Dokumentasi Best Practises Pendidikan (Tentang Penerapan

Best Practice : Harapan di Tengah ... kepala sekolah dan, tokoh masyarakat. ... Namun di lain ada contoh kasus di mana Komite Sekolah yang...

8 downloads 170 Views 226KB Size
Dokumentasi Best Practises Pendidikan (Tentang Penerapan Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik dalam Pengelolaan Pendidikan)

Best Practice :

Harapan di Tengah Kritik dan Keraguan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di Media Massa

Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) Jl. Tebet Barat Dalam III A no 02 Jakarta 12810, Indonesia Phone: +62-21-83794469 Fax: +62-21-83791270 E-mail: [email protected]

Sumber: Dokumentasi Best Practises Pendidikan - Unit Fasilitasi Desentralisasi Pendidikan (UFDP)

Harapan di Tengah Kritik dan Keraguan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di Media Massa

Pengantar Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional pada tanggal 2 April 2002. Sejak tanggal itu, dimulailah kampanye yang cukup meluas tentang gagasan itu, baik melalui media cetak dan elektronik maupun melalui jalur-jalur birokrasi Departemen Pendidikan Nasional. Sebagai tanggapan, diskusi-diskusi publik pun berlangsung cukup ramai di media massa cetak tentang keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Seperti biasa ada pihak-pihak yang meragukan keberadaan dari kedua lembaga tersebut, mulai dari kritik yang sangat mendasar tentang tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan sampai kritik-kritik praktis operasionalisasinya. Beberapa pihak melihat pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah salah satu bentuk

lepas

tangan

pemerintah

terhadap

dunia

pendidikan

dengan

menyerahkannya pada masyarakat. Di lain pihak, ada yang secara praktis mempermasalahkan tentang otoritas dan sejauh mana kekuatan kedua lembaga tersebut berhadapan dengan birokrasi pendidikan pemerintah. Namun demikian, tidak kurang juga pihak-pihak yang sangat berharap bahwa keberadaan kedua lembaga tersebut akan dapat membantu menyelesaikan berbagai masalah yang melingkupi dunia pendidikan di Indonesia. Masalahmasalah yang selama ini terbukti tidak dapat dituntaskan bila hanya diselesaikan oleh pemerintah saja. Paparan

di

bawah

ini

akan

melakukan

semacam

pengamatan

tentang

bagaimana Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dipahami, diterima, dikritisi dan menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Pengamatan dilakukan dengan melihat berbagai pemberitaan di media massa cetak yang berkaitan dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Ada tiga koran nasional yang dijadikan sumber, yaitu Kompas, Media Indonesia dan Republika. Sejak April 2002 sampai Januari 2004, terdapat 190 artikel tentang Dewan pendidikan saja dan 117 artikel tentang Komite

Clearinghouse YIPD/CLGI

1

Sekolah saja. Sedangkan artikel yang mengait Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah jumlahnya 59 buah.

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah: 'Proyek Pemerintah' yang dikerjakan Masyarakat? Dalam waktu relatif singkat, setiap kota dan kabupaten di Indonesia sudah memiliki Dewan Pendidikan dan setiap sekolah memiliki Komite Sekolah. Keberadaan kedua lembaga ini kemudian menjadi salah satu parameter 'keberhasilan' pembangunan pendidikan di daerah. Menanggapi fenomena ini, beberapa pihak langsung melihatnya sebagai 'proyek pemerintah' yang datang dari atas untuk dilaksanakan oleh jajaran yang lebih rendah di bawahnya. Artinya ada kecurigaan bahwa di tingkat pelaksanaan di daerah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dibentuk bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tapi lebih pada pelaksanaan perintah atasan. Sedangkan keberatan dan kritik yang lebih umum berkaitan dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat dilihat dalam rangkuman di bawah ini:  Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dianggap sekedar mengekor nuansa politis dari desentralisasi tanpa melihat hambatan-hambatan konkrit yang berbeda-beda di setiap daerah dalam kaitan pengelolaan pendidikan secara mandiri.  Meragukan kemampuan daerah untuk menerima tanggung jawab sebagai pengelola pendidikan di daerahnya masing-masing, termasuk di sini adalah keberlangsungan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.  Manajeman Berbasis Sekolah (MBS) yang menjadi landasan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dianggap hanya sebagai 'bahasa gaul' bagi birokrat, kepala sekolah dan, tokoh masyarakat.  Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah wewenangnya masih tumpang tindih, dan dalam konteks RUU Sisdiknas yang baru, keberadaan kedua lembaga tersebut malah akan menggerogoti kewenangan Dinas Pendidikan.  Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dilihat sebagai bentuk lepas tangannya pemerintah terhadap pendidikan.

Clearinghouse YIPD/CLGI

2

Di tengah segala kritik clan keraguan di atas, juga tidak sedikit pemberitaan yang berisi berbagai harapan bertebaran mengikuti keberadaan dua lembaga baru ini. Bentuknya bermacam-macam, seperti dapat dilihat dalam kutipan yang dirangkum dari berbagai pemberitaan media massa cetak di bawah ini:  Menjalankan

fungsi

kontrol

terhadap

kekuasaan

kepala

sekolah

yang

dianggap terlalu besar. Kekuasaan inilah yang menyebabkan praktek korupsi yang terjadi di sekolah selama ini.  Membatasi

ruang

bagi

pemerintah

untuk

melakukan

intervensi dalam

pengelolaan pendidikan.  Mengatasi penyelewengan dana pendidikan dengan melakukan pengawasan  Dewan Pendidikan

diperlukan sebagai dapur pemikiran pengembangan

pendidikan di kota/kabupaten-nya.  Komite Sekolah menjadi penyalur dana kompensasi BBM, JPS dan Block Grant untuk pendidikan.  Memberantas kecurangan dalam tender proyek buku ajar.  Melalui Manajemen Berbasis Sekolah, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat memfasilitasi kelayakan investasi dalam pendidikan.  Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah terlibat dalam pengawasan internal Depdiknas.  Dewan pendidikan seharusnya memutuskan substansi apa yang harus ada di sekolah seperti muatan lokal, pengelolaan guru, metode pembelajaran, sistem evaluasi dan buku pelajaran yang dipakai.  Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat membantu menyelesaikan berbagai kontlik di tingkat dinas pendidikan maupun di tingkat sekolah. Sampai di sini kita melihat bahwa kehadiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tetap melahirkan harapan di tengah-tengah kritik dan keraguan. Harapan yang kadangkala jauh melampaui dari kemungkinan yang dapat dilakukan oleh kedua lembaga baru tersebut. Hampir semua masalah yang melingkupi dunia pendidikan di Indonesia, dilimpahkan penyelesaiannya dalam Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Hal ini membuktikan adanya kebutuhan yang sangat kuat untuk melakukan perubahan, dalam bentuk apa pun, dalam dunia pendidikan. Karena itu tidak mengherankan bahwa apabila kekecewaan yang diekspresikan atas kegagalan

Dewan

Pendidikan

dan

Komite Sekolah

berjalan

seperti

yang

diharapkan, juga sebesar harapan yang ditumpahkan terhadapnya, seperti tampak pada contoh di bawah ini:

Clearinghouse YIPD/CLGI

3

Kompas Selasa 11 Maret 2003 Dewan Pendidikan Banyumas Sebaiknya Dibubarkan Purwokerto, Kompas - Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas) menilai, Dewan Pendidikan Kabupaten Banyumas yang ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor 420/1251/2002 mandul. Pasalnya, hingga memasuki paruh waktu masa baktinya (satu periode satu tahun), Dewan Pendidikan belum dapat melaksanakan tugas dan fungsinya, diantaranya menjalankan fungsi kontrol terhadap segala bentuk penyelenggaraan pendidikan dan menjadi mediator antara pemerintah

dengan lembaga legislatif atau masyarakat. Dewan

Pendidikan baru sebatas melegalisasi proposal pengajuan dana kepada pemerintah pusat.

Di samping contoh di atas, masih banyak lagi terdapat kasus atau masalah yang berkaitan dengan kewenangan dan operasionalisasi sehari-hari Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Misalnya di salah satu sekolah di Kota Malang, ada Komite Sekolah yang sampai merekomendasikan calon kepala sekolah (Kompas, 21 September 2002). Sedangkan di titik ekstrem yang lain, di Banten misalnya, Komite Sekolah dianggap tidak berfungsi sebab tidak mampu mencegah tingginya biaya pendidikan yang dibebankan pada orang tua. Padahal Komite Sekolah diharapkan dapat melakukan terobosan penggalangan dana di luar orang tua murid. (Republika, 16 Juli 2003). Di banyak tempat, Komite Sekolah hanya berfungsi sebagai badan penyalur dana kompensasi BBM untuk pendidikan, block grant dan dana Jaring Pengaman Sosial. Sampai di sini, kita melihat bahwa keberadaan kedua lembaga tersebut tidaklah jauh berbeda dengan lembaga yang digantikannya, yaitu BP3. Seperti berganti baju luar saja, Komite Sekolah dilihat hanya melanjutkan praktek-praktek BP3, yaitu melulu mengurusi pungutan di sekolah. Sedangkan BP3 juga hanya berfungsi memberikan persetujuan atas hal-hat yang juga berkaitan dengan dana. (Kompas, 3/1/2003, 9/1/2003, Media Indonesia 13/12/2002) Dengan demikian contoh-contoh di atas hal ini menjadi semacam konfirmasi atau pembenaran bahwa dugaan begitu cepat terbentuknya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di setiap kota/kabupaten dan sekolah-sekolah adalah berkaitan dengan dana, dan bukan atas kebutuhan masyarakat. Sebab cairnya dana yang

Clearinghouse YIPD/CLGI

4

dialokasi pemerintah di bidang pendidikan di kota/kabupaten dan di sekolahsekolah mensyaratkan persetujuan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Tambahan

lain

yang

berkaitan,dengan

kecurigaan

di

atas

adalah

soal

ketersediaan dana subsidi yang akan diberikan oleh pemerintah pusat secara khusus pada setiap Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang dibentuk. Dana ini dimaksudkan sebagai dana pancingan atau semacam modal awal bagi kedua lembaga tersebut. Setiap Komite Sekolah akan mendapatkan dana sebesar 10 juta rupiah. Pada laporan Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas melaporkan bahwa sampai 4 November 2003 telah diberikan dana subsidi kepada 83 Komite Sekolah di seluruh Indonesia. Sedangkan untuk Dewan Pendidikan, antara September - Desember 2003, telah diajukan 403 dana subsidi yang besarnya bekisar antara 40-50 juta rupiah. Pengajuan dana subsidi tersebut tentu saja mensyaratkan terbentuknya Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan itu sendiri. Sebab kedua lembaga inilah yang mengajukan permintaan dana subsidi, dan bukan dinas pendidikan setempat. Dari fenomena inilah muncul kecurigaan bahwa terbentuknya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dalam tempo yang cepat itu, sebagian besar berkaitan dengan kebutuhan agar dana yang disediakan dapat cepat dicairkan. Kecurigaan ini didukung oleh kenyataan bahwa sampai sekarang belum banyak terdapat catatan keberhasilan dari dewan-dewan pendidikan dan komite-komite sekolah tersebut. Tentu saja ada beberapa keberhasilan yang dapat dicatat berkaitan dengan kerja kedua lembaga tersebut. Tapi angkanya sangat jauh bila dibandingkan dengan antusiasme pembentukannya. Hal

tersebut

tentu

saja

mereduksi

keberadaan

kedua

lembaga

tersebut

sebagaimana diharapkan. Sebab Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak ditujukan semata-mata mengurus pembiayaan pendidikan. Sebab kedua lembaga tersebut sebenarnya adalah lembaga kunci dalam proses desentralisasi pendidikan, yaitu memfasilitasi keterlibatan masyarakat di dalam pendidikan sebagai pemberi pertimbangan, pendukung, pengontrol dan mediator. Namun pada prakteknya dan operasionalisasi fungsi-fungsinya tentu saja tidak semudah itu sebab kondisi dan tingkat partisipasi masyarakat berbeda-beda di setiap daerah. Dan justru di sinilah letak permasalah utamanya.

Clearinghouse YIPD/CLGI

5

Sebagian besar masalah berkaitan dengan kewenangan dan kekuasaan kedua lembaga tersebut. Bahkan seperti sudah disebut di atas, keberadaan lembaga ini di RUU Sisdiknas yang baru pun dianggap masih tumpang tindih dengan kewenangan Dinas Pendidikan. (Media Indonesia, 9/2/2002) Di satu pihak ada Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang kegiatannya dianggap berintervensi terlalu jauh dalam urusan Dinas Pendidikan dan tidak hanya menjalankan fungsi koordinatif saja (Kompas, 21/9/2002). Namun di lain ada contoh kasus di mana Komite Sekolah yang menjadi lahan pemerasan oleh Dinas Pendidikan seperti yang terjadi di Lampung. Di Bandar Lampung 2,5% dari dana komite sekolah yang dikumpulkan dari orang tua murid diminta untuk disetorkan ke Dinas Pendidikan setempat sebagai biaya kegiatan supervisi, pengawasan, evaluasi, monitoring dan kas. (Kompas, 25 Januari 2003). Menanggapi berbagai permasalahan di atas, berkembang wacana di berbagai media massa akan perlunya monitoring kinerja dari Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.(Kompas,16/1/2002)

Dan

pada

saat

yang

sama

juga

diperlukan

memperkuat landasan legal dari kedua lembaga tersebut. (Kompas, 14/10/2002) Monitoring dan memperkuat landasan legal dari Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah mernang dilihat menjadi kebutuhan yang mendesak bagi keberlanjutan kedua lembaga tersebut. Atau kalau tidak, kita akan terus mendapati berbagai macam variasi kasus dari kegiatan yang dilakukan keduanya. Sebab Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah menghadapi berbagai kasus yang begitu beraneka di daerah masing-masing. Kalau tidak dilakukan evaluasi dan monitoring, sangat mungkin solusi yang mereka ambil dapat melenceng dari sistem pendidikan nasional. Di lain pihak, tanpa memeperkuat landasan legal, mereka pun tidak mempunyai kekuatan eksekusi apa pun berhadapan dengan kasus-kasus yang mereka hadapi setiap harinya. Namun di luar berbagai masalah tersebut, tidak sedikit juga catatan atas keberhasilan dari kerja Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Misalnya di daerah Malang Jawa Timur yang kaya akan usaha peternakan sapi dan tanaman hias, dapat mengintegrasikan kompetensi tersebut ke dalam mata pelajaran di sekolah. Komite sekolah berhasil mendorong sekolah ke arah tersebut dan menyiapkan wadah dan saran yang diperlukan. Dari contoh tersebut sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang akan diwadahi oleh Dewan Pendidikan dan Komite

Clearinghouse YIPD/CLGI

6

Sekolah, tidak harus, dan sebaiknya menghindari, keterkaitannya melulu dengan uang. Berpartisipasi dalam pendidikan tidak selalu berarti menyumbangkan uang, sebagaimana selama ini dilakukan melalui jalur BP3. Sebab masyarakat pasti memiliki banyak sekali kemungkinan partisipasi, sebanyak keanekaragaman latar belakang sosial dan pekerjaan masyarakat itu sendiri. ***

Clearinghouse YIPD/CLGI

7

Clearinghouse YIPD/CLGI

8