BAB 4 SOSIAL BUDAYA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA
Pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama diarahkan pada pencapaian sasaran pokok, yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab, serta bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera yang, antara lain, ditunjukkan oleh meningkatnya kualitas sumber daya manusia (SDM), termasuk peran perempuan dalam pembangunan. Pencapaian sasaran pokok tersebut dilakukan melalui pembangunan manusia seutuhnya baik laki-laki maupun perempuan yang meliputi manusia sebagai insan dan sumber daya pembangunan. Pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama mencakup bidang kependudukan dan KB, kesehatan dan gizi, pendidikan, pemuda dan olahraga, kehidupan beragama, kebudayaan, pelayanan kesejahteraan sosial, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang merupakan rangkaian upaya kunci peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. Sampai dengan tahun kedua pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama telah berhasil meningkatkan kualitas SDM Indonesia yang antara lain ditandai dengan membaiknya derajat kesehatan dan taraf pendidikan penduduk yang didukung oleh meningkatnya ketersediaan dan kualitas pelayanan sosial dasar bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara komposit, peningkatan kualitas SDM ditandai oleh makin
membaiknya indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI) yang merupakan indikator komposit status kesehatan yang dilihat dari angka harapan hidup saat lahir, taraf pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf penduduk dewasa dan gabungan angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar, menengah, tinggi. Human Development Report (HDR) tahun 2010 dengan metode perhitungan baru mengungkapkan IPM Indonesia telah mencapai 0,600 dengan peningkatan peringkat Indonesia menjadi 108 dari 169 negara. TABEL 4.1 PERKEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA TAHUN 2000-2010 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2007
2010*
0,684
0,682
0,692
0,697
0,711
0,728
0,734
0,600
ke
110
112
111
110
108
107
111
108
dari
173 negara
175 negara
177 negara
177 negara
177 negara
177 negara
182 negara
169 negara
IPM
Peringkat
Sumber Catatan
Tahun
: Human Development Report (HDR) yang diterbitkan United Nations Development Programme (UNDP) 2000-2010 :*Human Development Index (HDI) 2010 dihitung dengan menggunakan metode baru.
Selain itu, peningkatan derajat kesehatan dan tingkat pendidikan penduduk Indonesia juga berkontribusi pada semakin membaiknya daya saing Indonesia di tingkat internasional. Pada tahun tahun 2005, daya saing Indonesia berada pada urutan ke 69 dan pada tahun 2010 meningkat menjadi urutan ke 44 (The Global Competitiveness Report 2009-2010). 4.1.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Kependudukan dan KB. Dalam pelaksanaan pembangunan kependudukan dan keluarga berencana, masih terdapat beberapa 4-2
permasalahan, yaitu masih besarnya pertambahan jumlah penduduk secara absolut, walaupun laju pertumbuhan penduduk cenderung menurun. Berdasarkan Sensus Penduduk (SP), dalam periode 10 tahun (2000-2010), jumlah penduduk Indonesia secara absolut meningkat sebanyak 32,5 juta jiwa, yaitu dari sebanyak 205,8 juta jiwa (SP 2000) menjadi sebanyak 237,6 juta jiwa (SP 2010). Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan penduduk (LPP) Indonesia telah menurun dari sebesar 1,97 persen (1980-1990) menjadi sebesar 1,45 persen (1990-2000). Namun, pada periode 10 tahun terakhir, terjadi peningkatan LPP menjadi sebesar 1,49 persen. Hal tersebut disebabkan pada permasalahan masih tingginya angka kelahiran total/total fertility rate (TFR), dengan disparitas yang tinggi antarprovinsi, antarwilayah desa-kota, serta antarkelompok sosial ekonomi. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 setelah dikoreksi mencatat bahwa penurunan TFR tidak signifikan selama 5 tahun priode survei, yaitu antara tahun 2002/2003–2007. TFR mengalami penurunan dari sebesar 2,4 menjadi hanya sebesar 2,3 anak per perempuan usia reproduksi. Data TFR perprovinsi juga menunjukkan bahwa TFR yang tertinggi masih sebesar 3,7 anak per perempuan usia reproduksi, terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Maluku, sementara yang terendah telah mencapai 1,5 anak per perempuan usia reproduksi, terdapat di Provinsi D.I. Jogjakarta. Selain itu, TFR juga cenderung lebih tinggi pada kelompok miskin dan pada wilayah perdesaan. Sementara itu, kesulitan dalam menurunkan TFR disebabkan oleh antara lain masih rendah dan tidak signifikannya kenaikan angka pemakaian kontrasepsi/contraceptive prevalence rate (CPR) cara modern, dan masih terdapat disparitas antarprovinsi, wilayah dan tingkat kesejahteraan. Hasil SDKI 2007 juga mencatat bahwa kenaikan CPR cara modern dibandingkan SDKI 2002/2003 hanya sebesar 0,7 persen, yaitu dari sebesar 56,7 persen menjadi 57,4 persen. Data CPR perprovinsi menunjukkan bahwa CPR tertinggi terdapat di Provinsi Bengkulu, yaitu sebesar 70,4 persen; dan yang terendah di Provinsi Papua, yaitu sebesar 24,5 persen. Kesulitan 4-3
meningkatkan CPR tersebut antara lain disebabkan oleh masih kurang efektifnya pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang/MKJP seperti intrauterine device/IUD, implant, metode operasi wanita (MOW), dan metode operasi pria (MOP); masih tingginya angka drop-out akibat kegagalan dan komplikasi dalam pemakaian alat kontrasepsi jangka pendek yang sebagian besar akseptor menggunakannya; serta masih rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB. Permasalahan lain yang turut menghambat pencapaian upaya pengendalian kuantitas penduduk adalah masih tingginya kebutuhan ber-KB yang tidak/belum terpenuhi (unmet need), dengan disparitas unmet need yang tinggi baik antarprovinsi, antarwilayah desa-kota, serta antarkelompok sosial ekonomi. Selama 5 tahun periode SDKI, yaitu antara tahun 2002/2003-2007, unmet need cenderung mengalami peningkatan, yaitu dari sebesar 8,6 persen menjadi 9,1 persen. Unmet need yang terendah telah mencapai sebesar 3,2 persen di Provinsi Bangka Belitung, dan yang tertinggi masih sebesar 22,4 persen di Provinsi Maluku. Unmet need juga cenderung lebih tinggi pada kelompok miskin, pada wilayah perdesaan, dan daerah-daerah yang sulit dijangkau. Di samping itu, masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran remaja dan pasangan usia subur tentang KB dan kesehatan reproduksi; belum optimalnya pembinaan dan kemandirian peserta KB; masih terbatasnya kapasitas tenaga lini lapangan KB, serta lemahnya kelembagaan KB pasca desentraliasasi merupakan kendala yang berarti dalam pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk. Selanjutnya, berkenaan dengan administrasi kependudukan sebagai salah satu sumber data dan informasi kependudukan, sampai saat ini data registrasi belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena (i) masih terbatasnya cakupan daerah dalam penerapan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) on-line untuk pelayanan publik, (ii) belum tersambungnya jaringan komunikasi data secara on-line dari kab/kota, provinsi, dan pusat, (iii) terbatasnya SDM di tingkat pusat dan daerah dalam pengelolaan SIAK, (iv) masih terdapatnya peraturan daerah (Perda) yang 4-4
mengatur tentang pelaksanaan pelayanan administrasi kependudukan di daerah yang tidak berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan; (v) kurangnya harmonisasi peraturan antarsektor dalam pemanfaatan dokumen kependudukan terkait dengan sertifikasi tanah, perizinan usaha dan lain-lain sehingga menyebabkan adanya dokumen penduduk ganda (KTP ganda/palsu); (vi) belum adanya aturan yang mengatur standar kompetensi dan jenjang karir SDM yang berkaitan dengan pengelolaan dan perencanaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Sistem Administrasi Kependudukan, (vii) masih terbatasnya dukungan pemerintah daerah dalam penerapan SIAK, dan (viii) masih rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan tertib administrasi kependudukan, karena keterbatasan informasi yang diterima. Sementara itu, permasalahan lain dalam rangka mendukung pembangunan kependudukan dan KB adalah masih belum sinergisnya penyerasian kebijakan pengendalian penduduk dan masih terbatasnya ketersediaan dan kualitas data dan informasi kependudukan. Hal ini ditandai dengan masih belum konsistennya kebijakan kependudukan yang terkait dengan kuantitas, kualitas, dan mobilitas, baik secara vertikal maupun horizontal; serta masih terdapatnya kebijakan pembangunan bidang lainnya yang kurang mendukung kebijakan pengendalian kuantitas penduduk. Demikian halnya dengan dukungan data dan informasi bagi pembangunan kependudukan dan KB, terutama masalah persebaran dan/atau peristiwa penting yang dialami penduduk secara individu, seperti perpindahan, kelahiran, kematian, dan sebagainya. Kesehatan. Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan sepanjang periode 2009-2010 telah berhasil meningkatkan status kesehatan masyarakat dengan cukup bermakna. Namun, dalam pelaksanaannya ditemukan beragam permasalahan dalam peningkatan status kesehatan, antara lain mencakup: masih tingginya angka kematian ibu dan anak, masih tingginya prevalensi kasus penyakit menular dan tidak menular, sumber daya manusia kesehatan masih terbatas, masih terbatasnya 4-5
ketersediaan obat serta pengawasan obat dan makanan, pembiayaan kesehatan untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan masyarakat masih terbatas, masih rendahnya pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan, masih rendahnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas, belum efektifnya manajemen pembangunan kesehatan, termasuk dalam pengelolaan administrasi, hukum, dan penelitian pengembangan kesehatan, masih lebarnya kesenjangan status kesehatan dan gizi masyarakat antarwilayah dan antartingkat sosial ekonomi, masalah kesehatan akibat bencana serta berjangkitnya berbagai penyakit yang berpotensi wabah seperti penyakit malaria, DBD, dan gizi buruk, dan masalah global yang mempengaruhi kesehatan seperti perubahan iklim dan ketersediaan pangan. Permasalahan tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya tantangan di bidang kesehatan, diantaranya (1) peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang berpengaruh pada ketersediaan pangan, peningkatan usia lanjut serta kemiskinan; (2) semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu; (3) semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap haknya dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, sehingga ke depan masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum/gugatan masyarakat akan semakin meningkat; (4) timbulnya penyakitpenyakit baru yang diakibatkan oleh virus; serta (5) pemberdayaan dan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat dan kerjasama lintas sektor yang masih perlu lebih ditingkatkan. Pendidikan. Pembangunan pendidikan yang telah dilaksanakan sampai saat ini telah berhasil meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia yang antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata lama sekolah pada tahun 2010 yang mencapai 7,92 tahun. Keberhasilan pembangunan pendidikan masih menyisakan tantangan yang ditunjukkan masih rendahnya IPM. Merujuk Human Development Report (HDR) tahun 2010, IPM Indonesia mengalami peningkatan posisi 111 dari 182 negara pada tahun 2007 menjadi peringkat 108 dari 169 negara pada tahun 2008. Di samping itu, masih rendahnya kualitas SDM berdampak pada daya saing 4-6
(competitiveness) Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari 139 negara yang diukur, peringkat daya saing Indonesia mengalami peningkatan dari peringkat ke-54 pada tahun 2009 menjadi peringkat ke-44 pada tahun 2010. Meskipun demikian, peringkat ini termasuk lebih rendah di kalangan negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura (peringkat 3), Malaysia (peringkat 26), dan Thailand (peringkat 38). Beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam pembangunan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut: (1) masih terbatasnya kesempatan memperoleh pendidikan; (2) rendahnya kualitas, relevansi, dan masih rendahnya daya saing pendidikan; (3) masih rendahnya profesionalisme guru dan belum meratanya distribusi guru; (4) terbatasnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan; (5) belum efektifnya manajemen dan tatakelola pendidikan; dan (6) belum terwujudnya pembiayaan pendidikan yang berkeadilan; serta rendahnya budaya baca masyarakat karena masih dominannya budaya lisan di masyarakat dan minimnya ketersediaan sumber bacaan dalam pemenuhan kebutuhan informasi dan ilmu pengetahuan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tantangan yang harus dihadapi pada tahun 2011 dalam menyelesaikan permasalahan akses dan kualitas pendidikan adalah (1) meningkatkan pemerataan akses terhadap pendidikan semua jenjang, termasuk akses terhadap pendidikan agama dan pendidikan keagamaan; (2) meningkatkan tingkat keberaksaraan; (3) meningkatkan kesiapan anak bersekolah; (4) meningkatkan kemampuan kognitif, karakter, dan soft-skill lulusan; (5) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan menengah; (6) meningkatkan kualitas, relevansi dan daya saing pendidikan tinggi termasuk kualitas penelitiannya; dan (6) meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Selanjutnya, tantangan pembangunan pendidikan terkait masalah ketenagaan, sarana dan prasarana adalah (1) meningkatkan pemerataan distribusi guru; (2) meningkatkan kualifikasi akademik dan profesionalisme guru; (3) mempercepat penuntasan rehabilitasi 4-7
gedung sekolah dan ruang kelas yang rusak; (4) meningkatkan ketersediaan buku mata pelajaran; (5) meningkatkan ketersediaan dan kualitas laboratorium dan perpustakaan; dan (6) meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan. Adapun tantangan yang harus dijawab dalam mewujudkan manajemen, tatakelola, serta pembiayaan pendidikan yang berkeadilan antara lain (1) meningkatkan manajemen, tatakelola, dan kapasitas lembaga penyelenggara pendidikan; (2) mendorong otonomi perguruan tinggi; (3) meningkatkan kemitraan publik dan swasta; (4) mewujudkan alokasi dan mekanisme penyaluran dana yang efisien, efektif, dan akuntabel; dan (5) menyelenggarakan pendidikan dasar bermutu yang terjangkau bagi semua. Pemuda dan Olahraga. Pada tahun 2010 sampai pertengahan tahun 2011, pembangunan pemuda masih dihadapkan pada permasalahan penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan pemuda. Beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam penyadaran pemuda antara lain (1) belum optimalnya semangat nasionalisme dan rasa cinta tanah air; (2) masih terbatasnya peran serta pemuda sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan; (3) masih terjadinya masalah-masalah sosial seperti kriminalitas, premanisme, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), serta penularan HIV dan AIDS; dan (4) masih terbatasnya kepedulian pemuda terhadap lingkungan dan masyarakat. Selanjutnya permasalahan yang masih dihadapi dalam pemberdayaan pemuda antara lain (1) belum optimalnya pemberian fasilitasi kepada pemuda untuk memperoleh serta meningkatkan kapasitas, kompetensi, kreativitas, dan keterampilan; (2) rendahnya kualitas pemuda yang ditandai oleh angka partisipasi pemuda dalam pendidikan dan tingkat kelulusan pemuda; dan (3) masih tingginya tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda. Adapun permasalahan yang masih dihadapi dalam pengembangan pemuda antara lain: (1) masih rendahnya tingkat partisipasi pemuda dalam organisasi kepemudaan; (2) masih terbatasnya peran organisasi kepemudaan dalam pembangunan kepemudaan; (3) belum sinergisnya gerakan kepemudaan yang tersebar di dalam berbagai organisasi 4-8
kepemudaan, organisasi kepelajaran, dan organisasi kemahasiswaan; dan (4) belum optimalnya pengembangan potensi pemuda dalam kepemimpinan, kepeloporan, dan kewirausahaan. Sementara pembangunan olahraga pada tahun 2010 sampai pertengahan tahun 2011 dihadapkan pada permasalahan masih rendahnya budaya dan prestasi olahraga. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan budaya olahraga, antara lain: (1) masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan olahraga; (2) masih rendahnya tingkat kebugaran masyarakat; (3) masih terbatasnya ruang terbuka olahraga; dan (4) masih terbatasnya jumlah dan kualitas SDM keolahragaan. Selanjutnya permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan prestasi olahraga, antara lain: (1) terbatasnya upaya pembibitan atlet andalan; (2) belum optimalnya pengembangan cabang olahraga unggulan di daerah; (3) belum optimalnya penerapan iptek olahraga dan kesehatan olahraga; (4) rendahnya apresiasi dan penghargaan bagi olahragawan dan tenaga keolahragaan yang berprestasi; dan (5) belum optimalnya sistem manajemen keolahragaan nasional. Kehidupan Beragama. Suasana kehidupan keagamaan masyarakat saat ini secara umum berlangsung baik, namun masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain: pertama, nilai-nilai substantif agama masih belum sepenuhnya terinternalisasi dalam kehidupan sosial umat beragama. Kehidupan ritual keagamaan semarak secara simbolik, namun tidak berkorelasi dengan sikap dan perilaku sosial. Begitu juga dengan masalah pemahaman keagamaan yang cenderung eksklusif masih terjadi di sebagian kalangan umat beragama, sehingga rentan terjadinya penyimpangan dari nilai substansi ajaran agama itu sendiri. Tantangan ke depan adalah membangun kesadaran dan pemahaman keagamaan yang moderat, serta internalisasi nilai-nilai substansi ajaran agama. Kedua, fenomena di sebagian kalangan umat beragama menunjukkan masih adanya tindakan dan gerakan yang mengganggu keharmonisan baik intern maupun antarumat beragama. Beberapa kasus yang masih terjadi saat ini seperti adanya kekerasan atas nama agama, upaya penodaan agama dan munculnya aliran sektarian 4-9
agama yang memancing konflik sosial. Kemajemukan masyarakat Indonesia memang sangat potensial untuk terjadinya konflik, termasuk yang bernuansa keagamaan. Ketiga, terkait manajemen penyelenggaraan haji yang telah mendapatkan sertifikat manajemen mutu ISO 9001:2008, namun masih saja terjadi kekurangan dan kesalahan teknis di lapangan. Pelayanan ibadah haji, terutama selama di Arab Saudi, masih belum maksimal seperti masih terdapatnya masalah konsumsi, kondisi pemondokan, jarak pemondokan yang masih jauh dari Masjidil Haram, dan pelayanan transportasi. Di samping itu, permasalahan lainnya dalam kehidupan beragama antara lain adalah (1) belum memadainya kualitas penyuluhan agama kepada masyarakat; (2) belum optimalnya pendidikan agama dan keagamaan bagi peserta didik; (3) belum meratanya sarana dan prasarana peribadatan; (4) belum optimalnya pengelolaan dana sosial keagamaan; dan (5) belum optimalnya peran lembaga sosial keagamaan dan lembaga pendidikan keagamaan dalam merespon dinamika pembangunan. Kebudayaan. Upaya memperkuat jati diri dan karakter bangsa masih menghadapi beberapa permasalahan dan tantangan, antara lain: pertama, terjadinya gejala menurunnya penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, rasa cinta tanah air, sikap toleransi dan tenggang rasa dalam masyarakat. Tantangan yang akan dihadapi ke depan adalah derasnya arus kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, serta budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai dan etika budaya Indonesia serta memelihara dan melestarikan nilai-nilai tradisi luhur yang menjadi identitas budaya dan berfungsi sebagai perekat persatuan bangsa dalam segenap aspek kehidupan masyarakat. Kedua, menurunnya minat masyarakat dalam menonton kegiatan seni-budaya, terbatasnya sarana prasarana kesenian, dan terjadinya pembajakan karya cipta seni dan budaya. Sehingga tantangan ke depan adalah meningkatkan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap seni dan budaya, perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual (HKI), terutama karya cipta seni dan budaya baik yang bersifat individual maupun kolektif, serta 4 - 10
pemanfaatan produk budaya Indonesia. Ketiga, belum optimalnya pengelolaan warisan budaya, sehingga tantangan kedepan adalah meningkatkan upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya sebagai sarana rekreasi, edukasi, dan pengembangan kebudayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keempat, masih terbatasnya sumber daya kebudayaan, sehingga tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia kebudayaan, hasil penelitian sebagai bahan rumusan kebijakan pembangunan di bidang kebudayaan, sarana dan prasarana yang memadai, pengelolaan data dan informasi, tata pemerintahan yang baik (good governance), serta koordinasi antartingkat pemerintahan yang efektif. Kesejahteraan Sosial. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa. Jumlah penduduk yang sedemikian besar menjadi tantangan dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial, artinya belum seluruh masyarakat yang dapat menikmati hasil-hasil pembangunan. Permasalahan sosial yang umum dihadapi oleh sebagian masyarakat berkaitan dengan kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial, kerawanan sosial ekonomi, penyimpangan perilaku, keterpencilan, eksploitasi dan diskriminasi. Pembangunan sosial belum mencakup seluruh masyarakat, dan berbagai permasalahan yang yang terjadi menjadi penyebab masyarakat kelompok tertentu menjadi terabaikan, dan tidak dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara selayaknya. Kerawanan sosial ekonomi yang timbul akibat kondisi ini dikhawatirkan bisa berakibat pada peningkatan jumlah PMKS di masa yang akan datang. Permasalahan lainnya adalah berkaitan dengan kekurangefektifan pelaksanaan kegiatan pelayanan dan bantuan sosial, serta jaminan sosial, jumlah target dan sasaran yang belum seluruhnya tercakup, luasnya cakupan pelayanan, kondisi geografis, kejadian bencana ataupun perubahan kondisi politik dan ekonomi yang sulit diperkirakan besaran kejadiannya. Sampai dengan tahun 2010, pelaksanaan PKH masih perlu diperbaiki dan dikembangkan. Sasaran peserta PKH sebagaimana 4 - 11
dimuat dalam RPJMN 2010-2014 belum dapat dicapai disebabkan oleh beberapa hal seperti perubahan status kesejahteraan RTSM sehingga menjadi tidak layak (non-eligible) terhadap kriteria PKH antara lain seperti pindah rumah, anak telah lulus dari SMP, ibu telah melahirkan, serta telah melewati masa menyusui. Pelaksanaan PKH juga masih menghadapi permasalahan terkait proses administrasi pembayaran manfaat dan pengelolaan sistem informasi manajemen. Selain itu, terdapat permasalahan mengenai pelaksanaan proses validasi dan pemutakhiran data yang belum optimal yang disebabkan oleh kurangnya kesediaan petugas fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan (guru) untuk mendukung proses verifikasi secara berkelanjutan. Permasalahan juga terjadi dalam proses distribusi formulir verifikasi di beberapa wilayah karena kendala geografis. Kelemahan sosialisasi PKH menyebabkan pemangku kepentingan kurang memahami konsep PKH sebagai program bantuan bersyarat. Lemahnya koordinasi antara Kementerian di tingkat Pusat dengan dinas teknis di tingkat daerah serta belum optimalnya proses koordinasi di tingkat provinsi masih menjadi sumber permasalahan yang perlu mendapat perhatian secara khusus. Dalam pelaksanaan pelayanan sosial terhadap anak, sejumlah kemajuan telah dicapai, namun masih terdapat sejumlah permasalahan yang dihadapi, antara lain belum adanya kesamaan perspektif dalam pelaksanaan PKSA (Program Kesejahteraan Sosial Anak) berbasis keluarga dan komunitas, dan ketersediaan data target penerima (beneficiaries) terutama anak-anak marjinal yang orang tuanya tidak tercatat dalam sistem registrasi penduduk dan tidak pernah terjangkau dalam berbagai mekanisme pendataan nasional. Selain itu, akses anak-anak dan balita terlantar, anak jalanan, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dengan kecacatan, dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus terhadap layanan sosial dasar (seperti akte kelahiran, pendidikan dasar, layanan kesehatan dasar, tempat tinggal yang layak, air bersih, makanan yang bergizi, dan lainnya) masih dihadapkan pada kendala administrasi kependudukan, birokrasi yang rumit, mekanisme yang kurang dipahami, dan hambatan lainnya. 4 - 12
Angka umur harapan hidup Indonesia yang semakin meningkat, tidak selalu ditafsirkan positif. Pada tahun-tahun mendatang diperkirakan akan terjadi lonjakan kelompok lanjut usia. Data Statistik Indonesia (BPS, 2010) menunjukkan jumlah lanjut usia berusia di atas 60 tahun ke atas diperkirakan akan naik mencapai angka 11,34% dari total seluruh penduduk di Indonesia. Penduduk lanjut usia adalah kelompok masyarakat yang sudah tidak masuk kategori produktif sehingga diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para lanjut usia, melalui pelayanan sosial dan jaminan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Dalam pemenuhan kebutuhan hidup para lanjut usia yang telantar dan tidak potensial, terdapat permasalahan terkait pemberian pelayanan dan penyediaan jaminan sosial yang akan berpotensi menjadi beban bagi pemerintah dan generasi muda berikutnya dalam membiayai penduduk lanjut usia yang terus meningkat dengan cepat. Apalagi, hingga saat ini Indonesia belum memiliki sistem jaminan sosial yang mencakup jaminan pensiun dan jaminan hari tua seperti yang terdapat di negara-negara maju. Permasalahan yang berkaitan dengan kecacatan, seringkali terkait dengan masalah sosial lainnya seperti kemiskinan, sehingga menjadi penyebab gangguan dan kendala para penyandang cacat untuk beraktivitas dan berinteraksi dengan warga masyarakat maupun dengan lingkungan sekitarnya. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama, yaitu dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Berbagai program pemberdayaan sosial seharusnya dapat menjangkau seluruh kelompok penyandang cacat termasuk penyandang cacat perempuan. Pemerintah melalui berbagai peraturan dan kebijakannya telah menginstruksikan penyediaan fasilitas bagi para penyandang cacat di 4 - 13
fasilitas publik seperti melalui Surat Edaran Menteri Sosial No. A/A164/VIII/2002/MS tanggal 13 Agustus 2002, menyatakan betapa pentingnya penyediaan fasilitas terhadap sarana dan prasarana penyandang cacat. Kepmen PU No. 468/KPTS/1998 tanggal 1 Desember 1998, yang mempersyaratkan pembangunan gedung baru harus memperhitungkan proses rancang bangun untuk aksesibilitas bagi penyandang cacat, serta penyediaan aksesibilitas sarana dan prasarana umum bagi penyandang cacat seperti untuk bangunan dan jalan umum, dan angkutan umum. Surat Edaran Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No.3064/M.PPN/05/2006 tanggal 19 Mei 2006 Tentang perencanaan pembangunan yang memberi aksesibilitas bagi penyandang cacat, yaitu agar masyarakat dan pemerintah menyediakan aksesibilitas sarana dan prasarana umum bagi penyandang cacat seperti untuk bangunan dan jalan umum, serta angkutan umum. Namun, berbagai instruksi tersebut belum dapat terlaksana dengan baik. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat pada Pasal 11 menyatakan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Selanjutnya, pada Pasal 12 dinyatakan bahwa setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya. Namun, kenyataannya para penyandang masih dihadapkan pada keterbatasan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Permasalahan lainnya adalah keterbatasan dalam jumlah dan jenis pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki penyandang cacat. Penyandang masalah tuna sosial perlu mendapatkan perhatian pula untuk ditangani, terutama tuna susila, pengemis, gelandangan, bekas warga binaan pemasyarakatan, korban penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya), penyandang HIV/AIDS, dan keluarga bermasalah sosial psikologis, terutama 4 - 14
pada kelompok masyarakat yang miskin dan rentan. Pemerintah saat ini menghadapi permasalahan ketidakseimbangan antara jumlah fasilitas sosial dan penyandang masalah tuna sosial yang harus mendapatkan pelayanan. Kejadian bencana alam yang masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia tetap perlu mendapatkan perhatian, karena seringkali menimbulkan korban jiwa maupun harta benda yang tidak sedikit, serta kerugian akibat kerusakan sarana dan prasarana umum lainnya. Selain itu, dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan bencana secara partisipatif, maka dilaksanakan kegiatan KSB (Kampung Siaga Bencana), namun ketidaksiapan beberapa provinsi menjadi kendala dalam pelaksanaan KSB. Di dalam pemberdayaan KAT (Komunitas Adat Terpencil), beberapa hambatan dan permasalahan yang dihadapi antara lain adalah terbatasnya sarana dan prasarana yang diperlukan baik di pusat maupun di daerah sehingga menghambat proses pemberdayaannya. Hingga saat ini, meskipun telah ada kerjasama dengan 16 kementerian/lembaga terkait, namun kurangnya koordinasi dari berbagai instansi tersebut menghambat proses pelaksananan pemberdayaan KAT. Hal lainnya adalah rendahnya pemahaman dari warga KAT, masyarakat dan pemerintah daerah dalam penyiapan pemberdayaan KAT. Sampai dengan tahun 2011, telah dilaksanakan pemberdayakan KAT yang dilaksanakan melalui pemberdayaan tahun I, II, III dan purnabina, namun jangkauan pelayanan KAT hanya mencapai sekitar 7,51 persen dari total populasi yang ada. Permasalahan lain adalah keterbatasan jumlah pelaksana kegiatan pelayanan sosial, yaitu para tenaga lapangan yang terdidik dan terlatih dalam penanganan korban bencana, serta pelaksana kegiatan bantuan dan jaminan sosial. Terdapat permasalahan keterbatasan jumlah pekerja sosial profesional yang bersedia dan mampu bekerja secara efektif dalam pelaksanaan kesejahteraan sosial, karena masih kurangnya minat masyarakat dalam pekerjaan pelayanan dan rehabilitasi sosial. 4 - 15
Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Hingga saat ini, telah banyak kemajuan yang dicapai dalam pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Namun, masih ada tiga permasalahan besar yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, yaitu (1) rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan antara lain, disebabkan oleh: (a) terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota; (b) rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi; dan (c) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit; (2) masih rendahnya perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan, yang ditandai dengan maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang belum diiringi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas layanan terhadap para korban tindak kekerasan, masih terdapat ketidaksesuaian antarproduk hukum yang dihasilkan, termasuk antara produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan daerah berkaitan dengan perlindungan terhadap perempuan; dan (3) masih lemahnya kelembagaan pengarusutamaan gender dikarenakan oleh (a) belum optimalnya penerapan piranti hukum, piranti analisis, dan dukungan politik terhadap kesetaraan gender sebagai prioritas pembangunan; (b) belum memadainya kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan PUG; (c) masih rendahnya pemahaman tentang konsep dan isu gender, nilai-nilai kesetaraan gender, manfaat PUG dalam pembangunan, baik di pusat maupun di daerah, dan (d) minimnya ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin dan penggunaannya dalam siklus pembangunan. Perlindungan Anak. Permasalahan yang dihadapi terkait perlindungan anak pada tahun 2011 adalah masih rendahnya kapasitas kelembagaan perlindungan anak. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh (1) masih terdapatnya peraturan perundangundangan dan kebijakan yang tidak konsisten dengan KHA dan 4 - 16
Undang-Undang Perlindungan Anak yang berpotensi merugikan dan menghambat pemenuhan hak-hak anak; (2) belum adanya mekanisme komprehensif (tidak bersifat sektoral) yang berlaku dari pusat ke daerah yang ditujukan untuk melindungi anak; menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan belum memberikan wadah bagi masyarakat, termasuk anak-anak, untuk berpartisipasi dalam upaya pemenuhan hak anak; dan (3) belum tersedianya data dan informasi perlindungan anak yang mutakhir dan mudah diakses secara kontinyu. 4.2.
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN HASIL YANG DICAPAI
DAN
HASIL-
Kependudukan dan KB. Untuk mengatasi permasalahan dalam pelaksanaan pembangunan kependudukan dan KB, langkah-langkah yang ditempuh dilakukan dengan melanjutkan upaya revitalisasi program KB melalui (1) peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB serta jaminan ketersediaan kontrasepsi terutama bagi keluarga miskin (Keluarga Prasejahtera/KPS dan Keluarga Sejahtera I/KS-I) dan rentan lainnya, pasangan usia subur (PUS) mupar (muda dan paritas rendah), serta daerah tertinggal, terpencil, dan perbatasan (galciltas), serta daerah dengan unmet need tinggi; (2) peningkatan akses informasi dan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi bagi individu dan keluarga untuk meningkatkan status kesehatan perempuan dan anak dalam mewujudkan keluarga sehat dengan jumlah anak yang ideal serta pencegahan berbagai penyakit seksual dan penyakit alat reproduksi; (3) peningkatan kualitas kesehatan reproduksi remaja dalam rangka menyiapkan kehidupan berkeluarga yang lebih baik, pendewasaan usia perkawinan, serta peningkatan kualitas kesehatan reproduksinya; (4) peningkatan promosi dan pelayanan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP); (5) pengoptimalisasian upaya-upaya advokasi, promosi, dan komunikasi, informasi, edukasi (KIE) program KKB untuk peneguhan dan kelangsungan program dan kelembagaan serta pembinaan kemandirian institusi masyarakat, LSOM dan swasta yang menyelenggarakan pelayanan KB yang berkualitas; (6) 4 - 17
peningkatan kemampuan keluarga dalam pengasuhan pembinaan tumbuh kembang anak, pembinaan kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak, serta pembinaan kualitas hidup melalui berbagai kelompok kegiatan keluarga; (7) pemberdayaan ketahanan keluarga peserta KB, khususnya bagi KPS dan KS-I, untuk mewujudkan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan keluarga, melalui kegiatan usaha ekonomi produktif; (8) pembinaan kuantitas dan kualitas SDM terutama di tingkat lini lapangan; (9) penyerasian kebijakan pengendalian penduduk, yang ditekankan pada penyusunan peraturan perundangan pengendalian penduduk; perumusan kebijakan kependudukan yang sinergis antara aspek kuantitas, kualitas dan mobilitas; dan penyediaan sasaran parameter kependudukan yang disepakati semua sektor terkait; dan (10) peningkatan ketersediaan dan kualitas data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat dan tepat waktu; penyediaan hasil kajian kependudukan; dan peningkatan cakupan registrasi vital dengan mendorong pemberian NIK kepada setiap penduduk dan menyelenggarakan koneksitas data kependudukan, serta penyusunan dan penyelarasan peraturan pelaksana dan peraturan daerah dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan. Hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan kependudukan dan KB sampai dengan bulan Juni 2011, antara lain adalah peningkatan jumlah peserta KB baru yang telah mencapai sekitar 62,64 persen, yaitu sebanyak 4,5 juta peserta dari target sebanyak 7,2 juta peserta, termasuk di dalamnya peserta KB baru miskin (KPS dan KS-1) dan rentan lainnya, yaitu sebanyak 1,99 juta peserta dari target sebanyak 3,8 juta peserta; dan peserta KB baru pria sebanyak 324,4 ribu peserta. Capaian tersebut didukung pula oleh peningkatan jumlah peserta KB baru yang menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP), yaitu sebanyak 720,95 ribu peserta. Selanjutnya, pencapaian pembinaan peserta KB aktif sampai dengan bulan Juni 2011 tercatat sebanyak 33,8 juta peserta, termasuk di dalamnya adalah peserta KB aktif miskin (KPS dan KS-1) yang telah mencapai 14,44 juta peserta. Sementara itu, jumlah peserta KB aktif pria telah mencapai 1,11 juta peserta. Namun demikian, capain peserta KB aktif tersebut belum signifikan apabila dibandingkan 4 - 18
dengan pencapaian pada akhir tahun 2010 yang telah mencapai 33,7 juta peserta. Upaya dalam meningkatkan pengetahuan, partisipasi, dan keterampilan keluarga akseptor KB untuk memperkokoh ketahanan keluarga tetap dilakukan, terutama untuk pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak melalui kelompok kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB) dan Bina Keluarga Remaja (BKR). Sampai dengan bulan Juni 2011, jumlah kelompok keluarga yang aktif mengikuti BKB telah mencapai 8.066 kelompok dari target sebanyak 13.000 kelompok; sedangkan jumlah kelompok keluarga yang aktif mengikuti BKR mencapai 4.505 kelompok dari target sebanyak 6.500 kelompok keluarga. Selanjutnya, upaya pembinaan kelompok keluarga lansia dilakukan melalui kelompok kegiatan Bina Keluarga Lansia (BKL). Sampai dengan bulan Juni 2011, jumlah kelompok keluarga yang aktif mengikuti BKL tercatat sebanyak 3.384 kelompok dari target sebanyak. Sementara itu, peningkatan pengetahuan remaja tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi, serta perencanaan kehidupan berkeluarga tetap dilakukan melalui pembentukan kelompok Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR). Sampai dengan bulan Juni 2011, jumlah kelompok PIK-KRR yang dibentuk dan dibina tercatat sebanyak 13.019 kelompok, yang terdiri dari kelompok tumbuh sebanyak 9.982 kelompok, kelompok tegak sebanyak 1.988 kelompok, dan kelompok tegar sebanyak 1.059 kelompok. Kelompok PIK-KRR yang terbagi menjadi kelompok tumbuh, tegak, dan tegar dibedakan berdasarkan kegiatan yang dilaksanakan, materi KRR yang disampaikan, serta jumlah pendidik sebaya dan konselor sebaya yang dimiliki. Untuk mendukung kegiatan PIK-KRR tersebut, jumlah pendidik dan konselor sebaya sampai dengan Juni 2011 masing-masing telah mencapai sebanyak 27.085 orang dan 13.243 orang dibandingkan dengan sasaran sebanyak masing-masing 29.726 orang dan 7.180 orang. Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan kesertaan serta kemandirian ber-KB bagi KPS dan KS-I dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi keluarga dengan membentuk kelompok 4 - 19
usaha ekonomi produktif. Sampai dengan Juni 2011, jumlah PUS anggota kelompok usaha ekonomi produktif yang menjadi peserta KB mandiri telah mencapai 181.954 peserta dari target sebesar 44.000 peserta. Selanjutnya, langkah-langkah kebijakan dalam rangka penyerasian kebijakan kependudukan adalah melalui penyusunan peraturan perundangan, perumusan kebijakan yang sinergis antara kuantitas, kualitas, dan mobilitas, serta sektor terkait. Hasil yang telah dicapai sampai dengan Juni 2011 adalah ditetapkannya Undang Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga pada tanggal 29 Oktober 2009. Undang-undang tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2010 Tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional; Peraturan Kepala (Perka) BKKBN Nomor 72/PER/B5/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja BKKBN; dan Perka BKKBN Nomor 82/PER/B5/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan BKKBN Provinsi. Di samping itu, sebagai pelaksana UU 52/2009 tersebut, sampai semester I tahun 2011 telah dilakukan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yaitu RPP tentang Tatacara Penetapan Pengendalian Kuantitas Penduduk; RPP tentang Tatacara Pengumpulan Data dan Proyeksi Kependudukan Tentang Angka Kematian; RPP tentang Pengarahan Mobilitas Penduduk; RPP tentang Tata cara Pengumpulan Data, Analisis, Mobilitas dan Persebaran Penduduk; RPP tentang Pengembangan Kualitas Penduduk; dan RPP tentang Kriteria Penduduk Miskin dan Tatacara Perlindungan Penduduk Miskin. Ketersediaan data dan informasi kependudukan dalam rangka mendukung pembangunan kependudukan dan KKB adalah melalui peningkatan ketersediaan dan kualitas manajemen data dan informasi yang bersumber dari sensus dan survei serta registrasi penduduk. Pada bulan Mei 2010 telah dilaksanakan Sensus Penduduk Tahun 2010 yang pelaksanaannya lebih baik dibandingkan dengan sensus sebelumnya. Selanjutnya, setiap tahun BKKBN juga melaksanakan pemutakhiran data keluarga melalui Pendataan Keluarga (Statistik 4 - 20
Rutin BKKBN) untuk mendapatkan data keluarga dan individu terbaru guna mendukung perencanaan dan evaluasi program KKB. Berkaitan dengan pelayanan registrasi penduduk dan pencatatan sipil, sampai dengan tahun 2011 telah dibangun sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) di 497 kabupaten/kota. Pengembangan SIAK merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang mengamanatkan pemerintah untuk memberikan nomor induk kependudukan (NIK) kepada setiap penduduk dan menggunakan NIK sebagai dasar dalam menerbitkan dokumen kependudukan. Penerapan undang-undang tersebut dijabarkan melalui Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 Tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional. Selain itu, pencapaian dalam pengembangan SIAK dan KTP nasional serta pencatatan sipil pada tahun 2011 adalah akan dilaksanakannya penerapan e-KTP di 197 kabupaten/kota dan telah diterbitkannya Nomor Induk Kependudukan (NIK) di 497 kabupaten/kota (329 pada tahun 2010 dan 168 pada tahun 2011). Kesehatan. Dalam rangka peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan balita kebijakan yang dilakukan mencakup: penyediaan sarana kesehatan yang mampu melaksanakan PONED dan PONEK; peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih; peningkatan cakupan kunjungan ibu hamil (K1dan K4); peningkatan cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani; peningkatan cakupan peserta KB aktif yang dilayani sektor pemerintah; peningkatan cakupan neonatal dengan komplikasi yang ditangani; peningkatan cakupan kunjungan bayi; peningkatan cakupan imunisasi tepat waktu pada bayi dan balita. Hasil capaian utama sampai dengan tahun 2010 antara lain meningkatnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan menjadi 82,2 persen, meningkatnya kunjungan ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan (K1) menjadi 72,3 persen dan kunjungan keempat (K4) menjadi 61,4 persen, meningkatnya cakupan imunisasi lengkap anak balita yang mencapai 53,8 persen, meningkatnya kunjungan neonatal pertama (KN1) menjadi 71,4 persen, meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan bayi menjadi 4 - 21
84,01 persen dan cakupan pelayanan kesehatan balita menjadi 78,11 persen. Sedangkan dalam upaya menanggulangi permasalahan gizi masyarakat kebijakan yang dilakukan mencakup: penanggulangan gizi darurat dan tatalaksana penanganan gizi buruk anak balita (0-59 bulan) serta peningkatan cakupan balita ditimbang berat badannya (jumlah balita ditimbang dibagi dengan jumlah seluruh balita atau D/S). Hasil capaian utama sampai dengan tahun 2010 antara lain: menurunnya prevalensi kekurangan gizi secara nasional pada anak balita menjadi sebesar 17,9 persen yang terdiri dari gizi kurang 13,0 persen dan gizi-buruk 4,9 persen, menurunnya prevalensi anak balita yang pendek (stunting), yaitu menjadi sebesar 35,6 persen, menurunnya bayi yang lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2.500 gram) yaitu sebesar 11,1 persen. Sementara itu, dalam rangka menurunkan prevalensi kasus penyakit menular serta penyakit tidak menular kebijakan yang dilakukan mencakup: peningkatan kemampuan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko, termasuk imunisasi; penguatan penemuan penderita dan tata laksana kasus; peningkatan akses penduduk terhadap air minum dan sanitasi dasar serta perubahan perilaku hygiene dan sanitasi. Upaya pengendalian penyakit terus ditingkatkan baik dalam aspek yang bersifat preventif dan promotif maupun aspek yang bersifat kuratif dan rehabilitatif. Hasil capaian utama hingga saat ini antara lain: prevalensi HIV mencapai 0,2 persen, persentase kasus baru tuberkulosis (TB) paru (BTA positif) yang ditemukan dan yang disembuhkan masing-masing mencapai 78,3 persen dan 91,2 persen, dan angka penemuan kasus malaria (annual parasite index/API) mencapai 1,96 per 1.000 penduduk. Sedangkan kondisi penyakit tidak menular cenderung mengalami peningkatan antara lain hipertensi (berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah) sebesar 31,9 persen, jantung sebesar 7,2 persen, prevalensi kanker tumor/kanker sebesar 4,3 per 1000 penduduk, diabetes melitus sebesar 1,1 persen, gangguan mental emosional sebesar 11,6 persen, dan kasus kecelakaan sebesar 25,9 persen. Selanjutnya, pada aspek kesehatan lingkungan, akses penduduk 4 - 22
terhadap air minum dan sanitasi yang layak masih rendah yaitu sebesar 47,71 persen dan 51,19 persen. Selanjutnya dalam rangka pengembangan sumber daya manusia kesehatan, kebijakan yang dilakukan mencakup: peningkatan jumlah, jenis, mutu dan penyebaran sumber daya manusia kesehatan; perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan serta pembinaan dan pengawasan sumber daya manusia kesehatan; dan penyempurnaan sistem insentif dan penempatan SDM kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan. Dalam mendukung upaya perbaikan status kesehatan, ketersediaan tenaga kesehatan terus ditingkatkan melalui penempatan tenaga kesehatan, program PTT, dan penugasan khusus terutama di Daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (DTPK). Hasil capaian utama sampai saat ini antara lain: meningkatnya jumlah dokter umum menjadi sebanyak 25.333 orang (rasio 10,66 per 100.000 penduduk), dokter gigi sebanyak 8.731 orang (rasio 3,68 per 100.000 penduduk) dan bidan sebanyak 96.551 orang (rasio 40,64 per 100.000 penduduk). Pengiriman tenaga kesehatan PTT untuk DTPK dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) sebanyak 32.978 orang yang terdiri dari dokter umum sebanyak 3.254 orang, dokter gigi 904 orang, dokter gigi spesialis 20 orang dan bidan sebanyak 10.175 orang. Kebijakan dalam rangka peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan obat serta pengawasan obat dan makanan, antara lain melalui: peningkatan ketersediaan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial generik; peningkatan keamanan, khasiat dan mutu obat dan makanan yang beredar; peningkatan penelitian di bidang obat dan makanan; peningkatan kemandirian di bidang produksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, kosmetika dan alat kesehatan; penguatan sistem laboratorium obat dan makanan; peningkatan kemampuan pengujian mutu obat dan makanan; peningkatan sarana dan prasarana laboratorium pengujian; peningkatan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat dan makanan. Hasil capaian utama antara lain: meningkatnya ketersediaan obat dan vaksin di sarana pelayanan kesehatan mencapai 82 persen dan telah dilakukannya berbagai 4 - 23
upaya mencakup penyediaan jumlah dan jenis obat generik; evaluasi dan penilaian terhadap harga obat, khususnya obat generik; labelisasi obat generik termasuk pencantuman harga eceran tertinggi (HET); peningkatan akses kefarmasian; dan penyuluhan dan penyebaran informasi, agar obat digunakan secara tepat dan rasional. 1.
Dalam rangka pengembangan sistem pembiayaan jaminan kesehatan, kebijakan yang dilakukan mencakup: peningkatan cakupan jaminan kesehatan secara bertahap; dan peningkatan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dan golongan rentan (bayi, balita, ibu hamil dan lansia). Hasil capaian utama antara lain: peningkatan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dan golongan rentan (bayi, balita, ibu hamil dan lansia), peningkatan cakupan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan Jamkesda bagi penduduk miskin, penyediaan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) bagi puskesmas dan jaringannya terutama dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan preventif dan promotif.
2.
Selain itu dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan, kebijakan yang telah dilakukan mencakup upaya perubahan perilaku dan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat; evakuasi, perawatan dan pengobatan korban pada daerah bencana; kemandirian masyarakat dalam menanggulangi dampak kesehatan akibat bencana; dan pengembangan sistem peringatan dini untuk penyebaran informasi terjadinya wabah dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat. Hasil capaian utama antara lain: sasaran PHBS pada tingkat rumah tangga telah mencapai 48,47 persen, meningkatnya jumlah Posyandu dan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) menjadi sebanyak 266.827 unit dan 51.996 unit.
3.
Kebijakan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier, mencakup: peningkatan jumlah rumah sakit dan puskesmas serta jaringannya, terutama pada daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan serta daerah
4 - 24
dengan aksesibilitas relatif rendah; peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan sarana, prasarana, dan ketenagaan; peningkatan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan rujukan yang memenuhi standar bertaraf internasional; penyediaan bantuan operasional kesehatan (BOK) bagi pelayanan kesehatan primer di puskesmas. Hasil capaian utama antara lain: meningkatnya jumlah rumah sakit pemerintah menjadi 755, rumah sakit swasta menjadi 768 rumah sakit, meningkatnya rasio tempat tidur (TT) rumah sakit terhadap penduduk menjadi 70,74 TT per 100.000 penduduk, meningkatnya akses masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan dasar yaitu 94 persen masyarakat dapat mengakses sarana pelayanan kesehatan kurang dari 5 kilometer dan 78,9 persen rumah tangga berada kurang dari satu kilometer dari fasilitas UKBM. Pendidikan. Berdasarkan permasalahan di atas, maka pembangunan pendidikan diarahkan untuk merespon prioritas sebagai berikut: (1) peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata; (2) peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah; (3) peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi; (4) peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan; (5) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan non-formal; (6) peningkatan minat dan budaya gemar membaca masyarakat; (6) peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini, yang holistik dan integratif; (7) peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan; (8) pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan nasional; (9) peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pelayanan pendidikan; (10) penguatan sistem evaluasi, akreditasi dan sertifikasi termasuk sistem pengujian dan penilaian pendidikan; (11) penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjamin tercapainya pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu dan terjangkau; (12) peningkatan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan; (13) peningkatan penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di bidang 4 - 25
pendidikan; (14) peningkatan karakter bangsa peserta didik; (15) peningkatan pemanfaatan potensi perpustakaan dan pertumbuhan semua jenis perpustakaan; dan (16) peningkatan sarana-prasarana dan jumlah bahan pustaka. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan tersebut juga ditujukan untuk mengurangi kesenjangan taraf pendidikan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi dengan meningkatkan (a) pemihakan pada siswa dan mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin melalui pemberian bantuan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa miskin; (b) pemihakan kebijakan bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal (underprivileged); (c) pengalokasian sumberdaya yang lebih memihak kepada daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal; (d) pemihakan kebijakan pendidikan yang responsif gender di seluruh jenjang pendidikan; (e) pengembangan instrumen untuk memonitor kesenjangan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi; dan (f) peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal. Selanjutnya, peningkatan taraf pendidikan sangat dipengaruhi oleh membaiknya partisipasi pendidikan pada semua jenjang. Pada tahun 2010 angka partisipasi murni (APM) jenjang SD/MI/sederajat telah mencapai 95,41 persen; APK pada jenjang SMP/MTs/sederajat telah mencapai 98,20 persen; dan APK pada jenjang pendidikan menengah 70,53 persen, serta APK pendidikan tinggi mencapai 26,34 persen. (Tabel 4.2).
4 - 26
TABEL 4.2 HASIL DAN KINERJA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN Indikator Kunci Sukses
No 1.
Angka Partisipasi Murni (APM) SD /MI/SDLB/ Paket A APK SMP/MTs/ SMPLB/ Paket B APK SMA/SMK/MA/ SMALB/Paket C APK PT/PTA, termasuk UT (1923 tahun)
2. 3.
4.
Sumber Catatan
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010 *
94,12%
94,30%
94,48%
94,90%
95,14%
95,23%
95,41%
81,22%
85,22%
88,68%
92,52%
96,18%
98,11%
98,20%
49,01%
52,20%
56,22%
60,51%
64,28%
69,60%
70,53%
14,62%
15,00%
16,70%
17,25%
21,26%
21,57%
26,34%
: Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010 (sementara) : * APK Pendidikan Tinggi sebelum tahun 2008 dihitung pada kelompok usia 19-24 tahun.
Berbagai pencapaian tersebut tak dapat dilepaskan dari upaya yang telah dilakukan pemerintah bersama masyarakat dalam meningkatkan daya jangkau dan daya tampung sekolah seperti pembangunan sekolah baru dan penambahan ruang kelas baru. Selain itu disediakan pula bantuan operasional sekolah (BOS) untuk seluruh sekolah, madrasah, dan pesantren salafiyah, yaitu sekolah keagamaan Islam yang menyelenggarakan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Program BOS ini ditujukan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan beban biaya bagi siswa yang lain. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat miskin menyekolahkan anaknya telah disediakan beasiswa bagi siswa miskin untuk semua jenjang pendidikan. Penyediaan beasiswa siswa miskin ini sudah dimulai sejak tahun 2005 dan cakupannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai upaya tersebut telah berhasil menurunkan angka putus sekolah siswa SD dari 1,7 persen pada tahun 2009 menjadi 1,5 persen pada tahun 2010. Angka melanjutkan sekolah dari jenjang SD ke SMP juga mengalami meningkat dari 90 persen menjadi 91,4 persen pada periode yang 4 - 27
sama. Di samping itu, pada tahun 2010 juga telah dilaksanakan program pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah (PMTAS) yang mencakup 1,2 juta siswa TK/SD terutama yang berada di daerah terpencil dan terluar. Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak, karena itu Pemerintah mencanangkan gerakan nasional PAUDISASI mulai tahun 2011. Gerakan nasional ini dilaksanakan melalui perluasan cakupan layanan, peningkatan partisipasi masyarakat luas, penguatan kelembagaan, dan pelatihan tenaga pendidik. Selain itu, peningkatan partisipasi pendidikan juga dilakukan melalui penyediaan pelayanan pendidikan non formal termasuk melalui pendidikan kesetaraan Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA. Jalur pendidikan non formal ditujukan terutama untuk menampung anak-anak yang putus sekolah dan mereka yang tidak dapat mengikuti pendidikan formal. Kemajuan penting lainnya adalah dalam hal peningkatan keadilan dan kesetaraan gender dalam hal akses terhadap pelayanan pendidikan yang ditunjukkan oleh indeks paritas gender APM atau APK yang sudah mencapai angka sekitar 1,0 untuk semua jenjang pendidikan. Berbagai upaya tersebut juga mampu menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas dari 10,2 persen pada tahun 2004 menjadi 5,3 persen pada tahun 2009. Untuk jenjang pendidikan tinggi, masalah keterjangkauan biaya pendidikan menjadi isu yang menarik perhatian. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan ditetapkan bahwa perguruan tinggi negeri (PTN) harus mengalokasikan paling sedikit 20 persen dari kapasitas tempat duduknya untuk peserta didik yang berasal dari keluarga miskin. Bagi mereka ini, yang diterima di PTN melalui jalur seleksi nasional, akan disediakan beasiswa pendidikan bagi peserta didik miskin (BIDIK MISI) untuk menutupi biaya kuliah dan biaya hidup selama masa pendidikannya. Pada tahun 2010 telah disalurkan kepada sebanyak 40.000 mahasiswa. 4 - 28
Seiring dengan meningkatnya partisipasi pendidikan di atas, mutu pendidikan juga terus ditingkatkan yang dilakukan antara lain melalui peningkatan kualitas pendidik yang ditunjukkan dengan meningkatnya proporsi guru yang memenuhi kualifikasi akademik S1/D4 dari 50,77 persen pada tahun 2009 menjadi 58,9 persen pada tahun 2010 dan yang memiliki sertifikasi pendidik dari 17,89 persen pada tahun 2009 menjadi 34,0 persen pada tahun 2010. Untuk meningkatkan mutu pendidikan dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan, telah disiapkan rencana aksi peningkatan kompetensi kepala sekolah dan pengawas sekolah untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Salah satu langkah konkret perbaikan sistem penilaian hasil belajar siswa, sejak tahun 2011 penentuan kelulusan siswa tidak lagi hanya berdasarkan atas capaian hasil UN, tetapi juga mempertimbangkan hasil evaluasi selama bersekolah. Sedangkan untuk pemanfaatannya, pemerintah menggunakan hasil pemetaan mutu tersebut untuk menentukan tindakan afirmasi kepada daerah yang kompetensi lulusannya rendah dalam bentuk bantuan khusus peningkatan mutu pendidikan. Dari hasil pemetaan tersebut dapat ditentukan intervensi yang paling sesuai dengan kebutuhan daerah, bahkan sampai tingkat satuan pendidikan. Pendidikan tinggi di Indonesia telah menunjukkan peningkatan mutu dan daya saing pada tingkat internasional. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah perguruan tinggi Indonesia yang masuk ke dalam peringkat 500 terbaik dunia terus meningkat. Tahun 2009, empat perguruan tinggi Indonesia masuk ke dalam 500 universitas terbaik dunia, yaitu UI, UGM, ITB, dan UNAIR. Pada tahun 2010, tujuh perguruan tinggi Indonesia, yaitu UI, UGM, UNAIR, ITB, UNPAD, IPB, dan UNDIP masuk dalam daftar 200 universitas terbaik Asia. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia memiliki posisi dan daya saing tingkat internasional. Upaya mendorong peningkatan kinerja pendidik terus ditingkatkan seiring dengan upaya meningkatkan kesejahteraan pendidik antara lain melalui penyediaan tunjangan profesi bagi guru 4 - 29
dan dosen, tunjangan fungsional bagi guru PNS dan subsidi tunjangan fungsional bagi guru Non-PNS, serta tunjangan khusus untuk guru yang mengajar di daerah terpencil. Untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan dikembangkan pula sistem jaminan kualitas pendidikan yang dilakukan antara lain melalui akreditasi satuan pendidikan dan sertifikasi pendidik. Dalam rangka meningkatkan akses dan pemerataan, serta kualitas pendidikan, telah dilakukan upaya peningkatan anggaran pendidikan secara terus menerus, yaitu dari sebesar Rp 209,5 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp 248,9 triliun pada tahun 2011, yang sebagian besar dialokasikan melalui transfer daerah sebesar Rp 126,4 triliun pada tahun 2010 dan Rp 158,2 triliun pada tahun 2011. Sementara itu, upaya pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan telah berhasil (1) menyelenggarakan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta pengembangan e-library di 35 perpustakaan yaitu 31 perpustakaan provinsi, 2 perpustakaan kabupaten/kota, dan 2 unit pelayanan teknis (UPT); (2) memberi bantuan 30 Mobil Perpustakaan Keliling dan 3 Kapal Perpustakaan Keliling sebagai stimulan untuk provinsi dan kabupaten/kota; (3) menyediakan layanan koleksi digital di Perpusnas melalui e-resources yang diperoleh dari proquest berupa jurnal sebanyak 9.791 judul artikel dari berbagai subyek, Gale berupa e-book reference dan monograf sebanyak 145 judul serta 30.065 koleksi digital online; dan (7) desiminasi bahan bacaan kepada perpustakaan umum provinsi dan kabupaten/kota, desa, sekolah, rumah ibadah dan pondok pesantren. Pemuda dan Olahraga. Kebijakan pembangunan kepemudaan dilaksanakan dalam bentuk pelayanan kepemudaan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pemuda dalam rangka peningkatan peran aktif pemuda di berbagai bidang pembangunan. Sedangkan kebijakan pembangunan keolahragaan ditujukan untuk meningkatkan budaya dan prestasi olahraga melalui pembinaan dan pengembangan olahraga yang didukung oleh prasarana dan sarana olahraga, serta penerapan teknologi dan kesehatan olahraga. Peningkatan peran pemuda dan prestasi olahraga dilakukan melalui (1) peningkatan 4 - 30
nasionalisme dan moral etika pemuda; (2) penumbuhan jiwa kewirausahaan dan kecakapan hidup pemuda; (3) perluasan pengerahan tenaga terdidik untuk pembangunan perdesaan; (4) penyelenggaraan kemitraan untuk meningkatkan kualitas dan kemandirian pemuda; (5) peningkatan kerjasama pola kemitraan untuk pembangunan sarana dan prasarana; (6) peningkatan pemasyarakatan dan pembinaan olahraga; (7) pembinaan olahraga yang bersifat nasional dan internasional; (8) pembibitan dan pembinaan olahragawan berbakat berdasarkan cabang olahraga prioritas daerah; dan (9) pemberian penghargaan dan peningkatan kesejahteraan olahragawan dan pelaku olahraga. Hasil yang dicapai dalam upaya pembangunan pemuda pada tahun 2010 sampai dengan Juni 2011 meliputi (1) pengembangan kerja sama dan kemitraan kepemudaan, antara lain (a) disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Gerakan Pramuka, dan (b) koordinasi dan kemitraan kepemudaan lintas sektor di tingkat pusat (25 kementerian/lembaga) dan antar tingkat pemerintahan (6 kegiatan); (2) peningkatan wawasan pemuda terhadap 7.456 pemuda melalui kegiatan (a) pendidikan peningkatan kesadaran bela negara, (b) Bakti Pemuda Antar Provinsi (BPAP) dan Jambore Pemuda Indonesia, dan (c) pelatihan Kelompok Pemuda Sebaya (KPS) dalam rangka mencegah penyalahgunaan NAPZA, HIV/AIDS, dan bahaya destruktif lainnya; (3) peningkatan kapasitas pemuda terhadap 3.415 pemuda melalui kegiatan (a) fasilitasi peningkatan kapasitas pemuda di bidang iptek dan imtaq, (b) pelatihan character building pemuda Indonesia tingkat nasional, dan (c) fasilitasi peningkatan peran pemuda danlam berbagai bidang pembangunan; (4) peningkatan potensi sumber daya pemuda, antara lain (a) fasilitasi inventarisasi potensi sumberdaya kepemudaan (66 paket) melalui peningkatan kapasitas kelembagaan di kalangan OKP, (b) analisa potensi sumberdaya kepemudaan (7 naskah) melalui kajian evaluasi pegembangan pertukaran pemuda antar negara (PPAN) dan optimalisasi peran dan pemberdayaan pemuda, dan (c) fasilitasi peningkatan potensi pemuda di tingkat internasional melalui penyelenggaraan International Youth Day, International Youth Camp, dan PPAN; (5) pemberdayaan organisasi pemuda, antara lain 4 - 31
(a) pelatihan kepemimpinan, manajemen dan perencanaan program bagi 9.825 pengelola organisasi kepemudaan, dan (b) fasilitasi pembinaan organisasi kepemudaan terhadap 149 organisasi kepemudaan; (6) pengembangan kepanduan bagi 2.500 orang melalui kegiatan (a) fasilitasi pendidikan kepanduan dan kepemudaan, dan (b) fasilitasi pelayanan kepemudaan bagi pembina pramuka, penegak dan pendega; (7) pengembangan kepemimpinan pemuda melalui berbagai pelatihan kepemimpinan pemuda bagi 4.500 orang; (8) pengembangan kepedulian pemuda terhadap 3.299 pemuda melalui optimalisasi peran sarjana penggerak pembangunan di perdesaan dan kader kesukarelawanan di daerah tertinggal, daerah bencana, dan daerah konflik; (9) pengembangan kewirausahaan pemuda melalui (a) fasilitasi terhadap 3.175 kader kewirausahaan pemuda, dan (b) fasilitasi terhadap 66 sentra kewirausahaan pemuda; (10) pengembangan kreativitas dan kualitas pemuda bagi 3.180 pemuda melalui kegiatan fasilitasi peningkatan kapasitas pemuda di bidang seni, budaya dan industri kreatif; (11) pengembangan kepeloporan pemuda bagi 1.000 pemuda melalui kegiatan (a) peningkatan spesialisasi kepeloporan pemuda, dan (b) peningkatan produktivitas pemuda di perdesaan; (12) peningkatan sarana dan prasarana kepemudaan, antara lain (a) 300 fasilitasi penyediaan sarana dan prasarana kepemudaan, dan (b) 33 fasilitasi sentra pemberdayaan pemuda; dan (13) peningkatan pelayanan sentra pemberdayaan pemuda melalui fasilitasi pelayanan pendidikan dan pelatihan. Adapun hasil yang dicapai dalam upaya pembangunan olahraga pada tahun 2010 sampai dengan Juni 2011 meliputi (1) pengembangan olahraga pendidikan, antara lain (a) fasilitasi kejuaraan olahraga pendidikan di pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan informal dan nonformal, dan (b) fasilitasi penyediaan sarana olahraga pendidikan di pendidikan dasar dan menengah; (2) pengembangan olahraga rekreasi bagi 7.660 peserta melalui kegiatan (a) fasilitasi perlombaan olahraga massal, (b) fasilitasi festival dan invitasi olahraga tradisional tingkat nasional, dan (c) fasilitasi 20 kompetisi olahraga rekreasi; (3) peningkatan prasarana dan sarana keolahragaan, antara lain (a) 4 - 32
pembangunan Sekolah Olahraga dan Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Nasional di Bukit Hambalang-Kabupaten Bogor, serta Pusat Pelayanan Kesehatan Olahraga Terpadu (PPKOT) di Cibubur, dan (b) fasilitasi penyediaan sarana dan prasarana olahraga di Provinsi/Kabupaten/Kota; (4) pengembangan standardisasi keolahragaan, antara lain (a) penyusunan 21 naskah standar nasional keolahragaan, (b) penyusunan 20 rancangan pedoman Akreditasi Lembaga Sertifikasi Kompetensi Tenaga Keolahragaan, dan (c) penyusunan 16 pedoman pelaksanaan sertifikasi di daerah; (5) pengembangan promosi dan penghargaan keolahragaan, antara lain (a) pemberian penghargaan kepada 350 atlet yang berprestasi di tingkat internasional, regional, dan nasional, serta atlet senior dan pelatih yang telah berprestasi/berjasa dalam peningkatan prestasi olahraga, dan (b) koordinasi dan kemitraan keolahragaan antar tingkat pemerintahan dalam rangka sosialisasi dan promosi; (6) peningkatan pelayanan iptek, kesehatan dan informasi olahraga, antara lain (a) pencapaian tingkat kepuasan pelanggan sebesar 75 persen berdasarkan ISO 9001:2000 tentang manajemen mutu oleh Worldwide Quality Assurance (WQA), dan (b) 33 fasilitasi pelayanan, pengujian dan pemeriksaan kesehatan olahragawan di daerah; (7) pengembangan sentra keolahragaan antara lain fasilitasi terhadap 54 PPLP dan PPLM seluruh Indonesia; (8) pengembangan olahraga layanan khusus, antara lain penyenggaraan Pekan Olahraga dan Seni Antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional (POSPENAS) tahun 2010 di Surabaya serta persiapan penyelenggaraan Pekan Olahraga Pelajar Cacat Nasional V (POPCANAS) tahun 2011; (9) pengembangan produk industri olahraga, antara lain (a) fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dan teknik produksi bagi pelaku industri olahraga, (b) fasilitasi kejuaraan olahraga dirgantara, bahari dan lintas alam: penyelenggaraan kegiatan olahraga lomba lintas alam, lomba renang pantai trbuka, dan lomba Menpora paragliding, dan (c) pengembangan Sportmart dan pengembangan Sportkids industri olahraga usia dini; (10) pembinaan olahraga prestasi, antara lain pelaksanaan program atlet andalan/PRIMA bagi 520 Atlet Andalan Nasional; (11) pengembangan iptek olahraga, antara lain (a) riset penerapan teknologi olahraga modern pada metode pembinaan 4 - 33
olahragawan, dan (b) pemanfaatan iptek olahraga modern pada metode pembinaan olahragawan/atlet andalan nasional; (12) pemberdayaan organisasi keolahragaan, antara lain (a) pelatihan manajemen dan program bagi 66 pembina induk organisasi cabang olahraga, dan (b) fasilitasi pembinaan 10 induk organisasi cabang olahraga unggulan nasional; (13) pembinaan dan pembibitan olahraga prestasi, antara lain (a) pemanduan bakat pada cabang olahraga unggulan (talent scouting and talent identification) dengan target 400 calon atlet berbakat, (b) fasilitasi keikutsertaan 12 cabang olahraga unggulan di kejuaraan internasional, dan (c) fasilitasi pemusatan latihan 11 cabang olahraga unggulan; dan (14) pengembangan tenaga keolahragaan melalui fasilitasi peningkatan kompetensi terhadap 388 pelatih cabang olahraga unggulan nasional dan olahraga khusus penyandang cacat, wasit, juri, dan tenaga keolahragaan lainnya. (15) Festival Internasional Pemuda dan Olahraga Bahari (FIPOB) 2011 yang diselenggarakan di pantai Mandalika Provinsi Nusa Tenggara Barat, dihadiri kurang lebih 20 ribu orang dan dari manca negara sebanyak 19 negara peserta; (16) Sail Morotai di ikuti kurang lebih 400 peserta yang melibatkan para pemuda, mahasiswa, pelajar dan pramuka, selain itu di ikuti juga oleh 40 Kementerian/Lembaga terkait. Kehidupan Beragama. Sesuai dengan agenda pembangunan nasional, arah kebijakan peningkatan kualitas pembangunan agama pada tahun 2011 adalah (1) peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan agama; (2) peningkatan kualitas kerukunan umat beragama; (3) peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama; (4) pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan lancer; dan (5) tatakelola pembangunan bidang agama. Beberapa perkembangan penting yang telah dicapai dalam upaya peningkatan kualitas keagamaan pada tahun 2010, antara lain adalah tersalurkannya kitab suci dan digitalisasi naskah kitab suci; bantuan untuk kegiatan hari besar keagamaan; peningkatan kualitas bimbingan dan konsultasi keagamaan; penyelenggaraan berbagai lomba keagamaan, seperti Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), Pesparawi, Utsawa Dharma Gita, dan Festival Seni Baca Kitab Suci 4 - 34
Tipitaka/Tripitaka; peningkatan pembinaan penyuluh dan juru penerang agama; pentashihan Mushaf Al-Qur’an; pemanfaatan media massa cetak dan elektronik sebagai wahana pembinaan umat; pengembangan sistem informasi keagamaan; peningkatan pembinaan keluarga sejahtera, serta bantuan rehabilitasi dan pembangunan rumah ibadah sebanyak 4.487 unit (masjid, gereja, pura, dan vihara). Dalam tahun 2011 telah dianggarkan biaya rehabilitasi bagi 400 masjid, 45 gereja Kristen, 25 gereja Katolik, 15 pura dan 15 vihara. Pada tahun 2011 juga dianggarkan pengadaan kitab suci regular sebanyak 100.000 eksemplar dan kitab suci bagi Tuna Netra sebanyak 2.500 eksemplar. Selain itu juga diadakan peringatan hari besar keagamaan secara kenegaraan seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj, Nuzul al-Qur'an, Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Hijriah, perayaan Natal, Tahun Baru Masehi, Paskah, Pentakosta, Kenaikan Isa Almasih, Hari Raya Nyepi, Galungan, Kuningan, hari Purnama Tilem, Kasodo, Upacara Hindu Kaharingan, Siwaratri, Piodalan, Waisak, Asadha, Kathina, Magha Puja, dan Imlek, yang dimaksudkan untuk membangun pemahaman, sikap dan tingkah laku keberagamaan masyarakat demi terwujudnya insan yang saleh, baik secara individual maupun sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perkembangan penting dalam upaya peningkatan kualitas kerukunan umat beragama adalah terlaksananya upaya-upaya reharmonisasi kehidupan sosial keagamaan daerah pascakonflik; optimalisasi antisipasi disharmoni sosial daerah rawan konflik; peningkatan kemampuan penanganan trauma pascakonflik; upaya membangkitkan motivasi dan gairah hidup; penguatan sistem antisipasi terhadap kemungkinan munculnya konflik baru; penguatan peran dan pemberdayaan nilai-nilai kearifan lokal; peningkatan pemahaman agama berwawasan multikultural; pengembangan budaya damai; participatory action research (PAR) untuk pengembangan model kerukunan; pemberdayaan organisasi keagamaan; serta penguatan peran tokoh dan pemuka agama. Pada tahun 2011 dialokasikan anggaran untuk kegiatan pemulihan pasca konflik untuk 9 lokasi. 4 - 35
Upaya meningkatkan kerukunan umat beragama juga dilakukan antara lain melalui penerbitan, sosialisasi, dan implementasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Sejak penerbitan peraturan bersama tersebut, telah berdiri sebanyak 33 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) provinsi, 421 FKUB kabupaten/kota, 17 gedung sekretariat FKUB provinsi dan 11 gedung sekretariat FKUB kabupaten/kota. Pada tahun 2011 dialokasikan dana pembangunan Sekretariat Bersama FKUB kabupaten/kota sebanyak 15 lokasi. Selanjutnya dilakukan upaya optimalisasi peran majelis dan pemuka agama untuk mengkondisikan peningkatan kualitas pemahaman keagamaan umat baik melalui pendidikan maupun penerangan; Peningkatan peran pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan sosial, ekonomi, politik yang berpihak kepada rakyat, serta pelaksanaan interfaith dialogue baik secara bilateral maupun multilateral selaras dengan hasil Rapat Koordinasi Masalah Keagamaan dan Aliran Bermasalah pada tahun 2009. Untuk menangani masalah aliran sempalan keagamaan yang muncul ke permukaan selama tahun 2010, telah dilakukan berbagai langkah, baik berupa kebijakan dan pembinaan, maupun penyelesaian konkrit di lapangan. Khusus untuk menangani kasus Ahmadiyah, gerakan Islam radikal, terorisme, dan paham liberal, telah dilakukan upaya melalui diskusi, orientasi dan pertemuan tokoh/pemuka agama Islam serta sosialisasi peraturan perundangundangan tentang keormasan. Sementara itu, dalam menangani kontroversi yang berkepanjangan menyangkut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah juga telah menerbitkan SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. 4 - 36
Selain pembinaan kerukunan antarumat beragama, Kementerian Agama juga terus melakukan pembinaan kerukunan intern umat beragama, antara lain dengan menyelenggarakan pertemuan tokoh internal agama dan para pembina ormas keagamaan. Dalam kegiatan pembinaan intern ini diupayakan internalisasi ajaran agama berwawasan multicultural seperti pembinaan kerukunan umat beragama internal agama Kristen dilaksanakan antara lain dengan menjadi mediator dalam penyelesaian konflik internal Sinode Gereja, serta pembinaan kerukunan umat beragama internal Hindu diwujudkan dengan melaksanakan kegiatan Simakrama (pertemuan antar tokoh-tokoh agama). Sejalan dengan langkah tersebut, telah dilakukan pula berbagai kegiatan diklat dan orientasi kerukunan bagi para penyuluh agama, dai/juru penerang dan sejenisnya; dan program bantuan buku-buku keagamaan dalam rangka pencerahan wawasan keagamaan masyarakat. Upaya membangun kerukunan umat beragama juga dilakukan bagi kalangan generasi muda lintas agama melalui kegiatan peningkatan pemahaman dan wawasan serta pengamalan ajaran agama yang berwawasan multikultural, kegiatan-kegiatan tersebut antara lain berupa kunjungan dan dialog pemuda lintas agama, dengan melibatkan 200 pemuda dari berbagai organisasi dan latar belakang agama, pertemuan pemuda lintas agama yang berasal dari 92 negara anggota Asia-Europe Meeting (ASEM) yang dalam pertemuan tersebut dihasilkan kesepakatan tentang perlunya membangun kerjasama internasional pemuda untuk menumbuhkan pemahaman dan kerjasama dalam membangun kerukunan baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Dalam rangka peningkatan layanan administrasi keagamaan, dalam tahun 2010 telah dibangun 357 gedung KUA baru dan rehabilitasi 1.213 gedung KUA, bantuan alat pengolah data, serta penyediaan dana operasional 5.025 KUA, pemilihan KUA teladan, dan Pemilihan Keluarga Sakinah Teladan. Pada tahun 2011 biaya operasional KUA meningkat menjadi Rp 2 juta/bulan, dianggarkan biaya rehabilitasi bagi 750 unit KUA, serta pengadaan sarana 4 - 37
perkantoran bagi 1.000 KUA. Demikian pula dalam upaya mengintensifkan peran penyuluh agama telah dilakukan program pemberian honor insentif bagi 90.510 penyuluh agama non PNS bagi semua agama setiap tahun. Pada tahun 2011 tunjangan penyuluh agama non PNS meningkat menjadi Rp.1.800.000,- per tahun. Di samping itu, sejak akhir tahun 2010, dalam struktur organisasi Kementerian Agama, pelayanan bagi umat Konghucu telah diatur secara struktural melalui Peraturan Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama, yaitu dengan membentuk unit Eselon III Bidang Bimbingan Masyarakat Konghucu pada Pusat Kerukunan Umat Beragama. Untuk meningkatkan kesejahteraan umat beragama telah dilakukan berbagai upaya optimalisasi pengelolaan dana sosial keagamaan. Di lingkungan umat Islam telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam penerimaan zakat yang dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional, yaitu dari Rp 300 miliar pada tahun 2006 menjadi Rp 1,0 triliun pada tahun 2009. Untuk meningkatkan penerimaan dan pengelolaan zakat, pada tahun 2010 telah dilaksanakan, antara lain (1) pembinaan terhadap tenaga teknis penyuluh zakat, pengelola zakat bagi pengurus masjid, bimbingan ibadah sosial, penerima bantuan modal usaha, pendamping zakat, pemberdayaan pada fakir miskin, petugas ibadah sosial, pengurus yatim piatu, pemberdayaan zakat di lingkungan UKM, pendayagunaan zakat bagi penerima bantuan zakat, pembinaan akuntasi zakat yang diadakan di berbagai daerah di Indonesia, penyuluhan sadar zakat di lingkungan pemerintah daerah; (2) pembinaan zakat melalui sistem data base di Sumatera Barat dan Jakarta, persiapan akreditasi Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) di 33 Provinsi sebagai upaya melakukan standarisasi manajemen pengelolaan, pemberdayaan dan pengembangan zakat; (3) pembinaan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di lingkungan BUMN dan swasta, BAZDA yang diselenggarakan di Papua Barat, Maluku Utara dan Sulawesi Tengah; dan (4) revitalisasi pengelolaan zakat produktif, sosialisasi melalui media cetak dan elektronik, 4 - 38
mudzakarah nasional di lingkungan tokoh agama, gerakan sadar zakat di lingkungan perguruan tinggi, serta orientasi pemutakhiran data pengelolaan zakat. Pada program penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, perkembangan penting yang telah dicapai antara lain diperolehnya sertifikat sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 sebagai indikator semakin membaiknya manajemen pelayanan ibadah haji. Demikian juga pemondokan bagi jemaah semakin banyak yang berlokasi di ring satu/dekat dengan masjidil haram. Beberapa peningkatan pelayanan dan pembenahan di Arab Saudi antara lain (1) mengubah sistem pemondokan di Arab Saudi dari sistem subsidi silang menjadi sistem proporsional, sehingga jemaah haji membayar pemondokan sesuai dengan yang dihuni; (2) menghapus biaya pelayanan umum (khadamat) kepada Muassasah/Maktab yang tidak jelas pemanfaatannya; dan (3) semenjak tahun 2005 telah disediakan katering selama jemaah haji berada di Madinah yang pelayanannya selalu ditingkatkan. Sejumlah langkah perbaikan pelayanan haji yang telah ditempuh antara lain adalah perbaikan sistem pendaftaran dengan prinsip first come first served. Sistem ini telah dapat memberikan kepastian keberangkatan pada calon jemaah dan terpenuhinya rasa keadilan. Untuk terlaksananya prinsip first come first served, salah satu kegiatannya ialah pengembangan Sistem Komputerisasi Haji (Siskohat) yang dilaksanakan sejak tahun 1425H/2004 M. Di samping itu, sistem ini juga dapat melindungi jemaah dengan menghilangkan praktek percaloan jual beli kuota oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain perbaikan sistem pendaftaran, telah dilangsungkan pula peningkatan bimbingan jemaah haji melalui penambahan frekuensi bimbingan dari yang semula tiga kali di tingkat kabupaten/kota menjadi empat belas kali, yaitu. sebanyak sepuluh kali di KUA kecamatan, dan empat kali di tingkat kabupaten/kota. Demikian juga perubahan struktur komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) menjadi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Dengan sistem ini, jemaah haji hanya 4 - 39
membayar komponen biaya langsung, sedangkan komponen biaya tidak langsung dibebankan pada APBN dan hasil atau manfaat dari dana setoran awal jemaah haji. Laporan BPIH disusun tepat waktu dan neraca keuangannya disampaikan kepada masyarakat luas melalui media massa nasional. Layanan embarkasi juga ditingkatkan, yaitu dengan menambah embarkasi baru di Palembang dan Padang, serta satu embarkasi transit di Gorontalo. Peningkatan layanan embarkasi juga dilakukan dalam bentuk peningkatan kualitas pelayanan katering, akomodasi, dokumen perjalanan, dan dukungan operasional PPIH embarkasi. Pada tahun 2011 dialokasikan anggaran bagi Pengembangan dan Rehabilitasi Asrama Haji Transit dan Embarkasi pada 15 lokasi. Selain itu juga disediakan anggaran untuk pembangunan dan rehabilitasi gedung asrama haji dan pembangunan Siskohat pada tingkat kabupaten/kota. Beberapa dampak positif dari langkah-langkah pembenahan tersebut di atas antara lain pembinaan yang makin meningkat, pelayanan yang semakin baik, adanya perlindungan dan rasa adil bagi jemaah, serta peningkatan manajemen penyelenggaraan haji khususnya di bidang organisasi, tata-laksana, SDM dan pengelolaan BPIH yang lebih transparan dan akuntabel. Adapun capaian Kementerian Agama dalam penyelenggaraan ibadah haji selama tahun 2008 – 2010 dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
4 - 40
TABEL 4.2 CAPAIAN PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI TAHUN 2008-2010 No. 1 2
3
4
5 6
Komponen Kegiatan Kuota Jarak penginapan jemaah di ring satu Katering
2008
2009
2010
207.000 18%
211.000 26,4%
221.000 63%
Biaya pelayanan katering bagi jemaah haji di Armina mulai tahun 2008 sebesar SR 275 dengan rincian SR 215 untuk makan sebanyak 15 kali dan SR 60 untuk biaya logistik (sarana dan prasarana pelayanan katering) ditambah dengan pelayanan coffee shop.
Biaya pelayanan katering bagi jemaah haji di Armina mulai tahun 2008 sebesar SR 275 dengan rincian SR 215 untuk makan sebanyak 15 kali dan SR 60 untuk biaya logistik (sarana dan prasarana pelayanan katering) ditambah dengan pelayanan coffee shop. Pembangunan rumah sakit haji Indonesia tipe C di Makkah
Biaya pelayanan katering bagi jemaah haji di Armina mulai tahun 2008 sebesar SR 275 dengan rincian SR 215 untuk makan sebanyak 15 kali dan SR 60 untuk biaya logistik (sarana dan prasarana pelayanan katering) ditambah dengan pelayanan coffee shop. Pembangunan rumah sakit haji Indonesia tipe C di Madinah
Pelayanan Kesehatan
Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) menyatu dengan Kantor Misi Haji Daker Makkah dan Daker Madinah BPIH USD 3.430 USD 3.444 USD 3.364 RP 501.000 Rp 100.000 Rp 0 Penyelenggaraan haji sejak tahun 2008-2010 dinilai berhasil, mengingat: a) memperoleh sertifikat SMM ISO 9001:2008; b) menjadi contoh bagi negara lain; dan c) penyelenggara haji Indonesia menjadi trainer di negara Rusia.
Sumber: Kementerian Agama 2008-2010
Kebudayaan. Berbagai langkah kebijakan yang ditempuh dalam rangka mempertahankan dan memperkuat jati diri dan karakter bangsa adalah (1) penguatan jati diri dan karakter bangsa yang berbasis pada keragaman budaya, (2) peningkatan apresiasi 4 - 41
terhadap keragaman serta kreativitas seni dan budaya, (3) peningkatan kualitas perlindungan, penyelamatan, pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya, serta (4) pengembangan sumber daya kebudayaan. Hasil-hasil yang dicapai melalui penguatan jati diri dan karakter bangsa yang berbasis pada keragaman budaya pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011, antara lain adalah (1) Pelestarian dan Pengembangan Nilai-Nilai Tradisi, antara lain (a) pembinaan penyelenggaraan Pasar Pesona Budaya, (b) Festival Tradisi Bahari, (c) Festival Film Kearifan Budaya Lokal, (d) pendukungan kegiatan Pekan Produk Budaya Kreatif Indonesia, (e) Pesta Permainan Anak Tradisional; (2) Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa, antara lain peningkatan peran masyarakat dalam membangun karakter dan pekerti bangsa siswa dan mahasiswa, tokoh masyarakat, budayawan, tokoh agama, tokoh adat, LSM, akademisi dan masyarakat umum yang peduli dengan kebudayaan; (3) Pengembangan Masyarakat Adat, antara lain pemetaan dan etnografi Komunitas Adat dan monografi budaya spiritual dan pembinaan pelaku budaya spiritual bagi generasi muda, sarasehan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (4) Peningkatan Sensor Film, antara lain terlaksananya sensor film dan video 63.658 film; (5) Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, antara lain identifikasi dan kajian organisasi sosial; (6) Pengembangan Nilai Sejarah antara lain Lawatan Sejarah Nasional (LASENAS) VIII di Kalimantan Selatan, Pekan Nasional Cinta Sejarah (PENTAS), serta penerbitan Buku Sejarah Kebudayaan Indonesia dan Buku Indonesia Dalam Arus Sejarah; dan (7) Pengembangan Geografi Sejarah, antara lain (a) Arung Sejarah Bahari V (AJARI V) di wilayah Nusa Tenggara Timur; (b) Kemah Wilayah Perbatasan (KAWASAN); (c) penyusunan Ensiklopedi Toponimi Wilayah Indonesia. Dalam rangka peningkatan apresiasi terhadap keragaman serta kreativitas seni dan budaya, hasil-hasil yang telah dicapai pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011, antara lain adalah (1) pelestarian dan pengembangan kesenian, antara lain (a) inventarisasi Warisan Budaya Takbenda Indonesia dengan mengacu kepada 4 - 42
kaidah-kaidah pencatatan dari UNESCO sebanyak 1.510 karya budaya dari 33 provinsi di Indonesia; (b) penerbitan dan sosialisasi Panduan Pencatatan Warisan Budaya Takbenda dalam dwi bahasa (Practical Handbook for Inventory of Intangible Cultural Heritage of Indonesia); (c) ditetapkannya Angklung Indonesia dalam Daftar Representasi Budaya Takbenda Warisan Manusia (Representative List of Intangible Culture Heritage of Humanity) dan pada tahun 2010 telah diusulkan Tari Saman ke dalam Daftar yang Memerlukan Pelindungan Mendesak (Urgent Safeguarding List). Sedangkan pada tahun 2011, kerajinan tangan Noken dari Papua diusulkan dalam daftar yang memerlukan pelindungan yang mendesak, serta Tari Tradisi Bali diusulkan dalam daftar Repesentasi Budaya Tak Benda Warisan Dunia, dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dalam daftar cara-cara pelestarian terbaik (best practice); (d) Gita Bahana Nusantara dengan anggota yang mewakili putra-putri terbaik bangsa dari semua provinsi di Indonesia; dan (e) Lomba cipta seni, lomba Pameran Foto Karya Pembangunan dan pameran budaya Nusantara; (2) pengembangan perfilman nasional antara lain melalui (a) pengiriman delegasi dan film ke Festival Film di Luar Negeri; (b) dukungan program pada komunitas perfilman; (c) Workshop Film Dokumenter; (d) jumlah produksi film nasional yang berkualitas dan telah lulus sensor sebanyak 122 judul film; (3) pengembangan galeri nasional antara lain pameran seni rupa sebanyak 39 kali, dengan jumlah karya seni rupa yang dipamerkan sebanyak 2.538 karya seni, yang melibatkan 921 orang seniman, serta jumlah pengunjung sebanyak 16.178 orang dan (4) Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional antara lain Penelitian dan kajian bidang sejarah dan nilai tradisional. Sementara upaya peningkatan kualitas pelindungan, penyelamatan, pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya menunjukkan tumbuhnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan kekayaan dan warisan budaya. Berbagai hasil yang telah dicapai pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011, antara lain adalah (1) pengembangan pengelolaan peninggalan bawah air antara lain survei dan pemetaan situs; konservasi dan inventarisasi hasil pengangkatan, eksplorasi situs dan pameran 4 - 43
peninggalan bawah air; (2) pengembangan pengelolaan peninggalan kepurbakalaan antara lain (a) Kesepakatan Bentuk Lembaga Pengelolaan Terpadu Warisan Budaya Dunia Candi Borobudur, Kawasan Situs Manusia Purba Sangiran, Kawasan Candi Prambanan; (b) Pengembangan Taman Majapahit, dengan menyelasaikan pembangunan tahap I di Situs Segaran dan Situs Kedaton; (c) pemugaran Kompleks Candi Prambanan, Candi Sewu, dan beberapa candi lainnya yang rusak akibat gempa; (d) pemugaran dan pengembangan Candi Kimpulan di Kompleks Universitas Islam Indonesia; dan Revitalisasi Fort Rotterdam di Makassar Sulawesi Selatan; (3) pengembangan pengelolaan permuseuman, antara lain terselesaikannya revitalisasi 6 museum, yaitu Museum Negeri Jawa Timur (Surabaya), Museum Negeri Kalimantan Barat (Pontianak), Museum Negeri Jambi (Jambi), Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (Mataram), Museum Negeri Sumatera Utara, dan Museum Negeri Batak TB Silalahi di Balige Sumatera Utara; (4) pengembangan pengelolaan museum nasional, antara lain pelaksanaan kerjasama bidang museum dengan luar negeri; dan (5) pelestarian peninggalan sejarah dan purbakala antara lain pembuatan diorama perjalanan perjuangan Pangsar Soedirman di Monumen Sejarah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sedangkan upaya pengembangan sumber daya kebudayaan terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, profesionalisme, dan daya saing sumberdaya kebudayaan yang adaptif terhadap kebutuhan seluruh pemangku kepentingan pembangunan kebudayaan. Berbagai hasil yang telah dicapai pada kurun waktu tahun 2010 sampai dengan Juni 2011, antara lain adalah (1) penelitian dan pengembangan bidang kebudayaan sebanyak 13 judul penelitian dan (2) penelitian dan pengembangan arkeologi, sebanyak 144 judul penelitian serta (3) pengembangan pendidikan kebudayaan antara lain kajian pengembangan pendidikan kebudayaan di beberapa perguruan tinggi. Kesejahteraan Sosial. Langkah-langkah kebijakan dan hasil yang dicapai dalam perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dilaksanakan melalui program-program dan kegiatan 4 - 44
yang berkesinambungan. Beberapa program yang sebelumnya bersifat ujicoba secara berangsur-angsur ditingkatkan cakupannya menuju program yang bersifat menyeluruh dan menjadi program reguler dengan disertai pengawasan dan evaluasi. Sejak tahun 2007, Program Keluarga Harapan (PKH) dilaksanakan sebagai salah satu kebijakan terobosan dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan. PKH ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga RTSM yang memiliki anak balita, atau anak usia sekolah setingkat SD-SMP, atau ibu hamil dan menyusui. Sesuai dengan tujuannya, sasaran PKH adalah RTSM yang memenuhi kriteria dan syarat tertentu yaitu ibu hamil, ibu menyusui, anak berusia 0-5 tahun, dan anak usia sekolah setingkat SD-SMP. Dalam RPJMN tahun 2010-2014, pelaksanaan PKH masuk dalam kegiatan prioritas nasional, dengan sasaran terlaksananya pemberian bantuan tunai bersyarat. Tahun 2011 pelaksanaan PKH difokuskan pada persiapan perluasan kegiatan yang mencakup pelaksanaan Survei Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan (SPDKP), perekrutan dan pelatihan pendamping, operator dan koordinator wilayah, pelatihan penyedia layanan, sosialisasi di daerah, penguatan sarana dan prasarana, serta pemantapan pelaksanaan PKH secara keseluruhan. Dari perspektif kesejahteraan sosial, PKH dilaksanakan dalam rangka mengembangkan sistem perlindungan sosial di Indonesia, khususnya bagi RTSM. Persyaratan peserta PKH untuk memeriksakan kesehatan kehamilan ibu-ibu, memberikan imunisasi dan pemantauan tumbuh kembang anak, serta menyekolahkan anakanak, diharapkan dapat membawa perubahan perilaku RTSM dalam kesehatan dan pendidikan. Peserta PKH, sesuai perkembangannya mengalami peningkatan setiap tahunnya. Perkembangan jumlah peserta PKH, dimungkinkan dengan diberlakukannya sistem terbuka (open system), sehingga RTSM yang tidak memenuhi syarat, atau menjadi tidak layak (non-eligible) terhadap kriteria PKH (misalnya pindah 4 - 45
rumah, anak lulus dari SMP, dan lainnya), dapat segera digantikan oleh RTSM lain yang memenuhi persyaratan. Pembaruan data dan pola penyaluran PKH dapat melibatkan aparat daerah setempat seperti kepala rukun warga (RW), rukun tetangga (RT), kepala dusun (Kadus), ataupun kepala desa (Kades). Sejak diluncurkan tahun 2007, PKH telah dilaksanakan di 13 provinsi di 70 kabupaten/kota, 739 kecamatan dengan sasaran 726.000 RTSM, dengan 3.600 pendamping PKH dan 416 operator yang bekerja pada UP-PKH (Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan). Pada tahun 2010, terdapat penambahan lokasi sejumlah 7 provinsi dan 18 kabupaten/kota dengan 90.000 RTSM, sehingga jumlah peserta PKH secara keseluruhan menjadi 20 provinsi, 86 kabupaten/kota dengan 816.000 RTSM. Pada tahun 2011, lokasi PKH dikembangkan menjadi 25 provinsi dengan jumlah peserta menjadi 1.116.000 RTSM. Hingga pertengahan tahun 2011 realisasi pelaksanaan PKH tahap I adalah sejumlah 695.365 RTSM. Hasil evaluasi dampak PKH terhadap aksesibilitas RTSM dalam mendapatkan pelayanan dasar, khususnya bidang kesehatan dan pendidikan, adalah meningkatnya aksesibilitas terhadap layanan kesehatan. Persentase pemeriksaan ibu hamil ke layanan kesehatan sudah mencapai di atas 60 persen, dengan persentase tertinggi dicapai oleh provinsi Gorontalo, yaitu sebesar 96 persen. Kunjungan bayi dan balita ke layanan kesehatan terjadi peningkatan sebanyak 34 persen, jika dibandingkan tahun 2009 yang hanya mencapai 31 persen. Kontribusi bantuan PKH juga berpengaruh terhadap APK (Angka Partisipasi Kasar) SD/MI/Paket A/Sederajat signifikan, dan terhadap SMP/MTs/Paket B/Sederajat. Dari pemanfaatan dana bantuan PKH oleh RTSM, bantuan telah digunakan sesuai peruntukannya terutama untuk biaya pendidikan, biaya transportasi ke sekolah anak, dan konsumsi makanan. Persentase penggunaan dana bantuan adalah 87,83 persen untuk membeli seragam sekolah anak, 57,72 persen untuk transportasi sekolah anak, dan 39,31 persen untuk konsumsi makanan. Dari hasil evaluasi PKSA (Program Kesejahteraan Sosial Anak) tahun 2010, diketahui terdapat peningkatan kesejahteraan 4 - 46
anak-anak yang sebelumnya berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, termarjinalkan dan tidak memiliki akses ke dalam sistem pelayanan sosial dasar. Beberapa perbaikan terjadi pada keluarga yang bertanggungjawab dalam pengasuhan dan perlindungan anak, yaitu mencapai 80-90 persen dari target dukungan keluarga (family support). Selain itu, anak balita miskin yang terpenuhi kebutuhan dasarnya mencapai 90 persen, anak jalanan yang tidak kembali ke jalanan mencapai 73 persen, ABH (anak berhadapan dengan hukum) yang memperoleh keadilan restoratif (restorative justice) mencapai 75 persen dan AMPK (anak yang membutuhkan perlindungan khusus) mencapai 90 persen. Pekerja sosial yang terlatih di bidang kesejahteraan dan perlindungan anak mengalami pertambahan jumlah dari 80 orang menjadi 228 orang. Hal yang menggembirakan terjadi karena pemerintah daerah telah ikut bermitra dan berkontribusi dalam pelaksanaan PKSA melalui APBD, dengan peningkatan sebesar 10 persen. Sampai dengan pertengahan bulan Juni tahun 2011 telah dilaksanakan beberapa kegiatan pelayanan sosial bagi lanjut usia dalam bentuk pemberian Jaminan Sosial Lanjut Usia (JS-LU), bantuan kebutuhan dasar, pendampingan dan perawatan bagi lanjut usia, dan peningkatan keterampilan, serta bantuan pengembangan usaha. Pada tahun 2010 telah diberikan JSLU kepada 10.000 orang, dan tahun 2011 penerima bantuan JSLU menjadi 13.250 orang. Pada tahun 2010, bantuan kebutuhan dasar dalam panti diberikan kepada 8.000 orang dan tahun 2011 kepada 11.000 orang. Pada tahun 2011, dilaksanakan beberapa layanan uji coba, seperti pendampingan dan perawatan lanjut usia kepada 250 orang, pelayanan harian lanjut usia kepada 200 orang, layanan Trauma Center lanjut usia kepada 50 orang, dan bantuan keterampilan lanjut usia potensial kepada 40 orang. Selain itu, dilaksanakan pula beberapa kegiatan lain seperti pemberian subsidi panti untuk penambahan bahan makanan dengan jumlah sasaran 8.000 orang lanjut usia, pelayanan kedaruratan kepada 80 orang, pelayanan sosial lanjut usia dekonsentrasi sebanyak 815 orang, bantuan pengembangan usaha kepada 2.681 orang, dan pelayanan melalui panti sosial tresna werdha kepada 211 orang. 4 - 47
Kegiatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan akses, serta perlindungan sosial para penyandang cacat atau orang dengan kecacatan khususnya penyandang cacat berat, dilaksanakan berbasis pemenuhan hak asasi manusia, yang juga merupakan bagian dari sasaran RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010-2014, dan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pembangunan yang Berkeadilan. Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain adalah pemberian bantuan dalam bentuk JSPC (Jaminan Sosial Penyandang Cacat) bagi penyandang cacat berat, yang telah dilaksanakan sejak tahun 2006, dan pada tahun 2011 diberikan kepada 19.500 orang. Bantuan ini dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para penyandang cacat di 33 provinsi, 258 kabupaten/kota, dengan jumlah pendamping sejumlah 800 orang. Selain itu, dilaksanakan pula pemberian bantuan tambahan pemenuhan dasar untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dalam bentuk permakanan bagi penyandang cacat dalam panti untuk 13.500 orang. Selama tahun 2010 sampai dengan bulan Juni 2011, pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi para penyandang masalah tuna sosial terutama tuna susila, pengemis, gelandangan, bekas warga binaan pemasyarakatan, korban penyalahgunaan napza, penyandang HIV/AIDS, dan keluarga bermasalah sosial psikologis, terutama pada kelompok masyarakat yang miskin dan rentan dilaksanakan melalui fasilitas rehabilitasi melalui panti sosial dan penyuluhan secara langsung. Bagi penyalahguna Napza, pada tahun 2010 telah dilakukan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi korban melalui melalui lembaga dan luar lembaga (berbasis komunitas) sebanyak 5.705 orang dan tahun 2011 sebanyak 7.520 orang. Selain itu, diberikan pula bantuan tambahan kebutuhan dasar bagi lembaga rehabilitasi kesejahteraan sosial tahun 2010 sebanyak 1.000 orang dan tahun 2011 sebanyak 1.100 orang. Dalam kejadian bencana alam, untuk mendukung pencapaian sasaran terpenuhinya kebutuhan darurat bagi korban bencana alam, maka dilakukan kegiatan antara lain pemberian bantuan BBR (bahan bangunan rumah) sesuai target RKP kepada 3.000 KK yang 4 - 48
kegiatannya dilaksanakan melalui kerjasama dengan pihak TNI. Hingga saat ini, realisasi pemberian bantuan adalah sebanyak 2.729 KK yang tersebar di 12 provinsi dan 20 kabupaten/kota. Dalam pemberian bantuan terhadap korban bencana, terdapat dua macam indeks yaitu bantuan rehabilitasi bagi 1.258 KK, yang besaran bantuannya adalah Rp10.000.000, sedangkan bantuan relokasi adalah Rp15.000.000 yang diberikan bagi 1.471 KK. Bantuan lain yang diberikan adalah dalam bentuk santunan bagi ahli waris korban bencana alam yang meninggal, yaitu sampai Desember 2010 sebanyak 348 jiwa atau sekitar 87 persen. Mulai tahun 2010, dilaksanakan kegiatan “Kampung Siaga Bencana” untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan bencana secara partisipatif. Target yang sedianya direncanakan bagi 33 provinsi saat ini baru dapat terealisasikan di 27 provinsi. Keberhasilan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dalam meningkatkan harkat dan martabat KAT ditandai dengan kemajuan dalam berbagai kehidupan warga KAT dan menurunnya tingkat keterpencilan dan ketertinggalan lokasi yang sudah menjadi desa– desa definitif dan bahkan menjadi ibukota kecamatan. Sampai tahun 2010, melalui pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil telah diberdayakan sebanyak 75.621 KK. Beberapa kegiatan untuk pemberdayaan KAT, pada tahun 2010 telah dilaksanakan sebanyak 11.806 KK, baik yang dilaksanakan melalui pemberdayaan tahun I, II, III dan purnabina. Sedangkan untuk tahun 2011 sedang dilakukan pemberdayaan KAT sebanyak 9.787 KK yang tersebar di 27 provinsi melalui dekonsentrasi dan di 7 kabupaten melalui pemberian dana tugas pembantuan ke kabupaten. Sedangkan sisanya yang belum diberdayakan sebanyak 127.621 KK akan tetap dilaksanakan, sehingga jumlah populasi tersebut akan berkurang. Selain itu, mulai tumbuhnya kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan terbentuknya lembaga sosial masyarakat dan semakin meluasnya menerima pembangunan lintas sektor serta meningkatnya aksesbilitas KAT terhadap pelayanan sosial dasar. Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Dengan memperhatikan permasalahan di atas, maka langkah-langkah 4 - 49
kebijakan dalam pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan adalah (1) peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, melalui peningkatan aksesibilitas dan kualitas program/kegiatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum; (2) perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, melalui pencegahan dan peningkatan kualitas penanganan perempuan dalam bentuk penyusunan dan harmonisasi kebijakan, dan fasilitasi implementasi kebijakan; dan (3) peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan, melalui penguatan komitmen para pengambil keputusan, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, penyediaan data terpilah, pengembangan sistem monitoring dan evaluasi yang responsif, dan peningkatan koordinasi dan kemitraan antarpara pemangku kepentingan. Adapun hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sampai dengan bulan Juni tahun 2011 adalah sebagai berikut: Hasil yang dicapai untuk Kebijakan pelaksanaan PUG di bidang ekonomi antara lain adalah ditetapkannya lima Peraturan Menteri Negara PP dan PA di bidang Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian, Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Perdagangan, dan Perindustrian, serta untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah Bidang Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Kelima Permen tersebut telah ditindaklanjuti oleh kementerian/lembaga terkait dengan tersusunnya program/kegiatan yang responsif gender untuk tahun anggaran 2011 dan 2012. Selain itu, telah dikeluarkan pula beberapa pedoman perencanaan dan penganggaran yang responsif gender di bidang Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Keuangan. Pedomanpedoman tersebut telah digunakan oleh K/L terkait dalam upaya penyusunan anggaran responsif gender di tiap K/L dan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia dalam penyusunan rencana program dan kegiatan. 4 - 50
Sedangkan hasil yang telah dicapai di bidang politik, sosial, hukum dan pendidikan antara lain adalah: ditetapkannya Permenneg PP dan PA tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, Pencegahan dan Penanggulangan HIVAIDS yang Responsif Gender, Keluarga Berencana, pelaksanaan PUG di Madrasah, dan PPRG pada pendidikan Islam. Di samping itu, telah ditetapkan pula permenneg PP dan PA tentang pedoman PPRG di Kementerian PAN dan RB, dan Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pendidikan Politik pada Pemilihan Umum. Sedangkan pada tahun 2011, telah ditetapkan Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Strategi Nasional Sosial Budaya untuk Mewujudkan Kesetaraan Gender, dan Panduan PPRG untuk bidang kesehatan dan lingkungan hidup Sementara itu, terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang PUG, beberapa hasil yang telah dicapai antara lain adalah tersusunnya Naskah Akademis RUU tentang Kesetaraan Gender dan Draft Inpres tentang Percepatan PUG, dan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Di tingkat daerah telah ditetapkan beberapa peraturan daerah yang terkait dengan pelaksanaan PUG antara lain: Perda dan SE Gubernur Jawa Tengah, Pergub DKI, Keputusan Gubernur Jawa Barat, Pergub Jawa Timur, KepGub Sulawesi Tenggara, KepGub Kalimantan Selatan, KepGub Lampung, dan SE Gub DI Yogyakarta. Di samping itu, telah ditetapkan pula Nota Kesepakatan Bersama (MoU) antara Kementerian PP dan PA dengan beberapa K/L dan Pemerintah Provinsi, antara lain dengan: Kementerian Koperasi dan KUKM, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Badan Narkotika Nasional, Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional, dan Badan Pusat Statistik, dan MoU dengan 32 4 - 51
Pemerintah Provinsi tentang Pencapaian Kinerja Program Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2010-2014. Selanjutnya, pada tahun 2011 juga telah dibentuk ASEAN Committee on Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) dalam rangka memajukan dan melindungi HAM dan kebebasan fundamental perempuan dan anak serta mendukung, memajukan, melindungi, dan memenuhi hak-hak perempuan dan anak di ASEAN; serta telah disusunnya laporan CEDAW (Convention on the Elimination of Descrimination Against Women) VI dan VII Periodik 2004-2009 sebagai Kewajiban Negara kepada PBB melalui Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri. Sementara itu, beberapa hasil yang dicapai dalam upaya perlindungan perempuan antara lain adalah sebagai berikut: (1) terbentuknya Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO di 21 provinsi dan 72 kabupaten/kota sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2009 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang; (2) ditandatanganinya kesepakatan bersama antar 8 provinsi untuk optimalisasi dan sinergi upaya pencegahan dan penanganan TPPO, yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung; (3) Ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. SPM tersebut sudah disosialisasikan di 33 Provinsi, lima Provinsi telah menerapkan SPM tersebut, yaitu: DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten, sedangkan dua provinsi lain, yaitu Bali dan Kepulauan Riau sedang melaksanakan uji coba SPM tersebut. Untuk mendukung Permeneg PP dan PA Nomor 1 Tahun 2010 tersebut, Kementerian Dalam Negeri telah menetapkan Surat Edaran Nomor 100/676/SJ, tanggal 7 Maret Tahun 2011 Tentang Percepatan Penerapan SPM di daerah; (4) ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Panduan Umum Bina Keluarga Tenaga Kerja 4 - 52
Indonesia (TKI). Kebijakan tersebut telah disosialisasikan di 8 provinsi dan 8 kabupaten, yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan Sulawesi Selatan, dan kedelapan provinsi tersebut telah berkomitmen untuk melaksanakan kebijakan Bina Keluarga TKI ini; (5) ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Panduan Umum Pembentukan Pusat Informasi dan Konsultasi Bagi Perempuan Penyandang Cacat, yang diimplementasikan di Kota Jambi dan Kota Sidoarjo; dan (6) ditetapkannya Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Model Perlindungan Perempuan Lanjut Usia yang Responsif Gender, yang sudah diimplementasikan di Kabupaten Tulung Agung dan Kota Binjai. Sedangkan dalam upaya penyediaan pelayanan kepada korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, telah dibentuk dan difungsikan lembaga-lembaga pelayanan perempuan dan anak korban kekerasan, yaitu antara lain: Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 20 provinsi dan 117 kabupaten/kota; Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UUPA) sebanyak 305 yang berlokasi di Polda dan Polres; Pusat Krisis Terpadu (PKT) bagi perempuan korban kekerasan berbasis Rumah Sakit di 22 Rumah Sakit Umum Daerah dan Vertikal, serta Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di 42 Rumah Sakit Polri; Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) sebanyak 29 buah dan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) sebanyak 15 buah; dan Crisis Centre/Women Trauma Centre yang jumlahnya mencapai 42 buah, dan tersebar di seluruh Indonesia Perlindungan Anak. Dengan memperhatikan permasalahan tersebut di atas, maka sasaran perlindungan anak tahun 2011 adalah meningkatnya efektivitas kelembagaan perlindungan anak, baik di tingkat nasional maupun daerah. Dalam rangka pencapaian sasaran, langkah-langkah kebijakan peningkatan perlindungan tahun 2011 adalah peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, melalui: (a) penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan 4 - 53
anak; (b) peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak; (c) peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan anak; dan (d) peningkatan koordinasi dan kemitraan antarpemangku kepentingan terkait pemenuhan hak-hak anak. Langkah-langkah kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak, serta meningkatkan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Adapun hasil-hasil yang dicapai sampai dengan bulan Juli tahun 2011 adalah sebagai berikut. Pertama, dalam rangka meningkatkan kapasitas para pelaksana Program Perlindungan Anak, telah dilaksanakan pelatihan secara berjenjang tentang pembangunan berbasis sistem (system building approach) dalam Program Perlindungan Anak bagi para pengambil kebijakan dan staf teknis perlindungan anak dari kementerian/lembaga terkait di tingkat pusat dan SKPD terkait dari 7 provinsi, yaitu Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Pelatihan tersebut juga bermanfaat untuk meningkatkan komitmen dan koordinasi diantara kementerian/lembaga dan SKPD terkait. Kedua, dari segi penyediaan data dan informasi perlindungan anak, telah dilaksanakan kajian untuk menilai kondisi sistem informasi perlindungan anak di Indonesia dan penyusunan indikator komposit perlindungan anak. Selain itu, telah dikembangkan pula database pencatatan dan pelaporan perempuan dan anak korban kekerasan. Selanjutnya, sedang direncanakan pelaksanaan survei prevalensi kekerasan terhadap anak. Ketiga, untuk penguatan dasar hukum dan kebijakan yang mendukung peningkatan perlindungan anak, telah disusun/diterbitkan/ditandatangani (1) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 02 Tahun 2010 Tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Anak (PPKTA) 2010-2014; (2) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak Tingkat Provinsi; (3) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Teknis Kabupaten/Kota 4 - 54
Layak Anak di Desa/Kelurahan; (4) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Pedoman Umum Penanganan ABH; (5) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Panduan Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat dan Lembaga Pendidikan; (6) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 03 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pemenuhan Hak Partisipasi Anak; (7) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Partisipasi Anak; (8) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pedoman Kebijakan Pemenuhan Hak Pendidikan Anak; (9) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan; (10) Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Peningkatan Ketahanan Keluarga Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus (AMPK); (11) Surat Edaran Menteri Negara PP dan PA Nomor 03/KPPPA/Dep.IV/1/2011 tanggal 10 Januari 2011 untuk mensosialisasikan/ menindaklanjuti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 472.11/5111/SJ Tentang Perpanjangan Masa Berlaku Dispensasi Pelayanan Pencatatan Kelahiran; (12) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum; (13) Pedoman Advokasi Tumbuh Kembang Anak Usia Dini di Bidang Kesehatan; dan (14) Pedoman Antisipasi Terhadap Dampak Perubahan Global Bagi Kesehatan. 4.3.
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Tindak lanjut yang akan dilaksanakan untuk mencapai sasaran serta mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan dilakukan berbagai upaya dan tindaklanjut, sebagai berikut: Kependudukan dan KB. Pembangunan Kependudukan dan KB tindak lanjut yang diperlukan adalah pada upaya: 4 - 55
1)
2)
3)
Revitalisasi program KB, yang ditekankan pada penguatan akses dan kualitas pelayanan KB melalui penguatan kapasitas tenaga dan kelembagaan KB di lini lapangan dalam rangka pembinaan dan peningkatan peserta/akseptor KB serta peningkatan kemandirian ber-KB; promosi dan penggerakan masyarakat yang didukung dengan pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk; peningkatan dukungan sarana dan prasarana pelayanan program KB; peningkatan pemanfaatan sistem informasi manajemen (SIM) berbasis teknologi informasi. Di samping itu, dilakukan pula pelatihan, penelitian, dan pengembangan program kependudukan dan KB; serta peningkatan kualitas manajemen program dan kegiatan; Penyerasian kebijakan pengendalian penduduk, yang ditekankan pada inventarisasi dan identifikasi peraturan perundangan dan kebijakan sektor yang terkait dengan program kependudukan dan KB; penyusunan peraturan perundangan pengendalian penduduk; perumusan kebijakan kependudukan yang sinergis dan harmonis antara aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas; serta penyediaan sasaran parameter kependudukan yang disepakati semua sektor terkait; dan Peningkatan ketersediaan dan kualitas data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, dan tepat waktu ditekankan pada penyediaan data kependudukan yang bersumber dari sensus penduduk dan survei kependudukan; penyediaan hasil kajian kependudukan; dan peningkatan cakupan registrasi vital dengan mendorong pemberian NIK kepada setiap penduduk dan menyelenggarakan koneksitas data kependudukan, serta penyusunan dan penyelarasan peraturan pelaksana dan peraturan daerah dalam penyelenggaraan administrasi kependudukan.
Kesehatan. Dengan memperhatikan permasalahan dan hasil capaian Pembangunan kesehatan, maka tindak lanjut yang diperlukan mencakup: 4 - 56
1)
Peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita yang menjamin continuum of care, antara lain melalui: (a) penyediaan sarana kesehatan yang mampu melaksanakan PONED dan PONEK; (b) pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan strategis untuk meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih; (c) peningkatan cakupan kunjungan ibu hamil (K1 dan K4); (d) peningkatan cakupan pasien komplikasi kebidanan yang ditangani; (e) peningkatan cakupan peserta KB aktif yang dilayani sektor pemerintah; (f) peningkatan cakupan kunjungan neonatal pertama; (g) peningkatan cakupan pelayanan kesehatan bayi; (h) peningkatan cakupan pelayanan kesehatan anak balita; dan (i) peningkatan cakupan persalinan di sarana pelayanan kesehatan dasar dan rumah sakit pemerintah.
2)
Perbaikan status gizi masyarakat, antara lain melalui: (a) pendidikan ibu tentang penimbangan balita, ASI eksklusif, garam beryodium; (b) suplementasi gizi mikro (vitamin A dan tablet Fe); (c) tatalaksana gizi buruk termasuk pencegahan dan penanganan kasus anak yang pendek (stunting); (d) peningkatan intervensi untuk menanggulangi kekurangan zat gizi mikro terutama melalui fortifikasi; dan (e) peningkatan intervensi pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMTAS).
3)
Pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular, diikuti penyehatan lingkungan, antara lain melalui: (a) peningkatan kemampuan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko; (b) penguatan penemuan penderita dan tata laksana kasus; (c) peningkatan cakupan imunisasi dan sarana distribusi vaksin terutama ketersediaan “cold chain” dalam jumlah cukup di lapangan; (d) peningkatan KIE untuk mendorong gaya hidup sehat dan peningkatan kemampuan deteksi dini penyakit tidak menular; dan (e) peningkatan kesehatan lingkungan dengan menekankan pada peningkatan akses dan kualitas air minum dan sanitasi yang layak serta perubahan perilaku hygiene dan sanitasi. 4 - 57
4)
Pengembangan sumber daya manusia kesehatan, antara lain melalui: (a) pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan strategis, terutama dokter, bidan dan perawat di daerah-daerah sesuai kebutuhan terutama di daerah bermasalah kesehatan (DBK) dan daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan (DTPK); (b) penyempurnaan sistem insentif dan penempatan SDM kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan; dan (c) pemantapan standar kompetensi tenaga kesehatan, terutama tenaga dokter, dokter gigi, perawat, bidan, kesehatan masyarakat, gizi, dan farmasi.
5)
Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, mutu dan penggunaan obat serta pengawasan obat dan makanan, melalui: (a) peningkatan ketersediaan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial generik; (b) perkuatan pengawasan pre market obat dan makanan utamanya penerapan e-registration untuk meningkatkan pelayanan publik; (c) peningkatan penelitian di bidang obat dan makanan; (d) peningkatan kemandirian di bidang produksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, kosmetika dan alat kesehatan; (e) peningkatan perlindungan kesehatan masyarakat melalui revitalisasi pengujian laboratorium pengawasan obat dan makanan termasuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur dan penunjang laboratorium serta peningkatan kompetensi SDM; (f) perkuatan pengawasan post market obat dan makanan; (g) peningkatan efektivitas pengawasan produk obat dan makanan ilegal melalui intensifikasi operasi satuan tugas (Satgas) pemberantasan produk obat dan makanan ilegal; (h) peningkatan status gizi masyarakat terutama anak sekolah melalui gerakan menuju pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang aman dan bermutu; (i) peningkatan kapasitas SDM di bidang pengawasan obat dan makanan; (j) pengembangan dan penerapan quality management system (QMS) untuk mendukung tata kelola kepemerintahan yang baik termasuk egovernment; (k) pengembangan sistem e-logistic; dan (l) peningkatan pelayanan kefarmasian yang berkualitas
4 - 58
6)
Pengembangan sistem pembiayaan jaminan kesehatan, melalui: (a) peningkatan cakupan jaminan kesehatan secara bertahap; (b) peningkatan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin; (c) penyediaan pembiayaan jaminan persalinan (Jampersal) yang mencakup pelayanan antenatal, persalinan, nifas, dan KB; dan (d) perluasan cakupan jaminan kesehatan melalui jaminan kesehatan kelas III di rumah sakit.
7)
Pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan, melalui: (a) peningkatan upaya perubahan perilaku dan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat; (b) pelayanan kesehatan korban pada situasi bencana dan upaya kesehatan pada situasi pemulihan darurat; (c) kemandirian masyarakat dalam menanggulangi dampak kesehatan akibat bencana; dan (d) perluasan penerapan sistem peringatan dini untuk penyebaran informasi terjadinya bencana dan wabah, dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat.
8)
Peningkatan upaya kesehatan yang menjamin terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier, melalui: (a) peningkatan jumlah rumah sakit dan puskesmas serta jaringannya, terutama pada daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan serta daerah dengan aksesibilitas relatif rendah; (b) peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan sarana, prasarana, dan ketenagaan; (c) peningkatan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan rujukan yang memenuhi standar bertaraf internasional; (d) peningkatan mutu pelayanan keperawatan, kebidanan dan keteknisian medik kepada masyarakat di tingkat pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier; (e) pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas, aman dan terjangkau; dan (f) perluasan bantuan operasional kesehatan (BOK) bagi pelayanan `kesehatan primer di puskesmas.
9)
Peningkatan kualitas manajemen pembangunan kesehatan, sistem informasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, melalui: (a) peningkatan kualitas perencanaan, 4 - 59
penganggaran, serta monitoring dan evaluasi pembangunan kesehatan untuk mendukung percepatan pencapaian target MDGs; (b) penguatan peraturan perundangan pembangunan kesehatan; (c) peningkatan kualitas penyediaan data dan informasi kesehatan berbasis elektronik (e-health); dan (d) peningkatan penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dalam bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, rancang bangun alat kesehatan dan penyediaan bahan baku obat. Pendidikan. Pembangunan bidang pendidikan, tindak lanjut yang diperlukan mencakup sebagai berikut: 1.
4 - 60
Peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata melalui (a) penyelenggaraan pendidikan dasar bermutu yang terjangkau bagi semua dalam kerangka pelaksanaan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan; (b) pemantapan/rasionalisasi implementasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS); (c) perbaikan gizi siswa Taman Kanak-Kanak/Raudhatuf Athfal (TK/RA) dan SD/MI melalui pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS); (d) peningkatan daya tampung SMP/MTs/sederajat terutama di daerah terpencil dan kepulauan; (e) penurunan angka putus sekolah dan angka mengulang, peningkatan angka melanjutkan, serta penurunan rata-rata lama penyelesaian pendidikan di berbagai jenjang untuk mendukung peningkatan efisiensi internal pendidikan; (f) penuntasan rehabilitasi ruang kelas SD/MI/sederajat dan SMP/MTs/sederajat untuk memenuhi standar pelayanan minimal; (g) peningkatan mutu proses pembelajaran; (h) peningkatan pendidikan inklusif untuk anak-anak cerdas dan anak-anak yang berkebutuhan khusus; (i) peningkatan kesempatan lulusan SD/MI/sederajat yang berasal dari keluarga miskin untuk dapat melanjutkan ke SMP/MTs/sederajat, dan (j) pengembangan pendidikan karakter bangsa; serta (k) penguatan pelaksanaan proses belajar mengajar dengan iklim sekolah yang mendukung
tumbuhnya sikap saling menghargai, sportif, kerja sama, kepemimpinan, kemandirian, partisipatif, kreatif, dan inovatif (soft skills), serta jiwa kewirausahaan; 2.
3.
Peningkatan akses, kualitas, dan relevansi pendidikan menengah, melalui (a) peningkatan akses pendidikan menengah jalur formal dan non-formal untuk dapat menampung meningkatnya lulusan SMP/MTs/sederajat sebagai dampak penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun; (b) rehabilitasi gedung-gedung SMA/SMK/MA/sederajat; (c) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah untuk memberikan landasan yang kuat bagi lulusan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya atau memasuki dunia kerja; (d) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan menengah kejuruan, pendidikan tinggi vokasi, dan pelatihan keterampilan sesuai dengan kebutuhan pembangunan termasuk kebutuhan lokal untuk menghasilkan lulusan yang siap memasuki dunia kerja dan memiliki etos kewirausahaan; (e) harmonisasi pendidikan menengah kejuruan, pendidikan tinggi vokasi dan pelatihan keterampilan untuk membangun sinergi dalam rangka merespons kebutuhan pasar yang dinamis; (f) peningkatan kemitraan antara pendidikan kejuruan, pendidikan tinggi vokasi, dan pelatihan keterampilan dengan dunia industri dalam rangka memperkuat intermediasi dan memperluas kesempatan pemagangan serta penyelarasan pendidikan/pelatihan dengan dunia kerja; (g) peningkatan pendidikan kewirausahaan untuk jenjang pendidikan menengah; dan (h) peningkatan ketersediaan guru SMK yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan termasuk kebutuhan lokal. Peningkatan kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi, melalui (a) peningkatan akses dan pemerataan pendidikan tinggi dengan memperhatikan keseimbangan antara jumlah program studi sejalan dengan tuntutan kebutuhan pembangunan dan masyarakat serta daerah; (b) penguatan otonomi dan manajemen pendidikan tinggi dalam 4 - 61
4.
4 - 62
rangka membangun universitas riset (research university) menuju terwujudnya universitas kelas dunia (world class university); (c) penataan program studi dan bidang keilmuan yang fleksibel memenuhi kebutuhan pembangunan; (d) peningkatan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan tinggi, seperti perpustakaan dan laboratorium yang sesuai dengan kebutuhan program studi; (e) pelaksanaan road map penelitian sesuai dengan kebutuhan pembangunan untuk mendukung terwujudnya perguruan tinggi sebagai pengembangan dan penelitian iptek; (f) peningkatan kualifikasi dosen melalui pendidikan S2/S3 baik di dalam maupun di luar negeri; (g) penguatan kualitas dosen melalui peningkatan intensitas penelitian dan academic recharging; (h) penguatan sistem insentif bagi dosen dan peneliti untuk mempublikasikan hasil penelitian dalam jurnal internasional dan mendapatkan paten; (i) penguatan kemitraan perguruan tinggi, lembaga litbang, dan industri, termasuk lembaga pendidikan internasional, dalam penguatan kelembagaan perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan dan penelitian iptek; (j) peningkatan pendidikan kewirausahaan, termasuk technopreneur bagi dosen dan mahasiswa dengan menjalin kerja sama antara institusi pendidikan dan dunia usaha; dan (k) pemberian beasiswa perguruan tinggi untuk siswa SMA/SMK/MA yang berprestasi dan kurang mampu. Peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan, melalui (a) peningkatan kualifikasi akademik, sertifikasi, evaluasi, pelatihan, pendidikan, dan penyediaan berbagai tunjangan guru; (b) penguatan kemampuan guru, termasuk kepala sekolah dan pengawas sekolah, dalam menjalankan paradigma pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, entrepreneurial, dan menyenangkan; (c) peningkatan kompetensi guru melalui pengembangan profesional berkelanjutan (continuous professional development); (d) pemberdayaan peran kepala sekolah sebagai manager sistem pendidikan yang unggul; (e) revitalisasi peran pengawas sekolah sebagai entitas quality assurance; (f)
5.
6.
7.
peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK) untuk mencetak guru yang berkualitas secara masif, termasuk dalam menyelenggarakan pre-service training yang bermutu; (g) peningkatan pengawasan pendirian LPTK dan pengendalian mutu penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan guru; (h) peningkatan efisiensi, efektivitas, pengelolaan, dan pemerataan distribusi guru; dan (i) penyediaan tenaga pendidik di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan sesuai dengan standar pelayanan minimal. Peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini (PAUD) dan pendidikan non-formal, melalui (a) penguatan kapasitas lembaga penyelenggara pendidikan non-formal; (b) peningkatan pendidikan kecakapan hidup untuk warga negara usia sekolah yang putus sekolah atau tidak melanjutkan sekolah dan bagi warga usia dewasa; (c) peningkatan pengetahuan dan kecakapan keorangtuaan (parenting education) dan homeschooling serta pendidikan sepanjang hayat; dan (d) peningkatan keberaksaraan penduduk yang diikuti dengan upaya pelestarian kemampuan keberaksaraan dan peningkatan minat baca. Peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan, melalui peningkatan jumlah dan kapasitas guru, kapasitas penyelenggara, pemberian bantuan dan fasilitasi penyelenggaraan pendidikan, serta pengembangan kurikulum dan metodologi pembelajaran pendidikan agama dan keagamaan yang efektif sesuai dengan Standar Pendidikan Nasional (SNP) paling lambat pada tahun 2013. Pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan nasional, dengan meningkatkan (a) percepatan penyusunan peraturan perundangan untuk mendukung pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan nasional; (b) penataan pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah secara menyeluruh sesuai dengan peraturan perundangan; dan (c) pengembangan kurikulum baik nasional maupun lokal yang disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, 4 - 63
8.
9.
4 - 64
teknologi, budaya, dan seni serta perkembangan global, regional, nasional, dan lokal termasuk pendidikan agama, pengembangan kinestetika dan integrasi pendidikan kecakapan hidup untuk meningkatkan etos kerja dan kemampuan kewirausahaan peserta didik dalam rangka mendukung pendidikan berwawasan pembangunan berkelanjutan. Peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pelayanan pendidikan melalui (a) pemantapan pelaksanaan desentralisasi pendidikan; (b) pengelolaan pendanaan di tingkat pusat dan daerah yang transparan, efektif dan akuntabel serta didukung sistem pendanaan yang andal; (c) peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, antara lain, dalam bentuk komite sekolah; (d) peningkatan kapasitas pemerintah pusat dan daerah untuk memperkuat pelaksanaan desentralisasi pendidikan termasuk di antaranya dalam bentuk dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota; (e) peningkatan kapasitas satuan pendidikan untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi pendidikan, termasuk manajemen berbasis sekolah (MBS); dan (f) konsolidasi sistem informasi dan hasil penelitian dan pengembangan pendidikan untuk dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan, memperkuat monitoring, evaluasi, dan pengawasan pelaksanaan program-program pembangunan pendidikan. Penguatan tata kelola pendidikan melalui (a) penguatan sistem evaluasi, akreditasi dan sertifikasi termasuk sistem pengujian dan penilaian pendidikan dalam rangka penilaian kualitas dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional; (b) penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjamin tercapainya pendidikan dasar sembilan tahun yang bermutu dan terjangkau; (c) peningkatan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan seperti laboratorium, perpustakaan, dan didukung oleh ketersediaan buku-buku mata pelajaran yang berkualitas dan murah, untuk memenuhi standar pelayanan minimal termasuk di daerah pemekaran
10.
11.
12.
baru; (d) peningkatan penerapan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan termasuk penyediaan internet ber-content pendidikan mulai jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Peningkatan pendidikan karakter melalui (a) sosialisasi, edukasi dan internalisasi pentingnya bangsa yang berkepribadian unggul dan berkarakter; (b) internalisasi nilainilai budaya ke dalam proses pembelajaran pada pendidikan formal, nonformal, informal dalam keluarga dan di tempat bekerja; (c) intervensi regulasi, pelatihan dan pemberdayaan, serta pembiasaan (habituasi) bagi semua kepentingan; (d) pembudayaan berperilaku dan berkarakter yang dikuatkan dengan penanaman nilai-nilai kehidupan agar menjadi budaya; (e) membangun kerja sama yang sinergis antarpemangku kepentingan; dan (f) peningkatan mutu bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan teknologi dan seni serta bahasa perhubungan luas antara bangsa. Peningkatan akses dan kualitas pelayanan pendidikan tersebut juga ditujukan untuk mengurangi kesenjangan taraf pendidikan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi dengan meningkatkan (a) pemihakan pada siswa dan mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin melalui pemberian bantuan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa miskin; (b) pemihakan kebijakan bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal (underprivileged); (c) pengalokasian sumberdaya yang lebih memihak kepada daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal; (d) pemihakan kebijakan pendidikan yang responsif gender di seluruh jenjang pendidikan; (e) pengembangan instrumen untuk memonitor kesenjangan antarwilayah, gender, dan antartingkat sosial ekonomi; dan (f) peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah dan satuan pendidikan yang tertinggal. Peningkatan minat baca dengan (a) menyelenggarakan dan mengelola perpustakaan sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat bagi masyarakat; (b) melakukan revitalisasi perpustakaan; (c) meningkatkan ketersediaan layanan 4 - 65
perpustakaan secara merata; (d) meningkatkan kualitas dan keberagaman koleksi perpustakaan; (e) meningkatkan promosi gemar membaca dan pemanfaatan perpustakaan; dan (f) mengembangkan kompetensi dan profesionalitas tenaga perpustakaan. Pemuda dan Olahraga. Tindak lanjut yang diperlukan untuk Peningkatan partisipasi pemuda, budaya dan prestasi olahraga pada tahun-tahun mendatang akan dilakukan melalui dua fokus prioritas, yaitu: Pertama, peningkatan partisipasi dan peran aktif pemuda dalam berbagai bidang pembangunan melalui (a) peningkatan character building, revitalisasi, dan konsolidasi gerakan kepemudaan; (b) revitalisasi gerakan pramuka; (c) pengembangan penguasaan teknologi, jiwa kewirausahaan, dan kreativitas pemuda; (d) penyadaran pemuda; (e) pemberdayaan pemuda; (f) pengembangan kepemimpinan pemuda; (g) pengembangan kewirausahaan pemuda; (h) pengembangan kepeloporan/kreativitas pemuda; (i) peningkatan koordinasi dan kemitraan kepemudaan; (j) pengembangan prasarana dan sarana kepemudaan; (k) pemberdayaan organisasi kepemudaan; (l) peningkatan peran serta masyarakat; dan (m) pengembangan penghargaan kepemudaan. Peningkatan partisipasi dan peran aktif pemuda dilaksanakan sesuai karakteristik pemuda yang memiliki semangat kejuangan, kesukarelaan, tanggung jawab, dan ksatria serta memiliki sikap kritis, idealis, inovatif, progresif, dinamis, reformis dan futuristik tanpa meninggalkan akar budaya Indonesia yang tercermin dalam kebhinekaan. Kedua, peningkatan budaya dan prestasi olahraga di tingkat regional dan internasional, melalui (a) peningkatan prestasi pada SEA Games tahun 2011; (b) penyelenggaraan olahraga pendidikan, olahraga rekreasi dan olahraga prestasi; (c) pembinaan dan pengembangan olahraga; (d) pengelolaan keolahragaan; (e) penyelenggaraan kejuaraan keolahragaan; (f) pembinaan dan pengembangan pelaku olahraga; (g) pembinaan, pengembangan dan pengawasan olahraga profesional; (h) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana olahraga; (i) pengembangan Iptek keolahragaan; (j) peningkatan peran serta masyarakat; (k) pengembangan kerja sama dan informasi keolahragaan; (l) pembinaan dan pengembangan 4 - 66
industri olahraga; (m) pengembangan standar nasional keolahragaan; (n) penyelenggaraan akreditasi dan sertifikasi olahraga; (o) pencegahan dan pengawasan terhadap doping; dan (p) pemberian penghargaan keolahragaan. Selain itu, pembangunan kepemudaan dan keolahragaan didukung oleh (1) peningkatan kualitas manajemen dan pembiayaan kepemudaan dan keolahragaan; (2) sistem informasi dan pelayanan publik; dan (3) peningkatan koordinasi dan kerjasama lintas bidang, lintas sektor, lintas program, lintas pelaku, dan lintas kementerian/lembaga (K/L) dengan memperhatikan kesetaraan gender dan pembangunan yang berkelanjutan. Kebudayaan. Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul karena interaksi budaya yang semakin terbuka antara tataran nilai lokal dan global, tindak lanjut yang diperlukan adalah (1) pembangunan karakter dan pekerti bangsa yang dilandasi oleh nilainilai kearifan lokal; (2) pemahaman tentang kesejarahan dan wawasan kebangsaan; (3) pelestarian, pengembangan dan aktualisasi nilai dan tradisi dalam rangka memperkaya dan memperkokoh khasanah budaya bangsa; (4) pemberdayaan masyarakat adat; (5) pengembangan promosi kebudayaan dengan pengiriman misi kesenian, pameran, dan pertukaran budaya; (6) peningkatan perhatian dan kesertaan pemerintah dalam program-program seni budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan mendorong berkembangnya apresiasi terhadap kemajemukan budaya; (7) penyediaan sarana yang memadai bagi pengembangan, pendalaman dan pagelaran seni budaya di kota besar dan ibu kota; (8) pengembangan kesenian seperti seni rupa, seni pertunjukan, seni media, dan berbagai industri kreatif yang berbasis budaya; (9) pemberian insentif kepada para pelaku seni dalam pengembangan kualitas seni dan budaya dalam bentuk fasilitasi, pendukungan dan penghargaan; (10) pengembangan perfilman nasional yang adaptif dan interaktif terhadap nilai-nilai baru yang positif; (11) penetapan dan pembentukan pengelolaan terpadu untuk pengelolaan cagar budaya, revitalisasi museum dan perpustakaan di seluruh Indonesia; (12) perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan peninggalan 4 - 67
purbakala, termasuk peninggalan bawah air; (13) pengembangan permuseuman nasional dan Museum Nasional sebagai sarana edukasi, rekreasi, serta pengembangan kesejarahan dan kebudayaan; (14) penelitian dan pengembangan arkeologi nasional; (15) pengembangan kapasitas nasional untuk pelaksanaan penelitian, penciptaan dan inovasi dan memudahkan akses dan penggunaannya oleh masyarakat luas di bidang kebudayaan; (16) peningkatan jumlah, pendayagunaan, serta kompetensi dan profesionalisme SDM kebudayaan; (17) peningkatan pendukungan sarana dan prasarana untuk pengembangan seni dan budaya masyarakat; (18) peningkatan penelitian dan pengembangan kebudayaan; (19) peningkatan kualitas informasi dan basis data kebudayaan; (20) pengembangan kemitraan antara pemerintah pusat dan daerah, sektor terkait, masyarakat dan swasta; serta (21) pengembangan pendidikan kebudayaan. Kehidupan Beragama. Pada bidang peningkatan kualitas kehidupan beragama tindak lanjut yang diperlukan meliputi antara lain: 1)
2)
4 - 68
Peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan agama melalui (a) peningkatan pemahaman dan pengamalan nilainilai luhur yang terkandung di dalam ajaran agama; (b) peningkatan wawasan keagamaan masyarakat untuk mengurangi berbagai aliran sektarian dan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama; (c) peningkatan ketahanan umat beragama terhadap ekses negatif ideologi-ideologi yang tidak sesuai dengan nilai luhur bangsa; (d) peningkatan upaya mewujudkan kesalehan sosial sejalan dengan kesalehan ritual; (e) pengembangan pusat kajian keagamaaan dan sumber belajar masyarakat; (f) peningkatan pemanfaatan sumbersumber informasi keagamaan dan perpustakaan rumah ibadah; dan (g) penguatan peran media massa dan teknologi informasi sebagai wahana internalisasi nilai-nilai agama; Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama, melalui (a) pembentukan dan peningkatan efektivitas forum kerukunan umat beragama; (b) pengembangan sikap dan perilaku keberagamaan yang inklusif dan toleran; (c) penguatan
3)
4)
kapasitas masyarakat dalam menyampaikan dan mengartikulasikan aspirasi-aspirasi keagamaan melalui caracara damai; (d) peningkatan dialog dan kerja sama intern dan antarumat beragama, dan pemerintah dalam pembinaan kerukunan umat beragama; (e) peningkatan koordinasi antarinstansi/lembaga pemerintah dalam upaya penanganan konflik terkait isu-isu keagamaan; (f) pengembangan wawasan multikultur bagi guru-guru agama, penyuluh agama, siswa, mahasiswa dan para pemuda calon pemimpin agama; (g) peningkatan peran Indonesia dalam dialog lintas agama di dunia internasional; dan (h) penguatan peraturan perundangundangan terkait kehidupan keagamaan, seperti perlunya penyusunan undang-undang tentang perlindungan dan kebebasan beragama; Peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama, melalui (a) peningkatan pengelolaan dan fungsi rumah ibadat; (b) peningkatan mutu pelayanan dan pengelolaan dana sosial keagamaan (zakat, wakaf, infak, sedekah, dana persembahan kasih/dana kolekte, dana punia, dan dana paramita serta dana ibadah sosial lainnya); (c) peningkatan kapasitas lembagalembaga sosial keagamaan; (d) peningkatan jaringan dan sistem informasi lembaga sosial keagamaan; (e) pengembangan berbagai kebijakan dan peraturan perundangundangan yang secara jelas menjabarkan kewenangan dan kewajiban pemerintah dalam memberikan perlindungan atas hak beragama masyarakat; (f) penerapan sistem pemantauan dan evaluasi pembangunan bidang agama yang berkelanjutan dan efektif; (g) reformasi birokrasi; (h) penyiapan laporan keuangan dengan opini wajar tanpa pengecualian; dan (i) penguatan struktur organisasi instansi pusat dan instansi vertikal yang sesuai dengan tuntutan perkembangan; Pelaksanaan ibadah haji yang tertib dan lancar, melalui (a) peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji sesuai standar pelayanan minimal; (b) pemantapan penerapan dan pemanfaatan sistem informasi haji terpadu (Siskohat); (c) penyediaan jaringan Siskohat di seluruh kabupaten/kota; (d) 4 - 69
peningkatan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan ibadah haji; (e) pemantapan landasan peraturan perundang-undangan tentang profesionalisme penyelenggaraan ibadah haji; dan (f) penyiapan draf undangundang tentang pengelolaan dana haji; dan 5)
Peningkatan pembangunan bidang agama melalui: (a) peningkatan kualitas manajemen dan tata kelola pembangunan bidang agama; (b) peningkatan sistem informasi dan pelayanan publik; (c) peningkatan penelitian dan pengembangan pembangunan bidang agama; (d) peningkatan pendidikan dan pelatihan; dan (e) peningkatan koordinasi dan kerja sama lintas bidang, lintas sektor, lintas program, lintas pelaku, dan lintas kementerian/lembaga (K/L).
Kesejahteraan Sosial. Dalam mengatasi permasalahan dalam pembangunan perlindungan dan kesejahteraan sosial, diperlukan penyempurnaan sistem jaminan dan bantuan kesejahteraan sosial khususnya bagi penduduk miskin, rentan, dan PMKS. Bagi para PMKS, perlu adanya peningkatan perlindungan sosial yang berkaitan dengan pembinaan, pelayanan dan bantuan sosial. Dalam meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesejahteraan sosial, dilakukan berbagai kegiatan melalui empat fokus prioritas yaitu peningkatan Program Keluarga Harapan (PKH), peningkatan pelayanan dan rehabilitasi sosial (terutama bagi anak, lanjut usia dan penyandang cacat), peningkatan bantuan sosial, dan pemberdayaan fakir miskin dan komunitas adat terpencil (KAT). Pada tahun 2012, rencana penambahan target sasaran PKH pada 8 provinsi dan 48 kabupaten/kota, sehingga total peserta PKH yang akan ditangani meningkat di 166 kabupaten/kota di 33 provinsi, dengan jumlah peserta sebanyak 1.516.000 juta. Untuk kegiatan pelayanan sosial anak, dalam mencapai kesamaan perspektif pada pelaksanaan PKSA berbasis keluarga dan komunitas, maka PKSA akan memprioritaskan kerjasama dengan LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) yang memiliki basis layanan keluarga dan komunitas. Selain itu, perlu pula peningkatan kerjasama dengan 4 - 70
Perguruan Tinggi dan Lembaga-lembaga Kesejahteraan Sosial lainnya. Untuk memperkecil berbagai kendala dan hambatan yang berkaitan dengan ketersediaan data penerima bantuan (beneficiaries) terutama anak-anak marjinal yang orang tuanya tidak tercatat dalam sistem registrasi penduduk, maka perlu dilakukan kerjasama dengan instansi terkait. Dalam pendataan lanjut usia, terbatasnya data yang akurat dari masing-masing provinsi akan diperbaiki, terutama lanjut usia yang memerlukan bantuan pelayanan sosial. Dukungan anggaran bagi tenaga pendamping dalam penanganan masalah kelanjutusiaan masih relatif rendah. Oleh karena itu diupayakan adanya dukungan dana, baik bersumber dari APBN maupun APBD. Selain itu, diperlukan dukungan dalam hal proses pemenuhan kelengkapan administrasi pendukung sehingga akan memerlukan kerja sama dan koordinasi dengan pejabat dinas sosial terkait sesuai dengan penanganan tugas masing-masing. Sejalan dengan arah dan kebijakan dan strategi pembangunan dalam RPJMN 2010-2014, maka prioritas-prioritas tersebut perlu didukung oleh antara lain: (a) peningkatan kualitas rancangan dan pengelolaan program; (b) penyempurnaan kriteria, pemilihan sasaran, serta seleksi dan verifikasi penerima bantuan sosial; (c) peningkatan jumlah dan perluasan cakupan sasaran program; (d) penataan kelembagaan untuk pengelolaan program secara efektif dan efisien; (e) peningkatan kemampuan dan kualitas lembaga pendidikan dan penelitian; dan (f) pengembangan sistem informasi manajemen yang berkualitas. Kesetaraan gender dan Pemberdayaan Perempuan. Untuk mengatasi berbagai permasalahan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang masih dihadapi di masa yang akan datang maka tindak lanjut yang akan dilaksanakan adalah (1) meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan melalui harmonisasi peraturan perundangan dan pelaksanaannya di semua tingkat pemerintahan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan; (2) meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan melalui upaya advokasi, 4 - 71
sosialisasi, peningkatan SDM bagi para pemangku kepentingan dalam lingkup pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan; dan (3) peningkatan kapasitas kelembagaan PUG melalui upaya-upaya advokasi, sosialisasi dan peningkatan kapasitas SDM bagi para pemangku kepentingan. Perlindungan Anak. Di bidang perlindungan anak, tindak lanjut yang akan dilaksanakan ke depan adalah (1) peningkatan kualitas hidup dan tumbuh kembang anak; (2) perlindungan terhadap anak dari berbagai tindak kekerasan; dan (3) peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak.
4 - 72