tolak H0 dan simpulkan minimal ada variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen.

41

Probability F-Statistic > α, maka terima H0 dan simpulkan tidak ada variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen. 4.4.3.

Uji t Uji t digunakan untuk mengetahui tingkat signifikan variabel independen

atau untuk menguji apakah regresi dari masing- masing variabel independen yang dipakai terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen. Hipotesis: H0: b1 = b2 =...= bi= 0 (dimana variabel independen-i tidak mempengaruhi variabel dependen) H1: bi ≠ 0 (dimana variabel independen- i mempengaruhi variabel dependen) Kriteria uji: Probability t-Statistic < α, maka tolah H0 dan simpulkan variabel independen-i berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Probability t-Statistic > α, maka terima H0 dan simpulkan variabel independen-i tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. 4.5.

Uji Ekonometrika Pengujian ekonometrika dalam suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui

perilaku atau kejadian dalam hal ekonomi dengan mengaji secara statistik atau matematika.

Dalam

ekonometrika

dilakukan

empat

pengujian,

yaitu:uji

normalitas, uji autokorelasi, uji multikolinearitas, uji heterokedastisitas. 4.5.1. Uji Normalitas Uji normalitas atau uji kenormalan sisaan Kolomogorov-Smirnov dilakukan untuk memeriksa apakah sisaan mendekati distribusi normal. Uji ini bertujuan untuk membandingkan distribusi data yang akan diuji normalitasnya dengan

42

distribusi normal baku. Distribusi normal baku adalah data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan normal. Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut (Lains, 2006): H0 : Sisaan menyebar normal H1 : Sisaan tidak menyebar normal Uji statistik yang digunakan: Z(X) = Keterangan: Z(X)

= Angka baku

X

= Angka pada data

S

= Simpangan baku

Kaidah pengujian: Jika Zhit < Ztabel maka tolak Ho Jika Zhit > Ztabel maka terima Ho Jika keputusan yang diperolah menolak Ho, artinya error term atau sisaan yang diperolah tidak menyebar normal dan sebaliknya, jika keputusan menerima Ho maka sisaan yang diperoleh telah menyebar normal. 4.5.2. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas didefinisikan dengan adanya korelasi yang kuat antara variabel independen dalam model persamaan. Adanya multikolinearitas dalam persamaan regresi akan berdampak pada varian koefisien regresi menjadi besar yang akan menyebabkan standard error terlalu tinggi sehingga kemungkinan penduga koefisien regresi menjadi tidak signifikan secara statistik. Pengujian multikolinearitas dapat dilihat dari pengujian Variance Inflation Factor (VIF).

43

Juanda (2009) mengemukakan bahwa pedoman regresi yang bebas dari multikolinearitas adalah mempunyai nilai dibawah 10. Sebaliknya, nilai VIF yang lebih besar dari 10 mengindikasikan terjadinya multikolinearitas. 4.5.3. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Adanya autokorelasi dalam persamaan regresi dapat mengakibatkan bahwa penduga yang diperoleh dengan menggunakan OLS tidak lagi bersifat BLUE. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Dalam Firdaus (2004), untuk melihat autokorelasi dapat menggunakan ketentuan sebagai berikut: DW

Kesimpulan Ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada autokorelasi

Kurang dari 1.10 1.10-1.54 1.55-2.46 2.46-2.90 Lebih dari 2.91

Sumber: Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif (Firdaus, 2004)

4.5.4.

Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas pada umumnya terjadi pada data cross-section. Jika ragam sisaan tidak sama atau var (εi)=E(εi2)=σi2 untuk setiap pengamatan dari variabel bebas dalam model regresi, maka terjadi masalah heteroskedastisitas. Untuk melihat terjadinya heteroskedastisitas adalah dengan melihat plot antar sisaan dengan dugaan respon. Jika ragam sisaan homogen maka seharusnya plot antar

sisaan

tersebut

tidak

memiliki

pola

apapun.

Cara

mengatasi

heteroskedastisitas adalah dengan transformasi peubah respon atau metode terkecil terboboti (weight least square) dan dengan cara transformasi terhadap peubah respon dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan ragam menjadi homogen pada 44

peubah respon hasil transformasi tersebut, atau dapat juga dilakukan dengan uji White Heteroscedasticity. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini yaitu: Ho : Tidak terdapat heteroskedastisitas H1 : Terdapat heteroskedastisitas Kaidah pengujian yaitu: Probabilitas observasi R-Squared < α maka tolak Ho Probabilitas observasi R-Squared > α maka terima Ho Jika keputusan yang diambil adalah menolak Ho maka dalam model terdapat heteroskedastisitas, sebaliknya jika keputusan menerima Ho maka dalam model tidak terdapat heteroskedastisitas.

45

V. GAMBARAN UMUM 5.1.

Prospek Kakao Indonesia Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam

perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada tahun 2005. Mengingat kakao sebagai komoditas ekspor unggulan setelah karet dan minyak sawit, maka pemerintah bertekad untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab potensi lain lahan yang cukup dan sesuai untuk pertanaman kakao, juga didukung fasilitas riset yang memadai dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kakao Indonesia, tersedianya SDM yang memadai sehingga mempunyai potensi untuk menjadikan Indonesia mampu menghasilkan kakao selaras dengan pertumbuhan dan permintaan dunia. (Departemen Pertanian, 2006) Indonesia masih memiliki prospek yang sangat besar untuk pengembangan perkakaoan baik dari tingkat hulu sampai dengan hilir. Negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia mampu membangun industri kakao yang notabene tidak memiliki bahan baku. Industri kakao bukan hanya semata-mata untuk industri makanan, tetapi industri kosmetika juga memerlukan bahan baku hasil olahan kakao. (Departemen Pertanian, 2006) Tercatat bahwa pada periode 1997-2002 laju pertumbuhan ekspor kakao Indonesia mencapai 12 persen, sementara pertumbuhan ekspor kakao dunia hanya 3.51 persen. Disamping itu hingga pada tahun 2005 ekspor kakao Indonesia masih berkembang dengan 3.30 persen, sementara rata-rata ekspor dunia mencapai 1.70 persen. Pertumbuhan permintaan dunia akan kakao dan produk olahannya seperti yang terjadi di negara-negara maju Eropa dan Amerika meningkat 2-4 persen per

tahun. Sementara tingkat konsumsi di negara berkembang seperti Indonesia diperkirakan baru mencapai 0.06 kg/kapita/tahun juga akan meningkat sejalan dengan tingkat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. (Departemen Pertanian, 2006) Indonesia berhasil menjadi produsen kakao kedua terbesar dunia berkat keberhasilan dalam program perluasan dan peningkatan produksi yang mulai dilaksanakan sejak awal tahun 1980-an. Pada saat ini areal perkebunan kakao tercatat seluas 914 ribu hektar, tersebar di 29 propinsi dengan sentra produksi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur. Sebagian besar (lebih dari 90 persen) areal perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). 5.1.1. Produksi Kakao di Indonesia Produksi kakao Indonesia pada tahun 2005 dapat digambarkan sebagai berikut: wilayah Sulawesi sebesar 439 167 ton (67.3 persen), wilayah Sumatera sebesar 99 725 ton (15.3 persen), wilayah Jawa-Bali- Nusa Tenggara sebesar 47 910 ton (7.3 persen), wilayah Maluku dan Irian Jaya sebesar 37 673 ton (5.8 persen) dan wilayah Kalimantan sebesar 27 875 ton (4.3 persen). Hal tersebut menunjukkan bahwa wilayah Sulawesi merupakan sentra kakao terbesar di Indonesia dengan luas areal tanaman kakao 593 448 ha (59.8 persen). (Departemen Pertanian, 2006) Perkembangan produksi kakao secara nasional selama lima tahun terakhir rata-rata adalah 5.9 persen per tahun, sementara itu untuk PR mengalami lonjakan yang cukup signifikan yaitu 6.9 persen, sedangkan untuk PBN dan PBS cenderung

47

konstan dan beberapa diantaranya mengalami penurunan. (Departemen Pertanian, 2006) Sementara itu, disisi lain industri pengolahan kakao dalam negeri menghasilkan semi dan final produk dengan jumlah perusahaan yang ada di Indonesia sebanyak 16 perusahaan dengan kapasitas terpasang 325 000 ton/th dan kapasitas terpakai baru mencapai 165 000 ton/th atau hanya 51 persen. Hal ini dikarenakan keterbatasan untuk memperoleh bahan baku yang berkualitas di dalam negeri. (Departemen Pertanian, 2006) 5.1.2. Konsumsi Kakao di Indonesia Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dipublikasikan oleh BPS (2010), konsumsi kakao Indonesia dibedakan atas konsumsi cokelat bubuk dan cokelat instan. Perkembangan konsumsi kedua jenis cokelat tersebut dari tahun 1982-2008 relatif berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan yakni masing-masing sebesar 35.71 persen untuk konsumsi cokelat instan dan 17.31 persen untuk konsumsi cokelat bubuk. Konsumsi cokelat bubuk sangat berfluktuatif dan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yang mencapai 20.8 gr/kapita. Sementara data konsumsi cokelat instan hasil SUSENAS hanya tersedia sejak tahun 1999-2008. 5.2.

Industri Kakao di Indonesia Industri hilir pengolahan kakao nasional memiliki potensi yang sangat besar

untuk dikembangkan mengingat ketersediaan bahan baku biji kakao yang cukup melimpah di dalam negeri. Selama ini Indonesia tercatat sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pada tahun 2010 produksi biji kakao Indonesia mencapai 600 000 ton. Pengembangan industri hilir

48

kakao nasional yang kini sedang digalakkan pemerintah Kementerian Perindustrian diharapkan mampu meningkatkan perolehan nilai tambah di dalam negeri yang pada gilirannya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah, meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan mendongkrak perolehan devisa dari kegiatan ekspor produk olahan biji kakao. (Kementerian Perindustrian, 2012) Beberapa kebijakan yang kurang mendukung upaya pengembangan industri hilir kakao dalam negeri sehingga industri hilir kakao nasional kurang berkembang, antara

lain

adanya

kebijakan

pengenaan

pajak

produk

primer

dengan

diberlakukannya Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang PPN atas komoditi primer. Pengenaan PPN sebesar 10 persen mengakibatkan beralihnya biji kakao yang tadinya diolah di dalam negeri menjadi diekspor dalam bentuk biji, sehingga industri pengolahan kakao tidak memperoleh bahan baku yang cukup. Akibatnya, beberapa perusahaan pengolahan biji kakao tidak dapat beroperasi. (Kementerian Perindustrian, 2012) Dalam rangka menumbuhkan kembali industri pengolahan kakao, maka tahun 2007 pemerintah mencabut kebijakan pengenaan PPN melalui PP No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor Dan/Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun kebijakan ini belum serta merta menghidupkan industri yang sudah terlanjur tidak beroperasi. Pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi biji kakao melalui Program Gerakan Nasional Kakao pada tahun 2009 dan masih berlanjut sampai sekarang. (Kementerian Perindustrian, 2012)

49

Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah melakukan kebijakan pengenaan Bea Keluar Biji Kakao pada bulan April 2010 melalui PMK No. 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Bea Keluar Kakao. Rangkaian kebijakan tersebut diambil pemerintah dalam rangka menghidupkan kembali industri pengolahan kakao dalam negeri. Keberhasilan kebijakan ini juga terlihat dari data ekspor biji kakao yang menurun pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2009. Sedangkan ekspor biji kakao sampai dengan bulan Mei 2011 mencapai 97 265 ton, turun dibandingkan dengan ekspor Januari-Mei 2010 sebesar 158 855 ton. Sedangkan ekspor kakao olahannya meningkat pada periode Januari-Mei 2011 sebesar 55 651 ton dibandingkan Januari-Mei 2010 sebesar 35 508 ton. (Kementerian Perindustrian, 2012)

50

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1.

Analisis Struktur Pasar Industri Kakao di Indonesia Struktur pasar dapat dianalisis dengan tiga pokok elemen, yaitu nilai pangsa

pasar, konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4), dan hambatan masuk pasar yang dianalisis dengan pendekatan Minimum Effisiency Scale (MES). Namun dalam penelitian yang dilakukan terdapat keterbatasan data mengenai data penjualan sehingga penentuan struktur pasar industri kakao ini akan dianalisis melalui konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) dan Minimum Effisiency Scale (MES). 6.1.1. Konsentrasi Pasar Konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) menggambarkan perwakilan dari empat perusahaan terbesar yang ada di Indonesia sehingga melalui pendekatan CR4 akan digunakan untuk melihat persentase total output empat perusahaan terbesar terhadap total output keseluruhan industri. Dalam industri kakao yang ada di Indonesia diperoleh nilai rata-rata CR4 dari tahun 2000 hingga 2009 adalah sebesar 67.41 persen. Hal ini menunjukkan bahwa empat perusahaan terbesar memiliki persaingan dalam pasar oligopoli. Menurut Jaya (2001) pasar oligopoli dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu oligopoli longgar dan oligopoli ketat. Pembedaan ini didasarkan pada besarnya nilai konsentrasi pasar. Jika konsentrasi pasar berkisar 40-60 persen maka dikelompokkan menjadi oligopoli longgar, sedangkan konsentrasi pasar yang berkisar 60-100 persen digolongkan ke dalam oligopoli ketat, maka dapat disimpulkan industri kakao yang ada di Indonesia merupakan pasar oligopoli ketat. Dalam ekonomi industri sistem oligopoli ini memang dianggap sebagai oligoli ketat, namun dalam pengertian teori

harga pertanian sistem oligopoli ini digolongkan dalam quasi-competitive model walaupun dalam pengertiannya kedua hal ini memiliki arti yang sama. Nilai CR4 yang berfluktuasi sepanjang tahun 2000-2009 cenderung mengalami peningkatan. CR4 terbesar terjadi pada tahun 2006. Hal ini dapat disebabkan karena nilai output yang melonjak drastis dari tahun 2005, sehingga menyebabkan nilai tambah juga ikut meningkat drastis. Selain itu, akibat dari melonjaknya nilai output masingmasing perusahaan akan meningkatkan total output industri secara keseluruhan. Hal ini dapat disebabkan karena faktor input yang juga ikut meningkat seperti meningkatnya jumlah produksi, bertambahnya luas lahan, dan tenaga kerja yang ikut meningkat pula, sehingga persentase total output juga akan ikut meningkat secara drastis. Tingkat konsentrasi yang tinggi ini cukup menggambarkan bahwa jumlah produsen yang relatif sedikit, hambatan yang cukup tinggi untuk memasuki pasar, dan persaingan yang cukup tinggi. Struktur pasar oligopoli ketat ini akan menciptakan kerjasama antar produsen untuk memperoleh keuntungan diatas harga normal.

CR 4

120

99,28

Persen

100 80 60

55,6

57,38 38,96 43,95

45,37

95,56

92,39 80,67

70,13

40 20 0 2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

Gambar 11. Kurva CR4 Industri Kakao Tahun 2000–2009

52

6.1.2. Hambatan Masuk Pasar Masuk dan keluarnya suatu industri dapat menggambarkan persaingan yang terjadi dalam industri tersebut sehingga hambatan untuk masuk pasar dapat terdeteksi. Melalui pendekatan Minimum Effisiency Scale (MES) dapat diketahui besarnya persentase hambatan untuk masuk pasar. Nilai MES yang diperoleh dengan cara membagi nilai output terbesar perusahaan dengan total output dalam industri. Sepanjang tahun 2000 hingga 2009, rata- rata nilai MES industri kakao di Indonesia adalah sebesar 45.12 persen. Semakin tinggi nilai MES, maka hambatan untuk memasuki pasar akan semakin sulit pula. Menurut Comanous dan Wilson (1967) dalam Sari (2011) nilai MES yang lebih dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada suatu industri. Nilai MES terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 89.81 persen. Hal ini disebabkan karena melonjaknya nilai output kakao pada tahun 2006. Tidak jauh berbeda dengan pengaruh output pada nilai CR4, peningkatan nilai output ini dapat disebabkan karena peningkatan nilai input. Disamping itu, banyaknya jumlah perusahaan yang berada dalam pasar juga ikut berpengaruh karena semakin sedikit jumlah perusahaan maka peluang untuk bersaing akan semakin besar. Jumlah industri pada tahun 2006 berjumlah 25 industri, nilai ini berkurang dari tahun 2005 yang berjumlah 31 industri kakao. Sebaliknya nilai MES terendah berada tahun 2003 yang hanya sebesar 15.51 persen. Hal ini dapat disebabkan karena menurunnya nilai output kakao dari 590 290 435 menjadi

296 577 445 pada tahun 2002

sehingga persentase output industri ikut menurun.

53

MES 100

89,81

Persen

80

40

64,13

54,86

60 23,56

53,18 53,46

45,61

29,3 21,73

20

15,51

0 2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

Gambar 12. Kurva MES Industri Kakao Tahun 2000-2009 6.1.3. Derajat Perbedaan Produk Derajat perbedaan produk menjelaskan jenis produk yang dihasilkan oleh produsen. Pada pasar oligopoli jenis produk yang dihasilkan yaitu terdiferensiasi. Kakao yang diolah menjadi cokelat dijadikan dalam beberapa bentuk, seperti cokelat batangan, cokelat pasta, wafer cokelat, biskuit cokelat, dan sebagainya. Selain itu, adapula industri yang memang memproduksi kakao tidak hanya untuk cokelat saja, ada yang bersifat konsumsi dan non konsumsi, tetapi dalam penelitian ini hanya akan membahas kakao yang diolah menjadi cokelat saja. Pengalihan produk coklat ini bertujuan untuk tetap mempertahankan loyalitas konsumen karena konsuman akan sangat terpengaruh dengan berbagai pilihan produk. Beberapa industri

melakukan

penganekaragaman

produk

untuk

mempertahankan

eksistensinya. Hal yang dapat ditarik menjadi kesimpulan adalah ketika konsumen merasa bosan dengan produk yang sering mereka konsumsi, maka konsumen akan beralih pada produk yang lain namun masih dalam satu produsen.

54

6.1.4. Informasi Sifat oligopoli pada industri ini memungkinkan sulitnya untuk memperoleh informasi untuk memasuki pasar kakao ini karena adanya tekanan yang kuat dari masing-masing industri. Salah satu sumber menyebutkan bahwa untuk informasi yang sulit diperoleh adalah mengenai biaya mencakup dari biaya input, biaya produksi, hingga pada biaya output. Adanya teknologi yang dilakukan juga bagian yang sulit untuk diperolah pesaing lain, bagi pesaing baru yang ingin memasuki pasar ini terlebih dahulu harus mengetahui strategi perusahaan lain yang sudah bertahan sebelumnya. Ketika pesaing baru mendapatkan informasi yang tidak sempurna maka akan dapat menyebabkan kesalahan dalam harga keseimbangan sehingga pesaing baru ini harus mengetahui posisi harga keseimbangan yang ada pada industri lain, sedangkan pada kenyataannya tidak ada satupun industri yang mau memberikan informasi mengenai harga ini. 6.2.

Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar menggambarkan tingkah laku dan penerapan strategi yang

dilakukan perusahaan untuk menguasai pangsa pasar sebesar mungkin. Dalam analisis perilaku pasar akan dibahas mengenai penerapan strategi harga, strategi produk dan promosi yang dilakukan. 6.2.1 Strategi Harga Harga merupakan unsur yang dapat menghasilkan pendapatan bagi suatu industri karena harga juga merupakan unsur yang paling fleksibel, dimana harga dapat berubah dengan cepat sehingga penting bagi suatu industri dalam menetapkan harga dengan melihat kondisi pasar yang ada. Pada industri kakao ini, jenis pasar yang terlihat adalah oligopoli ketat. Dalam oligopoli ketat tentu terjadi kolusi atau

55

dengan yang biasa diartikan sebagai bentuk kerjasama, seperti melakukan kesepakatan harga terhadap industri lain sehingga harga dari hasil pengolahan kakao tidak akan jauh berbeda. Hal pertama yang diperkirakan dalam penentuan harga dengan melihat biaya produksi yang dikeluarkan. Hal ini bisa meliputi biaya input seperti bahan baku, biaya teknologi, biaya pemasaran, dan biaya input lainnya. Namun perlu diperhatikan ketika terjadi kenaikan biaya input tidak menutupi kemungkinan akan terjadi kenaikan biaya output pula, selama biaya produksi masih dapat diatasi. Bagi pelaku ekonomi, keunggulan produk juga tetap mempengaruhi harga karena penentuan harga didasari dengan kualitas produk. Industri biasanya akan melihat responden konsumen terhadap penerapan harga yang dilakukan, seperti melakukan kuisioner acak untuk melihat kesesuain harga dengan cara membandingkan preference pelanggan terhadap suatu produk. Hal ini tentu saja menjadi strategi bagi beberapa industri untuk melihat peluang mereka berdasarkan penerapan harga. Kesepakatan penentuan harga yang dilakukan beberapa perusahaan ini tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan kerugian pada konsumen, pasalnya masing-masing perusahaan akan menetapkan harga yang tinggi pada produknya. Namun disisi lain pemberlakuan kesepakatan harga ini juga dilakukan untuk mencegah terjadinya pemotongan harga atau dengan kata lain agar tidak ada pihak produsen lain yang merasa dirugikan. 6.2.2. Strategi Produk dan Promosi Industri yang memproduksi suatu barang tentu akan melakukan pendekatan dengan jenis produk yang mereka hasilkan, disamping itu tak jarang pula

56

perusahaan akan melakukan promosi guna menarik perhatian dari konsumen sehingga konsumen akan membeli produk tersebut. Namun, pada dasarnya strategi produk yang dilakukan oleh perusahaan ataupun industri bertujuan untuk menghasilkan keuntungan. Akan tetapi perusahaan ataupun industri harus teliti melihat keadaan pasar. Jenis pasar oligopoli ini memiliki produk terdiferensiasi yang umumnya dilakukan oleh perusahaan untuk memberikan pilihan kepada konsumen dalam menarik perhatian. Strategi produk dinilai mampu memberi peningkatan kualitas seperti yang dilakukan oleh suatu produsen yang mampu tetap mempertahankan kualitas cokelatnya. Namun ada beberapa produsen yang memang senjaga mengurangi volume produknya guna mempertahankan harga agar tetap diminati konsumen, dalam arti hal ini dilakukan sebagi bentuk menekan biaya produksi. Strategi promosi dilakukan produsen untuk meyakinkan konsumen bahwa produk yang mereka hasilkan mampu bersaing di pasar. Berbagai cara dilakukan oleh produsen untuk menarik perhatian konsumen, sebut saja penggunaan merek/ logo dalam kemasan produk. Semakin mencolok suatu produk maka akan meningkatkan keingintahuan konsumen. Strategi promosi pun dapat dilakukan melalui iklan. Iklan biasanya didesain secara visual sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi konsumen dan didukung pula dengan kesan yang persuasif. Selain iklan, promosi yang dilakukan oleh produsen bisa dari pengaruh harga maupun produk itu sendiri, seperti pemberian potongan harga sehingga harga yang akan dibeli oleh konsumen menjadi lebih murah, pemberian gratis dengan syarat melakukan pembelian minimum produk, dan adapula beberapa produsen yang mengadakan kuis berhadiah. Langkah ini dilakukan produsen untuk mendapatkan konsumen sehingga

57

semakin banyak konsumen dengan loyalitas, dan pada akhirnya mampu memberikan keuntungan. 6.3.

Analisis Kinerja Pasar Analisis kinerja pasar akan tergambar pada besarnya nilai Price Cost

Margin (PCM), hal ini dikarenakan PCM dijadikan sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga diatas biaya produksi dan menggambarkan keuntungan/ kelebihan penerimaan atas biaya langsung. Pada industri kakao yang ada di Indonesia ini PCM dipengaruhi oleh variabel- variabel lain, seperti konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4), Minimum Efficiency Scale (MES), efisiensi internal (X-eff), Produktivitas (PROD), dan jumlah perusahaan (JLP). 6.3.1 Analisis Price Cost Margin (PCM) Pendekatan dengan PCM dilakukan karena tingkat keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan bersifat rahasia dan tidak untuk dipublikasikan sehingga PCM bertindak sebagai indikator keuntungan atas biaya langsung yang diperoleh suatu perusahaan. Pada industri kakao ini nilai PCM memiliki nilai rata- rata sebesar 21.29 persen, dengan nilai PCM tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 87.68 persen dan PCM terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 2.06 persen. Nilai PCM yang terjadi pada tahun 2006 tersebut dapat disebabkan karena nilai tambah industri yang meningkat drastis diikuti dengan peningkatan biaya tenaga kerja dan disertai dengan tingginya nilai barang yang dihasilkan. Tingginya nilai PCM ini dapat pula disebabkan karena industri kakao yang terus mengalami peningkatan permintaan sehingga produsen terus meningkatkan produksi pada

58

tahun 2006 dengan nilai barang yang dihasilkan mencapai 10 291 943 973. Disamping itu pula besarnya nilai output jauh melebihi nilai input sehingga tidak diragukan nilai tambah yang juga ikut meningkat drastis, nilai tambah ini dinilai masih dapat menutupi besarnya nilai input tenaga kerja sehingga pada tahun 2006 ini nilai PCM sangat tinggi. Tahun 2001 dinilai memiliki nilai PCM yang terendah yaitu sebesar 2,06%. Hal ini diduga karena besarnya nilai tambah dirasa masih sulit untuk menutupi biaya input dengan membandingkan dari banyaknya barang yang dihasilkan.

PCM 100 87,68

persen

80 60 40 20

35,32 26,34 13,06 2,06

0 2000

2001

12,98

5,71

2002

2003

2004

2005

10,41 12,06 7,31 2006

2007

2008

2009

SSumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah) Gambar 13. Kurva Price Cost Margin Industri Kakao Tahun 2000-2009 6.3.2 Analisis Efisiensi Internal (X-eff) Analisis efisiensi kinerja yang dilakukan sebagai pendekatan kinerja pasar digambarkan sebagai indikator suatu perusahaan dalam industri untuk menekan biaya produksi, hal ini digunakan pula untuk menentukan keuntungan karena semakin tinggi efisiensi internal maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar pula. Nilai efisiensi internal pada pasar kakao ini cenderung berfluktuatif setiap tahunnya dari tahun 2000-2009, dengan rata-rata nilai efisiensi internal sebesar 122.10 persen. 59

Nilai efisiensi internal terbesar berada pada tahun 2006, yaitu sebesar 774.71 persen. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perusahaan tersebut dapat menekan biaya produksinya karena besarnya nilai tambah yang diperoleh mampu menutupi biaya input yang dikeluarkan. Disamping itu pula nilai output yang sangat tinggi juga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung. Sebaliknya, nilai efisiensi terkecil berada pada tahun 2007 yaitu sebesar 11.77 persen. Jika dilihat melalui perbandingan, pada tahun ini selisih antara nilai output dengan nilai input relatif kecil jumlahnya, sehingga nilai tambah yang dihasilkan mejadi lebih kecil. Besarnya nilai tambah ini dinilai belum mampu untuk memenuhi biaya input sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi sangat kecil. Tingginya nilai input ini dapat dipicu karena besarnya biaya teknologi yang digunakan untuk menghasilkan

Persen

output, tingginya biaya bahan baku, dan sebagainya. 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0

X-eff

72,12

2000

126,27 52,46 29,49 2001

2002

2003

42,44

2004

774,71

82,02 2005

2006

11,77 13,76 2007

2008

15,99 2009

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

Gambar 14. Kurva Efisiensi Internal Industri Kakao Tahun 2000-2009 6.4

Hasil Uji Analisis Hubungan Struktur dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Hubungan uji analisis struktur dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode Kuadrat Terkecil Biasa atau dengan yang sering disebut OLS (Ordinary Least Square). Suatu model dapat

60

dikatakan baik apabila lulus uji statistik dan uji ekonometrika. Uji statistik meliputi uji koefisiensi determinasi (R2), uji t, dan uji f. Sedangkan dalam uji ekonometrika, suatu

model

harus

terbebas

dari

pelanggaran

asumsi-asumsi

seperti

multikolinearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi, dan uji normalitas. Alat analisis yang digunakan dalam model ini adalah minitab 14 dan E-views 6. 6.4.1 Uji R-Squared (R2) Berdasarkan nilai pada model regresi maka nilai R-Squared atau nilai koefisien determinasi yang diperoleh adalah sebesar 91.8 persen yang artinya sebesar 91.8 persen keragaman variabel dependen (PCM) dapat dijelaskan oleh variabel independen pada model yang terdiri dari variabel MES, CR 4, Produktivitas (PROD), X-eff, Jumlah Perusahaan (JLP). Sedangkan sisa nilai koefisien determinasi sebesar 8.2 persen dapat dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Sedangkan untuk uji R-adjusted, nilainya adalah sebesar 81,6%. 6.4.2 Uji F Nilai Probability F-Statistic yang diperoleh dalam model adalah sebesar 0.027 dengan besarnya taraf nyata adalah lima persen atau sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Probability F-Statistic lebih kecil dibanding nilai taraf nyata (0.027 < 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal terdapat satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen sehingga model ini layak digunakan sebagai parameter penduga. 6.4.3 Uji t Hasil uji t dapat dilihat dari nilai variabel independen yang nilai probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata. Variabel MES, CR 4, PROD, dan JLP memiliki nilai masing-masing sebesar 0.722, 0.869, 0.920, dan 0.523 dimana

61

nilainya lebih besar daripada taraf nyata lima persen atau sebesar 0.05 sehingga variabel ini tidak beperngaruh nyata terhadap variabel dependen (PCM). Sedangkan variabel efisiensi internal (x-eff) memiliki nilai sebesar 0.028 dimana nilainya lebih kecil dari taraf nyata 0.05 sehingga variabel ini berpengaruh nyata terhadap PCM. Dapat disimpulkan bahwa dalam model ini hanya variabel x-eff saja yang berpengaruh nyata pada variabel dependen (PCM). 6.4.4 Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linear antara variabel bebas didalam model regresi. Uji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai VIF dalam model, dengan ketentuan jika nilai VIF pada variabel kurang dari 10 maka terdapat multikolinearitas. Dari hasil regresi dapat dilihat bahwa tidak ada nilai VIF dari masing-masing variabel yang besarnya lebih dari 10 sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model ini tidak terjadi multikolinearitas sehingga model layak. Predictor Constant MES CR4 X-eff PROD JLP

Coef SE Coef -13,47 26,94 0,1630 0,4267 0,0568 0,3242 0,08949 0,02639 -0,0000420 0,0003935 0,5553 0,7942

T -0,50 0,38 0,18 3,39 -0,11 0,70

P 0,643 0,72 0,869 0,028 0,920 0,523

VIF 7,3 4,2 2,9 1,8 1,9

6.4.5 Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Uji autokorelasi dapat dilihat dengan nilai Durbin-Watson. Pada lampiran 7 ditunjukkan bahwa hasil estimasi menunjukkan nilai Durbin-Watson sebesar 1.96297. Nilai ini berada pada batasan 1.55-2.46 sehingga dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi.

62

6.4.6 Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan agar kesalahan penggangu tidak konstan pada semua variabel independen. Uji heteroskedastisitas menggunakan uji White yang digunakan untuk melihat apakah terdapat heteroskedastisitas dalam hasil regresi. Dengan uji white diperoleh nilai probability chi-square sebesar 0.2471, nilai ini lebih besar dari taraf nyata sebesar 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model ini bebas dari pelanggaran heteroskedastisitas. Heteroskedasticity Test: White F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS

6.4.7

1.595952 6.661035 0.817098

Prob. F(5,4) Prob. Chi-Square(5) Prob. Chi-Square(5)

0.3356 0.2471 0.9759

Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah error term mendekati

distribusi normal karena data yang digunakan kurang dari 30. Hasil estimasi yang ditunjukkan dalam hasil minitab 14 menunjukkan bahwa nilai probabilitasnya adalah sebesar 0.106. Sedangkan dengan menggunakan analisis eviews 6 hasilnya menunjukkan pada besaran 0.893522. Kedua nilai ini memperlihatkan hasil yang lebih besar dari taraf nyata 5 persen yang artinya error term pada model tersebut terdistribusi normal. 4

Series: Residuals Sample 2000 2009 Observations 10 3

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

2

1

Jarque-Bera Probability

-3.02e-15 0.325383 12.85568 -10.86246 7.243494 0.284011 2.533354 0.225170 0.893522

0 -15

-10

-5

0

5

10

15

63

6.4.8. Hubungan Struktur dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Hasil regresi model pada lampiran 7, menunjukkan bahwa variabel MES, CR4, X-eff, dan JLP berpengaruh positif terhadap PCM, sedangkan variabel PROD berpengaruh negatif terhadap PCM. Keterkaitan antara PCM dengan variabel independen dirumuskan dengan model berikut: PCM = - 13.5 + 0.163 MES + 0.057 CR4 + 0.0895 X-eff – 0.000042 PROD + 0.555 JLP + ε Hal ini berarti menunjukkan bahwa peningkatan MES sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0.163 persen,

yang artinya semakin

meningkatnya hambatan untuk memasuki pasar maka besarnya keuntungan akan meningkat. Hipotesis ini sesuai dengan hipotesis awal karena meningkatnya hambatan masuk pasar menyebabkan persaingan semakin ketat karena hanya industri yang kuatlah yang dapat bertahan dalam menghadapi pasar ini. Peningkatan CR4 sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0.057 persen pula. Selain itu, peningkatan x-eff sebesar satu persen akan turut meningkatkan PCM sebesar 0.0895 persen, hal ini tentu saja didukung dengan semakin meningkatnya efisiensi maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Hal yang sama juga terjadi pada JLP, peningkatan JLP sebesar satu satuan akan meningkatkan PCM sebesar 0.555 persen. Jumlah perusahaan akan mendukung kinerja suatu industri, ketika jumlah perusahaan semakin meningkat maka kinerja suatu industri akan turut meningkat dan ketika kinerja industri meningkat maka dapat diartikan dengan semakin efisien industri tersebut yang berujung pada peningkatan keuntungan, hal inilah yang menyebabkan nilai PCM ikut meningkat. Model regresi juga menunjukkan bahwa dari lima variabel independen yang ada, hanya ada satu variabel saja yang berpengaruh nyata yaitu x-eff. Dapat

64

disimpulkan bahwa model regresi yang tepat untuk kasus industri kakao ini yaitu: PCM = - 13.5 + 0.0895 X-eff + ε. Hubungan antara x-eff dan PCM tentu jelas akan saling berpengaruh karena efisiensi internal (x-eff) menggambarkan kemampuan suatu industri untuk menekan biaya produksinya, semakin efisien maka semakin besar pula keuntungan yang diperoleh. X-eff yang memiliki besar 0.028 ini terbukti lebih besar dari taraf nyata 0.05 sehingga dapat disimpulkan x-eff berpengaruh nyata dan sesuai dengan hipotesis karena industri akan menekan biaya produksi mereka untuk tetap memperhatikan keuntungan. Empat variabel yang tidak signifikan seperti CR4, MES, PROD, dan JLP ini dianggap tidak sesuai dengan hipotesis awal. Besarnya masing- masing variabel ini adalah sebesar 0.869, 0.722, 0.920, 0.523 memiliki besar yang melebihi taraf nyata 0.05. CR4 tidak berpengaruh signifikan karena semakin tinggi konsentrasi industri justru akan menurunkan persaingan yang menyebabkan perilaku industri kurang efisien.

Penurunan

perilaku

akan

mempengaruhi

kinerja

industri

yang

menyebabkan kinerja menurun. Dalam model estimasi nilai MES berpengaruh positif terhadap PCM, namun pada kenyataannya nilai MES ini tidak berpengaruh signifikan terhadap PCM. Hal ini diduga karena tingginya hambatan untuk masuk dalam pasar akan mengakibatkan masing-masing industri untuk terus meningkatkan persaingannya agar tetap bertahan. Ketika masing-masing industri saling meningkatkan persaingan justru akan menurunkan keuntungan, karena share yang diperoleh masing-masing industri semakin sedikit sehingga keuntungan yang semakin menurun tidak dapat meningkatkan kinerja industri secara profit.

65

Model estimasi yang menunjuk variabel produktivitas ternyata berpengaruh negatif terjadap PCM. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis karena semakin tinggi produktivitas yang dihasilkan maka seharusnya akan meningkatkan keutungan pada suatu industri. Namun pada kenyataannya peningkatan produktivitas sebesar satu persen akan menurunkan keuntungan sebesar 0.000042 persen. Hal ini diduga karena tingginya produktivitas akan meningkatkan output ataupun barang yang dihasilkan juga ikut meningkat. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu supply, ketika supply terlalu tinggi maka akan menurunkan harga dari yang semestinya. Akibatnya, produk menjadi tidak bersaing dan tidak memberi keuntungan lebih. Kondisi ini mampu dikatakan sebagai alasan mengapa produktivitas tidak berpengaruh nyata terhadap PCM. JLP yang diartikan dengan jumlah perusahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap PCM. Peningkatan JLP sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0.555 persen. Peningkatan ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah perusahaan yang memasok dari suatu industri akan meningkatkan keuntungan industri tersebut. Namun pada kenyataanya besarnya JLP tidak berpengaruh signifikan pada PCM, karena semakin banyak jumlah perusahaan yang memasuki pasar akan menurunkan keuntungan yang akan diterima dari masingmasing perusahaan sehingga akibatnya keuntungan yang rendah tersebut tidak akan mendukung kinerja yang lebih diartikan pada profit.

66

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan Hasil penelitian yang dilakukan pada industri kakao di Indonesia periode 2000-2009 ini memiliki beberapa kesimpulan yaitu: 1.

Struktur pasar pada industri kakao yang di Indonesia diperoleh melalui pendekatan konsentrasi rasio dan hambatan masuk pasar. Struktur pasar industri kakao di Indonesia bersifat oligopoli dengan besaran rata- rata konsentrasi rasio sebesar 67.41 persen, dan rata-rata hambatan masuk pasar sebesar 45.12 persen. Dengan besaran seperti ini, maka sifat oligopoli ini dikelompokkan dalam oligopoli ketat atau quasi-competitive model, yaitu dimana masing-masing pelaku industri melakukan kolusi atau adanya kerjasama. Struktur pasar dapat pula dijelaskan secara deskriptif dengan melihat banyaknya jumlah penjual dan derajat perbedaan produk. Banyaknya industri dari tahun 2000-2009 berkisar antara 15-34. Jenis produk terdiferensiasi, dan masing-masing industri sulit memperoleh informasi terutama bagi industri baru.

2.

Perilaku pasar pada industri kakao di Indonesia dapat dilihat dari strategi harga, strategi produk dan promosi. Strategi harga dilakukan dengan kolusi antar pelaku pasar yaitu menjadikan biaya produksi tertinggi sebagai pertimbangan harga penjualan. Strategi produk dilakukan dengan cara mengklasifikasikan produk berdasarkan ukuran, harga, dan manipulasi penawaran. Sedangkan strategi promosi dilakukan melalui iklan secara visual.

3.

Kinerja industri kakao dilihat dari tingkat keuntungan (PCM) dan nilai efisiensi internal (X-eff). Nilai rata-rata PCM periode 2000-2009 adalah sebesar 21.29

persen dengan nilai PCM terbesar terjadi pada tahun 2006 sebesar 87.68 persen dan PCM terendah pada tahun 2001 sebesar 2.06 persen. Sedangkan untuk nilai rata-rata pada x-eff periode 2000-2009 adalah sebesar 122.10 persen. Besarnya efisiensi internal terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 774.71 persen, dan nilai x-eff terkecil terjadi pada tahun 2007 sebesar 11.77 persen. 4.

Variabel-variabel independen yang dianggap mempengaruhi variabel dependen (PCM) yaitu CR4, MES, X-eff, PROD, dan JLP. Namun hanya x-eff saja yang berpengaruh signifikan terhadap PCM yaitu sebesar 0.028. Sisanya seperti CR4, MES, PROD, dan JLP tidak berpengaruh nyata karena nilainya lebih besar dari taraf nyata 0.05.

7.2. Saran Data pada hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kinerja industri kakao masih tergolong rendah, dikarenakan persaingan yang tinggi sehingga menyebabkan keuntungan yang diperoleh lebih rendah. Berdasarkan pertimbangan ini, maka saran yang dianggap paling tepat yaitu: 1.

Industri diharapkan mampu menekan biaya produksi, selain itu pula industri kakao diharapkan mampu meningkatkan nilai output menjadi lebih tinggi sehingga nilai tambah ikut meningkat dan dapat menutupi biaya input sehingga kinerja dari masing-masing industri ikut meningkat.

2.

Semakin meningkatkan persaingan antar industri sehingga hanya industri yang dapat bersaing saja yang tetap berada dalam persaingan guna meningkatkan kinerja industi karena semakin banyak perusahaan yang mampu masuk dalam persaingan akan menggeser kurva permintaan, yang menyebabkan terjadinya

68

penurunan kuantitas dan harga yang pada akhirnya menyebabkan laba sama dengan nol.

69

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2000-2009. Statistik Industri Besar dan Sedang. 2000-2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ________________. 2011. PDB Atas Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ________________. 2011. Penduduk 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Umum. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Cramer, G.L and CW Jensen 1994. Agricultural Economics and Agribusiness. John Wiley & Sons,Inc, New York. Departemen Pertanian. 2006. Direktori dan Revitalisasi Agribisnis Kakao di Indonesia: Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Komisi Kakao Indonesia, Jakarta. Direktorat Jendral Perkebunan. 2010. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Pusat Data dan Informasi. Kementerian Pertanian, Jakarta. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara, Jakarta. Gujarati, D. 1978. Ekonometrika Dasar. Zaln, S. Erlangga, Jakarta. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. Iriawan, N dan AP Septin. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Andi, Yogyakarta. Is, I. 2008. Analisis Daya Saing Kakao di Pasar Internasional. Skripsi Program Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor Jaya, W.K. 2001. Ekonomi Industri. BPFE, Yogyakarta. Juanda, B. 2008. Modul Kuliah Ekonometrika I. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kementerian Perindustrian. 2012. Pengembangan Industri Pengolahan Kakao. http://www.kemenperin.go.id/artikel/427/Pengembangan-IndustriPengolahan-Kakao. Diakses pada tanggal 17 Juni 2012. Kompas. 11 Juli 2012. ‘Harga Kakao Terus Melemah’ Lains, A. 2003. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. LP3ES, Jakarta. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES, Jakarta. Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi: Prinsip Dasar dan Perluasan. Biarupa Aksara, Jakarta Rahardja, P dan M Manurung. 1999. Teori Ekonomi Mikro. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Rahmanu, R. 2009. Analisis Daya Saing Industri Pengolahan dan Hasil Olahan Kakao di Indonesia. Skripsi Program Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sari, I.M. 2011. Analisis Struktur- Perilaku- Kinerja Industri Pengolahan Susu di Indonesia. Skripsi Program Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sucianti. 2011. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Pakan Ternak di Indonesia. Skripsi Program Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Teguh, M. 2010. Ekonomi Industri. Rajawali Pers, Jakarta. Tomek, W.G and KL Robinson. 1990. Agricultural Product Prices (third edition). Cornell University Press, Ithaca. Wacana. 2009. Analisis Pasar Tembakau Besuki Voor-Oogst Dalam Upaya Peningkatan Daya Tawar Petani [Jurnal]. ISSN.1411-0199. vol 12. no.1:135-150.

Yuliati. 2010. Analisis Daya Saing Ekspor Kakao Indonesia Tahun 2005-2009. Skripsi Program Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

71

LAMPIRAN

Lampiran 1. Nilai Input, Nilai Output, Nilai Tambah, Input TK, dan Barang yang dihasilkan Industri Kakao Tahun 2000-2009 Tahun

Nilai Input (Ribu Rupiah)

Nilai Output (Ribu Rupiah)

Nilai Tambah (Ribu Rupiah)

Input TK (Ribu Rupiah)

Barang yang dihasilkan (ton)

2000

153 298 687

263853 460

110 554 773

76 043 610

264 170 855

2001

158 053 767

240 969 260

82 915 493

71 665 597

546 520 564

2002

455 844 889

590 290 435

134 445 546

79 858 653

956 036 285

2003

131 076 868

296 577 445

165 500 577

82 597 018

314 687 698

2004

246 589 397

351 244 265

104 654 868

68 672 660

277 234 625

2005

355 685 505

647 417 058

291 731 553

70 019 665

627 646 059

2006

117 760 132

10 301 956 289

9 124 196 157

2007

8 101 540 519

9 054 992 867

953 452 348

32 043 885

8 855 296 258

2008

7 661 293 147

8 715 613 643

1 054 320 496

27 304 429

8 512 405 877

2009

5 797 375 992

6 724 809 186

927 433 194

442 414 646

6 633 874 799

99 664 514 10 291 943 973

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah) Lampiran 2. Rasio Konsentrasi Industri Kakao di Indonesia Tahun 2000-2009 Tahun

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Nilai Tambah Empat Perusahaan Terbesar (Ribu Rupiah) 43 069 087 36 444 802 70 187 085 75 083 403 58 191 358 204 582 996 9 058 460 649 769 172 800 974 073 121 886 273 512 Rata- rata

Total (Ribu Rupiah) 110 554 773 82 915 493 134 445 546 165 500 577 104 654 868 291 731 553 9 124 196 157 953 452 348 1 054 320 496 927 433 194

CR4 (%) 38.96 43.95 52.20 45.37 55.60 70.13 99.28 80.67 92.39 95.56 67.41

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

73

Lampiran 3. Minimum Efficiency Scale (MES) Industri Kakao di Indonesia Tahun 2000-2009 Tahun

Output Perusahaan Terbesar (Ribu Rupiah)

Total Output Industri (Ribu Rupiah)

MES (%)

2000

62 163 875

263 853 460

23.56

2001

70 614 320

240 969 260

29.3

2002

128 256 772

590 290 435

21.73

2003

46 007 587

296 577 445

15.51

2004

192 711 296

351 244 265

54.86

2005

295 311 225

647 417 058

45.61

2006

9 251 770 925

10 301 956 289

89.81

2007

4 841 127 279

9 054 992 867

53.46

2008

5 589 697 517

8 715 613 643

64.13

2009

3 576 317 200

6 724 8099 186

53.18

Rata- rata Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

45.12

Lampiran 4. Price Cost Margin Industri Kakao di Indonesia Tahun 2000-2009 Tahun

Nilai tambah

Upah

(Ribu Rupiah)

(Ribu Rupiah)

Barang yang dihasilkan

PCM (%)

2000

110 554 773

76043610

264 170 855

13.06

2001

82 915 493

71665597

546 520 564

2.06

2002

134 445 546

79858653

956 036 285

5.71

2003

165 500 577

82 597 018

314 687 698

26.34

2004

104 654 868

68 672 660

277 234 625

12.98

2005

291 731 553

70 019 665

627 646 059

35.32

2006

9 124 196 157

99 664 514

10 291 943 973

87.68

2007

953 452 348

32 043 885

8 855 296 258

10.41

2008

1 054 320 496

27 304 429

8 512 405 877

12.06

2009

927 433 194

442 414 646

6 633 874 799

7.31

Rata- rata Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

21.29

74

Lampiran 5. Efisiensi Internal Industri Kakao di Indonesia Tahun 2000-2009 Tahun

Nilai tambah (Ribu Rupiah)

Nilai input (Ribu Rupiah)

X-eff (%)

2000

110554773

153298687

72.12

2001

82915493

158053767

52.46

2002

134445546

455844889

29.49

2003

165500577

131076868

126.27

2004

104654868

246589397

42.44

2005

291731553

355685505

82.02

2006

9124196157

117760132

774.71

2007

953452348

8101540519

11.77

2008

1054320496

7661293147

13.76

927433194 5797375992 Rata- rata Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

15.99 122.10

2009

Lampiran 6. Produktivitas Industri Kakao di Indonesia Tahun

Nilai Output (Ribu Rupiah)

Nilai Input Tenaga Kerja (Ribu Rupiah)

Produktivitas (%)

2000

263 853 460

76 043 610

350

2001

240 969 260

71 665 597

336.2

2002

590 290 435

79 858 653

739.2

2003

296 577 445

82 597 018

359.1

2004

351 244 265

68 672 660

511.5

2005

647 417 058

70 019 665

924.6

2006

10 301 956 289

99 664 514

10 336.5

2007

9 054 992 867

32 043 885

28 258.1

2008

8 715 613 643

27 304 429

31 920.2

6 724 809 186 442 414 646 Rata- rata Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

1 520 7 525.54

2009

75

Lampiran 7. Hasil Regresi Industri Kakao di Indonesia tahun 2000-2009 dengan menggunakan software Minitab 14

Regression Analysis: PCM versus MES; CR4; ... The regression equation is PCM = - 13,5 + 0,163 MES + 0,057 CR4 + 0,0895 X-eff - 0,000042 Produktivitas + 0,555 Jumlah perusahaan

Predictor Constant MES CR4 X-eff Produktivitas Jumlah perusahaan

S = 10,8652

Coef -13,47 0,1630 0,0568 0,08949 -0,0000420 0,5553

R-Sq = 91,8%

PRESS = 51686,3

SE Coef 26,94 0,4267 0,3242 0,02639 0,0003935 0,7942

T -0,50 0,38 0,18 3,39 -0,11 0,70

P 0,643 0,722 0,869 0,028 0,920 0,523

VIF 7,3 4,2 2,9 1,8 1,9

R-Sq(adj) = 81,6%

R-Sq(pred) = 0,00%

Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total

DF 5 4 9

Source MES CR4 X-eff Produktivitas Jumlah perusahaan

SS 5306,1 472,2 5778,3

DF 1 1 1 1 1

MS 1061,2 118,1

F 8,99

P 0,027

Seq SS 2180,5 188,3 2877,0 2,5 57,7

Unusual Observations Obs 7

MES 89,8

PCM 87,68

Fit 89,59

SE Fit 10,82

Residual -1,91

St Resid -1,85 X

X denotes an observation whose X value gives it large influence.

Durbin-Watson statistic = 1,96297

76

Residual Plots for PCM Normal Probability Plot of the Residuals

Residuals Versus the Fitted Values

99 10 Residual

Percent

90 50 10 1

0 -5 -10

-20

-10

0 Residual

10

20

0

Histogram of the Residuals

20

40 60 Fitted Value

80

Residuals Versus the Order of the Data

4,8

10

3,6

Residual

Frequency

5

2,4 1,2

5 0 -5 -10

0,0

-10

-5

0 5 Residual

10

15

1

2

3

4 5 6 7 Observation Order

8

9

10

-

Probability Plot of RESI1 Normal

99

Mean StDev N KS P-Value

95 90

-4,44089E-16 7,243 10 0,238 0,106

80

Percent

70 60 50 40 30 20 10 5

1

-20

-10

0 RESI1

10

20

77