BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA MATA BESAR

Download Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Biologi Reproduksi Ikan Tuna ... reproduksi dan pertumbuhan ikan tuna mata besar di Samudera Hindia ...

0 downloads 607 Views 2MB Size
BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

RIA FAIZAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Biologi Reproduksi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Di Perairan Samudera Hindia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010 Ria Faizah NRP C551060131

ABSTRACT RIA FAIZAH. Reproductive Biology of Big-eye Tuna (Thunnus obesus) from Indian Ocean. Supervised by RICHARDUS F. KASWADJI and RIDWAN AFFANDI.

Big-eye tuna (Thunnus obesus) is one important species in tuna fisheries industry in the Indian Ocean. The utilization of big-eye tuna resources from Indian Ocean showed an increasing tendency from year to year, resulted in growing concern of rapid population depletion. It is necessary to explore important biological factors supporting the management of big-eye tuna population from Indian Ocean waters. The objective of this research is to study the reproductive biology of big-eye tuna (Thunnus obesus) from Indian Ocean waters. A total of 42 gonad samples were taken from fresh individuals captured in the Indian Ocean waters (09°11'-16°07' S; 110°15'-118°35' E) during MarchOctober 2008. The observation comprised of morphological structure of gonad and fish individual, gonad development, oocytes diameter, and batch fecundity. The results showed that the size of big-eye tuna were ranging from 109 cm to 153 cm in fork length (average 130,4 cm -FL); and weight range of 27-73 kg (average 44,02 kg). Length-weight relationship for Thunnus obesus was W=0,038 L2,8623. Degree of gonad maturity for obtained big-eye tuna (Thunnus obesus) were ranged from immature (TKG I, TKG II) to mature (TKG IV), and higher degree of gonad maturity showed higher value of GSI. Estimated spawning season for bigeye tuna from Indian Ocean waters was in October, with range of fecundity 8.163.715-10.365.317 oocytes, and the spawning type was partial spawner. Keywords: reproductive biology, bigeye tuna, Indian Ocean.

RINGKASAN RIA FAIZAH. Biologi Reproduksi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Di Perairan Samudera Hindia. Dibimbing oleh RICHARDUS KASWADJI dan RIDWAN AFFANDI. Ikan tuna mata besar (bigeye tuna) merupakan spesies penting dalam perikanan tuna di sepanjang Samudera Hindia. Hasil tangkapan ikan tuna mata besar dengan longline di Samudera Hindia dari akhir tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an meningkat dari 40.000 ton hingga mencapai 100.000 ton pada akhir tahun 1990-an. Puncak hasil tangkapan terjadi pada tahun 1997-1999 (140.000-150.000 ton) dan sejak saat itu terjadi penurunan yaitu 96.200-121.700 ton pada tahun 2003-2007 (IOTC, 2008). Kemerosotan produksi ini dapat menjadi indikator penurunan populasi atau telah terjadi overfishing. Pada masa mendatang dikhawatirkan penurunan stok ikan ini akan makin besar. Oleh sebab itu, maka perlu dilakukan eksplorasi faktor-faktor yang berkaitan dengan aspek reproduksi dan pertumbuhan ikan tuna mata besar di Samudera Hindia sebagai antisipasi untuk mendapatkan informasi yang nantinya dapat dijadikan dasar dalam upaya pencegahan terjadinya penurunan populasi yang kritis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai beberapa aspek reproduksi ikan tuna mata besar yang meliputi sebaran ukuran panjang, perkembangan gonad, fekunditas, pola pemijahan dan waktu pemijahan di perairan Samudera Hindia Penelitian dilakukan di perairan Samudera Hindia pada bulan Maret hingga Oktober 2008. Pengambilan sampel gonad ikan tuna mata besar dilakukan dengan mengikuti kapal tuna long line yang berbasis di Benoa. Lokasi daerah penangkapan kapal tuna longline yang diamati berada di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa Timur, Bali sampai ke Nusa Tenggara. Lokasi pengambilan sampel terletak pada koordinat 09011’-20042’ LS dan 108041’118057’ BT. Pengamatan struktur morfologis ikan meliputi pengukuran panjang dan berat ikan tuna untuk mencari hubungan panjang dan berat serta faktor kondisi dan pengamatan jenis kelamin (ciri seks sekunder). Kemudian melakukan pembedahan ikan untuk mengetahui jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad secara visual. Selanjutnya gonad diambil dan ditimbang untuk menentukan Indeks Kematangan Gonad (IKG) dan membuat preparat histologis untuk menentukan tingkat kematangan gonad secara mikroskopik. Selama penelitian yang dilakukan pada bulan Maret hingga Oktober 2008, sampel ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang tertangkap mempunyai ukuran panjang cagak antara 109 - 153 cm (rata-rata 130,4 cm); dengan kisaran berat antara 27 - 73 kg (rata-rata 44,02 kg). Ikan yang paling banyak tertangkap berkisar pada selang kelas panjang 132-139 cm. Ukuran panjang rata-rata ikan tuna mata besar dari penelitian ini cenderung sama dengan ukuran ikan tuna mata besar yang pernah tercatat sebelumnya oleh Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) pada tahun 2005 di perairan Samudera Hindia bagian barat yaitu berkisar antara 110-150 cm. Dari hasil analisis hubungan panjang-berat ikan tuna mata besar pada kisaran panjang antara 109-153 cm diperoleh persamaan sebagai berikut:

W=0,038 FL2,8623, R2 = 0,96 dengan nilai b = 2,8623. Nilai b ini lebih kecil dari 3 yang artinya bahwa pertumbuhan tuna mata besar bersifat allometrik negatif. Dari data panjang-berat ikan tuna mata besar yang diperoleh selama bulan Maret-Oktober 2008 diperoleh faktor kondisi ikan tuna mata besar menyebar pada kisaran 1,915 – 2,038 dengan rata-rata 1,951. Nilai faktor kondisi rata-rata ikan tuna mata besar pada setiap selang ukuran bervariasi. Faktor kondisi juga bervariasi pada setiap tingkat kematangan gonad ikan tuna mata besar. Hasil pengamatan anatomis dan histologis menunjukkan perubahan dengan adanya perkembangan gonad (TKG). Ikan yang mengalami matang gonad (TKG IV) ovarinya lebih besar daripada TKG I dan II, ovari mengisi penuh ruang bawah, butiran telur membesar dan berwarna jernih, telur dapat keluar dari lumen. Struktur histologis pada TKG I ovum didominasi oleh oosit stadia awal (oogonium), terlihat belum adanya fully yolked oocytes, didominasi oleh oosit yang masih gelap. TKG II ovarian dipenuhi oosit yang bernukleus dan oosit sedang berkembang untuk mencapai fully yolked oocytes. Pada TKG IV butir kuning telur sudah banyak, sudah mencapai fully yolked oocytes, minyak semakin banyak menyebar dan siap dipijahkan. Pada bulan Maret hingga Mei ikan dengan TKG I semakin meningkat, dari 25 % hingga mencapai 100%. Ikan dengan TKG II menurun dari 75% hingga 60%. Pada bulan Oktober hanya ditemukan TKG IV. Dari 42 contoh gonad yang diamati, ternyata hanya ditemukan 2 ekor ikan tuna mata besar yang dikatakan ‘matang’. Berdasarkan pada komposisi TKG dan ukuran kelas panjang terlihat bahwa ikan dengan TKG IV memiliki kisaran panjang antara 132-139 cm FL dan 140147 cm FL. Hal ini tidak berbeda jauh dengan ikan tuna mata besar di Laut Banda yang memiliki kisaran ukuran matang gonad 133,5- 137,9 cm. Nilai rata-rata IKG bervariasi tiap bulannya. Pada bulan Maret hingga Mei terjadi penurunan IKG dari 0,897 pada bulan Maret hingga 0,491 pada bulan Mei. Sementara itu pada bulan Oktober IKG semakin meningkat yaitu 2,093. Hal tersebut dapat dijadikan indikator bahwa pemijahan semakin dekat maka nilai IKG mencapai maksimum dan akan berkurang setelah ikan memijah. Nilai IKG ikan tuna mata besar di Samudera Hindia selama bulan Maret-Oktober sangat bervariasi. Nilai IKG tertinggi terdapat pada bulan Oktober. Hal ini berarti bahwa pada bulan Oktober diduga ikan tuna mata besar sudah siap memijah. Hasil perhitungan fekunditas dari 2 individu ikan tuna mata besar dengan panjang 141 cm FL dengan bobot 54 kg adalah 10.360.317 butir dan ikan tuna mata besar dengan panjang cagak 136 cm FL dan bobot 47 kg memiliki fekunditas 8.163.715 butir. Kurva pola sebaran diameter telur ikan tuna mata besar memperlihatkan 3 modus penyebaran ukuran. Puncak pertama terjadi pada ukuran 232,31-298,76 µm sebesar 16%, puncak kedua terdapat pada ukuran 431,69-498,14 µm sebanyak 27,83% dan puncak ketiga terdapat pada selang ukuran 564,61-631,06 µm sebesar 8%. Hal ini berarti ikan tuna mata besar diduga memijah sepanjang tahun dengan pola pemijahan bersifat parsial. Kata kunci: biologi reproduksi, ikan tuna mata besar, tuna longline, Samudera Hindia.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

RIA FAIZAH

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Djisman Manurung

PRAKATA

Puji dan syukur dari segenap keikhlasan hati penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya dan shalawat serta salam kepada Sayyidina Muhammad SAW sehingga karya ilmiah mengenai “Biologi Reproduksi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Perairan Samudera Hindia” ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pembimbing yaitu Dr.Ir.Richardus F. Kaswadji, M.Sc. dan Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA. Komisi pembimbing telah sangat membantu dengan memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan untuk Dr.Djisman Manurung atas masukan dan kritik yang sangat membangun sebagai penguji luar komisi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drs. Budi Iskandar, M.App.Sc., Dr. Wudianto dan Ir. Retno Andamari, M.Sc beserta rekan-rekan Pusat Riset Perikanan Tangkap (PRPT) yang telah banyak mendukung penelitian ini, dan tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman P.S. IKL 2006 atas masukan-masukan dan dukungannya, sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan. Secara khusus, penghargaan dan terima kasih yang tidak terhingga diberikan kepada Suamiku tercinta, Mama, A Adang, Eha dan tentunya buah hatiku Zaky atas segala doa, keikhlasan dan kasih sayangnya selama penulis menempuh masa pendidikan. Kiranya Allah SWT akan membalas kebaikan kalian semua. Penulis menyadari dengan sesungguhnya bahwa ada banyak kekurangan yang terdapat dalam karya ilmiah mengenai “Biologi Reproduksi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Di Perairan Samudera Hindia” ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan dan perbaikan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2010

Ria Faizah

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 7 Maret 1979 dari ayah M.Natsir (Alm) dan ibu Entin Centini. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Telah dikaruniai seorang putra, Muhammad Zaky Nur Fathullah, buah pernikahan dengan Moh. Fathullah. Pendidikan sarjana ditempuh pada tahun 1997 pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003 mulai bekerja sebagai staf peneliti pada Pusat Riset Perikanan Tangkap Jakarta. Pada tahun 2006 mendapat kesempatan mengikuti program pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Kelautan, melalui program pendidikan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, yang dibiayai oleh dana APBN.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................. ............x DAFTAR TABEL .................................................................................... ......... xii DAFTAR GAMBAR ................................................................................ ........ xiii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. ..........xv I

PENDAHULUAN................................................................................ ............1 1.1. Latar Belakang .............................................................................. ............1 1.2. Tujuan dan Manfaat ....................................................................... ............3 1.3. Perumusan Masalah ....................................................................... ............3

II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... ............6 2.1. Sistematika dan Ciri Morfologi Ikan Tuna Mata Besar atau Bigeye tuna (Thunnus obesus) ...................................................... ............6 2.2. Distribusi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ...................... ............7 2.3. Makanan......................................................................................... ............9 2.4. Aspek Reproduksi .......................................................................... ..........10 2.4.1. Seksualitas............................................................................ ..........10 2.4.2 Perkembangan Gonad .......................................................... ..........11 2.4.2.1. Perkembangan Testis ............................................... ..........12 2.4.2.2. Perkembangan Ovarium ........................................... ..........13 2.4.3 Musim Pemijahan Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) .........15 2.4.4 Waktu Pemijahan Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ..........16 2.4.5 Potensi Reproduksi .............................................................. ..........16 2.5. Kondisi Perikanan Tangkap di Samudera Hindia................................... 18 2.6. Daerah Penangkapan Ikan Tuna Mata Besar di Samudera Hindia.......... 23

III METODE PENELITIAN ................................................................... ..........24 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... ..........24 3.2 Deskripsi Alat Tangkap Tuna Longline......................................... ..........25 3.3. Metode Penelitian ......................................................................... ..........27 3.4. Analisia Data ................................................................................. ..........28 3.4.1. Pertumbuhan. ....................................................................... ..........28 3.4.1.1. Hubungan Panjang dan Berat..................................... ..........28 3.4.1.2. Faktor kondisi ............................................................ ..........29 3.4.2.. Aspek Reproduksi ............................................................... ..........29 3.4.2.1. Indeks Kematangan Gonad ........................................ ..........29 3.4.2.2. Fekunditas .................................................................. ..........30 3.4.2.3. Diameter dan Pola Sebaran Telur .............................. ..........30

IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... ..........31 4.1.Hasil ................................................................................................ ..........31 4.1.1 Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ................................................................... ..........31 4.1.2. Hubungan Panjang dan Berat Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ................................................................... ..........34 4.1.3. Faktor Kondisi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)..... ..........35 4.1.4. Aspek Reproduksi. ................................................................ ..........36 4.1.4.1.Perkembangan Gonad Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) .......................................................... ..........36 4.1.4.2.Indeks Kematangan Gonad (IKG) Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ................................................ ..........41 4.1.4.3.Fekunditas Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ... ..........42 4.1.4.4.Diameter Telur dan Pola Sebaran Telur Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ................................................ ..........42 4.2.Pembahasan .................................................................................... ..........44 4.2.1. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) .................................................................. ..........44 4.2.2. Hubungan Panjang dan Berat Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) .................................................................. ..........44 4.2.3. Faktor Kondisi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)..... ..........45 4.2.4. Aspek Reproduksi. ................................................................ ..........46 4.2.4.1. Perkembangan Gonad Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ......................................................... ..........46 4.2.4.2. Indeks Kematangan Gonad (IKG) Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ............................................... ..........48 4.2.4.3. Fekunditas Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) .. ..........49 4.2.4.4. Diameter Telur dan Pola Sebaran Telur Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ............................................... ..........50 V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................51 5.1 Kesimpulan .............................................................................................51 5.2 Saran ........................................................................................................51 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................52 LAMPIRAN .......................................................................................................59

DAFTAR TABEL Halaman 1

Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Jenis dan Ukuran Kapal Ikan Di Benoa Tahun 2007.....................................................................................19

2

Jumlah Kapal Tuna Long Line Yang Melakukan Penangkapan di Benoa Setiap Bulan Pada Tahun 2007...........................................................20

3

Posisi Pengambilan Sampel Dan Ukuran Panjang Kelompok Sampel Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) (Maret-Oktober 2008....................32

4

Deskripsi Struktur Morfologis dan Histologis ovarium ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) ...........................................................................................39

5

Fekunditas Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus).....................................42

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Skema pendekatan pengelolaan sumberdaya ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) ............................................................................................. 5 2 Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) ....................................................... 6 3 Peta penyebaran ikan tuna mata besar di dunia ............................................. 9 4 Fluktuasi bulanan ikan tuna yang tercatat di Provinsi Bali pada tahun 2007 ..21 5 Data Volume Ekspor Produk Ikan Tuna Dari Propinsi Bali, JanuariOktober 2008...................................................................................................22 6 Data Nilai Ekspor Rata-rata per bulan Produk Ikan Tuna dari Propinsi Bali, Tahun 2008 ...............................................................................22 7 Daerah penangkapan ikan tuna mata besar (T. obesus) di Samudera Hindia (ACIAR, 2001).................................................................................................23 8

Posisi geografis pengambilan sample ikan bigeye tuna (T. obesus) di Samudera Hindia..........................................................................................24

9

Setting alat tangkap tuna longline di perairan .................................................26

10 Posisi geografis kelompok sampel ikan tuna mata besar (T.obesus) di Samudera Hindia ........................................................................................31 11 Sebaran frekuensi panjang cagak ikan tuna mata besar (T. obesus) berdasarkan lokasi dan waktu di perairan Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008;N=42)...........................................................................33 12 Sebaran frekuensi panjang ikan tuna mata besar (T. obesus) di perairan Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008 ; N=42)............................................33 13 Hubungan panjang-berat ikan tuna mata besar (T. obesus) yang ditangkap dengan tuna longline pada kisaran panjang 109-153 cm di Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008 ; N=42).............................. .........34 14 Hubungan antara faktor kondisi dengan ukuran ikan tuna mata besar (T. obesus) di Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008 ; N=42)............35 15 Hubungan antara faktor kondisi dengan TKG ikan tuna mata besar (T. obesus) di Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008 ; N=42)...........36

16 Struktur Anatomis dan Histologis Gonad Ikan Tuna Mata Besar (T. obesus) (HE x 40; bar=100 µm) .....................................................37 17 Tingkat kematangan gonad ikan tuna mata besar (T.obesus) di perairan Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008). ............................................ .........40 18 Tingkat Kematangan Gonad ikan tuna mata besar (T.obesus) berdasarkan kelas panjang cagak di perairan Samudera Hindia, (Maret-Oktober 2008). ...................................................................................40 19 Hubungan antara nilai IKG dengan TKG ikan tuna mata besar (T.obesus) di perairan Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008). .................41 20 Nilai IKG ikan tuna mata besar (T.obesus) di perairan Samudera Hindia, (Maret-Oktober 2008). ...................................................................................41 21 Distribusi ukuran diameter telur tuna mata besar (T. obesus) di Samudera Hindia pada gonad yang matang (TKG IV) (n=600 butir)............43

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kapal tuna longline......................................................................................... 57 2 Pengukuran panjang ikan tuna mata besar di kapal tuna longline.................. 58 3 Kriteria tingkat kematangan gonad menurut Schaefer dan Orange ( 1956)... 59 4 Teknik Pembuatan Preparat Histologi (Angka et al., 1996)........................... 60 5 Sebaran Frekuensi Ukuran Kelas Panjang dan Hubungan Panjang Berat Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus)................................................................... 62 6 Faktor kondisi Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus)........................................... 63 7 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dan Indeks Kematangan Gonad (IKG) Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus).................................................................. 64 8 Pola Sebaran Diameter Telur Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus)..................... 65

I. PENDAHULUAN Permukaan bumi yang luasnya diperkirakan mencapai 510 km2, hampir 2/3 bagiannya (71%) tertutup oleh laut dan hanya 1/3 saja yang berupa daratan. Laut memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya karena di dalam dan di atas laut terdapat kekayaan sumber daya alam yang dapat kita manfaatkan diantaranya yaitu : tempat rekreasi dan hiburan, tempat hidup sumber makanan,

pembangkit listrik tenaga ombak, pasang surut dan angin, tempat

budidaya ikan, kerang mutiara dan rumput laut, tempat barang tambang berada, sebagai jalur transportasi air, sebagai tempat cadangan air bumi, dan sebagai objek riset penelitian dan pendidikan. Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki wilayah laut lebih luas dari daratannya. Luas daratan Indonesia sekitar 1.900.000 km2, luas laut teritorial mencapai 3.100.000 km2 dan luas ZEEI mencapai 2.700.000 km2. Dengan demikian wilayah laut Indonesia mencapai sekitar 73,1 % dari seluruh wilayah Indonesia. Di dalamnya terdapat lebih dari 17.504 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Gunawan, 2009). Kekayaan laut yang dimiliki Indonesia sangat banyak. Laut Indonesia mengandung banyak sumber daya yang beragam baik yang dapat diperbaharui seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan plasma nutfah lainnya ataupun sumber daya yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak dan gas bumi, barang tambang, mineral, serta energi kelautan seperti gelombang dan angin. Salah satu aspek perikanan yang sangat memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia adalah perikanan tuna. Tuna merupakan anggota dari famili Scombridae. Berdasarkan ukuran ikan tuna yang terdapat di perairan Indonesia terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok tuna berukuran besar dan tuna berukuran kecil. Kelompok tuna besar diantaranya adalah madidihang atau yellowfin tuna (Thunnus albacares), tuna mata besar atau bigeye tuna (Thunnus obesus), albakora atau albacore (Thunnus alalunga)

2

dan tuna sirip biru atau

bluefin tuna (Thunnus maccoyi). Kelompok tuna kecil

diantaranya adalah tongkol, dan cakalang atau skipjack. Tuna mata besar (Thunnus obesus) menyebar dari Samudera Pasifik melalui perairan di antara pulau-pulau di Indonesia hingga ke Samudera Hindia. Ikan ini terutama ditemukan di perairan sebelah selatan Jawa, sebelah barat daya Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan Laut Maluku. Menurut Uda (1952) dalam Laevastu dan Hela (1970), tuna mata besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu yang paling besar, yaitu berkisar antara 11 -28oC . Perairan Samudera Hindia merupakan salah satu perairan yang terluas di dunia, di perairan ini terdapat 5 dari 7 jenis tuna yang menyebar serta merupakan salah satu daerah penangkapan penting untuk armada longline Jepang, Korea dan lain-lainnya (Klawe, 1980). Ada dua kegiatan penangkapan yang berkembang di perairan Samudera Hindia, yaitu perikanan tuna longline untuk mengeksploitasi tuna besar di lapisan perairan yang dalam, berbasis di Benoa, Cilacap dan Muara Baru, dan perikanan tuna permukaan untuk mengeksploitasi tuna kecil, dengan alat-alat tangkap seperti tonda di Bali dan Sumatera Barat (Bungus), gill net di Cilacap dan Pelabuhan Ratu, dan purse seine di Nangro Aceh Darussalam. Ekspor tuna mata besar pada umumnya dalam bentuk segar dan beku. Berdasarkan pada data Dinas Perikanan Propinsi Bali dan PPSJ Muara Baru (Proctor et al. 2003) disebutkan bahwa pada tahun 2002 tuna yang diekspor dalam bentuk segar dan beku sekitar 18.011,5 ton dari Bali dan 17.471 ton dari Muara Baru dengan negara tujuan Jepang, Amerika, Inggris dan lain-lain. Ikan tuna mata besar (bigeye tuna) merupakan spesies penting dalam perikanan tuna di sepanjang Samudera Hindia. Hasil tangkapan ikan tuna mata besar dengan longline di Samudera Hindia dari akhir tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an meningkat dari 40.000 ton hingga mencapai 100.000 ton pada akhir tahun 1990-an. Puncak hasil tangkapan terjadi pada tahun 1997-1999 (140.000-150.000 ton) dan sejak saat itu terjadi penurunan yaitu 96.200-12.1700 ton pada tahun 20032007 (IOTC, 2008). Kemerosotan produksi ini dapat menjadi indikator penurunan populasi atau telah terjadi overfishing. Pada masa mendatang dikhawatirkan

3

penurunan stok ikan ini akan makin besar. Oleh sebab itu, maka perlu dilakukan eksplorasi faktor-faktor yang berkaitan dengan aspek reproduksi dan pertumbuhan dari ikan tuna mata besar di Samudera Hindia sebagai antisipasi untuk mendapatkan informasi yang nantinya dapat dijadikan dasar dalam upaya pencegahan terjadinya penurunan populasi yang kritis. Pendekatan melalui aspek biologi ini merupakan langkah awal sebagai upaya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan agar pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan. 1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang aspek-aspek biologi reproduksi ikan tuna mata besar, Thunnus obesus, yang meliputi sebaran ukuran panjang, perkembangan gonad, fekunditas, pola pemijahan dan musim pemijahan di perairan Samudera Hindia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengelolaan sumber daya ikan tuna mata besar secara lestari dan berkesinambungan.

1.3. Perumusan Pemecahan Masalah Salah satu aspek untuk mendukung upaya pengelolaan sumberdaya ikan tuna adalah pengetahuan dasar mengenai aspek biologi reproduksi dari ikan tuna itu sendiri, karena aspek reproduksi merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan kelestarian dari sumberdaya tersebut. Beberapa manfaat dari pengetahuan mengenai reproduksi ikan tuna diantaranya, yaitu dapat: (1) melacak ukuran pertama kali matang gonad, (2) melacak waktu ikan memijah (3) melacak lokasi pemijahan (4) memprediksi potensi reproduksi ikan tersebut, dan (5) memprediksi pola pemijahannya. Dalam melacak ukuran pertama kali matang gonad harus ada suatu hubungan antara ukuran ikan dengan tingkat kematangan gonad ikan tuna. Dengan adanya ukuran pertama kali matang gonad maka dapat dilakukan pengaturan ukuran minimal yang boleh ditangkap. Untuk melacak waktu ikan memijah harus diketahui hubungan

4

antara waktu dan tingkat kematangan gonad sehingga akan diketahui kapan musim pemijahan akan berlangsung yang pada akhirnya dapat dilakukan pengaturan musim penangkapan ikan tuna. Selanjutnya untuk mengetahui potensi reproduksi dan pola pemijahan maka perlu dilakukan penghitungan fekunditas dan pengukuran diameter telur. Dengan adanya pengetahuan mengenai potensi reproduksi dan pola pemijahan maka pembatasan penangkapan dapat dilakukan. Penelitian mengenai biologi reproduksi ikan tuna, khususnya tuna sirip biru (southern bluefin tuna) pernah dilakukan di perairan selatan Jawa dan Bali dengan berbasis pendaratan di Benoa (Davis et al. 1996). Untuk jenis ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) masih jarang dilakukan khususnya di perairan Samudera Hindia wilayah perairan Indonesia. Nootmorn (2004) pernah melakukan pengamatan terhadap biologi reproduksi ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia dengan basis pendaratan di Phuket Thailand, sedangkan Figueiredo et al. (2008) melakukan penelitian biologi reproduksi ikan tuna mata besar di perairan Samudera Atlantik bagian barat. Oleh karena itu penting untuk melakukan eksplorasi mengenai aspek biologi reproduksi ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia wilayah perairan Indonesia mengingat masih terbatasnya informasi mengenai jenis ikan tuna mata besar tersebut. Untuk lebih jelas mengenai alur pemikiran eksplorasi sumberdaya ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang berkaitan dengan aspek reproduksi dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Alur pemikiran eksplorasi sumberdaya ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) Keterangan : _____ : ruang lingkup penelitian Æ : hubungan ------- : bukan ruang lingkup penelitian : hasil yang tercapai

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Ikan Tuna Mata Besar atau Bigeye Tuna (Thunnus obesus) Menurut Collette & Nauen (1983), klasifikasi ikan tuna mata besar adalah sebagai berikut : Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Superclass: Gnathostomata Class: Osteichthyes Subclass: Actinopterygii Suborder: Scombroidei Family: Scombridae Subfamily: Scombrinae Genus: Thunnus Species: Thunnus obesus Sirip punggung

7-10 finlets

Sirip ekor

Sirip dada Sirip anal

Gambar 2. Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Thunnus obesus atau dikenal dengan sebutan Bigeye tuna atau tuna mata besar, termasuk jenis tuna besar, sirip dada cukup panjang pada individu yang besar dan

7

menjadi sangat panjang pada individu yang sangat kecil. Warna bagian bawah dan perut putih, garis sisi pada ikan yang hidup seperti sabuk berwarna biru membujur sepanjang badan, sirip punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning muda, jari-jari sirip tambahan (finlet) berwarna kuning terang, dan hitam pada ujungnya. Menurut Reiner (1996), spesies ini mencapai panjang total maksimum (total length/TL) 250 cm dengan panjang cagak (Fork Length/FL) rata-rata per individunya lebih dari 180 cm. Pada tahun 1957 pernah dilaporkan di Cabo Blanco, Peru sepanjang 263 cm dengan berat 197,3 kg, sedangkan pada tahun 1977 di Samudera Atlantik, tepatnya Maryland, USA seberat 170,3 kg dengan panjang cagak 206 cm. Ukuran panjang cagak normal yang tertangkap antara 40 cm dan 170 cm (Fonteneau dan Marcille Eds. 1991). Menurut Fukofuka dan Itano (2006), ikan tuna mata besar mempunyai ciri-ciri luar sebagai berikut : •

Sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor;



Pada ikan dewasa matanya relatif besar dibandingkan dengan tuna-tuna yang lain;



Profil badan seluruh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata;



Sirip dada pada ikan dewasa, 1/4-1/3 kali fork length (FL);



Sirip dada pada anak ikan tuna (yuwana) lebih panjang dan selalu melewati belakang sebuah garis yang digambar di antara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip anal;



Ikan-ikan tuna mata besar dengan ukuran <75 cm (10 kg) mempunyai sirip dada yang lebih panjang dari pada ikan tuna sirip kuning dari ukuran-ukuran yang sebanding.

2.2. Distribusi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Ikan tuna mata besar (Bigeye tuna) hidup di perairan tropis sampai subtropis. Ikan ini adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk diantaranya

8

beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera (highly migratory) (Supadiningsih dan Rosana 2004). Distribusi ikan tuna di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari lingkungan. Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behaviour). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam struktur morfologis, respon fisiologis dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan, diantaranya adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan. Tuna mata besar bersifat epipelagik, mesopelagik, berada pada permukaan sampai kedalaman 250 m. Suhu dan kedalaman termoklin menjadi faktor utama distribusi vertikal dan horizontal dari ikan tuna mata besar (Maury 2005). Kedalaman renang tuna bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dapat tertangkap di kedalaman 0-400 m. Salinitas perairan yang disukai ikan tuna mata besar berkisar 32-35 ppt atau di perairan oseanik. Habitat ikan tuna mata besar di daerah perairan dengan suhu dari 13°-29°C, namun batas suhu optimumnya antara 17°C dan 22°C. Variasi yang terjadi berhubungan erat dengan musim dan perubahan iklim dari suhu permukaan dan termoklin. Ikan tuna mata besar kecil dan juvenil bergerombol di permukaan perairan dengan sesama spesiesnya ataupun dengan madidihang dan cakalang. Ikan dewasa tinggal di perairan yang lebih dalam. Ikan tuna mata besar mempunyai pola tingkah laku yang khas berdasarkan kedalaman, yaitu pada malam hari ikan tuna ini berada di lapisan permukaan pada kedalaman kira-kira 50 m, dan pada siang hari dapat menyelam hingga kedalaman 500 m (Dagorn et al. 2000, Gunn dan Block 2001). Menurut Mohri dan Nishida (1999) laju tangkap ikan tuna mata besar di Samudera Hindia sangat rendah pada kedalaman kurang dari 100 m dan lebih tinggi pada kedalaman lebih dari 200 m. Ikan betina dewasa lebih banyak ditemukan di perairan tropis. Ikan tuna dewasa ditemukan setiap tahun di daerah sekitar barat dan tengah Samudera Hindia, meskipun relatif jarang ditemukan juga di Samudera Hindia bagian timur pada bulan April hingga September.

9

Ikan tuna mata besar dapat bertahan pada kondisi oksigen terlarut dengan konsentrasi lebih rendah dibandingkan dengan spesies tuna lainnya dan mampu mendiami perairan yang lebih dalam (Stequert dan Marsac 1989) yang konsentrasi oksigennya 1,5 ml/l dengan batas toleransi terendah 0,5 ml/l. Penyebaran ikan tuna mata besar di dunia yaitu di perairan subtropis dan tropis Samudera Pacifik, India dan Atlantik, tetapi tidak terdapat di Laut Mediterrania (Gambar 3). Di Indonesia, daerah penyebaran tuna, termasuk tuna mata besar, secara horisontal meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan barat Papua. Semua jenis tuna terdapat di Indonesia kecuali tuna sirip biru utara dan tuna sirip hitam, karena tuna sirip biru utara menghuni Samudera Pasifik dan Atlantik, sedangkan tuna sirip hitam hanya terdapat di Samudera Atlantik (Uktolseja 1988).

Sumber: FAO (2005)

Gambar 3. Peta penyebaran ikan tuna mata besar di dunia. 2.3. Makanan Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Ikan tuna merupakan ikan karnivora dan menempati tempat teratas dalam rantai makanan di laut. Ikan tuna memakan kelompok ikan kecil lain, cumi dan krustasea planktonik. Ikan tuna menggunakan gerakan yang hebat dalam kolom air untuk menangkap makanannya. Pergerakan ikan tuna naik dan turun di kolom air

10

juga sesuai dengan ketersediaan makanan. Sepanjang hari ikan tuna cenderung menyelam ke bawah dan malam hari naik ke permukaan untuk makan dan ke tengah untuk menghindari kompetisi makanan. Menurut Calkins, 1980 kebiasaan makan ikan tuna mata besar adalah oportunistik dalam semua tahap hidupnya selama siang dan malam dengan mangsanya krustase, cephalopod dan ikan.

2.4. Aspek Reproduksi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) 2.4.1. Seksualitas Kajian reproduksi ikan membutuhkan pengetahuan mengenai perkembangan gonad pada individu ikan. Metode yang biasa digunakan adalah berdasarkan tampilan morfologi gonad secara visual. Metode ini memang lebih cepat tetapi kurang akurat. Metode histologi dapat digunakan untuk mendapatkan analisis yang lebih rinci mengenai pola perkembangan oosit dan spermatosit yang akan menyokong definisi perkembangan gonad. Tuna seperti semua scombrid lainnya adalah heteroseksual yaitu jenis kelaminnya terpisah (jantan dan betina) dan tidak ada ciri morfologis eksternal untuk melihat perbedaan kelamin. Ikan jantan diidentifikasi oleh keberadaan testes dan ikan betina oleh kehadiran ovari dalam gonad. Fertilisasi telur eksternal dan mengambil tempat di air setelah dilepaskan oleh ikan betina. Masa hidup ikan tuna mata besar 12 tahun, perlahan mencapai laju pertumbuhan moderate dan matang pada umur 3-4 tahun (FL:110 cm dan W: 30 kg). Ikan tuna mata besar dapat mencapai berat hingga 180 kg pada usia 8 tahun atau lebih tua. Kematian alami dan ukuran stok rendah. Ikan tuna merupakan multiple atau batch spawner, benih gametnya langsung masuk ke laut untuk fertilisasi. Ikan tuna merupakan pemijah berlimpah dan memijah tergantung spesiesnya yang mungkin memijah beberapa kali sepanjang musim pemijahan. Ikan tuna betina diklasifikasikan matang atau aktif secara seksual ketika isi ovarinya penuh dengan kuning telur. Ikan tuna jantan diklasifikasikan matang seksual jika terdapat sperma pada kantung sperma.

11

2.4.2. Perkembangan Gonad Perkembangan gonad ikan sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan ikan sehingga faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan juga berpengaruh pada perkembangan gonad. Ada dua tahapan perkembangan gonad yaitu tahap perkembangan gonad ikan menjadi dewasa kelamin (sexually mature) dan tahapan pematangan gamet (gamet maturation). Pada hewan vertebrata termasuk ikan, saat terjadinya kematangan gonad adalah merupakan periode ikan muda yang memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi. Hal ini terjadi dengan teraktivasinya axis hypothalamus pituitary gonad (Amer et al. 2001). Mekanisme pengaturan hormon dalam tahapan gametogenesis pada ikan diatur oleh hormon Pituitary Gonadotropin (GtH) dan steroid hormone dari gonad. Kedua hormone tersebut mengatur proses perkembangan gonad dan proses pematangan gonad. Mekanisme kerja dari hormon tersebut diatur/dipicu oleh keadaaan lingkungan (suhu, cahaya matahari) yang memberikan sinyal lingkungan kepada sistem syaraf untuk memulai proses pematangan dari gonad. Adanya sinyal lingkungan tersebut maka efeknya adalah hypothalamus mengeluarkan gonadotropin releasing hormon (GnRH) yang dapat menstimulasi keluarnya hormone Pituitary Gonadotropin (GtH). Pada ikan pertumbuhan dan pematangan distimulasi oleh GtHII (Tang dan Affandi 2001). Pada saat proses perkembangan dan pematangan gonad ikan sebagian energi pertumbuhan akan dialihkan dari perkembangan sel somatik menjadi pertumbuhan sel gamet sehingga pada saat ikan sudah matang gonad bobot gonad pada ikan betina beratnya dapat mencapai 10-25% dari berat tubuhnya sedangkan pada ikan jantan antara 5-10% dari berat tubuhnya (Effendi 1997). Secara kuantitatif tingkat perkembangan gonad ini dapat dihitung dengan menggunakan Gonado Somatic Index (GSI). Semakin tinggi perkembangan gonad maka perbandingan antara berat tubuh dan gonad semakin besar yang diperlihatkan dengan nilai GSI yang besar, semakin besar nilai GSI maka dapat dijadikan indikator semakin dekatnya waktu pemijahan.

12

2.4.2.1. Perkembangan Testis Testis adalah organ tempat terjadinya proses produksi spermatozoa. Pada ikan golongan teleost, testis terdiri dari sepasang organ yang terletak pada bagian bawah dari gelembung renang di bagian atas dan usus dan ada di belakang ginjal. Pada induk jantan yang matang anterior testisnya berisi 3/4 volume dari sperma. Pada bagian belakang dari masing-masing testis terbentuk saluran sperma yang menuju bagian genital papila. Testis terdiri dari seminiferous tubules dan aliran darah. Pada teleost ada dua tipe dasar struktur testis yaitu tipe lobular dan tipe tubular (Nagahama 1983) Testis terdiri dari banyak lobul yang saling terpisah oleh jaringan penghubung. Pada tiap lobul diselimuti oleh tunica albuginea dengan lapisan otot yang halus. Sel Leydig tersebar pada lapisan tubulus seminiferus yang merupakan sel yang memproduksi hormon endogren yang merangsang pertumbuhan karakter seksual sekunder dan melepaskan spermatozoa pada saat pemijahan. Sel sertoli terletak antara sel spermatogenik dalam tubulus seminiferus yang merupakan suplai nutrien bagi sperma. Perkembangan sel dalam testis tidak mengalami perubahan yang berarti, saat terjadi proses spermatogenesis tidak memperlihatkan perubahan yang nyata dibandingkan pada proses oogenesis di ovarium. Saat spermatogenesis sel dalam testis hanya mengalami perubahan dari bentuk sel spermatogonia menjadi spermatozoa. Peningkatan volume terjadi di dalam testis saat proses pematangan sel yang berhubungan dengan tubulus seminiferus yang berisi spermatozoa yang densitasnya meningkat dan biasanya terjadi saat mendekati musim pemijahan. Spermatogenesis

terbagi

menjadi

dua

tahapan

proses

yaitu

spermatositogenesis dan spermiogenesis. Proses ini terjadi di sepanjang tubulus dengan berbagai macam tahapan perkembangan. Spermatogenesis terjadi di lobular atau tubular dalam kista yang berisi sel primer spermatogonia. Kista tersebut dibentuk oleh sel somatik sertoli yang menempel pada sel primer spermatogonia. Ketika proses spermatogenesis berkembang, kista membesar dan akhirnya luluh melepaskan sperma pada lobular lumen dan bergerak ke kantung sperma. Tahap yang berbeda pada

13

proses spermatogenesis ditentukan dari karakter struktural dari germ cell dan keadaan inti selnya. Spermatogonia primer melakukan pembelahan mitosis untuk membentuk spermatogonia sekunder yang berbentuk sel kista. Spermatogonia sekunder kemudian membentuk spermatosit primer yang kemudian melakukan pembelahan miosis I untuk membentuk spermatosit sekunder. Pada tahapan ini terjadi proses spermatositogenesis. Spermatid yang terbentuk dari spermatosit sekunder melalui pembelahan miosis II kemudian berkembang menjadi spermatozoa melalui proses speriogenesis. Saat proses spermiogenesis ini tidak terjadi pembelahan sel hanya terjadi perubahan struktur sperma sehingga menjadi bagian kepala, leher dan ekor. Pada akhir spermiogenesis, sel kista luluh dan melepaskan spermatozoa pada lumen lobul dalam testis (Billard 1992) Proses spermatogenesis diatur oleh hormon gonadotropin dan hormon testis (androgen). Gonadotropin menstimulasi pembentukan androgen oleh sel Leydig dan kemudian mengontrol proses spermatogenesis dan spermiasi. Pada kebanyakan spesies teleost jenis steroid androgennya adalah 11-ketotestosterone, saat spermatogenensis jumlah hormon androgen ini meningkat sampai pada tahap akhir proses spermatogenesis dan proses pemijahan (Amer et al. 2001). Di dalam testis dan salurannya (seminal vesicle) juga terdapat jenis hormon steroid lain yang dapat membantu proses pemijahan terjadi yaitu jenis hormon steroid glucuroides. Hormon ini berperan sebagai sex pheromon yang dapat menstimulasi perkembangan ovarium pada ikan betina, meningkatkan responsifitas pemijahan dan membantu terjadinya ovulasi saat terjadinya pemijahan (Viveiros et al. 2001)

2.4.2.2. Perkembangan Ovarium Pada ikan dewasa, ovarium secara umum berjumlah sepasang yang menempel pada rongga tubuh (body cavity). Oosit yang berkembang terletak di tengah dalam lapisan folikel yang dilindungi oleh suatu lapisan sel yang memproduksi steroid. Lapisan folikel terdiri dari lapisan dalam yaitu lapisan granulose dan lapisan luar atau sel theca yang dipisahkan oleh membran sel. Di antara lapisan luar oosit dan sel granulose dipisahkan oleh lapisan yang disebut dengan zona radiata atau lapisan telur.

14

Lapisan protein zona radiata dihasilkan dari plasma darah dan disimpan pada lapisan ini. Saat yang sama maka oosit diisi oleh protein kuning telur (lipovitellin, phosvitin) yang diturunkan dari vitelogenin (Vtg). Kedua protein telur yaitu protein zona radiata dan protein vitelogenin merupakan protein yang penting dalam pembentukan kematangan telur, kedua protein ini disintesa di liver dengan pengaturan dari endokrin melalui axis hypothalamus-pituitary-gonad-liver (Arukwe et al. 2003). Ikan rata-rata memiliki ukuran dan jumlah telur yang besar bila dibandingkan dengan hewan lain. Hal ini berkaitan dengan strategi ikan dalam menjaga kelangsungan hidup generasi selanjutnya. Proses pembentukan, perkembangan dan maturasi dari gamet betina yang disebut sebagai proses oogenesis merupakan suatu proses yang berkaitan dengan sistem hormon dalam tubuh yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Perkembangan oosit dalam ovarium melewati beberapa tahapan, secara umum dalam kelompok ikan teleost ada 4 tahapan yaitu perkembangan sel primer, cortical alveoli atau pembentukan kuning telur, proses vitelogenesis dan pematangan. Oosit dalam tahapan perkembangan sel primer tidak mengandung kuning telur. Pada tahapan Cortical alveoli ditandai dengan pembentukan protein telur dalam sitoplasma yang menandai akan bekembangnya telur pada tahap selanjutnya. Dengan perkembangan oosit maka cortical alveoli akan berkembang dalam bentuk dan ukuran dengan melepaskan isinya dalam membran perivitelin di dalam membran telur selama proses pembentukan telur. Pada ikan yang memiliki lipid globule juga akan terkumpul pada tahapan ini dalam sitoplasma. Tahapan vitelogenesis ditandai dengan adanya kuning telur dalam sitoplasma oosit. Oosit berkembang akibat adanya akumulasi kuning telur dalam sitoplasma. Vitelogenesis akan berkembang secara penuh dan kemudian mengalami maturasi dan ovulasi karena adanya pengaruh hormonal. Tahapan pematangan telur ditandai dengan migrasinya inti sel ke daerah lubang mikrofil (animal pole). Ketika nukleus telah bermigrasi maka tahapan pembelahan meiosis pertama terjadi. Tahapan hidrasi akan terjadi saat pematangan akhir ketika mendekati proses ovulasi yang terjadi dengan adanya uptake cairan oleh oosit. Setelah terjadi ovulasi maka selanjutnya

15

akan terjadi proses pembelahan meiosis kedua dan oosit telah menjadi telur secara sempurna dan siap untuk dibuahi (Murua dan Kraus 2003). Secara histologis perkembangan telur mengalami beberapa tahapan yaitu : 1. Fase previtelogenik merupakan fase pertumbuhan telur yang berjalan lambat dengan hanya terjadi sedikit

perubahan sitoplasma. Nukleus yang

mengandung satu nukleolus kemudian berkembang dan terbentuk ribonukleus yang mengandung inti dari telur (Balbiani’s vitelline body). 2. Fase vitelogenik ditandai dengan pertumbuhan yang cepat dan terjadinya penyimpanan sebagian besar kuning telur dalam ooplasma. Saat akhir proses vitelogenik atau saat awal dari maturasi akhir, germinal vesicle (nukleus) yang saat awal berada di tengah bergerak ke arah tepi mendekati mikrofil.

2.4.3. Musim Pemijahan Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Masa pemijahan ikan tuna di wilayah Pasifik terjadi sepanjang tahun di perairan tropis dan musiman pada lintang tinggi di perairan dengan suhu di atas 24°C, idealnya mendekati 26oC (Kume 1967; Miyabe 1994). Kemudian Hisada (1979) menambahkan bahwa ikan tuna mata besar memerlukan kedalaman di lapisan tercampur sedikitnya 50 m dengan suhu permukaan laut kurang dari 24°C. Kume (1967) mencatat bahwa ada hubungan antara kematangan ikan tuna mata besar pada suhu permukaan laut di bawah 23°C hingga 24°C, yang mewakili batas rendah aktivitas pemijahan. Pada umumnya, ikan tuna mata besar diyakini memijah sepanjang tahun di daerah tropis (10°N – 10oS) dan selama bulan musim panas di lintang tinggi (Collette dan Nauen 1983). Sebuah studi oleh McPherson (1991) di perairan Australia timur mendukung konsep ini yang menyatakan bahwa pemijahan ikan tuna mata besar di ekuator berlangsung sepanjang tahun dengan musim pemijahan di daerah utara Australia. Di Samudera Pasifik ukuran minimum pertama matang kali seksual untuk ikan tuna mata besar sekitar 100 cm. Di Pasifik bagian barat ikan betina 50% bereproduksi dengan ukuran pertama matang seksual adalah 135 cm dan ukuran

16

minimum matang seksual pada ukuran 102 cm (Schaefer et al. 2005). Sementara itu Nootmorn (2004) menyatakan bahwa aktivitas pemijahan ikan tuna mata besar di Samudera Hindia yaitu dari bulan Desember hingga bulan Januari dan bulan Juni. Ukuran yang matang 50% untuk betina dan jantan diperkirakan pada panjang 88,08 dan 86,85 cm FL. Rasio kelamin bervariasi setiap bulan dengan selang kelas ikan tuna ukuran kecil (85-115 cm FL) lebih banyak ikan betina, sedangkan ikan tuna ukuran besar (125-155cm FL) terdiri dari ikan jantan

2.4.4. Waktu Pemijahan Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Ikan tuna mata besar merupakan serial spawner, dapat mengulang pemijahan secara harian atau mendekati interval harian selama periode pemijahan yang panjang (Nikaido et al. 1991).

Pemijahan terjadi menjelang sore atau malam di dekat

permukaan (McPherson 1991). Diperkirakan dari pukul 18.00 hingga tengah malam, menyimpan telur harian (Matsumoto dan Miyabe 2002). Puncak pemijahan pada malam hari sekitar pukul 19.00 hingga pukul 24.00, dengan batch fekunditas jutaan telur setiap periode pemijahan.

2.4.5. Potensi Reproduksi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Pada spesies ikan jumlah oosit (fekunditas), perkembangan oosit dan tipe pemijahan yang berbeda-beda antar spesies merupakan strategi reproduksi yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan gen. Tiap spesies ikan memiliki strategi reproduksi yang berbeda-beda.

Hal ini sangat berhubungan dengan sistem

pemijahan, jumlah partner, habitat dan waktu pemijahan. Strategi reproduksi yang dilakukan oleh ikan bertujuan untuk memaksimalkan kelangsungan hidup dari keturunannya yang berhubungan dengan ketersediaan energi dan umur induknya. Pada kebanyakan spesies ikan yang hidup di laut jenis strategi yang dikembangkan meliputi tipe pemijahan iteroparous yaitu pemijahan dilakukan lebih dari satu kali ovulasi, gonochoristic yang menggambarkan bahwa antara ikan jantan dan betina terpisah organ kelaminnya dan proses terjadinya pemijahan di luar tubuh induknya tanpa adanya penjagaan oleh induk (non parental care)

17

Berdasarkan pada perkembangan diameter telur maka ada beberapa jenis tipe perkembangan oosit pada ikan, yaitu (Murua dan Kraus 2003) : 1.

Tipe perkembangan synchronous, semua oosit berkembang dan terevolusi pada saat yang sama. Biasanya terjadi pada ikan yang memijah satu kali kemudian mati, contohnya terjadi pada ikan salmon dan sidat. Frekuensi diameter oosit ditandai dengan kurva satu puncak (single bell curve)

2.

Tipe perkembangan group-synchronous, ditandai dengan adanya dua populasi oosit pada satu waktu. Satu populasi ukuran oositnya lebih besar dan homogen dan populasi yang kedua ukurannya lebih heterogen. Populasi telur dengan diameter yang terbesar akan diovulasi pada saat musim pemijahan, sedangkan populasinya akan diovulasi pada musim pemijahan selanjutnya dalam rentang waktu yang cukup lama. Biasanya terjadi pada ikan yang musim pemijahannya pendek.

3.

Tipe perkembangan asynchronous, oosit dari setiap tahap perkembangan dan berbagai ukuran diameter ada dalam telur dan tidak ditandai dengan populasi yang dominan. Ketika proses pematangan terjadi maka akan tampak adanya perbedaan ukuran diameter telur terutama telur tahap hidrasi dan pengumpulan kuning telur. Biasanya terjadi pada spesies yang memiliki musim pemijahan relatif panjang/berlanjut dan proses pematangan dan ovulasi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan di perairan. Lowe-McConnell (1991) mengemukakan empat pola pemijahan sebagai

berikut : 1. Tipe big bang-spawner, yaitu ikan yang memijah hanya sekali seumur hidupnya dan kemudian mati. Contohnya pada Anguilla dan Salmon. 2. Tipe total spawner, yaitu ikan yang memijahkan telurnya sekaligus pada satu kali musim pemijahan. Contohnya pada kebanyakan Characoidae, Cyprinidae dan beberapa Siluridae. 3. Tipe partial spawner, yaitu ikan yang memijahkan telur tidak sekaligus dalam satu musim pemijahan. Contohnya pada beberapa Cyprinidae, Characoidae, Siluridae dan Anabantoidae.

18

4. Tipe small brood spawner, ikan yang mempunyai fekunditas kecil dan telur dipijahkan sekaligus

pada satu musim pemijahan. Contohnya pada

kebanyakan Cichilidae dan beberapa Poecilidae. Fekunditas merupakan fungsi dari beberapa faktor : ukuran dan umur individu; ukuran dan berat gonad, iklim dan variasi lingkungan. Ikan tuna memiliki fekunditas yang sangat tinggi yang bertujuan untuk memperpanjang pemijahan, frekuensi pemijahan tinggi dan relatif batch spawning. Ikan tuna betina dapat mengeluarkan jutaan telur selama pemijahan tunggal. Ikan betina mampu melepaskan 100.000 telur per kg berat tubuh. Batch fekunditas seperti pada beberapa ikan, meningkat secara dramatis dengan panjang tubuh dengan perkiraan batch fekunditas ikan tuna mata besar berkisar sekitar 1.000.000-5.000.000 setiap memijah untuk ikan dengan ukuran berkisar dari 120-180 cm FL (Nikaido et al. 1991). Sun et al. 1999 memperkirakan rata-rata batch fekunditas untuk ikan tuna mata besar Pasifik barat adalah 3.470.000 oocytes atau 59,5 oocytes per gram dari berat tubuh per ikan. Sementara itu menurut The International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas atau ICCAT 2006 jumlah telur yang dihasilkan ikan tuna mata besar tiap individunya antara 2.900.0006.300.000 setiap kali memijah.

2.5. Kondisi Perikanan Tangkap di Samudera Hindia Sumberdaya ikan tuna merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia di bidang perikanan laut terutama bagi pelaku penangkapan di perairan Samudera Hindia.

Penangkapan ikan tuna di perairan Samudera Hindia yang

berbasis di Benoa menggunakan 3 jenis alat tangkap yaitu tuna long line/rawai tuna, pukat cincin (purse seine) dan pancing ulur (hand line). Jumlah masing-masing alat tangkap berdasarkan ukuran kapal yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

19

Tabel 1. Jumlah alat tangkap berdasarkan jenis dan ukuran kapal ikan di Benoa, tahun 2007 Ukuran Kapal (GT)

Jenis Alat Tangkap Longline

Handline

Jumlah

Purse Seine

<5

1

-

-

1

5-10

6

4

-

10

10-20

24

1

-

25

20-30

120

27

-

147

30-50

71

2

-

73

50-100

174

-

4

178

100-200

136

-

-

136

-

-

-

0

532

34

4

570

200> Jumlah

Sumber: Pengawas Kapal Ikan (WASKI) Benoa 2007 dalam PRPT 2008

Di perairan Samudera Hindia penangkapan tuna dengan menggunakan tuna longline telah dimulai sejak tahun 1970-an dengan basis pendaratan di Benoa, Bali Jumlah kapal tuna longline menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, namun pada tahun terakhir ini jumlah armada yang aktif melakukan penangkapan semakin berkurang karena tingginya biaya ekploitasi untuk pembelian BBM. Jumlah kapal yang aktif beroperasi dan mendaratkan ikan di pelabuhan Benoa setiap bulannya sangat berfluktuasi seperti disajikan pada Tabel 2 berikut.

20

Tabel 2. Jumlah kapal tuna long line yang beroperasi di Benoa setiap bulan pada tahun 2007

Bulan

Jumlah Kapal Berangkat

Masuk

Januari

288

193

Pebruari

257

241

Maret

290

209

April

277

229

Mei

299

188

Juni

249

233

Juli

256

204

Agustus

247

182

September

221

126

Oktober

296

284

Nopember

289

190

Desember

309

300

3278

2579

Jumlah

Sumber: Pengawas Kapal Ikan (WASKI) Benoa 2007 dalam PRPT 2008

Dari Tabel 2 terlihat bahwa jumlah kapal tuna long line yang berbasis di Benoa tercatat lebih dari 500 kapal, namun kapal-kapal yang aktif beroperasi untuk melakukan penangkapan ternyata hanya sekitar 300 kapal (Tabel 1 dan 2). Hal ini menunjukkan bahwa untuk setiap bulannya rata-rata jumlah armada penangkapan tuna long line yang beroperasi kurang dari 60%. Jumlah hasil tangkapan ikan tuna yang didaratkan setiap bulannya sangat bervariasi. Hasil laporan Pengawas Kapal Ikan (WASKI) Benoa untuk produksi ikan tuna pada tahun 2007 tercatat 3.844.196 kg, sedangkan jenis ikan lainnya sebesar 3.090.477 kg (WASKI, 2007 dalam PRPT, 2008). Hasil tangkapan tuna yang dilaporkan WASKI jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan produksi ikan tuna

21

yang dilaporkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali yaitu pada tahun 2007 tercatat 31.425 ton. Jenis ikan madidihang sebanyak 11.622 ton, sedang untuk tuna mata besar tercatat 8.162, 5 ton atau sekitar 25 % dari total produksi ikan tuna yang didaratkan.

1600 1400

Produksi (ton)

1200 1000 800

Albacora

600

Madidihang Tuna Sirip Biru

400

Tuna Mata Besar

200

li Ag us tu s Se pt em be r O kt ob er N op em be r D es em be r

Ju

ni Ju

ei M

ril Ap

et M

ar

ri

Pe br ua

Ja

nu a

ri

0

Bulan

Sumber: Laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2008 dalam PRPT, 2008

Gambar 4. Fluktuasi bulanan hasil tangkapan ikan tuna yang tercatat di Provinsi Bali pada tahun 2007. Jumlah produksi ikan tuna mata besar di Bali merupakan produksi terbesar kedua setelah madidihang (Gambar 4). Berdasarkan hasil monitoring di pendaratan ikan tuna di Benoa yang dilakukan atas kerjasama Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) dengan Pusat Riset Perikanan Tangkap (PRPT), produksi bigeye tuna tertinggi pernah mencapai lebih dari 12.000 ton yang terjadi pada tahun 1998. Pada tahun yang sama produksi ikan madidihang juga tercatat paling tinggi. Akan tetapi, pada 5 tahun terakhir ini terjadi penurunan yang sangat signifikan yaitu pada tahun 2004 dan 2005 masing-masing tercatat sekitar 4.000 ton baik untuk madidihang, maupun tuna mata besar (PRPT 2008).

22

1,400.00 1,200.00 1,000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00

Tuna Segar Tuna Loin Segar Tuna Beku Tuna Steak Beku Tuna Loin Beku Tuna Meat Beku

Ju A g li u Se stu s pt em be r O kt ob er

M

ei Ju ni

Tuna Fillet Beku

Ja nu a Fe ri br ua ri M ar et Ap ril

Volume (ton/Ekor) Volume (ton)

Data Export Komoditas Perikanan Prov. Bali berdasarkan Volume (ton/ekor)

Bulan

Sumber: Laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2008 dalam PRPT, 2008

Gambar 5. Data Volume Ekspor Produk Ikan Tuna Dari Propinsi Bali, Januari Oktober 2008

9,000.00 8,000.00 7,000.00 6,000.00 5,000.00 4,000.00 3,000.00 2,000.00 1,000.00 0.00

Tuna Segar Tuna Loin Segar Tuna Beku Tuna Steak Beku Tuna Loin Beku Tuna Meat Beku

Ag us tu Se s pt em be r O kt ob er

Ju li

Ju ni

M

ei

Tuna Fillet Beku

Ap ril

Ja nu ar i Fe br ua ri M ar et

Rata-rata $/Ton) Rata-rata(US (US $)

Berdasarkan rata-rata (US $/Ton)

Bulan

Sumber: Laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2008 dalam PRPT, 2008

Gambar 6. Data Nilai Ekspor Rata-rata per bulan Produk Ikan Tuna dari Propinsi Bali, Tahun 2008 Ekspor produk ikan tuna dari propinsi Bali bulan Januari - Oktober 2008 meliputi tuna segar, tuna loin segar, tuna beku, tuna steak beku, tuna loin beku, tuna meat beku, tuna filet beku. Dari tujuh jenis produk ini yang dominan adalah

23

tuna segar dan tuna steak beku. Data volume ekspor berbagai produk tuna dapat dilihat pada Gambar 5 dengan nilai ekspor tertera pada Gambar 6. Volume ekspor tertinggi adalah tuna beku pada bulan Januari 2008. Nilai ekspor tertinggi diperoleh dari tuna segar pada bulan Mei 2008 (PRPT 2008). 2.6. Daerah Penangkapan Ikan Tuna Mata Besar di Samudera Hindia Daerah penangkapan ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia dengan menggunakan tuna long line adalah meliputi sebelah selatan Jawa Timur, Bali sampai ke Nusa Tenggara. Penyebaran daerah penangkapan ini masih relatif sama dengan hasil pengamatan yang dilakukan pada tahun 2001-2002 (Wudianto et al. 2003). Sebagian dari kapal tuna long line sudah beroperasi di sebelah selatan lintang 13oLS yang wilayah ini merupakan perairan laut bebas karena sudah di luar ZEE Indonesia. 5

Latitude

0

-5

Benoa -10

Fishing Ground -15 95

100

105

110 Longitude

115

120

Sumber : ACIAR, 2001

Gambar 7. Daerah penangkapan ikan tuna mata besar (T. obesus) di Samudera Hindia dengan fishing base di Benoa, Bali

125

24

III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel ikan tuna mata besar dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Oktober 2008 di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Ikan tuna mata besar yang dijadikan sampel merupakan hasil tangkapan kapal tuna longline milik PT. Perikanan Nusantara. Pengambilan sampel gonad ikan tuna mata besar dilakukan dengan mengikuti kapal tuna long line yang berbasis di Benoa. Lokasi pengambilan sampel terletak pada koordinat 09011’-20042’ LS dan 108041’-118057’ BT (Gambar 8). Sebagian besar lokasi penangkapan di sebelah selatan lintang 130 LS, dimana wilayah ini merupakan perairan laut bebas karena sudah di luar ZEE Indonesia. Analisis sampel ikan dilakukan di Laboratorium Bio Makro I Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Gambar 8. Posisi geografis pengambilan sample ikan bigeye tuna (T. obesus) di Samudera Hindia

25

3.2. Deskripsi Alat Tangkap Tuna Longline Rawai tuna atau tuna longline merupakan alat penangkap ikan tuna yang paling efektif. Rawai tuna merupakan rangkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu tuna longline biasanya mengoperasikan 1000-2000 mata pancing untuk sekali turun. Rawai tuna umumnya dioperasikan di laut lepas atau mencapai perairan samudera. Alat tangkap ini bersifat pasif, yaitu menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran. Setelah pancing diturunkan ke perairan, lalu mesin kapal dimatikan, sehingga kapal dan alat tangkap akan hanyut mengikuti arus atau disebut drifting. Drifting berlangsung selama kurang lebih 4-5 jam. Selanjutnya mata pancing diangkat kembali ke atas kapal. Rawai tuna ini merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan karena bersifat selektif terhadap jenis ikan yang ditangkap. Desain dan konstruksi tuna longline/rawai tuna di Benoa pada dasarnya dibedakan menjadi 2 sistem yaitu sistem arranger dan non arranger (blong dan basket). Satu unit longline terdiri dari pelampung (float), tali pelampung (float line), tali utama (main line) dengan sejumlah tali cabang (branch line) yang berpancing (hook) (Gambar 9). Bahan tali utama dan tali cabang dapat terbuat dari bahan polyamide (PA) atau nylon (monofilamen) atau bahan polyethilene (PE). Dalam satu pelampung digunakan 7-17 mata pancing dengan jenis umpan yang berbeda. Umpan yang digunakan terdiri dari umpan hidup seperti bandeng dan umpan mati seperti lemuru, belo, layang, cumi dan tongkol.

26

Keterangan : 1. Main line; 2. Buoy (float) line;3. Branch line; 4. Hook wire; 5. Hook and bait; 6. Buoy / float

Gambar 9. Setting alat tangkap tuna longline di perairan Konfigurasi pancing pada satu pelampung disesuaikan dengan kedalaman perairan yang akan dijangkau oleh pancing. Jangkauan kedalaman pancing yang terdalam adalah 450 m. Setelah semua persiapan telah dilakukan dan telah tiba di fishing ground yang telah ditentukan, maka dilakukan setting yang diawali dengan penurunan pelampung bendera dan penebaran tali utama. Selanjutnya melakukan penebaran pancing yang telah dipasangi umpan. Rata-rata waktu yang dipergunakan untuk melepas pancing 0,6 menit/ pancing. Pelepasan pancing dilakukan menurut garis yang menyerong atau tegak lurus terhadap arus. Waktu melepas pancing biasanya waktu tengah malam, sehingga pancing telah terpasang waktu pagi saat ikan sedang aktif mencari mangsa. Namun,

pengoperasian

juga

dapat

dilakukan

pada

siang

hari.

Penarikan alat tangkap dilakukan setelah berada di dalam air selama 3-6 jam. Penarikan dilakukan dengan menggunakan line hauler yang diatur kecepatannya. Masing-masing anak buah kapal telah mengetahui tugasnya sehingga alat penangkap dapat diatur dengan rapi. Lamanya penarikan alat tangkap sangat ditentukan oleh banyaknya hasil tangkapan dan faktor cuaca. Penarikan biasanya memakan waktu 3 menit / pancing.

27

3.3. Metode Penelitian Prosedur pengamatan aspek reproduksi ikan tuna mata besar adalah sebagai berikut : 1.

Penentuan Sampel Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tuna mata besar yang

tertangkap oleh kapal tuna longline milik PT. Perikanan Nusantara dari Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara dan didaratkan di Benoa, Bali. Pada penelitian ini mata pancing yang digunakan kurang lebih sebanyak 1200 mata pancing dengan ukuran mata pancing 5 dan 6. Pengambilan data pada bulan Maret hanya dilakukan satu kali trip dengan 6 kali setting, pada bulan April dilakukan 2 kali trip dengan jumlah setting sebanyak 10 kali, kemudian pengambilan data pada bulan Mei dan Oktober hanya dilakukan satu kali trip dengan masing-masing setting 22 kali pada bulan Mei dan 2 kali pada bulan Oktober. Selama penelitian, semua hasil tangkapan ikan tuna mata besar digunakan sebagai ikan sampel yaitu sebanyak 42 sampel. 2. Pengamatan struktur morfologis Pengamatan struktur morfologis ikan meliputi pengukuran panjang dan berat dan pengamatan jenis kelamin (ciri sekunder seks). Data ini digunakan untuk mencari hubungan panjang dan berat serta faktor kondisi ikan. Untuk mengetahui jenis kelamin dan berat gonad ikan maka dilakukan pembedahan. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengukuran ini adalah califer dengan ukuran 200-250 m, timbangan digital kapasitas maksimal 300 kg dengan ketelitian 0,01 kg dan disceting set. 3. Penentuan Tingkat Kematangan Gonad Gonad yang telah diambil kemudian ditimbang dalam keadaan segar (berat keseluruhan) kemudian diambil sebagian (subsample) dan diawetkan

dengan

formalin 10% untuk tujuan pembuatan preparat histologi. Masing-masing spesimen gonad disimpan disertai dengan data ukuran panjang cagak (dalam cm) ikan contoh dan bobotnya (dalam gram). Penentuan tingkat kematangan gonad tuna mata besar

28

dilakukan melalui pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan secara makroskopis mengacu pada kriteria menurut Schaefer dan Orange (1956) (Lampiran 3) dan pengamatan secara mikroskopis melalui metode histologi (Lampiran 4).

Pengamatan terhadap preparat gonad meliputi status kematangan

gonad, perkembangan dan ukuran oocyte. Pengamatan, pengukuran dan penghitungan dilaksanakan terhadap seluruh oocyte yang terdapat dalam preparat. 4. Penentuan Fekunditas dan Pengukuran Diameter Telur. Untuk menentukan fekunditas dan pengukuran diameter telur maka telur diambil dari gonad dengan mengambil contoh dari tiga bagian gonad yaitu bagian anterior, median dan posterior, masing-masing sebanyak 100 butir, lalu dengan menggunakan mikrometer okuler dan objektif dihitung jumlah telurnya dan diukur diameter telurnya dengan perbesaran 4 x 10 kali. Penentuan fekunditas hanya dilakukan terhadap gonad yang telah matang secara histologis (TKG IV).

3.4. Analisa Data 3.4.1. Pertumbuhan 3.4.1.1. Hubungan panjang –berat Hubungan panjang - berat dianalisa dengan model persamaan Hile dalam Effendie (1997) sebagai berikut : W=aLb dimana :

W = berat ikan (gram) L = panjang ikan (cm) a dan b = konstanta.

Dari persamaan tersebut dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan berat ikan tersebut. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan dengan kriteria : a. b =3 , pertumbuhan isometrik, yaitu pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan berat atau

29

b. b ≠ 3 , pertumbuhan allometrik, pola pertumbuhan panjang tidak sama dengan pola pertumbuhan berat Jika b > 3 maka pola pertumbuhannya allometrik positif, artinya pertambahan berat lebih dominan daripada pertambahan berat Jika b < 3 maka pola pertumbuhannya allometrik negatif, artinya pertambahan panjang lebih dominan daripada pertambahan berat. Kesimpulan dari nilai b yang diperoleh ditentukan dengan menggunakan uji-t pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) (Stell and Torrie 1989)

3.4.1.1. Faktor Kondisi Kondisi ikan dinyatakan dalam angka yang dihitung sesuai dengan rumus yang dikemukakan Goddard (1996), yaitu : Kt = 102 W/L3 dimana : Kt

= faktor kondisi

W

= bobot rata-rata ikan (gram)

L

= Panjang rata-rata ikan (cm)

3.4.2. Aspek Reproduksi 3.4.2.1. Indeks Kematangan Gonad Untuk menentukan Indeks Kematangan Gonad (IKG) menggunakan rumus menurut Effendi ( 1997) :

IKG % =

dimana:

Wg x100 W W = berat ikan (gram) Wg = berat gonad (gram)

30

3.4.2.2. Fekunditas

Fekunditas diasumsikan sebagai jumlah telur yang terdapat dalam ovary ikan yang telah mencapai TKG IV. Cara mendapatkan telur yaitu dengan mengambil telur dari ikan betina dengan mengangkat seluruh gonadnya dari dalam perut ikan yang telah diawetkan. Fekunditas dapat dihitung dengan metode gravimetrik dengan rumus (Effendi 1997) : ⎛G⎞ F = ⎜⎜ ⎟⎟ x N ⎝Q⎠

dimana :

F = fekunditas N = jumlah telur tiap gonad contoh G = berat gonad (gram) Q= gonad contoh (gram)

3.4.1.3. Diameter dan Pola Sebaran Telur

Pola sebaran diameter ukuran telur dianalisis secara deskriptif dengan melihat modus penyebaran ukuran. Apabila terlihat dua modus penyebaran, pola pemijahannya berlangsung dalam waktu yang panjang atau telur yang dikeluarkan sebagian-sebagian (partial spawning). Jika terdapat penyebaran ukuran satu modus pemijahan berlangsung dalam waktu yang singkat (total spawning) (Effendi 2002).

31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)

Posisi geografis pengambilan sampel ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang juga merupakan daerah penangkapan ikan tuna mata besar dengan menggunakan tuna longline secara tepat disajikan pada Gambar 10. Dari gambar tersebut terlihat bahwa lokasi pengambilan sampel setiap bulannya berbeda kecuali pada bulan Mei dan Oktober. Pengambilan sampel yang dilakukan dari bulan Maret hingga bulan Oktober 2008 menghasilkan 42 ekor ikan tuna mata besar (Thunnus obesus). Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya ikan jantan.

Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4

Gambar 10. Posisi geografis kelompok sampel ikan tuna mata besar (T. obesus) di Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008) Untuk melihat sebaran ukuran pada setiap lokasi dan berdasarkan waktu dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 11. Pada Tabel 3 dan Gambar 11 terlihat bahwa berdasarkan waktu pada setiap lokasi pengambilan sampel ukuran ikan tuna mata

32

besar (Thunnus obesus) memiliki ukuran yang relatif seragam yaitu pada lokasi 1 pada bulan Maret ikan tuna mata besar memiliki ukuran relatif menyebar merata pada selang ukuran 108-147 cm dengan panjang cagak rata-rata 129 cm dan berat rata-rata 44 kg (8 ekor), lokasi 2 yaitu pada bulan April memiliki panjang cagak rata-rata 133,5 cm dan berat rata-rata 48,6 kg (10 ekor). Pada bulan April terlihat bahwa selang ukuran panjang 132-139 cm mendominasi (5 ekor). Kemudian pada lokasi 3 yaitu bulan Mei memiliki panjang cagak rata-rata 128,8 cm dengan berat rata-rata 41,7 kg (22 ekor) dan yang paling banyak tertangkap pada selang ukuran panjang 124-131 cm (6 ekor) walaupun tidak begitu menonjol. Sementara itu pada lokasi 4 yaitu bulan Oktober ikan yang tertangkap hanya pada selang ukuran panjang 132-139 cm dan 140-147 cm masing-masing hanya 1 ekor dengan panjang cagak rata-rata 138,5 cm dan berat rata-rata 50,5 kg. Tabel 3. Posisi pengambilan sampel dan ukuran panjang kelompok sampel ikan tuna mata besar (T. obesus) (Maret-Oktober 2008)

Lokasi

Bulan

Posisi geografis

Ukuran ikan (cm)

Panjang ratarata (cm)

Berat ratarata (kg)

1

Maret

108041'-111028' BT

12015'-17001' LS

112-145

129

44

2

April

108057'-109052' BT

19039'-20042' LS

114-153

133.5

48.6

0

0

0

0

3

Mei

112 52'-118 57' BT

09 23'-13 25' LS

109-145

128.8

41.7

4

Oktober

114006'-114043' BT

13013'-14016' LS

136-141

138.5

50.5

33

6

5

Jumlah ikan (ekor)

Jumlah ikan (ekor)

6

Maret (n=8)

4 3 2 1

April (n=10)

5 4 3 2 1 0

0 108-115

116-123

124-131

132-139

140-147

108-115

148-155

116-123

Selang kelas panj ang (cm)

Mei (n=22)

6 Jumlah ikan (ekor)

Jumlah ikan (ekor)

124-131

132-139

140-147

148-155

Selang kelas panj ang (cm)

6 5 4 3 2 1 0

Oktober ( n=2)

5 4 3 2 1 0

108-115

116-123

124-131

132-139

140-147

148-155

108-115

116-123

124-131

132-139

140-147

148-155

Selang kelas panj ang (cm)

Selang kelas panj ang (cm)

Gambar 11. Sebaran frekuensi panjang cagak ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) berdasarkan lokasi dan waktu pengambilan sampel di perairan Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008;N=42) Secara keseluruhan, sebaran frekuensi panjang ikan tuna mata besar yang tertangkap pada bulan Maret hingga Oktober 2008 dapat dilihat pada Gambar 12.

14 12

Jumlah

10 8 6 4 2 0 108-115

116-123

124-131

132-139

140-147

148-155

Selang kelas panjang (cm)

Gambar 12. Sebaran frekuensi panjang ikan tuna mata besar (T. obesus) di perairan Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008 ; N=42).

34

Pada Gambar 12 terlihat bahwa ikan tuna mata besar (T. obesus) yang tertangkap pada bulan Maret hingga Oktober menyebar pada ukuran panjang cagak antara 109 - 153 cm (rata-rata 130,4 cm); dengan kisaran berat antara 27 - 73 kg (ratarata 44,02 kg). Ikan yang paling banyak tertangkap berkisar pada selang kelas panjang cagak 132-139 cm.

4.1.2. Hubungan Panjang dan Berat Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)

Hasil analisis statistik hubungan panjang cagak dan berat tubuh terhadap 42 ekor ikan tuna mata besar yang ditangkap dengan menggunakan tuna longline pada kisaran panjang cagak 109 - 153 cm diperoleh persamaan sebagai berikut: W=0,038 FL2,8623.

Persamaan hubungan panjang cagak dan berat

ikan tuna mata besar

menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi (b,R) adalah 2,8623 dan nilai R2 yaitu 0,95 (Gambar 13). 80000 W= 0,0381FL2,8623 R2 = 0,95

70000 Berat Total (g)

60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

Panjang Cagak (cm)

Gambar 13. Hubungan panjang-berat ikan tuna mata besar (T. obesus) yang ditangkap dengan tuna longline pada kisaran panjang cagak 109 - 153 cm di Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008 ; N =42).

35

4.1.3.Faktor Kondisi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)

Gambar 14 menggambarkan hubungan antara faktor kondisi dengan ukuran dari ikan tuna mata besar (T.obesus) di Samudera Hindia. Gambar tersebut memperlihatkan adanya fluktuasi faktor kondisi rata-rata pada setiap selang ukuran. Faktor kondisi rata-rata pada selang kelas 108-115 cm yaitu 2,016. Nilai ini lebih besar dibandingkan faktor kondisi rata-rata pada ukuran 116-122 cm yaitu 1,922. Selanjutnya faktor kondisi rata-rata meningkat lagi pada selang ukuran 124-131 cm dengan nilai 2,003. Kemudian terjadi penurunan pada selang ukuran 132-139 cm dan 140-147 cm dengan nilai masing-masing 1,915 dan 1,921. Faktor kondisi rata-rata yang tertinggi adalah 2,038 terjadi pada ukuran 148-155 cm.

80000

2,060

70000

2,020 2,000

60000

1,980

50000

1,960

40000

1,940 1,920

30000

1,900

20000

Berat Rata -rata (g)

Faktor Kondisi Rata-rata

2,040

1,880 10000

1,860 1,840

0 108-115

116-123

124-131

132-139

140-147

Selang kelas panjang (cm)

148-155

Faktor kondisi Berat rata-rata (g)

Gambar 14. Hubungan antara faktor kondisi dengan ukuran ikan tuna mata besar (T. obesus) di Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008 ; N=42). Hubungan antara faktor kondisi dengan TKG dari ikan tuna mata besar (T.obesus) dapat dilihat pada Gambar 15. Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai rata-rata faktor kondisi paling tinggi terjadi pada TKG II yaitu 1,980, selanjutnya nilai tertinggi kedua terjadi pada TKG I yaitu 1,940 dan yang paling rendah adalah pada TKG IV yaitu 1,897.

2,000

52000

1,980

50000

1,960

48000

1,940

46000

1,920 44000

1,900

42000

1,880

Berat rata-rata (g)

Faktor Kondisi Rata-rata

36

40000

1,860 1,840

38000

I

II TKG

IV

Faktor kondisi Berat rata-rata (g)

Gambar 15 Hubungan antara faktor kondisi dengan TKG ikan tuna mata besar (T. obesus) di Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008 ; N=42). 4.1.4. Aspek Reproduksi 4.1.4.1. Perkembangan Gonad Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) (Struktur Anatomis dan Histologis)

Ikan tuna mata besar seperti hewan vertebrata lainnya, bereproduksi secara seksual, telur dan spermatozoa dibentuk dalam individu yang terpisah. Ikan ini memiliki sepasang ovarium (gonad) yang hampir seimbang dalam ukuran yang terdiri atas lobus kanan dan lobus kiri. Berdasarkan hasil pengamatan gonad secara anatomis yang mengacu pada Schaefer dan Orange (1956) dan secara histologis terlihat bahwa selama penelitian ikan tuna mata besar betina mempunyai TKG I, TKG II dan TKG IV (Gambar 16). Dari 42 contoh gonad yang diamati, ternyata hanya ditemukan 2 ekor ikan tuna mata besar yang mencapai TKG IV dan tidak ditemukan TKG III.

37

TKG

Struktur Anatomis

Struktur Histologis

I

II

IV

Keterangan : Og = Oogonium; N= Nucleus; MN=Migration Nucleus Y= Yolk; EY = Early Yolk; AY = Advance Yolk; Od = Oil droplet.

Gambar 16. Struktur Anatomis dan Histologis Gonad Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) (HE x 40, bar = 100 µm).

38

Hasil pengamatan anatomis dan histologis menunjukkan adanya perubahan struktur histologis gonad dengan adanya perkembangan gonad (TKG). Dilihat dari bentuk anatomis ikan yang mengalami matang gonad (TKG IV) ovarinya lebih besar daripada TKG I dan II, ovarinya mengisi penuh ruang bawah, butiran telurnya membesar dan berwarna jernih, telur dapat keluar dari lumen dengan sedikit penekanan pada bagian perut. Hasil analisis histologis (Gambar 16) dapat dilihat perkembangan gonad ikan mata besar secara mikroskopis. Struktur histologis pada TKG I ovum didominasi oleh oosit stadia awal (oogonium), terlihat belum adanya fully yolked oocytes, didominasi oleh oosit yang masih gelap. TKG II ovarian dipenuhi oosit yang bernukleus dan oosit sedang berkembang untuk mencapai fully yolked oocytes. Pada TKG IV butir kuning telur sudah banyak, sudah mencapai fully yolked oocytes, minyak semakin banyak menyebar dan bergerak menuju tepi atau mikrofil. Untuk keterangan lebih lengkap mengenai perkembangan gonad ikan tuna mata besar dapat dilihat pada Tabel 4.

39

Tabel 4. Deskripsi Struktur Morfologis dan Histologis ovarium ikan tuna mata besar (Thunnus obesus). Struktur Morfologis

Struktur Histologis

TKG I Ovary kecil, memanjang dan ramping, Ovarium belum matang, didominasi oleh jenis kelamin dapat ditentukan dengan oogonium berdiameter 41.72 -73.78 µm,. kaca pembesar. Ovari berwarna jernih

Sitoplasma lebih tebal dan berwarna ungu dan inti sel berbentuk bulat atau oval

TKG II Ovary membesar, bulatan telur belum Ukuran diameter oosit meningkat (75dapat terlihat dengan mata telanjang, 200 µm), inti kelihatan bertambah besar, ovari mengisi sekitar setengah ruang kuning telur mulai terlihat, oosit mulai bawah

berkembang untuk mencapai fully yolked oocytes

TKG IV Ovari sangat membesar, butiran telur Butir kuning telur sudah banyak yang membesar dan berwarna jernih, dapat mencapai fully yolked oocytes, diameter keluar

dari

lumen

dengan

sedikit telur 220-830.44 µm, butiran minyak

penekanan pada bagian perut, gonad semakin banyak menyebar dari sekitar mengisi penuh ruang bawah.

inti hingga tepi. Oosit dalam tahap nukleus migrasi (inti sel bergerak menuju mikrofil) atau kondisi hidrasi. Pada tingkat ini ukuran oosit bervariasi dan tidak ada yang dominan

Sementara itu untuk menduga musim pemijahan ikan tuna mata besar, maka tingkat kematangan gonad dihubungkan dengan waktu pengambilan contoh (Gambar 17).

40

n=22

n=2

100 90

n=8

Persentase TKG

80 n=10

70 60 50 40

TKG I

30

TKG II

20

TKG IV

10 0 Maret

April

Mei

Oktober

Bulan

Gambar 17. Tingkat kematangan gonad ikan tuna mata besar (T.obesus) di perairan Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008). Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa pada bulan Maret hingga Mei ikan dengan TKG I semakin meningkat, dari 25 % hingga mencapai 100%. Ikan dengan TKG II menurun dari 75% hingga 60%. Pada bulan Oktober hanya ditemukan TKG IV. Tingkat Kematangan Gonad IV terdapat pada selang kelas panjang cagak 132139 cm dan 140-147 cm. Sementara itu ukuran ikan pada selang kelas panjang cagak yang paling tinggi yaitu 148-155 cm paling banyak memiliki TKG I (Gambar 18). 100,00 90,00 Persentase TKG

80,00 70,00

TKG I

60,00

TKG II

50,00

TKG IV

40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 108-115

116-123

124-131

132-139

140-147

148-155

Selang kelas panjang (cm )

Gambar 18. Tingkat Kematangan Gonad ikan tuna mata besar (T.obesus) berdasarkan kelas panjang cagak di perairan Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008).

41

4.1.4.2. Indeks Kematangan Gonad (IKG) Ikan Tuna Mata Besar (T. obesus)

Indeks Kematangan Gonad (IKG) dapat digunakan sebagai penduga lain dari ukuran tingkat kematangan gonad ikan disamping melalui analisis histologis. Nilai IKG ikan tuna mata besar dapat dilihat pada Gambar 19 dan 20. Gambar 19 memperlihatkan adanya variasi nilai rata-rata IKG pada setiap tingkat kematangan gonad (TKG). Dari gambar tersebut terlihat bahwa semakin tinggi tingkat kematangan gonad ikan, maka nilai indeks kematangan gonad semakin meningkat.

Rata-rata IKG

2,500 2,000 1,500 1,000 0,500 0,000 I

II

IV

TKG

Gambar 19. Hubungan antara nilai IKG dengan TKG ikan tuna mata besar (T.obesus) di perairan Samudera Hindia (Maret-Oktober 2008). 2,500

Rta-rata IKG

2,000 1,500 1,000 0,500 0,000 Maret

April

.

Mei

Oktober

Bulan

Gambar 20. Nilai IKG ikan tuna mata besar (T.obesus) di perairan Samudera Hindia, (Maret-Oktober 2008).

42

Pada Gambar 20 terlihat bahwa nilai rata-rata IKG bervariasi setiap bulannya. Pada bulan Maret hingga Mei terjadi penurunan IKG dari 0,897 pada bulan Maret menjadi 0,491 pada bulan Mei. Sementara itu pada bulan Oktober IKG semakin meningkat menjadi 2,093. 4.1.4.3. Fekunditas Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)

Dari keseluruhan contoh gonad ikan tuna mata besar hanya 2 ekor yang memenuhi syarat untuk dihitung fekunditasnya. Ikan tersebut berukuran panjang cagak (FL) 141 cm dengan bobot 54 kg dan 136 cm dengan bobot 47 kg. Nilai fekunditas ikan sampel yang memiliki TKG IV masing-masing adalah 10.365.317 butir dan 8.163.715 butir telur (Tabel 5). Tabel 5. Fekunditas Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) No. Sampel ikan

Panjang cagak /FL(cm)

Bobot tubuh (kg)

170

141

54

171

136

47

Berat Gonad (g)

Fekunditas

1270 10 365 317 862

8 163 715

4.1.4.4. Pola Sebaran Diameter Telur Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus).

Hasil pengukuran dari 600 sampel telur dari 2 ekor sampel ikan (tiap sampel masing-masing diukur diameternya sebanyak 300 sel telur) disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa diameter telur bervariasi dari 99,49-830,44 mµ. Terdapat 3 modus penyebaran ukuran. Modus pertama terjadi pada ukuran 232,31-298,76 µm sebesar 16%, modus kedua terdapat pada ukuran 431,69498,14 µm sebanyak 27,83% dan modus ketiga terdapat pada selang ukuran 564,61631,06 µm sebesar 8%.

43

30

Frekuensi (%)

25 20 15 10 5

99 ,4 916 5, 94 16 5, 95 -2 32 ,3 0 23 2, 31 -2 98 ,7 6 29 8, 77 -3 65 ,2 2 36 5, 23 -4 31 ,6 8 43 1, 69 -4 98 ,1 49 4 8, 15 -5 64 ,6 0 56 4, 61 -6 31 ,0 6 63 1, 07 -6 97 ,5 2 69 7, 53 -7 63 ,9 8 76 3, 99 -8 30 ,4 4

0

Selang diameter telur (µm)

Gambar 21. Distribusi ukuran diameter telur tuna mata besar (T. obesus) di Samudera Hindia pada gonad yang matang/mature (TKG IV) (n=600 butir).

44

4.2. Pembahasan 4.2.1. Sebaran Frekuensi Kelas Panjang Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus).

Berdasarkan lokasi dan waktu pengambilan sampel terlihat bahwa ikan tuna mata besar yang tertangkap pada bulan Maret hingga Oktober 2008 memiliki ukuran yang relatif seragam pada setiap lokasi dan waktu pengambilan sampel. Hal ini diduga bahwa ikan tuna mata besar pada lokasi tersebut masih satu umur dan memiliki tahap pertumbuhan yang relatif sama, kecuali pada lokasi 4 yaitu pada bulan Oktober yang memiliki panjang dan berat rata-rata yang lebih besar walaupun tidak terlalu signifikan.

Hal ini disebabkan semua ikan yang tertangkap pada bulan

Oktober telah mencapai TKG IV dan siap memijah. Secara keseluruhan, ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang tertangkap pada bulan Maret hingga Oktober 2008, mempunyai ukuran panjang cagak antara 109 - 153 cm (rata-rata 130,4 cm); dengan kisaran berat antara 27 - 73 kg (rata-rata 44,02 kg). Ikan yang paling banyak tertangkap berkisar pada selang kelas panjang 132-139 cm. Melihat ukuran panjang rata-rata sampel ikan hasil tangkapan cenderung sama dengan ukuran ikan tuna mata besar yang pernah tercatat sebelumnya oleh Nootmorn pada tahun 2004 di Samudera Hindia dengan fishing base di Phuket, Thailand yaitu berkisar antara 85-155 cm, begitu pula yang tercatat oleh Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) pada tahun 2005 di perairan Samudera Hindia bagian barat yaitu berkisar antara 110-150 cm.

4.2.2. Hubungan Panjang dan Berat Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus).

Analisis hubungan panjang berat dari suatu populasi ikan mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya yaitu untuk memprediksi berat suatu jenis ikan dari panjang ikan yang berguna untuk mengetahui biomassa populasi ikan tersebut. Dari hasil analisis hubungan panjang-berat ikan tuna mata besar diperoleh persamaan sebagai berikut: W=0,038 FL2,8623, dengan nilai b = 2,8623. Menurut Effendi (2002) nilai b ini berada pada kisaran 2,4-3,5, bila berada di luar kisaran tersebut maka bentuk tubuh ikan tersebut di luar batas kebiasaan bentuk ikan secara umum. Selanjutnya dari hasil uji-t terhadap parameter b, diperoleh thit>ttab (b≠ 3) yang artinya bahwa pola

45

pertumbuhan ikan tuna mata besar, cenderung bersifat allometrik negatif yaitu b lebih kecil 3. Pertumbuhan ikan tuna di suatu perairan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan diantaranya adalah ukuran makanan yang dimakan, jumlah ikan di perairan tersebut, jenis makanan yang dimakan, kondisi oseanografi perairan (suhu, oksigen dan lain-lain) dan kondisi ikan (umur, keturunan, genetik). Pertumbuhan tuna mata besar di Samudera Hindia sama dengan pertumbuhan tuna mata besar di Samudera Pasifik bagian barat. Ikan tuna mata besar di perairan Samudera Pasifik bagian barat hasil tangkapan tuna longline juga bersifat allometrik negatif dengan persamaan W = 3×10–5FL2,9278 (r2 = 0,97, n= 856) (Sun et al. 2001). Pola pertumbuhan tuna mata besar dalam penelitian ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Zhu et al. 2008 yang menyatakan bahwa pola pertumbuhan tuna mata besar di Samudera Hindia hasil tangkapan tuna longline bersifat allometrik negatif dengan persamaan W=0.00002601FL2,9362 (r2=0,9567, n=741) . 4.2.3. Faktor Kondisi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)

Faktor kondisi merupakan derivate dari pertumbuhan. Faktor kondisi sering disebut sebagai faktor K. Faktor kondisi ini menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari kapasitas fisik survival dan reproduksi (Effendi 2002). Di dalam penggunaan secara komersial, kondisi ini mempunyai arti kualitas dan kuantitas daging yang tersedia. Jadi kondisi ini dapat memberikan keterangan secara biologis maupun secara komersial. Dari data panjang dan berat ikan tuna mata besar selama bulan Maret-Oktober 2008 diperoleh nilai faktor kondisi rata-rata ikan tuna mata besar menyebar pada kisaran 1,915 – 2,038 dengan rata-rata 1,951. Nilai faktor kondisi rata-rata ikan tuna mata besar pada setiap selang ukuran bervariasi. Pada selang ukuran terkecil, nilai faktor kondisinya lebih tinggi dari selang ukuran kedua, kemudian pada selang ukuran ketiga terjadi peningkatan dan berikutnya terjadi penurunan kembali. Pada selang ukuran tertinggi nilai faktor kondisi meningkat kembali dan mencapai nilai tertinggi diantara selang kelas lainnya. Kisaran nilai faktor kondisi ini tidak berbeda

46

jauh dengan faktor kondisi ikan tuna mata besar di sekitar perairan Taiwan, yaitu berkisar antara 1,4-2,5 dan nilai faktor kondisi ini juga berfluktuasi dari setiap selang kelas panjangnya (Wang et al. 2002). Nilai faktor kondisi ikan tuna mata besar juga berfluktuasi pada setiap tingkat kematangan gonad. Untuk ukuran ikan yang relatif sama meningkatnya TKG akan meningkatkan faktor kondisi. Pada penelitian ini terlihat bahwa ikan dengan TKG IV memiliki faktor kondisi yang lebih kecil dibandingkan ikan yang memiliki TKG I dan II. Hal ini diduga bahwa ada kemungkinan pada ukuran yang relatif sama ada ikan yang sudah mencapai TKG IV dan ada yang belum. Sebagai contoh pada penelitian ini ikan dengan TKG IV memiliki ukuran panjang cagak 136 cm dan berat 47 kg dengan faktor kondisi 1,868, sementara itu ikan yang memiliki TKG I juga memiliki ukuran yang relatif sama (panjang cagak 136 cm dengan berat 48 kg dan faktor kondisi 1,908). Fluktuasi ini diduga terjadi karena adanya pengaruh dari faktor pertumbuhan setiap selang ukuran ikan. Pada ukuran yang sama ada ikan yang sudah mencapai pertama kali matang gonad dan siap memijah sehingga energi yang diperoleh dari makanan digunakan untuk keperluan proses pemijahan yang menyebabkan faktor kondisinya kecil, sementara itu ada juga ikan yang masih dalam proses pertumbuhan somatik sehingga secara fisik tubuh ikan lebih cepat berkembang dan faktor kondisinya menjadi besar. Hasil pada penelitian ini juga serupa dengan hasil penelitian dari Wang et al. 2002 dengan jumlah sampel 115 ekor yaitu terjadi fluktuasi nilai faktor kondisi pada setiap tingkat kematangan gonad dari ikan tuna mata besar dan madidihang di perairan Taiwan dan mereka berpendapat bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara perubahan faktor kondisi dengan tingkat kematangan gonad. 4.2.4. Aspek Reproduksi 4.2.4.1. Perkembangan Gonad Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) (Anatomis dan Histologis)

Kematangan gonad ikan pada umumnya adalah tahapan pada saat perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Selama proses reproduksi,

47

sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai.

Menurut Effendie

(2002), pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10 – 25% dari bobot tubuh, dan pada ikan jantan 5 – 10%. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar. Pendapat ini diperkuat oleh Kuo et al. 1973 yang menyatakan bahwa kematangan gonad pada ikan dicirikan dengan perkembangan diameter rata-rata telur dan pola distribusi ukuran telurnya. Pada pengamatan struktur anatomis gonad ternyata tidak ditemukan TKG III. Hal ini diduga terjadi karena jumlah sampel yang sedikit dan waktu yang relatif singkat sehingga tidak mencakup bulan-bulan tertentu selain bulan Maret, April, Mei dan Oktober yang mungkin saja pada bulan tersebut ikan tuna mata besar sudah mencapai TKG III. Dugaan ini diperkuat oleh Sun et al. 2006 yang menyatakan bahwa ikan tuna mata besar di Pasifik bagian barat mencapai TKG III pada bulan Januari dan Februari. Selanjutnya pengamatan struktur histologis gonad pada TKG IV menunjukkan adanya oosit pada perkembangan stadia I sampai IV, sehingga dari komposisi tersebut gonad ikan tuna mata besar dinyatakan tidak homogen. Menurut Effendi (1997), tidak homogennya telur pada tahapan matang gonad (mature) ada hubungannya dengan frekuensi dan lama musim pemijahan. Ditinjau dari struktur histologis gonad ikan tuna mata besar diduga ikan ini melakukan pemijahan secara bertahap (partial spawning) dimana telur dengan oosit yang masuk pada TKG IV akan dikeluarkan (mijah), dan oosit TKG III terus berkembang sampai mencapai matang (mature) dan apabila sudah mencapai tingkat matang maka telur akan dikeluarkan, demikian seterusnya sampai ovum mencapai jumlah minimal atau habis. Pola sebaran komposisi oosit yang tidak homogen juga ditemukan pada jenis ikan tuna lainnya, yaitu ikan madidihang (Thunnus albacares) hasil penelitian dari Itano, 2000 di perairan Hawaii dan Samudera Pasifik bagian barat. Berdasarkan pada komposisi TKG dan ukuran kelas panjang terlihat bahwa ikan dengan TKG IV memiliki kisaran panjang cagak antara 132-139 cm dan 140-

48

147 cm. Hal ini tidak berbeda jauh dengan ikan tuna mata besar di Laut Banda yang memiliki kisaran ukuran matang gonad 133,5- 137,9 cm (Nugraha dan Mardliah, 2006). Dari keseluruhan contoh gonad yang diamati, ternyata hanya ditemukan 2 ekor ikan tuna mata besar yang dikatakan ‘matang’, hal ini bukan berarti bahwa yang lain belum matang gonad tetapi dimungkinkan sudah selesai memijah dan mulai berkembang lagi. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Nootmorn 2004, yang menyatakan ukuran pertama kali matang gonad (Lm) tuna mata besar di Samudera Hindia tercapai pada ukuran panjang antara 88,08 cm. Farley et al. 2003 menambahkan bahwa ukuran pertama kali matang gonad untuk tuna mata besar di Samudera Hindia adalah 102,4 cm. Kemudian menurut Yuen (1955) ukuran pertama kali matang gonad (Lm) untuk tuna mata besar di Pasifik tercapai pada ukuran panjang antara 91–100 cm dengan berat 14–20 kg. Selanjutnya Sun et al. 2006 menyatakan bahwa pada ukuran 99,7 cm ikan tuna mata besar di barat Pasifik sudah mencapai matang gonad.

4.2.4.2. Indeks Kematangan Gonad (IKG) Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus).

Nilai IKG dapat digunakan untuk menentukan terjadinya musim pemijahan pada ikan. Menurut Effendi (1997), indeks kematangan gonad akan semakin meningkat dan akan mencapai batas maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Pada Gambar 19 terlihat nilai rata-rata IKG semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya tingkat kematangan gonad.

Menurut Effendi (1997)

semakin tinggi tingkat perkembangan gonad, perbandingan antara berat tubuh dan berat gonad semakin besar. Hal tersebut dapat dijadikan indikator bahwa pemijahan semakin dekat maka nilai IKG mencapai maksimum dan akan berkurang setelah ikan memijah. Kenaikan IKG erat kaitannya dengan pertumbuhan gonad dan peningkatan jumlah kuning telur, dimana saat TKG I dan II gonad mengalami pertumbuhan berat dan panjang juga dalam hal jumlah selnya, begitu juga pada TKG IV yang mana pertumbuhannya cukup besar juga dipengaruhi dengan mulai banyaknya material

49

penyusun sel telur hingga tahap pematangan, salah satu proses yang mempunyai peranan penting adalah vitelogenesis. Nilai IKG ikan tuna mata besar di Samudera Hindia selama bulan MaretOktober sangat bervariasi. Nilai IKG tertinggi terdapat pada bulan Oktober. Hal ini berarti bahwa pada bulan Oktober diduga ikan tuna mata besar sudah siap memijah. Berbeda dengan Nootmom (2004) yang menyatakan bahwa aktivitas spawning ikan tuna mata besar di timur Samudera Hindia, yaitu dari bulan Desember hingga bulan Januari dan bulan Juni. Sementara itu untuk pemijahan ikan tuna mata besar di Samudera Pasifik Timur terjadi antara bulan April sampai September di belahan bumi utara dan antara bulan Januari sampai Maret di belahan bumi selatan. Adanya perbedaan ini diduga karena penelitian ini tidak dilakukan selama satu tahun penuh, sehingga tidak mencakup puncak-puncak pemijahan dari ikan tuna mata besar, atau karena ikan tuna mata besar memijah sepanjang tahun, sehingga pada bulan Oktober diduga ikan tuna mata besar sudah mulai memijah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nishikawa (1985) yang menyatakan bahwa tuna mata besar memijah sepanjang tahun dan di sekitar daerah khatulistiwa di Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pernyataan ini didukung oleh Sun et al. 2006, yang mengatakan bahwa ikan tuna mata besar di Samudera Pasifik bagian Timur selain melakukan aktivitas pemijahan pada bulan April sampai September dan Januari hingga Maret juga sudah memijah pada bulan Oktober hingga Januari.

4.2.4.3. Fekunditas Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus).

Pengetahuan tentang fekunditas dari suatu jenis ikan merupakan faktor yang sangat penting untuk mengetahui siklus hidup ikan tersebut. Pendugaan fekunditas dari suatu jenis ikan sangat berguna untuk mengetahui kemampuan bertahan hidup anakan ikan, evaluasi stok ikan, budidaya ikan yang didasarkan pada inkubasi telur. Fekunditas ialah jumlah telur ikan betina sebelum dikeluarkan pada waktu akan memijah. Hunter et al. (1992) menyatakan bahwa fekunditas total adalah jumlah telur yang terdapat di dalam ovari yang akan dikeluarkan pada waktu memijah. Fekunditas tahunan adalah jumlah telur yang dikeluarkan per tahun. Pada ikan yang memijah

50

beberapa kali dalam satu tahun, fekunditas adalah rataan jumlah telur setiap kali pemijahan. Jumlah telur per satuan panjang atau bobot dinamakan fekunditas relatif. Fekunditas pada ovari secara morfologis dapat dideteksi pada telur yang telah matang gonad IV. Hasil perhitungan fekunditas dari 2 individu ikan tuna mata besar dengan panjang 141 cm FL dengan bobot 54 kg adalah 10.360.317 butir dan ikan tuna mata besar dengan panjang cagak 136 cm FL dan bobot 47 kg memiliki fekunditas 8.163.715 butir. Menurut Nikaido et al. 1991 fekunditas tuna bigeye dapat meningkat secara dramatis dengan pertambahan panjang tubuh dengan perkiraan batch fekunditas bigeye berkisar sekitar 1.000.000-5.000.000 butir telur setiap periode pemijahan dengan ukuran ikan berkisar dari 120-180 cm. Kemudian menurut Yuen, 1955 untuk tuna mata besar di Pasifik barat dengan ukuran 40-100 cm memiliki rata-rata batch fekunditas berkisar 2.668.000-6.300.000 butir telur. Selanjutnya Sun et al. 2006 menambahkan batch fekunditas untuk tuna mata besar di Pasifik barat adalah 845.000-11.848.000 butir telur dengan ukuran ikan berkisar 100180 cm. Jika dibandingkan dengan ikan tuna lainnya jumlah telur yang matang dalam penelitian ini hampir sama dengan ikan tuna sirip kuning atau madidihang (Thunnus albacares), seperti yang diungkapkan oleh June (1953) bahwa jumlah telur matang ikan madidihang berkisar antara 2.000.000-8.000.000 butir telur. Sementara itu menurut Joseph (1963) jumlah telur matang ikan madidihang yang berukuran panjang 80-150 cm sebanyak 1.140.000-6.560.000 butir telur.

Itano (2000)

menambahkan bahwa jumlah telur yang matang dari ikan madidihang yang tertangkap di perairan Hawaii untuk setiap periode pemijahan adalah 425.000 – 10.612.000 butir telur.

4.2.4.4. Pola Sebaran Diameter Telur Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus).

Pada spesies ikan jumlah oosit (fekunditas), perkembangan oosit dan tipe pemijahan yang berbeda-beda antar spesies merupakan strategi reproduksi yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan gen. Tiap spesies ikan memiliki strategi reproduksi yang berbeda-beda. Hal ini sangat berhubungan dengan sistem pemijahan, jumlah partner, habitat dan waktu pemijahan. Strategi reproduksi yang dilakukan oleh

51

ikan tujuannya adalah untuk memaksimalkan kelangsungan hidup dari keturunannya yang berhubungan dengan ketersediaan energi dan umur induknya. Dari Gambar 21 terlihat bahwa pola sebaran diameter telur memiliki lebih dari satu kelompok yang berbeda satu dengan kelompok lainnya tetapi memperlihatkan proses berkesinambungan. Berdasarkan perhitungan telur pada gonad bagian anterior, median dan posterior juga terlihat adanya kondisi yang sama (Lampiran 8b, 8c dan 8d).

Hal ini mengindikasikan bahwa pola pemijahan ikan tuna mata besar

berlangsung dalam waktu yang panjang atau telur yang dikeluarkan sebagiansebagian (partial spawning) (Effendi 2002). Kemudian berdasarkan pengamatan histologi gonad ikan tuna mata besar juga terlihat bahwa ukuran diameter oocyte sangat bervariasi dalam suatu gonad; hal ini menunjukkan ikan tuna mata besar mempunyai pemijahan berganda (multiple spawner) atau pemijahan sepanjang tahun. Hal ini didasarkan pada perkembangan diameter telur menurut Murua dan Kraus, 2003 bahwa tipe perkembangan oosit pada ikan tuna mata besar termasuk ke dalam tipe perkembangan asynchronous, yaitu oosit dari setiap tahap perkembangan dan berbagai ukuran diameter ada dalam telur dan tidak ditandai dengan populasi yang dominan. Ketika proses pematangan terjadi maka akan tampak adanya perbedaan ukuran diameter telur terutama telur tahap hidrasi dan pengumpulan kuning telur. Biasanya

terjadi

pada

spesies

yang

memiliki

musim

pemijahan

relatif

panjang/berlanjut. Berdasarkan jumlah fekunditas yang tinggi, pola sebaran diameter telur yang telur yang heterogen dan kompisisi oosit yang asinkron, maka ikan tuna mata besar diduga mempunyai strategi pemijahan yang periodik (periodic strategists) yaitu ikan dengan ukuran besar, memiliki fekunditas yang tinggi, tidak mengasuh anaknya (non parental care), dan memiliki waktu pemijahan yang panjang (Paugy 2002).

52

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang tertangkap pada bulan MaretOktober 2008 di Samudera Hindia memiliki ukuran yang relatif seragam. 2. Pemijahan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) diduga terjadi sepanjang tahun dengan pola pemijahan bersifat parsial (partial spawner atau multiple spawner). 3. Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) memiliki potensi pemijahan yang tinggi.

5.2. Saran

Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat khususnya mengenai musim pemijahan maka perlu penyempurnaan penelitian terutama pengambilan contoh pada bulan Oktober hingga Maret dengan jumlah sampel yang lebih representatif.

53

DAFTAR PUSTAKA [ACIAR] Australian Centre for International Agricultural Research. 2001. A Review Of Indonesia's Indian Ocean Tuna Fisheries And Extension Of Catch Monitoring At The Key Off-Loading Ports. CSIRO Marine Research, Australia. Appleyard SA, Ward RD, Grewe PM. 2002. Genetic stock structure of bigeye tuna in the Indian Ocean using mitochondrial DNA and microsatellites. Journal of Fish Biology 60:767-770. Amer MA, Miura T, Miura C, Yamauchi K. 2001. Involvement of sex steroid hormones in the early stages of spermatogenesis in Japanese Huchen (Hucho perryi). Biology of Reproductioo. 65:1057-1066 Angka SL, Mokoginta I, Hamid. 1990. Anatomi dan histologi banding beberapa ikan air tawar yang dibudidayakan di Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Institut Pertanian Bogor. Arukwe, Augustine, Goksoyr A. 2003. Egg shell and egg yolk proteins in fish: hepatic proteins for the next generation; oogenic, population, and evolutionary implications of endocrine disruption. Comparative Hepatology 2: 1-20. Billard R. 1992. Reproduction in rainbow trout. Sex differentiation, dynamic of gametogenesis, biology and preservation of gametes. J. Aquaculture. 100 : 3542 Calkins TP, Bayliff WH, editor. 1980. Synopsis of biological data on the bigeye tuna, Thunnus obesus (Lowe. 1839). in the Pacific Ocean. Synopses of biological data on eight species of scombrids. Inter-American Tropical Tuna Commission, p 213-60. Special report nr 2. Collette BB, Nauen CE. 1983. FAO Species Catalogue. Vol. 2. Scombrids of the World. An Annotated and Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerels, Bonitos and Related Species Known to Date. FAO Fish. Synop. 125(2). Rome: Food and Agriculture Organization. Dagorn L, Bach P, Josse E. 2000. Movement patterns of large bigeye tuna (Thunnus obesus) in the open ocean, determined using ultrasonic telemetry. Maine Biologl. 136 (2): 361-371.

54

Davis T, Farley J, Bravington M, Andamari R. 1996. Size at first maturity and recruitment into egg production of southern bluefin tuna. Final Report CSIRO Marine Research. Efendie IM. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Efendie IM. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2005. FAO Fisheries Global Information System: Species Identification Sheet Thunnus obesus. [terhubung berkala]. http://[email protected] [26 Agustus 2009]. Farley J, Clear N, Leroy B, Davis T, Mcpherson G. 2003. Age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) from the eastern and western AFZ. Report No. 2000/100. CSIRO Marine Research. Australia. 93p. Figueiredo MB et al. 2008. Oocyte organization and ovary maturation of the bigeye tuna (Thunnus obesus) in the west tropical Atlantic Ocean. Collect. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 62(2): 579-585. Fonteneau, AJ, Marcille Eds. 1991. Recursos, Pesca Y Biología De Los Túnidos Tropicales Del Atlántico Centro-Oriental. Cicaa, 423 Pp. Fukofuka S, Itano DG. 2006. A Handbook for the Identification of Yellowfin and Bigeye Tunas in Fresh, but Less than Ideal Condition (Version 6): Edited and revised 13 July 2006. Originally submitted as Version 4 to the 1st Meeting of the Scientific Committee of the Western and Central Pacific Fisheries Commission, Noumea: New Caledonia, 8-19 August 2005. Goddard S. 1996. Feed Management in Intensive Aquaqulture. Fisheries and Marine Institute Memorial University. Newfounland, Canada. Chapman and Hall. New York. Gunawan S. 2009. Optimalisasi pemanfaatan kekayaan laut indonesia guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. UKM Penelitian dan Pengkajian Interdisipliner. [terhubung berkala]. http://gc.ukm.ugm.ac.id [15 Februari 2010]. Gunn J, Block BA. 2001. Advances In Acoustic, Archival And Pop-Up Satellite Tagging Of Tunas. Tunas : Ecological Physiology And Evolution. Academic Press, San Diego, C.A.: 167-224. Hisada K. 1979. Relationship between water temperature and maturity status of bigeye tuna caught by longline in the central and eastern Pacific ocean. Far Seas Fish Res Lab Bull 17:159-75.

55

Hunter J.R., Macewicz BJ, Chyanhuilo N, Kimbrill CA. 1992. Fecundity, spawning, and maturity of female dover sole, Microstumus pacificus with and evaluation of assumption and precisions. Fishery Bulletin 90:101-128. [ICCAT] The International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas. 2006. Report of biennial period, 2004-05. II Part (2005) – Vol. 2. ICCAT. Madrid, 225 pp. [IOTC] Indian Ocean Tuna Commission. 2005. Report of the eighth session of the scientific committee. IOTC-2005-SC-R[EN]. Indian Ocean Tuna Commission, Victoria, Seychelles. [terhubung berkala]. http://www.iotc.org/English/index.php [26 Agustus 2009]. [IOTC] Indian Ocean Tuna Commission. 2008. Executive summary of the status of the bigeye tuna resource. Report of the Eleventh Session of the Scientific Committee of the IOTC. December 2008; 72-81. Itano, DG. 2000. The reproductive biology of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Hawaiian water and the western tropical Pacific Ocean: Project summary. PFRP, JIMAR, UH, HI. JIMAR Contribution 00-328, 69 pp. Joseph J. 1963. Fecundity of yellowfin tuna (Thunnus albacares) (Bonnaterre 1978) in the Indian Seas.Ph.D thesis, University of Mumbai: 258 p. June FC. 1953. Spawning of yellowfin tuna in Hawaiian waters. U.S. Departement of the Interior, Fish and Wildlife Service. Fish Bull.77 (54):47-64. Klawe WL. 1980. Long-lines catches of tunas within the 200-mile Economic Zones of the Indian and Western Pacific Oceans. Dev. Rep. Indian Ocean Prog. (48): 83 p. Kuo CM, Shehadeh ZH, Milisen KK. 1973. A preliminary report on the development, growth and survival of laboratory reared larvae of the grey mullet, Mugil cephalus L.J. Fish. Biol., 5:459-470. Kume S. 1967. Distribution and migration of bigeye tuna in the Pacific ocean. Rep Nankai Reg Fish Res Lab 25:75-80. Laevastu T, Hela I. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News (Books) Ltd. London. Lagler KF, Bardach JE, Miller RH, Passino DRM. 1977. Ichthyology. John Wiley and Sons, Inc. Toronto, Canada. 556 p.

56

Lowe-McConnell RH. 1991. Ecological Studies In Tropical Fish Communities. Australia:Cambridge University Press. Matsumoto T, Miyabe N. 2002. Preliminary report on the maturity and spawning of Bigeye Tuna Thunnus Obesus in the Central Atlantic Ocean. Collect. Vol. Sci. Pap, ICCAT, 54 (1): 246-260. Maury O. 2005. How To Model The Size-Dependent Vertical Behaviour Of Bigeye (Thunnus Obesus) Tuna In Its Environment? Collect. Vol. Sci. Pap, ICCAT, 57 (2): 115-126. McPherson GR. 1991. Reproductive biology of yellowfin and bigeye tuna in the eastern Australian Fishing Zone, with special reference to the north western Coral Sea. Aust J.Mar Freshwater Res 42:465-77. Miyabe N, Shomura RS, Majkowski J, Langi S, editors. 1994. A review of the biology and fisheries for bigeye tuna, Thunnus obesus, in the Pacific Ocean.. Interactions of Pacific tuna fisheries. Proceedings of the First FAO Expert Consultation on Interactions of Pacific Tuna Fisheries; 1991 Dec 3-11; Noumea. New Caledonia. Rome: FAO. Volume 2; p 207-43. Mohri MT, Nishida. 2004. Seasonal Changes in Bigeye Tuna Fishing Areas in Relation to the Oceanographic Parameters in the Indian Ocean. Document WPTT-99-10, presented at the Working Party on Tropical Tunas, Victoria, Seychelles, June 2-9th 1999. Murua H, Kraus G. 2003. Procedur to Estimate Fecundity of Marine Species in Relation to their Reproductive Strategy. J. Northw. Atl. Fish. Sci. 33: 23-32. Nagahama Y. 1983. The Functional Morphology of Teleost Gonads. In W.S. Hoar. D.J. Randal, E.M. Donaldson (eds) Fish Physiology, Vol. XIA. Florida: Academic Press. Nikaido H, Miyabe N, Ueyanagi S. 1991. Spawning time and frequency of bigeye tuna, Thunnus obesus. Bull Nat Res Inst Far Seas Fish 28:47-73. Nishikawa Y, Honma M, Ueyanagi S, Kikawa S. 1985. Average distribution of larvae of oceanic species of Scombroid fishes, 1956–1981. S Ser.Far Seas Fish.Res.Lab., (12):99 p. Nootmorn P. 2004. Reproductive biology of bigeye tuna in the eastern Indian ocean. IOTC Proceedings 2004 ;7 : 1-5. Nugraha B, Mardlijah S. 2006. Hubungan Panjang Bobot, Perbandingan Jenis Kelamin dan Tingkat Kematangan Gonad Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)

57

di Perairan Laut Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap 2006. Jakarta. Hal. 195-202. Paugy D. 2002. Reproduction strategies of fishes in a tropical temporary stream of Upper Senegal Basin. Baoule River in Mali. Aquatic Living Resources. 15 : 25-35. Proctor CH et al. 2003. A review of Indonesia’s Indian Ocean Tuna Fisheries. CSIRO Marine Research. [PRPT] Pusat Riset Perikanan Tangkap. 2008. Studi Genetik Populasi Dan Biologi Reproduktif Ikan Tuna Samudera Hindia Yang Berbasis Di Benoa Dalam Rangka Mendukung Kegiatan Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) Dan Commision For Conservation Of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Laporan Teknis Pusat Riset Perikanan Tangkap Tahun Anggaran 2008. Jakarta. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Reiner F. 1996. Catálogo Dos Peixes Do Arquipélago De Cabo Verde. Publicações Avulsas Do Ipimar No. 2, 339 Pp. Schaefer, KM, Fuller DW, Miyabe N. 2005. Reproductive biology of bigeye tuna (Thunnus Obesus) in the Eastern And Central Pacífic Ocean. Inter-Amer. Trop. Tuna Comm. Bull. 23 (1): 1-31. Schaefer MB, Orange CO. 1956. Studies on sexual development and spawning of yellowfin tuna (Thunus albocares) and skipjack (Katsuwonus pelamisf in three areas of the Eastern Pacific Ocean, by examination of gonads (in Engl, and Span). Intercom. Trop. Tuna Comm. Bull 1 : 263 - 349. Stell RGH dan Torrie JH. 1989. Prinsip Dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik (Terjemahan dari Principle and procedure of statistic : a biometri approach). Sumantri B (penerjemah). Edisi kedua. PT.Gramedia. Jakarta. Hal 748. Stequert B, Marsac F. 1989. Tropical tuna - surface fisheries in the Indian Ocean. Fao Fish. Tech. Pap., No 282, Rome, FAO, 238 Pp. Sun CL, Chu SL, Yeh SZ. 1999. Note on the reproduction of bigeye tuna in the western Pacific. 12l Meeting of the Standing Committee on Tuna and Billfish, 16-23 June 1999, Tahiti. Working Paper BET-4. 6 pp. Sun CL, Huang CL, Yeh SZ. 2001. Age and growth of the bigeye tuna Thunnus obesus in the western Pacific Ocean. Fish. Bull. 99: 502-509.

58

Sun CL, Chu SL, Yeh SZ. 2006. The Reproductive Biology of Female Bieye Tuna (Thunnus obesus) in the Western Pacific. Scientific Committee Second Regular Session. Manila, Philippines. 22p. Supadiningsih CN dan Rosana N. 2004. Penentuan fishing ground tuna dan cakalang dengan teknologi penginderaan jauh. Pertemuan Ilmiah I Teknik Geodesi-ITS, Surabaya, 13 Oktober 2004. hal 114-118. Tang UM, Affandi R. 2001. Biologi Reproduksi Ikan. Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan, Universitas Riau, Riau. Uktolseja JCB. 1988. Pengaruh kedalaman mata pancing rawai tuna terhadap hasil tangkapan ikan tuna. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 49. Vivieros ATM, Eding EH, Komen J. 2001. Effects of 17α-methyltestosterone on seminal vesicle development and semen release response in the Affrican catfish, Clarias gariepinus. Reproduction 122: 817-827 Wang SB, Chang FC., Wang SH, Kuo, CL. 2002. Some Biological Parameters of Bigeye and Yellowfin Tunas Distributed in Surrounding Waters of Taiwan. 15th meeting of the Standing Committee on Tuna and Billfish (SCTB) Hawaii, July 22-27, 2002. SCTB15 Working Paper. 13p. Wudianto, Wagiyo K, Wibowo B. 2003. Sebaran daerah penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia. Jour. Pen. Perik. Ind. 9(7): 19-28. Yuen, HSH. 1955. Maturity and fecundity of bigeye tuna in The Pacific. U.S. Fish Wildl. Serv., Spec.Sci.Rept.Fish., 150:30p Zhu G, Xu L, Zhou Y, Dai X. 2008. Length frequency compositions and weightlength relations for big-eye tuna, yellowfin tuna and albacore (Perciformes: Scombrinae) in the Atlantic,Indian and Eastern Pacific Oceans. Acat Ichthiologica Et Piscatoria. 38(2) : 157-161

59

Lampiran 1. Kapal tuna longline

Spesifikasi Kapal : Panjang total Panjang garis tegak Lebar Tinggi Sarat air sesuai desain (Desaigned draft) Berat muatan Isi kotor Isi bersih Fish bait hold Bait hold Fuel oil tank Fresh water tank Mesin Kecepatan

: 23.40 m : 18.45 m : 5.20 m : 2.20 m : 1.60 m : 60 ton : 86 ton : 51 ton : 32 m3 : 2.3 m3 : 18,7 m3 : 4.5 m3 : YANMAR 240 PS X 2000 RPM : 9 knot

60

Lampiran 2. Pengukuran panjang ikan tuna mata besar di kapal tuna longline

61

Lampiran 3. Kriteria tingkat kematangan gonad menurut Schaefer dan Orange ( 1956) Tingkat Keadaan gonad (ovary) I. Dara Berkembang (Immature)

Deskripsi

Gonad memanjang dan ramping, jenis kelamin dapat ditentukan dengan kaca pembesar. Ovari jernih berwarna abu-abu hingga kemerah-merahan, telur satu per satu dapat dilihat dengan kaca pembesar

II. Perkembangan I (early maturing)

Ovary membcsar, berwarna kemerah-merahan dengan pembuluh kapiler,. bulatan telur belum dapat terlihat dengan mata telanjang, ovari mengisi sekitar setengah ruang bawah

III. Perkembangan II (late maturing)

Ovary membesar dan membengkak , berwarna orange kemerah-merahan, butiran telur sudah dapat terlihat dengan mata biasa, ovari mengisi 2/3 ruang bawah

IV. Matang (Ripe)

Ovari sangat membesar, butiran telur membesar dan berwarna jernih, dapat keluar dari lumen dengan sedikit penekanan pada bagian perut, gonad mengisi penuh ruang bawah.

V. Memijah (Spawning)

Termasuk yang memijah sekarang (salin) dan mijah sebelumnya (post-spawning) , ovari sangat besar dan lunak (karena mijah). Telur matang yang tertinggal dalam keadaan terserap, telur berwarna jernih dan ada yang masih tertinggal dalam ovari. Telur akan keluar dengan sedikit penekanan pada perut.

62

Lampiran 4. Teknik Pembuatan Preparat Histologi (Angka et al., 1996) 1. Fiksasi : sampel/jaringan dimasukkan ke dalam larutan fiksatif (Bouins alkohol) yaitu campuran asam fikrat, formalin, dan asam asetat pekat dengan perbandingan 15:5:1. Larutan ini berfungsi untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan, terjadinya proses osmosis, penciutan jaringan dan mengawetkan jaringan agar mendekati atau sama seperti asalnya. 2. Dehidrasi : sampel dipindahkan secara bertahap ke dalam alkohol 80%, 90%, 95% dan 100% masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya sampel dipindahkan kedalam alkohol 100% selama semalam. 3. Clearing : sampel dipindahkan kedalam alkohol 100% baru selama satu jam. Selanjutnya dipindahkan kedalam alkohol-xylol, xylol I, xylol II dan xylol III, masing-masing selama setengah jam. 4. Impregnasi : Sampel dipindahkan kedalam xylol : parafin (1:1) selama ¾ jam (didalam oven) pada suhu 65-70oC 5. Embedding : sampel dipindahkan ke dalam parafin I, parafin II, dan parafin III masing-masing selama ¾ jam. 6. Blocking : sampel dikeluarkan dari parafin, kemudian dicetak dalam cetakan dan didiamkan selama semalam. 7. Pemotongan jaringan. Sampel dipotong setebal 5-6 μm. Selanjutnya potongan sampel ditetesi larutan albumin gliserin agar sampel jaringan teregang. Gelas benda (object glass) dengan jaringan di ataasnya ditaruh di atas hot plate suhu 40oC agar agak kering. Langkah berikutnya sampel diwarnai. 8. Pewarnaan jaringan : Setelah disayat maka dilakukan proses dehidrasi. Gelas benda berisi jaringan dimasukkan ke dalam xylol I, xylol II. Alkohol 100%I, 100% II, 95%, 90%, 80%, 70% dan 50% masing-masing selama 3 menit, kemudian preparat dicuci sampai berwarna putih. Selanjutnya diwarnai dengan haematocylin selama 5-7 menit, dicuci dengan air 5-7 menit, direndam dalam larutan eoisin 3 menit dan dicuci dengan air kran mengalir. Setelah dicuci kembali dilakukan dehidrasi, caranya yaitu memasukkan gelas benda yang berisi jaringan ke dalam alkohol 50%, 70%,85%, 90%, 95%, 100% I,

63

100% II, xylol I dan xylol II masing-masing selama 2 menit. Langkah berikutnya tetesi dengan balsem Canada atau Entellen dan langsung ditutup dengan gelas penutup. Sampel

dibiarkan selama semalam (12 jam) agar

kering dan tidak ada udara antara gelas tutup dan gelas benda. Selanjutnya sampel diamati di bawah mikroskop.

64

Lampiran 5. Sebaran Frekuensi Ukuran Kelas Panjang dan Hubungan Panjang Berat Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus) a. Sebaran Frekuensi Ukuran kelas Panjang Kelas ukuran panjang (cm) 108-115 116-123 124-131 132-139 140-147 148-155 Jumlah

Jumlah ikan (ekor) 6 6 8 13 8 1 42

b. Hubungan Panjang Berat Model Regresi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Berat Total = 0,0381 + 2, 8623 Panjang Cagak Koefisien : a = 0,0381 b = 2,8623 Regression Statistics Multiple R 0,9875 R Square 0,9753 Adjusted R Square 0,9500 Standard Error 20,8477 Observations 42

c. Uji –t

Mean Variance Observations Pearson Correlation df t Stat t table

Variable 1 130,40 115,32 42 0,96 41 26,77 2,02

Variable 2 44023,81 113096980,3 42

Hipotesis Ho : b = 3 (pola pertumbuhan isometric) Hipotesis H1 : b ≠ 3 (pola pertumbuhan allometrik) Hasil perhitungan nilat t hitung > t tabel , maka keputusannya tolak Ho

65

Lampiran 6. Faktor kondisi Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus) a. Hubungan Faktor kondisi dengan Ukuran Panjang Kelas Panjang (cm) 108-115 116-123 124-131 132-139 140-147 148-155

Faktor kondisi 2,016 1,922 2,003 1,915 1,921 2,038

Berat rata-rata (gr) 28833,33 33333,33 42625,00 47230,77 56000 73000

b. Hubungan Faktor Kondisi dengan TKG TKG I II IV

Faktor kondisi 1,942 1,981 1,897

Berat rata-rata (g) 43071,43 45166,67 50500

66

Lampiran 7. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dan Indeks Kematangan Gonad (IKG) Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus) a. TKG pada Selang Kelas Panjang Kelas ukuran panjang (cm) I 4 4 8 6 5 1 28

108-115 116-123 124-131 132-139 140-147 148-155 Jumlah

Jumlah II 2 2 0 6 2 0 12

b. Hubungan TKG dengan IKG TKG I II IV

Rata-rata IKG 0,496 0,888 2,093

c. Hubungan TKG dengan Waktu Bulan Maret April Mei Oktober Jumlah

I 2 4 22 0 28

Jumlah II 6 6 0 0 12

d. Hubungan IKG dengan Waktu Bulan Maret April Mei Oktober

IKG rata-rata 0,897 0,656 0,491 2,093

IV 0 0 0 2 2

IV 0 0 0 1 1 0 2

67

Lampiran 8. Pola Sebaran Diameter Telur Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus) a. Pola Sebaran Diameter Telur Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus) Gabungan. Selang kelas diameter telur (μm) 99,49-165,94 165,95-232,30 232,31-298,76 298,77-365,22 365,23-431,68 431,69-498,14 498,15-564,60 564,61-631,06 631,07-697,52 697,53-763,98 763,99-830,44 Jumlah

Frekuensi (%) 0,33 2,83 16,00 8,67 21,83 27,83 5,50 8,67 4,67 2,17 1,50 600

b. Pola Sebaran Diameter Telur Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus) Bagian Posterior

30 20 10 0 99 ,5 -1 73 ,4 0 17 3, 41 -2 47 ,3 1 24 7, 32 -3 21 ,2 2 32 1, 23 -3 95 ,1 3 39 5, 14 -4 69 ,0 4 46 9, 05 -5 42 ,9 5 54 2, 96 -6 16 ,8 6 61 6, 87 -6 90 ,7 7 69 0, 78 -7 64 ,6 8 76 4, 69 -8 38 ,5 9

Jumlah telur (butir)

n=200 60 50 40

Selang Kelas Diameter Telur (µm)

Jumlah Telur (butir) 99 ,5 -1 73 ,4 0 17 3, 41 -2 47 ,3 1 24 7, 32 -3 21 ,2 2 32 1, 23 -3 95 ,1 3 39 5, 14 -4 69 ,0 4 46 9, 05 -5 42 ,9 5 54 2, 96 -6 16 ,8 6 61 6, 87 -6 90 ,7 7 69 0, 78 -7 64 ,6 8 76 4, 69 -8 38 ,5 9

Jumlah telur (butir) 40 35 30 25 20 15 10 5 0

60 50 40 30 20 10 0

17 3, 41 -2 47 ,3 1 24 7, 32 -3 21 ,2 2 32 1, 23 -3 95 ,1 3 39 5, 14 -4 69 ,0 4 46 9, 05 -5 42 ,9 5 54 2, 96 -6 16 ,8 6 61 6, 87 -6 90 ,7 7 69 0, 78 -7 64 ,6 8 76 4, 69 -8 38 ,5 9

99 ,5 -1 73 ,4 0

68

c. Pola Sebaran Diameter Telur Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus) Bagian Median

n=200

Selang Kelas Diameter Telur (µm)

d. Pola Sebaran Diameter Telur Ikan Tuna Mata Besar (T.obesus) Bagian Anterior

n=200

Selang Kelas Diameter Telur (µm)