DAMPAK KANDUNGAN LOGAM BERAT DALAM SAMPAH ELEKTRONIK (E WASTE) TERHADAP KESEHATAN DAN LINGKUNGAN Widi Astuti) Abstrak Perkembangan industri teknologi elektronik yang sangat cepat menawarkan berbagai macam pilihan produk. Situasi ini mendorong perkembangan industri elektronik di Indonesia menjadi sangat cepat. Percepatan pertumbuhan tersebut dikombinasi dengan produk yang cepat usang karena produk generasi yang lebih baru sudah muncul lagi. Sehingga barang-barang elektronik yang sudah tidak terpakai akhirnya menjadi sampah yang sering disebut sebagai Electronic Waste (E Waste) dan mengalami peningkatan yang sangat cepat. Karena tidak disadari bahwa banyak komponen barang-barang elektronik tersebut mengandung bahan beracun berbahaya (B3). Sehingga E Waste memiliki potensi yang tinggi yang dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan. E-waste bersifat toksik karena kandungan timbal, berilium, merkuri, kadmium, BFR (Brominated Flame Retardants) yang merupakan ancaman bagi kesehatan dan lingkungan. Di negara berkembang termasuk di Indonesia, terdapat kegiatan perbaikan dan penggunaan kembali (daur ulang) barang-barang elektronik bekas dalam jumlah yang tinggi di sektor informal. Teknik memanfaatkan kembali tersebut karena komponen E Waste masih bernilai ekonomis dengan shredding, grinding, burning, dan melting. Sehingga menimbulkan dampak kesehatan dan keselamatan pada pekerja karena debu atau asap terhirup. Sedangkan dampak pencemaran terhadap lingkungan dapat menimbulkan emisi pencemaran udara dan pencemaran logam berat terhadap air tanah. Untuk mengurangi bahaya akibat E-waste perlu dilakukan pengelolaan antara lain dengan Reuse, Recycle dan disposal yang ramah lingkungan. Mewajibkan pekerja untuk mematuhi peraturan kesehatan dan keselamatan kerja ditempat kerja untuk melindungi pekerja dari paparan bahan toksik selama bekerja. Memberikan training terhadap pekerja E Waste untuk melindungi kesehatan pekerja dan lingkungan. Serta perlu adanya regulasi dari pemerintah tentang penanganan E Waste. Key Word : E Waste. Emisi, sektor informal, pengelolaan
Dosen Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Pandanaran
PENDAHULUAN Pertumbuhan industri elektronik dewasa ini mengalami peningkatan yang sangat pesat. Percepatan pertumbuhan tersebut dikombinasi dengan produk yang cepat usang karena produk generasi yang lebih baru sudah muncul lagi. Menurut Osibanjo et al, (2006), pada kenyataannya barang-barang elektronik biasanya tidak digunakan lagi meskipun masih dapat beroperasi untuk kemudian digantikan dengan yang baru karena konsumen menginginkan model baru atau yang lama tidak memadai untuk layanan terbaru, atau hanya karena ingin berganti saja. Sehingga barang-barang elektronik yang sudah tidak terpakai ini akhirnya menjadi sampah yang sering disebut sebagai Electronic Waste (E Waste) dan mengalami peningkatan yang sangat cepat. Hal ini menimbulkan permasalahan ditingkat dunia yang cukup serius. Karena dampak yang ditimbulkan dari peningkatan produksi elektronik dan perlengkapannya adalah masalah E Waste. Problem yang sangat serius akan dirasakan terutama untuk negara-negara berkembang khususnya yang mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar termasuk Indonesia. Dalam (Sutarto E,2008), E Waste memiliki karakteristik yang berbeda dengan sampah-sampah lain. Hal ini disebabkan komponen barang-barang elektronik tersebut mengandung bahan beracun berbahaya (B3) (Sutarto E,2008). Sementara itu menurut hasil penelitian Fishbein (2002);Scharnhorst et al (2005) yang disitasi oleh Jang et al (2010), bahan toksik yang ditemukan didalam komponen penyusun barang-barang elektronik yang antara lain arsenik, berilium, kadmium dan timah diketahui sangat presisten dan sebagai substansi bioakumulasi. Apabila selama proses perbaikan dan daur ulang dari E Waste tidak terkendali maka beberapa bahan kimia tersebut dapat terlepas ke lingkungan. Karena bentuknya yang relatif kecil sehingga untuk dampak pembuangannya diabaikan. Namun dengan pertumbuhannya yang sangat cepat maka dampak yang ditimbulkan sangat signifikan. Meskipun E Waste sebagian komponennya mempunyai karakterisasi sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), namun pengelolaannya di
Indonesia belum diatur secara spesifik dan rinci (Wahyu et al, 2010). Dari hasil penelitian di negara berkembang termasuk Indonesia, E Waste tidak ditemukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah (Damanhuri dan Sukandar, 2006). Secara formal Indonesia sudah melarang melakukan impor E Waste namun pada kenyataannya secara ilegal masih dapat masuk (Sukandar, 2011). Sedangkan menurut Triwiswasra (2009) di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, terdapat kegiatan perbaikan dan penggunaan kembali barang-barang elektronik bekas dalam jumlah yang tinggi. Para pekerja di toko tersebut mencari komponenkomponen yang rusak atau tidak terpakai dan menggantinya dengan komponen yang baru buatan lokal. Komponen yang rusaknya sudah parah dan tidak dapat digunakan kembali, masih memiliki nilai jual karena masih dapat didaur ulang. 1. E waste dan permasalahannya Menurut UNEP, meningkatnya pemakaian barang-barang elektronik berimplikasi pada peningkatan jumlah sampah elektronik yang saat ini terjadi. Peningkatan yang signifikan di antaranya diprediksi terjadi di India, Afrika Selatan dan China. Di China dan Afrika Selatan, WEEE diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga 200-400 persen pada tahun 2020 jika dibandingkan kondisi tahun 2007. Sedangkan di India akan terjadi peningkatan hingga 500 persen karena tingginya pemakain barang-barang elektronik di negara tersebut. Di Amerika pada 2005 terdapat 42 juta komputer yang dibuang (menurut USEPA Electronics Waste Management in the US ) 25 juta dipenyimpanan (storage), 4 juta didaur ulang, 13 jutadibuang ke landfil dan 0.5 juta diinsinerasi. Selain jumlahnya semakin meningkat, negara-negara berkembang menjadi sasaran ekspor E waste dari negara maju, mengingat biaya untuk recycling di negara maju menjadi lebih tinggi. Sedangkan di negara berkembang barang-barang secondhand menjadi ladang bisnis yang sangat menjanjikan yang dilakukan oleh disektor informal. Menurut Widyarsana (2011), daur ulang E Waste di Indonesia berlangsung secara unik, dimana fokus perhatian adalah terhadap komponen E Product yang sangat tinggi sehingga life time komponennya bertambah lama atau end-of-life menjadi panjang. Pemanfaatan kembali barang-barang yang masih
bernilai ekonomis yang tidak terkontrol oleh sektor informal dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan.
2. Kandungan logam berat dalam komponen E waste E-waste bersifat toksik karena komponennya mengandung logam yang termasuk sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3) antara lain timbal, berilium, merkuri, kadmium, kromium, arsenik, BFRs (Brominated Flame Retardants) dan lain sebagainya yang merupakan ancaman bagi kesehatan dan lingkungan. Gambar berikut menunjukkan adanya aliran kontaminan dengan E-waste dari produser ke penerima dan akhirnya ke manusia.
Gambar 1. Fluxes of contaminants associated with E-waste from producers to receivers and ultimately to humans Merujuk PP Nomor 18 Tahun 1990 jo PP No 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, maka limbah tersebut tergolong limbah B3 berkarakter racun. Potensi dampak lingkungan dari E waste sebelumnya telah banyak diteliti dari bernagai sudut pandang, salah satunya adalah mengenai dampak yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Beberapa test telah dilakukan untuk mengetahi kandungan dan potensi pelindian dari logam berat dan senyawa organik terkandung dalam E waste (Lincoln et al., 2007). Salah satu contoh penelitian yang telah
dilakukan untuk mengetahui karakterisasi logam berat dalam plastik dari E Waste telepon selular. Menurut Nnorom dan Osibanjo (2009) telah menunjukkan bahwa limbah telepon selular menghasilkan pencemaran lingkungan ketika dalam jumlah yang besar dilakukan pembakaran terbuka dari telepon selular seperti telah terjadi di negara berkembang. Dampak kesehatan manusia dari bahan-bahan beracun yang terkandung dalam telepon selular telah diselidiki secara kualitatif (Osibanjo dan Nnorom, 2008). Dalam studi ini secara kuantitatif dievaluasi potensi toksisitas dari limbah telepon selular sehubungan dengan eksposur dan efek logam berat beracun terhadapn manusia kesehatan dan ekologi. Disebutkan dalam penelitian ini bahwa telepon selular mengandung logam berat yaitu Cu yang paling tinggi kemudian berturut-turut Zn, Pb, Ni, Ba dan Sb. Menurut Lincoln et al, (2007) nilai ambang batas kandungan logam berat diukur dengan metoda TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure). Sedangkan menurut Lim et al (2010), bahwa telepon selular berpotensi menyebabkan kanker karena mengandung arsen (As) dan timbal (Pb). Meskipun dalam publikasi sebelumnya nilai TCLP dari telepon selular tidak melebihi niali ambang batas yang ditentukan. Potensi logam berat lain yang dapat menyebabkan kanker dalam telepon selular adalah Ni, Sb dan Zn tetapi karena sangat kecil biasanya diabaikan, meskipun dengan uji TCLP nilainya melebihi ambang batas. Kandungan logam berat lain dalam E Waste yang biasa ditemukan pada large flat panel displays dan atau lampu adalah merkuri (Hg) yang dikenal dapat meracuni manusia dan merusak sistem saraf otak, serta menyebabkan cacat bawaan. Selain itu juga berpengaruh terhadap ginjal dan dapat dengan mudah beredar melalui rantai makanan yang bersifat presisten, bioakumulasi dan toksik yang terpapar karena pembakaran dan presos landfill. Monitor komputer dengan ukuran 17 inchi mengandung kira-kira 2,2 pond Pb sebagia materi toksik yang menyebabkan keracunan yang berbahaya pada anak yang berusia dini. Senyawa Polychorined Biphenil (PCB) yang sebagian besar merupakan cairan pada kondisi kamar yang banyak dijumpai pada transformator, kapasitor dan bahan plastik lainnya. E Waste juga mengandung dua tipe retardant yaitu polybrominate biphenil (PBB) dan polybrominat diphenil ether (PBDE), yang
keduanya kemungkinan sebagai penyebab kanker dan disfungsi sistim endokrin dalam beberapa kondisi semenjak dilakukan penelitian pada tikus yang terdeteksi dari kemungkinan tersebut. (EPA,2009). Dari penelitian tersebut ditemukan pada rambut konsentrasi paparan harian berkisar antara 0.1 sampai dengan 7 mikrogram per kilogram berat badan per hari untuk kandungan PBDE. Ditemukan tingginya konsentrasi PBB, PBDE, dioksi dan furan pada tiga sampel dari Luqiao, pada daerah recycling E Waste di China (Wen et al, 2009). Ditambah kenaikan konsentrasi ditemukan di pantai Jepang dan China Selatan beberapa dekade terakhir (Tanabe, 2008). Juga Peters dan Oros (2009) menyimpulkan adanya PBDE di sungai di California yang sebagian besar datang dari E Waste. Meskipun komponen timah, kadmium, nikel dan seng dilaporkan kandungannya sangat rendah dalam E Waste, diharapkan agar plastik yang digunakan untuk telepon selular tidak yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Karena jika plastik dilakukan pembakaran dalam suhu rendahkan sampai medium maka furan dan dioksin dapat terbentuk (Nnorom dan Osinbanjo,2009).
3. Pengelolaan E Waste yang ramah lingkungan Daur ulang barang-barang elektronik yang dilakukan oleh sektor informal bukan hal yang baru dan merupakan perkembangan praktek daur ulang E waste dengan biaya murah dalam pengelolaan E Waste. Hal ini terjadi dibanyak negara berkembang termasuk Indonesia, dimana terjadi kesenjangan dalam pengelolaan lingkungan, tingginya permintaan untuk pemakaian peralatan elektronik bekas atau secondhand dan penjualan E waste untuk para pengepul mendorong pertumbuhan daur ulang sektor informal yang kuat. Daur ulang sektor informal tidak hanya berkaitan dengan dampak lingkungan dan kesehatan, tetapi juga kurangnya layanan daur ulang pada sektor formal. Dalam Xinwen et al, (2010), pengalaman sudah menujukkan bahwa hanya melarang atau bersaing dengan pengepul dan pendaur ulang sektor informal bukanlah merupakan penyelesaian yang efektif. Sistem daur ulang formal yang baru harus memperhitungkan sektor informal, dan kebijakan yang meningkatkan daur ulang, kondisi kerja dan efisiensi peran sektor informal.
Permasalahan utama dalam pengelolaan E waste di negara berkembang adalah bagaimana mengatur insentif untuk daur ulang sektor informal sehingga dapat mengurangi aktivitas daur ualng yang tidak layak dan untuk mengalihkan lebih banyak E waste agar mengalir ke daur ulang sektor formal. Masih dalam Xinwen et al, (2010), dilaporkan metode pengelolaan E waste terpadu sektor formal dan informal yang diterpakan di China dan negara berkembang pada umumnya ini telah dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 2007 dengan ide-ide utamanya meliputi :
1. Selama proses desain dan produksi, teknik pengukuran, seperti perubahan penelitian dan proposal desain, menyesuaikan proses teknologi, penggantian dalam penggunaan material dan menggunakan metode yang inovatif dalam proses produksi, dan lain-lain. 2. Selama proses desain, produksi, impor dan penjualan, langkah-langkah seperti identifikasi nama-nama bahan beracun dan zat berbahaya dan elemen dan tingkat kandungannya dan istilah-istilah untuk lingkungan yang digunakan oleh produk elektronik, dan lain-lain. 3. Selama proses penjualan, harus ada pengawasan yang ketat dari saluran pembeli, menahan penjualan barang-barang elektonik yang mengandung B3, menemukan standart industri untuk pengawasan pencemaran oleh produk elektronik. 4. Larangan untuk impor barang-barang elektronik yang gagal memenuhi standar untuk pengawasan B3.
DAFTAR PUSTAKA Agustina, H., Identification of E Waste and Secondhand E-Product in Indonesia, Presentation on Basel Convention Regional Meeting, Beijing:28-29 March 2007. Damanhuri, E. dan Sukandar,. Preliminary Identification of E-Waste Flowin Indonesia And its Hazard Characteristic, Proceedings of Third NIES Workshop on E Waste, Japan:2006
Fishbein, B.K., Waste in the Wireless World: The Challenge of Cell Phones. INFORM, USA 2002. Hanafi,J,Helena,K,.(2011)The Prospect of Managing WEEE in Indonesia,. Proceeding of the 18th CIRP International Conference on Life Cycle Engineering, Germany Jinglei Yu, Eric Williams, Meitiung Ju, Chaofeng Shao, Managing e waste in China: Policies, pilot projects and alternative approaches, Environment Science and Technology,2010. Liu XB, TanakaM, Matsui Y., Generation amount prediction and material flow analysis of electronic waste: a case study in Beijing, China, Waste Manag Res 2006;24:434–45. Lim Seong-Rin, Schoenung Julie M., Toxicity potentials from waste cellular phones, and a waste management 2010;Waste Management,30 1653-1660 Osibanjo, Oladele dan Nnorom, Innocent Chidi. 2006., Material Flows of Mobile Phones and Accessories in Nigeria: Environmental Implications and Sound End-of-Life Management Options. Environmental Impact Assessment Review vol. 28, p. 198-213. Sukandar dan Widyarsana,IMW.,(2009): Recycling of E waste in Indonesia by Informal Sector: Case Study og Gold Recovery from E waste Component, Proceeding The Sixth NIES Workshop on E waste, Hokkaido-Japan,pp.151160 Sutarto E,.(2008).,Identifikasi Pola Aliran E-Waste Komputer Dan Komponennya Di Bandung, ITB Bandung UNEP., Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of HazardousWastes and their Disposal, United Nations Environment Programme. http://www.basel.int/, 2009 Wen, X., Xiaohua, Z.,(2009), The New Process in Integreted E waste Management in China, University of Newcastle Widyarsana,IMW., Winarsih,D.R., Damanhuri,E., Padmi,T.,(2010) Identifikasi Material E-Waste Komputer dan Komponen Daur Ulangnya di Lokasi Pengepulan E-Waste,Bandung,2010.