BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BETOK

Download 29 Apr 2008 ... Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009. Page 2. Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineu...

2 downloads 670 Views 476KB Size
Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch, 1792) DI RAWA BANJIRAN SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR [Reproductive biology of climbing perch (Anabas testudineus Bloch, 1792) in floodplain of Mahakam River, East Kalimantan] Yunizar Ernawati1, M. Mukhlis Kamal1, dan Noncy Ayu Yolanda Pellokila2 1

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB 2 Mahasiswa Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Dep. MSP FPIK IPB  Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, FPIK IPB Jl. Agatis, Gd. FPIK Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 e-mail korespondensi: [email protected] Diterima: 21 Juli 2009, Disetujui: 17 November 2009

ABSTRACT A study that head for to find out some aspects biology reproduction of climbing perch (Anabas testudineus) in floodplains of Mahakam River, East Kalimantan that have been conducted of November until January with survey method. Floodplain in the Mahakam River is one of area freshwater fishing which plays an important role for East Kalimantan’s societies. Results research suggested that classified water quality from Mahakam’s drainage basin floodplain as still be able to support of climbing perch life. Climbing perch has growth patterns as a whole is negative allometric (b<3). Most Climbing perch are caught are fish had entered the GMR 3 and 4 (gonado maturity). Climbing perch classified potentially high reproduction because it has a large fecundity. Key words: Climbing perch, fecundity, floodplain, gonado maturity index, gonado maturity rate, reproductive.

eksploitasi ini juga diiringi dengan kerusakan

PENDAHULUAN Rawa

banjiran

Mahakam

lingkungan yang terjadi di Sungai Mahakam dan

merupakan salah satu bagian dari perairan umum

sekitarnya yang di perkirakan dapat membawa

yang

dampak buruk terhadap sumber daya ikan betok

memegang

Sungai

peranan

penting

dalam

menghasilkan ikan air tawar (Samuel et al., 2002).

di habitatnya (Media Indonesia, 2003).

Salah satu jenis ikan yang sering

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji

ditangkap baik pada musim kemarau maupun

beberapa aspek biologi reproduksi ikan betok (A.

penghujan

testudineus) di Rawa Banjiran Sungai Mahakam,

adalah

testudineus).

ikan

Ikan

betok

betok

(Anabas

mempunyai

nilai

Kalimantan Timur.

Penelitian ini diharapkan

ekonomis dan harga jualnya pun cukup tinggi.

dapat menjadi informasi tambahan dalam upaya

Harga ikan betok di Provinsi Kalimantan Timur

pengelolaan

antara tahun 2002-2008 adalah Rp 10 579,- pada

testudineus) agar dapat dimanfaatkan secara

tahun 2004 dan Rp 14 494,- pada tahun 2005

optimal

(DKP, 2006).

terjaminnya

Selain itu, ikan ini juga

dimanfaatkan sebagai target pancingan dan ikan

sumber

dan

daya

ikan

betok

berkesinambungan,

kelestarian

sumber

daya

(A.

guna dan

keberlanjutan hasil tangkapan ikan ini di alam.

hias di Eropa (Kuncoro, 2009). Potensi betok menjadi ikan konsumsi dan ikan hias yang diiringi

dengan

konsumen, mengandalkan

meningkatnya

membuat hasil

permintaan

nelayan

tangkapan

dari

BAHAN DAN METODE Penelitian

ini

dilakukan

dari

bulan

lebih

November 2007 hingga Januari 2008 di rawa

alam

banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap

(Gambar 1).

penurunan populasi ikan ini di kemudian hari

berdasarkan pertimbangan karakteristik habitat

(Isriansyah & Sukarti, 2007).

masing-masing

Peningkatan

Stasiun penelitian ditentukan

stasiun

dan

informasi

dari

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

nelayan setempat yang berkaitan dengan lokasi

diambil secara acak dari ukuran terbesar hingga

penangkapan

betok.

ukuran terkecil sekurang-kurangnya 10% dari

Berdasarkan pertimbangan tersebut, ditetapkan

total hasil tangkapan nelayan. Alat tangkap yang

tiga stasiun penelitian yaitu (1) rawa, (2) sungai,

digunakan

dan (3) danau. Ikan contoh yang dikumpulkan,

tangkul (sungai), dan jaring insang (danau).

dan

pemijahan

ikan

116°16'00"

116°20'00"

adalah

perangkap/keblat

116°24'00"

(rawa),

115°

117°

119°









0°12'00"

#

EL T UKM UDA

EN P YINGAH EA M IN L TU NL A G U





# Stasiun 1 Penyinggahan Ulu

MELINTANG

115°

117°

119°

N

0°16'00"

Batuq

# Stasiun 2

W

E S

2

# Stasiun 3

0

2

Kilometers

Penyinggahan Ilir Jantur

0°20'00"

Minta

Leg end a S un g a i Ma h a ka m

S un g a i Re b a q Ri n d in g

116°16'00"

116°20'00"

116°24'00"

Gambar 1. Lokasi penelitian di rawa banjiran Sungai Mahakam

Ikan betok hasil tangkapan dipisahkan

dapat

ditentukan

dengan

menggunakan

berdasarkan stasiun penelitian. Ikan contoh lalu

klasifikasi TKG ikan belanak (Mugil dussumieri)

diawetkan dengan larutan formalin 10% dan

menurut Cassie (1956) in Effendie (1979).

dibawa ke laboratorium untuk dibedah dan di

Diameter telur contoh diukur pada tiga bagian

analisis. Setelah ikan dibedah gonad ikan

gonad yaitu bagian anterior, median, dan

diawetkan dengan menggunakan formalin 4%.

posterior, masing-masing bagian sebanyak 50

Penentuan tingkat kematangan gonad

butir. Telur contoh dideretkan di atas gelas objek

(TKG) ikan betok (A. testudineus) secara

lalu dilakukan pengamatan dengan menggunakan

morfologi

mikroskop

114

yang

telah

dilengkapi

dengan

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

mikrometer okuler yang sebelumnya sudah ditera

Untuk membandingkan jumlah ikan jantan dan

dengan mikrometer objektif. Diameter telur

betina

contoh yang diukur adalah diameter telur contoh

berdasarkan Mattjik & Sumertajaya (2002) :

digunakan

yang memiliki ukuran terpanjang.

rumus

X

Sebaran frekuensi panjang total dan diameter

telur

menggunakan

dapat

rumus

dihitung

Sturges

dengan

(Mattjik

&

Sumertajaya, 2002). Hubungan panjang bobot

perbandingan

J B

Keterangan : X = nisbah kelamin J = jumlah ikan jantan (ekor) B = jumlah ikan betina (ekor)

dapat dianalisis dengan menggunakan rumus Keseragaman sebaran nisbah kelamin dianalisis

Hile (1963) in Effendie (1979) yaitu :

dengan uji “Chi-Square” (Steel & Torrie, 1993) :

W  aLb

X2 

Keterangan : W = Bobot tubuh ikan (gram) L = panjang total ikan (mm) a,b = konstanta Korelasi

parameter

dari

hubungan

panjang bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b. Untuk

lebih

menguatkan

pengujian

dalam

menentukan keeratan hubungan kedua parameter

 (oi  ei) ei

Keterangan : X2 = nilai peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya mendekati sebaran Chi-square. oi = jumlah frekuensi ikan jantan dan betina kei yang diamati. ei = jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina yaitu frekuensi ikan jantan ditambah frekuensi ikan betina dibagi dua

(nilai b), dilakukan uji t untuk menguji apakah b = 3 atau tidak dengan rumus berikut (Walpole,

Berdasarkan Effendie (1979) Indeks Kematangan

1992) :

Gonad (IKG) dapat dihitung dengan rumus:

Thit 

b3 Sb

IKG 

Keterangan : IKG = indeks kematangan gonad IBG = bobot gonad (gram) BT = bobot tubuh (gram)

Keterangan : Sb = simpangan baku b = konstanta Berdasarkan Effendie (1979), nilai faktor kondisi ikan betok dapat dihitung dengan rumus berikut:

Kn 

W

kelamin

dianalisis

Prosedur penentuan fekunditas dilakukan dengan metode

gabungan

antara

gravimetrik

dan

volumetrik (Effendie, 1979):

aLb

F

Keterangan : Kn = faktor kondisi relatif W = bobot ikan (gram) L = panjang total ikan (mm) a,b = konstanta Nisbah

BG x100 BT

dengan

GxVxX Q

Keterangan : F = fekunditas (butir) G = bobot gonad (gram) V = volume pengenceran (ml) X = jumlah telur tiap ml (butir) Q = bobot telur contoh (gram)

menggunakan perbandingan antara jumlah ikan jantan dan betina yang terdapat dalam setiap

Analisis kualitas air dilakukan secara

bulan dan stasiun pengambilan ikan contoh.

deskriptif dengan menggunakan nilai kisaran

115

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

melalui penyajian tabel yang menunjukkan

HASIL DAN PEMBAHASAN

hubungan

Kondisi umum perairan rawa banjiran Sungai Mahakam

parameter

utama

dan

parameter

pendukung. Parameter utama adalah komposisi

Fluktuasi air merupakan kondisi yang

ikan betok dan parameter pendukung adalah parameter kualitas air yang terdiri atas parameter fisika (suhu, kedalaman, dan kekeruhan), kimia (pH, oksigen terlarut, dan alkalinitas), dan biologi (penutupan tumbuhan air).

Parameter

pendukung digunakan untuk melengkapi data

sangat

memengaruhi kualitas air di rawa

banjiran. Untuk mengetahui kondisi perairan di daerah rawa banjiran tersebut, maka dilakukan pengamatan parameter fisika, kimia, dan biologi secara umum yang dapat dilihat pada Tabel 1.

parameter utama. Tabel 1. Kisaran nilai parameter fisika, kimia, dan biologi perairan rawa banjiran Sungai Mahakam Stasiun Rawa

Sungai

Danau

Kebutuhan Ikan

C

29,76 – 30,17

28,12 – 29,91

28,07 – 29,99

24,00 – 30,00*

M NTU

0,66 – 1,03 51,76 – 52,91

2,15 – 4,15 104,15 – 109,18

1,61 – 3,72 96,82 – 101,85

mg/l

5,57 – 5,94 1,98 – 2,16

6,06 – 6,71 3,52 – 4,66

6,23 – 6,93 3,18 – 3,78

7,43 – 9,13

14,85 – 15,49

12,94 – 17,52

Parameter Satuan Fisika 0

Suhu Kedalaman Kekeruhan Kimia pH Oksigen Terlarut

Alkalinitas mg/l Biologi Tumbuhan Air %/m2 *Berdasarkan Kuncoro (2009)

70,70 – 85,97

28,78 – 34,55

50,00– 60,00

Fluktuasi air berubah setiap bulan, dimana

Suhu yang sesuai sebagai syarat hidup

dari ketiga bulan penelitian curah hujan tertinggi

ikan betok adalah 15-31oC (Dinas Perikanan

terdapat pada bulan Desember. Tingginya muka

Daerah

Tingkat

I

Jambi

1995),

29

o

C

o

air akan berpengaruh terhadap suhu, kedalaman,

(Purwakusuma 2002), 24-30 C (Kuncoro, 2009),

kekeruhan, pH, oksigen terlarut, alkalinitas, dan

dan 22-30

persentase penutupan tumbuhan air.

Semakin

penutupan tum-buhan air pada tiap stasiun

tinggi paras muka air maka suhu akan semakin

penelitian cukup bervariasi dan yang terbesar

rendah,

akan

terdapat pada stasiun rawa (70,70-85,97%/m2).

meningkat, dan derajat keasaman (pH) akan

Tumbuhan air tersebut merupakan makanan

mudah ternetralisir dengan masuknya air dari

serangga (nyamuk dan lalat air) yang pada tropik

sungai utama (Samuel et al., 2002). Kekeruhan

level selanjutnya merupakan makanan ikan

yang terjadi diduga disebabkan oleh adanya

betok.

kedalaman

dan

kekeruhan

o

C (www.fishbase.org). Persentase

pencampuran massa air oleh angin dan arus pada

Kisaran rata-rata nilai parameter fisika,

saat terjadi banjir. Selain itu, banyaknya partikel

kimia, dan biologi pada semua stasiun penelitian

lumpur yang terbawa arus juga mempengaruhi

masih dalam batas aman dan sesuai dengan

kekeruhan perairan.

kebutuhan ikan (Tabel 1), walaupun pada stasiun

116

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

rawa terlihat adanya penurunan nilai pH dan

Komposisi tangkapan ikan betok

oksigen terlarut tetapi hal tersebut tidak terlalu

Ikan

betok

yang

tertangkap

selama

berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan

penelitian berjumlah 400 ekor yang terdiri atas

betok. Hal ini disebabkan oleh adanya alat

235 ekor ikan jantan dan 165 ekor ikan betina.

pernapasan tambahan (labirin) yang dimiliki oleh

Jumlah tangkapan terbanyak terdapat pada

ikan betok sehingga ikan betok dapat mengambil

stasiun rawa yaitu 122 ekor (Tabel 2). Panjang

oksigen bebas dari udara saat perairan tempat

total ikan yang tertangkap berkisar antara 71-195

hidupnya kekurangan oksigen (Sterba, 1969;

mm. Secara keseluruhan ikan betok hasil

Nelson, 1984). Alat pernapasan tambahan yang

tangkapan

sama juga ditemukan pada ikan serandang

panjang 123-135 mm, dengan jumlah terbesar

(Channa pleurophthalmus) di DAS Musi (Said,

berada pada stasiun rawa diikuti oleh stasiun

2006).

danau dan stasiun sungai (Tabel 3). Tingginya

terbanyak

berada

pada

kisaran

Utomo & Asyari (1999) melaporkan

persentase penutupan tumbuhan air dengan

bahwa ikan betok masih ditemukan pada perairan

kedalaman dan kekeruhan yang relatif rendah

yang berlumpur, sedikit air, dengan kandungan

dibandingkan stasiun yang lain me-mungkinkan

oksigen rendah di Sungai Kapuas, Kalimantan

adanya ketersediaan makanan yang lebih banyak

Barat. Ikan betok juga ditemukan pula di

di rawa. Hal ini mengindikasikan stasiun rawa

ekosistem rawa banjiran Sungai Kampar Kiri

dapat memberikan tempat hidup yang lebih baik

(Simanjuntak et al., 2006) dan Rawa Gambut di

bagi ikan betok daripada stasiun yang lainnya.

Sungai Barito (Nurdawati et al., 2007). Tabel 2. Komposisi tangkapan ikan betok jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian Jantan Stasiun

n

Betina PT±SD (mm)

BT±SD (gram)

Total n

PT±SD (mm)

BT±SD (gram)

209

119 ± 17

31 ± 14

n

PT±SD (mm)

BT±SD (gram)

Rawa

122

118 ± 14

29 ± 11

87

121 ± 20

35 ± 16

Sungai

42

130 ± 21

35 ± 18

29

131 ± 17

37 ± 16

71

130 ± 19

36 ± 17

Danau

71

120 ± 16

27 ± 11

49

121 ± 16

29 ± 12

120

120 ± 16

28 ± 12

235

121 ± 16

29 ± 13

165

123 ± 19

33 ± 15

400

122 ± 17

31 ± 14

Total

PT=PanjangTubuh; BT=Bobot tubuh ; SD=Standar deviasi

Tabel 3. Komposisi tangkapan ikan betok jantan dan betina berdasarkan selang ukuran panjang Selang Ukuran Panjang (mm)

Nilai tengah (Xi)

Frekuensi (ekor) Rawa

Sungai

Danau

Total

Jantan

Betina

Jantan

Betina

Jantan

Betina

71 - 83

77

2

4

0

0

2

3

11

84 - 96

90

7

4

0

1

2

1

15

97 - 109

103

23

18

6

0

7

4

58

110 - 122

116

44

16

11

6

28

13

118

123 - 135

129

37

26

12

12

28

19

134

136 - 148

142

8

14

9

8

3

8

50

149 - 161

155

1

4

0

1

0

1

7

162 - 174

168

0

0

1

0

0

0

1

175 - 187

181

0

1

2

0

0

0

3

188 - 200

194

0

0

1

1

1

0

3

122

87

42

29

71

49

400

Total

117

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

Kuncoro (2009) menyatakan bahwa ikan

Panjang maksimum ikan betok yang

betok merupakan ikan demersal yang suka hidup

tertangkap di lokasi penelitian adalah 195 mm,

bergerombol

untuk

lebih kecil ukurannya dari panjang panjang

Makanannya

maksimum ikan betok yang dilaporkan pernah

berupa larva serangga, jentik-jentik nyamuk,

tertangkap di Indonesia yaitu 200 mm (DPPD,

kutu air, ikan kecil, cacing, detritus, serta

1995), 250 mm (www.fishbase.org), dan 350 mm

plankton.

(Kuncoro,

dibawah

tumbuhan

mencari makan dan memijah.

air

Selain di rawa banjiran Sungai

2009).

Perbedaan

ini

diduga

Mahakam, Kalimantan Timur, ikan betok dengan

disebabkan oleh perbedaan lokasi penangkapan,

tingkah laku yang sama juga ditemukan di Danau

keterwakilan contoh yang diambil, kondisi

Arang -arang Provinsi Jambi (Samuel et al.,

lingkungan, dan faktor genetis ikan itu sendiri.

2002).

Tingkah laku ikan yang berhubungan

dengan keberadaan tumbuhan air juga ditemukan

Hubungan panjang bobot ikan betok

pada ikan lain seperti ikan gabus (Channa

Model

persamaan

hubungan

panjang

striata) di aliran Sungai Kampar Kanan, Riau

bobot ikan betok jantan dan betina secara

sebagai tempat pemijahan (Pulungan 2008a) dan

berurutan adalah W = 8 x 10-5 L2,6735 dan W = 4 x

ikan motan (Thynnichthys polylepis) di waduk

10-5 L2,8181, sedangkan model persamaan secara

PLTA Koto Panjang, Riau sebagai tempat

keseluruhan (gabungan ikan jantan dan betina)

perlindungan (Pulungan, 2008b).

adalah W = 5 x 10-5 L2,7544. Berdasarkan uji t

Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa

diperoleh nilai b ikan betok jantan dan ikan betok

frekuensi tangkapan ikan betok mengalami

gabungan

berbeda

kenaikan pada selang ukuran kecil (71-109 mm),

sehingga

dapat

mencapai puncak pada selang ukuran sedang

pertumbuhan ikan betok jantan dan ikan betok

(110-161 mm), kemudian menurun kembali pada

secara keseluruhan adalah allometrik negatif

selang ukuran besar (162-200 mm). Selain itu,

(b<3) yang berarti pertambahan panjang ikan

terlihat adanya dominasi ikan betok pada selang

lebih

ukuran sedang, sehingga dapat diduga bahwa

bobotnya. Nilai b ikan betok betina tidak berbeda

ikan betok yang tertangkap sedang dalam periode

nyata

pertumbuhan.

Perbedaan alat tangkap dan

disimpulkan bahwa pola pertumbuhan ikan betok

ketersediaan makanan di setiap stasiun diduga

betina adalah isometrik yang berarti pertambahan

menjadi salah satu penyebab berfluktuasinya

panjang dan bobotnya seimbang.

frekuensi dan ukuran ikan betok hasil tangkapan.

panjang bobot ikan betok jantan dan betina pada

Perangkap (keblat) dan jaring insang

yang

setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel

dioperasikan pada stasiun rawa dan danau

4. Dengan mengetahui hubungan panjang bobot,

memungkinkan ikan betok yang tertangkap

dapat diketahui pola pertumbuhan ikan betok.

berada pada selang ukuran kecil sampai sedang.

Pola pertumbuhan ini dapat digunakan untuk me-

Tangkul yang dioperasikan pada stasiun sungai

nentukan faktor kondisi ikan betok, musim

cenderung bisa menangkap ikan betok dengan

pemijahan, dan perubahan lingkungan (Effendie,

ukuran yang lebih bervariasi.

1997),

118

dominan

dengan

sehingga

nyata

dengan

disimpulkan

3

(b≠3)

bahwa

pola

dibandingkan

3

(b=0)

dapat

pertambahan

sehingga

dapat

Hubungan

disimpulkan

bahwa

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

kondisi perairan pada stasiun rawa dan danau

makanan dan pertama kali ikan matang gonad

lebih stabil dalam mendukung kehidupan ikan

dapat

betok

pertumbuhan. Dari pembahasan tersebut dapat

di

kawasan

rawa

banjiran

Sungai

Mahakam.

menentukan

dan

memengaruhi

disimpulkan bahwa spesies ikan yang sama pada

Makanan merupakan faktor penting dari

lokasi

yang

berbeda

akan

memiliki

pola

pada suhu perairan untuk pertumbuhan ikan di

pertumbuhan yang berbeda karena faktor-faktor

daerah

tersebut di atas.

tropik.

Keberhasilan

mendapatkan

Tabel 4. Hasil analisis hubungan panjang bobot ikan betok jantan dan betina pada setiap stasiun penelitian Stasiun Rawa Sungai Danau

JK

n

Persamaan 2,8571

a

b

R2 (%)

r

Pola Pertumbuhan

J

122

W = 0,00003L

0,00003

2,8571

84,40

0,9187

Allometrik negatif

B

87

W = 0,00003L2,931

0,00003

2,9310

92,58

0,9622

Isometrik

2,6729

J

42

W = 0,00007L

0,00007

2,6729

77,20

0,8786

Allometrik negatif

B

29

W = 0,00001L3,0143

0,00001

3,0143

71,84

0,8476

Isometrik

J

71

W = 0,0001L2,5665

0,0001

2,5665

66,78

0,8172

Allometrik negatif

0,00008

2,6656

69,86

0,8358

Allometrik negatif

B

49

2,6656

W = 0,00008L

Faktor kondisi

kecuali pada ikan betina stasiun danau. Keadaan

Nilai faktor kondisi ikan betok jantan dan

ini dapat dipahami karena meningkatnya TKG

betina berdasarkan stasiun penelitian dapat

merupakan salah satu akibat dari perkembangan

dilihat pada Gambar 2. Nilai rata-rata faktor

bobot

kondisi tertinggi berada pada stasiun rawa,

meningkatkan

diikuti oleh stasiun sungai dan terendah terdapat

keseluruhan (Yani, 1994). Beberapa faktor lain

pada stasiun danau.

yang

Periode pemijahan ikan

gonad

yang

pada

bobot

diduga

menjadi

ikan

penyebab

terjadinya

kondisi tertinggi ikan yang bersangkutan. Nilai

makanan, kondisi lingkungan, TKG, perbedaan

rata-rata faktor kondisi tertinggi ikan betok

umur, ukuran ikan, dan tingkah laku ikan itu

terdapat pada stasiun rawa sehingga dapat diduga

sendiri Effendie (1997).

untuk

melakukan proses

pemijahan.

adalah

secara

perbedaan

bagi ikan betok

ini

tubuh

dapat

dapat diduga dengan mengetahui nilai faktor

bahwa stasiun rawa merupakan tempat terbaik

kondisi

akhirnya

ketersediaan

Menurut Tamsil (2000), faktor kondisi ikan

akan

terus

berkembang

pada

setiap

siklusnya dan akan mencapai nilai maksimum

Faktor kondisi ikan betok jantan dan

pada

TKG

IV,

kemudian

menurun

saat

betina berdasarkan TKG pada setiap stasiun

memasuki TKG V, karena ikan sudah melakukan

penelitian bervariasi dan berfluktuatif (Gambar

pemijahan. Akan tetapi pada kondisi lingkungan

3). Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi

yang tidak memungkinkan, penurunan faktor

lingkungan dan ketersediaan makanan yang

kondisi dapat terjadi sebelum mencapai TKG V

berbeda pada setiap stasiun penelitian. Nilai

(sebelum memijah) apabila terjadi atresia yaitu

faktor kondisi cenderung meningkat seiring

penyerapan kembali oosit oleh tubuh ikan karena

dengan meningkatnya TKG ikan

jantan dan

adanya gangguan dalam proses reproduksi pada

betina hampir pada semua stasiun penelitian dan

tahap perkembangan gonad. Hal tersebut diduga

kemudian menurun saat memasuki TKG V

yang terjadi pada ikan betina stasiun danau.

119

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

Gambar 2. Faktor kondisi ikan betok jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian

Rawa

Jantan

Betina

2.50 1.93

2.00

1.88

1.74

1.65

1.70

1.50 1.00

1.04

1.06

1.11

1.11

1.07

0.50 0.00 I

II

III

IV

Sungai

V

Jantan

Betina

Faktor Kondisi

2.50 2.00 1.54

1.50 1.00

1.41

1.07

0.96

1.68

1.44

1.34

1.02

0.94

0.50 0.00

0.00 I

II

III

IV

Danau

V

Jantan

Betina

2.50 2.00 1.50 1.00

1.07

1.05

0.92

0.94

0.93 0.91

1.08

0.93 0.85

0.88

0.50 0.00 I

Tingkat Gonad (TKG) II Kematangan III IV

V

Gambar 3. Faktor kondisi ikan betok jantan dan betina berdasarkan TKG pada setiap stasiun penelitian 120

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

Nisbah kelamin

Berdasarkan uji Chi-Square pada selang

Nisbah kelamin ikan betok pada setiap

kepercayaan 95% (α=0,05), nisbah kelamin ikan

stasiun penelitian bervariasi (Gambar 4). Setelah

betok jantan dan betina yang memiliki TKG III

dilakukan

dan IV pada setiap stasiun penelitian seimbang

uji

Chi-Square

pada

selang

kepercayaan 95% (α=0,05), nisbah kelamin ikan

(mengikuti pola 1:1).

betok pada setiap stasiun penelitian tidak

ikan jantan dan betina yang memiliki TKG III

seimbang (tidak mengikuti pola 1:1). Hal ini

dan IV berdasarkan stasiun pada setiap bulan

diduga disebabkan oleh penyebaran ikan betok

penelitian mengindikasikan bahwa satu ikan

jantan dan betina yang tidak merata pada setiap

betok jantan akan membuahi satu ikan betok

stasiun penelitian.

betina.

Keseimbangan jumlah

Nisbah Kelamin

Nisbah Kelamin (J/B)

2.50 2.00 1.50

Rawa Sungai

1.00

Danau

0.50 0.00 November

Desember

Januari

BulanBulan Penelitian

Gambar 4. Nisbah kelamin ikan betok pada setiap stasiun penelitian Tingkat kematangan gonad

Sumatera Selatan umumnya matang gonad dan

Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat

siap memijah pada bulan November yang

bahwa persentase ikan betok jantan dan betina

merupakan awal musim penghujan (Utomo et al.,

yang sudah memasuki TKG III dan IV

1990 in Utomo & Asyari, 1999).

mendominasi pada semua stasiun penelitian,

Tingkat kematangan gonad ikan betok

sehingga dapat diduga bahwa pada bulan-bulan

jantan dan betina meningkat seiring dengan

penelitian (November-Januari) ikan betok sudah

bertambahnya ukuran panjang (Gambar 6).

memasuki musim pemijahan. Musim pemijahan

Ukuran ikan betok betina terkecil yang sudah

ikan betok biasanya dimulai saat memasuki

matang gonad ditemukan pada stasiun rawa

musim penghujan, ketika kenaikan massa air

dengan panjang 91 mm, sedangkan ikan betok

memberikan

untuk

jantan terkecil juga ditemukan pada stasiun yang

memijah. Di Kalimantan Timur, bulan Oktober

sama dengan panjang 93 mm. Jika diasumsikan

merupakan awal musim penghujan.

ukuran panjang merupakan cerminan dari umur

rangsangan

bagi

ikan

Pada umumnya puncak musim pemijahan ikan perairan umum berlangsung pada saat musim penghujan, ketika ikan - ikan sungai

maka

ikan

betina

lebih

cepat

mencapai

kedewasaan dibandingkan ikan jantan. Ukuran ikan pertama kali matang gonad

beruaya ke arah rawa banjiran untuk melakukan

tidak selalu sama.

pemijahan.

terlihat bahwa ikan betina cenderung lebih

perairan

Ikan lais (Kryptopterus spp.) di

rawa

banjiran

Sungai

Lempuing

Berdasarkan Gambar 6,

dahulu matang gonad dibandingkan ikan jantan. 121

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

Hal ini disebabkan oleh perbedaan strategi hidup

pertama kali matang gonad terdapat pada ukuran

atau pola adaptasi ikan itu sendiri (Biusing, 1987

91 mm (rawa), 110 mm (sungai), dan 109 mm

in Nasution, 2008). Berdasarkan hasil penelitian,

(danau). Secara keseluruhan dapat disimpulkan

ditemukan bahwa ikan jantan pertama kali

bahwa ikan betok pertama kali matang gonad

matang gonad pada ukuran 93 mm (rawa), 107

pada ukuran 84-109 mm.

mm (sungai), dan 102 mm (danau). Ikan betina

Betina

100%

100%

80%

80%

60%

60%

40%

40%

20%

20%

0%

0%

TKG V TKG IV

Rawa

Sungai

TKG II

Danau

Rawa

Sungai

Danau

Stasiun Penelitian

Gambar 5. Persentase tingkat kematangan gonad ikan betok jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian Indeks kematangan gonad

Terjadinya penurunan nilai IKG pada TKG V

Secara keseluruhan, IKG ikan betok

diduga disebabkan oleh berkurangnya sebagian

betina cenderung lebih tinggi dibandingkan

besar gonad yang dikeluarkan pada waktu proses

dengan ikan jantan (Gambar 7). Nilai IKG ikan

pemijahan. Menurut Tamsil (2000), umumnya

betok berkisar antara 0,14-17,77%, dengan

gonad ikan akan terus berkembang dan akan

kisaran IKG ikan jantan sebesar 0,14-7,67%, dan

mencapai nilai maksimum pada TKG IV,

ikan betina sebesar 0,19-17,77%. Bagenal (1973)

kemudian menurun saat memasuki TKG V,

in Yustina dan Arnentis (2002), menyatakan

karena ikan sudah melakukan pemijahan. Secara

bahwa ikan yang mempunyai nilai IKG lebih

keseluruhan, IKG ikan betok betina cenderung

kecil dari 20% merupakan kelompok ikan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan ikan jantan.

dapat memijah lebih dari sekali dalam setahun.

Biasanya ovarium pada ikan betina akan lebih

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai

berat daripada testis pada ikan jantan. Pada

IKG ikan betok jantan dan betina cenderung

umumnya pertambahan bobot gonad pada ikan

meningkat seiring dengan bertambahnya TKG

betina berkisar 10%-25% dari bobot tubuhnya,

sampai pada TKG IV kemudian menurun saat

sedangkan pada ikan jantan berkisar 10%-15%

memasuki TKG V (Gambar 8). Kondisi ini

(Effendie, 1997) atau 5%-10% (Affandi & Tang,

terjadi pada setiap stasiun selama penelitian.

2002).

122

Januari

Desember

November

Januari

Desember

November

Januari

Desember

TKG I

November

Januari

Desember

November

Januari

Desember

November

Januari

Desember

TKG III

November

TKG TKG

Jantan

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

Fekunditas

g (36±14 g). Fekunditas ikan betok tertinggi

Nilai fekunditas total ikan betok yang

ditemu-kan pada ikan TKG IV dengan panjang

diperoleh dari gonad 128 ekor ikan betina yang

total 183 mm dan bobot tubuh 81 g. Fekunditas

berada pada TKG III (43 ekor) dan IV (85 ekor)

Ikan betok terendah ditemukan pada ikan TKG

berkisar antara 964-30.208 butir (7496±5176

III dengan panjang total 136 mm dan bobot

butir) dengan kisaran panjang total antara 91-183

tubuh 42 g.

mm (127±14 mm) dan bobot tubuh antara 13-81

Jantan

Rawa

100%

Betina 100%

80%

80% TKG IV TKG III

40%

TKG V TKG IV

60%

TKG

TKG

TKG V 60%

TKG III 40%

TKG II

TKG II

Selang Ukuran Panjang (mm)

188-200

175-187

162-174

149-161

136-148

123-135

97-109

71-83

188-200

175-187

162-174

149-161

136-148

123-135

110-122

97-109

0%

84-96

0%

71-83

20%

110-122

TKG I

20%

84-96

TKG I

Selang Ukuran Panjang (mm)

Sungai 100%

100%

80%

80%

TKG V TKG III

TKG II

188-200

175-187

162-174

149-161

136-148

123-135

71-83

188-200

175-187

162-174

149-161

136-148

123-135

110-122

0% 97-109

0%

84-96

20%

71-83

TKG II TKG I

TKG I 20%

110-122

40%

TKG IV

40%

97-109

TKG III

60%

84-96

TKG IV

TKG

TKG

TKG V 60%

Selang Ukuran Panjang (mm)

Selang Ukuran Panjang (mm)

Danau 100% 100%

80% 80%

TKG V TKG IV

60%

TKG III 40%

TKG

TKG IV

60%

TKG III 40%

TKG II

TKG II TKG I

20%

TKG I 20%

188-200

175-187

162-174

149-161

136-148

123-135

110-122

97-109

188-200

175-187

162-174

149-161

136-148

123-135

110-122

97-109

84-96

71-83

84-96

0%

0%

71-83

TKG

TKG V

Selang Ukuran Panjang (mm)

Selang Ukuran Panjang (mm)

Gambar 6. Persentase tingkat kematangan gonad ikan betok jantan dan betina berdasarkan selang ukuran panjang (mm)

Pulungan & Amin (1993) in Andrijana

12.725 butir telur (Samuel et al., 2002). Menurut

(1995) melaporkan bahwa fekunditas ikan betok

Makmur (2006), ikan betok dengan kisaran bobot

berkisar antara 712-8.224 butir.

Selain itu,

tubuh 15-110 gram dan bobot gonad 2,42-15,96

fekunditas ikan betok yang ditemukan di Danau

gram, mempunyai jumlah telur (fekunditas)

Arang-arang Jambi berkisar antara 12.300-

berkisar antara 4.882-19.248 butir.

Adanya

123

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

perbedaan fekunditas yang dihasilkan oleh ikan

membiarkan telur-telurnya mengapung bebas di

betok tersebut diduga berkaitan dengan strategi

permukaan air (telurnya mengandung butiran

pemijahan ikan itu sendiri.

Meskipun tidak

minyak yang besar sehingga bobotnya menjadi

semua telur yang dikeluarkan akan menetas dan

ringan) tanpa adanya penjagaan induk (Britz &

menjadi ikan dewasa, fekunditas yang lebih besar

Cambray, 2001), sehingga ikan betok diduga

akan memberi peluang rekruitmen yang lebih

memiliki fekunditas yang besar. Selain itu,

banyak. Beberapa faktor yang berperan terhadap

perbedaan habitat, kondisi perairan, ukuran

jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina

gonad, panjang dan bobot tubuh ikan, umur, serta

antara

ketersediaan

lain

fertilitas,

frekuensi

pemijahan,

makanan

juga

berpengaruh.

perlindungan induk (parental care), ukuran telur,

Effendie (1997) menyatakan bahwa fekunditas

kondisi lingkungan, dan kepadatan populasi

suatu jenis ikan berhubungan erat dengan

(Moyle & Cech, 1988).

lingkungannya, dalam hal ini berkaitan dengan

Ikan betok adalah salah satu spesies

kelimpahan makanan yang tersedia di lingkungan

ikan yang tidak membuat sarang saat memijah,

tersebut.

Rawa

Jantan

Betina

14.00 12.00

IKG (%)

10.00 8.00 6.00 3.99

4.00 2.00

0.69

3.33

4.45

0.87

0.78

0.00 -2.00

November

Desember

Januari

Bulan Penelitian

Jantan

Sungai

Betina

14.00 12.00

IKG (%)

10.00 8.00 6.00 3.59

4.00 2.00 0.00 -2.00

2.49 0.96 November

3.81

0.85 0.86 Desember

Januari

Bulan Penelitian

Jantan

Danau

Betina

14.00 12.00

IKG (%)

10.00 8.00

7.51

6.00 4.00 2.00 0.00 -2.00

2.29 0.92 November

3.26 1.27 Desember

0.89 Januari

Bulan Penelitian

Gambar 7. Indeks kematangan gonad rata-rata ikan betok jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian 124

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

IKG (%) IKG (%)

Jantan 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

Betina

6.00

2.58

1.03

0.62 0.32 I

II

0.80 0.34

1.61

0.85

0.69

III

IV

V

TKG

Gambar 8. Hubungan IKG dengan TKG ikan betok jantan dan betina

Diameter telur dan pola pemijahan

dari pada telur yang berukuran kecil (Effendie

Diameter telur ikan betok diukur dari

1997). Menurut Britz & Cambray (2001), ikan

gonad 128 ekor ikan betina yang mempunyai

betok (A. testudineus) mempunyai ukuran telur

TKG III (43 ekor) dan IV (85 ekor). Ukuran

yang kecil dengan diameter berkisar antara 0,9-

diameter telur ikan betok yang telah matang

1,0 mm. Kisaran diameter telur yang sama juga

gonad berkisar antara 0.23-1.42 mm, dengan

dimiliki oleh anggota famili Anabantidae yang

frekuensi terbesar berada pada selang ukuran

lain seperti Ctenopoma cf. pellegrini dan

0.68-0.75 mm pada semua stasiun penelitian

Ctenopoma weeksii. Selain itu, telur ikan betok

(Gambar 9).

cenderung ringan karena mempunyai kandungan

Ukuran telur biasanya dipakai untuk

butiran

minyak

yang

besar

sehingga

menentukan kandungan kualitas kuning telur,

memungkinkan telur tersebut mengapung di

dimana

permukaan air (Britz & Cambray, 2001).

telur

yang

berukuran

besar

akan

menghasilkan larva yang berukuran lebih besar Rawa

Sungai TKG IV

Selang Ukuran Diameter Telur

Selang Ukuran Diameter Telur

Danau

Frekuensi (butir)

TKG III

TKG IV

2500 2000 1500 1000 500

1.36-1.42

1.28-1.35

1.21-1.27

1.13-1.20

1.06-1.12

0.98-1.05

0.91-0.97

0.83-0.90

0.76-0.82

0.68-0.75

0.61-0.67

0.53-0.60

0.46-0.52

0.38-0.45

0.31-0.37

0.23-0.30

0

Selang Ukuran Diameter Telur

Gambar 9. Sebaran diameter telur ikan betok pada TKG III dan IV berdasarkan stasiun penelitian 125

1.36-1.42

1.28-1.35

1.21-1.27

1.13-1.20

1.06-1.12

0.98-1.05

0.91-0.97

0.83-0.90

0.76-0.82

0.68-0.75

0.61-0.67

0.53-0.60

0.46-0.52

0.38-0.45

0.23-0.30

1.36-1.42

1.28-1.35

1.21-1.27

1.13-1.20

1.06-1.12

0.98-1.05

0.91-0.97

0.83-0.90

0.76-0.82

0.68-0.75

0.61-0.67

0.53-0.60

0.46-0.52

0.38-0.45

0.31-0.37

TKG IV

2500 2000 1500 1000 500 0

0.31-0.37

Frekuensi (butir)

TKG III

2500 2000 1500 1000 500 0

0.23-0.30

Frekuensi (butir)

TKG III

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

Dari sebaran frekuensi diameter telur ikan betok TKG III dan IV yang hanya terlihat adanya satu puncak penyebaran dapat disimpulkan bahwa pola pemijahan ikan betok adalah pola pemijahan secara serentak (total spawner). Hal ini berarti bahwa selama bulan penelitian pengeluaran telur

masak oleh ikan betok

dilakukan secara serentak dalam satu waktu pemijahan.

KESIMPULAN Ikan betok memijah sepanjang musim penghujan dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan Desember saat curah hujan tertinggi. Ikan betok yang ditemukan selama penelitian banyak yang telah matang gonad dengan hasil tangkapan tertinggi terdapat pada stasiun rawa. Ikan betok pertama kali matang gonad terdapat pada selang ukuran 84-109 mm.

Berdasarkan sebaran

diameter telur, pola pemijahan ikan betok dalam jangka waktu 3 bulan penelitian (NovemberJanuari) adalah pola pemijahan secara serentak. Ikan betok memiliki potensi reproduksi yang tinggi dengan fekunditas berkisar antara 96430.208 butir (7496±5176 butir).

Tingkat

kerusakan yang tinggi di Sungai Mahakam membawa

dampak

buruk

bagi

kondisi

lingkungan sekitarnya, terutama bagi ikan betok sehingga membuat ikan betok harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru, salah satunya dengan matang gonad sebelum waktunya (pada ukuran

yang

lebih

kecil).

Hal

tersebut

mencerminkan perairan rawa banjiran Sungai Mahakam

kurang

menyediakan

kondisi

lingkungan yang baik untuk pertumbuhan ikan betok. DAFTAR PUSTAKA Affandi, R. & Tang, U.M. 2002. Fisiologi hewan air. Unri Press. Pekanbaru. 213 p. 126

Andrijana, E. 1995. Pengaruh dosis kotoran ayam terhadap kualitas media pemeliharaan ikan betok (Anabas testudineus Bloch) Skripsi. Program Studi Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 1-14 pp. Britz, R. & Cambray, J.A. 2001. Structure of egg surfaces and attachment organs in anabantoids. Ichtyol. Explor. Freshwaters, 12 (3): 267-288. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Data statistik perairan umum Provinsi Kalimantan Timur. http://www.dkp.co.id// statistik/perairan umum kalimantan timur. Diunduh tanggal 29 April 2008. [DPPD] Dinas Perikanan Provinsi Daerah Tingkat I Jambi. 1995. Pengenalan jenisjenis ikan perairan umum Jambi Bagian 1: Ikan-Ikan Sungai Utama Batang HariJambi. Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi. 17-19 pp. Effendie, M.I. 1979. Metode biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p. Effendie, M.I. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 p. Froese, R. & Pauly, D. Editors. 2010. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (05/2010). [1 April 2009]. Isriansyah & Sukarti, K. 2007. Efektivitas suplementasi L-askorbil-2-monofosfat magnesium dalam ransum terhadap proses rematurasi dan kualitas telur ikan papuyu (Anabas testudineus Bloch). Laporan penelitian. Tidak dipublikasikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Mulawarman. 1-3. Kuncoro, E.B. 2009. Ensiklopedia populer ikan air tawar. Lily Publisher. Yogyakarta. 134: 27-28. Makmur, S. 2006. Sudahkah anda tahu? Ikan betok (Anabas testudineus) ikan konsumsi bernilai ekonomi, Edisi September 2006. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. [terhubung berkala]. http://www.brppu_palembang.com. Diunduh tanggal 29 September 2007. Mattjik, A.A. & Sumertajaya, I.M. 2002. Perancangan percobaan dengan aplikasi sas dan minitab. Jilid I. Edisi kedua. IPB Press. 281 p.

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

Media Indonesia. 2003. Sungai Mahakam harus segera diselamatkan 85% ekosistemnya rusak parah. http://www.inawater.com/news/wmview.ph p?ArtID=896. Diunduh tanggal 21 April 2008. Moyle, P.B. & Cech, J.J. 1988. Fishes an introduction to ichthyology. Second Edition. Departemen of Wildlife and Fisheries Biology University of California, Davis. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. 309 – 310 pp. Nasution, S.H. 2008. Ekobiologi dan dinamika stok sebagai dasar pengelolaan ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 152 p. Nelson, J.S. 1984. Fishes of the world. 2nd edition. A Wiley-Interscience Publication. John Wiley & Sons. Nurdawati, S.; Husnah; Asyari & Prianto, E. 2007. Fauna ikan di perairan danau rawa gambut di Barito Selatan Kalimantan Tengah. Jurnal Iktiologi Indonesia, 7 (2): 89-97. Pulungan, C.P. 2008a. Biologi ikan gabus (Channa striata Bl.). [terhubung berkala]. http://ikan-riau-pulungan.blogspot.com/. Diunduh tanggal 1 April 2009. Pulungan, C.P. 2008b. Biologi ikan motan (Thynnichthys polylepis) dari Waduk PLTA Koto Panjang Riau. [terhubung berkala]. http://ikan-riau-pulungan.blogspot.com/. Diunduh tanggal 1 April 2009. Purwakusuma, W. 2002. Anabas testudineus, ornamental fish information service highlight. [terhubung berkala]. http://www.ofish.com/DirektoriIkanTawar/Anabas_ testudineus.htm. Diunduh tanggal 1 April 2009. Said, A. 2006. Penelitian beberapa aspek biologi ikan serandang (Channa pleurophthalmus) di daerah aliran Sungai Musi Sumatera Selatan. Sondita, M.F.A. et al. (eds.). Prosiding Seminar Nasional

Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan Sumber daya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 78-84 pp. Samuel, Adjie, S. & Nasution, Z. 2002. Aspek lingkungan dan biologi ikan di Danau Arang-arang, Provinsi Jambi. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 8(1): 1-11. Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan prosedur statistika. [Terjemahan dari Principle and Statistics Procedure]. Diterjemahkan Sumantri, B. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 748 p. Sterba, H.G. 1969. Freshwater fishes of the world. Tucker, D.W. (Translated and revised). British Museum. The Pet Library, Ltd. New York. 778-780 pp. Simanjuntak, C.P.H.; Rahardjo, M.F. & Sukimin, S. 2006. Iktiofauna rawa banjiran Sungai Kampar Kiri. Jurnal Iktiologi Indonesia, 6 (2): 99-109. Tamsil, A. 2000. Studi beberapa karakteristik reproduksi prapemijahan dan kemungkinan pemijahan buatan ikan bungo (Glossogobius cf. aureus) di Danau Tempe dan Danau Sidenreng Sulawesi Selatan. Disertasi. Tidak dipublikasikan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 177 p. Utomo, A.D. & Asyari. 1999. Peranan ekosistem hutan rawa air tawar bagi kelestarian sumber daya perikanan di Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 5(3): 1-14. Walpole, R.E. 1992. Pengantar statistika. Edisi ketiga. Diterjemahkan Bambang Sumantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 p. Yani, A. 1994. Pola reproduksi ikan bentulu, Barbichtys laevis C.V (Cyprinidae, Ostariophysi) di Sungai Indragiri, Riau. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 117 p. Yustina & Arnentis. 2002. Aspek Reproduksi ikan kapiek (Puntius schwanenfeldii Bleeker) di Sungai Rangau-Riau, Sumatra. Jurnal Matematika dan Sains, 7(1): 5-14.

127