BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia kini tengah dihadapkan dalam era yang disebut globalisasi. Sebuah era yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), pasar bebas, lahirnya budaya massa dan lain sebagainya. Konsekuensi logis dari ekses yang ditimbulkan globalisasi tersebut yaitu menyebabkan suatu kehidupan masyarakat yang dinamis. Secara tidak langsung semua orang dituntut untuk mengikuti arus perkembangan tersebut, sehingga tak ada pilihan lain bahwa setiap individu di dalam masyarakat akan menghadapi suatu perubahan-perubahan dalam segala sendi kehidupan. Saat ini, perubahan-perubahan memang sedang terjadi dalam skala dan kecepatan yang lebih. Hampir di setiap wilayah di Indonesia, berbagai perubahan sosial yang disebabkan globalisasi tersebut memang terjadi. Tak hanya di wilayah perkotaan, akan tetapi perubahan-perubahan sosial itupun juga terjadi di wilayah perdesaan. Media komunikasi dan hiburan yang semakin canggih seperti handphone, radio, televisi dan internet seolah telah menghapus jarak dan sekat yang ada. Dunia seolah tampak menjadi satu, sehingga informasi di suatu wilayah dapat dengan cepat diketahui di wilayah lain. Hal inilah yang mendorong perubahan sosial itu terjadi secara merata di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
14
Selanjutnya dalam konteks
kebudayaan sendiri diketahui
bahwa
masyarakat beserta kebudayaan yang tercipta di dalamnya tidak akan berhenti berproses, kecuali apabila masyarakat dan kebudayaan tersebut telah benar-benar punah. Di Indonesia, sering dikatakan bahwa masyarakat desa sama sekali tidak berubah atau suku-suku adat yang terasing, sama sekali murni. Sebenarnya hal tersebut kurang tepat adanya, apalagi jika hanya didasarkan pada sudut pandang yang sempit. Dalam konteks ini, masyarakat Kampung Naga bukanlah suatu pengecualian, dimana masyarakat Kampung Naga pun lambat laun mengalami perubahan dari masa ke masa, bahkan dari hari ke hari. Masyarakat Kampung Naga kini tengah mengalami suatu paradoks yakni di satu sisi masyarakat Kampung Naga mulai perlahan-lahan membuka diri sebagai tujuan wisata, akan tetapi di sisi lain sebelumnya Kampung Naga dikenal sebagai sebuah wilayah yang berisikan masyarakat adat yang teguh memegang tradisi dan menjaga kesakralan wilayah mereka 1. Secara administratif Kampung Naga adalah bagian dari Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Penamaan Kampung Naga sendiri tidak ada sangkut-pautnya dengan karakter Naga yang ada dalam cerita kartun. Kata Naga sebenarnya berasal dari bahasa Sunda yaitu “Nagawir” yang berarti perkampungan yang berada di gawir atau lembah, dan memang perkampungan ini berada di lembah, dari situlah masyarakat setempat memberikan nama pada kampung tersebut yaitu Kampung Naga 2. Daerah inti
1
Maria, Siti. dkk. (1995). Sistem Keyakinan pada Masyarakat Kampung Naga dalam Mengelola Lingkungan Hidup. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan. Hal. 11. 2 Ibid.
15
Kampung Naga adalah lahan pemukiman dengan luas sekitar 1,5 hektar. Di area pemukiman inilah “hukum adat” berlaku. Terkait sejarah Kampung Naga, sejauh ini asal-usulnya masih belum jelas dan lebih berupa mitologi. Beberapa pendapat menyebut bahwa leluhur Kampung Naga adalah prajurit Mataram yang menyerang Batavia pada abad ke-17, akan tetapi sesepuh Kampung Naga sendiri menolak pendapat itu. Mereka menyatakan bahwa leluhurnya adalah Sembah Dalem Singaparna dari Kerajaan Galunggung yang mengasingkan diri dan bersemedi di sebuah daerah yang sekarang menjadi Kampung Naga3. Hingga saat ini, masyarakat Kampung Naga menganggap dirinya “pareumeun obor” (kehilangan jejak sejarah). Lepas dari kebenaran historis cerita di atas, fakta tentang masa lalu Kampung Naga yang masih diliputi tanda tanya memunculkan kesan (sekaligus pesan) mengenai identitas mereka sebagai masyarakat adat. Tidak dipungkiri bahwa dengan keunikan adat dan tradisi yang dimiliki masyarakat Kampung Naga, menjadikan tempat tersebut sebagai tujuan yang menarik untuk dikunjungi para wisatawan, entah itu wisatawan dalam negeri ataupun wisatawan mancanegara. Oleh karena itu, wajar jika saat ini masyarakat Kampung Naga dihadapkan pada serbuan perubahan terkait aspek sosial, ekonomi dan lingkungn fisik yang terjadi di wilayah mereka lewat aktivitas pariwisata tersebut. Dampak pariwisata tekait kehidupan sosial mayarakat Kampung Naga diantaranya adalah dikarenakan banyaknya para wisatawan yang datang dengan 3
Sedyawati, Edi. (2006). Masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat dalam buku Arkeologi dari Lapangan ke Permasalahan. Jakarta: IAAI. Hal. 176-177.
16
membawa berbagai macam nilai dan kebiasaan baru bagi kehidupan sosial masyarakat setempat, seperti kebiasaan dalam berpakaian, berperilaku, berbicara dan lain sebagainya, yang lambat laun hal tersebut mulai ditiru oleh penduduk setempat. Lalu terkait aspek ekonomi, dengan semakin seringnya wilayah Kampung Naga dikunjungi para wisatawan, otomatis hal tersebut menciptakan peluang usaha baru bagi masyarakat. Saat ini, mulai banyak masyarakat Kampung Naga yang menjalani profesi di bidang jasa pariwisata, seperti menjadi tourist guide, membuka kios-kios makanan, dan menjadi penjual souvenir. Selanjutnya terakhir, terkait aspek lingkungan fisik, secara kasat mata bisa di lihat bahwa dengan semakin ramainya aktivitas pariwisata yang terjadi, saat ini lingkungan fisik di sekitar wilayah Kampung Naga pun mulai mengalami pencemaran, diantaranya adalah pencemaran udara oleh asap kendaraan pengunjung, banyaknya sampah yang bertebaran di sekitaran wilayah kampung
dan lain
sebagainya. Sejak dahulu masyarakat Kampung Naga memang telah dikenal sebagai masyarakat yang sangat memegang teguh adat tradisi leluhur yang telah mereka jaga selama ratusan tahun, tetapi saat ini dengan semakin tingginya intensitas pariwisata yang terjadi dan semakin seringnya interaksi antara masyarakat Kampung Naga dengan para wisatawan, pada akhirnya hal tesebutlah yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan seperti yang telah disebutkan diatas. Masyarakat Kampung Naga yang semula unik dan khas dengan tradisi mereka, sedikit demi sedikit mulai berubah, menyesuaikan dengan perkembangan pariwisata di wilayah mereka. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dan
17
lingkungan fisik Kampung Naga yang telah berubah dikarenakan aktivitas pariwisata inilah yang menarik perhatian penulis. Oleh karena itu berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis hendak mengangkatnya dalam sebuah penelitian tesis berjudul: "Pariwisata dan Perubahan Sosial di Kampung Naga Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat".
18
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana aktivitas pariwisata dapat mengubah kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan fisik di Kampung Naga?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum, dalam pelaksanaan penelitian ini penulis mempunyai tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk mendeskripsikan dan menganalisis keberadaan wilayah adat di tengah hiruk-pikuk globalisasi saat ini. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aktivitas pariwisata dapat mengubah kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan fisik di Kampung Naga.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Manfaat Praktis
a. Bagi Pemerintah Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait pola pengembangan kawasan wisata agar sifatnya sustainable
19
dengan memperhatikan semua aspek baik itu aspek ekonomi, sosial, kultural, dan lingkungan. b. Bagi Pelaku Bisnis Pariwisata di Kampung Naga Guna memberikan perhatian kepada pelaku bisnis pariwisata agar kegiatan bisnis pariwisata yang dilakukan tetap menghargai dan mengutamakan semangat pelestarian terhadap nilai sosial-budaya dan konservasi alam di Kampung Naga, disamping penekanan dari segi komersial. c. Bagi Masyarakat Kampung Naga Untuk memberikan masukan pada masyarakat Kampung Naga agar tetap menjaga nilai-nilai budaya dan sosial luhur yang mereka miliki serta tetap melestarikan wilayah adat, walau terjadi gempuran perubahan lewat aktivitas pariwisata di sekitar mereka. d. Bagi Penulis Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan fisik bisa terjadi di Kampung Naga seiring aktivitas pariwisata yang terjadi di wilayah tersebut.
2) Manfaat Teoritis
a. Bagi Ilmu Pengetahuan Merupakan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam hal kajian masyarakat adat dikaitkan dengan konsep perubahan
20
sosial. Serta sebagai bahan masukan dalam pengembangan konsep pariwisata dengan mempertimbangkan aspek sosial, kultural, dan lingkungan disamping aspek ekonomi.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejumlah tulisan tentang kehidupan masyarakat Kampung Naga telah banyak dilakukan, tetapi umumnya lebih berkaitan dengan kekhasan masyarakat Kampung Naga itu sendiri seperti sistem sosial, organisasi sosial kepemimpinan, lembaga adat, sistem pemerintahan adat, upacara religi, sistem pengetahuan dan berbagai sistem karakteristik lain yang memberikan kesan tersendiri bagi masyarakat di luar Kampung Naga. Sedangkan dalam penulisan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana aktivitas pariwisata dapat mengubah adat, tradisi dan kehidupan sosial masyarakat di Kampung Naga. Untuk itu, penulis mencari beberapa referensi penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan tema tersebut, untuk mendapatkan sudut pandang yang berbeda dan menambah referensi penulis dalam mengerjakan penelitian ini. Referensi pertama penulis adalah buku Robert W. Hefner yang berjudul Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik4. Dalam buku tersebut ia menggambarkan sejarah tentang keadaan di Pegunungan Tengger, Kabupaten Pasuruan, sejak jaman kejayaan Hindu di Jawa sampai periode awal Orde Baru. 4
Hefner, Robert W. (1999). Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LKiS.
21
Hefner menyoroti pasang surut ekonomi di Tengger akibat dari pergantian penguasa maupun politik, yang pada akhirnya membawa perubahan sosial budaya di Tengger. Wilayah Tengger memang dikenal memiliki daya tarik, bukan hanya terletak pada pemandangan alamnya saja, melainkan juga kekhasan status keagamaan dan adat-istiadat masyarakatnya. Ketika Bromo-Tengger secara resmi dijadikan tujuan wisata oleh pemerintah dengan menetapkannya sebagai Taman Nasional, sejak saat itu pula mulai banyak orang Tengger yang menyediakan rumah mereka sebagai penginapan bagi para wisatawan, menjadi porter, menyewakan kuda, juga mengelola mobil jeep dan sepeda motor sebagai sarana transportasi wisata. Namun, di balik riangnya kegiatan wisata yang menawarkan masa depan ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat Tengger, tersimpan suatu hal yang dilematis, yakni pada satu sisi, meningkatnya pengunjung berarti meningkatnya pendapatan masyarakat dari sektor wisata. Akan tetapi di sisi lain, seringnya kunjungan para wisatawan itu berpotensi merusak tanah adat, wilayah keramat, ekosistem penting, yang pada gilirannya dapat meruntuhkan bangunan sosial dan identitas masyarakat Tengger. Sehingga saat ini mulai banyak wilayah yang disebut “Desa Tengger” (desa-desa dalam wilayah 4 kabupaten; Probolinggo, Pasuruan, Malang, Lumajang) sudah tidak lagi melaksanakan adat-istiadat asli Tengger.
22
Adapun referensi lainnya adalah jurnal hasil penelitian dari Kusnul Dwi Anitasari yang berjudul Dari Desa Menjadi Kampung Inggris5. Dalam jurnal ini Kusnul memaparkan bahwa menjamurnya lembaga kursus bahasa Inggris di Desa Tulungrejo Pare telah menjadikan desa tersebut dijuluki Kampung Inggris. Seiring waktu, perkembangan pesat yang dialami Kampung Inggris berdampak pula pada perubahan sosial dan ekonomi bagi masyarakat Desa Tulungrejo Pare. Hal ini disebabkan semakin banyaknya para siswa yang datang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan mancanegara untuk belajar ke Kampung Inggris. Keberadaan Kampung Inggris menjadikan pola kehidupan masyarakat desa tersebut berangsur-angsur mengalami perubahan dengan ditandai semakin banyaknya lapangan pekerjaan yang berdiri. Awalnya mayoritas penduduk desa tersebut adalah petani dan ingon (peternak) sapi, kemudian setelah adanya lembaga kursus banyak yang mempunyai pekerjaan lain seperti membuka usaha tempat kos, kios pulsa, warung makan, penyewaan sepeda dan usaha jasa lainnya. Dengan adanya lapangan pekerjaan baru tersebut, akhirnya mendorong masyarakat dari luar Desa Tulungrejo Pare berbondong-bondong datang ke desa tersebut untuk mengambil peluang dari lapangan pekerjaan baru tersebut. Pada akhirnya di Desa Tulungrejo Pare selain diisi oleh penduduk pribumi juga diisi oleh penduduk pendatang yang pasti membawa nilai-nilai dan adat kebiasaan baru bagi masyarakat Desa Tulungrejo Pare itu sendiri. Sehingga hari ini lambat laun sistem sosial di masyarakat Kampung Inggris Desa Tulungrejo Pare telah berangsur berubah dari masyarakat desa yang guyub, tenggang rasa dan suka 5
Dwi Anitasari, Kusnul. (2012). Dari Desa Menjadi Kampung Inggris: Kajian Sejarah Perekonomian Desa Tulungrejo Pare Kediri 1977- 2011. Malang: Universitas Negeri Malang.
23
bergotong-royong menjadi masyarakat yang individualis, menerapkan sistem ekonomi kapitalistik, materialistik dan selalu mengedepankan profit. Lalu referensi lainnya adalah dari tulisan Amin Mudzakkir yang berjudul Antara Masyarakat Adat dan Umat: Masyarakat Kampung Naga dalam Perubahan6. Dalam tulisannya ini, Mudzakkir menjelaskan bagaimana kelompok masyarakat adat di Kampung Naga dihadapkan pada suatu problem pelik yaitu mereka seolah “dipaksa” menjadi objek komoditas pariwisata. Pada dasarnya masyarakat Kampung Naga hanyalah masyarakat Sunda biasa, hanya saja bedanya mereka masih memegang tradisi dan adat-istiadat leluhur sehingga oleh karena itulah mereka dianggap unik dan berbeda dari masyarakat lainnya, yang berujung pada upaya komersialisasi budaya Kampung Naga oleh berbagai pihak yang dirasa mengganggu ketentraman dan nilai hidup masyarakat di Kampung Naga yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Oleh karena semakin seringnya Kampung Naga didatangi para wisatawan dari luar kota bahkan luar negeri yang secara tidak langsung membawa nilai-nilai baru bagi masyarakat Kampung Naga, sehingga lambat laun hal tersebut semakin mendorong terjadinya perubahan tradisi dan kebiasaan pada masyarakat Kampung Naga menjadi seperti sekarang. Selanjutnya literatur lain yang membahas mengenai masyarakat adat dan perubahan sosial adalah Ade Rohana dalam tulisannya yang berjudul Kebijakan
6
Mudzakkir, Amin. (2012). Antara Masyarakat Adat dan Umat: Masyarakat Kampung Naga dalam Perubahan dalam Negara, Agama, dan Perlindungan Hak-hak Minoritas. Jakarta: Jurnal Institut Maarif Vol. 7, No. 1 – Tahun 2012.
24
Pemerintah Daerah dalam Menangani Komunitas Adat7, ia membahas mengenai dua karakter komunitas adat apabila dilihat dari sifat-sifat kefanatikannya. Pertama, komunitas adat yang menutup diri secara budaya, yaitu dengan menganut nilai-nilai asli (primordial) dan menolak nilai apapun dari luar yang tidak relevan dengan budaya asli bangsa Indonesia. Kedua, komunitas adat yang menyesuaikan diri secara kreatif terhadap globalisasi. Pada pembahasan bukunya, Ade Rohana menjelaskan bahwa dalam komunitas adat yang kreatif, komunitas tersebut akan menyadari bahwa besar atau kecil, cepat atau lambat, perubahan dalam komunitas adat itu tidak dapat dihindarkan. Dalam konteks ini masyarakat adat harus menyadari dan menyiasatinya lewat nilai lama yang baik (kearifan-kearifan lokal) yang mereka miliki, dimana kearifan lokal tersebut dapat menciptakan keseimbangan di dalam kehidupan mereka guna menghadapi masalah-masalah aktual dan kontekstual saat ini. Oleh karena itu, disini Ade juga menekankan pentingnya peran Pemerintah Daerah melalui leading sektornya, yang memiliki kewajiban untuk membuat sebuah kebijakan dalam penanganan komunitas adat, yang pada akhirnya ikut mendukung eksistensi masyarakat adat itu sendiri hingga saat ini. Tinjauan pustaka terakhir penulis adalah berasal dari penelitian tesis yang dilakukan oleh Dasim Budimansyah yang berjudul "Faktor Sosial Budaya dalam Proses Adopsi Inovasi Teknologi: Suatu Kajian tentang Tradisi dan Perubahan
7
Rohana, Ade. (2010). Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menangani Komunitas Adat. Makalah "Festival Komunitas Adat". Sumedang: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.
25
pada Masyarakat dan Migran asal Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya"8. Penelitian yang dilakukan Budimansyah ini lebih menekankan pada bagaimana masyarakat
Kampung Naga (seperti halnya
masyarakat
lainnya)
telah
diperkenalkan kepada unsur-unsur inovasi teknologi baik secara langsung dilakukan oleh para agen pembaruan, maupun melalui kontak secara alamiah dengan masyarakat lain (termasuk salah satunya kontak dengan para wisatawan yang berkunjung ke Kampung Naga). Selanjutnya Budimansyah juga menjelaskan bagaimana masyarakat Kampung Naga harus berpikir, merasakan dan bereaksi terhadap rangsangan dari luar individu dan kelompoknya. Dalam menyikapi hal tersebut masyarakat Kampung Naga selalu berupaya mendasarkan sikapnya pada nilai-nilai adat leluhur yang mereka anggap sebagai papagon hirup (pegangan hidup) yang bersifat proteksionistik. Akan tetapi, dewasa ini masyarakat Kampung Naga perlahan demi perlahan sedang mengalami perubahan sebagai akibat dari rangsangan budaya dan nilai dari luar tersebut, salah satunya berupa masuknya unsur inovasi teknologi pada masyarakat Kampung Naga dimana hal tersebut sebelumnya termasuk dalam katalog adat yang ditabukan, seperti penggunaan televisi dan handphone. Beberapa referensi yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa bagaimana pergulatan adat dan tradisi lokal dengan perubahan sosial yang dibawa lewat aktivitas pariwisata memang telah menjadi polemik bagi masyarakat
8
Budimansyah, Dasim. (1994). Faktor Sosial Budaya dalam Proses Adopsi Inovasi Teknologi: Suatu Kajian tentang Tradisi dan Perubahan pada Masyarakat dan Migran asal Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya. Bandung: Tesis S-2 Program Pascasarjana Ilmu Sosial Universitas Padjadjaran.
26
adat pada umumnya. Khususnya kajian mengenai perubahan sosial yang terjadi di Kampung Naga itu sendiri memiliki perspektif yang cukup beragam. Setiap penelitian memiliki keunikan tersendiri sehingga dapat membuka realitas sosial yang terjadi di Kampung Naga itu sendiri. Terdorong hal itu, penelitian ini bertujuan menggambarkan sisi lain masyarakat Kampung Naga yaitu tentang perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan fisik sebagai akibat dari aktivitas pariwisata yang terjadi di sekitar mereka. Penulis juga berharap bahwa penelitan ini dapat menambah keberagaman dan melengkapi hasil dari penelitian dan tulisan-tulisan yang pernah dilakukan sebelumnya.
1.6 Kerangka Konseptual
1.6.1
Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah konsep yang membayangkan masyarakat berada di dalam suatu keadaan yang dinamis atau berproses. Masyarakat dianggap bukan objek semu yang kaku tetapi sebagai aliran peristiwa terus menerus tiada henti. Dalam perubahan sosial, masyarakat (baik itu pada tingkat kelompok, komunitas, organisasi ataupun bangsa) hanya dapat dikatakan ada, sejauh dan selama terjadi sesuatu didalamnya, seperti adanya tindakan, perubahan, dan proses tertentu yang senantiasa bekerja. Oleh sebab itu perubahan sosial dapat terjadi pada perubahan
27
lembaga-lembaga kemasyarakatan, yang selanjutnya mempengaruhi kelompokkelompok dalam suatu masyarakat. Dalam kajian ilmu sosial, beberapa tokoh telah menggambarkan secara detail tentang bagaimana perubahan sosial dalam masyarakat itu terjadi, dimana salah satu tokohnya adalah Sztompka. Menurut Sztompka, masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya 9. Dalam kajian sosiologis, perubahan ini dilihat sebagai sesuatu yang dinamis. Dengan kata lain, perubahan tersebut tidak terjadi secara linear. Sehingga secara umum Sztompka berpendapat bahwa perubahan sosial dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur atau tatanan di dalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat 10, yang dimaksud disini adalah salah satunya dapat dilihat dari perpindahan cara hidup dan bekerja (profesi) dari suatu masyarakat. Selanjutnya pendapat Sztompka diatas juga searah dengan pendapat tokoh perubahan sosial lain yaitu John Farley, dimana ia mengasumsikan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan yang mencakup pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial, dimana perubahan sosial tersebut dapat terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula11. Perubahan sosial juga tidaklah terjadi begitu saja, akan tetapi selalu mendapat dorongan dan hambatan dari berbagai macam hal. Menurut Sam, 9
Sztompka, Piotr. (2008). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group. Hal. 65. Ibid. Hal. 3. 11 Farley, John E. (1990). Sociology. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Hal. 626. 10
28
perubahan-perubahan sosial tersebut salah satunya bisa disebabkan oleh lebih seringnya kontak dengan golongan-golongan sosial atau suku-suku bangsa lainnya, atau karena masuknya teknologi moderen, media massa dan sekolah 12. Atau dengan kalimat lain perubahan sosial tersebut dapat terjadi akibat dorongan dari luar sistem sebuah masyarakat. Dari konsep perubahan sosial seperti yang disebutkan para tokoh di atas, hal yang perlu digarisbawahi setiap pengamat perubahan sosial adalah bahwa dalam setiap perubahan sosial, pasti dengan serta-merta akan membawa konsekuensi tertentu terhadap struktur sosial atau bahkan sistem sosial suatu masyarakat secara lebih luas. Oleh karena itu, di dalam konsep perubahan sosial juga terkandung dimensi penilaian dan pendapat (judgements) dari para pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak dengan proses perubahan yang bersangkutan. Termasuk dalam hal ini adalah mereka pengamat atau peneliti proses perubahan sosial. Dengan pemahaman seperti di atas, maka dalam konsep perubahan sosial pada intinya bukanlah terkait permasalahan “ada atau tidak ada” perubahan, tetapi yang lebih penting adalah seberapa jauh perubahan sosial itu terjadi, bagaimana arahnya, dan tentu saja pada akhirnya, apa konsekuensi dan hasilnya terhadap perkembangan struktur sosial yang ada. Pada perkembangan selanjutnya, perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tidak hanya terjadi dalam satu bentuk, tetapi dalam beberapa bentuk. Modernisasi adalah salah satu bentuk dari perubahan sosial tersebut. 12
Sam A, Suhandi. (1986). Tatanan Kehidupan Masyarakat Baduy Daerah Jawa Barat. Bandung: Depdikbud. Hal. 3.
29
Modernisasi biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah (directed change) yang didasarkan pada perencanaan (intended atau planned change) yang biasa dinamakan social planning.
1.6.2
Pariwisata sebagai Bagian dari Modernisasi
Di awal perumusannya tahun 1950-an, teori modernisasi lahir sebagai tanggapan ilmuwan sosial Barat terhadap apa yang terjadi di Dunia Ketiga setelah Perang Dunia II. Teori ini muncul sebagai upaya dari Negara Dunia Pertama untuk memenangkan perang ideologi melawan sosialisme yang pada waktu itu sedang populer. Bersamaan dengan itu, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (bekas jajahan Eropa) juga melatarbelakangi perkembangan teori ini. Negara Dunia Pertama melihat hal ini sebagai peluang untuk membantu Negara Dunia Ketiga sebagai upaya stabilitas ekonomi dan politik. Sehingga teori modernisasi dianggap mampu memberikan solusi untuk membantu Negara Dunia Ketiga, salah satunya termasuk masalah kemiskinan, dimana untuk mengatasinya tidak saja diperlukan bantuan modal dari negaranegara maju, tetapi negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional dan kemudian melembagakan demokrasi politik 13. Istilah modernisasi sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti maju dan berkembang, sehingga di dalam modernisasi mengandung makna perubahan. Jika
13
Garna, Judistira K. (1999). Teori Sosial dan Pembangunan Indonesia: Suatu Kajian melalui Diskusi. Bandung: Primaco Akademika. Hal. 9.
30
kita telusuri tentang batasan modernisasi, maka akan ditemukan kompleksitas tentang definisi tersebut tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Menurut Piotr Sztompka, konsep modernisasi dalam arti khusus yang disepakati teoritisi modernisasi di tahun 1950-an dan tahun 1960-an, didefinisikan dalam tiga cara. Pertama, menurut definisi historis, modernisasi sama dengan westernisasi atau amerikanisasi. Dalam hal ini, modernisasi dilihat sebagai gerakan menuju ciri-ciri masyarakat yang dijadikan model. Kedua dalam pengertian relatif, dimana modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk menyamai standar yang dianggap modern baik oleh rakyat banyak maupun oleh elit penguasa. Tetapi, standar ini berbeda-beda, tergantung pada “sumber” atau “pusat rujukan” tempat asal prestasi yang dianggap modern. Ketiga, dalam definisi analisis, mempunyai ciri lebih khusus, yaitu melukiskan dimensi masyarakat modern dengan maksud untuk ditanamkan dalam masyarakat tradisional atau masyarakat pra-modern14. Pada perkembangan selanjutnya, karena terlalu berpatokan dengan Barat, modernisasi diidentikkan dengan westernisasi, sehingga modernisasi menjadi kurang mampu menjawab semua masalah di Negara Dunia Ketiga. Hal ini disebabkan karena modernisasi kurang memperhatikan sejarah, tradisi dan kondisi obyektif masyarakat di Negara Dunia Ketiga, dimana salah satunya adalah tuntutan modernisasi, yaitu homogenisasi. Proses homogenitas tersebut memang terlalu dipaksakan dalam kondisi dunia yang heterogen, hal inilah yang kemudian
14
Sztompka, Piotr. (2008). (2011). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group. Hal. 152-153.
31
pada akhirnya menimbulkan berbagai ketimpangan dalam berbagai aspek pada antardaerah dan antarsektor. Walaupun demikian, perlu diakui bahwa modernisasi merupakan salah satu proses transformasi masyarakat menuju ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek. Sehingga pada dasarnya setiap masyarakat menginginkan perubahan dari keadaan tertentu kearah kehidupan yang lebih baik, lebih maju dan lebih makmur. Keinginan akan adanya perubahan inilah yang menjadi landasan awal proses modernisasi15. Pada era modern ini, sudah tidak bisa terelakan lagi bahwa teknologi dan informasi berkembang sangat pesat, seolah tidak ada batasan antar negara di dunia, baik dalam bidang ekonomi, teknologi, maupun informasi. Komputer, televisi, internet, satelit komunikasi, dan peralatan canggih lainnya juga merupakan hasil nyata adanya modernisasi. Tidak heran pula jika pengaruh modernisasi kini sudah dapat mengubah setiap sudut dunia, termasuk Indonesia. Salah satu kemajuan oleh adanya modernisasi ini adalah mendorong perkembangan di bidang industri, salah satunya adalah industri pariwisata. Berkembangnya industri pariwisata saat ini, salah satunya adalah dilandaskan oleh semangat untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sehingga dalam masyarakat industri saat ini, mulai banyak wilayah yang dulunya adalah merupakan wilayah konservasi budaya (adat) dan alam (cagar alam) akhirnya berubah fungsi menjadi destinasi wisata.
15
Setiadi, E M. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, Pemecahannya. Jakarta: Kencana. Hal. 670.
32
Perlu diingat bahwa modernisasi terkait bidang industri pariwisata ini tidak sekedar menyangkut aspek yang bersifat materiil saja, melainkan juga aspek-aspek yang immaterial dalam masyarakat, seperti pola pikir, tingkah laku, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, saat ini negara-negara di dunia, dari kota sampai ke tingkat terkecil seperti desa, tengah mengalami perubahan sosial dan budaya akibat industri pariwisata yang cepat di era modernisasi ini. Pariwisata sendiri berasal dari dua kata, yakni pari dan wisata. Pari dapat diartikan sebagai banyak, berkali-kali, berputar-putar atau lengkap. Sedangkan wisata dapat diartikan sebagai perjalanan atau bepergian yang dalam hal ini sinonim dengan kata “travel” dalam bahasa Inggris. Atas dasar itu, maka dapat diartikan bahwa pariwisata adalah perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari suatu tempat ke tempat yang lain 16, dengan tujuan mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, berziarah dan lain-lain17. Menurut Cohen, pariwisata secara sosiologis dikaji sebagai cabang kajian yang berkaitan dengan studi motivasi dan peran kepariwisataan, serta mengkaji institusi, hubungan, dan dampak aktivitas pariwisata terhadap masyarakat setempat18. Aktivitas pariwisata sendiri sebenarnya bukanlah fenomena baru di dunia. Menurut Spillane, pariwisata sudah ada sejak dimulainya peradaban manusia 16
Yoeti, Oka A. (1991). Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa. Hal. 103. Spillane, James J. (1987). Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 20. 18 Cohen, Erik. (1984). The Sociology of Tourism: Approeches, Issues, and Finding. California: Annual Review of Sociology. Vol. 10. Hal 373. 17
33
dengan ditandai oleh adanya pergerakan penduduk yang melakukan ziarah dan perjalanan agama19. Sayangnya, walaupun manusia menyadari bahwa pariwisata merupakan agen perubahan yang mempunyai kekuatan besar dan dahsyat, akan tetapi kajian terkait aspek sosial-budaya dari kepariwisataan relatif jauh tertinggal. Pengkajian yang lebih besar tentang kepariwisataan pada umumnya lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomis. Oleh karena pariwisata pada umumnya lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi, mengingat tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi masyarakat, daerah maupun negara. Sejauh ini banyak orang memang belum menyadari adanya kaitan antara pariwisata dengan sosiologi.
Karena harus diingat, selain menyangkut
pengembangan ekonomi, pariwisata adalah sektor yang di dalamnya terdapat berbagai fenomena kemasyarakatan menyangkut manusia, kelompok, masyarakat, organisasi, kebudayaan, dan sebagainya yang kesemuanya merupakan objek kajian sosiologi20. Penjelasan secara nyata dapat dicontohkan yaitu jika pariwisata merupakan sektor yang menghasilkan devisa, ini adalah bagian dari kajian ilmu ekonomi. Sedangkan penciptaan lapangan kerja pada daerah wisata, perubahan pola perilaku dan bergesernya nilai budaya masyarakat setempat dikarenakan berbaurnya masyarakat setempat dengan pendatang dari dalam maupun luar negeri (wisatawan), inilah kajian sosiologisnya.
19
Spillane, James J. (1987). Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 20. 20 Pitana, I Gede. (2005). Sosiologi Pariwisata: Kajian Sosiologis terhadap Struktur, Sistem, dan Dampak-dampak Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 31.
34
Selanjutnya, mengingat pariwisata merupakan suatu aktivitas yang secara langsung
menyentuh
dan
melibatkan
masyarakat,
sehingga
dalam
perkembangannya dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap masyarakat di berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, sikap dan jati diri serta terhadap alam dan lingkungan setempat 21. Dampak tersebut dapat bersifat positif maupun negatif tergantung pada jenis, sifat dan kualitas interaksinya.
1.6.3
Dampak Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Fisik dari Pariwisata
Banyak ahli yang telah menguraikan tentang dampak pariwisata bagi kehidupan sosial masyarakat lokal, dimana salah satunya adalah Gartner 22. Ia membagi dampak sosial pariwisata kedalam dua kategori yaitu dampak secara kualitatif dan dampak secara kuantitatif. Pertama, dampak secara kualitatif, memang cukup sulit untuk mengukurnya karena dampak ini hanya bisa diamati, misalnya terjadinya akulturasi dalam kehidupan sosial dari dua budaya yang berbeda. Contoh lain adalah terjadinya manusia marjinal dan cultural shock yang menurut Oberg23 diartikan sebagai rasa cemas yang diakibatkan oleh hilangnya physical and psychological ’marker’ dari lingkungan tempat tinggal seseorang. Terakhir, contoh Gartner terkait dampak sosial pariwisata secara kualitatif adalah terjadinya
komodisasi
budaya,
dimana
suatu
pertunjukan
seni
yang
dipertontonkan oleh host (tuan rumah) kepada wisatawan semata-mata disajikan
21
Ibid. Hal 83. Lihat: Gartner, William C. (1996). Tourism Development: Principles, Processes, and Policies. Cornell University: Wiley. 23 Ibid. Hal. 169. 22
35
hanya sebagai kepentingan pariwisata saja, tanpa ada nilai kesakralan lagi didalamnya. Sedangkan yang kedua, dampak sosial pariwisata secara kuantitatif, memang relatif lebih mudah untuk diukur, misalnya terjadinya peningkatan angka kriminalitas, prostitusi, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya. Pendapat selanjutnya tentang dampak pariwisata adalah dari Cohen, dimana ia menyoroti dampak pariwisata terkait aspek ekonomi masyarakat setempat, yang ia kategorikan menjadi delapan kelompok besar, yaitu dampak terhadap penerimaan devisa, dampak terhadap pendapatan masyarakat, dampak terhadap kesempatan peluang kerja, dampak terhadap harga-harga, dampak terhadap kepemilikan dan kontrol, dampak terhadap pembangunan pada umumnya dan dampak terhadap pendapatan pemerintah24. Lebih lanjut Cohen menyebutkan juga dampak lain pariwisata terhadap aspek sosial-budaya, yaitu, dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata, dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat, dampak terhadap pola pembagian kerja, dampak terhadap stratifikasi dan mobilisasi sosial, dampak terhadap distribusi pengaruh kekuasaan, dampak tehadap penyimpangan-penyimpangan sosial dan dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat 25. Dampak pariwisata menurut Cohen diatas, searah dengan pendapat tokoh lain yaitu Pizam dan Milman, akan tetapi mereka menambahkan aspek lain yaitu aspek lingkungan di dalamnya. Mereka mengklasifikasikannya menjadi enam kategori, yaitu, dampak terhadap aspek demografis (jumlah penduduk, umur, perubahan piramida kependudukan), dampak terhadap mata pencaharian 24
Lihat dalam: Pitana, I Gede. (2005). Sosiologi Pariwisata: Kajian Sosiologis terhadap Struktur, Sistem, dan Dampak-dampak Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 110 25 Ibid.
36
(perubahan pekerjaan, distribusi pekerjaan), dampak terhadap aspek budaya (tradisi, keagamaan, bahasa), dampak terhadap transformasi norma (nilai, norma, peranan seks), dampak terhadap modifikasi pola konsumsi (infrastruktur, komoditas) dan dampak terhadap lingkungan (polusi, kemacetan lalu lintas) 26. Sifat dan bentuk dari dampak-dampak pariwisata tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak pariwisata tersebut antara lain: jumlah wisatawan, objek yang menjadi sajian dan kebutuhan wisatawan, sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan (apakah alam, situs arkeologi, budaya kemasyarakatan, dan lainnya), struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di daerah tujuan wisata, perbedaan tingkat ekonomi-budaya antara wisatawan dengan masyarakat lokal dan faktor terakhir adalah terkait kecepatan pertumbuhan daerah wisata tersebut 27. Di satu sisi, aktivitas pariwisata pada dasarnya diawali oleh keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi di sisi lain, lewat aktivitas pariwisata tersebutlah perubahan-perubahan kehidupan sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan fisik masyarakat timbul. Berbicara tentang dampak pariwisata tersebut, Dickman berpendapat sebagai berikut: “It must be remembered, however, there are two sides to the coin, what is good tourism development in one way may be harmful in another” 28. Dari pendapat Dickman tersebut dijelaskan bahwa dalam setiap perkembangan pariwisata secara umum akan menimbulkan berbagai dampak, baik secara positif maupun negatif. Terkait dampak positif 26
Pizam, A dan Milman. (1984). “The Social Impacts of Tourism”: Industry and Environment. Nairobi: UNEP publication. Vol. 7, No.1. Hal. 11-14. 27 Lihat dalam: Pitana, I Gede. (1999). Pelangi Pariwisata Bali. Denpasar: Bali Post. 28 Dickman, Sharron. (1994). Tourism: An Introductory Text. Victoria: Footscray Institute of Technology Library. Hal 1 (Chapter 12).
37
pariwisata, Spillane berpendapat bahwa pariwisata mampu berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat antara lain terkait penciptaan lapangan kerja, sumber devisa negara, mendorong pembangunan dan perbaikan sarana-prasarana, masyarakat menjadi lebih ingin menggali budaya serta adat istiadat agar bisa disajikan pada wisatawan, pengetahuan dan pengalaman masyarakat semakin bertambah utamanya terkait kemampuan bahasa asing (yang digunakan dalam berkomunikasi dengan wisatawan), dan terakhir mendorong semakin meningkatnya pendidikan dan keterampilan masyarakat lokal29. Selain mempunyai dampak positif seperti yang telah disebutkan diatas, aktivitas pariwisata tentunya juga mempunyai dampak negatif. Beberapa dampak negatif pariwisata diantaranya yaitu, ketergantungan ekonomi, sifat pekerjaan yang musiman, timbulnya komersialisasi, berkembangnya pola hidup konsumtif, perubahan sistem nilai, moral, etika, kepercayaan, dan tata pergaulan dalam masyarakat, dan dampak negatif terakhir adalah terjadinya pencemaran lingkungan alam sekitar daerah wisata30. Maka dari itu, untuk menekan sekecil mungkin dampak negatif yang ditimbulkan, sudah seharusnya dalam setiap aktivitas pariwisata, faktor sosial, entitas budaya lokal dan konservasi lingkungan tidak boleh lagi diabaikan, artinya kehidupan masyarakat tidak boleh tercerabut dari akar sosial-budaya dan pelestarian terhadap alamnya hanya karena ada penekanan segi komersial dari tourism.
29
Spillane, J. (1994). Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 33. 30 Spillane, J. (1987). Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya.Yogyakarta: Kanisius. Hal. 47.
38
Pada akhirnya, dalam kaitannya dengan penelitian ini, penjelasan diatas mengenai konsep perubahan sosial, pariwisata sebagai bagian dari modernisasi, dan dampak yang ditimbulkan pariwisata, dirasa mampu mengkaji bagaimana sesungguhnya fenomena perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan fisik (lewat adanya aktivitas pariwisata) bisa terjadi di Kampung Naga.
1.7 Metodologi Penelitian
1.7 .1 Jenis Penelitian
Pada penelitian ini digunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode etnografi. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan orang yang diteliti, dimana kesemuanya tersebut tidak dapat di ukur dengan angka31. Penelitian kualitatif bertujuan mendapatkan gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi dimana peneliti berusaha untuk mengetahui bagaimana perubahan sosial, ekonomi dan lingkungan fisik yang terjadi di Kampung Naga dikarenakan aktivitas pariwisata yang terjadi di wilayah tersebut.
31
Bogdan, R. & Taylor, S.J. (1975). Introduction to Qualitative Research Methode. New York: John Willey and Sons. Hal 5.
39
Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan atau menggambarkan). Maka etnografi merupakan ragam pemaparan penelitian sosialbudaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian etnografi berupaya mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi. Menurut Creswell, studi ini akan terkait bagaimana subyek berpikir, hidup, dan berperilaku, lalu menggambarkan serta menginterpretasikan pola nilai, kepercayaan dan bahasa yang dipelajari dan dianut oleh suatu kelompok budaya 32. Sedangkan dalam buku Handbook of Ethnography, secara umum penelitian etnografi dijelaskan sebagai bentuk penelitian sosial yang menekankan pada eksplorasi fenomena sosial pada setting aslinya, data yang digunakan bersifat tidak terstruktur, penelitian dilakukan bersifat mikro, analisis data meliputi interpretasi makna dan fungsi dari tindakan manusia, serta hasil dari analisa tersebut berupa deskripsi verbal serta paparan penjelasan33. Penelitian
etnografi
pada
dasarnya
lebih
memanfaatkan
teknik
pengumpulan data pengamatan terlibat (partisipant observation). Hal tersebut dikarenakan peneliti etnografi (etnografer) akan belajar secara langsung dari masyarakat lokal terkait aspek sosial-budaya khas setempat. Lewat penelitian terlibat ini, seorang etnografer melakukan eksplorasi terhadap kegiatan hidup sehari-hari dari objek penelitian, melakukan pengamatan, mewawancarai anggota kelompok serta mengumpulkan dokumen-dokumen terkait.
32
Creswell, John W. (2007). Qualitative Inquiry & Research Design, Choosing Among Five Approch. California: Sage Publications. Hal. 68. 33 Atkinson, Paul dkk. (ed). (2001). Handbook of Ethnography. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Pulications. Hal. 323.
40
Pelukisan etnografi biasanya dilakukan secara thick description (deskripsi tebal). Namun demikian, tebal di sini lebih merupakan formulasi ke arah deskripsi yang mendalam, sehingga pemaparan kajian penelitian akan lebih berarti, bukan sekedar data yang ditumpuk. Oleh karena hal inilah maka penelitian etnografi cenderung mengarah ke kutub induktif, konstruktif, transferabilitas, dan subyektif. Penelitian etnografi mencoba mengungkap pandangan hidup senyatanya dari fenomena budaya, tradisi dan hubungan sosial yang ada dari sudut pandang penduduk setempat (lebih menekankan pada idiografik). Dengan demikian akan ditemukan makna tindakan sosial-budaya suatu komunitas secara apa adanya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tidak setiap fenomena masyarakat lokal cocok sebagai kajian etnografi, karena kajian penelitian yang dipilih dalam penelitian etnografi idealnya merupakan peristiwa unik yang jarang teramati oleh kebanyakan orang.
1.7 .2 Lokasi dan Waktu Penelit ian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Proses penelitian ini dimulai pada awal Januari 2014. Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian adalah kurang lebih enam bulan yaitu dimulai dari bulan Januari 2014 sampai dengan bulan Juni 2014.
41
1.7 .3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan pengumpulan data primer dan data sekunder, yaitu:
1.7.3.1
Data Primer
1.7.3.1.1 Wawancara Mendalam
Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan teknik wawancara mendalam. Teknik ini digunakan untuk memperoleh keterangan secara lengkap dan mendalam, yakni lewat interaksi dan wawancara dengan seorang informan sesuai dengan permasalahan penelitian, kemudian dilakukan pencatatan secara sistematik berdasarkan pedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Wawancara mendalam ini juga dipakai peneliti untuk memperdalam informasi dengan melakukan cross check antar-informan untuk mendapatkan data yang benar-benar valid dan dilakukan beberapa kali sesuai dengan keperluan peneliti yang berkaitan dengan kejelasan dan kemantapan masalah yang dijelajahi.
42
1.7.3.1.2 Observasi Partisipasi
Observasi partisipasi yang dimaksud disini adalah peneliti terlibat secara langsung dengan masyarakat di lapangan sembari melakukan pengamatan dan pencatatan terhadap hal yang dianggap berhubungan dengan objek yang diteliti, atau hal yang berkaitan dengan masalah penelitian. Dikarenakan keterbatasan daya pengamatan peneliti, maka pada saat melakukan observasi partisipasi, peneliti membawa alat bantu berupa alat kamera dan tape recorder. Dalam hal ini, kamera adalah alat bantu pengamatan untuk mengabadikan peristiwa-peristiwa atau kenyataan-kenyataan agar kemudian dapat dipelajari dengan seksama. Tape recorder dipakai membantu pengamatan dalam menangkap suara informan yang diwawancarai.
1.7.3.2
Data Sekunder
Data sekunder yang dimaksudkan penulis disini adalah dengan studi dokumen yaitu menjelajahi dan melacak peninggalan tertulis seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku, teori, dalil, catatan statistik, data informasi media dan lain-lain yang terkait dengan masalah penelitian. Studi dokumen dalam proses penelitian ini diperlukan dengan tujuan untuk membentuk dan memperbaiki kerangka konsep. Perlu ditekankan di sini bahwa studi dokumen juga turut membantu peneliti dalam menyusun konstruksi konsep
43
serta menyempurnakannya, dan mengilustrasikan teori dengan data dari dokumen terkait.
1.7 .4 Teknik Analisis dan Interpretasi Data
Analisis dan interpretasi data merupakan dua aspek penting dalam penelitian kualitatif yang saling terkait dan hampir tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Suatu analisis data tidak akan banyak memberi manfaat terhadap hasil penelitian apabila tidak dilanjutkan dengan interpretasi data, sebaliknya interpretasi data yang tidak sinkron dengan hasil analisis data, justru hanya akan menyesatkan peneliti terutama dalam pengambilan keputusan terhadap data hasil penelitian. Proses analisis data secara keseluruhan melibatkan usaha memaknai data baik yang berupa teks ataupun gambar. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Sehingga proses analisis data secara sederhana dapat disimpulkan sebagai suatu proses untuk pengorganisasian data dalam rangka mendapatkan pola-pola atau bentuk-bentuk keteraturan. Sedangkan interpretasi data adalah mencakup pembuatan data itu menjadi bermakna, atau “pelajaran itu dipelajari”34. Interpretasi juga bisa berupa makna yang berasal dari perbandingan antara hasil penelitian dengan informasi yang 34
Lihat: Lincoln, Y. S. & Guba, E. G. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA: Sage Publications, Inc.
44
berasal dari literatur atau teori. Penelitian kualitatif adalah penelitian interpretasi, maka peneliti harus membuat data temuan itu berarti. Karena dalam penelitian kualitatif, peneliti percaya bahwa selama proses penelitian berlangsung, data penelitian tidak akan pernah dapat terpisah dari interpretasi dan refleksi pribadi atas makna berdasarkan setting penelitian. Jadi, interpretasi atau pemaknaan data dalam penelitian kualitatif dapat berupa banyak hal, dapat diadaptasikan untuk jenis rancangan yang berbeda, dan bersifat pribadi, berbasis penelitian, serta tindakan35. Dalam penelitian kualitatif proses analisis dan interpretasi data memerlukan cara berfikir kreatif, kritis dan sangat hati-hati. Kedua proses tersebut merupakan proses yang saling terkait dan sangat erat hubungannya. Dalam penelitian kualitatif tidak ada formula yang pasti untuk menganalisis dan menginterpretasikan data seperti formula yang dipakai dalam penelitian kuantitatif, walaupun pada dasarnya terdapat beberapa kesamaan langkah yang ditempuh untuk menganalisis dan menginterpretasikan data. Pada penelitian ini proses analisis dan interpretasi data yang dilakukan yaitu diawali dengan menelaah seluruh data yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber yaitu wawancara, pengamatan lapangan, dan kajian dokumen (pustaka). Langkah berikutnya reduksi data yang dilakukan dengan cara abstraksi. Abstraksi merupakan upaya membuat rangkuman dari segala data yang ada. Selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan keabsahan data. Langkah terakhir adalah penafsiran data yang telah diuji untuk dijadikan teori substantif dengan 35
Creswell, John W. (diterjemahkan oleh Achmad Fawaid). (2009). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 283-284.
45
menggunakan beberapa metode tertentu berpedoman pada kerangka konseptual yang telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas dari fenomena yang diteliti.
1.7 .5 Proses Penelit ian
Pelaksanaan penelitian ini terbagi menjadi empat proses yaitu proses prapenelitian, proses pelaksanaan penelitian, proses refleksi hasil penelitian, dan proses penyusunan laporan penelitian. Tahapan-tahapan proses penelitian tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1.7 .5.1 Pra-Penelit ian
Pada tahap pra-penelitian, tindakan yang pertama kali dilakukan oleh peneliti adalah mulai turun ke lapangan sejak Bulan Januari (secara informal) untuk mencari data awal, diantaranya terkait akses menuju Kampung Naga, perijinan di Kampung Naga, gambaran wilayah Kampung Naga, dan gambaran umum masyarakat Kampung Naga serta meminta ijin kepada Ketua Adat Kampung Naga untuk melakukan penelitian di tempat tersebut. Walaupun sempat berulang kali terkendala ijin dari Ketua Adat, dikarenakan Kampung Naga adalah Kampung Adat yang tidak bisa dikunjungi orang secara sembarangan sehingga perijinan penelitian dan menetap di Kampung Naga pun cukup sulit di dapat peneliti. Namun akhirnya dengan
46
pendekatan peneliti kepada Ketua Adat Kampung Naga secara intens dan berulang, kurang lebih selama hampir tiga minggu, akhirnya ijin penelitian di Kampung Naga pun di dapat peneliti.
1.7 .5.2 Proses Pelaksanaan Penelit ian
Proses pelaksanaan penelitian (secara formal) dilakukan peneliti dari Bulan Maret 2014, dimana peneliti mulai melakukan observasi partisipasi berbaur bersama masyarakat di Kampung Naga. Kemudian dengan berpedoman pada data awal yang dimiliki dari hasil pra-penelitian, peneliti mulai memfokuskan pada pengumpulan data-data terkait permasalahan penelitian. Pengumpulan data yang dilakukan peneliti selama di lapangan dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah informan yang juga sebagai anggota masyarakat Kampung Naga. Selanjutnya peneliti juga melakukan pencatatan pribadi selama observasi partisipasi di lapangan. Catatan lapangan ini juga digunakan peneliti untuk meng-cross check data hasil wawancara yang telah dilakukan sebelumnya, dengan tujuan untuk menegaskan dan memperdalam data guna mendapatkan data yang benar-benar valid.
47
1.7 .5.3 Proses Refleksi Hasil Penelit ian
Dalam proses refleksi hasil penelitian, semua data yang didapat dalam tahap pelaksanaan penelitian dikumpulkan serta dianalisis sehingga diperoleh hasil refleksi selama berlangsungnya penelitian yang telah dilakukan. Refleksi merupakan bagian yang sangat penting untuk memahami dan memberikan makna terhadap proses dan hasil data lapangan yang di dapat.
1.7 .5.4 Proses Penyusunan Laporan Penelit ian
Setelah semua tahapan proses penelitian yang dimulai dari proses prapenelitian, proses pelaksanaan penelitian, dan proses refleksi hasil penelitian telah selesai dikerjakan, selanjutnya proses terakhir yang dilakukan peneliti adalah menyusun laporan penelitian. Dalam
penyusunan
laporan
penelitian,
peneliti
menuliskan,
mendeskripsikan dan menganalisis semua data yang diperoleh selama proses penelitian berlangsung, baik itu data yang bersifat primer (hasil wawancara mendalam dan catatan selama observasi partisipasi di lapangan) maupun data yang bersifat sekunder (dari telaahan pustaka) untuk disajikan menjadi sebuah tulisan ilmiah berupa tesis.
48