APLIKASI POLIMER ALAMI KITOSAN MIKROKRISTALIN PADA WET POLYPROPYLENE

Download Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Polimer. Alami Kitosan ...... Journal of Polymer Science Part B Polymer Physics...

1 downloads 553 Views 2MB Size
APLIKASI POLIMER ALAMI KITOSAN MIKROKRISTALIN PADA WET POLYPROPYLENE NON-WOVEN SEBAGAI TISU BASAH

WAHYU MUTIA RIZKI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Polimer Alami Kitosan Mikrokristalin pada Wet Polypropylene Non-Woven sebagai Tisu Basah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Wahyu Mutia Rizki NIM C34100001

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

ABSTRAK WAHYU MUTIA RIZKI. Aplikasi Polimer Alami Kitosan Mikrokristalin pada Wet Polypropylene Non-Woven sebagai Tisu Basah. Dibimbing oleh PIPIH SUPTIJAH dan AGOES MARDIONO JACOEB. Interaksi makhluk hidup dengan lingkungan menyebabkan terjadinya kolonisasi bakteri di permukaan sel epitel yang disebut mikroflora normal. Beberapa interaksi tersebut dapat membahayakan manusia sebagai inang. Kebersihan tangan merupakan langkah awal mencegah transmisi mikroba. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan tisu basah dengan formulasi kitosan mikrokristalin serta karakterisasi tisu basah. Metode penelitian yang dilakukan yaitu uji aktvitas antibakteri dengan metode cakram, uji daya antiseptik dengan metode replica plating dan uji iritasi. Ukuran partikel kitosan mikrokristalin yang diperoleh bervariasi. Derajat deasetilasi kitosan mikrokristalin yaitu 80,24%. Konsentrasi kitosan mikrokristalin yang memiliki aktivitas antibakteri terbaik yaitu 750 ppm. Tisu basah dengan konsentrasi kitosan 750 ppm memiliki efektivitas daya antiseptik yang tidak berbeda nyata dengan tisu basah komersial, namun berbeda nyata dengan pencucian tangan dengan kran. Tisu basah kitosan tidak menimbulkan reaksi iritasi pada kulit tikus putih. Kata kunci: antibakteri, iritasi kulit, kitosan mikrokristalin, tisu basah

ABSTRACT WAHYU MUTIA RIZKI. Application of Microcrystalline Chitosan as Natural Polymer on Non-Woven Wet Polypropylene Fabric as Wet Wipe. Supervised by PIPIH SUPTIJAH and AGOES MARDIONO JACOEB. Each organism lives in a continues interaction with it environment and represented by surfaces covered by colonization of microbes known as normal microflora. Under some condition the interaction of normal microflora can be harmful for the host. Hand hygiene is the first step to prevent transmission of microbes. The aims of this research was to develop new wet wipe formulated with microcrystalline chitosan and to characterize it. The procedures of the research used antibacterial assay determined by disc diffusion method, antiseptic effectiveness was tested by replica plating, and skin irritation test. Particle size of microcrystalline chitosan was varied and the degree of deacetylation was 80.24%. Concentration of microcrystalline chitosan which had the highest antibacterial activity was 750 ppm, so that was used for the formulation of wet wipe. Treated wet wipe with microcrystalline chitosan had not significance difference with commercial wipe in antiseptic activity and significance difference with tap water. During the entire observation, no irritation on the rats’ skin could be seen. Keywords: antibacterial activity, microcrystalline chitosan, skin irritation, wet wipe

© HAK CIPTA MILIK IPB, TAHUN 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

APLIKASI POLIMER ALAMI KITOSAN MIKROKRISTALIN PADA WET POLYPROPYLENE NON-WOVEN SEBAGAI TISU BASAH

WAHYU MUTIA RIZKI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Judul Skripsi Nama NIM Program Studi

: Aplikasi Polimer Alami Kitosan Mikrokristalin Polypropylene Non-Woven sebagai Tisu Basah : Wahyu Mutia Rizki : C34100001 : Teknologi Hasil Perairan

pada

Wet

Disetujui oleh

Dr Dra Pipih Suptijah MBA Pembimbing I

Dr Ir Agoes M Jacoeb Dipl-Biol Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Joko Santoso MSi Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Aplikasi Polimer Alami Kitosan Mikrokristalin pada Wet Polypropylene Non-Woven sebagai Tisu Basah”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada: 1. Dr Dra Pipih Suptijah MBA dan Dr Ir Agoes M Jacoeb Dipl -Biol. selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis 2. Dr Sugeng Heri Suseno SPi MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran kepada penulis 3. Prof Dr Ir Joko Santoso MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Dr Ir Iriani Setyaningsih MS selaku Ketua Program Studi THP 4. Dosen dan staff administrasi yang telah membantu penulis selama perkuliahan 5. Ibu Ema Masruroh SSi dan Mbak Dini Indriani AMd yang telah membantu penulis selama penelitian di laboratorium 6. Orang tua (Papa dan Mama), Kakak Adri Parmata, dan keluarga tercinta yang telah memberikan cinta, kasih sayang, semangat, dan doa kepada penulis 7. Fatmasari Nuarisma dan Nia Kurniawati selaku teman seperjuangan dalam penelitian ini 8. Teman-teman lysis (Indah, Yani, Ayus, Windy, Susan, dan Limau), Opung Risvan atas kebersamaan dalam suka duka serta dukungannya selama ini 9. Keluarga besar THP 47 atas kebersamaan dan kekompakan selama ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2014 Wahyu Mutia Rizki

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... PENDAHULUAN ........................................................................................... Latar Belakang ............................................................................................. Perumusan Masalah ...................................................................................... Tujuan Penelitian.......................................................................................... Manfaat Penelitian........................................................................................ Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................ METODE PENELITIAN ................................................................................. Waktu dan Tempat ....................................................................................... Bahan ........................................................................................................... Alat .............................................................................................................. Prosedur Penelitian ....................................................................................... Penelitian Tahap I ..................................................................................... Penelitian Tahap II .................................................................................... Penelitian Tahap III .................................................................................. Analisis Data ............................................................................................ HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Karakterisasi Kitosan Mikrokristalin ............................................................ Fourier Transform Infrared (FTIR) Kitosan Mikrokristalin .......................... Morfologi dan Ukuran Kitosan Mikrokristalin .............................................. Aktivitas Antibakteri Kitosan Mikrokristalin ................................................ Daya Antiseptik ............................................................................................ Iritasi Kulit ................................................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ Kesimpulan .................................................................................................. Saran ............................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN ....................................................................................................

xv xv xv 1 1 2 2 3 3 3 3 3 3 4 4 8 8 9 10 10 11 12 14 16 17 19 19 19 20 24

DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5

Hasil analisis proksimat kitosan mikrokristalin ........................................ Karakteristik gugus fungsi kitosan mikrokristalin .................................... Perbandingan jumlah koloni hasil uji efektivitas antiseptik dengan metode replica plating ............................................................................. Taraf penilaian kondisi kulit hewan coba ................................................. Hasil uji derajat iritasi tisu basah .............................................................

10 11 16 17 18

DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6

Diagram alir prosedur penelitian .............................................................. 4 Diagram alir pembuatan kitosan mikrokristalin ........................................ 5 Diagram alir pembuatan tisu basah .......................................................... 8 Spektrum inframerah kitosan mikrokristalin ............................................ 11 Hasil light microscopy (a) kitosan mikrokristalin perbesaran 40 kali (b) 400 kali (c) Scanning Electron Microscopy kitosan mikrokristalin perbesaran 50 kali (d) 1000 kali ............................................................... 13 Aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin terhadap bakteri ( ) Staphylococcus aureus dan ( ) Escherichia coli. .............................. 15

DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4

Dokumentasi pembuatan kitosan mikrokristalin ....................................... Dokumentasi uji aktivitas antibakteri ....................................................... Dokumentasi uji daya antiseptik ............................................................... Hasil analisis statistik uji daya antiseptik dengan metode replica plating..

24 24 25 25

PENDAHULUAN Latar Belakang Manusia sebagai salah satu makhluk hidup selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi terpenting dan terbesar dari suatu organisme dengan lingkungan tergambar dari permukaan sel epitel yang menutupi permukaan tubuh. Mulai dari jam pertama setelah dilahirkan dari lingkungan steril, interaksi makro dan mikroorganisme dimulai dengan masuknya mikroba pada permukaan kulit, gastrointestinal, pernafasan, dan saluran urogenital. Interaksi tersebut akan menyebabkan terjadinya kolonisasi bakteri di permukaan sel epitel, yang disebut mikroflora normal (Hogenova et al. 2004). Kulit manusia memiliki mikroflora normal yang terdapat hampir di semua bagiannya yang terpapar lingkungan. Beberapa interaksi bakteri dapat membahayakan manusia sebagai inang dan dapat menimbulkan infeksi. Salah satu bakteri yang dapat menimbulkan infeksi adalah Staphylococcus aureus. Interaksi sel S. aureus telah banyak dipelajari oleh Novick (2003) dan diketahui bahwa bakteri tersebut mengatur dan menentukan tahapan terjadinya proses infeksi. Menurut Cogen et al. (2008), bakteri lain yang terdapat di kulit selain Staphylococcus adalah Corynebacterium, Propionibacterium, Micrococcus, Streptococcus, Brevibacterium, Acinetobacterium, dan Pseudomonas. AlGhamdi et al. (2013) menyatakan bahwa kebersihan kulit terutama tangan merupakan salah satu langkah penting dalam upaya mengurangi transmisi agen infeksi dan mencegah penyebaran penyakit yang disebabkan oleh infeksi. Pencucian tangan merupakan salah satu cara yang sering dilakukan dan dapat mereduksi jumlah bakteri Escherichia coli, S. marcescens, S. aureus, dan P. aeruginosa (Kampf & Kramer 2004). Seiring dengan kemajuan teknologi, terjadi perubahan pola hidup menjadi lebih praktis. Tisu basah dapat menjadi salah satu alternatif pembersih tangan yang dapat digunakan setiap saat serta mudah diperoleh bila dibandingkan dengan mencuci tangan yang tergantung dengan keberadaan air dan sabun. Tisu basah yang menggunakan alkohol sebagai antibakteri kurang aman bagi kesehatan karena alkohol merupakan pelarut organik. Kasus allergic contact dermatitis terjadi ketika kulit sering terpapar etil alkohol, untuk sebagian orang sering terjadi respon tertunda (Cimiotti et al. 2003). Kandungan lain yang terdapat pada produk kebersihan adalah metilisotiazolinon (MIT). Zat ini merupakan biosidal dan digunakan untuk mengontrol pertumbuhan fungi, alga, dan bakteri (EPA 1998). Beberapa studi menunjukkan bahwa MIT dapat menimbulkan reaksi alergi dan bersifat sitotoksik. Personal care juga banyak mengandung triclosan sebagai zat antibakteri. Zat ini dilaporkan tidak bersifat toksik, namun ditemukan kasus dermatitis atau iritasi kulit setelah terpapar triclosan. Hal ini membuktikan bahwa triclosan mungkin bersifat photoallergic contact dermatitis (PACD), yaitu menimbulkan reaksi alergi ketika kulit yang diberi triclosan terpapar cahaya matahari. PACD akan menimbulkan ruam eczema, biasanya pada bagian wajah, leher, dan punggung tangan (APUA 2011). Berdasarkan hal ini maka perlu dicari zat antibakteri lain yang aman dan efektif.

2

Kitosan merupakan polisakarida turunan kitin yang mengalami proses deasetilasi dengan perlakuan basa dan memiliki gugus amino reaktif dengan poliamina linear. Karakteristik biologi kitosan diantaranya yaitu biocompatible, tidak toksik, hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor , dan antibakteri (Dutta et al. 2004). Kitosan mikrokristalin merupakan turunan kitosan yang telah mengalami pengecilan ukuran partikel. Menurut Pighinelli dan Kucharska (2013), kitosan mikrokristalin memiliki karakteristik sama dengan kitosan dan memiliki karakateristik tambahan berupa pembentukan permukaan dalam dan pengecilan ukuran kristal pada polimer. Kristalinitas kitosan terbentuk dari akumulasi rantai linear dalam struktur kitosan (Fares dan Al-Ta’ani 2003). Kitosan mikrokristalin digunakan pada aplikasi medis sebagai pembalut luka dan drug delivery. Kitosan mikrokristalin memiliki aktivitas antibakteri dan dapat diaplikasikan pada mouthwash (Zahid 2012). Hingga saat ini aktivitas antibakteri oligomer kitosan dalam berbagai bidang dengan model inovasinya masih menjadi hal baru untuk diteliti (Rahman 2012). Aplikasi kitosan mikrokrisalin sebagai antibakteri pada tisu basah dinilai aman sehingga perlu dilakukan pengembangan lebih lanjut. Tuntutan pola hidup yang semakin praktis juga menjadi salah satu alasan dilakukannya penelitian yang bertujuan mengembangkan produk tisu basah yang aman bagi penggunanya. Produk hasil pengembangan tisu basah ini sangat beragam, selain pengganti hand sanitizer, dapat dikembangkan menjadi tisu basah khusus balita (baby wipe), serbet, dan bottle wipe. Tisu basah kitosan adalah produk tisu basah yang menggunakan kitosan sebagai antibakteri yang dapat mencegah dan menghambat pertumbuhan bakteri. Perumusan Masalah Transmisi agen penyebab infeksi sering terjadi melalui tangan. Menjaga kebersihan tangan diharapkan mampu menghambat transmisi tersebut. Penggunaan air dan sabun dinilai tidak praktis lagi. Penggunaan tisu basah dengan kandungan desinfektan alkohol atau triclosan dapat menimbulkan iritasi pada kulit yang terpapar, selain itu pengurangan jumlah mikroba hampir sama dengan penggunaan tap water. Penggunaan kitosan mikrokristalin sebagai anitibakteri pada tisu basah belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan tisu basah dengan efektivitas penurunan jumlah mikroba yang baik pada tangan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah membuat dan menganalisis kualitas kitosan mikrokristalin, analisis aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin, mengembangkan produk tisu basah polypropylene non-woven dengan formulasi kitosan mikrokristalin, dan menganalisis kualitas tisu basah yang terdiri dari analisis daya antiseptik, dan analisis potensi terjadinya iritasi pada kulit yang terpapar tisu basah.

3

Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu adanya alternatif pembersih tangan yang aman dan praktis, memperkaya khasanah informasi bagi dunia farmasi mengenai manfaat kitosan mikrokristalin, dan meningkatkan nilai tambah limbah perikanan terutama cangkang udang, kepiting, dan rajungan sebagai bahan dasar pembuatan kitosan mikrokristalin Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah pembuatan kitosan mikrokristalin, analisis kualitas kitosan mikrokristalin meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, dan derajat deasetilasi; uji aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin, pembuatan tisu basah, uji daya antiseptik tisu basah, dan uji iritasi, serta penulisan laporan.

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2013 hingga Mei 2014. Penelitian ini bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Analisis Bahan Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR)BATAN, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi kitosan serbuk, asam asetat glasial 1,5% dan 0,5% (Merck), akuades, air steril, NaOH 3N, alkohol 70% (TVD), media Nutrient Agar (NA) (Oxoid), media Nutrient Broth (NB) (Oxoid), dan media Mueller Hinton Agar (MHA) (Oxoid), biakan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, serta tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Alat Peralatan yang digunakan meliputi magnetic stirrer merek Yamato MD-41, pengering vakum, mikroskop SEM JSM-6360, FTIR MB-3000, mesin berkas elektron MBE GJ-2, autoklaf merek Yamato SM-52, inkubator merek Yamato IS900, spektrofotometer UV-VIS RS, vortex, micropipette, dan ruang laminar.

4

Prosedur Penelitian Penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama yaitu pembuatan kitosan mikrokristalin dengan metode presipitasi speris dan analisis kualitas kitosan yang terdiri dari analisis kadar air (AOAC 2005), kadar abu (AOAC 2005), kadar nitrogen (AOAC 2005), derajat deasetilasi (Domsay 1985), dan analisis SEM (Lin et al. 2002), serta pengujian aktivitas antibakteri dari kitosan mikrokristalin (Lalitha 2004). Penelitian tahap kedua adalah pembuatan tisu basah dengan formulasi kitosan. Penelitian tahap ketiga merupakan analisis kualitas tisu basah yang diperoleh yang terdiri dari pengujian daya antiseptik (Modifikasi Lederberg dan Lederberg 1952) dan uji iritasi kulit (Draize et al. 1944 yang dimodifikasi oleh Darwis 2008). Prosedur penelitian secara umum disajikan pada Gambar 1. Kitosan mikrokristalin

-

Analisis kualitas: Kadar air Kadar abu Kadar nitrogen Derajat deasetilasi Analisis SEM

Pengujian aktivitas anti bakteri (100 ppm, 250 ppm, 500 ppm, 750 ppm)

Kitosan mikrokristalin dengan konsentrasi terbaik

Pembutan tisu basah kitosan mikrokristalin dengan konsentrasi 750 ppm

Pengujian daya antiseptik

Aplikasi pada hewan coba

Uji iritasi kulit

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian

Penelitian Tahap I Pembuatan kitosan mikrokristalin dengan metode presipitasi speris (modifikasi Zahid 2012) Pembuatan kitosan mikrokristalin diawali dengan pelarutan 10 gram kitosan dalam larutan asam asetat 1,5%. Larutan kitosan selanjutnya diperkecil ukurannya

5

menggunakan magnetic stirrer selama 1 jam. Tahap selanjutnya adalah penambahan NaOH 3N secara perlahan hingga terjadi proses presipitasi atau pengendapan partikel terlarut. Setelah partikel terlarut mengendap dilakukan proses pencucian hingga mencapai kondisi pH netral. Tahap terakhir proses produksi kitosan mikrokristalin yaitu pengeringan partikel kitosan mikrokristalin menggunakan vacuum dryer sehingga diperoleh serbuk kitosan mikrokristalin. Diagram alir pembuatan kitosan mikrokristalin disajikan pada Gambar 2. Kitosan serbuk

Pelarutan kitosan dalam asam asetat 1,5% Sizing menggunakan magnetic stirrer selama 1 jam Presipitasi speris dengan NaOH 3N Pencucian hingga mencapai pH 7 Pengeringan menggunakan vacuum dryer* Serbuk kitosan mikrokristalin * Modifikasi Zahid (2012)

Gambar 2 Diagram alir pembuatan kitosan mikrokristalin Analisis kadar air (AOAC 2005) Analisis kadar air dilakukan dengan cara pengeringan cawan porselen dengan menggunakan suhu 105oC selama 1 jam. Cawan tersebut didiamkan di dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan porselen kemudian dikeringkan dengan suhu 105oC selama 8 jam. Cawan tersebut kemudian didiamkan sampai suhu ruang di dalam desikator kemudian ditimbang bobotnya. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus: % Kadar air=

Bobot sampel (segar-kering) Bobot sampel segar

x 100%

Analisis kadar abu (AOAC 2005) Analisis kadar abu dilakukan dengan cara sampel diabukan di dalam tanur. Tahap awal yang dilakukan adalah pengeringan cawan porselen dalam oven dengan suhu 105oC, kemudian didiamkan di dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram dan dibakar hingga tidak berasap. Cawan yang telah dibakar kemudian dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600oC selama 4 jam. Cawan beserta sampel yang telah diabukan

6

didiamkan sampai suhu ruang di dalam desikator kemudian ditimbang hingga didapat bobot konstan. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan rumus: Bobot abu

% Kadar abu = Bobot

sampel

x 100%

Analisis kadar protein (AOAC 2005) Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL. Sebanyak 0,25 gram selenium dan 3 mL H 2SO4 pekat ditambahkan. Contoh didestruksi pada suhu 410oC selama 1 jam sampai larutan berwarna jernih lalu didinginkan. Setelah dingin ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL H3BO3 2% dan 2 tetes indikator bromo Cresol Green-Methyl Red yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 10 mL dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Destilat kemudian dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Perhitungan kadar nitorgen dilakukan dengan rumus: %N=

(volume titran – volume blanko) x N HCl x 14 bobot sampel x 1000 x FK

× 100%

Analisis pengukuran derajat deasetilasi (Domsay 1985) Kitosan digerus dengan KBr dalam mortar sampai homogen, kemudian dimasukkan dalam cetakan pelet, dicetak dengan dipadatkan dan divakum. Selanjutnya pelet ditempatkan dalam sel dan dimasukkan ke dalam tempat sel pada spektrofotometer inframerah MB-3000 yang sudah dinyalakan dan stabil kemudian dilakukan penekanan tombol pendeteksian. Pengukuran derajat deasetilasi berdasarkan kurva yang tergambar oleh spektrofotometer dengan metode base line. Puncak tertinggi (Po) dan puncak terendah (P) dicatat dan diukur dengan garis dasar yang dipilih. Perbandingan absorbansi dihitung dengan rumus: A = Log

Po P

Keterangan: Po : Jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak tertinggi dengan panjang gelombang 1.655 cm-1 atau 3.450 cm-1. P : Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang gelombang 1.655 cm-1 atau 3.450 cm-1. Perbandingan absorbansi pada 1.655 cm-1 dengan absorbansi 3.450 cm-1 digandakan satu per standar N-deasetilasi kitosan (1,33). Dengan mengukur absorbansi pada puncak yang berhubungan, nilai persen N-deasetilasi dapat dihitung dengan rumus: %N-deasetilasi = 1 −

A 1.655 A3.450

x

1 1,33

7

Keterangan: A1.655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1.655 cm-1 A3.450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3.450 cm-1 1,33 = konstanta untuk derajat deasetilasi yang sempurna Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) (Lin et al. 2002) Analisi ukuran dan bentuk partikel dilakukan dengan Scanning Electron Microscopy JEOL JSM 5310 LV. Sampel ditempatkan pada logam yang dilapisi karbon, kemudian dilakukan pelapisan dengan emas 300 Å di dalam Magnetron Sputtering Device yang dilengkapi dengan pompa vakum. Sampel yang telah dilapisi emas diletakkan pada lokasi sampel dalam mikroskop elektron, dan ditembakkan elektron ke arah sampel serta dilakukan pemotretan. Analisis aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin (Lalitha 2004) Uji ini meliputi persiapan media cair, persiapan media padat, dan prosedur aktivitas antibakteri. Pengujian antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar (Kirby Bauer) menggunakan kertas cakram (paper disc). Peremajaan bakteri uji dilakukan menggunakan media Nutrient Agar (NA). Media dilarutkan dalam akuades dan dipanaskan hingga larut sempurna. Sebanyak 5 mL media kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Tabung kemudian dimiringkan hingga memadat. Sebanyak 1 ose biakan bakteri diinokulasikan di dalam media dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kultur bakteri dilakukan menggunakan media Nutrient Broth (NB) yang dilarutkan ke dalam akuades. Masing-masing tabung reaksi diisi 9 mL media kemudian disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Sebanyak 1 ose biakan bakteri diinokulasikan ke media NB dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Optical density (OD) kultur bakteri diukur menggunakan Spektrofotometer UV-Vis RS pada panjang gelombang 600 nm. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan menggunakan media padat Mueller Hinton Agar (MHA). Media MHA dilarutkan dalam akuades dan dipanaskan hingga homogen. Media kemudian dipipet 20 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Tahap pertama pada uji aktivitas antibakteri adalah meneteskan larutan kitosan mikrokristalin dengan konsentrasi berbeda pada paper disc sebanyak 20 µL. Paper disc yang telah berisi larutan kitosan dibiarkan sampai mengering atau pelarutnya menguap dalam laminaran steril. Tahap selanjutnya, sebanyak 20 mL media MHA dalam keadan cair ditambahkan 20 µL bakteri uji dengan OD 0,5-0,8 menggunakan pipet mikro. Media agar yang telah ditambah bakteri uji dihomogenkan dengan vortex, kemudian segera dituangkan ke dalam cawan petri steril. Media agar terebut didiamkan dalam laminar aseptik sampai agar beku. Apabila media MHA tersebut telah membeku, masing-masing paper disc diletakkan dalam cawan petri berisi agar dan bakteri dengan menggunakan pinset steril. Cawan tersebut kemudian diinkubasi selama 18-20 jam dengan suhu 37oC. Aktivitas antibakteri dilihat dengan mengamati zona hambatan yang terbentuk di sekeliling paper disc. Antibakteri dinyatakan positif jika terbentuk zona bening di sekeliling paper disc.

8

Penelitian Tahap II Pembuatan Tisu Basah Kitosan mikrokristalin serbuk dilarutkan dalam asam asetat 0,5%, kemudian ditambah akuades. Larutan kitosan dihomogenkan menggunakan magnetic stirrer 500 rpm selama 60 menit. Kain polypropylene non-woven yang telah diiradiasi dilipat dan ditempatkan di dasar wadah kemudian ditambah larutan kitosan secara perlahan. Kain polypropylene non-woven dibiarkan terendam selama 30 detik kemudian dilakukan pengemasan. Diagram alir pembuatan tisu basah disajikan pada Gambar 3. Kain polypropylene non-woven

Penempatan kain polypropylene non-woven di dasar wadah

Penambahan larutan kitosan mikrokristalin

Perendaman selama 30 detik

Pengemasan

Tisu basah Polypropylenen non-woven

Gambar 3 Diagram alir pembuatan tisu basah Penelitian Tahap III Pengujian daya antiseptik (modifikasi Lederberg dan Lederberg 1952) Telapak tangan dicuci dengan air kran, kemudian dikeringkan. Selanjutnya pada telapak tangan dibersihkan dengan tisu basah dan didiamkan. Sidik ibu jari ditempelkan pada media padat Nutrient Agar dalam cawan petri. Media diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 24 jam. Setelah diinkubasi, jumlah koloni bakteri dihitung. Replikasi dilakukan sebanyak 3 kali. Setelah diinkubasi jumlah koloni bakteri dihitung. Untuk melihat efektivitas kemampuan kitosan dalam menghambat pertumbuhan bakteri dilakukan kontak sidik ibu jari pada media Nutrient Agar yang terdapat dalam cawan petri dengan selang waktu jam ke-0, jam ke-0,5, dan jam ke-1. Persiapan hewan coba tikus Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan galur Sprague dawley. Pengujian dengan tikus dilakukan untuk uji iritasi kulit. Tikus dengan berat badan 150-170 gram diaklimatisasi selama 7 hari. Tikus yang

9

digunakan sebanyak 9 ekor jenis kelamin jantan untuk 3 perlakuan, yaitu perlakuan dengan tisu basah kitosan, tisu komersil, dan kontrol negatif (tanpa perlakuan). Tikus tersebut dikandangkan secara individu dengan menggunakan wadah plastik dan ditutup dengan kawat untuk menutupi bagian atas kandang yang dialasi dengan sekam. Uji iritasi kulit (Drize et al. 1944 yang dimodifikasi oleh Darwis 2008) Pengujian iritasi kulit dilakukan berdasarkan metode Drize et al. (1944) yang telah dimodifikasi. Tikus dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok 1 diberi perlakuan tisu basah kitosan, kelompok 2 diberi perlakukan tisu komersial, dan kelompok 3 merupakan kontrol, dengan jumlah tiap kelompok sebanyak 3 ekor. Rambut pada punggung setiap tikus dicukur menggunakan alat pencukur pada 3 tempat berbeda, masing-masing berukuran (2x2) cm2. Tisu basah diusapkan pada kulit tikus yang telah dicukur tersebut. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam, 48 jam dan 72 jam. Pengamatan dilakukan terhadap adanya eritema dan edema. Analisis Data Analisis data yang digunakan untuk mendapatkan kesimpulan dari percobaan yang dilakukan adalah hubungan waktu tangan terpapar tisu basah dengan formulasi kitosan mikrokristalin dengan jumlah koloni bakteri yang terhitung pada media padat pada pengujian daya antiseptik. Data yang diperoleh selajutnya dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan model matematika sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ԑijk Keterangan: Yijk : nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-I faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k µ : rata-rata : pengaruh taraf ke-I faktor A αi : pengaruh taraf ke-j faktor B βj (αβ)ij : komponen interaksi dari faktor A dan faktor B ԑijk : pengaruh acak yang menyebar normal Apabila hasil analisis data menunjukkan pengaruh, maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji lanjut Duncan. Pengolahan data statistik dilakukan menggunakan software IBM-SPSS 15.0 for Windows.

10

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kitosan Mikrokristalin Kitosan mikrokristalin yang dihasilkan pada penelitian ini diperoleh melalui proses sizing larutan kitosan polimer panjang menggunakan magnetic stirrer menjadi polimer kecil dan melalui perlakuan presipitasi speris dengan NaOH 3N (Lampiran 1). Kitosan mikrokristalin yang diperoleh setelah vacuum drying berbentuk serbuk dengan warna putih kekuningan. Rendemen yang dihasilkan sebesar 51,41%. Rendemen yang diperoleh sedikit lebih besar dari penelitian Zahid (2012), yang memperoleh nilai sebesar 50%. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan kualitas kitosan mikrokristalin. Analisis proksimat yang dilakukan terdiri dari analisis kadar air, kadar abu, dan kadar nitrogen. Hasil analisis proksimat kitosan mikrokristalin disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil analisis proksimat kitosan mikrokristalin Spesifikasi Kadar air Kadar abu Kadar nitrogen Sumber: * Suptijah (2004)

Hasil uji 8,56% 2,05% 5,99%

Standar mutu kitosan* ≤ 10% ≤ 2% ≤ 5%

Tabel di atas menunjukkan bahwa kadar air kitosan mikrokristalin yang dihasilkan sebesar 8,56%. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu yaitu memiliki kadar air ≤ 10%. Kadar air yang terkandung di dalam kitosan dipengaruhi oleh proses pengeringan. Pengeringan menggunakan vacuum drying mampu mengeringkan partikel kitosan bahkan pada suhu rendah. Proses pengeringan dapat dioptimalkan dengan pengendalian panas dan tekanan. Kadar kitosan mikrokristalin yang dihasilkan sedikit lebih besar dibandingkan standar mutu kitosan komersial, demikian juga dengan kadar nitrogen. Menurut Modaso et al. (2013), tingginya kadar nitrogen disebabkan oleh adanya gugus amino (NH2) pada polimer yang mensubstitusi gugus asetil. Unsur nitrogen pada monomer kitosan merupakan gugus aktif. Kitosan mikrokristalin sebagai mikropolimer kitosan dengan pH netral berbentuk mikrokristalin dari hasil pengeringan. Kitosan mikrokristalin merupakan turunan dari kitosan yang memiliki aplikasi luas di bidang medis, tidak bersifat toksik, dan memiliki sifat adesif yang tinggi. Pengecilan ukuran partikel kitosan menyebabkan dispersi molekul kitosan lebih baik yang dapat mengefisienkan interaksi elektrostatik antara muatan positif kitosan dengan muatan negatif. Menurut Wiśniewska-Wrona et al. (2002), berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Institute of Chemical Fibres kitosan mikrokristalin diperoleh dari agregasi makromolekul dalam larutan garam.

11

Fourier Transform Infrared (FTIR) Kitosan Mikrokristalin Kitosan mikrokristalin yang diperoleh dianalisis gugus fungsionalnya menggunakan spektrum inframerah. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdeteksinya gugus fungsi OH stretch pada bilangan gelombang 3456 cm-1 dan gugus fungsi spesifik NH stretch pada bilangan gelombang 1659 cm-1. Gugus fungsi CH stretch dan amida terdeteksi pada bilangan 2878-2916 cm-1 dan 1589 cm-1. Hal ini menunjukkan munculnya gugus fungsi CH akibat terjadinya depolimerisasi rantai panjang menjadi polimer yang lebih pendek, yaitu polimer mikrokristalin. Hasil spektrum FTIR kitosan mikrokristalin disajikan pada Gambar 4.

1658.66 N-H 3456.18 O-H

2877.58 C-H

1589.23 C-C

Gambar 4 Spektrum inframerah kitosan mikrokristalin Bilangan gelombang serapan gugus spesifik kitosan murni, misal OH dan NH mengalami pergeseran pada kitosan mikrokristalin yang dihasilkan. Pelebaran spektrum pada gugus OH terjadi akibat terdapatnya interaksi yang kuat antara polimer dengan pelarut (Kumirska et al. 2010) dan terdapat gugus OH dengan konsentrasi tinggi pada sampel kitosan yang ditandai dengan tingginya kadar air kitosan mikrokristalin hasil penelitian. Menurut Kumirska et al. (2010), interaksi yang kuat antara rantai kitosan dengan pelarutnya ditandai dengan pelebaran spektrum OH, NH, dan NHCO. Karakteristik gugus fungsi kitosan mikrokristalin yang dihasilkan beserta daerah serapannya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik gugus fungsi kitosan mikrokristalin Gugus Fungsional

Bilangan gelombang (cm-1)

OH 3600-3300* CH 2900-2800* NH 1550-1650** Amida 1530-1550** Keterangan: * Nur (1989), ** Winarno et al. (1973).

Bilangan gelombang hasil penelitian (cm-1) 3456 2878 1659 1589

Kitosan mikrokristalin hasil penelitian menunjukkan terdapat serapan gugus

12

OH pada bilangan gelombang 3456 cm-1, dan kitosan murni hasil penelitian Miya et al. (1984) pada bilangan gelombang 3455 cm-1. Kitosan murni pada bilangan gelombang 2869 cm-1 memiliki serapan yang kuat yang menunjukkan adanya gugus alkana, sedangkan pada kitosan mikrokristalin terdapat pada bilangan gelombang 2878 cm-1. Perbedaan serapan bilangan gelombang kitosan murni dengan kitosan mikrokristalin diduga dipengaruhi oleh kadar air kitosan yang bebeda saat pengujian. Menurut Darmanto et al. (2011), adanya serapan pada bilangan gelombang 3700-3000 cm-1 menandakan adanya gugus OH dan NH. Adanya gugus OH didukung oleh munculnya serapan pada 1381,08 cm-1 dan 1323,21 cm-1, pada kitosan mikrokristalin hasil penelitian serapan muncul pada bilangan 1381 cm-1 dan 1327 cm-1 yang menandakan vibrasi bending OH. Serapan amida (CN) hasil penelitian Darmanto et al. (2011) terdapat pada bilangan gelombang 1624,12 cm-1 dan vibrasi stretching CH pada 2924,18 cm-1, sedangkan pada kitosan mikrokristalin serapan amida pada 1659 cm-1 dan vibrasi stretching CH pada 2916 cm-1. Gugus CH diperkuat keberadaannya dengan vibrasi bending CH pada area serapan 1500-1300 cm-1. Spektrum FTIR selain digunakan untuk penentuan gugus fungsi juga dapat digunakan untuk penghitungan derajat deasetilasi (DD) kitosan mikrokristalin dengan metode base line. DD kitosan mikrokristalin yang dihasilkan adalah 80,24%, sedangkan DD kitosan mikrokristalin yang dihasilkan oleh Zahid (2012) adalah sebesar 88,66%. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh metode pemurnian yang berbeda dimana proses evaporasi yang dilakukan pada penelitian Zahid (2012) menggunakan spray dryer, sedangkan pada penelitian ini menggunakan vacuum dryer, selain itu cara penyiapan sampel juga mempengaruhi analisis DD. Menurut Khan (2002), peningkatan suhu dan konsentrasi NaOH selama proses pembuatan dan pemurnian akan memperbanyak jumlah gugus asetil yang dapat dibuang. Hal ini akan mempengaruhi DD dan sifat kitosan. Persentase nilai DD yang lebih rendah menurut Sofia et al. (2010), dapat disebabkan oleh adanya pengotor. Menurut Jang et al. (2002), intensitas pengotor yang menandai kemurnian kitosan terdapat pada bilangan belombang 2100 cm-1. Penurunan intensitas puncak pada bilangan gelombang tersebut menandakan tingkat kemurnian kitosan yang semakin baik. Intensitas puncak pada bilangan gelombang 2100 cm-1 kitosan mikrokristalin hasil penelitian lebih besar dibanding kitosan mikrokristalin hasil penelitian Zahid (2012), hal ini menandakan kemurnian kitosan mikrokristalin hasil penelitian lebih rendah sehingga DD kitosan mikrokristalin hasil penelitian lebih rendah dari DD hasil penelitian Zahid (2012). Kitosan mikrokristalin yang dihasilkan pada penelitian ini masih tergolong baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Islam et al. (2011) yang menyatakan bahwa sulit mendapatkan kitosan dengan derajat deasetilasi 100%. Hal ini menyebabkan kitosan komersial umumnya memiliki variasi derajat deasetilasi antara 75-85%. Morfologi dan Ukuran Kitosan Mikrokristalin Morfologi dan ukuran partikel kitosan mikrokristalin dapat diamati menggunakan light microscope dan Scanning Electron Microscopy (SEM).

13

Pengamatan dilakukan pada perbesaran 40 kali dan 400 kali pada light microscope dan 50 kali dan 1000 kali pada SEM. Hasil pengamatan kitosan mikrokristalin disajikan pada Gambar 4.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 5 Hasil light microscopy (a) kitosan mikrokristalin perbesaran 40 kali (b) 400 kali (c) Scanning Electron Microscopy kitosan mikrokristalin perbesaran 50 kali (d) 1000 kali Kitosan mikrokristalin yang dihasilkan memiliki bentuk speris yang tidak sempurna. Hal ini terlihat dari bentuk bulatan mikropartikel yang tidak halus. Permukaan kitosan mikrokristalin tidak rata dan terdapat lekukan. Hal ini diduga karena proses pengeringan partikel kitosan mikrokristalin menggunakan vacuum drying. Menurut Barakat dan Almurshedi (2011), hal ini juga dapat disebabkan oleh viskositas kitosan yang tinggi pada awal proses pembuatan. Konsentrasi kitosan yang tinggi tidak menghasilkan bulatan mikropartikel yang halus karena sulit membentuk droplet dan menghasilkan ukuran yang lebih besar. Pembuatan mikropartikel pada pH cross-linking yang tinggi menghasilkan partikel yang berpori, rapuh, dan keriput. Bentuk partikel kitosan mikrokristalin serbuk hampir sama dengan kitosan serbuk hasil penelitian Picker-Freyer dan Brink (2006). Partikel kitosan yang diamati adalah kitosan food grade dengan derajat deasetilasi 85%. Mikrostruktur partikel terlihat pada perbesaran yang lebih tinggi yang tersebar pada permukaan serbuk kitosan. Ukuran partikel kitosan mikrokristalin bervariasi dengan ukuran terkecil mencapai 0,06 µm. Ukuran partikel kitosan mikrokristalin hasil penelitian Zahid (2012) berkisar antara 0,6-6 µm. Ukuran kitosan mikropartikel hasil penelitian Barakat dan Almurshedi (2011) bervariasi antara 675-887 µm. Dini et al. (2003) dalam penelitiannya memperoleh kitosan mikrosfer dengan ukuran bervariasi antara 10-100 µm, tergantung dari kondisi persiapan mikropartikel. Menurut

14

Rathod et al. (2012), proses stirring akan menurunkan ukuran partikel secara signifikan, namun dengan ukuran yang bervariasi. Ukuran partikel kitosan mikrokristalin sangat bervariasi. Hal ini diduga karena proses sizing yang belum sempurna, sehingga tidak semua partikel kitosan terpotong kecil dan seragam. Hal ini didukung oleh pernyataan Ruo (2012), yang menyatakan bahwa penggunaan proses stirring dan presipitasi akan menghasilkan morfologi partikel yang tidak seragam. Variasi ukuran partikel diduga disebabkan oleh proses evaporasi menggunakan vacuum dryer yang dapat menyebabkan semua partikel kitosan dengan berbagai ukuran dapat dikeringkan. Berbeda dengan vacuum dryer, pengeringan menggunakan spray dryer mampu mengeringkan partikel kitosan dengan ukuran yang hampir seragam. Aktivitas Antibakteri Kitosan Mikrokristalin Pengujian aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin dilakukan pada empat konsentrasi yang berbeda, yaitu 100 ppm, 250 ppm, 500 ppm, dan 750 ppm. Pemilihan konsentrasi ini berdasarkan pada Minimum Inhibitory Concentration (MIC) kitosan yaitu sebesar 288 ppm untuk Staphylococcus aureus dan 1300 ppm untuk Escherichia coli (Islam et al. 2011), selain itu penggunaan konsentrasi kitosan mikrokristalin serendah mungkin untuk menekan biaya produksi namun efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Penggunaan kitosan dengan konsentrasi tinggi namun dengan kemurnian yang rendah diduga toksik dan dapat menimbulakan reaksi iritasi. Aktivitas antibakteri diuji pada bakteri E. coli dan S. aureus. Bakteri yang digunakan merupakan bakteri yang mewakili Gram negatif dan Gram positif. E. coli merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi, termasuk cholecystis, bacteremia, cholangitis, infeksi saluran urin, dan agen penyebab transfer diare, serta berbagai infeksi klinis lainnya misal neonatal meningitis dan pneumonia (Islam et al. 2011). S. aureus merupakan bakteri Gram positif penyebab infeksi kulit antara lain jerawat, impetigo, cellulitis folliculatis, dan scalded skin syndrome. Bakteri ini menurut Cogen et al. (2008) adalah mikro flora normal pada kulit manusia. Menurut Novick (2003), bakteri ini mempengaruhi tahapan terjadinya infeksi. Diagram batang pada Gambar 5 menunjukkan bahwa kitosan mikrokristalin mampu menghambat pertumbuhan E. coli pada semua konsentrasi uji yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekeliling cakram (Lampiran 2). Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsentrasi kitosan mikrokristalin terbaik adalah sebesar 750 ppm. Hal ini terlihat dari diameter zona bening yang paling besar, yaitu 7,80 mm. Menurut Chung et al. (2004), kitosan terserap lebih banyak pada dinding sel bakteri Gram negatif. Aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin terhadap bakteri S. aureus tidak terlihat pada konsentrasi 100 ppm, namun mulai terlihat pada konsentrasi 250 ppm dan terus mengalami peningkatan dengan naiknya konsentrasi yang digunakan. Konsentrasi mikrokristalin terbaik yang diperoleh pada penelitian adalah 750 ppm yang ditandai dengan diameter zona bening terbesar, yaitu sebesar 10,34 mm. Hal ini menyebabkan konsentrasi terbaik kitosan mikrokristalin yang dipilih adalah 750 ppm. Islam et al. (2011) dalam

15

penelitiannya menunjukkan bahwa Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari kitosan terhadap bakteri S. aureus adalah 288 ppm. Salmabi dan Seema (2013) menyatakan bahwa aktivitas antibakteri kitosan pada bakteri patogen Gram positif akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi kitosan. Gambar 5 berikut menunjukkan aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin terhadap bakteri E. coli dan S. aureus. 28.0000

Diameter zona bening (mm)

30 25

22.00

20 15 10,34 10

6,45

6,70 6,35

7,72 6,80

100 ppm

250 ppm

500 ppm

7,80

5 0

0,00 750 ppm

tetrasiklin

Konsentrasi kitosan mikrokristalin

Gambar 6 Aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin terhadap bakteri ( ) Staphylococcus aureus dan ( ) Escherichia coli. Perbandingan aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin terhadap kedua bakteri uji menunjukkan bahwa kitosan mikrokristalin lebih efektif menghambat bakteri S. aureus dibanding E. coli. Hal ini terlihat dari diameter zona bening yang terukur lebih besar pada bakteri S. aureus pada konsentrasi yang sama. Hal ini sesuai dengan penelitian Islam et al. (2011), yakni pada konsentrasi kitosan yang sama, diameter zona bening yang dihasilkan pada bakteri uji S. aureus lebih besar dari bakteri E. coli. Perbedaan daya hambat kitosan dipengaruhi oleh strain bakteri, hal ini didukung oleh pernyataan Chung et al. (2004), yang menyatakan bahwa aktivitas antibakteri berbeda antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif yang diakibatkan oleh perbedaan karakteristik permukaan sel bakteri. Staphylococcus aureus merupakan jenis bakteri Gram positif. Struktur dinding sel bakteri Gram positif lebih sederhana dibanding dinding sel bakteri Gram negatif. Bakteri Gram positif tidak memiliki membran luar sehingga memudahkan senyawa antibakteri menemukan sasaran untuk bekerja (Coyle 2005). Menurut Xia et al. (2010), secara umum kitosan menunjukkan aktivitas bakteriosidal lebih tinggi pada bakteri Gram positif pada konsentrasi 0,1%. Pernyataan ini juga didukung oleh No et al. (2002), yaitu dalam penelitiannya kitosan secara umum menunjukkan aktivitas bakteriosidal yang lebih juga tinggi pada bakteri Gram positif. Aktivitas antibakteri dari kitosan secara umum dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal sendiri berkaitan dengan faktor-faktor yang terdapat pada bakteri itu sendiri yang terdiri dari strain bakteri dan umur bakteri. Faktor eksternal berkaitan dengan sifat intrinsik kitosan yang terdiri dari densitas muatan positif kitosan, bobot molekul, karakteristik hidrofilik atau hidrofobik, dan

16

kapasitas mengkelat logam. Faktor lingkungan juga mempengaruhi aktivitas antibakteri kitosan, yaitu pH, kekuatan ion, serta suhu dan waktu reaktif (Kong et al. 2010). Daya Antiseptik Antiseptik merupakan suatu substansi ketika diberikan pada mikroorganisme akan membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Reddish 1961). Pengujian daya antiseptik tisu basah polypropylene non-woven dengan zat antibakteri kitosan mikrokristalin dilakukan dengan metode replica plating yang dimodifikasi dari metode Lederberg dan Lederberg (1952). Pengujian daya antiseptik dilakukan pada tisu basah dengan konsentrasi 750 ppm, tisu basah komersial, dan kontrol negatif yang hanya dicuci dengan air kran (Lampiran 3). Perbandingan jumlah koloni bakteri hasil pengujian daya antiseptik disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan jumlah koloni hasil uji efektivitas antiseptik dengan metode replica plating Perlakuan Tisu basah kitosan mikrokristalin Tisu basah komersial Pencucian tangan menggunakan air kran

Jumlah koloni bakteri (koloni) Jam ke-0 Jam ke-0,5 Jam ke-1 21±12 1±0 0±0 26±17 3±2 1±1 41±8 5±2 1±1

Hasil pengujian statistik (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan mempengaruhi jumlah koloni bakteri pada tangan. Efektivitas tisu basah hasil penelitian dalam mereduksi jumlah mikroba tidak berbeda nyata dengan tisu basah komersial, namun terdapat perbedaan signifikan dengan kontrol negatif. Hasil pengujian juga menunjukkan kemampuan tisu basah komersial dalam mereduksi mikroba tidak memberikan perbedaan yang signifikan dengan kontrol negatif. Perbedaan waktu pengujian untuk perhitungan jumlah koloni bakteri dilakukan pada selang waktu yang berbeda, yaitu sesaat setelah diberi perlakuan (jam ke-0), 30 menit setelah diberi perlakuan (jam ke-0,5), dan 60 menit setelah diberi perlakuan (jam ke-1). Hal ini dilakukan untuk mengetahui perlakukan yang diberikan yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan yang mampu menurunkan jumlah bakteri lebih cepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa satu jam setelah pemberian perlakukan tisu basah dengan konsentrasi kitosan mikrokristalin sebesar 750 ppm, tisu basah mampu menurunkan jumlah mikroba pada tangan hingga 0 koloni, sedangkan tisu basah komersial dan pencucian tangan dengan air kran hingga 1 koloni. Menurut Jeihanpour et al. (2007), kitosan dengan konsentrasi kurang dari 100 ppm mampu mereduksi jumlah mikroba lebih dari 99% dari jumlah mikroba awal. Fungal kitosan yang merupakan kitosan yang diekstraksi dari dinding sel Rhizopus oryzae mampu mereduksi 60% koloni mikroba yang terlihat pada konsentrasi 200 ppm. Kitosan lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri dalam bentuk larutan kitosan. Mekanisme kitosan sebagai antibakteri hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Salah satu dugaan bahwa ion kitosan seakan lekat

17

dengan muatan ion dari polisakarida dinding sel bakteri sehingga menyebabkan dinding sel bakteri bocor dan lisis. Hal ini menyebabkan bakteri menjadi inaktif dan mati. Menurut Kong et al. (2010), kitosan memiliki struktur polikationik yang merupakan syarat awal adanya aktivitas antibakteri. Ketika pH lingkungan di bawah pKa kitosan akan terjadi interaksi elektrostatik antara struktur polikationik kitosan dan struktur anionik dominan dari permukaan mikroorganisme. Semakin meningkat densitas muatan positif kitosan maka sifat antibakteri dari kitosan akan meningkat pula. Jumlah gugus amino pada kitosan juga berperan penting pada interaksi elektrostatik. Menurut Balicka-Ramisz et al. (2005), kitosan memiliki kelompok amino kation yang akan berikatan dengan komponen negatif bakteri seperti asam N-asetilmuramik, asam sialik, dan asam neuraminik yang ada pada permukaan sel. Hal ini akan menekan pertubuhan bakteri dengan cara mengkelat perpindahan ion dan menghambat kerja enzim. Iritasi Kulit Pengujian toksisitas dermal iritasi kulit sebagai pengujian untuk menentukan tingkat iritasi dari suatu substansi, dalam penelitian ini yaitu tisu basah berbasis kitosan mikrokristalin. Evaluasi iritasi dermal secara luas diperiksa menggunakan uji Draize (Balls et al. 1983). Pengujian iritasi dilakukan pada hewan coba tikus putih dengan galur Sprague Dawley. Pengamatan pada kulit tikus dilakukan selama 72 jam dengan selang waktu pengamatan 24 jam. Evaluasi iritasi dilakukan berdasarkan skor eritema dan edema yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Taraf penilaian kondisi kulit hewan coba Reaksi Eritema Edema Tidak terdapat eritema Tidak terdapat edema Terdapat sedikit eritema Terdapat sangat kecil edema Eritema dapat terlihat dengan Edema kecil (area pembengkakan baik terlihat dengan baik) 3 Eritema sangat terlihat Pembengkakan mencapai 1 mm 4 Eritema parah, kemerahan, pembengkakan lebih dari 1 mm, terbentuk sedikit eschar meluas di luar derah uji Sumber: Balls et al. (1983). Derajat iritasi 0 1 2

Pengujian iritasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah Irritant Contact Dermatitis (ICD), yaitu reaksi inflamasi lokal setelah terpapar sekali atau beberapa kali iritan, yang merupakan agen yang memproduksi toksik langsung ke sel-sel kulit. Reaksi ICD tidak dipengaruhi oleh sistem imun (non-imunologik) (Maibach dan Ale 2004). Hasil pengujian menunjukkan derajat iritasi adalah 0 pada semua selang waktu pengamatan. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 5.

18

Tabel 5 Hasil uji derajat iritasi tisu basah Perlakuan

24 jam

Derajat iritasi 48 jam

72 jam

Tisu basah kitosan mikrokristalin Derajat iritasi 0

Derajat iritasi 0

Derajat iritasi 0

Derajat iritasi 0

Derajat iritasi 0

Derajat iritasi 0

Derajat iritasi 0

Derajat iritasi 0

Derajat iritasi 0

Tisu basah komersial

Tanpa perlakuan (kontrol negatif)

Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat reaksi eritema dan edema pada kulit tikus yang terpapar kitosan mikrokristalin pada kain polypropylene nonwoven. Hasil pengujian iritasi berbeda-beda tergantung pada substansi yang diujikan, konsentrasi substansi, dan lama waktu kontak dengan kulit (Balls et al. 1983). Hasil yang diperoleh sama dengan penelitian WrześniewskaTosik et al. (2008), yakni benang keratin yang mengandung kitosan tidak menimbulkan iritasi pada kulit hewan coba. Tisu basah pada penelitian ini berbahan dasar kitosan mikrokristalin dan kain polypropylene non-woven. Tisu basah merupakan salah satu jenis modern dressing yang memiliki daya antiseptik dan tidak menimbulkan reaksi iritasi dalam penggunaannya. Menurut Wrześniewska-Tosik et al. (2008), modern dressing harus terbuat dari material biokomposit dan memiliki karakteristik biologi yaitu tidak bersifat sitotoksik, dan tidak menimbulkan reaksi iritasi dan alergi. Bagian dorsal dan lateral tangan dan jari merupakan bagian tubuh yang paling sering kontak dengan iritan. Lapisan stratum corneum yang tebal memberikan perlindungan yang lebih baik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi iritasi kulit, diantaranya ukuran molekul iritan, ionisasi, polarisasi, kelarutan lemak, dan faktor lain yang berkaitan dengan penetrasi kulit. Dosis iritan yang terserap kulit juga bervariasi. Semakin lama waktu paparan dan semakin banyak volume iritan akan meningkatkan penetrasi iritan ke dalam kulit sehingga memberikan respon iritasi yang lebih besar. Jika terjadi paparan yang berulang, pemulihan dari paparan sebelumnya mempengaruhi respon selanjutnya.

19

Lingkungan juga mempengaruhi reaksi iritasi. Kelembaban lingkungan yang rendah akan meningkatkan respon terhadap iritan, terutama pada musim dingin. Hal ini disebabkan oleh rendahnya laju evaporasi yang menyebabkan lapisan stratum corneum menjadi lebih permeabel (Weltfriend et al. 2004). Mekanisme toksikan masuk ke dalam tubuh berbeda-beda berdasarkan jenis toksikan dan bagian tubuh yang terpapar toksikan. Salah satu bagian tubuh yang dapat terpapar toksikan adalah kulit. Kulit memiliki pelindung utama dari toksikan berupa lapisan stratum corneum atau lapisan tanduk. Permeabilitas kulit tergantung pada ketebalan dari lapisan ini yang bervariasi pada bagian tubuh. Toksikan dapat masuk melalui sel epidermis atau folikel rambut, namun kebanyakan toksikan akan masuk melalui sel epidermis kulit (Manahan 2003). Menurut Sulistyani et al. (2010), iritan yang bersifat toksik akan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tisu basah polypropylene non-woven yang diformulasikan dengan kitosan mikrokristalin berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai produk komersial. Kitosan mikrokristalin yang digunakan memiliki DD sebesar 80,24% dengan ukuran yang bervariasi. Aktivitas antibakteri kitosan mikrokristalin terbaik pada bakteri uji E. coli dan S. aureus secara in vitro yaitu pada konsentrasi 750 ppm dan digunakan sebagai konsentrasi terbaik untuk tisu basah. Efektifitas daya antiseptik tisu basah kitosan mikrokristalin tidak berbeda nyata dengan tisu basah komersial, namun menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kontrol negatif. Tisu basah kitosan mikrokristalin tidak menimbulkan reaksi iritasi pada kulit tikus putih galur Sprague Dawley sehingga dapat digunakan secara berulang. Saran Saran yang dapat diajukan dari penelitian ini yaitu diperlukannya penelitian lebih lanjut mengenai dampak penggunaan tisu basah polypropylene non-woven secara in vivo berupa pengujian Allergic Contact Dermatitis (ACD) baik pada kulit hewan coba maupun pada kulit manusia, serta penentuan daya antiseptik dengan metode yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia (US): Association of Official Analytical Chemist, Inc. [APUA] Alliance for the Prudent Use of Antibiotics. 2011. Triclosan. www.apua.org, dapat diakses di www.tufts.edu/med/apua [3 Juni 2014] AlGhamdi K, AlHomoudi FA, Khurram H. 2013. Skin care: historical and contemporary views. Study Pharmaceutical Journal. In press. Balicka-Ramisz A, Wojtasz-Pajak, Pilarczyka B, Ramisz A, Laurans L. 2005. Antibacterial and antifungal activity of chitosan. ISAH. 2: 406-408. Balls M, Riddell RJ, Worden AN. 1983. Animals and Alternatives in Toxicity Testing. Florida (US): Academic Press Inc. Barakat NS, Almurshedi AS. 2011. Preparation and characterization of chitosan microparticles for oral sustained delivery of gliclazide: in vitro/in vivo evaluation. Drug Development Researchs. 72(2011): 235-246. Cimiotti JP, Marmur ES, Nedin M, Hamlin-Cook P, Larson EL. 2003. Adverse reaction associated with an alcohol-based hand antiseptic among nurses in a neonatal intensive care unit. American Journal of Infection Control. 31(1): 43-48. Chung Y, Su Y, Chen C, Jia G, Wang H, Wu JCG, Lin J. 2004. Relationship between antibacterial activity of chitosan and surface characteristics of cell wall. Acta Pharmacol Sin. 25(7): 932-936. Cogen AJ, Nizet V, Gallo RL. 2008. Skin microbiota: a source of disease or defence?. Brit. J. Dermatol. 158: 442–455. Coyle MB. 2005. Manual of Antimicrobial Susceptibility Testing. Seattle (US): American Society for Microbiology. Darmanto M, Atmaja L, Nadjib M. 2011. Studi analisis antibakteri dari film gelatin-kitosan menggunakan Staphylococcus aureus. Prosiding Skripsi Semester Genap 2010/2011 SK-091304. Darwis D. 2008. Uji praklinis pembalut luka hidrogel berbasis PVP steril iradiasi menggunakan tikus putih: evaluasi iritasi kulit dan sensitisasi. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan radiasi. 4(1): 51-59. Dini E, Alexandridou S, Kiparissides C. 2003. Synthesis and characterization of cross-linked chitosan microspheres for drug delivery applications. Journal of Microencapsulation. 20(3): 375-385. Domsay T M, Robert. 1985. Evaluation of infra red spectroscopic techniques for analyzing chitosan. Macromol Chemistry and Physics 186: 1671. Dutta PK, Dutta J, Tripathi VS. 2004. Chitin and chitosan: chemistry, properties and applications. Journal of Scientific & Industrial Research. 63: 20-31.

21

[EPA] Environmental Protection Agency. 1998. methylisothiazolinone. EPA-738F-98-008, dapat diakses di www.epa.gov Fares MM, Al-Ta’ani B. 2003. Graft copolymerizarion onto chitosan-I grafting of ethylmethacrylate using ceric ammonium nitrate as an initiator. Acta Chimica Slovenica. 2003(50): 275-285. Hogenova HT, Stepankova R, Hudcovic T, Tuckova L, Cukrowska B, Zadnikova RL, Kozakova H, Rossmann P, Bartova J, Sokol D, Funda DP, Borovska D, Rehakova Z, Sinkora J, Hofman J, Drastich P, Kokesova A. 2004. Commensal bacteria (normal microflora), mucosal immunity and chronic inflammatory and autoimmune diseases. Immunology Letters 93(2004): 97-108. Islam MM, Masum S, Mahbub KR, Haque MZ. 2011. Antibacterial activity of crab-chitosan against Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Journal of Advanced Research 2(4): 63-66. Islam MM, Masum S, Mahbub KR. 2011. Invitro antibacterial activity of shrimp chitosan against Salmonella paratyphi and Staphylococcus sureus. Journal of Bangladesh Chemical Society. 24(2): 185-190. Jang MK, Jeong YI, Cho CS, Yang SH, Kang YE, Nah JW. 2002. The preparation and characterization of low molecular and water soluble free-amine chitosan. Bulletin of the Korean Chemical Society. 23(6): 914-916. Jeihanpour A, Karimi K, Taherzadeh MJ. 2007. Antimicrobial properties of fungal chitosan. Research Journal of Biological Sciences. 2(3): 239-243. Khan TA. 2002. Reporting degree of deacetylation values of chitosan: the influence of analytical methods. Journal of Pharmaceutical Science. 5(3): 205-212. Kalut SAK. 2008. Enhancement of degree of deacetilation of chitin in chitosan production [thesis]. Malaysia (MY): Universiti Malaysia Pahang. Kampf G, Kramer A. 2004. Epidemiologic background of hand hygiene and evaluation of the most important agents for scrubs and rubs. Clinical Microbiology 17(4): 863-893. Kong M, Chen XG, Xing K, Park HJ. 2010. Antimicrobial properties of chitosan and mode of action: a state of the art review. International Journal of Food Microbiology. 144(2010): 51-63. Kumirska J, Czerwicka M, Kaczynski Z, Bychowska A, Brzozowski K, Thoming J, Stepnowski P. 2010. Application of spectroscopic methods for structural analysis of chitin and chitosan. Marine Drugs. 2010(8): 1567-1636. Lalitha MK. 2004. Manual an Antimicrobial Suspectibility Tamil Nadu (IN): Indian Association of Medical Microbiologist.

Testing.

Lederberg J, Lederberg EM. 1952. Replica plating and indirect selection of bacterial mutants. Journal of Bacteriology. 63: 399-406.

22

Lin S, Huff HF, Hsieh F. 2002. Extruction process parameter, sensory characteristics and structural properties of a high moisture soy protein meat analog. Journal of Food Science. 67: 1066-1072. Maibach HI dan Ale IS. 2004. Dermatotoxicology 6th Edition, Zhai H dan Maibach HI, editor. Washington DC (US): CRC Press LLC. Manahan SE. 2003. Toxicological Chemistry and Biochemistry 3rd edition. Washington DC (US): CRC Press LLC. Miya M, Iwamoto R, Mima S. 1984. FT-IR study of intermolecular interactions in polymer blends. Journal of Polymer Science Part B Polymer Physics. 22:1149-1151. Modaso R, Surtanto E, Tallei T, Rumengan IFM. 2013. The yield, nitrogen content, and dye’s binding capacity of chitin and chitosan of rotifer Brachionus rotundiformis. Aquatic Science & Management. Edisi Khusus Mei 2013(1): 99-106. No HK, Park NY, Lee SH, Meyers SP. 2002. Antibacterial activity of chitosan and chitosan oligomers with different molecular weights. International Journal of Food Microbiology. 74(2002): 65-72. Novick RP. 2003. Autoinduction and signal transduction in the regulation of staphylococcal virulence. Molecular Microbiology. 48(6): 1429–1449. Nuarany F, Rizal S, Yudiantoro. 2008. Pengaruh konsentrasi kitosan terhadap aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar (sumur). Jurnal Teknologi Industri dan hasil Pertanian. 13(2): 117-125. Nur MA. 1989. Spektroskopi. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Pighinelli L, Kucharska M. 2013. Properties of microcrystalline chitosan-calcium phosphate complex composite. Journal of Biomaterial and Nanobiotechnology. 2013(4): 20-29. Picker-Freyer KM, Brink D. 2006. Evaluation of powder and tabletting properties of chitosan. AAPS PharmSciTech. 7(3): E1-E10. Rahman MA. 2012. Kitosan sebagai bahan antibakteri alternative dalam formulasi gel pembersih tangan (hand sanitizer) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rathod UC, Patel AK, Shah DA. 2012. Statistical evaluation and optimization of influence of strirring speed and polymer concentration on hollow microspheres of diltiazem HCl. Der Pharmacia Lettre. 4(3): 972-978. Reddish GF. 1961. Antiseptics, Desinfectants, Fungicides, and Chemical and Physical Sterilization, Reddish GF, editor. Philadelphia (US): Lea & Febinger. Ruo L. 2012. Chitosan particles for the controlled release of proteins [dissertation]. Torino (IT): Politecnico di Torino. Salmabi KA, Seema PN. 2013. Antibacterial potential of chitosan on pathogenic Gram positive cocci. Advanced BioTech 12(101): 10-13.

23

Sickbert-Bennett EE, Webber DJ, Gergen-Teague MF, Sobsey MB, Samson GP, Rutala W. 2005. Comparative efficacy of hand hygiene agents in the reduction of bacteria and viruses. American Journal of Infection Control. 33(2): 67-77. Sofia I, Pirman, Haris Z. 2010. Karakterisasi fisiokimia dan fungsional kitosan yang diperoleh dari limbanh cangkang udang windu. Jurnal Teknik Kimia. 9(1): 11-18. Sulistyani, Indriani F, Kariosentono H. 2010. Pengaruh riwayat atopic terhadap timbulnya dermatitis kontak iritan di perusahaan batik Putra Laweyan Surakarta. Biomedika. 22(2): 42-47. Suptijah P. 2004. Tingkatan kualitas kitosan hasil modifikasi proses produksi. Buletin Teknologi Hasil Perairan. 7(1): 56-67. Winarno FG, Fardiaz D, Fardiaz S. 1973. Spektroskopi. Bogor (ID): FATETA IPB. Wiśniewska-Wrona M, Niekraszewicz A, Struszczyk H, Guzińska K. 2002. Estimation of polymer composition containing chitosan for veterinary applications. Fibres & Textiles in Eastern Europe. July/September 2002. Weltfriend S, Ramon M, Maibach H. 2004. Dermatotoxicology 6th Edition, Zhai H dan Maibach HI, editor. Washington DC (US): CRC Press LLC. Wrześniewska-Tosik K, Kucharska M, Wawro D. 2008. Fibrous keratincontaining composite. Fibres & Textile in Eastern Europe 16(6): 113-116. Xia W, Liu P, Chen J. 2010. Biological activities of chitosan and chitooligosaccharides. Food Hydrocolloids. 2010(xxx): 1-10. Zahid A. 2012. Uji efektivitas kitosan mikrokristalin sebagai alternatif zat antibakteri alami dalam moutwash [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

24

LAMPIRAN Lampiran 1 Dokumentasi pembuatan kitosan mikrokristalin

(a) Persiapan

(c) Penambahan akuades

(b) Pelarutan kitosan serbuk

(d) Sizing

(e) Presipitasi Lampiran 2 Dokumentasi uji aktivitas antibakteri

(a) Escherichia coli

(b) Staphylococcus aureus

25

Lampiran 3 Dokumentasi uji daya antiseptik 750 ppm

750 ppm

(a) jam ke-0

750 ppm

(b) jam ke-0,5

Komersial

(c) jam ke-1

Komersial

Komersial

(a) jam ke-0

(b) jam ke-0,5

(c) jam ke-1

Kontrol (-)

Kontrol (-)

(a) jam ke-0

Kontrol (-)

(b) jam ke-0,5

(c) jam ke-1

Lampiran 4 Hasil analisis statistik uji daya antiseptik dengan metode replica plating ANOVA Sumber Model yang dikoreksi Intersep Faktor_A Faktor_B Faktor_A * Faktor_B Error Total Total yang dikoreksi

Jumlah kuadrat tipe III

Rerata kuadrat

df

F

Sig.

5337.852(a) 3223.148 325.630

8 1 2

667.231 3223.148 162.815

11.986 57.901 2.925

.000 .000 .079

4651.852

2

2325.926

41.783

.000

360.370

4

90.093

1.618

.213

1002.000 9563.000

18 27

55.667

6339.852

26

26

Uji lanjut Duncan Jumlah_koloni Duncan N Konsentrasi 750 ppm Komersial Kontrol negatif Sig.

Subset

1 9 9 9

2 7.4444 9.6667

1 9.6667 15.6667

.535 Rerata kelompok dalam subset homogeny ditampilkan. Berdasarkan jumlah kuadrat Tipe III Istilah kesalah adalah rerata kuadrat (Error) = 55.667. a Menggunakan rerata ukuran contoh harmoni = 9.000. b Alpha = .05.

.105

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat pada tanggal 19 Maret 1992. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Mardenis dan Murniza Darimi. Penulis menempuh pendidikan pertama di TK Mahhad Islami tahun 1997. Penulis melanjutkan pendidikan formal di SDN 12 Parit Rantang, Kota Payakumbuh pada tahun 1998 hingga tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Kota Payakumbuh dan lulus pada tahun 2007. Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis di SMAN 1 Kota Payakumbuh dan lulus pada tahun 2010. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama perkuliahan, penulis aktif berorganisasi di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan sebagai staff Departemen Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa (Advokemah) pada periode tahun 2011-2012 dan sebagai sekretaris Departemen Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa (Adovokemah) pada periode tahun 20122013. Selama perkuliahan, penulis juga aktif di beberapa kepanitian yang dilaksanakan di fakultas. Penulis juga berperan aktif sebagai asisten praktikum matakuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan I (2013/2014), matakuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan II (2013/2014), Teknologi Pengembangan Kitin dan Kitosan (2013/2014) dan Pengujian Bahan Baku Hasil Perairan (2013/2014). Penulis melakukan praktik lapangan dan menyelesaikan laporan yang berjudul “Sanitasi dan Higiene pada Proses Pembekuan Udang Vanamei di PT Indokom Samudra Persada, Bandar Lampung-Lampung” Penulis menyusun skripsi dengan judul “Aplikasi Polimer Alami Kitosan Mikrokristalin pada Wet Polypropylene Non-Woven sebagai Tisu Basah” dibimbing oleh Dr Dra Pipih Suptijah MBA dan Dr Ir Agoes Mardiono Jacoeb Dipl –Biol.