COVER+ RINGKASAN

Download Komponen aktif yang bersifat polar dapat bercampur dengan asam asetat. (cuka pasar) yang juga bersifat polar pada proses pencampuran. Hasil...

0 downloads 637 Views 735KB Size
SKRIPSI

PENGARUH PENGGUNAAN ASAM ASETAT DAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP DAYA AWET DAN MUTU SENSORI PRODUK MIE BASAH MATANG PADA PENYIMPANAN SUHU RUANG

Oleh MUTIARA UTAMI F24050112

2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Mutiara Utami. F24050112. Pengaruh Penggunaan Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Daya Awet dan Mutu Sensori Produk Mie Basah Matang pada Penyimpanan Suhu Ruang. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto. RINGKASAN Berdasarkan proses pembuatannya, mie basah yang beredar di pasaran dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Mie basah mentah tidak dimasak terlebih dahulu sebelum dijual dan memiliki kadar air sekitar 35%, sedangkan mie basah matang mengalami perebusan terlebih dahulu sehingga mengandung kadar air sekitar 52%. Hal inilah yang menyebabkan mie basah matang cepat mengalami kerusakan walaupun disimpan pada suhu refrigerator. Salah satu usaha yang dilakukan untuk mempertahankan keawetannya yaitu dengan mencampurkan bahan kimia pengawet non pangan yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah Indonesia, seperti formalin dan boraks. Formalin dan boraks berbahaya bagi kesehatan bila dikonsumsi oleh manusia. Formalin dapat mengawetkan mie basah matang hingga 14 hari dengan biaya sekitar Rp12.43/kg sehingga banyak digunakan oleh produsen mie basah matang. Usaha untuk menemukan larutan pengawet yang mampu mempertahankan umur simpan mie basah matang serta bersifat aman dan ekonomis perlu dilakukan untuk mengurangi maraknya penggunaan formalin dan boraks di pasaran. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan larutan pengawet mie basah matang yang efektif, murah, dan aman. Larutan pengawet diharapkan dapat mempertahankan mutu mie basah matang minimal 4 hari, tanpa mempengaruhi aspek penerimaan konsumen serta dapat diaplikasikan dengan biaya yang relatif murah, yaitu sekitar Rp20/kg. Larutan pengawet dibuat dari campuran cuka pasar yang mengandung asam asetat dan ekstrak bawang putih. Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi bawang putih dengan cara perebusan bawang putih segar, perebusan bawang putih kering, maserasi pelarut bertingkat, dan maserasi pelarut air. Ekstrak bawang putih dicampurkan dengan cuka pasar untuk memperoleh larutan biang yang memiliki pH ≤ 3 serta rasa tidak asam. Pada penelitian utama, larutan biang ditambahkan ke dalam mie basah matang dengan metode pencelupan (coating) untuk melihat keefektifannya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Mie basah matang lalu disimpan di suhu ruang untuk mengetahui daya awet dan dilakukan analisis total mikroba, pH, total asam, warna, dan tekstur hingga mie basah matang mengalami kerusakan. Analisis dilakukan dengan dua kali ulangan. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap mie basah matang hasil pencelupan. Analisis biaya dilakukan untuk mengetahui besar biaya yang diperlukan untuk membuat larutan pengawet dari ekstrak bawang putih dan cuka pasar untuk mie basah matang. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, larutan biang yang diperoleh yaitu campuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih hasil maserasi pelarut air (larutan biang A) dan maserasi pelarut etanol (larutan biang E) dengan perbandingan cuka pasar:ekstrak bawang putih 7:3. Larutan pengawet yang

digunakan pada penelitian utama merupakan hasil pengenceran 5% (larutan A1, E1), 10% (larutan A2, E2), dan 15% (larutan A3, E3) dari masing-masing larutan biang. Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa larutan pengawet A dan E mampu mempertahankan umur simpan mie basah matang hingga penyimpanan 4 hari. Larutan pengawet A2 yang memiliki kandungan asam asetat sebesar 1.75% merupakan larutan pengawet terbaik untuk mempertahankan mutu mie basah matang selama penyimpanan. Berdasarkan analisis total mikroba, larutan A2 mampu mempertahankan mutu mikrobiologi mie basah matang hingga penyimpanan hari ke-4, yaitu sebesar 2.5 x 105 koloni/g. Jumlah total mikroba mie basah matang ini tidak melebihi syarat angka lempeng total berdasarkan SNI, yaitu sebesar 1.0 x 106 koloni/g. Mie basah matang dengan pencelupan larutan A2 memiliki pH sebesar 4.20 serta nilai total asam sebesar 4.79% pada penyimpanan hari ke-4. Tingkat kecerahan dan oHue mie basah matang tersebut pada penyimpanan hari ke-4 yaitu 62.54 dan 79.69, yang menunjukkan warna kuning khas mie basah matang. Gaya putus serta persen elongasi mie basah matang tersebut yaitu sebesar 6.75 gf dan 8.64%. Uji organoleptik menunjukkan bahwa mie basah matang yang dicelup larutan A2 dapat diterima secara keseluruhan oleh panelis. Mie basah matang yang dicelup larutan A2 memiliki nilai sensori sebesar 3.13 dari 5 skala uji hedonik. Mie basah matang tersebut tidak berbeda nyata dengan mie kontrol. Biaya pengawetan mie basah matang menggunakan larutan A2 yaitu Rp18.9/kg mie basah matang, lebih mahal bila dibandingkan dengan biaya pengawetan mie menggunakan formalin 1.75%, sebesar Rp12.43/kg mie basah matang. Namun, biaya pengawetan menggunakan larutan A2 telah memenuhi tolak ukur keberhasilan penelitian, yaitu kurang dari Rp20/kg mie basah matang. Berdasarkan kemampuan mempertahankan umur simpan dan mutu mie basah matang serta faktor biaya, dapat disimpulkan bahwa larutan pengawet terpilih dari penelitian ini yaitu larutan A2. Larutan ini dapat mempertahankan mutu mie basah matang hingga 4 hari penyimpanan serta mengandung asam asetat sebesar 1.75% dan ekstrak bawang putih hasil maserasi menggunakan pelarut air. Biaya pengawetan menggunakan larutan pengawet A2 yaitu sebesar Rp18.9/kg mie basah matang.

PENGARUH PENGGUNAAN ASAM ASETAT DAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP DAYA AWET DAN MUTU SENSORI PRODUK MIE BASAH MATANG PADA PENYIMPANAN SUHU RUANG

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh MUTIARA UTAMI F24050112

2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PENGARUH PENGGUNAAN ASAM ASETAT DAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP DAYA AWET DAN MUTU SENSORI PRODUK MIE BASAH MATANG PADA PENYIMPANAN SUHU RUANG

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh MUTIARA UTAMI F24050112

Dilahirkan pada tanggal 7 Agustus 1987 di Bogor

Tanggal Lulus : 7 Agustus 2009

Menyetujui, Bogor,

2009

Dr. Ir Joko Hermanianto Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan ridho-Nya skripsi berjudul “Pengaruh Penggunaan Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Daya Awet dan Mutu Sensori Produk Mie Basah Matang pada Penyimpanan Suhu Ruang” dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Mama dan Ayah, atas segala kasih sayang, dukungan, dan rasa percaya yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Mochammad Jordanis Akbar dan Maudia Camalin, atas semua canda, tawa, dan kasih sayang yang membuat penulis terus bersemangat dan merasa berarti. 2. Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing, atas segala nasehat, arahan, bimbingan, motivasi, bantuan, dan kesabaran hingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik. 3. Elvira Syamsir, S.Tp, M. Si dan Dr. Ir. Sukarno, M. Sc selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji, masukan serta saran yang sangat berarti. 4. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat hingga akhir hayat kelak. 5. Seluruh teknisi dan laboran Departemen ITP: Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Rojak, Pak Sobirin, Pak Sidik, Bu Rubiah, Mas Edi, Mba Ida, Pak Yahya, dan Mba Darsih, terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian. 6. Teman satu bimbingan : Nina N, Mujiono, Nanda H, Kak Cici, Kak Nene, dan Kak Dodi, atas segala bantuan dan kebersamaan. 7. Nur Annisa U, Priyanka, Fahmi N, atas persahabatan, kebersamaan, dan keceriaan yang sangat berharga. 8. Ferawati, Umam, Beki, Wahyu, Wiwi, dan Aji, terima kasih untuk semua pengalaman, perjalanan, kebersamaan, dan kepercayaan untuk terus berlari menggapai mimpi.

9. Seluruh penghuni Pondok Adinda : Amanda, Uli, Eno, Dewi, Upil, Mba Lina, Mba Winny, Ria, Madam, Mba Mufid, Mba Ulan, Fanny, Sulis, dan Mba Arta, atas segala keceriaan, persahabatan, kenyamanan, dan pengalaman yang mendewasakan penulis. 10. Semua anggota Gentra Kaheman, for being my second home, always. 11. Rekan-rekan lab : Tuti, Dewi, Haris, Adi Leo, Galih Ika, Galih Eka, Khrisia, Sisi, Ikhwan, Beli, Midun, Tjan, Olo, Ola, Arya, Dion, Shanty, Hesti, Cath, Dila, Ester, Dina, Yuni, Atus, Yusi, Reni, Riska, Septi, atas bantuan, kerjasama, semangat, dan kebersamaan yang menyenangkan. 12. Dita Adi, Rika N, Manik, dan Nadia, atas persahabatan dan kerjasama saat PKM 2008. 13. Kamalita, Twie, Venty, Difa, Reriel, Harist, Riza, Didot, Nina SR, Yupi, Cany, Sina, Mike, Wita, Marina, dan seluruh teman-teman ITP 42, terima kasih atas persahabatan, keceriaan, dan semangat yang selalu menjadi proses pendewasaan tersendiri bagi penulis. 14. Keluarga besar ITP angkatan 41, 43, 44 atas kebersamaannya selama ini. 15. Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah hingga penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan dan terhadap pengembangan ilmu, khususnya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB.

Bogor, Agustus 2009

Penulis

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 7 Agustus 1987. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari keluarga Bapak Kamaluddin dan Ibu Entin Hartini. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di TK Aisyiyah Busthanul Athfal pada tahun 1992-1993, menempuh pendidikan dasar di SDN Cinangka 02 pada tahun 1993-1999, pendidikan lanjutan di SLTPN 2 Ciputat pada tahun 19992002, dan SMAN 1 Ciputat pada tahun 2002-2005. Penulis lulus seleksi penerimaan mahasiswa IPB pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif di bidang akademik dan non akademik. Di bidang akademik, penulis aktif dalam kegiatan penulisan karya ilmiah, diantaranya “Pemanfaatan Limbah Kulit Pisang Nangka Sebagai Alternatif Pembuatan Sirup Xylitol Berindeks Glisemik Rendah” dan “Minuman Serbuk Berenzim Untuk Peningkatan Penyerapan Nutrisi Pada Masa Pertumbuhan Anak Dengan In Vivo Pada Mencit” pada Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang penelitian pada tahun 2007-2008 serta “Emergency Food Product Innovation : The Role of Food and Technology Student in Social Based Research” pada National Food Conference: Lifestyle & Health Reconciled Unika Soegijapranata Semarang. Di bidang non akademik, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman IPB sebagai Koordinator Divisi Informasi Komunikasi (2006-2007) dan Bendahara Umum (2007-2008). Penulis juga merupakan salah satu finalis The 6th Edition of Trust By Danone-The Danone Way of Doing Business 2008. Beberapa kepanitiaan yang pernah diikuti oleh penulis diantaranya HACCP V Seminar and Training, HIMITEPA-IPB (Bendahara, 2007), The Concert of Sundanese Art “Kisundamidang 4” and Indonesia’s Book of Record (MURI) on Rampak Suling, Gentra Kaheman (Humas, 2007), The Colaboration Concert of Art, IPB (Event Organizer, 2007), dan The 7th National Student’s Paper Competition – HIMITEPA, IPB (Sekretaris, 2008). Penulis merupakan Asisten Praktikum Fisika Dasar IPB periode 2007-2008 serta pernah menjalani magang di PT Madusari Nusaperdana (2008). Penulis menyelesaikan tugas akhirnya yang berupa penelitian dengan judul “Pengaruh Penggunaan Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) terhadap Daya Awet dan Mutu Sensori Produk Mie Basah Matang pada Penyimpanan Suhu Ruang” di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto.

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

xi

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................

xiii

I. PENDAHULUAN .................................................................................. A. LATAR BELAKANG ...................................................................... B. TUJUAN PENELITIAN................................................................... C. TOLAK UKUR KEBERHASILAN PENELITIAN......................... D. MANFAAT PENELITIAN...............................................................

1 1 2 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... A. ASAM ASETAT............................................................................... B. BAWANG PUTIH 1. Botani Bawang Putih .................................................................... 2. Komponen Aktif Bawang Putih…………………………………. 3. Sifat Antimikroba Bawang Putih................................................... C. EKSTRAKSI..................................................................................... 1. Ekstraksi dengan Pelarut................................................................ 2. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Proses Ekstraksi.................. 3. Teknik Ekstraksi............................................................................ D. MIE BASAH MATANG .................................................................. 1. Definisi Mie................................................................................... 2. Jenis Mie....................................................................................... 3. Pembuatan Mie Basah Matang...................................................... 4. Kerusakan Mie Basah Matang......................................................

4 4 7 7 10 11 11 14 15 17 19 18 20 22

III. METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. A. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... B. METODE PENELITIAN.................................................................. 1. Penelitian Pendahuluan ................................................................. 1.1. Tahapan pendahuluan pada bawang putih ........................... 1.2. Ekstraksi Metode Perebusan ................................................ 1.3. Ekstraksi Metode Maserasi .................................................. 2. Penelitian Utama ........................................................................... 2.1. Cara Memperoleh Mie Basah Matang.................................. 2.2. Pencelupan Mie Basah Matang............................................ C. PERLAKUAN................................................................................... 1. Jenis Larutan Biang....................................................................... 2. Konsentrasi Pengenceran Larutan Terpilih................................... D. PENGAMATAN............................................................................... 1. Total Mikroba................................................................................ 2. pH..................................................................................................

24 24 24 24 24 26 29 34 35 36 37 37 37 38 38 39

3. Total Asam Tertitrasi................................................................... . 4. Intensitas Warna............................................................................ 5. Tekstur.......................................................................................... 6. Uji Organoleptik............................................................................ 7. Uji Statistik.................................................................................... 8. Analisis Biaya................................................................................ 9. Penyimpanan.................................................................................

39 39 40 41 41 42 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... A. PENELITIAN PENDAHULUAN .................................................... 1. Tahapan Pendahuluan pada Bawang Putih ................................... 2. Ekstraksi Bawang Putih Metode Perebusan.................................. 3. Ekstraksi Bawang Putih Metode Maserasi Bertingkat.................. 4. Ekstraksi Bawang Putih Metode Maserasi Air.............................. 5. Proses Pencampuran (Mixing) Cuka Pasar dengan Ekstrak Bawang Putih............................................................................... 5.1. Pencampuran Cuka Pasar : Ekstrak Bawang Putih Metode Perebusan................................................................. 5.2. Pencampuran Cuka Pasar : Ekstrak Bawang Putih Metode Maserasi Pelarut Air dan Etanol............................................ B. PENELITIAN UTAMA.................................................................... 1. Total Mikroba................................................................................ 2. Derajat Keasaman (pH)................................................................. 3. Total Asam Tertitrasi .................................................................... 4. Warna ............................................................................................ 5. Tekstur .......................................................................................... 6. Uji Organoleptik............................................................................ 6.1. Aroma...................................................................................... 6.2. Rasa......................................................................................... 6.3. Tekstur................................................................................ .... 6.4.Overall...................................................................................... 7. Analisis Biaya ....................................................... ………………

43 43 43 46 47 48 49 50 53 57 60 66 71 77 85 92 93 94 96 97 98

V. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. .. 101 A. KESIMPULAN ................................................................................. 101 B. SARAN ............................................................................................. 102 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 103 LAMPIRAN.................................................................................................. 112

ix

DAFTAR TABEL Halaman 1

Efektifitas antimikroba asam asetat .....................................................

5

2

Nilai konstanta dielektrik pelarut organik pada 20 oC .........................

13

3

Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992) .......................................

18

4

Komposisi nilai gizi mie basah ............................................................

20

5

Perbandingan asam asetat 25% dan ekstrak bawang putih metode perebusan.................................................................................

29

Perbandingan asam asetat 25% dan ekstrak bawang putih metode maserasi ...................................................................................

33

7

Besar pengenceran larutan biang..........................................................

34

8

Besar optimasi pengenceran larutan biang...........................................

35

9

Perhitungan nilai oHue .........................................................................

40

10

Skala pengukuran uji hedonik

...........................................................

41

11

Rendemen bawang putih segar.............................................................

44

12

Rendemen bawang putih kering...........................................................

45

13

Rendemen bawang putih ......................................................................

45

14

Ekstrak bawang putih metode perebusan.............................................

46

15

Hasil pengukuran pH dan rasa campuran cuka pasar : ekstrak bawang putih metode perebusan.........................................................

50

Hasil pengukuran pH dan rasa campuran cuka pasar : ekstrak bawang putih maserasi air dan etanol ..................................................

54

Kandungan asam asetat pada larutan biang A dan E yang diencerkan ............................................................................................

57

18

Besar optimasi pengenceran larutan biang...........................................

60

19

Asumsi harga etanol 70% berdasarkan penurunan konsentrasi ...........

99

20

Harga bahan baku pengawetan mie basah matang...............................

99

21

Besar biaya pembuatan larutan pengawet A dan E..............................

99

22

Besar biaya pengawetan mie basah matang ......................................... 100

6

16 17

x

DAFTAR GAMBAR Halaman 1

Bawang putih .......................................................................................

7

2

Degradasi enzimatik dan non enzimatik aliin ......................................

9

3

Struktur kimia alisin.............................................................................

9

4

Tahapan persiapan bawang putih ekstraksi maserasi...........................

26

5

Tahapan ekstraksi bawang putih segar metode perebusan dengan pelarut air.................................................................................

27

Tahapan ekstraksi bawang putih kering metode perebusan dengan pelarut air.................................................................................

28

7

Ekstraksi maserasi bertingkat bawang putih ........................................

31

8

Tahapan ekstraksi bawang putih metode maserasi dengan pelarut air .............................................................................................

32

9

Ekstrak bawang putih sebelum mengalami penyaringan .....................

48

10

Grafik total mikroba mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air .....................................................

61

Grafik total mikroba mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol ...............................................

64

Grafik nilai pH mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air..................................................................

67

Grafik nilai pH mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol ................................................

70

Grafik total asam tertitrasi mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air ..................................

72

Grafik total asam tertitrasi mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol.............................

75

Grafik tingkat kecerahan (Lightness) mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air......................

78

Grafik tingkat kecerahan (Lightness) mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol ................

79

Grafik oHue mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air..................................................................

82

6

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

o

Grafik Hue mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol ................................................

84

Grafik nilai gaya putus mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air.....................................................

86

xi

21 22 23 24

Grafik nilai gaya putus mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol................................................

88

Grafik nilai persen elongasi mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air ..................................

89

Grafik nilai persen elongasi mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol............................

91

Skor masing-masing kesukaan panelis terhadap mie basah matang ..................................................................................................

93

xii

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1

Fomulasi mie basah standar ................................................................. 112

2

Diagram alir pembuatan mie basah secara umum................................ 112

3

Perhitungan kandungan asam asetat tiap pengenceran ........................ 112

4

Hasil pengamatan visual mie basah matang larutan biang maserasi etanol....................................................................................

113

5

Hasil pengamatan visual mie basah matang larutan biang maserasi air........................................................................................... 114

6

Hasil pengamatan total mikroba mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air........................... 115

7

Hasil pengamatan total mikroba mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol..................... 115

8

Hasil pengukuran pH mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air .......................................... 116

9

Hasil pengukuran pH mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol...................................... 116

10

Hasil pengukuran total asam mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air............................................ 116

11

Hasil pengukuran total asam mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol...................................... 117

12

Hasil pengukuran tingkat kecerahan (Lightness) mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air.............. 117

13

Hasil pengukuran tingkat kecerahan (Lightness) mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol....................................................................................................

117

14

Hasil pengukuran nilai oHue mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air ........................................... 118

15

Hasil pengukuran nilai oHue mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol...................................... 118

16

Hasil pengukuran nilai gaya putus mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air .......................... 118

17

Hasil pengukuran nilai gaya putus mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol..................... 119

18

Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan terhadap atribut aroma.......................................................................... 120

xiii

19

Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan terhadap atribut rasa.............................................................................

121

20

Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan terhadap atribut tekstur......................................................................... 122

21

Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan terhadap overall.................................................................................... 123

22

Analisis sidik ragam total mikroba penelitian utama mie basah matang hari ke-0........................................................................ 124

23

Analisis sidik ragam total mikroba penelitian utama mie basah matang hari ke-1........................................................................ 125

24

Analisis sidik ragam total mikroba penelitian utama mie basah matang hari ke-2......................................................................... 126

25

Analisis sidik ragam total mikroba penelitian utama mie basah matang hari ke-3......................................................................... 127

26

Analisis sidik ragam total mikroba penelitian utama mie basah matang hari ke-4......................................................................... 128

27

Analisis sidik ragam nilai pH penelitian utama mie basah matang hari ke-0................................................................................... 129

28

Analisis sidik ragam nilai pH penelitian utama mie basah matang hari ke-1................................................................................... 130

29

Analisis sidik ragam nilai pH penelitian utama mie basah matang hari ke-2……………………………………………................ 131

30

Analisis sidik ragam nilai pH penelitian utama mie basah matang hari ke-3................................................................................... 132

31

Analisis sidik ragam nilai pH penelitian utama mie basah matang hari ke-4................................................................................... 133

32

Analisis sidik ragam nilai total asam tertitrasi penelitian utama mie basah matang hari ke-0....................................................... 134

33

Analisis sidik ragam nilai total asam tertitrasi penelitian utama mie basah matang hari ke-1....................................................... 135

34

Analisis sidik ragam nilai total asam tertitrasi penelitian utama mie basah matang hari ke-2...................................................... 136

35

Analisis sidik ragam nilai total asam tertitrasi penelitian utama mie basah matang hari ke-3....................................................... 137

36

Analisis sidik ragam nilai total asam tertitrasi penelitian utama mie basah matang hari ke-4....................................................... 138

37

Analisis sidik ragam tingkat kecerahan (L) penelitian utama mie basah matang hari ke-0....................................................... 139

xiv

38

Analisis sidik ragam tingkat kecerahan (L) penelitian utama mie basah matang hari ke-1....................................................... 140

39

Analisis sidik ragam tingkat kecerahan (L) penelitian utama mie basah matang hari ke-2....................................................... 141

40

Analisis sidik ragam tingkat kecerahan (L) penelitian utama mie basah matang hari ke-3....................................................... 142

41

Analisis sidik ragam tingkat kecerahan (L) penelitian utama mie basah matang hari ke-4....................................................... 143

42

Analisis sidik ragam nilai oHue penelitian utama mie basah matang hari ke-0................................................................................... 144

43

Analisis sidik ragam nilai oHue penelitian utama mie basah matang hari ke-1.................................................................................. 145

44

Analisis sidik ragam nilai oHue penelitian utama mie basah matang hari ke-2.................................................................................. 146

45

Analisis sidik ragam nilai oHue penelitian utama mie basah matang hari ke-3................................................................................... 147

46

Analisis sidik ragam nilai oHue penelitian utama mie basah matang hari ke-4................................................................................... 148

47

Analisis sidik ragam nilai gaya putus penelitian utama mie basah matang hari ke-0......................................................................... 149

48

Analisis sidik ragam nilai gaya putus penelitian utama mie basah matang hari ke-1......................................................................... 150

49

Analisis sidik ragam nilai gaya putus penelitian utama mie basah matang hari ke-2......................................................................... 151

50

Analisis sidik ragam nilai gaya putus penelitian utama mie basah matang hari ke-3......................................................................... 152

51

Analisis sidik ragam nilai gaya putus penelitian utama mie basah matang hari ke-4......................................................................... 153

52

Analisis sidik ragam nilai persen elongasi penelitian utama mie basah matang hari ke-0.................................................................. 154

53

Analisis sidik ragam nilai persen elongasi penelitian utama mie basah matang hari ke-1.................................................................. 155

54

Analisis sidik ragam nilai persen elongasi penelitian utama mie basah matang hari ke-2.................................................................. 156

55

Analisis sidik ragam nilai persen elongasi penelitian utama mie basah matang hari ke-3.................................................................. 157

56

Analisis sidik ragam nilai persen elongasi penelitian utama mie basah matang hari ke-4 ................................................................ 158

57

Analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut aroma .................... 159

xv

58

Analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut rasa ........................ 160

59

Analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut tekstur.................... 161

60

Analisis sidik ragam uji hedonik terhadap atribut overall.................... 161

61

Hasil pengukuran nilai persen elongasi mie basah matang pencelupan larutan A............................................................... 162

62

Hasil pengukuran nilai persen elongasi mie basah matang pencelupan larutan E ............................................................... 162

63

Daftar Harga Pengawet ........................................................................ 162

64

Analisis Biaya Larutan Stock Asam Asetat 25% dan Ekstrak Air Bawang Putih (7:3). .......................................................... 163

65

Analisis Biaya Larutan Stock Asam Asetat 25% dan Ekstrak Etanol Bawang Putih (7:3)...................................................... 164

66

Biaya pengawetan mie basah matang dengan larutan hasil ekstraksi air bawang putih per kilogram .............................................. 165

67

Biaya pengawetan mie basah matang dengan larutan hasil ekstraksi etanol bawang putih per kilogram......................................... 166

68

Biaya pengawetan mie basah matang dengan formalin per kilogram ......................................................................................... 167

69

Kuesioner uji hedonik mie basah matang ............................................ 168

xvi

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Badan Standardisasi Nasional (1992) mendefinisikan mie basah sebagai produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, serta berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Berdasarkan proses pembuatannya, mie basah yang beredar di pasaran dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang. Mie basah mentah tidak dimasak lebih dahulu sebelum dijual dan memiliki kadar air sekitar 35%, sedangkan mie basah matang mengalami perebusan terlebih dahulu serta penambahan minyak, sehingga kadar airnya sekitar 52% (Astawan 2005). Kadar air yang tinggi inilah yang menyebabkan mie basah matang cepat mengalami kerusakan walaupun disimpan pada suhu refrigerator, yaitu selama 24 jam (Yuniar 2004). Banyak usaha dilakukan untuk mempertahankan keawetan mie basah matang, diantaranya dengan mencampurkan bahan kimia pengawet non pangan yang dilarang penggunaannya oleh pemerintah Indonesia, seperti formalin dan boraks. National Toxicology Program menyebutkan bahwa formalin dapat bersifat karsinogen pada manusia. Formalin yang bersifat racun tersebut tidak termasuk dalam daftar bahan tambahan makanan (additive) pada Codex Alimentarius maupun yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI (Winarno et al. 1994). Food Standard Committee (FSC) pada tahun 1959 menyatakan bahwa boraks bersifat kumulatif (menimbulkan efek dengan penambahan berturut-turut) yang dapat membahayakan tubuh manusia. Menurut Astawan (2005), kandungan boraks yang mencapai 5 gram atau lebih pada anak kecil dan bayi dapat menyebabkan kematian. Kandungan boraks pada orang dewasa yang dapat menyebabkan kematian yaitu 10-20 gram atau lebih. Formalin dapat mengawetkan mie basah matang hingga 14 hari dengan biaya sekitar Rp12.43/kg sehingga banyak digunakan oleh produsen maupun penjual mie basah matang. Pengawet yang dapat mempertahankan umur

simpan mie basah matang serta bersifat aman dan ekonomis diperlukan untuk mengurangi maraknya penggunaan formalin dan boraks di pasaran. Berdasarkan penelitian terdahulu oleh Ferdiani (2008), diketahui bahwa mie basah matang dapat awet hingga 4 hari melalui coating asam asetat 2%. Namun mie basah matang tersebut masih memiliki rasa dan bau asam yang berasal dari asam asetat, menyebabkan mie kurang bisa diterima secara sensori sehingga diperlukan bahan tambahan lain yang dapat menutupi rasa asam. Penggunaan campuran asam asetat dari cuka pasar dan ekstrak bawang putih pada produk mie basah matang sebagai bahan pengawet diharapkan dapat menggantikan peran formalin dan boraks dan diterima secara organoleptik. Ekstrak bawang putih digunakan untuk menutupi rasa dan bau asam pada produk akibat penggunaan asam asetat yang dapat mempengaruhi penerimaan produk secara organoleptik. Pengawet alami ini diharapkan dapat menghilangkan

kekhawatiran

konsumen

akan

keamanan

dalam

mengkonsumsi produk mie basah matang.

B. TUJUAN PENELITIAN 1. Menemukan pengawet mie basah matang yang efektif, murah, dan aman. 2. Hasil penelitian dapat diaplikasikan secara nyata di masyarakat. 3. Memperoleh larutan pengawet yang juga memiliki efek antioksidan dari bawang putih.

C. TOLAK UKUR KEBERHASILAN PENELITIAN 1. Penggunaan larutan pengawet mampu mempertahankan mutu produk mie basah matang pada penyimpanan suhu ruang minimal 4 hari. 2. Penggunaan larutan pengawet pada produk mie basah matang dapat diterima oleh konsumen secara organoleptik berdasarkan uji hedonik dengan skala 1 hingga 5. 3. Biaya pengawetan relatif murah, yaitu sekitar Rp20/kg.

2

D. MANFAAT Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi produsen, pedagang mie basah matang, serta masyarakat sebagai konsumen. Produsen dan pedagang produk mie basah matang diharapkan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai pengawet pengganti formalin dan boraks dengan harga yang relatif murah. Kekhawatiran yang selama ini dirasakan masyarakat terkait penggunaan formalin dan boraks dalam produk mie basah matang pun diharapkan dapat hilang.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. ASAM ASETAT Asam asetat (CH3COOH) merupakan cairan tak berwarna yang memiliki bau menyengat dan rasa yang asam (Marshall et al. 2000). Asam asetat memiliki kelarutan yang tinggi di dalam air (Davidson dan Branen 1993). Asam asetat merupakan salah satu jenis asam yang paling banyak digunakan dalam bahan pangan. Asam organik ini dianggap aman atau Generally Recognized as Safe (GRAS) dalam pemakaiannya untuk berbagai kebutuhan pangan. Asam asetat memiliki kemampuan dalam menurunkan pH makanan-makanan yang diasamkan dengan tetap menjaga kualitas, rasa, dan keamanan produk (Dalujati 2004). Asam asetat merupakan kelompok asam lemah. Meskipun demikian, asam ini memiliki kemampuan untuk meracuni mikroba. Hal ini berhubungan dengan kemampuan asam lemah dalam menembus membran plasma mikroba lebih efektif dalam bentuk terprotonasi, dan akan sangat efektif dalam bentuk tak terdisosiasi (Davidson 2001). Oleh karena itu, pKa (pH dimana 50% asam berada dalam bentuk tak terdisosiasi) dari asam organik sangat penting untuk pemilihan bahan pengawet untuk aplikasi yang spesifik. pKa sangat berhubungan erat dengan konstanta asam (Ka) karena pKa = -log Ka. Dari persamaan ini dapat dijelaskan bahwa semakin besar nilai Ka, maka semakin kecil nilai pKa, atau semakin kuat suatu asam. Sebaliknya, semakin besar nilai pKa maka semakin lemah sifat asamnya. Menurut Andersen et al. (1977), penurunan jumlah mikroba terhitung sebesar 99.6% pada daging dengan menggunakan asam asetat berkonsentrasi 3%. Gould (1995) menyatakan bahwa dari 13 asam yang bertindak sebagai inhibitor terhadap Salmonella, direkomendasikan asam asetat sebagai asam yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan Salmonella dan S. enteritidis. Asam asetat lebih efektif dibandingkan dengan asam organik yang lain dalam memperoleh pH minimum untuk pertumbuhan Yersinia enterocolitica (Gould 1995). Asam asetat merupakan asam yang memiliki efek terkuat sebagai pengawet diantara asam-asam organik yang umum

terdapat pada bahan pangan. Aktivitas antimikroba asam asetat akan meningkat dengan menurunnya pH dan berbeda-beda terhadap berbagai mikroorganisme (Tabel 1).

Tabel 1 Efektifitas antimikroba asam asetat Mikrorganisme

pH Penghambatan

pH Lethal

Salmonella aertrycke

4.9

4.5

Staphylococcus aureus

5.0

4.9

Phytomonas phaseoli

5.2

5.2

Bacillus cereus

4.9

4.9

Bacillus mesentericus

4.9

4.9

Saccharomyces cerevisiae

3.9

3.9

Aspergillus niger

4.1

3.9

*Sumber : Chichester et al. (1972)

Asam-asam organik dikenal akan kemampuannya sebagai bakterisidal dan bakteriostatik. Kemampuan antimikrobialnya tergantung kepada tiga faktor, antara lain : efek pH, kemampuan asam untuk berdisosiasi, dan efek spesifik yang berhubungan dengan molekul asam itu sendiri (Smulders 1995). Menurut Marshall et al. (2000), keuntungan dalam menggunakan asam asetat adalah harga yang relatif murah, berstatus GRAS, dan relatif tidak beracun. Pada level molar yang sama, asam asetat yang merupakan asam organik memiliki aktifitas antimikrobial yang lebih kuat dibandingkan dengan asam-asam inorganik. Sifat antimikrobial asam asetat yang bersifat asam lemah akan meningkat dengan menurunnya pH. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas asam organik secara langsung terhubung dengan jumlah molekul yang tidak terdisosiasi yang akan meningkat jika pH menurun karena bertambahnya jumlah proton. Sewaktu asam asetat dilarutkan, asam ini akan berdisosiasi untuk melepaskan proton bebas, yang akan menurunkan pH. Jumlah proton yang meningkat di permukaan luar sel mikroorganisme dapat merusak fungsi membran dengan mendenaturasi enzim dan mengubah sifat permeabel membran menjadi tidak stabil.

5

Mekanisme asam asetat dalam menginaktivasi bakteri adalah sebagai berikut : asam lemah (R-COOH) dapat terurai menjadi RCOO- + H+. Asam yang terurai membuat ion H+ yang terbentuk semakin banyak. Pada larutan asam lemah, adanya ion H+ dalam jumlah banyak akan membuat kesetimbangan reaksi bergeser ke kiri menuju bentuk yang tidak terurai (RCOOH). Bentuk yang tidak terurai ini dapat larut dalam lemak sehingga memungkinkannya masuk menembus membran sel yang sebagian besar terdiri dari fosfolipid dan lemak. Banyaknya larutan asam asetat membuat semakin banyak bentuk tidak terurai yang masuk ke dalam sel. Di dalam sel yang memiliki kondisi pH netral, R-COOH dapat terurai menjadi RCOO- dan H+. Banyaknya ion H+ yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH ini dapat menyebabkan sel menjadi mati karena aktivitas enzim dan asam nukleatnya terganggu (Garbutt 1997). Sinskey

(1979)

mengklasifikasikan

mekanisme

penghambatan

pertumbuhan mikroorganisme oleh molekul organik menjadi tiga bagian, yaitu merusak

keutuhan

dan

fungsi

dari

sel

membran

mikroorganisme,

mempengaruhi gen mikroorganisme, dan menghambat enzim-enzim spesifik. Kemampuan asam asetat sebagai anti mikroorganisme didasarkan pada dua hal yaitu pengaruhnya terhadap pH dan kemampuan asam-asam yang tidak berdisosiasi untuk meracuni mikroba (Buckle et al. 1987). Asam asetat yang memiliki pH rendah dapat membunuh mikroba yang sebagian besar tidak tahan terhadap pH rendah. Naidu (2000) menyebutkan bahwa keefektifan asam asetat semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dan suhu, serta menurunnya pH. Bakteri gram positif ternyata lebih tahan dibandingkan bakteri gram negatif, bakteri anaerob lebih tahan dibandingkan bakteri aerob, dan spora bakteri serta virus lebih tahan dibandingkan sel vegetatif. Aplikasi asam asetat sebagai antimikroba dapat dengan car penyemprotan, pencelupan, dan perendaman. Asam organik seperti asam asetat dianggap efektif melawan keberadaan mikroorganisme dengan cara perendaman. Hal ini dilakukan agar asam dapat lebih mudah mencapai semua lokasi (Dalujati 2004).

6

B. BAWANG PUTIH

1. Botani Bawang Putih Bawang putih (Allium sativum L.) termasuk ke dalam genus Allium dan digolongkan ke dalam famili Liliaceae. Bawang putih merupakan tanaman herba, yaitu tumbuhan berbatang lunak yang digunakan sebagai rempah-rempah (Heath 1981). Bawang putih tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm, mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun. Helaian daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Akar bawang putih terdiri dari serabutserabut kecil yang berjumlah banyak dan setiap umbi bawang putih terdiri dari sejumlah anak bawang (siung) dengan susunan yang berlapis-lapis. Bawang putih terdiri dari 8-20 siung, antara siung satu dengan yang lainnnya dipisahkan oleh kulit tipis dan liat yang membentuk satu kesatuan yang rapat. Setiap siung terdiri dari daging lembaga dan lembaga (Santosa 1988). SNI 01-3160-1992 tentang standar bawang putih menyebutkan bahwa bawang putih adalah umbi dari tanaman bawang putih (Allium sativum LINN) yang terdiri dari siung-siung bernas, kompak, dan masih terbungkus oleh kulit luar, bersih, dan tidak berjamur. Gambar 1 menunjukkan bawang putih.

Gambar 1 Bawang putih.

2. Komponen Aktif Bawang Putih Cita rasa dan aktivitas biologi bawang putih disebabkan oleh adanya komponen volatil aktif cita rasa (Block 1985). US. Society of Flavor Chemist mendefinisikan flavor atau citarasa sebagai sensori atau rangsangan yang disebabkan oleh sifat-sifat substansi yang masuk ke

7

dalam mulut yang merangsang indera pengecap dan atau pencium, serta adanya rangsangan atau rasa sakit pada umumnya, sentuhan dan temperatur pada mulut. Menurut Yu et al. (1989), cita rasa bawang putih disebabkan adanya komponen yang mengandung senyawa S (sulfur) dan O (oksigen). Block (1992) menyatakan bahwa komponen volatil aktif cita rasa pada bawang putih lebih ditentukan oleh S-2-propenil sistein sulfoksida atau aliin, yaitu suatu padatan yang tidak berwarna dan tidak berbau, sebagai prekursor pembentuk flavor. Dalam bawang putih utuh, prekursor ini terdapat dalam jumlah 0.24% (b/b) (Virginita 1997) atau sebesar 6-14 mg/g (Mazza et al. 2000). Cita rasa dan aktivitas biologi pada bawang putih dapat timbul akibat sistein, metionin, dan atom S yang terdapat pada aliin. Aliin terdapat pada semua bagian sitoplasma sel bawang putih. Menurut Mazza et al. (2000), kandungan alliin pada umbi bawang putih sebesar 85%, 12% di daun, dan 2% di akar. Adanya τglutamil peptida yang menyimpan atom nitrogen dan sulfur sebagai media transportasi asam amino dalam melewati membran-membran sel pada bawang putih juga turut berperan dalam membentuk cita rasa. Aliin dihidrolisis oleh enzim aliinase menjadi 2-propenil-2-propene tiosulfinat (dialil tiosulfinat, atau alisin). Alisin merupakan senyawa cita rasa bawang putih yang juga terbukti memiliki kemampuan untuk menghambat mikroba. Alisin terbentuk dengan cepat pada bawang putih apabila jaringan sel bawang putih terluka, yang menyebabkan aktifnya enzim aliinase yang terdapat pada vakuola sel bawang putih. Alisin akan segera terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa turunan disulfida pada suhu ruang (Eskin 1979). Degradasi enzimatik dan non enzimatik aliin dapat dilihat pada Gambar 2.

8

RSOCH2(NH2)COOH (aliin)

+ H2O 2RSOH

aliinase

+

NH3

(asam sulfenik)

+

(amoniak)

CH3COCOOH (asam piruvat)

- H2O 2RSSOR (tiosulfinat / alisin)

2RSSR + RSSO2R (disulfida)

(tiosulfonat)

RSR + RSSSR (monosulfida)

(trisulfida)

Gambar 2 Degradasi enzimatik dan non enzimatik aliin (Eskin 1979).

Alisin merupakan cairan kuning berminyak, berbau tajam, sedikit larut air, larut dalam alkohol dan oksidator kuat (Harrison 2005). Menurut Nagpurkar et al. (2000), alisin larut dalam pelarut organik, terutama pelarut polar, namun kurang dapat larut dalam air. Struktur kimia alisin ditunjukkan oleh Gambar 3.

CH2= CHCH2S-SCH2CH-CH2 ॥ O Gambar 3 Struktur kimia alisin (Nagpurkar et al. 2000).

9

Senyawa-senyawa turunan alisin yang larut minyak antara lain senyawa sulfida, dialil sulfida, dialil disulfida, dialil trisulfida, alil metil, trisulfida, dithiins, dan ajoene. Sementara senyawa turunan alisin yang larut air adalah senyawa dari turunan sistein, yaitu S-alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen larut air dari alisin lebih stabil dibandingkan komponen larut minyaknya (Nagpurkar et al. 2000). Alisin hanyalah sebuah senyawa transisi yang mudah terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa sulfida lainnya, seperti ajoene dan dithiin. Dekomposisi alisin dapat membentuk ajoene, dimana tiga molekul alisin membentuk dua molekul ajoene (Block 1985). Komponen aktif dari bawang putih juga memegang peranan penting dalam memberikan efek kesehatan. Senyawa dialil sulfida seperti alisin merupakan golongan utama fitokimia yang memiliki aktivitas antioksidan. Antioksidan adalah senyawa yang dapat menahan terjadinya oksidasi oleh senyawa radikal. Senyawa antioksidan dalam bahan pangan apabila terserap ke dalam tubuh dapat berfungsi memperkuat sistem antioksidan tubuh. Kelinci percobaan yang disuplementasi bubuk bawang putih (300 mg/2 hari) mengalami penurunan produksi malonaldehid dan aktivitas katalase pada jaringan aortanya selama 10 hari percobaan (Prasad et al. 2007). Uji klinis terhadap AGE (age garlic extract) rentang dosis 1-7,2 gram per hari mampu menurunkan kolesterol darah pada manusia dan rentang dosis 1,8-10 gram per hari dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh manusia (Ardiansyah 2007).

3. Sifat Antimikroba Bawang Putih Rao et al. (1946) menyatakan bahwa rempah-rempah yang bersifat menghambat bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif adalah bawang putih. Aktivitas antibakteri pada bawang putih ini disebabkan oleh senyawa alisin yang mempunyai gugus asam para amino benzoat. Alisin menunjukkan aktivitas penghambatan bagi pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif (Hirasa et al. 1998).

10

Ajoene juga menunjukkan spektrum luas dari aktivitas antimikroba. Bakteri gram positif yang pertumbuhannya dapat dihambat oleh ajoene antara lain Bacillus cereus, Bacillus subtilis, Mycobacterium smegmatis, dan Streptomyces griceus. Bakteri gram negatif yang dapat dihambat pertumbuhannya oleh ajoene adalah E. coli, Klebsiella pneumoniae, dan Xanthomonas maltophilia (Yoshida et al. 1987). Golongan senyawa yang dinilai memiliki aktivitas antimikroba pada bawang putih, seperti alisin, ajoene, dialil sulfida, dan dialil disulfida termasuk ke dalam golongan senyawa tiosulfinat. Tiosulfinat adalah golongan senyawa organik yang mengandung dua atom belerang yang saling berikatan, dimana salah satunya berikatan rangkap dengan atom oksigen, seperti alisin (Ganora 2006).

C. EKSTRAKSI Ekstraksi adalah suatu istilah yang digunakan untuk suatu kegiatan, dimana komponen-komponen pembentuk bahan dipisahkan ke dalam cairan lain (pelarut) (Brown 1950). Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif. Teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur kandungan bahan dan jenis senyawa yang ingin didapat (Nielsen 2003).

1. Ekstraksi dengan Pelarut Menurut Supriadi (2002), proses isolasi atau pemisahan komponen bioaktif yang terkandung dalam tumbuhan dapat dilakukan dengan metode ekstraksi dengan pelarut. Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut organik, sehingga komponen pembentuk bahan akan terlarut ke dalam pelarut (Thorpe’s 1954). Proses perpindahan komponen bioaktif dari dalam bahan ke pelarut dapat dijelaskan dengan teori difusi. Proses difusi merupakan pergerakan bahan secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang

11

memiliki konsentrasi yang lebih tinggi menuju ke fase yang memiliki konsentrasi yang lebih rendah (Danesi 1992). Proses ini akan terus berlangsung selama komponen bahan padat yang akan dipisahkan menyebar diantara kedua fase dan berakhir bila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan akan terjadi bila seluruh zat terlarut sudah larut semuanya di dalam zat cair dan konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Kondisi ini dapat tercapai tergantung pada struktur zat padatnya (Supriadi 2002). Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke cairan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahap pertama adalah difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan tahap kedua adalah perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan. Kedua proses tersebut terjadi secara seri. Bila salah satu proses berlangsung relatif lebih cepat, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh proses yang lambat, tetapi bila kedua proses berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kedua proses tersebut (Sediawan et al. 1997). Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tertentu dapat terjadi karena persamaan kepolaran. Polaritas menggambarkan distribusi ion dalam molekul yang berpengaruh terhadap daya larut bahan dalam pelarut. Senyawa kimia yang terkandung dalam bahan akan larut dalam pelarut yang relatif sama kepolarannya, sehingga senyawa polar akan terlarut dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut non polar (Ucko 1982). Kepolaran suatu pelarut dipengaruhi oleh nilai konstanta dielektriknya. Semakin besar konstanta dielektrik suatu pelarut maka semakin polar pelarut

tersebut.

Kepolaran

senyawa

organik

meningkat

dengan

bertambahnya gugus fungsi dan menurun dengan bertambahnya atom karbon (Gritter et al. 1991). Nilai konstanta dielektrik beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 2.

12

Tabel 2 Nilai konstanta dielektrik pelarut organik pada 20 oC Nama Pelarut

Konstanta Dielektrik

Heptan

1.924

n-heksana

1.890

Sikloheksana

2.023

Benzen

2.284

Kloroform

4.806

Etil eter

4.340

Etil asetat

6.020

Piridin

12.300

Aseton

20.700

Etanol

24.300

Metanol

33.620

Asetonitril

38.000

Air

80.370

*Sumber : Adnan (1997)

Tahapan proses ekstraksi dengan pelarut meliputi tahap persiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut yang tepat sesuai keperluan ekstraksi, tahap ekstraksi, dan tahap pemekatan larutan ekstrak (Purseglove et al. 1981). Selama ekstraksi berlangsung, pelarut akan berpenetrasi ka dalam bahan dan melarutkan komponen bioaktif bahan. Larutan ekstraksi kemudian dipisahkan melalui penyaringan sehingga didapatkan residu dan filtrat. Pelarut yang berada dalam filtrat kemudian diuapkan sehingga diperoleh ekstrak yang mengandung senyawa aktif (Goldman 1949). Harborne (1987) mengatakan bahwa pemekatan pelarut umumnya dilakukan dengan penguap putar yang akan memekatkan larutan menjadi volume kecil pada suhu antara 30-40 oC. Pemekatan larutan bertujuan untuk memurnikan ekstrak dan memperoleh kembali pelarut yang dapat digunakan pada ekstraksi lain.

13

2. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Proses Ekstraksi Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

efisiensi

proses

ekstraksi

diantaranya ukuran partikel bahan, jenis pelarut, rasio antara volume pelarut dan bahan, suhu, lama ekstraksi, pergerakan pelarut di sekitar bahan, jumlah tahapan ekstraksi, serta pembilasan setelah proses ekstraksi (Purseglove et al. 1981). Bernardini (1983) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah rendemen hasil ekstraksi, yaitu perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang meliputi pengecilan ukuran bahan dan pengeringan bahan, pemilihan jenis pelarut, perbandingan jumlah pelarut dan bahan serta pengaturan kondisi ekstraksi seperti lama dan suhu ekstraksi. Ukuran partikel bahan termasuk salah satu faktor penting dalam proses ekstraksi. Menurut Purseglove et al. (1981), bahan yang akan diekstraksi sebaiknya berukuran seragam untuk mempermudah kontak antar bahan dengan pelarut, sehingga ekstraksi dapat berlangsung dengan baik. Partikel bahan

setelah

pengecilan

sebaiknya

berukuran

seragam

untuk

mempermudah difusi pelarut ke dalam bahan. Bila ukurannya tidak seragam maka butir-butir yang lebih halus dapat masuk ke dalam celah butir-butir yang lebih kasar, sehingga kontak antara pelarut dengan bahan yang diekstrak menjadi berkurang dan rendemen yang dihasilkan akan semakin kecil. Selain itu, ukuran partikel yang seragam berpengaruh kepada pengeluaran senyawa aktif dari bahan pada tahap ekstraksi. Ukuran partikel yang baik untuk proses ekstraksi adalah serbuk dengan ukuran mendekati 0.5 mm (Bombardelli 1991). Pengeringan bahan sampai kadar air tertentu bertujuan untuk mempermudah proses pengecilan ukuran dan meningkatkan mutu ekstrak dengan menghindari adanya air dalam ekstrak (Supriadi 2002). Saat pengeringan terjadi kerusakan dinding sel bahan yang akan mempermudah pengeluaran komponen bioaktif bahan sehingga waktu ekstraksi lebih singkat (Somaatmadja 1985). Pengeringan harus dilakukan dalam keadaan terkontrol untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak dari bahan.

14

Supriadi (2002) menyatakan bahwa jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi akan mempengaruhi jenis senyawa bioaktif yang terekstrak. Hal ini karena masing-masing pelarut memiliki efisiensi dan selektifitas yang berbeda untuk melarutkan komponen bioaktif dalam bahan. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugusgugus yang terikat pada pelarut tersebut. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut akan meningkat dengan meningkatnya suhu karena peningkatan suhu akan mempermudah penetrasi pelarut dalam sel bahan. Akan tetapi, penggunaan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kehilangan (loss) pada senyawa tertentu yang tidak stabil pada kondisi tersebut (Houghton et al. 1998). Semakin lama waktu ekstraksi, maka semakin sempurna proses ekstraksi. Hal ini disebabkan kesempatan untuk bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar. Sehingga rendemen hasil ekstraksi juga akan bertambah sampai titik jenuh larutan (Bombardelli 1991). Pergerakan pelarut di sekitar bahan dapat meningkatkan laju difusi bahan terlarut dan mempercepat perpindahan bahan dari permukaan partikel ke dalam larutan. Pergerakan pelarut menyebabkan kontak bahan dengan pelarut semakin cepat, dan pelarut yang telah jenuh dengan komponen pada sekitar bahan akan berganti dengan pelarut yang belum jenuh, sehingga akan lebih banyak senyawa yang terekstrak (Oktora 2002).

3. Teknik Ekstraksi Beberapa metode ekstraksi untuk mendapatkan komponen bioaktif dari suatu bahan pangan diantaranya ekstraksi dengan pelarut, distilasi, super critical fluid extraction, pengepresan mekanik, dan sublimasi (Yohana 2007). Teknik ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi bawang putih metode perebusan, ekstraksi dengan pelarut organik secara bertingkat, dan maserasi dengan pelarut air. Prinsip ekstraksi metode perebusan yaitu bahan yang akan diekstrak direbus bersama dengan pelarut pada suhu dan waktu tertentu. Komponen bioaktif dari bahan

15

diharapkan dapat terekstrak dari dalam bahan dan larut di dalam pelarut. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi metode perebusan ini yaitu air. Ekstraksi secara bertingkat dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Prinsipnya yaitu bahan yang akan diekstrak dikontakkan langsung dengan pelarut selama selang waktu tertentu, sehingga komponen yang akan diekstrak terlarut dalam pelarut kemudian diikuti dengan pemisahan pelarut dari bahan yang telah diekstrak. Teknik ekstraksi dengan pelarut organik secara bertingkat yang digunakan pada penelitian ini yaitu maserasi. Prinsip metode ini yaitu penghancuran dan perendaman bahan dalam pelarut. Pada maserasi dilakukan penghancuran sampel menggunakan pelarut, perendaman dan dilakukan pengadukan, kemudian dilakukan penyaringan atau pengepresan sehingga diperoleh cairan. Menurut Larsen et al. (1990), maserasi merupakan metode ekstraksi pelarut yang paling mudah dan cepat. Melalui metode maserasi, dapat diperoleh komponen non volatil dan komponen volatil dari bahan. Hal ini karena maserasi tidak menggunakan panas, sehingga tidak terjadi kehilangan komponen volatil dari bahan. Pelarut yang digunakan pada proses maserasi bertingkat yaitu heksan, etil asetat, dan etanol yang ketiganya berturut-turut merupakan senyawa non polar, semi polar, dan polar. Heksan merupakan pelarut yang bersifat non polar dan berfungsi melarutkan lemak. Heksan terdiri dari hidrokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14. Heksan yang digunakan sebagai pelarut berupa cairan tak berwarna dan memiliki titik didih 69 oC dan larut dalam air. Etil asetat merupakan komponen organik semi polar dengan rumus molekul C4H8O2. Titik didih etil asetat yaitu sebesar 77.1oC. Etil asetat bersifat volatil, non toksik, dan tidak higroskopis. Etanol (C2H5OH) merupakan pelarut yang bersifat volatil dengan titik didih 78 oC (Yohana 2007). Ekstraksi maserasi menggunakan pelarut air juga bertujuan untuk mengekstrak komponen aktif bawang putih yang bersifat polar. Air yang merupakan senyawa polar akan mengekstrak senyawa polar dari bawang

16

putih. Ekstraksi maserasi dengan pelarut air bersifat lebih ekonomis bila dibandingkan dengan ekstraksi maserasi air menggunakan pelarut lain.

D. MIE BASAH MATANG

1. Definisi Mie Mie basah merupakan produk makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa panambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan (Badan Standardisasi Nasional 1992). Syarat mutu mie basah dijelaskan dalam SNI 01-2987-1992, dapat dilihat pada Tabel 3.

17

Tabel 3 Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992) No.

Kriteria Uji

1.

Keadaan : o Bau o Rasa

Satuan

-

o Warna 2.

Kadar air

3.

Kadar abu (dihitung atas dasar bahan kering)

4.

Persyaratan

Normal Normal Normal

% b/b

20-35

% b/b

Maks. 3

Kadar protein ((N x 6.25) dihitung atas dasar bahan % b/b

Min. 3

kering) 5.

Bahan tambahan pangan o Boraks dan asam borat

Tidak boleh ada

o Pewarna

Sesuai -

SNI-0222-M

dan

MenKes.

No.

peraturan

722/Men.Kes/Per/IX/88

Tidak boleh ada

o Formalin 6.

Cemaran logam : o Timbal (Pb) o Tembaga (Cu)

Maks. 1.0 mg/kg

Maks. 10.0

o Seng (Zn)

Maks. 40.0

o Raksa (Hg)

Maks. 0.05

7.

Arsen (As)

mg/kg

Maks. 0.05

8.

Cemaran mikroba : o Angka lempeng total

Koloni/g

Maks. 1.0 x 106

o E. coli

APM/g

Maks. 10

o kapang

Koloni/g

Maks. 1.0 x 104

18

2. Jenis Mie Berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, mie dapat dibagi menjadi lima golongan, yaitu : (1) mie basah dengan kadar air 52%, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan mengalami perebusan dalam air mendidih dahulu, contohnya adalah mie kuning (2) mie mentah/segar dengan kadar air 35% yang dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan, contohnya adalah mie ayam (3) mie goreng, adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan digoreng terlebih dahulu, (4) mie kering dengan kadar air 10%, adalah mie mentah yang langsung dikeringkan, contohnya adalah mie telor dan (5) mie instan (mie siap hidang), yang di Jepang disebut sokusekimen, adalah mie mentah yang mengalami pengukusan dan dikeringkan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng sehingga menjadi mie instan goreng (Winarno et al. 1994). Menurut Pagani (1985), berdasarkan ukuran diameternya mie dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) spaghetti, dengan diameter 0.11-0.27 inci, (2) mie, dengan diameter 0.07-0.125 inci, dan (3) vermiselli, dengan diameter < 0.04 inci. Sedangkan berdasarkan bahan baku pembuatannya mie digolongkan menjadi dua macam, yaitu : (1) mie tepung, terutama tepung terigu, dan (2) mie transparan (transparence noodle) dari bahan pati, misalnya soun dan bihun. Mie basah dengan bahan baku tepung terigu dapat digolongkan dalam dua kategori berdasarkan cara pembuatannya, yaitu mie basah matang dan mie basah mentah. Mie basah mentah tidak mengalami proses perebusan dan penambahan minyak dengan kadar airnya berkisar 35%, sedangkan mie basah matang mengalami proses perebusan dan penambahan minyak sehingga kadar airnya menjadi 52% (Astawan 2005). Menurut Miskelly (1996), mie basah dapat dibagi menjadi dua berdasarkan warnanya yaitu white salted noodles dan yellow alkaline noodles. Warna alami pada mie basah disebabkan oleh senyawa flavon yang terkandung dalam tepung dan pengaruh penambahan garam alkali. White salted noodles adalah mie yang tidak ditambahkan garam alkali sehingga warnanya menjadi putih cerah. Sedangkan yellow alkaline noodles adalah mie yang mengalami

19

penambahan alkali sehingga warnanya menjadi kekuningan (yellowness). Tabel 4 memperlihatkan komposisi nilai gizi mie basah matang. Tabel 4 Komposisi nilai gizi mie basah Zat Gizi

Kandungan dalam Mie Basah

Energi

86 kkal

Protein

1g

Lemak

3g

Karbohidrat

14 g

Kalsium

14 g

Fosfor

13 g

Besi

1g

Vitamin A

0 SI

Vitamin B1

0 mg

Vitamin C

0 mg

Air

80 g

*Sumber: Direktorat Gizi Depkes (1979)

Mie basah yang terdapat di Indonesia merupakan mie segar (fresh noodles) yang umum dikonsumsi dalam jangka waktu 24 jam. Setelah 24 jam

mie

tersebut

mengalami

diskolorasi

yang

cepat.

Untuk

memperpanjang umur simpannya hingga 3-5 hari dengan disimpan pada suhu 4 oC dalam refrigerator. Mie basah ini termasuk ke dalam jenis chinese wet noodles dengan penambahan garam alkali sehingga warnanya kuning khas, flavor basa, pH tinggi, dan tekstur yang baik (Hou et al. 1998).

3. Pembuatan Mie Basah Matang Bahan dasar umum untuk pembuatan mie basah ialah terigu, air, dan bahan tambahan lain seperti garam, air abu, dan minyak goreng. Terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat, sumber protein, pelarut garam, dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berfungsi memberikan rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, serta

20

meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie. Air abu adalah bahan alkali yang digunakan untuk meningkatkan tekstur mie. Air abu atau kansui dapat mengandung satu atau lebih bahan tambahan pangan, dan yang biasa digunakan adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3), dan kalium polifosfat (KH2PO4) sebagai bahan alkali dalam pembuatan mie. Bahan-bahan alkali tersebut memiliki fungsi yang berbeda. Gabungan Na2CO3 dan K2CO3 berguna untuk meningkatkan warna kuning dan memberikan flavor yang lebih baik. Na2CO3 berfungsi meningkatkan kehalusan dan tekstur mie. K2CO3 berfungsi meningkatkan sifat kekenyalan mie, sedangkan KH2PO4 meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Badrudin 1994). Tahap

pertama

dalam

pembuatan

mie

basah

matang

yaitu

pencampuran, bertujuan untuk menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan membentuk adonan dari jaringan gluten sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Terigu dimasukkan ke dalam mixer kering, kemudian ditambahkan garam dan air. Adonan pertama yang terbentuk akan berbentuk bulatan atau bongkahan. Tahap pencampuran ini memakan waktu 5-10 menit agar semua air dapat terdistribusi secara sempurna ke dalam terigu. Menurut Oh et al. (1985), hal-hal yang harus diperhatikan dalam tahap pencampuran yaitu jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Jumlah penambahan air yaitu sekitar 28-28% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari 28% maka adonan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk menjadi lembaran. Jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan menjadi basah dan lengket. Badrudin (1994) menyatakan bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit. Apabila kurang dari 15 menit, adonan menjadi lunak dan lengket, sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan kering. Suhu adonan yang terbaik adalah 25-40 oC. Apabila suhu adonan kurang dari 25 oC, adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar, sedangkan bila suhunya lebih dari 40 oC adonan menjadi lengket sehingga mie kuramg elastis. Semakin tinggi suhu menyebabkan kapasitas pengikatan air dari protein tepung

21

terigu semakin berkurang. Akibatnya, jika suhu terlalu rendah, air tidak tersebar secara merata ke seluruh adonan. Namun jika suhu terlalu tinggi, air kurang terikat dalam adonan. Adonan yang diharapkan bersifat lunak, lembut, tidak lengket, halus, elastis, dan mengembang dengan normal. Tahap selanjutnya yaitu pembentukan lembaran (sheeting) yang bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk adonanmenjadi lembaran.hal ini dilakukan dengan cara melewatkan adonan berulang-ulang diantara dua roll logam. Saat pengepresan, gluten ditarik ke satu arah sehingga seratnya menjadi sejajar dan lembar adonan menjadi lembut, elastis, dan dengan mudah dapat disisir menjadi untaian mie. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini diantaranya adalah kecepatan putar roll dan rasio lembaran adonan (rasio ketebalan lembaran setelah dan sebelum dilewatkan melalui roll). Hasil akhir yang diharapkan adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur serat searah sehingga dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus (Badrudin 1994). Proses sheeting dilanjutkan dengan proses pemotongan yang bertujuan untuk membentuk untaian mie dengan ukuran lebar 1-3 mm. Untaian mie yang akan dibuat mie basah matang kemudian direbus untuk mematangkan mie. Perebusan untaian mie bertujuan agar terjadi proses gelatinisasi pati dan koagulasi protein gluten sehingga mie menjadi kenyal dan cukup lembut. Tahap terakhir yaitu pelumasan mie yang telah direbus dengan minyak goreng yang bertujuan agar untaian mie tidak lengket satu sama lain, memberikan cita rasa, serta meningkatkan warna dan penampakan agar mie tampak mengkilat.

4. Kerusakan Mie Basah Matang Mie basah matang merupakan pangan yang mudah mengalami kerusakan. Menurut Yuniar (2004), mie basah matang memiliki umur simpan selama 24 jam pada suhu kamar. Hasil analisis laboratorium menunjukkan mie basah matang yang dijual di pasar tradisional dan pedagang produk olahan mie di wilayah Jabotabek mempunyai Aw dan

22

pH yang relatif tinggi, yaitu 0.92 dan 9.22 (Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan 2005). Kondisi inilah yang menyebabkan mie basah matang cepat mengalami kerusakan akibat pertumbuhan mikrorganisme. Menurut pedagang pasar tradisional dan pedagang produk olahan mie, ciri-ciri kerusakan mie basah matang umumnya adalah lengket dan berlendir serta timbul bau asam (Gracecia 2005). Kerusakan pada mie yang direbus terlebih dahulu ini terjadi pada penyimpanan suhu kamar setelah 40 jam. Kerusakan yang terjadi ialah tumbuhnya kapang pada mie, sedangkan perubahan warna tidak terjadi karena perebusan dapat merusak enzim polifenoloksidase (Hoseney 1998). Menurut Yohana (2007), kerusakan yang umum terjadi pada mie basah matang adalah bau asam, bau tengik, timbulnya lendir dan perubahan warna. Bau asam terjadi pada mie basah mentah dan matang sebagai akibat aktivitas mikroba. Bau tengik hanya terjadi pada mie basah matang sebagai hasil degradasi minyak oleh mikroba. Bau asam dan bau tengik adalah indikator kerusakan mie pada tahap awal, sedangkan lendir umumnya merupakan indikator kerusakan lanjut. Mie basah matang cepat mengalami kerusakan atau kebusukan, sehingga banyak usaha dilakukan untuk mempertahankan keawetannya, diantaranya dengan mencampurkan bahan kimia pengawet. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2005) menyebutkan bahwa kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional adalah 106.00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2914.36 mg/kg (mie basah matang). Kandungan formalin rata-rata di dalam mie basah di pedagang produk olahan mie yaitu sebesar 72.93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3423.51 mg/kg (mie basah matang). Kandungan formalin rata-rata pada mie basah di supermarket yaitu sebesar 113.45 mg/kg (mie basah mentah) dan 2941.82 mg/kg (mie basah matang). Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie basah matang yang tersebar di wilayah Jabotabek yang dilakukan oleh Indrawan (2005) memperlihatkan bahwa 13 industri menggunakan formalin dan 16 industri menggunakan boraks.

23

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih (Allium sativum L.), asam asetat berupa cuka pasar dengan merek Dixie, dan mie basah matang. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji mikrobiologi yaitu PCA (Plate Count Agar), larutan pengencer, dan alkohol 70%. Bahan–bahan yang digunakan untuk analisis total asam tertitrasi adalah NaOH 0.1 ml, asam potasium phtalate (KHP), dan indikator phenoftalein (PP). Aquades dan etanol 70% digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi bawang putih. Alat-alat yang digunakan diantaranya gelas piala, labu takar, gelas ukur, pipet, sudip, baskom, penyaring, pisau, pengaduk, dan plastik HDPE. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah pH meter, bunsen, buret, erlenmeyer, Chromameter, Rheoner, cawan petri, mikro pipet, dan tabung pengencer.

B. METODE PENELITIAN

1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk memperoleh formulasi campuran cuka pasar yang mengandung asam asetat dengan ekstrak bawang putih yang memiliki pH ≤ 3 serta rasa yang tidak asam. Pada penelitian pendahuluan dilakukan tahapan pendahuluan pada bawang putih, ekstraksi bawang putih menggunakan metode perebusan dan maserasi, pencampuran (mixing) ekstrak bawang putih dengan asam asetat, pengukuran pH larutan, pencicipan rasa larutan, dan pemilihan larutan terbaik.

1.1. Tahapan pendahuluan pada bawang putih Bawang putih yang digunakan pada penelitian ini berumur 4 bulan dan diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat Aromatik (Balittro), Bogor. Bawang putih yang akan diekstraksi sebelumnya diberi perlakuan pendahuluan yang bertujuan untuk memperoleh

proses ekstraksi yang efisien. Perlakuan pendahuluan ini juga dapat mempermudah pengeluaran senyawa aktif dari bawang putih selama proses

ekstraksi.

Terdapat

beberapa

perbedaan

perlakuan

pendahuluan antara bawang putih yang diekstraksi dengan perebusan dan bawang putih yang diekstraksi dengan maserasi. Ekstraksi bawang putih dengan perebusan dilakukan terhadap bawang putih segar dan bawang putih yang telah dikeringkan. Tahapan pendahuluan pada bawang putih segar yaitu pengupasan, pengecilan ukuran, dan pememaran. Bawang putih dikupas dari kulit tipis berwarna putih yang menjadi pemisah antar siungnya. Bawang putih lalu diiris dengan ketebalan sekitar 0.5 cm. Kemudian dilakukan pememaran bawang putih dengan tujuan mempermudah pengeluaran senyawa aktif dari dalam daging bawang putih selama proses perebusan. Tahapan pendahuluan pada bawang putih kering tidak berbeda jauh dengan bawang putih segar. Pengeringan bawang putih dilakukan dengan menjemur bawang putih di bawah sinar matahari selama ± 20 menit, disebut juga proses pelayuan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penetrasi pelarut ke dalam bawang putih Bawang putih yang dijemur akan mengalami kerusakan pada jaringannya, sehingga pelarut yang dikontakkan ke bawang putih akan lebih mudah berpenetrasi dan mengekstrak komponen aktif.. Proses penjemuran dilakukan setelah bawang putih mengalami pengupasan dan pengirisan. Bawang putih yang telah dijemur lalu dimemarkan, kemudian dilakukan perebusan. Bawang putih yang diekstraksi dengan maserasi bertingkat dan maserasi pelarut air diberi perlakuan pendahuluan yang sama. Bawang putih dikupas, diiris hingga ketebalan 0.5 cm, kemudian dikeringkan dengan oven vakum selama 3 jam dengan suhu 60oC. Bawang putih yang telah mengalami pengupasan dan pengirisan dikeringkan selama 3 jam. Proses pengeringan ini bertujuan untuk meningkatkan mutu ekstrak dengan menghindari adanya air dalam

25

ekstrak (Houghton et al. 1998). Oven vakum digunakan sebagai alat pengering untuk mencegah terjadinya perubahan dan kehilangan komponen kimia dari bawang putih yang terlalu banyak (Oktora 2002). Tahapannya dapat dilihat pada Gambar 4.

Bawang putih ↓ Dikupas ↓ Diiris ↓ Dikeringkan di oven vakum (kadar air < 50%, T=600C, t=3 jam) ↓ Bawang putih kering

Gambar 4 Tahapan persiapan bawang putih ekstraksi maserasi.

1.2. Ekstraksi Metode Perebusan Proses ekstraksi bawang putih metode perebusan dilakukan terhadap bawang putih segar dan bawang putih yang telah dikeringkan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perlakuan pendahuluan bawang putih yang dapat menghasilkan ekstrak terbaik. Pengekstrakan dilakukan dengan perebusan agar diperoleh ekstrak bawang putih yang mengandung komponen aktif larut air dan bisa dicampurkan dengan asam asetat yang merupakan asam organik dan bersifat larut air. Metode perebusan bawang putih diperoleh berdasarkan penelitian Yohana (2007) yang melakukan ekstraksi pada bawang putih menggunakan metode perebusan dengan perlakuan perbandingan konsentrasi bawang putih : pelarut dan waktu perebusan. Hasilnya yaitu bawang putih yang direbus selama 5 menit dengan perbandingan bawang putih : pelarut sebanyak 1 : 5

26

menggunakan suhu 100 oC menghasilkan rendemen sebesar 45.44%. Ekstrak ini memiliki kemampuan antimikroba terbaik dibandingkan perlakuan lainnya. Tahapan persiapan terhadap bawang putih yang diekstrak yaitu pengupasan bawang putih dan pememaran. Ekstraksi perebusan bawang

putih

dilakukan

menggunakan

pelarut

air

dengan

perbandingan bawang putih dan pelarut yaitu 1:5. Ekstraksi dilakukan selama 5 menit pada suhu 100 oC. Sebanyak 100 gr bawang putih segar yang telah mengalami perlakuan pendahuluan direbus dalam 500 ml air mendidih (100 oC). Waktu perebusan selama 5 menit dihitung sejak air mencapai suhu 100 oC. Tahapan ekstraksi bawang putih segar metode perebusan dapat dilihat pada Gambar 5. Bawang putih ↓ Dikupas ↓ Diiris ↓ Dimemarkan ↓ Ditimbang (bawang putih : air = 1 :5) ↓ Direbus (T air = 100 0C, t= 5’) ↓ Ekstrak bawang putih

Gambar 5 Tahapan ekstraksi bawang putih segar metode perebusan dengan pelarut air (Yohana 2007).

27

Tahapan ekstraksi bawang putih kering metode perebusan dapat dilihat pada Gambar 6.

Bawang putih ↓ Dikupas ↓ Diiris ↓ Dijemur (t = 20 menit) ↓ Dimemarkan ↓ Ditimbang (bawang putih : air = 1 :5) ↓ Direbus (T air = 100 0C, t= 5’) ↓ Ekstrak bawang putih Gambar 6 Tahapan ekstraksi bawang putih kering metode perebusan dengan pelarut air (Yohana, 2007).

Ekstrak bawang putih yang diperoleh selanjutnya dicampurkan dengan asam asetat 25% dengan perbandingan asam asetat : ekstrak yang ditunjukkan pada Tabel 5.

28

Tabel 5 Perbandingan asam asetat 25% dan ekstrak bawang putih metode perebusan Asam asetat 25% : ekstrak 0 : 10 3:7 5:5 7:3 10 : 0

Larutan yang terpilih untuk penelitian utama yaitu larutan yang memiliki pH ≤ 3 serta rasa yang tidak asam. Untuk selanjutnya larutan terpilih ini disebut sebagai larutan biang.

1.3. Ekstraksi Metode Maserasi Proses ekstraksi bawang putih metode maserasi dilakukan dengan maserasi bertingkat dan maserasi pelarut air. Perbandingan antara bahan dan pelarut adalah 1:4 (w/v) dan proses ekstraksi dilakukan selama 24 jam dengan alat shaker (Nuraini 2007). Ekstraksi maserasi bertingkat pada bawang putih menggunakan tiga macam pelarut, yaitu heksan, etil asetat, dan etanol. Heksan digunakan pada ekstraksi tingkat I, etil asetat pada ekstraksi tingkat II, dan etanol pada ekstraksi tingkat III. Ekstraksi bertingkat ini bertujuan untuk memperoleh komponen bawang putih sebagai hasil akhir yang bersifat polar, tanpa komponen lain yang bersifat non polar maupun semi polar sebagai pengotor. Komponen aktif yang bersifat polar dapat bercampur dengan asam asetat (cuka pasar) yang juga bersifat polar pada proses pencampuran. Tahapan ekstraksi maserasi bertingkat bawang putih dengan pelarut heksan, etil asetat, dan etanol dapat dilihat pada Gambar 7. Pada maserasi tingkat I, bawang putih yang telah dikeringkan melalui tahapan pendahuluan dihancurkan dengan blender kering. Pengecilan ukuran bawang putih bertujuan untuk meningkatkan

29

efektifitas proses ekstraksi. Supriadi (2002) menyatakan bahwa semakin kecil ukuran bahan maka luas permukaan bahan yang melakukan kontak dengan pelarut akan semakin besar. Kelarutan bahan dalam pelarut juga meningkat, sehingga kadar ekstrak komponen bioaktif dari bahan juga meningkat. Bawang putih halus diekstraksi menggunakan pelarut heksan dengan perbandingan bawang putih : heksan yaitu 1:4. Ekstraksi berlangsung selama 24 jam dengan kecepatan rotasi shaker 30-35 rpm. Hasil reaksi disaring vakum hingga terbentuk padatan dan filtrat. Selanjutnya, filtrat dievaporasi dengan suhu 75 oC untuk memisahkan ekstrak dengan pelarut heksan. Filtrat yang diperoleh kemudian didiamkan selama 24 jam dalam ruang asam. Hal ini dilakukan untuk menguapkan kembali sisa heksan yang masih tertinggal dalam filtrat. Hasil filtrat yang telah didiamkan inilah yang disebut ekstrak heksan. Sementara itu, padatan yang terpisah dari filtrat heksan diekstraksi dengan pelarut etil asetat selama 24 jam menggunakan shaker yang berkecepatan 30-35 rpm. Ekstraksi ini merupakan maserasi tingkat II. Hasil ekstraksi tersebut kemudian di saring menggunakan penyaring vakum hingga terpisah padatan dengan filtratnya. Filtrat lalu dievaporasi menggunakan Rotary Vaccuum Evaporator dengan suhu 75 oC. Hasil evaporasi berupa filtrat yang telah diuapkan dari pelarut etil asetat. Pendiaman filtrat tersebut selama 24 jam dalam ruang asam kembali dilakukan untuk menguapkan etil asetat yang tertinggal. Filtrat yang telah didiamkan inilah yang menjadi ekstrak bawang putih menggunakan pelarut etil asetat. Maserasi tingkat III dilakukan terhadap padatan yang terpisah dari filtrat etil asetat. Tahapan ekstraksi tingkat III sama dengan ekstraksi tingkat I dan II. Perbedaan hanya terletak pada pelarut yang digunakan, yaitu etanol.

30

Bawang putih kering ↓ Diblender kering ↓ Diekstrak dengan heksan, 24 jam ↓ Disaring vakum ↓



Padatan

Filtrat





Diekstrak dengan etil asetat, 24 jam

Dievaporasi





Disaring vakum

Didiamkan 24 jam





Padatan

Filtrat



Ekstrak heksan



Diekstrak dengan etanol, 24 jam ↓

Dievaporasi ↓

Disaring vakum ↓ Padatan



Didiamkan 24 jam

↓ Filtrat ↓ Dievaporasi ↓ Didiamkan 24 jam ↓

↓ Ekstrak etil asetat

Ekstrak etanol

Gambar 7 Ekstraksi maserasi bertingkat bawang putih (modifikasi metode Harborne, 1987).

31

Metode ekstraksi maserasi air dilakukan untuk mendapatkan ekstrak bawang putih yang mengandung komponen aktif yang bersifat larut air. Pelarut air yang bersifat polar akan mengekstrak komponen aktif pada bawang putih yang bersifat polar. Air yang digunakan berasal dari aqua destilata (aquades). Tahapan ekstraksi maserasi menggunakan pelarut air dapat dilihat pada Gambar 8.

Bawang putih kering ↓ Diblender kering ↓ Ditaruh di erlenmeyer ↓ Ditambahkan pelarut (bawang : air = 1 : 4) ↓ Dishaker 24 jam ↓ Disaring vakum ↓ Diambil filtrat (volume awal) ↓ Diuapkan dg Rotary Vacuum Evaporator (volume akhir = ¼ volume awal) ↓ Ekstrak bawang putih

Gambar 8 Tahapan ekstraksi bawang putih metode maserasi dengan pelarut air (modifikasi metode Harborne, 1987).

32

Bawang putih kering hasil perlakuan pendahuluan yang telah diblender dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan pelarut air dengan perbandingan bawang putih : air sebesar 1:4. Air yang digunakan berasal dari aqua destilata (aquades). Ekstraksi dilakukan pada suhu kamar selama 24 jam menggunakan shaker. Hasil ekstraksi kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No. 1 menggunakan penyaring vakum untuk memisahkan padatan dan ekstrak yang masih bercampur dengan pelarut. Ekstrak yang telah disaring ini disebut filtrat. Filtrat yang dihasilkan diuapkan menggunakan Rotary Vaccum Evaporator untuk memisahkan pelarut dengan ekstrak bawang putih. Evaporasi dilakukan hingga diperoleh larutan pekat dengan volume kira-kira seperempat dari volume awal. Ekstrak bawang putih yang diperoleh dari maserasi bertingkat maupun maserasi pelarut air masing-masing dicampurkan dengan asam asetat 25% dengan perbandingan konsentrasi cuka pasar dan ekstrak yang ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Perbandingan asam asetat 25% dan ekstrak bawang putih metode maserasi Asam asetat 25% : ekstrak 8:2 7:3 6:4 5:5

Larutan yang terpilih untuk penelitian utama yaitu larutan yang memiliki pH ≤ 3 serta rasa yang tidak asam. Untuk selanjutnya larutan terpilih ini disebut sebagai larutan biang.

33

2. Penelitian Utama Pada penelitian utama dilakukan pengenceran larutan biang, optimasi pengenceran larutan biang, dan penyimpanan mie basah matang yang telah dicelup larutan biang hasil optimasi. Larutan biang yang diperoleh dari masing-masing tahap

ekstraksi

diencerkan,

besar pengencerannya

ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Besar pengenceran larutan biang Besar Pengenceran (%) 10 20 30

Selanjutnya, dilakukan pencelupan mie basah matang ke masingmasing larutan tersebut dan penyimpanan. Pengamatan secara visual terhadap mie basah matang dilakukan untuk mengetahui larutan yang dapat mempertahankan mutu mie selama penyimpanan hingga mie mengalami

kerusakan.

Larutan

yang

memiliki

kemampuan

mempertahankan mutu mie basah matang paling lama kemudian dijadikan patokan/titik tengah untuk proses optimasi pengenceran. Pada proses optimasi, dilakukan pengenceran kembali terhadap larutan biang yang besar pengencerannya dapat dilihat pada Tabel 8.

34

Tabel 8 Besar optimasi pengenceran larutan biang Besar Optimasi Pengenceran terhadap Larutan Biang (%) (x – 5) x (x + 5)

“x” menunjukkan besar pengenceran larutan biang terbaik yang mampu mempertahankan mutu mie basah matang secara visual. (x-5) dan (x+5) menunjukkan optimasi pengenceran dari larutan biang. Selanjutnya dilakukan pencelupan mie basah matang ke dalam larutan hasil optimasi tersebut. Penyimpanan mie dalam plastik HDPE dan pengamatan serta analisis hingga mie mengalami kerusakan dilakukan untuk memperoleh larutan terbaik yang akan menjadi larutan pengawet terpilih.

2.1. Cara Memperoleh Mie Basah Matang Mie basah matang yang diteliti tidak dibuat secara langsung di laboratorium pengolahan pangan IPB. Hal ini dilakukan untuk mensimulasikan kondisi mie basah matang yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat, yang pada kenyataannya diperoleh dari pasar tradisional. Mie basah matang yang dibuat di laboratorium memiliki kondisi mikrobiologi yang lebih baik jika dibandingkan dengan mie basah matang yang diperoleh dari pasar tradisional. Aspek sanitasi di laboratorium yang terjaga dengan baik menjadi faktor utama penyebabnya. Hal ini dapat menyebabkan biasnya data analisis mikrobiologi yang dihasilkan. Oleh karena itu digunakanlah mie basah matang yang diproduksi oleh industri rumah tangga dan didistribusikan ke pasar tradisional. Diharapkan mie basah matang ini memiliki mutu bahan baku, kondisi fisik, penampakan serta kondisi mikrobiologis yang mendekati mie basah matang pada umumnya.

35

Sampel mie basah matang yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari industri rumah tangga “X” yang merupakan industri pembuat mie basah yang berada di daerah Sukabumi. Mie basah dari industri tersebut kemudian didistribusikan ke toko “Y” yang berlokasi di Pasar Anyar, Bogor. Mie basah matang yang digunakan ini dibuat berdasarkan pemesanan khusus kepada pihak industri rumah tangga “X” sesuai dengan formula mie basah matang standar tanpa penambahan formalin dan boraks. Formula mie basah matang standar ini dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan diagram alir pembuatan mie basah matang dapat dilihat pada Lampiran 2. Mie basah matang yang diproduksi industri rumah tangga “X” kemudian dimasukkan ke dalam boks plastik yang tertutup rapat untuk didistribusikan ke toko “Y”. Mie basah matang yang diperoleh dari toko “Y” kemudian dimasukkan ke dalam dua lapis kantong plastik dan dibawa menuju tempat penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kontaminasi mikroba selama mie basah matang didistribusikan dan berada dalam perjalanan. Oleh karena itu, diharapkan kondisi mikrobiologi awal mie basah matang setelah diproduksi tidak akan berubah secara signifikan hingga mie basah matang tiba di tempat penelitian.

2.2. Pencelupan Mie Basah Matang Larutan terpilih dari masing-masing jenis ekstraksi (larutan biang) diencerkan sebanyak 10%, 20%, dan 30%. Mie basah matang lalu dicelupkan ke larutan tersebut. Besar pengenceran yang dapat mengawetkan mie basah matang minimal 4 hari lalu dioptimalisasi menjadi tiga perlakuan konsentrasi, yaitu 5%, 10%, dan 15% dari larutan biang, kemudian mie basah matang dicelup ke larutan tersebut.

Penggunaan

metode

pencelupan

bertujuan

untuk

mengetahui efektifitas larutan pengawet dalam menghambat pertumbuhan mikroba selama mie basah matang mengalami penyimpanan.

36

Langkah-langkah pengawetan mie basah matang sebagai berikut: (1) mie basah matang ditimbang sebanyak ± 10 gr untuk masingmasing pencelupan, (2) mie basah matang dicelupkan ke dalam 100 ml larutan pengawet selama ± 1 menit, (3) mie basah matang ditiriskan selama ± 3 menit, (4) mie basah matang dikemas dalam plastik HDPE kemudian dikemas untuk menghindari terjadinya kontaminasi dari udara luar, (5) mie basah matang disimpan di suhu ruang untuk mengetahui daya awet, serta dilakukan analisis. Analisis yang dilakukan yaitu analisis fisik (pH, warna, tekstur), analisis kimia (total asam tertitrasi), dan analisis mikrobiologi (total plate count). Analisis ini dilakukan pada sampel mie basah matang setiap hari hingga sampel mengalami kerusakan. Analisis dilakukan dengan dua kali ulangan. Analisis sensori dan biaya dilakukan setelah mie basah matang dicelup ke larutan pengawet.

C. PERLAKUAN 1. Jenis Larutan Biang A : hasil pencampuran asam asetat dengan ekstrak bawang putih yang dimaserasi menggunakan pelarut air E : hasil pencampuran asam asetat dengan ekstrak bawang putih yang dimaserasi menggunakan pelarut etanol 2. Konsentrasi Pengenceran Larutan Terpilih K : Mie basah matang kontrol A1 : Larutan pengawet asam asetat : ekstrak bawang putih maserasi air yang diencerkan 5% dari larutan biang A2 : Larutan pengawet asam asetat : ekstrak bawang putih maserasi air yang diencerkan 10% dari larutan biang A3 : Larutan pengawet asam asetat : ekstrak bawang putih maserasi air yang diencerkan 15% dari larutan biang

37

E1 : Larutan pengawet asam asetat : ekstrak bawang putih maserasi etanol yang diencerkan 5% dari larutan biang E2 : Larutan pengawet asam asetat : ekstrak bawang putih maserasi etanol yang diencerkan 10% dari larutan biang E3 : Larutan pengawet asam asetat : ekstrak bawang putih maserasi etanol yang diencerkan 15% dari larutan biang

D. PENGAMATAN 1. Total Mikroba (Fardiaz 1992) Sebanyak 10 gram sampel yang ditimbang secara aseptik dimasukkan ke dalam plastik stomacher steril. Kemudian ditambahkan 90 ml larutan pengencer fisiologis (NaCl) lalu dihancurkan selama 1 menit. Sampel yang telah dihancurkan dengan stomacher kemudian dilakukan pengenceran hingga 10-5 dan dilakukan pemupukan duplo pada tiap pengenceran. Penambahan media PCA cair untuk menguji total mikroba dan biarkan hingga media membeku. Setelah membeku, inkubasikan pada suhu 30 oC selama 2 hari dengan posisi terbalik. Setelah waktu inkubasi selesai, hitung koloni total dengan metode Harrigan seperti berikut. N=

C [(1 * n1) + (0.1 * n2)] * d

Keterangan : N: Total koloni per ml atau gram sampel C: Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk batas perhitungan n1: Jumlah cawan pada pengenceran pertama n2: Jumlah cawan pada pengenceran kedua d: Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan Batas koloni yang dihitung : 25 – 250 cfu

38

2. pH (Apriyantono et al. 1989) Nilai pH mie basah matang diukur setiap hari dengan menggunakan pH meter. pH meter dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan buffer pH 4 dan 7. Sampel mie basah matang yang akan dianalisis terlebih dahulu ditimbang sebanyak 1 gram dan dicampur dengan aquades sebanyak 10 ml. Campuran ini dihancurkan kemudian dilakukan pengukuran pH.

3. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al. 1989) Sebanyak 10 gram sampel ditambahkan sedikit air, kemudian dihancurkan sampai menjadi bubur. Setelah itu, campuran dipanaskan sampai mendidih dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Selanjutnya, ditambahkan aquades sampai tanda tera. Kemudian diambil 25 ml larutan dan ditambahkan indikator fenolftalein 3 tetes. Larutan kemudian dititrasi dengan NaOH 0.1 N sampai terbentuk warna merah muda yang merupakan titik akhir titrasi.

4. Intensitas Warna (Pomeranz et al. 1980) Sebelum

dilakukan

pengukuran

terhadap

mie basah

matang,

Chromameter CR-200 dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan Calibration Plate dengan L = 47.49 ; a = 41.49 ; b = 18.36. Setelah alat dikalibrasi, mie basah matang dianalisis dengan diukur tingkat kecerahannya serta intensitas warna merah dan kuning dari masing-masing produk. Pengukuran tiap produk dilakukan sebanyak 2 kali. Pengukuran warna secara kuantitatif menggunakan Chromameter menghasilkan data dalam bentuk notasi Hunter L, a, b. Notasi L menggambarkan lightness/tingkat kecerahan, dimana nilai L yang semakin besar menunjukkan tingkat kecerahan sampel yang semakin tinggi. Notasi a dan b adalah koordinat-koordinat kromatis dimana a untuk warna hijau (a negatif) ke merah (a positif) dan b untuk biru (b negatif) sampai kuning (b positif). Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus: o

Hue = tan-1 b/a

39

Data perhitungan nilai oHue dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Perhitungan nilai oHue Hasil Perhitungan

Warna

18o-54o

Merah

54o-90o

Merah – Kuning

90o-126 o

Kuning

126o-162o

Kuning –Hijau

162o-198o

Hijau

198o-234o

Hijau – Biru

o

234 -270

o

Biru

270o-306o

Biru – Ungu

306o-342o

Ungu

342o-18o

Ungu – Merah

5. Tekstur Tekstur mie basah matang dianalisis menggunakan Rheoner. Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya tekan pada sampel melalui probe,

kemudian

dihasilkan

profil

tekstur

berupa

grafik

yang

menghubungkan antara gaya (force) dengan jarak (distance). Probe yang digunakan adalah probe yang dapat menjepit kedua ujung mie basah matang yang diukur. Sifat fisik mie basah matang yang dapat ditunjukkan oleh hasil pengukuran Rheoner yaitu persen elongasi dan gaya putus. Sebelum pengukuran, dilakukan setting alat sesuai dengan sampel yang akan dianalisis. Rumus untuk menghitung persen elongasi sebagai berikut. a

= 12 mm

b

= lebar kurva (mm) x 1.5

c

= (a2 + b2)1/2

∆L

= (2 x c) – 24

% Elongasi = (∆ L/24) x 100%

40

Rumus untuk menghitung besarnya gaya tarik mie basah matang sebagai berikut. Gaya tarik = 2 gram x lebar kurva (mm)

6. Uji Organoleptik (Soekarto 1985) Pengujian organoleptik terhadap mie basah matang terdiri dari pengujian terhadap aroma, rasa, tekstur, elongasi, dan overall. Uji yang dilakukan adalah uji rating hedonik terhadap 30 orang panelis. Sampel mie basah matang yang digunakan adalah sampel mie yang telah dicelup ke dalam larutan pengawet pada penelitian utama. Uji organoleptik ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pencelupan mie basah matang ke larutan pengawet terhadap tingkat penerimaan mie secara sensori oleh panelis. Skala hedonik yang digunakan menggunakan 5 titik dengan urutan meningkat menurut tingkat kesukaan, seperti ditunjukkan pada Tabel 10.

Tabel 10 Skala pengukuran uji hedonik Skor

Penilaian

1

Tidak suka

2

Kurang suka

3

Netral

4

Suka

5

Sangat suka

7. Uji Statistik Data hasil penelitian diolah secara statistik menggunakan program komputer statistik SPSS 13.0, untuk analisis ragam (ANOVA/ Analysis of Variance) dan Uji Duncan (Duncan’s New Multiple Range Test). Uji ini digunakan untuk menguji signifikansi data yang diperoleh.

41

8. Analisis Biaya Analisis biaya dilakukan untuk mengetahui besar biaya yang diperlukan untuk membuat larutan pengawet dari ekstrak bawang putih dan asam asetat untuk produk mie basah matang. Pengujian terhadap analisis biaya ini dilakukan pada setiap batch.

9. Penyimpanan Penyimpanan mie basah matang dilakukan pada kondisi suhu ruang selama minimal 4 hari dengan menggunakan kemasan plastik HDPE untuk melihat tingkat efektifitas dari masing-masing formula larutan pengawet. Mie basah matang disimpan dalam plastik HDPE agar mie tidak mengalami kontaminasi udara luar selama penyimpanan.

42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN Pada penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi bawang putih dengan metode perebusan dan maserasi. Kedua metode ini dilakukan untuk menemukan metode terbaik dan terekonomis sehingga dapat diperoleh ekstrak bawang putih yang dapat membuat larutan pengawet memiliki pH ≤ 3 serta rasa tidak asam. Larutan pengawet pada penelitian ini merupakan campuran dari cuka pasar dan ekstrak bawang putih. Cuka pasar yang digunakan mengandung 25% asam asetat. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ferdiani (2008) yang menyebutkan bahwa mie basah matang yang dicelup ke dalam asam cuka 2% yang berasal dari cuka pasar mampu mempertahankan umur simpan selama 4 hari dengan biaya pengawetan yang efisien, yaitu Rp0.027/kg mie basah matang atau sebesar Rp27/gr mie basah matang. Namun asam cuka 2% belum dapat diaplikasikan ke masyarakat karena masih meninggalkan rasa dan aroma asam pada mie basah matang. Pencampuran dengan ekstrak bawang putih diharapkan dapat menutupi rasa dan aroma asam yang dimiliki cuka pasar.

1. Tahapan Pendahuluan pada Bawang Putih Alasan pemilihan bawang putih sebagai rempah yang diekstraksi diantaranya faktor kemudahan mendapatkan bawang putih, harga bawang putih yang relatif murah (Rp20000/kg), dan komponen aktif yang dikandung bawang putih. Bawang putih mengandung alisin, suatu komponen aktif cita rasa dan antimikroba yang bersifat larut dalam pelarut organik (Nagpurkar et al. 2000). Bawang putih yang digunakan berumur 4 bulan. Pemanenan bawang putih yang ditanam di daerah Bogor, yang merupakan dataran tinggi, paling baik dilakukan saat bawang putih mencapai umur 4 bulan agar umbi bawang telah mengandung semua komponen secara optimal. Menurut Wati (2007), bawang putih yang siap panen memiliki ciri-ciri berikut : (a) umur panen bawang putih yang ditanam di dataran tinggi yaitu 105-120 hari setelah tanam, sedangkan

pada dataran rendah 85-90 hari setelah tanam; (b) daun menguning dan mengering, antara 60%-90%; (c) batang mulai mengering dan rebah, pangkal batangnya menjadi lemah; (d) umbi sudah memadat, tetapi kulit umbi belum retak dan siung belum lepas. Tahapan pendahuluan pada bawang putih segar yang diekstraksi dengan perebusan yaitu pengupasan, pengecilan ukuran, dan pememaran. Berat bawang putih sebelum dan setelah mengalami tahapan pendahuluan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Rendemen bawang putih segar Tahapan

Berat (gram)

Sebelum tahapan pendahuluan

124

Setelah tahapan pendahuluan

100

Rendemen (%) 80.65

Bawang putih dikupas dari kulit tipis berwarna putih yang menjadi pembungkus siung dan berfungsi sebagai pelindung siung. Pengecilan ukuran bawang putih dilakukan dengan pengirisan hingga ketebalan bawang putih sekitar 0.5 cm. Semakin kecil ukuran bawang putih, maka luas permukaan bawang yang kontak dengan air akan semakin besar sehingga kadar ekstrak komponen aktif bawang putih juga akan meningkat (Swern 1982). Pengeluaran komponen aktif bawang putih semakin dipermudah dengan adanya proses pememaran. Rendemen yang dihasilkan dari tahapan pendahuluan ini sebesar 80.65%. Sebanyak 19.35% bagian bawang putih yang terbuang merupakan pangkal daun (pelepah) bawang putih, kulit tipis bawang putih, dan ujung siung bawang putih. Bagianbagian ini dibuang selama proses pengupasan, pengirisan, dan pememaran. Bawang putih seberat 100 gr hasil tahapan pendahuluan selanjutnya diekstraksi dengan perebusan. Tahapan pendahuluan pada bawang putih kering atau layu yang diekstraksi dengan perebusan yaitu pengupasan, pengecilan ukuran, penjemuran, dan pememaran. Berat bawang putih sebelum dan setelah tahapan pendahuluan ditunjukkan pada Tabel 12.

44

Tabel 12 Rendemen bawang putih kering Tahapan

Berat (gram)

Sebelum tahapan pendahuluan

156

Setelah tahapan pendahuluan

119

Rendemen (%) 76.28

Berat bawang putih awal yaitu sebesar 156 gr, berkurang sebesar 23.72% setelah bawang putih dikupas, diiris, dijemur, dan dimemarkan. Pengurangan berat bawang putih pada tahapan pendahuluan bawang putih kering atau layu lebih besar dibandingkan pada bawang putih segar. Hal ini disebabkan adanya proses pengeringan atau pelayuan yang dilakukan dengan penjemuran bawang putih dibawah sinar matahari selama ± 20 menit. Penjemuran menyebabkan sebagian uap air dalam bawang putih menguap sehingga menghindari adanya air dalam ekstrak yang diperoleh. Proses ini diharapkan dapat meningkatkan mutu ekstrak bawang putih. Somaatmadja (1985) mengemukakan bahwa selama pengeringan terjadi penguraian air dari jaringan ke permukaan bahan yang kemudian menyebabkan hilangnya air tersebut. Bawang putih hasil tahapan pendahuluan yaitu sebesar 119 gr selanjutnya diekstraksi dengan perebusan. Bawang putih yang diekstraksi dengan maserasi bertingkat dan maserasi pelarut air diberi perlakuan pendahuluan yang sama. Berat bawang putih sebelum dan setelah tahapan pendahuluan ditunjukkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Rendemen bawang putih Tahapan

Berat (gram)

Sebelum tahapan pendahuluan

125.5

Setelah tahapan pendahuluan

106

Rendemen (%) 84.46

Bawang putih yang telah mengalami pengupasan dan pengirisan sebanyak 125.5 gr dikeringkan selama 3 jam sehingga menghasilkan bawang putih kering sebanyak 106 gr. Proses pengeringan ini bertujuan

45

untuk meningkatkan mutu ekstrak dengan menghindari adanya air dalam ekstrak (Houghton et al. 1998). Oven vakum digunakan sebagai alat pengering untuk mencegah terjadinya perubahan dan kehilangan komponen kimia dari bawang putih yang terlalu banyak (Oktora 2002).

2. Ekstraksi Bawang Putih Metode Perebusan Metode perebusan dilakukan sebagai salah satu metode ekstraksi bawang putih berdasarkan alasan ekonomis. Apabila metode perebusan dapat menghasilkan ekstrak bawang putih yang mampu menutupi rasa asam dari cuka pasar saat proses pencampuran, maka metode ini dapat lebih mudah diaplikasikan ke masyarakat. Ekstraksi bawang putih metode perebusan dilakukan pada bawang putih segar dan bawang putih kering atau layu. Hasil ekstraksi kedua macam bawang putih tersebut ditunjukkan pada Tabel 14.

Tabel 14 Ekstrak bawang putih metode perebusan Kondisi

Input

Ekstrak

Bawang Putih

(gr)

(ml)

pH

Karakteristik Ekstrak Cairan berwarna putih

Segar

100

370

6.15

kekuningan; bau bawang putih pekat Cairan berwarna putih

Kering / layu

100

320

6.13

kekuningan; bau bawang putih pekat

Jumlah ekstrak bawang putih segar yang diperoleh (370 ml) lebih banyak dibandingkan perolehan ekstrak bawang putih yang telah dijemur (320 ml). Proses pengeringan atau pelayuan dengan penjemuran mampu menguapkan air yang terkandung dalam bawang putih, sehingga bawang putih menjadi layu dan jumlah air dalam ekstrak menjadi berkurang. Sedangkan air yang terkandung dalam bawang putih segar ikut terekstrak dan memperbesar jumlah ekstrak yang didapat. Ekstrak bawang putih

46

segar maupun kering masing-masing merupakan cairan berwarna putih yang memiliki bau bawang putih yang pekat. pH kedua ekstrak tersebut yaitu 6.15 untuk ekstrak segar dan 6.13 untuk ekstrak kering. Hal ini sedikit berbeda dengan pernyataan Yohana (2007) yang menyatakan bahwa hasil perebusan bawang putih dengan perbandingan bawang : air sebesar 1:5 memiliki pH sebesar 6.71. Komponen aktif yang terekstrak dari bawang putih ini merupakan komponen yang bersifat larut air. Menurut Nagpurkar et al. (2000), komponen-komponen tersebut diantaranya senyawa turunan alisin yang larut air dan merupakan senyawa dari turunan sistein, yaitu S-alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen larut air dari alisin lebih stabil dibandingkan komponen larut minyaknya.

3. Ekstraksi Bawang Putih Metode Maserasi Bertingkat Ekstraksi maserasi bertingkat pada bawang putih menggunakan tiga macam pelarut, yaitu heksan, etil asetat, dan etanol. Pelarut heksan digunakan pada ekstraksi tingkat I, etil asetat pada ekstraksi tingkat II, dan etanol pada ekstraksi tingkat III. Ekstraksi bertingkat bertujuan untuk memperoleh komponen bawang putih yang bersifat polar sebagai hasil akhir, tanpa komponen lain yang bersifat non polar maupun semi polar. Komponen aktif yang bersifat polar dapat bercampur dengan asam asetat (cuka pasar) yang juga bersifat polar pada proses pencampuran. Hasil maserasi tingkat I serta tingkat II yang menggunakan pelarut heksan dan etil asetat yaitu berupa kerak yang lengket, berwarna coklat, dan menempel pada wadah ekstraksi. Pada ekstraksi tingkat I dan II, diperoleh kerak karena heksan dan etil asetat merupakan pelarut non polar dan semi polar yang hanya melarutkan komponen aktif dalam jumlah sangat sedikit. Komponen bawang putih yang terlarut dalam pelarut heksan merupakan komponen yang bersifat non polar. Menurut Supriadi (2002), komponen yang umumnya larut dalam heksan yaitu lilin, lemak, dan komponen terpenoid.

47

Sementara itu, maserasi tingkat III yang menggunakan pelarut etanol menghasilkan ekstrak sebesar 97.5 ml. Ekstrak ini berwujud cairan agak kental berwarna kuning pekat yang memiliki bau bawang putih yang cukup kuat. Ekstrak ini terdiri dari komponen polar bawang putih seperti alisin dan senyawa turunannya, ajoene, dan dithiin (Block 1985). Ekstrak bawang putih dengan pelarut etanol memiliki pH sebesar 5.86. Kelarutan komponen aktif bawang putih dalam pelarut etanol terutama dipengaruhi oleh persamaan kepolaran antara pelarut dengan komponen aktif tersebut. Supriadi (2002) menyatakan bahwa semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan tingkat kepolaran komponen penyusun bahan maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Ekstrak bawang putih yang dihasilkan dari proses maserasi tingkat III digunakan untuk proses pencampuran dengan cuka pasar.

4. Ekstraksi Bawang Putih Metode Maserasi Air Metode ekstraksi maserasi air dilakukan untuk mendapatkan ekstrak bawang putih yang mengandung komponen aktif yang bersifat larut air. Pelarut air yang bersifat polar akan mengekstrak komponen aktif pada bawang putih yang bersifat polar. Sebanyak 106 gr bawang putih kering diekstrak ke dalam 424 ml pelarut air (perbandingan 1:4) selama 24 jam menggunakan shaker. Ekstrak bawang putih setelah dishaker selama 24 jam dan belum mengalami penyaringan vakum ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9 Ekstrak bawang putih sebelum mengalami penyaringan.

48

Ekstrak kemudian disaring menggunakan penyaring vakum untuk memisahkan ekstrak dengan padatan bawang putih yang masih ikut tercampur. Ekstrak yang telah disaring ini disebut filtrat. Filtrat yang diperoleh yaitu sebanyak 340 ml dan merupakan campuran dari ekstrak dengan pelarut. Oleh sebab itu filtrat harus mengalami tahap penguapan (evaporasi) untuk memisahkan ekstrak bawang putih dari pelarutnya. Evaporasi filtrat dilakukan menggunakan Rotary Vaccum Evaporator hingga diperoleh larutan pekat dengan volume kira-kira seperempat dari volume awal filtrat. Larutan pekat ini merupakan ekstrak bawang putih, yang diperoleh sebanyak 85 ml. Ekstrak bawang putih yang dihasilkan memiliki warna kuning pekat, tekstur agak kental, dan berbau bawang. Ekstrak bawang putih ini mengandung komponen bawang putih yang larut air, seperti S-alilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein. Komponen bawang putih larut air ini diharapkan dapat larut saat pencampuran dengan asam asetat yang merupakan asam organik bersifat polar. pH ekstrak yang diperoleh yaitu sebesar 5.59.

5. Proses Pencampuran (Mixing) Cuka Pasar dengan Ekstrak Bawang Putih Proses pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih bertujuan untuk memperoleh larutan campuran dengan pH ≤ 3 serta rasa yang tidak asam. Pemilihan pH di bawah 3 didasarkan bahwa bakteri tidak dapat tumbuh pada pH di bawah 3. Menurut Doores (2005), pada umumnya bakteri masih toleran pada pH antara 4 - 9. Dalam hal rasa, larutan campuran yang terpilih yaitu yang memiliki rasa tidak asam sama sekali atau sedikit asam tetapi masih bisa diterima secara organoleptik. Larutan campuran yang terpilih disebut larutan biang. Larutan biang inilah yang selanjutnya digunakan sebagai larutan pengawet untuk mie basah matang pada penelitian utama.

49

5.1. Pencampuran Cuka Pasar : Ekstrak Bawang Putih Metode Perebusan Ekstrak dari bawang putih yang direbus menggunakan air dicampurkan dengan cuka pasar. Kandungan asam asetat dalam cuka pasar yaitu 25%. Pengukuran pH dan pencicipan rasa larutan campuran secara subjektif menghasilkan data yang dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Hasil pengukuran pH dan rasa campuran cuka pasar : ekstrak bawang putih metode perebusan Proses Ekstraksi

Cuka Pasar :

Bawang Putih

Ekstrak 0 : 100

pH

Rasa

6.15

Bawang ++++

Perebusan

30 : 70

2.99

≠ Asam, bawang +++

bawang putih

50 : 50

2.88

Asam ++, bawang +

segar

70 : 30

2.79

Asam +++

2.60

Asam ++++

6.13

Bawang ++++

100 : 0 0 : 100 Perebusan

30 : 70

2.94

Asam +, bawang +++

bawang putih

50 : 50

2.70

Asam ++, bawang +

kering/layu

70 : 30

2.63

Asam +++

2.60

Asam ++++

100 : 0

Berdasarkan data dapat diketahui bahwa ekstraksi bawang putih segar metode perebusan menghasilkan ekstrak dengan pH sebesar 6.15 dengan rasa bawang yang sangat kuat. Penurunan pH terjadi saat

ekstrak

bawang

putih

dicampur

dengan

cuka

pasar.

Pencampuran cuka pasar 30% dengan ekstrak bawang putih 70% menghasilkan larutan yang memiliki pH yang rendah, yaitu 2.99. Dari segi rasa, campuran 30:70 ini tidak memiliki rasa asam dikarenakan dominannya

rasa dari bawang putih. Hal ini

menyebabkan rasa dan aroma dari campuran 30:70 sangat khas

50

bawang putih. Penurunan pH kembali terjadi saat konsentrasi cuka pasar dinaikkan dan konsentrasi ekstrak bawang putih diturunkan. Pada pencampuran cuka pasar : ekstrak bawang putih 50:50, diperoleh pH campuran sebesar 2.88. Kali ini larutan campuran terasa cukup asam, dengan rasa dan aroma bawang putih yang tidak terlalu pekat. Pada pencampuran cuka pasar : ekstrak bawang putih 70:30, pH larutan campuran yaitu sebesar 2.79 dengan rasa larutan yang asam dan flavor bawang putih yang tidak lagi terasa. Cuka pasar 100% memiliki pH yang sangat rendah, yaitu 2.60. Larutan campuran cuka pasar : ekstrak bawang putih segar dengan perbandingan 30:70, 50:50, 70:30, dan cuka pasar 100% masing-masing memiliki pH di bawah 3. Keempat larutan ini memenuhi target penelitian pendahuluan berdasarkan pH. Namun, tidak ada satu larutan pun yang memiliki rasa yang tidak asam (netral). Larutan 30:70, meski tidak memiliki rasa asam namun memiliki rasa dan aroma bawang putih yang dominan. Rasa dan aroma bawang putih ini terlalu pekat untuk diterima secara organoleptik. Sedangkan larutan 50:50 memiliki rasa asam yang cukup menyengat dan bertahan lama di lidah (indera pengecap), sehingga secara organoleptik larutan ini tidak dapat diterima. Pada larutan campuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih segar, intensitas rasa asam dari cuka lebih besar dibandingkan intensitas

rasa

bawang.

Perebusan

membuat

bawang

putih

kehilangan komponen citarasa yang bersifat volatil yang diharapkan dapat menyeimbangkan intensitas citarasa asam dari asam asetat. Komponen volatil bawang putih yang paling banyak hilang saat perebusan yaitu dialil monosulfida, dialil disulfida, dan dialil trisulfida (Farrell 1985). Lyman (1989) menyatakan bahwa ketika satu rasa dikombinasikan dengan rasa yang lain, rasa-rasa tersebut tidak akan membentuk suatu rasa baru. Masing-masing komponen rasa akan bereaksi, yang dapat meningkatkan atau mengurangi intensitas salah satu rasa. Senyawa citarasa dalam ekstrak bawang

51

putih segar sebagian telah volatil akibat proses perebusan, sehingga hanya sebagian kecil senyawa yang dapat bereaksi dengan ion H+ (pembentuk rasa asam dari asetat). Ion H+ bebas menjadi lebih dominan dan rasa asamlah yang terasa di indera pengecap. Hal inilah yang menyebabkan seluruh larutan campuran ini tidak lolos screening sebagai larutan biang. Ekstraksi bawang putih kering metode perebusan menghasilkan ekstrak yang memiliki pH sebesar 6.13. Nilai pH ini sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan pH ekstrak bawang putih segar dengan perebusan (6.15). Pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih perbandingan 30:70 menghasilkan larutan campuran yang memiliki pH sebesar 2.94 serta rasa bawang putih yang kuat dengan sedikit rasa asam. Pencampuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih 50:50 menghasilkan larutan dengan pH 2.70. Meskipun konsentrasi cuka pasar dan ekstrak bawang putih sama besar, namun larutan campuran ini memiliki rasa dan aroma bawang yang lemah, dengan rasa asam dari cuka pasar yang cukup kuat. Pada larutan campuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih 70:30, flavor bawang putih tertutupi oleh rasa asam dari cuka pasar. Larutan ini memiliki pH sebesar 2.63. Larutan cuka pasar 100% memiliki pH yang rendah, yaitu 2.60. Berdasarkan segi pH, larutan 30:70, 50:50, 70:30, dan cuka pasar 100% memenuhi syarat larutan biang karena memiliki pH dibawah 3. Namun berdasarkan segi rasa, tidak ada satu pun dari larutan tersebut yang memiliki rasa tidak asam. Seperti halnya ekstrak bawang putih segar, komponen aktif dari ekstrak bawang putih kering juga sebagian hilang akibat proses perebusan dan penjemuran. Menurut Harborne (1987), pengeringan rempah dengan penjemuran dapat menyebabkan terjadinya perubahan komposisi senyawa penyusun bahan. Proses oksidasi juga dapat terjadi akibat kontak langsung udara dengan bahan yang menyebabkan hilangnya atom karbon dari gugus metil yang teroksidasi menjadi gugus karboksil

52

dan kemudian terlepas menjadi CO2. Hilangnya komponen volatil dari bawang putih akibat penjemuran menyebabkan kadar komponen aktif pada ekstrak lebih sedikit, dan membuat pH ekstrak lebih rendah. Hal ini juga menyebabkan jumlah ion H+ bebas dari asam asetat menjadi lebih banyak saat ekstrak bawang putih dicampurkan dengan cuka pasar. Hal ini menyebabkan rasa asam dari cuka pasar lebih dominan pada perbandingan 50:50, 70:30, bahkan sudah mulai terasa pada perbandingan 30:70. Sehingga seluruh larutan campuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih kering yang direbus tidak lolos screening larutan biang.

5.2. Pencampuran Cuka Pasar : Ekstrak Bawang Putih Metode Maserasi Pelarut Air dan Etanol Maserasi bawang putih menggunakan pelarut air maupun etanol menghasilkan ekstrak bawang putih yang mengandung komponen polar. Komponen tersebut bertindak sebagai komponen citarasa dari bawang putih, diantaranya alisin, senyawa turunan sistein (Salilsistein, S-alil merkaptosistein, dan S-metil sistein) (Nagpurkar et al. 2000), serta senyawa sulfida hasil dekomposisi dari alisin (ajoene dan dithiin) (Block 1985). Pada pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih metode maserasi (air maupun etanol) digunakan konsentrasi ekstrak bawang putih yang lebih rendah. Hal ini dilakukan berdasarkan alasan ekonomis. Proses ekstraksi bawang putih metode maserasi menggunakan pelarut dan peralatan laboratorium yang lebih besar dari segi biaya jika dibandingkan dengan ekstraksi bawang putih metode perebusan. Penggunaan konsentrasi ekstrak bawang putih yang lebih rendah ini dilakukan untuk menekan biaya pengawetan, sehingga larutan pengawet yang dihasilkan tetap dapat terjangkau oleh produsan dan pedagang mie basah matang.

53

Hasil pengukuran pH dan pencicipan rasa dari larutan campuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih maserasi air dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Hasil pengukuran pH dan rasa campuran cuka pasar: ekstrak bawang putih maserasi air dan etanol

Proses Ekstraksi Bawang Putih

Cuka Pasar:

pH

Rasa

8:2

2.74

Asam ++++

7:3

2.93

Asam +; rasa asam cepat

Ekstrak

hilang Maserasi air

6:4

3.05

Asam +; bawang +; rasa asam cepat hilang

5:5

3.22

Asam +; bawang +++; rasa asam cepat hilang

8:2

2.80

Asam ++++

7:3

2.95

Asam +; rasa asam cepat hilang

Maserasi etanol

6:4

3.20

Asam +; bawang +; asam cepat hilang

5:5

3.42

Asam +; bawang +++; rasa asam cepat hilang

Ekstrak bawang putih yang diperoleh dari maserasi pelarut air memiliki pH sebesar 5.59. Nilai pH ini berkurang ketika dilakukan campuran antara cuka pasar dengan ekstrak. Pada pencampuran dengan perbandingan konsentrasi cuka pasar : ekstrak 8:2, pH larutan turun menjadi 2.74. Larutan campuran ini memiliki rasa asam yang sangat menyengat (asam ++++). Pencampuran cuka pasar dan ekstrak dengan perbandingan 7:3 menghasilkan larutan yang memiliki rasa asam yang sedikit terasa di lidah, rasa asam tersebut

54

cepat hilang, dan tidak terasa flavor bawang putih. Larutan campuran ini memiliki pH sebesar 2.93. Larutan hasil pencampuran cuka pasar dengan ekstrak perbandingan 6:4 memiliki pH sebesar 3.05 dengan rasa asam dan bawang putih yang sedikit terasa di lidah. Rasa asam pada larutan ini pun terasa cepat hilang. Larutan campuran cuka pasar dan ekstrak dengan perbandingan 5:5 memiliki pH sebesar 3.22. Flavor bawang putih terasa kuat pada larutan ini. Namun, rasa asam dari cuka pasar masih sedikit terasa di lidah dalam waktu yang singkat. Ekstrak bawang putih hasil maserasi menggunakan pelarut etanol memiliki pH awal sebesar 5.86. Ketika dicampurkan dengan cuka pasar dengan perbandingan 8:2, pH campuran turun menjadi 2.80 dan memiliki rasa asam yang pekat. Nilai pH turun kembali pada perbandingan campuran 7:3, yaitu 2.95 dengan sedikit rasa asam yang terasa singkat di indera pengecap dan cepat hilang. Penambahan asam asetat dengan perbandingan 6:4 menghasilkan pH sebesar 3.20 dan campuran memiliki rasa bawang serta sedikit rasa asam yang cepat hilang. Larutan dengan perbandingan asam asetat : ekstrak 5:5 memiliki pH sebesar 3.42 dengan rasa bawang dominan dan sedikit rasa asam yang terasa cepat hilang di lidah. Larutan campuran cuka pasar dan ekstrak bawang putih maserasi air maupun etanol perbandingan 7:3, 6:4, dan 5:5 memiliki rasa asam yang cepat terasa hilang di lidah. Hal ini berkaitan dengan sensitivitas rasa asam dan flavor bawang pada indera pengecap. Woodworth et al. (1954) menyatakan bahwa konsentrasi suatu zat yang dibutuhkan untuk dapat terdeteksi oleh indera pengecap manusia berbeda-beda, tergantung dari rasa dan zat

yang

dikandungnya. Rasa dari suatu zat baru akan terasa sepenuhnya setelah ¼ hingga 2 detik setelah zat tersebut kontak dengan lidah (Lyman 1989). Waktu setiap zat untuk dapat terasa secara keseluruhan juga dipengaruhi oleh kandungan zat tersebut.

55

Pada asam asetat, ion hidrogen (H+) merupakan substansi yang menjadi stimulus rasa asam yang dirasakan oleh indera pengecap. Di dalam mulut, ion hidrogen ini akan dideteksi oleh ion hydrogen channel. Ion hidrogen mampu menyebar dan berinteraksi dengan amiloride-sensitive channels di dalam mulut. Selain itu, ion hidrogen ini juga mampu menghambat potassium channel yang memiliki fungsi

secara

normal

untuk

melakukan

hiperpolarisasi

sel.

Penghambatan terjadi karena ion hidrogen mampu menurunkan pH dalam mulut dan membuat tertutupnya (blocking) ion channel dari potassium. Kombinasi aksi dari ion hidrogen ini menyebabkan rasa asam dapat terdeteksi oleh mulut (Bray 1992). Ion hidrogen dari asam asetat ini memberikan rasa asam yang cepat terasa dan menusuk di lidah. Oleh sebab itu, asam asetat dikatakan memiliki rasa asam yang menusuk (Lyman 1989). Komponen citarasa pada bawang putih yang mempengaruhi rasa larutan campuran berasal dari komponen volatil dan non volatil. Wati (2007) membagi sensasi citarasa dari rempah menjadi hot sensation dan sharp sensation. Hot sensation merupakan jenis citarasa yang menyebar di seluruh mulut, sedangkan sharp sensation dapat menstimulasi membran mukosa, baik pada hidung maupun pada rongga mulut. Sebagian besar komponen aktif pada rempah yang menghasilkan sharp sensation biasanya bersifat volatil, sedangkan komponen yang menghasilkan hot sensation biasanya bersifat non volatil. Gugus sulfida pada bawang putih cenderung menghasilkan sharp sensation. Menurut Farrell (1985), karakteristik flavor dari bawang putih yaitu alliceous dan sulfurous. Ekstrak bawang putih yang berasal dari maserasi pelarut polar cenderung memiliki komponen volatil dan non volatil, karena proses maserasi tidak menggunakan panas (suhu tinggi), sehingga komponen aktif tidak terdegradasi selama ekstraksi. Ketika terjadi pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih hasil maserasi air maupun etanol, ion hidrogen (H+) dari cuka

56

pasar bereaksi dengan komponen aktif dari ekstrak bawang putih. Reaksi ini membuat kerja dari ion hidrogen dalam menghasilkan rasa dan flavor asam di lidah menjadi terhambat. Sebaliknya, hot dan sharp sensation yang seharusnya terasa dalam mulut juga dihambat oleh ion-ion hidrogen. Sebagai hasil yang dirasakan oleh indera pengecap yaitu rasa asam yang sedikit terasa di lidah dan cepat hilang, tanpa sensasi dari flavor bawang putih. Rasa asam ini berasal dari ion hidrogen bebas yang tidak bereaksi dengan komponen aktif bawang putih. Larutan campuran asam asetat dan ekstrak bawang putih hasil maserasi menggunakan pelarut air maupun etanol yang memenuhi kriteria pH < 3 serta rasa tidak asam yaitu larutan 7:3. Larutan inilah yang selanjutnya digunakan sebagai larutan biang pada penelitian utama. Larutan terpilih dari pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih maserasi air (larutan 7:3) disebut larutan biang A, sedangkan larutan terpilih dari pencampuran cuka pasar dengan ekstrak bawang putih maserasi etanol disebut larutan biang E.

B. PENELITIAN UTAMA Pada penelitian utama, larutan biang A dan E diencerkan menjadi 10%, 20%, dan 30%. Kandungan asam asetat yang terkandung pada masing-masing konsentrasi pengenceran ditunjukkan pada Tabel 17. Perhitungan kandungan asam asetat tiap pengenceran tercantum pada Lampiran 3.

Tabel 17 Kandungan asam asetat pada larutan biang A dan E yang diencerkan Besar Pengenceran Larutan Biang 7:3 (%)

Kandungan asam asetat (%)

10

1.75

20

3.5

30

5.25

Mie basah matang dicelup ke masing-masing larutan, kemudian dilakukan pengamatan umur simpan mie basah matang secara visual. Pengamatan

57

meliputi warna, bau, dan tekstur hingga mie basah matang mengalami kerusakan. Pengamatan umur simpan mie basah matang secara visual ini dilakukan untuk memperkirakan umur simpan mie basah matang secara visual yang berkaitan dengan kelayakannya secara organoleptik untuk dikonsumsi. Hasil pengamatan visual mie basah matang yang dicelup dengan larutan 10%, 20%, dan 30% dari larutan biang A dan E dapat dilihat pada Lampiran 4 serta Lampiran 5. Mie basah matang tanpa pencelupan (kontrol) memiliki warna, bau, dan tekstur yang normal pada penyimpanan hari ke-0. Hal ini menunjukkan mie basah matang berada dalam keadaan baik dan layak konsumsi. Perubahan terjadi pada penyimpanan hari ke 1 dan 2. Bau mie basah matang kontrol berkurang intensitasnya bila dibandingkan dengan bau mie basah matang normal. Selain itu, tekstur mie basah matang yang normalnya licin menjadi agak kesat. Pada penyimpanan hari ke 3 dan 4, bau mie basah matang kontrol menjadi lebih berkurang intensitasnya bila dibandingkan dengan bau mie basah matang hari ke-2. Mie basah matang tersebut menjadi berbau agak tengik. Hal ini disebabkan oleh reaksi oksidasi yang terjadi pada minyak kelapa yang melapisi permukaan mie. Warna mie pun menjadi lebih pucat. Selain itu, timbul tanda-tanda kerusakan mie basah matang yang lain, yaitu adanya lendir akibat aktivitas mikroba. Perkiraan umur simpan mie basah matang tanpa pencelupan yaitu selama 2 hari. Hal ini disebabkan memasuki penyimpanan hari ke-3 dan ke-4 telah tampak tanda-tanda kerusakan pada mie basah matang, meliputi perubahan warna menjadi lebih pucat, adanya lendir, dan bau tengik. Mie basah matang yang dicelup larutan biang A dan E yang diencerkan 10% memiliki bau, warna, dan tekstur yang normal selama penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4. Hal ini menunjukkan larutan 10% biang dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga 4 hari. Mie basah matang yang dicelup larutan hasil pengenceran biang A dan E sebesar 20% memiliki warna yang normal selama penyimpanan hari ke-0 hingga ke-4. Mie basah matang ini memiliki bau asam dari cuka yang telah tercium sejak penyimpanan hari ke-0. Bau asam cuka tetap tertinggal pada mie

58

hingga penyimpanan hari ke-4. Tekstur mie basah matang tetap normal hingga penyimpanan hari ke-2 dan menjadi agak kesat (berkurang kelicinannya) di hari ke-3 dan ke-4. Larutan 20% biang ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba penyebab timbulnya lendir pada mie, sehingga mie memiliki tekstur yang tidak berlendir. Larutan 20% biang dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga hari ke-4. Namun, bau asam dari cuka yang tetap tertinggal membuat mie basah matang kurang disukai secara organoleptik. Pencelupan mie basah matang dengan larutan 30% biang A maupun E mampu mempertahankan warna mie basah matang tetap normal hingga penyimpanan hari ke-4. Pada penyimpanan hari ke-0, mie basah matang telah memiliki bau asam dari cuka yang cukup menyengat. Pada penyimpanan hari ke-1 hingga ke-4, bau asam cuka bertambah kuat. Tekstur mie basah matang yang normal dapat dipertahankan hingga penyimpanan hari ke-2. Pada hari ke3 dan ke-4, mie basah matang menjadi agak kesat. Seperti halnya larutan biang 20%, larutan biang 30% pun dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara visual hingga hari ke-4. Bau asam dari cuka yang tercium lebih kuat membuat mie basah matang ini tidak disukai secara organoleptik. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, diketahui bahwa larutan biang A dan E yang diencerkan sebesar 10% mampu mempertahankan mutu mie basah matang dari segi warna, bau, dan tekstur selama 4 hari. Hal ini menyebabkan pengenceran larutan biang A dan E dengan perbandingan 7:3 sebesar 10% menjadi batas tengah dari optimasi larutan biang. Optimasi larutan biang yang dilakukan yaitu dengan mengencerkan larutan biang 7:3 menjadi 5%, 10%, dan 15%. Tabel 18 menunjukkan besar optimasi pengenceran larutan biang beserta jumlah asam asetat yang dikandungnya. Selanjutnya dilakukan pencelupan mie basah matang ke larutan biang yang dioptimasi dan penyimpanan mie hingga mengalami kerusakan. Analisis fisik, kimia, dan mikrobiologi pada mie basah matang yang diawetkan dilakukan setiap hari hingga terjadi kerusakan.

59

Tabel 18 Besar optimasi pengenceran larutan biang Rumus Besar

Besar Pengenceran

Pengenceran terhadap terhadap Larutan

Kandungan Asam asetat (%)

Larutan Biang (%)

Biang (%)

(x – 5)

5

0.88

x

10

1.75

(x + 5)

15

2.63

1. Total Mikroba Menurut Buckle et al. (1985), penyebab utama kerusakan bahan pangan yaitu mikroorganisme dan berbagai perubahan enzimatis maupun non enzimatis. Fardiaz (1989) menyatakan bentuk-bentuk kerusakan bahan pangan oleh mikroorganisme diantaranya berjamur, pembusukan (rots), berlendir, perubahan warna, kerusakan fermentatif serta pembusukan bahan-bahan berprotein. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu faktor utama

penentu

keawetan

suatu

bahan

pangan

yaitu

aktivitas

mikroorganisme pada bahan pangan tersebut. Analisis total mikroba yang dilakukan selama penyimpanan mie basah matang yaitu analisis Total Plate Count (TPC) yang bertujuan untuk menghitung jumlah mikroba total pada sampel, termasuk bakteri, kapang, dan khamir. SNI 01-2987-1992 tentang syarat mutu mie basah menyatakan bahwa batas cemaran mikroba pada mie basah yaitu maksimal 1.0 x 106 koloni/g pada angka lempeng total, maksimal 10 APM/g E. coli, dan maksimal 1.0 x 104 koloni/g kapang. Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan A1, A2, dan A3 dapat dilihat pada Gambar 10.

60

Total Mikroba (Log)

8 7 6 5 4 3 2 1 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan KONTROL

A1

A2

A3

Gambar 10 Grafik total mikroba mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air.

Total mikroba mie basah matang kontrol mengalami kenaikan pada penyimpanan hari ke-0 hingga hari ke-4. Nilai total mikroba berturut-turut dari hari 0, 1, 2, 3, dan 4 yaitu 1.21x 104 koloni/g; 2.95 x 104 koloni/g; 1.9 x 106 koloni/g; 2.5 x 106 koloni/g; dan 6.35 x 106 koloni/g. Garis merah menunjukkan batas total mikroba pada mie basah matang menurut SNI, yaitu maksimal 1.0 x 106 koloni/g. Berdasarkan grafik dapat diketahui bahwa mie basah matang kontrol pada hari ke-0 dan ke-1 masih berada di bawah garis batas SNI, yaitu pada angka 1.21x 104 koloni/g dan 2.95 x 104 koloni/g. Hal ini menandakan mie basah matang kontrol masih berada dalam keadaan baik dan layak untuk dikonsumsi. Tanda-tanda kerusakan mie basah matang kontrol mulai terjadi pada penyimpanan di hari ke-2. Nilai total mikrobanya melebihi batas SNI, yaitu pada nilai 1.9 x 106 koloni/g. Kerusakan awal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya aktivitas mikroba pada mie basah matang, terutama karena kadar air mie yang tinggi yaitu sekitar 52% (Astawan, 2005). Kerusakan oleh mikroba terus berlanjut hingga penyimpanan hari ke-3 dan ke-4. Nilai total mikroba dari mie basah matang terus melewati batas SNI. Selain itu, terjadi perubahan fisik dari mie basah matang secara visual. Mie basah matang kontrol di hari ke-3 dan ke-4 memiliki tekstur yang lembek, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa dari segi

61

total mikroba, mie basah matang kontrol memiliki umur simpan hingga hari ke-1. Setelah penyimpanan hari ke-1, mie basah matang kontrol sudah tidak layak konsumsi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yuniar (2004) bahwa mie basah yang disimpan pada suhu kamar hanya memiliki umur simpan selama 24 jam. Perubahan yang timbul akibat kerusakan mie basah matang tersebut yaitu aroma mie menjadi asam dan diikuti dengan pembentukan

lendir.

Pembentukan

lendir

menandakan

adanya

pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam (Hoseney, 1998). Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A1 (pengenceran 5% dari larutan biang hasil maserasi air) memiliki nilai total mikroba pada penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4 berturut-turut sebanyak 1.13 x 104 koloni/g; 2.5 x 104 koloni/g; 2.5 x 105 koloni/g; 2.5 x 105 koloni/g; dan 1.38 x 106 koloni/g. Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A1 ini memiliki mutu mikrobiologi yang tetap baik hingga penyimpanan hari ke-3. Terbukti dari nilai total mikroba yang tidak melebihi batas SNI. Asam asetat sebanyak 0.88% yang terkandung dalam larutan pengawet A1 mampu menghambat pertumbuhan mikroba pada mie basah matang selama hari ke-3. Namun pada penyimpanan hari ke-4, pertumbuhan mikroba meningkat hingga melewati 1.0 x 106 koloni/g. Jika dibandingkan dengan mie basah kontrol, larutan A1 dapat memperpanjang umur simpan mie basah matang hingga hari ke-3. Larutan pengawet A2 memiliki daya hambat pada pertumbuhan mikroba mie basah matang yang lebih baik dibandingkan larutan pengawet A1. Hal ini ditunjukkan dari nilai total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan A2 selama penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4 berturutturut sebesar 1.64 x 104 koloni/g; 5.4 x 103 koloni/g; 2.5 x 104 koloni/g; 2.5 x 105 koloni/g; dan 2.5 x 105 koloni/g. Selama mie basah matang yang dicelup larutan A2 mengalami penyimpanan, tetap terjadi pertumbuhan mikroba. Namun pertumbuhan mikroba terjadi dalam jumlah 1 log yang sama hingga hari penyimpanan ke-2. Pada penyimpanan hari ke-3 dan ke4 barulah terjadi kenaikan pertumbuhan mikroba sebanyak 1 log. Total

62

mikroba pada mie basah matang ini tidak melebihi batas SNI hingga hari penyimpanan ke-4. Hal ini disebabkan kandungan asam asetat yang lebih tinggi pada larutan A2, yaitu sebanyak 1.75% yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba secara lebih efektif. Naidu (2000) menyebutkan bahwa keefektifan asam asetat semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dan suhu, serta menurunnya pH. Asam asetat yang memiliki pH rendah dapat membunuh mikroba yang sebagian besar tidak tahan terhadap pH rendah (Buckle et al. 1987). Daya hambat larutan pengawet A3 terhadap pertumbuhan mikroba pada mie basah matang tidak berbeda jauh dengan larutan A2. Nilai total mikroba mie basah matang penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4 yaitu 1.28 x 104 koloni/g; 4.3 x 103 koloni/g; 2.5 x 104 koloni/g; 2.5 x 105 koloni/g; dan 2.5 x 105 koloni/g. Jumlah mikroba mie basah matang tidak melewati batas SNI hingga penyimpanan hari ke-4. Kandungan asam asetat pada larutan A3 sebanyak 2.63% lebih efektif menghambat pertumbuhan mikroba dibandingkan larutan A1 dan A2. Konsentrasi asam asetat yang lebih tinggi pada larutan A3 membuat pH larutan dan pH mie basah matang menjadi lebih rendah, sehingga lebih banyak mikroba yang tidak dapat bertahan hidup. Menurut Marshall et al. (2000), sifat antimikrobial asam asetat yang bersifat asam lemah akan meningkat dengan menurunnya pH. Berdasarkan nilai total mikroba masing-masing pencelupan pada larutan pengawet A, larutan A1 memiliki daya hambat mikroorganisme yang paling rendah bila dibandingkan dengan larutan A2 dan A3. Larutan A3 memiliki daya hambat mikroba tertinggi karena kandungan asam asetat yang lebih tinggi dari ketiga larutan, yaitu 2.63%. Hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan 5%, 10%, dan 15% dari larutan biang E dapat dilihat pada Gambar 11.

63

Total Mikroba (Log)

8 7 6 5 4 3 2 1 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan KONTROL

E1

E2

E3

Gambar 11 Grafik total mikroba mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol.

Mie basah matang yang dicelup larutan E1 (pengenceran 5% dari larutan biang E) memiliki nilai total mikroba berturut-turut sebesar 3.6 x 103 koloni/g; 5.0 x 103 koloni/g; 2.5 x 105 koloni/g; 2.5 x 105 koloni/g; dan 9.75 x 105 koloni/g pada penyimpanan hari ke-0, 1, 2, 3, dan 4. Larutan E1 ini mengandung asam asetat sebanyak 0.88%, jumlah yang sama dengan asam asetat yang dikandung larutan A1. Namun, larutan E1 ternyata dapat menjaga mutu mikrobiologi mie basah matang hingga penyimpanan hari ke-4 tanpa melewati batas SNI. Hal ini disebabkan ekstrak bawang putih yang dihasilkan dari maserasi dengan pelarut etanol dapat mengekstrak komponen aktif yang bersifat polar secara lebih efektif. Komponen aktif bawang putih yang terekstrak tersebut juga bertindak sebagai komponen antimikroba. Salah satu komponen aktif bawang putih yang bersifat larut dalam pelarut polar yaitu alisin (Nagpurkar et al., 2000). Alisin terbukti memiliki kemampuan menghambat mikroba (Eskin, 1979). Hal ini juga menyebabkan terbantunya daya kerja antimikroba dari asam asetat pada larutan pengawet E1. Sehingga daya hambat larutan E1 terhadap pertumbuhan mikroba mie basah matang pun lebih baik. Larutan E2 dan E3 memiliki daya hambat yang hampir sama kuat terhadap pertumbuhan mikroba pada mie basah matang. Mie basah matang yang dicelup larutan E2 memiliki nilai total mikroba selama penyimpanan

64

hari ke-0 hingga ke-4, yaitu 2.5 x 103 koloni/g; 1.1 x 104 koloni/g; 2.5 x 105 koloni/g; 2.5 x 105 koloni/g; dan 6.2 x 105 koloni/g. Sementara total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan E3 selama 4 hari penyimpanan yaitu 2.5 x 103 koloni/g; 2.5 x 103 koloni/g; 2.5 x 105 koloni/g; 2.5 x 105 koloni/g; dan 2.5 x 105 koloni/g. Penghambatan mikroba oleh larutan E3 sedikit lebih kuat dibandingkan dengan larutan E2. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mikroba di hari ke-4 pada larutan E2. Kandungan asam asetat yang lebih tinggi pada larutan E3 (sebesar 2.63%) membuat kemampuan larutan pengawet E3 dalam menurunkan jumlah mikroba mie basah matang lebih baik dibandingkan kemampuan antimikroba larutan pengawet E1 dan E2. Berdasarkan hasil analisis total mikroba, larutan E1, E2, dan E3 mampu mempertahankan mutu mie basah matang hingga penyimpanan hari ke-4 secara mikrobiologi. Hasil analisis ragam menunjukkan total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan A1, A2, A3, E1, E2, dan E3 tidak berbeda nyata dengan kontrol pada penyimpanan hari ke-0. Hari ke-0 yaitu hari saat mie basah matang mengalami pencelupan larutan pengawet. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi mikrobiologis mie dalam keadaan yang relatif sama saat pencelupan. Total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan A dan E berbeda nyata dengan kontrol pada penyimpanan hari ke-1, 2, dan 3. Hal ini menunjukkan perlakuan pencelupan mie ke larutan A dan E membuat mie tersebut memiliki perbedaan dalam parameter total mikroba dengan mie kontrol. Mikroorganisme penyebab kerusakan mie basah matang dapat timbul akibat kondisi sanitasi yang tidak baik di tempat pembuatan mie maupun kontaminasi di tempat penjualan. Tepung terigu sebagai bahan utama dalam pembuatan mie basah matang juga dapat berkontribusi sebagai penyebab adanya mikroba pada mie. Bulla et al. (1978) menyebutkan bahwa sebagian besar mikroba yang hidup di tepung yaitu bakteri dari famili

Pseudomonadaceae,

Bacillaceae,

Micrococcaceae,

Lactobacillaceae, dan Enterobacteriaceae. Bacillus sterothermophilus

65

merupakan salah satu mikroba yang menyebabkan kerusakan pada tepung terigu sebagai bahan baku mie basah matang (Fardiaz 1999). Asam asetat yang terkandung dalam larutan pengawet A maupun E akan terdisosiasi di dalam sel mikroba karena pH dalam sel yang netral (RCOOH terurai menjadi RCOO- + H+). Asam asetat yang terurai membuat ion H+ yang terbentuk dalam sel menjadi semakin banyak. Banyaknya ion H+ yang terbentuk membuat pH di dalam sel menjadi turun. Penurunan pH dapat menyebabkan sel menjadi mati karena aktivitas enzim dan asam nukleatnya terganggu (Garbutt 1997). Hal ini menyebabkan semakin tinggi kandungan asam asetat dalam larutan pengawet maka semakin banyak asam asetat yang terpapar dengan mie basah matang, sehingga kemampuan asam asetat untuk terdisosiasi menjadi ion H+ pun semakin besar. Hal ini membuat daya hambat asam asetat terhadap mikroba yang tumbuh di mie basah matang selama penyimpanan semakin tinggi. Berdasarkan hasil analisis total mikroba, dapat disimpulkan bahwa larutan terbaik yang dapat mempertahankan mutu mie basah matang secara mikrobiologis hingga penyimpanan hari ke-4 yaitu larutan A2, A3, dan E3. Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet tersebut memiliki total mikroba sebesar 2.5 x 105 koloni/g hingga penyimpanan hari ke-4. Data hasil perhitungan total mikroba pada mie basah matang yang dicelup larutan A dan E dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7.

2. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) menunjukkan kuantitas ion H+ yang terbentuk akibat penguraian molekul asam asetat dan pengaruhnya terhadap kualitas mie basah matang. Nilai pH juga menunjukkan pengaruh ion H+ dalam mie basah matang terhadap kemampuan mikroba untuk bertahan hidup didalamnya. pH mie basah matang selama penyimpanan yang dicelup dengan larutan pengawet hasil maserasi menggunakan pelarut air dapat dilihat pada Gambar 12.

66

10

pH

8 6 4 2 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

A1

A2

A3

Gambar 12 Grafik nilai pH mie basah matang dengan coating larutan pengawet hasil maserasi air.

Nilai pH mie basah matang kontrol selama 4 hari penyimpanan yaitu 7.92, 6.56, 6.45, dan 6.08. Nilai pH tersebut mengalami penurunan bila dibandingkan pH mie basah matang awal, yaitu sebesar 8.15. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Yuniar (2004) yang menyatakan bahwa mie basah dengan atau tanpa penambahan pengawet memiliki pH berkisar 8.4 - 8.6. Menurut Hatcher (2001), tingginya pH pada mie disebabkan penambahan garam alkali yaitu Na2CO3 pada proses pembuatan. Na2CO3 berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur mie (Badrudin 1994). Penurunan pH pada mie basah matang kontrol terjadi akibat aktivitas mikroba pembentuk asam, seperti Bacillus

stearothermophilus

yang

merupakan

mikroba

penyebab

kerusakan pada tepung yang memproduksi asam (Fardiaz 1999). Mikroba ini dapat timbul saat proses pengepakan maupun penyimpanan tepung. Kondisi sanitasi yang tidak baik saat pembuatan mie basah matang juga turut mempengaruhi jumlah mikroba awal dan efeknya terhadap mie mengalami penyimpanan. Kerusakan fisik pada mie basah matang kontrol mulai terjadi saat penyimpanan memasuki hari ke-2. Mie basah matang menjadi berbau asam dan memiliki tekstur yang lembek. Analisis total mikroba dari mie basah matang kontrol pun menunjukkan hal yang serupa. Mie basah matang kontrol pada penyimpanan hari ke-2 memiliki total

67

mikroba sebesar 1.9 x 106 koloni/g dan telah melewati angka batas total mikroba dari SNI. Kerusakan mie basah matang dari segi mikrobiologi juga ditunjukkan oleh nilai pH nya. Pada mie basah matang kontrol, menurunnya pH menunjukkan semakin besarnya akumulasi asam hasil aktivitas mikroba pembentuk asam yang merusak mie. Berdasarkan hasil analisis pH yang juga berhubungan dengan hasil analisis total mikroba, mie basah matang kontrol memiliki umur simpan hingga penyimpanan hari ke-1. Pencelupan mie basah matang dengan larutan A1 mampu menurunkan pH awal mie basah matang menjadi 5.64. Nilai pH awal ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan pH awal mie basah matang kontrol. Selama penyimpanan hari ke-1 hingga ke-4, mie basah matang mengalami penurunan pH yaitu sebesar 5.57, 5.29, 4.51, dan 4.35. Penurunan pH dapat terjadi akibat pelepasan proton-proton bebas dari asam asetat yang terkandung dalam larutan A1. Asam asetat yang terkandung dalam larutan A1 yaitu sebesar 0.88%. Proton bebas dari asam asetat dalam bentuk H+ ini dapat menurunkan pH mie basah matang. Selain dapat menurunkan pH mie basah matang, proton bebas dari penguraian asam asetat ini juga dapat masuk ke dalam sitoplasma sel mikroba. Eklund (1989) menyatakan bahwa sel mikroba akan berusaha mengeluarkan proton tersebut untuk mencegah terjadinya penurunan pH dan denaturasi di dalam sel. Akibatnya, pertumbuhan sel mikroorganisme menjadi lebih lambat bahkan berhenti sama sekali karena dibutuhkan energi untuk mengeluarkan proton dari dalam sel. Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A2 memiliki nilai pH selama 4 hari penyimpanan sebesar 4.64, 4.54, 4.35, dan 4.20. Nilai pH awal mie basah matang ini yaitu sebesar 4.53. Jika dibandingkan dengan nilai pH awal mie basah matang yang dicelup larutan A1 (5.64), nilai pH mie basah matang A2 lebih rendah. Hal ini disebabkan kandungan asam asetat pada larutan A2 yang lebih banyak dibandingkan A1, yaitu sebesar 1.75%. Akibatnya, jumlah proton bebas dalam bentuk ion H+ yang dilepaskan larutan A2 lebih banyak daripada proton bebas A1. Sehingga

68

kemampuan larutan untuk menurunkan pH mie basah matang selama penyimpanan juga semakin besar. Hal ini mendukung terciptanya kondisi asam pada mie basah matang yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba pada mie. Terhambatnya pertumbuhan mikroba pada mie juga menyebabkan nilai pH mie yang dicelup larutan A2 relatif tetap selama penyimpanan. Garbutt (1997) menyatakan bahwa penurunan pH dapat menyebabkan sel mikroba mati karena aktivitas enzim dan asam nukleatnya terganggu. Sementara itu, penurunan nilai pH yang lebih besar terjadi pada mie basah matang yang dicelup larutan A3. Larutan A3 memiliki kandungan asam asetat sebesar 2.63%, sehingga mampu menurunkan pH awal mie basah matang menjadi 4.40. Nilai pH ini terus mengalami penurunan selama penyimpanan hari ke-1 hingga hari ke-4, yaitu sebesar 4.43, 4.25, 4.19, dan 4.16. Penurunan pH mie basah matang akibat pencelupan larutan pengawet A1, A2, dan A3 berdampak pada daya hambat pertumbuhan mikroba selama mie basah matang mengalami penyimpanan. Mie basah matang yang dicelup larutan A2 dan A3 memiliki mutu mikrobiologi yang baik hingga hari ke-4 nya. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ferdiani (2008) yang menyatakan bahwa mie basah matang dengan pencelupan cuka pasar 2% memiliki umur simpan hingga 4 hari. Mie basah matang tersebut berada dalam keadaan yang baik dan layak konsumsi. Ray (2001) menyebutkan bahwa penurunan pH mie basah matang umumnya disebabkan oleh adanya asam yang terbentuk dari hasil pembusukan oleh mikroba. Mikroba yang tumbuh pada makanan yang kaya akan karbohidrat dan protein seperti mie basah matang akan memanfaatkan karbohidrat terlebih dahulu dan menghasilkan asam yang akan menurunkan pH. Penurunan pH yang terjadi pada mie basah matang yang dicelup ke dalam larutan A2 dan A3 lebih disebabkan oleh asam asetat yang dikandung dalam larutan pengawet.

69

Nilai pH mie basah matang selama penyimpanan yang dicelup dengan larutan pengawet hasil maserasi menggunakan pelarut etanol (larutan E)

pH

dapat dilihat pada Gambar 13.

9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

E1

E2

E3

Gambar 13 Grafik nilai pH mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol.

Larutan E1 (larutan hasil pengenceran biang sebanyak 5% dari proses maserasi menggunakan pelarut etanol) mampu menurunkan pH awal mie basah matang hingga menjadi 6.68. Pada penyimpanan hari ke-1 hingga ke-4, nilai pH ini terus mengalami penurunan berturut-turut sebanyak 6.56, 6.17, 5.35, dan 4.93. Kandungan asam asetat sebesar 0.88% pada larutan E1 menyebabkan mie basah matang mengalami penurunan pH. Penurunan pH juga terjadi pada mie basah matang yang dicelup larutan pengawet E2 dan E3. Mie basah matang yang dicelup larutan E2 mengalami penurunan pH selama hari ke-0 hingga ke-4 yaitu sebesar 6.26, 6.03, 5.10, 4.54, dan 4.50. Pada mie basah matang yang dicelup larutan E3, penurunan pH nya yaitu 6.03, 5.52, 4.82, 4.25, dan 4.32. Larutan E3 yang mengandung asam asetat sebanyak 2.63% mampu membuat pH mie basah matang selama penyimpanan 4 hari turun dengan tingkat yang lebih rendah bila dibandingkan dengan larutan E1 dan E2.

70

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai pH mie basah matang kontrol berbeda nyata dengan pH mie basah matang yang dicelup larutan A dan E selama penyimpanan hingga hari ke-4. Hal ini berarti perlakuan pencelupan mie basah matang ke larutan pengawet A dan E membuat mie basah matang berbeda dengan kontrol pada parameter nilai pH. Larutan A dan E mampu menurunkan pH mie basah matang selama penyimpanan 4 hari. Hal ini sesuai dengan Ferdiani (2008) yang mengatakan bahwa mie basah matang yang diawetkan dengan cuka pasar berkonsentrasi 1% dan 2% mengalami penurunan nilai pH selama penyimpanan 4 hari. Mie basah matang yang dicelup larutan E1, E2, dan E3 memiliki pH yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan mie basah matang yang dicelup dengan larutan A1, A2, dan A3 (Lampiran 8 dan 9). Namun dari segi mikrobiologis pencelupan dengan larutan E1, E2, dan E3 memiliki daya hambat mikroba yang lebih tinggi dibandingkan pencelupan dengan larutan A. Hal ini terjadi karena komponen polar yang terekstrak pada larutan E didominasi oleh komponen aktif dari bawang putih yang memiliki kemampuan antimikroba. Proses maserasi dengan menggunakan pelarut etanol mampu mengekstrak lebih banyak komponen polar pada bawang putih, seperti alisin. Komponen aktif pada larutan E mampu menghalangi proses penguraian proton bebas dari asam asetat sehingga nilai pH mie basah matang tersebut lebih tinggi dibandingkan pH pada mie yang dicelup larutan A. Sehingga dapat disimpulkan bahwa larutan pengawet yang memiliki kemampuan terbaik dalam menurunkan pH mie basah matang yaitu larutan A3 dengan nilai pH mie hingga penyimpanan hari ke-4 sebesar 4.16.

3. Total Asam Tertitrasi Analisis

total

asam

tertitrasi

dilakukan

untuk

mengukur

jumlah/konsentrasi asam organik yang terkandung dalam mie basah matang. Asam organik pada bahan pangan dapat berasal dari proses pembuatan atau penambahan. Asam organik yang terkandung dalam mie basah matang pada penelitian ini berupa asam asetat yang berasal dari

71

larutan pengawet. Gambar 14 menunjukkan total asam yang tertitrasi dari mie basah matang yang dicelup dengan larutan pengawet hasil maserasi menggunakan pelarut air (larutan A).

7

TAT (%)

6 5 4 3 2 1 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

Gambar 14

A1

A2

A3

Grafik total asam tertitrasi mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air.

Total asam yang dikandung mie basah matang tanpa pencelupan (kontrol) yaitu sebesar 1.19%. Nilai TAT yang rendah ini menunjukkan kandungan asam yang rendah pada mie basah matang kontrol, yang juga dapat dilihat dari nilai pH mie basah matang kontrol yang tinggi, yaitu sebesar 8.15. Nilai TAT mie basah matang kontrol yang rendah ini dikarenakan perlakuan pada mie yang tidak diberi pencelupan larutan pengawet yang mengandung asam asetat. Total asam mie basah matang kontrol selama penyimpanan hari ke-1 hingga ke-3 mengalami peningkatan, yaitu sebesar 1.52%, 1.97%, dan 2.95%. Pada hari penyimpanan ke-4, mie basah matang mengalami kerusakan lebih lanjut sehingga tidak dapat dilakukan pengukuran total asam. Mie basah matang pada hari ke-4 memiliki tekstur yang lembek dan sangat mudah hancur, berlendir, timbul spot-spot hitam akibat pertumbuhan miselium kapang, dan bau tengik. Hoseney (1998) menyebutkan bahwa pertumbuhan kapang ditandai dengan adanya miselium kapang pada permukaan mie. Miselium kapang pada mie umumnya berwarna putih atau hitam.

72

Profil kerusakan mie basah matang kontrol pada penelitian ini tidak berbeda jauh dengan kerusakan mie basah matang kontrol pada penelitian yang dilakukan Yuniar (2004). Kerusakan yang terjadi pada mie basah matang tersebut diantaranya perubahan warna menjadi gelap, aroma berubah menjadi asam diikuti pembentukan lendir, dan tumbuhnya kapang. Peningkatan total asam pada mie basah matang kontrol selama penyimpanan hari ke-3 disebabkan oleh pertumbuhan mikroba pembentuk asam dan membuat mutu mie basah matang kontrol menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nielsen (2003) yang menyatakan bahwa keberadaan asam organik dalam suatu bahan pangan mempengaruhi flavor, warna, kestabilan mikroba, dan kualitas pangan tersebut. Semakin tinggi total asam suatu bahan pangan, maka nilai pH nya akan semakin rendah. Mie basah matang yang dicelup larutan A1 memiliki nilai total asam sebesar 2.15% pada penyimpanan hari ke-0. Kandungan asam ini meningkat pada penyimpanan hari ke-1, 2, dan 3 sebesar 2.38%, 3.16%, dan 3.58%. Larutan A1 yang memiliki kandungan asam asetat sebesar 0.88% hanya mampu mempertahankan mutu mie basah matang hingga hari ke-3, sebab pada penyimpanan hari ke-4 mie basah matang mengalami kerusakan. Hasil ini sesuai dengan total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan A1. Pada penyimpanan hari ke-4, mie basah matang dengan pencelupan larutan A1 memiliki total mikroba yang jumlahnya telah melebihi batas SNI, yaitu sebanyak 1.38 x 106 koloni/g. Tanda-tanda kerusakan yang dialami mie basah matang yang dicelup larutan A1 diantaranya timbulnya bintik-bintik hitam akibat miselium kapang, mie menjadi lunak, dan timbul bau asam. Total asam pada mie basah matang dengan pencelupan larutan A1 pada hari ke-4, yaitu sebesar 3.58% bukan hanya disebabkan oleh kandungan asam asetat saja, melainkan asam yang dihasilkan mikroba perusak mie yang membentuk asam. Frazier et al. (1978) menyatakan bahwa kenaikan nilai TAT dapat juga disebabkan oleh penurunan mutu mie basah matang karena adanya

73

aktivitas mikrobiologi dari bakteri asam laktat, sehingga total asam yang terkandung pada mie basah matang semakin tinggi. Larutan A2 mampu meningkatkan total asam mie basah matang awal menjadi 2.44%. Nilai ini terus meningkat pada penyimpanan hari ke-1, 2, 3, dan 4, yaitu 3.02%, 3.70%, 4.29%, dan 4.79%. Nilai TAT pada mie yang dicelup larutan A2 ini disebabkan oleh kandungan asam asetat dari larutan pengawet yang kontak dengan mie. Nilai TAT ini tidak menunjukkan penurunan mutu mie. Hal ini karena hasil analisis total mikroba mie basah matang yang dicelup larutan A2 menunjukkan nilai sebesar 2.5 x 105 koloni/g, yang menandakan mie belum melebihi batas SNI angka lempeng totalnya. Hal ini menyebabkan mie tersebut masih layak dikonsumsi. Total asam yang dikandung mie basah matang yang dicelup larutan A3 lebih tinggi bila dibandingkan larutan A1 dan A2, yaitu 3.40% pada hari ke-0, 3.51% pada hari ke-1, 4.27%, 4.42%, dan 5.35% pada hari ke-2, 3, dan 4. Nilai TAT yang tinggi ini disebabkan kandungan asam asetat pada larutan A3. Besarnya nilai TAT ini juga didukung dengan nilai pH dan total mikroba. Mie basah matang yang dicelup larutan A3 memiliki pH sebesar 4.16 dan total mikroba sebesar 2.5 x 105 koloni/g pada hari penyimpanan ke-4. Semakin besar kandungan asam asetat pada larutan maka semakin banyak ion H+ yang terurai yang dapat menurunkan pH mie. Hal ini menyebabkan semakin tinggi kemampuan ion H+ untuk merusak fungsi membran sel mikroba dengan mendenaturasi enzim dan mengubah sifat permeabel membran sehingga menjadi tidak stabil (Marshall et al. 2000). Proses ini dapat mengacaukan fungsi membran sel mikroba, sehingga membuat pertumbuhan mikroba terhambat dan mikroba tersebut mati. Nilai total asam pada mie basah matang yang dicelup larutan A1, A2, dan A3 lebih tinggi jika dibandingkan nilai total asam mie basah matang kontrol. Hal ini disebabkan penyerapan asam asetat yang dikandung larutan pengawet ke dalam mie basah matang. Kandungan asam asetat dalam larutan A1 hanya 0.88%, sehingga total asam yang terukur pada mie

74

basah matang yang dicelup ke larutan A1 pun lebih sedikit dibandingkan total asam mie yang dicelup ke larutan A2 dan A3. Nilai total asam pada mie basah matang ini pun didukung oleh nilai pH nya. Mie basah matang yang dicelup larutan A memiliki pH yang lebih rendah dibandingkan kontrol, dan nilai mikrobiologi yang lebih rendah pula daripada kontrol. Total asam yang tertitrasi dari mie basah matang yang dicelup dengan larutan pengawet hasil maserasi menggunakan pelarut etanol ditunjukkan oleh Gambar 15.

7

TAT (%)

6 5 4 3 2 1 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

Gambar 15

E1

E2

E3

Grafik total asam tertitrasi mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol.

Gambar 15 menunjukkan nilai total asam dari mie basah matang kontrol selama penyimpanan hari ke-0, 1, 2, dan 3 masing-masing sebesar 1.08%, 1.50%, 2.12%, dan 3.00%. Mie basah matang kontrol memiliki nilai total asam yang rendah dikarenakan jumlah asam organik yang dikandungnya berada dalam tingkat yang rendah. Tidak dilakukannya pencelupan pada mie basah matang kontrol menjadikan terbatasnya asam organik dalam mie. Kenaikan total asam mie basah matang kontrol selama penyimpanan disebabkan pertumbuhan mikroba yang menghasilkan asam, seperti Bacillus dan Clostridium (Fardiaz 1999). Pertumbuhan mikroba pada mie ini membuat mie berada dalam kondisi yang tidak baik pada hari penyimpanan ke-4. Mie basah matang menjadi berlendir, bau asam, dan

75

memiliki tekstur yang lunak. Oleh sebab itu, mie basah matang penyimpanan hari ke-4 tidak dapat dianalisis total asamnya. Mie basah matang yang dicelup larutan E1 memiliki nilai total asam sebesar 2.68%, 2.82%, 2.84%, 3.15%, dan 3.52% masing-masing pada hari ke-0 hingga ke-4. Larutan E2 menyebabkan mie basah matang mengalami peningkatan total asam pada penyimpanan awal dan selama penyimpanan, yaitu sebesar 3.12%, 3.22%, 3.31%, 3.64%, dan 3.95%. Peningkatan nilai total asam juga dialami mie basah matang yang dicelup larutan E3, yaitu sebesar 3.33%, 3.53%, 3.74%, 4.62%, dan 6.03% selama penyimpanan hari ke-0 hingga hari ke-4. Semakin tinggi kandungan asam asetat dalam larutan pengawet menyebabkan semakin besar total asam yang tertitrasi pada mie basah matang. Banyaknya jumlah asam asetat dari larutan pengawet yang berpenetrasi ke mie basah matang juga didukung oleh nilai pH mie basah matang yang semakin menurun dan terhambatnya aktivitas mikroba (Gambar 10, 11, 12, dan 13). Hasil analisis ragam menunjukkan nilai TAT mie basah matang kontrol berbeda nyata dengan nilai TAT mie basah matang yang mengalami pencelupan larutan A dan E hingga penyimpanan hari ke-4. Hal ini sesuai dengan data TAT yang menunjukkan perbedaan nilai TAT kontrol dengan mie yang diberi perlakuan selama penyimpanan. Hubungan antara nilai total asam, pH, dan aktivitas mikroba yang dipengaruhi larutan pengawet yang mengandung asam asetat dapat dijelaskan sebagai berikut. Asam asetat merupakan asam organik yang memiliki jumlah molekul asam yang tidak terurai (tidak terdisosiasi) sebesar 4.76. Nilai ini disebut nilai pKa, yang merupakan nilai dimana 50% total asam merupakan bentuk yang tidak terurai. Pahrudin (2006) menyatakan bahwa senyawa asam yang memiliki pKa > 4 merupakan asam lemah. Semakin besar nilai pKa, maka diharapkan semakin banyak asam dalam bentuk tidak terdisosiasi, sehingga asam tersebut efektif dalam membunuh mikroba. Molekul asam asetat yang tidak terdisosiasi (RCOOH) dapat berpenetrasi ke dalam sel mikroba dan meracuni sel tersebut (Handoko 1989). Di dalam sel mikroba yang berada pada kondisi pH

76

netral, R-COOH terurai menjadi RCOO- dan H+. Ion H+ yang berada dalam jumlah banyak ini membuat pH dalam sel mikroba menjadi menurun dan menyebabkan sel mati karena aktivitas enzim dan asam nukleatnya terganggu (Garbutt 1997). Berdasarkan hasil analisis total asam, larutan pengawet A dan E membuat mie basah matang yang dicelup kedalamnya mengalami kenaikan total asam (Lampiran 10 dan 11). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Ferdiani (2008) yang menyatakan bahwa larutan pengawet asam organik yang sangat berpengaruh terhadap nilai TAT mie basah matang adalah larutan asam laktat 2%, asam laktat 1%, asam asetat 2%, asam cuka 2%, asam asetat 1%, dan asam cuka 1%. Asam yang dikandung oleh mie basah matang hasil pencelupan larutan A dan E sebagian besar akibat asam asetat dari larutan pengawet. Larutan yang dapat meningkatkan total asam mie terbesar yaitu larutan E3, sebesar 6.03% di penyimpanan hari ke-4.

4. Analisis Warna Analisis warna pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pencelupan larutan pengawet terhadap warna mie basah matang, serta kestabilan warna mie basah matang setelah mengalami pencelupan. Hal ini dilakukan karena karakter warna suatu bahan pangan mencerminkan mutu bahan pangan tersebut. Fardiaz (1989) menyatakan bahwa bentuk-bentuk kerusakan pangan oleh mikroorganisme antara lain berjamur, pembusukan, berlendir, perubahan warna, kerusakan fermentatif serta pembusukan bahan-bahan berprotein. Hasil pengukuran warna ini penting untuk memperkirakan penerimaan produk oleh konsumen saat larutan pengawet diaplikasikan. Atribut warna yang dianalisis dari mie basah matang pada penelitian ini yaitu tingkat kecerahan (lightness) dan oHue. Tingkat kecerahan (lightness) menunjukkan brightness (tingkat keterangan) suatu objek relatif terhadap cahaya putih yang diiluminasikan, sementara

o

Hue

merupakan atribut warna yang menunjukkan wilayah dari suatu objek

77

yang terlihat hampir sama dengan warna merah, kuning, hijau, dan biru (Hunt 1988). Mie basah matang pada keadaan normal memiliki warna putih kekuningan. Warna kuning berasal dari pigmen warna yang terkandung dalam gandum sebagai bahan baku mie basah matang. Pigmen warna tersebut yaitu flavonoid golongan antoxantin yang termasuk dalam jenis flavon dengan 5-OH dan 4’-OH (Mabry et al. 1970). Flavonoid dalam gandum ini bersifat larut air dan sangat dipengaruhi pH. Penambahan garam alkali pada pembuatan mie basah matang meningkatkan pH adonan menjadi 9-11.5 sehingga menyebabkan pigmen flavonoid yang terdapat dalam terigu terlepas dari pati dan menghasilkan warna kuning (Ferdiani 2008). Garam alkali yang umumnya digunakan pada pembuatan mie yaitu natrium karbonat (Na2CO3) dan kalium karbonat (K2CO3) yang dapat meningkatkan intensitas warna kuning (Badrudin 1994). Hasil pengukuran tingkat kecerahan (L) mie basah matang yang

Tingkat Kecerahan (Lightness)

dicelup larutan pengawet hasil maserasi air ditunjukkan pada Gambar 16. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

Gambar 16

A1

A2

A3

Grafik tingkat kecerahan (Lightness) mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air.

Gambar 17 dibawah ini menunjukkan hasil pengukuran tingkat kecerahan (L) mie basah matang yang dicelup larutan pengawet hasil maserasi etanol.

78

Tingkat Kecerahan (Lightness)

80 70 60 50 40 30 20 10 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

Gambar 17

E1

E2

E3

Grafik tingkat kecerahan (Lightness) mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol.

Berdasarkan Gambar 16 dan Gambar 17, mie basah matang tanpa pencelupan (kontrol) mengalami penurunan tingkat kecerahan selama penyimpanan dari hari ke-0 hingga hari ke-3, dengan nilai L berturut-turut yaitu 68.46, 65.49, 62.78, dan 61.95. Mie basah matang kontrol pada penyimpanan hari ke-0 memiliki warna kuning yang normal. Warna kuning ini berasal dari pigmen flavonoid yang terdapat pada tepung. Kruger et al. (1996) menyatakan bahwa pigmen ini akan terlepas dari pati pada kondisi alkali. Semakin tinggi pH pada pembuatan mie basah matang, maka pigmen flavonoid yang terlepas akan semakin banyak sehingga intensitas warna kuning meningkat. Karena itulah dilakukan penambahan alkali pada pembuatan mie basah matang. pemberian minyak goreng setelah mie basah direbus juga bertujuan untuk meningkatkan warna mie (Nugrahani 2005). Penurunan tingkat kecerahan yang terjadi pada mie basah matang kontrol terlihat pada pengamatan secara visual, dimana mie basah matang kontrol warnanya menjadi semakin agak gelap selama penyimpanan. Hal ini menunjukkan terjadinya kerusakan pada mie basah matang yang disebabkan oleh miselium kapang pada mie yang berwarna putih hingga

79

kehitaman. Kapang penyebab kerusakan pada mie basah matang umumnya yaitu

Aspergillus,

Rhizopus,

Mucor,

Fusarium,

dan

Penicillium

(Christensen 1974). Mie basah matang yang dicelup larutan A1 memiliki tingkat kecerahan yang juga menurun selama penyimpanan hari ke-0 hingga ke-4, namun tingkat penurunannya lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol. Nilai tingkat kecerahan mie basah matang tersebut berturut-turut yaitu 68.01, 66.28, 65.53, 64.42, dan 62.74. Analisis ragam menunjukkan mie basah matang yang dicelup larutan A1 berbeda nyata di semua hari penyimpanan. Hal ini disebabkan penurunan nilai Lightness yang terjadi pada mie basah matang tersebut tiap harinya cukup tinggi, dengan selisih 2 poin per hari penyimpanan. Nilai Lightness mie basah matang yang dicelup larutan A1 berbeda nyata dengan kontrol. Nilai tingkat kecerahan mie basah matang yang dicelup larutan A2 selama penyimpanan yaitu 68.99, 66.29, 66.03, 63.96, dan 62.54. Sementara itu, mie basah matang dengan pencelupan larutan A3 memiliki nilai tingkat kecerahan selama hari ke-0 hingga ke-4 sebesar 68.76, 66.24, 64.48, 63.57, dan 62.86. Penurunan nilai tingkat kecerahan mie basah matang A2 dan A3 mirip dengan penurunan nilai tingkat kecerahan dari mie yang dicelup larutan A1. Hal ini menunjukkan kemampuan asam asetat pada larutan A yang hampir sama dalam mempertahankan intensitas kecerahan mie basah matang selama penyimpanan. Berdasarkan data, mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet A1, A2, dan A3 tetap mengalami penurunan tingkat kecerahan selama penyimpanan. Namun penurunan terjadi dalam tingkat yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet A lebih cerah dibandingkan mie basah matang kontrol hingga penyimpanan mencapai hari ke-4. Hal ini menunjukkan bahwa pencelupan mie basah matang dengan larutan asam organik mampu mempertahankan warna mie selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan Ferdiani (2008) yang menyatakan bahwa pencelupan asam organik mampu

80

mempertahankan kecerahan pada mie basah matang jika dibandingkan dengan mie basah matang kontrol. Mie basah matang dengan pencelupan larutan E1, E2, dan E3 menunjukkan kecenderungan kestabilan warna selama penyimpanan hari ke-0 hingga ke-4 dibandingkan dengan kontrol. Nilai tingkat kecerahan pada mie basah matang yang dicelup larutan E1 selama penyimpanan yaitu 68.46, 68.10, 67.31, 67.21, dan 67.58. Sementara tingkat kecerahan mie basah matang dengan pencelupan larutan E2 yaitu sebesar 68.80, 67.58, 67.50, 67.22, dan 66.73. Larutan E3 juga dapat mempertahankan warna mie basah matang hingga penyimpanan hari ke-4 dengan nilai 67.67, 67.80, 67.47, 66.93, dan 66.27. Analisis ragam menunjukkan mie basah matang pada penyimpanan hari ke-0 berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-1, 2, 3, dan 4. Mie basah matang dengan pencelupan larutan A2 pada penyimpanan hari ke-1 tidak berbeda nyata dengan hari ke-2, namun keduanya berbeda nyata dengan penyimpanan di hari ke-0, 3, dan 4. Mie basah matang yang tidak berbeda nyata di semua hari penyimpanan yaitu yang dicelup larutan E1. Pada penyimpanan hari ke-0, tidak terdapat perbedaan nyata di semua jenis mie basah matang. pada penyimpanan hari ke-1, mie basah matang kontrol tidak berbeda nyata dengan mie yang dicelup larutan A, namun berbeda nyata dengan mie yang dicelup larutan E. Saat penyimpanan mencapai hari ke-4, mie basah matang kontrol telah mengalami kerusakan, dan mie yang dicelup larutan A berbeda nyata dengan mie larutan E. Larutan pengawet E1, E2, dan E3 memiliki kemampuan yang baik dalam menjaga kestabilan warna mie basah matang selama penyimpanan. Bila dibandingkan dengan mie basah matang kontrol, tingkat kecerahan mie basah matang dengan pencelupan larutan E jauh lebih stabil. Mie basah matang tetap cerah hingga penyimpanan hari ke-4. Sementara itu, mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A mengalami penurunan tingkat kecerahan yang lebih tinggi daripada mie basah matang yang dicelup larutan E. Larutan pengawet E mampu mempertahankan kestabilan tingkat kecerahan mie basah matang lebih baik dibandingkan larutan A.

81

Kedua larutan tersebut memiliki kandungan asam asetat hingga 2.63%. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Setyadi (2008) yang meneliti efek pencelupan cuka pasar terhadap tahu. Perlakuan pengawetan terbaik untuk mempertahankan kecerahan tahu adalah cuka pasar 3%. Pada penelitian ini, larutan pengawet E1 dan E3 merupakan larutan yang mampu mempertahankan tingkat kecerahan mie basah matang paling baik diantara larutan lainnya. Nilai oHue mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet

Hue

hasil maserasi air ditunjukkan pada Gambar 18.

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

A1

A2

A3

Gambar 18 Grafik oHue mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air. Lyman (1989) menyatakan bahwa oHue merupakan suatu kualitas yang membedakan satu warna dengan warna lainnya yang ada di dalam spektrum warna, seperti yang dapat dilihat pada pelangi. Warna-warna yang berada dalam cakupan definisi oHue yaitu merah, oranye, kuning, hijau, biru, indigo, dan violet. Berdasarkan Gambar 18, mie basah matang kontrol memiliki nilai o

Hue yang lebih rendah bila dibandingkan mie basah matang yang dicelup

larutan A. Mie basah matang kontrol memiliki nilai oHue pada awal penyimpanan sebesar 87.39 dan menurun menjadi sebesar 72.98 pada

82

penyimpanan hari ke-3. Nilai oHue ini menunjukkan warna kuning, sesuai dengan Pomeranz et al. (1980) yang menyatakan bahwa nilai oHue sebesar 54 – 90 menunjukkan warna merah hingga kuning. Mie basah matang mengalami kerusakan pada hari penyimpanan ke-4 sehingga tidak dapat dilakukan analisis. Kerusakan mie basah matang kontrol tersebut yaitu mie menjadi lembek, bau asam, dan mudah hancur. Hal ini sesuai dengan Yohana (2007) yang menyatakan bahwa kerusakan yang umum terjadi pada mie basah matang adalah bau asam, bau tengik, timbulnya lendir, dan perubahan warna. Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A1 memiliki nilai o

Hue yang tingkat penurunannya lebih rendah dibandingkan kontrol, yaitu

sebesar 88.34 pada hari ke-0 dan 81.04 pada penyimpanan hari ke-4. Pada mie basah matang yang dicelup larutan A2, nilai oHue pada penyimpanan hari ke-0 yaitu sebesar 85.65 dan menurun menjadi 79.69 di hari ke-4. Larutan A3 menyebabkan mie basah matang memiliki nilai oHue sebesar 87.76 di hari ke-0 hingga menjadi 79.58 di hari ke-4 (Lampiran 14). Nilai o

Hue mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet A dan E ini

masih berada pada kisaran warna kuning (Pomeranz et al. 2000). Tingkat penurunan nilai oHue pada mie basah matang yang dicelup larutan A sedikit lebih rendah dibandingkan mie basah matang kontrol. Mie basah matang kontrol memiliki warna kuning yang lebih muda dibandingkan mie basah matang yang dicelup larutan A. Warna kuning pudar pada mie basah matang kontrol menunjukkan telah terjadi kerusakan pada mie tersebut. Survey yang dilakukan oleh Gracecia (2005) menyatakan bahwa menurut responden supermarket, ciri-ciri kerusakan mie basah matang yaitu warna kuning menjadi pudar (kusam), lembek, dan licin. Nilai oHue mie basah matang yang dicelup larutan pengawet hasil maserasi etanol ditunjukkan oleh Gambar 19.

83

100 90 80

Hue

70 60 50 40 30 20 10 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

E1

E2

E3

Gambar 19 Grafik oHue mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol. Larutan pengawet E1, E2, dan E3 dapat mempertahankan oHue mie basah matang selama penyimpanan hari ke-0 hingga ke-4 untuk tidak menurun seperti kontrol. Mie basah matang yang dicelup larutan E1 memiliki nilai oHue sebesar 86.59 pada penyimpanan hari ke-0 dan menurun menjadi 76.62 di hari ke-4. Mie basah matang yang dicelup larutan E2 dan E3 memiliki nilai oHue sebesar 86 di penyimpanan hari ke0 dan 77 di penyimpanan hari ke-4 nya. Berdasarkan data oHue yang dapat dilihat pada Lampiran 15, mie basah matang mengalami penurunan nilai o

Hue yang cukup besar pada hari penyimpanan ke-3. Hal ini disebabkan

mie basah matang yang dicelup larutan pengawet E mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan akibat pertumbuhan mikroba. Mikroba yang umumnya tumbuh pada mie basah matang yaitu Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus, dan beberapa jenis Achromo bacterium (Christensen 1974). Hasil analisis ragam menunjukkan mie basah matang kontrol memiliki tingkat kecerahan yang tidak berbeda nyata dengan mie yang dicelup larutan A dan E pada hari penyimpanan ke-0. Sedangkan pada penyimpanan hari ke-1, 2, 3, dan 4 tingkat kecerahan mie basah matang yang dicelup ke larutan A dan E berbeda dengan kontrol. Hal ini

84

menunjukkan bahwa perlakuan pencelupan larutan A dan E pada mie membuat tingkat kecerahan mie tersebut berbeda dengan kontrol. Bila larutan pengawet A dibandingkan dengan larutan pengawet E, dapat terlihat bahwa larutan E lebih mampu mempertahankan kestabilan warna mie basah matang selama penyimpanan. Mie basah matang yang dicelup larutan A dan E tetap mengalami penurunan nilai oHue hingga hari ke-4, namun dengan tingkat penurunan yang berbeda. Diantara larutan E1, E2, dan E3, larutan E1 memiliki daya stabil terhadap warna mie basah matang yang paling baik. Nilai

o

Hue mie basah matang selama

penyimpanan yaitu berkisar antara 88-76. Nilai ini menunjukkan bahwa mie basah matang dengan pencelupan larutan A maupun E memiliki warna kuning selama penyimpanan. Penelitian oleh Ferdiani (2008) menyebutkan bahwa mie basah matang dengan pencelupan asam asetat mengalami tingkat penurunan nilai oHue yang lebih kecil dibandingkan kontrol. Mie basah matang dengan asam cuka 2% memiliki tingkat penurunan nilai oHue yang lebih kecil daripada mie basah matang dengan asam cuka 1%. Berdasarkan data nilai

o

Hue, dapat disimpulkan bahwa larutan

pengawet E1 paling efektif dalam mempertahankan kestabilan warna kuning mie basah matang. Hasil ini berbanding lurus dengan analisis tingkat kecerahan mie basah matang, dimana kemampuan larutan E dalam mempertahankan

tingkat

kecerahan

mie

basah

matang

selama

penyimpanan lebih baik daripada larutan A.

5. Tekstur Analisis tekstur mie basah matang dilakukan untuk mengetahui pengaruh pencelupan larutan pengawet pada mie terhadap perubahan teksturnya selama penyimpanan. Analisis tekstur mie basah matang pada penelitian ini menggunakan Rheoner, suatu instrumen pengukuran tekstur. Tekstur mie basah matang ditentukan oleh pembentukan gluten. Gluten terbentuk dari dua jenis protein yang terkandung dalam tepung terigu, yaitu gliadin dan glutenin. Gliadin berpengaruh terhadap

85

kekenyalan, sedangkan glutenin penting untuk elastisitas (Murano 2005). Gluten inilah yang membuat mie basah matang menjadi kenyal dan tidak mudah putus. Bahan tambahan dalam pembuatan adonan mie seperti garam dan alkali juga berperan dalam pembentukan tekstur mie. Garam berfungsi memperkuat tekstur serta meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie. Alkali berupa Na2CO3, K2CO3, dan KH2PO4 juga berfungsi untuk meningkatkan kekenyalan, elastisitas, dan fleksibilitas mie (Badrudin 1994). Air yang digunakan saat membuat adonan mie juga dapat membentuk sifat kenyal pada gluten (Chodidjah 1996). Analisis tekstur mie basah matang mencakup gaya putus mie dan persen elongasi. Gaya putus merupakan gaya maksimum mie untuk menahan beban, dinyatakan dalam gram force (gf). Persen elongasi merupakan daya ulur mie, yaitu perubahan panjang maksimum mie sebelum sampel rusak atau putus yang dibandingkan dengan panjang awalnya (Hay 1968). Hasil pengukuran gaya putus mie basah matang yang dicelup larutan pengawet hasil maserasi pelarut air ditunjukkan pada Gambar 20.

Gaya Putus (gf)

14 12 10 8 6 4 2 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

A1

A2

A3

Gambar 20 Grafik nilai gaya putus mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air.

Mie basah matang kontrol memiliki gaya putus yang menurun selama penyimpanan dalam tingkat yang cukup tinggi. Pada penyimpanan hari ke-

86

0, gaya putus mie basah matang kontrol sebesar 10.25 gf dan semakin menurun hingga mencapai nilai 7 gf di hari penyimpanan ke-4 (Lampiran16). Penurunan gaya putus mie basah matang kontrol ini terjadi karena adanya lendir pada mie basah matang pada penyimpanan hari ke-3 dan ke-4 yang dihasilkan oleh mikroba. Berdasarkan survey pada pedagang pasar tradisional dan pedagang olahan mie yang dilakukan oleh Gracecia (2005), ciri-ciri kerusakan pada mie basah matang yaitu lengket, berlendir, dan timbul bau asam. Menurut Hoseney (1998), pembentukan lendir menandakan adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam. Penurunan gaya putus mie basah matang kontrol disebabkan oleh aktivitas mikroba yang mendekomposisi nutrisi pada mie basah matang, terutama protein. Protein pada mie basah matang (gliadin dan glutenin) berperan sebagai pembentuk tekstur mie, sehingga dekomposisi protein tersebut oleh mikroba akan menyebabkan tekstur mie basah matang menjadi lunak dan mie mudah putus. Fardiaz (1989) menyatakan bahwa semua bakteri yang tumbuh pada makanan bersifat heterotropik, yaitu membutuhkan

zat

organik

untuk

pertumbuhannya.

Dalam

metabolismenya, bakteri heterotropik menggunakan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen makanan lainnya sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya. Ferdiani (2008) menyebutkan bahwa pembentukan tekstur mie dipengaruhi oleh protein yang ada dalam mie, yaitu gliadin dan glutenin, sehingga apabila ada mikroba yang memecah protein maka kualitas tekstur mie akan menurun. Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A1, A2, dan A3 mengalami penurunan gaya putus mie yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Pada mie basah matang dengan larutan A1, gaya putus mengalami penurunan dari 12.75 gf di hari ke-0 menjadi 8 gf di hari ke-4. Larutan A2 menyebabkan gaya putus mie basah matang turun dari 13 gf di hari ke-0 menjadi 6.75 gf di hari ke-4. Penurunan pada mie basah matang dengan pencelupan larutan A3 yaitu sebesar 11.75 gf menjadi 7 gf (Lampiran 16).

87

Mie basah matang yang dicelup larutan E1, E2, dan E3 juga mengalami penurunan gaya putus yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol. Larutan E1 membuat mie basah matang mengalami penurunan gaya putus dari 12 gf menjadi 8 gf di hari penyimpanan ke-0 hingga ke-4. Penurunan dari 12.5 gf menjadi 7.5 gf terjadi pada mie basah matang dengan pencelupan larutan E2. Mie basah matang yang dicelup larutan E3 mengalami penurunan gaya putus dari 11.5 gf menjadi 7.25 gf hingga penyimpanan hari ke-4 (Lampiran 17). Gambar 21 menunjukkan hasil pengukuran gaya putus mie basah matang yang dicelup larutan pengawet hasil maserasi pelarut etanol.

14

Gaya Putus (gf)

12 10 8 6 4 2 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

E5

E10

E15

Gambar 21 Grafik nilai gaya putus mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol.

Penurunan gaya putus mie basah matang yang dicelup larutan A maupun E memiliki tingkat yang lebih rendah dibandingkan mie basah matang kontrol. Semakin tinggi nilai gaya putus mie, maka semakin besar gaya yang dikeluarkan mie untuk menahan beban probe Rheoner saat memutuskannya. Tekstur mie basah matang yang dicelup larutan A dan E menjadi tidak terlalu lunak seperti mie basah matang kontrol. Robertson et al. (1992) menyatakan bahwa sifat fisik dari gluten yang direaksikan menggunakan asam organik seperti asam asetat dan asam sitrat dapat

88

menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, gaya putus mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A dan E yang mengandung asam asetat lebih tinggi dibandingkan mie basah matang kontrol. Hasil analisis ragam pada gaya putus mie menunjukkan mie basah matang yang dicelup larutan A dan E berbeda nyata dengan mie basah matang kontrol pada penyimpanan hari ke-0 hingga hari ke-4. Hal ini menunjukkan perlakuan pencelupan mie ke larutan pengawet A dan E mampu mempertahankan gaya putus mie tersebut selama penyimpanan. Berdasarkan hasil analisis gaya putus, larutan yang paling efektif dalam mempertahankan tekstur mie basah matang yaitu larutan A1. Hal ini dapat dilihat dari nilai gaya putus mie basah matang yang dicelup larutan A1 memiliki kestabilan tekstur yang lebih baik dibandingkan larutan lainnya. Elongasi

menggambarkan

kemampuan

mie

untuk

meregang

(memanjang) dari ukuran awal pada saat menerima tekanan dari luar (Rianto 2006). Hasil pengukuran persen elongasi mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A ditunjukkan oleh Gambar 22.

35

% Elongasi

30 25 20 15 10 5 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

Gambar 22

A1

A2

A3

Grafik nilai persen elongasi mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi air.

89

Mie basah matang kontrol memiliki daya elongasi yang menurun selama penyimpanan. Pada penyimpanan hari ke-0, persen elongasi mie basah matang kontrol yaitu sebesar 22.26%. Nilai ini berkurang pada penyimpanan hari ke-1, 2, 3, dan 4, berturut-turut sebesar 20.50%, 19.62%, 17.92%, dan 16.31%. Penurunan kemampuan mie untuk meregang dipengaruhi oleh aktivitas mikroba pada mie, yang ditandai dengan terbentuknya lendir pada hari penyimpanan ke-3 dan ke-4. Mikroba yang tumbuh pada mie basah matang kontrol mendekomposisi nutrisi yang terkandung pada mie, terutama protein. Jenis protein utama yang terkandung dalam mie basah yaitu gliadin dan glutenin yang berasal dari terigu. Gliadin dan glutenin berperan dalam pembentukan gluten saat tepung terigu diadon dalam air. Gluten merupakan suatu massa yang kohesif dan viskoelastis yang dapat meregang secara elastis (Chodidjah 1996). Dekomposisi protein pada mie basah matang mempengaruhi kualitas tekstur mie basah matang, diantaranya gaya putus dan elongasi mie. Mie basah matang yang dicelup larutan A1 mengalami penurunan elongasi yang lebih besar dibandingkan mie kontrol. Pada hari ke-0, nilai elongasinya sebesar 27.93%. Nilai elongasi pada hari ke-1, 2, 3, dan 4 yaitu sebesar 27.02%, 20.55%, 15.60%, dan 11.87%. Penurunan elongasi juga terjadi pada mie basah matang yang dicelup larutan A2, A3, E1, E2, dan E3. Pada mie yang dicelup larutan A2, nilai elongasi selama penyimpanan hari ke-0 hingga ke-4 yaitu 28.89%, 26.97%, 21.41%, 11.87%, dan 8.64%. Sementara itu, nilai elongasi mie basah matang yang dicelup larutan A3 yaitu 24.09%, 21.41%, 20.55%, 17.19%, dan 9.23%. Gambar 23 menunjukkan persen elongasi mie basah matang yang dicelup larutan pengawet hasil maserasi pelarut etanol. Berdasarkan Gambar 23, dapat diketahui bahwa nilai elongasi mie basah matang yang dicelup larutan E1, E2, dan E3 mengalami penurunan yang lebih besar daripada kontrol selama penyimpanan.

90

35 30

% Elongasi

25 20 15 10 5 0 H0

H1

H2

H3

H4

Lama Penyimpanan (hari) KONTROL

Gambar 23

E1

E2

E3

Grafik nilai persen elongasi mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet hasil maserasi etanol.

Mie basah matang yang dicelup larutan E1 memiliki nilai elongasi sebesar 25.05%, 24.14%, 20.50%, 14.80%, dan 11.87%. Penurunan yang terjadi pada mie basah matang yang dicelup larutan E2 yaitu sebesar 26.92%, 25.96%, 22.32%, 13.27%, dan 10.62%. Sementara penurunan yang terjadi pada mie basah matang dengan pencelupan larutan E3 yaitu sebesar 23.18%, 19.64%, 19.64%, 17.98%, dan 9.89%. Nilai persen elongasi tersebut merupakan nilai selama mie basah matang mengalami penyimpanan hari ke-0 hingga ke-4. Hasil analisis ragam menunjukkan persen elongasi mie basah kontrol berbeda nyata dengan mie basah yang mengalami pencelupan hingga penyimpanan hari ke-4. Pada penyimpanan hari ke-4, seluruh mie basah matang yang dicelup larutan A dan E memiliki nilai persen elongasi yang berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini dapat dilihat pada data persen elongasi (Lampiran 61 dan Lampiran 62) yang menunjukkan nilai elongasi mie basah matang kontrol di hari ke-4 yang jauh berbeda dengan nilai elongasi mie basah matang dengan pencelupan. Mie basah matang yang dicelup larutan A dan E mengalami penurunan nilai elongasi dengan tingkat yang lebih besar bila dibandingkan dengan mie basah matang kontrol. Hasil ini berbeda dengan hasil analisis tekstur

91

lainnya, yaitu gaya putus mie. Hasil analisis gaya putus mie basah matang menunjukkan larutan pengawet A dan E mampu mempertahankan gaya putus mie selama penyimpanan. Penurunan nilai elongasi ini diduga karena terjadinya proses hidrolisis asam. Protein pada mie terhidrolisis oleh asam yang dikandung oleh larutan pengawet, sehingga membuat tekstur mie menjadi lebih lunak dan kehilangan kemampuannya untuk meregang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Setyadi (2008) yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi asam asetat glasial maupun cuka pasar sebanyak 2%, 2.5%, dan 3% mengakibatkan tekstur tahu menjadi semakin lunak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa larutan A dan E tidak mampu mempertahankan daya elongasi mie basah matang selama penyimpanan.

6. Uji Organoleptik Mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A dan E diuji secara organoleptik untuk mengetahui pengaruh pencelupan terhadap penerimaan sensori konsumen. Uji yang dilakukan yaitu uji hedonik terhadap 30 orang panelis untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap mie basah matang hasil pencelupan. Tingkat kesukaan panelis ditunjukkan oleh skala hedonik dari 1 hingga 5. Skala 1 menunjukkan tidak suka, 2 menunjukkan kurang suka, 3 menunjukkan netral, 4 menunjukkan suka, dan 5 menunjukkan sangat suka. Mie basah matang yang diuji yaitu mie basah matang kontrol, mie basah matang yang dicelup larutan pengawet A1, A2, A3, E1, E2, dan E3. Atribut sensori dari mie basah matang yang diuji yaitu aroma, rasa, tekstur, dan overall. Gambar 24 menunjukkan hasil uji hedonik mie basah matang secara keseluruhan pada 30 orang panelis.

92

AROMA 1 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 OVERAL 4 OVERALL

2RASA

0.00

3 TEKSTUR

KONTROL

A1

A2

A3

E1

E2

E3

Gambar 24 Skor masing-masing kesukaan panelis terhadap mie basah matang.

6.1. Aroma Atribut aroma diuji secara organoleptik untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mie basah matang yang mengandung asam asetat dan bawang putih dari larutan pengawet. Uji ini juga dilakukan untuk mengetahui efek penambahan larutan pengawet terhadap aroma mie basah matang. Hal ini disebabkan asam asetat memiliki bau asam yang sangat menyengat (Marshall et al. 2000) yang dapat mempengaruhi aspek penerimaan mie basah matang secara sensori. Sementara itu, Mazza et al. (2000), menyatakan bahwa senyawa alisin pada bawang merupakan senyawa penyebab bau khas pada bawang putih. Engen (1982) dan Woodworth et al. (1954) menyatakan bahwa terdapat enam kemungkinan hal yang dapat terjadi saat satu aroma bercampur dengan aroma lain. Salah satunya yaitu satu aroma dapat menutupi atau menghalangi aroma yang lain, terutama jika satu aroma

93

tersebut memiliki intensitas yang lebih kuat. Pada larutan pengawet, aroma yang memiliki intensitas yang lebih kuat yaitu aroma asam asetat, yang tercium lebih menyengat dibandingkan aroma bawang putih. Oleh karena itu, saat mie basah matang dicelupkan ke dalam larutan pengawet, aroma asam asetat dapat mengganggu aroma dari mie basah matang tersebut. Winarno (1992) menyatakan bahwa bau makanan banyak menentukan tingkat kelezatan makanan tersebut. Hasil uji hedonik terhadap aroma menunjukkan aroma mie basah matang yang disukai panelis berturut-turut yaitu A2, E1, A3, E2, A1, dan E3. Rata-rata nilai sensorinya sebesar 3.30, 3.20, 3.10, 2.87, 2.73, dan 2.40. Mie basah matang kontrol memiliki nilai sensori sebesar 3.03 (Lampiran 18). Hasil analisis ragam menggunakan uji Duncan menunjukkan tingkat penerimaan panelis terhadap aroma mie basah matang yang dicelup larutan A, E, dan kontrol berbeda nyata. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ferdiani (2008) yang menyatakan bahwa pencelupan larutan pengawet asam asetat 2% menyebabkan aroma mie berbeda nyata dengan mie tanpa pencelupan apapun (kontrol). Berdasarkan uji hedonik terhadap aroma, dapat disimpulkan bahwa larutan pengawet A dan E yang mengandung asam asetat dan ekstrak bawang putih tidak meninggalkan residu aroma asam dan bawang yang dapat mempengaruhi respon penerimaan panelis.

6.2. Rasa Rasa merupakan salah satu atribut terpenting yang menentukan penerimaan mie basah matang oleh konsumen. Suatu larutan pengawet yang terbukti efektif memperpanjang umur simpan suatu produk pangan haruslah dapat diterima dalam segi rasa oleh konsumen. Penerimaan atribut rasa oleh konsumen termasuk salah satu faktor yang paling menentukan keberhasilan aplikasi larutan pengawet di masyarakat.

94

Larutan pengawet A dan E mengandung asam asetat dengan konsentrasi 0.88%, 1.75%, dan 2.63% serta ekstrak bawang putih. Pencelupan mie basah matang ke larutan pengawet memungkinkan tertinggalnya rasa asam maupun bawang putih pada mie, yang menyebabkan tingkat penerimaan mie basah matang oleh konsumen menjadi berkurang. Berdasarkan Gambar 24, rasa mie basah matang yang paling disukai panelis berturut-turut yaitu pencelupan dengan larutan A2, E1, A3, E2, A1, dan E3. Nilai sensorinya masing-masing sebesar 3.37, 3.27, 3.07, 2.73, 2.30, dan 2.07. Nilai sensori rasa mie basah matang kontrol yaitu sebesar 3.33 (Lampiran 19). Berdasarkan hasil analisis ragam menggunakan uji Duncan, mie basah matang yang dicelup larutan A2, A3, dan E1 memiliki tingkat penerimaan rasa yang tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun rasa ketiga jenis mie ini masingmasing berbeda nyata dengan mie yang dicelup larutan A1, E2, dan E3. Larutan A2 memiliki kandungan asam asetat sebesar 1.75%, A3 sebesar 2.63%, dan E1 sebesar 0.88%. Kandungan asam asetat pada masing-masing larutan ini tidak mempengaruhi rasa mie basah matang. Ion hidrogen (H+) merupakan substansi yang menjadi stimulus (perangsang) rasa asam dari asam asetat yang dirasakan oleh indera pengecap. Ion hidrogen dari asam asetat ini memberikan rasa asam yang cepat terasa dan menusuk di lidah. Ion hidrogen yang terbentuk dari asam dan dengan adanya air akan dideteksi oleh ion hydrogen channel di dalam mulut. Ion hidrogen ini mampu menyebar dan berinteraksi dengan amiloride-sensitive channels di dalam mulut. Ion hidrogen ini juga mampu menghambat potassium channel yang memiliki fungsi secara normal untuk melakukan hiperpolarisasi sel. Kombinasi aksi dari ion hidrogen ini menyebabkan rasa asam dapat terdeteksi oleh mulut (Anonim 2009). Oleh sebab itu, asam asetat dikatakan memiliki rasa asam yang menusuk. Pada larutan campuran asam asetat dari cuka pasar dengan ekstrak bawang putih maserasi air, komponen citarasa bawang putih menghambat kerja ion hidrogen dari

95

asam asetat. Hal ini karena pada umumnya rempah-rempah memberikan cita rasa yang lebih mendominasi sehingga rasa asam tersebut dapat tertutupi. Sehingga ketika dilakukan pencicipan larutan, rasa asam yang terasa di indera pengecap hanya sekilas, sedikit terasa di lidah namun cepat hilang. Penelitian yang dilakukan oleh Ferdiani (2008) menyatakan bahwa pencelupan larutan pengawet asam asetat 2% menyebabkan rasa mie berbeda nyata dengan mie tanpa pencelupan apapun (kontrol), dimana mie kontrol lebih disukai. Berdasarkan hasil uji, mie basah matang yang diterima secara hedonik pada atribut rasa yaitu mie basah matang dengan pencelupan larutan A2, A3, dan E1.

6.3. Tekstur Uji organoleptik atribut tekstur dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap mie basah matang yang telah dicelup larutan pengawet A dan E. Tekstur pada mie basah matang dipengaruhi oleh protein gliadin dan glutenin yang membentuk suatu massa kohesif yang disebut gluten. Gluten inilah yang membuat mie menjadi kenyal dan tidak mudah putus. Pencelupan mie basah matang ke dalam larutan pengawet yang mengandung asam asetat dan ekstrak bawang putih dapat mempengaruhi tekstur mie. Robertson et al. (1992) menyatakan bahwa sifat fisik dari gluten yang direaksikan menggunakan asam organik seperti asam asetat dan asam sitrat dapat menjadi lebih baik. Berdasarkan Gambar 24, mie basah matang yang memiliki tingkat kesukaan terhadap atribut tekstur mulai dari yang tertinggi hingga terendah yaitu mie yang dicelup larutan E1, A3, E3, A1, E2, dan A2. Masing-masing nilai sensorinya yaitu 3.63, 3.50, 3.33, 3.30, 3.27, dan 3.23. Mie basah kontrol memiliki nilai kesukaan terhadap tekstur sebesar 3.30 (Lampiran 20).

96

Hasil analisis ragam menggunakan uji Duncan menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur mie tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan pencelupan. Meskipun analisis gaya putus mie basah matang menunjukkan pengaruh pencelupan terhadap gaya putus mie, namun mie masih dapat diterima oleh panelis. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Ferdiani (2008) bahwa pencelupan larutan pengawet asam organik tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tekstur mie basah matang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mie basah matang yang memiliki tingkat penerimaan pada atribut tekstur oleh panelis yaitu mie dengan pencelupan larutan E1.

6.4. Overall Hasil uji hedonik terhadap atribut sensori mie basah matang secara keseluruhan menunjukkan tingkat penerimaan dan kesukaan panelis terhadap mie basah matang tersebut. Hasil uji secara overall ini menentukan

larutan

pengawet

yang

direkomendasikan

untuk

diaplikasikan ke masyarakat. Mie basah matang yang memiliki nilai penerimaan sensori tertinggi hingga terendah secara overall yaitu mie basah matang dengan pencelupan larutan E1, A2, A3, E2, A1, dan E3. Masing-masing nilai sensorinya sebesar 3.47, 3.13, 3.03, 2.93, 2.73, dan 2.50. Mie basah matang kontrol memiliki nilai sensori secara overall sebesar 3.07 (Lampiran 22). Hasil analisis ragam menggunakan uji Duncan menunjukkan tingkat penerimaan panelis terhadap atribut mie basah matang secara overall, yaitu mie basah matang kontrol tidak berbeda nyata dengan mie hasil pencelupan larutan A2 dan E1. Mie basah matang yang dicelup larutan A1, A3, dan E2 memiliki tingkat penerimaan panelis yang tidak berbeda nyata, namun berbeda secara signifikan dengan kontrol. Mie basah matang yang dicelup larutan E3 berbeda nyata dengan mie hasil perlakuan pencelupan lainnya.

97

Penelitian oleh Setyadi (2008) menyatakan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tahu putih yang dicelup asam cuka 3% tidak berbeda nyata dengan kontrol. Berdasarkan hasil uji, dapat disimpulkan bahwa mie basah matang dengan pencelupan larutan E1 dan A2 diterima secara overall oleh panelis.

7. Analisis Biaya Analisis biaya dilakukan untuk mengetahui biaya yang diperlukan untuk mengawetkan mie basah matang menggunakan larutan pengawet terpilih, yaitu larutan A2 dan E1. Larutan A2 merupakan campuran dari cuka pasar dengan ekstrak bawang putih hasil maserasi pelarut air. Larutan ini diperoleh dengan mengencerkan larutan pengawet biang A (cuka pasar:ekstrak bawang putih maserasi air = 7:3) sebesar 10%. Larutan E1 diperoleh dari pengenceran larutan biang E (cuka pasar:ekstrak bawang putih maserasi etanol = 7:3) sebesar 5%. Harga cuka pasar dengan kandungan asam asetat 25% yaitu Rp5000/liter. Air yang digunakan sebagai pelarut dalam maserasi yaitu aquades, dijual seharga Rp5000/19 liter. Etanol 70% yang digunakan tidak diperjualbelikan di pasar, sehingga untuk menentukan harga etanol tersebut digunakan asumsi pendekatan harga berdasarkan penurunan konsentrasi dari etanol 90%. Asumsi harga etanol 70% dapat dilihat pada Tabel 19. Bawang putih dengan umur 4 bulan dijual seharga Rp20000/kg, sedangkan harga mie basah matang yaitu Rp6000/kg. Harga bahan baku dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 20. Prosedur kerja dalam penelitian ini yaitu sebanyak 10 gram mie basah matang dicelupkan ke dalam 100 ml larutan pengawet. Satu kali pencelupan mie basah matang menghabiskan ± 2 ml larutan pengawet, sedangkan ke dalam 100 ml larutan pengawet tersebut dapat dilakukan pencelupan sebanyak maksimal 10 kali mie basah matang dengan bobot 10 gram untuk masing-masing pencelupan. Berdasarkan hasil penelitian, pencelupan 10 gram mie basah matang ke dalam 100 ml larutan pengawet

98

sebanyak 10 kali tidak mempengaruhi efektivitas larutan pengawet tersebut dalam memperpanjang umur simpan mie basah matang.

Tabel 19 Asumsi harga etanol 70% berdasarkan penurunan konsentrasi Konsentrasi Etanol (%)

Jumlah (ml)

Harga (Rp)

90

1000

15000

70

1000

11700

Tabel 20 Harga bahan baku pengawetan mie basah matang Bahan

Harga (Rp)

Satuan

Cuka pasar 25%

5000

Liter

Aquades

263

Liter

Etanol 70%

11700

Liter

Bawang putih

20000

Kilogram

Mie basah matang 6000

Kilogram

Perhitungan biaya pengawetan mie basah matang dengan pencelupan larutan pengawet dapat dilihat pada Lampiran 64, 65, 66, 67, dan 68. Tabel 21 memperlihatkan besarnya biaya yang diperlukan untuk membuat larutan pengawet A dan E.

Tabel 21 Besar biaya pembuatan larutan pengawet A dan E Bahan

Biaya (Rp)

Larutan biang A 100 ml (stock)

945.79

Larutan biang E 100 ml (stock)

2240

Harga 37% larutan formalin adalah Rp15000/liter, sehingga harga formalin 1.75% yang dihitung berdasarkan asumsi penurunan konsentrasi adalah Rp0.71/ml (Lampiran 70). Dengan prosedur pengawetan yang sama, dapat diasumsikan pula harga untuk mengawetkan mie basah matang menggunakan formalin 1.75 % adalah Rp0.012/gr mie basah

99

matang atau sebesar Rp12.43/kg mie basah matang. Biaya pengawetan 1 kg mie basah matang menggunakan larutan pengawet A dan E serta formalin 1.75% ditunjukkan oleh Tabel 22. Tabel 22 Besar biaya pengawetan mie basah matang Larutan Pengawet

Biaya ( Rp/kg mie basah matang)

A1

9.45

A2

18.9

A3

28.4

E1

22.4

E2

44.8

E3

67.2

Formalin 1.75%

12.43

Larutan A2 mampu mengawetkan mie basah matang selama 4 hari penyimpanan dengan biaya pengawetan sebesar Rp18.9/kg mie basah matang. Sementara larutan E1 mampu mengawetkan mie basah matang selama 4 hari penyimpanan dengan biaya pengawetan sebesar Rp22.4/kg mie basah matang. Biaya pengawetan oleh formalin 1.75% yaitu sebesar Rp12.43/kg mie basah matang. Biaya pengawetan menggunakan larutan E1 lebih besar dibandingkan dengan A2 karena penggunaan pelarut etanol 70% saat maserasi. Biaya pengawetan mie basah matang menggunakan formalin 1.75% lebih murah dibandingkan biaya menggunakan larutan A2 dan E1. Namun, biaya pengawetan menggunakan larutan A2 telah memenuhi tolak ukur keberhasilan penelitian, yaitu kurang dari Rp20/kg mie basah matang. Oleh karena itu, larutan A2 tetap menjadi larutan pengawet terpilih untuk mengawetkan mie basah matang. Berdasarkan kemampuan mempertahankan umur simpan dan mutu mie basah matang serta faktor biaya, dapat disimpulkan bahwa larutan pengawet yang direkomendasikan untuk aplikasi di masyarakat yaitu larutan A2. Larutan ini mengandung asam asetat sebesar 1.75% dan ekstrak bawang putih hasil maserasi menggunakan pelarut air.

100

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN Larutan pengawet pada penelitian ini dibuat dengan mencampurkan cuka pasar yang mengandung asam asetat 25% dan ekstrak bawang putih. Pencampuran bertujuan untuk memperoleh larutan pengawet yang memiliki pH ≤ 3 serta rasa yang tidak asam. Maserasi menggunakan pelarut air serta maserasi pelarut etanol merupakan metode ekstraksi yang tepat untuk mendapatkan ekstrak bawang putih yang dapat menghambat rasa asam dari asam asetat. Larutan pengawet yang menjadi larutan biang yaitu campuran asam asetat 25% dengan ekstrak bawang putih maserasi air perbandingan 7:3 (larutan A) dan asam asetat 25% dengan ekstrak bawang putih maserasi etanol perbandingan 7:3 (larutan E). Pada penelitian utama, digunakan larutan A dan E dengan konsentrasi 5% (Larutan A1, E1), 10% (larutan A2, E2), dan 15% (larutan A3, E3). Larutan terbaik yang dapat mempertahankan mutu mie basah matang selama penyimpanan yaitu larutan A2. Berdasarkan analisis total mikroba, larutan A2 mampu mempertahankan mutu mikrobiologi mie basah matang hingga penyimpanan hari ke-4, yaitu sebesar 2.5 x 105 koloni/g. Jumlah total mikroba mie basah matang ini tidak melebihi syarat angka lempeng total berdasarkan SNI, yaitu sebesar 1.0 x 106 koloni/g. Mie basah matang dengan pencelupan larutan A2 memiliki pH sebesar 4.20 serta nilai total asam sebesar 4.79% pada penyimpanan hari ke-4. Tingkat kecerahan dan oHue mie basah matang tersebut pada penyimpanan hari ke-4 yaitu 62.54 dan 79.69, yang menunjukkan warna kuning khas mie basah matang. Gaya putus serta persen elongasi mie basah matang tersebut yaitu sebesar 6.75 gf dan 8.64%. Uji organoleptik menunjukkan bahwa mie basah matang yang dicelup larutan A2 dapat diterima secara keseluruhan oleh panelis. Mie basah matang yang dicelup larutan A2 memiliki nilai sensori sebesar 3.13 dari 5 skala uji hedonik. Mie basah matang tersebut tidak berbeda nyata dengan mie kontrol. Biaya pengawetan mie basah matang menggunakan larutan A2 yaitu Rp18.9/kg mie basah matang, agak lebih mahal bila

dibandingkan dengan biaya pengawetan mie menggunakan formalin 1.75%, sebesar Rp12.43/kg mie basah matang. Hasil penelitian ini merekomendasikan larutan A2 yang mengandung asam asetat sebesar 1.75% dan ekstrak bawang putih hasil maserasi menggunakan pelarut air untuk diaplikasikan di masyarakat.

B. SARAN Larutan pengawet yang dapat mempertahankan umur simpan mie basah matang selama 4 hari yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan secara nyata di masyarakat. Sehingga penggunaan bahan kimia non pangan pada mie basah matang, seperti formalin dan boraks yang selama ini sering dipraktikkan di masyarakat dapat dihilangkan. Keresahan masyarakat terhadap bahaya formalin dan boraks dapat dihilangkan, dan keamanan pangan bangsa dapat ditingkatkan. Penelitian mengenai pengawetan mie basah matang menggunakan larutan pengawet dan ekstrak bawang putih yang selanjutnya diharapkan dapat menemukan kadar etanol yang dikandung oleh larutan pengawet. Sehingga dapat diketahui aspek kehalalan dari larutan pengawet ini. Optimasi lebih lanjut terhadap teknik ekstraksi maserasi bawang putih dapat dilakukan, sehingga pengawetan mie basah matang menjadi lebih efisien.

102

Lampiran 1 Fomulasi mie basah standar Bahan-bahan Tepung terigu (segitiga biru:cakra kembar, 1:1) Garam (NaCl) Natrium karbonat (Na2CO3) Air *Sumber: Bogasari (2005)

Jumlah (%) 100 % 1% 1% 34%

Lampiran 2 Diagram alir pembuatan mie basah secara umum Bahan-bahan mie ↓ Pencampuran bahan ↓ Pengadukan adonan ↓ Pembentukan lembaran ↓ Aging ↓ Penipisan Lembaran ↓ Pemotongan lembaran ↓ Perebusan atau pengukusan ↓ Pelumasan dengan minyak sawit ↓ Mie basah matang

↓ Penaburan mie dengan tapioka ↓ Mie basah mentah

Lampiran 3 Perhitungan kandungan asam asetat tiap pengenceran o Kandungan asam asetat dalam cuka pasar = 25% Larutan Kandungan Asam Asetat (%) 25 x 70 ml = 17.5 % Biang (asam asetat : ekstrak bawang = 7:3) 100 5 x 17.5 = 0.875 % 5% biang (larutan A1 dan E1) 100 10 x 17.5 = 1.75 % 10% biang (larutan A2 dan E2) 100 15 x 17.5 = 2.625 % 15% biang (larutan A3 dan E3) 100

112

Lampiran 4 Hasil pengamatan visual mie basah matang larutan biang maserasi etanol Lama Penyimpanan (hari)

0

1

2

3

4

Sam pel

Warna

Bau

Tekstur

K

Normal (kuning mengkilat)

Normal (bau mie basah matang dan bau minyak kelapa)

10% 20%

Normal Normal

30%

Normal

K

Normal

10%

Normal

20%

Normal

30%

Normal

K

Normal

10%

Normal

20%

Normal

30%

Normal

K 10%

Kuning pucat Normal

Normal Bau mie basah matang dan bau cuka (+) Bau mie basah matang dan bau cuka (+) Bau mie basah matang (-); bau minyak Bau mie basah matang; bau minyak Bau mie basah matang dan bau cuka (+) Bau mie basah matang dan bau cuka (++) Bau mie basah matang (-); bau minyak Bau mie basah matang; bau minyak Bau mie basah matang dan bau cuka (+) Bau mie basah matang dan bau cuka (++) Bau mie basah matang (--)

Normal (licin karena minyak) Normal Normal

20%

Normal

30%

Normal

K 10%

Kuning pucat Normal

20%

Normal

30%

Normal

Bau mie basah matang; bau minyak Bau mie basah matang dan bau cuka (+) Bau mie basah matang dan bau cuka (++) Bau mie basah matang (--) Bau mie basah matang; bau minyak Bau mie basah matang dan bau cuka (+) Bau mie basah matang dan bau cuka (++)

Normal Licin (-) Normal Normal Normal Licin (-) Normal Normal Normal Licin (-) Normal Licin (-) Licin (-) Berlendir Normal Licin (-) Licin (-)

113

Lampiran 5 Hasil pengamatan visual mie basah matang larutan biang maserasi air Lama Penyimpanan (hari)

Sam pel K

0

1

2

3

4

Warna

10% 20%

Normal (kuning mengkilat) Normal Normal

30%

Normal

K

Normal

10%

Normal

20%

Normal

30%

Normal

K

Normal

10%

Normal

20%

Normal

30%

Normal

K 10%

Kuning pucat Normal

20%

Normal

30%

Normal

K 10%

Kuning pucat Normal

20%

Normal

30%

Normal

Bau

Tekstur

Normal (bau mie basah Normal matang dan bau minyak (licin karena kelapa) minyak) Normal Normal Bau mie basah matang dan Normal bau cuka (+) Bau mie basah matang dan Normal bau cuka (+) Bau mie basah matang (-); Licin (-) bau minyak Bau mie basah matang; bau Normal minyak Bau mie basah matang dan Normal bau cuka (+) Bau mie basah matang dan Normal bau cuka (++) Bau mie basah matang (-); Licin (-) bau minyak Bau mie basah matang; bau Normal minyak Bau mie basah matang dan Normal bau cuka (+) Bau mie basah matang dan Normal bau cuka (++) Bau mie basah matang (--) Licin (-) Bau mie basah matang; bau minyak Bau mie basah matang dan bau cuka (+) Bau mie basah matang dan bau cuka (++) Bau mie basah matang (--) Bau mie basah matang; bau minyak Bau mie basah matang dan bau cuka (+) Bau mie basah matang dan bau cuka (++)

Normal Licin (-) Licin (-) Berlendir Normal Licin (-) Licin (-)

114

Lampiran 6

Ulangan

Lama Penyimpanan (hari) 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4

1

2

Lampiran 7

Ulangan

1

2

Hasil pengamatan total mikroba mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air Koloni/gr sampel K 1.65 x 104 4.1 x 104 2.5 x 106 2.5 x 106 1.0 x 107 7.7 x 103 1.8 x 104 1.3 x 106 2.5 x 106 2.7 x 106

A1 6.8 x 103 3.2 x 104 2.5 x 105 2.5 x 105 2.5 x 105 1.58 x 104 1.8 x 104 2.5 x 105 2.5 x 105 1.3 x 106

A2 9.75 x 103 3.4 x 103 2.5 x 104 2.5 x 105 2.5 x 105 2.3 x 104 7.38 x 103 2.5 x 104 2.5 x 105 2.5 x 105

A3 2.5 x 103 6.15 x 103 2.5 x 104 2.5 x 105 2.5 x 105 2.3 x 104 2.5 x 103 2.5 x 104 2.5 x 105 2.5 x 105

Hasil pengamatan total mikroba mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol

Lama Penyimpanan (hari) 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4

K 1.65 x 104 4.1 x 104 2.5 x 106 2.5 x 106 1.0 x 107 7.7 x 103 1.8 x 104 1.3 x 106 2.5 x 106 2.7 x 106

Koloni/gr sampel E1 E2 3 2.5 x 10 2.5 x 103 2.5 x 103 2.5 x 103 2.5 x 105 2.5 x 105 2.5 x 105 2.5 x 105 1.7 x 106 2.5 x 105 4.7 x 103 2.5 x 103 7.45 x 103 1.95 x 104 2.5 x 105 2.5 x 105 2.5 x 105 2.5 x 105 2.5 x 105 9.9 x 105

E3 2.5 x 103 2.5 x 103 2.5 x 105 2.5 x 105 2.5 x 106 2.5 x 103 2.5 x 103 2.5 x 105 2.5 x 105 2.5 x 105

115

Lampiran 8 Hasil pengukuran pH mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air pH Lama Penyimpanan Ulangan (hari) K A1 A2 A3

1

2

0 1 2 3 4 0 1 2 3 4

7.66 7.21 6.05 5.90 5.62 8.65 8.63 7.07 7.01 6.55

5.58 5.57 5.07 4.57 4.40 5.70 5.58 5.51 4.46 4.30

4.33 4.61 4.42 4.36 4.27 4.74 4.67 4.66 4.35 4.13

4.17 4.60 4.29 4.26 4.13 4.64 4.27 4.21 4.13 4.19

Lampiran 9 Hasil pengukuran pH mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol Lama Penyimpanan pH Ulangan (hari) K E1 E2 E3 0 7.66 6.66 6.25 6.05 1 7.21 6.54 6.01 5.53 1 2 6.05 6.22 5.09 4.81 3 5.90 5.32 4.56 4.26 4 5.62 4.74 4.52 4.33 0 8.65 6.70 6.26 6.00 1 8.63 6.58 6.05 5.50 2 2 7.07 6.12 5.12 4.83 3 7.01 5.38 4.52 4.24 4 6.55 5.13 4.48 4.30 Lampiran 10 Hasil pengukuran total asam mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air Lama Penyimpanan TAT (%) Ulangan (hari) K A1 A2 A3 0 1.22 2.13 2.41 3.37 1 1.50 2.36 3.00 3.49 1 2 1.92 3.18 3.67 4.33 3 2.90 3.56 4.24 4.40 4 4.75 5.29 0 1.17 2.18 2.46 3.44 1 1.54 2.39 3.04 3.53 2 2 2.01 3.14 3.72 4.21 3 3.00 3.60 4.35 4.45 4 4.82 5.41

116

Lampiran 11 Hasil pengukuran total asam mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol Lama Penyimpanan TAT (%) Ulangan (hari) K E1 E2 E3 0 1.13 2.71 3.10 3.30 1 1.48 2.83 3.22 3.59 1 2 2.07 2.88 3.30 3.76 3 2.95 3.12 3.62 4.55 4 3.49 3.89 6.08 0 1.03 2.66 3.15 3.37 1 1.53 2.80 3.22 3.47 2 2 2.16 2.80 3.32 3.71 3 3.05 3.17 3.67 4.70 4 3.54 4.01 5.98 Lampiran 12 Hasil pengukuran tingkat kecerahan (Lightness) mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air Lama Penyimpanan Nilai L Ulangan (hari) K A1 A2 A3 0 68.33 68.01 68.95 68.19 1 65.23 66.40 66.17 65.85 1 2 64.42 65.70 65.83 64.62 3 63.41 64.24 63.55 63.47 4 63.03 62.25 62.95 0 68.59 68.01 69.02 69.32 1 65.75 66.16 66.40 66.63 2 2 61.14 65.36 66.24 64.33 3 60.49 64.59 64.38 63.67 4 62.45 62.83 62.76 Lampiran 13 Hasil pengukuran tingkat kecerahan (Lightness) mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol Lama Penyimpanan Nilai L Ulangan (hari) K E1 E2 E3 0 68.33 67.22 67.89 67.82 1 65.23 67.83 67.82 67.73 1 2 64.42 66.54 67.50 67.40 3 63.41 66.30 66.99 66.96 4 66.69 66.83 66.79 0 68.02 69.71 69.71 67.53 1 66.52 68.38 67.35 67.87 2 2 61.14 68.09 67.49 67.54 3 60.49 68.12 67.44 66.89 4 68.48 66.63 65.74

117

Lampiran 14 Hasil pengukuran nilai oHue mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air Lama Penyimpanan Nilai Hue Ulangan (hari) K A1 A2 A3 0 79.94 77.36 87.24 81.72 1 87.22 88.33 86.56 87.7 1 2 82.13 80.73 77.59 80.54 3 87.11 80.68 78.45 79.76 4 86.06 80.32 87.31 0 63.82 80.93 81.44 84.52 1 87.56 87.02 86.95 88.52 2 2 79.99 81.39 80.88 79.39 3 86.27 81.09 79.88 79.95 4 88.35 84.74 87.82 Lampiran 15 Hasil pengukuran nilai oHue mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol Lama Penyimpanan Nilai Hue Ulangan (hari) K E1 E2 E3 0 79.94 78.15 78.46 77.42 1 87.22 86.6 86.31 86.36 1 2 82.13 76.76 78.12 76.67 3 87.11 86.75 85.41 86.18 4 86.63 85.79 85.57 0 63.82 78.3 79.77 77.28 1 87.56 86.57 86.42 86.42 2 2 79.99 76.48 77.38 77.45 3 86.27 85.75 85.19 86.06 4 86.22 85.56 85.66 Lampiran 16 Hasil pengukuran nilai gaya putus mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut air Nilai Gaya Putus (gram force) Lama Penyimpanan Ulangan (hari) K A1 A2 A3 0 10.50 12.00 13.50 11.50 1 10.00 13.00 13.00 10.50 1 2 9.75 10.00 11.00 11.50 3 9.50 10.00 7.50 9.50 4 9.00 8.50 7.50 7.50 0 11.00 13.50 12.50 12.00 1 11.00 12.00 12.00 11.50 2 2 10.50 11.50 11.00 10.00 3 10.00 8.50 8.50 10.00 4 9.50 7.50 6.00 6.50

118

Lampiran 17 Hasil pengukuran nilai gaya putus mie basah matang perlakuan maserasi bawang putih dengan pelarut etanol Ulangan

1

2

Lama Penyimpanan (hari) 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4

Nilai Gaya Putus (gram force) K E1 E2 E3 10.50 11.50 12.50 11.50 10.00 11.50 12.50 10.00 9.50 10.50 11.00 10.50 9.00 9.50 8.50 10.50 8.00 8.00 8.00 8.00 10.00 12.50 12.50 11.50 9.50 12.00 12.00 11.00 8.00 11.00 11.50 10.50 7.00 8.50 8.50 9.50 6.00 8.00 7.00 6.50

119

Lampiran 18 Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan terhadap atribut aroma

Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata

K 2 2 3 5 2 3 2 3 5 3 4 4 3 1 2 1 2 1 5 4 3 4 3 3 2 4 3 4 4 4 3.03

A1 2 3 4 2 4 2 2 4 2 2 4 4 3 1 3 3 2 3 2 3 3 3 1 2 3 4 4 3 2 2 2.73

A2 3 3 4 3 3 3 4 3 4 2 4 3 4 3 3 3 4 3 4 5 4 5 1 3 4 3 3 3 3 2 3.30

Skor A3 2 4 2 4 5 3 4 4 3 2 4 3 3 2 3 3 4 3 2 2 4 3 1 4 3 4 4 2 5 1 3.10

E1 4 4 4 3 3 4 4 3 4 3 4 4 4 3 3 4 2 3 4 3 3 3 1 3 3 3 1 3 4 2 3.20

E2 2 3 2 2 5 2 4 4 5 2 4 3 3 2 3 2 3 3 3 2 4 3 1 2 4 4 3 2 3 1 2.87

E3 1 2 2 4 4 3 4 3 2 2 4 3 2 1 3 2 2 3 2 1 3 2 1 1 4 3 2 2 2 2 2.40

120

Lampiran 19 Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan terhadap atribut rasa

Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata

K 3 2 2 5 2 4 2 4 5 2 4 5 4 2 3 1 4 2 5 4 4 4 2 3 2 3 4 4 5 4 3.33

A1 4 1 2 2 4 2 2 4 2 1 2 4 3 1 2 2 3 3 2 3 2 2 1 2 4 2 2 2 2 1 2.30

A2 4 4 4 3 3 3 3 4 4 2 4 3 4 2 3 3 5 2 4 5 4 4 1 3 3 3 2 4 4 4 3.37

Skor A3 4 4 4 4 5 4 4 3 3 2 3 4 3 1 3 3 4 3 3 2 4 3 1 4 3 1 2 3 3 2 3.07

E1 4 4 4 2 4 2 4 3 4 3 3 3 4 3 3 4 3 3 4 1 3 4 2 3 4 4 4 3 4 2 3.27

E2 4 3 2 3 5 3 2 4 5 2 2 4 3 2 2 2 2 3 2 4 4 2 3 2 3 2 2 2 2 1 2.73

E3 2 2 1 4 3 4 2 4 2 1 2 3 2 1 2 1 2 3 3 2 3 2 2 1 2 1 1 2 1 1 2.07

121

Lampiran 20 Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan terhadap atribut tekstur

Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata

K 2 2 4 5 2 3 4 3 5 4 4 4 4 1 3 2 4 4 5 5 4 3 2 2 2 2 2 4 4 4 3.30

A1 4 4 2 3 4 2 4 3 2 3 4 4 5 2 3 2 2 4 2 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 2 3.30

A2 4 4 2 4 3 4 2 3 4 2 4 4 3 3 3 3 4 4 3 4 4 4 3 2 4 3 3 3 2 2 3.23

Skor A3 4 4 2 2 5 3 4 3 3 3 4 4 4 1 3 4 4 4 4 2 4 4 4 4 3 4 4 4 4 3 3.50

E1 4 5 4 3 3 3 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 2 4 3 4 4 4 4 4 3 4 3 3 4 4 3.63

E2 4 4 2 2 4 3 4 3 5 2 4 4 3 4 3 3 2 3 2 2 4 4 4 4 3 4 3 2 3 4 3.27

E3 4 4 2 4 5 3 4 3 4 1 4 3 2 3 4 3 3 4 4 3 3 4 3 4 4 4 3 3 2 3 3.33

122

Lampiran 21 Hasil uji hedonik mie basah matang dengan pencelupan terhadap overall.

Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata

K 2 2 2 5 2 3 2 3 5 1 4 4 4 1 2 1 4 2 5 5 4 4 2 3 2 4 2 4 4 4 3.07

A1 3 2 4 2 4 2 3 4 2 3 3 4 4 2 2 2 3 3 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 2 1 2.73

A2 4 4 2 4 3 3 3 3 4 1 4 3 4 2 3 3 4 3 3 4 4 4 1 3 4 3 3 3 3 2 3.13

Skor A3 3 4 2 3 5 3 4 3 3 2 3 4 3 1 3 3 4 3 4 2 4 3 2 4 3 2 3 3 3 2 3.03

E1 5 5 4 3 3 4 4 3 3 4 3 4 4 3 3 4 2 3 4 4 3 3 2 4 3 4 4 3 4 2 3.47

E2 4 3 2 2 5 3 4 4 5 2 3 4 3 2 2 2 3 3 2 3 4 3 3 3 3 2 3 2 2 2 2.93

E3 2 3 1 4 4 3 4 3 4 1 2 3 2 1 2 2 2 3 3 2 4 2 1 2 4 2 1 3 1 4 2.50

123

Lampiran 22 Analisis ragam total mikroba penelitian utama mie basah matang hari ke-0 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 2500 23000 122250 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 8732.14 2060.310 7708.976

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 1460526250a 1460526250 379546250 1840072500

df 7 7 7 14

Mean Square 208646607.1 208646607.1 54220892.86

F 3.848 3.848

Sig. .048 .048

a. R Squared = .794 (Adjusted R Squared = .587)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN E10 E15 E5 A5 K A15 A10 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

Subset 1 2500.00 2500.00 3600.00 11300.00 12100.00 12750.00 16375.00 .122

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 54220892.857. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

124

Lampiran 23 Analisis ragam total mikroba penelitian utama mie basah matang hari ke-1 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. N Minimum Maximum Sum Mean Deviation Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic NILAI 14 2500 41000 165380 11812.86 3290.211 12310.843 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 3390016700a 3390016700 533832700 3923849400

df 7 7 7 14

Mean Square 484288100.0 484288100.0 76261814.29

F 6.350 6.350

Sig. .013 .013

a. R Squared = .864 (Adjusted R Squared = .728)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN E15 A15 E5 A10 E10 A5 K Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 2500.00 4325.00 4975.00 5390.00 11000.00

.387

Subset 2 4325.00 4975.00 5390.00 11000.00 25000.00 .063

3

11000.00 25000.00 29500.00 .081

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 76261814.286. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

125

Lampiran 24 Analisis ragam total mikroba penelitian utama mie basah matang hari ke-2 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. N Minimum Maximum Sum Mean Deviation Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic NILAI 14 25000 2500000 5900000 421428.57 180902.4 676874.7 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 7.723E+012a 7.722E+012 7.200E+011 8.443E+012

df 7 7 7 14

Mean Square 1.103E+012 1.103E+012 1.029E+011

F 10.726 10.726

Sig. .003 .003

a. R Squared = .915 (Adjusted R Squared = .829)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN A10 A15 A5 E10 E15 E5 K Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

Subset 1 2 25000.00 25000.00 250000.00 250000.00 250000.00 250000.00 1900000 .525 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 102857142857.143. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

126

Lampiran 25 Analisis ragam total mikroba penelitian utama mie basah matang hari ke-3 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. N Minimum Maximum Sum Mean Deviation Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic NILAI 14 250000 2500000 8000000 571428.57 218367.7 817057.2 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 1.325E+013a 1.325E+013 .000 1.325E+013

df 7 7 7 14

Mean Square 1.893E+012 1.893E+012 .000

F

Sig. . .

. .

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

127

Lampiran 26 Analisis ragam total mikroba penelitian utama mie basah matang hari ke-4 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. N Minimum Maximum Sum Mean Deviation Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic NILAI 14 250000 10000000 21190000 1513571 693484.3 2594781 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 8.855E+013a 8.855E+013 3.105E+013 1.196E+014

df 7 7 7 14

Mean Square 1.265E+013 1.265E+013 4.436E+012

F 2.852 2.852

Sig. .095 .095

a. R Squared = .740 (Adjusted R Squared = .481)

128

Lampiran 27 Analisis ragam nilai pH penelitian utama mie basah matang hari ke 0 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Variance N Minimum Maximum Sum Mean Deviation Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic Statistic NILAI 14 4.17 8.65 83.39 5.9564 .33685 1.26038 1.589 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 516.664a 516.664 .694 517.358

df 7 7 7 14

Mean Square 73.809 73.809 .099

F 744.633 744.633

Sig. .000 .000

a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

Subset PERLAKUAN A15 A10 A5 E15 E10 E5 K Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 4.4050 4.5350

2

3

5.6400 6.0250 6.2550

.692

.102

4

6.0250 6.2550 6.6800 .085

8.1550 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .099. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

129

Lampiran 28 Analisis ragam nilai pH penelitian utama mie basah matang hari ke1 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 4.27 8.63 81.35 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 5.8107 .31445 1.17657

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 489.631a 489.631 1.067 490.698

df 7 7 7 14

Mean Square 69.947 69.947 .152

F 459.079 459.079

Sig. .000 .000

4

5

a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)

Duncan Nilai NILAI a,b

Duncan

PERLAKUAN A15 A10 E15 A5 E10 E5 K Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 4.4350 4.6400

.616

2 4.6400 5.5150 5.5750

Subset 3

5.5150 5.5750 6.0300

.055

.245

6.0300 6.5600 .217

7.9200 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .152. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

130

Lampiran 29 Analisis ragam nilai pH penelitian utama mie basah matang hari ke2 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 5.2479 .22487 .84137

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 4.21 7.07 73.47 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 394.108a 394.108 .655 394.763

df 7 7 7 14

Mean Square 56.301 56.301 .094

F 602.014 602.014

Sig. .000 .000

a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN A15 A10 E15 E10 A5 E5 K Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 4.2500 4.5400 4.8200

.116

Subset 2

3

4.5400 4.8200 5.1050 5.2900

.054

6.1700 6.5600 .243

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .094. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

131

Lampiran 30 Analisis ragam nilai pH penelitian utama mie basah matang hari ke3 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 4.8086 .21922 .82023

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 4.13 7.01 67.32 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 331.826a 331.826 .633 332.459

df 7 7 7 14

Mean Square 47.404 47.404 .090

F 523.880 523.880

Sig. .000 .000

a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN A15 E15 A10 A5 E10 E5 K Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 4.1950 4.2500 4.3550 4.5150 4.5400

Subset 2

3

5.3500 .314

1.000

6.4550 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .090. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

132

Lampiran 31 Analisis ragam nilai pH penelitian utama mie basah matang hari ke4 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 4.6493 .18370 .68735

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 4.13 6.55 65.09 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 308.238a 308.238 .526 308.764

df 7 7 7 14

Mean Square 44.034 44.034 .075

F 585.613 585.613

Sig. .000 .000

a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN A15 A10 E15 A5 E10 E5 K Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 4.1600 4.2000 4.3150 4.3500 4.5000

.280

Subset 2

3

4.3150 4.3500 4.5000 4.9350 .070

6.0850 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .075. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

133

Lampiran 32 Analisis ragam nilai total asam tertitrasi penelitian utama mie basah matang hari ke-0 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 1.08 3.44 36.55 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 2.6107 .20568 .76959

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 103.105a 103.105 .016 103.121

df 7 7 7 14

Mean Square 14.729 14.729 .002

F 6464.273 6464.273

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI a,b

Duncan

Subset PERLAKUAN K A5 A10 E5 E10 E15 A15 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 1.1350

2

3

4

5

6

2.1550 2.4350 2.6850 3.1250

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

3.3350 3.4050 .186

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .002. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

134

Lampiran 33 Analisis ragam nilai total asam tertitrasi penelitian utama mie basah matang hari ke-1 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 1.50 3.59 39.96 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 2.8543 .18430 .68960

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 120.230a 120.230 .010 120.239

df 7 7 7 14

Mean Square 17.176 17.176 .001

F 12144.394 12144.394

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI a,b

Duncan

Subset PERLAKUAN K A5 E5 A10 E10 A15 E15 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 1.5100

2

3

4

5

6

2.3750 2.8150 3.0200 3.2200

1.000

1.000

1.000

1.000

1.000

3.5100 3.5300 .611

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .001. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

135

Lampiran 34 Analisis ragam nilai total asam tertitrasi penelitian utama mie basah matang hari ke-2 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 1.97 4.33 46.11 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 3.2936 .18471 .69113

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 158.051a 158.051 .025 158.076

df 7 7 7 14

Mean Square 22.579 22.579 .004

F 6284.332 6284.332

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI a,b

Duncan

Subset PERLAKUAN K E5 A5 E10 A10 E15 A15 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 2.0450

2

3

4

5

6

2.8400 3.1600 3.3100 3.6950 3.7350 1.000

1.000

1.000

1.000

.526

4.2700 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .004. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

136

Lampiran 35 Analisis ragam nilai total asam tertitrasi penelitian utama mie basah matang hari ke-3 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 3.8129 .16604 .62126

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 2.95 4.70 53.38 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 208.525a 208.525 .023 208.548

df 7 7 7 14

Mean Square 29.789 29.789 .003

F 9027.043 9027.043

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN K E5 A5 E10 A10 A15 E15 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 2.9750

2

Subset 3

4

5

3.1450 3.5800 3.6450 4.2950 4.4250 1.000

1.000

.295

.058

4.6250 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .003. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

137

Lampiran 36 Analisis ragam nilai total asam tertitrasi penelitian utama mie basah matang hari ke-4 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 4.7260 .30454 .96304

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 10 3.49 6.08 47.26 Valid N (listwise) 10

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 231.675a 231.675 .023 231.698

df 5 5 5 10

Mean Square 46.335 46.335 .005

F 10029.208 10029.208

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN E5 E10 A10 A15 E15 Sig.

N 2 2 2 2 2

1 3.5150

2

Subset 3

4

5

3.9500 4.7850 5.3500 1.000

1.000

1.000

1.000

6.0300 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

138

Lampiran 37 Analisis ragam tingkat kecerahan (L) penelitian utama mie basah matang hari ke-0 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 67.22 69.71 958.30 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 68.4500 .21051 .78767

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 65598.228a 65598.228 5.473 65603.701

df 7 7 7 14

Mean Square 9371.175 9371.175 .782

F 11985.790 11985.790

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN E15 A5 K E5 A15 E10 A10 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

Subset 1 67.6750 68.0100 68.4600 68.4650 68.7550 68.8000 68.9850 .205

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .782. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

139

Lampiran 38 Analisis ragam tingkat kecerahan (L) penelitian utama mie basah matang hari ke-1 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 65.23 68.38 935.57 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 66.8264 .26234 .98158

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 62532.561a 62532.561 .766 62533.327

df

Mean Square 8933.223 8933.223 .109

7 7 7 14

F 81619.214 81619.214

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

Subset PERLAKUAN K A15 A5 A10 E10 E15 E5 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 65.4900 66.2400 66.2800 66.2850

.058

2

67.5850 67.8000 68.1050 .174

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .109. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

140

Lampiran 39 Analisis ragam tingkat kecerahan (L) penelitian utama mie basah matang hari ke-2 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 65.8714 .49517 1.85276

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 61.14 68.09 922.20 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 60784.483a 60784.483 6.774 60791.257

df 7 7 7 14

Mean Square 8683.498 8683.498 .968

F 8972.939 8972.939

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN K A15 A5 A10 E5 E15 E10 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 62.7800 64.4750

.129

Subset 2 64.4750 65.5300 66.0350

.171

3

65.5300 66.0350 67.3150 67.4700 67.4950 .104

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .968. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

141

Lampiran 40 Analisis ragam tingkat kecerahan (L) penelitian utama mie basah matang hari ke-3 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 65.0357 .56910 2.12937

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 60.49 68.12 910.50 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 59267.514a 59267.514 6.449 59273.962

df 7 7 7 14

Mean Square 8466.788 8466.788 .921

F 9190.472 9190.472

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN K A15 A10 A5 E15 E5 E10 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 61.9500 63.5700 63.9650

.083

Subset 2

3

63.5700 63.9650 64.4150

.424

66.9250 67.2100 67.2150 .779

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .921. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

142

Lampiran 41 Analisis ragam tingkat kecerahan (L) penelitian utama mie basah matang hari ke-4 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 12 62.25 68.48 777.43 Valid N (listwise) 12

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 64.7858 .65162 2.25728

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 50419.971a 50419.971 2.528 50422.499

df 6 6 6 12

Mean Square 8403.329 8403.329 .421

F 19946.581 19946.581

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN A10 A5 A15 E15 E10 E5 Sig.

N 2 2 2 2 2 2

Subset 1 2 62.5400 62.7400 62.8550 66.2650 66.7300 67.5850 .655 .097

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .421. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

143

Lampiran 42 Analisis ragam nilai oHue penelitian utama mie basah matang hari ke-0 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 86.9257 .25936 .97045

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 84.74 88.35 1216.96 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 105795.631a 105795.631 1.730 105797.360

df 7 7 7 14

Mean Square 15113.662 15113.662 .247

F 61164.150 61164.150

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

Subset PERLAKUAN A10 E10 E15 E5 K A15 A5 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 85.6500 86.3650 86.3900 86.5850

.119

2

3

86.3650 86.3900 86.5850 87.3900

4

86.5850 87.3900 87.7600

.093

.057

87.3900 87.7600 88.3400 .109

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .247. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

144

Lampiran 43 Analisis ragam nilai oHue penelitian utama mie basah matang hari ke-1 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 86.5336 .23694 .88656

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 85.19 88.52 1211.47 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 104840.769a 104840.769 2.275 104843.044

df 7 7 7 14

Mean Square 14977.253 14977.253 .325

F 46084.867 46084.867

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN E10 E15 E5 A5 K A10 A15 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 85.4900 85.8150 86.1900 86.5400 86.6900

.090

Subset 2 85.8150 86.1900 86.5400 86.6900 87.0950 .074

3

86.5400 86.6900 87.0950 87.9150 .057

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .325. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

145

Lampiran 44 Analisis ragam nilai oHue penelitian utama mie basah matang hari ke-2 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 77.36 86.75 1156.03 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 82.5736 .85541 3.20065

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 95581.792a 95581.792 8.908 95590.700

df

Mean Square 13654.542 13654.542 1.273

7 7 7 14

F 10730.063 10730.063

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

Subset PERLAKUAN A5 K A10 A15 E10 E15 E5 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 79.2250 79.9650 80.1000 80.8350

.219

2

85.4850 85.9200 86.4850 .421

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.273. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

146

Lampiran 45 Analisis ragam nilai oHue penelitian utama mie basah matang hari ke-3 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 63.82 84.52 1101.08 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 78.6486 1.27001 4.75195

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 86708.064a 86708.064 183.859 86891.923

df 7 7 7 14

Mean Square 12386.866 12386.866 26.266

F 471.602 471.602

Sig. .000 .000

a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN K E15 E5 E10 A10 A5 A15 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

Subset 1 72.9750 77.3500 78.2250 79.1150 79.5150 80.8300 82.5300 .125

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 26.266. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

147

Lampiran 46 Analisis ragam nilai oHue penelitian utama mie basah matang hari ke-4 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 78.6217 .50699 1.75627

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 12 76.48 81.39 943.46 Valid N (listwise) 12

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 74206.557a 74206.557 3.770 74210.327

df 6 6 6 12

Mean Square 12367.759 12367.759 .628

F 19683.959 19683.959

Sig. .000 .000

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN E5 E15 E10 A15 A10 A5 Sig.

N 2 2 2 2 2 2

1 76.6200 77.0600 77.7500

.217

Subset 2

77.7500 79.5750 79.6900 .056

3

79.5750 79.6900 81.0350 .125

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .628. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

148

Lampiran 47 Analisis ragam nilai gaya putus penelitian utama mie basah matang hari ke-0 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 11.964 .2645 .9896

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 10.0 13.5 167.5 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 2014.375a 2014.375 2.375 2016.750

df 7 7 7 14

Mean Square 287.768 287.768 .339

F 848.158 848.158

Sig. .000 .000

a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN K E15 A15 E5 E10 A5 A10 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 10.250 11.500

.069

Subset 2 11.500 11.750 12.000 12.500 12.750 .085

3

11.750 12.000 12.500 12.750 13.000 .085

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .339. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

149

Lampiran 48 Analisis ragam nilai gaya putus penelitian utama mie basah matang hari ke-1 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 11.464 .2986 1.1174

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 9.5 13.0 160.5 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 1853.875a 1853.875 2.375 1856.250

df 7 7 7 14

Mean Square 264.839 264.839 .339

F 780.579 780.579

Sig. .000 .000

a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

Subset PERLAKUAN K E15 A15 E5 E10 A10 A5 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 9.750 10.500 11.000

.078

2

3

10.500 11.000 11.750

.078

4

11.000 11.750 12.250

.078

11.750 12.250 12.500 12.500 .262

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .339. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

150

Lampiran 49 Analisis ragam nilai gaya putus penelitian utama mie basah matang hari ke-2 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 8.0 11.5 147.5 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 10.536 .2539 .9500

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 1562.125a 1562.125 3.625 1565.750

df 7 7 7 14

Mean Square 223.161 223.161 .518

F 430.931 430.931

Sig. .000 .000

a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .995)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

Subset PERLAKUAN K E15 A15 A5 E5 A10 E10 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 8.750

1.000

2 10.500 10.750 10.750 10.750 11.000 11.250 .356

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .518. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

151

Lampiran 50 Analisis ragam nilai gaya putus penelitian utama mie basah matang hari ke-3 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 7.5 10.5 126.5 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 9.036 .2190 .8196

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 1148.875a 1148.875 2.875 1151.750

df 7 7 7 14

Mean Square 164.125 164.125 .411

F 399.609 399.609

Sig. .000 .000

a. R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .995)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

Subset PERLAKUAN A10 E10 K E5 A5 A15 E15 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 8.000 8.500 8.750 9.000 9.250

.111

2 8.500 8.750 9.000 9.250 9.750 10.000 .066

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .411. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

152

Lampiran 51 Analisis ragam nilai gaya putus penelitian utama mie basah matang hari ke-4 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 6.0 8.5 103.0 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 7.357 .2188 .8187

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 760.750a 760.750 5.750 766.500

df 7 7 7 14

Mean Square 108.679 108.679 .821

F 132.304 132.304

Sig. .000 .000

a. R Squared = .992 (Adjusted R Squared = .985)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN A10 A15 K E15 E10 A5 E5 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

Subset 1 6.750 7.000 7.000 7.250 7.500 8.000 8.000 .234

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .821. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

153

Lampiran 52 Analisis ragam nilai persen elongasi penelitian utama mie basah matang hari ke-0 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 21.35 30.86 356.65 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 25.4750 .77796 2.91086

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 9160.553a 9160.553 35.256 9195.809

df

Mean Square 1308.650 1308.650 5.037

7 7 7 14

F 259.829 259.829

Sig. .000 .000

a. R Squared = .996 (Adjusted R Squared = .992)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

Subset PERLAKUAN K E3 A3 E1 E2 A1 A2 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 22.2650 23.1800 24.0900 25.0500 26.9200 27.9300 .052

2 23.1800 24.0900 25.0500 26.9200 27.9300 28.8900 .051

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 5.037. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

154

Lampiran 53 Analisis ragam nilai persen elongasi penelitian utama mie basah matang hari ke-1 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 23.9357 1.00070 3.74426

N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 17.92 30.86 335.10 Valid N (listwise) 14

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 8163.115a 8163.115 39.996 8203.111

df 7 7 7 14

Mean Square 1166.159 1166.159 5.714

F 204.098 204.098

Sig. .000 .000

a. R Squared = .995 (Adjusted R Squared = .990)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN E3 K A3 E1 E2 A1 A2 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 19.6350 20.4950 21.4100 24.1400

.118

Subset 2

21.4100 24.1400 26.9200 27.0200 .063

3

24.1400 26.9200 27.0200 27.9300 .177

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 5.714. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

155

Lampiran 54 Analisis ragam nilai persen elongasi penelitian utama mie basah matang hari ke-2 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 17.92 23.18 289.17 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 20.6550 .47788 1.78804

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 5983.753a 5983.753 30.615 6014.369

df 7 7 7 14

Mean Square 854.822 854.822 4.374

F 195.449 195.449

Sig. .000 .000

a. R Squared = .995 (Adjusted R Squared = .990)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN K E3 E1 A1 A3 A2 E2 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

Subset 1 19.6250 19.6400 20.4950 20.5500 20.5500 21.4050 22.3200 .262

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4.374. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

156

Lampiran 55 Analisis ragam nilai persen elongasi penelitian utama mie basah matang hari ke-3 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 10.48 19.64 217.26 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 15.5186 .71594 2.67879

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 3438.527a 3438.527 26.325 3464.852

df

Mean Square 491.218 491.218 3.761

7 7 7 14

F 130.617 130.617

Sig. .000 .000

a. R Squared = .992 (Adjusted R Squared = .985)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

Subset PERLAKUAN A2 E2 E1 A1 A3 K E3 Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

1 11.8750 13.2700 14.8000 15.5950

.113

2 13.2700 14.8000 15.5950 17.1850 17.9200 17.9850 .059

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3.761. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

157

Lampiran 56 Analisis ragam nilai persen elongasi penelitian utama mie basah matang hari ke-4 Deskriptif Nilai Descriptive Statistics N Minimum Maximum Sum Statistic Statistic Statistic Statistic NILAI 14 6.80 16.33 156.88 Valid N (listwise) 14

Std. Mean Deviation Statistic Std. Error Statistic 11.2057 .75480 2.82419

Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: NILAI Source Model PERLAKUAN Error Total

Type III Sum of Squares 1837.062a 1837.062 24.580 1861.641

df 7 7 7 14

Mean Square 262.437 262.437 3.511

F 74.740 74.740

Sig. .000 .000

a. R Squared = .987 (Adjusted R Squared = .974)

Duncan Nilai NILAI Duncan

a,b

PERLAKUAN A2 A3 E3 E2 E1 A1 K Sig.

N 2 2 2 2 2 2 2

Subset 1 2 8.6400 9.2300 9.8900 10.6200 11.8700 11.8700 11.8750 11.8750 16.3150 .150 .057

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3.511. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.

158

Lampiran 57 Analisis ragam uji hedonik terhadap atribut aroma Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total

Type III Sum of Squares 1912.695a 70.995 17.124 124.305 2037.000

df 36 29 6 174 210

Mean Square 53.130 2.448 2.854 .714

F 74.371 3.427 3.995

Sig. .000 .000 .001

a. R Squared = .939 (Adjusted R Squared = .926)

Duncan Nilai SKOR Duncan

a,b

SAMPEL E3 A1 E2 K A3 E1 A2 Sig.

N

Subset 2

1 30 30 30 30 30 30 30

2.40 2.73

.128

2.73 2.87 3.03 3.10 3.20 .057

3

2.87 3.03 3.10 3.20 3.30 .078

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .714. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.

159

Lampiran 58 Analisis ragam uji hedonik terhadap atribut rasa Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total

Type III Sum of Squares 1853.952a 67.352 49.381 130.048 1984.000

df 36 29 6 174 210

Mean Square 51.499 2.322 8.230 .747

F 68.904 3.107 11.012

Sig. .000 .000 .000

a. R Squared = .934 (Adjusted R Squared = .921)

Duncan Nilai SKOR Duncan

a,b

Subset SAMPEL E3 A1 E2 A3 E1 K A2 Sig.

N

1 30 30 30 30 30 30 30

2 2.07 2.30

.297

3 2.30 2.73

.054

4

2.73 3.07

.137

3.07 3.27 3.33 3.37 .226

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .747. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.

160

Lampiran 59 Analisis ragam uji hedonik terhadap atribut tekstur Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model PANELIS SAMPEL Error Total

Type III Sum of Squares 2417.943a 33.910 3.800 121.057 2539.000

df 36 29 6 174 210

Mean Square 67.165 1.169 .633 .696

F 96.539 1.681 .910

Sig. .000 .022 .489

a. R Squared = .952 (Adjusted R Squared = .942)

Lampiran 60 Analisis ragam uji hedonik terhadap atribut overall Anova Nilai Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR Source Model SAMPEL PANELIS Error Total

Type III Sum of Squares 1942.067a 16.924 59.067 123.933 2066.000

df 36 6 29 174 210

Mean Square 53.946 2.821 2.037 .712

F 75.740 3.960 2.860

Sig. .000 .001 .000

a. R Squared = .940 (Adjusted R Squared = .928)

Duncan Nilai SKOR Duncan

a,b

SAMPEL E3 A1 E2 A3 K A2 E1 Sig.

N

Subset 2

1 30 30 30 30 30 30 30

2.50 2.73 2.93

.061

2.73 2.93 3.03 3.07 3.13 .104

3

3.03 3.07 3.13 3.47 .070

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .712. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. b. Alpha = .05.

161

Lampiran 61 Ulangan

1

2

Lampiran 62 Ulangan

1

2

Hasil pengukuran nilai persen elongasi mie basah matang pencelupan larutan A Nilai Elongasi (%) Lama Penyimpanan (hari) K A1 A2 A3 0 25.00 30.86 23.18 23.18 1 28.94 28.94 19.64 19.64 2 19.64 17.92 21.46 23.18 3 17.92 17.92 10.48 16.33 4 13.27 10.48 10.48 16.33 0 30.86 26.92 25.00 21.35 1 25.10 25.00 23.18 21.35 2 19.61 23.18 21.35 17.92 3 17.92 13.27 13.27 18.04 4 16.30 10.48 6.80 7.98 Hasil pengukuran nilai persen elongasi mie basah matang pencelupan larutan E Nilai Elongasi (%) Lama Penyimpanan (hari) K E1 E2 E3 0 23.18 23.18 26.92 23.18 1 19.64 23.18 26.92 17.92 2 19.64 19.64 21.46 19.64 3 17.92 16.33 13.27 19.64 4 16.33 11.80 11.94 11.80 0 21.35 26.92 26.92 23.18 1 21.35 25.10 25.00 21.35 2 19.61 21.35 23.18 19.64 3 17.92 13.27 13.27 16.33 4 16.30 11.94 9.30 7.98

Lampiran 63 Daftar Harga Pengawet Asam Organik Cuka Pasar Formalin Bawang putih

Harga Rp. 5.000/ liter Rp. 15.000/ liter Rp. 20.000/ kg

Konsentrasi 25% 37% -

162

Lampiran 64 Analisis Biaya Larutan Stock Asam Asetat 25% dan Ekstrak Air Bawang Putih (7:3)

Pembuatan Larutan Stock 100 ml No 1.

Bahan Asam asetat 25%

Harga (Rupiah) Rp. 5000/liter

Kebutuhan Volume Asam asetat yang dibutuhkan : = 7 x 100 ml = 70 ml 10

Biaya untuk mengawetkan Harga Asam Asetat 25%: = 70 ml x Rp.5000 = Rp.350 1000 ml

2.

Bawang putih

Rp. 20000/ kg

Harga Bawang Putih Segar: = 28.30 gram x Rp.20000 = Rp.566 1000 gram

3.

Air

Rp. 5000/19 liter

Ekstrak bawang putih yang dibutuhkan: = 3 x 100 ml = 30 ml 10 Bawang putih segar yang dibutuhkan : = Ekstrak akhir x 100% Rendemen = 30 x 100% 106 = 28.30 gram Volume air yang dibutuhkan untuk mengekstrak : Bawang putih : Air = 1:4 = 4 x 28.30 1 = 113.2 ml

Harga total untuk membuat 100 ml stock

Harga air : = 113.2 ml 19000 ml

x Rp. 5000 = Rp.29.79

Rp. 945.79

163

Lampiran 65 Analisis Biaya Larutan Stock Asam Asetat 25% dan Ekstrak Etanol Bawang Putih (7:3)

Pembuatan Larutan Stock 100 ml No 1.

Bahan Asam asetat 25%

Harga (Rupiah) Rp. 5000/liter

Kebutuhan Volume Asam asetat yang dibutuhkan : = 7 x 100 ml = 70 ml 10

Biaya untuk mengawetkan Harga Asam Asetat 25%: = 70 ml x Rp.5000 = Rp.350 1000 ml

2.

Bawang putih

Rp. 20000/ kg

Harga Bawang Putih Segar: = 28.30 gram x Rp.20000 = Rp.566 1000 gram

3.

Etanol 70%

Rp. 11700/liter

Ekstrak bawang putih yang dibutuhkan: = 3 x 100 ml = 30 ml 10 Bawang putih segar yang dibutuhkan : = Ekstrak akhir x 100% Rendemen = 30 x 100% 106 = 28.30 gram Volume etanol 70% yang dibutuhkan untuk mengekstrak : Bawang putih : etanol= 1:4 = 4 x 28.30 1 = 113.2 ml

Harga total untuk membuat 100 ml stock

Harga etanol 70% : = 113.2 ml x Rp. 11700 = Rp.1324 1000 ml

Rp.2240

164

Lampiran 66 Biaya pengawetan mie basah matang dengan larutan hasil ekstraksi air bawang putih per kilogram Jumlah larutan pengawet yang dibutuhkan = 100 ml Jumlah mie basah matang yang dipakai untuk mencelup = 10 mie basah matang x 10 gram = 100 gram Harga stock larutan ekstrak air/ 100 ml No

1.

= Rp. 945.79

Konsentrasi

Volume

Bobot total

Volume larutan

Biaya pengawetan 100

Biaya pengawetan

Biaya pengawetan 1

pengenceran

larutan

10 mie

yang terpakai

ml

untuk 100 gr mie

kg mie basah

stock

stock yang

basah

untuk

(Rupiah)

basah matang

matang

dibutuhkan

matang

mengawetkan

(Rupiah)

(Rupiah)

(ml)

yang

100 gr mie

dicelup

basah matang

(gram)

(ml)

100

2

= 2 x Rp 47.29

= 1000 x Rp 0.95

5%

5

= 5 x Rp. 945.79 100

2.

10%

10

100

2

100

= Rp 47.29

= 0.95

= 9.45

= 10 x Rp. 945.79

= 2 x Rp 94.58

= 1000 x Rp 1.89

100

3.

15%

15

100

2

100

100

100

= Rp 94.58

= 1.89

= 18.9

= 15

= 2 x Rp 141.87

= 1000 x Rp 2.84

x Rp. 945.79

100 = Rp 141.87

100 = 2.84

100 = 28.4

165

Lampiran 67 Biaya pengawetan mie basah matang dengan larutan hasil ekstraksi etanol bawang putih per kilogram Jumlah larutan pengawet yang dibutuhkan = 100 ml Jumlah mie basah matang yang dipakai untuk mencelup = 10 mie basah matang x 10 gram =100 gram Harga stock larutan ekstrak etanol/ 100 ml = Rp. 2240 No

1.

Konsentrasi

Volume

Bobot total

Volume larutan

Biaya pengawetan 100

Biaya pengawetan

Biaya pengawetan

pengenceran

larutan

10 mie

yang terpakai

ml

untuk 100 gr mie

1 kg mie basah

stock

stock yang

basah

untuk

(Rupiah)

basah matang

matang

dibutuhkan

matang

mengawetkan

(Rupiah)

(Rupiah)

(ml)

yang

100 gr mie

dicelup

basah matang

(gram)

(ml)

100

2

= 2 x Rp 112

= 1000 x Rp 2.24

5%

5

= 5 x Rp. 2240 100

2.

10%

10

100

2

100

= Rp 112

= 2.24

= 22.4

= 10 x Rp. 2240

= 2 x Rp 224

= 1000 x Rp 4.48

100

3.

15%

15

100

2

100

100

100

= Rp 224

= 4.48

= 44.8

= 15

= 2 x Rp 336

= 1000 x Rp 6.72

x Rp. 2240

100 = Rp 336

100 = 6.72

100 = 67.2

166

Lampiran 68 Biaya pengawetan mie basah matang dengan formalin per kilogram

Jumlah larutan pengawet yang dibutuhkan = 100 ml Jumlah mie basah matang yang dipakai untuk mencelup = 10 mie basah matang x 10 gram = 100 gram Harga stock formalin 37% / 1000 ml

= Rp. 15000

Asumsi harga formalin 1.75 % berdasarkan penurunan konsentrasi Konsentrasi formalin (%)

Jumlah (ml)

Harga (Rp)

37

1000

15.000

1.75

1000

709

1.75

1

0.71

Asumsi biaya pengawetan mie basah matang menggunakan formalin Formalin

Jumlah Formalin (ml)

1.75 % 100 Biaya pengawetan mie basah matang :

Jumlah Mie basah matang (g)

Harga Formalin (Rp/ml)

100

0.71

Jumlah formalin (ml) x harga formalin (Rp/ml) x 1.75% = 100 ml x Rp 0.71,Jumlah mie basah matang (g) 100 g

Biaya Pengawetan (Rp/g) 0.012

Biaya Pengawetan (Rp/kg) 12.43

x 1.75% = Rp 0.012,-/g = Rp 12.43,- / kg

167

Lampiran 69 Kuesioner uji hedonik mie basah matang UJI HEDONIK Produk Tanggal

: Mie Basah Matang :

Nama : No. Hp :

Berikut disediakan empat buah sampel mie basah matang. Lakukan pengujian sensori dengan cara merating sampel-sampel tersebut berdasarkan tingkat kesukaan terhadap atribut aroma, rasa, elongasi, tekstur, dan overall dari skala kesukaan yang paling tinggi (angka 1) hingga skala kesukaan paling rendah (angka 5). Lakukan pengujian dari sampel yang paling kiri hingga paling kanan. Netralkan indera pencicip anda tiap kali selesai melakukan pengujian rasa. Terima kasih. Kode Sampel

Ket :

Aroma

Rasa

Elongasi

Tekstur

Overall

1 = tidak suka 2 = kurang suka 3 = netral 4 = suka 5 = sangat suka

Komentar: ............................................................................................................................................................................................................................... ...............................................................................................................................................................................................................................

168