BAB II

Download Jurnal merupakan kumpulan rekaman catatan guru dan/atau tenaga .... 2) menentukan ∆H reaksi berdasarkan hukum Hess, data perubahan entalpi...

0 downloads 327 Views 155KB Size
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka 1. Teori Belajar Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu (Hardini dan Dewi, 2012: 3). Menurut Gulo 2008: 8) belajar adalah suatu proses yang berlangsung di dalam diri seseorang yang mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir, bersikap, dan berbuat. Sedangkan menurut Purwanto (2013: 43), belajar adalah proses untuk membuat perubahan dalam diri siswa dengan cara berinteraksi dengan lingkungan untuk mendapatkan perubahan pada aspek kognitif , afektif, dan psikomotorik. Beberapa teori belajar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: a. Teori Jean Piaget Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Tahapan perkembangan intelektual menurut Piaget disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Tahapan Perkembangan Intelektual Individu Menurut Piaget Usia Gambaran Tahap (Tahun) SensoriBayi bergerak dari tindakan reflex instinktif pada saat lahir Motor 0 s/d 2 sampai permulaan pemikiran simbolis. Bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia melalui pengkoordinasian pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik. Pra Anak mulai mempresentasikan dunia dengan kata-kata dan Operasion 2 s/d 7 gambar-gambar. Kata-kata dan gambar-gambar al menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensor dan tindakan fisik. Operasion Pada tahap ini anak dapat berpikir secara logis mengenai al Konkret 7 s/d 11 peristiwa-peristiwa yang konkrit dan menklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Operasion Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih abstrak dan al Formal >11 logis. Pemikiran lebih idealistik. (Rahyubi, 2012: 126-135)

8

9

Salah satu sumbangan pemikiranya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan intelektual individu. Berdasarkan perkembangan intelektual Piaget, siswa kelas XI MIA SMA Negeri 1 Karanganyar berada pada tingkat operasional formal (11 tahun keatas). Pada tahap tersebut siswa mampu bekerja secara sistematis, menganalisis, menarik kesimpulan, berpikir abstrak dan logis dalam mengkontruksi pengetahuannya. Siswa dalam mempelajari materi termokimia menggunakan model pembelajaran problem solving dan problem posing yang mengharuskan siswa aktif untuk mengembangkan dan mengkronstruksi pengetahuannya melalui penyelesaian masalah yang diberikan oleh guru maupun yang diajukan oleh siswa. b. Teori Belajar Vygotsky Salah satu konsep dasar pendekatan konstruktivisme dalam belajar adalah adanya interaksi sosial individu dengan lingkungannya (Baharuddin, 2010: 124). Ada dua konsep penting pada teori belajar Vygotsky, yaitu Zone Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone Proximal Development (ZPD) adalah merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkahlangkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan peserta didik itu belajar mandiri (Cahyono, 2010: 443). Pembelajaran kimia pada materi termokimia menggunakan model pembelajaran problem solving dan problem posing sesuai dengan teori

10

Vygotsky karena pada model pembelajaran problem solving terjadi interaksi sosial antar siswa melalui kerjasama teman sebaya untuk memecahkan masalah atau mencari informasi dari topik yang sedang dibahas, dimana mereka bisa bertukar pendapat, pikiran atau informasi satu sama lain dalam suatu kelompok kerja. Sedangkan pada model pembelajaran problem posing terjadi interaksi sosial pada saat siswa menukarkan masalah yang dibuat oleh kelompoknya dengan kelompok lain dan terjadi kegiatan tutor teman sebaya, yaitu apabila ada kelompok yang tidak dapat menyelesaikan masalah yang mereka dapatkan dari kelompok lain, maka kelompok yang membuat masalah menjelaskan dan membantu penyelesaian masalah saat diskusi kelas berlangsung. c. Teori Belajar Bermakna Ausubel Teori Ausubel menekankan pada belajar bermakna. Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif ialah fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa (Dahar, 2011: 94) Menurut Ausubel dan Novak (1997) dalam Dahar (2011: 98 - 99), ada tiga kebaikan dari belajar bermakna, yaitu: 1) Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat 2) Informasi yang tersubsumsi mengakibatkan peningkatan diferensiasi dari

subsumber-subsumber,

jadi

memudahkan

proses

belajar

berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip 3) Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif meninggalkan efek residual pada subsumber sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip.

11

Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dahar, 2011: 95). Informasi atau pengetahuan baru yang diterima siswa harus sesuai dengan kemampuannya dan relevan dengan struktur kognitif yang dimilki siswa. Pelajaran yang akan diajarkan di kelas hendaknya dihubungkan dengan konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga konsep yang baru mudah diserap dan diingat oleh siswa. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar bermakna sangat penting dalam pembelajaran kimia khususnya pada materi termokimia karena pada pembelajaran materi tersebut menggunakan model pembelajaran problem solving dan problem posing yang mengharuskan siswa menguasai konsep stoikiometri yang merupakan materi prasyarat dan sebagai pengetahuan awal siswa untuk dapat menyelesaikan masalah maupun membuat masalah yang berhubungan dengan termokimia.

2. Pembelajaran Problem Based Learning Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran berbasis masalah. Pada pembelajaran PBL dimulai dengan adanya masalah yang dipilih oleh siswa atau guru. Kemudian siswa mendalami permasalahan tersebut dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu pemilihan masalah yang akan dibahas harus permasalahan yang aktual, menarik dan bersinggungan dengan kehidupan nyata peserta didik. Menurut Savery (2006: 5), PBL merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada pelajar (learner-centerded) yang memberikan kesempatan atau wewenang kepada siswa untuk melakukan penyelidikan, menggabungkan teori dan praktek, dan menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk menghasilkan solusi dalam memecahkan masalah. Karakteristik dari Problem Based Learning (PBL), yaitu: 1) peran dari tutor adalah sebagai fasilitator dalam pembelajaran, 2) tanggungjawab dari siswa yaitu mengarahkan dan mengatur dirinya sendiri dalam belajarnya, dan 3) hal-hal

12

yang perlu diperhatikan adalah dalam membentuk masalah dalam model ini tidak memerlukan banyak petunjuk karena untuk mendorong siswa menemukan konsepnya sendiri (inquiry) (Savery, 2006: 15). Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terdiri dari model pembelajaran problem solving dan model pembelajaran problem posing. a. Model Pembelajaran Problem Solving Model pembelajaran problem solving menurut Hamdani (2011: 84) merupakan suatu cara penyajian pembelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari dan memecahkan suatu masalah dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. Proses problem solving didasarkan pada pengetahuan, pemahaman dan keterampilan siswa yang telah dimiliki sebelumnya dengan menggunakan langkah-langkah yang sesuai untuk menemukan suatu jawaban dari pokok permasalahan yang dihadapinya. Menurut Gagne (1985) dalam Mulyasa (2013: 111). , kalau seorang peserta didik dihadapkan pada suatu masalah, pada akhirnya mereka bukan hanya sekedar memecahkan masalah, tetapi juga belajar sesuatu yang baru. Idealnya aktivitas pembelajaran tidak hanya difokuskan pada upaya mendapatkan pengetahuan sebanyak-banyaknya, melainkan juga bagaimana menggunakan segenap pengetahuan yang didapat untuk menghadapi situasi baru atau memecahkan masalah-masalah khusus yang ada kaitannya dengan bidang studi yang dipelajari. Hakikat pemecahan masalah adalah melakukan operasional prosedur urutan tindakan, tahap demi tahap secara sistematis, sebagai seorang pemula (novice) memecahkan suatu masalah (Wena, 2010: 52). Schrader (1987: 518) mendeskripsikan problem solving sebagai sesuatu yang dilakukan seseorang ketika seseorang tersebut tidak tahu apa yang dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan. Menggunakan problem solving membutuhkan proses kognitif yang tinggi dalam analisis, sintesis, dan evaluasi. Selain itu, menurut Cildir dan Nazan (2011: 2494) problem solving membutuhkan pengalaman dan keahlian sehingga guru dapat mengetahui kondisi negative seperti prasangka, miskonsepsi, dan kurangnya keterampilan operasional.

13

Dalam proses kegiatan belajar mengajar, guru memberikan suatu masalah kepada siswa sesuai topik yang sedang dibahas, kemudian siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisis dan memecahkan masalah secara berkelompok atau individu. Langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya (1957: 16), yaitu: 1) Pemahaman masalah Pemahaman masalah terhadap apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan pada masalah tersebut. 2) Pembuatan rencana Penyusunan beberapa rencana/cara yang cocok untuk menyelesaikan masalah tersebut. 3) Penerapan rencana Menerapkan dan mengaplikasikan rencana/cara tersebut kedalam untuk penyelesaian masalah. 4) Penelaahan kembali Memeriksa kembali apakah sudah benar kesimpulan dari penyelesaian masalah tersebut. Menurut Dogru (2008: 2), langkah-langkah dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan model pemecahan masalah, yaitu: 1) memahami masalah, 2) mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan pemecahan

masalah,

3)

solusi

dan

menafsirkan

informasi

tentang

permasalahan, 4) menentukan solusi penyelesaian, 5) menentukan solusi yang paling efektif, 6) mempersiapkan laporan dan evaluasi pemecahan masalah. Langkah pembelajaran problem solving yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1) Orientasi masalah Pada langkah ini, guru memberikan permasalahan kepada siswa. 2) Pengumpulan data Siswa mengumpulkan berbagai informasi dan data dari berbagai sumber yang relevan dengan masalah yang sedang dianalisis melalui percobaan atau diskusi kelompok.

14

3) Analisis data Pada langkah ini, siswa menganalisi masalah yang sedang dihadapi dengan informasi atau sumber yang relevan yang mereka dapatkan untuk menyelesaikan masalah 4) Penyajian hasil penyelesaian masalah Pada langkah ini, siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok dan diskusi interaktif serta tanya jawab antara penyaji dengan peserta 5) Evaluasi proses pemecahan masalah dan penarikan kesimpulan Guru mengevaluasi hasil penyelesaian masalah dan siswa dibantu oleh guru menarik kesimpulan dari analisis masalah yang dihadapi. Dari uraian diatas, kelebihan dari model problem solving, yaitu: 1) melatih siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, 2) melatih siswa untuk mampu menghadapi masalah, 3) melatih siswa untuk menyelesaikan masalah dengan terampil. Sedangkan kekurangan dari model problem solving, yaitu: 1) membutuhkan alokasi waktu yang relatif lama, 2) model ini memerlukan kemampuan kognitif siswa termasuk menalar/berpikir logis yang tinggi karena untuk memcahkan

suatu masalah dengan tingkat kesulitan yang tinggi

memerlukan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman siswa. Jadi, model pembelajaran problem solving adalah model pembelajaran dimana guru memberikan masalah dan siswa dituntut berpikir kritis dan logis untuk memecahkan masalah dengan menerapkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang mereka miliki sebelumnya. b. Model Pembelajaran Problem Posing Menurut Ergun (2010: 9), problem posing merupakan model pembelajaran dimana siswa merumuskan permasalahan, menggunakan bahasa mereka sendiri, kosa kata, tata bahasa, struktur kalimat, isi dan sintak sesuai dengan situasi permasalahan. Menurut Hsiao (2013: 8), problem posing adalah model pembelajaran aktif dimana siswa membuat masalah dan memberikan jawaban dari masalah tersebut. Pada model ini, siswa diminta untuk membuat dan menyelesaikan masalah yang mereka buat serta mendiskusikan secara berkelompok.

15

Silver dan Cai (1996) dalam Mahmudi (2008: 4) mengklasifikasikan tiga aktivitas kognitif dalam pembuatan soal sebagai berikut: 1) Pre-solution posing, yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau informasi yang diberikan. 2) Within-solution posing, yaitu pembuatan atau formulasi soal yang sedang diselesaikan. Pembuatan soal demikian dimaksudkan sebagai penyederhanaan dari soal yang sedang diselesaikan. 3) Post-solution posing. Pada tahap ini siswa memodifikasi atau merevisi tujuan atau kondisi soal untuk mebuat soal-soal baru yang lebih menantang. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk membuat soal adalah sebagai berikut: a) Pengubahan informasi atau data pada soal semula b) Pengubahan

nilai

data

yang

diberikan,

tetapi

tetap

mempertahankan kondisi atau situasi soal semula c) Pengubahan situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap mempertahankan data atau informasi yang ada pada soal semula. Pembelajaran dengan pengajuan soal menurut Menon (1996) dalam Siswono (2000: 9) dapat dilakukan dengan tiga cara sebagai berikut: 1) Memberikan kepada siswa soal cerita tanpa persyaratan, tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah membuat pertanyaan berdasar informasi tersebut. 2) Guru menyeleksi topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok. Tiap

kelompok

ditugaskan

membuat

soal

cerita

sekaligus

penyelesainnya. Nanti soaltersebut dipecahkan oleh kelompokkelompok lain. Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan kesiapannya. Soal-soal tersebut nanti digunakan sebagai latihan. Nama pembuat soal tersebut ditunjukkan, tetapi solusinya tidak. Soal-soal tersebut didiskusikan dalam masing-masing kelompok dan kelas. Diskusi tersebut seputar apakah soal tersebut ambigu atau tidak cukup kelebihan informasi. Soal yang dibuat siswa

16

tergantung interes siswa masing-masing. Sebagai perluasan, siswa dapat menanyakan soal cerita yang dibuat secara individu. 3) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya

berbeda.

Dengan

mendaftar

pertanyaan

yang

berhubungan dengan masalah tersebut akan membantu siswa "memahami masalah", sebagai salah satu aspek pemecahan masalah. Pada penelitian ini, pengajuan masalah diaplikasikan pada kedua bentuk aktivitas kognitif pre-solution posing dan post-solution posing serta pengajuan soal yang disarankan oleh Menon dengan dua cara yaitu: 1) Memberikan kepada siswa soal cerita tanpa persyaratan, tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah membuat pertanyaan berdasar informasi tersebut. 2) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya

berbeda.

Dengan

mendaftar

pertanyaan

yang

berhubungan dengan masalah tersebut akan membantu siswa "memahami masalah", sebagai salah satu aspek pemecahan masalah. Secara garis besar aplikasi pengajuan masalah atau soal dalam proses pembelajaran problem posing dalam penelitian ini antara lain: 1) Penyampain tujuan dan materi pelajaran Pada langkah ini, guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan materi pelajaran secara singkat 2) Pemberian contoh membuat soal atau masalah kepada siswa Guru memberikan contoh membuat soal atau masalah kepada siswa beserta jawabannya. 3) Pengajuan beberapa permasalahan atau soal oleh siswa

17

Pada langkah ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk membuat soal atau masalah secara berkelompok. 4) Penyelesaian soal oleh siswa maupun kelompok Siswa diminta untuk menukarkan soal atau masalah yang sudah mereka buat dengan kelompok lain untuk menyelesaikannya. 5) Penyajian hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas Siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dan siswa lain member tanggapan. 6) Kesimpulan dan evaluasi Siswa membuat kesimpulan dari diskusi kelas. Guru mengevaluasi dan melakukan pemantapan terhadap hasil diskusi. Dari uraian diatas, kelebihan dari model pembelajaran problem posing, yaitu: 1) merangsang siswa untuk berpikir kritis, 2) siswa berlatih menganalisis masalah, 3) siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, 4) melatih siswa untuk percaya pada dirinya sendiri, 5) merangsang siswa untuk memunculkan ide kreatif. Kelemahan model pembelajaran ini yaitu: 1) memerlukan waktu yang cukup banyak, 2) memerlukan persiapan yang banyak dan matang karena menyiapakan informasi yang harus disampaikan kepada siswa, 3) tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk menguasai konsep dalam waktu yang singkat. Perbedaan antara model pembelajaran problem solving dan problem posing disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Perbedaan Model Pembelajaran Problem Solving dan Problem Posing Pembeda Pengertian

Problem Solving Suatu cara penyajian pembelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari suatu cara penyajian pembelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari dan memecahkan suatu masalah dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran

Problem Posing Model pembelajaran aktif dimana siswa membuat masalah dan memberikan jawaban dari masalah tersebut.

18

Lanjutan Tabel 2.2. Perbedaan Model Pembelajaran Problem Solving dan Problem Posing Pembeda Sintak

Pembuatan masalah/soal Pemahaman konsep

Problem Solving Problem Posing 1) Orientasi masalah 1) Penyampain tujuan dan 2) Pengumpulan data materi pelajaran 3) Analisis data 2) Pemberian contoh membuat 4) Penyajian hasil penyelesaian soal atau masalah kepada siswa masalah 5) Evaluasi proses pemecahan 3) Pengajuan beberapa masalah dan penarikan permasalahan atau soal kesimpulan kepada siswa 4) Penyelesaian soal oleh siswa maupun kelompok 5) Penyajian hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas 6) Kesimpulan dan evaluasi Dari guru Dari siswa Konsep diperlukan penyelesaian masalah/soal

untuk Konsep diperlukan untuk pembuatan masalah/soal dan pemecahannya

3. Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemamampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2006: 22). Sedangkan menurut Kunandar (2013: 62) menyatakan bahwa hasil belajar adalah kompetensi atau kemampuan tertentu baik kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya yang dicapai atau dikuasai peserta didik setelah mengikuti proses belajar mengajar. Permendikbud nomor 104 tahun 2013 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah menjelaskan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik adalah proses pengumpulan informasi/bukti tentang capaian pembelajaran siswa dalam kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial, kompetensi pengetahuan, dan kompetensi keterampilan yang dilakukan secara terencana dan sistematis, selama dan setelah proses pembelajaran. Teknik dan instrumen penilaian menurut Permendikbud nomor 104 tahun 2013 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, yakni:

19

a. Penilaian Kompetensi Sikap Sikap bermula dari perasaan (suka atau tidak suka) yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu/objek. Sikap juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Sikap dapat dibentuk, sehingga terjadi perubahan perilaku atau tindakan yang diharapkan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai sikap siswa, antara lain melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sebaya, dan penilaian jurnal. Instrumen yang digunakan antara lain daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, yang hasil akhirnya dihitung berdasarkan modus. 1) Observasi Sikap dan perilaku keseharian peserta didik direkam melalui pengamatan dengan menggunakan format yang berisi sejumlah indikator perilaku yang diamati, baik yang terkait dengan mata pelajaran maupun secara umum. Pengamatan terhadap sikap dan perilaku yang terkait dengan mata pelajaran dilakukan oleh guru yang bersangkutan selama proses pembelajaran berlangsung, dan selama peserta didik berada di sekolah atau bahkan di luar sekolah perilakunya dapat diamati guru. 2) Penilaian diri Penilaian diri digunakan untuk memberikan penguatan (reinforcement) terhadap kemajuan proses belajar siswa. Untuk menghilangkan kecenderungan peserta didik menilai diri terlalu tinggi dan subyektif, penilaian diri dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas dan objektif. 3) Penilaian teman sebaya (peer assessment) Penilaian teman sebaya atau antar siswa merupakan teknik penilaian dengan cara meminta siswa untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi.

20

4) Penilaian jurnal (anecdotal record) Jurnal merupakan kumpulan rekaman catatan guru dan/atau tenaga kependidikan di lingkungan sekolah tentang sikap dan perilaku positif atau negatif, selama dan di luar proses pembelajaran mata pelajaran. b. Penilaian Kompetensi Pengetahuan Pendidik menilai kompetensi pengetahuan melalui tes tertulis, observasi terhadap diskusi, tanya jawab, dan percakapan, dan penugasan. 1) Instrumen tes tertulis terdiri dari 2 bentuk soal yaitu memilih jawaban yang berupa pilihan ganda, dua pilihan ganda (benar-salah, ya-tidak), menjodohkan, sebab-akibat, dan mensuplai jawan yang berupa isian atau melengkapi, jawaban singkat atau pendek dn uraian. 2) Instrumen observasi terhadap diskusi, tanya jawab, dan percakapan berupa lembar observasi berbentuk ceklis (√). 3) Instrumen penugasan berupa pekerjaan rumah dan/atau projek yang dikerjakan sevara individu atau kelompok sesuai dengan karakteristik tugas. c. Penilaian Kompetensi Keterampilan Kompetensi keterampilan terdiri atas keterampilan abstrak dan keterampilan kongkret. Penilaian kompetensi keterampilan dapat dilakukan dengan menggunakan: 1) Unjuk kerja/kinerja/praktik dilakukan dengan cara mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu. Isntrumennya berupa daftar cek dan skala penilaian (rating scale). 2) Penilaian projek dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman,

kemampuan mengaplikasi, kemampuan menyelidiki dan kemampuan menginformasikan suatu hal secara jelas. Penilaian projek dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pelaporan. Untuk itu, guru perlu menetapkan hal-hal atau tahapan yang perlu dinilai, seperti penyusunan desain, pengumpulan data, analisis data, dan penyiapan laporan tertulis/lisan. Untuk menilai setiap tahap perlu disiapkan kriteria penilaian atau rubrik..

21

3) Penilain produk meliputi penilaian kemampuan peserta didik membuat produk-produk, teknologi, dan seni. Pengembangan produk meliputi 3 tahap dan setiap tahap diadakan penilaian, yaitu tahap persiapan, tahap pembuatan produk (proses), dan tahap penialan produk (appraisal). 4) Penilaian portofolio pada dasarnya menilai karya-karya peserta didik secara individu pada satu periode untuk suatu mata pelajara. Akhir suatu periode hasil karya tersebut dikumpulkan dan dinilai oleh guru dan peserta didik sendiri. Penilaian hasil belajar dalam penelitian ini menggunakan penilaian pada kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pada penilaian kompetensi sikap menggunakan teknik observasi, penilaian diri, dan jurnal guru yang meliputi sikap spiritual dan sikap sosial yang teridiri dari sikap jujur, tanggung jawab, gotong royong, dan percaya diri. Penilaian kompetensi pengetahuan menggunakan teknik tes tertulis, dan pada penilaian kompetensi keterampilan menggunakan observasi keterampilan siswa dan penulisan laporan praktikum.

4. Kreativitas Kreativitas merupakan kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang baru, kemampuan untuk memberikan gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya (Munandar, 2012: 25). Rhodes (1961) mendefinisikan kreativitas menjadi empat yang disebut Four P’s of creativity (Person, Process, Press, Product). Definisi kreativitas sebagai person menurut Hulbeck (1945), tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Definisi kreativitas sebagai process menurut Torrance (1988), kreativitas sebagai 1) proses untuk merasakan kesulitan, masalah, jarak dalam informasi, kehilangan sesuatu, sesuatu ditanyakan, 2) membuat dugaan dan hipotesis tentang definisi tersebut, 3) evaluasi dan menguji hipotesis tersebut, 4) kemungkinan menguji ulang dan 5) mengkomunikasikan hasilnya. Definisi kreativitas sebagai press menurut Simpson (dalam Vernon, 1982) merujuk pada kreativitas pada aspek dorongan internal

22

yaitu inisiatif yang nyata dari seseorang untuk keluar dari rangkaian pikirannya yang biasa. Definisi kreativitas sebagai product menurut Barron (1969), kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan/menciptakan sesuatu yang baru (Munandar, 2012: 21-22) Guilford membedakan kreativitas antara kemampuan berpikir konvergen dan kemampuan berpikir divergen. Pemikiran konvergen atau penalaran logis menuju satu jawaban yang benar, merupakan proses yang mendasari tes inteligensi tradisional, sedangkan pemikiran divergen atau corak pemikiran yang menghasilkan bermacam-macam gagasan merupakan indikator yang paling nyata dari kreativitas yang terdiri dari kelancaran kata, kelancaran berekspresi, kelancaran berpikir, kelenturan spontanitas, kelenturan beradaptasi, keaslian dan elaborasi (Munandar, 1977: 224) Tes kreativitas memiliki bentuk verbal dan figural. Tes kreativitas verbal ini disusun berdasarkan model struktur intelek Guilford. Dalam tes ini terdapat 5 operasi mental yaitu kognisi, ingatan, produksi divergen, produksi konvergen, dan evaluasi. Tes kreativitas yang dimaksud memiliki enam subtes yang harus diujikan. Keenam subtes dari tes kreativitas verbal adalah sebagai berikut: a. Permulaan kata Pada subtes ini subjek harus memikirkan sebanyak mungkin kata yang dimulai dengan susunan huruf tertentu sebagai rangsangan. Tes ini mengukur “kelancaran dalam kata”, yaitu kemampuan untuk menemukan kata yang memenuhi persyaratan struktural tertentu. Misalnya kepada anak diberikan huruf “k” dan “a”. Kemudian ia diminta untuk membentuk sebanyak mungkin kata yang bisa dibentuk dari kedua huruf tadi. Umpamanya anak menjawab “kami”, “kapal”, “karung”, dan sebagainya. b. Menyusun kata Pada subtes ini subjek harus menyusun sebanyak mungkin kata dengan menggunakan huruf-huruf dari satu kata yang diberikan sebagai stimulus. Seperti tes permulaan kata, tes ini mengukur “kelancaran kata”, tetapi tes ini juga menuntut kemampuan dalam reorganisasi persepsi. Kepada anak diberikan kata tertentu, semisal “proklamasi”. Berdasarkan kata tersebut anak

23

diminta membentuk kata-kata lain sebanyak mungkin. Umpamanya anak akan menjawab “kolam”, “lama”, “silam”, dan sebagainya. c. Membentuk kalimat tiga kata Pada subtes ini, subjek harus menyusun kalimat yang terdiri dari tiga kata, huruf pertama untuk setiap kata diberikan sebagai rangsang, akan tetapi dalam urutan dalam penggunaan ketiga huruf tersebut boleh berbeda-beda, menurut kehendak subjek. Misalnya kepada anak diberi tiga huruf, yakni “a”, “m”, dan “p”. Lalu mintalah ia menyusun sebanyak mungkin kalimat-kalimat yang diawali dari huruf-huruf yang diberikan tadi, dengan urutan yang boleh diubah-ubah. Umpamanya jawabannya adalah “Ani makan pisang” atau “mana paying Anton”. d. Sifat-sifat yang sama Pada subtes ini, subjek harus menemukan sebanyak mungkin objek yang semuanya memiliki dua sifat yang ditentukan. Tes ini merupakan ukuran dari “kelancaran dalam memberikan gagasan”, yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan yang memenuhi persyaratan. Misalnya anak mendapat soal mengenai sifat bulat dank eras. Anak diminta untuk memikirkan dan menyebutkan sebanyak mungkin benda-benda yang memiliki sifat/ciri-ciri tersebut. Jawabannya mungkin adalah bola tenis, kelereng, roda kursi, dan sebagainya. e. Macan-macam penggunaan Pada subtes ini, subjek harus memikirkan sebanyak mungkin penggunaan yang tidak lazim (tidak bisa) dari benda-benda setiap hari. Tes ini merupakan ukuran dari “kelenturan dalam berfikir”, karena dalam tes ini subjek harus dapat melepaskan diri dari kebiasaan melihat benda sebagai alat untuk melakukan hal tertentu saja. Selain mengukur kelenturan berpikir, tes ini juga mengukur orisinalitas dalam berpikir. Orisinalitas ditentukan secara statitis, dengan melihat kelangkaan jawaban itu diberikan. Contohnya, anak akan diberi benda yang ditemuinya sehari-hari. Akan tetapi, ia justru diminta untuk membuat sesuatu yang tak biasa dengan benda tersebut. Umpamanya,

24

ketika anak dieri surat kabar, ia membuat kapal-kapalan, topi, bola, dan sebagainya, bukan sebagai bahan bacaan. f. Sebab akibat Pada subtes ini, subjek haru memikirkan segala sesuatu yang mungkin terjadi dari suatu kejadian hipotesis yang telah ditentukan sebagai rangsangan. Kejadian atau peristiwa itu sebetulnya tidak mungkin terjadi di Indonesia, tetapi dalam hal ini subjek harus mengumpamakan, andaikata hal itu terjadi di sini apa saja akibatnya? Tes ini merupakan ukuran dari kelancaran dalam memberi gagasan digabung dengan ‘elaborasi’, diartikan sebagai kemampuan untuk

dapat

mengembangkan

suatu

gagasan,

merincinya,

dengan

mempertimbangkan macam-macam implikasi (Munandar, 2012: 68-69). Perkembangan kreativitas siswa merupakan salah satu bagian dari proses belajar mengajar pada sekolah, termasuk pembelajaran kimia. Kreativitas dalam pembelajaran kimia diperlukan dalam hal pemecahan masalah atau soal kimia, soal-soal yang berhubungan dengan penerapan kimia dalam kehidupan sehari-hari, dan percobaan atau eksperimen serta metode ilmiah yang berhubungan dengan ilmu kimia. Kreativitas merupakan salah satu dari sembilan bagian penting untuk dimiliki dalam pembelajaran

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) seperti yang

dinyatakan oleh Collins (2001: 22) dalam penelitiannya, yaitu: (1) metode ilmiah dan ujian kritis, (2) kreativitas, (3) perkembangan sejarah pada pengetahuan ilmiah, (4) pengetahuan alam dan pertanyaan, (5) keragaman berpikir ilmiah, (6) analisis dan intepretasi data, (7) pengetahuan alam dan kepastian, (8) hipotesis dan prediksi, dan (9) kerjasama dalam pengembangan pengetahuan ilmiah.

5. Materi Termokimia Materi termokimia dalam kurikulum 2013 diberikan di kelas XI MIA semester ganjil, dengan kompetensi dasar, yaitu: 1) membedakan reaksi eksoterm dan reaksi endoterm berdasarkan hasil percobaan dan diagram tingkat tinggi, dan 2) menentukan ∆H reaksi berdasarkan hukum Hess, data perubahan entalpi pembentukan standar, dan data energi ikatan.

25

a. Pengertian Termokimia Termokimia adalah cabang dari ilmu kimia yang mempelajari pengaruh panas terhadap reaksi kimia (Petrucci et al, 2011: 241). Termokimia adalah bagian dari ilmu kimia yang mempelajari hubungan antara kalor (energi panas) dengan reaksi kimia atau proses-proses yang berhubungan dengan reaksi kimia (Sudarmo, 2013: 57). b. Sistem dan Lingkungan Reaksi atau proses yang sedang menjadi pusat perhatian kita disebut sistem. Segala sesuatu yang berada di sekitar sistem, yaitu dengan apa sistem itu berinteraksi, disebut lingkungan (Purba, 2006: 56) Berdasarkan interaksinya dengan lingkungan, sistem dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sistem terbuka, sistem tertutup dan sistem terisolasi. 1) Sistem terbuka: suatu sistem yang memungkinkan terjadinya perpindahan kalor dan zat (materi) antara lingkungan dengan sistem. 2) Sistem tertutup: suatu sistem di mana antara sistem dan lingkungan dapat terjadi perpindahan kalor tertapi tidak dapat terjadi pertukaran materi. 3) Sistem terisolasi: suatu sistem di mana tidak memungkinkan terjadinya perpindahan kalor dan materi antara sistem dengan lingkungan. c. Energi dan Entalpi Energi biasa dapat didefiniskan sebagai kemampuan melakukan usaha. Energi merupakan sesuatu yang dimiliki zat yang menyebabkan sesuatu yang lain terjadi. Apabila suatu benda mempunyai energi, maka benda ini dapat mempengaruhi benda lain dengan cara melakukan kerja pada benda lain tersebut (Brady,1999: 261). Jika suatu sistem mengalami perubahan dan dalam perubahan tersebut terjadi penyerapan kalor, sebagian energi kalor yang diserap digunakan untuk melakukan kerja (w). Sebagian lagi energi tersebut disimpan dalam sistem. Bagian energi yang disimpan disebut energi dalam (U). Energi dalam (U) adalah total energi kinetik (Ek) dan energi potensial (Ep) yang ada di dalam sistem (Sudarmo, 2013: 59-61).

26

Perubahan energi dalam dapat diketahui dengan mengukur kalor (q) dan kerja (w), yang akan timbul jika suatu sistem bereaksi. Hubungan antara kalor (q), kerja (w), dan perubahan energi dalam (∆ ) merupakan hukum kekekalan energi yang dikenal sebagai hukum pertama termodinamika: ∆ =

+

Sistem menerima kalor, q bertanda positif (q>0), sistem membebaskan kalor, q bertanda negatif (q<0), sistem melakukan kerja, w bertanda positif (w>0), sistem menerima kerja, w bertanda negatif (w<0) (Petrucci et al, 2011: 255) d. Perubahan Entalpi (∆H) Kalor reaksi yang berlangsung pada tekanan tetap sama dengan perubahan entalpi (∆H) sistem (Sudarmo, 2013: 61). ∆H = qreaksi ∆H = Hakhir - Hawal e. Reaksi Eksoterm dan Reaksi Endoterm Perbedaan antara reaksi eksorterm dan endoterm disajikan dalam Tabel 2.3. Tabel 2.3. Perbedaan Antara Reaksi Eksorterm dan Endoterm Reaksi Eksoterm Reaksi membebaskan kalor Kalor mengalir dari sistem ke lingkungan ∆H = HP – HR < 0 (bertanda negatif)

Reaksi Endoterm Reaksi menyerap kalor Kalor mengalir dari lingkungan ke sistem ∆H = HP – HR > 0 (bertanda positif)

f. Persamaan Termokimia dan Diagram Energi Persamaan termokimia adalah kombinasi dari reaksi kimia dan disertai perubahan pada entalpi standar (Atkins et al, 2006: 51). Nilai perubahan entalpi yang dituliskan pada persamaan termokimia harus sesuai dengan stoikiometri reaksi, artinya jumlah mol zat yang terlibat dalam reaksi sama dengan koefisien reaksinya. Contoh:

H2(g) + ½O2(g) → H2O(l)

∆H = -285,85 kJ/mol

27

Artinya, pada pembentukan 1 mol H2O dari gas hidrogen dan gas oksigen dibebaskan energi sebesar 285,85 kJ (reaksi eksoterm) (Utami et al : 2009: 43) Diagram energi menggambarkan besarnya entalpi zat-zat sebelum reaksi dan zat-zat hasil reaksi, serta perubahan entalpi (∆H) yang menyertai reaksi tersebut. Contoh:

Diagram entalpi dari reaksi pembentukan 1 mol air: H2(g) + ½O2(g) → H2O(l)

∆H = -285,85 kJ

H H2(g) + ½O2(g) R ∆H = -285,85 kJ/mol H2O(l) P

Gambar 2.1 Diagram Entalpi Reaksi Pembentukan 1 Mol Air Nilai entalpi gas hidrogen dan oksigen lebih besar daripada entalpi air sehingga letaknya di atas entalpi air. Sistem mengalami penurunan niali entalpi sebesar 285,85 kJ yang ditunjukkan oleh anak panah kebawah. Diagram energi pada proses penguapan 1 mol air (perubahan air dari wujud cair ke wujud gas: H2O(l)→ H2O(g)

∆H = +44 kJ

H H2O(g) P ∆H = +44 kJ R

H2O(l)

Gambar 2.2 Diagram Entalpi Reaksi Penguapan 1 Mol Air Proses penguapan air merupakan proses endoterm di mana pada proses tersebut diperlukan energi sebesar 44 kJ. Energi diserap oleh air sehingga air berubah menjadi uap air. Air dalam wujud gas (uap air) mempunyai entalpi yang lebih tinggi daripada air dalam wujud cair (Sudarmo, 2013: 64).

28

g. Perubahan entalpi standar Perubahan entalpi standar (∆H˚) adalah perubahan entalpi (∆H) reaksi dengan reaktan dan produk pada keadaan standar, yaitu pada suhu 298 K dan tekanan 1 atm. (Petrucci et al, 2011: 264) Satuan ∆H adalah kJ dan satuan ∆H molar reaksi adalah kJ/mol (Utami et al : 2009: 44) 1) Perubahan entalpi pembentukan standar (∆H˚f) Perubahan entalpi pembentukan standar (Standard Enthalpy of Formation)

merupakan

perubahan

entalpi

yang

terjadi

pada

pembentukan 1 mol suatu senyawa dari unsur-unsurnya yang paling stabil dalam keadaan standar (298 K, 1 atm) (Petrucci et al, 2011: 268) Contoh: Perubahan entalpi pembentukan standar dari kristal amonium klorida adalah -314,4 kJ/mol. Persamaan termokimia dari pernyataan tersebut adalah ½N2(g) + 2H2(g) + ½Cl2(g) → NH4Cl(s) ∆H˚f = -314,4 kJ/mol 2) Perubahan entalpi peruraian standar (∆H˚d) Reaksi peruraian merupakan kebalikan dari reaksi pembentukan. Oleh karena itu, sesuai dengan azas kekekalan energi, nilai entalpi peruraian sama dengan entalpi pembentukannya, tetapi tandanya berlawanan. Contoh: Diketahui ∆H˚f H2O(l) = -286 kJ/mol, maka perubahan entalpi peruraian ∆H˚d H2O(l) menjadi gas hidrogen dan oksigen adalah +286 kJ/mol. H2O(l) →H2(g) + ½O2(g) ∆H = +285kJ/mol (Purba, 2006: 67). 3) Perubahan entalpi pembakaran standar (∆H˚c) Perubahan entalpi pembakaran standar adalah perubahan entalpi (∆H) untuk pembakaran sempurna 1 mol senyawa atau unsur O2 dari udara, yang diukur pada 298 K dan tekanan 1 atm. Satuan ∆H˚c adalah kJ/mol. Pembakaran dikatakan sempurna jika: a) Karbon (C) terbakar sempurna menjadi CO2 b) Hidrogen (H) terbakar sempurna menjadi H2O c) Belerang (S) terbakar menjadi sempurna SO2 d) Senyawa hidrokarbon (CxHy) terbakar sempurna menurut reaksi: CxHy + O2 → CO2 + H2O (belum setara) (Utami et al : 2009: 47-48)

29

Contoh: Perubahan entalpi pembakaran standar (∆H˚c) methanol (CH3OH) adalah -638,5 kJ/mol. CH3OH(l) + 3/2O2(g) → CO2 (g) + 2H2O(g) ∆H = -638,5 kJ (Sudarmo, 2013: 66) h. Penentuan perubahan energi entalpi Untuk menentukan perubahan entalpi pada suatu reaksi kimia dapat dilakukan melalui eksperimen, biasanya digunakan alat seperti kalorimeter, hkum Hess, dan energi ikatan. 1) Kalorimeter Perubahan energi dalam reaksi kimia selalu dapat dibuat sebagai kalor. Jadi, lebih tepat apabila istilahnya disebut kalor reaksi. Alat yang dipakai untuk mengukur kalor reaksi disebut kalorimeter (Brady, 1999: 270). Ada beberapa macam bentuk kalorimeter, diantaranya kalorimeter sederhana dan kalorimeter bom. Kalorimeter sederhana dapat dibuat dari gelas atau wadah yang bersifat isolator, misalnya gelas styrofoam atau plastik yang bersifat isolator. Dengan demikian, selama reaksi berlangsung dianggap tidak ada kalor yang diserap maupun dilepaskan oleh sistem ke lingkungan, sehingga: qreaksi = -(qkalorimeter + qlarutan) Jika nilai kapasitas kalor kalorimeter sangat kecil, kalor kalorimeter dapat diabaikan sehingga perubahan kalor dapat dianggap hanya berakibat pada kenaikan suhu dalam kalorimeter. qreaksi = -qlarutan qlarutan = m x c x ∆T sehingga, dengan : q

qreaksi = -m x c x ∆T = kalor reaksi (J atau kJ)

m

= massa (g atau kg)

c

= kalor jenis (J/g˚C atau J/kg K)

∆T

= perubahan suhu (˚C atau K) (Sudarmo, 2013: 67-68)

Kalorimeter bom merupakan alat yang ideal untuk mengukur panas yang terjadi pada reaksi pembakaran. Sistem merupakan semuanya yang

30

ada didalam dinding bagian luar dari kalorimeter. Termasuk bom dan isinya, air dalam bom yang dituangkan, termometer, pengaduk, dan sebagainya (Petruccci et al, 2011: 249).

Sistem reaksi di dalam

kalorimeter diusahakan benar-benar terisolasi sehingga kenaikan atau penurunan suhu yang terjadi benar-benar hanya digunakan untuk menaikkan sugu air di dalam kalorimeter bom. Meskipun sistem telah diusahakan terisolasi tetapi ada kemungkinan sistem masih dapat menyerap atau melepaskan kalor ke lingkungannya, yang dalam hal ini lingkungannya adalah kalorimeter itu sendiri. Jika kalorimeter terlibat di dalam pertukaran kalor, besarnya kalor diserap atau dilepas oleh kalorimeter harus diperhitungkan. Kalor yang diserap atau dilepas oelh kalorimeter disebut dengan kapasitas kalor kalorimeter (Ckalorimeter). Secara keseluruhan dirumuskan: qreaksi = -(qkalorimeter + qair) qkalorimeter = Ckalorimeter x ∆T dengan: Ckalorimeter = kapasitas kalor kalorimeter (J˚C-1 atau JK-1) ∆T

= perubahan suhu (˚C atau K) (Sudarmo, 2013: 69)

2) Hukum Hess Entalpi standar dari suatu reaksi dapat digabungkan untuk menentukan entalpi dari reaksi lainnya yang merupakan hukum pertama disebut Hukum Hess. Hukum Hess menyatakan bahwa entalpi standar dari reaksi keseluruhan merupakan jumlah entalpi standar dari beberapa reaksi yang terlobat dimana reaksi tersebut mungkin dapat dipisahkan (Atkins et al, 2006: 53)

Henry Germain Hess (1840) melakukan serangkaian

percobaan dan diperoleh kesimpulan yang dikenal dengan Hukum Hess, yaitu perubahan entalpi suatu rekasi hanya tergantung pada keadaan awal (zat-zat pereaksi) dan keadaan akhir (zat-zat hasil reaksi) dari suatu reaksi dan tidak tergantung bagaimana jalannya reaksi. Contoh: Reaksi pembakaran karbon menjadi gas CO2 dapat berlangsung dalam dua tahap, yaitu:

31

Tahap 1 :

C(s) + ½O2(g) → CO(g)

………….. ∆H = a kJ

Tahap 2 :

CO(g) + ½O2(g) → CO2(g)

………….. ∆H = b kJ

Dengan demikian, perubahan entalpi secara keseluruhan bila reaksi dilakukan dalam satu tahap, tanpa melewati gas CO adalah: Tahap langsung : Dari

kedua

C(s) + O2(g) → CO2(g) ………….. ∆H = (a + b) kJ

kemungkinan

tersebut,

penentuan

perubahan

entalpi

pembentukan gas CO data dilakukan dengan cara: a) Menentukan secara kalorimetri perubahan dari reaksi tahap langsung dan didapat: C(s) + O2(g) → CO2(g)

………….. ∆H = -394 kJ

b) Menentukan secara kalorimetri perubahan entalpi tahap 2 dan didapat: CO(g) + ½O2(g) → CO2(g)

………….. ∆H = -283 kJ

Dari kedua reaksi tersebut didapat perubahan entalpi untuk reaksi tahap 1 adalah:

-394 kJ = a + (-283) kJ a

= (-394) kJ – (-283) kJ = -111 kJ

Sehingga : C(s) + ½O2(g) → CO(g)

………….. ∆H = -111 kJ

Secara analitis dapat dihitung dengan cara: C(s) + O2(g) → CO2(g)

∆H = -394 kJ

CO2(g) →CO(g) + ½O2(g)

∆H = +283 kJ

C(s) + ½O2(g) → CO(g)

∆H = -111 kJ

Reaksi pada tahap langsung tetap, reaksi tahap 2 dibalik kemudian dijumlahkan. Rute reaksi di atas digambarkan oleh Hess dengan siklus energi, yang dikenal dengan Siklus Hess. ∆H = -394 kJ C(s) + O2(g)

CO2(g)

∆H = -111 kJ

∆H = -283 kJ CO(g) + ½O2(g)

Gambar 2.3 Siklus Hess Pembakaran Karbon

32

Jika digambarkan tahap-tahap perubahan energinya, akan didapat suatu diagram entalpi (tingkat energi) sebagai berikut (Sudarmo, 2013: 72-73): ∆H 0 kJ

C(s) + O2(g)

-111 kJ

CO(g) + ½O2(g)

-394kJ

CO2(g)

Gambar 2.4 Diagram Entalpi Pembakaran Karbon 3) Berdasarkan Tabel Entalpi Pembentukan (∆Hf˚) Kalor suatu reaksi juga dapat ditentukan dari data entalpi pembentukan (∆Hf0) zat-zat pereaksi dan zat-zat hasil reaksi (Petrucci et al, 2011: 271) ∆Hreaksi = ⅀ p∆Hf˚produk − ⅀ r∆Hf˚reaktan dengan

p:

koefisien produk

r:

koefisien reaktan

Contoh: Diketahui: ∆Hf0 CH4(l)

= −238,6 kJ/mol

∆Hf0 CO2(g)

= -393,5 kJ/mol

∆Hf0 H2O(l)

= −286 kJ/mol

a) Tentukan ∆H reaksi pembakaran CH4 sesuai reaksi: CH4(g) + 2O2(g) → CO2(g) + 2H2O(l) b) Tentukan jumlah kalor yang dibebaskan pada pembakaran 8 gram CH4O. (Ar C = 12, O = 16 dan H = 1)! Jawab: Reaksi CH4(g) + 2O2(g) → CO2(g) + 2H2O(l) c) ∆Hreaksi = ⅀ p∆Hf˚produk − ⅀ r∆Hf˚reaktan = (∆Hf0 CO2 + 2∆Hf0 H2O) – (∆Hf0 CH4 + 2∆Hf0 O2) = (−393,5 kJ/mol) + 2(−286 kJ/mol)) – (−238,6 kJ/mol + 2 x 0) = −726,9 kJ/mol

33

d) n CH4O =

= 0,25 mol

Jadi, kalor yang dibebaskan pada pembakaran 8 gram metanol = 0,25 x (−726,9) = −181,725 kJ. 4) Energi ikatan Reaksi kimia merupakan proses pemutusan dan pembentukan ikatan. Proses ini selalu disertai perubahan energi. Energi yang dibutuhkan untuk memutuskan 1 mol ikatan kimia dalam suatu molekul gas menjadi atom-atomnya dalam fase gas disebut energi ikatan atau energi disosiasi (D). Untuk molekul kompleks, energi yang dibutuhkan untuk memecah molekul itu sehingga menbentuk atom-atom bebas disebut energi atomisasi. Harga energi atomisasi ini merupakan jumlah energi ikatan atom-atom dalam molekul tersebut. Untuk molekul kovalen yang terdiri dari dua atom, seperti H2, O2, N2, dan HI yang mempunyai satu ikatan, maka energi atomisasi sama dengan energi ikatan. Energi yang diperlukan untuk reaksi pemutusan ikatan telah diukur. Contoh: Energi untuk memutuskan 1 mol ikatan H–H dalam suatu molekul gas H2 menjadi atom-atom H adalah 436 kJ/mol. H2(g) → 2H

D H–H = 436 kJ/mol

Energi dibutuhkan untuk memutuskan molekul CH4 menjadi sebuah atom C dan 4 atom H: CH4(g) → C(g) + 4H(g) Besarnya perubahan entalpi reaksi tersebut dapat dihitung dengan entalpi pembentukan standar sebagai berikut: ∆H

= ∆H˚f (C,atomic) + 4 (H,atomic) – (CH4(g))

= (716,7 kJ/mol) + (218 kJ/mol) – (-74,5 kJ/mol) = 1663,2 kJ/mol Saat perubahan entalpi tersebut setara untuk memutuskan 4 ikatan H maka besarnya energi ikatan rata-rata C−H adalah 415,8 kJ/mol, selanjutnya kita sebut energi ini sebagai energi ikatan rata-rata karena empat ikatan C−H dalam CH4 putus dalam waktu yang sama (Utami et al : 2009: 59). ∆

=





34

B. Kerangka Berpikir Berdasarkan latar belakang, kajian teori, dan dengan hasil kajian dari penelitian-penelitian yang relevan, maka penulis memiliki pemikiran sebagai berikut: 1. Pengaruh pembelajaran kimia dengan model pembelajaran problem solving dan problem posing terhadap hasil belajar siswa pada materi termokimia. Berdasarkan observasi di SMA Negeri 1 Karanganyar, diketahui bahwa model pembelajaran yang diterapakan kurang mendukung siswa dalam mengembangkan pengetahuan serta pemikiran kritis siswa dalam menyelesaikan suatu masalah. Dalam proses pembelajaran, mereka hanya menerima informasi yang disampaikan oleh guru untuk memecahkan suatu masalah dan kurangnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran yang mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa. Termokimia merupakan materi kimia yang dianggap sulit untuk dikuasai karena materi ini berisi konsep, rumus-rumus, persamaan reaksi dan hitungan. Dalam mempelajari termokimia, siswa dituntut untuk berpikir kritis dan kreatif dalam menghubungkan konsep, persamaan reaksi, rumus-rumus dan perhitungan matematikanya untuk menyelesaikan masalah atau soal termokimia. Materi ini dianggap salah satu materi kimia yang sulit bagi siswa yang ditujukan dengan nilai ulangan harian yang masih dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Maka dari itu, diperlukan model pembelajaran yang sesuai dengan materi termokimia supaya tujuan pembelajaran tercapai. Berdasarkan fakta tersebut, maka dalam penelitian dipilih alternatif model pembelajaran yang diterapkan di SMA Negeri 1 Karanganyar yaitu model pembelajaran Problem Solving dan Problem Posing. Kedua model tersebut merupakan model pembelajaran berbasis masalah. Dengan model tersebut, siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dan melatih siswa dalam berpikir kritis untuk menyelesaikan suatu masalah. Pembelajaran kimia menggunakan problem solving dan problem posing juga sesuai dengan teori belajar Vygotsky karena dalam model pembelajaran problem solving dan problem posing pada saat memecahkan dan membuat

35

masalah terjadi diskusi antar siswa sehingga terjadi interaksi sosial antar siswa. Model pembelajaran problem solving dan problem posing juga sesuai dengan teori belajar Jean Piaget karena dalam kedua model tersebut, siswa harus membangun atau mengkronstruksi pengetahuannya sendiri untuk memecahkan masalah yang diberikan guru maupun yang diajukan oleh mereka sendiri. Menurut teori belajar bermakna Ausubel bahawa belajar bermakna sangat penting dan diperlukan dalam pembelajaran kimia khususnya termokimia. Dalam memecahkan masalah termokimia , siswa juga harus mengaitkan informasi yang baru mereka dapatkan dengan konsep yang sudah mereka peroleh. Maka dari itu, siswa harus menguasai konsep dari materi yang dipelajari. Model pembelajaran problem solving menurut Hamdani (2011: 84) merupakan suatu cara penyajian pembelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari suatu cara penyajian pembelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari dan memecahkan suatu masalah dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. Proses problem solving didasarkan pada pengetahuan, pemahaman dan keterampilan siswa yang telah dimiliki sebelumnya dengan menggunakan langkah-langkah yang sesuai untuk menemukan suatu jawaban dari pokok permasalahan yang dihadapinya. Adapun kelebihan dari model problem solving, yaitu: (1) melatih siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, (2) melatih siswa untuk mampu menghadapi masalah, (3) melatih siswa untuk menyelesaikan masalah dengan terampil. Sedangkan kekurangan dari model problem solving, yaitu: (1) membutuhkan alokasi waktu yang relatif lama, (2) model ini memerlukan kemampuan kognitif siswa termasuk menalar/berpikir logis yang tinggi karena untuk memcahkan

suatu masalah dengan tingkat kesulitan yang tinggi

memerlukan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman siswa. Problem posing adalah model pembelajaran aktif dimana siswa diminta untuk membuat masalah atau soal sesuai dengan petunjuk yang diberikan dan memberikan jawaban dari masalah tersebut. Pada model ini, siswa diminta untuk membuat dan menyelesaikan masalah yang mereka buat serta mendiskusikan secara berkelompok. Adapun kelebihan dari model pembelajaran problem posing, yaitu: (1) merangsang siswa untuk berpikir kritis, (2) siswa berlatih menganalisis

36

masalah, (3) siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, (4) melatih siswa untuk percaya pada dirinya sendiri, (5) merangsang siswa untuk memunculkan ide kreatif. Sedangkan kelemahan model pembelajaran ini yaitu: (1) memerlukan waktu yang cukup banyak, (2) memerlukan persiapan yang banyak dan matang karena menyiapakan informasi yang harus disampaikan kepada siswa (3) tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk menguasai konsep dalam waktu yang singkat. Dalam pembelajaran kimia, guru harus merancang pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi yang akan diajarkan supaya membawa pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa, dimana hasil belajar siswa merupakan hasil capaian yang diperoleh seseorang setelah melakukan usaha. Hasil belajar siswa terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dengan diterapkannya model pembelajaran problem solving dan problem posing yang memiliki langkah pembelajaran berbeda akan membawa pengaruh yang berbeda terhadap hasil belajar siswa. Dari pemikiran tersebut, diduga bahwa pembelajaran kimia menggunakan model pembelajaran problem solving dan problem posing memberikan pengaruh yang berbeda terhadap hasil belajar siswa. Berdasarkan teori pembelajaran yang mendukung, karakter materi dan kelemahan serta kelebihan model pembelajaran yang digunakan, maka model problem solving dirasa lebih cocok dari pada model problem posing pada pembelajaran materi termokimia. 2. Pengaruh kreativitas siswa terhadap hasil belajar siswa pada materi termokimia Salah satu karakteristik materi kimia adalah bersifat abstrak sehingga membutuhkan pemikiran yang kritis, kreatif dan kemampuan pemecahan masalah. Ketika peserta didik diberikan suatu masalah atau diminta mengajukan suatu masalah, maka dari sini unsur dari kreativitas berperan dalam proes pembelajara karena kreativitas merupakan kemampuan berpikir untuk membuat kombinasi baru dalam menghasilkan gagasan, jawaban, atau pernyataan berdasarkan data, informasi atau usur-unsur yang ada dalam menyelesaikan masalah.

37

Menurut Nurlaila (2013: 91), ciri-ciri siswa yang kreativitasnya tinggi, yaitu: (1) kemampuan membuat modifikasi dari sesuatu yang baru dan asli yang sudah ada, (2) merupakan proses mental yang unik untuk memproduksi sesuatu yang baru, berbeda, dan asli serta menekankan pada proses, bukan produk. Kemampuan-kemampuan ini jelas tidak dimiliki oleh semua orang melainkan hanya orang-orang tertentu yang dikatakan kreatif. Kreativitas merupakan suatu proses, aktivitas, dan modifikasi yang baru, sehingga dapat mendatangkan hasil yang berguna dan dapat dimengerti maknanya. Menurut Munandar (1977) dalam Muanandar (2012: 68) menyatakan bahwa kreativitas atau berpikir kreatif secara operasional dirumuskan sebagai suatu proses yang tercermin dari kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas. Hubungan antara model problem solving dan problem posing dengan kreativitas siswa diungkapkan oleh Silver (1997: 76-78) yang menyatakan bahwa kelancaran yang dimaksud lebih ke banyaknya masalah atau soal yang dikemukkan dan banyaknya ide yang dikemukaan dalam memecahkan masalah. Kelenturan lebih ke banyaknya jenis masalah atau soal yang dikemukaan dan banyaknya solusi atau cara yang kemungkinan digunakan untuk memecahkan masalah. Orisinalitas merupakan keaslian dalam memberikan respon yang berbeda dari biasanya atau unik. Pada materi termokimia, kreativitas digunakan dalam menganalisis rumusrumus yang akan aplikasikan dalam pemecahan masalah. Selain itu, kreativitas siswa juga digunakan dalam penulisan persamaan reaksi termokimia dan pembuatan diagaram entalpi. Maka dari itu, siswa membutuhkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan yang baik serta kemampuan berpikir kreatif yang tinggi. Siswa yang memiliki kreativitas tinggi akan aktif mencari informasi terkait dengan materi pelajaran. Sehingga siswa yang mempunyai kreativas tinggi diduga akan mempunyai hasil belajar yang lebih tinggi. 3. Interaksi antara model pembelajaran problem solving dan problem posing dengan kreativitas terhadap hasil belajar siswa pada materi termokimia Penerapan model pembelajaran problem solving dan problem posing yang keduanya sama-sama berbasis masalah, dengan memperhatikan kreativitas siswa, masing-masing siswa diyakini dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

38

Berdasarkan dari beberapa kelebihan model pembelajaran problem solving dan problem posing yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran problem posing dirasa lebih cocok diberikan kepada siswa yang memiliki kreativitas tinggi karena pada model tersebut siswa diberikan kesempatan

untuk

menggali

pengetahuan

dalam

membuat

soal

dan

memecahkannya. Sedangkan model pembelajaran problem solving dirasa lebih diperlukan bagi siswa yang memiliki kreativitas rendah karena pada model pembelajaran tersebut kreativitas siswa hanya dibutuhkan saat pemecahan masalah atau soal. Berdasarkan uraian tersebut, diduga bahwa ada interaksi antara model pembelajaran problem solving dan problem posing dengan kreativitas kategori tinggi dan rendah terhadap hasil belajar siswa. Adanya interaksi antara model pembelajaran problem solving dan problem posing dengan kreativitas kategori tinggi dan rendah terhadap hasil belajar siswa disajikan dalam Tabel 2.4. Tabel 2.4. Interaksi antara Model Pembelajaran Problem Solving dan Problem Posing dengan Kreativitas Kategori Tinggi dan Rendah Terhadap Hasil Belajar Siswa Model Pembelajaran (A)

Tinggi (B1)

Problem Solving (A1) Problem Posing (A2)

A1B1 A2B1

Kreativitas (B) Rata- rata Hasil Belajar Lebih rendah (<) Lebih tinggi (>)

Rendah (B2) A1B2 A2B2

C. Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir tersebut, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran problem solving dan problem posing terhadap hasil belajar siswa khususnya materi Termokimia. 2. Terdapat pengaruh kreativitas siswa terhadap hasil belajar siswa pada materi termokimia. 3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran problem solving dan problem posing dengan kreativitas siswa terhadap hasil belajar kimia khususnya materi Termokimia.