DUA ORANG PENGARANG PEREMPUAN MEMANDANG PAPUA

Download Tanah Papua merupakan latar yang menjadi penanda utama dua novel karya dua ... keterlibatan para zending dan pekerja asing secara tak langs...

0 downloads 451 Views 263KB Size
DUA ORANG PENGARANG PEREMPUAN MEMANDANG PAPUA: PEREMPUAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

Dina Amalia Susamto Program Studi Ilmu Susastra Program Pasca Sarjana FIB UI Abstrak Tanah Papua merupakan latar yang menjadi penanda utama dua novel karya dua pengarang perempuan Indonesia, yaitu Tanah Tabu dan Isinga. Kedua pengarang mengisahkan perubahan sosial pada masyarakat Papua yang melibatkan agen perubahan. Agen perubahan terdiri dari tokoh-tokoh perempuan akar rumput dan keterlibatan para zending dan pekerja asing secara tak langsung untuk melawan ketertindasan tanah Papua dari sistem sosial masyarakat Papua yang melibatkan konglomerasi pemerintah pusat serta para pengusaha pada masa Orde Baru dan masa transisi. Tujuan penulisan makalah ini, pertama melihat penggambaran perubahan sosial di Papua yang melibatkan aktor-aktor perempuan di dalamnya dan peran zending maupun pekerja asing secara tak langsung. Kedua, menjelaskan isu penindasan di Papua dalam dua novel karya dua pengarang perempuan yang diterbitkan pasca kejatuhan Orde Baru. Metode pembahasan adalah mengumpulkan dan mendeskripsikan data-data primer dari dua novel karya pengarang perempuan, dan mengaitkan data-data primer tersebut dengan data-data sekunder. Hasil dari pembacaan dua novel tersebut adalah dua pengarang perempuan menggambarkan perubahan sosial di Papua secara paksa di masa Orde Baru yang terjadi sejak adanya konglomerasi pengusaha dan pemerintah pusat dalam mengeksploitasi tanah Papua. Ketertindasan tersebut membuka perlawanan perempuan-perempuan akar rumput untuk membela hak-hak hidup masyarakat Papua. Penerbitan novel dengan isu penindasan Papua pascareformasi membuka refleksi terhadap hubungan antara Indonesia dan Papua, Papua dan Masyarakat Internasional, dalam kasus eksploitasi sumber daya alam dan pengabaian masyarakat Papua oleh pelaku-pelaku baru. Kata Kunci Novel, Dua pengarang perempuan, Perubahan Sosial, Papua, Orde Baru

1

Pengantar Sastrawan sebagai individu bagian dari kelompok masyarakat turut andil memberikan pengamatan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat manusia. (Damono, 2002: 1). Pengamatan tersebut dituangkan dalam karya sastra salah satunya karya yang berbentuk novel yang di dalamnya berisi rekaman kehidupan manusia sampai di kedalaman batin. Bahasa yang digunakan sebagai media pendokumentasian peristiwa, manusia, dan gerak batinnya, juga merupakan penciptaan yang tidak lepas dari kerangka pikir sastrawan. Antara bahasa yang disusun sastrawan, sastrawan sebagai anggota masyarakat, hubungan antaramasyarakat, masyarakat dan individu termasuk sastrawan, menunjukkan hubungan-hubungan timbal balik yang penting untuk diperbincangkan. (Damono, 2002: 4), (Faruk, 2010: 7) Cerita Dari Digul (Toer, 2001), Namaku Tewerawut (Sekarningih, 2000), satu buku dan satu novel tersebut telah bicara tentang nasib Papua. Setelah itu kisah tentang Papua dalam novel Tanah Tabu (2009) dan Isinga (2015) secara kuat juga masih berbicara tentang kesaksian dunia kelabu di tanah hitam tersebut. Membicarakan Papua seperti menumpahkan rupa kemurungan sosok saudara dari wilayah geografis yang jauh dan nyaris sulit dijangkau. Papua adalah planet lain dalam NKRI. Selain mahalnya transportasi, Papua sudah lama menjadi subjek yang lain (The other) yang sering distereotipekan dengan sebutan primitif, atau dalam penelitian Slama dan Munro, dkk., (2015) disebut zaman batu. Alam Papua identik dengan keliaran, misterius, nyamuk dan binatang pembunuh lain tetapi diam-diam juga diekspoitasi oleh perusahaan tambang dan industri kayu. Dengan tiga kata, orang dapat menggambarkan keseluruhan tentang dua novel karya pengarang perempuan, Anindita S Thaiyf (AST) dalam Tanah Tabu (2009) dan Dorothe Rosa Herliany (DRH), Isinga (2015) dalam menghadirkan Papua. Ketiganya adalah kekayaan alam, keindahan dan penderitaan. Dua kata pertama sinonim, sedangkan kata yang terakhir adalah paradoks yang muncul akibat sistem budaya atau struktur yang diciptakan. Nampaknya kedua pengarang perempuan ini sepakat bahwa perubahan sosial di Papua awalnya berasal dari perubahan sistem akibat dorongan dari luar komunitas. Perubahan tersebut berhubugan dengan persoalan politik ekonomi, sosial dan budaya. Sebagai akibat perubahan paksa tersebut AST dan DRH mengkonstruksi aktor-aktor perubahan yang semula terpuruk di titik nadir dalam konflik yang terjadi dalam perubahan sosial, kemudian melahirkan tokoh-tokoh yang diciptakan untuk mendobrak keadaan agar tidak tertindas oleh perubahan dari luar tersebut. Intervensi yang dilakukan dari luar kelompok tersebut menyebabkan terjadinya konflik sosial pada komunitas-komunitas di Papua. Tipe masyarakat Papua yang

2

pernah digambarkan oleh para antropolog kolonial sebagai masyarakat zaman batu, dan oleh karena itu distrereotipe sebagai yang primitif, diintervensi negara mengatasnamakan “pembangunan” sehingga Papua mesti berubah. Martin Slama dan Jenny Munro dkk. (2015), melakukan penelitian terhadap bagaimana Papua ditrereotipekan sebagai masyarakat murni zaman batu yang satu sisi diubah secara paksa oleh negara, satu sisi yang lain dipertahankan untuk ditonton sebagai bagian dari masa yang murni yang telah jauh ditinggalkan oleh masyarakat lain. Berbeda dengan para antropolog penganut evolusionist dan primitivist yang melihat Papua seperti yang diungkapkan dalam penelitian Slama dan Munro,dkk., dua pengarang perempuan nonpapua menarasikan Papua dengan sensibilitas yang tinggi yang tampak secara hati-hati menghindari kata primitif. Perubahan-perubahan kebiasaan diceritakan terlihat dalam sudut pandang masyarakat Papua. Dua pengarang perempuan ini mencoba untuk melakukan penulisan dengan lebih menekankan sisi emik dalam studi etnografi, meskipun antara AST dan DRH memberikan ancangancang dan lompatan-lompatan yang berbeda dalam plot cerita. Kehati-hatian AST dan DRH mengisahkan perubahan sosial di Papua tidak menghalangi kelancaran narasi, juga tidak mengganggu ambisi kedua pengarang perempuan ini dalam mengkostruksi tokoh-tokoh yang menggerakkan perubahan yang diinginkan oleh dua pengarang. Tegangan dan kontradiksi dalam masyarakat sebagai akibat perubahan-perubahan populasi penduduk yang bermigrasi dari luar papua, interaksi dan saling pengaruh, perkumpulan, konflik yang tercipta dari kedatangan pendatang tersebut, mempercepat perubahan sosial yang meskipun memiliki akibatakibat dan hasil yang belum terkalkulasi dalam novel tersebut, setidaknya tegangan tersebut diramu dengan penekanan-penekanan plot yang berbeda. Makalah ini membahas bagaimana perubahan sosial itu digambarkan dalam dua novel karya pengarah perempuan? Apa yang akan disasar kedua pengarang ini dengan menerbitkan novel dengan isu penindasan Papua pada masa satu decade lebih pascareformasi?

Kerangka Sosiologi Sastra Sebagai Ilmu Kritik Sastra Digunakan

dan Metode yang

Sebagai sebuah ilmu dalam kritik sastra, sosiologi sastra bergerak dalam lingkup gejala kedua (epiphenomenon), (Damono, 2002: 3)yang diciptakan oleh pengarang. Pengarang tidak hanya sebagai individu tetapi sebagai sistem pengatahuan yang bergumul dengan situasi zamannya. Ian Watt dalam Damono (2002:4) bahkan mengatakan posisi sosial pengarang dalam relasinya dengan pengayoman, menentukan teks sastra yang dihasilkan. Masyarakat yang disasar oleh pengarang juga menjadi faktor sosial yang mempengaruhi karya pengarang. Dan karya sastra yang

3

menghadirkan gejala kedua itu tidak menutup persandingan kritik sastra sosiologi dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial dan budaya yang lain. Metode pembahasan yang digunakan yaitu mengumpulkan dan mendeskripsikan data-data primer dari dua novel karya pengarang perempuan. Datadata primer tersebut kemudian dikaitkan dengan data-data sekunder dari media maupun buku-buku yang membahas tentang Papua. Literatur Penelitian Sebelumnya Tentang Papua dan Penelitian Sebelumnya Tentang Novel Papua Literatur-literatur sebelumnya yang berbicara tentang Papua yang menarik untuk disimak adalah karya Martin Slama dan Jenny Munro dkk. (2015). Karya antropologis tersebut berbicara tentang realitas sosial Papua dalam dunia kontemporer. Slama dan Munro dkk., memberikan pandangan bagaimana Papua yang dicitrakan dengan zaman batu, memberi dorongan para misionaries untuk mendamaikan, mengadabkan, memodernisasi, mengkristenkan, mengislamkan penduduknya. Karya tersebut juga melihat hubungan hirarkis antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat pendatang dan masyarakat dalam lapis bawah, masyarakat Papua di dalam pesatnya pertumbuhan yang dimobilisasi secara lokal maupun regional dari masa suharto hingga masa kini.Penelitian tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana transformasi masyarakat Papua berangkat dari citra peyoratif, atau stigma dari luar yang diinternalisasi oleh orang-orang Papua sendiri dan kemudian memaksa mereka berubah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pola-pola pikir kalangan evolusionist yang mengasumsikan perubahan masyarakat seperti perubahan dalam ilmu alam (Darwinian) dan kalangan primitivist yang menganggap sesuatu yang alami, murni, bagian dari eksotika yang dapat diperdagangkan melalui pariwisata, tetap memposisikan masyarakat Papua sebagai masyarakat dari kelas yang lebih rendah. Tulisan Slama dan Munro dkk. tersebut memberi kerangka sosial-budaya pada makalah ini dalam mengkritisi cara pandang terhadap Papua. Salah satu pembahasan Tanah Tabu sebelumnya dilakukan oleh Purwaningsih (2012). Purwaningsih menggunakan kerangka kritik Poskolonial untuk mempertanyakan tarik menarik antara relasi kuasa global dan lokal yang dikisahkan Tanah Tabu. Tarik menarik tersebut di dalamnya memunculkan gejolak masyarakat lokal dalam merespon tekanan globalisasi yang mendesak masyarakat Papua. Pembahasan tersebut memberi ide dalam makalah ini terlebih melihat pada detail perubahan masyarakat lokal akibat pertemuan-pertemuan dengan nasional (pemerintah pusat) dan korporasi asing.

4

Dua Pengarang Perempuan Mencipta Tokoh-Tokoh Perempuan dalam Struktur Masyarakat Masyarakat Papua dalam Tanah tabu dan Isinga merupakan masyarakat dengan sistem komunalitas yang sangat tinggi. Kelompok-kelompok masyarakat yang disebut suku-suku di dalamnya memiliki anggota-anggota yang saling terikat yang dipimpin oleh kepala suku. Tanah Tabu menyebut suku Dani di lembah Baliem sebagai penanda sebuah kelompok masyarakat. Tokoh utama novel tersebut Mabel (Mama Anabel Okale) atau yang bernama asli dalam bahasa suku Dani, Waya. Sedangkan tokoh utama Isinga bernama Irewa, seorang perempuan yang berasal dari suku Aitubu dengan penanda, laki-laki Aitubu menggunakan perhiasan di hidung. Seperti juga suku-suku lain di tanah Papua, kelompok masyarakat terdiri dari keluarga yang dikepalai oleh suami. Laki-laki bertugas berburu, berperang, mendapat tanah (ladang), dan perempuan (istri) yang akan mengurus tanah-tanah tersebut disamping mengurus keluarga sehari-hari. Laki-laki mendapatkan kedudukan istimewa dalam masyarakat karena kemampuannya mendapatkan wilayah baik dalam berperang maupun pengembaraan. Dalam novel Tanah Tabu dan Isinga dilukiskan bahwa: Mereka, para laki-laki, hanya boleh membawa senjata, sebab tugas mereka brburu dan melindungi. Sedangkan perempuan dianggap sebagai mahluk lemah sehingga pautut dilindungi dari serangan musuh, tetapi tidak dari penindasan keluarga sendiri. (Tanah Tabu: 82). Anak laki-laki adalh alat mendapatkan tanah. Akan tetapi bagi suku-suku tersebut mempunyai anak perempuanjuga merupakan cara untuk mendapatkan mas kawin. (Isinga: 60) Kelangsungan hidup sehari-hari kelompok-kelompok masyarakat bergantung pada perempuan. Pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari yang didapatkan dari menanam petatas (Umbi-umbian) di ladang disediakan oleh perempuan, mulai dari menanam, merawat, memanen hingga dihidangkan sebagai makanan. Perempuan juga yang membesarkan anak-anak, mengasuh sambil bekerja di ladang. Banyaknya tugas perempuan pada suku-suku di Papua menginspirasi AST dan DRH menempatkan tokoh-tokoh perempuan sebagai hero. Kehidupan para perempuan Papua dalam novel-novel tersebut dirasakan berat seperti yang dituliskan oleh kedua pengarang. Mereka selalu melahirkan dengan interval yang dekat, dan dalam keadaan mengandung atau sambil mengasuh anak-anak, mereka tidak memiliki dispensasi atau berhenti mengerjakan pekerjaan harian di ladang. Akan tetapi dalam pandangan awal tokoh-tokoh perempuan Papua, Irewa, salah satu tokoh utama

5

perempuan dalam Isinga maupun Mabel, tokoh utama dalam Tanah Tabu, dan juga tokoh-tokoh perempuan Papua lain, Lisbeth dan Mama Helda (Tanah Tabu), dan Mama Kame (Isinga) bahwa tugas-tugas perempuan itu bagian dari batasan mereka bahwa perempuan Papua adalah perempuan yang menjalani kehidupan sebagaimana nenek moyang mereka telah mengajarkan: melayani suami, mengasuh dan membesarkan anak, menyediakan makanan, dan bekerja di ladang. Ada lima dusun di Hobone. Dusun Fafor, Dusun Perem, Dusun Egiwo, Dusun Onef, dan Dusun Papopen. Dari masing-masing dusun itu Irewa mendapatkan nasihat yang berbeda-beda. Juga berupa nyanyian-nyanyian. Yaitu nasihatnasihat agar menjadi orang Hobone yang baik. Baik untuk laki-laki atau perempuan. Tapi yang lebih dicatat dalam ingatannya adalah nasihat yang ditujukan untuk seorang perempuan. Jumlahnya lebih banyak daripada nasihat untuk laki-laki. Karena itu, Irewa setiap hari mengingat dan mencoba bisa memasukkaanya ke kepala. Satu demi satu. Perempuan yang baik itu mesti pendiam. Tidak pernah mengeluh. Tidak pernah protes. Tidak pernah membantah. Tidak pernah bersedih. Tidak pernah berbicara kasar. Tidak pernah menyakiti hati orang lain. Tidak suka bertengkar. Tidak pernah marah. Tidak pernah mendendam. Tidak pernah punya perasaan dengki pada orang lain.Senang membantu orang lain. Tidak mengeluh kalau ada kesulitan.Penurut. Tidak pernah bicara kasar. Bersuara lembut. Tidak pernah berkelahi. Tidak suka mencari masalah. Tidak senang menyalahkan orang lain. ..........Perempuan berwatak semua itu sangat disukai oleh masyarakat Hobone. Itulah yang disebut perempuan baik.(Isinga: 65-66) Novel Tanah Tabu mengatakan bahwa tokohnya, Mabel, juga terkena hukum yang sama sebagai perempuaan Papua. Meskipun Mabel lebih beruntung dari Irewa (Isinga) sebab Mabel sejak awal sudah dipertemukan dengan orang asing (nonpapua) yang memberinya pegatahuan, tatapi ketika menikah Mabel mengalami juga “takdir” perempuan Papua. Perang antarsuku yang disebabkan oleh penculikan istri orang dalam hal ini Mabel yang telah menikah diculik oleh lelaki dari suku lain, menjadi penyebab Mabel diceraikan oleh suaminya yang merasa haknya telah terganggu. Padahal Mabel saat itu sudah dikembalikan. (Tanah Tabu: 155). Pada pernikahan kedua “takdir” perempuan Papua itu kembali ditemui oleh Mabel, ketika suaminya yang berasal dari suku Amungmai di Timika, yang semula baik, penyayang, pemburu yang tangkas, sejak masuknya para pemburu emas membuat perainya berubah. Perusahaan emas telah menggusur kampung suami Mabel milik suku Amungmai, dan sungaisungai tempat ikan sudah tercemar limbah, sehingga Mabel tidak menyediakan lauk. Kampung baru mereka yang berasal dari penggantian penggusuran itu jauh dari hutan, situasi itu membuat suami kedua Mabel, Pace Maue, menjadi pemarah dan tidak segan

6

memukul Mabel. Dan ketika Pace Maue bekerja sebagai tukang sapu dengan upah kecil, Pace Maue semakin menjadi pemarah, pemukul, dan mabuk-mabukan. Prilaku Pace Maue tersebut yang menjadi alasan Mabel meninggalkannya dan memutuskan hidup sendiri di kota Timika.

Perubahan Sosial di Papua dalam Tanah Tabu dan Isinga Dua novel yang mengambil latar waktu secara mayor di era Orde Baru tersebut mempunyai metonimi “pembangunan” yang dapat menjadi titik pijak untuk mengurai peristiwa-peristiwa perubahan sosial yang disajikan. Setting tempat Timika yang dihadirkan dalam awal Tanah Tabu langsung memberi rujukan pada pembangunan apa yang diselenggarakan di tempat itu. Perusahaan tambang emas milik PT Freeport dibangun untuk meneruskan penemuan emas di pegunungan Ertsberg (Gunung Bijih) pada masa kolonial. Proyek PT Freeport didirikan pada masa awal Suharto berkuasa. Dengan alasan itu, proyek-proyek infrastruktur dibangun di Timika, orang-orang berdatangan, dan dalam waktu singkat Timika menjadi kota yang sangat ramai. Rumah-rumah mulai dibangun oleh pemerintah yang bekerja sama dengan Freeport. Sebuah kota baru bernama Tembagapura muncul seiring dengan perkembangan pembangunan dan naiknya jumlah penduduk. Tentu sebelum penduduk luar Papua berdatangan di Timika dan sekitarnya, penduduk lokal sudah menempati wilayah tersebut. Tokoh-tokoh dalam Tanah Tabu merupakan bagian dari masyarakat Papua dari luar Timika yang tertarik mendatangi kota tersebut. Tanah Tabu plotnya dimualai dari tengah, dengan menyebut angka tahun 2012. Multinarator yang terdiri dari tiga aku-an yang berbeda masing-masing digunakan membawa narasi maju-mundurnya plot. Salah satu plot mundur yang dibawakan adalah pada kehidupan awal tokoh utama, Mabel, yang menyaksikan pembangunan lapangan udara perintis yang dekat dengan pemukiman masyarakat Suku Dani di Wamena. Sebelum pembangunan itu, narator mengisahkan pertemuan orang-orang suku Dani dengan para kulit pucat warga Belanda untuk menentukan sebidang tanah di Wamena dalam rangka pembangunan lapangan terbang. Lewat narator seekor anjing piaraan Mabel, AST menggambarkan masyarakat Dani yang hidup sehari-hari naik turun gunung unutuk berkebun tanpa alas kaki, perempuannya memikul beban di kepala dengan noken yang berisi anaknya dan anak babi, berpakaian sally, rok rumbai dari daun kering yang dililitkan di bawah perut yang membusung, dada terbuka, sementara laki-lakinya menggunakan senjata berburu berupa tombak dan panah, dengan mempercayai roh-roh nenek moyang. Masyarakat tersebut kemudian dipertemukan dengan yang kontras, para pendatang berkulit putih pucat dan berambut kuning yang awalnya dianggap hantu oleh masyarakat Dani.

7

(Tanah Tabu: 81-84). Kepercayaan terhadap hantu tersebut membuat masyarakat berlari lintang pukang menuju gunung dengan sangat waspada, sangat takut, dan menyangka kiamat akan segera datang. Tidak lama setelah mereka diyakinkan bahwa mereka aman dengan diberi oleh-oleh yang tidak dikenal sebelumnya dalam kebudayaan suku Dani, mereka menerima pendatang yang ternyata dari Belanda. Penerimaan suku Dani terhadap pendatang ramah, terpesona, dan dibuai angan-angan adanya perubahan setelah orang-orang Belanda mengutarakan maksud kedatangan: mendirikan lapangan terbang kecil dan pos pemerintahan. (Tanah Tabu: 86). Bukan hanya oleh-oleh berupa garam dan tembakau yang membuat kepala suku Dani dan masyarakatnya terbujuk memberikan sebidang tanah, tetapi kalimat bujukan orang Belanda yang memberi pengharapan pada masyarakat Dani. Kalimat bujukan tentang perubahan yang baik yang akan diwariskan pada anak cucu. AST lewat naratornya,seekor anjing, menggarisbawahi: Semua orang tentu saja menginginkan kebaikan. Pun, setiap laki-laki sudah pasti akan merasa terhormat jika bisa memberikan warisan yang membanggakan kepada keturunannya. (Tanah Tabu: 87). Perubahan sosial yang pertama digambarkan oleh AST adalah perubahan dari luar yang dilakukan melalui pendekatan hati pada masyarakat Dani yang ramah dalam novel Tanah Tabu. Janji perubahan yang membawa pada kebaikan, ditunjukkan dengan gambaran kepemilikan benda-benda teknologi yang menurut masyarakat Dani ajaib. Benda-benda itu juga mempesona Mabel kecil yaitu kotak yang memukaunya karena mengeluarkan suara tanpa ada orang yang bersembunyi di dalamnya. Dikatakan jika bosan Mabel kecil berjalan jauh ke balik gunung ke tempat yang menghasilkan benda berkilat-kilat. Tidak sampai dewasa, Mabel dapat mewujudkan angannya mengetahui dan mengalami sesuatu di balik semua itu. Perubahan sosial yang terjadi pada masa kecil Mabel berasal dari orang-orang Belanda yang diberi proyek pembukaan lapangan terbang, lalu dihubungkan dengan masa ia hidup di kota Timika, kota penghasil emas oleh perusahaan Freeport (meskipun nama Freeport tidak disebutkan secara eksplisit termasuk kapan pembangunannya). Novel Tanah Tabu menarasikan penggusuran kampung yang dihuni suku Amungme yanng terletak persis di gunung yang dinamai masyarakat gunung suci, karena tempat bersemanyamnya leluhur suku Amungme. Gunung Erst atau Amungmme menghasilkan emas sehingga menarik para pendatang dan mendirikan perusahaan penambangan emas. (Tanah Tabu: 109). Penggusuran itu dilindungi oleh tentara untuk memerangi siapapun yang melawan, bahkan yang dicurigai melawan. Pembangunan dan perubahan sosial menghasilkan akibat-akibat yang ditunjukkan dalam Tanah Tabu.

8

Titi mangsa 2012 di bab satu, memberi tanda kejadian-kejadian dalam novel hasil pembangunan-pembanguna tersebut: 1. Timika menjadi urban. Banyak pendatang yang tertarik pada Timika, selain bekerja di tambang emas, juga bekerja di sektor-sektor informal seperti para pedagang di pasar.Digambarkan dalam Tanah Tabu tokoh Mabel dan Mace sehari-hari berjualan sayuran di pasar dan lingkungan sebagai pedagang ini mengakibatkan interaksi berbagai masyarakat. 2. Sistem penggajian di perusahaan tambang emas memberi kesempatan pekerjapekerja mengkonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan, di antaranya gadget, minuman keras dan seks komersial. Kegiatan menambang emas juga memberikan contoh masyarakat yang sebelumnya adalah masyarakat berladang dan berburu, menjadi penambang emas sisa yang mengalir di sungai tempat perusahaan membuang limbah, hasil mendulangnya dijual untuk mendapatkan uang dan uang itu digunakan untuk bersenang-senang. “Mereka itu datang dari gunung, Leksi. Meninggalkan pekerjaan berladang dan berburu hanya untuk mencari emas di sungai tempat perusahaan membuang kotorannya. Kalau beruntung, mereka memang bisa mendapat banyak uang. Ada yang bilang sampai hampir belasan juta. Mereka pun jadi orang kaya baru. Beli HP mahal, ini itu yang tidak perlu, dan bersenang-senang. Secepat uang itu datang maka cepat pula perginya.” Masih kata Mace, para Meno (laki-laki setempat) biasanya menghamburkan uang dengan pergi ke temat setan menghabiskan uangnya pula. (Tanah Tabu: 77). 3. Kota-kota dan institusi pendidikan mengubah cara berpenampilan dan pola pikir masyarakat Papua di Timika.Diceritakan dalam Tanah Tabu tokoh-tokoh mengenakan pakaian seperti para pendatang. Bahkan penampilan anak-anak muda dilukiskan celana pendek, baju dan topi, sepatu kulit hitam, kalung taring babi, noken rajutan benang yang mungil, dan memegang hp. (Tanah Tabu: 70). Sedangkan Pendidikan modern memberi perubahan pola pikir bahwa masyarakat terdidik akan bekerja di ruang-ruang publik seperti LSM dan sebagainya. Begitulah, usai pertemuan di hari Minggu itu, Mace yang tampaknya begitu terpesona pada apa yang baru dilihatnya tiba-tiba saja mengutarakan keinginannya. Dia ingin aku nanti bisa eperti gadis yang pandai enjelaskan nyamuk dan penyakit malaria itu. “Kau harus sekolah tinggi-tinggi, Leksi, biar seperti dia,” lalu Mace memandang gadis idolanya dari jauh seolah anaknya sendiri. 9

“Aku dan Mabel pasti bangga sekali kalau kau pintar dan berhasil. Karena itu kau harus sekolah. Belajar sudah. Jangan pikir yang lain dulu.” (Tanah Tabu: 27) 4. Ruang kota menyediakan fasilitas pelayan kesehatan dan LSM yang memberi penyuluhan kesehatan. Perubahan sosial dalam novel Isinga dimulai dari kedatangan para misionaris kristen di pegunungan Megafu dan dokter dari Jerman serta asistennya dari Belada pada masyarakat Aitubu dengan misi kemanusiaan. Misionaris kristen juga mendirikan sekolah untuk para pemuda berusia di atas 12 tahun di perkampungan dengan pelajaran membaca, menulis, kadang bahasa Indonesia, pertanian serta agama. Perubahan sosial ini tidak cukup banyak memberi dampak pada masyarakat kecuali pada tokoh-tokoh utama yang di kemudian hari pelajaran dasar tersebut menghasilkan cara berpikir tokoh utama yang berbeda di antara masyarakat kebanyakan. Tokoh utama Meage (laki-Laki) menggerakkan orang-orang antarsuku agar tidak saling berperang. Pendidikan digambarkan sebagai salah satu yang mengubah musuh jadi kawan. Isinga memberi latar secara mayor pada kehidupan komunitas suku-suku di pegunungan Megafu dengan berbagai upacara, tabu, dan institusi adat yang mengatur secara lisan kehidupan masing-masing suku, meskipun setting tempat dan nama-nama suku serta berbagai ritus tampaknya diubah oleh DRH. Aturan ini ditransmisikan secara turun menurun lewat ritual-ritual dan lagu-lagu pada suku Hobone. Plot maju menyampaikan pesan linearitas perubahan yang terjadi. Di tengah perang antarsuku, narasi menceritakan satu suku yang dikatakan bermasalah dengan pemerintah. Suku tersebut dianggap terlalu sederhana dalam cara hidup dan cara berpikir sehingga pemerintah perlu memajukannya. Suku yang diceritakan memang bukan suku Aitubu, suku tokoh-tokoh utama. Dalam kegiatan tokoh utama Meage, seorang pemuda, menolong korban-korban perang antarsuku, ia menyaksikan kekerasan yang dilakukan pemerintah terhadap suku Rao . (Isinga: 102) Pemerintah meminta suku Rao menggunakan pakaian, celana pendek, dan meninggalkan Koteka. Karena suku Rao takut meninggalkan kebiasaan dan kepercayaan mereka, suku rao tidak mau mengenakan pakaian dari luar. Pemerintah pun memaksa dengan menggunakan senjata. Menurut novel tersebut, kekerasan yang dilakukan pemerintah pada orang Rao, karena kesalahpahaman. Orang Rao yang tidak memahami maksud pemerintah kembali meninggalkan pakaian dan kembali memakai Koteka, sehingga pemerintah mengira orang Rao telah melawan. Pemerintah hanya tidak memahami bahasa orang Rao dan sebalinya orang Rao tidak mengerti Bahasa Indonesia, sementara pemerintah tidak menggunakan pendeta sebagai agen atau aktor yang bisa menyampaikan maksud pemerintah pada suku Rao.

10

Perubahan sosial lain yang berasal dari luar suku-suku adalah ketika mulai banyak pencari kayu Gaharu untuk industri di Jawa. Jumlah permintaan yang tinggi membawa para pendatang mencari kayu-kayu di pedalaman. Keramaian pendatang tersebut, jualbeli Gaharu, adanya pelabuhan yang mengangkut kayu membuat kota kecamatan distrik Yar, yang ditinggali tokoh Irewa menjadi sangat ramai. Distrik tersebut mulai ada pasar bahkan jaringan internet untuk publik atau warung internet. Para pendatang yang terus menerus tinggal di Distrik Yar membuat jumlah penduduk menjadi semakin padat. Mencari tanah kosong sulit, dan kota pun berkembang ke kampung-kampung yang lain sekitar distrik Yar. Keramaian itu membawa perubahan jual-beli tanah yang ditempati para pendatang. Pasar membuat masyarakat lokal mengenal uang, dan bahan-bahan makanan yang didatangkan dari luar. Pasar membuat orang dari berbagai asal-usul saling berinteraksi. Dan di pasar inilah menjadi pusat perubahan kehidupan tokoh-tokoh dan konflk-konflik baru. Salah satunya adalah industri seks komersial yang didatangkan dari luar Papua yang semula disediakan untuk para pencari kayu di pedalaman. Akibatnya, industri kesenangan tersebut mendatangkan konflik sosial berupa penyakit kelamin yang menyebar di distrik tersebut mulai drai sifilis hingga HIV/AIDS. (Isinga: 145-152) Selain industri kayu, perubahan sosial juga terjadi dengan masuknya industri kelapa sawit. Sebagian besar tanah-tanah didapatkan dari penggusuran tanah-tanah adat. “Anak dengar Mama pu (punya) cerita. Hidup Mama sekarang susah. Pohonpohon sagu ditebang diganti dengan kelapa sawit. Tarada (tak ada) bahan makanan lagi. Mama tara (tak) bisa buat bola-bola sagu untuk keluarga. Mama tara bisa buat pesta adat lagi.Tarada bahan-bahan untuk obat kalau keluarga sakit. Tarada bahan untuk membuat pakaian untuk menari adat, membuat noken, da anyaman. Kitorang (kita+orang) tak makan kelapa sawit ka (bukan)?” (Isinga: 163) Perubahan sosial yang digambarkan dua pengarang perempuan tersebut awalnya berasal dari luar, baik perubahan struktur masyarakat karena adanya institusi bernama pasar (Isinga), dan perusahaan tambang emas (Tanah tabu) yang keduanya merupakan bagian dari produk favourit pembangunan. Perubahan pola pikir tokoh-tokoh utama Papua menurut dua pengarang tersebut ditransmisi dari luar oleh aktor-aktor yang bergerak dalam suatu organisasi sosial. Tanah Tabu berasal dari pekerja-pekerja ahli yang berurusan dengan perusahaan tambang emas Freeport, juga dari Lembaga Sosial Masyarakat. Sedangkan Isinga berasal dari dokter dan tenaga kesehatan dari luar Papua (bahkan asing) yang bekerja amal untuk masyarakat pedalaman, dan dari kegiatan zending para misionaris Kristen. Pendidikan juga merupakan faktor penentu munculnya perubahan pola pikir yang ditularkan dari interaksi antara aktor yang

11

terdidik dalam pendidikan modern dan tokoh-tokoh Papua. Transmisi tersebut tidak terjadi sebaliknya. Dalam Isinga tokoh-tokoh Papua tidak memberikan pengetahuan tradisional Papua pada dokter dari Jerman, atau para misionaris. Perempuan Sebagai Aktor/Agen Perubahan Di dalam perubahan-perubahan sosial akibat pembangunan, AST dan DRH sama-sama menyorot perempuan Papua sebagai individu-individu yang paling tergilas perubahan paksa dari luar. Pada posisi-posisi yang sudah sangat terpuruk, tokoh-tokoh perempuan dalam Tanah Tabu dan Isinga kemudian ditegakkan kembali , dan bahkan menjadi penggerak perubahan di masyarakat agar tidak tergilas. Irewa bangkit dari penderitaanya dalam suatu titik kesadaran ia harus menolong dirinya sendiri dan masyarakat yang anak-anaknya terbawa pada industri komersial seks. Selain pengalaman yang menimpa dirinya Irewa sempat mendapatkan pendidikan Sekolah Setahun yang didirikan di Aitubu. Sebenarnya sekolah itu untuk pemuda, sehingga Irewa hanya mengikuti dari luar. DRH mencipta aktor perempuan yang menjadi perantara perubahan dengan mempercayai pendidikan adalah bagian yang berpengaruh dalam pembentukan pola pikir dan keberanian untuk berubah, termasuk menyikapi perlakuan suaminya setelah belajar dalam interaksi dengan perempuan pedatang dari Jawa di Pasar. Pasar sebagai ruang interaksi individu-iindividu yang asal-usulnya heterogen, kemudian juga menjadi basis perkumpulan untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar perdagangan. Salah satu kegiatan yang dilakukan Irawa di luar berdagang sayursayuran adalah memberi penyuluhan pada pedagang lain sesama perempuan tentang penyakit kelamin dan usaha untuk menolak pelacuran di distrik Yar. Irewa kini lebih menyadari akan dirinya. Zaman dulu, yonime diminta menjaga keselarasan masyarakat di dua kampung. Irewa kini berpikir, ia tak mau terikat hanya pada dua kampung, itu saja. Kebutuhan untuk waktu sekarang adalah, ia harus ikut memikirkan keharmonisan pada tempat sekarang ini. Irewa merasa terpanggil untuk menjadi orang yang punya pengaruh mengubah pandangan orang lain. Irewa mulai menyampaikan pendapatnya tentang pelacuran. Ia menceritakan pengalamannya saat terkena sifilis. Ia menceritakan walau perempuan hanya melakukan hubungan badan dengan suami saja, bisa saja terkena penyakit kelamin. Ia juga mengajak paara perempuan pedagang di pasar menjaga anak-anak laki-lakinya hati-hati. (Isinga: 157)

12

Para pedagang perempuan itu telah menjadi kelompok yang semakin solid di bawah pimpinan dan arahan Irawa dan bersatu dengan kelompok lain. Organisasi pedagang perempuan itu juga berjaringan dengan para perawat keliling yang dipimpin oleh dokter Jingi (saudara kembar Irawa yang terpisah sejak bayi), setelah tersebarnya penyakit kelamin termasuk HIV/AIDS. Dokter dan perawat keliling ini membagikanbagikan kondom dan penerangan tentang seks yang aman. Secara aktif aktor perempuan ini memberikan pendidikan pada para perempuan lainnya tidak hanya di wilayah pasar, tetapi juga pada perempuan-perempuan pedalaman. Pergerakan aktor perempuan dari akar rumput ini dibantu oleh perempuanperempuan terdidik dari kota nonpapua yang ditugaskan di Papua. Jingi kembaran Irawa diasuh oleh suster dari Manado, kemudian setelah masa tugas suster tersebut selesai di Papua, Jingi dibawa ke Manado dan disekolahkan hingga menjadi dokter. Aktor perubahan dari akar rumput kemudian ditingkatkan keterampilannya dalam bidang teknologi. Jingi membutuhkan komunikasi dengan Irewa, untuk itu ia mengajarkan Irewa cara menggunakan internet, membuat email, dan menggunakan telepon genggam. Isinga menyatakan bahwa perubahan akan efektif dengan didirikannya organisasi yang lebih profesional untuk menyusun rencana-rencana kerja. Tidak cukup dengan kelompok para pedagang perempuan, aktor perubahan, Irewa yang sudah bertemu dengan Ibu Selvi Warobay (kepala distrik Yar yang baru), kemudian Irewa diperbantukan dalam pendirian organisasi yang dinamai ruang Marya.Organisasi untuk membantu kerja pemerintah distrik ini bekerja memberi pendidikan para perempuan. Marya dalam bahasa daerah berarti busur. Mereka ingin agar ruang itu menjadi busur, dan panahnya adalah para perempuan. Busur dan anak panah akan dipakai untuk membunuh hal-hal buruk. Hal-hal bodoh. Ibu Selvi dan Irewa mengajak para perempuan membunuh hal-hal lama yang tidak baik. Membunuh tangis karena hidup kekuranagn. Tidak punya uang. Tak bisa makan. Membunuuh kebiasaan buruk. Makan sayur tanpa dimakan denngan bak. Minum air yang tiak dimasak. Membunuh kebiasaan hidup kotor. Tidak menjaga kebersihan. Buang sampah sembarangan. Dan lain-lain.....(Isinga, 194) Usaha untuk mengikuti perubahan sosial masyarakat Papua agar tidak tergilas yang diidekan oleh DRH membawa perempuan-perempuan pada kesiapan masuk dalam masyarakat modern dengan pola pikir masyarakat modern. Perempuan dijadikan aktor untuk membawa persamaan hak bagi para perempuan dari kungkungan sistem sosial patriarki di komunitas-komunitas tradisional di Papua yang menurut DRH dalam Isinga, perempuan telah hidup sangat menderita, sehingga harus bangkit dan menjdi

13

bagian dari perubahan. Perubahan sosial bagi DRH dalam Isinga adalah perubahan linier dari masyarakat tradisional dengan kepercayaan setempat, cara hidup setempat, dan pakaian setempat menjadi masyarakat modern yang sama dengan masyarakat nonpapua. DRH menghindari kekerasan verbal dengan tidak menyebut masyarakat Papua sebelumnnya hidup dalam keprimitifan, dan DRH juga menolak kekerasan dalam pelaksanaan perubahan sosial yang dilakukan pemerintah melalui tentara, dan membandingkan cara yang dilakukan zending dan pekerja sosial yang terdidik ketika berinteraksi dengan masyarakat Papua. Akan tetapi pemikiran DRH bahwa perubahan adalah linier, dalam kerangka Slama dan Munro dkk, sama sejalan dengan kalangan evolisionist yang melihat Papua sebelumnya sebagai yang lebih terbelakang. Aktor perempuan dalam Tanah Tabu berlatar belakang yang sama dengan aktor perempuan Isinga. Berangkat dari penderitaan yang diakibatkan oleh oknum-oknum dalam struktur masyarkat yang mengagungkan laki-laki, Mabel memiliki kesadaran bahwa ia harus menolong dirinya sendiri dan keluarga terdekatnya. Perubahan sosial yang dilakukan secara paksa karena pembangunan yang dijalankan pemerintah dan persengkolan dengan pengusaha, menumbuhkan kesadarann dan kekuatan dalam diri Mabel untuk melawan. Perlawanan yang ditunjukkan Mabel dengan cara memberi kesadaran pada teman-temannya yang senasib di pasar. Kekecewaan karena pernah dijanjikan oleh perusahaan tambang emas bahwa mereka akan membeli seluruh sayur-sayur segar milik pedagang. Akan tetapi perusahaan mengingkari janji. Ingkar janji juga dilakukan para politisi yang saat kampanye penuh memberi harapan-harapan dengan membagibagikan kaos-kaos. Kemudian setelah menang, para politisi justru membela keberadaan perusahaan emas yang telah mencemari sungai-sungai dan menggusur tanah-tanah adat. Bagi Mabel, politisi yang demikian adalah penkhinat leluhurnya sendiri. Aktor perubahan pada tanah Tabu bergerak pada wilayah perlawanan kepada perusahaan emas, politisi serta tentara yang berlaku sewenang-wenang. Perlawanan itu tidak digambarkan secara terorganisasi seperti organisasi yang didirikan aktor perempuan dalam Isinga. Aktor perempuan Tanah Tabu bekerja sendiri memberi kesadaran pada orang-orang terdekat dan pada komunitas seprofesinya di lingkungan para pedagang di sayur. Bahkan usaha memberi kesadaran tersebut justru membuat Mabel dijauhi oleh teman-temannya seprofesi. Ketika kampanye Pilkada bupati di lingkungan pasar, Mabel memeberitahu pada orang-orang pasar keburukan-keburukan para politisi yang sedang berkampanye dengan mengobral janji. Dan karena usaha memberi nalar kritis tersebut, Mabel kemudian tidak disukai dan diincar oleh para politisi.

14

Kesendirian aktor perempuan ini dalam berjuang tidak memberikan perubahan nasib masyarakatnya, kecuali nilai-nilai yang ia tanamkan pada orang-orang terdekat. Hasil akhir perjuangan soliternya tersebut adalah penangkapan dan penyiksaan yang dilakukan oleh tentara. Jebakan orang yang meminta Mabel membuat noken pada hari kemerdekaan RI membawa Mabel menjadi tersangka pemberontak OPM. Mabel telah dianggap membuat kesalahan dengan membuat noken berwarna bendera musuh negara. Padahal kesalahan tersebut karena Mabel lugu dan buta warna tidak bisa membedakan antara biru dan hijau. (Tanah Tabu: 176). Gerakan yang dilakukan oleh aktor perempuan Tanah Tabu lebih bersifat individual, dan spontan. Perubahan sosial yang dilakukan aktor perempuan Tanah Tabu belum sampai pada aksi bersama atau membangun gerakan bersama untuk melawan. Pemberian kesadaran yang dilakukan AST dalam tokoh utama sebagai aktor perubahan sebatas tumpahan pengalaman-pengalaman individu yang berserakan dan tidak diperbesar menjadi pengalaman dan gerakan bersama. Di akhir, meskipun semngat perlawanan dalam novel tersebut tidak dimatikan, tetapi kesadaran sosial masyarakat Papua utuk lebih kritis yang bukan berarti mereka berada di posisi musuh negara, tidak ada harapan muncul. Drama penangkapan yang memang untuk menunjukkan kekerasan rejim tentara pada masyarakat papua, akhirnya sebatas menunjukkan seorang martir yang hidup dalam kesepian.

Penerbitan dua Novel tentang Papua satu Decade Lebih Pascareformasi Enam belas tahun setelah reformasi persoalan Papua masih seperti api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat muncul lagi ke permukaan dan membakar emosi berbagai pihak. Baru beberapa bulan lalu, di Yogyakarta ada insiden antara mahasiswamahasiwa Papua, masyarakat Yogyakarta, dan tentara seperti yang diberitakan oleh harian meredeka daring. (https://www.merdeka.com, Juli 2016). Insiden itu adalah masa Yogyakarta dan tentara yang hendak mengusir mahasiswa-mahasiswa Papua. Karena merasa marah diperlakukan tidak adil oleh masyarakat Yogya, mereka yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) membuat rangkaian acara pada tanggal 13-16 Juli 2016. Mereka hendak berdemonstrasi menunjukkan ingin keluar dari NKRI dengan mengibarkan bendera OPM. Acara tersebut dalam rangka mendukung ULMWP (United Lebration Movment For West Papua) untuk bergabung di Melanesian Spearhead Grup (MSG) yang sedang melakukan Konferensi Tingkat Tinggi di Honiara, Solomon Island 13-15 Juli. Mereka menuntut pencabutan izin perusahaan-perusahaan asing di Papua, dan mereka juga ingin pemerintah menarik seluruh pasukan TNI dan Polisi dari pulau tambang emas

15

itu. Tidak sampai melakukan long march, masa dan tentara di Yogyakarta telah mengepung rumah kontrakan para mahasiswa Papua tersebut. Reaksi yang dilakukan oleh tentara dan polisi di Yogyakarta tersebut menunjukkan pola pendekatan kekerasan dari kalangan militer yang tidak berubah dalam penanganan Papua. Begitu juga prilaku masyarakat nonpapua yang masih menunjukkan gejala superior dan menstereotipe Papua. Hal tersebut bagian dari kegagalan pemeritah dan masyarakat Indonesia, dalam memandang Papua sebagai bagian yang setara dengan masyarakat lain. AST mengakui bahwa pengalamannya menulis Tanah Tabu, berasal dari pengamatannya pada kesulitan mahasiswa-mahasiwa Papua mendapatkan indekos. AST menerbitkan novel tersebut tahun 2009. Enam tahun lebih persoalan indekos tersebut juga masih terulang. Ketika persoalan kontrak freeport yang diperpanjang sebelum waktunya, dan masyarakat melalui berbagai media, termasuk opini-opini dalam sosial media, meributkan dominasi asing atas Papua yang disahkan oleh pemerintah, tetapi pada saat yang sama dengan insiden mahasiswa Papua di Yogyakarta menunjukkan bahwa cara pandang dan sikap masyarakat pun masih reaktif dan masih menggunakan cara-cara kekerasan yang menunjukkan belum menyetarakan orang-orang Papua. Isinga yang diterbitkan tahun 2015, terlepas dari cara pandang DRH bahwa perubahan sosial adalah sesuatu yang linear, tetapi setidaknya pengungkapan problem kekerasan demi kekerasan yang dilakukan militer memberikan pembaca pengatahuan tentang apa yang telah menimpa masyarakat Papua dalam kurun waktu yang sangat lama. Penderitaan yang dialami masyarakat Papua dalam pesan dua novel, baik oleh kekerasan militer, maupun eksploitasi perusahaan tambang emas, pengabaian kesejahteraan masyarakat setempat adalah persoalan-persoalan yang menjadi bahan refleksi tentang hubungan Papua dan pemerintah maupun masyarakat Indonesia dan Papua. Pertanyaannya kemudian, seberapa besar karya sastra dapat mengubah cara pandang masyarakat dalam soal stereotype Papua? Dibutuhkan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan perubahan pola pikir masyarakat dari karya-karya sastra ini. Di kalangan pemerintahan selain pemberian dana otonomi khusus—meskipun dana ini sebenarnya butuh pengamatan apakah betul masuk untuk pembangunan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, ditambah berapa persen hasil Freeport untuk negara dan untuk Papua—pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa warga negara di daerah terpencil, terbelakang serta masyarakat adat berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, pemerintah memberikan beasiswa untuk anak-anak Papua (http://www.presidenri.go.id, 2015). Saat ini pemerintah juga melakukan penerimaan pegawai negeri sipil untuk masyarakat Papua yang terbuka di seluruh Indonesia dengan formasi khusus. Pendokumentasian bahasa-bahasa di Papua dan dalam hal ini apa yang

16

telah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Perguruan-Perguruan Tinggi dan Lembaga Ilmu Pegetahuan Indonesia terhadap usaha mendokumentasikan bahasa-bahasa di Papua dapat diteruskan kepada usaha pengajaran bahasa tersebut tidak saja untuk masyarakat pemiliknya tetapi juga untuk para petugas-petugas militer yang sedang dan akan berdinas di Papua. Penggunaan bahasa lokal untuk kalangan militer memudahkan komunikasi yang lebih intim . Selain bentuk usaha mengapresiasi bahasa setempat, pemahaman bahasa lokal juga membantu memahami budayanya. Mungkin penggunaan soft power ini sebagai pengganti kekerasan senjata, lebih memartabatkan masyarakat Papua. Kesimpulan Perubahan sosial yang terjadi di Papua digambarkan dalam Tanah Tabu dan Isinga telah menggilas masyarakat Papua terutama para perempuan. Perubahan dengan dalih “pembangunan” berangkat dari cara pandang yang menstereotipekan masyarakat Papua sebagai asyarakat yang masih primitif. Pembangunan itu juga dilakukan secara paksa yang lebih pada mengeskplotasi sumber daya alam Papua untuk kepentingan pemerintah pusat pada masa Orde Baru hingga kini meskipun dalam masa otonomi daerah. Dua pengarang perempuan nonpapua tidak ingin perempuan terus dalam keadaan terlindas perubahan sosial. Meskipun awalnya terpuruk karena sistem sosial suku-suku masyarakat Papua tidak memihak mereka, para tokoh-tokoh perempuan yang dicipta oleh dua pengarang perempuan sanggup bangkit dan bahkan berusaha menggerakkan masyarakat terutama para kaumnya. Tokoh perempuan Tanah Tabu berjuang melawan penindasan perusahaan emas dan politisi-politisi daerah yang memihak perusahaan tersebut. Tokoh perempuan Isinga berada daam jaringan dengan kalangan terdidik dan berusaha mendidik masyarakat, membangun kesadaran untuk meninggalkan hal-hal yang dianggap buruk. Akan tetapi perjuangan tokoh utama dalam Tanah Tabu menjadi soliter karena masyarakat yang disadarkan oleh tokoh utama masih belum memahami kondisi mereka sendiri. AST membuat perjuangan tokoh perempuan Papua masih penuh dengan kesulitan dan tantangan.Sedangkan Isinga melihat perubahan adalah linearitas dari hal yang dianggap buruk yang menjadi tradisi masyarakat Papua, ke hal yang baik seperti yang disarankan oleh para agen perubahan yang semua dari luar. Para agen tersebut meunjukkan pro pada pembangunan, tetapi menolak cara kekerasan. Diterbitkannya dua novel tersebut belasan tahun pascareformasi menunjukkan masih peliknya persoalan Papua hingga kini. Kejadian-kejadian yang menimpa masyarakat Papua, dari soal diskriminasi hingga penanganan dengan cara kekerasan menunjukkan bahwa kenyataannya masyarakat Papua masih belum dianggap setara oleh masyarakat tertentu dan oleh tentara.

17

Pemerintah pusat sekarang melalui program beasiswa dan pemerataan pegawai negeri sipil dari Papua ke seluruh Indonesia, selain anggaran Otonomi Khusus merupakan usaha pemerintah untuk memperhatikan Papua. Hal yang bisa dimanfaatkan lebih jauh lagi adalah penelitian-penelitian bahasa dan budaya Papua yang dilakukan lembaga pemerintah seperti Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Perguruan Tinggi seharusnya dapat diteruskan kepada para tentara dan polisi yang akan ditugaskan ke Papua dan sedang bertugas di sana. Pengajaran tersebut memberi pemahaman tentang bahasa dan budaya Papua sehingga tentara dapat menjain komunikasi yang lebih dekat denan masyarakat Papua tanpa senjata.

Daftar Pustaka Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Soiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional. H.T, Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Herliany, Dorothea Rosa. 2015. Isinga Roman Papua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Purwaningsih. 2012. “Novel Tanah Tabu: Pergulatan Kekuatan Global-Lokal” dalam Prosiding dan Presentasi Ilmiah Hasil Penelitian Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, Bogor, 18 s.d 20 April 2012, Bogor: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sekarningsih, Ani. 2000. Namaku Teweraut. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Slama, Martin dan Munro, Jenny (ed). 2015. From ‘Stone Age’ to ‘Real Time’ Exploring papuan Temporalities, Mobilites, and Religiosities. Canberra: Anu Press. Thayf, Anindita S. 2009. Tanah Tabu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Toer, Pramudya Ananta (ed). 2001. Cerita Dari Digul. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

18

Internet Beasiswa Papua....2015.” Beasiswa Papua” diunduh di http://www.presidenri.go.id/pendidikan/beasiswa-untuk-papua.html, tanggal 29 September 2016. Kronologi.....2016. “Kronologi Pengepungan Mahasiswa Papua di Yogyakarta”, diunduh di https://www.merdeka.com/peristiwa/kronologi-pengepunganmahasiswa-papua-di-yogyakarta.html, tanggal 29 September 2016.

19