BAB. III BIOGRAFI PROF. DR. NURCHOLISH MADJID DAN PROFIL BUKU PESAN-PESAN TAKWA
3.1
Riwayat Hidup Prof. Dr. Nurcholish Madjid Nurcholish Madjid dilahirkan di sebuah kampung kecil di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, bertepatan dengan tanggal 26 Muharram 1358 H.87 Ayah Nurcholish, H. Abdul Madjid di samping alumnus pesantren juga tamatan SR (Sekolah Rakyat). Pada waktu kecil Nurcholish Madjid memperoleh pendidikan dan pengajaran tradisional mengenai kajian-kajian keislaman dari ayahnya sendiri, Abdul Madjid. Nurcholish Madjid dibesarkan dalam lingkungan keluarga Masyumi yang cukup terpandang di mata masyarakat. Pemikiran Nurcholish Madjid tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan rumah dan keberadaan keluarganya. Pengaruh yang paling menonjol terletak pada sosok sang ayah. Ayahnya berperan besar dalam membentuk cikal bakal watak dan pemikiran intelektual awal Nurcholish Madjid. Ayahnya yang pertama mendidik dan menanamkan nilai-nilai Qur’ani ke dalam jiwa Nurcholish Madjid, walau saat itu usia ia masih sangat belia, 6 tahun88. Pendidikan dasar Nurcholish ditempuh di dua sekolah tingkat dasar, yaitu di Madrasah al Wathoniyah yang dipimpin ayahnya dan di SR Mojoanyar, Jombang. Nurcholish Madjid melanjutkan ke sekolah tingkat 87
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005, hlm. 68 88 Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004, hlm. 19
37
pertama di kota yang sama. Sehingga Nurcholish Madjid telah mengenal dua model pendidikan sekaligus. Pertama, pendidikan dengan pola madrasah yang sarat dengan penggunaan kitab-kitab kuning. Kedua, pola pendidikan umum yang memadai, sekaligus berkenalan dengan model pendidikan modern. Setelah itu oleh Abdul Madjid, Nurcholish dimasukkan ke pesantren Darul Ulum Jombang.89
3.1.1 Belajar di Pesantren Ponorogo Studi Nurcholish Madjid di Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo Jawa Timur memberikan pengalaman yang sangat berpengaruh pada perkembangan intelektualnya. Nurcholish Madjid masuk pesantren ini pada tahun 1955, Pesantren ini merupakan pesantren yang cukup memberikan nuansa pemikiran reformis bagi Nurcholish Madjid. Sebagaimana yang kita ketahui, Pesantren Gontor memiliki semboyan; ”berpikir bebas setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas”. Di sini terbentuklah iklim pendidikan yang kritis, tidak berpihak kepada salah satu mazhab, pemikiran secara fanatik dan mengajarkan kehidupan sosial yang relatif modern. Apabila diukur dengan masa sekarang, pendidikan di Gontor saat Cak Nur “mondok” diakhir 1950-an, pola pendidikan yang dikembangkan dapat dianggap sebagai pendidikan yang sudah progresif.90
89
Junaidi Idrus, Op. Cit, hlm. 21 Di Pondok modern Gontor boleh dibilang tidak dikenal kultur pertentangan keagamaan seperti soal-soal khilafiyah yang sering mempertentangkan faham-faham keagamaan seperti soalsoal khilafiyah yang sering menimbulkan eskalasi emosi dan pertikaian di kalangan masyarakat awam, seperti NU dan Muhammadiyah tidak ada yang ngotot mempertahankan fahamnya masingmasing. Mereka adalah santri Gontor, dan beribadah menurut cara Gontor. Lebih jelas baca 90
38
3.1.2 Belajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 1961, Nurcholish Madjid melanjutkan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, di Fakultas Adab, Jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam. Ini merupakan indikasi bahwa Nurcholish Madjid sejak awal memang memiliki kecenderungan mendalami ilmu keislaman. Saat memegang posisi Ketua Umum PB HMI periode pertama, Cak Nur juga menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT). Pada tahun 1968-1971 Cak Nur juga menjadi Wakil sekretaris Umum dan Pendiri International Islamic Federation of Student Organisation (IIFSO: Himpunan Organisasi Mahasiswa Islam se-Dunia). Kemudian ia menjadi pemimpin umum majalah MIMBAR Jakarta (1973-1976). Bersama teman-temannya mendirikan sekaligus menjadi direktur LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan) 1972-1976 dan seterusnya LKIS (Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi) 1974-1976.91 Selama di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid juga menekuni dunia jurnalistik. Dimulai ketika ia menerjemahkan artikel berbahasa arab tentang fiqih umat yang dikirimnya ke majalah Gema Islam, majalah Islam pimpinan Buya Hamka. Dengan bakat ini Nurcholish Madjid mendapat perhatian khusus dari Buya Hamka.92 Sebagai penghargaan atas kepandaian Nurcholish Madjid
Marwan Saridjo, Cak Nur: Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulia Tetap Berjilbab, Cet. II, Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005, hlm. 6 91 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003, hlm. 224 92 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis; Kritik Nalar Atas Pluralisme Cak Nur,. hlm. 56-57
39
dalam dunia jurnalistik, Buya Hamka memberi tempat tinggal di bilik masjid al-Azhar yang dikelolanya sendiri. Nurcholish Madjid berhasil menyelesaikan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1968, dengan karya tulis yang berjudul “Al Qur’an, Arabiyyun Lughatan Wa Alamiyyun Ma’nan” (Al-Qur’an secara bahasa adalah Arab, secara makna adalah Universal).
3.1.3 Kunjungan ke Barat dan Pengembaraan Intelektual Tamat dari IAIN Jakarta Nurcholish Madjid memperoleh kesempatan melanjutkan studinya ke Chicago, pada tahun 1974. Perjalanan Nurcholish Madjid didanai oleh Ford Foundation. Ketika itu Fazlur Rahman dan Leonard Binder berkunjung ke Indonesia untuk pertama kalinya, bertujuan untuk mencari peserta program seminar dan loka karya di The University of Chicago.93 Sebenarnaya pada awal kedatangannya bukan Nurcholish Madjid yang dicari oleh Fazlur Rahman dan Leonard Binder, melainkan H.M Rasyidi. Tetapi atas pertimbangan usia yang terlalu tua akhirnya dibatalkan. Kemudian Leonard Binder mengambil inisiatif untuk mendorong Nurcholish Madjid mengikuti seminar dan loka karya sebagai peninjau yang diselenggarakan oleh Univercity of Chicago. Di Universitas Chicago Nurcholish Madjid meminta kepada Leonard Binder agar ia dapat kembali lagi dengan status mahasiswa setelah penelitian berakhir. Tetapi Nurcholish harus kembali dulu ke Jakarta
93
Junaidi Idrus, Op. Cit, hlm. 30
40
untuk ikut ambil bagian dalam pemilu 1977. Maret 1978 Nurcholish Madjid kembali lagi ke Amerika untuk mengambil program Pasca Sarjana di University of Chicago, di sana Fazlur Rahman mengajaknya untuk mengambil penelitian di bidang kajian keislaman (di bawah bimbingannya) daripada kajian Ilmu Politik (di bawah bimbingan Leonard Binder) yang sejak awal telah direncanakan Nurcholish Madjid.94 Di Chicago, Nurcholish Madjid memperoleh gelar Doktor antara tahun 1978-1984, dengan disertasi yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation (Ibnu Taymiyyah dalam Kalam dan Filsafat: antara Akal dan Wahyu dalam Islam).95
3.1.4 Basis Sosio Kultural di Indonesia Ciri dari latar sosio kultural Indonesia yang harus dipahami adalah kemajemukan (pluralitas). Pluralitas tidak menyangkut masalah-masalah asasi seperti keimanan dan ketakwaan, melainkan disebabkan oleh perbedaan masing-masingpribadi dan kelompok kalangan umat sejak dulu. Misalnya tidak mungkin mengingkari adanya sisa-sisa primordial yang kurang baik seperti faktor keturunan, kesukuan, kedaerahan, dan sosial budaya lainnya.96 Dalam sejarah islam sisa-sisa primordialisme yang negatif itu sempat mencuat menjadi pola pertikaian dan permusuhan, sampai pada tingkat peperangan antara sesama kaum beriman. Pembunuhan Utsman bin Affan adalah contoh pertama dan utama. Dari sudut tinjauan kemanusiaan biasa, 94
Junaidi Idrus, Op. Cit. hlm. 32 Junaidi Idrus, Op. Cit, hlm. 32 96 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Cet. II, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. 32 95
41
dapatlah dikatakan bahwa ajaran persaudaraan berdasarkan iman adalah merupakan antisipasi kepada kemungkinan terjadinya krisis-krisis yang memilukan hati kaum beriman itu.97 Gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dilakukan Cak Nur merupakan respon terhadap kultur masyarakat Indonesia yang majemuk. Perbedaan dan kemajemukan tidak digunakan sebagai alat pembenaran terjadinya pertikaian ataupun perpecahan bangsa Indonesia.
3.2
Corak Pemikiran Membahas masalah intelektual sebaiknya kita terlebih dahulu harus tahu apa yang dimaksud dengan intelektual itu sendiri. Ada dua definisi mengenai intelektual. Pertama, mereka adalah kelompok terpelajar atau educated. Kedua, mereka yang terpelajar secara akademis, kreatif memiliki gairah pengabdian dan bertanggung jawab serta cinta kepada kebenaran. Menurut Rosihan Anwar seperti dikutip Ahmad wahib, intelektual adalah mereka yang berpengetahuan luas yang memikirkan hari depan umat manusia dan kemanusiaan.98 Beragama yang benar menurut Cak Nur adalah yang al-haaniifiiyat alasamhah, yakni mencari kebenaran yang lapang dan dan toleran,, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.99 Beragam tidak harus dengan menunjukkan simbol-simbol yang justru manimbulkan perpecahan, tetapi 97
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Op. Cit, hlm.32-33 Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta :LP3ES, 1993, hlm. 200 99 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 253 98
42
beragam adalah urusan dengan Tuhan yang itu merupakan masalah individu. Yang terpenting adalah esensi dari ajaran agama tersebut benar-benar tercermin dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Keagamaan, dalam makna intinya sebagai kepatuhan (diin) yang total kepada Tuhan, menuntut sikap pasrah kepada-Nya yang total (Islam) pula, sehingga tanpa tidak ada kepatuhan tau diin yang sejati tanpa sikap pasrah atau Islam.100 Maka Islam sebagai sebuah kepasrahan kepada Tuhan ialah ketika manusia telah menyatukan unsur keagamaan yang terpenting yaitu takwa, tawakal dan ikhlas. Selanjutnya, kualitas-kualitas dari unsur tersebut menjadi sumber perilaku bagi manusia dalam pergaulannya dengan sesama manusia. Walaupun takwa, tawakal dan ikhlas adalah kualitas keagamaan pribadi, semuanya memilki implikasi sosial yang kuat dan langsung.
3.3 Tokoh yang mempengaruhi pemikiran Nurcholish Madjid Tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran Cak Nur antara lain: 1.
Ibnu Taimiyyah Sosok Ibnu Taimiyyah bagi Cak Nur tentulah sudah tidak asing lagi.
Sebagai bukti disertasi Doktoral Nurcholish Madjid dalam bidang “Islamic Thouhgt” di Universitas Chicago yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation (Ibn Taimiyyah dalam Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam)101
100
Nurcholish Mdjid, Islam Doktrin dan peradaban, Cet. III, Jakarta: Paramadina, 1995,
101
Junaidi Idrus, Op. Cit, hlm. 43
hlm. 42
43
Ibnu Taimiyyah adalah seorang intelektual besar yang nampaknya tidak banyak dipahami, padahal intelektualismenya sangat baik jika diteladani dan dikembangkan lebih lanjut. Nurcholish Madjid menyebut Ibnu Taimiyyah sebagai “moyang” kaum pembaharu Islam di zaman modern.102 John L. Esposito menggambarkan bahwa barangkali tidak ada ulamaaktivis dari zaman pertengahan yang memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan Ibnu Taimiyyah (1268-1328). Sebagai ulama di bidang aqidah dan hukum Islam sekaligus sosok politikus, ia adalah suara konservatif utama yang pada zaman modern ini dikutip oleh para penganut aliran liberal, konservatif, dan ekstrem. Digambarkan oleh sebagian orang sebagai bapak spiritual dan dan revolusioner Islam (Sunni), yang lainnya memandangnya sebagai “model bagi revivalis dan orang-orang yang waspada, bagi para reformis fundamentalis, dan para pengemban risalah lainnya untuk memperkuat kembali moral.103 2.
Fazlur Rahman Nama Fazlur Rahman memang cukup populer di kalangan intelektual
Indonesia. Pertama datang ke Indonesia pada tahun 1973 dan menjalin hubungan intensif dengan beberapa intelektual muslim Indonesia. Selain itu karya-karyanya banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ditambah lagi dengan gagasan-gagasan dan pemikiran Fazlur Rahman diakui mempengaruhi pergerakan dan pembaharuan dalam pemikiran Islam, termasuk di Indonesia.
102 103
53
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Op. Cit, hlm. 142 John Elposito, Ancaman Islam, Mitos atau Realitas (terj), Jakarta: Mizan, 1994. hlm.
44
Gerakan pembaharuan Islam Fazlur Rahman seperti dikutip Junaidi Idrus, diformulasikan ke dalam empat kategori. Pertama, revivalisme (pembangkitan kembali) pramodernitas yang muncul pada abad ke-18 dan abad ke-19 di Semenanjung Arabia, India, dan Afrika. Kedua, modernisme klasik yang muncul pada pertengahan abad ke-19 dan abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Ketiga, revivalisme pasca modernisme dan praktek bentuk pendidikan Islam yang telah dimodernisasi. Keempat, neo-modernisme yang ditandai dengan sikap selektif terhadap cara-cara dan metodologi untuk membangun masa depan Islam.104 Rekonstruksi Islam adalah sebuah keniscayaan. Secara jelas harus dibedakan antara Islam normatif dan Islam sejarah. Secara normatif berkaitan dengan al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW, sementara dalam konteks sejarah, Islam diinterpretasikan umat dengan konteks zamannya. Menurut Fazlur Rahman perlu upaya nyata rekonstruksi Ilmu-ilmu Islam yang mencakup teologi, filsafat, dan Ilmu-ilmu Sosial. Dalam bidang hukum Fazlur Rahman menyatakan, suatu hukum dapat berubah secara formal pada saat menghadapi perubahan sosial, dengan catatan jiwa
dan
etik
yang
mendasari
hukum
formal
tetap
dan
tidak
berubah.105Nurcholish Madjid meberikan komentar bahwa perhatian Fazlur Rahman kepada kitab suci sangat besar, sehingga dalam menjelaskan arti sebuah firman Allah sangat fasih dengan merujuk ke berbagai sumber klasik, dan dengan kritis mencari relevansinya untuk masalah-masalah kontemporer. 104 105
hlm. 114
Junaidi Idrus, Op. Cit, hlm. 48 Fazlur Rahman, Islam, Cet: V, (Terj: Ahsin Mohammad), Bandung: Pustaka, 2003,
45
Uraian di atas setidaknya memberi gambaran bahwa pembaharuan pemikiran Islam Nurcholish Madjid sejalan dengan neo-modernisme Fazlur Rahman. Banyak kalangan menilai bahwa Fazlur Rahman adalah tokoh utama pemikir neo-modernisme dalam Islam. Dalam konteks Indonesia berhasil melahirkan tokoh-tokoh modernisme seperti Nurcholish Madjid. Asumsi ini berdasarkan pada sentral pemikiran Fazlur Rahman yang berupaya untuk mengkritik pemikiran modern abad ke-19 dan membangun paradigma baru yang cukup signifikan.
3.4 Karya-karya Nurcholish Madjid Sebagai seorang cendikiawan muslim yang produktif, kita dapat menelusuri karya-karya ilmiah yang pernah ia tulis, dari yang berbentuk artikel sampai bebentuk buku yang sering kali dicetak ulang. Dalam pembahasan ini karya-karya yang dihasilkan Nurcholish Madjid, tidak diungkap secara keseluruhan. Fokus yang ditekankan lebih pada karyakaryanya yang dianggap mewakili gagasan sentralnya. Di antara karya-karya Nurcholish Madjid yang telah beredar antara lain: 1. Khasanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) Karya
ini
oleh
Nurcholish
Madjid
dimaksudkan
untuk
memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Nurcholish Madjid memperkenalkan tokoh-tokoh muslim klasik, seperti Al Kindi, Al-Asy‘ari, Al-Farabi, Al-Afghani, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyyah,
46
Ibnu Khaldun dan Muhammad Abduh. Buku ini sekedar pengantar pemikiran kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan pemikiran Islam. 2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1988) Buku ini berbicara mengenai gagasan-gagasannya di sekitar kemodernan, keislaman, dan keindonesiaan. “Dengan prinsip untuk mencari dan terus mencari kebenaran”, dan Tuhan adalah ketuhanan mutlak. 3. Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992) Buku ini berisi tentang hakikat tauhid dan emansipasi harkat manusia, disiplin ilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat etis serta universalisme Islam dan kemodernan. 4. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna Relevansi Doktrin Islam dan Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995) Dalam tulisannya Nurcholish menuangkan pemikirannya tentang makna dan implikasi penghayatan iman terhadap perilaku sosial. 5. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi Visi Baru Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995) Buku ini berusaha menghadirkan Islam dengan wajah yang lebih humanis, adil, inklusif dan egaliter. Hanya saja Nurcholish Madjid menghadirkannya
dengan
gaya
yang
lebih
universal
serta
47
mempertimbangkan aspek kultural paham-paham keagamaan yang berkembang. 6. Masyarakat Religius (Jakarta: Paramadina, 1997) Berisi tentang Islam dan konsep kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, konsep keluarga muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga muslim serta konsep mengenai eskatologis dan kekuatan supraalami. 7. Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998) Buku ini merupakan hasil wawancara, dengan tema yang beragam dan spontan yang meliputi permasalahan politik, budaya dan pendidikan. 8. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999) Isi dari buku ini adalah gagasan pembaharuan yang pernah dilontarkan Nurcholish Madjid dalam berbagai transformasi nilai-nilai alQur’an dalam mewujudkan masyarakat Madani. Karya-karya yang pernah ditulis Nurcholish Madjid, berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi umat Islam. Nurcholish Madjid berusaha menyuguhkan alternatif agar Islam menjadi agama yang benar-benar melekat dan memiliki fungsi dalam kehidupan. Sehingga menurut Nurcholish Madjid Al-Qur’an dan Sunnah perlu ditafsirkan secara kreatif, kritis namun tetap dengan sikap yang bertanggung jawab serta dipahami secara keseluruhan dengan menerapkan metode filosofis sehingga nilai-nilai universal yang
48
dikandungnya mampu menjadi landasan bagi kehidupan umat, dan dapat dimanifestasikan secara konkret dalam hidup ini.
3.5 Profil buku Pesan-pesan Takwa Pesan-pesan takwa adalah judul buku yang merupakan kumpulan khutbah jumat Nurcholish Madjid, yang dilakukan di aula Yayasan Paramadina, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Buku ini adalah dokumentasi dari khutbah Cak Nur sejak maret 1998 sampai mei 2000, di dalamnya terdapat 32 tema yang dibawakannya dalam khutbahnya di Paramadina. Format tulisan khutbah dalam buku ini disunting sedemikian rupa dari transkrip penuturan lisannya. Namun demikian, atas permintaan penerbit bahasa lisannya sedapat mungkin masih dipertahankan.106 Sistematika penulisan buku ini didasarkan pada urutan waktu khutbah, karena sebagian isi khutbah Cak Nur adalah kelanjutan dari khutbah pekan sebelumnya dan merupakan respons atas konteks waktu pekan itu. Dalam khutbahnya Cak Nur berbicara banyak hal, mulai dari tema kesucian primordial, penghormatan humanisme, hakikat puasa, intisari shalat, makna dzikir dan ikhlas, penyakit hati substansi salam sampai pada tema kesalehan esensial. Semua tema tersebut pada hakikatnya berpangkal pada satu titik sentral yaitu memupuk rasa takwa.
106
Asrori S. Karni, Pengantar Editor dalam Pesan-pesan Takwa Nurcholish Madjid kumpulan khutbah jumat di Paramadina, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm. xiv
49
3.5.1 Materi Dakwah dalam buku Pesan-pesan Takwa Menurut Moh. Ali Aziz materi dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri, yang secara garis besar meliputi, materi tentang aqidah, akhlak, syariah dan tentang muamalah. Dalam buku Pesan-pesan takwa terdapat 32 tema yang masing-masing disampaikan pada setiap khutbah Cak Nur, di Paramadina. Tema-tema khutbah Cak Nur tersebut antara lain: 1. Pesan Takwa Melalui takwa, kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup. Inti takwa adalah kesadaran yang sangat mendalam bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita. Takwa ialah kalau kita mengerjakan segala sesuatu, kita kerjakan dengan kesadaran penuh bahwa Allah beserta kita, Allah mnyertai kita, Allah mengawasi kita dan Allah memperhitungkan perbuatan kita. Implikasi yang disebabkan adanya rasa takwa pada diri seseorang mampu melahirkan ketaatan yang terpatri dalam diri seseorang. Tanpa adanya tekanan dan paksaan, manusia akan taat kepada sebuah peraturan jika itu merupakan sebuah kesepakatan.107 2. Zikir Zikir kepada Allah tidak mengenal ruang dan waktu. Selamanya dan di mana saja kita harus ingat kepada Allah SWT. Bila kita lupa kepada Allah, maka Allah akan membuat kita lupa akan diri kita sendiri. Hanya dengan ingat kepada Allah, kita mengetahui dan menginsafi bahwa hidup ini berasak dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Itulah makna ungkapan yang kita baca innalillahi wainnailaihi raji’un. Al-Qur’an mengatakan, “apakah kamu mengira Kami ciptakan kamu ini sia-sia (‘abasa)? Tidak!” Orang yang memiliki makna makna hidup, akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang kuat. Seluruh tingkah lakunya akan bermakna, termasuk penderitaanya. Orang yang mnderita untuk suatu makna, untuk suatu tujuan, akan tetap bahagia dari pada orang yang meskipun tidak menderita tetapi hidupnya tidak mempunyai arti, tidak mempunyai makna.108 3. Keadilan Sebagai Hukum Allah Bagian lain dari takwa adalah menegakkan keadilan. Dalam menegakkan keadilan, seseorang kita tidak tergoda oleh rasa benci kepada suatu kelompok manusia, sehingga kita menyimpang dari keadilan. 107 108
Nurcholish Madjid, Op. Cit, hlm. 3 Ibid, hlm.12
50
Jika kita terlibat dalam hubungan dengan orang atau kelompok lain dalam suasana yang tidak senang, jangan sampai menyimpangkan kita dari keadilan, sehingga merugikan orang lain. Kepada mereka pun kita dilarang untuk berbuat yang tidak adil. Berkaitan dengan keadilan ini disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 58, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”109 Keadilan merupakan sunnatullah, yaitu hukum Allah yang menjamin tegaknya suatu masyakat. Keadilan adalah hukum Allah yang menjamin kelestarian masyarakat, sedangkan kezaliman adalah jaminan bahwa sebuah masyarakat akan hancur.110 4. Menyelami Kalbu Agama Kebaikan adalah perkara yang dianjurkan dalam agama Islam. Perbuatan baik yang kita lakukan setiap harinya hendaknya kita landasi dengan rasa takwa. Hal ini dapat tercapai apabila kita telah mampu menyelami kalbu agama yaitu menghilangkan perbedaan dalam beragama. Banyak contoh ayat Al-Qur’an yang mengingatkan kita supaya jangan sampai melupakan hal yang lebih esensial. Hal yang lebih maknawi. Jangan hanya berhenti pada hal-hal yang bersifat formal lahiri semata. Peringatan demikian terlihat dalam ajaran untuk berkorban. Agama Islam menganjurkan kepada kita untuk berkorban binatang tujuannya bukan sebagai sesaji kepada Allah, tetapi justru sebagai sajian kepada sesama manusia. Setelah kita diperintahkan berkorban, kemudian kita diminta memberikan daging korban itu kepada orang-orang yang membutuhkan.111 5. Ummatan Wasathan Agama Islam diturunkan kepada umat yang oleh Allah disebut ummathan wasathan, yaitu umat yang tengah. Maka jauh lebih sulit menjadi seorang muslim daripada menjadi orang lain. Kesulitan itu di gambarkan dalam surat al-Syura yang di dalamnya berbicara banyak mengenai musyawarah. Untuk dapat menjadi ummathan wasathan seperti yang dikehendaki agama Islam, ada persyaratan keterbukaan. Musyawarah itu sendiri merupakan indikasi sebuah keterbukaan, yakni keterbukaan untuk mendengar perkataan orang lain, selain perpegang pada hak menyatakan pikiran. Agama kita mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik karena diciptakan dalam fitrah dan mempunyai watak yang disebut hanif. Dengan demikian setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Maka setiap orang harus diberi hak untuk menyatakan pikirannya.112 109
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit, hlm. 128 Nurcholish Madjid, Op. Cit, hlm. 20 111 Nurcholish Madjid, Pesan-pesan Takwa, Op. Cit, hlm. 29 112 Ibid. hlm. 34 110
51
6. Efek Keseharian Takwa Sikap takwa akan membawa anugerah kehidupan dunia dan akhirat. Allah memang menyediakan dua pahala itu. Allah mengingatkan bahwa kita tidak boleh meninggalkan masalah dunia ini dan harus berbuat baik sebagaimana Allah sudah berbuat baik kepada kita. Walaupun takwa terkesan lebih berorientasi akhirat seseorang yang bertakwa juga akan mendapatkan dunia. Pengorbanan sesuatu yang berjangka pendek selalu bersifat sementara, sebab kebahagiaan yang bersifat abadi ialah kebahagiaan jangka panjang. Akhirat adalah orientasi jangka panjang. Dalam al-Qur’an diingatkan, kita harus paham kehidupan di dunia ini. Kalau kita tidak pahan kehidupan dunia ini, maka di akhirat nanti kita akan kebingungan.113 7. Tunaikan Amanat Secara Adil Dalam menunaikan dan menegakkan perintah keadilan, kita jangan terpengaruh oleh hubungan suka atau tidak suka kepada seseorang. Walaupun kita sedang diliputi kebencian, keadilan harus tetap kita laksanakan. Demikian juga ketika kita diliputi oleh suasana senang dan suka cita. Dalam Ilmu-ilmu sosial dijelaskan bahwa tindakan manusia yang paling mungkin melanggar keadilan ialah tindakan menggunakan kekuasaan. Oleh karena itu kekuasaan dalam agama kita harus dipandang sebagai amanat Allah SWT, dan amanat harus kita tunaikan dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya.114 8. Salam Kepada Tuhan Mengapa kita ucapkan Salam kepada Allah? Ini semua adalah simbol, kiasan atau lambang dari keislaman itu sendiri. Islam artinya pasrah kepada Allah. Dalam pengertian yang lebih dalam, Islam artinya berdamai dengan Allah. Tidak punya masalah dengan Allah. Sebagai seorang muslim, dengan sendirinya kita berdamai dengan Allah. Tidak punya sikap negatif kepada Allah. Ini terkait dengan jiwa yang tenang yaitu rela dan direlakan. Sikap rela merelakan bisa kita terjemahkan sebagai perasaan tidak punya masalah dengan Allah. Ketika kita shalat kita membaca tahiyat kita mengucapkan salam. Ucapan salam kepada Allah, kemudian kepada Nabi, kepada diri kita sendiri, dan kepada semua hamba Allah yang baik, adalah upaya menanamkan pikiran positif. Jadi salam itu ada sangkut pautnya dengan Islam. Itu merupakan didikan kepada kita dalam kehidupan lebih praktis agar kita berpikir positif.115 9. Objektivitas Salam 113
Ibid, hlm. 40 Ibid, hlm. 43-44 115 Ibid, hlm. 54 114
52
Konsep mengenai salam memang sangat sentral dalam agama Islam. Perkataan Islam sendiri sudah mengandung makna orang yang berdamai dengan Tuhan, dan Tuhan pun berdamai dengan orang tersebut. Maka orang tersebut akan mencapai salamah yang kemudian kita pinjam menjadi kata selamat, yaitu suatu keadaan utuh bahwa kita mencapai qolbun salim (hati yang utuh). Dalam agama-agama semitik perkataan salam begitu penting. Tidak hanya Islam yang mewariskan ucapan assalamu’alaikum. Agama Yahudi juga memperkenalkan perkataan serupa, salomlikum. Salom artinya salam, likum artinya untukmu. Salam mempunyai kaitan dengan takwa. Takwa harus memiliki implikasi usaha menciptakan salam. Usaha menciptakan kedamaian dan keutuhan dalam masyarakat. Usaha untuk bermula dari tingkah laku pribadi kita masing-masing dalam bentuk budi pekerti yang luhur (al-akhlak al-karimah).116 10. Menghayati Akhlak Allah Secara sempurna, sifat-sifat Tuhan terkumpul dalam keseluruhan nama-nama yang disebut al-asma al-husna sebanyak 99. Allah memiliki sifat-sifat yang kadang bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, mengapa bertentangan? karena Allah adalah zat yang maha tinggi yang tidak dapat digambarkan. Kalau gambaran Tuhan hanya sebatas zat yang maha pengampun dan penyayang saja, maka kita akan menganggap Tuhan biasa-biasa saja. Kita akan mengalami kelembekan moral, karena kita beranggapan bahwa apapun yang kita lakukan pasti akan diampuni oleh Tuhan. Sebaliknya, kalau kita menghayati Tuhan hanya sebagai zat yang yang serba keras maka kita akan kehilangan harapan (pesimis) kepada Allah. Itu pun suatu malapetaka keruhanian. Karena itu al-Qur’an menyerukan, “Serulah Tuhan dengan harap-harap cemas” jangan memastikan ampunan Tuhan, tapi juga jangan putus asa dari kemungkinan diampuni Allah. Kita harus meniti suatu titian yang sulit ketika menghadirkan sifat Tuhan dalam diri Kita. Yaitu kombinasi yang serasi antara kelembutan dan kekerasan. Orang yang mendapat rahmat Allah cukup rendah hati untuk melihat kemungkinan dirinya salah. Hal itu membuat dia tidak mudah bertengkar. Karena itu setiap hari kita membaca Bismillahirrahmanirrahim yang biasa diterjemahkan, “Dengan mengucap nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang.” Dengan mengucap bismillah, kita menyadari bahwa seluruh perbuatan kita didasarkan pada kedudukan kita sebagai pengganti Tuhan (khalifatullah) di bumi. Oleh karena itu, apapun yang kita lakukan akan kita pertanggung jawabkan kepada Allah. Memulai pekerjaan dengan bismillah berarti
116
Ibid, hlm. 57-58
53
penegasan bahwa pekerjaan itu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab.117 11. Menghormati Kemanusiaan Prinsip yang memandang kemuliaan manusia berdasarkan ketakwaannya terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 13, secara obyektif umat Islamlah yang paling terlatih untuk melihat ukuran martabat kemanusiaan tidak ditentukan oleh kenisbatan. Yakni sesuatu yang terjadi pada diri kita sendiri tetapi karena ketentuan Allah kepada kita. Seperti tempat dan waktu kita dilahirkan, warna kulit, bahasa dan yang lainnya. Pada dasarnya agama kita mengajarkan untuk menerapkan apa yang kita sebut sebagai orientasi prestasi bukan orientasi prestise. Soal keturunan, daerah, warna kulit tidak boleh dijadikan alat untuk mengukur tinggi rendahnya manusia. Karena semua itu bukan pilihan dia, yang menjadi pilihan dia adalah amalannya, perbuatannya atau prestasinya.118 12. Mendamaikan Persaudaraan Seiman Ukhuwah Islamiyah merupakan istilah yang sudah diterima di tengah masyarakat. Yaitu suatu persaudaraan berdasarkan iman. Jadi istilah yang lebih tepat sebetulnya adalah ukhuwah imaniyah. Karena dalam Al-Qur’an persaudaraan ini memang dikaitkan langsung dengan iman. Surat al-Hujurat dimulai dengan konstansi bahwa umat Islam pasti nanti akan berpecah belah. Dalam keadaan berpecah belah itu pasti akan saling menyerang dan berusaha menghancurkan satu sama lain. Dalam Al-Qur’an sebetulnya mengajarkan pada kita agar jangan terlalu cepat menghukum orang kalau kebetulan berbeda. Kita harus memberi hikmah keraguan kepada orang yang kebetulan berbeda dengan kita. Yaitu dengan pertanyaan dalam hati, oh, dia berbeda dengan saya, tapi jangan-jangan dia yang benar, inilah yang diajarkan Al-Qur’an. Sebaliknya memastikan diri sendiri pasti benar dan orang lain pasti salah, dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai indikasi kemusyrikan, karena orang itu kemudian memutlakan pendapatnya sendiri.119 13. Hidup Berasas Takwa Asas hidup yang paling utama adalah takwa kepada Allah dan upaya mencapai ridha-Nya. Semua asas hidup, selain takwa dan mencapai ridha Allah, diibaratkan sebagai pondasi dari sebuah bangunan yang didirikan di tepi jurang yang retak. Ketika bangunan itu berdiri justru runtuh dan masuk neraka jahanam. Apa yang dimaksud dengan mendirikan bangunan di atas rasa takwa kepada Allah dan ridha-Nya? Ini bukan berarti bangunan fisik semata, tetapi juga bangunan non fisik yaitu kehidupan itu sendiri. Kehidupan kita harus didirikan di atas dasar takwa kepada Allah dan 117
Ibid, hlm. 66 Ibid, hlm. 73 119 Ibid, hlm. 83-84 118
54
keinginan untuk mencapai ridha-Nya. Artinya, seluruh kehidupan kita harus dijalani berdasarkan kesadaran mendalam bahwa Allah menyertai kita. Allah itu maha hadir, seluruh kegiatan kita dicatat oleh Allah dan nanti akan kita pertanggungjawabkan di hadapannya. Kalau kita menyadari itu semua, tentu kita akan dibimbing oleh Allah untuk menempuh hidup yang penuh hidayah. Hidup yang mendapat ridha Allah dengan wujud nyata berupa pola kehidupan yang berakhlak mulia.120 14. Takwa, Zikir, dan Ikhlas Takwa dimulai dengan ingat kepada Allah yang disebut dengan zikir. Shalat pun sebenarnya dirancang untuk mengingat agar kita selalu ingat kepada Allah. Dalam shalat, salah satu yang harus kita renungkan dengan mendalam adalah bacaan tahiyah pada duduk terakhir. Tahiyah artinya pengucapan selamat atau tegur sapa. Pertama kita ucapkan salam kepada Tuhan, kemudian salam kepada Nabi. Selanjutnya kita ucapkan salam kepada sesama manusia, dimulai dari diri kita sendiri dan orangorang shaleh di sekitar kita. Semua ini adalah hubungan yang akrab dan intim. Oleh agama, kita tidak diajarkan untuk mengetahui Tuhan, tetapi diajarkan bagaimana kita akrab dengan Tuhan, taqarrub. Ingat kepada Allah adalah pangkal dari semua pengalaman kita dalam beragama. Tidak hanya di dalam lubuk hati yang mendalam, tapi juga lubuk ruhani yang paling mendalam. Efek positif yang sangat membahagiakan tidak semuanya bisa dideteksi. Efek tindakan yang paling mudah dideteksi ialah yang menyangkut jasmani. Sementara diri kita terdiri dari tiga dimensi yaitu jasmani (fisik), nafsani (psikologi), dan ruhani (spirit). Mengenai masalah ikhlas, Cak Nur mengatakan bahwa ikhlas adalah rahasia kita dengan Allah, maka untuk menjadi ikhlas kita memerlukan latihan terus menerus. Seluruh ibadah kita sebetulnya dirancang untuk berzikir kepada Allah, dan untuk memurnikan seluruh motivasi dari seluruh kerja kita.121 15. Isra’ Mi’raj Salah satu pengalaman Rasulullah SAW dalam rangka mendidik Takwa kepada umat manusia adalah pengalaman Isra’ Mi’raj. peristiwa Isra’ Mi’raj direkam dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an. Terutama dalam surat al-Isra’, yang juga bernama surat Bani Israil. Karena memang banyak membicarakan Bani Israil. Memang Isra’ adalah peristiwa napak tilas Nabi Muhammad untuk melihat sambungan dari misi beliau dengan misi Nabi-nabi sebelumnya yang dalam konteks timur tengah, sebagaian besar adalah keturunan Nabi-nabi Israil. Israil artinya hamba Allah, ia
120 121
Ibid, hlm. 91 Ibid, hlm. 102-108
55
adalah gelar Nabi Ya’kub, anak dari Nabi Ishak, cucu dari Nabi Ibrahim.122 16. Puasa Sia-sia Puasa adalah ibadah yang paling pribadi, paling personal. Jika ibadah yang lain mudah tampak oleh mata, maka tidak demikian dengan puasa. Seseorang mengerjakan shalat atau tidak bisa kita ketahui. Kita juga bisa tahu, apakah seseorang membayar zakat atau tidak. Tetapi tidak demikian halnya denga puasa. Tidak ada yang tahu apakah kita benarbenar puasa atau tidak, kecuali diri kita sendiri dan Allah SWT. Mengapa begitu? Karena cukuplah puasa kita batal hanya dengan meminum seteguk air ketika kita tak tahan haus dan kita sendirian. Dari sinilah benih-benih ketakwaan dilatih. Apabila kita telah berniat puasa, kemudian menderita lapar dan haus, namun kita tidak mencuri untuk makan atau minum, meskipun kita sendirian, maka di situ kita mulai melihat adanya permulaan takwa. Yaitu kita tidak mencuri makan atau minum karena kita tahu Allah melihat kita. Karena itu, puasa mempunyai efek pendidikan kejujuran. Jujur kepada Allah, kemudian jujur pada diri sendiri, dan diharapkan jujur kepada sesama manusia.123 17. Makna Idul Fitri Idul Fitri adalah hari raya untuk merayakan kembalinya fitrah, setelah hilang dan diketemukan kembali atau berhasil di ketemukan. Hal itu karena adanya ibadah puasa yaitu ibadah yang berintikan latihan menahan diri dari godaan-godaan. Seperti dilambangkan dengan makan dan minum. Allah menyediakan bulan puasa supaya kita sempat mensucikan diri, membuat diri kita kembali suci. Sehingga bulan puasa bukan saja bulan suci tetapi bulan pensucian. Dan kalau kita berhasil menjalankan ibadah puasa dengan iman, yaitu dengan penuh percaya kepada Allah SWT dan ihtisaab, yang berarti mawas diri, menghitung diri sendiri atau introspeksi, yaitu kesempatan bertanya dengan jujur siapa kita ini sebenarnya, apakah kita ini orang baik dan seterusnya. Nabi menjanjikan kalau kita berhasil, maka seluruh dosa kita akan diampuni oleh Allah SWT. Konsekwensinya pada waktu kita selesai berpuasa, yaitu tanggal 1 Syawal, kita ibarat dilahirkan kembali (born again). Itulah yang kita rayakan dengan idul fitri. Kembalinya fitrah kepada kita, dan kita pun harus tampil sebagai manusia suci dan baik in optima forma, sebaik-baiknya kepada manusia, juga kepada sesama makhluk. Itulah sebetulnya semangat Idul Fitri. Kemudian kita ucapkan min-a ‘l-‘aa’’idin-a wa ‘l-faaiziin, semoga kita semuanya termasuk orang yang kembali ke fitrahnya dan sukses serta memperoleh bahagia.124 122
Ibid, hlm. 109 Ibid, hlm. 121 124 Ibid. hlm. 132 123
56
18. Amar Ma’ruf Nahi Munkar Ajaran amar ma’ruf nahi munkar yang sudah kita ketahui maknanya adalah menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan. Sedemikian pentingnya sedemikian sentralnya dalam agama kita sehingga dalan surat Ali-Imron ayat 110, disebutkan sebagai ciri kaum beriman, dan membuat kaum beriman itu umat yang paling baik di antara sesama manusia. Dalam bahasa kita sehari-hari keunggulan manusia ialah karena iman dan ilmunya atau al-khayr dan al ma’ruf-nya. Sebab hal ini terkait dengan kesadaran tentang bagaimana menerjemahkan kebaikan universal itu dalam konteks ruang dan waktu, sehingga konsep-konsep itu menjadi efektif dan berpengaruh konkrit dalam masyarakat.125 19. Takdir Bukan Fatalisme Paham takdir tidak bisa digunakan untuk hal yang belum terjadi, tetapi bagi hal yang sudah terjadi. Jadi kalau segala sesuatu telah terjadi, maka kita harus menutup bahwa itu adalah takdir Allah. Tapi kalau belum terjadi, maka ibarat buku yang masih satu persoalan terbuka, maka sikap kita kepada hal yang belum terjadi adalah ikhtiar. Apabila kita bisa menyikapi setiap kejadian dengan bijaksana, maka kita bisa menerima kegagalan tanpa putus asa. Sebaliknya kalau suatu saat kita mengalami kesuksesan kita tidak mengklaim dengan kerdil untuk kita sendiri. Seolah-olah semua kesuksesan itu adalah berkat kita, kehebatan kita, kemampuan kita dan sebagainya. Tetapi semuanya dikembalikan kepada Allah. Dengan begitu kita memiliki jiwa yang sehat, tidak hancur karena gagal, tidak lantas sombong karena berhasil.126 20. Menahan Marah Kita bisa memberi uang kalau punya uang, bisa memberi makan kalau punya makanan. Demikian juga, kalau kita sanggup memberi maaf, berarti mempunyai kekayaan yang membuat sanggup memberi maaf. Yaitu confidence, mantap pada diri sendiri. Perasaan yang tiak diliputi oleh kekhawatiran, sehingga memberi maaf bukanlah tindakan kekalahan melainkan justru kemenangan. Ajaran ini tentu saja mempunyai kaitan dengan berbagai ajaran lain di dalam agama kita, misalnya sabar. Sabar bukanlah istilah yang umumnya disalah pahami dalam percakapan sehari-hari. Seolah-olah menunjukkan sikap apatis dan menyerah tanpa daya. Tapi sabar adalah kesanggupan untuk memikul penderitaan oleh karena itu kita mempunyai harapan di masa depan, karena berharap kepada Allah.127 21. Rahmat Bagi Sekalian Alam 125
Ibid. hlm. 133 Ibid, hlm. 142 127 Ibid, hlm 160-163 126
57
Puncak karier dari Nabi Muhammad dari segi penyampaian misi suci beliau ialah ketika beliau berhasil menyelenggarakan ibadah haji dan merupakan satu-satunya yang dilakukan setelah beliau hijrah, pada tahun ke-10 hijriyah. Peristiwa yang paling penting yang dicatat oleh para ahli hadits dalam riwayat yang mutawatir ialah ketika beliau mengucapkan pidato perpisahan, yang disebut juga Khutbatul Wada’. Hal paling penting yang disampaikan oleh Nabi adalah rangkaian tiga hak asasi manusia yang dinyatakan dalam bahasa Rasulullah sebagai Damm-an, Amwaal dan A’radl (darah atau kehidupan, harta dan kehormatan). Ungkapan di atas telah menjadi rahmat bagi umat manusia, yang sekarang dinyatakan dalam istilah seperti hak asasi manusia. Ini patut kita renungkan agar kita memahami bahwa Rasulullah disebutkan wamaa arsal-naaka illaa kaaffat-an li ’l-naas ”Sesungguhnya kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh umat manusia.” Islam adalah agama universal, artinya, ajarannya sesuai dengan segala zaman dan tempat.128 22. Kesalehan Esensial Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk lahirmu dan hartamu, tetapi Allah hatimu dan amal perbuatanmu. Dari sinilah ada istilah yang sering diperkenalkan yaitu “kesalehan formal” berhadapan dengan “kesalehan esensial” atau kesalehan resmi dengan kesalehan maknawi. Sekarang ini umumnya baru pada kesalehan formal atau kesalehan resmi. Dua dimensi dari kehidupan adalah vertikal dan horizontal, yaitu aqaama-a ‘l-shalaata-a, menegakkan shalat sebagai komunikasi dengan Tuhan. Wa aata ‘lzakaat-a dan mendermakan zakat sebagai komunikasi dengan sesama manusia dalam semangat perikemanusiaan. Ini sudah dilambangkan dalam shalat itu sendiri, dimulai dengan takbir, di mana seluruh kegiatan yang bersifat bay’un, hullah dan syafaa’ah yaitu transaksi asosiasi dan tolong-menolong itu haram. Kita harus memusatkan perhatian kepada Allah SWT, namun shalat itu harus diakhiri dengan salam dan menengok ke kanan dan kiri. Ini peringatan bahwa kalau memang mempunyai hubungan baik dengan sesama manusia bahkan sesama makhluk.129 23. Sekedar Puasa Badani Puasa dengan ajaran takwanya sesungguhnya melatih kita untuk jujur kepada diri sendiri. Jujur kepada Allah berarti jujur kepada diri sendiri. Jika kita menyadari adanya Tuhan dan menyadari hadirnya Tuhan dalam hidup, maka akan menghadirkan sikap jujur kepada diri sendiri, selanjutnya kepada orang lain. Bersikap suci kepada diri sendiri akan berimplikasi pada sikap suci kepada orang lain. Manusia itu suci, karena itu, harus bersikap suci kepada manusia yang lain. 128 129
Ibid, hlm. 163 Ibid. hlm. 168-172
58
Dengan demikian, takwa tidak lain adalah suatu pola hidup atau cara hidup yang dijalani atas dasar kesadaran bahwa seluruh tingkah laku kita selalu berada dalam pengawasan Tuhan. Karena Tuhan selalu beserta kita. Itulah sebetulnya makna ibadah puasa kita, tidak sekedar menahan diri dari makan dan minum. Melainkan juga menahan diri dari semua hal yang terkategorikan sebagai zhulmun, sebagai kegelapan yang bisa meninggalkan bercak-bercak dalam hati yang suci, yang nurani, sehingga kita tidak menjadi manusia tirani.130 24. Kebebasan Nurani Perbedaaan antara satu dengan yang lain sebenarnaya adalah anugerah Allah. Setiap orang memiliki kelebihannya sendiri. Ada yang diciptakan Allah menjadi seorang Manajer, Ilmuwan atau Politikus yang baik. Ada juga yang diciptakan Allah menjadi pedagang atau petani. Setiap kelompok mempunyai pandangan yang memberikan jalan hidupnya ke mana mereka menghadap. Oleh karena itu, maka berlombalombalah kamu menuju kepada kebaikan (fastabiquu ‘l-khayraat). Secara tersirat dari firman ini ditegaskan bahwa kita tidak usah mengurusi persoalan mengapa manusia bermacam-macam orientasinya. Bukan hak kita untuk mempertanyakannya. Sementara tentang validitas dari semua itu, serahkan saja kepada Allah, yang terpenting adalah bagaimana kita perlu menuju kepada jalan kebaikan. Jadi telah terdapat dalam diri kita potensi-potensi ini. Persoalannya kemudian, pada upaya melanjutkannya kepada kecenderungan alami yang disebut dengan, haniifiiyah (kerinduan yang alami). Jika kita telah mencapai haniifiiyah ini, maka kita akan mampu mengenali mana baik dan buruk dalam masyarakat dan dunia dengan syarat telah memiliki hati yang tidak mengalami polusi. Semuanya berujung pada sebuah tema yang tadi telah saya sebut di atas, yaitu pluralisme. Tema tersebut memiliki relevansinya, karena pada saat ini merupakan lima puluh tahun peringatan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dalam HAM yang substansial adalah kebebasan nurani. Sebab ketika berhadapan dengan Allah SWT di akhirat kelak, kita berdiri sendiri sebagai pribadi.131 25. Jenjang Puasa Nafsani Para ulama membagi 30 hari bulan ramadhan menjadi tiga bagian, masing-masing 10 hari. Sepuluh hari pertama adalah masa ketika mengadakan penyesuaian diri secara fisik terhadap ibadah ini. Di sini melibatkan perubahan kebiasaan fisik seperti makan dan minum. Sementara sepuluh hari yang kedua adalah suatu peningkatan dari yang bersifat jasmani kepada sesuatu yang bersifat nafsaanii (psikologi). Kita harus mulai berusaha mengerti secara benar apa sebetulnya puasa ini. Dari segi nafsaani (psikologis), puasa ini tidak hanya puasa 130 131
Ibid. hlm. 180-183 Ibid. hlm. 185
59
dalam artian fisik, yakni menahan diri dari makan dan minum yang merupakan kajian figh, di mana hanya membahas masalah-masalah yang lahiri seperti yang menyangkut persoalan sah dan tidak sahnya puasa, batal dan tidak batalnya (absahnya) puasa. Namun puasa harus disertai dengan peningkatan pemahaman tentang apa yang sesungguhnya harus kita tahan.132 26. Jenjang Puasa Ruhani Dalam berpuasa kita harus mengusahakan diri kita untuk mencapai takwa yang notabene adalah tujuan dari puasa itu sendiri. Takwa adalah suatu cara dan pola menempuh hidup dengan tingkah laku yang selalu didasari oleh kesadaran bahwa Allah hadir. Jadi, takwa adalah hidup dalam kehadiran Tuhan. Jika kita benar-benar menjalankan seluruh kegiatan kita dengan kesadaran bahwa Allah itu hadir maka kita kemudian terlindungi dari marabahaya spiritual (ruhani). Inilah yang harus kita capai dengan puasa pada sepuluh hari ketiga. Sementara sepuluh hari pertama disebut jenjang jasmani yang meliputi soal bagaimana mengubah kebiasaan kita dalam soal makan, minum, tidur dan sebagainya. Sepuluh hari yang kedua adalah jenjang nafsani atau jenjang psikologi (kejiwaan), yaitu yang meliputi upaya menahan diri dari hal-hal yang tidak baik termasuk sekedar berburuk sangka kepada orang lain. Jenjang yang ketiga dalam waktu sepuluh hari ketiga ini insya Allah adalah jenjang ruhani (spiritual). Kita harus mencapai dan mengantarkan diri kita pada keikhlasan. Saya menyebutnya dengan pengalaman fana (hilangnya diri kita). hilang dalam kepasrahan pada kebesaran Allah SWT, dan kita tidak lagi melihat diri kita mempunyai peranan apa-apa.133 27. Metafora Lailatul Qodar Suatu saat, ketika Rasulullah SAW bersabda kepada umatnya yang tengah berkumpul di Masjid menunggu-nunggu lailatul qadar, karena memang Rasulullah tidak pernah menerangkan apa lailatul qadar dan kapan terjadinya, maka beliau hanya mengatakan “Apa yang kamu tunggu-tunggu insya Allah malam ini akan datang. Karena aku telah melihat dalam visi (ru’yah) bahwa akan hujan lebat kemudian aku belepotan lumpur dan basah kuyup oleh air.” Kemudian umat yang berkumpul itu pun membubarkan diri. Pada malam itu memang hujan terjadi lebat. Karena bangunan masjid Madinah pada zaman Nabi sangat sederhana, atapnya terbuat dari daun kurma, maka dengan sendirinya air hujan pun masuk ke lantai masjid yang terbuat dari tanah. Umat yang ada pada saat kejadian tersebut melihat apa yang dikatakan Nabi. Karena beliau sembahyang dalam keadaan basah kuyub. 132 133
Ibid, hlm. 195 Ibid, hlm. 210
60
Sementara muka dan sekujur badannya berlumur tanah liat. Lalu apa yang dimaksud dengan lailatul qadar itu oleh Nabi? karena Nabi mengatakan “Itulah yang kau tunggu-tunggu.” Sekali lagi, karena memang persoalan ini adalah persoalan ruhani, maka tidak ada kata-kata yang cukup untuk bisa menjelaskannya. Hal itu adalah simbol atau perlambang. Kemudian di sinilah terkandung masalah tafsir atau takwil (semiotika). Bahwa belepotannya Nabi dengan lumpur dan basahnya Nabi dengan air sebenarnya adalah suatu peringatan kepada kita bahwa jenjang paling tinggi dari pengalaman ruhani itu ialah kalau kita sudah kembali ke asal kita. Dari mana kita berasal? dari tanah dan dari air. Maka dengan belepotannya Nabi oleh Lumpur dan basah kuyupnya oleh air itu, sebenarnya merupakan simbolisme bahwa kita harus kembali menyadari diri siapa kita.134 28. Fitrah Manusia menurut agama kita diciptakan Allah dalam keadaan fitrah, dalam sebuah hadits disebutkan “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Adanya fitrah adalah sebagai kelanjutan dari dari perjanjian kita dengan Allah SWT ketika kita masih berada di alam ruhani. Kalau diri sendiri itu sudah suci atau berusaha menjadi suci, maka ia harus berbuat suci kepada orang lain. Oleh karena itu takwa harus menghasilkan budi pekerti luhur yang sudah kita ketahui semuanya. Jadi, di sini kita bertemu dengan suatu hal yang sangat nyata untuk kebahagiaan kita sendiri. Kita harus hidup dalam salaam, dalam kedamaian.135 29. Asas Hidup Takwa Takwa itu adalah pola hidup atau gaya kita menempuh hidup, yang disertai dengan kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir. Dalam agama kita, asas hidup itu hanya dua. Yang satu benar dan yang lainnya salah. Adapun yang benar adalah al-taqwaa min-a ‘l-Laah-I wa ridwaanan, bertakwa kepada Allah dan usaha atau keinginan mencapai ridha-Nya. Asas kedua yang salah, yaitu semua asas hidup yang tidak bertujuan untuk menanamkan takwa kepada Allah dan keridhaan-Nya. Menempuh hidup berasaskan takwa kepada Allah dan ridha-Nya tidak lain ialah, bagaimana kita menjalani hidup ini dengan terus menerus waspada, semua tingkah laku kita dalam konteks pengawasan Tuhan. 30. Orientasi Prestasi, bukan Prestise Di dalam Islam memperingati tahun baru adalah kebiasaan yang baru muncul. Itu adalah hasil ijtihad Umar bin Khattab. Umarlah yang menetapkan tahun Hijriyah, ketika dia mendapatkan banyak laporan dari
134 135
Ibid, hlm. 212-213 Ibid, hlm. 225
61
daerah-daerah yang tidak disertai dengan meniti mangsa datang atau tarikh yang jelas sehingga membingungkan. Umar lalu mengumpulkan para sahabatnya. Apakah perlu mempunyai kalender yang bisa meniti masa, yang bisa menetapkan datangnya peristiwa-peristiwa secara lebih tepat. Banyak usulan, misalnya supaya kalender itu dimulai dengan kelahiran Nabi. Tapi, Nabi Muhammad waktu lahir belum menjadi Nabi. Apakah dimulai dari kematian beliau? juga tidak. Maka dipilihlah masa hijrah, perpindahan dari Makkah ke Yatsrib, yang kemudian diubah menjadi Madinah dan merupakan lambang dari prestasi dari achievement, dari hasil kerja. Kenapa begitu? karena dalam agama kita, yang penting adalah kerja. Mengapa kalender Islam tidak dimulai dari kelahiran Muhammad? karena Muhammad waktu lahir tidak punya prestasi apa-apa. Mengapa tidak dimulai dari kematian? karena kematian tidak sewajarnya diperingati sebagai suatu hal yang abadi. Oleh karena itu kematian adalah akhir dari suatu kerja. Maka diambillah sesuatu peristiwa yang paling penting dalam riwayat Muhammad, yang merupakan permulaan dari kerja, suatu aktivitas, suatu yang membuat beliau ketika wafat menjadi manusia yang paling sukses sepanjang sejarah dunia.136 31. Syahadat Kita sudah biasa mengucapkan lafal syahadat, tetapi mungkin sebagian dari kita lupa makna yang sangat mendalam ini. Bahwa untuk menjadi orang yang benar bukanlah dimulai dengan “Aku percaya kepada Allah”, tetapi dimulai dengan “Aku tidak percaya kepada semua kepercayaan-kepercayaan itu.” Dengan perkataan lain dimulai dengan pembebasan diri dari berbagai kepercayaan yang tidak benar, kemudian kita juruskan diri kita pada kepercayaan yang benar. Mengapa ini terjadi? karena sebetulnya manusia itu problemnya bukan tidak percaya kepada Tuhan. Percaya kepada Tuhan itu paling alamiah, paling natural. Oleh karena itu praktis tidak ada manusia yang tidak percaya kepada Tuhan. Tapi persoalannya ialah kepercayaan kepada Tuhan itu benar atau tidak. Baik caranya percaya maupun pemahamannya mengenai Tuhan. Padahal setiap kepercayaan itu membelenggu. Setiap kepercayaan itu mengikat kita dan kita semua menjadi hamba dari apa yang kita percaya. Misalnya kalau kita percaya bahwa batu akik yang kita pakai pada jari kita adalah yang membawa rezeki kepada kita, maka secara apriori kita kalah oleh batu itu. Kita terikat oleh batu itu. Dengan begitu kita terhalang menuju kesempurnaan diri kita sendiri sebagai makhluk Allah yang tertinggi.137 32. Takwa dan Ikhlas 136 137
Ibid, hlm. 239-240 Ibid, hlm. 249-250
62
Dari banyak pengertian mengenai takwa yang sering kita dengar ialah bahwa kita harus menyadari bahwa dalam hidup ini Allah selalu hadir, Allah selalu beserta kita. Oleh karena itu, dalam aqidah agama kita dikatakan bahwa Tuhan tidak mengenal tempat dan waktu, tidak terbatasi oleh oleh tempat dan waktu. Implikasi takwa adalah kesadaran bahwa Allah selalu beserta kita, membuat kita menjadi manusia yang berani. Ada istilah yang baik sekali yaitu menjadi manusia yang berkarakter. Tapi lebih dari itu kalau kita bertakwa, yaitu menyadari adanya Allah SWT selalu hadir dalam diri kita, bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri, kemudian kita menempuh hidup dengan mempertimbangkan kehadiran Allah itu maka dengan sendirinya kita akan dibimbing kearah budi pekerti luhur (al-akhlaaq-u ‘lkariimah). Dalam melakukan shalat ketika kita membaca kalimat iyy-aaka na’bud-u seolah-olah kita mengatakan “Aku masih mampu berbuat yang baik ya Tuhan”. Itu suatu keikhlasan yang tinggi. Tetapi ada keikhlasan yang lebih tinggi lagi yaitu ungkapan, “hanya kepada Engkau ya Tuhan aku memohon pertolongan. Aku tidak mampu ya Tuhan berbuat baik, kecuali kalau Engkau menolong.” Termasuk daya untuk mengulurkan tangan memberikan bantuan kepada orang miskin. Kita tidak berdaya, yang menggerakkan ialah Allah SWT, maka dengan iyy-aaka nasta’in, kita tidak sempat membuat diri kita telah berbuat baik. Semuanya hanya Allah SWT yang menggerakkan. Itu adalah keikhlasan yang lebih tinggi. Hanya dengan begitu kita akan mencapai pengalaman yang sangat tinggi dalam hidup, yaitu pengalaman ruhani.138 Demikianlah gambaran umum mengenai buku Pesan-pesan Takwa dan materi khutbah yang terdapat di dalamnya. Penulis sengaja tidak menampilkan seluruh materi khutbah dalam setiap tema, hanya mengutip yang dianggap menjadi inti dari tema yang dibahas. 3.5.2 Kritik Ekstern Buku Pesan-Pesan Takwa Buku pesan pesn takwa kumpulan khutbah jumat Nurcholish Madjid terdiri dari 265 halaman. Buku ini hanya menampilkan khutbah jumat dengan urutan waktu penyampaian khutbah tersebut. Tidak dituliskan mengenai tanggal, bulan ataupun tahun khutbah itu di sampaikan. Akibatnya, pembaca
138
Ibid, hlm. 257
63
kesulitan untuk mengetahui situasi dan kondisi sosial yang melatarbelakangi isi khutbah yang disampaikan.
3.5.3 Kritik Intern Buku Pesan-Pesan Takwa Kritik intern ini berkaitan dengan materi yang disampaikan dalam buku Pesan-pesan Takwa. Setiap tema yang disampaikan oleh Cak Nur selalu memiliki nuansa yang baru, tetapi kesan monoton tetap terasa karena terlalu banyaknya Cak Nur menyinggung materi-materi khutbah terdahulu dalam khutbah yang ia sampaikan. Ini terjadi karena ide yang disampaikan pada prinsipnya adalah ide utuh yang antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan.