DIABETIK KETOACIDOSIS Dr. MHD.SYAHPUTRA Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Diabetic ketoacidosis adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat. lnsiden kondisi ini bisa terus meningkat, dan tingkat mortalitas 1-2 persen telah dibuktikan sejak tahun 1970an. Diabetic ketoacidosis paling sering terjadi pada pasien penderita diabetes tipe 1 (yang pada mulanya disebut insulin-dependent diabetes mellitus), akan tetapi keterjadiannya pada pasien penderita diabetes tipe 2 (yang pada mulanya disebut non-insulin dependent diabetes mellitus), terutama pasien kulit hitam yang gemuk adalah tidak sejarang yang diduga. Penanganan pasien penderita Diabetic ketoacidosis adalah dengan memperoleh riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik sebagai upaya untuk mengidentifikasi kemungkinan faktor faktor pemicu. Pengobatan utama terhadap kondisi ini adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan isotonic saline) dengan pergantian potassium serta terapi insulin dosis rendah. Penggunaan bikarbonate tidak direkomendasikan pada kebanyakan pasien. Cerebral edema, sebagai salah satu dari komplikasi Diabetic ketoacidosis yang paling langsung, lebih umum terjadi pada anak anak dan anak remaja dibandingkan pada orang dewasa. Follow-up paisen secara kontinu dengan menggunakan algoritma pengobatan dan flow sheets dapat membantu meminimumkan akibat sebaliknya. Tindakan tindakan preventif adalah pendidikan pasien serta instruksi kepada pasien untuk segera menghubungi dokter sejak dini selama terjadinya penyakit II. MEKANISME KERJA INSULIN Kerja insulin dimulai ketika hormon tersebut terikat dengan sebuah reseptor glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel sasaran. Kerja hormon insulin yang beragam (Gambar 1) dapat terjadi dalam waktu beberapa detik atau beberapa menit (kerja pengangkutan, fosforilasi protein, aktivasi dan inhibisi enzim, sintesis RNA) atau sesudah beberapa jam (kerja sintesis protein serta DNA dan pertumbuhan sel)
© 2003 Digitized by USU digital library
1
Gambar 1. Hubungan reseptor insulin dengan kerja insulin. Insulin terikat dengan reseptor membran dan interaksi ini menghasilkan satu atau lebih sinyal transmembran. Sinyal ini memodulasi sejumlah besar peristiwa intrasel
Penelitian terhadap reseptor insulin telah dilakukan secara rinci sekali dengan menggunakan teknik biokimia dan DNA rekombinan. Reseptor ini merupakan sebuah heterodimer yang terdiri atas dua sub unit yang diberi simbol α dan β, dalam konfigurasi α2β2, yang dihubungkan dengan ikatan disulfida (Gambar 2).
Gambar 2. Gambaran skematik struktur LDL, EGF dan reseptor insulin.
Kedua subunit mengalami proses glikosilasi yang ekstensi, dan pengeluaran asam sialat serta galaktosa menurunkan pengikatan insulin dan kerja insulin. Masing masing subunit glikoprtoin ini mempunyai struktur dan fungsi yang unik. Subunit α dan β (135 kDa) seluruhnya berada di luar sel (ekstraseluler) dan mengikat insulin yang mungkin lewat daerah (domain) yang kaya akan sistein. Subunit β (95 kDa) merupakan protein trans-membran yang melaksanakan fungsi sekunder yang utama pada sebuah reseptor, yakni transduksi sinyal. Bagian sitoplasma subunit β mempunyai akivitas trirosin kinase dan tempat autoforsforilasi. Keduanya ini diperkirakan terlibat dalam transduksi
© 2003 Digitized by USU digital library
2
sinyal dan kerja insulin (lihat dibawah). Kesamaan yang menakjubkan antara tiga buah reseptor dengan fungsi yang sangat berbeda dilukiskan pada Gambar 2. Beberapa regio subunit β sebenarnya memiliki homologi rangkaian dengan rseptor EGG. Reseptor insulin secara konstan disintesis serta diuraikan dan usia paruhnya adalah 7 -12 jam. Reseptor tersebut disintesis sebagai peptida rantai tunggal dalam retikulum endoplasma kasar dan dengan cepat mengalami glikolisasi dalam regio aparatus golgi. Prekursor rseptor insulin manusia mempunyai 1382 asam amino, dengan berat molekul 190.0000 dan terpecah hingga terbentuk subunit α dan β yang matur. Gen resepto inuslin manusia terletak pada kromosom 19. Resepto insulin ditemukan pada sebagian besar sel mamalia dengan konsentrasi sampai 20.000 per sel, dan sering pula terdapat pada sel yang secara khusus tidak diperkirakan sebagai sasaran insulin. Insulin mempunyai seprangkat efek yang diketahui benar terhadap berbagai proses metabolik kendati juga terlibat dalam pertumbuhan dan replikasi sel (lihat atas) disamping dalam organogenesis serta difensiasi janin dan dalam perbaikan serta regenerasi jaringan. Struktur reseptor insulin dan kemampuan insulin yang berbeda untuk terikat dengan reseptor serta mencetuskan berbagai respons biologik, pada hakekatnya identik dalam semua sel dan semua spesies. Jadi, insulin babi selalu lebih efektif 10-20 kali daripada proisulin habit yang selanjutnya lebih efektif 1020 kali lipat daripada insulin marmut bahkan di dalam tubuh marmut itu sendiri. Reseptor insulin tampaknya sangat dilestarikan yang bahkan melebihi insulinnya sendiri. Kalau insulin terikat dengan reseptor, beberapa peristiwa akan terjadi (1). Terjadi perubahan bentuk reseptort (2), reseptor akan berikatan silang dan membentuk mikroagregat, 3). Reseptor akan mengalami penyatuan (intenalisasi) dan 4). Dihasilkan satu atau lebih sinyal. Kepentingan perubahan bentuk tersebut tidak diketahui dan interanlisasi mungkin merupakan sarana untuk mengendalikan konsentrasi serta pergantian reseptor. Dalam kondisi dengan kdar insulin yang tinggi,misalnya obesitas atau akromegaIi, jumlah reseptor insulin berkurang dan jaringan sasaran menjadi kurang peka terhadap insulin. Regulasi ke bawah ini terjadi akibat hilangnya reseptor oleh proses internalisasi yang dengan proses ini, kompleks reseptor insulin akan masuk ke dalam sellewat endositosis dalam vesike bersalut klatrin. Regulasi ke bawah menjelaskan bagian dari resistansi insulin pada obesitas dan diabetes melitus tipe II. Peranan utama insulin dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein dapat dipahami paling jelas dengan memeriksa berbagai akibat defisiensi insulin pada manusia. Manifestasi utama penyakit diabetes melitus adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat (1) berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel ; 2). Berkurangnya penggunaan glukosa oleh pelbagai jaringan, dan 3) peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati (Gambar 3). Masingmasing peristiwa ini akan dibicarakan lebih rinci dibawah ini.
© 2003 Digitized by USU digital library
3
Gambar 3. Patofisilogi defisiensi insulin
Poluria, polidipsia dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalorinya memadai, merupakan gejala utama defisiensi insulin. Bagaimana hal ini dijelaskan? Kadar glukosa plasma jarang melampaui 120 mg / dL pada manusia normal, kendati kadar yang jauh lebih tinggi selalu dijumpai pada pasien defisiensi kerja insulin. Setelah kadar terentu glukosa plasma dicapai (pada manusia umumnya > 180 mg jdl), tarat maksimal reabosrbsi glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam urine (glikogusria). Volume urine meningkat akibat terjadinya diuersis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat yang bersarnaan (poliuria), kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi (hiperosmolaritas), bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (oliipsia). Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4.'1 kal bagi setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), kehilangan ini, kalau ditambah lagi dengan deplesi jaringan otot and adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat kendati terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan-kalori yang normal atau meningkat. Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan keadaan ini sebagian terjadi akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam otot (asam amino berfungsi sebagai substrat glukoneogenik). Jadi, orang yang kekurangan insulin berada dalam keseimbangan nitrogen yang negatif. Kerja antilipolisi insulin hilang seperti halnya efek lipogenk yang dimiliknya, dengan demikian, kadar asam lemak plasma akan meninggi. Kalau kemampuan hati untuk mengakosidasi asam lemak terlampaui, maka senyawa asam β hidroksibutirat dan asam asetoasetat akan bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat mengimbangi pengumpulan asam organik ini dengan meningkatan pengeluaran CO2 lewat sistem respirasi, namun bila keadaan ini tidak dikendalikan dengan pemberian insulin, maka akan terjadi asidosi metabolik dan pasien akan meninggal dalam keadaan koma diabetik. Patofisiologi defisiensi insulin dirangkum dalam Gambar 3. A. Efek pada Transportasi Membrane. Konsentrasi glukosa bebas intrasel sangat rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi ekstrasel. Kecepatan pengangkutan glukosa lewat membran plasma gel otot serta adiposa menentukan kecepatan fosfoliasi glukosa dan metabolisme selanjutnya kalau kadar glukosa serta insulinnya normal. Kalau kadar glukosa atau insulin meninggi, seperti yang terjadi sesudah makan, reaksi fosforilisasi akan berhenti sendiri. D glukosa dan bentuk gula lainnya dengan konfigurasi yang serupa pada posisi C1-C3 ( galaktosa, D-xilosa dan Laerabinosa) memasuki sel melalui poses difusi yang difasilitasi dan diantarai oleh
© 2003 Digitized by USU digital library
4
karier, yaitu suatu proses yang dalam banyak sel digalakkan oleh insulin (Gambar 4).
Gambar 4. Masuknya glukosa kedalarn sel-sel otot
Proses ini meliputi efek V maks (peningkatan jumlah pengangkut) dan bukan efek Km (peningkatan afinitas pengikatan). Data-data menunjukkan bahwa proses ini dalarn gel adiposa dilaksanakan dengan menarik pengangkutglukosa dari sebuah depot inaktif dalam fraksi Golgi dan kemudian menggerakkannya ke tempat inaktif dalam membrane plasma. Translokasi pengangkut atau transporter itu bergantung pada suhu serta energi dan tidak tergantung pada sinstesis protein ( Gambar 5).
Gambar 5 .Translokasi molekul pengangkut glukosa oleh insulin
Sel hati menunjukkan pengecualian yang nyata terhadap skema ini. Insulin tidak meningkatkan difusi glukosa yang difasilitasi ke dalam hepatosit, kendati secara tidak langsung menggalakkan aliran netto ke dalam dengan mengubah glukosa intrasel menjadi glukosa 6-fosfat lewat kerja glukokinase, yaitu suatu enzim yang diinduksi oleh insulin. (2)
© 2003 Digitized by USU digital library
5
Fosforiliasi yang cepat ini akan mempertahankan kadar glukosa bebas agar tetap rendah dalam hepatosit sehingga memudahkan pemasukannya lewat difusi biasa ke bawah gradien konsentrasi. Insulin juga meningkatkan jumlah asam amino yang masuk ke dalam sel, khususnya dalam otot dan menggiatkan gerakan ion K+, Na+ , nukleosida serta fosfat anorganik. Efek ini tidak tergantung pada kerja insulin terhadap pemasukan glukosa. B. Efek pada Penggunaan Glukosa. Insulin mempengaruhi penggunaan glukosa intrasel lewat sejumlah cara, seperti dilukiskan di bawah. Pada orang yang normal, sekitar separuh dari glukosa yang dimakannya akan diubah menjadi energi lewat lintasan glikolisis dan sekitar separuh lagi disimpan sebagai lemak atau glikogen. Glikolisi akan menurun dalam keadaan tanpa insulin, dan proses anabolik glikogenesi serta lipogensis akan terhalang. Sebenarnya, hanya 5% dari jumlah glukosa yang dikonsumsi, diubah menjadi lemak pada penderita diabetes yang kekurangan hormon insulin. Hormon insulin meningkatkan glikolisis hepaik dengan menaikkan aktivitas dan jumlah beberapa enzim yang penting termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan piruvat kinase. Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa dan dengan demikian secara tidak langsung menurunkan pelepasan glukosa ke dalam plasma. Insulin juga menurunkan aktivitas glukosa 6-fosfatase, yaitu suatu enzim yang ditemukan dalam hati tetapi tidak terdapat pada otot. Karena glukosa 6 fosfat tidak dapat keluar dari membran plasma, kerja insulin ini mengakibatkan retensi glukosa dalam sel hati. Dalam otot skeletal, insulin meningkatkan aliran masuk glukosa lewat pengangkut dan juga menaikkan kadar enzim heksokinase II yang melakukan fosforilasi pada glukosa serta memulai metabolisme glukosa. Insulin merangsang lipogenesis dalam jaringan adiposa dengan 1). Menyediakan asetil KoA dan NADPH yang diperlu kan bagi sintesis asam lemak , 2).Mempertahankan kadar normal enzim asetil Ko-A karboksilase, yang mengkatalisasi konversi asetil-KoA menjadi malonil-KOA, dan 3) menyediakan gliserol yang terlibat dalam sintesis triasilgliserol. Pada keadaan defisiensi insulin, semua ini akan menurun, dengan demikian, lipogenesis juga akan menurun. Sebab lain yang menimbulkan penurunan lipogensis pada defisensi insulin adalah pelepasan asam lemak dalam jumlah besar akibat pengaruh beberapa hormon yang tidak dilawan oleh insulin, pelepasn asam lemak ini akan menimbulkan hambatan umpan balik terhadap proses sintesisnya sendiri lewat penghambatan enzim asetil KoA karboksilase. Dengan demikian efek netto insulin terhadap lemak bersifat nabolik. Kerja akhir insulin terhadap penggunaan glukosa melibatkan proses anabolik lainnya. Dalam hati dan otot, insulin meransang konversi glukosa menjadi glukosa 6-fosfat (masing-masing dengan kerja enzi mg luokinase dan heksokinase II), yang kemudian mengalami isomerisasi menjadi glukosa I -fosafat dan disatukan kedalam glikogen oleh enzim glikogen sintase yang aktifitasnya dirangsang oleh insulin. Kerja ini bersifat ganda dan tidak langsung. Insulin menurunkan kadar cAMP dengan mengaktifkan fosfodiesterase. Karena fosforilasi yang tergantung pada cAMP meniadakan keaktifan enzim glikogen sintase, kadar nukleotida yang rendah ini memungkinkan enzim tersebut untuk tetap berada dalam bentuk aktif. Insulin juga mengaktifkan enzim fosfatase yang melaksanakan reaksi derfoforilsi glikogen sintease sehingga mengakibatkan aktivasi enzim ini. Akhirnya,insulin menghambat fosforilase dengan suatu mekanisme yang melibatkan cAMP dan fosfatase seperti diuraikan di atas, dan hal ini mengurangi pembebasan glukosa dari glikogen. Efek netto insulin terhadap metabolisme glikogen, juga bersifat anabolik.
© 2003 Digitized by USU digital library
6
C. Efek Terhadap Produksi Glukosa ( glukoneogenesis). Kerja insulin terhadap pengangkutan glukosa, glikolisi dan glikogenesi terjadi dalam waktu beberapa detik atau beberapa menit, karena semua peristiwa ini terutama melibatkan akitasi atau inaktivasi enzim lewat reaksi fosfoiliasi atau defosforilasi. Efek yang berlangsung lebih lama terhadap glukosa plasma meliputi inhibisi glukoneogenesis oleh insulin. Pembentukan glukosa dari prekursor nonkarbohidrat melibatkan serangkaian tahap enzimatik yang banyak diantranya dirangsang oleh preparat α serta β adrenergik, yaitu angiotensio II dan vasopresin. Insulin menghamba tahap yang sama ini. Enzim glukoneopgenik yang menjadi kunci di dalam hati adalah phosfoenolpiruvat karboksikinase (PEPCK, phosphoenol pyruvat carboxykinase) yang mengubah oksaloasetat menjadi phosfoenolpiruvat. Insulin menurunkan jumlah enzim ini dengan menghambat secara selektif transkirpsi gen yang mengkode mRAN bagi PPCK. D. Efek Terhadap Metabolisme glukosa. Kerja netto semua efek insulin di atas adalah menurunkan kadar glukosa darah. Dalam kerja ini, insulin berdiri sendiri dalam menghadapi sekelompok hormon yang berupaya untuk melawan pengaruh insulin tersebut. peristiwa ini jelas menggambarkan salah satu mekansim pertahanan paling penting yang dimiliki oleh organisme, mengingat hipoglikemia yang berkepanjangan merupakan ancaman yang bisa membawa kematian bagi otak dan harus dihindari. E. Efek Terhadap Metabolisme Lipid. Kerja lipogenik insulin telah dibicrakan dalam konteks mengenai penggunaan glukosa. Insulin juga merupakan inhibitor kuat proses lipolisi dalam hati serta jaingan adiposa dan dengan demikian memiliki efek anabolik tak langsung. Hal ini sebagian disebabkan oleh kemampuan insulin untuk menurunkan kadar cAMP (yang dalam jaringan ini ditingkatkan oleh homon lipolitik gluokagon dan epinefrin) tetapi juga oleh kenyataan bahwa insulin juga menghambat aktivitas enzim lipase yang peka terhadap kerja hormon Inhibisi ini agaknya disebabkan oleh akitasi fosfatase yang melakukan reaksi defosforilasi dan dengan demikian meniadakan keaktifan enzim lipase atau enzim protein kinase yang bergantung pada cAMP. Karena itu, insulin menurunkan kadar asam lemak bebas yang berbeda. Hal ini turut menghasilkan kerja insulin terhadap metabolisme karbohidrat, mengingat asam lemak menghambat glikolisis pada beberapa tahap dan menstimulasi glukoneogeneis. Jadi, pengaturan metabolik tidak dapat dibicarakan dalam konteks suatu hormon atau metabolit yang tunggal. Proses pengaturan merupakan proses yang kompleks dimana aliran suatu lintasan tertentu terjadi akibat interaksi sejumlah hormon dan metabolit. Diubah menjadi energi (glikolisis) Glokosa yang Dimakan
Diubah menjadi lemak Diubah menjadi glikogen
Pada pasien defisiensi insulin akan terjadi peningkatan aktifitas enzim lipase yang mengakibatkan penggalakan lipolisis dan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma serta hati. Kadar gluakon juga meningkat pada pasien ini dan hal ini menggiatkan pelepasan asam lemak bebas. Glukagon melawan sebagian besar kerja insulin, dan keadaan metabolisme pada diri seorang penderita diabetes merupakan pencerminan kadar relatif glukagon dan insulin. Sebagian asam lemak bebas dimetabolisasi menjadi asetil KoA (pembalikan lipogenesis). Dan kemudian menjadi CO2 dn H2o lewat siklus asam
© 2003 Digitized by USU digital library
7
sitrat. Pada pasien defisiensi insulin, kapasitas proses ini dengan cepat akan dilampaui dan asetil KoA akan diubah menjadi asetoasetil KoA serta kemudian
Gambar 6. Pada defisiensi insulin yang berat terdapat pecepatan liposisis. Peristiwa ini mengakibatkan kenaikan kadar triasil gliserol plasma ( hiperlipidemia). Sedikit asetil KOA dapat dimetabolisier lewat siklus asam sitrat sehingga sisanya harus diubah menjadi asam asam keto (ketonemia) dan sebagian diekskresikan (ketonuria). Karena glikolis dihambat, enzim Glukosa 6 fosfat yang terbentuk dari percepatan glikogenelosis akan diubah menjadi glukosa. Peristiwa ini bersama dengan perceptana glukoneogeneiss mengakibatkan hiperglikemia (akibat bertambahnya asam amino yang ada dan meningkatnya jumlah enzim PEPCK). Insulin pada dasarnya membalikkan semua proses ini.
Insulin tampaknya mempengaruhi pembentukan atau klirens VLDL serta LDL< menginRat kadar partikel ini dan sebagai konsekuensinya juga kadar kolesterol, sering mengalami kenaikan pada penderita diabetes yang tidak terkontrol. Percepatan proses ateroskleosis yang menjadi permasalahan serius pada banyak penderita diabetes, ditimbulkan oleh cacat metabolik ini. Kerja insulin dapat dipahami dengan melihat Gambar 6 yang melukiskan aliran lewat beberapa lintasan penting tanpa adanya hormon tersebut. F. Efek Terhadap Metabolisme Protein . Insulin umumnya mempunyai efek anabolik terhadap metabolisme protein, yaitu merangsang sintesis protein dan menghambat proses penguraian protein. Insulin mestimulasi pengambilan amino netral oleh otot, yaitu suatu efek yang tidak berkaitan dengan pengambilan glukosa atau dengan penyataun selanjutnya sistem manufacturing amino ke dalam protein. Efek protein terhadap sintesis protein yang umum di dalam otot kerangka serta jantung dan di dalam hati diperkirakan tetjadi pada tingkat translasi mRNA. Dalam tahun-tahun terakhir ini, dibuktikan bahwa insulin mempunyai pengaruh terhadap sintesis beberapa protein spesifik dengan menimbulkan
© 2003 Digitized by USU digital library
8
perubahan pada mRNA yang bersesuaian. Kerja isulin inilah yang akhirnya dapat menerangkan banyak efek yang dimiliki hormon tersebut terhadap aktifitas atau jumlah protein yang spesifik. G. Efek Terhadap Replikasi Sel Insulin merangsang proliferasi sejumlah sel dalam media perbenihan, dan mungkin pula terlibat dalam pengaturan pertumbuhan secara in vivo. Sel fibroblast yang dikultur merupakan sel yang paling sering digunakan dalam sejumlah penelitian terhadap pengendalian pertumbuhan. Pada sel tersebut, insulin akan menambah kemampuan yang dimiliki oleh faktor pertumbuhan broblast (FGF, fibrobalst growth factor), faktor pertumbuhan yang berasal dari platelet ( PDGF; platelet derived growth factor), faktor pertumbuhan epidermis (EGF, epidermal growth factor), ester phorbol yang meningkatkan pertumbuhan tumor, prostaglandin F2a (PGF 2AO), vasopresin serta analog cAMP untuk merangsang kelanjutan proses siklus sel bagi sel-sel yang tertahan dalam fase G1 siklus tersebut akibat depivasi serum. Bidang riset baru yang menarik meliputi penyelidikan terhadap akivitas tirosin kinase. Erseptor insulin, bersama dengan reseptor bagi banyak peptida petumbuhan lainnya yang mencakup reseptor PDGF dan EGF, memiliki aktivitas tirosin kinase. Yang menarik, banyak produk onkogen yang sebagian diantaranya dicurigai terlibat dalam stimulasi replikasi sel malignan, juga merupakan tirosin kinase. Sel mamalia mengandung analog produk onkogen ini (protoonkogen) yang mungkin terlibat dalam replikasi sel normal. Dukungan terhadap teori yang menyatakan keterlibaan sel tersebut berasal dari hasil observasi yang dilakukan akhir akhir ini bahwa ekspresi sedikitnya dua produk protoonkogen yaitu c-fos dan c-myc, akan meningkat dengan penambahan PDGF serum atau insulin pada sel yang terhambat pertumbuhannya. III. DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus adalah gangguan endokrine yang paling umum ditemukan dalam praktek klinis. Gangguan ini dapat idefenisikan sebagai suatu sindrome yang ditandai oleh hyperglycemia akibat kelemahan atau kekurangan absolut atau relatif dari insulin dan /atau resistansi insulin. Diabetes mellitus primer pad a umumnya disubklasitikasikan kedalam insulin dependent diabetes mellitus (diabetes mellitus yang bergantung kepada insulin atau IDDM) dan non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) atau diabetes mellitus yang tidak bergantung kepada insulin. Gugus gugus klinis ini berbeda dalam epidemiologinya sifat-sifat klinis dan patotisiologinya. Sifat-sifat yang paling kontras dari IDDM dan NIDDM diperlihatkan pada tabel1. Diabetes mellitus sekunder dapat terjadi dari penyakit pankreatik, penyakit endokine seperti sindorme Cushng, terapi obat, dan jarang disebabkan oleh abnormalitas reseptor insulin. Insulin Dependent diabetes mellitus (diabetes mellitus yang bergantung kepada insulin) IIDM turut berperan terhadap sekitar 15% dari semua jenis diabetik. Hal ini bisa terjadi pada semua golongan usia akan tetapi paling umum terjadi pada orang muda, dengan insiden puncak antara 9-14 tahun. Kelemahan mutlak dari insulin adalah lonsekuensi dari pengrusakan autoimmune dari sel-sel beta yang memproduksi insulin. Barangkali ada faktor pemicu lingkungan seperti infeksi viral. Keberadaan antibodi sel islet dalam serum akan berperan untuk memprediksi perkembangan diabetes masa selanjutnya
© 2003 Digitized by USU digital library
9
Tabel 1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) kontra Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) Sifat-Sifat Utama Epidemiologi Frekuensi di Eropah Utara Dominansi
Karakteristik klinis Usia Berat Serangan Ketosis Insulin endogenous Asosiasi HLA Antibodi sel islet Patofisiologi/etoogi Asosiasi genetik Faktor-faktor lingkungan
IDDM
NIDDM
0.02-0.4% Eropah utara Kaukasian
1-3% Seluruh dunia Terendah pada daerah pedesaan dari negaranegara sedang berkembang
<30 tahun Rendah Cepat Umum Rendah/tidak ada Ya Ya Penusukan autoimmune dari sel-sel islet ankeratik
<40 tahun Normal atau meningkat Lambat Dibawah stress Ada Tidak Tidak Tidak jelas, sekresi insulin terganggu dan resistansi insulin Kuat Kegemukan non aktifitas fisik
Poligenik Virus dan toksin terimplikasi
yang
Non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) ( Diabetes mellitus mg tidak bergantung kepada insulin NIDDM turut berperan terhadap 85% dari semua jenis diabetik dan bisa terjadi pada semua usia. Diabetik paling umum terjadi pada usia 40-80 tahun. Dalam kondisi ini, ada resistansi jaringan peripheral terhadap aksi insulin, sehingga kadar insulin dapat mencapai normal atau bahkan tinggi. Obesitas adalah sifat klinis ang paling berkaitan secara umum. IV. KOMPLIKASI TERLAMBAT DARI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus bukan hanya ditandai oleh keberadaan hyperglycemia melainkan juga oleh insiden komplikasi yang terlambat : - Microangipathy, didefenisikan sebagai abnormalitas pada dinding pembuluh darah kecil, yang sifat paling dominannya adalah penebalan membrane basement. - Retinopathy, dapat menimbulkan kebutaan karena pendarahaan dari pembuluh retina proliferasi, dan makulapthy sebagai akibat eksudasi dari pembuluh atau edema yang mempengaruhi makula (gambar 3). - Nephropathy akan menimbulkan kegagalan ginjal. Pada tahap dini akan terjadi hiperfungsi ginjal, sehubungan dengan kenaikan GFR, meningkatnya ukuran glomerular dan mikroalbuminuria. Pada tahap akhir, terjadi peningkatan proteinuria dan penurunan tajam fungsi ginjal ,yang menyebakan uremia. - Neuropathy dapat terbukti sebagai diarhea, hipotensi postural, impotensi, kantong kemih neurogenik dan borok kaki neuropatik akibat mikroangiopathy dari pembuluh darah saraf dan metabolisme glukosa dalam sel-sel darah. - Makroangiopathy (atau accelerated atherosclerosis) akan menimbulkan penyakit jantung koronari premature. Mekanisme nyata terhadap peningkatan kepekaan terhadap aterosklerosis pada diabetik, tidak diketahui, akan tetapi hiperlipidemia dan peningkatan glikasi protein dapat memainkan peranannya.
© 2003 Digitized by USU digital library
10
Bentuk yang paling umum dari hiperlipidemia yang diamati dalam diabetik adalah hipertrigliseridemia dengan peningkatan kolesterol VLDL plasma dan penurunan kolesterol HDL. Sekitar 60% dari pasien diabetik meninggal karena penyakit vaskular dan 3% meninggal karena penyakit jantung koronari. Kebutaan adalah 25 kali lebih tinggi dan gagal ginjal kronis adalah 17 kali lebih umum pada dibetik. Ada bukti yang semakin luas bahwa kontrol glikemik yang ketat akan menunda serangan penyakit ini. V. PATOGENESE DIABETIC KETOACISODIS Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan Diabetic Ketoacidosis (DKA) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin. Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada DKA (diabetic ketoacidosis) adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin (Gambar 7)
Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hyperglycaemia yang meningkatkan glycosuria. Meningkatnya lipolysis akan menyebabkan over-produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (dirubah) menjadi ketone, menimbulkan ketonnaemia, asidosis metablik dan ketonuria. Glycosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolite-seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan shock hypofolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajad ventilasi (peranfasan Kussmaul). Muntahmuntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolite. Sehingga, perkembangan DKA adalah merupakan rangkaian dari iklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal. VII. PENYELIDIKAN LABORATORIUM Pada mulanya, urine (apabila tersedia), harus diuji terhadap lukosa dan ketone dan darah diperiksa terhadap keberadaan glukosa dengan menggunakan strip uji. Darah vena harus dikirimkan ke laboratorium untuk pemeriksaan glukosa plasma dan sodium serum, potsium, klorida, bikarbonat, urea dan kreatinine. Sampel darah arteri juga harus dikirimkan untuk pengukuran kadar gas darah.
© 2003 Digitized by USU digital library
11
Adalah penting untuk menjelaskan konsekuensi metodologi laboratorium yang demikian penting secara klinis. Keberadaan gugus ketone dalam serum akan mempengaruhi pengukuran kreatinine, oleh karena itu, kreatinine serum dapat meningkat dengan tajam pada tahap akut. Nilai-nilai kreatinine yang baik hanya dapat diperoleh setelah ketonemia menurun. Aktifitas amylase dalam serum juga akan meningkat dalam diabetic ketoacidosis Pankreatitis harus dipandang sebagai faktor pemicu hanya apabila terjadi rasa sakit abdomen yang persisten. Glukosa darah harus dimonitor setiap jam di tempat tidur sampai kurang dari 15 mmol/l. setelah itu, pemeriksaan dapat diteruskan setiap 2 jam sekali. glukosa plasma harus dikonfirmasikan di laboratorium setiap 2- 4 jam. Frekuensi monitor gas darah akan bergantung kepada kehebatan DKA (diabetic ketoacidosis). Pada kasus-kasus yang hebat harus dilaksanakan setiap 2 jam sekali sedikitnya selama 4 jam pertama. Kadar potasium serum harus diperiksa setiap 2 jam selama 6 jam pertama, sedangkan urea dan elektrolite harus diukur dalam interval setiap 4 jam sekali (Gambar 8).
Gambar 8. Pengobatan efektif kasus diabetic ketoacidosis yang hebat Dua bentuk lainnya dari dekompensasi mertabolik yang hebat, dapat terjadi pada diabetik. Bentuk-bentuk ini adalah hypersosmolar non-ketotic coma (HONK) dan asidosis laktik. Tabel 2 memperlihatkan sifat sifat utama dari kondisi ini dibandingkan dengan OKA. Tabel 2. Sifat-sifat penting dari tiga bentuk dekompensasi (peruraian) metabolik pada diabetes. Sifat-sifat Diabetic Hyperosmolar Asidosis laktat ketoacidosis non ketoticcoma (DKA) (HONK) Glukosa plasma Tinggi Sangat tinggi Bervariasi Ketone Ada Tidak ada Bervariasi Asidosis Sedang/hebat Tidak ada Hebat Dehidrasi Dominan Dominan Bervariasi Hiperventilasi Ada Tidak ada Ada XI. PENGOBATAN DIABETIC KETOACIDOSIS Penanganan DKA (diabetic ketoacidosis) memerlukan pemberian tiga agent berikut: - Cairan: pasien penderita DKA biasanya mengalami deplesi cairan yang hebat dan adalah penting untuk mengekspansi nilai ECF nya dengan saline untuk memulihkan sirkulasinya. - Insulin. Insulin intravena paling umum dipergunakan. Insulin intramuskular adalah alterantif hila pompa infusi tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan, misalnya pada anak anak kecil.
© 2003 Digitized by USU digital library
12
- Potassium. Meskipun ada kadar potassium serum normal, namun semua pasien penderita DKA mengalami deplesi kalium tubuh yang mungkin terjadi secara hebat. Dalam kebanyakan kasus, terapi rehidrasi dan insulin akan mengatasi asidosis metabolik, dan tidak acta terapi lanjutan akan diindikasikan. Namun demikian, dalam kasus kasus yang paling parah, bila konsentrasi ion hidronRen lebih tinggi dari 100 nmol/l, maka kaium bikarbonat dapat diindikasikan. Penanganan diabetic ketoacidosis secara rinci diperlihatkan pada gambar 9, yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan dan elektrolite pasien semakin baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu dengan menggunakan pompa otomatis, dan suplement potasium ditambahkan kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien penderita DKA (diabetic ketoacidosis) adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat.
Gambar 9. Penanganan diabetic ketoacidosis Kepentingan skema cairan yang baik, seperti halnya dalam gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang serius, tidak boleh terlalu diandalkan. Input saline fisiologis awal yang tinggi yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan dan elektrolite pasien semakin baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu dengan menggunakan pompa otomatis, dan suplement potasium ditambahkan kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik
© 2003 Digitized by USU digital library
13
atas seorang pasien penderita DKA (diabetic ketoacidosis) adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat.
DAFTAR PUSTAKA Kitabchi AE, Management of Diabetic Ketoacidosis, Diabetic Care Update, American Family Physician, Vol. 60. Number 2, 1999. Murray, Robert K. Harpers biochemistry, Ed. 25, Appleton and Lange, 2000:603609. Allan Graw, et.al, Clinical Biochemistry, Churchill Livingstone, Toronto, 1999; 5663. Wall 8M, et.al., Hyperglycemic Crises in Patient With Diabetes Mellitus, Clinical Diabetes, Spring 2001.
© 2003 Digitized by USU digital library
14