| BIOTEKNOLOGI | VOL. 9 | NO. 2 | PP. 35-72 | NOVEMBER 2012 | | ISSN

Download 8 Nov 2012 ... bioteknologi.mipa.uns.ac.id ... Bioteknologi 9 (2): 35-40, November 2012, ISSN: 0216-6887, EISSN: 2301- ..... Jurnal Riset A...

0 downloads 346 Views 2MB Size
| Bioteknologi | vol. 9 | no. 2 | pp. 35-72 | November 2012 | | ISSN: 0216‐6887| EISSN: 2301-8658 |

| Bioteknologi | vol. 9 | no. 2 | pp. 35-72 | November 2012 | | ISSN: 0216-6887 | EISSN: 2301-8658 |

DEWAN REDAKSI: Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab: Suranto Penyunting Pelaksana: Ahmad Dwi Setyawan Penyunting Ahli: Ahmad Yunus – Fakultas Pertanian UNS Surakarta Ambar Mudigdo – Fakultas Kedokteran UNS Surakarta Antonius Suwanto – Jurusan Biologi FMIPA IPB Bogor Edi Purwanto – Fakultas Pertanian UNS Surakarta Harijono Kariosentono – Fakultas Kedokteran UNS Surakarta Joedoro Soedarsono – Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta [†] Sajidan – Ps. Pend. Biologi PMIPA FKIP UNS Surakarta Sutarno – Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Sugiyarto – Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Widya Asmara – Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta Adi Prayitno – Fakultas Kedokteran UNS Surakarta Paramasari Dirgahayu – Fakultas Kedokteran UNS Surakarta Ruben Darmawan – Fakultas Kedokteran UNS Surakarta PENERBIT: Universitas Sebelas Maret TERBIT PERTAMA: 2004 ALAMAT: Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375. Email: [email protected] ONLINE: bioteknologi.mipa.uns.ac.id

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Bioteknologi 9 (2): 35-40, November 2012, ISSN: 0216-6887, EISSN: 2301-8658

Pengaruh suplementasi Bacillus sp. melalui perifiton terhadap jumlah total mikroba intestinal dan gambaran darah ikan gurami (Osphronemus gouramy) KHALWAN, AGUS IRIANTO♥, FARIDA NUR RACHMAWATI

♥ Alamat korespondensi:

Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Jl. Dr. Soeparno No. 63 Grendeng Purwokerto 53122 Tel. : +62-281 638794 Fax.: +62-281 631700 e-mail: [email protected]

Manuskrip diterima: 8 November 2012. Revisi disetujui: 28 November 2012.

Khalwan, Irianto A, Rachmawati FN. 2012. Effect of Bacillus sp. supplementation through periphyton to total blood profile and intestinal microbial of common carp (Osphronemus gouramy). Bioteknologi 9: 35-40. Fish is a nutritious food which has high demand in Indonesia. Therefore, increasing fish production is needed. Fish farming faces constraints due to high feed price and diseases. Feed requirements could reach 60-70% of the fish production cost. However, fish infectious diseases have significant effect on profit gain for fish farmers. To overcome these problems, it is necessary to find an alternative of natural food which does not harm to the environment and improve the immunity of fish by utilizing biofilms that supplemented with beneficial bacteria. Supplementation of beneficial bacteria is expected to enrich the composition of periphyton and function as decomposer and help the digestibility of feed through enzymatic activity and stimulate the immune response e.g. through increasing the number and activity of kidney macrophages and increasing white blood cells. Probiotic bacteria used in this study was Bacillus sp. Experimental design used in this study to determine the effect of supplementation of Bacillus sp. and length of time of periphyton biofilm administration to intestine microorganism and blood profile of giant gouramy. This research used Split Plot Design (SPD). Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA). The results showed that the total number of intestinal microbial populations and the total number of leukocytes among fish fed with periphyton supplemented and not supplemented with Bacillus sp. had no significant differences, while the length of periphyton biofilm supplementation had significant effect. Feeding with periphyton biofilm supplemented with Bacillus sp. for 21 days had the best response to giant gouramy immune based on the blood profile. Keywords: Bacillus, blood profile, intestinal microbial, periphyton biofilm Khalwan, Irianto A, Rachmawati FN. 2012. Pengaruh suplementasi Bacillus sp. melalui perifiton terhadap jumlah total mikroba intestinal dan gambaran darah ikan gurami (Osphronemus gouramy). Bioteknologi 9: 35-40. Ikan merupakan bahan pangan bernilai nutrisi tinggi yang saat ini diminati masyarakat, sehingga memerlukan peningkatan produksi. Tetapi, budidaya ikan menghadapi kendala berupa harga pakan yang tinggi dan serangan penyakit. Kebutuhan pakan dapat mencapai 60-70% ongkos produksi. Adapun penyakit ikan terbukti sering menyebabkan petani mengalami kerugian. Untuk mengatasi kedua masalah tersebut, maka perlu alternatif budidaya salah satunya adalah pengembangan pakan alami yang tidak merugikan lingkungan tetapi memberikan keuntungan pada budidaya ikan, salah satunya adalah penggunaan biofilm yang disuplementasi dengan bakteri menguntungkan. Suplementasi bakteri diharapkan dapat memperkaya komposisi perifiton dan meningkatkan fungsinya sebagai dekomposer, serta membantu meningkatkan kecernaan pakan melalui aktivitas enzimatik dan menstimulasi respon imun ikan antara lain dengan meningkatkan jumlah dan aktivitas makrofag ginjal dan meningkatkan sel darah putih. Probiotik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Bacillus sp. Penelitian ini dilakukan secara eksperimen untuk menentukan pengaruh suplementasi dan lama pemberian biofilm perifiton terhadap mikroorganisme intestinum dan gambaran darah ikan gurami. Penelitian ini menggunakan rancangan Split Plot Design (SPD). Data dianalisis menggunakan analisa varian (ANAVA). Hasil menunjukkan bahwa jumlah total mikroorganisme intestinum dan jumlah total lekosit ikan yang diberi pakan biofilm perifiton dengan dan tanpa Bacillus sp. tidak menunjukkan perbedaan nyata, sedangkan lama waktu pemberian biofilm perifiton yang disuplementasi Bacillus sp. selama 21 hari menunjukkan respon imunitas terbaik didasarkan pada gambaran darahnya. Kata kunci: Bacillus, gambaran darah, mikroorganisme intestinal, biofilm perifiton

36

Bioteknologi 9 (2): 35-40, November 2012

PENDAHULUAN

BAHAN DAN METODE

Budidaya ikan pada umumnya dilakukan dengan padatan jumlah tinggi melebihi kondisi normal di lingkungan bebas. Hal ini akan meningkatkan stres yang memicu munculnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri maupun virus (Hastuti 2007). Selain itu. harga bahan baku pakan yang semakin meningkat, mendorong upaya pencarian pakan alternatif salah satunya melalui pemberian pakan alami (Haetami et al. 2008). Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu mencari alternatif pakan secara mandiri dan tidak merugikan lingkungan dengan cara memanfaatkan biofilm perifiton. Permasalahan kesehatan ikan, nutrisi dan efisiensi pakan juga dapat diatasi dengan probiotik. Menurut Tangko et al. (2007), penggunaan probiotik dalam bidang akuakultur bertujuan untuk menjaga keseimbangan mikroba dan pengendalian patogen dalam saluran pencernaan, dan lingkungan perairan melalui proses biodegradasi. Suplementasi mikroorganisme probiotik diharapkan dapat memperkaya komponen penyusun perifiton dan berfungsi sebagai dekomposer dan membantu kecernaan pakan melalui aktivitas enzimatiknya dan menstimulasi respon imun antara lain melalui peningkatan jumlah dan aktivitas makrofag ginjal serta meningkatkan sel darah putih (Sugita et al. 1991; Irianto dan Austin 2002). Potensi biofilm perifiton sebagai pakan alami dan informasi yang terbatas mengenai peningkatan kualitas nutrisi biofilm perifiton melalui pemberian bakteri probiotik menjadi alasan dilakukan penelitian mengenai pengaruh pakan perifiton yang disuplementasi Bacillus sp. terhadap total populasi mikroba intestinal dan gambaran darah ikan gurami. Secara umum penelitian ini memiliki tujuan jangka panjang berupa pengembangan inovasi teknologi perbaikan kualitas biofilm perifiton untuk pakan ikan sehingga mampu mendukung pengembangan akuakultur ramah lingkungan, mandiri (self sufficient) dan berkelanjutan. Tujuan khususnya yaitu mengetahui pengaruh pemberian biofilm perifiton yang disuplementasi probiotik sebagai pakan ikan alami terhadap total mikroba intestinal dan gambaran darah ikan gurami. Bakteri probiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus sp..

Peremajaan kultur Kultur Bacillus sp. dari deep-freezer diremajakan dengan cara menginokulasikan pada tabung reaksi berisi media TSB. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 28-30ºC selama 1x24 jam, kemudian ditanam pada media TSA menggunakan teknik goresan. Tahapan berikutnya adalah konfirmasi karakter mikroba Bacillus sp. Pengujian dilakukan berdasarkan uji biokimiawi (kemampuan fermentasi gula-gula, uji motilitas, uji katalase, uji oksidase) dan morfologi untuk identifikasi kultur mikroorganisme unggulan (Lay 1994). Persiapan biofilm perifiton yang disuplementasi Bacillus sp. Kolam tanah yang digunakan untuk produksi biofilm sebelum digunakan dikeringkan, dicangkul dasarnya dan diolah dengan pengapuran dan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan pupuk kandang, sebanyak 2,5 kg/m2 (Irianto dan Ryandini 2009). Hal tersebut dilakukan untuk menumbuhkan pakan alami berupa perifiton yang akan menyusun biofilm perifiton. Kolam ditambahkan kapur sebanyak 1 kg/m2 untuk menjaga kestabilan pH air (Khairul dan Khiruman 2003). Kolam diisi air setinggi 75 cm dan dibiarkan menggenang dengan cara menutup pintu pamasukan dan pengeluaran air. Selanjutnya dilakukan penebaran bakteri Bacillus sp. kedalam kolam dengan konsentrasi akhir pada air kolam sebesar 106 sel/mL. Kepadatan bakteri yang akan ditebar ke kolam dihitung dengan menggunakan Rumus berikut: Vsampel x Csampel = Vkolam x Ckolam Vsampel = volume sampel yang akan ditebar Csampel = konsentrasi kepadatan bakteri pada sampel (dihitung dengan metode TPC (Total Plate Count)) Vkolam = volume kolam Ckolam = konsentrasi bakteri pada kolam Bambu dengan panjang 100 cm ditanam, luas permukaan tonggak bambu yang terendam air setara dengan 60% luas permukaan kolam (12 tonggak bambu per m2). Air kolam dibiarkan statik tanpa air masuk dan keluar selama 7 hari untuk memberikan kesempatan terbentuknya biofilm perifiton yang mengandung Bacillus sp.

KHALWAN et al. – Pengaruh suplementasi Bacillus terhadap Osphronemus gouramy

Uji tantang ikan perlakuan dengan bakteri patogen Pengujian ketahanan hidup dilakukan dengan uji tantang menggunakan bakteri patogen Aeromonas hydrophila. Setelah dipelihara pada kolam selama 7 hari, 10 ekor ikan diambil dan diuji tantang. Selanjutnya pengambilan ikan untuk uji tantang dilakukan setiap 7 hari hingga hari ke 21. Sebagai pembanding, digunakan ikan gurami yang dipelihara pada kolam tanpa suplementasi Bacillus sp. Uji tantang dilakukan dengan penyuntikan A. hydrophila pada level infektif (106 sel/mL), kemudian ikan dipelihara hingga satu minggu kemudian. Setiap perkembangan penyakit dan kematian dicatat. Pengambilan sampel dan preparasi sampel darah putih (Salasia et al. 2001; Wulangi 1993) Pengambilan sampel darah dilakukan setiap satu minggu dari masing-masing unit perlakuan. Darah diambil dari 3 ekor ikan sebagai sampel sehingga diamati secara komposit (gabungan dari 3 ekor ikan). Darah ikan diambil dari vena kaudalis, dengan cara memotong bagian ekor ikan sampel dengan menggunakan pisau bedah dari ventral ke arah dorsal sehingga darah dapat mengalir lebih lancar. Darah dihisap dengan hati-hati menggunakan spuit yang terlebih dahulu dibasahi menggunakan heparin kemudian darah dimasukan kedalam botol sampel darah yang telah diisi dengan larutan EDTA sebanyak 5µL untuk setiap 0,5 mL darah. Apabila darah yang diambil melalui vena kaudalis jumlahnya kurang maka, pengambilan darah dilakukan melalui jantung. Darah yang telah ditampung kemudian dihisap dengan menggunakan pipet leukosit hingga pada angka 0,5. Larutan Turk dituangkan ke dalam tabung dan dihisap hingga angka 11. Pipa karet dilepaskan dari pipet, kemudian dipegang kedua ujungnya dengan ibu jari dan telunjuk, selanjutnya dikocok selama 2 menit. Satu hingga dua tetes pertama sampel dibuang kemudian tetesan berikutnya digunakan untuk perhitungan pada bilik hitung, dengan cara meneteskan pada sumuran pada bilik hitung haemositometer, kemudian sampel diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali. Penghitungan jumlah leukosit dilakukan setelah pengenceran 20 x menggunakan rumus sebagai berikut. Jumlah leukosit per mm3 = L x 160 x 20 = 200 L 16

37

L = Jumlah leukosit 20 x = Pengenceran 16 = Jumlah bujur sangkar yang dihitung 1/160= Volume masing-masing bujur sangkar Preparasi apusan sel darah pada Glass Slide Preparasi apusan sel darah dengan metode Giemsa dilakukan dengan cara sebagai berikut. Bagian ujung gelas objek dibersihkan dari kotoran dan lemak kemudian diteteskan satu tetes darah ikan. Gelas objek yang lain (dipilih yang tepinya rata) digunakan untuk membuat preparat apus. Preparat difiksasi dengan metanol ± 5 menit. Sisa metanol dibuang dan preparat diwarnai dengan larutan Giemsa yang telah diencerkan (larutan Giemsa dibuat dengan cara menambahkan 20 tetes larutan Giemsa Stock ke dalam 5 mL akudes) selama ± 20 menit. Preparat dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan (Wulangi 1993). Preparat yang sudah kering kemudian diperiksa menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali, kemudian dihitung persentase jenis leukosit, yaitu monosit, neutrofil, basofil, dan limfosit. Perhitungan jumlah sel Bacillus sp. dan total populasi mikroba intestinal dengan metode Total Plate Count (TPC) Metode Total Plate Count (TPC) (Lay 1994) diterapkan untuk menghitung jumlah populasi Bacillus sp. dan total populasi mikroba intestinal pada perlakuan yang diberikan. Sebanyak 1 g sampel intestin di maserasi dan diencerkan dalam 9 mL akuades steril, dikocok hingga homogen dan dilakukan pengenceran kembali hingga diperoleh 6 seri pengenceran. Dua seri pengenceran terakhir diambil sebanyak 0,1 mL dan ditanam duplo pada medium TSA untuk Bacillus sp. sedangkan total populasi mikroba intestinal ditanam duplo pada medium PCA dan untuk kontrol ditanam duplo pada medium PCA dengan metode spread plate. Hasil spread plate diinkubasi selama 2x24 jam pada suhu 30oC, setelah 2x24 jam jumlah koloni dihitung dengan menggunakan colony counter. Jumlah sel dinyatakan dalam CFU/mL. Jumlah sel = Jumlah koloni cawan 1,2,3 … dst x 1/fp Jumlah cawan

fp = faktor pengenceran

38 Rancangan percobaan dan analisis data Penelitian dilaksanakan secara eksperimental, menggunakan Split Plot Design (SPD) dengan menggunakan dua kolam (suplementasi dan tanpa suplementasi Bacillus sp.) sebagai Main Plotnya sedangkan lama (0, 1, 2, dan 3 minggu) pemberian biofilm perifiton sebagai Sub Plotnya dan tiga kali ulangan. Menggunakan analisis ragam (ANOVA) satu arah, Hasil dengan nilai p<0.05 dilanjutkan dengan Uji beda Nyata Terkecil (BNT) untuk mengetahui perbedaan lama pemberian Bacillus sp. terhadap total populasi mikroba intestinal dalam peningkatan respon imun ikan gurami. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah total populasi mikroba intestinal Berdasarkan hasil pengamatan jumlah mikroba intestinal tertinggi terjadi pada perlakuan pemberian biofilm perifiton yang disuplementasi Bacillus sp. selama 3 minggu (21 hari) dan berikut ini jumlah total populasi mikroba intestinal secara berurutan 1,7x107cfu/mL; 2,8x107cfu/mL; 3,3x107cfu/mL; 5,2x107cfu/mL, sedangkan tanpa suplementasi terjadi pada pemberian biofilm perifiton selama 2 minggu (14 hari) dan secara berurutan 1,7x107 cfu/mL; 2,2x107cfu/mL; 4,3x107cfu/mL; 3,9x107cfu/mL.

Gambar 1. Total populasi mikroba intestinal berdasarkan lama pemberian biofilm perifiton. Keterangan: IP = Ikan yang diberikan biofilm perifiton yang disuplementasi Bacillus sp.; IK = Ikan yang diberikan biofilm perifiton tanpa disuplementasi Bacillus sp.

Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah total populasi mikroba intestinal pada kolam yang disuplementasi maupun tanpa disuplementasi Bacillus sp. tidak berbeda nyata

Bioteknologi 9 (2): 35-40, November 2012

(P<0,05) akan tetapi, berbeda nyata (P>0,05) pada perlakuan waktu terhadap jumlah total populasi mikroba intestinal. Peningkatan jumlah mikroba intestinal dalam saluran pencernaan karena biofilm perifiton merupakan komunitas mikroba yang ada di lingkungan perairan secara langsung atau tidak langsung masuk ke dalam saluran pencernaan ikan melalui proses memakan. Untuk mengetahui perlakuan waktu mana yang mempunyai pengaruh sangat nyata terhadap jumlah total populasi mikroba intestinal, maka dilakukan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk mengetahui perbedaan antar perlakukan. Hasil uji beda nyata terkecil terhadap jumlah total populasi mikroba intestinal yang diberikan perlakuan waktu menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah mikroba intestinal. Jumlah total leukosit Hasil pengamatan jumlah total leukosit ikan gurami pada penelitian ini dapat dilihat bahwa rata-rata total leukosit pada kolam tanpa suplementasi Bacillus sp. secara berurutan tiap minggu yaitu ±2,0x104 sel/mm3; ±1,7x104 sel/mm3; ±2,3x104 sel/mm3; ±2,5x104 sel/mm3; dan kolam dengan suplementasi Bacillus sp. secara berurutan tiap minggu yaitu ±2,0x104 sel/mm3; ±2,3x104 sel/mm3; ±2,3x104 sel/mm3; ±2,3x104 sel/mm3, selanjutnya ditampilkan pada Gambar 2. terlihat perbedaan antara jumlah total leukosit ikan pada kolam yang disuplementasi dan ikan pada kolam tanpa suplementasi Bacillus sp.

Gambar 2. Total leukosit berdasarkan lama pemberian biofilm perifiton. Keterangan: IP = Ikan yang diberikan biofilm perifiton yang disuplementasi Bacillus sp.; IK = Ikan yang diberikan biofilm perifiton tanpa disuplementasi Bacillus sp.

Dari Gambar 2. Diketahui bahwa jumlah total leukosit ikan pada kolam tanpa Bacillus sp. dari awal hingga akhir penelitian terus

KHALWAN et al. – Pengaruh suplementasi Bacillus terhadap Osphronemus gouramy

mengalami peningkatan hal ini menunjukkan ikan tersebut mengalami kondisi yang kurang baik karena adanya jamur parasit yang menjangkiti ikan tersebut. Melihat dari ciricirinya ikan pada kolam tanpa suplementasi Bacillus sp. ternyata terinfeksi Saprolegnia sp.. Dalam kasus ini, ikan yang dipiara menunjukkan peningkatan jumlah total leukosit. Menurut Bruno dan Wood (1999) infeksi oleh Saprolegnia sp. merupakan satu diantara beberapa permasalahan yang dijumpai baik pada ikan maupun telurnya. Penyakit akibat infeksi Saprolegnia sp. ini ditandai dengan adanya lesi yaitu kerusakan sel-sel mukosa dan peradangan. Menurut Johnny et al. (2005) meningkatnya jumlah leukosit yang berfungsi sebagai sel fagosit mempunyai kemampuan intrinsik untuk mengikat mikroorganisme secara langsung dan dalam kerjanya sel fagosit berinteraksi dengan komplemen dan sistem kekebalan spesifik. Sebaliknya, ikan pada kolam yang disuplementasi Bacillus sp. mengalami peningkatan jumlah leukosit pada minggu ke-1 dan turun pada minggu berikutnya. Pada minggu ke-1 ikan beradaptasi dengan lingkungan yang baru sehingga pada ikan kolam yang disuplementasi merespon Bacillus sp. sebagai benda asing sehingga jumlah leukosit meningkat, tetapi pada minggu ke-2 dan ke-3 Bacillus sp. tidak lagi dianggap sebagai benda asing sehingga respon tanggap berupa peningkatan jumlah sel darah putih tidak terjadi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Guyton (1993) bahwa leukosit merupakan salah satu komponen sistem kekebalan tubuh yang berperan secara fagositik, yaitu mencerna mikroorganisme atau benda asing yang telah masuk ke dalam tubuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian biofilm perifiton yang disuplementasi Bacillus sp. memberikan efek terhadap peningkatan jumlah leukosit. Ragam leukosit Hasil analisis variansi persentase ragam leukosit ikan gurami menunjukkan bahwa tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap persentase limfosit, monosit, neutrofil, dan basofil baik yang disuplementasi maupun tanpa suplementasi Bacillus sp.. Perlakuan waktu terhadap persentase limfosit dan basofil sehingga tidak perlu dilakukan uji beda nyata terkecil (BNT), sedangkan monosit dan neutrofil menunjukkan pengaruh yang nyata (p<0,05) dan dilakukan uji beda nyata terkecil (BNT).

39

Uji tantang ikan dengan bakteri patogen Uji tantang yang dilakukan dengan cara disuntikkan Aeromonas hydrophila ke tubuh ikan dengan kepadatan 106 sel/mL. Tujuan dari uji tantang ini adalah untuk mengetahui ketahanan ikan jika terpapar bakteri patogen yang disuntikkan kedalam tubuh ikan. A. hydrophila bersifat patogen oportunis, sering menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat kematian tinggi pada waktu singkat (1-2 minggu), seranganya bersifat sistemik yaitu disamping memyerang organ luar juga menyerang organ dalam (Taufik 2002).

Gambar 3. Hasil rata-rata uji tantang ikan gurami dengan bakteri patogen (A. hydrophila). Keterangan: IP = Ikan yang diberikan biofilm perifiton dengan suplementasi Bacillus sp.; IK = Ikan yang diberikan biofilm perifiton tanpa suplementasi Bacillus sp.

Gambar 3. menunjukkan bahwa suplementasi Bacillus sp. dapat menurunkan persentase jumlah kematian ikan yang disuntik bakteri patogen. Sedangkan pada ikan dari kolam tanpa suplementasi Bacillus sp., persentase kematian ikan cenderung meningkat walaupun pada minggu ke-3 turun. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi Bacillus sp. mampu meningkatkan respon imun ikan gurami walaupun gambaran darah tidak menunjukkan hasil yang berbeda secara signifikan. KESIMPULAN Pemberian pakan biofilm perifiton yang disuplementasi Bacillus sp. tidak mampu mempengaruhi jumlah total populasi mikroba intestinal. Akan tetapi, pada perlakuan waktu mampu mempengaruhi terhadap jumlah total populasi mikroba intestinal dan respon imunitas pada ikan gurami dilihat dari jumlah leukosit

40 dan persentase ragam leukosit. Pemberian pakan alami biofilm perifiton yang disuplementasi Bacillus sp. selama 21 hari menunjukkan respon paling baik terhadap kekebalan tubuh ikan gurami ditinjau dari gambaran darah, serta persentase kematian ikan pada uji tantang dengan bakteri patogen Aeromonas hydrophila. DAFTAR PUSTAKA Aly SM, Ahmed YA, Ghareeb, AA, Mohamed MF. 2008. Studies on Bacillus subtilis and Lactobacillus acidophilus, as potential probiotics, on the immune response and resistance of Tilapia nilotica to challenge infections. Fish and Shellfish Immunol 25:128-136. Bruno DW, Wood BP. 1999. Saprolegnia and other Oomycetes. fish diseases and disorders,viral, bacterial and fungal infections., CABI Publishing. Wallingford, Owon. Hadioetomo, RS. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek: Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Gramedia. Jakarta Guyton AC, Hall JE. 1993. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9 (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Haetami K, Abun, Mulyani Y. 2008. Studi Pembuatan Probiotik BAS (Bacillus licheniformis, Aspergillus niger dan Sacharomices cereviseae) sebagai Feed Supplement serta Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ikan Nila Merah. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran. Bandung. Hastuti DS. 2007. Evaluation of non-specific defence of Tilapia (Oreochromis sp.) injected with LPS (Lipopolysaccharides) of Aeromonas hydrophilla. Jurnal Protein 14: 79-84. Irianto A, Austin B. 2002. Use of probiotic to control furunculosis in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss Walbaum). J Fish Diseas 25: 333-342. Irianto A, Hernayanti, Iriyanti N. 2006. Pengaruh suplementasi probiotik A3-51 terhadap derajat imunitas Oreochromis niloticus didasarkan pada angka kuman pada ginjal setelah uji tantang dengan Aeromonas hydrophila dan Aeromonas salmonicida achromogenes. Jurnal Perikanan 8: 144-152. Irianto A Ryandini D. 2009. Manipulasi biofilm perifiton menggu,nakan Bacillus spp. dan effek imunostimulasinya pada gurami sebagai upaya pengendalian penyakit infeksi bakterial. Laporan Penelitian Fundamental. Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Johnny, F, Giri NA, Suwirya K, Reza D. 2005. Pengaruh vitamin B dalam pakan terhadap sistem kekebalan benih ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis. Jurnal Penelitian

Bioteknologi 9 (2): 35-40, November 2012 Perikanan Indonesia 2:73-79. Lay BW. 1994. Analisis Mikrobiologi di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Liu KF, Chiu CH, Shiu YL, Cheng W, Liu CH. 2010. Effects of the probiotic, Bacillus subtilis E20, on the survival, development, stress tolerance and immune status of white shrimp Litopenaeus vannamei larvae. Fish Shellfish Immunol 28: 837-844. Mohamed HM, Nahla AGAR. 2011. Pathological evaluation of probiotic, Bacillus subtilis, against Flavobacterium columnare in Tilapia nilotica (Oreochromis niloticus) fish in Sharkia Governorate, Egypt. J Amer Sci 7: 244-256. Moriarty DJW. 1998. Control of luminous Vibrio species in penaeid aquaculture ponds. Aquaculture 164: 351-358. Nayak SK, Swain P, Mukherjee SC. 2007. Effect of dietary supplementation of probiotic and vitamin C on the immune response of Indian major carp. Fish Shellfish Immunol 23: 892-896. Parvathi A, Krishna K, Jose J, Neetha J, an Santha. 2009. Biochemical and moleculer characterization of Bacillus pumilus iIsolated from coastal environtmen in Cochin. Braz J Microbiol 40: 269-275. Randelli E, Buonocore F, Scapiliati G.2008.Cell markers and determinants in fish immunology. Fish Shellfish Immunol 25: 326-240. Salasia SIO, Sulanjari D, Ratnawati A. 2001. Studi Hhematologi ikan air tawar. Jurnal Biologi 12: 10-23. Sugita H, Miyajima C, Deguchi Y. 1991. The vVitamin B12producing ability of the intestinal microflora of freshwater fish. Aquaculture 92: 267-276. Tangko AM, Mansyur A, Reski. 2007. Penggunaan probiotik pada pakan pembesaran ikan bandeng dalam karamba jaring apung di laut. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta. Jurnal Riset Akuakultur 2: 33-40. Taufik P. 2002. Ketahanan beberapa strain ikan gurame Osphronemus gouramy Lac. terhadap patogen Aeromonas hydrophila. Sains Akuatik 5:16-19. Thomson FB, Abreu PC, Wasielesky W. 2002. Importance of biofilm for water quality and nourishment in intensive shrimp culture. Aquaculture 203: 263-278. Usharani B, Muthuraj M. 2010. Production and characterization of protease enzyme from Bacillus laterosporus. African J Microbiol Res 4: 1057-1063. WangYC, Chang PS, Chen HY. 2008. Differential time series expression of immune related genes of Pacific white shrimp in response to dietary inclusion of α 1, 3-glucan. Fish Shellfish Immunol 24: 113-121. Wulangi KS. 1993. Prinsip-prinsip fisiologi hewan. Proyek Pembinaan Tenaga Kependikan Pendidikan Tinggi. Biologi FMIPA ITB. Bandung.

Bioteknologi 9 (2): 41-48, November 2012, ISSN: 0216-6887, EISSN: 2301-8658

Pengaruh penambahan molase pada produksi enzim xilanase oleh fungi Aspergillus niger dengan substrat jerami padi NUR WAHYU INDIRA PANGESTI, ARTINI PANGASTUTI♥, ESTU RETNANINGTYAS N

♥ Alamat korespondensi:

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-664178. email: [email protected]

Manuskrip diterima: 11 Oktober 2012. Revisi disetujui: 2 November 2012.

Pangesti NWI, Pangastuti A, Retnaningtyas NE. 2012. Effect of additional molasses to xylanase enzyme production by fungi Aspergillus niger with rice straw substrate. Bioteknologi 9: 41-48. To find alternative materials that cheap and easily available for xylanase production then conducted research on xylanase enzyme production from rice straw and molasses. Rice straw could be used as a xylan substituting substrate which was expensive, while molasses as sources of carbon, nitrogen, minerals and nutrients were needed for microbial growth and enzyme production. The aim of this research was to determine the effect of addition molasses on the production of xylanase enzymes by fungi Aspergillus niger with rice straw substrate. The research was divided into three phases, namely preparation, enzyme production and experimental phase. Preparation phase included breeding strains, inoculums preparation, and preparation of fermentation medium. At the enzyme production phase, A. niger was grown in a liquid medium with rice straw substrate which made of powder. At this fermentation medium, molasses was added in variant 0%, 1%, 3%, and 5%. Fermentation process was done in a shaker incubator at 37° C, 200 rpm agitation and pH 6. At the experimental phase, reduction of sugar content using DNS method to obtain an enzyme activity that had been produced. The addition of molasses on the rice straw media could increase the growth of fungi A. niger but could not significantly increase the activity of xylanase enzyme and gave the longer effect on incubation time. The most optimal concentration of molasses for the production of xylanase enzyme was 1%, the highest enzyme activity amount 0.055 U/mL, with incubation time-56 hours. Keywords: xylanase, A.niger, rice straw, molasses Pangesti NWI, Pangastuti A, Retnaningtyas NE. 2012. Pengaruh penambahan molase pada produksi enzim xilanase oleh fungi Aspergillus niger dengan substrat jerami padi.. Bioteknologi 9: 41-48. Dalam rangka mendapatkan bahan alternatif yang berharga murah dan mudah diperoleh untuk menghasilkan xilanase, maka dilakukan penelitian produksi enzim xilanase dari jerami padi dan molase. Jerami padi dapat digunakan sebagai pengganti substrat xilan yang mahal, sementara molase diperlukan sebagai sumber karbon, nitrogen, mineral dan nutrisi bagi pertumbuhan mikroba sehingga dapat menghasilkan enzim. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan molase pada produksi enzim xilanase oleh jamur Aspergillus niger dengan substrat jerami padi. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap persiapan, produksi enzim dan pengujian. Tahap persiapan meliputi pengembangbiakan strain jamur, persiapan inokulum, dan persiapan media fermentasi. Pada tahap produksi enzim, A. niger ditumbuhkan dalam medium cair dengan substrat jerami padi yang diserbuk. Pada medium fermentasi, ditambahkan molase dengan variasi 0%, 1%, 3%, dan 5%. Proses fermentasi dilakukan dalam inkubator shaker pada suhu 37°C, agitasi 200 rpm dan pH 6. Terakhir, pengujian reduksi kadar gula menggunakan metode DNS untuk mendapatkan aktivitas enzim yang telah diproduksi. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penambahan molase pada media jerami padi dapat meningkatkan pertumbuhan jamur A. niger, tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas enzim xylanase secara signifikan dan membutuhkan waktu inkubasi lebih lama. Konsentrasi yang paling optimal dari molase untuk produksi enzim xylanase adalah 1% dengan aktivitas enzim tertinggi sebesar 0,055 U/mL dan dengan waktu inkubasi 56 jam. Kata kunci: xilanase, A. niger, jerami padi, molase

42 PENDAHULUAN Xilanase merupakan enzim ekstraseluler yang dapat menghidrolisis xilan menjadi xilosa dan xilo-oligosakarida. Xilanase dapat dimanfaatkan untuk pemutihan kertas, campuran pakan ternak, penjernihan sirup, pembuatan gula xilosa, dan lain-lain. Penggunaan xilanase untuk mengurangi pemakaian khlorin dalam pemutihan kertas, telah memberikan peluang untuk aplikasi bioteknologi dan sekarang telah digunakan pada beberapa pabrik kertas (Bourbonnais et al. 1997; Ruiz-Arribas et al. 1995). Xilanase merupakan produk bioteknologi yang memiliki kegunaan cukup beragam, tetapi produksinya masih menghadapi kendala, antara lain masih kurangnya ketersedia biakan mikroba unggul dan rendahnya pengetahuan tentang teknologi produksi enzim. Banyak pakar negara maju mengakui bahwa negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, merupakan sumber mikroba yang potensial untuk bioproses (Richana et al. 2000). Penggunaan mikroba sebagai penghasil enzim memiliki beberapa keuntungan, diantaranya biaya produksi relatif murah, dapat diproduksi dalam waktu singkat, mempunyai kecepatan tumbuh yang tinggi serta mudah dikontrol (Fogarty dan Weshoff 1983). Salah satu mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim xilanase adalah fungi Aspergillus niger. Untuk mengoptimalkan produksi enzim perlu adanya pengoptimalan faktor-faktor yang berperan dalam produksi enzim tersebut, antara lain: media fermentasi, suhu, aerasi, agitasi, pH, serta strain yang digunakan. Media fermentasi memegang peranan penting. Untuk skala besar diperlukan media fermentasi yang murah dan mudah diperoleh serta dapat menghasilkan enzim yang diharapkan (Trismilah et al. 2003). Xilanase mampu menghidrolisis xilan menjadi gula xilosa. Untuk menghasilkan xilanase, maka substrat yang digunakan harus mengandung xilan. Penggunaan xilan murni dalam produksi xilanase skala besar tidak ekonomis karena mahal. Xilan banyak terdapat pada limbah pertanian dan industri makanan (Rani dan Nand 1996; Beg et al. 2001). Salah satu limbah pertanian di Indonesia yang belum dimanfaatkan adalah jerami padi. Jerami merupakan limbah pertanian terbesar serta belum sepenuhnya dimanfaatkan. Kandungan xilan jerami padi cukup tinggi yaitu sebesar 20% (Roberto et al. 2003). Jerami padi juga

Bioteknologi 9 (2): 41-48, November 2012

mengandung sekitar 34,2% sellulosa, 24,5% hemiselullosa dan 23,4% lignin (Wyman et al. 1996). Untuk mengoptimalkan produksi xilanase, diperlukan penambahan sumber karbon pada media fermentasi untuk membantu inisiasi pertumbuhan fungi. Setelah pertumbuhan fungi meningkat, diharapkan produksi xilanase juga meningkat. Beberapa sumber karbon yang sering digunakan adalah molase, serealia, pati, glukosa, sukrosa, dan laktosa (Richana et al. 2000). Molase merupakan hasil samping industri gula dan alkohol. Molase bersifat sangat korosif di alam dan meningkatkan kadar BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD (chemical oxygen demand). Di sisi lain molase dapat menjadi salah satu media fermentasi yang baik, karena masih mengandung kadar gula 62% (Dellweg 1983). BAHAN DAN METODE Bahan dan alat Bahan yang digunakan meliputi: Aspergillus niger, subtrat jerami padi, PDA, media prekultur, media produksi, molase, dan reagen DNS (Dinitrosalisilic Acid). Alat utama yang digunakan adalah spektrofotometer UV-VIS. Cara kerja Sterilisasi alat dan bahan. Alat dan media yang akan digunakan untuk percobaan disterilisasi menggunakan autoklaf suhu 1210C tekanan 1 atm selama 15 menit. Pembuatan substrat jerami padi. Jerami basah disortasi, lalu dicuci dan dijemur di bawah sinar matahari dengan ditutup kain hitam. Setelah setengah kering, kemudian dioven dengan suhu 50⁰C. Setelah kering dan dapat dipatahkan, kemudian diblender. Didapatkan serbuk jerami yang akan digunakan sebagai substrat. Pemeliharaan biakan. A. niger dipelihara di media miring Potato Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasi pada suhu 370C selama 2-3 hari. Setelah tumbuh sebagian biakan disimpan dalam lemari pendingin (40C) sebagai biakan stok (stock culture) dan sebagian lagi digunakan sebagai kultur kerja I. Penentuan kepadatan spora. A. niger dari kultur kerja I diinokulasikan secara merata pada media PDA miring. Penentuan kepadatan spora dilakukan dengan menambahkan 5 mL akuades steril dalam inokulum, kemudian dikerik. Hasilnya ditampung dalam tabung reaksi, digojog sampai homogen. Kepadatan spora

PANGESTI et al. – Pengaruh molase pada produksi xilanase oleh Aspergillus niger

diukur menggunakan hemasitometer berdasarkan cara Hadioetomo (1993) yang dilakukan setiap 24 jam selama 144 jam (6 hari). Spora yang paling padat digunakan sebagai kultur kerja II. Penyiapan inokulum. Penyiapan inokulum dilakukan dengan memindahkan biakan dari kultur kerja II ke dalam erlenmeyer 250 mL yang berisi 50 mL media prekultur. Media prekultur kemudian diinkubasi pada incubator shacker dengan kecepatan 200 rpm dan suhu 370C selama 24 jam. Selanjutnya diinokulasikan pada media fermentasi sebanyak 130 spora/mL. Pembuatan media produksi. Bubuk jerami padi 2% (b/v) ditambah dengan 0,6 g ekstrak khamir, 5 mL urea 1%, 0,005 g CaCl2.2H2O, molase dengan variasi konsentrasi 0%, 1%, 3%, 5% dan buffer pH 6 hingga volumenya 50 mL. Inokulum yang telah disiapkan diambil 1 mL untuk dibiakkan dalam medium produksi, kemudian dikocok dengan incubator shacker pada 37oC dengan kecepatan 200 rpm selama 88 jam. Pengukuran aktivitas xilanolitik. Aktivitas enzim xilanase ditentukan dengan mengukur gula pereduksi yaitu kadar xilosanya. Banyaknya xilosa yang terbentuk diukur dengan metode DNS (Miller 1959). Pengukuran aktivitas xilanase dilakukan dengan menambahkan 1 mL Oat Spelts Xylan 1% dalam tabung reaksi yang berisi 1 mL ekstrak kasar enzim dan diinkubasi pada suhu 50oC selama 60 menit. Sebanyak 3 ml larutan DNS ditambahkan untuk menghentikan reaksi dan dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit. Setelah didinginkan diukur nilai asorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Kontrol dibuat dengan perlakuan yang sama dengan sampel, hanya penambahan ekstrak kasar enzimnya setelah campuran ditambahkan pereaksi DNS. Pengukuran pertumbuhan A. Niger. Pengukuran pertumbuhan kapang A. niger dilakukan dengan mengukur berat kering sel. Miselia yang diperoleh diletakkan pada kertas saring dan dikeringkan dengan suhu 100⁰C, kemudian ditimbang sehingga diperoleh berat kering sel. Hubungan antara berat kering sel dengan waktu pertumbuhan digunakan untuk membuat kurva pertumbuhan. Penambahan berat kering diplotkan pada sumbu Y, sedangkan waktu inkubasi diplotkan pada sumbu X. Analisis data Hasil pengukuran aktivitas enzim xilanase oleh A. niger berupa unit aktivitas/mL sampel (U/mL) pada masing-masing perlakuan

43

dibandingkan dengan aktivitas enzim xilanase pada kontrol. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan uji scheffe dengan signifikansi 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyiapan bahan Jerami padi yang digunakan sebagai substrat diambil dari sawah yang baru saja dipanen. Potongan jerami disortasi, kemudian dicuci dan dikeringkan dibawah sinar matahari terlebih dahulu untuk mengurangi kadar air dengan ditutup kain hitam yang berfungsi untuk menghindari penguapan yang terlalu cepat dan menghindari kontak langsung dengan pancaran gelombang ultra violet yang dapat merusak bahan. Setelah kadar air berkurang, pengeringan dilanjutkan di dalam oven bersuhu 50⁰C sampai dapat dipatahkan. Kemudian bahan diblender hingga menjadi serbuk jerami. Pembuatan serbuk bertujuan untuk memperluas bidang permukaan sehingga kemungkinan kontak antara substrat dan enzim semakin tinggi, yang mengakibatkan hidrolisis semakin cepat. Pertumbuhan A. niger pada media PDA Pertumbuhan fungi sangat berkaitan dengan perkembangbiakan yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah atau volume sel. Perkembangbiakan fungi secara aseksual secara umum adalah melalui pembentukkan spora, sehingga untuk mengetahui pertumbuhannya dapat dilakukan perhitungan kepadatan spora (Suriawiria 1999). Kepadatan spora diukur menggunakan hemasitometer berdasarkan cara Hadioetomo (1993) yang dilakukan setiap hari berturut-turut hingga didapat spora yang paling padat untuk dijadikan kultur kerja. Hubungan antara jumlah spora A. niger dengan waktu perhitungan spora ditunjukkan pada Gambar 1, tampak peningkatan jumlah spora A. niger sampai hari keenam. Berdasarkan Gambar 1., jumlah spora A. niger mengalami peningkatan mulai hari pertama, yaitu sebesar 1,12x107 sel/mL sampai hari kedua memasuki fase eksponensial yang merupakan fase perbanyakan sel. Dan mencapai puncak stasioner pada hari ketiga, dengan jumlah spora dari A. niger tertinggi yaitu 1,65x108 sel/mL, dan selanjutnya digunakan sebagai sumber inokulum untuk produksi enzim. Setelah hari keempat jumlah spora A. niger mulai berkurang tetapi relatif masih stabil sampai hari keenam dengan jumlah spora 1,46x108 sel/mL.

44

Bioteknologi 9 (2): 41-48, November 2012

Pada hari keempat inilah mulai terjadi fase kematian.

Jumlah spora Jumlah Spora 7 10 sel/mL (10 7 Sel/ml)

2 1,5 1 0,5 0 0

1

2

3

4

5

6

Waktu Inkubasi (hari) Gambar 1. Hubungan antara jumlah spora A. niger dengan waktu inkubasi (hari)

Produksi enzim xilanase Xilanase merupakan enzim yang bersifat indusibel, sehingga akan diproduksi oleh mikroorganisme sebagai respon terhadap ketersediaan xilan dalam medium. Xilanase tersebut digunakan oleh mikroorganisme untuk merombak xilan dalam medium menjadi gula yang lebih sederhana sehingga dapat digunakan untuk pertumbuhan. Enzim ini dapat dihasilkan oleh bakteri dan fungi. Pada penelitian ini, mikroorganisme yang digunakan untuk memproduksi enzim xilanase adalah fungi A. niger. Meskipun pada umumnya enzim yang dihasilkan oleh golongan bakteri memiliki ketahanan pada suhu yang lebih tinggi dibanding jamur, namun aktivitas xilanase dari golongan jamur jauh lebih tinggi dari bakteri. Selain itu, level produksi yang tinggi dan kemudahan dalam kultivasi membuat jamur lebih banyak digunakan dalam produksi enzim skala industri (Bergquist et al. 2002). Xilanase dapat dihasilkan dengan fermentasi cair ataupun padat (Haltrich et al. 1996). Pada penelitian ini, digunakan fermentasi pada medium cair untuk memudahkan pengambilan ekstrak kasar enzim yang akan diukur menggunakan spektrofotometer. Keuntungan fermentasi pada medium cair adalah komposisi dan konsentrasi medium dapat diatur dengan mudah. Selain itu, oksigen, pH dan nutrisi dapat tersebar secara merata karena adanya proses agitasi (Rachman 1989; Suhartono 1989). Fermentasi dilakukan pada shaker incubator dengan kecepatan agitasi sebesar 200 rpm. Fungsi shaker adalah mempermudah difusi oksigen ke dalam medium sehingga kontak antara media dan inokulum semakin banyak dan

homogen. Hal ini penting dilakukan untuk menjaga kondisi biakan tetap aerobik. Jika difusi oksigen dalam medium lancar, kadar DO (oksigen terlarut) dalam medium akan cukup mendukung pertumbuhan sel secara aerobik. Berdasarkan penelitian Richana (2006) menggunakan bakteri alkalo-termofilik, agitasi untuk menghasilkan xilanase optimum berkisar 150-200 rpm. Tahap awal sebelum inokulum masuk pada media produksi, terlebih dahulu dilakukan tahap penyiapan inokulum. Yang digunakan sebagai inokulum adalah biakan fungi pada agar miring. Fungi dari agar miring dipindahkan pada medium cair yang komposisinya hampir sama dengan medium produksi. Tujuan tahap ini adalah mengadaptasikan sel terhadap media fermentasi, sehingga mempersingkat lag phase (fase adaptasi) dan pertumbuhan fungi pada medium produksi akan maksimum dalam waktu yang relatif singkat. Medium untuk produksi xilanase selain mengandung karbon dan nitrogen, biasanya mengandung beberapa mineral (seperti KH2PO4, MgSO4, CaCl2, NH4+ dan NO3-) dan ion logam (seperti Fe2+, Co2+ dan Zn2+) (Haltrich et al. 1996). Penambahan ekstrak khamir pada medium produksi berfungsi sebagai penyedia asam-asam amino tunggal, growth factor dan berbagai vitamin yang dibutuhkan sel. George et al. (2001) melakukan optimasi sumber nitrogen untuk produksi xilanase pada Thermomonospora sp.. Penelitian tersebut membandingkan aktivitas xilanase yang dihasilkan oleh tripton, pepton, amonium klorida, sodium nitrat, dan ekstrak khamir. Berdasarkan penelitian tersebut, sumber nitrogen yang menghasilkan produksi xilanase tertinggi adalah ekstrak khamir. Penambahan CaCl2.2H2O pada media jerami padi berfungsi sebagai sumber Ca untuk stabilisasi dinding sel. Dalam media juga ditambahkan urea. Penambahan urea 1% bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sumber nitrogen sehingga pertumbuhan sel fungi dapat berlangsung dengan cepat dan produksi xilanase dalam media akan lebih cepat pula. Namun, penggunaan urea dapat menyebabkan pH media meningkat karena urea sebagai nitrogen organik akan mengalami hidrolisis sehingga melepaskan ammonia dan karbondioksida (Roberto et al. 1996). Perubahan pH pada saat fermentasi dapat menyebabkan metabolisme mikroorganisme terhenti karena enzim terdenaturasi sehingga tidak dapat mengubah substrat (Hawcroft 1987; Bauman 2004). Oleh karena itu diperlukan

45

penstabilan pH, yang dapat dilakukan dengan penambahan buffer. Konsentrasi substrat jerami yang dimasukkan dalam media produksi adalah sama baik pada kontrol, molase 1%, molase 3%, maupun molase 5%. Hal ini dilakukan karena dalam penelitian ini hanya untuk mengetahui pengaruh molase sebagai sumber karbon tambahan dalam media jerami padi terhadap produksi xilanase. Menurut Haltrich et al. (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi fermentasi cair pada produksi xilanase adalah jenis substrat, medium fermentasi dan kondisi fermentasi seperti suhu, pH, agitasi, waktu inkubasi dan zat tambahan sebagai sumber karbon. Pada produksi enzim xilanase, penambahan molase pada media sebagai sumber karbon dimungkinkan dapat mempengaruhi pertumbuhan fungi, aktivitas enzim dan lamanya waktu inkubasi. Pengaruh penambahan molase terhadap pertumbuhan A. niger pada media produksi Dalam pertumbuhannya, A. niger membutuhkan berbagai nutrisi yang harus terkandung dalam medianya. Penambahan molase pada media jerami padi dapat mempengaruhi pertumbuhannya. Menurut Prescott dan Dunn (1987), molase yang merupakan hasil samping dari proses pembuatan gula, masih mengandung gula 62%, air 20%, non-gula 10%, dan garamgaram anorganik (abu) 8%. Kandungan gula yang tinggi pada molase merupakan sumber karbon bagi A. niger untuk metabolisme dan pertumbuhan, sehingga dapat ditambahkan dalam media jerami padi sebagai pemicu pertumbuhan A. niger. Pertumbuhan dan perkembangbiakan A. niger ditandai dengan bertambahnya berat dan jumlah sel. Pertumbuhan dapat diukur berdasarkan berat kering sel karena fungi yang dipakai pada penelitian ini dapat dihitung hanya dengan perhitungan berat kering sel. Penambahan berat kering sel selama proses fermentasi menunjukkan pertumbuhan fungi, sehingga dapat dibuat profil pertumbuhan fungi. Penambahan berat kering sel diplotkan pada sumbu Y, sedangkan waktu inkubasi diplotkan pada sumbu X (Gambar 2). Selain untuk melihat pengaruh penambahan molase terhadap pertumbuhan A. niger, kurva pertumbuhan dibuat untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan fungi dengan aktivitas xilanase yang dihasilkan.

Berat kering (g) berat kering sel sel (gram)

PANGESTI et al. – Pengaruh molase pada produksi xilanase oleh Aspergillus niger

0,012 0,01 0,008 0,006 0,004 0,002 0

Mol 0% Mol 1% Mol 3%

0 16 32 48 64 80

Mol 5%

Waktu inkubasi (jam)

Gambar 2. Hubungan antara berat kering sel A. niger (gram) terhadap waktu inkubasi (jam) pada penambahan berbagai variabel konsentrasi molase

Aspergillus niger mengalami pertumbuhan dan perkembangbiakan sel hingga mencapai puncaknya pada suatu waktu tertentu dan setelah itu pertumbuhannya akan mengalami penurunan. Dari kurva pertumbuhan dapat dilihat bahwa antara jam ke-0 sampai jam ke-24 terjadi fase lag (adaptasi). Pada fase ini peningkatan berat kering sel belum signifikan karena fungi dalam proses adaptasi sehingga nutrisi yang ada di dalam medium jerami belum digunakan untuk proses pertumbuhan. Lalu, antara jam ke-24 sampai jam ke-48 terjadi peningkatan berat kering sel yang signifikan. Pada saat ini terjadi fase eksponensial. Antara jam ke-48 sampai jam ke-80, rata-rata sampel mengalami puncak pertumbuhan. Rata-rata pertumbuhan mulai menurun setelah jam ke-80. Pada fase inilah terjadi fase kematian. Nutrisi dalam medium jerami padi berkurang sehingga banyak miselia mengalami kematian. Rata-rata berat kering sel kontrol (molase 0%) lebih rendah dibandingkan berat kering sel perlakuan (molase 1%, 3%, dan 5%). Pada kontrol, puncak pertumbuhan dicapai dengan berat kering sel sebesar 0.0026 g, sedangkan pada media jerami padi yang ditambahkan perlakuan (molase 1%, 3%, dan 5%) puncak pertumbuhan masing-masing dicapai dengan berat kering sel 0.0037 g; 0.0075 g; dan 0.0104 g. Puncak berat kering sel tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan penambahan molase 5%. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semakin besar penambahan molase semakin besar pula berat kering sel yang didapat. Penambahan molase menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Berarti, sebagai sumber karbon bagi A. niger, penambahan molase pada media jerami dapat meningkatkan berat kering miselia. Didukung

46

Bioteknologi 9 (2): 41-48, November 2012

oleh hasil penelitian Pamungkas (2000) bahwa penambahan molase juga dapat meningkatkan berat segar jamur tiram putih. Selain itu menurut Garraway and Evans (1984), memerlukan bahanbahan organik dan anorganik untuk keperluan hidupnya khamir. Khamir mendapatkan energi dari ikatan karbon untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan yang berasal dari molekul sederhana seperti gula, asam organik atau alkohol. Karena molase mengandung senyawa gula, maka molase dapat menyediakan energi yang dibutuhkan untuk metabolisme di dalam sel sehingga pertumbuhan fungi dapat optimal.

Aktivitas xilanase (U/mL)

Pengaruh penambahan berbagai variasi konsentrasi molase terhadap aktivitas enzim xilanase Adanya pengaruh penambahan molase pada media jerami padi terhadap produksi xilanase dapat dideteksi dengan mengukur aktivitas enzim yang dihasilkan secara ekstraseluler selama pertumbuhan sel. Perubahan yang terjadi akibat hidrolisis pada substrat limbah pertanian akan terlihat dari degradasi bahan berlignoselulosa menjadi gula pereduksi (Dewi 2002). Aktivitas enzim xilanase menyatakan seberapa besar kemampuan enzim xilanase dalam menguraikan atau mengkonversi xilan menjadi produknya yaitu xilosa. Aktivitas ini dihitung dalam satuan International Unit (IU), berdasarkan jumlah mikromol xilosa yang dibebaskan permenit pada kondisi pengujian. Metode yang digunakan adalah metode DNS (Miller 1959).

0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0

Mol 0% Mol 1% Mol 3% Mol 5%

0

16 32 48 64 80 Waktu inkubasi (jam)

Gambar 3. Hubungan waktu inkubasi (jam) terhadap aktivitas enzim xilanase (U/mL) pada penambahan berbagai variabel konsentrasi molase

Pengujian aktivitas xilanase dilakukan pada masing-masing enzim yang dihasilkan pada penambahan berbagai konsentrasi molase. nilai aktivitas xilanase yang didapat merupakan hasil

dari pengukuran aktivitas enzim kasar. Supernatan yang digunakan untuk pengukuran aktivitas xilanase merupakan enzim kasar yang belum dimurnikan. Dari uji ini dapat diketahui pengaruh penambahan molase terhadap aktifitas xilanase (Gambar 3). Gambar 2 dan 3 menunjukkan bahwa hasil aktivitas enzim ini berhubungan dengan hasil analisa berat kering sel A. niger. Dari kurva diketahui bahwa produksi enzim xilanase dari A. niger mengikuti pola growth-associated product formation. Pada kondisi lingkungan pertumbuhan tinggi maka aktivitas xilanase yang dihasilkan juga tinggi dan sebaliknya pada kondisi pertumbuhan menurun maka terjadi penurunan enzim yang dihasilkan, karena produksi enzim berfungsi mendukung pertumbuhan sel. Enzim mulai dihasilkan pada awal pertumbuhan sel. Penurunan pertumbuhan A. niger ditandai dengan turunnya berat kering sel yang diikuti dengan penurunan aktivitas enzim xilanase. Berdasarkan Gambar 3, aktivitas xilanase telah terukur pada jam ke-0, karena inokulum telah menghasilkan xilanase pada starter. Starter diinokulasikan ke dalam medium fermentasi pada jam ke-24 dan kemungkinan pada saat itu starter mencapai fase log. Berdasarkan Brock et al. (1994), enzim telah dihasilkan pada fase log dan akan terakumulasi pada fase stasioner. Untuk lebih detailnya, aktivitas enzim dianalisa menggunakan Anova satu arah dengan signifikansi 0,05. Hasil analisis data menunjukkan bahwa dengan penambahan molase yang merupakan sumber karbon tidak memberikan pengaruh terhadap aktivitas enzim xilanase dari fungi A. niger dengan substrat jerami padi. Hasil rata-rata aktivitas enzim antara masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata; dimana nilai Fhitung sebesar 2,070 dengan nilai probabilitas sebesar 0,118>0,05. Penambahan molase pada media jerami mengakibatkan peningkatan pertumbuhan A. niger tetapi tidak meningkatkan aktivitas xilanase. Rata-rata aktivitas xilanase yang dhasilkan antara kontrol dan perlakuan tidak berbeda signifikan. Pada dasarnya, penambahan molase dapat digunakan sebagai sumber karbon untuk A. niger karena kandungan gulanya yang masih tinggi. Karbon merupakan nutrisi penting yang dapat digunakan A. niger untuk pertumbuhannya. Tetapi, dalam konsentrasi tinggi molase dapat menyebabkan aktivitas xilanase menurun. Hal ini kemungkinan dikarenakan pemecahan molase sebagai sumber

PANGESTI et al. – Pengaruh molase pada produksi xilanase oleh Aspergillus niger

karbon menghasilkan panas sehingga semakin banyaknya molase dalam media menyebabkan suhu dalam media semakin meningkat. Menurut Supriyati et al. (1998) bahwa dalam aktivitasnya kapang menggunakan karbohidrat sebagai sumber karbon. Pemecahan karbohidrat akan diikuti pembebasan energi, karbondioksida dan air. Panas yang dibebaskan menyebabkan suhu substrat meningkat. Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim salah satunya adalah suhu. Pada suatu reaksi enzimatik, suhu mempengaruhi kestabilan enzim. Kenaikan suhu sedikit di atas suhu optimum dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim, sedangkan pada suhu jauh di atas suhu optimum enzim akan mengalami denaturasi hingga kehilangan aktivitas katalitiknya (Shuler dan Kargi 2002). Selain itu, penambahan molase pada konsentrasi yang berlebih dapat mengakibatkan terjadinya represi enzim. Menurut Haltrich et al. (1996) xilosa dan xilooligosakarida dapat mengakibatkan represi katabolit, namun juga dapat berfungsi sebagai induser xilanase pada konsentrasi yang rendah. Represi enzim terjadi bila pada suatu medium terdapat dua atau lebih substrat (sumber karbon), sehingga substrat yang lebih sederhana akan terlebih dahulu digunakan untuk metabolisme sedang substrat yang lebih kompleks akan ditekan sintesisnya (Jawetz et al. 1976; Kulkarni et al. 1999; Bauman, 2004). Pengaruh penambahan molase terhadap waktu inkubasi Waktu inkubasi pada setiap mikroorganisme berbeda-beda. Berdasarkan Gambar 3, penambahan molase menyebabkan waktu inkubasi untuk menghasilkan enzim xilanase tertinggi lebih lama daripada tanpa penambahan molase (kontrol). Pada kontrol dibutuhkan waktu selama 56 jam untuk menghasilkan xilanase tertinggi. Sedang pada sampel molase 1%, 3%, dan 5% untuk menghasilkan xilanase tertinggi dibutuhkan waktu masing-masing selama 56 jam; 64 jam; dan 72 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan molase memberikan waktu inkubasi yang lebih lama daripada tanpa penambahan molase. Penambahan molase 5% membutuhkan waktu inkubasi yang paling lama. Banyak sedikitnya molase mempengaruhi waktu inkubasi untuk memproduksi xilanase. Molase merupakan sumber karbon yang lebih sederhana dibandingkan xilan jerami padi, sehingga fungi menghidrolisis molase terlebih dahulu

47

dibandingkan xilan jerami padi. Dengan demikian, Xilanase akan dikeluarkan oleh A. niger setelah ketersediaan molase semakin menipis. Bauman (2004) menyatakan, jika di dalam suatu medium terdapat dua atau lebih substrat (sumber karbon) maka substrat yang lebih sederhana akan terlebih dahulu digunakan daripada substrat yang lebih kompleks, sehingga enzim penghidrolisis substrat yang lebih kompleks akan ditekan. KESIMPULAN Penambahan molase dengan konsentrasi 1%, 3%, dan 5% pada media jerami padi dapat meningkatkan pertumbuhan fungi A. niger tetapi tidak dapat meningkatkan aktivitas enzim xilanase secara signifikan dan memberikan efek waktu inkubasi yang lebih lama. Konsentrasi molase yang paling optimal untuk produksi enzim xilanase adalah konsentrasi 1% dengan aktivitas enzim tertinggi yang dihasilkan sebesar 0.055 U/mL dan diperoleh pada waktu inkubasi jam ke-56. DAFTAR PUSTAKA Bauman RW. 2004. Microbiology. Benjamin Cummings, Toronto. Beg QK, Kapoor M, Mahajan L, Hoondal GS. 2001. Microbia xylanase and their industrial application; a review. J Appl Microbiol Biotechnol 56: 326-338. Bourbonnais R, Paice M.G, Freiermuth B, Bodie E, Borneman S. 1997. Reactives of various mediators and laccases with kraft pulp and lignin model compounds. Appl Environ Microbiol 63: 4632. Brock TD, Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 1994. Biology of microorganism. 7th ed. Prentice Hall, New Jersey. Dewi KH. 2002. Hidrolsis limbah hasil pertanian secara enzimatik. Akta Agrosia 5 (2): 67-70. Fogarty WC, Weshoff DC. 1983. Microbial enzymes and biotecnology. Applied Science Pub., London. Garraway MO, Evans RC. 1984. Fungal nutrition and physiology. John Wiley and Sons, New York. George SP, Ahmad A, Rao MB. 2001. A novel thermostable xylanase from Thermomonospora sp.: influence of additives on thermostability. Bios Technol 78: 221-224. Haltrich D, Nidetzky B, Kulbe KD, Steiner W, Zupancic S. 1996. Production of fungal xylanases. Bios Technol 58: 137161. Hawcroft D. 1987. Diagnostic enzymology: analytical chemistry by open learning. John Wiley & Sons, London. Miller GL. 1959. Use of dinitrosalicylic acid reagen for determination of reducing sugar. Anal Chem 31: 426-429 Pamungkas. 2000. Studi penambahan molase dan tepung jagung dalam media tanam terhadap pertumbuhan dan hasil jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). [Skripsi]. Universitas Widyagama, Malang. Rachman A. 1989. Pengantar tekologi fermentasi. Pusat Antar Universitas-IPB, Bogor. Rani S, Nand K. 1996. Development of cellulose-free xylanase

48 producing anaerobic consoria or the use lignocellulosic wastes. Enzyme Microb Technol 18:23-28. Richana N, Lestari P, Thontowi A, Rosmimik. 2000. Seleksi isolat bakteri lokal penghasil xilanase. J Mikrobiologi Indonesia 5 (2): 54-56. Richana N, Lestina P. 2006. Produksi xilanase untuk biokonversi limbah biji kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. 388-396. Roberto IC, Mussatto SI, Rodrigues R. 2003. Dilute-acid hydrolysis for optimization of xylose recovery from rice straw in a semi-pilot reactor. Ind Crops Prod 17:171-176 Ruiz-Arribas A, Fernandez-Abalos JM, Sanches P, Gardu AL, Santamaria RI. 1995. Over production, purification and biochemical characterization of xylanase I (xys 1) from Streptomyces halstedii JM8. Appl Environ Microbiol 61

Bioteknologi 9 (2): 41-48, November 2012 (6): 2414-2419. Shuler ML, Kargi F. 2002. Bioprocess engineering. In: Sukandar U, Syamsuriputra AA, Lindawati, Trusmiyadi Y. (ed) Kinerja amilase Aspergilus niger ITBCC L74 dalam sakarifikasi pati ubi kayu menjadi bioetanol. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009. Suhartono MT. 1989. Enzim dan bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Trismilah, Deden, Sumaryanto. 2003. Produksi xilanase. J Sains dan Teknologi (2): 66-69. Wyman CE. 1996. Ethanol production from lignocellulosic biomass: Overview. In: Wyman CE. (ed). Handbook on bioethanol: Production and utilization. Tailor & Francis, Washington, DC.

Bioteknologi 9 (2): 49-56, November 2012, ISSN: 0216-6887, EISSN: 2301-8658

Keragaman genetik simbion alga Zooxanthellae pada anemone laut Stichodactyla gigantea (Forsskal 1775) hasil reproduksi aseksual M. AHSIN RIFA’I

♥ Alamat korespondensi:

Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universtas Lambung Mangkurat. Jl. A. Yani Km 36 Banjarbaru 70713 Tel. +62-511-4772124. email: [email protected]

Manuskrip diterima: 7 Oktober 2012. Revisi disetujui: 1 November 2012.



Rifa’i MA. 2012. Genetic diversity of alga Zooxanthellae symbiont in the giant carpet anemone (Stichodactyla gigantea, Forsskål 1775) from asexual reproduction. Bioteknologi 9: 49-56. The aim of the study was to discover the genetic diversity of the algae symbiont of zooxantellae that have the symbiosis with the giant carpet anemone (Stichodactyla gigantea, Forskal 1775) which is resulted from asexual reproduction with the technique of fragmentation. The study was conducted for ten months, from October 2011 to July 2012 in The Hatchery of University of Hasanuddin’s Marine Station in Barrang Lompo Island and coral reefs area of Barrang Lompo Island. The series of study was started with parental collection and acclimatization of anemones, fragmentation of the body, culturing anemones in the coral reefs area and collection of algae zooxanthellae for PCR-ISSR analysis. Genetic diversity was analyzed using cluster analysis and making a family tree dendrogram using UPGMA method through NTSYS program. The result showed that all primer produce polymorphic bands with a range of 16.67%66.67%. The results of the genetic variation of zooxanthellae indicate that polymorphism by 37.93%. Whereas, based on the analysis of genetic distance indicate was not similar by 19% from two groups of the primary anemones, that were result of four-fragmentation anemones (AF4) compared to natural anemones (AA) and two-fragmentation anemones (AF2). Keywords: sea anemone, asexual reproduction, genetic diversity, and Stichodactila gigantea. Rifa’i MA. 2012. Keragaman genetik simbion alga Zooxanthellae pada anemone laut Stichodactyla gigantea (Forsskal 1775) hasil reproduksi aseksual. Bioteknologi 9: 49-56. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik simbion alga zooxanthellae yang bersimbiosis dengan anemon laut Stichodactyla gigantea hasil reproduksi aseksual dengan teknik fragmentasi. Penelitian dilaksanakan selama 10 bulan, mulai Oktober 2011 – Juli 2012, bertempat di kolam pembibitan Universitas Hasanuddin di Pulau Barrang Lompo dan kawasan terumbu karang Pulau Barrang Lompo. Rangkaian penelitian meliputi koleksi induk anemon laut, aklimatisasi, fragmentasi tubuh, dan kultur anemon di kawasan terumbu karang, serta koleksi alga zooxanthellae untuk analisis PCR-ISSR. Keragaman genetik dianalisis menggunakan analisis pengelompokan data matriks (cluster analysis) dan pembuatan dendrogram pohon kekerabatan menggunakan metode UPGMA melalui program NTSYS. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruh primer menghasilkan pita polimorfis antara 16,67%-66,67%. Hasil analisis variasi genetik terhadap zooxanthellae yang ditemukan pada anemon uji menunjukkan polimorfisme sebesar 37,93%. Sedangkan berdasarkan analisis jarak genetik ditemukan tingkat ketidakmiripan sebesar 19% yang bersumber dari 2 kelompok anemon utama yaitu kelompok anemon hasil fragmentasi 4 bagian (AF4) yang terpisah dengan kelompok anemon alami (AA) dan anemon hasil fragmentasi 2 bagian (AF2). Kata kunci: anemon laut, reproduksi aseksual, keragaman genetik, dan Stichodactila gigantea.

50 PENDAHULUAN Zooxanthellae adalah alga unisellur yang ditemukan melimpah dalam sel-sel endodermis cnidaria tropis seperti anemon laut, karang, dan ubur-ubur sebagai simbion intraselluler. Alga ini memiliki kemampuan untuk mentranslokasi produk fotosintesis ke inangnya dan pada gilirannya mereka menerima nutrisi anorganik seperti CO2 dan NH+ (Rinkevick 1989; Muscatine dan Wels 1992; Fautin dan Allen 1997; Randall and Fautin 2002). Translokasi karbon merupakan sumber energi utama untuk inang (Streamer et al. 1993) dan selanjutnya digunakan untuk membentuk glukosa, gliserol, asam amino dan lemak (Muscatine et al. 1981; Muscatine et al. 1984; Sutton dan Hoegh-Guldberg 1990). Alga zooxanthellae inilah yang diduga memberikan kontribusi terhadap fitness inang-inangnya dan memberikan kontribusi berupa produktivitas primer terhadap komunitas disekitarnya. Mengantisipasi penurunan populasi anemon laut akibat tingginya intensitas penangkapan di alam, telah dikembangkan teknologi perbanyakan benih secara aseksual dengan teknik fragmentasi terhadap anemon laut Stichodactyla gigantea (Rifa’i dan Kudsiah 2007, 2011). Teknik ini mampu menghasilkan benihbenih anemon dengan cepat dan sintasan yang tinggi ketika dipelihara di perairan alam. Hanya saja efek fragmentasi tubuh yang menyebabkan stess masih memerlukan kajian yang lebih mendalam. Kajian stress ini menjadi penting mengingat terkait langsung dengan kehadiran simbion alga zooxanthellae. Menurut Steen dan Muscatine (1987), berbagai perubahan kondisi lingkungan menyebabkan inang stress dan berpotensi terjadi kehilangan simbion alga zooxanthellae. Stress dapat mengakibatkan warna tubuh anemon mengalami kepudaran yang dikenal dengan istilah “bleaching”. Bleaching disebabkan adanya reduksi densitas populasi zooxanthellae (Hoegh-Guldberg dan Smith 1989a,b; Suharsono 1990), reduksi pigmenpigmen fotosintesis (Coles dan Jokiel 1977), atau kombinasi keduanya (Glynn dan D’Croz 1990; Lesser et al. 1990). Ruiz-Zarate et al. (2000) melaporkan bahwa reduksi alga zooxanthellae terjadi pada koloni karang Manicina areolata yang mengalami stress akibat dipindahkan ke area dengan densitas lamun Thalassia testudinum yang tinggi. Pengembangan teknologi pembenihan anemon harus didukung pula oleh manajemen pengelolaan yang benar agar dapat sesegera

Bioteknologi 9 (2): 49-56, November 2012

mungkin menanggulangi permasalahan yang mungkin timbul. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah monitoring dan evaluasi terhadap variasi genetik atau polimorfisme pada tingkat pengguna. Menurut Ferguson et al. (1995), polimorfisme merupakan informasi penting yang dapat digunakan untuk mengevaluasi fitness individu dalam jangka pendek dan sintasan dari populasi untuk jangka panjang. ISSR merupakan marker yang berkembang lebih akhir dibanding RAPD dan RFLP yang dapat digunakan untuk mempelajari polimorfisme pada tanaman ataupun hewan. ISSR/SSRs dikenal juga dengan istilah microsatelite yaitu berupa pengulangan mono, di, atau trinucleotida yang biasanya terdiri atas 4-10 unit pengulangan, membentang pada utas DNA. Susunan basa yang demikian merupakan karakteristik dari nuklear genom dan bervariasi antar spesies atau populasi. Pada ISSR pendeteksian genetik polymorphisme tanpa perlu lebih dahulu mengetahui susunan basa (sequence) dari genomik tanaman atau hewan diantara susunan basa yang berulang, asal susunan basa berulang tersebut mewakili secara luas dan menyebar di seluruh genom. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek fragmentasi tubuh anemon Stichodactyla gigantea (Fosskal 1775) terhadap keragaman genetik simbion alga zooxanthellae yang dipelihara pada kawasan terumbu karang. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan teknologi pembenihan anemon laut untuk kepentingan konservasi dan budidaya komersial. BAHAN DAN METODE Koleksi dan pemeliharaan inang Inang yang digunakan dalam penelitian ini adalah anemon laut Stichodactyla gigantea (Fosskal, 1775) (Gambar 1) yang dikumpulkan selama bulan Juli-September 2011 di sekitar kawasan terumbu karang beberapa pulau, seperti Pulau Barrang Lompo, Barrang Caddi, Bone Tambung, Bone Batang, dan Kodengareng Keke (Gambar 2). Anemon uji dibawa ke mini hetchary untuk diaklimatisasi dalam akuariumakuarium kaca berkapasitas 500 liter air selama 1 minggu sebelum dilakukan proses reproduksi aseksual. Selama proses aklimatisasi ini air akuarium diberi aerase dan anemon diberi pakan tambahan berupa naupli Artemia dan Tetraselmis sp.

51

RIFA’I – Keragaman genetik Zooxanthellae pada Stichodactyla gigantea

Gambar 1. Anemon (Forsskal 1775)

laut

Stichodactyla

gigantea

Fragmentasi tubuh anemon Setelah anemon nampak sehat maka dilakukan proses reproduksi aseksual dengan teknik fragmentasi. Teknik fragmentasi tubuh dilakukan dengan membelah tubuh anemon uji secara longitudinal menjadi 2 dan 4 fragment Kultur anemon di perairan alam Fragmen-fragmen tubuh yang dihasilkan, kemudian dimasukkan dalam kurungan dasar dengan kepadatan 30 ekor. Kurungan berukuran 3x2x0,75 m dengan desain terbuka pada bagian atas. sedangkan pada bagian dasar diletakkan

pecahan karang mati secara merata. Penempatan pecahan karang mati dimaksudkan sebagai substrat untuk melengketkan kaki jalannya setelah anemon uji dimasukkan ke dalam kurungan. Selanjutnya kurungan tersebut ditempatkan pada kawasan turumbu karang reef flat yang dominan rusak (KR) dan kawasan turumbu karang slope yang dominan baik (KB). Kedalaman lokasi KR berkisar 1–2,5 m dan lokasi KB berkisar 2–5 m. Kriteria pemilihan kawasan terumbu karang dominan rusak (KR) dan kawasan turumbu karang yang dominan baik (KB) berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup menurut UPMSC (1979 dalam Brown and Scofiin 1986), seperti pada Tabel 1. Lama pemelihaan anemon ini diperairan alam adalah 10 bulan, yaitu mulai bulan Oktober 2011 sampai Juli 2012. Tabel 1. Kondisi Terumbu Karang Berdasarkan Nilai Persentase Tutupan Karang Hidup Kondisi terumbu karang Sangat baik Baik Sedang Buruk

Persentase tutupan karang hidup (%) 75-100 50-74,9 25-49,9 0-24,9

Gambar 2. Lokasi penelitian dan lokasi koleksi induk anemon Stichodactyla gigantea (Fosskal 1775)

52

Bioteknologi 9 (2): 49-56, November 2012

A

B

Gambar 3. A. Pengambilan sampel zooxanthellae pada anemon laut dengan cara dikeruk menggunakan scapel, B. Alga zooxanthellae hasil penyaringan.

Koleksi sampel zooxanthellae Pengambilan sampel zooxanthellae dilakuan pada bulan ke-10 pemeliharaan (Juli 2012). Sampel zooxanthellae dipisahkan dengan inangnya dengan cara dikeruk menggunakan scalpel, selanjutnya disuspensikan dengan air laut bersih. Untuk memisahkan zooxanthellae dengan kotoran maka dilakukan penyaringan bertingkat mulai saringan ukuran 250, 175 dan 50 µm (Gambar 3). Ekstraksi dan isolasi DNA Ekstraksi DNA mengikuti prosedur CTAB oleh Doyle and Doyle (1987) dengan beberapa modifikasi dengan metode minipreparation. Setiap sampel dimasukkan ke dalam tabung ependorf 1,5 ml lalu ditambah larutan buffer ekstrak sebanyak 0,5 ml (CTAB 10%, EDTA 0,5 M pH 8,0, Tris-HCL 1 M pH 8,0, NaCl 5 M, Mercaptoethanol 1%, aquades steril) yang sudah dipanaskan pada suhu 650C dan ditambah 0.02 gram PVPP. Sampel digerus dengan penggerus yang terbuat dari kaca sampai halus dan diinkubasikan selama 1 jam pada suhu 650C. Setelah diangkat, campuran ditambah 1 ml kloroform isoamil alkohol (24:1) dan dibolakbalik selama 20 menit. Disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 5 menit dan supernatan (suspensi larutan DNA) dipindah ke tabung baru. Langkah ke 4 diulangi sekali lagi dan ditambah 1 volume isopropanol dingin kemudian disimpan di freezer (suhu -20oC) selama 12 jam. Larutan DNA disentrufugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 5 menit kemudian cairan dibuang , pellet DNA dicuci

dengan 1 ml 70% dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 11.000 rpm selama 5 menit. Cairan di buang, pellet DNA dikeringanginkan selama 2 jam. Pelet dilarutkan dengan 50-100 ul air bebas ion dan disimpan sebagai stok DNA. Pemurnian DNA Pemurnian DNA dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Menghilangkan RNA dengan menambahkan 40 ul RNAse 10mg/ml (dalam buffer TE) setelah larutan stok DNA ditambah air bebas ion hingga 500 ul. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 1-2 jam untuk menghilangkan RNA dari preparasi. Ditambah 1 ml kloroform isoamil alkohol (24:1) dan dibolak-balik selama 20 menit. Disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 5 menit dan supernatan dipindah ke tabung baru. Ditambah 10% NA asetat pH 5,2 dan 1 ml etanol dingin absolut, dibolak-balik perlahan dan disimpan di freezer selama 1 jam. DNA diendapkan dengan sentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 5 menit. Cairan dibuang dan pellet DNA dikeringanginkan selama 2 jam. Pelet dilarutkan 50-100 dengan air bebas ion. PCR-ISSR Untuk mendapatkan data variasi genetik dilakukan analisa PCR- ISSR. Komposisi reaksi PCR terdiri dari 1X larutan penyangga (50mM KCL, 10 mM Tris-HCL pH 9, 0.01% Tripton X100), 2.5 mM MgCl2, 200 uM dNTP, 0.4 mM primer, 1 unit Taq polimerase DNA dan 5-20 ng DNA genom dengan volume akhir reaksi 25 ul. Amplifikasi DNA menggunakan mesim PCR

53

RIFA’I – Keragaman genetik Zooxanthellae pada Stichodactyla gigantea

(GeneAmp PCR sistem 2400 Perkin Elmer), sebanyak 35 siklus setelah pra PCR selama 5 menit 940C. Setiap siklus terdiri dari 30 detik 940C untuk denaturasi, 30 detik 370C untuk penempelan primer, 1 menit 720C untuk pemanjangan fragmen DNA dan selanjutnya ekstensi 5 menit 720C. Fragmen DNA hasil amplifikasi dielektroforesis bersama DNA standar 1 KB DNA ladder (promega) pada gel agarose 1.2% dalam larutan. Elektroforesis dilakukan selama 120 menit pada tegangan 60 volt, suhu ruang. Pengamatan pita hasil amplifikasi dilakukan menggunakan alat dokumentasi gel dan direkam. Data yang diperoleh dari teknik ISSR diolah dengan analisis kluster untuk melihat kemiripan genetik semua aksesi (populasi zooxanthellae). Kemunculan pita diterjemahkan menjadi data biner. Setiap pita mewakili satu karakter dan diberi nilai berdasarkan ada tidaknya pita, nilai 1 bila ada pita dan 0 bila tidak ada pita. Pita polimorfik merupakan pita yang tidak dimiliki oleh individu yang lain pada

M

P1

P3

P4

P7

P8

P9

ukuran yang sama. Data biner yang diperoleh digunakan untuk menyusun matriks kesamaan genetik berdasarkan rumus Nei dan Li (1979). Untuk mengetahui adanya perbedaan variasi genetik zooxanthellae dilakukan analisis nilai kesamaan genetik dari hasil PCR-ISSR dengan melakukan analisis pengelompokan data matriks (cluster analysis) dan pembuatan dendrogram pohon kekerabatan menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair-Group Method Arithmetic Average) melalui program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System) versi 2.01 (Rohlf 1998). HASIL DAN PEMBAHASAN Empat primer yang digunakan dalam analisis PCR-ISSR ini yaitu Primer-2, Primer-3, Primer-4, dan Primer-2-4 (Amersham Pharmacia Biotech Inc). Hasil analisis menunjukkan bahwa ke-4 primer tersebut telah mampu menghasilkan produk amplifikasi, seperti pada Gambar 4.

M

P12 P13 P14

10000

10000

3000

3000

1500

1500

1000

1000

500

500

250

250

M

P1

P3

P4 P7

P8

P9

P12 P13

P14

M

P1

P1

P3

P3

P4

P7

P4 P7

P8

P8

P9

P9

P12 P13 P14

P12 P13

P14

10000

10000

3000

3000 1500

1500

1000

1000 500

500

250

250

Gambar 5. Pola fragmen DNA genom zooxanthellae anemon laut yang diamplifikasi dengan primer-2 (A), primer2 (B), primer-3 (C), primer2-4 (D). P1, P3, P4 = zooxanthellae dari anemon hasil fragmentasi 2 bagian, P7, P8, P9 = zooxanthellae dari anemon alam, P12, P13, P14 = zooxanthellae dari anemon fragmentasi 4 bagian.

54

Berdasarkan Gambar 4, selanjutnya dilakukan penilaian terhadap kemunculan pita tebal-tipis, dengan ketentuan skor 1 bila ada dan skor 0 bila tidak ada. Hasil skoring disajikan dalam bentuk data biner. Berdasarkan kemunculan pita pada data biner maka diketahui profil DNA seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah profil DNA hasil analisis ISSR menggunakan 4 primer Jumlah profil DNA Ukuran Jumlah Monomorfik Polimorfik Pita (bp) Pita Jumlah % Jumlah % 2 750-2500 9 3 33,33 6 66,67 3 200-2000 7 5 71,43 2 28,57 4 150-1500 7 5 71,43 2 28,57 2-4 250-1500 6 5 83,33 1 16,67 Jumlah 29 18 62,07 11 37,93 Primer

Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil amplifikasi DNA yang dilakukan terhadap 9 populasi zooxanthellae menggunakan 4 primer (Primer-2, Primer-3, Primer-4, Primer 2-4) menghasilkan 29 pola pita dengan kisaran 6-9 buah dan ukuran fragmen DNA 150 bp-2500 bp. Secara umum tampak semua primer menghasilkan pita polimorfik dengan kisaran 16,67%-66,67%. Persentase pita polimorfik tertinggi dihasilkan oleh primer-2 sebesar 66,67% (6 pola pita), disusul primer-3 dan primer-4 masing-masing 28,57% (2 pola pita). Persentase polimorfik terendah dihasilkan oleh kombinasi primer 2-4 sebesar 16,67% (1 pola pita). Pita DNA yang dihasilkan terbagi dalam dua kelompok yakni pita yang menunjukkan monomorfik sebesar 62,07% dengan kisaran 33,33-83,33% dan polimorfik sebesar 37,93% dengan kisaran 16,67-66,67% Secara umum hasil amplifikasi menggunakan 4 primer memperlihatkan polimorfisme DNA. Primer yang menghasilkan jumlah pita terbesar adalah Primer-2 yakni 9 pola pita dan terendah Primer-24 yakni 6 pola pita. McGregor et al. (2000) menyatakan bahwa polimorfisme merupakan gambaran amplifikasi yang diperoleh dari perbedaan fragmen DNA yang terobservasi. Tingkat polimorfisme yang didapatkan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Wahyuni, et al. (2004) terhadap tanaman jahe dengan menggunakan penanda ISSR yang memperoleh pita polimorfik berkisar 7,14-30,77% dari 28 primer yang digunakan.

Bioteknologi 9 (2): 49-56, November 2012

Namun jika dibandingkan dengan penelitian ISSR lainnya hasil penelitian ini jauh lebih rendah seperti pada Botrychium pumicula (Ophioglossaceae) dari 6 primer terpilih rata-rata polimorfisme sebesar 51,72% dan tertinggi adalah 73,33% (Camacho dan Liston 2001), pada barley dari 13 primer yang digunakan dihasilkan 70 pola pita yang 100% polimorfik (Russel et al. 1997), sementara pada teh pola pita polimorfik sebesar 84% (Mondal 2002). Hasil penelitian Irmawati (2007) dengan menggunakan penanda RAPD memperoleh 96,71% pita polimorfik dari 152 pita yang dihasilkan dari 8 populasi kepiting Scylla olivacea alami di Indonesia. Hasil penelitian Nasution (2008) dengan penanda RAPD memperoleh 96,19% pita polimorfik dari 105 pita yang dihasilkan dari 30 tanaman nenas hibrida. Selanjutnya hasil penelitian Parenrengi et al. (2002) terhadap ikan Kakap Epinephelus areolatus menggunakan penanda RAPD yang memperoleh 50%-63% pita polimorfik dari 46 pita yang dihasilkan. Begitu pula menurut Mwanja et al. (1996), kisaran polimorfisme ikan Orechromis niloticus berkisar 49%-81%, O. esculentus berkisar 64%-78%, O. leocostictus 70%, dan Tilapia zilli berkisar 55%-75%. Hasil analisis kemiripan dengan dendrogram pohon kekerabatan menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method Arithmetic Average) melalui program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System) versi 2.01 (Rohlf 1998) seperti Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 tampak hasil analisis kluster terhadap 29 pola pita DNA menghasilkan dendrogram dengan koefisien kemiripan berkisar 81%-100%. Pada koefisien kemiripan genetik (KKG) 81% terbentuk dua kelompok besar. Kelompok pertama terdapat 3 populasi zooxanthellae yang berasal inang anemon hasil pembelahan 4 bagian (AF4), sedangkan kelompok kedua terdapat 6 populasi zooxanthellae yang berasal dari inang anemon alam (AA) dan anemon hasil pembelahan 2 bagian (AF2). Dengan demikian secara genetik populasi zooxanthellae yang ditemukan pada anemon hasil fragmentasi 4 bagian (AF4), 2 bagian (AF2) dan anemon alami (AA) hanya memiliki perbedaan atau jarak genetik sebesar 19%. Meskipun persentase perbedaan ini sangat kecil namun reproduksi aseksual dengan teknik fragmentasi tubuh telah mampu menyebabkan terjadinya perubahan ganetik pada simbion zooxanthellae.

55

RIFA’I – Keragaman genetik Zooxanthellae pada Stichodactyla gigantea

81%

P1(A F2 )-1 P1 (AF1)

P3 P3(AF2)-2 (AF3)

P9 (AA3) P4 P4(AF2)-3 (AF4)

P8 (AA2) P7 (AA1) P1 2(AF4-1) P1 3(AF4-2) P1 4(AF4-3) 0.81

0.8 6

0.90 Koefis ien Kemiripan

0.95

1.0 0

Gambar 5. Dendrogram 9 populasi zooxanthellae berdasarkan penanda ISSR menggunakan 4 primer

Terjadinya perbedaan genetik ini diduga alga zooxanthella yang tinggal dan menetap pada inang anemon laut ini telah berubah komposisi spesiesnya sebagai bentuk adaptasi zooxanthellae terhadap perubahan fisiologi dan morfologi tubuh anemon akibat fragmentasi terutama fragmentasi menjadi 4 bagian (AF4). Beberapa penelitian menunjukkan dalam setiap spesies inang avertebrata air seperti anemon dan kima dihuni oleh beberapa spesies alga zooxanthellae. Hasil penelitian Carlos et al. (2000) menunjukkan 1 ekor kima secara genetik memiliki 2 atau lebih alga zooxnthellae yang berbeda. Selanjutnya dijelaskan kima tridacnid dan cardiid dihuni oleh alga zooxanthellae yang heterogen. Dengan demikian maka perbedaan genetis yang ditemukan dalam penelitian ini diduga pada anemon alam dan anemon hasil fragmentasi ditemukan spesies alga zooxanthellae yang berbeda meskipun perbedaan tersebut secara polimorfisme dan jarak ganetik hanya 37,93% dan 19%. Spesies alga zooxanthellae yang ditemukan pada anemon hasil fragmentasi tubuh 4 bagian memiliki perbedaan dibandingkan dengan anemon alam dan amemon hasil fragmentasi 2 bagian. Hasil analisis jarak genetik menunjukkan alga zooxanthellae yang ditemukan pada anemon hasil fragmentasi 4

bagian memiliki kelompok sendiri yang terpisah dengan anemon alam dan anemon hasil fragmentasi 4 bagian. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil analisis PCR-ISSR, alga zooxanthellae antar anemon memiliki polimorfisme 37,93%. Hasil analisis jarak genetik ditemukan tingkat ketidakmiripan 19% yang bersumber dari 2 kelompok utama yaitu kelompok anemon hasil fragmentasi 4 bagian yang terpisah dengan kelompok anemon alami dan anemon hasil fragmentasi 2 bagian. Mengingat penelitian ini belum terungkap spesies alga zooxanthellae-nya, maka disarankan untuk melakuan penelitian lanjutan terhadap dinamika spesies alga zooxanthellae pada anemon laut hasil reproduksi aseksual melalui identifikasi spesies secara genetik. DAFTAR PUSTAKA Camacho FJ, Liston A. 2001. Population Structure and Genetic Diversity of Botrychium pumicula (Ophioglossaceae) based on Inter Simple Sequence Repeats (ISSR). Am J Bot 88 (6): 1065-1070. Carlos AA, Baillie BK, Maruyama T. 2000. Diversity of Dinoflagellata Symbionts (Zooxanthellae) in a Host Individual. Mar Ecol Prog Ser 195: 93-100.

56 Coles SL, Jokiel PL. 1977. Effects of the Temperature on Photosynthesis and Respiration in the Hermatitypic Corals. Mar Biol 49: 209-216. Fautin DG, Allen. 1997. Field Guide to Anemone Fishes and Their Host Sea Anemones. 2nd ed. Western Australian Museum, Perth Australia. Ferguson AJ, Taggart AJ, Prodohl PA, Mcmeel O, Thompson C, Stone C, McGinnity P, Hynes RA. 1995. The Application of Molekuler Markers to Study and Conservation of Populations, with Special Refference to Salmo. J Biol 47:103-126. Glynn PW, D’Croz, L. 1990. Experimental Evidence for High Temperature Stress as the Cause of El Nino-Coincident Coral Mortality. Coral Reefs 8: 181-191 Hoegh-Guldberg O, Smith GJ. 1989a. The Effect of Sudden Changes in Temperature, Light and Salinity on the Population Density and Export of Zooxanthellae from the Reef Corals Stylophora pistillata Esper and Seriatopora hystrix Dana. J Exp Mar Biol ecol 129: 279-303 Hoegh-Guldberg O, Smith GJ. 1989b. Influence of the Population Density of Zooxanthellae and Supply of Ammonium on the Biomass and Metabolic Characteristics of the Reef Corals Seriatopora hystrix and Stylophora pistillata. Marine Ecology Progress Series 57: 173-186 Irmawati. 2003. Perubahan Keragaman Genetik Ikan Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis) Generasi Pertama pada Stok Hatchery. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lesser M P, Stochaj WR, Tapley DW, Shick JM. 1990. Bleaching in Coral Reef Anthozoans: Effects of Irradiance, Ultraviolet Radiation, and Temperature on the Activities of Protective Enzymes Against Active Oxygen. Coral Reefs 8: 225-232 McGregor CE, Lambert CA, Gryling MM, Louw JM, Warnich L. 2000. A Comparison Assesment of DNA Finger Printing Technique (RAPD, ISSR, AFLP, and SSR) in Tetraploid Potato (Solanium tuberosum L.) germplasm. Uphytica (113): 135-144. Mondal, TK. 2002. Assessment of Genetic Diversity of Tea (Camelia sinensis (L.) by Intersequence Repeate Polymerase Reaction. Euphytica 128: 307-315. Muscatine L, McCloskey LR, Marian RE. 1981. Estimating the Daily Contribution of Carbon from Zooxanthellae to Coral Animal Respiration. Limnol Oceanograph 26: 601-611 Muscatine L, Falkowski PG, Porter JW, Dubinsky Z. 1984. Fate of Photosynthetic Fixed Carbon in Light and Shade Adapted Colonies of the Symbiotic Coral Stylophora pistillata. Proc R Soc London. B, Biol Sci 222: 181-202 Muscatine L, Wels V. 1992. Productivity of Zooxannthellae and Biogeochemical Cycles. In: Falkowski PG, Woodhead AD (eds). Primary Productivity and Biogeochemical Cycles. Plenum, New York. Mwanja W, Booton G.C, Kaufman L, Chandler M, Fuerst P.

Bioteknologi 9 (2): 49-56, November 2012 1996. Population and Stock Characterization of Lake Victoria Tilapia Fisher Base On RAPD Marker. Aqua. Biotech. Symp. Proceeding, p.115-123. Nasution MA. 2008. Analisis Paramater Genetik dan Pengembangan Kriteria Seleksi Bagi Pemuliaan Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) di Indonesia. Disertasi Sekolah Pasca Sarjanan, IPB Bogor. Parenrengi, Shamsudin L, Ismail P, Amin NM. 2002. A Study on DNA Fingerprinting of Areolated Grouper (Epinephelus areolatus) Using RAPD Analysis. Indon Fish Res J 8 (1): 1117. Randall JE, Fautin DG. 2002. Fishes other than anemonefishes that associate with sea anemones. Coral Reefs 21, 188– 190. Rifai MA, Kudsiah, H. 2007. Reproduksi Aseksual Anemon Laut Stichodactyla gigantea (Forsskal, 1775) dengan Teknik Fragmentasi dan Habitat Penumbuhan Berbeda. J Sains & Teknol 7(2): 65-76. Rifai MA, Kudsiah H. 2011. Sintasan Benih Anemon Laut Stichodactyla gigantea (Forsskal, 1775) Hasil Reproduksi Aseksual Berdasarkan Waktu Pemindahan ke Perairan Alami Pasca Fragmentasi Longitudinal. J Seri Hayati 11(2): 93-102. Rinkevich B. 1989. The Contribution of Photosynthetic Product to Coral Reproduction. Mar Biol 101: 259-263 Rohlf. 1998. NTSYS-pe: Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System. Version 2.01. User Guide, Exeeter Software. New York. Russel JR, Fuller JD, Macaulay M, Hatz BG, Jahoor A, Powell A, Waugh R. 1997. Direct Comparison of Levels of Genetic Variation Among Barley Accessions Detected by RFLPs, AFLPs, SSRs and RAPDs. Theor Appl Genet 95: 714-722. Ruiz-Zarate MA, Espinoza-Avalos J, Carricart-Ganivet JP, Fragoso D. 2000. Relationships between Manicina areolata (Cnida-ria: Scleractinia), Thalassia testudinum (Anthophyta), and Neogo-niolithon sp. (Rhodophyta). Mar. Ecol. Prog. Ser. 206: 135–146. Steen RG, Muscatine L. 1987. Low Temperatur Evokes Rapid Exocytosis of Symbiotic Algae by a Sea Anemone. Biol Bull 172: 246-263. Suharsono. 1990. Ecological and Physiological Implication of Coral Bleaching at Pari Island. Thousand Island, Indonesia. A Disertation Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy to the University of New Castle Upun Tyne. United Kingdom. Sutton DC, Hoegh-Guldberg O. 1990. Host-Zooxanthellae Interactions in Four Temperate Marine Invertebrate Symbioses: Assessment of Effect of Host Extracts on Symbionts. Biol Bull 178: 175-186 Wahyuni S, Xu DH, Bermawie N, Tsunematsu H, Ban T. 2004. Skrining ISSR Primer Studi Pendahuluan Kekerabatan Antar Jahe Merah Jahe Empritx dan Jahe Besar. Buletin TRO 15(1): 33-42

Bioteknologi 9 (2): 57-65, November 2012, ISSN: 0216-6887, EISSN: 2301-8658

Biodeteriorasi kayu pinus (Pinus merkusii) oleh rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen (Blattodea: Termitidae) NIKEN SUBEKTI ♥

♥ Alamat korespondensi:

Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Negeri Semarang Jl. Raya Sekaran Gunungpati Semarang 50229 Tel. & Fax.: +62-(024) 8508033 email: [email protected]

Manuskrip diterima: 22 September 2012. Revisi disetujui: 12 November 2012.

Subekti N. 2012. Biodeterioration of pine wood (Pinus merkusii) by soil termites Macrotermes gilvus Hagen (Blattodea: Termitidae). Bioteknologi 9: 57-65. Macrotermes gilvus Hagen plays important role on disintegration and decomposition process of organic materials such as woods and plant litter. The study aims to examine the biodeterioration of pine wood (Pinus mercusii) by M. gilvus termites and to find out the analysis of the wood chemical components. Surnuwat method (1996) was used to examine the consumtion level of M. gilvus termites. In finding out the alteration of pine wood, chemical component analysis and Scanning Electron Microscope (SEM) were used. The results showed that the single and doubles feed consumtion were susceptible to termites. The average pine wood consumtion of M. gilvus was 0.82 mg/day during five days observation. Meanwhile, the average weight reduction of double preference wood test in the colony was 57.95% for three months. The remains of wood chemical composition were 21.91% lignin, 60.92% holocellulose, and 43.64% cellulose. The decrease in the wood hardness and the charges in the wood physical characteristic and chemical composition caused damage to the cell walls and increased the consumtion preference of M. Gilvus. Keywords: biodeterioration, Macrotermes gilvus Hagen, SEM, chemical analysis Subekti N. 2012. Biodeteriorasi kayu pinus (Pinus merkusii) oleh rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen (Blattodea: Termitidae). Bioteknologi 9: 57-65. Rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen memiliki peran penting dalam proses disintegrasi dan dekomposisi material organik dari kayu dan serasah tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji biodeteriorasi kayu pinus (Pinus mercusii) oleh rayap tanah M. gilvus dan analisis komponen kimia kayu. Untuk menguji tingkat konsumsi makan rayap M. gilvus digunakan metode Surnuwat (1996). Untuk mengetahui perubahan kayu pinus dilakukan analisis komponen kimia dan Scanning Electron Microscope (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi makan tunggal dan konsumsi makan ganda termasuk rentan terhadap rayap, tingkat konsumsi makan rayap M. gilvus terhadap kayu pinus rata-rata 0, 82 mg/hari selama lima hari pengamatan. Sementara itu, rata-rata penurunan berat kayu pada uji preferensi ganda dalam koloni adalah 57.95% selama tiga bulan. Komposisi kimia kayu adalah 21,91% lignin, 60,92% holoselulosa dan 43,64 sellulosa. Penurunan kekerasan pada kayu, perubahan sifat dan komposisi kimia kayu menyebabkan kerusakan pada dinding sel kayu dan diduga meningkatkan preferensi makan rayap M. gilvus. Kata kunci: preferensi, Macrotermes gilvus Hagen, SEM, analisis kimia

PENDAHULUAN Teknologi pengendalian rayap selama ini diketahui dari perilaku dan konsumsi makannya. Teknik pengendalian dengan serangan jamur pelapuk pada umumnya terjadi pada komponen bangunan yang terkena air hujan baik langsung

ataupun tidak langsung. Baik jamur pelapuk putih maupun pelapuk coklat membutuhkan ketersediaan air dalam kayu. Jamur pelapuk putih membutuhkan lebih banyak air dibandingkan jamur pelapuk coklat untuk mendegradasi kayu. Oleh karena itu, pada bahan bangunan jamur pelapuk putih lebih

58 banyak menyerang bagian yang lebih basah dibandingkan jamur pelapuk coklat (Ridout 2004). Jamur pelapuk pada kayu sangat membantu tingkat konsumsi makan rayap. Konsumsi makan rayap didefinisikan sebagai tingkat kesukaan rayap terhadap sumber makanan yang ada di lingkungannya. Di hutan alam, rayap tanah jenis Macrotermes gilvus Hagen berperan penting sebagai degradator primer (Khrishna dan Weesner 1969). Rayap ini berperan penting dalam proses daur ulang nutrisi tanaman melalui proses disintegrasi dan dekomposisi material organik dari kayu mati, ranting dan serasah menjadi material organik yang lebih halus (Bignell et al. 2010). Preferensi makan penting diperhatikan, karena berpengaruh terhadap persediaan makanan di habitat alami. Rayap merupakan serangga pemakan kayu (xylophagus) atau bahan-bahan yang terdiri dari selulosa; di negara-negara sub tropis jenis kayu seperti pinus, maple dan sugi merupakan kesukaannya (Bignell et al. 2000). Kayu yang lapuk sangat mudah dimakan rayap namun kayu sehat pun sangat disukai. Rayap banyak memakan kayu yang sedang dalam proses pelapukan akibat meningkatnya kelembaban. Oleh karena itu, kerusakan kayu oleh rayap erat hubungannya dengan pelapukan kayu oleh jamur. Taman jamur (fungus garden) diperlukan sebagai sumber protein dan vitamin bagi rayap tanah M. gilvus. Hal ini merupakan simbiosis mutualisme antara rayap dan jamur (Korb dan Aanen 2003). Kebanyakan rayap tanah dapat makan kayu sebanyak 2-3% dari berat badannya setiap hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rayap adalah keadaan lingkungan, ukuran badan dan besar kecilnya koloni. Rata-rata besar koloni rayap tanah di daerah sub tropis adalah 60-350 ribu ekor rayap pekerja. Jenis rayap genus Coptotermes paling cepat menghabiskan makanan dibandingkan dengan genus lain. Jenis ini memerlukan kayu sebanyak 5-31 g dalam waktu 19 hari (Lee et al. 2002). Kayu pinus (Pinus merkusii) termasuk kayu daun jarum (konifer), famili Pinaceae. Keawetan kayu ini tergolong rendah sehingga rentan terhadap serangan mikroorganisme seperti jamur pelapuk kayu, jamur pewarna, dan serangga termasuk rayap. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kayu pinus termasuk kayu yang paling disukai oleh rayap tanah M. gilvus (Subekti et al. 2010).

Bioteknologi 9 (2): 57-65, November 2012

Sajap et al. (1999) melaporkan bahwa empat koloni rayap M. gilvus yang terdapat di kampus Universiti Putra Malaysia mempunyai ukuran populasi berkisar antara 166.288-709.052 ekor dengan tingkat konsumsi kayu bulanan berkisar antara 309.9-1108.2 g. Nandika et al. (2000) juga melaporkan bahwa ukuran populasi rayap Coptotermes curvignathus yang terdapat di Jakarta dengan luas wilayah jelajah mencapai 480 m2 berkisar antara 1,6-1,7 juta ekor dan tingkat konsumsi kayunya berkisar antara 27.54-45.25 g/koloni/hari. Sementara itu, ukuran populasi dan tingkat konsumsi rayap M. gilvus belum pernah dilaporkan hingga saat ini padahal tingginya populasi dan tingkat konsumsi kayu pada rayap ini juga erat hubungannya dengan kemampuannya merusak kayu. M. gilvus banyak merusak kayu di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Pusat serangan rayap ini umumnya terdapat di dalam tanah, karena sifatnya yang kriptobiotik dan membutuhkan air untuk melembabkan kayu, jalan menuju obyek serangannya biasanya tertutup dengan bahanbahan tanah, berupa terowongan yang berbentuk pipih yang dibangun di atas tanah, tembok, dan kayu-kayu (Nandika et al. 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji preferensi makan rayap tanah M. gilvus dan analisis komponen kimia kayu pinus. Penelitian ini juga diharapkan memberi manfaat dalam pengembangan teknologi produksi kayu untuk digunakan dalam aplikasi pengendalian rayap menggunakan teknik pengumpanan. BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Februari 2012 dan dilaksanakan dalam dua tahap. Specimen rayap M. gilvus diperoleh dari Cagar Alam Yanlappa Bogor, Jawa Barat. Sementara itu, analisis komponen kimia dan SEM (Scanning Electron Microscope) dilakukan di Laboratorium Zoologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong Bogor. Pengamatan uji konsumsi makan tunggal dan konsumsi makan ganda (Sornnuwat et al. 1995) Pembuatan contoh uji Kayu pinus (Pinus merkusii) segar tebang (fresh cut) dikuliti, dibuang mata kayu dan bagian gubalnya, kemudian dipotong menjadi beberapa potong balok. Dari balok tersebut dibuat contoh

SUBEKTI-Preferensi makan rayap Macrotermes gilvus terhadap kayu Pinus merkusii

uji yang berukuran 3 cm x 1.2 cm x 3 cm untuk uji preferensi makan tunggal. Uji konsumsi makan tunggal rayap M. gilvus Media pengujian berupa botol gelas berdiameter 45 mm dan tinggi 115 mm yang berisi campuran 30 g pasir berukuran ≤ 20 mesh yang telah dibasahi dengan 6 mL air. Contoh uji yang berukuran 1 cm x 1 cm x 1 cm dimasukkan dalam botol kaca dan pada masing-masing botol gelas tersebut dimasukkan 100 ekor rayap pekerja dan 10 ekor rayap prajurit. Semua botol kaca disimpan pada kotak penyimpanan yang berukuran 50 cm x 25 cm x 25 cm yang dibagian atas penutupnya dibuat lubang sebagai ventilasi. Kotak penyimpanan tersebut ditempatkan pada kamar gelap (suhu 28 ± 2oC). Pengamatan dilakukan setelah pengujian mencapai hari ke-7, yaitu dengan mengambil dan membersihkan contoh uji dan kemudian dioven pada suhu 102 ± 3oC selama 24 jam. Setelah itu contoh uji ditimbang. Parameter yang diukur dalam pengujian ini adalah persentase kehilangan bobot contoh uji dan mortalitas rayap. Perhitungan konsumsi rayap dilakukan dengan metode Modified Wood Blok Test (Sornnuwat 1996). Berat hilang (%) = (W1-W2)/W1 X 100 W1 = berat pakan sebelum diumpankan W2 = berat pakan setelah diumpankan Konsumsi per-individu (mg) = (W1-W2)/N N = jumlah pekerja Daya tahan hidup (%) = (N1-N2)/N1 X 100 N1 = jumlah pekerja N2 = jumlah pekerja yang mati Uji preferensi makan ganda rayap tanah M. gilvus Berdasarkan Modified Wood Block Test (MWBT) dengan standar (Sornnuwat 1996), media pengujian menggunakan bak fiberglass dengan ukuran 70 cm x 50 cm x 100 cm yang di dalamnya diisi koloni rayap M. gilvus yang telah dikembangbiakkan. Semua contoh kayu uji yang berukuran 50 (p) x 20 (l) x 2 (t) ditimbang bobotnya (W1) dan diletakkan secara acak pada kawat saring dan kemudian ditempatkan di atas permukaan tanah pada biakan rayap di laboratorium (termitarium). Pengujian dilakukan selama tiga bulan, dan pada akhir pengamatan seluruh contoh uji

59

dibersihkan atau dicuci dan dikeringkan di dalam oven (102±3oC) selama 24 jam dan ditimbang kembali (W2). Pengujian ini disebut preferensi makan ganda karena rayap bebas memilih contoh uji. Respon yang diukur dalam pengujian ini adalah kehilangan bobot contoh uji yang dihitung dengan rumus: Bobot hilang (%) = (W1-W2)/W1 x 100% W1 = bobot contoh uji sebelum pemaparan terhadap rayap (mg) W2 = bobot contoh uji setelah pemaparan terhadap rayap (mg) Pengujian komponen kimia kayu dan analisis mikroskopis permukaan kayu (Timell 1967) Analisis kimia dilakukan terhadap contoh uji dalam bentuk serbuk berukuran sekitar 60 mesh yang telah bebas dari zat ekstraktif. Tahapan analisis komponen kimia ini dimulai dengan mengekstraksi serbuk kayu, kemudian dilanjutkan dengan proses delignifikasi untuk menghasilkan holoselulosa dan selulosa. Sebagian dari serbuk bebas ekstraktif dihidrolisis dengan asam sulfat untuk mengukur kadar lignin. Selanjutnya residu dari penentuan kadar selulosa dilarutkan dalam alkali sehingga diperoleh α-selulosa, dan dengan perhitungan akan diketahui komponen hemiselulosa. Serbuk untuk analisis kimia diekstraksi dengan pelarut etanol-benzena (1: 2), etanol 95% dan air secara berturut-turut. Ekstraksi dengan etanol-benzena dan etanol dilakukan dengan cara soxhlet, masing-masing dengan volume 200 mL selama 6 jam. Sirkulasi pelarut 4-6 kali per jam. Setelah diekstraksi dengan etanol-benzena, serbuk dan perangkat soxhlet dicuci dengan etanol. Ekstraksi serat kemudian dilanjutkan kembali dengan menggunakan etanol sampai pelarut tidak berwarna. Serbuk kemudian dicuci dengan akuades untuk menghilangkan etanol, kemudian dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer 1000 mL, lalu ditambah 500 mL air mendidih. Serbuk kemudian dipanaskan kembali dalam penangas air selama 1 jam pada suhu 100oC. Setelah diekstraksi, serbuk dicuci dengan 500 mL air mendidih dan dikeringkan. Sampel disimpan dalam wadah kering dan tertutup. Lignin Kandungan lignin ditentukan dengan melarutkan dan menghidrolisis karbohidrat

60

Bioteknologi 9 (2): 57-65, November 2012

dengan asam sulfat. Sebanyak 1 g serat bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam gelas piala kecil. Dengan perlahan-lahan dan sambil diaduk pada serbuk ditambahkan 15 mL H2SO4 72% dingin (12-15 oC). Serbuk kayu harus tercampur dengan sempurna dengan cara pengadukan sekurangkurangnya selama 1 menit. Campuran tersebut didiamkan selama 2 jam dengan seringkali diaduk dan suhu tetap dijaga antara 18-20oC. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer 1 L dan ditambahkan 560 mL akuades sehingga konsentrasi mencapai 3%. Kemudian campuran dididihkan di atas penangas air selama 4 jam, disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan air panas hingga bebas asam. Serbuk yang tertinggal dikeringkan dalam tanur dengan suhu 105oC lalu didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Lignin (%) =

a X 100% b

a = bobot kering tanur serbuk setelah ekstraksi dengan asam sulfat b = bobot serbuk sebelum ekstraksi dengan asam sulfat Holoselulosa Sebanyak 2 g serbuk bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam gelas piala 300 mL, kemudian ditambahkan 2 g natrium klorit, 100 mL akuades dan 2 mL asam asetat, lalu dipanaskan di atas penangas air pada suhu 70 oC selama 1 jam. Proses penambahan natrium klorit, akuades, dan asam asetat dilakukan empat kali ulangan dan setiap kali penambahan diikuti dengan pemanasan di atas penangas air dengan suhu 70oC selama 1 jam. Campuran kemudian dicuci dengan air panas sampai bebas asam dan dikeringtanurkan pada suhu 105oC. Setelah dingin, residu ditimbang sebagai holoselulosa. Selulosa Sebanyak 2.5 g serbuk bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL, kemudian dibubuhkan 125 mL HNO3 3,5%. larutan tersebut dipanaskan di atas penangas air dengan suhu 80oC selama 12 jam. Residu yang diperoleh disaring dan dicuci dengan air panas sampai bebas dari asam dan untuk menghilangkan air dicuci dengan alkohol. Sisa saringan dipindahkan ke dalam gelas piala 250 mL dan ditambahkan 125 mL larutan dari campuran 20 g NaOH dan 20 g Na2SO3 yang dilarutkan dalam 1 liter air lalu dipanaskan di

atas penangas dengan suhu 50oC selama 4 jam. Kemudian disaring, dicuci dengan air panas, lalu dengan 50 mL asam asetat 10%, dan dicuci kembali dengan air panas hingga bebas asam. Serbuk yang tersisa dikeringtanurkan pada suhu 105oC. Penentuan kadar selulosa dilakukan berdasarkan persentase serbuk setelah dilignifikasi terhadap bobot serbuk sebelum dilignifikasi. Analisis mikroskopis permukaan kayu Pada analisis mikroskopis permukaan kayu, tahapan yang dilakukan adalah persiapan specimen dan pengoperasian sistem Scanning Electron Microcope (SEM). Persiapan specimen dimulai dengan memotong kayu uji dengan ukuran tebal 2,5 mm dan lebar 0,5 mm, setelah itu specimen ditempel pada blok specimen menggunakan karbon berperekat ganda. Specimen dibersihkan dengan meniupkan udara pada permukaannya, lalu dikeringkan dengan cara divakum, dan setelah kadar airnya cukup rendah yang ditandai dengan menyalanya lampu pada alat vakum, proses pelapisan permukaan specimen dengan materi konduktif (coating metal) dapat dilakukan. Bahan yang digunakan untuk pelapisan ini adalah emas (Au) dan waktu untuk pelapisan ini 4 menit. Setelah permukaan specimen rata terlapisi oleh emas, proses pengoperasian SEM untuk memperoleh foto dalam bentuk stereo dengan perbesaran tertentu bisa dimulai. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi makan tunggal Pengujian kesukaan (preferensi) makan tunggal ini merupakan suatu cara pengujian dengan memaksa rayap makan makanan yang disediakan karena tidak ada alternatif makanan lain. Tingkat preferensi ini diukur melalui besarnya kehilangan bobot uji kayu akibat konsumsi rayap dan persentase kematian (mortalitas) rayap tanah M. gilvus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan bobot kayu uji dalam 3 kali ulangan menunjukkan bahwa kayu kontrol dari awal sampai akhir perlakuan tidak mengalami perubahan. Sementara itu, rerata berat kayu uji selama perlakuan berkurang 8,2 mg/hari. Berat kayu uji sebelum dan setelah preferensi makan tunggal rayap tanah M. gilvus dapat dilihat pada Tabel 1.

SUBEKTI-Preferensi makan rayap Macrotermes gilvus terhadap kayu Pinus merkusii Tabel 1. Berat kayu umpan sebelum dan selama uji preferensi makan tunggal rayap tanah M. gilvus Hari ke-

Kayu kontrol 1,161 1,161 1,161 1,161 1,161

1 2 3 4 5

Berat kayu umpan (mg) Kayu uji (ulangan) 1 2 3 1,441 1,599 1,385 1,441 1,599 1,385 1,420 1,580 1,370 1,413 1,572 1,363 1,400 1,540 1,330

Hasil penelitian menunjukkan keseluruhan kayu baik kontrol maupun kayu uji termasuk golongan sangat rentan. Terdapat perbedaan yang sangat nyata antara kayu kontrol dengan kayu yang telah dimakan rayap dalam hal kehilangan bobotnya. Kayu kontrol tidak mengalami kehilangan berat pada awal sampai akhir perlakuan. Pada hari pertama dan kedua terlihat kayu umpan (uji) tidak dimakan oleh rayap, tetapi daya tahan hidup rayap turun sampai 75%. Pada hari ketiga dan keempat rayap terpaksa makan kayu umpan dengan konsumsi per individu 0,2 mg, dan 0,07 mg, dalam hal ini daya tahan hidup rayap mencapai 50%. Pada hari kelima rayap tidak ada yang hidup dan bobot kayu umpan berkurang sebesar 0,013 mg (Tabel 2). Tabel 2. Rerata konsumsi pakan rayap tanah M. gilvus pada uji makan tunggal Hari ke1 2 3 4 5

Jml ind 200 150 100 25 0

Kehilangan berat pakan (%) 0 0 0,021 0,007 0,013

Konsumsi per-individu (mg) 0 0 0,2 0,07 0,5

Daya tahan hidup (%) 100 75 50 12,5 0

Kehilangan bobot rerata dari semua pengujian adalah untuk kayu kontrol tidak mengalami kehilangan berat. Hal ini dapat dipahami karena sebelum diumpankan kayu telah dikeringanginkan selama 24 jam untuk menghilangkan kadar air dalam kayu. Sementara itu pada kayu umpan terjadi penurunan sebesar berkurang 8,2 mg/hari. Kehilangan bobot pada kayu umpan ini diduga karena kekerasan kayu berpengaruh terhadap daya tahan kayu tersebut. Tingkat kesukaan makan rayap berbeda-beda tergantung masing-masing spesies. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rayap adalah

61

keadaan lingkungan, ukuran badan dan ukuran koloni. Kebutuhan makan rayap kayu kering jenis Incisitermes minor Hagen dari berbagai macam kayu komersial di Jepang dan Amerika adalah 0,04-0,26 mg/hari (Yuliati et al. 2007). Hal ini disebabkan koloni rayap I. minor berukuran 1 mm, lebih kecil dibanding rayap M. gilvus, demikian juga ukuran badan M. gilvus 3,5 mm, lebih besar dibandingkan ukuran tubuh I. minor (Tho 1992; Subekti et al. 2008) Kerusakan kayu akibat jamur dapat terjadi sewaktu kayu masih di hutan atau pada saat masa penggunaan. Kerusakan kayu oleh jamur pelapuk sangat mempengaruhi sifat fisik dan kimia kayu. Penurunan berat kayu karena serangan jamur pelapuk pada berbagai macam kayu komersial berkisar 4,28-43,3% (Thulasidas dan Bhat 2007). Mortalitas rayap Mortalitas tertinggi pada kayu umpan terjadi pada hari kelima (100%) dengan kehilangan bobot 0,013%. Sementara itu, mortalitas rayap yang paling rendah terjadi pada hari pertama dengan kehilangan bobot kayu umpan 0%. M. gilvus merupakan salah satu jenis rayap yang memiliki simbiosis mutualisme dengan jamur Termitomyces. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas rayap antara lain: faktor edafis, serta faktor makro- dan mikro-klimat. Hal ini yang menyebabkan rayap M. gilvus sangat rentan jika dipindahkan dari habitat alami untuk di uji dalam termitarium (Subekti et al. 2008). Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya kecenderungan hubungan terbalik antara kehilangan bobot dengan mortalitas rayap. Mortalitas rayap dipengaruhi oleh ada tidaknya daya tarik kayu menjadi sumber makanan bagi rayap tersebut misalnya kekerasan permukaan dan adanya bahan yang merangsang aktivitas rayap (Bignell et al. 2010). Mortalitas rayap terjadi karena tidak ada ketertarikan rayap terhadap makanan yang disediakan dan tidak adanya alternatif makanan lain. Tectoquinone, isodesoxylapachol, desoxylapachol dan lapachol adalah senyawa aktif alami yang terdapat pada sebagian besar kayu (Lukmandaru dan Takahashi 2009). Semakin lama usia kayu setelah ditebang, maka semakin turun kandungan dan konsentrasi senyawa-senyawa alami dalam kayu. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi organisme perusak kayu.

62

Bioteknologi 9 (2): 57-65, November 2012

Konsumsi makan ganda dalam koloni Hasil penelitian setelah tiga bulan pengujian diperoleh data preferensi makan rayap tanah M. gilvus diukur dari kehilangan bobot kayu. Tabel 3. Kehilangan bobot contoh kayu uji pada uji preferensi makan ganda dalam koloni Bobot kayu Bobot kayu Rerata sebelum setelah Total (%) perlakuan (g) perlakuan (g) 1 2 3 1 2 3 Kontrol 1724 1869 1758 1724 1869 1758 5351 0 Perlakuan 1878 1972 1745 698 846 706 2250 57.95%

Tabel 3 menunjukkan perbedaan kehilangan bobot yang sangat besar antara kayu uji dengan kayu kontrol. Kehilangan bobot rerata sebesar 57.95%, hal ini menunjukkan bahwa kayu uji merupakan jenis kayu dengan kelas awet rendah atau golongan rentan. Sementara itu, pada kayu kontrol bobot rata-rata tidak berubah, hal ini berarti pada kayu kontrol tidak terjadi penguapan disebabkan sebelum perlakuan kayu telah dikering anginkan terlebih dahulu. Dari Gambar 1 dibawah ini terlihat perbedaan nyata bagian permukaan kayu kontrol dengan kayu yang telah dimakan rayap tanah M. gilvus. Dari hasil pengamatan selama tiga bulan pengujian diperoleh data preferensi makan rayap yang diukur dari kehilangan bobot kayu. Kehilangan bobot rerata terjadi pada kayu yang disukai (kayu uji) rayap M. gilvus terlihat dari permukaanya dengan kerusakan yang parah bila dibandingkan dengan kayu kontrol.

A

Perilaku makan rayap di lapangan bergantung pada tempat koloni berada dan jumlah populasi yang ada. Di alam, rayap dihadapkan pada banyak pilihan makanan, dalam keadaan tersebut rayap akan memilih tipe makanan yang paling disukai dan sumber makanan yang lainnya akan ditinggalkan. Pada pengujian ini kondisi termitarium agak mendekati kondisi di lapangan dalam hal ketersediaan sumber makan yang beragam. Bila dibandingkan dengan uji preferensi makan tunggal, pada pengujian ini terjadi perbedaan yang sangat besar antara kehilangan bobot kayu kontrol dengan kayu yang diumpankan. Disini terlihat jelas bahwa pada awalnya rayap mencoba mencicipi kayu yang disediakan dan pada akhirnya lebih banyak menyerang kayu yang disukainya. Syaraf perasa gustatory rayap diduga berperan besar dalam pengujian ini. Secara acak, rayap akan menyerang baik kayu lapuk maupun kayu yang segar. Tetapi jika diumpankan keduanya, maka rayap akan lebih suka kayu yang lapuk jika dibandingkan dengan kayu yang segar. Rayap tertarik oleh senyawa yang terdapat pada kayu yang lapuk, bahkan bau dari jamur yang merangsang rayap untuk makan dan membuat liang-liang kembara. Dikatakan bahwa kayu yang lapuk oleh jamur lebih kaya akan senyawa bernitrogen sehingga dengan memakan kayu yang lapuk oleh jamur yang sesuai, rayap akan mendapatkan makanan dengan gizi yang lebih baik (Nandika dan Tambunan 1989). Semakin tinggi derajat pelapukan, maka semakin banyak bagian kayu yang dimakan oleh rayap.

B

Gambar 1. Termitarium tempat pengujian preferensi makan ganda rayap M. gilvus (A). Perbandingan permukaan kayu kontrol dengan kayu uji yang telah dimakan rayap (B).

SUBEKTI-Preferensi makan rayap Macrotermes gilvus terhadap kayu Pinus merkusii

Analisis kandungan kimia Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan lignin kayu kontrol 26,79% dan kayu uji 21,91%; kadar holoselulosa kayu kontrol 68,91% dan kayu uji 60,92%; kadar selulosa kayu kontrol 54,20% dan kayu uji 43,64%. Secara lengkap kadar lignin, holoselulosa, dan selulosa kayu kontrol dan kayu uji rayap tanah M. gilvus ditunjukkan pada Tabel 17. Tabel 4. Kadar lignin kayu kontrol dan kayu uji rayap tanah M. gilvus Nama Kayu kontrol Kayu uji

% Lignin 26.79 21.91

% Holoselulosa 68.91 60.92

% Selulosa 54.20 43.64

Analisis kimia terhadap kayu uji dan kayu kontrol dimaksudkan untuk mengukur besarnya perubahan komposisi kimianya setelah mendapat perlakuan tersebut dan pengaruhnya terhadap preferensi makan rayap tanah M. gilvus. Komponen kimia yang diamati meliputi lignin, holoselulosa, selulosa, dan hemiselulosa. Analisis kimia ini dilakukan pada serbuk kayu uji dan kayu kontrol. Kadar lignin, holoselulosa, selulosa pada serbuk kayu uji cenderung lebih rendah daripada kayu kontrol (Tabel 4). Kadar lignin pada kayu kontrol 26,79%, sedangkan kayu uji 21,91%. Pada kayu kontrol kadar ligninnya lebih tinggi daripada kayu uji kemungkinan terjadi karena adanya kondensasi lignin pada suhu tinggi yang menyebabkannya lebih sukar larut. Kemungkinan terjadinya kondensasi lignin ditunjukkan dengan adanya warna hitam pada permukaan kayu. Degradasi lignin pada kayu pinus disebabkan adanya simbiosis dengan organisme prokariot (bakteri dan protozoa) yang terdapat dalam usus rayap tanah M. gilvus dan menghasilkan enzim lignoselulase (Ohkuma 2003). Simbiosis antara rayap M. gilvus dan beberapa jenis bakteri yang terdapat dalam usus rayap menghasilkan senyawa-senyawa, antara lain: β-O-4, β-1, phenylcoumarane dan ikatan biphenyl yang dapat mendegradasi lignin sampai 60%-95% (Kato et al. 1998). Kecenderungan lebih rendahnya kadar lignin, holoselulosa, dan selulosa pada kayu uji dibandingkan dengan kayu kontrol terjadi karena pada kayu uji terjadi degradasi komponen-komponen kimia dan proses oksidasi dan/atau hidrolisis pada kayu tersebut melalui proses kimiawi kayu uji.

63

Kadar selulosa pada serat kayu kontrol adalah 54,20%, sementara pada kayu uji kadarnya mencapai 43,64%. Kecenderungan kadar selulosa pada kayu uji lebih rendah daripada kayu control, disebabkan rayap memakan kayu uji yang mengandung banyak selulosa dan dibantu oleh jamur yang terdapat dalam kayu uji. Dengan demikian kadar selulosa yang terdapat dalam kayu uji lebih rendah dibanding dengan kayu kontrol. Kadar hemiselulosa merupakan hasil pengurangan dari kadar holoselulosa dengan kadar α-selulosa. Dari hasil pengurangan tersebut, kadar hemiselulosa pada kayu kontrol adalah 68,91%, sementara pada kayu uji adalah 60,92%. Dari analisis kimia, diketahui kandungan holoselulosa dan lignin pada kayu uji cenderung lebih rendah daripada kayu kontrol. Analisis mikroskopis permukaan kayu Kayu pinus yang dianalisis dengan SEM dalam penelitian ini meliputi kayu kontrol dan kayu uji. Analisis pada kayu kontrol menunjukkan gambaran dinding sel kayu masih terlihat utuh dengan pori-pori yang juga masih utuh (Gambar 2a, 2b), sementara pada kayu yang lapuk oleh rayap M. gilvus tampak adanya kerusakan (Gambar 2c, 2d). Secara lengkap perbedaan analisis mikroskopis antara kayu kontrol dan kayu uji dapat dilihat pada Gambar 2. Analisis pada kayu kontrol menunjukkan gambaran dinding sel kayu masih terlihat utuh dengan pori-pori kayu tertutup dan serat-serat pada dinding sel juga masih utuh. Sementara itu, hasil analisis mikroskopis pada kayu uji terlihat bahwa pori-pori kayu tidak utuh lagi menunjukkan kerusakan pada dinding sel kayu yang sangat besar apabila dibandingkan dengan kayu kontrol (2c), serta terlihat adanya hifa jamur yang menembus dinding sel pada kayu. Adanya hifa jamur yang menembus dinding sel kayu tersebut menyebabkan kayu menjadi rapuh sehingga kekerasan permukaannya menjadi sangat rendah (Gambar 2d). Mekanisme masukknya jamur ke dalam sel kayu antara lain melalui sel parenkim dan menyebar ke seluruh bagian sel lainnya. Hifa jamur menekan trakeid dan bergerak dari sel ke sel lain melalui bagian sel yang disebut pits dan membuat lebih mudah ditembus air. Jamur adalah organisme perusak pertama dan menghasilkan feromon yang memberi sinyal pada rayap untuk bergabung. Kondisi demikian sangat menguntungkan rayap dalam merombak bahan organik dalam kayu (Little et al. 2012).

64

Bioteknologi 9 (2): 57-65, November 2012

10 μm

10 μm

10 μm

A

B

10 μm

μ10m

10 μm 10 μm

C

D

μ10m

Gambar 2. Penampakan kayu kontrol perbesaran 500x (A); penampakan kayu kontrol perbesaran 1000X (B); penampakan kayu uji perbesaran 500x (C); penampakan kayu uji perbesaran 1000x (D). Panah = hifa.

Saat kayu masih menjadi pohon, terdapat bagian sel yang disebut “pits” berfungsi untuk transportasi cairan asam resin, monoterpenes, asam lemak, dan zat ektraktif lainnya. Senyawasenyawa tersebut berfungsi untuk melindungi kayu dari organisme perusak, misalnya: rayap, kumbang, jamur dan lain-lain. Setelah menjadi kayu kering, bagian sel yang sering disebut pits memiliki potensi untuk diganggu organisme perusak. Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya cairan yang berisi zat-zat eksraktif pelindung tanaman yang terdapat di dalamnya (Mai et al. 2004). Penurunan berat kayu pinus (Pinus sylvestris L) oleh rayap Coptotermes formosanus oleh jamur pelapuk Postia placenta rata-rata 27,13% setelah tiga minggu (Temiz et al. 2006). Di dalam tubuh rayap tanah terdapat beberapa species jamur yang berfungsi menghasilkan enzim sellulase, seperti Spirotrichonympha leidyi, Holomastigotoides mirabile, dan Pseudotrichonympha grassii (Nakashima et al. 2002). Sementara itu enzym

amylase, protease dan glycosyl hydrolase yang dihasilkan protozoa membantu rayap tanah M. gilvus untuk mendegradasi sellulose (Bayane dan Guiot 2011). Dalam proses degradasi senyawa-senyawa dalam kayu, jamur Termitomyces menghasilkan enzim sellulase dan xylanase untuk mendegradasi sellulose dan hemisellulose. Termitomyces juga menghasilkan enzim laccase yang membantu rayap mendegradasi senyawa lignin (Johjima et al. 2006), Termitomyces kaya dengan nitrogen yang dibutuhkan rayap untuk hidup dan berkembang biak (Sawhasan et al. 2012). Rayap tanah M. gilvus berkebun jamur di dalam sarangnya, terutama Termitomyces (Jouquet et al. 2005). Peranan jamur dalam sarang rayap terhadap ekosistem alam sangat menguntungkan untuk meningkatkan kadar C dan N dalam tanah dan mineral tanah (NH4+, NO3-, Ca 2+, Mg2+, K+ dan Na+). Biomass jamur Termitomyces dalam sarang rayap M. gilvus adalah 1,1 g/m2, sementara M. carbonarius 3,4

SUBEKTI-Preferensi makan rayap Macrotermes gilvus terhadap kayu Pinus merkusii

gr/m2 dan M. annandalei 10,6 g/m2. Hal ini menunjukkan bahwa jamur dalam sarang rayap tanah M. gilvus berperan sangat positif dalam proses degradasi bahan-bahan organik menjadi bahan-bahan anorganik di dalam ekosistem alam (Yamada et al. 2005). KESIMPULAN Dari kajian preferensi makan tunggal rayap tanah M. gilvus (Isoptera: Termitidae) terhadap kayu pinus diketahui bahwa rerata kehilangan bobot sebesar 8.2 mg/hari selama lima hari pengamatan. Kajian preferensi makan ganda rayap tanah M. gilvus terhadap kayu pinus diketahui bahwa rerata kehilangan bobot sebesar 57,95% selama tiga bulan. Penurunan kekerasan pada kayu dan perubahan sifat serta komposisi kimia kayu menyebabkan kerusakan pada dinding sel kayu dan diduga meningkatkan preferensi makan rayap. DAFTAR PUSTAKA Bayane A, Guiot SR. 2011. Animal digestive strategies versus anaerobic digestion bioprocesses for biogas production from lignocellulosic biomass. Environ Sci Biotechnol 10: 43-62. Bignell DE, Eggleton P. 2000. Termites in ecosistem. In: Abe T, Bignell DE, Higashi M (eds). Termites: Evolution, sociality, symbioses, ecology. Kluwer, London. Bignell DE, Roisin Y, Lo N. 2010. Biology of termites: A modern synthesis. Springer, London. Indrayani Y, Yoshimura T, Yanase Y, Imamura Y. 2007. Feeding responses of the western dry-wood termite Incisitermes minor (Hagen) (Isoptera: Kalotermitidae) against ten commercial timbers. J Wood Sci 53: 239-248. Johjima T, Taprab Y, Noparatnaraporn N, Kudo T, Ohkuma M. 2006. Large-scale identification of transcripts expressed in a symbiotic fungus (Termitomyces) during plant biomass degradation. Appl Microbiol Biotechnol 73: 195-203. Jouquet P, Barré P, Lepage M. 2005. Impact of subterranean fungus-growing termites (Isoptera, Macrotermitiane) on chosen soil properties in a West African Savanna. Bruce Velde Biol Fertil Soils 41: 365-370. Kato K, Kozaki S, Sakuranaga M. 1998. Degradation of lignin compounds by bacteria from termite guts. Biotechnol Lett

65

20 (5): 459-462. Khrishna K, Weesner FM. 1969. Biology of termites. Vol. II. Academic Press, New York. Lee CY. 2002. Control of foraging colonies of subterranean termites Coptotermes travians (Isoptera : Rhinotermitidae) in Malaysia using hexaflumuron baits. Sociobiology 39: 3 Little NS, Riggins JJ, Schultz TP, Londo AJ, Ulyshen MD. 2012. Feeding Preference of Native Subterranean Termites (Isoptera: Rhinotermitidae: Reticulitermes) for wood containing bark beetle pheromones and blue-stain fungi. J Insect Behav 25: 197-206. Lukmandaru G, Takahashi K. 2009. Radial distribution of quinones in plantation teak (Tectona grandis L.f.). Ann For Sci 66: 605-605. Mai C, Kues U, Militz H. 2004. Biotechnology in the Wood Industry. Appl Microbiol Biotechnol 63: 477-494. Nakashima K, Watanabe H, Azuma JI. 2002. Cellulase genes from the parabasalian symbiont Pseudo-trichonympha grassii in the Hindgut of the wood-feeding termite Coptotermes formosanus. Cell Mol Life Sci 59: 1554-1560. Nandika D, Tambunan B. 1989. Deteriorasi kayu oleh organisme perusak. Pusat Antar Universitas IPB, Bogor. Ohkuma M. 2003. Termite symbiotic systems: Efficient biorecycling of lignocellulose. Appl Microbiol Biotechnol 61: 1-9. Ridout B. 2004. Timber decay in buildings: The conservation approach to treatment. Spon Press, London. Sawhasan P, Worapong J, Flegel TW, Vinijsanun T. 2012. Fungal partnerships stimulate growth of Termitomyces clypeatus Stalk mycelium in vitro. World J Microbiol Biotechnol 28: 2311-2318. Subekti N, Nandika D, Duryadi D, Surjokusumo S, Anwar S. 2007. Characteristic habit subterranean termite of Macrotermes gilvus Hagen in Ujung Kulon National Park. MIPA Journal 30 (3): 227-232. Subekti N, Nandika D, Duryadi D, Surjokusumo S, Anwar S. 2008. Distribution and characteristic subterranean termite of Macrotermes gilvus Hagen in Natural Forest. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1 (1): 27-33. Temiz A, Kartal SN, Alfredsen G, Eikenes M, Demirtas I. 2006. Fungal and termite resistance of wood treated with 4methoxytrityl tetrafluoroborate. Holz als Roh-und Werkstoff 64: 411-414. Tho YP. 1992. Termites of Peninsular Malaysia. Malayan Forest Records 36: 1-224. Thulasidas PK, Bhat KM. 2007. Chemical extractive compounds determining the brown-rot decay resistance of teakwood. Holz Roh Werkst 65: 121-124. Yamada A, Inoue T, Wiwatwitaya D, Ohkuma M, Kudo T, Abe T, Sugimoto A. 2005. Carbon mineralization by termites in tropical forests with emphasis on fungus combs. Ecol Res 20: 453-460.

Bioteknologi 9 (2): 66-72, November 2012, ISSN: 0216-6887, EISSN: 2301-8658

Pengaruh pemberian variasi konsentrasi NAA (α-naphthaleneacetic acid) dan 2.4 D terhadap induksi protocorm like bodies (PLB) anggrek macan (Grammatophyllum scriptum (Lindl.) DEA SYLVA LISNANDAR, WIDYA MUDYANTINI, ARI PITOYO♥

♥ Alamat korespondensi:

Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 53122 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail: [email protected]

Manuskrip diterima: 11 Oktober 2012. Revisi disetujui: 3 November 2012.

Lisnandar DS, Mudyantini W, Pitoyo A. 2012. Effect of concentration variations of 2,4D and NAA (a-naphthalene acetic acid) against tiger orchid (Grammatophyllum scriptum (Lindl.)) induction Protocorm Likes Bodies (PLB). Bioteknologi 9: 66-72. The research was aimed to evaluate the effect of concentration variation of 2,4-D and NAA (a-naphthalene acetic acid) on the Protocrom Like Bodies (PLB) growth of Grammatophyllum scriptum. The experimental design in this research was completely randomized design with two factors, namely concentration of 2,4-D (0.5 mg/L and 1.0 mg/L) and concentration of NAA ( 0.5 mg/L and 1.0 mg/L) with four replications. The quality of PLB was measured base on shoot and root length. The results showed that treatment had no effect on PLB growth of G. scriptum. Keywords: 2,4-D, NAA, Grammatophyllum scriptum, Protocrom Like Bodies, PLB. Lisnandar DS, Mudyantini W, Pitoyo A. 2012. Pengaruh pemberian variasi konsentrasi NAA (α-naphthaleneacetic acid) dan 2.4 D terhadap induksi protocorm like bodies (PLB) anggrek macan (Grammatophyllum scriptum (Lindl.). Bioteknologi 9: 66-72. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh variasi konsentrasi 2,4-D dan NAA (asam a-naftalena asetat) pada pertumbuhan Protocrom Like Bodies (PLB) Grammatophyllum scriptum. Rancangan percobaan dalam penelitian ini rancangan acak lengkap dengan dua faktor, yaitu konsentrasi 2,4-D (0,5 mg/L dan 1,0 mg/L) dan konsentrasi NAA (0,5 mg/L dan 1,0 mg/L) dengan empat ulangan. Kualitas PLB diukur berdasarkan tunas dan panjang akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh pada pertumbuhan PLB dari G. scriptum. Kata kunci: 2,4-D, NAA, Grammatophyllum scriptum, Protocrom Like Bodies, PLB.

PENDAHULUAN Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah anggrek. Salah satu contoh anggrek yang sangat berharga dan memiliki potensi ekonomi adalah Grammatophyllum scriptum. Anggrek tersebut merupakan anggrek epifit berukuran besar yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi karena tanamannya yang indah. Anggrek ini menghadapi ancaman serius dari perburuan tak terkendali dan kerusakan habitat sedangkan perkembangbiakan alami anggrek ini sangat lambat, hal ini yang menyebabkan anggrek G. scriptum menjasi anggrek yang langka. Kelangkaan anggrek G. scriptum ini dapat diatasi

dengan dibudidayakan melalui teknik kultur jaringan. Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman dan menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, dengan demikian bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Gunawan 1988). Kultur jaringan memiliki beberapa kegunaan diantaranya adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang relatif singkat, yang memiliki sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan tanaman induknya. Penggunaaan zat pengatur tumbuh yang sesuai akan membantu dalam hasil dari kultur jaringan tersebut. Zat pengatur tumbuh didefinisikan sebagai senyawa organik

LISNANDAR et al. – Pengaruh NAA dan 2.4 D pada induksi PLB Grammatophyllum scriptum

bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (6 10 mM) yang disintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain dari tanaman zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis, dan morfologis (Wattimena 1988). Zat pengatur tumbuh yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon sedangkan yang sintetik disebut zat pengatur tumbuh tanaman sintetik. Penggunaan kombinasi antara auksin (2,4-D) dengan sitokinin (Benzyl Adenin ataupun kinetin) akan meningkatkan proses induksi kalus. Efektifitas zat pengatur tumbuh auksin maupun sitokinin eksogen bergantung pada konsentrasi hormon endogen dalam jaringan tanaman (Syahid dan Kristina 2007). BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Sub Laboratorium Biologi, Laboratorium Pusat MIPA dan Laboratorium Jurusan Biologi, Universitas Sebelas Maret Surakarta pada bulan Februari-Juli 2011. Sterilisasi alat Alat yang digunakan dalam penelitian berupa botol kultur, pinset, scalpel, cawan petri, dan pisau. Alat dicuci menggunakan sabun sampai bersih lalu dikeringkan. Setelah itu alat diautoklaf pada suhu 121◦C dengan tekanan 1.5 atm selama 20 menit. Pembuatan media dasar Pembuatan media dilakukan dengan cara mencampurkan serbuk media MS sebanyak 4,43 g ke dalam aquades kemudian ditambahkan gula atau sukrosa 40 g diencerkan dengan aquades. Pembuatan stok hormon Pembuatan larutan stok bertujuan untuk memudahkan dalam pembuatan media. Larutan stok yang dibuat adalah larutan stok zat pengatur tumbuh. Hormon 2,4-D dibuat dengan konsentrasi 6 ppm, serbuk hormon 2,4-D ditimbang terlebih dahulu sebanyak 6 mg dan dilarutkan dalam alkohol, yang kemudian diencerkan dalam aquades sebanyak 1 liter. Stok hormon NAA dibuat dengan konsetrasi 4 ppm, hormon NAA ditimbang sebanyak 4 mg dan dilarutkan dalam alkohol (beberapa tetes saja) dan diencerkan dengan aquades hingga volume mencapai 1 liter. Stok hormon kinetin dibuat dengan konsetrasi 5 ppm, hormone NAA ditimbang sebanyak 5 mg dan dilarutkan dalam

67

alkohol (beberapa tetes saja) dan diencerkan dengan aquades hingga volume mencapai 1 liter. Kemudian ditempatkan pada botol stok dan disimpan dalam lemari es. Pembuatan stok hormon ini ditujukan untuk mempermudah saat pembuatan media. Pembuatan media perlakuan Media perlakuan adalah media dasar ditambah zat pengatur tumbuh (ZPT) sebanyak 0,5 ppm dan 1 ppm. Selanjutnya media ditambahkan aquades sampai 1 liter, lalu diukur pH hingga 5,8 dan ditambah agar-agar 8,5 g. Larutan kemudian dimasak sampai mendidih, dimasukkan dalam botol kultur kurang lebih setinggi 1 cm, lalu disterilisasi dengan autoklaf dan didinginkan. Sterilisasi eksplan Eksplan yang akan ditanam disterilisasi terlebih dahulu dengan menggunakan alkohol 70%. Penanaman Tangan dicuci dengan alkohol 70% di luar Laminair Air Flow Cabinet (LAFC). Meja dan dinding LAFC dibersihkan dengan tisu dan alkohol 70%. Alat-alat seperti pinset, skalpel, gunting yang diperlukan dalam kultur dicelupkan dalam alkohol 70% dan dibakar dengan api bunsen. Setelah itu alat diletakkan di atas tutup kotak stainless steel dan dibiarkan dingin. Anggota tubuh yang masuk dalam LAFC disemprot dengan alkohol 70%. Planlet yang ditanam dalam media kultur, diambil dengan menggunakan pinset dan ditanam dalam media perlakuan serta diamati setiap 3 hari selama 8 minggu. Penanaman eksplan pada media perlakuan Penanaman eksplan dilakukan secara aseptis di dalam LAFC. Pertama tangan dicuci dengan alkohol 70% di luar LAFC. Meja dan dinding LAFC dibersihkan dengan menggunakan tisu dan alkohol 70%. Alat-alat seperti pinset, skalpel, gunting yang diperlukan dalam kultur dicelupkan dalam alkohol 96% dan dibakar dengan api bunsen. Setelah itu alat diletakkan di atas tutup kotak stainless steel dan dibiarkan dingin. Anggota tubuh yang masuk dalam LAFC disemprot dengan alkohol 70%. Planlet yang ditanam dalam media kultur, diambil dengan menggunakan pinset dan ditanam dalam media perlakuan dan ditutup kembali dengan aluminium foil.

68 Pemeliharaan dan pemanenan Eksplan yang telah ditanam dalam botol kultur kemudian disimpan dalam ruang inkubasi khusus kultur jaringan yang telah steril dan dilengkapai rak kultur serta Air Conditioner (AC). Pengamatan dilakukan 3 hari sekali selama 8 minggu, selama 8 minggu kondisi aseptis eksplan harus dijaga dengan cara menyemprotkan alkohol 70% pada botol-botol yang telah berisi eksplan. Penyemprotan ini bertujuan untuk meminimalkan adanya kontaminasi dari luar botol. Selama 8 minggu tersebut perubahan yang terjadi dicatat dengan melihat kenampakan morfologi. Setelah 8 minggu eksplan yang ditanam akan tumbuh menjadi Protocorm Like Bodies (PLB) dan eksplan tersebut siap dipanen. Pembuatan preparat anatomi Setelah 8 minggu protocorm yang terbentuk diamati anatominya dengan terlebih dahulu dibuat preparat anatominya dengan cara embedding section dengan cara sebagai berikut: Protocorm direndam kedalam larutan FAA selama 24 jam. Kemudian dilakukan pencucian dan dehidrasi dengan larutan alkohol : 70%, 80%, 95%, 100% (1), 100% (2), xylol : alkohol (3:1), xylol : alkohol ( 1:1), xylol : alkohol (1:3),xylol 1, xylol 2; masing-masing 30 menit. Selanjutnya direndam kedalam campuran paraffin : xylol (9:1) selama 24 jam dengan suhu 57◦C. Kemudian dimasukkan kedalam parafin murni selama 24 jam dengan suhu 57◦C, setelah 24 jam diganti dengan parafin yang baru. Kemudian dibuat blok, setelah itu dilakukan pemotongan menggunakan mikrotom,dengan ukuran ± 12 µm. Pita parafin yang telah terpotong kemudian dilekatkan pada gelas objek menggunakan campuran gliserin/albumin 1/1 dan di tetesi aquades. Untuk pewarnaan, gelas objek yang berisi preparat dicelupkan kedalam xylol 1 dan 2 selama 3 menit, kemudian campuran alkohol/xylol (1:3, 1:1, 3:1). Kemudian direndam kedalam alkohol absolut 1 dan 2, alkohol 95%, 80%, 60%, 40%, 20% dan aquades selama 3 menit. Diwarnai dengan safranin selama 2 jam, kemudian dicuci dengan aquades. Direndam kembali kedalam alkohol 20%, 40% , 60%, 80%, 95% , alkohol absolut 1 dan 2 masing-masing selama 3 menit. Direndam kembali pada larutanalkohol/ xylol (3:1, 1:1, 1:3, dilanjutkan xylol 1 dan 2 selama 3 menit. Kemudian dilakukan penutupan dengan canada balsam dan dipanaskan di atas hot plate hingga tidak ada air dalam preparat. Terakhir dilakukan pengamatan di bawah mikroskop.

Bioteknologi 9 (2): 66-72, November 2012

Analisis data Data kualitatif dianalisis dengan mengamati anatomi dari tunas yang terbentuk, morfologi akar dan tunas tumbuh. Data kuantitatif diperoleh dengan mengukur panjang tunas dan panjang akar. Data kuantitatif kemudian di analisis dengan uji ANAVA. HASIL DAN PEMBAHASAN Organogenesis melalui Protocorm Like Bodies (PLB) Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipokotil dari G. scriptum yang ditumbuhkan secara aseptik. Media yang digunakan adalah median Murashige-Skoog (MS), media ini digunakan karena merupakan media yang umum digunakan dalam kultur in vitro. Zat pengatur tumbuh yang ditambahkan dalam media tersebut berupa auksin dengan jenis 2,4dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) dan NAA, sementara hormon sitokinin yang yang digunakan adalah kinetin. Pada minggu pertama terbentuk tonjolan yang berwarna hijau dengan bentuk bulat di tengah eksplan. Tonjolan tersebut kemungkinan terbentuk karena luka di tengah eksplan yang mengalami regenerasi menjadi jaringan baru. Tonjolan hijau tersebut merupakan hasil dari organogenesis yang merupakan massa sel yang belum tedeferensiasi menjadi organ yang lengkap. Massa sel tersebut semakin terlihat jelas setelah minggu ke-8. Massa sel tersebut meyerupai umbi, warna hijau pada massa sel tersebut terjadi karena massa sel telah mampu melakukan proses fotosintesis. Sifat morfologi Dari penampakan morfologi (Gambar 1) terlihat bahwa massa sel yang terbentuk dari eksplan G. scriptum terlihat seperti struktur umbi, dengan bentuk yang bulat massa sel tersebut juga belum terdeferensiasi menjadi bagian-bagian yang kompleks. Menurut Chang et al. (2005), massa sel yang memiliki bentuk bulat atau elips dengan beberapa rambut uniseluler pada bagian basal apeks dan pada ujungnya disebut Protocorm Like Bodies (PLB). Pada gambar di atas ciri-ciri yang dimiliki oleh massa sel tersebut memiliki kesamaan dengan ciri-ciri dari PLB. Menurut Arditti dan Ernst (1993) PLB adalah massa sel yang menyerupai protocorm, sedangkan protocorm adalah suatu struktur yang merupakan perkembangan dari perkecambahan biji pada anggrek, protocom memiliki hypocotyl seperti struktur yang

69

LISNANDAR et al. – Pengaruh NAA dan 2.4 D pada induksi PLB Grammatophyllum scriptum

terdapat pada bennih tanaman angiospermae (Cribb 1999). Sifat anatomi Pada semua media, eksplan yang ditanam berdeferensiasi menjadi massa sel yang berupa tonjolan bulat. Pada Gambar 2, terlihat bahwa bagian selnya telah menjadi struktur yang kompleks. Pada sayatan tersebut (Gambar 2a) telah terlihat adanya berkas pengangkut dan bagian sel yang akan terdeferensiasi. Pada gambar pula dapat terlihat tersebut terlihat adanya berkas pengangkut yang akan berfungsi mendistribusikan hasil metabolisme. Pada Gambar 2c dengan perbesaran yang lebih kuat (400X) terlihat bahwa adanya bagian sel yang merupakan inisiasi terbentuknya tunas. Bagian tersebut dikatakan sebagai tempat inisiasi karena bagian selnya yang menumpuk dan inti selnya yang masih terlihat jelas. Pada bagian ini pula terlihat bahwa sel-selnya terlihat lebih rapat daripada bagian di sekelilingnya. Bagian inilah yang akan menjadi titik awal deferensiasi organ. Pada gambar 2c terlihat adanya kristal caoksalat. Ca-oksalat ini merupakan penimbunan kristal yang merupakan metabolit sekunder dari tanaman tersebut. Pada penelitian ini terlihat caoksalat dengan bentuk jarum. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas tentang pengamatana morfologi dan anatomi massa sel yang terbentuk pada eksplan G.scriptum, massa sel tersebut merupakan PLB. Protocorm Like Bodies (PLB) adalah massa sel yang menyerupai protocorm. PLB merupakan bagian vegetatif dari sejumlah anggrek di dalam kultur yang membentuk struktur yang menyerupai

A

B

C

protocorm berbentuk bulat dan mengkilap, yang dapat diperbanyak secara tak terbatas atau dapat diinduksi untuk meregenerasikan tanaman lengkap (Zulkarnain 2009). Persentase pembentukan Protocorm Like Bodies (PLB) Pada kultur jaringan interaksi antara hormon dan eksplan akan menghasilkan akar atau tunas tergantung pada komposisi hormon yang digunakan. Tunas akan tumbuh apabila konsentrasi sitokinin lebih tinggi dibandingkan auksin dan sebaliknya apabila auksin lebih tinggi konsentrasinya maka yang tumbuh adalah tunas. Pada media MS1 PLB yang tumbuh sebesar 75%, pada MS2 PLB yang tumbuh sebanyak 100%. Pada media MS3 dan MS4 protocorm tumbuh sebanyak 100%. Pada media MS0 hanya terbentuk PLB 100%. Tabel 1. Persentase Protocorm Like Bodies anggrek G. scriptum yang terbentuk setelah umur 8 minggu. Jenis media Persentase (%)

MS0

MS1

MS2

MS3

MS4

100

100

75

100

100

Dari hasil persentase PLB tumbuh pada media, terlihat bahwa media MS0, media 2,4-D 0,5 mg/L, NAA 0,5 mg/L dan NAA 1 mg/L paling banyak dalam menginduksi PLB. Hal ini dapat disebabkan karena adanya hormon endogen yang berupa sitokinin yang menginduksi tumbuhnya PLB.

D

E

F

Gambar 1. Protocorm Like Bodies (PLB) anggrek G.scriptum yang terbentuk. (a). Pada media MS0 dengan umur 8 minggu. (b). Pada media MS1 dengan umur 8 minggu. (c). Pada media MS2 dengan umur 8 minggu. (d). Akar anggrek G.scriptum pada media MS2 dengan umur 8 minggu. (e). Pada media MS3 dengan umur 8 minggu. (f). Pada medai MS4 dengan umur 8 minggu. Garis = 0,5 cm.

70

Bioteknologi 9 (2): 66-72, November 2012

1 2

4

3

A

B

5

C Gambar 2. Potongan membujur Protocorm Like Bodies anggrek G. Scriptum pada umur 8 minggu. A. Potongan membujur Protocorm Like Bodies anggrek G. Scriptum pada perbesaran 100X. B. Bagian sel protocorm tempat inisiasi tunas pada umur 8 minggu dengan perbesaran 400X. C. Potongan membujur protocorm anggrek G.scriptum pada umur 8 minggu dengan perbesaran 400X. Keterangan: 1. Korteks, 2. Epidermis, 3. Berkas pengangkut, 4. CaOksalat bentuk jarum, 5. Bagian inisiasi tunas

Panjang Protocorm Like Bodies (PLB) Penelitian ini terdapat eksplan yang tumbuh menjadi PLB. Pada eksplan anggrek G. scriptum tersebut tidak terjadi proses embriogenesis melalui tahapan kalus, namun langsung terjadi organogenesis. Perkembangan PLB pada biji diawali dengan perubahan warna, biji membengkak, bentuk bulat, dan PLB sebelum berdeferensiasi menjadi organ, dan selanjutnya membentuk PLB dengan inisiasi daun (Abbas et al. 2011). Tabel 2. Rata-rata panjang potocorm like bodies anggrek G. scriptum pada umur 8 minggu.

yang mempunyai rata-rata panjang PLB paling tinggi dibandingkan media yang lain. Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa media MS1 merupakan media yang paling baik dalam pertumbuhan protocorm anggrek G. scriptum. Data tersebut kemudian dianalisis dengan dengan menggunakan uji ANAVA untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh jenis media terhadap panjang PLB. Berdasarkan hasil uji ANAVA menunjukkan hasil yang tidak beda nyata, dari hasil ini berarti jenis hormon yang digunakan tidak mempengaruhi panjang PLB G. scriptum.

Pertumbuhan akar Pada media MS0 sama sekali tidak Jenis media MS0 MS1 MS2 MS3 MS4 ditemukan akar yang tumbuh karena pada Panjang 0,775 0,875 0,700 0,525 0,625 media ini tidak ditambahkan hormon auksin. tunas (um) Pada media MS2 akar yang muncul sebanyak 25%. Pada media MS1, MS3 dan MS4 tidak ada akar yang terbentuk karena pada PLB proses deferensiasinya belum sempurna sama halnya Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa yang terjadi pada media MS0. Dari hasil panjang media MS1 (2.4 D 0.5mg/L) merupakan media akar yang muncul pada media perlakuan terlihat

LISNANDAR et al. – Pengaruh NAA dan 2.4 D pada induksi PLB Grammatophyllum scriptum

bahwa media MS2 adalah media yang paling baik dalam menginduksi akar pada eksplan anggrek G. scriptum. Media MS2 merupakan media yang menggunakan hormon 2,4-D sehingga dapat menginduksi akar dengan baik. Akar yang terbentuk pada kombinasi hormon 2,4-D dan kinetin berwarna hijau dan panjang, kombinasi hormon tersebut juga merupakn kombinasi yang cocok pada tanaman Boerhaavia diffusa (Kanfade et al. 2011). Eksplan selain dapat memproduksi hormon sitokinin, diduga memiliki kemampuan untuk memproduksi auksin secara endogen namun tidak sebanyak produksi hormon sitokinin. Penambahan auksin pada media kultur akan menyebabkan interaksi yang tidak seimbang dengan auksin endogen dan tidak dapat menghasilkan jumlah akar yang lebih banyak (Rahmaniar 2007).

71

Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya pengaruh pada eksplan dengan variasi hormon yang berbeda disetiap perlakuannya. Pada hasil penelitian terlihat bahwa hormon dapat mempengaruhi regenerasi dari eksplan G. scriptum yang ditanam dalam media. Media dengan bantuan hormon eksogen akan dapat menginduksi PLB dengan baik daripada media tanpa menggunakan hormon. Interaksi sitokinin dengan auksin selain dapat menghasilkan PLB juga dapat terjadi dalam menentukan pembentukan bakal batang dan akar pada kultur jaringan. Apabila perbandingan antara auksin dan sitokinin tinggi akan terjadi diferensiasi beberapa (tidak semua) sel kalus menjadi bakal akar. Jika kadar sitokinin lebih tinggi daripada auksin maka sel kalus berdiferensiasi menjadi meristem pucuk batang. Jadi apabila terjadi perubahan sedikit dalam Berat basah Protocorm Like Bodies (PLB) perbandingan auksin-sitokinin dapat berakibat Berat basah pada kultur in vitro dihitung pembentukan akar atau batang (Kusumo 1984). dengan cara menimbang media bersama botol Hormon auksin akan menginduksi sekresi dan tutup aluminium foil. PLB kemudian ion H+ keluar sel melalui dinding sel. dimasukkan ke dalam media yang telah Pengasaman dinding sel menyebabkan K+ ditimbang tersebut. Hasil yang didapat dari diambil dan pengambilan ini megurangi penimbangan media dan PLB merupakan berat potensial air dan sel, akibatnya air masuk ke total. Berat basah PLB didapat dengan cara, berat dalam sel dan sel membesar. Auksin juga total dikurangi berat media. mempengaruhi metabolisme RNA yang juga berarti metabolisme protein melalui transkripsi Tabel 3. Rata-rata Berat Basah Protocorm Like Bodies (Gunawan 1988). Auksin juga dapat (PLB). menghasilkan auksin terikat melalui pembentukan auksin konjugat, gugus karboksil Jenis media MS0 MS1 MS2 MS3 MS4 auksin bergabung secara kovalen dengan Rata-rata 0,524 0,31 0,400 0,830 0,515 molekul lain membentuk beberapa turunan. berat basah Auksin konjugat merupakan bentuk cadangan (g) auksin, sehingga apabila auksin masuk ke dalam jaringan maka auksin tersebut dapat terus berada dalam jaringan tersebut dalam waktu yang lama (Salisbury dan Ross 1992). Dari hasil rata-rata berat basah tunas dan Pada media MS0 yaitu media yang tidak akar didapatkan bahwa media MS0 lebih tinggi menggunakan hormon PLB terbentuk dengan dalam menginduksi pertumbuhan PLB. Hasil uji sempurna, sama halnya pada media dengan ANAVA menunjukan hasil yang tidak beda komposisi 0.5mg/L 2,4-D, 0.5 mg/L NAA dan 1 nyata, dari hasil ini berarti konsentrasi hormon mg/L NAA. Pada media dengan komposisi 1 yang digunakan tidak mempengaruhi terhadap mg/L 2,4-D terjadi perbedaan, yaitu tumbuh peningkatan berat basah tunas dan akar G. akar pada komposisi media tersebut. Menurut scriptum. De Pauw et al. (1995) pertumbuhan PLB sangat dipengaruhi oleh adanya hormon sitokinin yang Peran zat pengatur tumbuh (zpt) terhadap terdapat eksplan dan atau dalam media tumbuh. induksi eksplan Dalam kultur jaringan, dua golongan zpt Berdasarkan hal tersebut dimungkinkan pada yang sangat penting adalah auksin dan sitokinin. eksplan G. scriptum mengandung hormon Interaksi dan perimbangan antara zpt yang endogen dari golongan sitokinin yang cukup terkandung dalam media dan yang diproduksi sehingga dapat menginduksi PLB tanpa adanya oleh sel-sel endogen, menentukan arah tambahan hormon dari luar (hormon eksogen). perkembangan suatu kultur (Gunawan 1988).

72 KESIMPULAN Pada penelitian ini perlakuan dengan zpt 2,4D dan NAA tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan induksi tunas G. scriptum. Komposisi media yang optimal dalam pertumbuhan PLB terdapat pada media dengan 2,4-D 0,5 mg/L, sedangkan pada media dengan 2,4-D 1 mg/L selain dapat menginduksi PLB dapat pula menginduksi akar. DAFTAR PUSTAKA Abbas B, Listyorini FH, Amiriati B. 2011. In vitro seeds germination and planlets development of Grammatophyllum scriptum Lindl. Int Res J Plant Sci 2 (5): 154-159. Chang C, Ying CC, Hsin FY. 2005. Protocorm or rhizome? The morphology of seed germination in Cymbidium dayanum Reichb. Bot Bull Acad Sin 46: 71-74. De Pauw MA, Remphrey WR, Palmer CE. 1995. The Cytokinin preference for in vitro germination and protocorm growth of Cypripedium candidum. Ann Bot 75: 267-275. George EF, Sherrington PD. 1984. Plant propagation by tissue

Bioteknologi 9 (2): 66-72, November 2012 Culture. Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Exegenetic Limited, England. Gunawan LW. 1988. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi IPB, Bogor. Kanfade H, et al. 2011. In-vitro callus induction and shoot regeneration in Boerhaavia diffusa L. Ann Biol Res 2 (1): 142148. Kusumo S. 1984. Zat pengatur tumbuh tanaman. Yasaguna, Jakarta. Rahmaniar A. 2007. Pengaruh macam eksplan dan konsentrasi 2,4-D-Dichlorophenoxyacetic Acid (2,4-D) terhadap pertumbuhan Anthurium (Anthuriumm plowmanii Croat) pada Medium MS. [Skripsi]. Fakultas Pertanian UNS, Surakarta. Rahmatia D, Pitriana P. 2007. Bunga anggrek. JP BOOKS. Jakarta. Salisbury FB, CW Ross. 1992. Fisiologi tumbuhan. Jilid 3. ITB, Bandung. Syahid SF, Kristina NN, Seswita D. 2010. Pengaruh komposisi media terhadap petumbuhan kalus dan kadar tannin dari daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) secara in vitro. Jurnal LITTRI 16 (1): 1-5. Wattimena GA. 1988. Zat pengatur tumbuh tanaman. PAU IPB, Bogor. Zulkarnain. 2009. Kultur jaringan tanaman. Bumi Aksara, Jakarta.

Guidance for Authors Aims and Scope Bioteknologi encourages submission of manuscripts dealing with all aspects of biotechnology that emphasize issues germane to improve human life, including biochemistry, biomedical science, ecology and environmental science, genetics, molecular biology, physiology, and microbiology, plant and animal sciences. Manuscripts with relevance to develop advance in bioscience will be prioritized for publication.. Call for papers The journal seeks original full-length research papers, short research papers (short communication), reviews, monograph and letters to the editor about material previously published; especially for the research conducted in Indonesia, but also from around the world. Acceptance The acceptance of a paper implies that it has been reviewed and recommended by at least two reviewers, one of whom is from the Editorial Board. Authors will generally be notified of acceptance, rejection, or need for revision within 2 to 3 months of receipt. Manuscript is rejected if the content is not in line with the journal scope, dishonest, does not meet the required quality, written in inappropriate format, has incorrect grammar, or ignores correspondence in three months. The primary criteria for publication are scientific quality and improvement for human life significance. The accepted papers will be published in a chronological order. Copyright Submission of a manuscript implies that the submitted work has not been published before (except as part of a thesis or report, or abstract) or has not been published in Bahasa Indonesia; that it is not under consideration for publication elsewhere; that its publication has been approved by all co-authors. If and when the manuscript is accepted for publication, the author(s) agree to transfer copyright of the accepted manuscript to Bioteknologi. Authors shall no longer be allowed to publish manuscript without permission. Authors or others are allowed to multiply article as long as not for commercial purposes. For the new invention, authors are suggested to manage its patent before published. Open access The journal is committed to free open access that does not charge readers or their institutions for access. Users are entitled to read, download, copy, distribute, print, search, or link to the full texts of the articles, as long as not for commercial purposes. For the new invention, authors are suggested to manage its patent before published. Bioteknologi encourages submission of manuscripts dealing with all aspects of biotechnology that emphasize issues germane to improve human life, including biochemistry, biomedical science, ecology and environmental science, genetics, molecular biology, physiology, and microbiology, plant and animal sciences. Manuscripts with relevance to develop advance in bioscience will be prioritized for publication. Preparing the Manuscript Please make sure before submitting that: The manuscript is proofread several times by the author (s); and is criticized by some colleagues. The language is revised by a professional science editor. The structure of the manuscript follows the guidelines (sections, references, quality of the figures, etc). Abstract provides a clear view of the content of the paper and attracts potential citers. The number of cited references complies with the limits set by Bioteknologi (around 20 for research papers; 80% from the last 10 years). Microsoft Word files are required for all manuscripts. The manuscript should be as short as possible, and no longer than 7000 words (except for review), with the abstract < 300 words. For research paper, the manuscript should be arranged in the following sections and appear in order: Title, Abstract, Key words (arranged from A to Z), Running title (heading), Introduction, Materials and Methods, Results and Discussion, Conclusion, Acknowledgements, and References. All manuscripts must be written in clear and grammatically correct Bahasa Indonesia or English (U.S.). Scientific language, nomenclature and standard international units should be used. The title page should include: title of the article, full name, institution(s) and address(es) of author(s); the corresponding authors detailed postal and e-mail addresses, and phone and fax numbers. References Author-year citations are required. In the text give the authors name followed by the year of publication and arrange from oldest to newest and from A to Z. In citing an article written by two authors, both of them should be mentioned, however, for three and more authors only the first author is mentioned followed by et al., for example: Saharjo and Nurhayati (2006) or (Boonkerd 2003a, b, c; Sugiyarto 2004; El-Bana and Nijs 2005; Balagadde et al. 2008; Webb et al. 2008). Extent citation as shown with word “cit”should be avoided. Reference to unpublished data and

personal communication should not appear in the list but should be cited in the text only (e.g., Rifai MA 2007, personal communication; Setyawan AD 2007, unpublished data). In the reference list, the references should be listed in an alphabetical order. Names of journals should be abbreviated. Always use the standard abbreviation of a journal’s name according to the ISSN List of Title Word Abbreviations (www.issn.org/2-22661-LTWAonline.php). The following examples are for guidance. Journal: Saharjo BH, Nurhayati AD. 2006. Domination and composition structure change at hemic peat natural regeneration following burning; a case study in Pelalawan, Riau Province. Biodiversitas 7: 154-158. The usage of “et al” in long author lists will also be accepted: Smith J, Jones M Jr, Houghton L et al. 1999. Future of health insurance. N Engl J Med 965: 325–329 Article by DOI: Slifka MK, Whitton JL. 2000. Clinical implications of dysregulated cytokine production. J Mol Med. Doi:10.1007/s001090000086 Book: Rai MK, Carpinella C. 2006. Naturally occurring bioactive compounds. Elsevier, Amsterdam. Book Chapter: Webb CO, Cannon CH, Davies SJ. 2008. Ecological organization, biogeography, and the phylogenetic structure of rainforest tree communities. In: Carson W, Schnitzer S (eds) Tropical forest community ecology. Wiley-Blackwell, New York. Abstract: Assaeed AM. 2007. Seed production and dispersal of Rhazya stricta. 50th annual symposium of the International Association for Vegetation Science, Swansea, UK, 23-27 July 2007. Proceeding: Alikodra HS. 2000. Biodiversity for development of local autonomous government. In: Setyawan AD, Sutarno (eds) Toward mount Lawu national park; proceeding of national seminary and workshop on biodiversity conservation to protect and save germplasm in Java island. Sebelas Maret University, Surakarta, 17-20 July 2000. [Indonesia] Thesis, Dissertation: Sugiyarto. 2004. Soil macro-invertebrates diversity and inter-cropping plants productivity in agroforestry system based on sengon. [Dissertation]. Brawijaya University, Malang. [Indonesia] Online document: Balagadde FK, Song H, Ozaki J, Collins CH, Barnet M, Arnold FH, Quake SR, You L. 2008. A synthetic Escherichia coli predator-prey ecosystem. Mol Syst Biol 4: 187. www.molecularsystemsbiology.com Tables should be numbered consecutively and accompanied by a title at the top. Figures Do not use figures that duplicate matter in tables. Figures can be supplied in digital format, or photographs and drawings, which can be ready for reproduction. Label each figure with figure number consecutively. Uncorrection proofs will be sent to the corresponding author by e-mail as .doc or .docx files for checking and correcting of typographical errors. To avoid delay in publication, proofs should be returned in 7 days. Charge Upon acceptance it is required to remit the sum of IDR 250,000,plus postal cost or IDR 150,000,- for SIB members (no postal cost) to the Bioteknologi together with the galley proof. But, until this year all processes are free of charge There is also free of charge for non Indonesian author(s), but need to pay postal cost for hardcopy. Reprints Two copies of journal will be supplied to authors; reprint is only available with special request. Additional copies may be purchased by order when sending back the uncorrected proofs by e-mail. Disclaimer No responsibility is assumed by publisher and co-publishers, nor by the editors for any injury and/or damage to persons or property as a result of any actual or alleged libelous statements, infringement of intellectual property or privacy rights, or products liability, whether resulting from negligence or otherwise, or from any use or operation of any ideas, instructions, procedures, products or methods contained in the material therein.

| Bioteknologi | vol. 9 | no. 2 | pp. 35-72 | November 2012 | | ISSN: 0216‐6887 | EISSN: 2301-8658 |

Pengaruh suplementasi Bacillus sp. melalui perifiton terhadap jumlah total mikroba intestinal dan gambaran darah ikan gurami (Osphronemus gouramy) KHALWAN, AGUS IRIANTO, FARIDA NUR RACHMAWATI

35-40

Pengaruh penambahan molase pada produksi enzim xilanase oleh fungi Aspergillus niger dengan substrat jerami padi NUR WAHYU INDIRA PANGESTI, ARTINI PANGASTUTI, ESTU RETNANINGTYAS N.

41-48

Keragaman genetik simbion alga Zooxanthellae pada anemone laut Stichodactyla gigantea (Forsskal 1775) hasil reproduksi aseksual M. AHSIN RIFA’I

49-56

Preferensi makan rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen (Blattodea: Termitidae) terhadap kayu pinus (Pinus merkusii) NIKEN SUBEKTI

57-65

Pengaruh pemberian variasi konsentrasi NAA (α-naphthaleneacetic acid) dan 2.4 D terhadap induksi protocorm like bodies (PLB) anggrek macan (Grammatophyllum scriptum (Lindl.) DEA SYLVA LISNANDAR, WIDYA MUDYANTINI, ARI PITOYO

66-72

Dicetak di Indonesia

Terbit dua kali setahun