PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan produk pangan asal hewan terus meningkat disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan pengetahuan, pergeseran gaya hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat semakin membaik. Kontribusi terbesar dalam penyediaan daging secara Nasional umumnya berasal dari ternak unggas dan sapi potong. Produksi daging sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 rata-rata sekitar 59,96% berasal dari ternak unggas dan 21,29% berasal dari ternak sapi potong (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Berbagai penelitian telah dilakukan dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktifitas peternakan, salah satunya adalah penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit dan pemacu pertumbuhan. Kebutuhan antibiotika untuk pakan dan pengobatan tahun 2001 sebesar 502,27 ton, kemudian meningkat menjadi 5.574,16 ton pada tahun 2005 (Dirjenak, 2006). Dengan meningkatnya penggunaan antibiotika tersebut, maka meningkat pula manfaat dan resiko yang mungkin ditimbulkan. Resiko ini berupa residu antibiotika pada hasil-hasil ternak (daging, susu dan telur) akibat penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan dosis atau tidak memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time). Penelitian Balai Penelitian Veteriner Bogor (Balitvet) terhadap residu antibiotika, telah berhasil mendeteksi residu oksitetrasiklin, tetrasiklin dan khlortetrasiklin pada daging ayam, telur dan susu dengan kadar melebihi batas maksimum residu (Bahri et al., 1992 dan Darsono et al., 1996). Yuningsih et al. (2005) melakukan penelitian tentang keberadaan residu antibiotika tilosin (golongan makrolida) dalam daging ayam yang berasal dari daerah Sukabumi, Bogor dan Tangerang, semua sampel daging ayam mengandung tilosin berkisar antara 0,0006 – 0,0845 µg/g, angka tersebut masih berada dibawah nilai batas maksimum residu. Hasil pengujian residu antibiotika terhadap 20 sampel daging ayam yang diperoleh dari pasar swalayan dan pasar tradisional di Kabupaten Tangerang hanya satu sampel yang positif residu antibiotika golongan penisilin, tetrasiklin dan makrolida (Distannak, 2005).
Penelitian di lapang terhadap 30 peternakan ayam di Kabupaten Tangerang didapatkan bahwa hampir 50% antibiotika golongan tetrasiklin merupakan sediaan yang ditambahkan ke dalam pakan, hal ini dibuktikan dengan melakukan pemeriksaan terhadap pakan yang berasal dari peternakan ayam petelur dan pedaging (Distannak, 2006). Menurut Bahri et al. (2005) hampir semua pabrik pakan menambahkan antibiotika ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika. Penggunaan antibiotika yang kurang tepat ini dimungkinkan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, dimana 30,80% peternak ayam pedaging skala kecil dan 33,30% peternak ayam petelur skala kecil yang tidak mempunyai dokter hewan untuk mengawasinya, mendapat obat langsung dari distributor sehingga dikhawatirkan penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang benar. Selain itu peternak kurang memahami waktu henti suatu obat sehingga mengakibatkan munculnya residu pada produk ternak (Peter et al., 2002 ; Bahri et al., 2005). Antibiotika tidak boleh dicampur dalam pakan dan tidak boleh dikombinasikan dengan vitamin, mineral dan asam amino yang dipakai melalui air minum kecuali, sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 806/Kpts/TN.260/12/94 tentang Klasifikasi obat
hewan. Peraturan ini telah
beberapa kali ditambah dan disempurnakan, jenis antibiotika yang direkomendasi sebagai bahan tambahan dalam pakan hewan yaitu, avilamisina, avoparsina, bacitrasin
zink, enramisina, flavomycin (bambermisin), kitasamisin, kolistin
sulfate, lasalosid, maduramisina, lincomisin HCl, monensin natrium, narasina, salinomisin (Na), spiramisin (embonate), virginiamisin. Keberadaan residu antibiotika dalam bahan pangan asal hewan, dari aspek kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapat perhatian, bahaya yang dapat ditimbulkannya terhadap kesehatan konsumen, seperti reaksi hipersensitifitas mulai dari yang ringan sampai parah, keracunan dan yang terpenting adalah peningkatan resistensi beberapa mikroorganisme patogen yang akan menimbulkan masalah besar dalam bidang kesehatan manusia maupun hewan (Phillips et al., 2004).
2
Secara ekonomi dampak yang ditimbulkan dari adanya residu dalam pangan asal hewan, menyebabkan kerugian ekonomi berupa penolakan produk terutama bila produk tersebut di ekspor ke negara yang konsisten dan serius dalam menerapkan sistem keamanan pangan (Crawford dan Franco, 1994). Hasil penelitian Kadarwati et al. (1989) menunjukkan bahwa tiga jenis bakteri kokus (Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Streptococcus betahaemolyticus) yang diisolasi dari kelompok anak sehat dan sakit di wilayah Jakarta Timur telah resisten antibiotika, terutama tetrasiklin (53,3%), hal tersebut kemungkinan disebabkan tingginya tingkat terpaparnya tetrasiklin di masyarakat seperti pengobatan yang selalu menggunakan tetrasiklin karena memiliki spektrum yang luas. Menurut hasil penelitian Hermawati (1997), pemakaian antibiotika kurang dari 50 gram/ton pakan tidak menimbulkan problem residu pada jaringan hewan, tetapi pemakaian tetrasiklin antara 200 – 1000 gram/ton pakan menghasilkan residu di jaringan ayam, sedangkan pemakaian lebih dari 500 gram/ton pakan menghasilkan residu dalam telur. Penggunaan klortetrasiklin pada pakan ayam pedaging yang diberikan selama 11 hari dapat menimbulkan residu sebanyak 0,49 – 0,88 µg/ml dalam serum, 1,5 – 3,0 µg/g dalam hati, 0,68 – 1,30 µg/g dalam daging dada dan 0,59 – 0,75 µg/g dalam jaringan lainnya. Residu doksisiklin dalam daging dada, daging kaki, hati, ampela dan kulit ayam broiler yang diberikan doksisiklin 200 ppm selama 5 hari melalui air minum masih ditemukan berturut-turut sampai dengan hari ke 14, 13, 11 dan 10 setelah pengobatan terakhir. Pemanasan 80' C dan 100' C masing-masing selama 10, 20 dan 30 menit tidak dapat menginaktivasi 100% doksisiklin (kadar 0,04 µg/l, 0,32 µg/l dan 0,64 µg/l) dalam larutan dapar (Lukman, 1994). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan bahaya potensial yang diakibatkan residu pada manusia adalah dengan melakukan pemasakan jaringan hewan apabila hendak dikonsumsi. Hal ini akan menurunkan konsentrasi dari beberapa antibiotika seperti penisilin dan tetrasiklin. Beberapa antibiotika seperti kloramfenikol dan streptomisin bersifat lebih stabil terhadap panas (Crawford and Franco, 1994).
3
Pola konsumsi dan kegemaran masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi ayam pedaging, sehingga hampir semua bagian tubuh ayam pedaging dapat diolah untuk dimakan. Hal ini disebabkan daging ayam bernilai gizi tinggi, relatif murah dibanding harga daging yang lain, mudah didapat, dapat dimakan oleh pemeluk agama apapun, disukai semua golongan, jarang dipantang, kandungan kolesterolnya rendah dan di negara maju tergolong tingkat konsumsi protein hewani yang tinggi.
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat suatu rumusan yaitu, terdapat residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah tentang adanya residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging dan penentu kebijakan dalam pengawasan keamanan pangan asal hewan yang dimulai dari peternakan terutama berkaitan dengan residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging.
1.5 Hipotesis Tidak ditemukan residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging.
4