DAMPAK VARIAB1LITAS IKLIM TERHADAP PRODUKSI PANGAN DI SUMATERA

Download iklim terhadap produksi di Pulau Sumatera selama 10 tahun (1991-2000) akan dibahas. Sebahagian pulau ... keterkaitannya dengan penurunan pr...

1 downloads 408 Views 752KB Size
DAMPAK VARIAB1LITAS IKLIM TERHADAP PRODUKSI PANGAN DI SUMATERA Sinta Berliana Sipayung Pcneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lcmbaga Penerbangan dan Antariksa Nasional {LAPAN), Bandung e-mail: [email protected] ABSTRACT Food security will become unstable if extreme climate occurred frequently, s u c h as d r y and rainy season more t h a n normal condition. This condition will have positive and negative effects, especially on agriculture sector. In this study, effects of climate variability on agriculture production over Sumatera Island for ten years (1991-2000) observations will be discussed. The results show t h a t p a r t of Sumatera Island h a s more surplus than deficit, so it has more planting season in one year. We suspect t h a t El-Nino event h a s more effects t h a n La-Nina event in decending crop agriculture productivity at Sumatera Island who h a s Monsoon rainfall pattern. ABSTRAK Ketahanan pangan menjadi tidak stabil apabila iklim ekstrim sering terjadi diantaranya adalah musim kemarau atau sebaliknya musim penghujan di wilayah Indonesia. Kondisi yang seperti ini a k a n berdampak positip atau negatip k h u s u s n y a di bidang pertanian. Pada penelitian ini dampak variabilitas iklim terhadap produksi di Pulau Sumatera selama 10 t a h u n (1991-2000) akan dibahas. Sebahagian p u l a u S u m a t e r a mempunyai s u r p l u s lebih lama dari p a d a defisit sehingga mempunyai perioda t a n a m / m a s a tanam yang relatip panjang dalam s e t a h u n . Fenomena El-Nino lebih berpengaruh dibar.ding La-Nina dalam keterkaitannya dengan p e n u r u n a n produktivitas pertanian t a n a m a n pangan dan palawija di Sumatera. Kata kunci :

variabilitas iklim, produksi pangan, El Nino, La Nina

1 PENDAHULUAN Iklim m e n u r u t ternpat dan waktu terdiri dari beberapa u n s u r diantaranya c u r a h hujan, radiasi, s u h u , kelembaban, tekanan, dan angin. Posisi geografis Indonesia yg berada di wilayah tropis mempunyai karateristik unsur iklim yang spesifik. Curah hujan merupakan u n s u r iklim yang paling tinggi keragaman dan fluktuasinya di Indonesia, sehingga merupakan u n s u r iklim yang paling dominan mencirikan iklim Indonesia. Hampir 60% wilayah Indonesia mempunyai c u r a h hujan t a h u n a n mencapai 2 0 0 0 - 3 5 0 0 mm. Provinsi di Indonesia yang mempunyai j e l u k curah hujan tinggi adalah Bengkulu, Sumatera Barat, Kalimantan Barat dan Irian Jaya (Baharsjah et ai, 1985). Selain c u r a h hujan, u n s u r iklim lain yang sangat menentukan karateristik iklim di Indonesia adalah s u h u udara. Suhu merupakan u n s u r iklim yang keragaman dan flukstuasinya sangat terkait

in

dengan ketinggian. Laju p e n u r u n a n s u h u lingkungan (Environment Lapse Rate, ELR) di wilayah Indonesia berkisar a n t a r a S.SO-o^C u n t u k peningkatan ketinggian sebesar 1 km. Wilayah Indonesia yang sebagian besar berada di sekitar equator menyebabkan keragaman s u h u u d a r a musiman atau bulanan h a n y a berkisar a n t a r a 3°-5°C. Secara u m u m , wilayah di Indonesia mempunyai d u a musim yaitu musim hujan d a n k e m a r a u . Di Indonesia, waktu musin tanam {growing season) sangat bervariasi m e n u r u t bulan yang sangat tergantung p a d a ketersediaan air baik dari c u r a h hujan m a u p u n irigasi. Berdasarkan juralah c u r a h hujan yang terjadi, sekitar 9 0 % wilayah Indonesia mempunyai musim t a n a m lebih dari 8 bulan. Untuk wilayah Sumatera yang sebagian besar merupakan wilayah yang b e r a d a p a d a pola hujan equatorial, periode air tidak tersedia, biasanya terjadi p a d a b u l a n Agustus - Oktober. Informasi ini penting u n t u k diketahui terutama u n t u k menentukan perencanaan pola tanam dan pasca panen, m a u p u n antisipasi kegiatan lain yang terkait langsung atau tidak langsung. Selain itu, dalam mewujudkan sistem k e t a h a n a n pangan yang tangguh, perlu memperhatikan berbagai d a m p a k iklim yang terjadi seperti kekeringan (ENSO 1982-83, Malingreau, 1987) d a n banjir yang erat kaitannya dengan produktivitas pangan. Untuk menangani k e b u t u h a n d a n p e n g a m a n a n pangan, produksi pangan masih perlu ditingkatkan. Dampak variabilitas iklim sangat signifikan terhadap p e n u r u n a n curah hujan t a h u n a n , musim kemarau yang berkepanjangan akan mengakibatkan krisis pangan. Fenomena kekeringan dan banjir merupakan bencana alam yang hampir setiap tahun terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Kejadian bencana ini biasanya berdampak besar dan sangat merugikan sektor pertanian. Di Indonesia, kejadian bencana tersebut biasanya a k a n menjadi lebih besar dampaknya saat kejadian fenomena ENSO berlangsung. Fenomena ENSO terkait dengan kejadian El Nino yang menyebabkan t u r u n n y a c u r a h hujan si beberapa wilayah Indonesia, serta kejadian La Nina yang menyebabkan peningkatan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia. Kebutuhan air pertanian merupakan bagian terbesar dari total kebutuhan air yang ditentukan oleh potensi sumber daya air wilayah yang dapat ditunjukkan dari hasil neraca air wilayah yang dilakukan. Waktu t a n a m dan intensitas p e n a n a m a n dalam sistem produksi pertanian dapat ditentukan berdasarkan waktu terjadinya surplus air dan lengas tanah dari hasil neraca air baik dekade m a u p u n bulanan. Oleh karena itu, perhitungan neraca air lahan baik dengan selang waktu dekade m a u p u n b u l a n a n a k a n sangat diperlukan u n t u k mengetahui informasi mengenai waktu periode surplus d a n defisit air. Informasi tersebut sangat penting d a n strategis dalam upaya perencanaan p e m b a n g u n a n sektor pertanian Pada u m u m n y a terjadi awal musim kemarau d a n m u n d u r n y a awal musim hujan. Dalam hal ini perlu memperhatikan penerapan pola tanam dan lama m a s a tanam yang ditentukan oleh faktor ketersediaan air dalam kondisi optimal, sedang dan b u r u k yang dikenal sebagai nisbah evapotranspirasi actual dan evapotranspirasi t a n a m a n (Irianto, et al, 2000). Pola tanam identik dengan 112

awal m u s i m t a n a m dari suatu jenis tanaman. Dalam p e n e n t u a n awal musim tanam padi d a n palawija dilakukan neraca air lahan dasarian u n t u k mengetahui bulan b a s a h d a n kering yang m a n a berkaitan dengan awal musim d a n pola tanam padi d a n palawija. Untuk menghindari resiko kegagalan p a n e n yang besar, pemilihan waktu t a n a m s u a t u jenis t a n a m a n dan varietasnya h a r u s tepat, t e r u t a m a u n t u k t a n a m a n pangan. Dengan kriteria tingkat ketersediaan air maka a k a n diperoleh tingkat produksinya. Ketersediaan air yang c u k u p pada fase p e r t u m b u h a n padi dan palawija h a r u s selalu terjaga sehingga produksi yang optimal tercapai. Produksi pangan pada penelitian ini adalah produksi padi sawah d a n palawija (jagung dan kedele). Untuk p e r t u m b u h a n padi sawah diperlukan kisaran s u h u optimum sebesar 22°-30°C (Grist, 1974), d a n penggcnangan air hampir selama masa pertumbuhannya. Hal ini diperlukan untuk mencukupi k e b u t u h a n air, menekan p e r t u m b u h a n gulma, m e m b a n t u pemupukan d a n m e n u r u n k a n s u h u tanah. Sedangkan jagung t e r m a s u k tanaman berhari pendek di m a n a pembungaan terjadi p a d a panjang hari kurang dari 12 j a m d a n memerlukan kisaran s u h u optimum 24°-30°C (Suprapto, 1994). Kedele merupakan t a n a m a n hari pendek juga dan mulai berbunga sekitar 20-60 hari selama masa tanam, m a s a p e r t u m b u h a n n y a memerlukan kisaran s u h u optimum sebesar 20<>-300 C (Mota, 1978). Kedele merupakan s u m b e r protein nabati, hingga saat ini belum mencukupi sehingga Indonesia h a r u s import setiap t a h u n (Boer el al, 1999) kisaran hingga s a a t ini belum diketahui secara pasti apakah variabilitas iklim benar-benar mengakibatkan kenaikan atau p e n u r u n a n produksi pangan di kawasan Sumatera. Akan tetapi, secara teoritis bisa dikatakan pola iklim berhubungan dengan kejadian El-Nino dan La-Nina yang dominan berdampak terhadap produksi pertanian d a n ketahanan pangan, k h u s u s n y a p a d a produksi padi dan jagung. Variabilitas iklim yang h u b u n g a n n y a dengan ENSO (El-Nino Southern Oscillation) sangat sensitive berdampak p a d a produksi padi d a n palawija, khususnya di Indonesia d a n ini sangat berpengaruh terhadap pola t a n a m padi dan palawija (Rasamon, dkk., 2002). Ini terjadi p a d a saat kejadian El-Nino yang berdampak kekeringan sehingga mengakibatkan m u n d u r n y a awal musim hujan, p e n u r u n a n produksi padi yang c u k u p signifikan d a n percepatan awal musim k e m a r a u . Tetapi sebaliknya u n t u k produksi jagung dan kedelai, terjadi peningkatan. Namun behim dapat diambil kesimpulan apakah ini berlaku u m u m untuk seluruh Indonesia, studi k a s u s baru dilakukan u n t u k Sumatera. Untuk itu pemanfaatan informasi iklim yang tepat dapat mengantisipasi d a m p a k variabilitas iklim p a d a produksi pangan di beberapa kawasan lainnya di Indonesia. Dalam hal ini m a k s u d dari penelitian ini adalah tersedianya informasi d a m p a k variabilitas iklim terhadap produksi pangan di Sumatera. 2 DATA DAN METODOLOGI 2.1 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah d a t a insitu selama 10 tahun yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) u n t u k tahun 1991 hingga 2000 (10 tahun) berupa c u r a h hujan, s u h u , dan radiasi 113

matahari harian, kemudian dirata-ratakan menjadi sepuluh harian yang disebut dengan dasarian a t a u decade u n t u k wilayah Pulau Sumatera. Dengan d a t a rata-rata dasarian dapat diketahui pola tanam d a n musim t a n a m p a d a minggu d a n bulan keberapa yang layak u n t u k musim t a n a m d a n jenis t a n a m a n n y a , berdasarkan ketersediaan air dengan menggunakan metoda neraca air lahan. Sementara d a t a produksi padi dan palawija dari t a h u n 1991 hingga 2000 (10 tahun) diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) u n t u k masing-masing wilayah yang terpilih terdiri dari 18 kabupaten di Pulau Sumatera. Sebagai gambaran keragaman iklim seperti saat kejadian El-Nino, normal dan La-Nina yang sering membawa keadaan kering d a n b a s a h yang lebih besar dari keadaan normal d a n berdampak terhadap produktivitas pangan di Indonesia. Luas t a n a m a n Padi terkena bencana banjir (ha), kekeringan (ha) d a n p u s o (gagal panen dalam hectare) p a d a t a h u n 1988-1997 secara nyata a d a p a d a Gambar 2-1 d a n Tabel 2-1 (Jasis dan Kamara, 1999; Yusmin, 2000). Penelitian ini u n t u k melihat d a m p a k variabilitas iklim terhadap produksi pangan di Sumatera berdasarkan keragaman iklim seperti yang tercantum p a d a p a d a Tabel 2-2.

Gambar 2 - 1 : Pengaruh fenomena ENSO terhadap produktivitas pertanian

114

Tabel 2 - 1 : EL-NINO DAN LA-NINA YANG SERING MEMBAWA KEADAAN KERING DAN BASAH YANG LEBIH BESAR DARI KEADAAN NORMAL, YANG BERDAMPAK TERHADAP PRODUKSI PANGAN DI INDONESIA. (YUSMIN; 2000) Tahun

Keterangan

Kebanjiran (ha)

Kekeringan (ha)

Puso(ha)

1987

El-Nino

***

430.170

***

1988

La-Nina

130.375

87.373

44.049

1989

Normal

96.540

36.143

15.290

1990

Normal

66.901

54.125

19.163

1991

El-Nino

38.006

867.997

198.054

1992

Normal

50.360

42.409

16.882

1993

Normal

78.480

66.992

47.259

1994

El-Nino

132.975

544.422

194.025

1995

La-Nina

218.144

28.580

51.571

1996

Normal

107.385

59.560

50.649

1997

El-Nino

58.974

504.021

102.254

: Tidak ada data

Tabel 2-2: LOKASI YANG DI KAJI DI PULAU SUMATERA STASIUN Loksomawe Meulaboh Polonia Sibolga Agam Solok Pekanbaru Japura Kerinci Palmerah Kom_ulu Muara Enim Tugumulyo Palembang P Bai Bengkulu Branti kotabumi

LINTANG

BUJUR

ALT

Provinsi

5.18 4.13 3.57 1.73 -0.3 -0.8 0.48 0.43 -2.07 -1.63 -4.08 -3.67 -3.02 -2.92 -4.53 -3.78 -5.42 -4.55

97.15 96.13 98.73 98.78 100.42 100.67 101.43 102.45 101.4 103.45 103.22 103.78 102.83 104.75 103.37 102.3 105.25 104.92

0 800 14 0 927 388 28 20 630 17 950 15 79 12 400 9 94 32

Aceh Aceh Sumut Sumut Sumbar Sumbar Riau Riau Jambi Jambi Jambi Sumsel Sumsel Sumsel Bengkulu Bengkulu Lampung Lampung 115

2 . 2 Metodologi Pengolahan data dilakukan dengan metoda time series u n t u k mengetahui karakteristik iklim dan j u g a korelasinya dengan produksi p a n g a n di Pulau Sumatera. Kemudian dengan menghitung neraca air digunakan metoda Thornthwaite et al, (1957) u n t u k mengetahui pola d a n m u s i m tanam. Berdasarkan tujuan penggunaan di bidang hidrologi u n t u k pengairan, neraca air m e r u p a k a n penjelasan tentang h u b u n g a n a n t a r a aliran ke dalam (in flow) d a n aliran ke luar (outflow) di s u a t u daerah u n t u k s u a t u periode tertentu dari proses sirkulasi air (Sosrodarsono dan Takeda, 1978). Di bidang Agroklimatologi, neraca air dapat diartikan sebagai selisih a n t a r a jumlah air yang diterima oleh t a n a m a n d a n kehilangan air dari t a n a m a n beserta t a n a h melalui evapotranspirasi, sedang tujuan penggunaan neraca air dapat dibedakan atas n e r a c a air u m u m , neraca air lahan dan neraca air tanaman. Penelitian ini m e n g g u n a k a n pendekatan neraca air lahan u n t u k mengetahui besaran dan periode defisit/surplus air yang terjadi. neraca air ini memerlukan data d a n informasi fisika t a n a h t e r u t a m a nilai kandungan air p a d a tingkat kapasitas lapangan (KL) dan p a d a titik layu permanen (TLP). Di dalam analisis neraca air lahan diperlukan data curah hujan (CH), evapotranspirasi potensial (ETP), k a n d u n g a n air p a d a tingkat kapasitas lapang (KL) tanah dan k a n d u n g a n air p a d a tingkat titik layu permanen (TLP). Dengan pertimbangan bahwa hanya d a t a s u h u u d a r a yang tersedia, m a k a nilai ETP diduga berdasarkan metode Thornthwaite & Mather (1957) melalui p e r s a m a a n yang d i r u m u s k a n sebagai berikut. ETP = 1.6 F (10 T/I)a

(2-1)

Keterangan: I = akumulasi indeks p a n a s dalam setahun yaitu = Z (T/5) 1.54 T = s u h u r a t a a n (°C) A = adalah tetapan dengan nilai a =0.675 x 10-6 I3 - 0.771 x 10-4 I2 + 0.01792 I + 0.49239 F = faktor panjang hari Analisis neraca air baik u m u m , lahan m a u p u n t a n a m a n dapat dibuat dalam berbagai periode waktu, misalnya harian, mingguan, dasarian, bulanan ataupun tahunan, sesuai tujuan pembuatannya Makin pendek periode waktunya makin teliti analisisnya d a n menghendaki data yang lebih banyak. Data input (curah hujan) m a u p u n data output (evapotranspirasi potensial) harus disesuaikan dengan periode waktu yang dikehendaki. Karena analisis neraca air menggunakan s a t u a n waktu dasarian, m a k a penghitungan ETP juga disesuiakan. Untuk m e m u d a h k a n penghitungan ETP dan neraca air dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak spreadsheet. Dari m a s u k a n air hujan (CH) atau evapotranspirasi sebagai keluaran b e r u r u t a n sebagai berikut, evapotranspirasi aktual (ETA), evapotranspirasi potensial (ETP), perubahan kandungan air tanah (dKAT), runoff (Ro) dan drainase (Dr). Beberapa a s u m s i dalam model neraca air ini, yakni

116

• Lahan datar t e r t u t u p vegetasi digunakan vegetasi r u m p u t sebagai p e n u t u p tanah standar; • Lahan b e r u p a t a n a h tadah hujan t a n p a m a s u k a n air selain curah hujan. T a h a p a n yang digunakan u n t u k pengolahan neraca air dapat dilihat pada Tabel 2 - 3 . Tabel 2-3: TAHAPAN PENGHITUNGAN NERACA AIR LAHAN Urutan langkah 1 2 3 4 5 6 7

8

i

9

10 11 12 13 14 15

Keterangan Menyusun tabel isian neraca air bulanan Mengisi kolom presipitasi/curah hujan Mengisi kolom ETP standar; dari hasil lisimeter, Eo panci x konstanta, atau dari perhitungan r u m u s - r u m u s tertentu: Thornthwaite, Penman, Blaney Criddle dsb. Menghitung CH - ETP Hasil-hasil nilai negatif p a d a langkah 4 diakumulasikan bulan demi bulan sebagai nilai Accumulation of Potential Water Loss (APWL) dan diisikan p a d a kolom yang bersangkutan. Menentukan nilai kapasitas lapang (KL) t a n a h yang b e r s a n g k u t a n serta kedalaman tinjauannya. Nilai KL dalam s a t u a n mm. Mengisi nilai KAT tabel komputasi, berdasarkan APWL, mulai dari bulan pertama APWL (permulaan bulan kering) hingga APWL bulan terakhir. Lanjutkan pengisian kolom KAT dengan m e n a m b a h nilai KAT bulan terakhir dengan' nilai positif (CH-ETP) bulan berikutnya, hasilnya adalah KAT bulan berikut. Teruskan penjumlahan tersebut hingga KAT maksimum yakni Kapasitas Lapang. Mengisi KAT = KL hingga bulan terakhir. Mengisi kolom perubahan KAT atau dKAT, bulan demi bulan Mengisi kolom ETA u n t u k bulan-bulan di m a n a terjadi APWL. ETA = CH + | dKAT I. Bila CH > ETP m a k a ETA = ETP Mengisi kolom defisit (D) = ETP - ETA Mengisi kolom Surplus (S) di m a n a tidak a d a D. Maka S = CH - ETP - dKAT. Asumsi bahwa 50% dari S ditetapkan sediaan u n t u k Ro (runoff). Perhatikan bulan pertama terjadinya (Si isilah kolom (Roi) dengan nilai 50% x SI) Isilah bulan-bulan berikutnya nilai: Ro2 = 50% x 50% x S I + 50% S2. Ro3 = 50% x 50% x 50% x SI + 50% x 50% S2 + 50% S3 ]

Sumber : Nasir, A. A. d a n Effendi, S. (2000)

Pengolahan data u n t u k mendapatkan neraca air diperioritaskan p a d a tiga provinsi di pulau Sumatera yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Lampung, k a r e n a ketiga provinsi ini merupakan daerah sentra pangan. Dalam 117

pemprosesan neraca air tersebut d a t a yang diolah h a r u s b e r u p a dasarian, tetapi kenyataannya data di lapangan banyak data yang kosong sehingga diisi dengan d a t a hasil climgen yang dikorelasikan oleh d a t a stasiun yang ada. Data hasil keluaran Climgen V. 1.0 yang dikembangkan oleh Boer et al. (1999) sebagai input data curah hujan bulanan d a n output-nya adalah curah hujan, s u h u maksimum, s u h u minimum, radiasi matahari dan evaporasi harian. Atau dengan k a t a lain u n t u k pembangkitkan d a t a rata-rata b u l a n a n menjadi data harian digunakan Climgen u n t u k meng-"generate" sehingga diperoleh data harian selama 10 t a h u n (1991-2000) kemudian dibuat menjadi dasarian. Dalam memperoleh peta u n t u k kondisi iklim secara u m u m di Sumatera p a d a t a h u n La-Nina d a n El-Nino digunakan SIG (Sistem Informasi Geografi) sebagai tool analisis data, t e r u t a m a data spasial yang kemudian berbentuk s u a t u informasi spasial dan j u g a d a t a atribut. Diagram kegiatan penelitian dapat dilihat p a d a Gambar 2 - 1 .

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karateristik Iklim Wilayah Studi Wilayah Sumatera u m u m n y a berada di sekitar equator. Sebagian besar wilayah S u m a t e r a mempunyai pola hujan equatorial di m a n a puncak hujan terjadi d u a kali setahun p a d a saat posisi matahari berada di atas equator. Pada pola hujan ini, biasanya p u n c a k curah hujan terjadi satu bulan setelah matahari tepat di a t a s khatulistiwa yaitu bulan April/Mei a t a u Oktober/ November. Selain itu terdapat pola hujan lain, dimana sebagian besar wilayah Lampung mempunyai pola hujan monsoon serta sebagian pantai barat Aceh yang mempunyai pola hujan lokal dan sebagian pantai timur Aceh yang 118

mempunyai pola hujan equatorial. Suhu u d a r a rata-rata t a h u n a n berkisar antara 24°C-27°C. Berdasarkan data stasiun yang dianalisis, s u h u u d a r a rataan t a h u n a n terendah tercatat sebesar 24,2°C di Solok sedangkan tertinggi mencapai 27,1°C di Polonia, Medan. Gambar 3-1 m e n u n j u k k a n pola curah hujan rata-rata bulanan di Pulau Sumatera selama 10 t a h u n u n t u k masing-masing kabupaten. Pada gambar tersebut d a p a t dilihat pula bahwa u n t u k kabupaten Solok dan Sibolga musim kering tidak begitu berpengaruh karena nilai rata-rata curah hujannya masih di atas/sekitar 2 0 0 m m / b u l a n , yaitu p a d a bulan J u n i , J u l i dan Agustus. Hal ini berarti b a h w a iklim ekstrim seperti El-Nino tidak terlalu berpengaruh, kemungkinan a d a n y a pengaruh dari topografi yang sangat dominan di daerah itu. Oldeman mengklasifikasi Mas iklim dari mulai A sampai E. Untuk Sumatera Utara bagian imur (pantai timur dan lereng timur) semakin menuju pantai a t a u hilir, curah hujan semakin rendah atau tipe E2, sebaliknya semakin menuju ke lereng pegunungan atau hulu curah hujan semakin tinggi (tipe C I , Bl a t a u A). Sebaliknya di bagian barat (pantai barat-lereng barat) curah hujan semakin besar menuju pantai (hilir) d a n semakin kecil menuju lereng pegunungan a t a u hulu. Demikian j u g a di pantai barat tipe iklimnya A, berarti hampir sepanjang t a h u n terjadi hujan.

Gambar 3 - 1 : Pola curah hujan rata-rata di Sumatera selama 10 t a h u n Sebagai d a t a p e n d u k u n g u n t u k memberikan informasi dapat dilihat peta curah hujan t a h u n a n selama 10 t a h u n pada t a h u n El-Nino (Gambar 3-2), Normal d a n La-Nina di Pulau Sumatera. Pada waktu t a h u n El-Nino daerah yang musim keringnya lebih lama adalah Branti, Kotabumi, d a n Loksemawe, sedangkan m u s i m keringnya lebih pendek adalah Belitung, Bengkulu, Kerinci, dan Pekanbaru. P a d a waktu t a h u n normal daerah yang musim keringnya lebih lama adalah Kerinci d a n Palmerah. Hal ini kemungkinan a d a n y a p e n g a r u h dari topografi yang sangat dominan di daerah itu. 119

El-Nino year

Normal year

La-Nina year

Gambar 3-2:Peta Curah hujan di Sumatera p a d a t a h u n El-Nino, Normal d a n LaNina 3 . 2 Ketersediaan air Berdasarkan analisis neraca air lahan menggunakan data r a t a a n selama 10 t a h u n p a d a 6 stasiun yang dilakukan, dapat dilihat bahwa sebagian besar wilayah Sumatera mempunyai periode surplus yang panjang, kecuali wilayah Lampung (Gambar 3-3). Fenomena El-Nino d a n La-Nina secara u m u m kurang berpengaruh p a d a terhadap ketersediaan air di sebagian besar wilayah di Sumatera. Hal ini d a p a t dijelaskan k a r e n a pulau Sumatera j u g a mempunyai karateristik u n s u r iklim curah hujan yang c u k u p spesifik. Sebagian besar wilayah Sumatera yang berada di sekitar equator mempunyai pola hujan equatorial yang tidak terpengaruh secara signifikan terhadap kejadian El-Nino a t a u La-Nina, kecuali wilayah Lampung yang mempunyai pola hujan monsoon sehingga c u k u p terpengaruh dengan kejadian El-Nino d a n La-Nina. Selain adanya 3 pola c u r a h hujan yang mempengaruhi, posisinya yang berhadapan dengan S a m u d e r a Hindia menyebabkan sebagian besar wilayah pantai barat S u m a t e r a dari Aceh sampai Bengkulu mempunyai curah hujan yang lebih tinggi d a n lebih basah dibandingkan dengan Sumatera bagian timur. Sebagian wilayah Barat Sumatera b a h k a n mempunyai periode surplus mencapai 12 bulan sehingga sangat potensial u n t u k pengembangan sektor pertanian. Hal tersebut j u g a sesuai dengan hasil penelitian Suharsono et. al., (1996), yang m e n y a t a k a n b a h w a sebagian besar wilayah Sumatera mempunyai periode surplus selama 8 - 1 2 bulan dengan jumlah surplus mencapai 500 - 2000 mm per t a h u n . Selain itu, periode defisit terjadi selama 0 - 4 bulan dengan jumlah defisit 0 - 5 0 mm per t a h u n . Hal ini menunjukkan bahwa dengan minimun 8 bulan periode s u r p l u s m a k a potensi minimum yang dapat dilakukan adalah d u a kali p e n a n a m a n dengan a s u m s i faktor selain ketersediaan air d a n faktor iklim mendukung. 120

Gambar 3-3: Neraca air di 6 lokasi sentra pangan menggunakan data r a t a a n 10 tahun Pawitan et. al, (1997) j u g a menyatakan bahwa secara u m u m , sebagian Sumatera bagian u t a r a katulistiwa mengalami dua kali periode kering yaitu bulan Februari-Maret d a n Juni-Agustus. Sedangkan daerah Sumatera bagian selatan mengalami periode kering pada bulan Juni-September. Dengan kondisi ketersediaan air tersebut, secara u m u m hampir sebagian besar kabupaten di Sumatera mempunyai m a s a t a n a m relatif sepanjang t a h u n atau 12 bulan. Hal tersebut dimungkinkan k a r e n a hampir di seluruh wilayah Sumatera mempunyai kadar air t a n a h yang selalu berada di atas titik layu permanen (TLP). Beberapa kabupaten hampir sepanjang t a h u n mempunyai kadar air t a n a h s a m a dengan kapasitas lapang yang berarti tersedia surplus air yang c u k u p sepanjang t a h u n u n t u k proses produksi pertanian. Untuk m e n d a p a t k a n informasi ketersediaan air (kondisi surplus dan defisit) yang sangat penting u n t u k mengantisipasi kegagalan produksi/panen dilakukan p u l a penghitungan neraca air p a d a t a h u n El-Nino (1997) u n t u k lokasi s e n t r a pangan seperti p a d a Gambar 3-4. Informasi dari ketersediaan curah hujan sebaiknya dilakukan musim t a n a m bulan pertama p a d a minggu kedua kemudian bulan keempat minggu ketiga dan minggu k e d u a p a d a bulan keduabelas. Defisit terjadi awal Juli hingga akhir Nopember. Mulai tanam dapat dilakukan sejak awal Desember hingga Mei akhir. 121

G a m b a r 3-4: Neraca Air di lokasi sentra pangan p a d a t a h u n 1997 (El-Nino) H u b u n g a n curah hujan dengan produksi pangan (Padi d a n Palawija) di Lampung (Branti d a n Kotabumi) dapat dilihat p a d a Gambar 3-5. Curah hujan yang digunakan adalah total satu t a h u n yaitu dari J a n u a r i hingga Desember selama 10 t a h u n , kemudian dihubungkan dengan produksi padi, jagung dan kedele p a d a t a h u n yang sama. Pada saat t a h u n normal (1992, 1993 d a n 1996) curah hujan lebih rendah dari p a d a t a h u n La-Nina (1995, 1999 dan 2000) d a n lebih tinggi dari p a d a t a h u n El-Nino (1991, 1994, 1997 dan 1998), indikasinya bahwa Branti d a n Kotabumi terkena dampak El-Nino.

Gambar 3-5: H u b u n g a n curah hujan dengan produksi pangan di Lampung (Branti dan Kotabumi) 122

Pada t a h u n La-Nina curah hujan t a h u n a n naik bila kita bandingkan dengan produktivitas padi di Branti d a n Kotabumi memiliki pola, yaitu apabila curah hujan naik m a k a produktivitas padi naik. Demikian pula u n t u k jagung dan kedele jika c u r a h hujan naik produktivitas jagung d a n kedele m e n u r u n , karena kedele tidak m e m b u t u h k a n air seperti padi. Pada t a h u n normal produktivitas padi lebih rendah dari pada t a h u n La-Nina, tetapi u n t u k jagung dan kedele polanya sangat kompleks. Pada t a h u n El-Nino, produktivitas padi tidak tergantung p a d a c u r a h hujan tetapi p a d a air irigasi, akan tetapi u n t u k jagung d a n kedele berpengaruh ketika curah hujan naik produktivitas jagung dan kedele mangalami kenaikan.

Gambar 3-6:Hubungan c u r a h hujan dengan produksi pangan di Sumatera Barat (Agam d a n Solok) Gambar 3-6 menunjukkan h u b u n g a n curah hujan dengan produksi pangan di S u m a t e r a Barat (Agam dan Solok). Pada t a h u n La-Nina curah hujan t a h u n a n naik bila dibandingkan dengan produktivitas padi di Agam dan Solok tidak memiliki pola yang s a m a yaitu curah hujan naik tetapi produktivitas padi turun, kemungkinan p a d a saat La-Nina terjadi banjir sehingga berdampak terhadap produktivitas padi yaitu gagal panen. Demikian pula u n t u k jagung 123

d a n kedele jika c u r a h hujan naik produktivitas jagung d a n kedele m e n u r u n kemungkinan kedele tidak m e m b u t u h k a n air seperti padi. Pada t a h u n normal produktivitas padi lebih rendah dari p a d a t a h u n La-Nina, n a m u n u n t u k produktivitas jagung p a d a s a a t t a h u n El-Nino j u s t r u mengalami kenaikan. Sehingga bias diterapkan pola t a n a m ketika musim b a s a h disarankan u n t u k m e n a n a m padi sedangkan u n t u k musim kering digunakan u n t u k t a n a m a n palawija u n t u k kabupaten Agam d a n Solok. Akan tetapi yang menarik adalah ketika t a h u n El-Nino produktivitas padi mengalami kenaikan, sehingga dapat disimpulkan b a h w a di S u m a t e r a Barat kejadian El-Nino tidak berpengaruh. Produktivitas Tanaman Pangan dan Curah Hujan Tahunan di Polonia

Gambar 3-7: H u b u n g a n curah hujan dengan produksi pangan di Sumatera Utara (Polonia d a n Sibolga) Pada t a h u n La-Nina curah hujan naik di Polonia, dan di Sibolga pola curah hujan tidak lengkap seperti p a d a Gambar 3-7, bila dibandingkan dengan produktivitas padi memiliki pola yang berlawanan yaitu curah hujan naik produktivitas padi m e n u r u n , n a m u n jagung dan kedele produktivitasnya naik, kemungkinan kedele tidak m e m b u t u h k a n air seperti padi. Pada t a h u n normal 124

produktivitas padi, jagung dan kedele tidak sesuai dengan syarat t u m b u h padi d a n palawija. Pada t a h u n El-Nino produktivitas padi m e n u r u n tetapi u n t u k j a g u n g d a n kedele produktivitasnya naik sehingga dapat disimpulkan bahwa syarat u n t u k t u m b u h padi dan palawija memenuhi. 4 KESIMPULAN Dari karakteristik iklim dapat disimpulkan bahwa tidak s e m u a daerah di Sumatera dipengaruhi oleh El-Nino seperti Kabupaten Solok dan Sibolga. Hal ini erat kaitannya dengan faktor topograpi, akan tetapi kalau ditinjau dari produktivitas padi di Sumatera Barat mengalami kenaikan ketika t a h u n El-Nino. Dengan k a t a lain iklim ekstrim tidak berpengaruh di Sumatera Barat demikian pula u n t u k Sumatera Utara. Dari satu lokasi di Lampung variabilitas iklim sangat berdampak terhadap c u r a h hujan, yaitu p a d a kejadian El-Nino d a n La-Nina. Namun dari j u m l a h produktivitas pangan tidak begitu berdampak terhadap produktivitas ketiga komuditas k a r e n a masih a d a pengairan, yaitu dengan b a n t u a n irigasi k h u s u s n y a u n t u k padi sawah. Variabilitas iklim c u k u p erat kaitannya dengan produktivitas pertanian t a n a m a n p a n g a n di pulau Sumatera. Sebagian besar Sumatera mempunyai surplus air lebih dari 8 bulan sehingga mempunyai perioda t a n a m / m a s a tanam yang relatif panjang dalam setahun. Fenomena ENSO, terutama El-Nino memberikan pengaruh yang nyata terhadap curah hujan wilayah dan ketersediaan air, terutama pada wilayah di Sumatera yang mempunyai pola hujan monsoon seperti Lampung dan sekitarnya Informasi mengenai d a m p a k variabilitas iklim terhadap produksi pangan sangat penting u n t u k disampaikan t e r u t a m a k e p a d a petani u n t u k mengantisipasi dampak negatip dari variabilitas iklim d a n berbagai fenomena iklim seperti El-Nino dan La-Nina Ucapan Terimakasih Terima kasih saya ucapkan kepada Yon Sugiarto, Hendarman, d a n Syafei yang m e m b a n t u penelitian ini. DAFTAR RUJUKAN BPS (Badan Pusat Statistik), (1987-2000). Survei pertanian Produksi Tanaman Padi d a n Palawija di Indonesia. Boer, R-, 1999. Perubahan iklim, El-Nino dan La-Nina. Di dalam pelatihan Dosen-Dosen Perguruan tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agroklimatologi. J u r u s a n Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB,

Bogor. Baharsjah, J. S., Suardi, D d a n I. Las., 1985. Hubungan iklim dengan p e r t u m b u h a n kedelai. Hal 87-102. Dalam S. Somaatmaja., M. Ismunaji, dan S u m a r n o , M. Grist, D.h., 1975. Rice Tropical Agricultural Series. 4 th Ed. Longmans Group Ltd. London. 601p. 125

Hutapea, S.G., dan T. Wiyoso, 2 0 0 3 . Perubahan Iklim dan Lingkungan. Seminar Hutan Sumatera: Penyebab dan Dampak Kerusakan serta Solusi Pengelolaan Secara Berkelanjutan. 22-23 D e s e m b e r 2 0 0 3 . Medan. Irianto G., Le I. Amien., d a n E. Surmaini, 2000. Keragaman iklim sebagai peluang diversivikasi sumber daya lahan Indonesia d a n Pengelolaan. Hal 67-95. Pusat Penelitian T a n a h d a n Agroklimat. Badan Penelitian d a n Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. J a s i s d a n Karama A. S., 1999. Kebijakan Departemen Pertanian dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel: Strategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam La-Nina d a n El-Nino u n t u k p e m b a n g u n a n Pertanian. Perhimpi. Bogor. ISBN 979-546-008-0. Malingreau. J. P., 1987. The 1982-83 drought in Indonesia Assessment a n d Monitoring, pi 1-18. Impact Climate Crisis. Mota, F.S., 1978. Soybean a n d weather. WMO, Geneva, Suitzerland. Nasir, A. A. d a n S. Effendi, 2000. Konsep Neraca Air u n t u k Penentuan Pola Tanam. dalam Kapita Selekta Agroklimatologi [Ed. Koesmaryono, Y., Impron, Sugiarto, Y.). J u r u s a n Geomet FMIPAIPB. Bogor. Pawitan, H., I. Las, H. Suharsono, R. Boer, d a n Handoko, 1997. Implementasi Pendekatan Strategis dan Taktis Gerakan Hcmat Air. dalam Sumber daya Air dalam Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien [Ed. Baharsjah et at) PERHIMPI. Bogor. p. 15-41. Rosamond Nailor., Walter Falkon., Nicolas Wada and Daniel Rochberg, 2002. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 38, No. 1, 2002: 7 5 - 9 1 . Thomthwaite, C. W a n d J. R. Matter , 1957. Instruction a n d Tables for Computing Potential Evapotranspiration a n d the Water Balance. Drexel Institute of Technology, laboratory of Climatology, Centerton, New Jersey, USA. Yusmin, 2 0 0 0 . Integrated Management of Floot d a n Drought in Food Crop Agriculturein Land Use Change and Forest Management. Mitigation Strategy to Minimize the Impacts of Climate Change. Indonesian Association of Agricultural Meteorology. Bogor. Pp : 172-184.

126