BERKALA EPIDMIOLOGI VOL 1 NO 2 SEPT 2013.INDD

Download 2 Sep 2013 ... HUBUNGAN EMPAT PILAR PENGENDALIAN DM TIPE 2. DENGAN RERATA KADAR ... mengetahui ada tidaknya hubungan penerapan 4 pilar peng...

0 downloads 365 Views 216KB Size
HUBUNGAN EMPAT PILAR PENGENDALIAN DM TIPE 2 DENGAN RERATA KADAR GULA DARAH Average Blood Sugar and Diabetus Mellitus Type II Management Analysis Nurlaili Haida Kurnia Putri1, Muhammad Atoillah Isfandiari2 1FKM UA, [email protected] 2Departemen Epidemiologi FKM UA, [email protected] Alamat Korespondensi: Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia ABSTRAK Saat ini perhatian penyakit tidak menular semakin meningkat. Dari sepuluh penyebab utama kematian, dua diantaranya adalah penyakit tidak menular. Salah satunya Diabetes Melitus merupakan penyakit tidak menular yang mengalami peningkatan terus-menerus dari tahun ke tahun. Dengan adanya permasalahan tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui ada tidaknya hubungan penerapan 4 pilar pengendalian Diabetes Melitus dengan rerata kadar gula darah. Peneliti menggunakan penelitian observasional, dengan studi cross sectional. Sampel yang digunakan pada penderita diabetes lama yang melakukan pemeriksaan gula darah 3 kali secara berturut-turut. Di mana didapatkan 53 responden, peneliti melakukan wawancara dengan bantuan kuesioner untuk mengumpulkan data, serta dilakukan analisis menggunakan Chi Square untuk mengetahui hubungan pada masing-masing variabel yang diteliti. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah rerata kadar gula darah, sedangkan variabel bebasnya adalah penyerapan edukasi, pengaturan makan, olahraga, kepatuhan pengobatan. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan penyerapan edukasi dengan rerata kadar gula darah (p = 0,031). Dan ada hubungan antara pengaturan makan dengan rerata kadar gula darah (p = 0,002). Pada variabel berikutnya, ada hubungan olahraga dengan rerata kadar gula darah (p = 0,017). Dan ada hubungan kepatuhan pengobatan dengan rerata kadar gula darah (p = 0,003). Berdasarkan dari hasil analisis, kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat hubungan di semua variabel. Dengan penyerapan edukasi yang baik, pengaturan makan, olahraga, dan kepatuhan pengobatan mempunyai dampak menstabilkan glukosa darah dan meningkatkan kualitas hidup. Kata kunci: empat 4 pilar pengendalian Diabetes Melitus, rerata kadar gula darah ABSTRACT Nowadays there is increasing concerning to non-transmitted diseases. From, two out of ten disease leading to death are non communicable diseases. One of them is Diabetes Mellitus, which is non-transmitted diseases, increasing continuously from year to year. Because of these problems, this research is conducted to determine relation between application of 4 pillars of Diabetes Mellitus management anda average of blood sugar levels. Researcher used observational studies, with a cross sectional design. The sample used were patients suffering from Diabetes Mellitus for a long periode. Respondent had got as many as 53 people, interview held by questioner. Data was analyzed by Chi Square to determine the relationship of each variable that studied. The dependent variable is average of blood sugar levels, while the independent variables are education, meal regulation, exercise, medication obedience. The result showed, there is relation between education information and blood sugar levels (p = 0.031). There is relation between meal regulation and average of blood sugar (p = 0.002). There is the relation between exercise and average of blood sugar levels (p = 0.017). The last result showed that there is relation between medication obedience and average of blood sugar levels (p = 0.003). Based on result, researcher concludes there are relationship with average blood sugar. By good education accept, meal regulation, exercise, and medical obedience had effect on stabilize blood sugar and increase quality of life. Keywords: the four pillars of Diabetes Mellitus management, blood sugar levels

PENDAHULUAN

untuk bersikap mandiri dalam menjaga kesehatannya dan menyadari pentingnya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif (Depkes RI, 2000). Saat ini perhatian penyakit tidak menular semakin meningkat karena frekuensi kejadiannya pada masyarakat semakin meningkat. Dari sepuluh

Paradigma sehat sebagai suatu gerakan nasional dalam rangka pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2015 merupakan upaya meningkatkan kesehatan bangsa yang bersifat proaktif. Upaya ini bertujuan mendorong masyarakat

234

Nurlaili, dkk., Hubungan Empat Pilar Pengendalian DM…

penyebab utama kematian, dua diantaranya adalah penyakit tidak menular. Keadaan ini terjadi di dunia, baik di negara maju maupun di negara dengan ekonomi rendah dan menengah. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mempergunakan istilah penyakit kronis (chronic diseases) untuk penyakitpenyakit tidak menular. Penyakit tidak menular disebut juga sebagai new communicable diseases karena penyakit ini dianggap dapat menular, yakni melalui gaya hidup (Bustan, 2007). Salah satunya adalah penyakit diabetes melitus (DM) merupakan sebuah penyakit, di mana kondisi kadar glukosa di dalam darah melebihi batas normal. Hal ini disebabkan karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas dan merupakan zat utama yang bertanggung jawab untuk mempertahankan kadar gula darah dalam tubuh agar tetap dalam kondisi seimbang. Insulin berfungsi sebagai alat yang membantu gula berpindah ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi (Mahdiana, 2010). Penyakit Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. Diabetes adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan oleh gangguan sekresi insulin, dan resistensi insulin atau keduanya. Hiperglikemia yang berlangsung lama (kronik) pada Diabetes Melitus akan menyebabkan kerusakan gangguan fungsi, kegagalan berbagai organ, terutama mata, organ, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah lainnya (Suastika K., et al., 2011). Diabetes Melitus yang ditandai oleh hiperglikemia kronis. Penderita DM akan ditemukan dengan berbagai gejala, seperti poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak makan) dengan penurunan berat badan. Hiperglikemia dapat tidak terdeteksi karena penyakit Diabetes Melitus tidak menimbulkan gejala (asimptomatik) dan sering disebut sebagai pembunuh manusia secara diam-diam “Silent Killer” dan menyebabkan kerusakan vaskular sebelum penyakit ini terdeteksi. Diabetes Melitus dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan metabolik yang menyebabkan kelainan patologis makrovaskular dan mikrovaskular (Gibney dkk., 2008). Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insiden dan prevalensi Diabetes Melitus tipe II di berbagai

235

penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang Diabetes Melitus yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (WHO) Indonesia merupakan urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita Diabetes Melitus di dunia. Pada tahun 2006 jumlah penderita Diabetes Melitus di Indonesia mencapai 14 juta orang. Dari Jumlah tersebut baru 50% penderita yang sadar mengidap dan sekitar 30% diantaranya melakukan pengobatan rutin. Faktor lingkungan dan gaya hidup yang tidak sehat, seperti makan berlebihan, berlemak, kurang aktivitas dan stress berperan sangat besar sebagai pemicu Diabetes Melitus. Selain itu Diabetes Melitus juga bisa muncul karena adanya faktor keturunan (Sidhartawan, 2008). WHO memperkirakan prevalensi global Diabetes Melitus akan meningkat dari 171 juta orang pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030 (Riskesdes, 2007). Sekitar 60% jumlah pasien tersebut terdapat di Asia (Mahendra dkk, 2008). Indonesia berada pada peringkat ke-4 terbanyak kasus Diabetes Melitus di dunia (Purnomo, 2009). Pada tahun 2000 di indonesia terdapat 8,4 juta penderita Diabetes Melitus dan diperkirakan akan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Soegondo dan sukardji, 2008). Dalam Diabetes Atlas tahun 2000 (International Diabetes Federation) tercantum penduduk Indonesia diatas 20 tahun sebesar 125 juta dan dengan asumsi prevalensi Diabetes Melitus 4,6%. Berdasarkan pola pertambahan penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dengan asumsi prevalensi Diabetes Melitus 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien Diabetes Melitus. Berdasarkan laporan nasional Riskesdas (2007), Prevalensi penyakit Diabetes Melitus di Indonesia berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 0,7% sedangkan prevalensi DM (D/G) sebesar 1,1%. Data ini menunjukkan cakupan diagnosis Diabetes Melitus oleh tenaga kesehatan mencapai 63,6%, lebih tinggi dibandingkan cakupan penyakit asma maupun penyakit jantung. Prevalensi Diabetes Melitus menurut provinsi, berkisar antara 0,4% di Lampung hingga 2,6% di DKI Jakarta. Terdapat 17 provinsi yang mempunyai prevalensi Diabetes Melitus lebih tinggi dari angka nasional. Dari data Jawa Timur menunjukkan prevalensi Diabetes Melitus berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 1,0% sedangkan prevalensi DM (D/G) sebesar 1,3%.

236

Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 234–243

Gambar 1. Distribusi Penderita Diabetes Melitus Menurut Tahun. Sumber: Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2013 Di Surabaya sendiri seperti yang kita ketahui terdapat perkembangan dari tahun 2009 sejumlah 15.961, meningkat pada jumlah 21.729 pada tahun 2010, kemudian meningkat kembali pada tahun 2011 menjadi 26.613. Penderita Diabetes Melitus ini terus mengalami peningkatan pada tahun 2009 hingga 2011, namun pada tanggal 2012 terjadi penurunan menjadi sebesar 21.268. Suatu jumlah yang sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis bahkan semua tenaga kesehatan yang ada. Mengingat bahwa Diabetes Melitus akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar. Semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan Diabetes Melitus, khususnya dalam upaya pencegahan (Perkeni, 2006). Walaupun Diabetes Melitus merupakan penyakit kronik yang tidak dapat menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan Diabetes Melitus memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan terapi obat. Penyakit Diabetes Melitus memerlukan perawatan medis dan penyuluhan untuk self management yang berkesinambungan untuk mencegah komplikasi akut maupun kronis. Hasil dari Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pengendalian Diabetes Melitus yang baik dapat mengurangi komplikasi kronik Diabetes Melitus antara 20–30%. Bila diremehkan, komplikasi penyakit Diabetes Melitus dapat menyerang seluruh anggota tubuh. Dapat menyebabkan kerusakan gangguan fungsi, kegagalan berbagai organ, terutama mata, organ,

ginjal, jantung, saraf dan pembuluh darah lainnya. Karena itu Diabetes Melitus juga dikenal sebagai “Mother of Disease” karena merupakan induk atau ibu dari penyakit – penyakit lainnya seperti hipertensi, pembuluh darah, jantung, stroke, gagal ginjal dan kebutaan. Pada saat ini penyakit tidak menular seperti hipertensi dan Diabetes Melitus merupakan penyakit yang sering terjadi di masyarakat sehingga perlu dilakukan tindakan intervensi dalam kegiatan Program PPTM (Penanggulangan Penyakit Tidak Menular). Dengan memperbanyak skrining, penyuluhan kesehatan, perencanaan makan, rutin melakukan olahraga serta penyiapan logistiknya terutama obat diharapkan penderita diabetes dalam kondisi stabil. Diabetes Melitus merupakan kelainan metabolik dengan etiologi multifaktorial. Penyakit ini ditandai oleh hiperglikemia kronis dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Patofisiologi Diabetes Melitus akan ditemukan dengan berbagai gejala, seperti poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak makan) dengan penurunan berat badan. Hiperglikemia dapat tidak terdeteksi karena penyakit Diabetes Melitus tidak menimbulkan gejala (asimptomatik) dan menyebabkan kerusakan vaskular sebelum penyakit terdeteksi (Gibney, dkk., 2008). Diabetes Melitus tipe II merupakan jenis yang paling banyak dijumpai. Biasanya terjadi pada usia 45 tahun, tetapi bisa pula timbul pada usia di atas 20 tahun. Sekitar 90-95% penderita Diabetes Melitus tipe II. Pada Diabetes Melitus tipe II, pankreas, pankreas masih dapat membuat insulin, tetapi kualitas insulin yang dihasilkan buruk dan tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk memasukkan glukosa ke dalam sel. Akibatnya, glukosa dalam darah meningkat. Kemungkinan lain terjadinya Diabetes Melitus tipe 2 adalah sel jaringan tubuh dan otot penderita tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin (insulin resistance) sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun dalam peredaran darah. Keadaan ini umumnya terjadi pada pasien yang gemuk atau mengalami obesitas. Maka hal utama yang diperlukan adalah pengendalian Diabetes Melitus dengan pedoman 4 pilar pengendalian Diabetes Melitus, yang terdiri dari edukasi, pengaturan makan, olahraga, kepatuhan pengobatan (Perkeni, 2011). Dengan tujuan agar

237

Nurlaili, dkk., Hubungan Empat Pilar Pengendalian DM…

penyandang Diabetes Melitus dapat hidup lebih lama, karena kualitas hidup kebutuhan.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Penyerapan Edukasi, Pengaturan Makan, Olahraga, Kepatuhan Pengobatan

METODE Penelitian yang dilakukan adalah penelitian observasional yang bersifat analitik yaitu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara variabel penelitian. Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengamati hubungan antara faktor risiko terhadap akibat yang terjadi dalam bentuk penyakit atau keadaan (status) kesehatan tertentu dalam waktu yang bersamaan (Noor, 2008). Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien lama penderita Diabetes Melitus yang melakukan pemeriksaan kadar gula darah dalam waktu tiga bulan secara berturut-turut. Sampel pada penelitian ini adalah pasien lama penderita Diabetes Melitus yang melakukan cek kadar gula darah acak secara rutin selama tiga bulan berturut-turut di Puskesmas Pacarkeling Surabaya yang diperoleh sebanyak 53 responden. Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Rerata Kadar Gula Darah di Puskesmas Pacarkeling Tahun 2013 Rerata Kadar Gula Darah

Jumlah

Persentase (%)

Normal Tidak normal

36 17

32,1 67,9

Total

53

100,0

Jumlah

Persentase (%)

Baik Kurang Sesuai Tidak sesuai Olahraga Tidak olahraga 1 kali 2 kali 3 kali > 3 kali Tidak olahraga < 30 menit 30 menit > 30 menit Tidak olahraga Patuh

30 23 32 21 34 19

56,6 43,4 60,4 39,6 64,2 35,8

0 3 11 20 19

0 5,8 20,7 37,7 35,8

0 6 28 19

0 11,3 52,9 35,8

25

47,2

Tidak patuh

28

52,8

Variabel

Kategori

Penyerapan Edukasi Pengaturan Makan Olahraga Rutinitas

Lama melakukan olahraga Kepatuhan Pengobatan

Variabel yang diteliti meliputi; variabel bebas yaitu penerapan 4 pilar pengendalian Diabetes Melitus (yang terdiri dari penyerapan edukasi, pengaturan makan, olahraga, kepatuhan pengobatan) dan variabel terikat yaitu rerata kadar gula darah. Data primer didapatkan dengan wawancara menggunakan bantuan kuesioner. Data sekunder

Tabel 3. Tabulasi Silang antara Penyerapan Edukasi, Pengaturan Makan, Olahraga, Kepatuhan Pengobatan dengan Rerata Kadar Gula Darah Jumlah Variabel Penyerapan Edukasi

Kategori Baik

Kurang Pengaturan Makan

Sesuai

Tidak sesuai Olahraga

Olahraga Tidak olahraga

Kepatuhan pengobatan

Patuh Tidak patuh

Normal (< 160 mg/dl)

Tidak Normal (≥ 160 mg/dl)

n

%

n

%

24 12 27 9 27 9 22 14

45,3 22,7 50,9 17,1 50,9 17,1 41,5 26,4

6 11 5 12 7 10 3 14

11,3 20,7 9,4 22,7 13,2 18,8 6,6 26,4

238

Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 234–243

didapatkan dari rekam medis Puskesmas Pacarkeling, Surabaya. Selanjutnya, dilakukan analisis statistik untuk mengetahui hubungan variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji chi-square dengan α = 5%. HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki rerata kadar gula darah normal (< 160 mg/dl), yaitu sebesar 36 (67,9%) responden, dan sebanyak 17 (32,1%) responden mempunyai rata-rata kadar gula darah tidak normal (≥ 160 mg/dl). Distribusi ini berdasarkan hasil rata-rata kadar gula darah responden selama 3 bulan berturut-turut. Distribusi Penyerapan Edukasi Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan baik, yaitu sebesar 30 (56,6%) responden. Sedangkan responden yang memiliki tingkat penyerapan kurang, yaitu sebesar 23 (43,4%). Distribusi ini berdasarkan penyerapan edukasi yang diperoleh responden yang dapat dilihat pada tabel 2. Distribusi Pengaturan Makan Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden memiliki tingkat pengaturan yang sesuai dengan anjuran tenaga kesehatan, yaitu sebesar 32 (60,4%) responden. Sedangkan responden yang memiliki pengaturan makan tidak sesuai, yaitu sebesar 21 (39,4%). Distribusi ini berdasarkan pengaturan makan yang diperoleh responden yang dapat dilihat pada tabel 2. Distribusi Olahraga Hasil penelitian menunjukkan terdapat 34 responden yang melakukan olahraga dan sebanyak 20 (37,7%) responden melakukan olahraga ≥ 3 kali dalam seminggu. Sedangkan yang tidak melakukan olahraga, yaitu sebesar 19 (35,8%). Dari hasil penelitian olahraga, terdapat 34 responden yang melakukan olahraga. Sebanyak 20 (37,7%) responden melakukan olahraga ≥ 3 kali dalam seminggu dan sebanyak 28 (52,9%) responden melakukan olahraga > 30 menit. Distribusi ini berdasarkan aktivitas olahraga yang dilakukan oleh responden yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Distribusi Kepatuhan Pengobatan Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden tidak patuh melakukan pengobatan, yaitu sebesar 28 (52,8%) responden. Sedangkan responden yang patuh melakukan pengobatan sebesar 25 (47,2%). Distribusi ini berdasarkan kepatuhan pengobatan yang dilakukan responden yang dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil Tabulasi Silang Penyerapan Edukasi Dari Tabel 3, hasil tabulasi silang penelitian tentang penyerapan edukasi diketahui bahwa sebagian besar responden dengan penyerapan edukasi baik memiliki rerata kadar gula darah < 160 mg/dl yaitu sebanyak 45,3%. Sebagian besar responden dengan penyerapan edukasi kurang memiliki rerata kadar gula < 160 mg/dl yaitu sebanyak 22,7%. Berdasarkan uji statistik dengan Uji Chi Square didapatkan ρ = 0,031 (ρ < α), yang berarti penelitian ini ada hubungan antara penyerapan edukasi yang diperoleh dengan rerata kadar gula darah acak. Pengaturan Makan Pada tabel 3 dapat dilihat hasil tabulasi silang tentang pengaturan makan yang diketahui bahwa sebagian besar responden dengan pengaturan makan yang sesuai memiliki rerata kadar gula darah < 160 mg/dl yaitu sebanyak 50,9%. Sebagian besar responden dengan pengaturan makan yang tidak sesuai memiliki rerata kadar gula ≥ 160 mg/dl yaitu sebanyak 22,7%. Berdasarkan uji statistik dengan Uji Chi Square didapatkan ρ = 0,002 (ρ < α), yang berarti penelitian ini ada hubungan antara pengaturan makan yang diperoleh dengan rerata kadar gula darah acak. Olahraga Pada Tabel 3 dapat dilihat hasil penelitian ini tentang tabulasi silang kegiatan olahraga yang diketahui bahwa sebagian besar responden melakukan olahraga memiliki rerata kadar gula darah < 160 mg/dl yaitu sebanyak 50,9%. Sebagian besar responden dengan tidak melakukan olahraga memiliki rerata kadar gula ≥ 160 mg/dl yaitu sebanyak 18,8%. Berdasarkan uji statistik dengan Uji Chi Square didapatkan ρ = 0,017 (ρ < α), yang

Nurlaili, dkk., Hubungan Empat Pilar Pengendalian DM…

berarti penelitian ini ada hubungan antara olahraga dengan rerata kadar gula darah acak. Kepatuhan Pengobatan Pada tabel 3 dapat dilihat hasil penelitian ini tentang tabulasi silang kepatuhan pengobatan yang diketahui bahwa sebagian besar responden dengan kepatuhan pengobatan yang baik memiliki rerata kadar gula darah < 160 mg/dl yaitu sebanyak 41,5%. Sebagian besar responden yang tidak patuh melakukan pengobatan memiliki rerata kadar gula ≥ 160 mg/dl yaitu sebanyak 26,4%. Berdasarkan uji statistik dengan Uji Chi Square didapatkan ρ = 0,003 (ρ < α), yang berarti penelitian ini ada hubungan antara kepatuhan pengobatan dengan rerata kadar gula darah acak. PEMBAHASAN Hubungan Penyerapan Edukasi dengan Rerata Kadar Gula Darah Kegiatan penyuluhan kesehatan dapat dilakukan melalui penyuluhan kelompok dan penyuluhan masa, sedangkan kegiatannya dilakukan oleh Puskesmas, Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan maupun lembagalembaga lainnya. Edukasi merupakan pendidikan atau latihan mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan Diabetes Melitus yang diberikan setiap pasien Diabetes Melitus. Menurut Basuki (2009), penyandang Diabetes Melitus perlu mendapatkan informasi minimal yang diberikan setelah diagnosis ditegakkan, mencakup pengetahuan dasar tentang diabetes, pemantauan mandiri, sebab-sebab tingginya kadar glukosa darah, obat hipoglikemia oral, perencanaan makan, perawatan, kegiatan jasmani, tandatanda hipoglikemi dan komplikasi. Penyandang diabetes yang mempunyai pengetahuan cukup tentang diabetes, kemudian selanjutnya mengubah perilakunya, sehingga akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya dan penyandang diabetes dapat hidup lebih berkualitas. Edukasi dan informasi yang tepat dapat meningkatkan kepatuhan penderita dalam menjalani program pengobatan yang komprehensif, sehingga pengendalian kadar glukosa darah dapat tercapai. Dengan kepatuhan yang lebih, maka akan lebih mudah menyerap informasi berkaitan dengan penyakitnya sehingga pasien Diabetes Melitus relatif dapat hidup normal bila mengetahui kondisinya dan cara penatalaksanaan penyakitnya tersebut.

239

Dari hasil uji statistika menggunakan uji Chi Square menunjukkan ada hubungan antara penyerapan edukasi dengan rerata kadar gula darah acak. Berdasarkan pada hasil penelitian didapatkan sebagian besar penderita Diabetes Melitus berpengetahuan baik dengan rerata kadar gula darah normal. Hal ini menandakan pengetahuan yang baik dapat mengubah tingkah laku. Dengan demikian masih diperlukan pula adanya pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan Diabetes Melitus yang diberikan kepada setiap pasien diabetes, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan sehingga dapat mengubah perilaku penyandang Diabetes Melitus untuk lebih baik. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Dengan pemantauan tersebut didapat kondisi kadar gula darah terkontrol. Hubungan Pengaturan Makan dengan Rerata Kadar Gula Darah Pengaturan makan merupakan gambaran tentang pola makan/kebiasaan makan meliputi jenis dan frekuensi makan. Pengaturan ini merupakan bagian dari penatalaksanaan Diabetes Melitus secara total. Kunci keberhasilan dalam pengaturan makan adalah keterlibatan secara menyeluruh dari seluruh tim (petugas kesehatan, keluarga dan pasien). Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa ada hubungan antara pengaturan makan dengan rerata kadar gula darah acak. Hal ini dikarenakan pengaturan makan dapat menstabilkan kadar glukosa darah dan lipid-lipid dalam batas normal (Syahbudin, 2007). Hal ini harus diperhatikan oleh semua pihak karena semakin bertambah usia seseorang maka akan terjadi penurunan fungsi organ tubuh yaitu fungsi otak yang berhubungan dengan daya ingat. Sehingga dengan bertambahnya umur penderita Diabetes Melitus maka kemampuan untuk melakukan perencanaan makan sehari-hari juga akan semakin menurun. Makanan akan menaikkan glukosa darah, satu sampai dua jam setelah makan, glukosa darah mencapai angka paling tinggi. Dengan mengatur perencanaan makan yang meliputi jumlah, jenis dan jadwal, diharapkan dapat mempertahankan kadar glukosa darah dan lipid dalam batas normal dan penderita mendapatkan nutrisi yang optimal.

240

Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 234–243

Sumber tenaga yang paling sering di konsumsi adalah nasi dengan frekuensi tiga kali sehari. Hal ini dikarenakan nasi merupakan sumber makanan pokok mayoritas masyarakat suku jawa, sehingga sangat susah untuk diubah agar makanan pokok ini lebih bervariasi. Karbohidrat atau hidrat arang adalah suatu gizi yang fungsi utamanya sebagai penghasil energi, di mana setiap gramnya menghasilkan 4 kalori. Karbohidrat ini lebih banyak dikonsumsi sehari-hari sebagai makanan pokok, terutama di negara sedang berkembang. Hal ini disebabkan sumber bahan makan yang mengandung karbohidrat lebih murah harganya dibandingkan sumber bahan makanan kaya lemak maupun protein. Karbohidrat banyak ditemukan pada serealia (beras, gandum, jagung, kentang dan sebagainya), serta pada biji-bijian (Ostman, 2001). Penukar nasi umumnya digunakan sebagai makanan pokok, satu porsi setara dengan ¾ gelas atau 100 gram, mengandung 175 kalori, 4 gram protein, dan 40 gram karbohidrat, untuk menentukan berapa kebutuhan karbohidrat total per hari dapat ditentukan dengan melihat kebutuhan energi sehari. Sumber protein yang paling sering dikonsumsi adalah ayam ras dengan frekuensi satu kali dalam satu minggu. Hal ini dikarenakan responden merasa terlalu mahal beli daging sapi maupun kambing, sebagai gantinya maka responden mengonsumsi daging ayam. Sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi adalah tahu dengan frekuensi tiga kali sehari. Hal ini dikarenakan tahu mudah didapat dan harga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Menurut Suyono (2007), berkurangnya aktivitas insulin pada diabetes dapat menghambat sintesis protein. Asupan protein sebesar 0,8 g/kg BB ideal dapat mempertahankan protogenesis, dengan catatan 50% daripadanya harus berasal dari protein hewani. Sayuran golongan A yang paling sering dikonsumsi responden adalah wortel dengan frekuensi sehari sekali. Hal ini dikarenakan wortel merupakan jenis sayuran yang sangat mudah di dapat dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat mengonsumsi wortel dalam sayur sop. Sayuran golongan B yang paling sering dikonsumsi responden adalah kubis dan toge dengan frekuensi konsumsi kubis sehari sekali dan toge dikonsumsi seminggu sekali. Hal ini dikarenakan kubis dan toge merupakan sayuran yang mudah didapatkan dan harganya terjangkau. Menurut Tjokroprawiro (2006),

sayuran golongan A mengandung 6% karbohidrat dan penggunaannya harus diperhitungkan kalorinya. Sayur golongan B hanya mengandung 3% karbohidrat, sehingga dapat dikonsumsi dengan leluasa namun tidak berlebihan. Buah golongan A yang paling sering dikonsumsi responden adalah jeruk manis dan nanas dengan frekuensi dua kali dalam satu bulan untuk jeruk manis dan satu kali dalam satu bulan untuk nanas. Hal ini dikarenakan harga jeruk dan nanas yang dapat dijangkau seluruh masyarakat, mudah didapatkan dan rasa buah yang menyegarkan. Buah golongan B yang paling sering dikonsumsi responden adalah pepaya dengan frekuensi sehari sekali. Hal ini dikarenakan buah pepaya mudah didapatkan, harga terjangkau, dapat dikonsumsi oleh banyak orang di rumah. Menurut Tjokroprawiro (2006), buah-buahan yang dianjurkan untuk dimakan adalah buah yang kurang manis yang sering digolongkan menjadi golongan buah B. Buahbuahan yang manis digolongkan menjadi golongan buah A, golongan buah ini dilarang diberikan kepada penderita diabetes. Buah golongan A ini boleh dimakan asal dalam jumlah sedikit atau jarang, dan dimakan sesudah sayur golongan B. Sayur, buah dan kacangan mengandung banyak sekali serat yang dapat memperlambat absorpsi glukosa, sehingga dapat ikut berperan mengatur gula darah dan memperlambat kenaikan gula darah, makanan yang cepat dirombak dan lambat diserap masuk ke aliran darah akan menurunkan gula darah (Almatsier, 2006). Sayuran dibagi menjadi 2 golongan, yaitu sayur golongan A dan sayur golongan B. Sayur golongan A mengandung 6% karbohidrat dan penggunaannya harus dibatasi serta diperhitungkan kalorinya. Sedangkan sayur golongan B mengandung 3% karbohidrat, sehingga dapat dikonsumsi agak bebas. Buah-buahan juga dibagi menjadi 2 golongan, yaitu buah golongan A dan buah golongan B. Buah golongan A merupakan sebutan untuk buah-buahan yang manis, yang seringkali mengecilkan perawatan dan harus dilarang diberikan kepada penderita Diabetes Melitus, contohnya: sawo, mangga, jeruk, rambutan, durian, anggur. Buah golongan A ini boleh dimakan asal dalam jumlah sedikit, jarang dan dimakan sesudah sayur golongan B. Buah golongan B merupakan sebutan untuk buah-buahan yang kurang manis, misalnya pepaya, kedondong, pisang (kecuali pisang raja, pisang

Nurlaili, dkk., Hubungan Empat Pilar Pengendalian DM…

emas, pisang tanduk), apel, tomat, jambu air, jambu bol, salak, belimbing, bengkoang, semangka yang kurang manis. Jenis susu yang paling dikonsumsi adalah susu tanpa lemak dengan frekuensi satu hari sekali. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden mengontrol kadar gula darah dengan mengonsumsi susu untuk penderita Diabetes Melitus. Susu tanpa lemak tidak mengandung lemak dan jumlah kalorinya lebih rendah dibandingkan susu rendah lemak dan susu tinggi lemak. Menurut Tjokroprawiro (2006), 200 gram susu skim cair mengandung 75 kalori, yang terdiri atas protein 7 gram dan karbohidrat 10 gram. Hubungan Penerapan Olahraga dengan Rerata Kadar Gula Darah Olahraga merupakan suatu program latihan jasmani dengan tujuan mengurangi resistensi insulin sehingga kerja insulin lebih baik dan mempercepat pengangkutan glukosa masuk ke dalam sel untuk kebutuhan energi. Olahraga secara teratur 34 kali seminggu dengan durasi kurang lebih 30 menit dapat menjaga kebugaran dan menurunkan berat badan. Selain itu, dapat untuk memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Untuk yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapatkan komplikasi Diabetes Melitus dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak dan bermalas-malasan, misalnya; menonton televisi, menggunakan internet, main game komputer dan lain-lain. Sebaiknya kebiasaan tersebut diubah, misalnya mengubah kebiasaan ke pasar menggunakan kendaraan bermotor dengan berjalan kaki ke pasar, mengganti kebiasaan menggunakan lift dengan naik tangga, parkir kendaraan dengan jarak yang tidak berdekatan dengan pintu masuk sehingga dapat berjalan dari tempat parkir. Slain itu bisa memperbanyak aktivitas fisik tinggi pada waktu liburan, misalnya jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda, sepak bola. Manfaat olahraga bagi penderita diabetes antara lain menurunkan kadar gula darah, mencegah kegemukan, ikut berperan dalam mengatasi kemungkinan terjadinya komplikasi aterogenik, gangguan lipid darah, peningkatan tekanan darah, hiperkoagulasi darah (Ilyas, 2009). Menurut Chaveau dan Kaufman dalam Depkes (2008), latihan fisik pada penderita Diabetes Melitus dapat menyebabkan

241

peningkatan pemakaian glukosa darah oleh otot yang aktif sehingga latihan fisik secara langsung dapat menyebabkan penurunan kadar lemak tubuh, mengontrol kadar glukosa darah, memperbaiki sensitivitas insulin, menurunkan stres. Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa ada hubungan antara olahraga dengan rerata kadar gula darah acak pada penderita Diabetes Melitus. Hal ini dikarenakan olahraga dapat menurunkan kadar glukosa darah. Salah satu olahraga yang bisa dilakukan adalah senam, senam diabetes sangat penting dilakukan karena senam tersebut bisa mengolah semua organ tubuh manusia, mulai otak hingga ujung kaki (Brian J. Sharkey, 2003). Sebab dampak penyakit diabetes menyerang seluruh tubuh. Dampak paling ringan adalah kaki kesemutan. Sedangkan yang terparah adalah menderita stroke. Gerakan yang bervariasi membuat otak bekerja sehingga dapat meningkatkan daya ingat dan memperkuat konsentrasi. Hal ini merupakan terapi untuk mencegah terjadinya dimensia (pikun). Selain itu, ada beberapa responden yang tidak melakukan aktivitas olahraga, ini bisa disebabkan karena kesibukan masing-masing individu yang belum dapat meluangkan waktunya, belum terbentuknya kebiasaan melakukan olahraga teratur dan kurang tersedianya sarana dan prasarana yang memadai dalam melakukan keteraturan olahraga. Selain itu juga karena faktor usia yang sudah mendekati usia lansia di mana usia tersebut mengalami penurunan terhadap kerja fungsi otototot dan syaraf sehingga tidak dapat melakukan olahraga secara teratur. Dalam Perkeni (2006) disebutkan bahwa olahraga secara teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. Olahraga selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki kendali glukosa darah. Ada baiknya bila sebelum melakukan olahraga melakukan konsultasi dengan dokter untuk menentukan jenis olahraga yang tepat dan sesuai dengan kemampuannya. Hubungan Kepatuhan Pengobatan dengan Rerata Kadar Gula Darah Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa ada hubungan antara kepatuhan pengobatan dengan rerata gula darah acak pada penderita Diabetes Melitus. Hal ini dikarenakan bila penderita minum obat secara teratur dan diimbangi dengan gaya

242

Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 1, No. 2 September 2013: 234–243

hidup yang sehat akan menurunkan kadar gula darah diabetisi. Perilaku keteraturan konsumsi obat anti diabetes responden menjadi salah satu upaya untuk pengontrolan dalam pengendalian glukosa darah ataupun komplikasi yang dapat ditimbulkan. Bila penderita Diabetes Melitus tidak patuh dalam melaksanakan program pengobatan yang telah dianjurkan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya maka akan dapat memperburuk kondisi penyakitnya. Keberhasilan dari pengobatan Diabetes Melitus ini selain dengan pengobatan secara medik, dalam bentuk pemberian obat juga dipengaruhi dengan pola diet dan olahraga untuk menjaga kebugaran tubuh. Kepatuhan penderita adalah perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat dan ketepatan berobat. Hal ini berkenaan dengan kemauan dan kemampuan penderita untuk mengikuti cara hidup sehat yang berkaitan dengan nasehat, aturan pengobatan yang ditetapkan, mengikuti jadwal pemeriksaan. Sangat sulit menilai tingkat kepatuhan penderita dalam mengikuti anjuran dokter untuk dapat mengendalikan kadar glukosa darah, baik menyangkut jadwal minum obat dan dosis, maupun pola hidup (pola makan, olahraga, dan lain-lain). Menurut data WHO (2013), tingkat kepatuhan pengobatan pada penderita Diabetes Melitus dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya; karakteristik pengobatan dan penyakit (kompleksitas terapi, durasi penyakit dan pemberian perawatan), faktor intrapersonal (umur, gender, rasa percaya diri, stres, depresi dan penggunaan alkohol), faktor interpersonal (kualitas hubungan pasien dengan penyedia layanan kesehatan dan dukungan sosial) dan faktor lingkungan (situasi berisiko tinggi dan sistem lingkungan). Pengobatan akan dapat berjalan dengan baik jika diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Namun masih banyak penderita penyakit Diabetes Melitus yang tidak rutin dalam mengonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh dokter. Kebanyakan para penderita Diabetes Melitus mengonsumsi obatobatan apabila merasakan keluhan saja. Hal tersebut bisa dimungkinkan karena berbagai faktor seperti responden kurang mendapat informasi tentang upaya pengendalian glukosa darah yang lengkap dan kepatuhan responden dalam melaksanakan anjuran yang diberikan dokter. Mengubah aturan minum obat yang tidak sesuai dengan anjuran dokter dapat mengurangi efektivitas.

Karena setiap obat memiliki fungsi dan waktu kerja yang berbeda sehingga penggunaannya juga harus tepat sesuai aturan agar obat bekerja secara efektif. Namun, apabila selama minum obat penderita merasakan keluhan, dapat melakukan konsultasi kembali dengan dokter. Pengobatan diabetes memerlukan waktu yang lama karena diabetes akan diderita seumur hidup dan sangat kompleks karena membutuhkan pengobatan dan perubahan gaya hidup sehingga seringkali pasien menjadi tidak patuh dan cenderung putus asa dengan program terapi yang lama, kompleks dan tidak menghasilkan kesembuhan. Keteraturan pemeriksaan gula darah di pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh responden seringkali hanya sebatas untuk mengetahui perkembangan dari diabetes yang dialami dan pemberian obat tanpa ada sikap atau langkah berkelanjutan untuk mengendalikannya. Selain itu, kurangnya informasi atau konseling pada saat pemeriksaan bisa menjadi salah satu faktor belum efektifnya proses pemeriksaan teratur terhadap pengaruhnya dalam pengendalian glukosa darah. Karena salah satu tujuan dari dianjurkan pemeriksaan teratur yang dilakukan oleh penderita Diabetes Melitus adalah sebagai upaya dalam deteksi dini terjadinya komplikasi serta upaya penanganan klinis yang baik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian pada penerapan 4 pilar pengendalian Diabetes Melitus dengan rerata kadar gula darah, yaitu sebagian besar responden dengan penyerapan edukasi baik, melakukan pengaturan makan, melakukan olahraga ≥ 3 kali seminggu dengan frekuensi > 30 menit, dan sebagian besar penderita Diabetes Melitus tidak patuh melakukan pengobatan, dan rerata kadar gula darah dalam batas normal. Terdapat juga beberapa responden yang belum tahu tentang edukasi Diabetes Melitus, pengaturan makan, olahraga, dan keteraturan berobat. Saran Perlu dilakukan sosialisasi tentang 4 pilar pengendalian Diabetes Melitus yang dilakukan oleh petugas melalui POSBINDU maupun di kegiatan lainnya.

Nurlaili, dkk., Hubungan Empat Pilar Pengendalian DM…

REFERENSI Almatsier, S., 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, edisi ke-6. Jakarta: EGC. Depkes. 2008. Metode Pencegahan dan Penanggulangan Faktor Risiko Diabetes Melitus. Jakarta: Depkes RI. Dinas Kesehatan Kota Surabaya. 2012. Profil Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2010. Surabaya: Dinas Kesehatan Kota Surabaya. FKM UNAIR. 2008. Pedoman Penulisan dan Tata Cara Ujian Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga. Gibney J.M., Margaretts M.B., Kearney M.J., & Arab L. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Mahdiana, R. 2010. Mencegah Penyakit Kronis Sejak Dini. Yogyakarta: Tora Book. Mahendra B, Krisnatuti D, Tobing A, & Alting AZB. 2008. Care Yourself, Diabetes Mellitus. Jakarta: Penebar Plus. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

243

Perkeni. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. (http://www.kedokteran.info/konsensuspengelolaan-dan-pencegahan-diabetes-mellitustipe-2-di-indonesia-2006.html.PDF). Purnomo, H. 2009. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit yang Paling Mematikan. Yogyakarta: Buana Pustaka. Soegondo S. & Sukardji K. 2008. Hidup Secara Mandiri dengan Diabetes Mellitus Kencing Manis Sakit Gula. Jakarta: FKUI. Soegondo S., Soewondo P., & Subekti I. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Terpadu. Jakarta: FKUI. Suyono, S. 2009. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Penyandang Diabetes, dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Tjokroprawiro, A. 2006. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabetes. Jakarta: GPU. World Diabetes Foundation. 2005. Atlas Diabetes. Executive Summary, second edition.