Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia 2018 Vol. 3, No. 1, Hal 55-71
Dinamika Kognitif Pemilih Pemula Pada Pilpres 2014 Theofilus Indrayana Ngampong Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
[email protected] Abstrak Pemilu adalah perwujudan dari sistem bernegara yang menganut paham demokrasi. Indonesia adalah salah satu contohnya. Dengan mengikuti pemilu, setiap warga negara turut andil dalam memajukan cita-cita luhur bangsa yang adalah mewujudkan kesejahteraan. Namun, seiring berjalannya waktu, fenomena kecurangan dalam pemilu, karena ulah oknum-oknum tertentu, melahirkan polemik-polemik baru dalam tatanan politik masyarakat. Dengan dasar itu, kajian dinamika (dari sisi psikologis) seorang pemilih akan sangat menarik untuk dibahas. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji secara ilmiah dari sisi psikologisnya dinamika kognitif perilaku pemilih pemula yang terjadi pada pemilihan presiden tahun 2014. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, model fenomenologi. Informan yang dilibatkan dalam penelitian ini ada 3 orang yang ditentukan secara purposif, yakni dengan mensyaratkan kriteria-kriteria tertentu, yakni: memiliki hak pilih namun tidak mengaktualkan hak tersebut. Untuk kepentingan triangulasi data, peneliti juga melibatkan 3 orang significant others. Teknik yang digunakan untuk menggali data adalah wawancara. Data hasil wawancara yang sudah terkumpul kemudian ditranskripsi dan dianalisis secara tematik dengan model induktif (inductive thematic analaysis). Aspek validitas penelitian yang dilakukan dengan model komunikatif, argumentatif dan ekologis. Hasil penelitian menyatakan bahwa dinamika kognitif perilaku pemilih pemula merupakan proses interaksi antara aspek kognitif, afektif/emosi, dan harapan akan hadirnya pemimpin ideal. Interaksi ketiga aspek tersebut melahirkan pemilih rasional dan kritis. Dalam prosesnya, dinamika tersebut dipengaruhi oleh praktik politik uang, isu pemerataan pembangunan, dan arus informasi dan komunikasi. Kata Kunci: dinamika kognisi, pemilih pemula, pemilihan presiden, emosi, dan harapan. melalui 11 kali pemilihan umum. Menurut data dari KPU (www.kpu.go.id), pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1955 pada masa demokrasi parlementer pada kabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu pada tahun 1971 yaitu pemilu pertama pada awal orde baru dan tahun 1977 merupakan pemilu kedua pada pemerintahan orde baru menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan
PENDAHULUAN Pemilihan Umum adalah aktualisasi dari sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, di mana kekuasaan tertinggi berada pada rakyat. Rakyat yang menentukan pilihan pada kandidat yang diusung oleh setiap parpol pada pemilihan umum, sehingga slogan yang kemudian populer dalam konteks ini adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Melihat kilas balik sejarahnya, negara Indonesia telah 55
dikembangkan oleh Michigan University di bawah The Michigan Survey Research Centre ((Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff, 2009) (Campbell et al. (1960), Jaros & Grant (1974), Rose & McAllister (1990) Pendekatan ini tidak jarang disebut sebagai Michigan’s School yang menerangkan bahwa perilaku pemilih sangat tergantung pada sosialisasi politik lingkungan yang menyelimuti diri pemilih. Selain itu, terdapat kecenderungan (dalam Michigan’s school ini) bahwa seseorang yang telah mendapatkan sosialisasi politik lama kelamaan akan memiliki keyakinan yang kuat terhadap partai yang dipilihnya (Campbell et al. 1960). Untuk kasus Indonesia, dalam pemilihan umum Orde Baru, kesetiaan para anak Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tentara (ABRI) kepada Golongan Karya (Golkar) tampak sangat jelas dibandingkan dengan anak dari kelompok lainnya. Pengaruh pendidikan politik orang tua, sangat berpengaruh terhadap keinginan anak untuk memilih partai yang sama dengan orang tuanya. Artinya, apa yang dikaji oleh The Michigan School cenderung terbukti dan menemukan kebenarannya. Hal itu berbeda dengan sistem yang langsung. Pemilihan langsung menitikberatkan pada kepiawaian pemilih dalam menentukan pilihannya terhadap bakal calon yang diusung oleh parpol. Rakyat yang menilai sendiri kinerja, visi misi, serta kelayakan seorang kandidat. Namun tak dapat dipungkiri juga berbagai fenomena partisipasi politik belum begitu nampak terlihat dari berbagai pemilihan umum yang dilakukan selama ini.
organisasi dalam DPR dan DPRD berimbang dengan besarnya dukungan pemilih, karena pemilih memberikan suaranya pada organisasi peserta pemilu. Selanjutnya pemilu pada tahun 1982 dan 1987 merupakan pemilu ke tiga dan ke empat pada masa orde baru. Sistem pemilu yang digunakan masih sama dengan pemilu 1971 dan 1977 yaitu sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Pemilu pada tahun 1992 dan pemilu pada tahun 1997 merupakan pemilu kelima dan keenam pada pemerintahan orde baru juga dan masih menggunakan sistem yang sama. Pemilu pada tahun 1999 merupakan pemilu pertama pada masa reformasi. Sistem pemilu yang digunakan juga masih sama dengan pemilu 1997. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memungkinkan rakyat memilih langsung wakil mereka untuk duduk di DPR, DPRD, DPD dan memilih langsung Presiden dan wakil Presiden. Pemilu 2004 dilaksanakan dengan sistem yang berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu untuk memilih Anggota DPR dan DPRD (termasuk didalamnya DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon terbuka. Pemilu 2009 merupakan pemilu kedua pada masa pemerintahan demokrasi, dan sistem pemilu sama seperti pemilu sebelumnya. Selanjutnya pemilu tahun 2014 merupakan pemilu ketiga pada masa demokrasi yang telah di laksanakan pada tanggal 09 April 2014. Dari berbagai fenomena yang terjadi selama pemilu, peneliti tertarik untuk mengkaji perilaku memilih pemilih pemula. Salah satu model kajian perilaku memilih
56
Tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemilu terus menurun. Berdasarkan data dari KPU, angka partisipasi pemilih dalam pemilu calon Legislatif pada tahun 2004 berjumlah 84%. Sementara pada pemilu tahun 2009 jumlahnya menurun menjadi 72%. Disamping itu juga jumlah pengguna hak pilih di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 adalah 69,58% dari 193.944.150 nama yang terdata dalam daftar pemilih total. Persentase ini menurun dibandingkan Pilpres 2009 (72%) dan 4 Pemilu DPR, DPD, dan DPRD (Pileg) 2014 (75,11%). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah pemilih pemula pada tahun 2005 sekitar 95,7% juta jiwa (usia di bawah 40 tahun), jumlah ini setara dengan 61,5 % dari 189 juta penduduk pemilih. Oleh karena itu pemilih muda sangat berpengaruh tehadap pendongkrakkan suara pemilihan. Jumlah pemilih pemula yang ikut dalam pemilu 2009 berkisar 36 juta jiwa atau setara dengan 19-20% dari total pemilih secara keseluruhan, sedangkan pada 2014 sekitar 29-30%. Maka sangat disayangkan apabila partisipasi politik mereka cenderung tidak terkordinir dalam arti belum sepenuhnya paham akan pemilu itu sendiri, sehingga akan timbul berbagai masalah yang justru menodai pemilu itu sendiri seperti fenomena golput yang semakin tahun semakin signifikan. Ini adalah realitas yang terjadi dalam setiap Pemilu di Indonesia. Tingkat partisipasi rakyat untuk memilih cenderung menurun. Setiap lima tahun negara Indonesia melakukan Pemilihan Umum baik tingkat eksekutif maupun legislatif, untuk menggantikan pejabat pemerintahan yang sudah mengembankan tugas kenegaraan.
Daftar Pemilih Tetap akan direkonstruksi dengan daftar pemilih pemula yang telah memenuhi standar pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (22) uu no 10 tahun 2008. Pemilih adalah warga negara Indonesa yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah pernah menikah/pernah kawin. Kemudian, pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No 10 Tahun 5 2008 menjelaskan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih adalah warga negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara pemilu dalam daftar pemilih pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah pernah kawin. Para pemilih yang memenuhi persyaratan sebagaimana dijelaskan di atas, jika dikaji secara mandalam memiliki beberapa tipe, yaitu pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional, pemilih skeptik dan pemilih pragmatis (Firmanzah, 2012). Tipe-tipe tersebut dikaji berdasarkan kesamaan ideologi dan kesamaan akan tujuan akhir (policy problem solving). Kelompok pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan pemilih yang lama karena masih berstatus pelajar, mahasiswa serta pekerja muda. Pemilih Pemula yang memiliki usia pemilihan yang tergolong baru, akan lebih mudah diperdayakan pendidikan politiknya. Sehingga pemilih pemula akan belajar dari pemilihan sebelumnya. Dengan usia partisipasi politik mereka yang masih “baru”, pemahaman mereka akan pentingnya memilih dalam pemilu akan terbuka. Firmanzah (2012), mengatakan ada beberapa tipe pemilih berdasarkan kesamaan berdasarkan ideologi dan kesamaan akan tujuan akhir (policy problem solving). Pertama, pemilih
57
ini lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan konservatif dalam memegang nilai serta paham yang dianut. Pemilih tradisional adalah pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode kampanye (Rohrscheineider, 2002). Loyalitas tinggi merupakan salah satu ciri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini. Keempat, pemilih skeptik. Pemilih skeptik adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan juga sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka rendah. Pemilih skeptik kurang memperdulikan program kerja atau platform dan kebijakkan sebuah partai politik. Mereka ialah kelompok masyarakat yang skeptis terhadap pemilu. Di mata mereka, parpol atau kontestan yang menang pemilu tidak akan mengubah keadaan. Pemilih skeptis potensial menjadi golput politis dalam pemilu. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai partai politik atau seorang kontestan. Kelima, pemilih pragmatis. Pemilih pragmatis adalah kecenderungan dari pemilih rasional yang berubah menjadi skeptik. Ketidaksesuaian antara kemampuan partai dan figure seorang kandidat menjadikan mereka skeptik. Fenomena ini akan cenderung terlihat manakala kandidat atau kontestan dalam pemilu di luar idealis pemilih. Menurut Suhartono (2009), pemilih pemula khususnya remaja mempunyai nilai kebudayaan yang
rasional. Pemilih memiliki orientasi tinggi pada policy Problem Solving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau kontestan dalam program kerjanya. Pemilih jenis ini memiliki ciri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau kontestan. Faktor seperti paham, asal usul, nilai tradisional, budaya, agama dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Hal yang terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa atau telah dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, dari pada paham dan nilai partai atau kontestan. Kedua, pemilih kritis. Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka pada hal-hal bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai politik atau kontestan cukup tinggi dan tidak semudah rational voter untuk berpaling ke partai lain. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis, artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideology) dengan kebijakkan yang dibuat. Ketiga, pemilih tradisional. Pemilih jenis ini memiliki orientasi ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakkan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosio budaya, nilai asal-usul (primordial), paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Biasanya pemilih jenis
58
mentransformasikan informasi ke dalam form yang baru dan berbeda dengan tujuan memudahkan kita untuk menjawab pertanyaan, memecahkan masalah sehingga mencapai goal yang dimaksudkan. Reasoning adalah proses di mana kita menggunakan banyak strategi pembuatan keputusan dalam menjawab pertanyaan secara akurat. Problem solving adalah usaha untuk menemukan cara yang cocok atau sesuai untuk mencapai tujuaan ketika tujuan tersebut tidak siap digunakan. Menurut Feldman, ada beberapa cara yang digunakan yaitu: mengidentifikasi, representasi masalah, mencari pendekatan alternatif, bergerak sesuai rencana, serta melihat efek atau pengaruh (evaluasi solusi). Kreatif harus diperlukan dalam memecahkan masalah sehingga kita akan berpikir kritis dalam menganalisis masalah. Solusi akan masalah akan tercipta berkat kreatif terhadap inovasi atau ide-ide baru. Secara psikologis Newcomb (1970) dan Byrne (1971) mengatakan bahwa untuk menganalisis rasionalisme pemilih dalam menentukan pilihannya dapat menggunakan model kesamaan (similarity), dan ketertarikan (attraction). Dalam dunia politik juga demikian, karena juga dikenal dengan model kedekatan (proximity) atau model spasial (kedekatan karena faktor satu partai atau satu organisasi (Downs, 1957). Model ini menjelaskan bahwa pemilih yang memiliki kedekatan dan kesamaan sistem nilai dan keyakinan dengan suatu partai maka akan mengelompok pada partai tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, secara psikologis, perilaku sangat ditentukan oleh pola kognisi seseorang. Dalam konteks para
santai, bebas, dan cenderung pada halhal yang informal dan mencari kesenangan, oleh karena itu semua hal yang kurang menyenangkan akan dihindari. Disamping mencari kesenangan, kelompok sebaya adalah sesuatu paling penting dalam kehidupan seorang remaja, sehingga bagi seorang remaja perlu mempunyai kelompok teman sendiri dalam pergaulan. Menurut Quist dan Crano (2003) dalam Firmanzah (2004) penting untuk mempelajari faktorfaktor yang melatarbelakangi mengapa dan bagimana pemilih menyuarakan pendapatnya. Berdasarkan data di atas, pemilih pemula sangat berpengaruh terhadap perubahan politik di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemilih pemula sangat rentan dalam menentukan pilihanya. Dikatakan rentan karena pemilih pemula belum memiliki pegangan terhadap track record parpol ataupun kandidat yang diusung parpol. Sehingga pola pikir pemilih pemula dipengaruhi oleh faktor eksternal dalam membuat keputusan dalam mengikuti pemilu. Faktor eksternal yang berpengaruh tersebut sangat memungkinkan perubahan pilihan ataupun pola pikir pemilih pemula dalam memilih. Secara khusus dalam ranah psikologi dijelaskan tentang proses kognitif. Proses kognitif adalah proses tertinggi manusia dalam menyerap dan menganalisis apa yang terjadi pada dirinya dan juga yang terjadi di lingkungan sekitar. Dalam proses kognitif terdapat tiga fokus utama yang mempengaruhi kognitif seseorang (Feldman, 1993) yaitu: pemikiran dan reasoning, pemecahan masalah dan kreatif serta bahasa. Pemikiran adalah manipulasi mental sebagai representasi informasi. Pemikiran berfungsi untuk
59
pemilih pemula, pola-pola dan prosesproses kognisi itu menentukan apakah ia akan mengaktualkan hal memilihnya atau tidak. Fenomenafenomena tersebut, memunculkan keingintahuan peneliti untuk secara ilmiah mengkaji dinamika kognisi pemilih pemula. Pemilih pemula meskipun secara umum belum memahami arti berpolitik dengan baik dan pendidikan akan politik terbilang kurang, setidaknya jangan di pandang sebelah mata (KPU.go.id). Dalam psikologi, konsep kognisi menurut Bullock dan Stallybrass, (1977), dalam Marta, Beth, Elena dan Thomas, (2012) adalah konsep pokok dalam memahami bagaimana cara orang-orang memproses informasi dan memahami dunia di sekitar mereka. Proses kognitif berperan dalam pemrosesan informasi yang di dapat individu dari lingkungan sekitar. Informasi yang di proses secara mendalam akan menghasilkan pengambilan keputusan yang baik dalam melakukan suatu tindakan. Pemrosesan informasi akan menitikberatkan pada munculnya kepercayaan (belief) dari seseorang terhadap informasi yang didapatnya. Dalam konteks ini kepercayaan akan suatu partai politik atau kandidat mempengaruhi seseorang dalam perilaku memilihnya. Seiring dengan itu akan muncul norma yang membatasi tingkah laku seseorang dalam berpolitik, seperti norma kepatuhan akan partai politik; sehingga sampai kapan pun akan selalu mengidolakan atau mempercayai partai politik tertentu. Di samping itu pula, faktor eksternal sangat mempengaruhi pemilih pemula dalam memilih atau berpartisipasi dalam pemilu. Perlu digarisbawahi bahwa meskipun seseorang telah memilih beliefs terhadap suatu parpol,
pengaruh lingkungan juga terlihat dominasinya. Faktor eksternal mampu mengindoktrinasi pemilih pemula. Pemilih pemula yang awam dan belum mengenal parpol ataupun kandidat akan mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Faktor eksternal yang menjadi dasar perilaku memilih seperti; keyakinan politik uang (money politic), pemilu itu sendiri hanya sebagai lambang dalam tatanan demokrasi kita, sehingga berimbas kepada keyakinan bahwa demokrasi hanya sebagai topeng karena tidak berdampak nyata pada kehidupan sosial masyarakat. Impresi sosial bahwa pemilu tidak jujur dengan melihat fakta korupsi dari para pemimpin sehingga berimplikasi pada pembangunan yang tidak merata (membandingkan Indonesia timur dan barat). Maka, kontradiksi akan belief dan pengaruh lingkungan akan sangat dirasakan pemilih pemula. Ketika progpaganda dari berbagai parpol dan kontestan pemilu terjadi, proses informasi dalam kognitif akan berdinamika untuk menentukan pilihan. Proses kognitif yang baik akan menghasilkan pilihan yang baik pula dalam pemilu. Hal ini didasari oleh kepercayaan pemilih terhadap suatu ideologi parpol tertentu. Partisipasi politik akan berjalan dengan baik, setidaknya meminimalisir tingkat golput yang terjadi. Kepercayaan dan norma yang berlaku secara individu terhadap suatu parpol atau kontestan pemilu akan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi seseorang dalam pemilu, tanpa melihat efektivitas pilihannya terhadap kontestan. Menurut Bruner (dalam Firmanzah, 2012) persepsi seseorang akan cenderung bervariasi terhadap orang atau pun situasi tertentu dan
60
akan cenderung menetap sehingga akan menghasilkan pengambilan keputusan. Persepsi pemilih pemula akan pemilu sangat berkaitan dengan lingkungan atau orang yang menjadi icon dalam pemilu, sehingga apabila pendidikan politiknya tidak seimbang akan cepat mudah dipengaruhi oleh lingkungannya. Memilih di sini menjadi tumpuan sesorang untuk berpartisipasi dalam pemilu. Dinamika kognitif terjadi karena faktor internal dan eksternal berdinamika untuk menentukan pilihan pemilih pemula dalam pemilu. Keyakinan akan suatu parpol bukan menjadi jaminan bahwa pemilih pemula akan memilihnya dalam pemilu tetapi juga informasi dari lingkungan tentang suatu parpol menjadi suatu pertimbangan seorang pemilih. Di sinilah kognitif berdinamika, ketika semua informasi diterima oleh pemilih pemula. Maka, peran kognitif sangatlah penting dalam menentukan pilihan pemilih pemula dalam pemilu. Sehingga, keputusan pemilih pemula untuk memilih atau tidak dalam pemilu dipengaruhi oleh kognitifnya. Perilaku pemilih pemula telah termanifestasi oleh berbagai faktor dalam menentukan pilihan atau bahkan partisipasi politiknya. Adanya faktor lingkungan serta faktor internal diri pemilih juga menjadikan pemilih pemula merasa bingung dalam memilih atau bahkan golput. Secara Kognitif sebenarnya para pemilih pemula sudah dikatakan layak dalam menentukan pilihan secara mandiri tanpa adanya intervensi dari orang lain, di tambah dengan kemampuan untuk memproses informasi sudah matang. Dinamika kognitif sangat penting untuk proses pengambilan keputusan pemilih. Pemrosesan informasi yang
dalam serta analisis yang baik akan menentukan pijakan pemilih dalam menentukan pilihannya. Oleh karena itu peneliti melihat fenomena ini sangat penting untuk diteliti secara mendalam karena dinamika kognisi pemilih pemula menentukan tingkat partisipasi pemilih dan secara tidak langsung akan meningkatkan demokrasi politik di Indonesia. Pola pikir pemilih pemula atau yang tidak berpartisipasi dalam setiap pemilu harus diubah sehingga dinamika kognitif yang selama ini membelenggu pikiran pemilih menemukan jalan jalan keluar yang pasti sehingga pemrosesan informasi mengenai politik pemilu tidak menemukan jalan buntu, sehingga mampu menentukan pilihan ketika pemilu. METODE Penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara dengan 3 orang informan dengan dukungan 3 orang significant others. Informan dalam penelitian ini adalah mahasiswamahasiswi di Surabaya yang berasal dari Indonesia Timur. Pemilihan Informan dari NTT dilatarbelakangi oleh partisipasi pada pemilu legislatif untuk provinsi NTT tergolong tinggi yaitu 77% (KPU.go.id). LG berasal dari Manggarai NTT, kuliah di salah satu kampus kesehatan di Kediri. Informan EB berasal dari Maumere NTT, kuliah di salah satu kampus di Surabaya. Informan DB berasal dari Bajawa NTT, kuliah di salah satu kampus di Surabaya. Penelitian dengan judul Dinamika Kognisi Pemilih Pemula Pada Pemilu Presiden Tahun 2014 ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti memilih pendekatan kualitatif karena penelitian ini akan mengkaji gambaran kognitif pemilih pemula pada pemilu Presiden tahun 2014.
61
Metode pendekatan kualitatif yang dipilih oleh peneliti adalah fenomenologis. Penelitian ini sangat cocok dengan menggunakan pendekatan fenomenologis karena penelitian ini diangkat berdasarkan fenomena sosial yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Pendekatan fenomenologi berupaya membiarkan realitas mengungkapkan dirinya sendiri melalui pertanyaan yaitu wawancara sehingga pengalaman informan diketahui. Pada dasarnya yang dikaji adalah apa yang dialami oleh informan tentang suatu fenomena dan bagaimana informan memaknai pengalamannya dalam bentuk deskripsi pendapat, penilaian, perasaan, harapan dan sebagainya. Karakteristik informan penelitian yang dipilih oleh peneliti berdasarkan teknik purposive sampling, kriteria yang ditetapkan, antara lain: Informan berusia 17 sampai 22 tahun. Informan dipilih berusia 17-22 tahun dikarenakan pada usia ini seseorang telah memenuhi standar sebagai pemilih pemula (17 tahun) sebagaimana dijelaskan dalam Undang Undang tetang syarat untuk menjadi pemilih. Selain itu dengan batasan 22 tahun mengindikasikan rendahnya partisipasi seseorang dalam pemilu. Kedua, merupakan pemilih pemula yang tidak pernah melakukan pemilihan sebelumnya. Thematic analysis inductive adalah sebuah proses analisis data yang melibatkan pemilahan informasi menjadi tema tema. Tema adalah konsep atau gagasan yang muncul secara berurutan (kemunculan lebih dari satu kali) yang bisa dikenali dari sumber data yang dianalisis. Thematic analysis melibatkan dua proses dasar, yaitu: koding dan kategorisasi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dinamika kognitif ketiga informan merunjuk pada munculnya tiga tema besar yang berpengaruh pada perilaku memilih ketiga Informan. Ketiga tema tersebut adalah hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang informan, proses kognisi yang dijalani oleh informan, dan harapan informan terhadap pemilu ke depannya. Pada latar belakang, secara jelas tergambar bahwa, keluarga besar informan tidak bergabung dalam partai politik, sehingga pendidikan politik informan dari keluarga terbilang sangat minim, ada pun pengaruhnya terlihat pada kognisi ketiga informan yang berpersepsi bahwa, memilih dan tidak memilih dalam pemilu sama saja, menjalankan hak untuk memilih dalam pemilu tidak pernah dilakukan (golput) dan memahami pemilu sebagai suatu wahana untuk memilih pemimpin. Pada tema harapan (karakteristik pemimpin yang diharapkan), kognisi dan harapan berkomunikasi dua arah artinya saling timbal balik dan berhubungan. Informan menginginkan calon pemimpin yang jujur dalam memimpin negara, sederhana dalam hal berpakaian (tidak glamour), dan personal yang baik, dalam artian memiliki kemampuan untuk memimpin suatu negara, track record yang baik serta menjadi jawaban atas kebutuhan rakyat. Ketiga tema besar di atas adalah dinamika kognisi yang menjadikan informan golput pada pemilu presiden tahun 2014. Hal ini diperkuat dengan adanya faktor pendukung dalam perilaku golput informan yaitu pembangunan tidak merata. Pembangunan tidak merata menjadi faktor pendukung perilaku golput
62
informan. Hal ini secara spesifik terkait dengan infrastruktur dan pembangunan di Indonesia Timur. Informan mengalami secara langsung akibat dari pembangunan yang tidak merata seperti, jalan, rumah sakit, sekolah, dan sebagainya yang memunculkan sikap apatis dalam pemilu. Secara skematis, tema-tema titik temu ketiga informan dapat di lihat pada bagan berikut ini:
saling berinteraksi atau berdinamika sehingga memunculkan perilaku golput. Dinamika kognisi informan juga tidak terlepas dari pengaruh faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung seperti, lingkungan politik (pengaruh teman), politik uang (pengalaman pribadi informan) pemilu presiden tidak jujur, serta banyaknya partai politik yang ikut berpartisipasi dalam pemilu sehingga membuat informan bingung dalam menentukan pilihan (sedikit partai lebih efisien). Faktor penghambat juga adalah dinas organisasi (praktik rumah sakit Jiwa) dari salah satu informan. Informan lebih memilih mengurus pasiennya dari pada melakukan pemilihan. Secara skematis, tema-tema titik temu ketiga informan dapat di lihat pada bagan berikut ini:
Selain ketiga tema sentral tersebut di atas, peneliti juga menemukan tiga tema besar yang saling berhubungan yaitu, kognisi, harapan dan afeksi. Beberapa informan berpendapat bahwa demokrasi sudah berjalan di Indonesia, pemilu sudah jujur, tetapi ada juga informan yang berpersepsi bahwa pemilu tidak jujur, demokrasi hanya sebagai topeng, siapa pun yang menjadi pemimpin tidak akan membawa perubahan, dan juga keyakinan akan politik uang. Beberapa poin ini berhubungan dengan afeksi atau perasaan informan ketika golput yaitu, ada informan yang merasa kecewa karena tidak memilih, tetapi beberapa informan mengatakan perasaan yang biasa-biasa saja ketika golput, dan juga merasakan pemilu tidak menjadi bagian yang penting dari diri informan. Ketiga hal ini
Berdasar pada berbagai temuan tema yang digambarkan di atas dapat disimpulkan bahwa dinamika kognitif sangat penting untuk proses pengambilan keputusan pemilih. Pemrosesan informasi yang mendalam serta analisis yang baik akan menentukan pijakan pemilih dalam menentukan pilihannya. Selain itu juga faktor pendukung memiliki
63
pasien di Rumah Sakit), terlambat mendapat informasi dari RT setempat. Mengacu pada teori Kognitif (Feldman,1993) adalah proses mental yang tertinggi dari manusia, mencakup bagaimana seseorang mengetahui dan memahami dunia, memproses informasi, menyatakan pendapat dan keputusan serta mendeskripsikan pengetahuan mereka dan memahami orang lain, jelaslah memiliki hubungan dengan hasil dari data penelitian yang peneliti lakukan. Latar belakang pendidikan politik informan mempengaruhi persepsi, keyakinan dari informan itu sendiri. Kognisi informan termanifestasi dengan afeksi dan harapan akan karakteristik pemimpin yang menjadi idealisme informan. Terlepas dari itu juga faktor pendukung dan penghambat mempengaruhi perilaku memilih informan. Keyakinan antara faktor internal dan eksternal inilah yang dinamakan dinamika kognisi. Hal ini pun selaras dengan konsep kognisi menurut Bullock dan Stallybrass, (1977), dalam Marta, Beth, Elena dan Thomas, (2012) adalah konsep pokok dalam memahami bagaimana cara orangorang memproses informasi dan memahami dunia di sekitar mereka. Kognisi adalah sebuah istilah kolektif untuk proses-proses psikologis yang terlibat dalam akuisisi, pengorganisasian, dan penggunaan pengetahuan. Pengetahuan diorganisasikan ke dalam pikiran kita dengan sebuah sistem kognitif. Artinya bahwa dinamika kognisi pemilih, hasil dari pemrosesan informasi yang di dapat informan dari lingkungan sekitar ditambah lagi dengan pengetahuan informan akan politik atau esensi pemilu itu sendiri. Dinamika kognitif ketiga informan, terlihat dari data yang
pengaruh yang signifikan dalam memantapkan pilihan pemilih untuk berpartisipasi atau tidak dalam pesta rakyat tersebut. Kedua hal ini merupakan tema besar yang didapat peneliti ketika melakukan penelitian terkait dinamika kognisi pemilih pemula pada pemilu presiden tahun 2014. Pada tahap awal penelitian, ketiga informan memiliki latar belakang yang sama dalam ranah pendidikan politik. Pendidikan politik yang didapat dari keluarga memiliki hubungan dengan persepsi yang dibangun informan. Persepsi muncul tatkala latar belakang keluarga informan yang tidak bergabung dalam partai politik, sehingga memunculkan kepercayaan atau belief yang kuat bahwa partisipasi pemilu memilih atau tidak memilih sama saja yang tidak membawa pengaruh pada diri informan. Keyakinan akan itu mempengaruhi afeksi serta memunculkan harapan baru pada diri informan. Afeksi atau perasaan yang muncul adalah biasa saja, pemilu tidak berpengaruh pada diri informan. Harapan yang muncul adalah mendambakan adanya figur atau karakteristik personal pemimpin yang baik, yang mampu menjawab kebutuhan rakyat, sederhana, bijaksana jujur pada diri sendiri. Problematika di atas juga dipengaruhi oleh faktor pendukung dan penghambat yang beriringan berjalan mencapai batas akhir yaitu pengambilan keputusan. Isu yang dikedepankan oleh informan adalah pembangunan yang tidak merata, pemilu yang tidak jujur (politik uang), pemimpin hanya sebatas janji, lingkungan politik (teman) serta kuantitas partai politik yang terlibat dalam pemilu. Faktor penghambat yaitu dinas organisasi (piket jaga
64
Mereka akan melihat korelasi antara ideologi partai atau kandidat dengan prokernya. Ideologi berbeda dengan proker, maka bisa dicap tidak konsisten. Dari data yang didapat pemilih kritis berkeyakinan bahwa pemilu adalah politik balas budi yang artinya setiap pemilih mengharapkan adanya hubungan timbal balik dari kontestan pemilu. Selain itu juga informan berkeyakinan bahwa pemilu tidak memiliki pengaruh pada dirinya dalam artian pemilu tidak berdampak pada diri informan, sehingga afeksi yang muncul adalah perasaan biasa saja dan pemilu tidak berarti pada informan. Dari ketiga tema besar yang disampaikan informan, yaitu latar belakang mempengaruhi kognisi sehingga menimbulkan persepsi, keyakinan informan akan pemilu itu sendiri dan memunculkan harapan akan karakteristik pemimpin ideal yang diimpikan, hal ini pun saling berhubungan dengan afeksi atau perasaan yang timbul. Berdasarkan data yang didapat dari informan ditemukan bahwa aspek kognisi bukan hanya didapat dari interaksi latar belakang pendidikan politik dan faktor pendukung dan penghambat tetapi juga berhubungan dengan afeksi dan harapan yang muncul. Artinya bahwa pola pemrosesan informasi dalam kognisi memiliki hubungan timbal balik dengan afeksi dan harapan. Orangorang memiliki respon emosional terhadap isu, aktor dan peristiwa politik, dan juga terhadap prinsip dan cita-cita politik, yang mereka nilai. Ketika kategori sosial dan stereotype dibahas, ada kecenderungan agar penekanan ditempatkan pada proses dan ciri kognitif, seperti keyakinan, asumsi, dan penegetahuan tentang jenis orang, kelompok dan negara
diperoleh adalah keyakinan informan akan pemilu sebagai suatu formalitas dan tidak berpengaruh pada informan. Dari ketiga informan di atas, ada dua informan yang tergolong dalam perilaku memilih rasional dan satu informan tergolong dalam pemilih kritis. Dinamika kognitif yang terjadi adalah informasi yang di dapat oleh ketiga informan diproses dalam kognitif dan dipadukan dengan pengetahuan dasar informan. Ketiga informan dalam penelitian ini tergolong dalam pemilih pemula rasional dan pemilih pemula kritis. Pemilih rasional memiliki orientasi tinggi pada policy Problem Solving (berdasarkan track record, proker, dan karakteristik parpol/kandidat yang dianggap mumpuni) dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Hal yang terpenting bagi pemilih jenis ini adalah apa yang bisa atau telah dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, daripada paham dan nilai partai atau kontestan. Dari data yang di dapat pemilih pemula rasional terlihat dari kognitif mereka yang memiliki keyakinan bahwa pemilu hanya sebagai topeng, pemilu tidak jujur, banyak terjadi politik uang serta berpersepsi bahwa sistem pemilu tidak jujur, sehingga menimbulkan afeksi yang berbeda-beda seperti kecewa ketika tidak mengikuti pemilu, meskipun secara administratif tidak bermasalah. Pemilih kritis merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka pada halhal bersifat ideologis, menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideology) dengan kebijakkan yang dibuat. Pemilih kritis terbilang cukup setia terhadap parpol pilihannya.
65
yang berbeda. Meskipun demikian tentu saja fenomena kognitif seperti stereotype, pemrosesan informasi, dan pengambilan keputusan politik (misalnya, kepada siapa suara diberikan) melibatkan afeksi dan emosi (Hamdi Muluk, 2012). Marcus, Newman, dan MacKuen (2000) menekankan peran emosi dalam pemrosesan informasi. Mereka berpendapat bahwa terdapat peran ganda yang dimainkan oleh emosi. Pada peran yang pertama, emosi membentuk sebuah sistem disposisi yang mempengaruhi respon kita terhadap situasi formal yang dikenal. Pada peran yang kedua, emosi menjalankan suatu peran pengawasan, menyiagakan kita pada situasi baru dan mungkin mengancam. Stephan dan Stephan (1993), menyajikan model jaringan tentang afeksi dan kognisi, yang didalamnya mereka mempertahankan bahwa kognisi dan afeksi merupakan seperangkat system parallel yang saling berhubungan. Dengan kata lain, orang-orang memiliki sebuah sistem kognitif (sebuah sistem pemikiran, ide, pengetahuan) dan sebuah sistem afektif (sebuah sistem perasaan dan berbagai emosi). Harapan akan karakteristik pemimpin yang bijaksana adalah sosok yang sangat dirindukan oleh masyarakat, mereka berjuang dengan sungguh-sungguh, ikhlas, dan profesionalitas. Harapan yang tidak pernah bertepi bagi terwujudnya kemakmuran di Indonesia ini. Orangorang yang menjadi pemimpin banyak menjadikan jabatan sebagai komoditi ekonomis dan politis. Sehingga loyalitas dan totalitas dalam memerintah masih dipertanyakan. Gambaran pemimpin yang ideal sudah terkonsep dalam dialog antara Socrates dengan Thrasymarcus dalam
Republic (Joseph Losco & Leonard Williams, 2005) tentang pemimpin yang baik: “Orang-orang baik tidak akan mau memerintah demi uang atau kehormatan. Karena mereka tidak ingin secara terbuka menentukan upah untuk memerintah demi uang atau kehormatan. Karena mereka tidak ingin secara terbuka menentukan upah untuk memerintah dan disebut bekerja demi uang, juga tidak ingin secara rahasia memetik manfaat saat memerintah dan disebut sebagai para pencuri.demikian pula, mereka tidak ingin memerintah demi kehormatan karena mereka bukanlah pecinta kehormatan". Artinya bahwa, setiap warga Negara mendambakan seorang sosok yang mampu memimpin Negara dengan jujur, adil bijaksana dan sebagainya. Pemimpim idealnya seorang yang memahami keadaan dan kebutuhan rakyatnya, seiring dengan itu sosok seperti itu adalah implementasi dari keraguan, kekecewaan dari rakyat akan pemimpin sebelumnya. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang memiliki vision (visi) yang jelas, baik dalam arti sebenarnya maupun dalam arti singkatan. Vision dalam arti sebenarnya adalah mimpi masa depan yang menantang untuk diwujudkan. Vision dalam arti singkatan adalah setiap pemimpin harus memiliki
66
vision, inspiration (memberi ilham), strategy orientation (orientasi jangka panjang), integrity. Organizational sophisticated (memahami dan berorganisasi dengan canggih), dan nurturing (memelihara keseimbangan dan keharmonisan antara tujuan sekolah dengan tujuan individu warga sekolah, serta memelihara bawahannya agar betah bekerja sama dengannya (Gutrie & Reed, 1991). Harapan saling berhubungan dengan afeksi dan kognisi informan, ketiganya berhubungan saling timbal balik sehingga harapan muncul atas dasar dan peran kognisi dan afeksi emosional informan. Artinya bahwa hal ini muncul karena adanya krisis kepercayaan terhadap pemimpin sebelumnya. Pernyataan mengenai krisis kepemimpinan ini diperkuat dengan adanya survei terhadap kepemimpinan presiden republik Indonesia oleh Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2013 (Guritno, 2013). Berdasar pada hasil survei diketahui bahwa kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya 35,91%. Hasil ini menurun dibandingkan dengan hasil survei pada Juni 2011 yang mana kepuasan masyarakat sebesar 47,20%. Menurunnya tingkat kepuasan ini pada dasarnya juga akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyaraka terhadap keberadaan seorang pemimpin. Pada penjelasan yang sudah ada memberikan pemahaman bahwasanya keberadaan pemimpin yang efektif sangat dimungkinkan dipengaruhi oleh bagaimana para anggota memberikan pelabelan sebagai pemimpin yang baik. Ketika para anggota telah memberikan kredit positifakan karakter seorang pemimpin maka secara otomatis akan mengikuti
perintah yang sudah dibuat oleh pemimpinnya. Dengan adanya sebuah pemimpin yang baik tersebut, maka peran pemimpin yang efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama akan dengan mudah dijalankan. Dari uraian tema di atas, disimpulkan bahwa dinamika kognitif terjadi karena hubungan antara latar belakang, kognisi, afeksi dan harapan. Kognisi, afeksi dan harapan saling berhubungan timbal balik sehingga memantapkan informan pada suatu pilihan jawaban yang tepat untuk berkontribusi dalam pemilu presiden. Pendidikan politik menyebabkan persepsi dan keyakinan informan akan pemilu tidak berguna, sehingga merasa kecewa dan bahkan apatis terhadap pemilu serta mengharapkan adanya pemimpin yang mampu menjawabi kebutuhan. Dinamika kognisi ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal pemilih pemula sehingga mencapai tahap pengambilan keputusan. Informan berpendapat bahwa politik uang lumrah terjadi dalam proses pemilihan Umum. Fenomena ini menegaskan bahwa suksesi pemilihan umum sangat kental dengan politik transaksional. Politik transaksional ini secara mendasar merusak esensi dari demokrasi. Dengan demikian pemimpin yang terpilih melalui proses ini ditentukan oleh kapabilitas keuangan bukan kapabilitas personal. Money politics atau politik uang secara umum dapat dipahami sebagai suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi, atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan melalui tindakan membagibagikan uang baik milik pribadi atau partai dengan tujuan mempengaruhi
67
Politik uang secara langsung menyentuh tatanan rakyat Indonesia oleh karena itu saya berpikir bahwa, politik uang sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku memilih informan. Maka asumsinya bahwa dengan dibayarnya suara rakyat, akan berpengaruh terhadap kemandekkan pembangunan fasilitas publik, maupun birokrasi secara umum, dan akan rentan terjadi perilaku koruptif dalam tubuh birokrasi yang dipimpinnya. Pemerataan pembangunan adalah isu yang dikedepankan informan dalam penelitian ini. Informan berpersepsi pemerataan pembangunan menjadi faktor pendukung perilaku golput. Informan lebih melihat perbandingan infrastruktur antara Jawa dan luar Jawa yang sangat amat berbeda. Dari perhitungan PDB per kapita pada tahun 2019 diharapkan dapat mencapai USD 7000. Dengan angka kemiskinan 6,8% dan pada tahun 2025 diharapkan dapat mencapai USD 12000 dengan angka kemiskinan 45%. Oleh karena itu, dari segi kebijakan ekonomi, yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan harus fokus terhadap pembangunan di berbagai sektor secara bersamaan. Dalam rangka percepatan pemerataan pembangunan periode lima tahun ke depan perlu meningkatkan kontribusi peran daerah luar jawa terhadap perekonomian nasional. Pencegahan korupsi seharusnya tidak hanya bertumpu pada penindakan namun juga harus dibangun sistem pencegahan, termasuk pendidikan dan budaya anti korupsi, pengaturan dan transparansi pelayanan publik, kemudahan pengaduan serta transparasi dalam dunia usaha, pengurusan perizinan dan sistem dalam sektor pelayanan publik. Pembangunan bidang politik
suara pemilih (vooters). Dengan kata lain, memberikan uang atau barang kepada seseorang karena ada maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian tersebut. Jadi jika maksud tersebut tidak ada, maka tentu pemberian itu pun tidak akan dilakukan. Menurut Hermawan Sulistiyo (1999), awalnya tindakan money politics memang tidak diatur secara eksplisit dalam delik KUHP, namun dalam penyelesaian perkaranya, seringkali pengadilan menggunakan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana suap. Fenomena peradilan ini setidaknya menunjukkan adanya kesamaan persepsi antara money politics dengan suap. Konsekuensi logis dari pendefinisian ini akhirnya menempatkan money politics sebagai bagian dari wujud tindak pidana korupsi jenis suap. Direktur Indonesia Indicator, lembaga riset berbasis piranti lunak Artificial Intelligence (AI) untuk menganalisis indikasi politik, ekonomi, sosial di Indonesia melalui pemberitaan (media mapping), Rustika Herlambang mengungkapkan bahwa bentuk pelanggaran yang paling banyak mendapatkan sorotan media 1.716 ekspos (52%), disusul pelanggaran-pelanggaran lain seperti, penggelembungan suara (18%), pemilu ulang atau pencoblosan ulang (12%), pelanggaran kode etik (9%), serta penghitungan ulang (9%). Dominannya kasus money politics menjadi catatan besar terkait kualitas Pemilu Legislatif 2014. Lebih lanjut dia mengatakan, terdapat banyak indikasi pelanggaran (electoral fraud) di beberapa wilayah dan aksi money politics, terjadi secara masif di seluruh daerah di Indonesia. (Republika, 11 Mei 2014).
68
diarahkan pada percepatan konsolidasi demokrasi. Beberapa hal yang diperlukan untuk menjawab tantangan ini adalah peningkatan partisipasi politik, termasuk pendidikan politik, penguatan kapasitas sipil dan parpol, peningkatan kelompok marjinal, peningkatan akses masyarakat terhadap informasi publik, dan menjaga stabilitas sosial politik. Dari berbagai data di atas, dapat dilihat bahwa kesenjangan pembangunan menjadi agen dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Politik uang dan pemerataan pembangunan menjadi faktor pendukung dalam perilaku golput informan. Kedua persepsi ini, tatkala menarik ketika disatukan sebagai bagian dari satu kesatuan yang utuh, sehingga memunculkan keyakinan informan untuk golput pada pemilu.
partai secara internal tidak terjadi pada ketiga informan baik itu latar belakang partai, visi misi partai dan sebagainya. Hal ini pun berpengaruh kepada kognisi ketiga informan. Informan berpersepsi bahwa suara yang mereka berikan tidak bermanfaat dalam pemilu, partisipasi dalam pemilu sama saja, tidak berpengaruh pada diri ketiga informan, demokrasi hanyalah sebuah topeng, siapa pun yang memimpin Indonesia sama saja. Beberapa hal ini adalah persepsi yang muncul dari ketiga informan, sehingga mempengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan. Kognisi memiliki hubungan timbal balik dengan afeksi dan harapan ketiga informan. Emosional ketiga informan dipengaruhi oleh kognisi (persepsi, keyakinan) dan begitu pun sebaliknya. Persepsi termanifestasi dalam perilaku informan sembari dengan dukungan emosional yang kuat ditambah lagi dengan harapan akan hadirnya pemimpin yang menjadi idealisme ketiga informan. Ketiga hal ini saling berhubungan yang dinamakan dinamika kognisi. Dinamika kognisi dipengaruhi oleh faktor pendukung dan penghambat. Faktor pendukung dan penghambat adalah faktor eksternal yang memepengaruhi dinamika kognisi informan. Politik uang dan pemerataan pembangunan adalah isu yang dikedepankan oleh ketiga informan sebagai faktor yang mendasar yang menjadi pertimbangan dalam perilaku golput. Faktor penghambat seperti keterlambatan informasi dan dinas organisasi merupakan golput teknis yang terjadi pada informan ketika pemilu berlangsung. Golput jenis ini dikarenakan pendidikan politik yang kurang dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang pemilu. Dengan
KESIMPULAN Berdasarkan penemuanpenemuan dan pembahasan yang peneliti lakukan pada penelitian Dinamika Kognitif Pemilih Pemula pada Pemilu Presiden tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa: Ketiga Informan penelitian, memiliki persepsi dan keyakinan yang sama. Dinamika kognisi yang melatarbelakangi perilaku memilih terjadi karena beberapa hal yaitu: latar belakang, kognisi, afeksi, harapan dan faktor pendukung dan penghambat. Latar belakang pendidikan politik ketiga informan berasal dari keluarga yang tidak bergabung dalam suatu partai politik, artinya bahwa keluarga besar informan tidak bergabung dalam sebuah birokrasi partai sehingga pendidikan politik atau mengenal partai politik terjadi ketika mendekati pemilu. Sehingga pengenalan akan
69
Pemilih Pemula Dalam Pemilihan Umum 2014 di DIY. Dalam: Jurnal Ilmu Komunikasi, volume 12, nomor 1, Januari- April 2014, 3954 Sumargi A. M, Sudagijono, S. Jaka, Susilo, J. Dicky , Diana, G. Yessyca, W. Yettie, Yustina. (2005). Edisi kedua. Pedoman Penyusunan Dan Penulisan Skripsi (Tidak Dipublikasikan), Surabaya: Fakultas Psikologi Unika Widya Mandala Surabaya Triana, M. K. (2014). Studi Deskriptif Disonansi Kognitif Pada Mahasiswa Terhadap perilaku Golput Pada Pemilihan CagubCawagub Jawa Timur Periode 2014- 2019. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 3. 1 Yudhawati, Ratna & Haryanto, Dany. (2011). Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Prestasi Pustakarya Dinamika Komunikasi Politik Menjelang Pemilu 2014. Balai Pengkajian Dan Pengembangan Komunikasi Dan Informatika Bandung (Bppki) Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan informatika. Maret 12, 2015. http://download.portalgaruda.org/a rticle.php%3Farticle%3D198489% 26val%3D6554%6itle%3DIklan% 2520Politik Komisi Pemilihan Umum Indonesia. Modul I Pemilih Untuk Pemula. Maret 7, 2015. http://kpu.go.id/dmdocuments/mod ul_1d.pdf Nurhasim, (2014). Partisipasi Pemilih pada Pemilu 2014: Studi Penjajakan, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bekerja Sama Komisi Pemilihan Umum
demikian Dinamika Kognitif Pemilih Pemula pada Pemilu Presiden tahun 2014 dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan politik informan, kognisi, afeksi dan harapan serta faktor pendukung dan penghambat sehingga menghasilkan pengambilan keputusan pada pemilu Presiden tahun 2014. Daftar Referensi Feldman, R.S. (1993). Essentials Of Understanding Psychology. New Baskerville: McGraw-Hill Firmanzah. (2012). Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Fakultas Psikologi Widya Mandala Surabaya, (2009). Pedoman Penulisan Skripsi Kualitatif. (Tidak Dipublikasikan), Surabaya: Fakultas Psikologi Unika Widya Mandala Surabaya Martha, Beth, Elena & Thomas. (2012). Pengantara Psikologi Politik. Edisi Kedua. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada Mahfud, (1999). Hukum dan PilarPilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media kerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation Pradhanawati, A. (2010). Perilaku dan Sikap Sosial-Politik Mahasiswa dalam Pilpres 2009. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol 23 No 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 dan Peraturan KPU Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. (2013). Bandung: Citra Umbara Soeprapto, A., Susilasti D. N. & B. A., Suparno. (2014). Komunikasi Dalam Proses Pendidikan Politik
70
www.kpu.go.id/.../Partisipasi_Pem ilih_pada_Pemilu_2014_Studi_Pe njajakan.pdf Pilpres 2014: Pengguna Hak Pilih 69,58%, Partisipasi Lebih Berkualitas”. Maret 5, 2015. http://www.rumahpemilu.org/in/re ad/6825/Pilpres-2014-PenggunaHak-Pilih-6958 Partisipasi-LebihBerkualitas Perkumpulan Untuk Pemilu Dan Demokrasi (Perludem 2014). Mendorong Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu 2014. Hasil Workshop Knowledge Sharing. Maret 8, 2015. http://www.perludem.org/index.ph p?option=com_k2&view=item&ta sk=download&id=199_e3f05c664 25922dd8f107ae0bdb3b94 0&Itemid=126 Rumah Pemilu (Indonesia Election Portal). Jumlah Pemilih dalam Pemilu 2009-Pemilu 2009 dalam Data dan Angka. Maret 6, 2015. http://www.rumahpemilu.org/read/ 471/Jumlah-Pemilih-dalamPemilu2009-Pemilu-2009 dalam-Datadan-Angka Tingkat Partisipasi masyarakat dalam Pemilu terus Menurun. Maret 6, 2015. http://www.unpad.ac.id/2014/03/ti ngkat-partisipasi-masyarakatdalam-pemilu-terus menurun UCOL Student Experience Team (SET) Library and Learning Services. A guide to the APA 6th ed. referencing style. January 2015. http://student.ucol.ac.nz/library/onl ineresources/Documents/APA_gui de_2015.pdf Wardani, (2012). Penelitian Pemilu yang Memberdayakan Masyarakat. Maret 5, 2015. http://www.rumahpemilu.org/in/re ad/919/Sri-Budi-EkoWardani
Penelitian-Pemilu yangMemberdayakan-Masyarakat. Warsono, & Yuningsih, N. A. I. (2014). Partisipasi Politik Remaja (Pemilih Pemula) Pada Pemilukada Mojokerto Tahun 2010 Di Desa Sumber Tanggul Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto. April 21, 2015. http://Www.Scribd.Com/Doc/2120 08655/Partisipasi-Politik-RemajaPemilih-Pemula Pada-pemilukadaMojokerto-Tahun-2010-Di-Desasumber-Tanggul-KecamatanMojosari-Kabupaten-Mojokerto
71
Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia 2018 Vol. 3, No. 1, Hal 55-71
72