BAHASA DAN KATEGORI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI, SASAK, DAN

Download 5 Sep 2015 ... Sasak, dan Sumbawa dikelompokkan lagi menjadi sub-kelompok dari Melayu- Polinesia. Barat (Dyen 1982, Mbete 1990). Sebagai ang...

0 downloads 484 Views 1MB Size
Bidang Unggulan: Pariwisata, Ekonomi dan Sosial Kode/Nama Rumpun Ilmu: 520 /Ilmu Bahasa

LAPORAN AKHIR HIBAH GRUP RISET UDAYANA

Bahasa dan Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat

Grup Riset PRAGMATIK TIM PENELITI Ketua

:

Anggota

:

Drs. I Ketut Tika, M.A

NIDN 0031125325

1. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D.

0024125407

2. Dr. Ni Luh Nyoman Seri Malini, S.S., M.Hum

0029056907

3

9900980508

I Made Sena Darmasetiyawan, S.S, M.Hum

GRUP RISET PRAGMATIK PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA NOVEMBER 2015 1

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………………

1

DAFTAR ISI ...................................................................................................................

2

RINGKASAN ..................................................................................................................

3

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................................

4

BAB II . TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................

7

BAB III. METODE PENELITIAN ..................................................................................

9

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................

13

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN...............................................................................

36

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................

37

LAMPIRAN......................................................................................................................

40

2

RINGKASAN Umumnya, bahasa-bahasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan tradisional dan adat, agama, seni, di sekolah, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Namun, kompleksitas kategori sosial masyarakatnya, yang meliputi stratifikasi sosial, usia, jenis kelamin, dan seterusnya, terhubung dengan variasi dalam kode linguistik. Variasi ini kemudian menghasilkan kategori-kategori tingkat tutur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur dampak dari kategori-kategori sosial (khususnya, status atau kedudukan sosial, jenis kelamin, dan usia) yang ada pada masyarakat Bali, Sasak dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa. Penelitian ini mengunakan metode kualitatif sebagai metode utamanya. Data primer dari penelitian ini berupa data tertulis dan lisan. Data sekunder akan digunakan untuk mendukung teori dasar. Metode penelitian dalam kajian ini mencakup metode pengumpulan data dan pengolahan data. Output dari penelitian ini nantinya berupa publikasi artikel dalam jurnal internasional dan jurnal nasional terakreditasi.

3

BAB I PENDAHULUAN

Bahasa-bahasa

lokal

merupakan

bahasa-bahasa

yang

dituturkan

oleh

suku/kelompok-kelompok tutur di daerah-daerah berbeda di Indonesia. Menurut Blust (1981), bahasa-bahasa lokal di Indonesia tersebut termasuk ke dalam rumpun MelayuPolinesia yang terdiri atas Melayu-Polinesia Barat, Melayu-Polinesia Tengah, dan Melayu Polinesia Timur. Bahasa-bahasa seperti Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, dan Sumbawa termasuk ke dalam Melayu-Polinesia bagian Barat. Kemudian selanjutnya, bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa dikelompokkan lagi menjadi sub-kelompok dari Melayu-Polinesia Barat (Dyen 1982, Mbete 1990). Sebagai anggota dari satu sub-kelompok, maka bahasa-bahasa ini dikatakan memiliki kemiripan-kemiripan baik itu yang dilihat secara fonologis, morfologis, leksikon, atau bahkan sintaktisnya. Sehingg kemudian, pertanyaan yang muncul adalah apakah bahasa-bahasa tersebut juga memiliki aspek-aspek sosiolinguistik yang sama atau tidak mengingat bahasa-bahasa tersebut telah lama digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dalam beragam kegiatan dan situasi tutur dalam komunitas tuturnya masing-masing. Melalui penelitian ini, bahasa-bahasa akan dikaji secara menyeluruh, khususnya yang berkaitan dengan hubungan bahasa-bahasa tersebut dengan kategori-kategori sosialnya. Umumnya, bahasa-bahasa digunakan dalam kegiatan-kegiatan tradisional dan adat, agama, seni, di sekolah, di kantor, di rumah, dan sebagainya. Namun, kompleksitas kategori sosial masyarakatnya, yang meliputi stratifikasi sosial, usia, jenis kelamin, dan seterusnya, terhubung dengan variasi dalam kode linguistik. Variasi ini lah yang kemudian menghasilkan kategori-kategori tingkat tutur di masyarakatnya. Hal tersebut pada kenyataannya jika dilihat berdasarkan kacamata sosiolinguistik, merupakan karakteristik dari sebagian besar bahasa-bahasa dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat seperti bahasa Sunda, Jawa, Madura, dan Bali (Hardjadibatra 1985, Poedjasoedama 1979, Kersten 1970, Ward 1973, Bagus 1979, Narayana 1983, Zurbuchen 1987, Hunter 1988, dan Clynes 1989, Suastra 2002). Penelitian seperti ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan teori tingkat tutur pada umumnya, dan perkembangan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa-bahasa yang sama dengan rumpun Melayu-Polinesia Barat lainnya pada khususnya. Hasil dari penelitian ini akan membuktikan bahwa semua 4

bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Melayu-Polinesia Barat membawa kategorikategori tingkat tutur yang didasari atas aspek-aspek sosial yang berbeda. Penelitian lanjutan dapat dikembangkan dengan mengambil data dari bahasa-bahasa yang tergolong pada rumpun Melayu-Polinesia lainnya, yaitu Melayu-Polinesia Tengah dan Timur, jika penutur dari bahasa-bahasa tersebut diasumsikan memiliki kategori-kategori sosial yang berbeda. Penelitian ini sejatinya merupakan penelitian lapangan yang produktif untuk perkembangan bidang sosiolinguistik ke depannya. Hal ini dikarenakan Studi Linguistik Kebudayaan yang menjadi minat utama Program Pascasarjana Linguistik (Magister dan Doktoral), Fakultas Sastra, Universitas Udayana ini sedang dikembangkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur seberapa besar dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori sosial (khususnya status, jenis kelamin, dan umur) yang berkembang dalam masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa selaras dengan keabsahan yang berlaku dalam penggunaan bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa. Dalam kaitannya dengan permasalahan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah: -

untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat bahasa-bahasa tersebut dituturkan

-

untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori sosial yang utamanya berkaitan dengan status/kedudukan sosial, jenis kelamin, dan umur yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat tutur tersebut.

-

untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan struktur dari tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda.

Fokus penelitian ini adalah permasalahan-permasalahan yang didasari atas dua faktor, yaitu faktor-faktor kebahasaan dan non-kebahasaan. Sementara itu, pada penelitian terdahulu, kajian yang dilakukan adalah kajian yang berhubungan dengan permasalahan tentang status sosial (dari sistem kelas tradisional ke sistem kelas terbuka). Pada penelitian ini, faktor-faktor non kebahasaan seperti jenis kelamin, umur, dan tingkat keformalitasan juga digunakan sebagai bahan pertimbangan. Selanjutnya, untuk faktorfaktor kebahasaannya meliputi fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan klausa yang berhubungan dengan tingkat tutur. Sistem di atas dapat dilihat pada gambar 1. di bawah ini.

5

Faktor-Faktor Kebahasaan

Faktor-Faktor NonKebahasaan

Status Sosial

Fonologi Morfologi Leksikon Sintaksis Klausa

Jenis Kelamin Umur

Bentuk-Bentuk dan Fungsi-Fungsi Tingkat Tutur

Tingkat Honorifik: Honorifik Penutur (Addressor) Honorifik Petutur (Addressee) Honorifik Referen (referent)

Tingkat Kekasaran

Gambar 1. Hubungan antara faktor kebahasaan dan non-kebahasaan dalam kajian ini

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Istilah Tingkat Tutur pertama kali digunakan oleh Geertz (1960) untuk mengelompokkan etika tutur masyarakat Jawa. Kemudian penggunaan istilah itu diikuti oleh Martin (1964) dalam tulisannya tentang Tingkat Tutur pada Masyarakat Jepang dan Korea. Martin membedakan dua tipe bentuk-bentuk honorifik dalam bahasa-bahasa tersebut, yaitu “honorifik (penghormatan) petutur (penerima/ lawan bicara/ addressee) dan honorifik referen”. Pembedaan tersebut kemudian diadaptasi oleh linguis lainnya, seperti Poedjasoedarma (1979) yang mengangkat tentang masyarakat Jawa, Suharno (1980) yang juga mengangkat hal yang sama, dan Wang (1990) pada masyarakat Korea. Sehubungan dengan bentuk dan fungsi sosial dari tingkat tutur, Kersten (1970), Bagus (1981), Ward (1973) Zurbuchen (1987), Hunter (1988), Clynes (1989), dan Suastra (2001) juga telah melakukan penelitian yang senada, tetapi dengan menggunakan terminologi, sistem, dan model yang berbeda. Pada penelitian ini kajian tentang pengkategorisasian dari bentuk-bentuk honorifik yang meliputi “honorifik penutur (Sor/humble), petutur (Singgih/refine), referen (Sor dan Singgih/humble and refine), dan bentuk-bentuk kasar” dari tingkat tutur akan diterapkan. Bentuk-bentuk ini akan ditelaah berdasarkan dua aspek, yaitu:dari hubungan sintagmatik dan paradigmatiknya (mengikuti kerangka kerja Errington yang menganalisis tentang tingkat-tingkat tutur bahasa Jawa (1985: 5).

Aspek paradigmatik nantinya akan

menjelaskan kata-kata alternatif yang meliputi kategorisasi dari unsur-unsur leksikalnya. Sementara itu, hubungan sintagmatiknya akan menjelaskan kombinasi-kombinasi kata yang digunakan untuk menyusun kalimat-kalimat pada masing-masing tingkat tutur. Ditambah lagi, perbedaan-perbedaan yang ditemukan dalam bentuk-bentuk fonologis dan morfologis juga akan dianalisis. Gagasan Hymes (1974) dalam karyanya tentang etnografi komunikasi yang menjabarkan tentang “SPEAKING” (Setting/Tempat Tutur dan Scenes/Suasana Tutur, Participants/Partisipan, End/Tujuan Tutur, Act sequence/Topik Pembicaraan, Key/Nada Bicara, Instrumentalities/Sarana Tutur, Norms/Norma Tutur, dan Genre/Jenre) diadopsi untuk mengevaluasi fungsi-fungsi dari tingkat-tingkat tutur. Setting dan Scene berhubungan dengan komponen-komponen dari situasi dan tindak tutur. Setting mengacu pada tempat dan waktu dari sebuah tindak tutur, dan scene merupakan definisi kultural dari sebuah situasi tutur. Partisipan mengacu pada petutur atau pendengar, serta penutur 7

atau pembicara sebagai subjek dari komponen-komponen tutur. End/tujuan tutur merupakan dua aspek tujuan, yaitu tujuan peristiwa tutur dalam bentuk sasaran-sasaran yang ingin dicapai (goal), dan tujuan yang berupa hasil yang diharapkan (outcomes). Act sequence/topik pembicaraan mengacu pada bentuk pesan dan isi pesan. Keys/nada tutur mengacu pada ton (nada), cara, dan penjiwaan pada saat peristiwa tutur itu terjadi. Instrumentalities/ sarana tutur mengacu pada saluran dan bentuk tutur. Norms/normanorma tutur terdiri atas norma-norma interaksi yang berhubungan dengan perilaku dan sifat yang khusus yang melekat pada tuturan; dan norma interpretasi melibatkan sistem kepercayaan dalam sebuah komunitas tutur. Pada akhirnya, genre/jenre menyiratkan kemungkinan mengidentifikasi karakteristik formal dari sebuah peristiwa tutur. PETA JALAN PENELITIAN

Kajian Sekarang

Publikasi dalam: 1. Artikel dalam Jurnal Internasional

o u t p u t

2. Artikel dalam Jurnal Nasional Terakreditasi

1.

untuk menemukan bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi dari tingkat tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa pada komunitas tutur tempat

K a j i a n t e r d a h u l u

T u j u a n

bahasa-bahasa tersebut dituturkan 2.

untuk menelaah dampak yang ditimbulkan dari kategori-kategori sosial yang utamanya berkaitan dengan status/kedudukan sosial, jenis kelamin, dan umur yang berupa bentuk dan fungsi dari tingkat tutur tersebut.

3.

untuk membandingkan kategori-kategori sosial yang menentukan struktur dari tingkat tutur pada bahasa-bahasa yang berbeda

Geertz (1960), Martin (1964), Poedjasoedarma (1979), Wang (1990) o, , Kersten (1970), Bagus (1981), Ward (1973) Zurbuchen (1987), Hunter (1988), Clynes (1989), Suastra (2001)

8

BAB III METODE PENELITIAN

Kajan penelitian ini menerapkan metode kualitatif. Data primer dalam penelitian ini adalah data tulis dan lisan, sedangkan data sekunder digunakan untuk mendukung teori dasarnya. Metode penelitian ini dibagi menjadi dua sub-bab, yaitu pengumpulan data, pemrosesan data, dan analisis data.

3.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam kajian ini melibatkan observasi partisipasi dan teknik elisitasi (Labov 1972b: 102-11). Observasi partisipasi diterapkan sebagai teknik dasar dimana peneliti terlibat dan menjadi bagian dari sebuah kelompok tutur. Penelitian seperti ini penting dilakukan guna untuk meminimalkan paradoks pengobservasi (Labov 1972a: 10) dan untuk memperoleh tuturan spontan dari para penutur. Prosedur teknik elisitasi bisa mengambil berbagai bentuk yang bergantung pada respon alami yang diinginkan. Dalam penelitian ini respon lisan lebih diutamakan. Akan tetapi, wawancara individu juga akan dilakukan guna mengumpulkan data tambahan. Ketika penelitian sosiolinguistik dilakukan, faktor sosiologis dianggap lebih utama dibandingkan dengan faktor geografis dan kompleksitas struktur sosial yang membuat pengetahuan individual tentang area tersebut menjadi tidak begitu berterima (Trudgil 1974:20). Lebih lanjut, kajian ini intinya untuk menjabarkan kategori status sosial, jenis kelamin, dan umur di masyarakat dimana bahasa tersebut dituturkan. Guna mengukur kelas sosial secara objektif, digunakan tiga unsur indeks dari Labov (1972c:115), yaitu: pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan. Trudgill (1974: 60) membagi enam unsur indeks: pekerjaan, penghasilan, pendidikan, perumahan, lokalitas, dan pekerjaan ayah. Chaika (1989-236) mengemukakan indeks karakteristik status sosial (ISC) yang terdiri dari pekerjaan, pendidikan, penghasilan, dan tempat tinggal digunakan untuk mengukur subjek status sosial. Sampai sejauh ini, status sosial dapat diukur oleh empat unsur indeks, yaitu pekerjaan, pendidikan, penghasilan, dan hubungan sosial. Indeksnya diadaptasikan pada situasi yang berkembang di masyarakat baru-baru ini. Analisis kajian ini berupa analisis kategori sosial. Faktor sosio-ekonomi kemungkin juga penting dalam variasi bahasa yang relevan dengan penggunaan

9

bahasa secara potensial. Selanjutnya indikator primer informan dalam kajian ini sebagai berikut: A. Umur antara 15-60 tahun dan berbicara dengan normal B. Laki-laki atau perempuan C. Indeks status sosial; 1. Grup etnik asli berasal dari tempat bahasa dituturkan 2. Memiliki pekerjaan tetap di pemerintahan atau sektor swasta di daerah sekitar. 3. Anggota dari organisasi lokal tertentu. 4. Menduduki posisi tertentu dalam pekerjaan; misalnya berkedudukan tinggi, kedudukan menengah, atau kedudukan rendah dalam sebuah pekerjaan. 5. Berinteraksi aktif dengan pasangan atau pasangan masa depan, orang tua, kakak laki-laki atau perempuan dan kerabat. 6. Aktif secara sosial di masyarakat. Dengan metode tersebut peneliti menentukan variabel dalam populasi yang dikaji untuk memastikan individu yang dikumpulkan mewakili semua profesi, jenis kelamin, dan umur. Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah bahasa-bahasa tersebut dituturkan, dengan mengaplikasikan tiga variabel sosial yang ditentukan: umur, jenis kelamin, dan status sosial. Dari ketiga variabel sosial tersebut akan ada beberapa kelompok individu yang terdiri atas jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), posisi pekerjaan berbeda (termasuk manajer, kepala kantor, direktur atau pegawai; pegawai biasa seperti staf, dan pekerja terampil; dan pekerja kantor tingkat rendah atau pekerja tidak terampil/buruh meliputi pesuruh, supir, penjaga malam, petani, nelayan dan lainlain), dan rentang umur antara 15 sampai 60 tahun. Pemilihan wilayah dimulai dari menghubungkan semua aktivitas sosial dengan grup etnis yang akan diidentifikasi. Dari grup etnis tersebut paling tidak dipilih sepuluh tempat dalam setiap komunitas tutur. yang diseleksi secara acak, sejauh tempat tersebut relevan dengan aktivitas sosial yang dimaksud. Data dan informasi untuk aktivitas sosial berbeda diperoleh dari organisasi lokal. Setiap tempat yang diseleksi akan dikunjungi untuk pertama kali untuk mendapat informasi tentang anggota komunitas. Berdasarkan informasi tersebut, setidaknya informan (seorang laki-laki dan seorang perempuan) akan diseleksi dari setiap tempat. Dari informan 10

tersebut akan ada kira-kira 40 informan sebagai informan utama (informan kunci) secara keseluruhan. Selanjutnya, setiap informan akan digunakan sebagai terusan untuk menghubungkan individual lain di wilayah tersebut sebagai teman. Informasiinformasi terseleksi tersebut kemudian diobservasi berdasarkan beragam ranah seperti keluarga, tetangga, pasar, dan seterusnya. Sebelum kerja lapangan dilaksanakan, asisten peneliti akan dilatih. Mereka merupakan

mahasisswa

yang

peminatannya

dalam

pengerjaan

penelitian

sosiolinguistik. Surat izin untuk masuk ke komunitas dari pemerintah lokal disiapkan sebagai langkah primer. Dengan menggunakan surat ini peneliti akan masuk komunitas dengan mudah. Informan terpilih di tempat kerja akan didekati, dan setiap dari mereka akan diberitahu tujuan dari wawancara yang dlakukan. Ketika itu disetujui, informan di bawah investigasi akan diminta untuk memperkenalkan peneliti pada teman laki-laki atau perempuannya di tempat kerja atau di kehidupan sosial lainnya. Mereka akan diminta untuk berpartisipasi dalam observasi. Sekali informan ditentukan, mereka akan diminta untuk mengisi kuesioner memfokuskan latar belakang pribadi mereka, aktivitas-aktivitas sosial, dan kecenderungan berbahasa. Kuesioner menanyai informan untuk mengindikasikan bahasa apa dan bagaimana mereka berbicara pada orang-orang dekat, yang mereka hargai, dan yang mereka marahi. Ini memungkinkan kita memperoleh dampak komposisi linguistik informan dan untuk memungkinkan pemerolehan informasi informan yang informan dengan latar belakang sosial beragam akan paling bisa menggunakan bahasa secara tepat. Setelah subjek-subjek yang dibutuhkan dipilih, peneliti menyediakan kuesioner yang akan mengambil waktu kirakira satu bulan untuk dikumpulkan. Peneliti menjadwalkan para informan untuk wawancara berdasarkan pilihan mereka (instrumen penelitian akan dirancang di kemudian hari). Semua wawancara berupa wawancara grup. Percakapan grup, yang terdiri dari minimal dua dan maksimum lima informan akan dilakukan antara di tempat kerja mereka atau di tempat lain. Semua grup percakapan akan direkam dan divideokan menggunakan media elektronik radio kaset perekam stereo Sony dan perekam video-cam Sony. Fungsi peneliti di sini sebagian besar menjadi inisiator dan monitor. Para informan sendiri melanjutkan percakapan dan peneliti aktif mencatat, merekam, dan terlibat dalam percakapan seperlunya. Secara khusus, para informan dapat mengerti bahwa peneliti khususnya tidak menginginkan mereka berbicara dalam “bahasa tepat atau standar”. Demi 11

meminimalkan efek paradoks pengobservasi (Labov, 1972), informan didorong untuk berbicara satu sama lain daripada pada peneliti, dan untuk berbicara senaturalnya. Observasi dilaksanakan di ranah berbeda. Janji dengan informan dibuat untuk mengamati pembawaan mereka pada percakapan dalam ranah tertentu. Oleh karena wilayah penelitiannya di komunitas berbeda (Sasak dan Sumbawa), kategori sosial tiap komunitas juga berbeda. Oleh sebab itu, metode akan dimodifikasi menurut kepentingan sesuai dengan situasi dalam komunitas tutur masing-masing

3.2 Pemrosesan data Keseluruhan sumber data dalam kajian ini adalah bahasa lisan. Bahan yang telah terekam akan diseleksi untuk membentuk data korpus. Setiap rekaman memiliki durasi kira-kira 35 sampai 50 menit. 10 menit pertama dalam percakapan tidak akan ditinjau karena diyakini tuturan spontan dengan kehadiran mikrofon tidak memungkinkan di percakapan awal. Kemudian, sisa rekaman tersebut ditanskrrip. Konvensi transkripsi diadaptasi dari Edward (1993:43). Kalimat atau klausa dari pembicara individual berbeda diklasifikasikan dan dihitung berdasarkan tingkatantingkatan tutur. Untuk mempermudah pengkategorian faktor linguistik pada data, program khusus untuk analisis teks akan digunakan dan sistem pengkodean akan diterapkan. Sistem pengkodean meliputi prosedur pemilahan dalam kata atau program pemrosesan klausa dan program persetujuan untuk menghitung dan menandai data linguistik dalam level tertentu dan untuk mengelompokkan bersama semua aspek linguistik berbeda dari tiper tertentu untuk klasifikasi dsn analisis lebih jauh.

3.3. Analisis Data Pada dasarnya, korpus data dianalisis di level individual lalu data dikelompokkan berdasarkan karakteristik penutur seperti jenis kelamin, umur, dan status sosial. Grup ditentukan pada dasar analisis level individual. Unit data dalam level grup menunjukkan perbedaan perilaku verbal diukur oleh tingkat tutur. Unsur-unsur linguistik akan dianalisis dengan ketentuan level paradigmatik dan sintagmatik. Kemudian hubungan antara tiap level akan dikorelasikan ke status, jenis kelamin, dan umur.

12

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Bentuk, Fungsi, dan Tingkat Tutur 4.1.1 Bahasa Bali Bahasa Bali merefleksikan suatu tenunan budaya yang kompleks akibat akulturasi budaya yang pernah mewarnai Bali dalam lintasan sejarah. Kompleksitas itu salah satunya dapat dilihat dari tingkat-tingkatan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bali dalam suatu tuturan. Tingkat-tingkatan bahasa (speech level) dalam bahasa Bali dipadankan dengan beberapa istilah oleh para peneliti. Istilah-istilah tersebut di antaranya warna-warna bahasa (Kersten, 1970), mabasa, masor-singgih basa (Bagus, 1977; Tinggen, 1986; Suarjana, 2010), unda usuk (Bagus, 1979), rasa basa bahasa Bali (Suasta, 2003) dan anggah-ungguhing basa Bali (Naryana, 1983: 30). Istilah warna-warna bahasa digunakan oleh Kersten (1970:3) untuk menyatakan perilaku berbahasa masyarakat Bali pada saat berbicara kepada seseorang maupun membicarakan seseorang dengan ragam bahasa yang diklasifikasikannya menjadi basa kasar, basa alus, basa singgih, dan basa ipun. Pemakaian ragam bahasa ini ditentukan oleh stratifikasi sosial masyarakat Bali yang disebutnya sebagai masyarakat golongan atas dan golongan bawah (Kersten, 1970: 4). Sementara itu, Bagus (1977) menggunakan istilah mabasa maupun masorsinggih basa untuk menyatakan norma sopan santun berbahasa (speech level) dalam masyarakat Bali. Istilah mabasa secara lebih spesifik diartikan cara berbahasa sesuai dengan sistem budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Bali (1977: 91). Norma sopan santun ini secara garis besarnya dapat dikatakan bahwa ada sopan santun berbahasa yang mengatur tingkat-tingkat bicara sesuai dengan wangsa-nya, yaitu dalam hal ini orang yang berwangsa tri wangsa akan memperoleh bentuk hormat (halus), sedangkan sebaliknya seorang yang berasal dari golongan jaba akan mendapatkan bentuk lepas hormat (kasar). Sehubungan dengan pemakaian bentuk lepas hormat ini, bukanlah bermaksud menggunakan bahasa yang kasar atau kurang sopan, melainkan suatu cara orang berbahasa yang wajar, asal pemakaiannya disesuaikan dengan status orang bersangkutan (Kersten, 1970: 91). Istilah rasa basa basa Bali digunakan oleh Suasta (2006) untuk menyatakan pentingnya penguasaan kaidah anggah-ungguhing basa Bali dalam menggunakan 13

bahasa Bali. Penggunaan istilah ini didasarkan atas kenyataan bahwa dalam berbicara menggunakan anggah-ungguhing basa Bali secara tepat, seseorang dapat memilih kosakata bahasa Bali yang telah mengandung nilai rasa sosial (2003: 11). Suasta (2003) lebih lanjut mengatakan bahwa stratifikasi sosial merupakan dasar penggunaan sistem berbahasa ini. Pada masa lalu, stratifikasi masyarakat suku Bali ditandai dengan adanya tingkat-tingkatan sosial berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, dan keahlian. Pelapisan masyarakat suku Bali yang telah mengendap dalam adat adalah pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, sedangkan pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keahlian belum mengendap. Berdasarkan keturunan, menyebabkan terjadinya golongan masyarakat bangsawan, dan golongan masyarakat kebanyakan. Berdasarkan senioritas menyebabkan terjadinya golongan masyarakat suku Bali yang tua-tua berkuasa dalam ranah adat, dan golongan masyarakat suku Bali yang muda dalam pengalaman. Berdasarkan kekuasaan, menyebabkan munculnya golongan penguasa dan golongan masyarakat. Pembedaan berdasarkan keahlian menyebabkan adanya golongan masyarakat suku Bali yang memiliki keahlian tertentu dan tidak memiliki keahlian tertentu. Pada masyarakat Bali Aga, lebih dominan struktur sosialnya dipengaruhi oleh senioritas. Sementara itu, masyarakat Bali dataran lebih dipengaruhi oleh unsur pembeda yang berdasarkan keturunan. Pelapisan masyarakat suku Bali Aga tidak begitu mempengaruhi bahasa yang digunakan sebagai alat berkomunikasi. Berbeda dengan masyarakat Bali dataran yang pelapisan sosial masyarakatnya dipengaruhi oleh keturunan yang sangat dominan mempengaruhi pemakaian bahasanya, sampai menyebabkan terjadinya anggah-ungguhing basa Bali (Suasta, 2006 : 10). Stratifikasi masyarakat suku Bali modern pada dasarnya juga berasal dari suku Bali Tradisional yang menganut sistem budaya Hindhu dalam bentuk kerajaan yang mengalami perubahan penghargaan, karena perkembangan zaman. Namun demikian, pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan atas keturunan atau wangsa masih tetap ada, yang mengendap dalam adat masyarakat suku Bali. Kemajuan zaman mengakibatkan adanya perubahan yang mempengaruhi keadaan stratifikasi masyarakat suku Bali yang berdasarkan pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat. Hal inilah yang menjadi faktor penyebab munculnya sistem kesantunan berbahasa yang disebutnya rasa basa basa Bali. 14

Perbedaan istilah yang digunakan untuk menyebutkan realitas penggunaan bahasa Bali dalam kehidupan masyarakat Bali itu sempat dibicarakan dalam Pesamuhan Agung Bahasa di Singaraja tahun 1974. Pesamuhan Agung yang agenda utamanya membahas tentang pembakuan bahasa Bali saat itu menyepakati istilah anggah-ungguhing basa Bali sebagai istilah baku untuk menyebutkan tingkattingkatan bahasa Bali. Secara leksikal, anggah-ungguh artinya tata cara. Sementara itu, anggah-ungguhing basa Bali adalah tata cara berbahasa masyarakat Bali yang diikat oleh oleh adanya tingkat-tingkatan bahasa. Penggunaan tingkat-tingkatan bahasa dalam kehidupan masyarakat Bali seperti yang telah disinggung di atas disebabkan oleh adanya stratifikasi sosial masyarakat Bali sebagai penutur bahasa Bali. Stratifikasi sosial ini pada umumnya dibedakan menjadi dua yaitu secara tradisional dan modern. Secara tradisional, yang dimasukkan sebagai golongan atas adalah orang-orang yang berstatus tri wangsa (Brahmana, Wesia, dan Sudra). Sementara itu, yang dimasukkan dalam golongan bawah adalah wangsa jaba. Apabila ditinjau secara modern, pembagian stratifikasi masyarakat Bali yang dapat digolongkan dalam golongan atas adalah wangsa tri wangsa dan jaba. Sedangkan golongan bawah juga terdiri atas tri wangsa dan jaba. Maksudnya, secara modern kedua golongan masyarakat baik tri wangsa maupun jaba memiliki peluang yang sama untuk menempati golongan atas maupun golongan bawah. Dengan demikian, status sosial seseorang diklasifikasikan secara prgamatis (tidak semata-mata karena kelahiran atau keturunan, tetapi juga karena jabatan atau kedudukan, finansial dan yang lainnya) (Suarjana, 2011: 86). Untuk lebih jelasnya hal tersebut dapat digambakan dalam skema berikut ini: 1. Secara Tradisional :

A Golongan atas (Tri Wangsa) B Golongan bawah (Wangsa Jaba)

2. Secara Modern :

A Golongan Atas (Tri Wangsa + Jaba) B Golongan Bawah (Tri Wangsa + Jaba)

Penggunaan bahasa Bali yang mengenai sor-singgih-nya ini, agar sesuai dengan kosep tuturannya dapat ditempuh dengan jalan bertanya terlebih dahulu kepada lawan bicara untuk mengetahui status sosialnya, apakah sebagai lawan bicara yang patut di singgih-kan atau tidak. Caranya adalah dengan menggunakan kalimat tanya seperti ini: “Nawegang titiang nunasang antuk linggih?” yang secara bebas artinya “Maaf saya ingin mengenal identitas Anda”, atau dengan menanyakan 15

langsung indik pagenahan “tentang rumah atau tempat tinggal (masudnya di griya, di puri, di jero)” dan swakaryannyane (pekerjaannya). Di samping dengan menanyakan identitas di atas, konsep yang secara konvensional tidak dapat dilanggar dalam tuturan bahasa Bali adalah penggunaan bahasa alus sor apabila seseorang menjadi penutur pertama dalam suatu dialog. Hal ini berlaku untuk semua golongan baik tri wangsa maupun jaba. Dengan demikian, tidak terjadi fenomena penggunaan bahasa untuk menghaluskan diri sendiri atau ngalusang raga (Suarjana, 2011: 87). Penggunaan bahasa Bali dalam suatu tuturan dapat diformulasikan secara garis besar menjadi empat yaitu. 1. Jika pembicara atau orang pertama (O1), yang diajak bicara (O2), dan yang dibicarakan (O3) semuanya termasuk dalam golongan bawah. Maka, bahasa yang digunakan oleh O1 kepada O2 tentang O3 adalah basa Bali Andap. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :

A B O1

O2 O3

Keterangan Gambar. A

: Golongan Atas

B

: Golongan Bawah

O1

: Orang Pertama

O2

: Orang Kedua

O3

: Orang yang Dibicarakan Komunikasi antargolongan bawah yang juga membicarakan seseorang

dari golongan bawah itu dapat ditemukan dalam beberapa contoh kalimat berikut. 1. Bapan icange liu ngelah pangina, jani suba mataluh ‘Ayah saya banyak mempunyai ayam betina, sekarang sudah bertelur’ 2. Yan saja iluh demen teken beli, beli suba ngorahang teken reraman beline jumah. ‘Jika engkau memang benar-benar mencintaiku, aku sudah mengatakan kepada orang tuaku di rumah’

16

2. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara pada orang kedua (O2) dan yang dibicarakan atau orang ke (O3) dari golongan atas, maka bahasa yang digunakan oleh orang pertama kepada orang kedua itu adalah bahasa alus singgih. Sementara itu, apabila orang pertama tersebut membicaraka tentang dirinya, maka ia menggunakan bahasa alus sor. Hal itu dpat digambarkan seperti berikut.

O2 A

O3

B

O1

Keterangan Gambar. A

: Golongan Atas

B

: Golongan Bawa

O1

: Orang Pertama

O2

: Orang Kedua

O3

: Orang yang Dibicarakan

Komunikasi

antara

golongan

bawah

dengan

golongan

atas

yang

membicarakan golongan atas tersebut dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah ini. 1. Ida Ayu Priya sampun ngranjing ring kapale. ‘Ida Ayu Priya sudah naik ke atas kapal’ 2. Okan Idane taler nyarengin makta anaman. ‘Anaknya juga ikut membawa ketupat’ (3) Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah, berbicara dengan orang kedua dari golongan atas (O2), dan yang dibicarakan dari golongan bawah (O3), maka bahasa yang digunakan orang pertama saat berbicara pada orang kedua adalah bahasa alus singgih. Sedangkan yang mengenai orang pertama dengan orang ketiga menggunakan bahasa alus sor. Hal itu, dapat digambarkan seperti berikut.

17

O2

A

B

O1

O3

Keterangan Gambar. A

: Golongan Atas

B

: Golongan Bawa

O1

: Orang Pertama

O2

: Orang Kedua

O3

: Orang yang Dibicarakan Komunikasi

antara

golongan

bawah

dengan

golongan

atas,

yang

membicarakan golongan bawah itu dapat dilihat pada beberapa contoh di bawah ini. 1. Titiang pajarina tangkil olih ipun dibi sande. ‘Saya disuruh datang olehnya kemarin malam’ 2. Bantenge sampun wehin ipun neda, durusang ratu nyuryanin mangkin. ‘Sapi itu sudah diberikannya makan, silakan Anda melihatnya sekarang’ 4. Jika pembicara atau orang pertama (O1) sebagai golongan bawah berbicara pada orang kedua (O2) yang juga berasal dari golongan bawah, sedangkan yang dibicarakan adalah orang ketiga (O3) yang berasal dari golongan atas, maka bahasa yang digunakan orang pertama ketika berkomunikasi dengan orang kedua menggunakan bahasa andap. Sedangkan, bahasa yang mengenai orang ketiga menggunakan bahasa alus singgih. Sementara itu, bahasa mengenai pembicara pertama dengan kedua menggunakan bahasa alus sor. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut. O3

A

B

O1

O2

Keterangan Gambar. A

: Golongan Atas 18

B

: Golongan Bawa

O1

: Orang Pertama

O2

: Orang Kedua

O3

: Orang yang Dibicarakan Komunikasi antara golongan bawah dengan glongan bawah yang mengenai

golongan atas itu dapat dilihat dalam beberapa contoh di bawah ini. 1. Apake jani Luh suba nawang, indik Ida jagi makerabkambe?’ ‘Apakah sekarang Luh sudah tahu, tentang beliau yang aka menikah?’ 2. Sotaning dadi parekan, icang ajak cai sing dadi nulak pikayunan ida. ‘Kewajiban setiap abdi, seperti aku dan kami tidak boleh menolah keinginan beliau.

Pola komunikasi antargolongan di atas menyebabkan bagian-bagian dari bahasa yang digunakan oleh penutur dalam konteks tertentu menjadi berbeda-beda. Istilah yang digunakan para peneliti mengenai pembagian anggah-ungguhing basa Bali juga tidak sama satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu pada umumnya mempertentangkan dikotomi bahasa halus dan bahasa kasar dengan berbagai macam sebutan. Bagus (2009) membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga yaitu (1) bahasa kasar, (2) bahasa madia, (3) bahasa halus. Tinggen membagi jenis anggahungguhing basa Bali menjadi tiga (1) basa kasar, (2) basa kepara (basa biasa, basa lumbrah, basa biasa), dan (3) basa halus. Dinas Pengajaran Daerah Provinsi Bali membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi tiga yakni (1) basa kepara (basa lumbrah), (2) basa madia, dan (3) basa singgih. Kersten membagi jenis anggahungguhing basa Bali menjadi (1) basa kasar, (2) basa halus, (3) basa singgih (4) basa ipun (5) basa madia. Naryana (1983) membagi jenis anggah-ungguhing basa Bali menjadi (1) basa kasar, (2) basa andap, (3) basa madia dan (4) basa alus. Pembagian anggah-ungguhing basa Bali yang diikuti dalam tulisan ini adalah pembagian dari Naryana (1983). Pemilihan pembagian menurut Naryana didasarkan atas pertimbangan bahwa pembagian itu lebih tegas memberikan batasan terhadap bahasa andap dengan bahasa kasar. Oleh sebab itulah, uraian mengenai pembagian sistem anggah-ungguhing basa Bali dalam tulisan ini sebagian besar merujuk pada pandangannya. Adapun pembagian tersebut secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut. 4.1.1.1 Basa Kasar 19

Basa kasar adalah tingkatan bahasa Bali yang memiliki rasa bahasa paling rendah. Bahasa kasar ini dibedakan menjadi dua yakni basa kasar pisan dan basa kasar jabag, yang masing-masing akan diuraikan di bawah ini. a. Basa Kasar Pisan Basa kasar pisan adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tergolong tidak sopan, yang sering digunakan dalam situasi emosional, jengkel, marah, dengki, dan caci maki. Basa kasar ini dibentuk dari basa andap yang disertai dengan intonasi tertentu (biasanya tajam dan keras). Dalam keadaan yang emosional ragam bahasa ini dapat dikenakan pada siapa saja, termasuk tri wangsa. Adapun beberapa contoh basa kasar pisan ini dapat dilihat di bawah ini. 1. Cicing iba, ngaleklek gen mai. ‘Anjing engkau, makan saja kesini’ 2. Madak apang bangka polone, mula jelema amah temah. ‘Semoga kamu mampus, dasar manusia terkutuk’ Bahasa kasar pisan ini tidak hanya digunakan pada situasi marah, kesal, dan yang lainnya saja, tetapi digunakan juga pada saat basa basi dalam hubungan yang sangat erat. Dengan demikian, rasa bahasa yang ditimbulkan sangat disesuaikan dengan konteks situasinya. b. Basa Kasar Jabag Basa kasar jabag adalah bahasa Bali yang dalam penggunaannya tidak sesuai dengan etika dan situasi pembicaraan. Artinya, kata-kata dalam bahasa yang digunakan itu tidak mengindahkan tingkat-tingkatan yang ada dalam bahasa Bali, kadangkala melampau etika pembicaraan. Ragam bahasa ini dianggap tidak sopan dan kurang wajar, serta seringkali dinilai salah sasaran. Motivasi penggunaan bahasa ini tidak semata-mata karena penguasaan anggah-ungguh basa yang tidak baik, melainkan terkadang ingin menunjukkan keangkuhan, kelebihan, dan keakrabannya. Misalnya : 1. Dayu ngaba apa ento? baang ja ngidih abesik. ‘Dayu membawa apa itu? berikan saya satu’ 2. Gung yen payu pesu, beliang icang roko akatih. ‘Gung kalau jadi keluar, belikan aku rokok sebatang’ 4.1.1.2 Basa Andap Basa andap adalah tingkatan bahasa Bali yang digunakan dalam suasana bersahaja (dalam pergaulan yang akrab dan sopan) sehingga sering disebut basa Bali 20

Lumbrah atau Kepara. Bahasa Bali sebagai bahasa sopan digunakan dalam pergaulan yang sifatnya akrab, misalnya sesama wangsa, sama kedudukan, sama umur, sama pendidikan, sama jabatan, bahasa kekeluargaan. Bahasa ini juga seringkali digunakan sebagai bahasa nyeburin ketika wangsa dari golongan yang lebih tinggi kepada golongan yang lebih rendah. Misalnya antara raja dengan abdinya, orang tua dengan anak-anaknya, guru dengan muridnya, atasan dengan bawahan, dan yang lainnya. Adapun contoh penggunaan basa andap ini di antaranya. 1. Dija Gus uli tuni meplalianan, paling aji ngalihin. ‘Kemana Gus dari tadi bermain, bingung ayah mencari. 2. Kemu ke warung Luh, beliang bapa roko akatih. ‘Kesanalah ke warung Luh, belikan ayah sebatang rokok. 4.1.1.3 Basa Madia Basa madia adalah tingkatan bahasa Bali yang tergolong menengah, yang nilai rasa bahasanya berada di antara bahasa Bali andap dan bahasa Bali alus. Artinya konotasi bahasa madia tidak terlalu halus dan tidak terlalu kasar. Dalam praktiknya, bahasa ini tidaklah terlalu hormat, dan biasanya ditandai dengan kata-kata yang tergolong madia. Kata-kata madia akan membentuk kalimat madia. Semakin banyak unsur andapnya, maka bahasa ragam ini akan cenderung lebih rendahlah konotasinya. Demikian pula sebaliknya, apabila semakin banyak mengandung unsur bahasa alus, maka akan semakin tinggi kesantunannya. Bahasa madia biasanya digunakan apabila wangsa atau status sosial seseorang lebih tinggi berbicara pada orang yang status sosialnya lebih rendah, tetapi umurnya lebih tua atau lebih disegani karena menempati kedudukan tertentu dalam masyarakat atau instansi pemerintahan. Contoh penggunaan bahasa madia dapat dilihat di bawah ini. 1. Tiang ampun rauh, duk i ratu kantun mesiram. ‘Saya sudah datang ketika anda masih mandi.’ 2. Durusang mangkin ngajeng. ‘Silakan makan sekarang’

4.1.1.4 Basa Alus Basa alus adalah tingkatan bahasa Bali yang mempunyai nilai rasa bahasa yang tinggi atau sangat hormat. Bahasa ini biasanya digunakan dalam situasi resmi (seperti rapat, pertemuan, sarasehan, seminar, acara adat, agama, kesenian dan yang 21

lain sebagainya). Bahasa halus dapat dibagi menjadi tiga yakni bahasa alus sor, bahasa alus mider, dan bahasa alus singgih. a. Alus Sor Bahasa alus sor adalah tingkatan bahasa Bali alus atau bentuk hormat mengenai diri sendiri atau digunakan untuk merendahkan diri sendiri dan juga untuk orang lain atau objek yang dibicarakan yang status sosialnya lebih rendah. Misalnya. 1. Titiang sampung mapajar ring pianak ipune ‘Saya sudah dapat menyampaikan pada anaknya’ 2. Benjang semeng ipun jagi tangkil meriki. ‘Besok pagi dia akan kesini’ b. Alus Mider Bahasa alus mider adalah tingkatan bahasa Bali alus yang memiliki nilai rasa yang sangat hormat yang dapat digunakan untuk berkomunikasi pada golongan bawah maupun golongan atas. Bahasa ini dalam percakapan sehari-hari dapat digunakan untuk diri sendiri, lawan bicara, maupun orang ketiga. Misalnya: 1. Titiang nenten maderbe jinah, i ratu akeh madue jinah. ‘Saya tidak memiliki uang, anda banyak mempunyai uang’ 2. Ipun makta asiki, Ida makta kalih. ‘Dia membawa satu, Beliau membawa dua’ c. Alus Singgih Bahasa alus singgih adalah tingkatan bahasa dalam bahasa Bali yang memiliki nilai rasa tinggi dan hormat. Bahasa alus singgih dapat digunakan pada pembicara untuk menghormati orang yang patut dimuliakan, maupun lawan bicara, atau orang yang dibicarakan. Misalnya : 1. Dayu Biang akuda sampun madue oka? ‘Dayu Biang sudah berapa mempunyai anak? 2. I Ratu kayun ngrayunang ulam bawi ? ‘Anda ingin makan daging babi?’

4.1.1.5 Basa Mider Basa Mider adalah kata-kata dalam bahasa Bali yang tidak memiliki tingkattingkatan rasa bahasa, sehingga bahasa ini dapat digunakan oleh golongan mana saja. Misalnya : 1. Kija beli ituni, paling icang ngalih. 22

‘Kemana kakak tadi, bingung saya mencari’ 2. Da bas makelo nyongkok, semutan batise. ‘Jangan lama jongkok, nanti kesemutan kakinya’

4.1.2 Bahasa Sasak Bahasa Sasak adalah bahasa yang digunakan oleh suku Sasak yang berada di pulau Lombok, kepulauan Nusa Tenggara Barat.Secara geografis Pulau Lombok terletak diantara pulau Bali dan pulau Sumbawa. Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mahsun (2006), terdapat empat dialek dalam bahasa sasak, yaitu dialek Bayan, dialek Pujut, dialek Selaparang, dan dialek Aik Bukaq.Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Nazir Thoir, dkk (1981), mereka membagi dialek bahasaSasak menjadi lima dialek yaitu: dialek Ngeno Ngene, dialek Ngeto Ngete, dialekMeno Mene, dialek Ngeno Mene, dan dialek Mriak Mriku. Pembagian dialek yangdiusulkan oleh Nazir tersebut berdasarkan pada ciri kebahasaan (leksikon) yangdigunakan untuk merealisasikan glos begini-begitu. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya penelitian ini lebih memfokuskan pada penggunaan bahasa Sasak Halus dan bahasa Sasak kasar dalam aspek sintaksis khususnya penggunaannya dalam ruang lingkup sosiolinguistik. Terdapat beberapa ranah dalam penelitian ini, antara lain ranah keluarga, ranah pertemanan, ranah pasar, ranah keagamaan, dan ranah tetangga. Selain kelima ranah tersebut, terdapat beberapa faktor juga yang menjadi pertimbangan dalam penggunaan bahasa Sasak dalam kehidupan sosial. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor usia, jenis kelamin (gender), dan kelas sosial baik secara tradisional (bangsawan) dan modern (pekerjaan/ jabatan). Penelitian ini membahas mengenai pengaruh ranah dan faktor dalam penggunaan bahasa Sasak dalam kehidupan sosial.Penjelasan mengenai fenomena tersebut dirangkum dengan memberikan contoh-contoh kalimat baik dalam bahasa Sasak halus maupun kasar. Dengan dibatasinya masalah pada penelitian ini, hasil yang dirumuskan optimal dan maksimal sehingga dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu bahasa khususnya untuk perkembangan bahasa Sasak serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi masyarakat suku Sasak untuk lebih memahami fenomena pembentukan bahasa Sasak halus dan kasar bagi para penutur asli di setiap daerah di Pulau Lombok.Lingkup permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu mengenai bahasa Sasak halus dan kasar yang digunakan pada masyarakat keturunan 23

bangsawan maupun yang bukan bangsawan dan apayang mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak baik di kalangan bangsawan maupun non bangsawan. Dalam penelitian ini, hasil yang ditemukan akan dijelaskan dalam dua hal yaitu aspek sintaksis dalam penggunaan bahasa Sasak halus dan kasar yang digunakan pada masyarakat keturunan bangsawan dan masyarakat yang bukan bangsawan, serta apa yang menentukan pembentukan bahasa Sasak halus dan bahasa Sasak kasar bagi keturunan bangsawan dan masyarakat biasa. Masyarakat Sasak secara garis besar dibagi ke dalam dua kelompok yaitu bangsawan dan masyarakat biasa “jamaq”. Dalam penggunaan bahasa pun mereka terbagi dalam dua kelompok yaitu bahasa Sasak halus yang digunakan oleh bangsawan dan bahasa Sasak kasar digunakan oleh masyarakat biasa. Dalam bahasa Sasak yang digunakan oleh masyarakat biasa pada umumnya, penggunaan sapaan aku dan kamu dalam bahasa sasak digunakan oleh penutur bahasa Sasak biasa yang memiliki status yang sama dan umur yang tidak jauh berbeda. Aku dan kamu biasanya digunakan di antara penutur yang lebih muda. Para penutur yang memiliki usia lebih tua lebih memilih menggunakan kata “side” dalam berbicara, sementara mereka akan menggunakan kata kamu pada lawan bicara yang lebih muda. Kata “side” dianggap lebih netral untuk menyapa seseorang yang status sosialnya sudah diketahui. Lebih lanjut lagi, anggota keluarga, saudara yang lebih tua dan tetangga yang lebih tua akan menyapa seseorang yang lebih muda dengan sapaan kamu sementara lawan bicara (yang lebih muda) akan menggunakan “side”. Anak :Pak, leq embe side toloq kunci motor? (Pak, dimana anda letakkan kunci motor?) Ayah :No tegantung leq deket lawang.kamu (itu digantung di belakang pintumu) Dalam masyarakat yang bukan golongan bangsawan, penutur yang lebih tua akan menggunakan bahasa sasak biasa (jamaq) dalam setiap tuturannya sementara penutur yang lebih muda akan menggunakan beberapa kata dalam sasak halus kepada yang lebih tua. Ini membuktikan bahwa penggunaan bahasa sasak biasa selalu digunakan antara masyarakat yang bukan bangsawan. Namun, dapat dilihat bahwa dalam tuturan bahasa Sasak yang dihaluskan, mereka akan menggunakan sapaan “side” dan bukan “kamu”, “bekelor” bukan “mangan” untuk berbicara pada anggota keluarga yang lebih tua. Penutur muda :uah side bekelor? (sudahkah anda makan?) 24

Penutur tua :uah. Kamu uah mangan? (sudah, kamu sudah makan?) Dalam contoh di atas, anggota keluarga yang lebih muda akan menggunakan bahasa yang lebih halus kepada penutur yang lebih tua, sedangkan penutur yang lebih tua akan menggunakan sasak biasa (jamaq) atau kasar kepada yang lebih muda. Sedangkan dalam bahasa sasak yang digunakan dalam keluarga bangsawan, penggunaan bahasa sasak akan selalu menggunakan bahasa sasak halus, hal ini untuk membuktikan bahwa mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi dari penutur non bangsawan yang hanya menggunakan bahasa kasar/biasa(jamaq). Karena bahasa yang mereka gunakan akan menunjukkan status sosial mereka. Di kalangan masyarakat bangsawan penggunaan sapaan “tiang, pelinggih atau pelungguh”

merupakan

sapaan

yang

digunakan

dalam

bahasa

Sasak

halus.“Pelungguh” dan “pelinggih” memiliki arti yang sama, di beberapa tempat akan menggunakan “pelungguh”, sementara tempat lainnya akan menggunakan “pelinggih”. Sapaan ini digunakan di antara penutur bahasa hlus yang berasal dari keturunan bangsawan untuk menunjukkan rasa saling menghargai. Contohnya saja dalam kalimat berikut Andi: Silaq Pelungguh serminan.(silahkan anda lihat) Amat: Nggih ngiring, tampiasih. (oh iya terima kasih) Pada percakapan di atas menyatakan bahwa pada saat kata tiang, pelungguh atau pelinggih digunakan antara masyarakat yang berkasta bangsawan, mereka menyatakan bahwa mereka memiliki status sosial yang sama dan menunjukkan kesopanan.

4.1.3 Bahasa Sumbawa Bahasa Sumbawa merupakan bahasa yang bersifat umum dan tidak terlalu memiliki tingkatan dalam segi kehalusan berbahasa. Meskipun di daerah Sumbawa masih ada pembagian kelas sosial dalam masyarakat, tetapi perbedaan kelas sosial ini tidak mempengaruhi tingkatan berbahasa dalam masyarakat sehari-hari. Bahasa Sumbawa sudah tidak begitu mengenal bahasa yang sangat-sangat halus karena masyarakat Sumbawa telah mengalami moderenisasi dan hal ini telah mempengaruhi penggunaan bahasa mereka sehari-hari. Bahkan masyarakat tidak mengetahui bahasa yang sangat halus dan bahasa yang sangat kasar, hal ini dikarenakan tidak terlihatnya penggunaan bahasa kasar ataupun halus, dengan kata lain bahasa yang digunakan adalah sama rata. 25

Adapun masyarakat yang menyandang gelar bangsawan mereka tetap menggunakan bahasa yang biasa untuk berkomunikasi sehari-hari. Jika diamati dari berbagai ranah, maka penggunaan bahasa Sumbawa dapat dijelaskan bahwa dalam ranah lingkungan sehari-hari baik itu ranah tetangga maupun pertemanan, baik itu lelaki ataupun perempuan tetap menggunakan bahasa Sumbawa yang biasa saja dan tidak ada penggunaan bahasa yang sangat halus dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa Sumbawa memiliki tingkatan yang lebih sederhana. 4.2 Pengaruh dari Kategori – Kategori Sosial 4.2.1 Bahasa Bali Seperti yang dipaparkan sebelumnya, stratifikasi sosial di Bali menyebabkan adanya penggunaan tingkatan-tingkatan Bahasa Bali. Berikut merupakan percakapan bahasa Bali oleh komunitas tutur bahasa Bali dataran yang masih erat kaitannya dengan pelapisan sosial masyarakat berdasarkan keturunan Wangsa sehingga penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali sangat kental. Menurut data lapangan yang telah dikumpulkan, penggunaan bahasa masyarakat Bali tetap dipengaruhi stratifikasi sosial, tetapi mengalami perkembangan khususnya perilaku verbal penutur terhadap petutur dengan kecenderungan bertolak pada stratifikasi modern yaitu stratifikasi sosial terdiri atas golongan atas (Triwangsa+Jaba) dan golongan bawah (Tri Wangsa+Jaba). Komunikasi etnografi SPEAKING (Setting and Scenes, Participants, End, Act Sequence, Key, Instrumentalities, Norms, and Genre) yang dikemukakan Hymes (1974) membantu menjelaskan fungsi penggunaaan tingkatantingkatan bahasa Bali. Tingkatan-tingkatan bahasa Bali semakin terlihat dalam tataran kalimat yang mengandung unsur-unsur pendukung lain untuk menentukan bentuk Berikut percakapan yang menunjukkan penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali berdasarkan ranah keluarga, tetangga, kantor pasar, dan agama. 4.2.1.1 Ranah Keluarga Ranah keluarga dibatasi dari latarnya yaitu percakapan keluarga dengan latar rumah, sehingga dapat dipastikan contoh percakapan ini diketahui latar tempatnya dengan pasti yaitu di rumah. Tingkatan-tingkatan bahasa Bali oleh masyarakat Bali dalam ranah keluarga umumnya ditemukan penggunaan basa Bali andap yang sering disebut basa Bali kepara lebih banyak, tetapi kondisi-kondisi tertentu yang mendorong penutur dan petutur menggunakan basa Madya yang menunjukkan rasa bahasa yang ada di tengah di antara biasa dan alus. 26

L: Uli dije busan, Luh? ‘darimana tadi, Luh?’ P: ne ngateh adi, li sepatu, Po Nik ‘ini, mengantar adik beli sepatu, Po Nik’ (1) Percakapan (1) adalah percakapan beda usia antara laki-laki yang lebih tua daripada perempuan tetapi keduanya memiliki status sosial yang sama. Penggunaan bahasa yang digunakan adalah basa kepara yang biasa digunakan dalam suasana bersahaja. Panggilan Luh merupakan panggilan anak perempuan di Bali dengan status sosial Jaba yang juga memiliki suasana bersahaja serta menunjukkan keakraban, sedangkan Po Nik merupakan panggilan yang bermakna literal ‘bapa cenik’ panggilan khusus untuk paman bungsu dengan status sosial yang sama yaitu Jaba. P: Om Swastyastu, mriki ngajeng dumun Dewa Man, Jero twn sareng? ‘Om Swastyastu, sini makan dulu, Dewa Man. Jero ga ikut’ L:Om Swastyastu, tyang sampun Mek Yan, ten Ibu ten sareng. ‘Om Swastyastu. Saya sudah makan, Mek Yan. Tidak Ibu tidak ikut’ (2) Percakapan (2) adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki berbeda usia dan berbeda status sosial. Perempuan memiliki usia yang lebih tua dari laki-laki, tetapi sebaliknya, status sosial wrga brjenis kelamin laki-laki ini memiki status sosial yang lebih tinggi dari perempuan tersebut sebagai lawan bicaranya. Dalam percakapan ini penutur dan petutur menggunakan basa alus madya karena kedudukan status sosial petutur (Laki-laki) lebih tinggi walaupun memiliki usia yang lebih muda daripada penutur. Fenomena ini banyak ditemyukan akhir-akhir ini dii ranah keluarga karena banyaknya pernikahan antara Tri Wangsa dan Jaba terjadi sehingga pihak Jaba yang biasanya perempuan memiliki panggilan Jero sebagai penanda bahwa status sosialnya sudah naik lebih tinggi di masyarakat. 4.2.1.2 Ranah Tetangga Ranah tetangga juga dibatasi seperti ranah keluarga dengan membatasi latar dan topik percakapan, percakapan ranah tetangga berlangsung di rumah tetangga dengan percakapan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan ranah pasar dan keagamaan. Berikut contoh percakapan yang diambil di lapangan. L1: mangkin sampun memenjor, Pak Kelian? ‘sekarang sudah membuat penjor, Pak Kelian?’ L2: nggih, ngemalunin gis Man ‘ya. Mendahului sedikit Man’

(3) 27

Percakapan (3) adalah percakapan antara laki-laki dan laki-laki yang bertetangga memiliki usia dan status sosial yang berbeda. Penutur yang memiliki status sosial lebih rendah dari petutur menggunakan basa alus madia yang menunjukkan adanya suasana bersahaja dan rasa hormat penutur kepada petutur sebagai orang yang kedudukan lebih tinggi di masyarakat sebagai perangkat dusun. Percakapan tersebut dalam situasi normal tanpa melibatkan emosional keduanya sehingga bahasa yang digunakan adalah basa madia. L1: liu sajan ngutang di warung, dije Kae Rik? Oke gedeg ‘banyak sekali berhutang di warung, dimana Kamu Rik? aku gedeg’ L2: adi bani ngojog umah Kae? Pesu! ‘kok berani-beraninya mendatangi rumahku?’

(4)

Percakapan (4) merupakan percakapan antara laki-laki dan laki-laki yang memiliki usia dan status sosial sama. Keadaan kedua laki-laki tersebut sedang marah sehingga menggunakan basa kasar yang ditegaskan dengan panggilan Oke ‘aku’ pada dirinya sendiri dan kae ‘kamu’ pada lawan bicaranya. 4.2.1.3 Ranah Kantor Latar ranah kantor yaitu di kantor dengan topik pembicaraan yang berkaitan dengan kantor seperti administratif, kegiatan di kantor tanpa menyentuh topik jual beli di pasar dan keagamaan. Ranah kantor yang lebih luas dari ranah keluarga dan tetangga membuat penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali lebih intensif penggunaannya serta bahasa semakin halus menyesuaikan rasa bahasa yang sarat akan rasa hormat dan penghargaan kepada lawan bicara. P: semengan be ngopi pegawai ne ‘pagi-pagi sudah ngopi pegawai ini’ L: mriki sareng Bu Bos, ijin jebos ‘mari ikut Bu Bos, ijin sebentar’

(5)

Percakapan (5) adalah percakapan antara perempuan dan laki-laki yang memiliki kedudukan yang berbeda dalam pekerjaan. Keduanya berjenis kelamin yang berbeda tetapi terlihat pada percakapan tersebut petutur (pembicara laki-laki) menggunakan basa madia kepada penutur karena kedudukan pembicara perempuan lebih tinggi dalam pekerjaan. Percakapan di aas menunjukkan situasi normal. 4.2.1.4 Ranah Pasar Latar ranah pasar adalah di pasar dengan topik pembicaraan yang berkaitan dengan pasar seperti pengiriman barang dagangan, jual beli, harga barang yang naik 28

turun dan obrolan seputar kegiatan antarpedagang. Pada ranah ini lebih banyak ditemukan penggunaan basa kepara dan madia karena situasinya juga situasi informal. P1: Mriki belinin tyang Geg, mare teka cekalang ne gede-gede bin ‘sini berbelanjalah pada saya Geg, ikan cakalangnya baru saja datang, besar besar lagi’ P2: kude a kilo, Bu? ‘berapa sekilo Bu?’ (6) Percakapan (6) adalah percakapan antara pedagang dan pembeli yang samasama perempuan tetapi berbeda usia. Dalam percakapan di atas, pedagang yang berumur lebih tua menggunakan basa madia pada awal tuturannya pada pembeli yang lebih muda darinya. Percakapan di atas menunjukkan adanya penggunaan tingkatantingkat bahasa Bali dalam ranah pasar disebabkan oleh kedudukan kedua pembicara yang berbeda dan tidak memperhitungkan perbedaan umur yang umumnya juga menjadi indikator penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Bali. Percakapan di atas merupakan percakapan dengan situasi normal. 4.2.1.5 Ranah Keagamaan Ranah keagamaan merupakan ranah dengan latar di tempat-tempat kegiatan keagamaan berlangsung dan tempat berkumpul seperti balai banjar yang berkaitan dengan topik pembicaraan dan kegiatan keagamaan. Umumnya penggunaan bahasa Bali dalam ranah keagamaan cenderung ke situasi normal sehingga bahasa Bali yang memiliki rasa bahasa halus, sopan, dan rasa hormat digunakan. Dewasa : Damuh Alit sampun sami makta canang angge mebakti? ‘anak-anak sudah semua membawa canang untuk sembahyang?’ Anak

:

Sampun, Jero Mangku ‘sudah, Jero Mangku’ (7)

Percakapan (7) merupakan percakapan antara penutur dewasa dan anak-anak yang menggunakan basa alus mider yang digunakan untuk menunjukkan rasa sangat hormat walaupun dalam percakapan tersebut lawan bicara penutur dewasa adalah anak-anak tetapi anak-anak tersebut juga dihormati sehingga penggunaan basa alus mider digunakan dalam percakapan di atas.

4.2.2 Bahasa Sasak

29

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak dalam kehidupan masyarakat Lombok secara umum sebagai berikut. 4.2.2.1 Status sosial Selain gelar kebangsawanan yang sangat berpengaruh dalam penggunaan bahasa Sasak, kedudukan dalam pekerjaan dan status keluarga memiliki pangaruh yang kuat dalam penggunaan code switching sasak dan Indonesia. Di antara penutur yang memiliki status yang jauh berbeda, maka penutur yang memiliki status lebih rendah akan meggunakan bahasa campuran sasak halus dan Indonesia sementara penutur yang memiliki kedudukan lebih tinggi akan menggunakan banyak bahasa campuran sasak jamak dan Indonesia. Sementara penutur yang memiliki status yang sama akan menggunakan bahasa campuran sasak jamak dan Indonesia. Selain itu, terdapat situasi di mana penutur yang memiliki perbedaan status sosial tetapi menggunakan campuran bahasa sasak biasa dan Indonesia dalam percakapan, hal ini dapat disebabkan karena hubungan pertemanan yang cukup baik. Dalam keluarga, baik yang berasal dari keluarga menak dan nonmenak, ditentukan dengan pemilihan penggunaan code switching dalam percakapan bahasa Sasak. Code switching antara bahasa sasak alus dan Indonesia akan dipilih ketika penutur berbicara dengan lawan tutur yang berasal dari keluarga menak. Penutur menak dapat mencampur bahasa mereka antara sasak alus dan Indonesia maupun sasak jamak dan Indonesia tergantung pada tingkat keakraban antara penutur. Jika lawan tutur berasal dari masyarakat yang lebih rendah, maka mereka akan menggunakan bahasa sasak jamak dan Indonesia, sementara mereka akan menggunakan bahasa sasak alus dan Indonesia pada masyarakat yang memiliki status lebih tinggi. 4.2.2.2 Usia Usia atau umur merupakan faktor yang sangat penting dalam penggunaan code switching pada penutur bahasa sasak. Ketika seseorang yang memiiki kedudukan lebih tinggi namun usia lebih muda, mereka akan menggunakan bahasa sasak halus dan Indonesia, namun mereka akan menggunakan bahasa sasak biasa (jamaq) dan Indonesia ketika berbicara dengan penutur yang jauh lebih muda. Dengan kata lain, kedudukan sosial yang lebih tinggi tidak menjadikan seorang penutur bahasa sasak untuk meggunakan bahasa sasak halus maupun kasar pada setiap lawan tutur, namun mereka akan mempertimbangkan usia pada saat berbicara untuk menunjukkan rasa menghargai. 30

4.2.3 Bahasa Sumbawa Beberapa contoh tingkat tutur yang terjadi dalam masyarakat Sumbawa jika ditinjau dalam berbagai ranah dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 4.2 Bahasa Sumbawa Daerah Sumbawa Besar No Penutur

Percakapan

Bahasa Indonesia

1

Pasangan

Helmi : Mori, ya me Helmi

laki-laki

angkang mu?

:

Mori, Normal

kamu

sama usia

Situasi

Ranah tetangga

mau

kemana? Mori

:

Ta

kobaledengansengara.

Mori : Ini, mau ke rumah teman

Helmi

:

O

ati- sebentar.

atibaemo e. Helmi : O ya, hati-hati

kalau

begitu. 2

Pasangan

Hinda : Pak Man, Hinda : Pak Man, Normal

laki-laki

keleksialengpakaji.

anda

beda usia

tetangga

dipanggil

oleh Pak Haji. Pak Man : apahajatae? Pak Man : Aa Hinda : No kaji to, apa? tarisia pang bale diri. Hinda

:

Saya

Pak Man : Aomo, tidak tahu, anda sengarobada sengara.

anti ditunggu

di

rumahnya.

Pak Man : Ya, bilang

sebentar

dulu. 3

Pasangan

Pak Sabri : He, apa Pak Sabri : Hei, Marah

Tetangga

31

laki-laki

boat mu nan?

apa yang kamu

dan anak

kerjakan? Titto : No soda. Titto : Tidak ada. Pak Sabri : Bola nyeta. Mole

kona!

Yak Pak

kukelek ma mu mudi.

Sabri

:

Bohong

kamu.

Pulang

sana!

Nanti

saya

panggil ibu kamu. 4

Pasangan

Pembeli : pida harga Pembeli : Berapa Normal

laki-laki

bawang sekilo bi?

dan

harga

Pasar

bawang

satu kilo bi?

perempuan

Pedagang :dua plima

sama usia

ribu. Sate pida kilo?

Pedagang : Dua puluh lima ribu.

Pembeli : dua pdua Mau berapa kilo? ribu moae. Sate saya beli sekilo.

Pembeli

:

Dua

puluh dua ribu ya. Saya mau beli satu kilo saja. 5

Pasangan

Pembeli : pida harga Pembeli : Berapa Kesal

perempuan

nangkan ta sekilo bi?

sama usia

Pasar

harga nangka ini satu kilo bi?

Pedagang : sepulu ribu sekilo, manis deta.

Pedagang

:

Sepuluhg

ribu

Pembeli : Pitu ribu satu kilo, manis moae.

Pedagang pang

ni.

:Buyamo Pembeli : Tujuh lenlamenbau ribu saja ya.

32

dapat harga pitu ribu, nangka

balong Pedagang:

kemanis ta .

saja

Cari

di

tempat

lain kalau bisa dapat harga tujuh ribu, nangka ini bagus dan manis 6

Pasangan

Pembeli : Bu pida sia Pembeli

perempuan

jual udang ta?

:

Bu, Normal

Pasar

berapa anda jual

beda usia

udang ini? Pedagang : enem pulu ribu sekilo. Ya beli Pedagang : Enam pida kilo gera?

puluh ribu satu kilo. Kamu mau

Pembeli : lima plima beli berapa kilo ribu mo buae, saya cantik? beli 2 kilo. Pembeli : Lima Pedagang

:

aomo puluh lima ribu

etemogera e.

ya Bu, saya beli dua kilo.

Pedagang : Ya sudah ambil aja cantik. 7

Pasangan

Rian : Pak, mepang Rian

laki-laki

kasia

olo

:

Pak, Normal

kunci dimana

anda

beda

usia kantor?

meletakkan kunci

(anak

dan

motor?

dewasa)

Keluarga

Bapak : Nan kaku gantong lawang.

ndeng Bapak

:

digantung

Itu di

dekat pintu.

33

8

Pasangan

Upik : Buhari, tone Upik

:

Buhari, Normal

laki-laki

juki dating kota, ada tadi Juki datang

sama usia

masalah apa ae?

kesini,

Keluarga

ada

masalah apa? Buhari :Kaku lantar motor tone.

Buhari saya

Upik

:

:

Tadi

menabrak

meluk motornya.

kabaugina? Kameneng maapke?

Upik : Kok bisa,

Tresapalengnya?

sudah

minta

maaf? Lalu dia Buhari : kamku eneng bilang apa? maaf, tapi yak u ganti rugi si ke bali.

Buhari

:

sudah

Saya minta

maaf, tapi saya akan ganti rugi juga. 9

Pasangan

Indra

:

kakAni, Indra

perempuan

mepang sandal saya?

:

Ani, normal

Keluarga

dimana sandalku?

dengan laki-laki

Ani

(perempuan

lemari ne di.

di

:

pang

bawa Ani : Di bawah lemari itu dik.

posisi

kakak

dan

laki-laki di posisi adik) 10

Pasangan

Amir (bawahan) : pak, Amir : Pak, minta Normal

laki-laki

eneng ijin les sengara.

sama

usia

ijin

Kantor

keluar

sebentar ya.

(atasan dan Pak Budi (atasan) : bawahan)

aomo, na le lalo e.

Pak Budi : Oh ya,

34

jangan

terlalu

lama.

Dari tabel tersebut dapat diamati bahwa tingkat tutur dalam bahasa Sumbawa tidak begitu memiliki variasi yang beragam dan tidak terlalu mencolok dalam berbagai ranah kehidupan sehari-hari. Tingkatan tutur dalam masyarakat Sumbawa hanya terjadi karena dipengaruhi beberapa hal dan kelas sosial atau kasta sosial bukan hal yang mempengaruhi tingkat tutur dalam bahasa Sumbawa. Dalam tuturan masyarakat Sumbawa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tingkat tutur dalam kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa hal yang mempengaruhi tingkat tutur tersebut antara lain: 4.2.3.1 Kata Dalam bahasa Sumbawa tingkatan berbahasa sangat dipengaruhi oleh sebuah kata. Jika dalam kalimat tersebut ada kata-kata tertentu yang bersifat halus, maka kalimat yang dituturkan tersebut dianggap halus. Kata-kata itu seperti “kaji” yang berarti saya dan kata “kelam/sia” yang berarti anda. Contoh tuturan yang terjadi dalam hal ini adalah sebagai berikut: Rian : Pak, mepang kasia olo kunci kantor? Bapak : Nan kaku gantong ndeng lawing Dalam percakapan tersebut tuturan yang diutarakan oleh Rian tergolong halus karena menggunakan kata “sia” untuk menyapa orang tua. Penggunaan kata-kata tertentu ini memang hanya dilakukan hanya jika berbicara kepada yang lebih tua. 4.2.3.2 Kalimat Dalam bahasa Sumbawa penggunaan kalimat yang panjang dan tidak langsung pada inti pembicaraan dianggap sangat halus dibandingkan dengan kalimat yang langsung menuju inti pembicaraan. Hal ini sesuai dengan teori maksim kebijaksanaan yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206) yang mengemukakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Gagasan dasar dalam maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain

35

dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. 4.2.3.3 Usia Usia adalah ranah yang paling mempengaruhi penggunaan tingkatan berbahasa dalam bahasa Sumbawa. Penggunaan bahasa Sumbawa terhadap masyarakat yang lebih tua akan lebih disopankan dan itu ditandai oleh penggunaan kata sapaan “kelam atau sia” dan menyebut diri sendiri dengan sebutan “kaji”. Bahasa yang digunakan juga bahasa yang tidak langsung mengarah ke inti pembicaraan, melainkan harus menggunakan bahasa secara tidak langsung. 4.2.3.4 Ranah Perkantoran Dalam ranah ini bahasa yang digunakan antar kerabat atau karyawanpun masih biasa bahkan dominan menggunakan bahasa Indonesia. Hanya sesekali saja mereka menggunakan bahasa yang sedikit halus untuk atasan mereka dan itupun tidak setiap saat. Selain beberapa hal tersebut yang mempengaruhi tingkat tutur pada masyarakat Sumbawa adalah nada berbicara. Tingkat kehalusan dalam berbicara bahasa Sumbawa dikatakan halus jika nada berbicara mereka tidak tinggi dan sebaliknya.

4.3 Karakteristik Umum Tindak Tutur Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa Bali menurut tingkatannya dapat dibedakan menjadi berdasarkan halus ataupun kasar penggunaannya menurut ranah masing-masing. Salah satu karakteristik dari ranah ini adalah status sosial penuturnya yang dapat dibedakan dengan hierarki vertikal. Penggunaan bahasa Sasak halus ataupun kasar pada dasarnya dipengaruhi oleh status sosial. Pada masyarakat bangsawan, penggunaan bahasasasak halus terjadi dalam semua ranah, sedangkan dalam masyarakat biasa penggunaan bahasa yang digunakan tergolong kasar, meskipun beberapa akan diperhalus hanya dalam ranah tertentu saja seperti ranah perkantoran dan keluarga. Faktor yang paling mempengaruhi penggunaannya adalah usia dan jabatan. Meskipun bahasa Sumbawa tidak memiliki karakteristik yang cukup kuat dalam hal tindak tutur halus atau kasar, namun pengaruh kosakata halus pada keseluruhan kalimat masih dapat terlihat pada ranahranah tertentu.

36

Maka dari itu, beberapa karakteristik yang dapat ditemukan pada ciri bahasa bagian timur melayu-polinesia barat; khususnya pada bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa adalah klasifikasi tindak tutur yang sebagian besar terbagi berdasarkan tingkat halus dan kasar, ranah usia dan formalitas situasi yang sangat mempengaruhi pilihan tindak tutur tersebut, dan bergesernya klasifikasi ini secara perlahan sebagai dampak atas modernisasi dan globalisasi masyarakat penutur masing-masing. Selain itu, status sosial penutur dan pengaruh status tersebut pada ranahnya masing-masing dapat semakin memperkokoh pergeseran klasifikasi ini, seperti yang dapat kita lihat dimana bahasa Bali masih bertahan seiring dengan kentalnya klasifikasi sosial pada lapisan masyarakat penutur bahasa Bali tersebut, sedangkan Sumbawa sudah lebih umum dalam tindak tutur bahasanya.

37

BAB V SIMPULAN DAN SARAN Dalam penelitian tingkat tutur bahasa Bali, Sasak, dan Sumbawa, beberapa temuan pada karakteristik bahasa timur melayu polinesia barat adalah pada tingkat kesopanan penutur. Beberapa ranah dalam bahasa dapat mempengaruhi tingkat tutur bahasa tersebut, seperti ranah usia, kantor, dan status sosial penutur dalam masyarakat. Tingkatan ini secara umum mempengaruhi struktur leksikal dan gramatikal penggunaan bahasa tersebut. Melalui temuan ini, dapat disimpulkan bahwa pengaruh ranah terhadap struktur tingkat tutur bahasa bagian timur melayu polinesia barat ini semakin rendah terhadap bahasa penuturnya sesuai dengan kurun waktu dan letak geografisnya. Maka dari itu, penutur bahasanya perlu menerapkan pemeliharaan dan peremajaan bahasa local untuk menjaga nilai budaya bahasanya.

38

DAFTAR PUSTAKA . Bagus, I Gusti Ngurah. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. Laporan Penelitian tim Penelitian Fakultas Sastra Universitas Udayana, Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali. Denpasar: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bailey, Guy. 2002. Real and apparent time.. In J.K Chambers, Peter Trudgill, and NatalieSchiling-Estes. The Handbook of Language Variation and Change. Oxford: Blackwell Publishing, pp 312-332. Bhadra, Ranajit K. 1991. Caste and Class: Social Stratification in Assam. New Delhi: Hindustan Publishing Corporation. Blust, Robert A. 1981. The Soboyo Reflexes of Proto-Austronesian S. In R.A. Blust (ed.) Historical Linguistics in Indonesia. Part I. NUSA 10: 21-30. Jakarta Badan Penyelenggara Seri NUSA. Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. Oxford: Blackwell Publishing. Clynes, Adrian. 1989. Speech Styles in Javanese and Balinese: A Comparative Study. MA thesis, Australian National University, Canberra. Clynes, Adrian. 1994. Old Javanese influence in Balinese: Balinese speech styles. In Tom Dutton and Darrell T. Tryon, eds Language Contact and Change in the Austronesian World, 141-179. Berlin: Mouton de Gruyter. Dittmar, Norbert and Peter Schlobinski, eds 1988. The Sociolinguistics of Urban Vernaculars. Case Studies and their Evaluation. Berlin: Walter de Gruyter. Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Melbourne: Cambridge University Press. Dyen, Isidore. 1982. The Present Status of Some Austronesian Subgrouping Hypothesis. In A. Halim et.al (Eds.). Paper from the TICAL. PL Series C, No 75, Vol. 2:31-35. Edwards, Jane A. 1993. Principles and contrasting system of discourse transcription. In Jane A. Edwards and Martin D. Lampert, eds Talking Data. Transcription and Coding in Discourse Research, 3-43. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Fishman, J. A. 1972. Domains and the relationship between micro and macro sociolinguistics. In John J. Gumperz and Dell Hymes, eds Directions in Sociolinguistics, 435-453. New York: Holt, Rinehart and Winston. Geertz, C. 1960. Linguistic etiquette. Reprinted in J.B. Pride and Janet Holmes, eds Sociolinguistics, 167-179. New York: Penguin. Geertz, H. and Clifford Geertz. 1975. Kinship in Bali. Chicago: University of Chicago Press. Greenberg, J.H. 1956. Concerning inferences from linguistic to non linguistic data. In H. 39

Hoijer, ed. Language in Culture, 3-19. Chicago: University of Chicago Press. Gumperz, J. 1971. Language in Social Groups. Stanford: Stanford University Press. Hardjadibrata, R.R. 1985. Sundanese: A Syntactical Analysis. Pacific Linguistics D-65. Canberra: Australian National University. Hwang, Juck-Ryoon. 1990. Deference versus politeness in Korean speech. International Journal of the Sociology of Language 82, 41-55. Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Labov, W. 1971(a). Methodology. In W.O. Dingwall, ed. A Survey of Linguistic Science, 412-491. Maryland: Linguistics Program, University of Maryland. Labov, W. 1971(b). The study of language in its social context. Reprinted in J.B. Pride and Janet Holmes, eds. Sociolinguistics, 180-202. New York: Penguin. Labov, W. 1972(a). The Design of a Sociolinguistic Research Project. Report of the Sociolinguistics Workshop held by the Central Institute of Indian Language in Mysore India. Labov, W. 1972(b). Some principles of linguistic methodology. Language in Society 1, 97120. Labov, W. 1984. Field methods of the project on linguistic change and variation. In John Baugh and Joel Sherzer, eds Language in Use. Reading in Sociolinguistics, 28-53. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Martin, Samuel E. 1964. Speech levels in Japanese and Korean. Reprinted in Dell Hymes, ed. Language in Culture and Society, 407-415. New York: Harper & Row. Mbete, A. M. 1990. Rekonstrusi Proptobahasa Bali- Sasak-Sumbawa. Desertasion. University of Indonesia. Milroy, Lesley. 1980. Language and Social Networks. Oxford: Basil Blackwell. Milroy, Lesley. 1987. Observing and Analysing Natural Language. Oxford: Basil Blackwell. Milroy, Lesley and J. Milroy. 1992. Social network and social class: Toward an integrated sociolinguistic model. Language in Society 21, 1-26. Narayana, I.B. Udara. 1983. Anggah Ungguhing Basa Bali dan Peranannya Sebagai alat Komunikasi bagi Masyarakat Suku Bali. Denpasar: Faksas, Universitas Udayana. Poedjasoedarma, Soepomo et al. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil Blackwell. Shadeg, S.V.D. 1977. Balinese Basic Vocabulary. Denpasar: Dharma Bakti Simpen, I W. AB. 1985. Kamus Bahasa Bali. Denpasar: PT Mabhakti. Stevens, Alan M. 1965. Language levels in Madurese. Language 41, 294-302.

40

Suastra, I Made. 2001. The Categorisation in Balinese Speech Levels. A paper presented in International Seminar on Astro Oseanean Languages. Denpasar, Bali. Trudgill, Peter. 1974. The Social Differentiation of English in Norwich. Cambridge: Cambridge University Press. Vago, Steven. 1980. Social Change. New York: Holt, Rinehart & Winston. Wang, Hahn-Sok. 1990. Toward a description of the organisation of Korean speech levels. International Journal of the Sociology of Language.82, 25-39. Ward, Jack Haven. 1973. Phonology, Morphophonemics and the Dimension of Variation in Spoken Balinese. PhD thesis, Cornell University. Wiana, I Ketut and Raka Santri. 1993. Kasta Dalam Hindu. Kesalahpahaman Berabad-abad. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Woods, Anthony, P. Fletcher and A. Hughes. 1986. Statistics in Language Study. Cambridge: Cambridge University Press. Zurbuchen, Mary Sabina. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater. Princeton: Princeton University Press.

41

LAMPIRAN PENELITIAN LAMPIRAN 1: FOTO (DOKUMENTASI) PENELITIAN Foto 1: Para Informan Lombok mengisi Kuesioner

42

Foto 2: Para Informan Lombok

43

Foto 3: Kantor Desa Beraim, Lombok Tengah

Foto 4 Wawancara dengan Informan (kiri), Penggunaan bahasa Sasak di Ranah Pasar (Kanan)

44

Foto 5: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Pasar

45

Foto 6: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Adat dan Agama

46

Foto 7: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Tetangga

Foto 8: Penggunaan Bahasa Bali di Ranah Kantor

47

Foto 9. Penelitian bahasa Sumbawa di Ranah Pasar

Foto 10. Penelitian bahasa Sumbawa di Ranah Kantor

48

Foto 11. Informan bahasa Sumbawa

Foto 12. Bahasa Sumbawa dalam Ranah Tetangga

LAMPIRAN 2: DAFTAR INFORMAN Informan Bahasa Sasak: 1. Dr. Muhammad Sukri, S.Pd. M.Hum, Sekretaris Program Studi S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Mataram (UNRAM), 2. Muhammad Kherul Ihwan (Iwan) yang berasal dari desa Ketejer Kecamatan Praya Lombok Tengah. Informan berumur 38 tahun, bekerja di lembaga keuangan di daerah setempat 3. Muhammad Kurnain (Kurnain) (48 tahun), asal dari desa Selat kecamatan Narmada Lombok Barat. Pedagang Pasar Tradisional Narmada.

49

4. H. Hasan Basyri, S. Sos. (55 tahun) dan bekerja di kantor camat Narmada Lombok Barat. 5. Taufan Jaya Rahmana. Beliau bekerja sebagai staf desa di Kantor Desa Beraim Kecamatan Peraya Tengah kabupaten Lombok Tengah 6. Lalu Ichwan Hasbiadi, Baiq Farida Astini, Baiq Muhanis, S.Pd., Baiq Ami Faranita, Lalu Adam, Lalu Masrif, Fuad, Rosalina Febrianti, Baiq Annisa Salwa Fadia (Lombok Tengah) 7. Baiq Reni Nurlia, Issyatul Mardiah, Baiq Devi Maramitha, S.Pd. (Lombok Timur) 8. Lalu Sukendar, Sailah, Taufik Al-Banjari (Ampenan-Lombok Barat) Informan Bahasa Bali: 1. I Ketut Tumbuh (Laki-laki) 51 Tahun, Tukang Ukir, Desa Susut, Tabanan 2. Nyoman Widia (Laki-laki) 57 Tahun, Kelian Dinas Dalung, Badung 3. Ni Wayan Tingkes (Perempuan) 45 Tahun, Pedagang Kuliner Tradisional 4. Desak Supadmini (Perempuan) 43 Tahun, Desa Jegu, Tabanan 5. I Ketut Selebes (Laki-Laki) 43 Tahun, Guru, Tabanan 6. Ni Wayan Srati (Perempuan) 39 Tahun, PNS, Denpasar 7. Seka Truna di beberapaBanjar sekitaran Denpasar dan Tabanan 8. Pedagang-pedagang di Pasar

Informan Bahasa Sumbawa: 1. Novita (29 tahun), penduduk asli suku Samawa Sumbawa besar, daerah Sering kabupaten Sumbawa Besar, ibu rumah tangga 2. Fitria, S.E., M.E. (28 tahun), penduduk asli suku Samawa kabupaten Sumbawa Besar, dosen ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Teknik Sumbawa (UTS) 3. Daeng Riadi (48 tahun), dari Sumbawa Besar,

keturunan dari Sultan

Sumbawa, pegawai di kantor daerah Sumbawa Besar 4. H. Hasan Basyri, S. Sos. (55 tahun). Penduduk asli suku Samawa Sumbawa Besar, dari daerah Genang Gendis Sering Sumbawa Besar. bekerja di kantor Dinas Pariwisata Sumbawa Besar.

50

5. Warga sekitar daerah Sering Sumbawa Besar. Penduduk asli Sumbawa yang bersuku Samawa dan menggunakan bahasa Sumbawa untuk berkomunikasi sehari-hari. LAMPIRAN 3: KUESIONER BAHASA SASAK Nama : Lokasi : SOAL KUISIONER 1. Apakah anda mampu menggunakan bahasa Sasak halus? a. Ya

b. Tidak

2. Apakah bahasa Sasak yang anda gunakan tergolong pada bahasa Sasak yang paling halus? a. Ya

b. Tidak

3. Apakan anda berbicara menggunakan bahasa Sasak halus di lingkungan tempat anda tinggal? a. Ya

b. Tidak

4. Ketika anda berbicara dengan bangsawan (Raden/ Lalu), apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus? a. Ya

b. Tidak

5. Apakah perbedaan status sosial (bangsawan) mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak anda ketika berkomunikasi? a. Ya

b. Tidak

6. Apakah perbedaan status sosial (pekerjaan) mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak anda ketika berkomunikasi? a. Ya

b. Tidak

7. Ketika anda berbicara dengan seorang bangsawan (Raden/ Lalu) yang memiliki pekerjaan rendah, apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus? a. Ya

b. Tidak 51

8. Apakah perbedaan gender mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak anda? a. Ya

b. Tidak

9. Apakah perbedaan usia mempengaruhi penggunaan bahasa Sasak Anda? a. Ya

b. Tidak

10. Apakah anda menggunakan bahasa Sasak halus ketika berbicara dengan anak kecil? a. Ya

b. Tidak

11. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah keluarga? a. Bahasa Sasak halus

b. Bahasa Sasak kasar

12. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pertemanan? a. Bahasa Sasak halus

b. Bahasa Sasak kasar

13. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah pasar? a. Bahasa Sasak halus

b. Bahasa Sasak kasar

14. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah tetangga? a. Bahasa Sasak halus

b. Bahasa Sasak kasar

15. Bahasa Sasak apa yang anda gunakan dalam ranah agama? a. Bahasa Sasak halus

b. Bahasa Sasak kasar

52

LAMPIRAN 4: ARTIKEL SENASTEK DAN LUARAN ARTIKEL LAINNYA DAFTAR PEMAKALAH SENASTEK 2015 KATEGORI: PEMAKALAH ORAL

1. Artikel yang dimuat dalam prosiding SENASTEK tentang bahasa Bali

STRATIFIKASI SOSIAL DAN TINDAK TUTUR BAHASA BALI DALAM KARYA SASTRA BALI MODERN I Ketut Tika1), I Made Suastra2), Ni Luh Nyoman Seri Malini3), I Made Sena Darmasetiyawan4) 1)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 08123828909, [email protected] 2)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 3)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 4)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana

53

Abstrak Grimes dan Maryot (1994) menyatakan bahwa masyarakat penutur Austronesia memiliki ciri khas yang cenderung memakai kosakata berbeda ketika berbicara dengan orang yang berkedudukan tinggi. Ciri itu tampak terwaris dalam Bahasa Bali dengan sistem tindak tutur yang khas dengan sebutan anggah-ungguhing basa Bali. Sistem tindak tutur bahasa Bali ini tercermin pada karya-karya sastra Bali, baik tradisional maupun modern. Sebagai wahana pendokumentasian bahasa dalam bentuk inskripsi, karya sastra selalu berada dalam tegangan antara norma sastra dan norma sosiobudaya, karena karya sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap sesuatu yang berlangsung di sekitarnya (Djoko Damono, 2002: 40). Hubungan karya sastra dengan norma sosio-budaya, menurut Teeuw (1982: 19) berlangsung dalam tiga tanggapan evaluatif, yaitu berupa afirmasi (menetapkan norma yang berlaku saat itu), restorasi (ungkapan kerinduan pada norma yang hilang atau tidak berlaku lagi), dan negasi (pemberontakan terhadap norma yang berlaku, menyajikan alternatif norma sosio-budaya yang mapan). Dalam konteks inilah penelitian terhadap realitas pemakaian tindak tutur bahasa Bali dalam karya-karya sastra penting dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode simak bebas libat seecakap pada saat penyediaan data, dan analisis dengan teori sosiolinguistik, serta penyajian data secara informal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stratifkasi masyarakat Bali Tradisional dan Modern yang terdokumentasi dalam karya sastra Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang menunjukkan pengaruh terhadap penggunaan bahasa Bali. Stratifikasi masyarakat Bali Tradisional yang berpijak pada hubungan tri wangsa dan jaba yang berpengaruh pada penggunaan bahasa Bali Alus maupun Andap (Lumbrah) tetap dicerminkan oleh novel ini. Demikian pula, stratifikasi masyarakat Bali Modern yang cenderung lebih egalitar juga ditujukkan dalam novel ini. Kata Kunci : Stratifikasi Sosial, Tindak Tutur, dan Karya Sastra Abstract Grimes and Maryoto (1994) states that Austronesians- had characteristics that tended to use different vocabulary when they talked to people in high places. This characteristic seems to be inherited in Balinese language with a distinctive system of speech acts called the anggah-ungguhing base Bali. The speech act systems in Balinese language are often reflected in Balinese’s literary works, both traditional and modern. As a media of language documentation in the form of inscriptions, literary works are always in tension between the literary and socio-cultural norms, since literature work is considered as an evaluative response to something that took place in the vicinity (Djoko Damono, 2002: 40). The relationship of literature to the norms of socio-cultural, according Teeuw (1982: 19) takes place in three evaluative responses, namely affirmation (norms of the time), restoration (expression of longing on the norms that are missing or not valid anymore), and negation (rebellion against the norm, the alternative of socio-cultural norms). By this context, the study of the reality use of speech acts in Balinese language was necessary to be done. The method used in this study was observation method. Afterwards, the data were analyzed by using the theory of sociolinguistics as well as the presentations of the data was presented informally. The results showed that the Balinese stratification of traditional and modern was documented well in the Novel entitled Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. It showed that the effects of the Balinese’s traditional social stratification usage were based on the relationship between tri wangsa and jaba, which affected the use Basa Alus and Andap in Bali (Lumbrah). Similarly, it was found in the novel that the stratification of Bali Modern society tends to be more egalitarians. Keywords: Social Stratification, Speech Act, and Literature Work

1.

PENDAHULUAN Ardika (2006 : 2) menyatakan bahwa dewasa ini ada suatu gejala yang menunjukkan semakin terpinggirkannya bahasa Bali dalam pergaulan keseharian masyarakat Bali, terutama di kalangan generasi mudanya. Salah satu kekhasan sistem yang dimiliki oleh bahasa Bali sebagai bagian dari bahasa Austronesia adalah adanya tingkat-tingkatan wicara atu speech level. Tingkat-tingkatan bahasa ini dalam bahasa Bali juga disebut dengan anggah-ungguhing basa Bali. Dalam kaitannya dengan Anggah-ungguhing basa Bali, Sancaya (2004 : 210) mengatakan bahwa tingkattingkatan bahasa ini merupakan aspek substansial dalam bahasa Bali yang sangat 54

rumit, karena berkaitan dengan nilai-nilai sosio-kultural, sosio-psikologis, dan sosiofilosofis religius. Lebih lanjut dikatakannya bahwa persoalan anggah-ungguhing basa sering dianggap sebagai sesuatu yang feodalistis. Hal ini merupakan masalah aktual yang menyebabkan bahasa Bali tidak berkembang (Sancaya, 2004 : 209). Perkembangan bahasa Bali mengalami hambatan sebab terjadinya kebingungan dalam pemakaian norma sopan santun ini. Sistem tindak tutur bahasa Bali ini tercermin pada karya-karya sastra Bali, baik tradisional maupun modern. Sebagai wahana pendokumentasian bahasa dalam bentuk inskripsi, karya sastra selalu berada dalam tegangan antara norma sastra dan norma sosio-budaya, karena karya sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap sesuatu yang berlangsung di sekitarnya (Djoko Damono, 2002: 40). Hubungan karya sastra dengan norma sosio-budaya, menurut Teeuw (1982: 19) berlangsung dalam tiga tanggapan evaluatif, yaitu berupa afirmasi (menetapkan norma yang berlaku saat itu), restorasi (ungkapan kerinduan pada norma yang hilang atau tidak berlaku lagi), dan negasi (pemberontakan terhadap norma yang berlaku, menyajikan alternatif norma sosio-budaya yang mapan). Dalam konteks inilah penelitian terhadap realitas pemakaian tindak tutur bahasa Bali dalam karya-karya sastra penting dilakukan, terutama dalam melihat dinamika pemakaian bahasa tersebut. Fokus penelitian ini adalah melihat pengaruh stratifikasi sosial masyarakat Bali baik tradisional maupun modern terhadap tindak tutur bahasa Bali dalam karya sastra Bali Modern, khususnya Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. 2. 2.1

PEMBAHASAN Sinopsis Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cinta itu Layu Sebelum Berkembang) karya Djelantik Santha bertemakan pertentangan antarwangsa. Novel ini terbit sebagai buku pada tahun 1986, berdasarkan cerita bersambung di Bali Post 15 Juli-19 September tahun 1981. Darma Putra (2000: 96) mengatakan bahwa karya tersebut merupakan novel terbaik berbahasa Bali yang pernah ada, terutama apabila dilihat dari tema yang disajikan lewat konflik antartokoh yang tidak kunjung habis. Darma Putra (2000 : 99) selanjutnya menegaskan bahwa tema konflik kewangsaan akan terus muncul dalam karya sastra yang diciptakan pengarang Bali. Hal ini disebabkan setidak-tidaknya oleh dua alasan yakni (1) konflik kewangsaan merupakan masalah yang nyata dan serius dalam masyarakat Bali; (2) konflik kewangsaan menyediakan ‘konflik yang siap pakai’ untuk membangun cerita. Mengacu pada pandangan di atas yang melihat perbedaan antarwangsa sebagai masalah serius, maka Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang relevan untuk dijadikan sebagai sumber data untuk melihat penggunaan tindak tutur dalam bahasa Bali. Tema pertentangan antarwangsa yang menjadi latar belakang cerita menjadikan karya sastra ini penuh dengan dialog antarwangsa maupun intrawangsa. Dialogdialog tersebut tidak hanya menghadirkan realitas penggunaan tingkat tutur bahasa Bali dalam tataran leksikon, tetapi juga satuan yang lebih luas yaitu kalimat. Dengan demikian, dialog-dialog tersebut dapat dimanfaatkan untuk melihat realitas penggunaan tindak tutur bahasa Bali yang terdokumentasi dalam karya sastra. Novel ini terdiri atas sepuluh bagian yang menjalin cerita secara keseluruhan. Bagian pertama dan kedua mengisahkan kehidupan Nyoman Santosa, seorang pemuda desa yang tinggal dengan ibunya Men Madu dan seorang adiknya yang bernama Ketut Santi. Mereka sekeluarga tinggal di desa Selat Karangasem. Walaupun tinggal di desa, Nyoman Santosa memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah guru atau SGB di Klungkung. Akan tetapi, ibunya tidak setuju karena 55

keadaan keluarga mereka yang miskin. Pada suatu malam setelah selesai bertengkar dengan ibunya, Nyoman Santosa ingat terhadap masa lalu keluarganya. Dia sejatinya memiliki 2 kakak laki-laki yang bernama I Wayan Madu dan Made Madi. Kedua kakaknya itu tewas dalam suatu perkelahian pada saat pulang dari Pura Puncak Sari yang terletak di bukit Belisbis. Wayan Madu dan Made Madi tewas bersama temannya I Ketut Tresna, karena diserang oleh I Gusti Ngurah Cepeg dan teman-temannya pada hari Banyu Pinaruh. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh dendam I Gusti Ngurah Cepeg yang lamarannya ditolak oleh I Gusti Ayu Adi, karena lebih mencintai I Made Madi. Dalam peristiwa tersebut, tidak hanya kedua kakaknya yang meninggal, tetapi juga I Gusti Ngurah Cepeg dan rekan-rekannya. Tewasnya I Made Madi menyebabkan kekasihnya I Gusti Ayu Adi sakit hati yang berujung pada kematian. Kematian I Gusti Ayu Adi tidak membuat perselisihan di antara keluarga Gusti Ngurah Cepeg dengan I Gusti Mangku dan Pan Madu selesai. Pada suatu malam, Pan Madu dan I Gusti Mangku diserang oleh ayah I Gusti Ngurah Cepeg dengan kekuatan illmu hitam. Pertempuran di alam gaib itu juga berakhir pada kematian Pan Madu dan I Gusti Mangku, serta ayah I Gusti Ngurah Cepeg. Rentetan peristiwa tersebut merupakan muara dari sakit hati dan balas dendam yang tidak mampu diselesaikan secara kekeluargaan, padahal antara I Gusti Ngurah Cepeg dengan I Gusti Mangku masih memiliki hubungan keluarga. Ditinggalkan ayah dan kedua kakaknya menyebabkan kehidupan I Nyoman Santosa semakin terpuruk. Namun demikian, keinginannya untuk belajar masih tetap besar. Setelah mendapatkan wangsit dari kakaknya dalam mimpi, dia semakin yakin terhadap pilihannya. Walaupun sudah terlambat dari hari terakhir pendaftaran, Nyoman Santosa akhirnya diterima di SGB. Pada masa inilah hubungan percintaannya dengan seorang gadis bernama Made Arini terjalin. Made Arini adalah teman kecilnya yang sama-sama berasal dari Selat Karangasem. Hubungan cinta di antara Nyoman Santosa dengan Made Arini putus, karena Anak Agung Alit Sudendi mengawininya secara paksa. Made Arini dilarikan oleh Anak Alit Sudendi ke rumah Pekak Giyor di daerah Kintamani. Di tempat itulah Made Arini dinikahi oleh Anak Agung Alit Sudendi. Setelah hubungan cinta Nyoman Santosa dengan Made Arini kandas dan hasil ujian akhir di SGB menyatakan dirinya lulus, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke SGA Singaraja. Nyoman Santosa tinggal di rumah Gusti Ketut Rai yang juga berasal dari wilayah Karangasem. Di tempat itu, Nyoman Santosa bertemu dengan Gusti Ayu Jinar dan Made Astiti. Perasaan cinta mulai tumbuh di hati Nyoman Santosa, setelah dia menyelamatkan Gusti Ayu Jinar dan Made Astiti dari bahaya gulungan ombak saat rekreasi di suatu pantai. Walaupun demikian, dalam hati Nyoman Santosa yang terdalam, bayang-bayang Made Arini masih sulit dilupakannya. Suatu hari pada saat Nyoman Santosa pulang dari Singaraja, dia mendapatkan kesempatan untuk singgah di Alit Arini Homstay, sekaligus membuktikan kesetiaan cinta Made Arini. Walaupun sudah menikah dengan Agung Alit Sudendi dirinya masih tetap perawan. Hal ini disebabkan karena Anak Agung Alit Sudendi impoten. Kendati Nyoman Santosa masih ada perasaan cinta dengan Made Arini, sedikit demi sedikit perasaan cintanya dengan Gusti Ayu Jinar mulai mekar. Sempat dia ragu akan memilih Gusti Ayu Jinar atau Made Astiti, namun pilihan akhirnya jatuh pada Gusti Ayu Jinar. Hubungan Nyoman Santosa dengan Gusti Ayu Jinar tak terpisahkan walaupun sudah mendapatkan peringatan dari I Gusti Ketut Rai dan istrinya. Gusti Ayu Jinar berani memperjuangkan cintanya dengan Nyoman Santosa walaupun sudah pasti ayahnya tidak akan setuju. Cerita ini diakhiri dengan tenggelamnya Made Arini 56

pada saat megantar tamu ke Desa Trunyan. Demikian pula, kematian Made Arini disusul kematian I Gusti Ayu Jinar karena terseret banjir besar di tempat tinggalnya. Cerita cinta I Nyoman Santosa brrmuara pada kekecewaan. 2.2

Stratifikasi Sosial dan Penggunaan Tindak Tutur dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang Eksistensi tindak tutur bahasa Bali yang juga disebut dengan sistem anggahungguhing basa Bali ini tidak dapat dilepaskan dari adanya stratifikasi masyarakat Bali. Stratifikasi ini secara umum dapat dipilah menjadi dua yaitu stratifikasi masyarakat Bali tradisional dan modern. Menurut Suasta (2006: 10), pada masa lalu stratifikasi masyarakat suku Bali ditandai dengan adanya tingkat-tingkatan sosial berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, dan keahlian. Pelapisan masyarakat suku Bali yang telah mengendap dalam adat adalah pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, sedangkan pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan keahlian belum mengendap. Berdasarkan keturunan menyebabkan terjadinya golongan masyarakat bangsawan, dan golongan masyarakat kebanyakan. Berdasarkan senioritas menyebabkan terjadinya golongan masyarakat suku Bali yang tua-tua berkuasa dalam ranah adat, dan golongan masyarakat suku Bali yang muda dalam pengalaman. Berdasarkan kekuasaan, menyebabkan munculnya golongan penguasa dan golongan masyarakat. Pembedaan berdasarkan keahlian menyebabkan adanya golongan masyarakat suku Bali yang memiliki keahlian tertentu dan tidak memiliki keahlian tertentu. Pada masyarakat Bali Aga, lebih dominan struktur sosialnya dipengaruhi oleh senioritas. Sementara itu, masyarakat Bali dataran lebih dipengaruhi oleh unsur pembeda yang berdasarkan keturunan. Pelapisan masyarakat suku Bali Aga tidak begitu mempengaruhi bahasa yang digunakan sebagai alat berkomunikasi. Berbeda dengan masyarakat Bali dataran yang pelapisan sosial masyarakatnya dipengaruhi oleh keturunan yang sangat dominan mempengaruhi pemakaian bahasanya, sampai menyebabkan terjadinya anggah-ungguhing basa Bali (Suasta, 2006 : 10). Stratifikasi masyarakat suku Bali modern pada dasarnya juga berasal dari suku Bali Tradisional yang menganut sistem budaya Hindhu dalam bentuk kerajaan yang mengalami perubahan penghargaan, karena perkembangan zaman. Namun demikian, pelapisan masyarakat suku Bali yang berdasarkan atas keturunan atau wangsa masih tetap ada, yang mengendap dalam adat masyarakat suku Bali. Kemajuan zaman mengakibatkan adanya perubahan yang mempengaruhi keadaan stratifikasi masyarakat suku Bali yang berdasarkan pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat. Stratifikasi sosial masyarakat Bali Tradisional dan Modern yang berdampak pada penggunaan bahasa Bali juga tampak pada Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Karya sastra sejatinya merupakan dokumen penting dalam menelusuri perubahan sosio-kultural termasuk perubahan bahasa dalam kehidupan masyarakat Bali. Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang merekam perubahan penggunaan bahasa Bali tradisional menuju masyarakat Bali Modern, yang diiringi oleh perubahan penggunaan bahasa Bali. Oleh sebab itulah, dalam tulisan ini status sosial masyarakat Bali yang meliputi tradisional maupun modern yang terekam dalam karya sastra ini akan dideskripsikan terlebih dahulu. Hal ini penting karena akan berpengaruh pada penggunaan bahasa dalam komunikasi antartokoh intrawangsa dan antarwangsa.

57

2.2.1. Stratifikasi Tradisional Stratifikasi masyarakat tradisional yang menata hubungan masyarakat Bali dapat dibagi menjadi dua yaitu golongan Tri Wangsa dan golongan Jaba. Golongan Tri Wangsa dapat dibagi lagi menjadi Brahmana, Ksatria, dan Wesia. Sementara itu, golongan jaba adalah golongan masyarakat pada umumnya di luar golongan Tri Wangsa. Golongan Tri Wangsa dalam karya sastra Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang ini dicerminkan oleh tokoh-tokoh berikut ini.

No. 1. 2. 3. 4.

5. 6. 5. 6. 7. 8. 9. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Tabel 1. Stratifikasi Masyarakat Bali Tradisional dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang Golongan Tri Wangsa Keterangan Nama Tokoh I Gusti Ayu Adi Seorang gadis yang berasal dari Desa Selat, anak dari I Gusti Mangku, dan pacar I Made Madi I Gusti Mangku Lanang Ayah dari I Gusti Ayu Adi I Gusti Mangku Istri Ibu dari I Gusti Adi I Gusti Ngurah Cepeg Saudara dari I Gusti Ayu Adi, yang menyerang Made Madi, Wayan Madu, dan yang lainnya di Bukit Bisbis karena lamarannya ditolak I Gusti Ayu Adi. Aji I Gusti Ngurah Cepeg Ayah I Gusti Ngurah Cepeg Biang I Gusti Ngurah Cepeg Ibu I Gusti Ngurah Cepeg Anak Agung Alit Sudendi Seorang pemuda yang berasal dari Klungkung, yang mengawini Made Arini dengan cara kawin paksa. Anak Agung Ngurah Ayah Anak Agung Alit Sudendi Jero Sekar Ibu Anak Alit Sudendi yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Made Arini Ida Bagus Aji 1 Seorang keturunan brahmana, yang dimintai Pan Madu Obat Ida Bagus Aji 2 Seorang keturunan brahmana yang berprofesi sebagai petugas bioskop Gusti Ketut Rai Pemilik tempat kos-kosan yang ditempati Nyoman Santosa di Singaraja. Gusti Ayu Srati Istri dari Gusti Ketut Rai. Gusti Ayu Jinar Pacar I Nyoman Santosa, yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Gusti Ketut Rai Gusti Ayu Manik Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SMP Gusti Ayu Mirah Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SMP Gusti Gede Pande Anak dari I Gusti Ketut Rai kelas 3 SD

1.

Golongan Jaba Nama Tokoh I Nyoman Santosa

2.

I Wayan Madu

3.

I Made Madi

4. 5. 6. 7.

Pan Madu Men Madu I Ketut Santi Made Arini

8. 9. 10.

Ketut Dirga Nyoman Nerti Made Astiti

11.

Wayan Widanta

No

Keterangan Seorang pemuda desa yang melanjutkan sekolahnya di SPG Klungkun dan SGB Singaraja, dan juga kekasih Made Arini serta Gusti Ayu Jinar. Kakak tertua dari I Nyoman Santosa yang tewas dalam serangan I Gusti Ngurah Cepeg. Kakak ke dua dari I Nyoman Santosa, kekasih I Gusti Ayu Adi. Ayah dari Nyoman Santosa. Ibu dari Nyoman Santosa. Adik terkecil keluarga Nyoman Santosa. Kekasih pertama Nyoman Santosa yang akhirnya dikawin paksa oleh I Gusti Ngurah Cepeg. Teman sejawat I Nyoman Santosa di SPG Klungkung. Sahabat sejawat Made Arini di SMP Klungkung. Seorang remaja yang menyukai Nyoman Santosa di Singaraja, yang juga teman dari Gusti Ayu Jinar. Ayah dari Made Arini.

58

12. 13.

Ketut Dani Pekak Giyor

14.

Made Galang

Ibu dari Made Arini. Dukun yang membantu Anak Agung Alit Sudendi dalam mengawini secara paksa Made Arini Orang yang membantu Anak Alit Sudendi mengawini secara paksa Made Arini.

Keberadaan stratifikasi masyarakat Bali Tradisional ini berdampak pada penggunaan bahasa bahasa Bali dalam dialog-dialog yang dimainkan tokoh-tokohnya. Dengan mengacu pada dialog-dialog dalam novel ini, dapat diketahui dua yaitu (1) apabila komunikasi tersebut terjadi antargolongan jaba, maka bahasa yang digunakan cenderung bahasa Andap (Kepara/Lumbrah), (2) apabila komunikasi tersebut terjadi antargolongan tri wangsa, maka bahasa yang digunakan cenderung bahasa Andap bagi penutur yang lebih tua dan bahasa Alus bagi penutur yang lebih muda, (3) apabila komunikasi tersebut terjadi antara golongan Tri Wangsa dengan golongan Jaba, maka bahasa yang digunakan oleh golongan jaba tersebut adalah bahasa Alus, sedangkan golongan Tri Wangsa akan cenderung menggunakan bahasa Andap apabila berkomunikasi dengan golongan jaba. Hal ini dapat dibuktikan melalui dialog-dialog di bawah ini : a.

Dialog Antargolongan Jaba Dialog antargolongan jaba akan diambil dari percakapan Pan Madu dengan Men Madu pada saat Pan Men Madu membicarakan kegiatan sehari-hari Pan Madu yang seringkali dimintai bantuan untuk menolong orang sakit, dengan kondisi keluarganya sendiri yang masih miskin secara materi: Men Madu

Pan Madu

“Beneh, yèn perawat utawi dokter anè magajih buina madagang ubad tusing nyidaang nelokin anak sakit, ngèngkèn dadi beli anè maan sèn tepu, gèsèk? Buina anakè sakit joh joh tekain beli, nanging panak belinè jumah sakit tusing tawang bapannè. Apa buin lakar ngubadin, matakon bapannè tusing taèn, apa ia suba madaar apa tondèn? apa ngelah baju apa tusing anggona masuk mani? apa tuduh umahè apa tusing? (Benar, jika perawat atau dokter yang digaji apalagi yang berjualan obat saja tidak dapat mengunjungi orang sakit, apakah dari pekerjaan ini Bapak dapat uang? Apalagi, orang lain yang sakit di tempat yang jauh pun engkau datangi, tapi anak kita di rumah jika sakit tidak pernah tahu ayahnya. Apalagi akan mengobati, bertanya saja tidak pernah. Apakah dia sudah makan atau belum? Apakah dia sudah mempunyai baju untuk sekolahnya besok atau tidak? Apakah rumah kita bocor atau tidak?) : “Naaah, beli ngrasa tekèn awak lacur, tusing ngelah sakaya pipis. Keto masih tusing ngelah arta brana anggon matulung tekèn nyama brayanè. Yèn jani beli tusing mapikolih, dumadak mani puan panak-panak iraganè nemu rahayu, ada ngiwasin yèn kalahin beli mati malunan”. (Novel TLASK, hlm. 11) (Iya, aku merasa terhadap diri miskin, tidak mempunyai harta berupa uang. Demikian juga harta untuk membantu masyarakat. Jika sekarang aku tidak mendapatkan hasil apa-apa, semoga di hari esok anak-anak kita yang akan menemui kebahagiaan, ada yang memperhatikan jika aku mati duluan).

:

Mengacu pada dialog di atas, leksikon beneh ‘benar’, yèn ‘jika’, anè ‘yang’, madagang ‘berjualan’, ubad ‘obat’, dan yang lainnya membuktikan bahwa apabila terjadi dialog antargolongan jaba maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Andap. Apabila konteks situasi yang terbangun dalam komunikasi adalah orang tua dengan anaknya, atau orang yang belum kenal terlalu dekat, maka pronomina atau kata ganti orang ketiga tunggal yang digunakan cenderung memakai kata alus madya yaitu tiang ‘saya’. Hal ini dapat dibuktikan dari dialog antara Nyoman Santosa dengan ibunya, pada saat Nyoman Santosa berniat untuk melanjutkan sekolahnya. 59

Men Madu Nyoman Santosa

: “Apa sujatinè kenehang cai Man? (Apa yang sebenarnya kamu pikirkan Man?) : “Mèmè da nyen pedih mèmè tekèn tiang, sawirè keneh tiangè tan dadi baan neptepin. Tiang lakar nerusang masekolah ka Klungkung. (Novel TLASK, hlm. 8) (Ibu, janganlah ibu marah kepadaku, karena keinginanku tidak bisa ditahan lagi. Aku akan melanjutkan bersekolah ke Klungkung).

b.

Dialog Antargolongan Tri Wangsa Dialog antargolongan Tri Wangsa akan diambil dari dialog pada saat I Gusti Ngurah Cepeg melamar I Gusti Ayu Adi kepada orang tuanya. Gusti Ngurah Cepeg

Gusti Mangku

: “Aji, suwe sampun titiang kangin kauh, gumanti mamanah nunas pasuwecan ajine. Cutet mangkin anak aji, Ayu Adi tunas titiang, jagi ajak titiang sareng ngarembat anak lingsir jumah kauh”. (Aji, sudah lama sekali kehidupan saya tidak menentu, saat ini saya bermaksud meminta izin dari Aji. Intinya, sekarang putri Aji, Ayu Adi akan saya jadikan istri, akan saya ajak menjadi pendamping di rumah orang tua sya di Badung). : Kene Gus, adin Ngurahe saja aji ngelah panake. Ngurah masih ngelah misane. Sep awai cening maka dadua manyama. Mungguing awakne bakat baan aji ngisiang, nanging buat kenehne, sawireh jani ia suba kelih, tusing pantes aji mekek (TLASK, hlmn. 12). (Begini Gus, adikmu memang benar Aji yang memiliki. Kamu juga yang menjadi misannya. Engkau dengannya saudara yang dekat. Badannya dapat Aji pegang, tapi hatinya belum tentu. Karena Gusti Ayu Adi sudah dewasa, tidak pantas Aji memaksa).

Kosakata suwe ‘lama’, sampun ‘sudah’, titiang ‘saya’ pada dialog yang digambarkan di atas cenderung memperlihatkan penggunaan bahasa yang halus apabila penutur berbicara kepada penutur yang lebih tua dalam percapakan sesama golongan Tri Wangsa. Sementara itu, petutur memberikan jawaban dengan bahasa yang andap. Hal ini dibuktikan dari leksikon, kènè ‘begini’, adin ‘adik’, saja ‘benar’, ngelah ‘mempunyai’, anak ‘anak’ dan yang lainnya. Penggunaan bahasa penutur yang lebih halus daripada petutur di atas, barangkali disebabkan karena situasi formal. Akan tetapi, kecenderungan yang terjadi dalam dialog-dialog lainnya juga menunjukkan hal yang sama. Hal ini dapat dilihat pada saat Gusti Ayu Adi berdialog dengan ayahnya saat menyesali kematian Made Madi: Gusti Ayu Adi

:

Gusti Mangku

:

“Aji...., ampurayang titiang aji. Bas banget titiang ngaryanang aji sungkawa.” (Aji, maafkanlah saya Aji. Terlalu sering saya membuat Aji menderita). “Ah endepang suba geg. Tegtegan ragan ceninge. Yen suba tuduhing Sang Hyang Widi Wasalakar nyabut uripe, mula tusing dadi kelidin.” (TLASK, hlm : 19) (Ah, diamlah sudah Geg. Tenangkan dirimu. Jika sudah takdir Sang Hyang Widi Wasa akan mencabut hidup ini, memang tidak dapat dihindari).

c.

Dialog antara Golongan Jaba dan Tri Wangsa Dialog antara golongan jaba dan tri wangsa akan diambil pada saat Men Madu meminta obat kepada Ida Bagus Aji di Griya. Dialog tersebut dapat dijelaskan di bawah ini. Ida Bagus Aji : Men Madu

:

“To kenken Men Madu suba sanja, padidian buin?.” (Bagaimana Men Madu sudah senja (datang) sendirian ?) “Ratu, titiang nawegang mamitang lugra, matur sisip wawu pedek tangkil ring ratu, ngaturang indik sinengkaon parekan iratu saking itigang raina nenten mresidaang

60

bangun. Sakeng wawu sakit titiang sampun matari ring ipun jaga nuur palungguh iratu ngaksi parekane, nanging ipun nenten ngewehin” (TLASK, hlmn. 25). (Ratu, maafkan saya. Maaf, saya datang kepada Anda, menyampaikan tentang sakit abdimu yang dari tiga hari yang lalu tidak bisa berdiri. Sejak awal sakit saya sudah berbicara dengannya untuk meminta Ratu datang ke rumah, tapi dia tidak memberikan).

Penggunaan kata-kata kenken ‘bagaimana’, suba ‘sudah’, pedidi ‘sendirian’ dan yang lainnya dalam dialog di atas menunjukkan bahwa Ida Bagus Aji menggunakan kata-kata andap ketika sedang berbicara dengan Men Madu. Sementara itu, Men Madu menggunakan kata-kata yang halus pada saat berbicara dengan Ida Bagus Aji yang dapat dibuktikan dari kata-kata titiang ‘saya’, wawu ‘baru’, mresidaang ‘dapat’ dan yang lainnya. Hal ini dapat dikuatkan dari dialog Nyoman Santosa dengan Anak Agung Alit Sudendi di bawah ini. “Ih, Man, cai lakar kija, selidan suba mapayas nyateg”. (Ih Man, kamu akan kemana, masih terang sudah rapi) : “Ooh, Gung Dendi, titiang jagi nonton sareng Made Arini (TLASK, hlmn. 25). (Oh, Gung Dendi, saya akan menonton dengan Made Arini).

Anak Agung Alit Sudendi : Nyoman Santosa

2.2.2 Stratifikasi Modern Stratifikasi masyarakat modern adalah stratifikasi yang tidak lagi didasarkan pada aspek geneologi, melainkan lebih menyesuaikan dengan kemajuan zaman. Stratifikasi masyarakat tersebut di antaranya adalah pendidikan, pangkat, kekuasaan, dan jabatan tertentu menyebabkan golongan-golongan ini juga mendapatkan penghormatan dalam kehidupan masyarakat Bali yang tercermin melalu penggunaan bahasanya. Stratifikasi masyarakat Bali Modern dicerminkan oleh tokoh-tokoh berikut ini.

1. 2.

Tabel 2. Stratifikasi Masyarakat Bali Modern dalam Novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang Nama Tokoh Status Sosial Kepala Sekolah Kepala sekolah SPG Klungkung, tidak disebutkan oleh pengarang nama atau identitas tradisionalnya. Mantri Kesehatan Petugas kesehatan yang memeriksa Pan Madu, tidak disebutkan oleh pengarang nama atau identitas tradisionalnya.

Keberadaan stratifikasi masyarakat Bali Modern ini berdampak pada penggunaan bahasa bahasa Bali dalam dialog-dialog yang dimainkan tokoh-tokohnya. Hal ini tampak pada profesi-profesi baru yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan modern. Mengacu pada dialog-dialog yang terjadi dalam novel ini dapat diketahui bahwa jabatan tertentu dalam dunia pendidikan dan kesehatan misalnya, menyebabkan seseorang menggunakan bahasa Bali Alus dalam komunikasinya. Hal ini dapat dibuktikan dari percakapan antara Men Madu dengan Mantri Kesehatan di bawah ini. Mantri Kesehatan : “Ten kenapi-kenapi, me. Ibapa anak masuk angin tur batisne nyem. Pantesne bas ngampeg magawe di carike. Masan napi mangkin di carike, Pa?” (Tidak apa-apa Bu. Bapak hanya masuk angin, itu yang membuat kakinya dingin. Mungkin karena bekerja terlalu berat di sawah. Musim apa di sawah sekarang Bu?) Men Madu : “Enggih pak Mantri, mangkin dicarike sedeng eega magarapan. Tiang magarapan padidi sasukat kalaina mati teken panak tiange.(TlASK, hlmn : 25)”

61

(Iya Pak Mantri, sekarang di sawah sedang sibuk-sibuknya penggarapan. Saya menggarap sawah sendiri setelah ditinggal mati oleh anak saya).

Pada dialog di atas, melalui kata-kata ten ‘tidak’, kenapi-kenapi ‘kenapakenapa’ Mantri Kesehatan menggunakan unsur kosakata halus pada saat berbicara dengan Men Madu. Demikian pula Men Madu juga menggunakan unsur-unsur kosakata halus saat berbicara dengan Mantri Kesehatan seperti ditunjukkan kata oleh kata nggih ‘ya’, mangkin ‘sekarang’. Demikian pula, dialog dari Nyoman Santosa dengan Kepala Sekolahnya, penggunaan bahasa alus menjadi media komunikasinya dalam berbicara kepada Kepala Sekolah. Kepala Sekolah

Nyoman Santosa

“Kenken dadi mara Nyoman teka? Kaden timpale lenan ada masi naftarang dini, Man?” (Kenapa baru Nyoman datang? bukankah teman-teman lainnya ada yang mendaftar di sini, Man?) : “Kasep wiakti titiang Pak, santukan tan madue bekel jagi anggen titiang ngaranjing mawinan tan wehina ring memen titiange. Niki titiang murunang dewek, dumadak ledang bapak nerima titiang deriki ring SGB”.(TLASK, hlmn. 36) (Memang benar saya terlambat Pak, karena saya tidak mempunyai bekal untuk melanjutkan pendidika, itu yang menyebabkan saya tidak diberikan melanjutkan pendidikan oleh ibu saya. Ini saya memberanikan diri masuk, semoga Bapak berkenan menerima). :

Mengacu pada dialog di atas, maka stratifikasi masyarakat modern telah tercermin dalam novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang. Dalam dialognya terlihat penutur maupun petutur yang punya jabatan tinggi maupun masyarakat pada umumnya sama-sama menggunakan unsur bahasa halus sehingga terkesan lebih egaliter. 3.

SIMPULAN Berbasarkan analisis data di atas, dapat disimpulkan bahwa novel sebagai genre karya sastra memberikan informasi penting dalam perubahan kultural masyarakat Bali terutama penggunaan bahasanya. Analisis di atas juga menunjukkan bahwa stratifikasi sosial masyarakat Bali baik tradisional maupun modern sama-sama mempengaruhi penggunaan bahasa Bali Alus maupun Andap dalam aktivitas komunikasi. Tindak tutur bahasa Bali yang didasarkan pada wangsa melalui analisis di atas menunjukkan masih tetap dipertahankan. Sementara itu, stratifikasi masyarakat modern juga tetap berkembang. 4. DAFTAR PUSTAKA Ardika, I Gede. 2006. Kebijakan Strategi, dan Revitalisasi Bahasa Bali. Denpasar : Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Bagus, I Gusti Ngurah. dkk. 1978/1979. Unda Usuk Bahasa Bali. Denpasar : Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesi dan Daerah Bali Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. Perubahan Pemakaian Bentuk Hormat dalam dalam Masyarakat Bali Sebuah Pendekatan Etnografi Berbahasa (Disertasi Universitas Indonesia). Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya (Edisi Revisi). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sancaya, IDG Windhu. 2004. Bahasa Bali Jagadhita : Bahasa Budaya dan Pengetahuan. Denpasar : Pustaka Bali Post 62

Simpen, I Wayan. Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur. Denpasar : Pustaka Larasan dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur. Suasta, Ida Bagus Made. dkk. 2008. Kamus Bali-Indonesia Beraksara Latin dan Bali. Denpasar : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar dengan Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi Bali. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.

2. Artikel lainnya tentang bahasa Bali SAPAAN DALAM TUTURAN BAHASA BALI TERKAIT STRATIFIKASI SOSIAL PADA MASYARAKAT BALI MERUJUK KUASA DAN SOLIDARITAS KAJIAN SOSIOPRAGMATIK I Ketut Tika1), I Made Suastra2), Ni Luh Nyoman Seri Malini3), I Made Sena Darmasetiyawan4) 1)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 08123828909, [email protected] 2)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 3)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana 4)Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai kuasa dan solidaritas yang ditunjukkan tuturan beserta sapaan dalam bahasa Bali berkaitan dengan stratifikasi sosial pada masyarakat Bali. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif pendekata kualitatif yang mengutamakan tuturan spontan sebagai data. Adapun hasil penelitian yang ditemukan yaitu sapaan atau panggilan merujuk pada nilai kuasa pada tuturan penutur yang memiliki status sosial tinggi dengan petutur yang berstatus sosial lebih rendah, tuturan penutur berjenis kelamin laki-laki dengan petutur perempuan, dan tuturan penutur berumur lebih tua dengan petutur lebih muda, sedangkan hubungan sosial yang mendekatkan antar individu dalam interaksi komunikasi menunjukkan adanya solidaritas dan cenderung mengendurkan pengaruh status sosial. Kata Kunci: sapaan, stratifikasi sosial, kuasa, solidaritas Abstract The aim of this research is to know the power and solidarity value which are shown on Balinese utterances include the address terms in it which relate to social stratification in Balinese people. This research is descriptive research with qualitative approach which feature spontaneous utterances as the data. The finding in this research are the address term in Balinese utterances refer to power value that are 63

found on higher social status’ utterance with low status social’s, men’s utterances against women’s utterances, and old people’s utterances have more power value against the younger. Meanwhile, social relation which is strengthening certain people tend to be loosen on social status influence which is represented on Balinese utterances too. Kata Kunci: address terms, social stratification , power, solidarity 1. Pendahuluan Interaksi komunikasi antar individu dalam komunitas tertentu memberikan ruang pada perkembangan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dipengaruhi lingkungan sosial termasuk latar belakang penutur dan petutur yang terlibat di dalamnya. Latar belakang penutur dan penutur yang dimaksud yaitu stratifikasi sosial, jenis kelamin, dan umur. Hal ini ditunjukkan melalui tuturantuturan yang diucapkan dalam percakapan khususnya sapaan-sapaan yang juga dapat menunjukkan adanya nilai kuasa dan solidaritas. Dalam penelitian ini bukan hanya sapaan berupa leksikon saja yang dikaji tetapi kalimat yang mengandung sapaan yang dikaji sehingga komponen seluruh kalimat dapat memberi informasi secara utuh untuk mengetahui perkembangan sosial mellui bahasa yang digunakan khususnya bahasa Bali yang dipengaruhi stratifikasi sosial, umur, dan jenis kelamin penutur maupun petutur. Stratifikasi sosial di lingkungan sosial masyarakat Bali masih terjaga walaupun sudah mengendur karena sistem di masyarakat yang sudah mulai menyamaratakan kedudukan, bahasa Bali yang digunakan bahasa pergaulan dan dinamis. Akan tetapi, tanda stratifikasi sosial masih menjadi faktor yang berpengaruh dalam penggunaan bahasa adanya sapaan dalam tuturan-tuturan saat terlibat percakapan. Setiap bahasa dapat menunjukkan adanya tanda atau rujukan nilai kuasa dan solidaritas yang tidak hanya ditunjukkan penggunaan sapaan Tu dan Vous saja tetapi pemilihan sapaan pada nama depan, namanya saja, nama gelar, dan nama keluarga (Hudson, 2001: 123). Stratifikasi masyarakat tradisional di Bali ada dua golongan yaitu Tri Wangsa dan Jaba. Golongan Tri Wangsa dapat dibagi lagi menjadi Brahmana, Ksatria, dan Wesia, sedangkan golongan jaba terdiri atas golongan masyarakat pada umumnya di luar golongan Tri Wangsa. Berbeda dengan stratifikasi sosial tradisional, stratifikasi modern menggolongkan pekerjaan dan gelar pendidikan sebagai pembeda status sosial. Selain stratifikasi sosial, faktor umur dan jenis kelamin juga dapat memengaruhi penggunaan bahasa khususnya tingkatan-tingkatan tutur bahasa Bali. Nilai kuasa dan solidaritas dapat dibedakan juga dari penggunaan bahasa penutur dan petutur dan melibatkan faktor lain lagi seperti tingkat formalitas yang terkait dengan hubungan personal antara penutur dan petutur sehingga perbedaan signifikan terlihat antara tuturan yang mengandung nilai kuasa dan nilai solidaritas. Berdasarkan paparan pendahuluan tersebut penelitian ini mengangkat dua masalah untuk dikaji yaitu mengetahui pengaruh stratifikasi sosial, umur, dan jenis kelamin pada penggunaan bahasa Bali di masyarakat Bali dan menemukan nilai kuasa dan solidaritas pada tuturan bahasa Bali dalam penggunaan bahasa oleh masyarakat Bali. 2. Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Observasi partisipasi dan teknik elisitasi digunakan dalam pengumpulan data yaitu peneliti ikut berpartisipasi dalam komunitas tutur bahasa Bali yang bertujuan untuk 64

mendapatkan data lisan dan spontan (Labov 1972b: 102-11). Dalam pengumpulan data lebih mengkhusus menggunakan sampel purposif yaitu memilih sampel sesuai karakter masalah dalam penelitian ini (Hadi, 183:83). Data yang dikumpulkan berupa tuturan informan terkait yang direkam perekam dan transkripsi tuturan tersebut diklasifikasikan berdasarkan tingkat tutur dengan variabel jenis kelamin, umur, dan status sosial serta beberapa ranah terjadinya interaksi komunikasi. Pada tahap penyajian hasil analisis data, metode yang digunakan adalah metode formal dan informal. Metode formal merupakan metode perumusan dengan tanda-tanda dan lambang sedangkan metode informal merupakan metode dengan perumusan yang menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145). 3. Pembahasan Berdasarkan data yang diperoleh, hasil penelitian yang ditemukan dibahas lebih rinci seperti berikut ini. 3.1 Tuturan Bernilai Kuasa Contoh dari tuturan bernilai kuasa adalah tuturan-tuturan bahasa Bali dalam suatu percakapan yang melibatkan perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, dan perbedaan status sosial baik tradisional maupun modern yang dijelaskan sebagai berikut. Ngurah : Punapi gatra Gung Aji? Anak Agung Wira : montoan gen Rah (1) Percakapan (1) adalah percakapan antara teman seumuran yang sama-sama tergolong dalam golongan Tri Wangsa tetapi petutur memiliki status sosial lebih tinggi. Percakapan ini terjadi dalam keadaan normal dalam artian tidak melibatkan emosi pada situasi tersebut. Penutur menyadari status sosial yang dimiliki sehingga penutur menggunakan bahasa Bali Alus bertanya kepada petutur. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan asimetris yang menunjukkan adanya petutur sebagai pihak kuasa dan penutur sebagai pihak yang terkuasa. Irma

: Jero sampun kalih medue Oka, mriki ke pondok tyang kapahkapah Jero Onik : ae Ma, dua suba, manian nyen melali kene sibuk ngayah dini (2) Begitu juga percakapan (2), percakapan ini terjadi dalam keadaan normal dan penutur yang terlibat adalah teman seumuran bahkan teman masa kecil. Akan tetapi, adanya status sosial yang berbeda membuat penutur menggunakan bahasa Bali Alus dan menyapa dengan sapaan Jero padahal kedua penutur memiliki umur yang sama dan hubungan yang dekat. Wayan Juli Novi Wayan Juli

: be suud ujian tesis Pik? : sampun Bli, tuni semeng, Bli pidan? : bin a semester Pik (3)

Percakapan (3) melibatkan penutur yang berbeda umur tetapi sama dalam kedudukan stratifikasi sosial tradisional. Selain itu, keduat penutur juga dalam satu jenjang pendidikan walaupun berbeda angkatan. Wayan Juli adalah karyasiswa semester 2 dan Novi adalah karyasiswa semester 4. Dalam percakapan di atas, penggunaaan bahasa Bali Alus dan sapaan Bli yang digunakan petutur menunjukkan 65

petutur menyadari adanya perbedaan umur dan perbedaan jenis kelamin lawan bicara khususnya jenis kelamin laki-laki yang dianggap superior. Begitu juga petutur, penggunaan bahasa yang digunakan menunjukkan petutur menyadari dirinya adalah pihak kuasa walaupun petutur juga menyadari adanya perbedaan tingkat dalam jenjang pendidikan. Biyang Tude : niki sampun ten uning napi, nyeh mepreksa Dok Dokter Made : sing dadi nyeh Bu, penting yen suba ada gejala (4) Pecakapan (4) melibatkan kedua penutur yang memiliki jenis kelamin yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan, perbedaan status sosial modern dalam hal ini pekerjaan penutur adalah pedagang dan petutur adalah dokter, dan perbedaan umur penutur yang lebih tua dari petutur. Stratifikasi sosial modern digolongkan berdasarkan pekerjaan dan jenjang pendidikan membuat perubahan pada sistem hierarki di dalam kehidupan masyarakat Bali pada masa sekarang. Penutur yang tergolong ke dalam golongan Tri Wangsa menjadi pihak terkuasa yang ditunjukkan penggunaan bahasa Bali Alus kepada petutur yang bukan golongan Tri Wangsa tetapi berprofesi sebagai dokter yang dianggap memiliki status sosial lebih tinggi sesuai penggolongan stratifikasi sosial modern. Faktor umur yang lebih tuapun tidak diperhitungkan lagi. 3.2 Tuturan Bernilai Solidaritas Selain tuturan bernilai kuasa, tuturan bernilai solidaritas juga menggunakan tuturan-tuturan bahasa Bali dalam percakapan bahasa Bali dan dipaparkan sebagai berikut. Gung Putra : Kene Hp usak, kal meli baru gen Putu Wiyana : De lebian ngeluh Gung, biasaang (5) Percakapan (5) adalah percakapan yang melibatkan penutur yang memiliki status sosial lebih tinggi dari petutur sesuai penggolongan stratifikasi sosial tradisional. Kedua penutur menggunakan bahasa Bali Kepara yang tidak tergolong halus maupun kasar. Bahasa tersebut sering digunakan dalam pergaulan di lingkungan masyarakat Bali. Hubungan yang dekat antarpenutur membuat rasa solidaritas keduanya lebih erat sehingga kedudukan yang berbeda sesuai stratifikasi sosial tradisional di Bali tidak diperhitungkan lagi walaupun tetap menggunakan sapaan yang menunjukkan gelar atau perbedaan status sosial. Hal tersebut ditunjukkan dari penggunaan bahasa Bali Kepara yang digunakan keduanya. Agung Supadmi Ida Bagus Suanda

: Atu adi mare teka? : Mare uli Bukit Bu Gung, kenyel (6)

Pecakapan (6) melibatkan kedua penutur yang seumuran tetapi memiliki status sosial yang berbeda, status sosial petutur lebih tinggi dari penutur, dan percakapan ini terjadi di ranah kantor. Seperti percakapan (5), penutur dalam percakapan (6) menggunakan bahasa Bali biasa dan tetap menggunakan sapaan sesuai gelar yang menunjukkan status sosial tradisionalnya. Kedua penutura yang terlibat memiliki hubungan yang dekat karena sudah belasan tahun bekerja sama dalam satu kantor sehingga status sosial tidak dipermasalahkan yang ditunjukkan dari penggunaan bahasa Bali biasa dari kedua penutur.

66

4. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, perilaku berbahasa yang ditunjukkan penutur dan petutur dalam tuturan yang mengandung nilai kuasa menunjukkan perilaku berbahasa yang asimetris, yaitu pihak yang memiliki kedudukan lebih tinggi, umur lebih tua, dan berjenis kelamin laki-laki sebagai pihak penguasa sedangkan pihak yang berkedudukan lebih rendah sebagai pihak terkuasa. Implikasinya adalah tuturan pihak terkuasa lebih santun dengan menggunakan bahasa Bali Alus dan menyapa dengan gelar Tri Wangsa atau gelar pekerjaannya. Kedua, perilaku berbahasa berbeda ditunjukkan tuturan penutur dan petutur yang mengandung nilai solidaritas. Hubungan yang dekat memengaruhi perilaku berbahasa penutur dan petutur yang ditunjukkan dari penggunaan bahasa Bali biasa bahkan kepara walaupun tidak lupa menggunakan sapaan sesuai gelar Tri Wangsa yang dimiliki. 5. Daftar Pustaka Hadi, Sutrisno. 1983. Metodologi research I. Yogyakarta: UGM Press. Labov, W. 1972(b). Some principles of linguistic methodology. Language in Society 1, 97- 120. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya (Edisi Revisi). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press.

67

LAMPIRAN 6: CATATAN HARIAN (LOG BOOK) Catatan Harian (Log Book): Kegiatan Hibah : PNBP Judul Kegiatan : Bahasa dan Kategori-Kategori Sosial pada Masyarakat Bali, Sasak, dan Sumbawa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik pada Rumpun Bahasa Bagian Timur Melayu-Polinesia Barat NO

TANGGAL PELAKSANAAN

1.

21 Mei 2015

2.

29 Mei 2015

3.

12 Juni 2015

4.

26 Juni 2015

5.

10 Juli 2015

6.

15 Juli 2015

JUMLAH DANA PERSENTASE BERKAS TERPAKAI PELAKSANAAN Print, Fotokopi, dan Jilid Proposal Penelitian: Rp. Penandatanganan Kontrak 80% 130.000,Bensin: Rp. 75.000,Rapat Tim Peneliti Inti: Membahas tentang Konsumsi Rapat: Rp. 20% kelanjutan dari proposal penelitian 75.000,Rapat Tim Peneliti Inti: Membahas tentang Konsumsi Rapat: Rp. persiapan penelitian lapangan, dan segala prosedur 40% 75.000,(administratif) yang diperlukan Rapat Tim Peneliti Inti dengan asisten peneliti Snack Rapat: Rp. 50.000,60% untuk wilayah Lombok (Bahasa Sasak) Rapat Tim Peneliti Inti dengan asisten peneliti Snack Rapat: Rp. 60.000,80% untuk wilayah Bali (Bahasa Bali) URAIAN KEGIATAN

Rapat Tim Peneliti dengan seluruh tim lapangan: membahas tentang persiapan penelitian ke Snack Rapat: Rp. 90.000,lapangan, yang meliputi batasan, ranah, Konsumsi Rapat: Rp. kelengkapan-kelengkapan teknis, dan instrumen 225.000,kuesioner yang dipakai sebagai bahan penelitian lapangan

80%

68

ATK: Rp.173.000,Tinta dan Flashdisk: 2.230.000,7.

23 Juli 2015

Persiapan Penelitian Lapangan

Rp.

Obat-Obatan: Rp. 65.800,-

50%

Print dan Fotokopi Instrumen Penelitian: Rp.17.500,-

8.

9.

24 Juli 2015

25 Juli 2015

Penelitian Lapangan Lombok (Hari Pertama)  Tim berangkat ke Lombok  menemui informan Dr. Muhammad Sukri, S.Pd. M.Hum, Sekretaris Program Studi S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Mataram (UNRAM), yang berada di daerah pusat kota Mataram, Lombok Barat, terutama untuk melihat referensi-referensi yang berkaitan dengan penggunaan tingkat tutur bahasa sasak yang telah dipublikasikan  Tim menuju sekitaran Lombok Barat untuk melihat penggunaan bahasa Sasak di ranah pasar daerah yang menggunakan dialek MenoMene, yaitu daerah Narmada dan Ampenan, selain itu juga tim ke rumah-rumah untuk mengamati tingkat tuturan yang terjadi dalam ranah keluarga. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara dan kuesioner. Hari Kedua

Tiket Kapal: Rp. 390.000,Sewa Kendaraan (3 hari): Rp. 1.650.000,Makan pagi: Rp. 67.000,Makan siang: Rp. 80.000,-

70%

Makan malam: Rp. 66.000,Snack dan Minuman: Rp. 148.000,Fotokopi bahan pustaka: Rp. 37.500,Makan pagi: Rp. 82.000,-

70%

69



10.

26 Juli 2015

11.

27 Juli – Agustus 2015

menuju kantor Beraim, kecamatan Peraya Tengah Lombok Tengah untuk mengamati tingkatan tuturan dalam ranah perkantoran khususnya antara atasan dan bawahan dalam dialek Meno-Mene bahasa sasak Lombok.  penelitian dilanjutkan dengan ke rumah-rumah penduduk, di desa Ketejer, kecamatan Praya dan di daerah Penujak, bertemu beberapa informan, untuk mendapatkan informasi tentang bahasa sasak khususnya dialek Meno-Mene, dan juga tingkat tutur penggunaan bahasa Sasak terutama di kalangan bangsawan (Lalu dan Baiq) Hari Ketiga  Tim melakukan pengambilan data di sekitaran Lombok Timur, melalui wawancara dan kuesioner, khususnya untuk melihat penggunaan bahasa Sasak di ranah rumah tangga dan tetangga  Tim melanjutkan perjalanan kembali ke Denpasar 1

Transkripsi dan Tabulasi Data Bahasa Sasak

Makan siang: Rp. 132.000,Makan malam:Rp. 115.500 Snack dan Minuman: Rp. 27.500

Makan pagi: Rp. 62.000,Makan siang: Rp. 78.000,Makan malam: Rp. 37.000,Snack dan Minuman: Rp. 23.000,Penginapan: Rp. 1.800.000,Tiket Kapal: Rp. 390.000,-

70%

80%

70

12.

13.

30 Juli 2015

Penelitian lapangan Tim Bahasa Bali (setelah libur panjang Galungan dan Kuningan) – Hari Pertama  Tim bergerak ke kantor-kantor di sekitaran Denpasar untuk melihat penggunaan bahasa Bali dalam ranah kantor  Kemudian, tim juga mengumpulkan data dari sumber data tertulis, dan referensi-referensi sejenis, seperti novel, tresnane lebur ajur santonden kembang karya Djelantik Santha (1981) Pustaka Ekspresi Tabanan

31 Juli 2015

Hari Kedua  Tim bergerak ke rumah-rumah di seputaran Denpasar dan sekitaranya untuk melihat penggunaan bahasa Bali dalam ranah keluarga dan tetangga.

14.

1 Agustus 2015

15.

2 Agustus 2015

Hari Ketiga  Tim bergerak ke sekitaran pasarpasar tradisional di Denpasar dan sekitarnya untuk penggunaan bahasa Bali dalam ranah pasar  Tim a menuju ke daerah Tabanan, yaitu di sekitaran desa Jegu, Penebel, untuk melihat penggunaan bahasa Bali baik itu di ranah keluarga, pasar, maupun agama Hari Keempat  Tim bergerak ke sekitaran banjar

Sewa Alat Rekam: Rp. 700.000,Bensin: Rp. 20.000,Makan siang: Rp. 63.000,Snack dan Minuman: Rp. 58.000,Pulsa Telp dan Modem: Rp. 339.000,Fotokopi dan Jilid Bahan Pustaka: Rp. 92.900,Makan pagi: Rp. 34.000,Makan siang: Rp. 60.000,Snack dan Minuman:Rp. 44.600,Bensin: Rp. 44.000 Sewa Kendaraan: Rp. 400.000,Bensin: Rp. 200.000,Makan pagi: Rp. 39.000,Makan siang: Rp. 120.000,Makan malam: Rp. 42.000,Snack dan Minuman: Rp. 22.000,Bensin: Rp. 150.000,Makan pagi: Rp. 54.000,-

70%

70%

70%

70%

71



(seka truna), dan pura di sekitaran Denpasar dan sekitarnya untuk melihat penggunaan bahasa Bali dalam ranah agama dan Adat Kemudian, tim bergerak ke daerah Tabanan dan sekitarnya, yaitu di sekitaran desa Tunjuk, dan Susut untuk melihat penggunaan bahasa Bali baik itu di ranah keluarga, tetangga maupun agama.

3- 11 Agustus 2015

Transkripsi dan Analisis data awal baik itu data dari bahasa Sasak maupun Bali

17.

12 Agustus 2015

Rapat Seluruh Tim Peneliti, membahas tentang analisis data awal, dan penyusunan laporan kemajuan

18.

13 – 5 September Penyusunan laporan kemajuan, catatan harian, dan 2015 laporan penggunaan anggaran.

16.

Makan siang: Rp. 55.000,Makan malam: Rp. 60.000,Snack dan Minuman: Rp. 20.500,Fotokopi dan Jilid Bahan Pustaka: Rp. 163.100,-

Fotokopi dan Jilid Bahan Pustaka: Rp. 296.500,Pendaftaran SENASTEK: Rp. 900.000,Honor Pembantu Peneliti: 5 x Rp. 750.000,= Rp. 3.750.000,Snack Rapat: Rp. 90.000,Konsumsi Rapat: Rp. 225.000,Fotokopi Tabulasi dan Analisis data awal: Rp. 137.500,Honor Tabulasi Data 5xRp. 450.000,= Rp. 2.250.000,Print, Fotokopi, dan Jilid laporan kemajuan awal: Rp. 137.500,Pajak: Rp. 1.740.000,-

80%

80%

80%

72

73