DETERMINAN INFLASI INDONESIA: JANGKA PANJANG DAN

Download 1 Feb 2013 ... Determinan Inflasi Indonesia: Analisis Jangka Panjang dan Pendek ... Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyarata...

1 downloads 631 Views 383KB Size
Determinan Inflasi Indonesia: Jangka Panjang dan Pendek

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Ardianing Pratiwi 0810210032

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013          

 

       

LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL

Artikel Jurnal dengan judul : Determinan Inflasi Indonesia: Analisis Jangka Panjang dan Pendek

Yang disusun oleh : Nama

:

Ardianing Pratiwi

NIM

:

0810210032

Fakultas

:

Ekonomi dan Bisnis

Jurusan

:

S1 Ilmu Ekonomi

Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 31 Januari 2013

Malang, 1 Februari 2013 Dosen Pembimbing,

Ferry Prasetyia, SE., M.App.Ec.Int. NIP. 19801228 200501 1 002

 

Determinan Inflasi Indonesia: Analisis Jangka Panjang dan Pendek Ardianing Pratiwi Ferry Prasetyia Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang Email : [email protected]

ABSTRAK Pergarakan inflasi di Indonesia dikenal memiliki fluktuasi yang cukup tinggi dan bersifat persisten. Pemahaman mengenai karakteristik dan sumber guncangan yang dapat memicu inflasi dapat digunakan sebagai landasan dalam merumuskan suatu kebijakan moneter yang efektif dan konsisten pengendalian stabilitas inflasi, sebagai tujuan akhirnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis determinan inflasi di Indonesia baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, dengan menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM). Data dalam bentuk time series selama periode 2002-2011 dan diperoleh dari publikasi Bank Indonesia dan Bank Dunia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menurut estimasi VECM, dalam jangka panjang inflasi di Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh keempat variabel independen, yaitu suku bunga BI rate, jumlah uang beredar, nilai tukar dan konsumsi rumah tangga. Semua variabel memiliki pengaruh negatif, kecuali hubungan positif yang ditunjukkan oleh variabel nilai tukar. Dalam jangka pendek, kenaikan BI rate dan depresiasi nilai tukar memiliki pengaruh signifikan dan positif terhadap laju inflasi. Berdasarkan hasil IRF, inflasi merespon secara cepat perubahan keempat variabel, satu periode setelah shock muncul. Variance decomposition menunjukkan bahwa, secara berurutan inflasi dipengaruhi oleh besarnya kontribusi perubahan suku bunga, nilai tukar, jumlah uang beredar dan konsumsi rumah tangga. Kata kunci: Tingkat inflasi, suku bunga, jumlah uang beredar, nilai tukar, konsumsi rumah tangga.

A.

LATAR BELAKANG

Inflasi merupakan salah satu indikator penting bagi ekonom dalam menganalisis perekonomian suatu negara. Inflasi memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pencapaian beberapa tujuan kebijakan makro, seperti pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, distribusi pendapatan, dan keseimbangan neraca pembayaran (Pohan, 2008). Dampak lain yang ditimbulkan oleh inflasi juga dirasakan pada lalu lintas pasar keuangan karena berpengaruh secara langsung terhadap agregat moneter. Fenomena inflasi merupakan masalah klasik bagi perekonomian yang hingga saat ini masih memberikan trauma mendalam. Menurut sejarah perkembangannya, fluktuasi inflasi Indonesia tergolong cukup bervariasi dari waktu ke waktu dan bersifat persisten (Dwiantoro, 2004). Pada dasarnya fenomena inflasi di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor eksternal dan internal, baik yang berpengaruh secara langsung ataupun tidak. Menurut Candra (2006) inflasi yang rendah mampu mendorong negara dalam meningkatkan kapasitas outputnya, namun di sisi lain inflasi yang tinggi juga menimbulkan ketidakpastian terhadap perekonomian. Untuk itu diperlukan suatu upaya dalam rangka menjaga inflasi pada level yang rendah dan stabil. Dengan menjaga stabilitas inflasi, pelaku ekonomi akan merasa lebih nyaman dalam melakukan aktivitas ekonominya, sehingga dapat membawa dampak positif pada perekonomian yang tercermin melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran (Pohan, 2008). Dengan kata lain, pencapaian stabilitas inflasi merupakan langkah awal untuk mencapai stabilitas nasional. Upaya pemerintah dalam mengendalikan inflasi dituangkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diamandemen menjadi Undang-undang No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, yang menyatakan bahwa Indonesia telah menganut kebijakan moneter dengan sasaran tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Dengan kata lain, kebijakan moneter lebih difokuskan untuk mengendalikan fluktuasi tingkat harga agar tidak memicu tekanan inflasi melalui berbagai instrumen dan strategi kebijakan. Menurut Alan Greenspan, pergerakan inflasi yang lunak dan dianggap tidak membahayakan adalah pada rentang

 

± 3% per tahun (Samuelson dan Nordhaus, 2004). Sedangkan menurut Abdullah (2003), berdasarkan data historis inflasi Indonesia, Bank Indonesia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi yang optimal untuk Indonesia adalah pada kisaran 4%-6% per tahun. Strategi kebijakan pengendalian inflasi yang dilaksanakan Bank Indonesia dengan menargetkan inflasi pada angka tertentu dengan range deviasi +1% dikenal dengan istilah ITF (inflation targeting framework). Strategi kebijakan ini diarahkan untuk mencapai kestabilan harga dalam jangka panjang, namun tetap memberikan ruang gerak pada inflasi melalui pengaturan instrumen kebijakan jangka pendek. ITF diresmikan pada tahun 2005, meskipun secara aplikatif pelaksanaannya telah dimulai sejak tahun 2000. Penargetan inflasi dilaksanakan dengan tujuan mengarahkan ekspektasi dan menjadi acuan bagi pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas ekonominya ke depan, sehingga pergerakan inflasi dapat diarahkan menuju target yang telah ditetapkan. Tabel 1.1 berikut menunjukkan pencapaian tingkat inflasi sejak tahun 2000. Tabel 1.1: Perbandingan Inflasi Aktual dan Target Inflasi Tahun

Target Inflasi

Inflasi Aktual (yoy)

2000

3% - 5%

9,4%

2001

4% - 6%

12,55%

2002

9% - 10%

10,03%

2003

9 +1%

5,06%

2004

5,5 +1%

6,40%

2005

6 +1%

17,11%

2006

8 +1%

6,60%

2007

6 +1%

6,59%

2008

5 +1%

11,06%

2009

4,5 +1%

2,78%

2010

5+1%

6,96%

2011

5+1%

3,79%

Sumber : Bank Indonesia

Dalam Tabel 1.1 di atas dapat diamati bahwa inflasi aktual masih berada di bawah, bahkan di atas angka yang ditargetkan. Tidak tercapainya sasaran tersebut menunjukkan bahwa penghitungan yang dilakukan kurang tepat. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian arah pergerakan inflasi akibat masih tingginya ekspektasi dari pelaku ekonomi. Dapat disimpulkan bahwa secara umum kinerja ITF belum menunjukkan hasil optimal dalam pelaksanaannya. Upaya Bank Indonesia dalam melakukan penargetan inflasi yang forward looking sebenarnya sudah cukup bagus dengan tujuan untuk mengarahkan pergerakan inflasi ke depan. Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan kebijakan moneter menghadapi tantangan yang cukup berat dalam mencapai target tersebut. Fundamental ekonomi yang belum kokoh dan kuatnya pengaruh eksternal dalam beberapa periode terakhir membuat inflasi cukup rentan untuk berfluktuasi. Otoritas moneter mampu mengontrol shock internal, namun tidak dapat mengantisipasi pengaruh dari luar sehingga berimbas pada pembentukan harga dalam negeri. Dalam 1 dekade terakhir, meningkatnya kompleksitas hubungan antara inflasi dengan beberapa variabel makro lain menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan dalam mengamati perilaku pembentukan harga di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sulitnya mengidentifikasi dan memprediksi sumber-sumber perubahan (shock) yang dapat memicu tekanan inflasi. Merujuk pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Anugrah (2012), Arintoko (2011), Endri (2008), Hayati (2006) dan Dwiantoro (2004) untuk studi kasus Indonesia, diperoleh hasil penelitian yang mengidentifikasi bahwa suku bunga jangka pendek, nilai tukar, ekspektasi inflasi, output gap, serta harga atau inflasi luar negeri berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Pertumbuhan jumlah uang beredar turut mempengaruhi pergerakan inflasi dalam jangka panjang. Variabel lain yang juga signifikan dalam mempengaruhi inflasi dalam jangka pendek adalah upah tenaga kerja. Sedangkan untuk studi kasus negara-negara lain yang pernah dilakukan oleh Akinbobola (2012), Sultan (2011) Yiping, et

 

al (2010), Almounsor (2010), Ziramba (2008) dan Ratnasiri (2006) hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat inflasi banyak dipengaruhi oleh money supply, nilai tukar, inflasi luar negeri, ekspor, dan PDB riil baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Tingkat inflasi juga dipengaruhi oleh konsumsi atau permintaan domestik dalam jangka panjang dan dalam jangka pendek inflasi dipengaruhi oleh output gap. Mengingat belum optimalnya pelaksanaan kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi, maka untuk merumuskan sebuah kebijakan yang kredibel perlu dilakukan pengidentifikasian sumber pemicu serta pemahaman mengenai karakteristik inflasi di Indonesia. Gali (2002) menganalogikan bahwa dalam melakukan kebijakan inflation targeting sama halnya dengan melakukan sebuah pelayaran, di mana inflasi yang ditargetkan merupakan tujuan dari pelayaran tersebut. Aturan kebijakan merupakan cara untuk mencapai tujuan. Dan untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kemampuan dalam menganalisis dari manakah sebuah serangan akan datang, kemungkinan pergerakan arah angin, dan bagaimana menjaga keseimbangan layar. Sama halnya dengan melaksanakan kebijakan stabilitas inflasi. Dengan melakukan pemahaman karakter dan sumber inflasi, maka diharapkan perumusan strategi kebijakan moneter dapat ditentukan sehingga pelaksanaannya dapat dilakukan secara tepat dan efektif dalam mencapai tujuan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dan beberapa permasalahan yang melatarbelakangi pelaksanaan penelitian ini, maka rumusan masalah yang ingin diungkap adalah determinan apa sajakah yang mempengaruhi tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek dan jangka panjang?

B. KAJIAN PUSTAKA Karena pergerakan inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh variabel moneter, namun juga dipengaruhi oleh variabel riil, maka inflasi diamati sebagai fenomena yang dihasilkan oleh adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran agregat. Atas dasar pemikiran tersebut, pembagian inflasi berdasarkan determinannya, yaitu: Demand Pull Inflation Demand pull inflation terjadi karena kuat dan pesatnya peningkatan aggregate demand masyarakat sehingga melebihi kapasitas penawaran agregat yang diproduksi. Jumlah produksi tidak dapat ditingkatkan dalam waktu yang relatif singkat karena terbatasnya investasi modal dan teknologi dalam jangka pendek, sehingga kapasitas produksi tidak mampu mengimbangi besarnya peningkatan permintaan masyarakat (Nanga, 2005). Akibatnya, terjadi persaingan antarpelaku ekonomi untuk merebutkan keterbatasan output tersebut sehingga mendorong kenaikan harga secara umum dan terciptalah inflasi. Samuelson dan Nordhaus (2004) mengungkapkan bahwa salah satu faktor penting terjadinya inflasi ini karena disebabkan oleh pertumbuhan volume jumlah uang beredar yang cepat. Ketika pendapatan masyarakat meningkat dan diikuti oleh kenaikan permintaan agregat, namun tidak diimbangi dengan peningkatan output yang diproduksi, maka harga-harga umum akan naik. Kebijakan moneter memiliki peran penting melalui pengaruhnya terhadap konsumsi, produksi dan investasi. Faktor lain yang mempengaruhi inflasi jenis ini adalah perubahan yang bersifat shock dari kebijakan fiskal, permintaan luar negeri, perubahan perilaku konsumen dan produsen, serta efisiensi dan produktivitas perekonomian. Thanh (2008) menjelaskan bahwa ketika pertumbuhan permintaan agregat dalam perekonomian melebihi penawaran agregatnya, maka harga akan cenderung naik dan dapat memicu inflasi. Permintaan agregat terdiri dari seluruh pengeluaran dalam perekonomian seperti: AD = C + I + G (X - M) di mana C adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga, I adalah pengeluaran investasi, G adalah pengeluaran pemerintah, serta X dan M merefleksikan pengeluaran untuk ekspor dan impor. Meningkatnya permintaan agregat disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berpengaruh secara langsung ataupun tidak. Secara umum, pertumbuhan ekonomi yang semakin baik mencerminkan semakin meningkatnya pendapatan nasional. Meningkatnya pendapatan mendorong peningkatan pengeluaran yang dilakukan masyarakat sehingga meningkatkan permintaan agregat. Permintaan yang tumbuh pesat melebihi output potensialnya akan menjadi permintaan yang inflasioner.

 

Cost Push Inflation Cost push inflation merupakan inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan biaya input produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas dan efisiensinya, sehingga perusahaan menyesuaikan supply barang atau merubah harga jual produksinya (Nanga, 2005). Inflasi penawaran juga mencakup supply shocks inflation yang dapat memicu kenaikan harga pada penawaran barang (Samuelson dan Nordhaus, 2004). Faktor kejutan (shock) yang termasuk dalam inflasi ini adalah pada saat terjadi kenaikan harga komoditas internasional termasuk harga minyak mentah dunia, kenaikan harga domestik melalui kontrol pemerintah, kenaikan harga bahan makanan karena shock produksi yang disebabkan gangguan iklim dan cuaca, atau kenaikan harga barang impor karena adanya depresiasi nilai tukar. Kajian teoritis yang menjelaskan tentang fenomena inflasi selalu berubah dan berkembang sesuai dengan pemikiran-pemikiran para ekonom yang membuat landasan teori berdasarkan pengamatan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beberapa teori inflasi yang masih diperdebatkan antara lain: Teori Moneteris Teori Moneteris merupakan penyempurnaan dari teori kuantitas yang diusung oleh ekonom klasik. Teori ini menekankan pada pentingnya peranan uang dan ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga yang dapat memicu tekanan inflasi. Dasar pemikiran yang terkandung dalam teori ini adalah inflasi akan terjadi apabila terjadi penambahan volume uang beredar yang melebihi kapasitas dan pergerakan inflasi yang ditentukan oleh ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga di masa yang akan datang. Dengan demikian, dalam teori kuantitas, faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan harga yang terjadi di dalam perekonomian adalah jumlah uang yang beredar di masyarakat. Fisher dalam Mankiw (2003) menggambarkan hubungan tersebut melalui persamaan kuantitas berikut: MxV=PxY di mana M adalah jumlah uang beredar (JUB), V adalah kecepatan perputaran uang, P adalah tingkat harga umum, dan Y adalah output. Dalam persamaan tersebut, P proporsional dengan M dan Y. Karena perubahan pada V dianggap konstan, maka peningkatan JUB akan berdampak pada kenaikan tingkat harga. Moneteris menyatakan bahwa bank sentral memiliki kendali tertinggi atas inflasi. Jika bank sentral mengontrol pertumbuhan JUB tetap stabil, maka tingkat harga juga akan stabil. Namun jika bank sentral menambah volume JUB dengan cepat, maka tingkat harga akan meningkat dengan cepat pula sehingga mendorong kenaikan inflasi (Nanga, 2005). Jadi, klasik dan moneteris memandang bahwa inflasi adalah fenomena moneter. Dalam jangka panjang tingkat pertumbuhan uang secara terus-menerus, ketika semua penyesuaian dilakukan, akan menyebabkan kenaikan yang sama pada tingkat inflasi. Tingkat inflasi sama dengan tingkat pertumbuhan yang disesuaikan dengan trend pertumbuhan pendapatan riil. Adanya gangguan-gangguan selain dari shock pertumbuhan uang (misal gejolak penawaran) turut mempengaruhi inflasi dan dalam jangka panjang uang memiliki dampak riil (Thanh, 2008). Teori Keynes Dasar pemikiran teori Keynes menekankan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan efektif terhadap barang-barang (permintaan agregat) melebihi jumlah barang-barang yang tersedia (penawaran agregat). Excess demand ini menyebabkan munculnya inflationary gap. Keterbatasan penawaran agregat terjadi karena output tidak dapat ditingkatkan dalam waktu yang relatif singkat untuk mengimbangi kenaikan permintaan agregat. Dalam teori ini, pergerakan inflasi cenderung meningkat dalam jangka pendek karena perubahan output relatif tetap dalam jangka pendek. Keynes mengungkapkan bahwa JUB bukanlah satu-satunya determinan tingkat harga. Dalam jangka pendek, tingkat harga juga dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran investasi, pengeluaran pemerintah, dan pajak (Nanga, 2005). Atas dasar uraian tersebut, pandangan Keynes lebih banyak digunakan untuk menerangkan fenomena inflasi dalam jangka pendek Mengacu pada teori kuantitas, Keynes menyatakan bahwa perputaran uang (V) tidak konstan dan berubah-ubah. Apabila masyarakat lebih banyak memegang uang (JUB meningkat), maka

 

masyarakat cenderung untuk meningkatkan transaksinya dan menuntut penawaran output yang lebih besar. Namun karena keterbatasan output dalam jangka pendek, maka kenaikan permintaan hanya akan memicu kenaikan harga. Dengan kata lain, penambahan JUB dalam perekonomian dapat meningkatkan inflasi (Nanga, 2005). Teori Struktural Teori yang banyak diadopsi oleh negara berkembang ini menjelaskan bahwa inflasi bukan hanya fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomena struktural. Hal ini disebabkan karena perekonomian negara berkembang pada umumnya masih rentan terhadap shock internal dan shock eksternal yang menyebabkan fluktuasi pembentukan harga di pasar domestik. Jadi, menurut kaum strukturalis, inflasi merupakan sesuatu yang melekat di dalam proses pembangunan ekonomi dan tidak dapat dihindari oleh perekonomian negara berkembang (Nanga, 2005). Dasar pemikiran model ini adalah kenaikan tingkat harga yang ditransmisikan melalui supply side atau produksi. Penyebab lain terjadinya inflasi di negara berkembang adalah akibat dari inflasi luar negeri (imported inflation). Jika kontribusi impor terhadap pembentukan output domestik sangat besar, maka kenaikan harga barang impor akan menyebabkan tekanan inflasi domestik yang cukup besar (Gali, 2002). Rendahnya nilai tukar negara berkembang juga mempengaruhi pergerakan inflasi domestik. Kecenderungan nilai tukar mata uang negara berkembang untuk terdepresiasi menyebabkan kenaikan harga barang impor dan semakin menekan biaya produksi sehingga meningkatkan harga barang secara umum dalam pasar domestik. Keterkaitan Inflasi dengan Variabel Makro Inflasi secara umum menggambarkan proses kenaikan harga yang ditentukan oleh determinannya, baik dalam jangka panjang dan maupun jangka pendek. Otoritas moneter berkoordinasi dengan pemerintah melaksanakan kebijakan moneter yang disinergikan dengan kebijakan makro lain dan bertujuan untuk mengendalikan pergerakan inflasi. Stabilitas inflasi dapat terganggu apabila terjadi perubahan pada variabel-variabel ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga secara umum. Beberapa veriabel makro yang dapat diidentifikasi hubungannya dengan inflasi dapat dijelaskan sebagi berikut: Keterkaitan Tingkat Suku Bunga dengan Inflasi Suku bunga juga merupakan harga (opportunity cost) yang harus dibayarkan atas uang yang dipegang dalam kurun waktu tertentu. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu dalam membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk aset finansial. Suku bunga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) Suku bunga nominal, yaitu rate yang dapat diamati oleh pasar. (2) Suku bunga riil, yaitu konsep yang mengukur tingkat bunga sesungguhnya, setelah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan. Hubungan antara tingkat suku bunga dengan tingkat inflasi dijelaskan oleh Fisher (dalam Mankiw, 2003) melalui persamaan: i=r+ di mana i adalah suku bunga nominal, r adalah suku bunga riil, dan  adalah tingkat inflasi. Dalam persamaan tersebut, suku bunga nominal memiliki hubungan positif dan searah dengan inflasi. Ketika tingkat inflasi tinggi, otoritas moneter menaikkan suku bunga nominal jangka pendeknya dengan tujuan mengurangi jumlah uang yang beredar dalam perekonomian sehingga dapat menurunkan inflasi. Apabila kebijakan disinflasi yang dilaksanakan oleh otoritas moneter dapat berjalan secara konsisten, maka dampak kenaikan suku bunga terhadap penurunan likuiditas pada sektor riil akan direduksi dengan menurunnya harga-harga barang konsumsi. Namun dalam praktiknya, suku bunga nominal jangka pendek diatur untuk mengarahkan pergerakan suku bunga perbankan. Apabila kenaikan suku bunga nominal direspon oleh suku bunga tabungan dan kredit pada bank umum (suku bunga kredit meningkat di atas tingkat suku bunga BI rate), peningkatan suku bunga tersebut dapat menurunkan investasi di sektor riil sehingga berdampak pada penurunan output. Penurunan output merupakan dampak dari kenaikan biaya produksi karena tingginya suku bunga yang berlaku, sehingga dapat memicu kenaikan harga dan semakin menekan inflasi. Keterkaitan Jumlah Uang Beredar dengan Inflasi Berdasarkan teori kuantitas, fluktuasi yang terjadi pada harga disebabkan oleh naik turunnya volume uang yang beredar (JUB) dalam perekonomian. Irving Fisher menyatakan bahwa, “pada

 

hakikatnya perubahan dalam jumlah uang beredar akan menimbulkan perubahan yang sama cepatnya atas harga”, yang berarti peningkatan persentase jumlah uang beredar akan sama dengan peningkatan persentase tingkat inflasi (Mankiw, 2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah uang beredar memiliki pengaruh positif terhadap inflasi. Peningkatan jumlah uang beredar yang berlebihan dapat mendorong peningkatan harga melebihi tingkat harga yang dapat diprediksikan oleh perekonomian, dan dalam jangka panjang hal tersebut dapat berpotensi menganggu pertumbuhan ekonomi karena tingginya laju inflasi. Keterkaitan Nilai Tukar dengan Inflasi Nilai tukar didefinisikan sebagai harga relatif dari mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar mempengaruhi net expor dan menjelaskan bagaimana perubahan harga luar negeri berdampak pada harga domestik (Gali, 2002). Hubungan nilai tukar terhadap perubahan tingkat harga dapat dijelaskan oleh persamaan berikut (Mankiw, 2003): Kurs Nominal = Kurs Riil x Rasio Tingkat Harga e = E x (P*/P) di mana P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga luar negeri. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa nilai tukar nominal (e) memiliki hubungan positif dengan tingkat harga domestik (P). Depresiasi atau kenaikan nominal nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang negara lain akan meningkatkan harga barang impor karena melemahnya nilai tukar mata uang suatu negara. Jika kontribusi impor memiliki peranan penting terhadap perekonomian, khususnya terhadap proses produksi, maka depresiai nilai tukar mata uang dapat meningkatkan biaya produksi sehingga menyebabkan kenaikan tingkat harga domestik dan memicu kenaikan inflasi. Keterkaitan Konsumsi Rumah Tangga dengan Inflasi Di dalam model Keynes, faktor yang menentukan pembentukan tingkat harga tidak hanya berasal dari pertumuhan uang saja. Keynes membuat fungsi konsumsi sebagai pusat teori fluktuasi ekonominya (Mankiw, 2003). Keinginan untuk melakukan konsumsi menimbulkan permintaan atas barang dan jasa yang diproduksi. Mengingat peran konsumsi sangat penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia, maka fluktuasi dalam konsumsi dapat memberikan guncangan dalam perekonomian. Keputusan konsumsi sangat penting untuk analisis jangka panjang dan jangka pendek karena perannya dalam menentukan permintaan agregat. Persamaan permintaan agregat diturunkan dari teori kuantitas. Dalam jangka pendek, peningkatan konsumsi (permintaan agregat) akan menentukan nilai nominal output yang merupakan produk dari tingkat harga dan jumlah output yang diminta, dan tidak akan menaikkan tingkat harga karena perusahaan cenderung untuk menyesuaikan outputnya dari pada merubah harga produknya (pandangan Keynesian). Sementara dalam jangka panjang, kenaikan permintaan akan meningkatkan output dan tingkat harga karena kecenderungan perusahaan untuk berekspansi ke depan (pandangan moneteris).

C. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan menggunakan data sekunder berbentuk time series dari tahun 20022011. Data diperoleh dari dari website, jurnal atau dari laporan-laporan penelitian terdahulu. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari lembaga atau instansi yang terkait dalam penelitian ini, antara lain Bank Indonesia dan Bank Dunia. Analisis data dilakukan dengan Metode VECM sebagai alat ekonometrika perhitungannya serta di gunakan juga metode analisis deskriptif bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan jangka panjang dan jangka pendek yang terjadi karena adanya kointegrasi diantara variabel penelitian. Sebelum melakukan estimasi VECM dan analisis deskriptif, harus dilakukan beberapa tahapan seperti uji stasionesritas data, menentukan panjang lag dan uji derajat kointegrasi. Setelah data diestimasi menggunakan VECM, analisis dapat dilakukan dengan metode IRF dan variance decomposition. Adapun bentuk persamaan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dirumuskan:

 

Untuk jangka pendek:

Sedangkan untuk jangka panjang, persamaan yang digunakan adalah dalam bentuk jangka panjang sebagai berikut: log(inf)t = α0 + α1 log(bir)t + α2 log(m2)t + α3 log(er)t + α4 log(crt)t + ut Di mana, inf = inflasi bir = BI rate m2 = jumlah uang beredar er = nilai tukar IDR/USD crt = konsumsi rumah tangga t = periode ke-t

α1, α2, α3, α4 = koefisien variabel α0 = konstanta ut = variabel error  = koefisien kecepatan penyesuaian j = panjang lag dalam model = 0,1,2,...,k ect-1 = error correction term

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam rangka untuk mendeskripsikan obyek penelitian secara lebih mendalam, maka di bawah ini akan dijelaskan gambaran secara umum mengenai perkembangan inflasi di Indonesia beserta determinannya. Perkembangan Inflasi di Indonesia Bagi sebagian besar negara berkembang, fenomena inflasi masih menjadi salah satu ancaman yang meresahkan para pelaku ekonomi. Kecenderungan dari kenaikan harga-harga secara umum yang berdampak pada stabilitas ekonomi mencerminkan tingkat inflasi yang terjadi di suatu negara. Dalam penelitian ini, indeks harga konsumen (IHK) merupakan indikator yang digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga tersebut. Inflasi IHK merepresentasikan konsumsi atas barang dan jasa yang diminta masyarakat secara keseluruhan dalam membentuk harga. Berikut perkembangan tingkat inflasi yang terjadi di Indonesia selama periode 2002:Q1-2011:Q4 digambarkan pada Grafik 4.1. Grafik 4.1: Tingkat Inflasi Indonesia Tahun 2002-2011

Sumber : Bank Indonesia (diolah)

Selama periode penelitian, pergerakan laju inflasi IHK cukup stabil berada pada kisaran satu digit angka dan pencapaiannya berada di bawah tingkat 5%, kecuali fluktuasi tajam yang terjadi pada tahun 2005-2006 serta tahun 2008 yang merupakan dampak dari kenaikan harga minyak dunia dan krisis keuangan global sehingga berpengaruh terhadap lonjakan harga domestik.

 

Pergerakan inflasi tidak terlepas dari perkembangan beberapa variabel ekonomi lain seperti nilai tukar, permintaan masyarakat akan barang dan jasa pada periode tertentu, ketersediaan pasokan bahan makanan, serta pergerakan harga-harga barang yang dikendalikan oleh pemerintah (administered price). Dari aspek moneter perkembangan tersebut juga tidak terlepas dari dinamika tingkat suku bunga dan pertumbuhan jumlah uang yang diedarkan kepada masyarakat. Secara keseluruhan, pergerakan inflasi di Indonesia selama periode penelitian memiliki trend yang menurun. Hal ini terkait dengan pelaksanaan kebijakan stabitas nilai rupiah yang penerapannya ditujukan untuk menjaga kestabilan tingkat inflasi. Penurunan trend inflasi mengindikasikan bahwa penerapan kebijakan inflation targeting cukup memberikan hasil yang memuaskan. Adapun fluktuasi tajam yang terjadi pada dua periode di dalam penelitian merupakan dampak dari adanya guncangan dari sisi eksternal yang tidak dapat diantisipasi oleh otoritas moneter dan pemerintah. Perkembangan Suku Bunga BI Rate Dalam pelaksanaan stratregi kebijakan penargetan inflasi, kebijakan moneter dilaksanakan melalui pendekatan berdasarkan harga besaran moneter dengan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasionalnya. Menurut Arintoko (2008), sesuai dengan amanat Undang-undang No. 23 Tahun 1999 maka Bank Indonesia mewacanakan penggunaan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter guna meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Dalam perkembangannya, suku bunga SBI diubah menjadi suku bunga BI rate yang merupakan suku bunga acuan bagi penetapan suku bunga tabungan dan suku bunga kredit. Mulai Juli 2005, suku bunga BI rate diresmikan sebagai sinyal respon dan sasaran operasional kebijakan moneter. Grafik 4.2: Suku Bunga BI Rate Tahun 2002-2011

Sumber : Bank Indonesia (diolah)

Perkembangan pergerakan suku bunga BI rate digambarkan pada Grafik 4.2 di atas. Jika dilihat dari pergerakannya, suku bunga BI rate memiliki arah pergerakan trend yang hampir sama dengan pergerakan inflasi. Di mana pada saat suku bunga memiliki fluktuasi yang tinggi, fluktuasi inflasi juga meningkat. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa perkembangan tingkat suku bunga memiliki hubungan yang positif dan searah terhadap tingkat inflasi. Rendahnya sensitivitas suku bunga terhadap inflasi disebabkan adanya perilaku inflasi yang cenderung persisten. Perkembangan Jumlah Uang Beredar (M2) Variabel M2 merupakan variabel yang menggambarkan likuiditas perekonomian. Perkembangan jumlah uang beredar di Indonesia diukur dengan uang dalam arti luas (M2). Jumlah uang beredar memiliki karakteristik selalu berfluktuasi mengikuti pergerakan pasar. Dalam jangka panjang pertumbuhan M2 memiliki sifat inflasioner dan tidak stabil. Dalam Grafik 4.3 dapat dilihat bahwa pergerakan M2 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, sedikit berbeda dengan pergerakan inflasi yang memiliki fluktuasi dalam range yang lebih sempit. Perkembangan jumlah uang beredar selama periode penelitian dapat dilihat pada Grafik 4.3. berikut:

 

Grafik 4.3: Jumlah Uang Beredar (M2) Tahun 2002-2011

Sumber : Bank Indonesia (diolah)

Grafik 4.3 menjelaskan bahwa jumlah uang beredar yang tercermin pada M2 mengalami perubahan dengan pola dinamis selama periode penelitian. Pertumbuhan M2 memiliki kecenderungan trend yang meningkat relatif tinggi sejak periode 2002-2011. Dalam perkembangannya, dapat ditunjukkan bahwa peningkatan pesat untuk pertumbuhan M2 terjadi pada tahun-tahun ketika terjadi gejolak ekonomi, seperti pada tahun 2005 dan 2008. Tingkat pertumbuhan M2 memiliki volatilitas yang cukup tinggi. Namun demikian, total pertumbuhan M2 selama periode penelitian adalah sebesar 230,51% di mana pada awal periode 2002 jumlah uang yang diedarkan adalah Rp 853.531 miliar dan meningkat menjadi Rp2.761.515 miliar. Menurut laporan Bank Indonesia, meningkatnya pertumbuhan M2 pada akhir periode didukung oleh tingginya pertumbuhan aktiva luar negeri bersih atau net foreign assets (NFA) yang sebagian besar berupa uang kuasi pada sektor perbankan. Selain itu, peningkatan NFA pada tahun 2011 juga perupakan dampak dari adanya pertumbuhan kredit yang akseleratif dan turut memberikan kontribusi pada pertumbuhan M2. Faktor domestik dalam bentuk kredit pada sektor riil mendominasi kinerja likuiditas perekonomian. Selain faktor internal, peningkatan M2 juga dipengaruhi oleh adanya faktor eksternal yang tercermin pada perkembangan NFA yang meningkat. Peningkatan tersebut terjadi pada NFA Bank Indonesia sejalan dengan meningkatnya cadangan devisa yang bersumber dari penerimaan hasil migas akibat tingginya harga minyak dunia, khususnya pada beberapa waktu terakhir. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Secara historis, perubahan kebijakan moneter dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar. Abdullah (2003) menyatakan bahwa, “tantangan utama yang dihadapi oleh kebijakan moneter Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kestabilan nilai rupiah dalam perekonomian terbuka, di mana pass-through effect nilai tukar signifikan mempengaruhi inflasi. Pass-through nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia diperkirakan sebesar 0,2 yang artinya setiap nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan harga sebesar 0,2%”. Pergerakan nilai tukar rupiah pada awal periode analisis yaitu tahun 2002 hingga tahun 2008 kuartal III cenderung stabil dengan range perubahan antara Rp 9.000,00 – Rp 10.000,00 setiap dolarnya. Apabila dibandingkan dengan pergerakan inflasi pada periode yang sama, pada periode 2005-2006 terjadi fluktuasi yang tajam pada laju inflasi. Selama periode tersebut, nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga mencapai Rp 9.999,60 per dolar pada tahun 2005 kuartal IV. Meskipun arah pergerakan yang sama terjadi pada kenaikan nilai tukar dan meningkatnya laju inflasi, namun shock yang mendominasi peningkatan laju inflasi sebagian besar adalah disebabkan oleh meningkatnya harga-harga domestik akibat kenaikan harga minyak dunia. Dalam Grafik 4.4 berikut dapat diamati bahwa selama periode penelitian nilai tukar rupiah mengalami pergerakan yang cukup berfluktuatif. Terlihat pada grafik bahwa depresiasi-depresiasi yang terjadi pada nilai tukar rupiah terjadi dalam periode yang lebih lama dibandingkan fluktuasi yang terjadi pada inflasi, di mana trendnya langsung mengalami penurunan pada periode berikutnya.

 

Grafik 4.4: Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS Tahun 2002-2011

Sumber : Bank Dunia (diolah)

Depresiasi nilai tukar rupiah tertinggi selama periode penelitian terjadi pada tahun 2009 kuartal I yang mencapai level Rp 11.630,77 untuk setiap dolarnya. Sedangkan apresiasi nilai tukar rupiah tertinggi mencapai Rp 8.441,27 per dolar pada 2003:Q3 dan depresiasi nilai tukar rupiah terendah mencapai Rp 11.630,77 per dolar pada 2009:Q1. Rupiah terdepresiasi selama tahun 2009 akibat adanya krisis keuangan global dan kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2008 yang berimbas pada kenaikan harga domestik dan berdampak pada menurunnya harga rupiah terhadap dolar AS. Perkembangan Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Besarnya pendapatan nasional yang ditopang oleh sektor konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga, menyebabkan komponen yang membentuk agregat demand ini perlu diamati pola pergerakannya, mengingat permintaan agregat merupakan salah satu faktor pemicu inflasi. Perkembangan konsumsi rumah tangga di Indonesia dapat diamati pada Grafik 4.5 berikut: Grafik 4.5: Konsumsi Rumah Tangga Tahun 2002-2011

Sumber : Bank Indonesia (diolah)

Dapat diamati bahwa trend pertumbuhan konsumsi selalu meningkat dan rata-rata pertumbuhan konsumsi berada pada level 4,5% selama periode penelitian. Pergerakan konsumsi terlihat searah dengan pergerakan inflasi memasuki periode 2006:Q4, di mana pada periode tersebut konsumsi terus meningkat hingga akhir 2011. Bahkan pada saat terjadi shock inflasi pada tahun 2008, pergerakan konsumsi tidak begitu terpengaruh dan tetap pada level yang cukup stabil. Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat telah mengalami perbaikan pasca penerapan ITF. Masyarakat cenderung memiliki ekspektasi forward looking atas keputusan konsumsinya. Hal ini berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena meningkatnya sektor konsumsi. Namun jika kenaikan ini tidak diimbangi dengan terjaganya pasokan output konsumsi, maka akan menciptakan excess demand yang dapat memicu inflasi.

 

Hasil Estimasi dan Uji Statistik Penelitian ini menggunakan empat variabel independen, yaitu BI rate (bir), jumlah uang beredar (m2), nilai tukar rupiah (er) dan konsumsi rumah tangga (crt). Sedangkan variable dependennya adalah tingkat inflasi (inf). Data yang digunakan adalah datakuartal dalam bentuk time series 2002-2011 dan menggunakan metode VECM dengan software EViews. Analisis Hasil Pengujian VECM Dengan mengacu pada model penelitian, dalam melaksanakan pengujian dengan model VECM terdapat tahapan pengujain awal yang harus dilakukan. Pengujian yang harus dilakukan adalah uji stasioneritas data, penentuan panjang lag dan uji derajat kointegrasi. Berikut penguraian dari tahapan pengujian tersebut: 1) Uji Stasioneritas Data Data time series memiliki permasalahan yaitu autokorelasi yang menyebabkan data menjadi tidak stasioner. Hasil uji stasioneritas setiap variabel penelitian ditunjukkan Tabel 4.1 berikut: Tabel 4.1: Hasil Uji Stasioneritas Data First Difference Second Difference Level Variabel t-stat Prob t-stat Prob t-stat Prob -8.832361 * 0.0000 inf -4.868965 * 0.0020 -4.715000 * 0.0029 bir -3.372200 *** 0.0708 -11.03470 * 0.0000 m2 -7.056499 * 0.0000 er -4.960049 * 0.0015 -8.772793 * 0.0000 crt Nb : (*) = stasioner pada level 1% (***) = stasioner pada level 10% Sumber : Data penelitian (diolah)

Berdasarkan Tabel 4.1, seluruh variabel tidak stasioner pada derajat level, namun telah stasioner pada second difference dengan level 1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel penelitian telah stasioner dengan melakukan diferensiasi kedua. Karena seluruh variabel stasioner pada derajat difference, maka tahap selanjutnya perlu dilakukan pendeteksian mengenai keberadaan kointegrasi pada seluruh variabel. 2) Penentuan Lag Optimal Penetapan lag optimal penting dilakukan karena dalam metode VAR, lag optimal dari variabel endogen merupakan variabel independen yang digunakan dalam model. Sebelum lag optimal ditentukan perlu dilakukan uji stabilitas guna melihat kestabilan data (Lampiran 1), dengan nilai modulus yang tidak lebih dari satu, maka langkah selanjutnya adalah menentukan lag optimal menggunakan FPE, AIC, SC, dan HQ. Lag optimal yang direkomendasikan ditunjukkan oleh tanda bintang (*) paling banyak pada Tabel 4.2: Tabel 4.2: Hasil Pengujian Panjang Lag Lag

LogL

LR

FPE

AIC

SC

HQ

0 1 2 3

198.5793 417.2399 456.4943 478.8899

NA 366.4042 55.16841* 25.42202

1.96e-11 5.67e-16 2.84e-16* 4.03e-16

-10.46375 -20.93188 -21.70239* -21.56162

-10.24605 -19.62573* -19.30779 -18.07855

-10.38700 -20.47140 -20.85818* -20.33367

* indicates lag order selected by the criterion LR : sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC : Schwarz information criterion HQ : Hannan-Quinn information criterion Sumber : Data penelitian (diolah)

 

Dari hasil pengujian, lag order yang ditunjukkan pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa tanda bintang paling banyak terdapat pada lag 2. Hal ini mengimplikasikan bahwa respon yang ditunjukkan oleh variabel inflasi dalam menanggapi perubahan variabel yang menjadi determinannya akan terlihat (paling lama) setelah 2 kuartal pasca shock terjadi. 3) Uji Kointegrasi Sebagaimana dinyatakan oleh Engle-Granger, keberadaan variabel non-stasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang diantara variabel dalam sistem (Ajija, dkk, 2011). Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel, khususnya dalam jangka panjang. Jika terdapat kointegrasi pada variabel-variabel yang digunakan di dalam model, maka dapat dipastikan adanya hubungan jangka panjang diantara variabel. Tabel 4.3 menunjukkan hasil pengujian kointegrasi: Tabel 4.3: Hasil Uji Kointegrasi Johansen Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized Trace 0.05 No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value None * 0.782164 110.2130 79.34145 At most 1 0.465155 53.82451 55.24578 At most 2 0.384902 30.67074 35.01090 At most 3 0.262283 12.68971 18.39771 At most 4 0.038028 1.434495 3.841466 Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Prob.** 0.0000 0.0664 0.1353 0.2608 0.2310

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized Max-Eigen 0.05 No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.782164 56.38845 37.16359 At most 1 0.465155 23.15377 30.81507 At most 2 0.384902 17.98103 24.25202 At most 3 0.262283 11.25521 17.14769 At most 4 0.038028 1.434495 3.841466 Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

0.0001 0.3203 0.2709 0.2921 0.2310

Sumber : Data penelitian (diolah)

Hasil uji kointegrasi menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi diantara kelima variabel (signifikan pada level 5%). Hasil tersebut ditunjukkan dari nilai Trace statistik dan nilai MaxEigen statistik yang lebih besar dibandingkan dengan nilai kritisnya. Keberadaan kointegrasi diantara variabel menunjukkan bahwa variabel-variabel dalam model memiliki hubungan keseimbangan dan kesamaan pergerakan dalam jangka panjang. Adanya keseimbangan dalam jangka panjang memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan dalam jangka pendek, sehingga metode estimasi yang digunakan adalah model Vector Error Correction Model (VECM). 4) Estimasi VECM Setelah berbagai prosedur pengujian awal telah dilakukan, maka dapat ditentukan bahwa model VECM digunakan untuk menganalisis penelitian ini. Karena data telah stasioner dan terkointegrasi, maka dapat dipastikan bahwa terdapat hubungan jangka panjang dan pendek antarvariabel. Penggunaan estimasi VECM sesuai dengan rumusan masalah yang dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan jangka panjang dan jangka pendek. Tabel 4.4 menunjukkan hasil estimasi VECM dengan menggunakan lag 2. Dari hasil yang didapatkan, apabila nilai t-hitung > nilai t-tabel, maka hubungan variabel tersebut signifikan (pada level 5%, t-hitung = 1,68385).

 

Tabel 4.4: Hasil Estimasi VECM Variabel inf bir Jangka Panjang 1000000 -10.73193 [-4.37363] Jangka Pendek 26.78152 (-1) [ 2.56828] 23.05004 (-2) [ 1.84594] [ ] menunjukkan t-hitung

m2

er

crt

-2.290480 [-2.00733]

4.913428 [ 6.05510]

-4.064128 [-3.64112]

-

2.241919 [ 1.84693] -

-

-

-

Sumber : Data penelitian (diolah)

Dari hasil estimasi dapat diidentifikasi bahwa dalam jangka panjang, semua variabel berpengaruh positif (+) dan signifikan terhadap pembentukan inflasi di Indonesia, kecuali nilai tukar yang memiliki pengaruh negatif (-). Sedangkan dalam jangka pendek, tingkat suku bunga dan nilai tukar memiliki pengaruh positif (+) dan signifikan terhadap inflasi Indonesia. 5) Impulse Response Function (IRF) IRF berfungsi untuk menggambarkan shock variabel satu terhadap variabel lain pada rentang periode tertentu, sehingga dapat dilihat lamanya waktu yang dibutuhkan variabel dependen dalam merespon shock variabel independennya. IRF dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan respon inflasi terhadap shock determinannya. Hasil IRF ditunjukkan pada Grafik 4.6 berikut: Grafik 4.6: Impulse Response Inflasi terhadap Variabel Penelitian Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of DLINF to DBIR

(1)

Response of DLINF to DLM2

.2

.2

.1

.1

.0

.0

-.1

-.1

-.2

(2)

-.2 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1

2

Response of DLINF to DLER

(3)

3

4

5

6

7

8

9

10

Response of DLINF to DLCRT

.2

.2

.1

.1

.0

.0

-.1

-.1

-.2

(4)

-.2 1

2

3

4

5

6

7

8

9

Sumber : Data penelitian (diolah)

10

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1

Grafik (1) menunjukkan respon inflasi terhadap shock variabel tingkat suku bunga. Inflasi mulai merespon shock tersebut dengan trend yang positif (+) hingga memasuki periode ke-3. Respon mulai bergerak turun pada periode ke-4 dan mulai stabil memasuki periode ke-7 hingga periode ke-10 pada kisaran angka 0,06. Respon inflasi bersifat persisten sepanjang periode. Grafik (2) menunjukkan merespon inflasi terhadap shock variabel jumlah uang beredar (M2). Adanya shock pada JUB direspon secara negatif (-) oleh inflasi di sepanjang periode. Fluktuasi perubahan mulai terjadi pada periode ke-2 dan respon meningkat mejadi memasuki periode ke-6. Respon negatif (-) inflasi terhadap shock jumlah uang beredar (M2) bersifat persisten.

                                                             1

 

Hasil IRF dalam bentuk tabel dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 3

Grafik (3) menunjukkan respon inflasi yang bersifat negatif (-) terhadap shock nilai tukar hingga periode ke-4. Respon mulai meningkat pada periode ke-5 dan kembali turun memasuki periode ke-8. Respon inflasi bersifat persisten dengan pergerakan yang terus berada di bawah titik keseimbangannya selama periode penelitian. Grafik (4) menunjukkan respon positif (+) inflasi dalam menanggapi shock konsumsi rumah tangga selama 3 periode pertama. Memasuki periode ke-4, trend inflasi mulai bergerak turun dan bersifat negatif di sepanjang periode. 6) Variance Decomposition Variance decomposition bertujuan untuk mengukur besarnya kontribusi atau komposisi pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya. Berdasarkan hasil variance decomposition berikut, pembahasan hanya difokuskan pada variabel yang mempengaruhi pergerakan tingkat inflasi di Indonesia. Grafik 4.7: Variance Decomposition Inflasi terhadap Variabel Penelitian Variance Decomposition Percent DLINF variance due to DLINF

Percent DLINF variance due to DBIR

100

100

80

80

60

60

40

40

20

20

0

0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

1

10

Percent DLINF variance due to DLM2

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Percent DLINF variance due to DLER

100

100

80

80

60

60

40

40

20

20

0

0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Percent DLINF variance due to DLCRT 100

80

60

40

20

0 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Sumber : Data penelitian (diolah)2

Berdasarkan hasil variance decomposition yang ditunjukkan oleh Grafik 4.7 dapat diidentifikasi seberapa besar pengaruh variabel penelitian terhadap tingkat inflasi. Pada periode pertama, variabel inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel inflasi itu sendiri sebesar 100%. Kontribusi variabel lain mulai berpengaruh terhadap pergerakan inflasi memasuki periode

                                                             2

 

Hasil variance decomposition dalam bentuk tabel dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 4

ke-2 dengan persentase untuk variabel tingkat suku bunga sebesar 7,4%, konsumsi rumah tangga sebesar 1,8% dan nilai tukar sebesar 1,8%. Jumlah uang beredar memiliki persentase pengaruh paling kecil terhadap tingkat inflasi pada awal periode dan mulai menunjukkan pengaruhnya memasuki periode ke-3 sebesar 1,8%. Dalam kurun waktu 10 periode selanjutnya, kontribusi masing-masing variabel mengalami fluktuasi pengaruh terhadap laju inflasi. Pengaruh inflasi terhadap laju inflasi itu sendiri semakin menurun hingga periode ke-10 menjadi 72,2%. Variabel tingkat suku bunga cukup berperan dengan rata-rata persentase sebesar 11% hingga mencapai 10,7% pada periode ke-10. Pengaruh jumlah uang beredar cenderung tetap memasuki periode ke-6 dan pada kuartal ke-10 mencapai 4,4%. Pengaruh variabel nilai tukar mengalami peningkatan signifikan hingga mencapai 11,5% pada akhir periode. Konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh yang cenderung tetap selama 10 periode dan pada periode terakhir, konsumsi mempengaruhi inflasi sebesar 1,2%. Implikasi Hasil Penelitian Selama satu dekade terakhir, kebijakan makro yang ditujukan pada pencapaian stabilitas inflasi belum menunjukkan hasil yang optimal. Namun setelah Indonesia menerapkan kebijakan penargetan inflasi, dapat dilihat bahwa trend inflasi di Indonesia mengalami penurunan. Namun selama pelaksanaan kebijakan, fluktuasi inflasi dapat dikatakan masih tergolong cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh sulitnya mengidentifikasi sumber gejolak yang dapat memicu kenaikan harga, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Analisis Jangka Pendek Adanya perubahan yang bersifat kejutan (shock) pada variabel ekonomi yang memiliki pengaruh terhadap pembentukan harga dapat membuat fluktuasi yang menyebabkan kenaikan tingkat harga. Dalam penelitian ini, guncangan yang dapat mendorong kenaikan inflasi dalam jangka pendek ditentukan oleh kemampuan inflasi dalam merespon guncangan yang terjadi dan kecepatannya untuk kembali menuju keseimbangan dari deviasinya. Karena inflasi memiliki koefisien error sebesar -0,7 maka angka tersebut menunjukkan bahwa inflasi memerlukan time lag yang tidak terlalu lama untuk kembali menuju keseimbangannya pada saat terjadi shock. Menurut hasil estimasi, variabel yang secara signifikan berperan dalam mempengaruhi infllasi jangka pendek adalah suku bunga BI rate yang memiliki pengaruh positif dengan lag 1 dan 2, serta variabel nilai tukar yang memiliki pengaruh positif dengan lag 1. Dengan kata lain, apabila terjadi shock pada variabel BI rate dan nilai tukar maka akan berpengaruh secara langsung terhadap pembentukan tingkat harga dalam jangka pendek. Sesuai dengan persamaan Fisher, otoritas moneter akan menaikkan BI rate (suku bunga nominal jangka pendek) pada saat tingkat inflasi tinggi, dengan tujuan untuk memperlambat pertumbuhan uang beredar. Pengaturan suku bunga lebih banyak direspon oleh para investor dan pelaku usaha. Sebagian pelaku usaha yang bertindak sebagai price setter akan memilih untuk meningkatkan harga jual produknya dan sebagian lagi memilih untuk mengurangi hasil produksinya. Hal tersebut dikarena kenaikan BI rate pada saatnya akan direspon oleh kenaikan suku bunga perbankan di atas BI rate. Karena suku bunga perbankan meningkat, maka biaya produksi juga dapat meningkat. Menurut pandangan Keynes, sebagian besar pelaku usaha tidak mampu meningkatkan kapasitas outputnya dalam waktu yang relatif singkat dan kenaikan biaya produksi dapat meningkatkan harga jual produk. Apabila sebagian pedagang memiliki perilaku yang sama, maka kenaikan suku bunga tersebut dapat memicu kenaikan inflasi. Hasil estimasi penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Hayati (2006) dan Endri (2008) yang menemukan bahwa tingkat suku bunga mempengaruhi laju inflasi dalam jangka pendek. Dengan demikian, hipotesis dalam penelitian ini telah terbukti bahwa tingkat suku bunga memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek. Sejak Indonesia menerapkan flexible exchange rate system, pergerakan nilai tukar rupiah menjadi tidak tentu arah. Ketidakpastian tersebut dapat mempengaruhi stabilitas tingkat harga dan dapat memicu inflasi. Ketakutan tersebut terbukti karena pada saat nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah, maka shock tersebut dapat berimbas pada kenaikan harga domestik melalui harga barang impor. Devaluasi nilai rupiah mengakibatkan harga barang impor menjadi lebih mahal dan berimbas pada kenaikan harga-harga domestik. Sesuai dengan teori yang telah diungkap, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar memiliki hubungan positif terhadap laju inflasi. Dengan demikian hipotesis penelitian

 

ini telah terbukti, dengan adanya depresiasi nilai tukar rupiah yang dapat mempengaruhi pergerakan inflasi di Indonesia dalam jangka pendek. Bukti empiris ini mendukung hasil penelitian Ratnasiri (2006), Ziramba (2008), Endri (2008), Yiping, et al (2010), Almounsor (2010), Sultan (2011) dan Anugrah (2012) yang mengidentifikasi bahwa nilai tukar memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap tingkat inflasi jangka pendek di beberapa negara. Analisis Jangka Panjang Hasil pengujian data melalui estimasi VECM menunjukkan bahwa dalam jangka panjang inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh keempat variabel determinannya. Kenaikan BI rate berpengaruh signifikan namun memiliki pola hubungan negatif terhadap inflasi jangka panjang. Sependapat dengan pandangan Fisher yang menyatakan bahwa suku bunga memiliki pergerakan yang searah dengan tingkat inflasi, maka kenaikan BI rate dapat memicu kenaikan inflasi dalam jangka panjang namun melalui pengaruh yang tidak langsung. Pada Grafik 4.2 dapat dilihat bahwa pergerakan BI rate selama periode 2002-2011 memiliki arah pergerakan yang hampir sama dengan laju inflasi di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa signifikansi hasil estimasi penelitian ini telah sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hayati (2006) dan Endri (2008) yang menjelaskan bahwa pengaturan BI rate dapat mempengaruhi laju inflasi jangka panjang di Indonesia. Secara teori, hubungan antara suku bunga dan inflasi dapat dipahami dari sudut pandang agen ekonomi. Pada saat otoritas moneter menerapkan kebijakan disinflasi dengan menaikkan BI rate, maka kenaikan tersebut akan direspon oleh pelaku usaha dan masyarakat yang bertindak sebagai konsumen. Kenaikan BI rate akan diikuti oleh kenaikan suku bunga perbankan yang lebih tinggi dari suku bunga nominalnya. Ketika suku bunga kredit investasi meningkat, maka hal tersebut akan meningkatkan biaya produksi. Karena dalam jangka panjang sebagian besar pedagang berupaya untuk ekspansi usaha dengan meningkatkan kapasitas outputnya, maka kenaikan biaya produksi dapat meningkatkan harga jual produk dan dalam waktu yang cukup lama dapat mendorong kenaikan inflasi. Dari sisi konsumen, upaya disinflasi bank sentral dengan meningkatkan BI rate dinilai masyarakat akan direspon oleh kenaikan suku bunga perbankan yang menyebabkan beberapa pedagang memilih untuk menaikkan harga jual produknya. Penilaian ini membentuk ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan tingkat harga yang akan terjadi pada periode selanjutnya. Dampaknya, kenaikan suku bunga tidak akan meminimalisir inflasi, melainkan dapat memicu kenaikan yang lebih tinggi apabila kebijakan tersebut tidak kredibel di mata masyarakat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian telah sesuai dengan hipotesis yang diajukan, yaitu shock suku bunga BI rate memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka panjang. Pertumbuhan jumlah uang beredar yang diduga dapat mempengaruhi pergerakan inflasi dibuktikan melalui hasil estimasi VECM. Dalam jangka panjang, pertumbuhan jumlah uang beredar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap laju Inflasi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa setiap terjadi penambahan volume uang beredar, secara tidak langsung akan berpotensi untuk mendorong kenaikan inflasi. Jika dilihat dari arah pergerakannya dalam Grafik 4.8, hubungan antara jumlah uang beredar (M2) dan laju inflasi di Indonesia memiliki arah fluktuasi pergerakan yang hampir sama.

 

Grafik 4.8: Pergerakan Jumlah Uang Beredar (M2) dan Tingkat Inflasi

Sumber : Bank Indonesia (diolah) Dapat diamati bahwa selama periode penelitian, terjadi 2 fluktuasi trend yang paling menonjol pada periode 2005-2006 dan 2008-2009. Kedua peak tersebut menjelaskan adanya kenaikan volume uang beredar dan kenaikan tingkat inflasi apabila dibandingkan dengan trend periode sebelumnya, selain karena kuatnya dampak shock dalam perekonomian domestik yang terjadi pada periode tersebut. Meskipun kedua trend tidak bersinggungan secara langsung, namun adanya kesamaan arah tersebut menjelaskan bahwa setiap terjadi peningkatan kapasitas uang beredar, maka tingkat inflasi juga mengalami peningkatan Dengan demikian, hasil penelitian ini telah sesuai dengan teori Moneteris yang menyatakan bahwa adanya penambahan jumlah uang yang beredar di masyarakat akan berpotensi mendorong inflasi pada tingkat yang lebih tinggi. Temuan empiris dalam penelitian ini mendukung hasil penelitian Ratnasiri (2006), Yiping, et al (2010), Almounsor (2010), Sultan (2011), Arintoko (2011) dan Anugrah (2012) yang mengidentifikasi bahwa jumlah uang beredar memiliki pengaruh signifikan terhadap laju inflasi dalam jangka panjang. Jadi, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini telah terjawab, yaitu jumlah uang beredar memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka panjang Hubungan positif antara shock nilai tukar terhadap laju inflasi dibuktikan oleh koefisien variabel ER yang bertanda positif. Berdasarkan hasil estimasi data, depresiasi nilai tukar akan berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi dalam jangka panjang. Hasil penelitian ini mendukung hasil temuan Endri (2008), Sultan (2011), Akinbobola (2012) dan Anugrah (2012) yang menyatakan bahwa shock eksternal yang disebabkan oleh terdepresiasinya nilai tukar dapat meningkatkan inflasi, melalui pengaruhnya terhadap harga domestik. Indonesia yang memiliki keterbukaan ekonomi wajib berwaspada terhadap guncangan sisi eksternal, mengingat nilai tukar rupiah yang tergolong rendah apabila dibandingkan dengan negara lain. Karena kontribusi impor memiliki peranan penting terhadap beberapa proses produksi dalam pasar domestik Indonesia (akibat keterbatasan negara dalam menyediakan bahan baku industri), maka depresiai nilai tukar rupiah akan meningkatkan biaya produksi yang berasal dari produk impor sehingga berdampak pada meningkatnya harga jual produk. Dalam jangka panjang, ketidakpastian arah nilai tukar berpengaruh terhadap proses pembentukan harga domestik. Apabila nilai rupiah semakin melemah, maka dapat dipastikan akan mendorong kenaikan tingkat inflasi dalam negeri. Hasil penelitian telah sesuai teori yang diungkap yang menyatakan keberadaan hubungan positif antara nilai tukar dengan inflasi. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa shock nilai tukar memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka panjang telah terjawab. Mengingat pola konsumsi rumah tangga Indonesia yang mengalami perbaikan selama beberapa waktu terakhir, menyebabkan adanya peningkatan konsumsi dapat memicu kenaikan inflasi. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan bahwa dalam jangka panjang konsumsi memiliki peran yang cukup signifikan dalam mempengaruhi inflasi Indonesia. Hubungan negatif yang ditunjukkan oleh koefisien variabel CRT menjelaskan bahwa setiap terjadi peningkatan pada konsumsi rumah tangga dapat memicu kenaikan inflasi secara tidak langsung. Bukti empiris penelitian ini memiliki persamaan hasil dengan penelitian yang dilakukan oleh Ziramba (2008) dan Almounsor (2010), yang mengidentifikasi adanya perubahan pola konsumsi masyarakat dalam jangka panjang memicu peningkatan permintaan agregat sehingga dapat mendorong kenaikan tingkat inflasi. Dalam jangka panjang, peningkatan petumbuhan ekonomi

 

suatu negara mencerminkan adanya peningkatkan pendapatan dan konsumsi masyarakat. Kenaikan permintaan ditindaklanjuti oleh pelaku usaha dengan meningkatkan output produksinya. Dengan adanya penambahan output, biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi menjadi lebih besar sehingga menyebabkan peningkatan pada harga jual produk. Apabila dalam waktu yang relatif lama sebagian besar pedagang melakukan hal yang sama, maka kenaikan harga-harga barang konsumsi secara umum dapat mendorong kenaikan inflasi. Dengan demikian, hasil penelitian ini telah sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Keynes yang menyatakan bahwa adanya kenaikan permintaan agregat dapat mendorong inflasi pada tingkat yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga telah menjawab hipotesis yang diajukan oleh peneliti, bahwa konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh terhadap tekanan inflasi di Indonesia dalam jangka panjang.

E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1) Dalam jangka pendek, shock suku bunga BI rate dan depresiasi nilai tukar rupiah berpengaruh positif dan signifikan terhadap tekanan inflasi Indonesia. 2) Seluruh variabel memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap pergerakan inflasi Indonesia dalam jangka panjang. Variabel tingkat suku bunga, jumlah uang beredar dan konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh negatif, yang berarti bahwa setiap terjadi perubahan pada masing-masing variabel tersebut akan berpengaruh secara tidak langsung terhadap tekanan inflasi dalam jangka panjang. Sedangkan variabel nilai tukar memiliki pengaruh positif terhadap tingkat inflasi. 3) Berdasarkan hasil analisis impulse response dapat disimpulkan bahwa inflasi secara cepat merespon perubahan masing-masing variabel pada periode kedua setelah shock terjadi. Hasil analisis variance decomposition menunjukkan bahwa selain berasal dari tekanan inflasi itu sendiri, setiap variabel memiliki kontribusi yang berbeda terhadap laju inflasi dengan urutan persentase pengaruh terbesar diberikan oleh perubahan pada tingkat suku bunga, nilai tukar, jumlah uang beredar dan konsumsi rumah tangga. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian, dapat disajikan beberapa saran terkait dengan pengidentifikasian sumber-sumber inflasi di Indonesia: 1) Meningkatkan konsisten pelaksanaan kebijakan disinflasi yang didukung dengan peningkatan komunikasi antara kebijakan moneter dengan kebijakan makro lain, supaya pembentukan ekspektasi inflasi dari agen ekonomi dan pencapaian inflasi jangka pendek dapat lebih terarah pada target jangka panjangnya. 2) Diperlukan suatu kebijakan disinflasi yang kredibel dengan memperhatikan dampak dari penetapan kebijakan suku bunga nominal jangka pendek, kebijakan pengendalian sisi permintaan agar meminimalisir kenaikan harga-harga barang konsumsi secara umum, serta kebijakan yang ditujukan untuk memperkuat posisi rupiah terhadap mata uang asing.

 

Daftar Pustaka Abdullah, Burhanuddin. 2003. Sasaran, Strategi dan Arah Kebijakan Moneter. Disampaikan pada Kuliah Umum 5 Universitas di Solo. Ajija, S.R, Sari, D.W, Setianti, R.H & Primanti, M.R. 2011. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Jakarta: Salemba Empat. Akinbobola, T.O. 2012. The Dynamic of Money Supply, Exchange Rate and Inflation in Nigeria. Journal of Applied Finance and Banking Vol. 2, No. 4, Page: 117-141. Almounsor, Abdullah. 2010. Inflation Dynamic in Yemen: An Empirical Analysis. IMF Working Paper 10/144. Anugrah, D.F. 2012. The Long and Short-term Determinants of Inflation in Indonesia’s Regions. Disajikan pada The 50th Anniversary and The 49th Annual Meeting, JSRAI (The Japan Section of the Regional Science Association International). Arintoko. 2011. Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Ascarya. 2010. Alur Trasnmisi dan Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia. PPSK Working Paper Series No: WP/10/03. Bank

Indonesia. 2012. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. http://www.bi.go.id/web/id/Statistik+Ekonomi+dan+Keuangan+Indonesia/Versi+HTML/ Sektor/Moneter/ diakses pada tanggal 20 September 2012.

Candra, Aditiawan. 2006. Menyimak Karakteristik Inflasi di Indonesia. Blog Lingkungan Ekonomi Bisnis Indonesia. http://businessenvironment.wordpress.com/category/ekonomimakro/ inflasi/ diakses pada 13 Januari 2013. Dwiantoro, Dedy. 2004. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia dengan Engel-Granger Error Correction Model. Jurnal Ekonomi dan Manajemen Vol. 5, No. 2. Endri. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 13, No. 1, Hal: 1-3. Gali, Jordi. 2002. New Perspectives on Monetary Policy, Inflation, and the Business Cycle. NBER Working Paper No.8767. Hayati, Banatul. 2006. Analisis Stabilitas Permintaan Uang dan Stabilitas Harga di Indonesia Tahun 1989-2002. Tesis tidak diterbitkan. Semarang: Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Undip. Hutabarat, Akhis R. 2005 Determinan Inflasi Indonesia. Occasional Paper No. 6 Bank Indonesia. Kuncoro, Mudrajad. 2007. Metodologi Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta : UPP STIM YKPN. Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori Makroekonomi Edisi ke-5, Terjemahan. Jakarta: Erlangga. Nanga, Muana. 2005. Makro Ekonomi Teori, Masalah, dan Kebijakan Edisi ke-2. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

Ratnasiri, H.P.G.S. 2006. The Main Determinants of Inflation in Sri Lanka – A VAR Based Analysis. Staff Studies, Central Bank of Sri Lanka Vol. 39, No. 1-2. Samuelson, Paul A dan Nordhaus, William D. 2004. Ilmu Makroekonomi Edisi ke-17, Terjemahan. Jakarta: Media Global Edukasi. Sultan, Zafar Ahmad. 2011. Inflation in Kingdom of Saudi Arabia: A Bound Test Analysis. European Journal of Social Science Vol. 24, No. 2. Thanh, Bui Thi Kim. 2008. Inflation in Vietnam. A research paper present in partial fulfillment of the requirements for obtaining the degree of Masters of Arts in Development Studies. The Netherland: Institute of Social Studies. Yiping, Huang, et al. 2010. What Determine China’s Inflation? China Center for Economic Research Working Paper Series No. E201001. Ziramba, Emmanuel. 2008. Bank Lending, Expenditure Components and Inflation in South Africa: Assessment from Bound Testing Approach. South African Journal of Economics, 11 (2): 217-228.