BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN TENTANG HUBUNGAN KERJA A

Download a. Pengertian Hubungan Kerja. Hubungan kerja yang terjadi antara pengusaha dan pekerja memiliki beberapa pengertian, yaitu: 1) Dalam Pasal ...

0 downloads 516 Views 298KB Size
BAB II LANDASAN TEORI

A.

Tinjauan tentang Hubungan Kerja a. Pengertian Hubungan Kerja Hubungan kerja yang terjadi antara pengusaha dan pekerja memiliki beberapa pengertian, yaitu: 1) Dalam Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “hubungan kerja adalah

hubungan

antara

pengusaha

dengan

pekerja/buruh

berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. 2) Menurut Zainal Asikin adalah “Hubungan antara Buruh dan Majikan setelah adanya Perjanjian Kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, siburuh mengikatkan dirinya pada pihak lain, si majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah, dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan si buruh dengan membayar upah.1 3) Menurut Lalu Husni dalam bukunya yang berjudul

“Hukum

Ketenagakerjaan Indonesia” yang disebut dengan “hubungan kerja

1

Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Grafindo Persada, 1993, Jakarta, hlm. 65.

adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja.”2 Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Setiap hubungan kerja diawali dengan kesepakatan perjanjian kerja. Perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja dan pengusaha tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh penguasa dengan serikat pekerja yang ada di perusahaannya. b. Perjanjian Kerja 1) Pengertian Perjanjian Kerja “Perjanjian kerja merupakan dasar dari terbentuknya hubungan kerja. Perjanjian kerja adalah sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian dan asas-asas hukum perikatan”.3 Bukti bahwa seseorang bekerja pada orang lain atau pada sebuah perusahaan adalah adanya perjanjian kerja yang berisi tentang hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak. Berikut ini pengertian tentang perjanjian kerja : a) Pengertian perjanjian adalah perjanjian yang diselenggarakan oleh

serikat-serikat

buruh

yang

telah

terdaftar

pada

Kementerian Perburuhan (Sekarang departemen Tenaga Kerja) dengan majikan, majikan-majikan, perkumpulan majikan yang 2

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Grafindo Persada, , 2003, Jakarta, hlm. 39. 3 Asri Wijayanti,, Op. Cit, hlm. 41

14

berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat yang diperhatikan perjanjian kerja. b) Pengertian perjanjian kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni: “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syaratsyarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”. c) Imam Soepomo dalam Lalu Husni “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah4. 2) Unsur-Unsur dalam Perjanjian Kerja a) Adanya unsur work atau pekerjaan Dalam perjanjian kerja harus

ada

pekerjaan

yang

diperjanjikan (obyek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1603 huruf a yang berbunyi: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanyalah dengan seizin majikan ia dapat menyuruh seorang ketiga menggantikannya.”

4

Lalu Husni, Op. Cit, hlm. 35.

15

“Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi Karena bersangkutan dengan ketrampilan/keahliannya, karena itu menurut hukum jika pekerja meninggal dunia, maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.” “Pekerjaan itu bebas sesuai dengan kesepakatan buruh dan majikan, asalkan tidak bertentangan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan

antara dengan

ketertiban

umum”5. b) Adanya unsur perintah “Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan.”6 “Di dalam hubungan kerja kedudukan majikan

adalah

pemberi kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan pekerjaannya”7 c) Adanya waktu “Adanya

waktu

yang

dimaksudkan

adalah

dalam

melakukan pekerjaan harus disepakati jangka waktunya. Unsur

5

Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 36 Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 37-38 7 Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 37 6

16

jangka waktunya. Unsur jangka waktu dalam perjanjian kerja diperbuat.”8 d) Adanya upah “Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seseorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja.”9 3) Syarat Sah Perjanjian Kerja Dalam Undang-Undang

Nomor 13 Tahun

2003 tentang

Ketenagakerjaan pada Pasal 52 ayat (1) dijelaskan tentang syarat sahnya perjanjian kerja adalah: a) Kesepakatan kedua belah pihak; Sepakat yang dimaksudkan adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Kesepakatan yang terjadi antara buruh dan majikan secara yuridis haruslah bersifat bebas.10 b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; “Hukum perburuan membagi usia kerja dari tenaga kerja menjadi anak-anak (14 tahun ke bawah), orang muda (14-18 tahun), dan orang dewasa (18 tahun ke atas)”.11

8

Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 37-38 Ibid, hlm. 37-38 10 Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 43 11 Ibid, hlm. 43 9

17

Ketentuan Pasal 1320 ayat (2) BW, yaitu

adanya

kecakapan untuk membuat perikatan. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya adalah menurut hukum. c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak. d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan

dengan

ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundangundangan yang berlaku; Sebab yang halal menunjuk pada obyek hubungan kerja boleh melakukan pekerjaan apa saja, asalkan tidak betentangan dengan

peraturan

perundang-undangan,

kesusilaan

dan

ketertiban umum.12 Keempat syarat tersebut bersifat komulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat

dikatakan bahwa perjanjian

tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subyektif, sedangkan

syarat adanya pekerjaan yang

dijanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan

12

Ibid, hlm. 45

18

perundang-undangan yang berlaku disebut sebagai syarat obyektif.13 Jika syarat obyektif

tidak dipenuhi oleh syarat

subyektif, maka akibat dari perjanjian tersebut adalah dapat dibatalkan.14 4) Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja a) Kewajiban Buruh/Pekerja Dalam KUHP Perdata ketentuan mengenai

kewajiban

buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603 huruf a, 1603 huruf b, dan 1603 huruf c KUHP Perdata yang pada intinya sebagai berikut: (1) Buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan,

melakukan

pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan; (2) Buruh/pekerja

wajib

majikan/pengusaha,

mentaati dalam

aturan

melakukan

dan

petunjuk

pekerjaannya

buruh/pekerja wajib mentaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam

peraturan perusahaan

sehingga menjadi jelas ruang lingkup dari petunjuk tersebut; dan

13 14

Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 39-40 Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 45

19

(3) Membayar

kewajiban

ganti

rugi

dan

buruh/pekerja melakukan perbuatan

denda,

jika

yang merugikan

perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib

membayar

ganti-rugi dan denda. b) Kewajiban Majikan/Pengusaha Kewajiban Pengusaha “Kewajiban

menurut

memberikan

Lalu

Husni

istirahat/cuti,

adalah: pihak

majikan/pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat tahunan kepada pekerja secara teratur.15” Waktu istirahat atau cuti sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ayat (2) meliputi: (1) Memberikan istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tidak termasuk jam kerja; (2) Memberikan istirahat mingguan 1 (satu)

hari untuk 6

(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; (3) Memberikan cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;

15

Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 42-43

20

(4) Memberikan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.; (5) Kewajiban

mengurus

perawatan

dan

pengobatan,

majikan/pengusaha wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan (Pasal 1602 KUHPerdata); (6) Kewajiban memberikan surat keterangan, kewajiban ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1602 huruf a KUHPerdata yang

menentukan

bahwa

majikan/pengusaha

wajib

memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan

mengenai sifat pekerjaam yang dilakukan,

lamanya hubungan kerja dan; (7) Kewajiban membayar upah “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk

uang sebagai imbalan dari

21

pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian kerja”16. 5) Hak-hak Buruh Dalam Perjanjian Kerja Hak adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang. Demikian buruh juga mempunyai hak-hak karena statusnya itu. Adapun hakhak dari buruh itu dapat dirinci sebagai berikut, yaitu:17 a) Hak mendapatkan upah; b) Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan; c) Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya; d) Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahliandan ketrampilan; e) Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan, serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama; f) Hak mendapatkan pembayaran penggantian istirahat tahunan, bila ketika ia di PHK ia sudah mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang terakhir; g) Hak atas upah penuh saat istirahat tahunan; h) Hak mendirikan dan menjadi anggota Serikat Pekerja Nasional.

c. Perjanjian Kerja Bersama 1) Pengertian Perjanjian Kerja Bersama Perjanjian Kerja Bersama (Istilah sebelumnya Perjanjian perburuan, kemudian Kesepakatan Kerja Bersama) memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:

16

Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 107 Nurwati, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja, Vol. 1, No. 2

17

22

a) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1601 ayat (1) disebutkan bahwa perjanjian perburuhan adalah “Peraturan yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang perkumpulan majikan yang berbadan hukum, mengenai syarat-syarat kerja yang harus di indahkan pada waktu membuat perjanjian kerja.” b) Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan

Perjanjian Kerja Bersama adalah Perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat

pekerja/serikat buruh atau

beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha

yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan

kewajiban kedua belah pihak. 2) Masa Berlakunya PKB Masa berlakunya PKB paling lama 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 1 tahun dan pelaksanaannya harus disetujui secara tertulis oleh pengusaha dan serikat pekerja. Menurut Lalu Husni18, PKB sekurang-kurangnya menurut : a) b) c) d) 18

Hak dan kewajiban pengusaha; Hak dan Kewajiban serikat pekerja serta pekerja; Tata tertib perusahaan; Jangka waktu berlakunya PKB

Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 46-47

23

e) Tanggal mulai berlakunya PKB; dan f) Tanda tangan para pihak pembuat PKB. 3) Hubungan Antara Perjanjian Kerja dengan Perjanjian Perburuhan/PKB Hubungan perjanjian kerja dengan PKB menurut Husni adalah:19 a) Perjanjian perburuan/PKB merupakan perjanjian induk dari perjanjian kerja; b) Perjanjian kerja tidak dapat mengenyampingkan perjanjian perburuan, bahkan sebaliknya perjanjian kerja dapat dikesampingkan oleh perjanjian perburuhan/PKB jika isinya bertentangan; c) Ketentuan yang ada dalam perjanjian perburuhan/PKB secara otomatis beralih dalam isi perjanjian yang dibuat; dan d) Perjanjian perburuan/PKB merupakan jembatan untuk menuju perjanjian kerja yang baik.

B.

Tinjauan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) a. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Adalah: 1) Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada Pasal 1 ayat (25) yang dimaksud dengan Pemutusan hubungan kerja adalah: “Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan

berakhirnya

hak

dan

kewajiban

antara

pekerja/buruh dan pengusaha.”

19

Ibid, hlm. 49

24

2) Menurut Asri Wijayanti dalam Bukunya yang berjudul “Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi” yang dimaksud dengan Pemutusan Hubungan Kerja adalah: “Suatu keadaan dimana si buruh berhenti bekerja dari majikannya.”20 3) Menurut Keputusan Menteri dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep/78/Men/2001 yang dimaksud dengan Pemutusan hubungan kerja adalah: “Pengakhiran hubungan kerja antara

pengusaha dengan

pekerja/buruh berdasarkan ijin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.” 4) Lalu Husni menyebutkan bahwa “Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja karena berbagai sebab.”21 b. Dasar Hukum Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta

peningkatan

perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk itulah sangat diperlukan adanya perlindungan terhadap tenaga

kerja

dimaksudkan

untuk

menjamin

hak-hak

dasar

pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan 20 21

Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 159 Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 170.

25

tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh

dan

keluarganya

dengan

tetap

memperhatikan

perkembangan kemajuan dunia usaha.22 Hukum Pemutusan Hubungan Kerja adalah bagian yang paling rumit dari Hukum Perburuhan karena mengatur hubungan yang rawan atau mengatur masalah-masalah to be or not to be. Oleh karena itu ketentuan tentang PHK bersifat

bivalent, yaitu perdata dan publik.

Bersifat perdata berarti cenderung njimet, mengatur secara mendetail, karenanya sulit memahaminya.23 “Sumber hukum ketenagakerjaan Indonesia yang tertulis tersebar ke

dalam

berbagai

terkondifikasi dengan

peraturan

perundang-undangan

belum

baik, sehingga kita harus mencari sendiri

berbagai peraturan yang tersebar apabila akan dipergunakan untuk dasar hukum dalam memecahkan suatu masalah.”24 Agar efektifnya penegakan hukum bidang perburuhan dalam penyelesaian PHK, perlu didukung dengan peraturan perundangan yang lengkap dan perubahan, perbaikan Undang-Undang

No. 12

Tahun 1984 menjadi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, sehingga tenaga kerja mendapat perlindungan. Di samping itu perlu memper-timbangkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Di sisi lain perlu adanya pengalaman etika, moral dan tanggung jawab sosial perusahaan (korporasi) terhadap tenaga kerja 22

Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 6 Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Alumni, 2000, Bandung, hlm. 169 24 Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 28

23

26

dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) penegak hukum sebagai petugas yang handal dan tangguh khususnya dalam praktik penyelesaian PHK mutlak diperlukan.25 Adapun beberapa dasar hukum pengaturan PHK adalah: 1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan; 2) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial; 3) Keputusan

Menteri

(Kepmenakertrans)

Tenaga Nomor

Kerja

dan

Transmigrasi

Kep-150/MEN/2000

tentang

Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan

Uang

Pesangon, Uang penghargaan Masa Kerja, dan ganti Kerugian dari Perusahaan, tertanggal 20 Juni 2000; dan 4) Keputusan

Menteri

Tenaga

Kerja

dan

Transmigrasi

(Kepmenakertrans) Nomor Kep-150/MEN/2001 ini merupakan revisi dari Kepmenakertrans Nomor Kep-150/MEN/2001. c. Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 1) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Majikan/ Pengusaha “PHK oleh majikan dapat terjadi karena alasan apabila buruh tidak lulus masa percobaan, apabila majikan mengalami kerugian

25

[email protected],6/01/16

27

sehingga

menutup

usaha,

atau

apabila

buruh

melakukan

kesalahan”.26 Pemberhentian di anggap tidak layak menurut Lalu Husni apabila:27 a) Tidak menyebut alasan; b) Alasannya dicari-cari/alasan yang palsu; dan c) Bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang atau kebiasaan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada Pasal 154 pengusaha tidak perlu melakukan PHK dalam hal: a) Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratan secara tertulis sebelumnya; b) Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; c) Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau d) Pekerja/buruh meninggal dunia Menurut

Djumialdji28

pengusaha

dilarang

melakukan

pemutusan hubungan kerja dengan alasan: 26

Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 162 Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 131-132 28 Djumialdji, Perjanjian Kerja, Sinar Grafika Offset , 2006, Jakarta, hlm. 49-50. 27

28

a) Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; b) Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d) Pekerja/buruh menikah; e) Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f) Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur didalam peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; g) Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh diluar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama; h) Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i) Karena perbedaan paham, agama, politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; dan j) Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Menurut Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pengusaha/Majikan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan Pekerja/buruh telah

melakukan kesalahan

berat sebagai berikut: a) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau milik perusahaan;

29

b) Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c) Mabuk, meminum minuman keras

yang memabukkan,

memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d) Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e) Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan

perundang-

undangan; g) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yangmenimbulkan kerugian bagi perusahaan; h) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i) Membongkar atau membocorkan

rahasia perusahaan yang

seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara; atau j) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

30

Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud di atas dapat

memperoleh uang

penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kesalahan berat di atas berdasarkan ketentuan dalam Pasal 158 ayat (2) harus didukung dengan bukti : a) Pekerja/buruh tertangkap tangan; b) Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau c) Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung sekurang-kurangnya dua orang saksi. 2) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perubahan Status, Penggabungan, Peleburan, atau Perubahan Kepemilikan Perusahaan. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4). Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan,

31

atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). 3) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Tutup Disebabkan Perusahaan Mengalami Kerugian Secara Terus Menerus. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang npesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). “Uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja perhitungan didasarkan pada upah sebulan terakhir sebelum

terkena PHK.

Upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan yang bersifat tetap (Pasal 157 ayat (1)). Sedang uang penggantian hak antara lain

32

berupa cuti tahunan yang belum diambil, biaya ongkos pulang, penggantian perumahan dan kesehatan.”29 4) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Tutup Bukan Karena Mengalami Kerugian Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut

atau bukan

majeur) tetapi

perusahaan

karena keadaan memaksa (force

melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). 5) Pemutusan Hubungan Kerja Karena Perusahaan Pailit Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

29

Annisrul Nur, Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja Disebabkan Oleh Tutupnya Perusahaan Karena Mengalami Kerugian (Kajian pada Perusahaan yang berbentuk Badan Hukum Perseroan Terbatas)”, Vol. 8, No. 1.

33

6) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Buruh/ Pekerja PHK oleh buruh dapat terjadi apabila buruh mengundurkan diri atau terdapat alasan yang mendesak yang mengakibatkan buruh minta di PHK. Pengunduran diri buruh dapat dianggap terjadi apabila buruh mangkir paling sedikit dalam waktu 5 hari kerja berturut-turut dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara tertulis, tetapi pekerja tidak dapat memberikan keterangan tertulis dengan alat bukti yang sah.30 Seorang buruh yang akan mengakhiri hubungan kerja harus mengemukakan alasan-alasannya kepada pihak majikan. Alasan mendesak adalah suatu keadaan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan bahwa buruh tersebut tidak sanggup untuk meneruskan hubungan kerja. Alasan-alasan mendesak dimaksud di antaranya:31 a) Apabila majikan menganiaya, menghina secara kasar atau melakukan ancaman yang membahayakan si buruh atau anggota keluarganya; b) Apabila majikan membujuk buruh atau anggota keluarganya untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang atau tata susila; dan c) Majikan tidak membayar upah sebagaimana mestinya/ tidak tepat waktu. Menurut Pekerja/buruh hubungan

30 31

Undang-Undang dapat

Nomor

mengajukan

13

Tahun

2003,

permohonan

pemutusan

kerja kepada lembaga penyelesaian

perselisihan

Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 55 Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 133

34

hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut : a) Menganiaya,

menghina

secara

kasar

atau

mengancam

pekerja/buruh; b) Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan

perundang-

undangan; c) Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih; d) Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; e) Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau f) Memberikan

pekerjaan

keselamatan,

kesehatan,

sedangkan

pekerjaan

yang dan

tersebut

membahayakan kesusilaan tidak

jiwa,

pekerja/buruh

dicantumkan

pada

perjanjian kerja. 7) Hubungan Kerja Putus demi Hukum Selain diputuskan oleh majikan atau buruh, hubungan kerja juga dapat putus/ berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya. Hubungan kerja putus demi hukum apabila:32

32

Ibid, hlm. 133-134.

35

a) Buruh/ pekerja mengundurkan diri tanpa syarat atau karena memasuki usia pensiun; b) Buruh/ pekerja mengundurkan diri tanpa syarat atau karena memasuki usia pensiun; c) Buruh/ pekerja meninggal dunia; d) Hubungan kerja/ perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu dan waktu yang ditentukan itu telah berakhir/ lampau, jadi dengan selesainya suatu kontrak kerja, maka hubungan kerja putus dengan sendirinya. 8) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan Yang

dimaksud dengan

pemutusan hubungan kerja

pengadilan ialah pemutusan hubungan kerja oleh perdata biasa atau permintaan yang

oleh

pengadilan

bersangkutan berdasarkan

alasan penting. Alasan penting adalah disamping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan pribadi atau kekayaan pemohon atau perubahan sedemikian

rupa

keadaan dimana pekerjaan yang dilakukan sifatnya,

sehingga

adalah

layak

untuk

memutuskan hubungan kerja.33 d. Prosedur PHK oleh Pengusaha Menurut Lalu Husni, tata cara PHK yang dilakukan oleh pengusaha adalah:34 1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi oleh pemutusan hubungan kerja; 2) Setelah dilakukan segala usaha dimana pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, maka pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja dengan organisasi pekerja yang bersangkutan yang ada diperusahaan atau dengan karyawan/tenaga kerja/pekerja sendiri dalam hal tenaga kerja tersebut tidak menjadi anggota salah satu organisasi pekerja;

33 34

Ibid, hlm. 131-135 Ibid, hlm. 127-130

36

3) Bila perundingan tersebut nyata-nyata tidak menghasilkan persetujuan paham, pengusaha hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan tenaga kerja setelah mendapat izin dari Panitia Perselisihan Perburuan Daerah (P4D) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) bagi pemutusan hubungan kerja secara besarbesaran; 4) P4D dan P4P menyelesaian permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya menurut tata cara yang berlaku untuk dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam hal P4D atau P4P memberikan izin, maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk pesangon, uang jasa, dan ganti kerugian lainnya; 5) Hal-hal yang harus dimuat dalam permohanan izin pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha adalah: a) Nama dan kedudukan perusahaan; b) Nama orang yang bertanggung jawab di perusahaan c) Nama dari karyawan/tenaga kerja yang dimintakan pemutusaan hubungan kerja; d) Umur jumlah keluarga si pekerja; e) Jumlah masa kerja dari setiap tenaga kerja yang dimintakan pemutusan hubungan kerja; f) Penghasilan terakhir berupa uang dan catu tiap bulannya; g) Alasan-alasan pengusulan pemutusan hubungan kerja secara terperinci. 6) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja tidak dapat diberikan apabila pemutusan hubungan kerja tersebut didasarkan atas : a) Hal-hal yang berhubungan dengan keanggotaan serikat pekerja atau dalam rangka pembentukan serikat pekerja dan melaksanakan tugas-tugas atau fungsi serikat pekerja diluar jam kerja; b) Pengaduan pekerja/tenaga kerja kepada yang berwajib mengenai tingkah laku pengusaha yang terbukti melanggar peraturan Negara , dan c) Paham agama, aliran, suku, golongan atau jenis kelamin. 7) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja dapat diberikan dalam hal tenaga kerja/pekerja melakukan kesalahan berat.

37

e. Kompensasi PHK 1) Hak-hak tenaga kerja yang terkena PHK Berdasarkan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa bila terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Menurut Lalu Husni Hak-hak yang diterima oleh pekerja/ buruh yang mengalami PHK adalah: 35 a) Uang pesangon “Uang pesangon adalah pembayaran dalam bentuk uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya PHK yang jumlahnya disesuaikan dengan masa kerja pekerja.36 Menurut

Asri

wijayanti,

besarnya

uang

pesangon

ditetapkan paling sedikit sebagai berikut:37 (1) Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; (2) Masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; (3) Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; (4) Masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; (5) Masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; (6) Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; (7) Masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; dan 35

Ibid, hlm. 142 Ibid, hlm. 135 37 Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm. 173 36

38

(8) Masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 bulan upah.

(Sembilan)

b) Uang Penghargaan Masa Kerja “Uang penghargaan masa kerja atau dalam peraturan sebelumnnya

disebut

dengan

uang

jasa

penghargaan pengusaha kepada pekerja

adalah

uang

yang besarnya

dikaitkan dengan lamanya masa kerja”.38 Menurut Asri Wijayanti, besarnya uang penghargaan masa kerja ditetapkan paling sedikit sebagai berikut:39 (1) Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; (2) Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (Sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah (3) Masa kerja 9 (Sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; (4) Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; (5) Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; (6) Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; (7) Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; dan (8) Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.

38 39

Lalu Husni, Op. Cit, hlm. 135 Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm. 173

39

c) Uang Ganti Rugi “Uang ganti kerugian adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai pengganti dari hakhak yang belum diambil seperti istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang ketempat dimana pekerja diterima bekerja dll.”40 Dalam Pasal 24 Keputusan Menteri Tenaga Kerja No, 150 tahun 2000 disebutkan bahwa ganti rugi meliputi : (1) Istirahat tahunan yang belum diambil dan belum gugur; (2) Ganti

kerugian

perusahaan

atas

yang

istirahat

panjang

bilamana

bersangkutan

berlaku

peraturan

istirahat panjang dan pekerja belum mengambil istirahat itu menurut perbandingan antara masa kerja pekerja dengan

masa

kerja

yang

ditentukan

untuk

dapat

mengambil istirahat panjang; (3) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ketempat dimana pekerja diterima bekerja; (4) Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15% pesangon dan atau uang apabila

masa

(lima belas persen) dari uang penghargaan masa kerja/jasa,

kerjanya

memenuhi

syarat

untuk

mendapatkan uang penghargaan masa kerja/jasa; dan

40

Lalu Husni, Op. Cit, hlm. 135

40

(5) Hal-hal lain yang ditetapkan oleh panitia daerah

atau

panitia pusat.

Tabel I : Hak-hak Pekerja yang di PHK dikaitkan dengan alasan PHK41 Alasan

PHK Demi Hukum Masa Kontrak Kerja Habis Tidak Lulus Masa percobaan Meninggal Dunia PHK Oleh Buruh Mengundurkan Diri

Pesangon

2x

Penghargaan Ganti Rugi Masa Kerja Perumahan, Perawatan dan Pengobatan

1x

1x

1x

Alasan Mendesak

1x

1x

1x

Pensiun

2x

1x

1x

41

Keterangan

Pasal 166 Pasal 162 ayat (1) dan (2) (ditambah uang pisah) Pasal 169 ayat (2) (apabila tuduhan pekerja tidak terbukti dinyatakan oleh lembaga PPHI maka tidak berhak uang pesangon dan UPMK) Pasal 167 ayat(2) ( pekerja diikutkan program pensiun tidak mendapat uang pesangon, tetapi jumlahnya lebih kecil selisihnya

Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm. 174

41

Dibayarkan pengusaha Psl 167 ayat (1) PHK Oleh Majikan Kesalahan Buruh 1x Ringan Kesalahan Buruh Berat Perusahaan Tutup 1x Pailit Force mejeur 1x Ada efisiensi 2x Perubahan status, 1x milik, lokasi, buruh menolak Perubahan status 2x milik, lokasi, majikan menolak Pekerja sakit 2x berkepanjangan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja Keterangan :

1x

1x

Pasal 162/3

1x

1x

Pasal 160/7

1x

1x

Pasal 65

1x 1x 1x

1x 1x 1x

Pasal 164/1 Pasal 164/3 Pasal 163/1

1x

1x

Pasal 163/2

2x

1x

Pasal 172

1 x : Hak yang diperoleh dikalikan 1x 2x : Hak yang diperoleh dikalikan 2x Jika semua hak diperoleh, maka I komponen dikalikan terlebih dahulu, kemudian dijumlahkan dengan komponen hak lain yang sudah dikalikan, dan hasilnya adalah seluruh hak yang diterima.

42

2) Komponen Upah sebagai Dasar Perhitungan Kompensasi PHK a) Pengertian Upah (1) Menurut Darwan Prints yang dimaksud dengan upah adalah: “Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh atas prestasi berupa pekerjaan atau jasa yang telah atau akan diakukan oleh Tenaga Kerja dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang.”42 (2) Menurut Asri Wijayanti, yang dimaksud dengan upah adalah : Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dinyatakan dalam bentuk uang sebagai

dan

imbalan dari

pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan

atau

peraturan

perundang-undangan

termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilaksanakan.43 Upah pada prinsipnya hanya diberikan apabila pekerja masuk kerja. Prinsip ini dikenal dengan no work no pay.44

42

Darwan Print, Op. Cit. hlm. 147 Asri Wijayanti, Op. Cit. hlm. 102 44 Ibid, hlm. 115

43

43

Upah sebagai dasar pemberian uang pesangon,uang jasa dan uang kerugian terdiri dari:45 (1) Upah pokok; (2) Segala macam tunjangan yang bersifat tetap

yang

diberikan kepada pekerja keluarganya; dan (3) Harga pembelian dari catu yang diberikan pekerja secara Cuma-Cuma harus

kepada

dibayar kepada

pekerja sebagai subsidi maka sebagai upah dianggap selisih antara harga

pembelian dengan yang harus

dibayar oleh pekerja.

C.

Tinjauan Tentang Hukum Ketenagakerjaan a. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Batasan Pengertian hukum ketenagakerjaan, yang dulu disebut hukum perburuhan atau arbeidrechts juga sama dengan pengertian hukum itu sendiri, yakni masih beragam sesuai dengan sudut pandang masing-masing ahli hukum. Tidak satu pun batasan pengertian itu dapat memuaskan karena masing-masing ahli hukum memiliki alasan sendiri mereka melihat hukum ketenagakerjaan dari berbagai sudut pandang yang berbeda antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lainya.

45

Lalu Husni, Op. Cit. hlm. 138

44

Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian dari hukum yang mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan penguasa.46 Soetikno, menyebutkan hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturanperaturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan (perintah) orang lain dan keadaan-keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut.47 Mengingat istilah tenaga kerja mengandung pengertian amat luas dan untuk menghindarkan adanya kesalahan persepsi terhadap penggunaan istilah lain yang kurang sesuai dengan tuntutan perkembangan

hubungan

industrial,

bahwa

istilah

hukum

ketenagakerjaan lebih tepat di banding dengan istilah hukum perburuhan. Berdasarkan uraian tersebut bila dicermati, hukum ketenagakerjaan memiliki unsur-unsur berikut : 1. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis. 2. mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja pengusaha atau majikan 3. adanya orang bekerja pada dan di bawah orang lain dengan mendapat upah sebagai balas jasa

46

Imam, Soepomo, Hukum Perburuhan, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan, Jakarta, Djambatan, 1972, hlm. 1 47 Soetikno, Hukum Perburuhan, Jakarta, 1977, hlm. 5

45

4. mengatur perlindungan pekerja atau buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja atau buruh,dan sebagainya Dengan demikian, hukum ketenagakerjaaan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja atau buruh dn pengusaha atau majikan dengan segala konsekuensinya. Hal ini jelas bahwa hukum ketenagakerjaan tidak mencakup pengaturan : 1. Swapekerja (kerja dengan tanggung jawab atau risiko sendiri 2. Kerja yang dilakukan untuk orang lain atas dasar kesukarelaan 3. Kerja seorang pengurus atau wakil suatu organisasi atau perkumpulan. Hendaknya

perlu

di

ingat

pula

bahwa

ruang

lingkup

ketenagakerjaan tidak sempit dan sederhana kenyataan dalam praktik sangat kompleks dan multidimensi. Oleh sebab itu, ada benarnya jika hukum ketenagakerjaan tidak hanya mengatur hubungan kerja, tetapi meliputi juga pengaturan di luar hubungan kerja, serta perlu di indahkan oleh semua pihak dan perlu adanya perlindungan pihak ketiga, yaitu penguasa (pemerintah) bila ada pihak pihak yang dirugikan. b. Asas, Tujuan dan Sifat Hukum Ketenagakerjaan 1) Asas Hukum Ketenagakerjaan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

menegaskan

bahwa

pembangunan

46

ketenagakerjaan

diselenggarakan

atas

keterpaduan

melalui

koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil, dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multidimensi dan terkait dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja, atau buruh. Oleh Karena itu pembangunan ketenagakerjaan di lakukan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung. Jadi, asas hukum ketenagakerjaan adalah asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah . 2) Tujuan Hukum Ketenagakerjaan Menurut Manulang, tujuan hukum ketenagakerjaan ialah48: a. Untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan; b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha; Butir (a) lebih menunjukan bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan bagi pihakpihak yang terkait dalam proses produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha. Adapun butir (b) dilatar belakangi adanya pengalaman selama ini yang sering kali 48

Eko Wahyudi, Wiwin Yulianingsih, Moh. Firdaus Sholihin, Hukum Ketenagakerjaan, Sinar Grafika, 2016, Jakarta, hlm. 7.

47

terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja atau buruh. Untuk itu di perlukan suatu perlindungan hukum secara komprehensif dan konkret dari pemerintah. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan : a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah c. memberikan

perlindungan

kepada

tenaga

kerja

dalam

mewujudkan kesejahteraan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya 3) Sifat Hukum Ketenagakerjaan Telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja antara tenaga kerja dan pengusaha,yang berarti mengatur kepentingan orang perorangan .atas dasar itulah, maka hukum ketenagakerjaan bersifat privat (perdata). Di samping itu, dalam pelaksanaan hubungan kerja untuk masalah maslah tertentu diperlukan campur tangan pemerintah ,antara lain sebagai berikut: (a) Dalam bentuk : (1) Perizinan yang menyangkut bidang ketenagakerjaan;

48

(2) Penetapan upah minimum; (3) Masalah penyelesaian perselisihan hubungan kerja dan sebagainya. (b) Adanya penerapan sanksi terhadap pelanggaran atau tindak pidana bidang ketenagakerjaan. Lebih lanjut Budiono49 membagi sifat hukum ketenagakerjaan menjadi 2 (dua) yaitu bersifat impreatif dan bersifat fakultatif. Hukum bersifat imperatif atau dwingenrecht (hukum memaksa) artinya hukum yang harus di taati secara mutlak dan tidak boleh di langgar, contoh: a)

Pasal

42

ayat

(1)

UU

No.13

Tahun

2003

tentang

ketenagakerjaan mengenai perlunya izin penggunaan tenaga kerja asing b)

Pasal

59

ayat

(1)

UU

No.13

Tahun

2013

tentang

ketenagakerjaan mengenai kerentuan pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) c)

Pasal 153 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, mengenai larangan melakukan PHK terhadap kasus-kasus tertentu . Adapun hukuman ketenagakerjaan bersifat fakultatif atau

hukum yang mengatur atau melengkapi (regelend recht atau

49

Ibid, hlm. 8

49

aanvulled recht) artinya hukum yang dapat dikesampingkan pelaksanaannya, contoh; a) Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaantentang ketenagakerjaan, mengenai perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja . b) Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaantentang ketenagakerjaan, mengenai perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan 3 (tiga) bulan. c) Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1981 mengenai kebebasan pengusaha untuk membayar gaji di tempat yang lazim. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 mengenai kewajiban ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), dimana program jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) dpat diabaikan sepanjang pengusaha telah memberikan pelayanan kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari standar dasar jamsostek

50

D.

Tinjauan tentang Kebijakan a. Teori Kebijakan Teori yang akan dipergunakan dalam rangka penelitian tentang Implemetasi Undang-Undang Nomor: 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja di Kota Gorontalo) sebagai landasan pemikiran adalah teori kebijakan dari Thomas R. DYE. Berbicara tentang perspektif kebijakan publik mengarahkan perhatian kita untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan (policy making

process) oleh pemerintah (government) atau pemegang

kekuasaan dan dampaknya terhadap masyarakat luas (public). Thomas R.Dye mengidentifiksikan kebijakan publik

sebagai “is

government choose to do is on not to do“.

whatever

Secara sederhana

pengertian kebijakan public dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut:50 a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?) b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?) c. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyataan (what defference it makes?) Kebijakan publik (public policies) sebagai rangkaian pilihan yang kurang lebih satu unsur dengan unsur lainnya saling berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat

50

Thomas R Dye, Understanding Public Policy, State Universityt, 1981, Florida, hlm. 77

51

oleh badan-badan pejabat pemerintah yang diformulaikan ke dalam isu-isu publik dari masalah

pertahanan, energi, kesehatan sampai

permasalahan pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan. Sistem kebijakan publik adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan sekaligus realitas objektif yang diwujudkan dalam tindakantindakan yang dapat diamati akibat-akibat yang ditimbulkannya, setidak-tidaknya menyangkut 3 (tiga) unsur penting yaitu:51 (1) Pelaku Kebijakan; (2) Kebijakan publik; (3) Lingkungan kebijakan. Ketertiban antara

hukum dan kebijakan publik akan semakin

relevan pada saat hukum diimplementasikan. Proses implementasi selalu melibatkan lingkungan dan kondisi yang berbeda di tiap tempat, karena memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama. Demikian pula keterlibatan lembaga di dalam proses implementasi selalu akan bekerja di dalam konteks sosial tertentu sehingga terjadi hubungan timbal balik yang dapat saling mempengaruhi. Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga pemerintah dalam berbagai jenjang/tingkat, baik propinsi maupun tingkat

kabupaten.

membutuhkan

51

Setiap

pembentukan

jenjang

pelaksanaan

kebijaksanaan

lebih

pun

masih

lanjut

dalam

Ibid, hlm. 89

52

berbagai bentuk peraturan perundang-undangan untuk memberikan penjabaran lebih lanjut. Apabila sarana yang dipilih adalah hukum sebagai proses pembentukan kebijaksanaan publik, maka faktor-faktor non hukum akan selalu memberikan pengaruhnya dalam proses pelaksanaannya. Untuk

mengantisipasi

hal

ini

diperlukan

langkah-langkah

kebijaksanaan meliputi : (1) Menggabungkan rencana tindakan dari suatu program dengan menetapkan tujuan, standart pelaksana, biaya dan waktu yang jelas; (2) Melaksanakan program dengan memobilisasi struktur, staf, biaya, resources, prosedur, dan metode, dan (3) Membuat jadwal pelaksanaan (time schedule) dan monitoring untuk menjamin bahwa program tersebut berjalan terus sesuai rencana. Dengan demikian, jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan program tersebut akan segera diambilkan tindakan yang sesuai. Secara singkat, pelaksanaan suatu program melibatkan unsur penetapan waktu, perencanaan dan monitoring. Berangkat

dari

uraian

tersebut,

dapat

dikatakan

bahwa

pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya disertai dengan

action

plan.

Di

Indonesia,

untuk

dapat

melakukan

program-program pemerintah, maka perlu dijabarkan lebih konkrit

53

dalam bentuk peraturan perundangan. Gladden mengklasifikasikan kebijaksanaan

itu

menurut

tinggi

rendahnya

tingkatan/level,

yaitu:52 (1) (2) (3) (4)

Kebijakan politis (political policy); Kebijakan eksekutif (executive policy); Kebijakan administratif (administrative policy); dan Kebijakan teknis atau operasional (technical or operasional policy). Mengenai tingkatan kebijaksanaan ini telah tampak di dalam perundang-undangan di Indonesia.

b. Proses Kebijakan Publik Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian

aktivitas

intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, danpenilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi

kebijakan adalah

aktivitas

yang lebih versifat

intelektual. Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan yakni:53 (1) Membangun persepsi di kalangan stakeholder bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan dianggap sebagai masalah; (2) Membuat batasan masalah; dan (3) Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Memobilisasi dukungan ini dapat 52 53

Tjokroamidjojo, Kebijakan-Kebijakan Pemerintah, Alumni, 1974, Bandung, hlm. 115 A.G. Subarsonoi, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, 205, Yogyakarta, hlm. 11

54

dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, dan kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media massa dan sebagainya. Pada

tahap

formulasi

dan

legitimasi

kebijakan,

analisis

kebijakan perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang berhubungan berusaha

dengan

masalah

mengembangkan

yang

bersangkutan,

kemudian

alternative-alternatif

kebijakan,

membangun dukungan dan melakukan negosiasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih. Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan. Pada tahap ini perl dukungan sumber daya dan penyusunan organisasi pelaksanaan kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme intensif dan sanksi agar implementasi suatu kebijakan berjalan dengan baik. Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak kebijakan,

dan

proses

selanjutnya

adalah

evaluasi

terhadap

implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan kebijakan baru di masa yang akan datang, agar kebijakan yang akan datang lebih baik dan lebih berhasil. c. Lingkungan kebijakan Lingkungan

kebijakan,

seperti

adanya

penggangguran,

kriminalitas, krisis ekonomi, gejolak politik yang ada pada suatu Negara akan mempengaruhi atau

memaksa

pelaku

atau faktor

kebijakan untuk meresponsnya, yakni memasukkannya ke dalam agenda pemerintah dan selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk

55

memecahkan masalah-masalah yang bersangkutan. Misalnya kebijakan pengembangan investasi yang dapat menyerap tenaga kerja, kebijakan penegakan

hukum

untuk

mengatasi

kriminalitas,

kebijakan

pengurangan pajak untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan keamanan untuk mengatasi gejolak politik. Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan. Tuntutan terhadap kebijakan dapat dilahirkan karena pengaruh lingkungan, dan kemudian ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Dalam waktu yang bersamaan ada keterbatasan dan konstrain dari lingkungan yang akan mempengaruhi policy makers. Faktor lingkungan tersebut antara lain: karakteristik geografi, sespefrti sumber daya alam, iklim, dan topografi; variable demografi seperti: banyaknya penduduk, distribusi umur penduduk, lokasi spasial, kebudayaan politik; struktur sosial; dan sistem ekonomi. Dalam kasus tertentu, lingkungan internasional dan kebijakan internasional menjadi penting untuk dipertimbangkan.54 Prinsipnya

ada

dua

variable

lingkungan,

yakni

variable

kebudayaan politik (political culture variable) dan variable sosial ekonomi (socio economic variable) (1) Kebudayaan politik. Setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda, dan ini berarti nilai dan kebiasaan hidup berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Kebudayaan

54

oleh

ibid, hlm. 15

56

seseorang pakar Antropologi Clyde Kluckhohn didefinisikan sebagai the total life way of people, the sosial legacy the individual acquires from his group (keseluruhan cara hidup masyarakatan

dan

warisan

sosial

yang

diperoleh

dari

kelompoknya). Sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa kebudayaan masyarakat dapat membentuk atau mempengaruhi tindakan sosial, tetapi bukan satu-satunya penentu. Kebudayaan hanya salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Kebudayaan politik adalah bagian dari kebudayaan masyarakat, yang mencakup nilai, kepercayaan dan sikap tentang apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana melakukannya serta bagaimana menjalin hubunga dengan warga negaranya. (2) Kondisi sosial ekonomi. Kebijakan publik sering

dipandangi

sebagai instrument untuk menyelesaikan konflik antara berbagai kelompok dalam masyarakat, dan antara pemerintah dengan privat. Salah satu sumber konflik, khususnya dalam masyarakat yang maju, adalah aktivitasekonomi. Konflik dapat berkembang dari kepentingan yang berbeda antara perusahaan besar dan kecil, pemilik perusahaan dan

buruh,

debitor, dan

customer dan penjual. Petani dengan petanian,

dan

sebagainya.

Hubungan

kreditor,

pembeli hasil-hasil antara

kelompok-

kelompok yang berbeda di atas dapat dikurangi atau diselesaikan

57

dengan kebijakan pemerintah dalam wujud perubahan ekonomi atau pembangunan. Kebijakan pemerintah dapat melindungi kelompok yang lemah dan menciptakan keseimbangan hubungan antara kelompok yang berbeda. Dalam pandangan seorang pakar politik David Easton sebagaimana dikutip oleh Dye (1981), kebijakan publik dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari input, konversi, dan output. Dalam konteks

ini

ada

dua variable

makro yang

mempengaruhi kebijakan publik, yakni lingkungan domestik dan lingkungan internasional.55 Baik lingkungan domestik maupun lingkungan internasional/global dapat memberikan input yang berupa dengan dan

tuntutan terhadap sebuah sistem politik.

Kemudian para aktor dalam sistem politik akan memproses atau mengonversi input tersebut menjadi output yang berwujud peraturan dan kebijakan. Peraturan dan kebijakan tersebut akan diterima

oleh

masyarakat,

selanjutnya

masyarakat

akan

memberikan umpan balik dalam bentuk input baru kepada sistem politik tersebut. Apabila kebijakan tersebut memberikan intensif, maka masyarakat akan

mendukungnya. Sebaliknya,

apabila

kebijakan tersebut bersifat disinsentif.

55

Ibid, hlm. 17

58

d. Sistem Kebijakan Publik Analisis kebijakan merupakan proses kajianyang mencakup lima komponen, dan setiap komponen dapat berubah menjadi komponen yang lain melalui prosedur metodologi tertentu, seperti perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi. Sebagai contoh, prosedur peramalan akan menghasilkan masa depan kebijakan, dan rekomendasi akan melahirkan aksi kebijakan, dan pemantauan akan menghasilkan hasil-hasil kebijakan, serta evaluasi akan melahirkan kinerja kebijakan. Melakukan analisis kebijakan berarti menggunakan

kelima

prosedur

metodologi

tersebut,

yakni

merumuskan masalah kebijakan, melakukan peramalan, membuat rekomendasi, melakukan pemantauan, dan melakukan evaluasi kebijakan. e. Jenis-jenis Kebijakan Secara

tradisional,

pakar

ilmu

politik

mengategorikan

kebijakan publik ke dalam kategori:56 (1) Kebijakan

substantive

(misalnya:

kebijakan

perburuhan,

kesejahteraan sosial, hak-hak sipil, masalah luar negeri dan sebagainya); (2) Kelembagaan (misalnya : kebijakan legislative, kebijakan judikatif, kebijakan departemen);

56

Ibid, hlm. 19

59

(3) Kebijakan menurut kurun waktu tertentu (misalnya : kebijakan masa reformasi, kebijakan masa Orde baru dan Kebijakan masa Orde Lama). Kategori lain tentang kebijakan dibuat oleh James Anderson sebagai berikut57: (1) Kebijakan substantive vs kebijakan procedural. Kebijakan substantive adalah kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan pemerintah. Sedangkan kebijakan procedural adalah bagaimana kebijakan substantive tersebut dapat dijalankan. (2) Kebijakan distributive vs kebijakan regulatori vs kebijakan redistributive. Kebijakan redistributive menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau segmen masyarakat tertentu atau individu. Kebijakan regulatori adalah kebijakan yang berupa pembatasan perilaku

individu

atau kelompok

kebijakan

procedural.

kebijakan

yang mengatur

Kebijakan

atau pelarangan masyarakat. re

terhadap Sedangkan

distributive

alokasi kekayaan

adalah

pendapatan,

pemilikan atau hak-hak diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. (3) Kebijakan material vs kebijakan simbolis. Kebijakan

material

adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkrit pada kelompok sasaran.

57

Ibid, hlm. 26

60

(4) Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum (public goods) dan barang privat (privat goods). Kebijakan public goods adalah kebijakan yang bertujuan mengatur pemberian barang atau pelayanan public.

Sedangkan

kebijakan yang

berhubungan dengan private goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas.

E.

Teori Bekerjanya Hukum Teori Lawrence Meir Friedman tentang tiga unsur sistem hukum (Three Elements Of legal System). Ketiga unsur sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum yaitu58: 1. Struktur Hukum (Legal Structure) 2. Substansi Hukum (Legal Subtance) 3. Kultur Hukum (Legal Culture) Selanjutnya Lawrence Meir Friedman, The structure of system is skeletal framework: it is the permanent shape, the institutional body of the system, the tough, rigid bones, that keep the process flowing within bounds.”59 Jadi struktur adalah kerangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.

58

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Satu kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Toko Gunung Agung, Tbk, Jakarta, 2001, hal. 7-9. 59 Esmi Warasih, Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama Semarang, 2005, hal. 14.

61

Jelasnya, struktur bagian foto diam yang menghentikan gerak (a kind of still photograph, with freezes the action). Komponen struktur yaitu kelembaban yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana

sistem

hukum

itu

memberikan

pelayanan

terhadap

penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.60 Selanjutnya disebutkan, The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should be have. Yang dimaksud dengan subtansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Subtansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Subtansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab Undang-Undang atau Law Books. Komponen Subtansi yaitu sebagai output dari system hukum yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. 61 Akhirnya, pemahaman Lawrence Meir Friedman tentang The legal Culture, System Their beliefs ideas and expectation. Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan. Nilai, pemikiran serta harapannya “Legal Culture refers. The, to those parts of 60 61

Ibid, hal. 28. Ibid, hal. 20.

62

general Culture-customs. Opinions, ways of doing and thinking-that bend social forces to war or away from the law and in particular ways”. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi, dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana sopsial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa kultur hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan hidup yang berenang di laut bebas. Komponen kultur yaitu terdiri dari nilai-nmilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum atau yang disebut kultur hukum. Kultur hukum

inilah

yang

berfungsi

sebagai

jabatan

yang

berfungsi

menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.62 Secara singkat, menurut Lawrence Meir Friedman cara lain untuk menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah sebagai berikut: 1. Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin. 2. Subtansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu. 3. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan

dan

mematikan

mesin

itu, serta

memutuskan

bagaimana mesin itu digunakan.

62

Ibid, hal. 30.

63

Selain membangun itu, untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi 8 (delapan) asas atau principal of legality atau 8 prinsip legalitas63: 1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat adhock; 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. 3. Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain 6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7. Peraturan tidak boleh sering dirubah-ubah. 8. Harus

ada

kecocokan

antara

peraturan

yang

diundangkan

pelaksanaannya sehari-hari. Untuk memahami bagaiman fungsi hukum itu, ada kaitanya dipahami terlebih dahulu bidang pekerjaan hukum. Sedikitnya ada 4 (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh hukum, yaitu: 1. Merumuskan hubungan-hubungan di antara anggota masyarakat dengan menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan.

63

Ibid, hal. 31.

64

2. Mengalokasikan dengan menegaskan siapa saja yang boleh melakukan kekuasaan atau siapa berikut produsernya. 3. Menyelesaikan sengketa yang timbul di dalam masyarakat. 4. Mempertahankan kemampuan adaptasi nasyarakat dengan cara mengatur kembali hubungan-hubungan dalam masyarakat manakala ada. Merumuskan hubungan-hubungan diantara anggota masyarakat menunjukkan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan yang boleh dilakukan. Ada 2 (dua) aspek cara kerja hukum dalam hubungan dengan perubahan sosial64, yaitu: 1. Hukum sebagai sarana kontrol sosial (Social control) yaitu mempengaruhi warga masyarakat agar tingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai urutan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. 2. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial (Social Engeneering) a. Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana diinginkan oleh pembuat hukum. b. Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum yang lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat di masa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat Undang-Undang. 64

Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Cetakan 1, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1997, hal. 122.

65

Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, dikatakan bahwa pelaksanaan penegak hukum (yang tentunya juga pelaksanaan suatu kebijaksanaan atau suatu komitmen) bersangkutan dengan 5 (lima) faktor-faktor pokok yaitu65: 1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum; 4. Faktor masyarakat atau adresat hukum; yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau diterapkan 5. Faktor budaya yaitu sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya karena merupakan esensi dari penegakan hukum. Menurut Radbruch:66 Hukum harus mempunyai 3 (tiga) nilai idealis atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu : a. Keadilan b. Kemanfaatan/kegunaan c. Kepastian hukum.

65

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologis Hukum, Cetakan XIV, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 8-9 66 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Jakarta, Gramedia, 2002, hal. 9-10.

66

Sehingga nilai idealis atau nilai dasar dan dasar berlakunya hukum atau Undang-Undang dapat digambarkan sebagai berikut:

Nilai-nilai dasar

Berlakunya Hukum

Keadilan

Filosofis

Kegunaan

HUKUM

Kepastian

Sosiologi Yuridis

Gambar 1 : Nilai Idealis atau Nilai dasar dan dasar berlakunya hukum

Ketertiban yang tampak dari luar dalam didukung oleh lebih dari satu macam

tatanan.

Keadaan

yang oleh

demikian

itu

memberikan

pengaruhnya tersendiri segi peraturan hukum, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antara orang-orang yang didasarkan oleh pola hukum dan tatanan hukum. Bahwa masyarakat kita sesungguhnya merupakan suatu rimba tatanan karena di dalamnya tidak hanya terdapat satu macam tatanan. Sifat majemuk ini dilukiskan oleh Chambliss dan Siedman dalam Satjipto Rahardjo, dengan “Teori Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat”.

67

Faktor yang turut memberikan respon yang diberikan oleh pemegang peran dalam mengimplementasikan peraturan adalah sebagai berikut: a. Saksi-saksi yang terdapat di dalamnya b. Aktivitas lembaga-lembaga atau badan-badan pelaksana hukum; c. Seluruh kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran. Selain itu, Satjipto Rahardjo.67 Olehnya, bagan itu diuraikan dalam dalil sebagai berikut: a) Setiap peraturan hukum memberikan tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak. b) Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepadanya, saksi-saksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lainnya. c) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksi, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan.

67

Ibid, hal. 48.

68

d) Bagaimana para pembuat Undang-Undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku sanksi-sanksinya keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik, ideologi, dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi. e) Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan hukum, C.G.Howward dalam Soetjipto Rahardjo, yaitu: 1. Mudah tidaknya ketidaktaatan atau pelanggaran hukum itu dilihat atau disidik. 2. Siapakah yang bertanggungjawab menegakkan hukum yang bersangkutan. f) Syarat-syarat yang menentukan kemungkinan hukum menjadi efektif adalah: 1. Undang-Undang dirancang dengan baik, kaidahnya jelas; 2. Undang-Undang sebaiknya bersifat melarang; (Pro Hibitur) dan bukan mengharuskan/memperbolehkan (mandatur) 3. Sanksi haruslah tetap dan sesuai tujuan/sifat Undang-Undang itu. 4. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (Sebanding) dengan macam pelanggarannya. 5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah)

69

g) Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral. h) Pelaksana

hukum

menjalankan

tugasnya

dengan

baik,

menyebarluaskan Undang-Undang, penafsiran seragam-seragam, dan konsisten. i) Agar hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga masyarakat, maka hukum tadi harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta pelembagaan hukum. Komunitas hukum tersebut, dapat dilakukan secara formil, yaitu melalui suatu tata cara yang terorganisasikan dengan resmi akan tetapi disamping itu, maka ada juga tata cara informal yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan hukum. Sebagai saran pengubah dan pengatur perilaku. Ini semuanya termasuk apa yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat

bersangkutan.

Proses

difusi

antara

lain

dapat

mempengaruhi oleh: a) Pengakuan bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum) mempunyai kegunaan. b) Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin merupakan pengaruh negatif atau positif

70

c) sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh masyarakat, karena berlawanan dengan fungsi unsur lama. d) Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebar luaskan hukum, mempengaruhi efektivitas hukum di dalam merubah serta mengatur.

F.

Teori Implementasi Hukum a. Implementasi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi berarti :68 a) Pelaksanaan

yaitu

Pelaksanaan

merupakan

kegiatan

yang

dilaksanakan oleh suatu badan atau wadah secara berencana, teratur dan terarah guna mencapai tujuan yang diharapkan. b) Penerapan, Kamus Blacks’s Law merumuskan secara pendek bahwa to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carrying out (menimbulkan dampak/ akibat terhadap

sesuatu).

Kalau

pandangan

ini

diikuti,

maka

implementasi kebijakan keputusan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan (biasanya dalam

bentuk

keputusan

Undang-Undang ,

peradilan,

pemerintah

peraturan eksekutif

pemerintah, atau

dekrit

presiden).

68

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, Jakarta, hlm. 319

71

Teori

Implementasi

yang

dipergunakan

adalah

teori

Implementasi Hans Kelsen. Salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah paksaan. Kelsen berpendapat bahwa normanorma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin

abstrak

sifatnya,

dan

sebaliknya,

semakin

rendah

kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar). Dalam hubungannya dengan penulisan ini, implementasi diberi batasan: berlakunya suatu hukum atau peraturan perundang-undangan di dalam Masyarakat. Lebih lanjut di jelaskan bahwa proses Implementasi adalah keputusan dasar biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan Badan peradilan. Pada umumnya keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi dengan

72

menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran Yang ingin di capai, dan berbagai

cara

untuk

menstruktur

atau

mengatur

proses

implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui beberapa tahapan tertentu, yang biasanya diawali dengan kebijakan bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan pelaksananya. Memperhatikan pendapat tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian implementasi adalah suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber sumber di dalamnya termasuk manusia, dana, kemampuan organisional, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta (individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan). Sebagai suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan yang memperhitungkan

baik

keputusan

yang

fundamental

maupun

keputusan yang inkramental yang memberikan arahan dasar dan proses-proses pembuatan kebijaksanaan dan inkramental

yang

melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan itu tercapai.69 b. Hukum Hukum dalam arti luas meliputi keseluruhan aturan normatif yang mengatur

dan

menjadi

pedoman

perilaku

dalam

kehidupan

bermasyarakat dan bernegara dengan didukung oleh sistem sanksi tertentu terhadap setiap pentimpangan terhadapnya.70

69

Ibid, hlm. 193 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Priss, 2006, Jakarta, hlm. 3

70

73

Lebih lanjut, hukum di bagi menjadi 4 (empat) kelompok pengertian hukum; Pertama, Hukum yang dibuat oleh Institusi kenegaraan, dapat kita sebut Hukum Negara. Misalnya UndangUndang dan Yurisprudensi; Kedua, hukum yang dibuat oleh dinamika kehidupan masyarakat atau yang berkembang dalam kesadaran hukum dan budaya hukum, seperti: hukum adat; Ketiga, Hukum yang dibuat atau terbentuk sebagai bagian dari perkembangan pemikiran di dunia ilmu hukum, biasanya disebut doktrin, Misalnya Teori Hukum Fiqh Mazhab Syafi’I yang diberlakukan sebagai hukum bagi umat Islam di Indonesia; Terakhir atau Keempat, Hukum yang berkembang dalam praktek dunia usaha dan melibatkan peranan para professional di bidang hukum, dapat kita sebut praktek, Misalnya perkembangan praktek hukum kontrak perdagangan.71 Berbicara Implementasi Hukum berarti berbicara mengenai pelaksanaan hukum itu sendiri dimana hukum diciptakan untuk dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum, apabila tidak pernah dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selalu melibatkan manusia dan tingkah lakunya. Terkait dengan pelaksanaan atau implementasi hukum ketenagakerjaan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dapat dilihat dalam penerapan

sanksi

atau

pemberian

upah/pesangon

atau

uang

penghargaan masa kerja dan atau uang ganti rugi bagi pekerja yang

71

Ibid, hlm. 4

74

telah dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja oleh perusahaan. Pencerminan Pasal demi Pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tersebut menjadi bukti penerapan atau pelaksanaan suatu kebijakan atau aturan hukum. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada 2 (dua) pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program–program atau melalui formulasi kebijakan Derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang

atau

peraturan daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan.

G.

Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain : a. Penelitian Tesis Yamitema T.J. Laoly, 2008 : Perlindungan Hukum Terhadap buruh yang di Dikenakan Pemutusan Hubungan Kerja, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang meneliti tentang Hak Pekerja Buruh PT. Panen Lestari Internusa yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja. b. Penelitian Tesis Annisa Sativa, 200b. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatetra Utara dengan Judul Peranan Pengadilan

75

Hubungan Industrial dalam memberikan Kepastian Hukum terhadap perkara Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan).. Fokus Penelitiannya tentang Apakah yang menjadi faktor faktor Penyebab terjadinya PHK, Bagaimana kompensasi yang diberikan terhadap pekerja/buruh yang di PHK berdasarkan putusan hakim PHI serta bagaimana peranan hakim PHI dalam memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus PHK. c. Penelitian Tesis Eko Ibnu Fattah, 2014, Program Pascasarjana Universitas Airlangga , Surabaya dengan judul Pemutusan Hubungan Kerja (PHK karena Usia Pensiun dan Kompensasinya. Fokus penelitian yang dilakukan tentang Kompensasi yang diberikan sehubungan dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena Usia Pensiun. Perbedaan dengan penelitian ini bahwa penelitian ini memfokuskan pada Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh Perusahan di Gorontalo,

apakah

sesuai

dengan

peraturan

perundang-undangan

mengenai ketenagakerjaan, Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan.

76

H.

Kerangka Pemikiran Gambar 2 Kerangka Pemikiran 1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 3) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) Nomor Kep150/MEN/2000 4) Kepemenakertrans Nomor Kep-78/MEN/2001 Implementasi Kebijakan Pemerintah

Teori Bekerjanya Hukum Teori Bekerjanya Hukum Perusahaan Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan Alasan PHK

Pemberian Kompensasi

Prosedur PHK

Ada tidaknya perlindungan hukum terhadap tenaga kerja PHK Premis Konklusi (Premis Kesimpulan) Keterangan : Perlindungan hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu: “Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan

perundang-undangan

dalam

bidang

perburuhan

yang

mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-

77

undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yurudis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis.”72 “Intervensi pemerintah dalam bidang perburuhan/ ketenagakerjaan dimaksudkan

untuk

tercapainya

keadilan

di

bidang

perburuhan/

ketenagakerjaan karena jika hubungan antara pekerja dengan pengusaha diserahkan pada para pihak saja, maka pengusaha sebagai pihak yang kuat akan menekan pekerja sebagai pihak yang lemah secara sosial ekonomi.“73 Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha haruslah memiliki alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada para pekerja/buruh dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Prosedur/cara PHK yang dilakukan pengusaha pun harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan terjadinya PHK, pekerja/buruh akan mendapatkan haknya,

yaitu

konpensasi yang meliputi, uang pesangon, uang penghargaan masa kecil, dan uang ganti kerugain. Pemutusan hubungan kerja yang diteliti dalam penulisan hukum ini adalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi kota Gorontalo. Dari peristiwa hukum yang terjadi di kota Gorontalo akan timbul akibat hukumnya, yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja yang mendapatkan PHK. Apakah alasan, prosedur dan kompensasi yang

72 73

Zainal Asikin, Op. Cit. hlm. 5 Lalu Husni, Op. Cit, hlm. 5

78

diberikan oleh Perusahaan sudah sesuai dengan Peraturan perundangundangan yang berlaku mengenai ketenagakerjaan.

79