EDUCATIONAL PSYCHOLOGY JOURNAL

Download Kecurangan akademik merupakan suatu permasalahan dalam dunia pendidikan yang bisa terjadi dimana ... dilakukan adalah dengan menggunakan ma...

3 downloads 636 Views 260KB Size
EPJ 2 (1) (2013)

Educational Psychology Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/epj

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECURANGAN AKADEMIK PADA MAHASISWA Desi Purnamasari  Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel

Abstrak

________________

___________________________________________________________________

Sejarah Artikel: Diterima Agustus 2013 Disetujui September 2013 Dipublikasikan Oktober 2013

Kecurangan akademik merupakan suatu permasalahan dalam dunia pendidikan yang bisa terjadi dimana saja. Salah satu cara untuk mengatasi masalah kecurangan akademik adalah mengubah perilaku dan persepsi mahasiswa. Subyek penelitian adalah mahasiswa Unnes angkatan tahun 2010 yang berjumlah 250 orang. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dengan jenis deskriptif, pengambilan sampel melalui two stage cluster random sampling yang dilakukan dengan cara merandom fakultas dan merandom jurusan. Pengambilan data menggunakan skala faktor-faktor yang mempengaruhi kecurangan akademik dengan tingkat reliabilitas sebesar 0,905. Skala faktor-faktor yang mempengaruhi kecurangan akademik terdiri dari 41 item yang valid dengan rentang koefisien validitas dari 0,230 sampai dengan 0,735. Analisis data menggunakan metode analisis deskriptif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tingkat kecurangan akademik yang terjadi pada mahasiswa Unnes angkatan 2010 masih tinggi dengan faktor efikasi diri akademik sebagai faktor paling dominan dan mean empirik faktor efikasi diri akademik sebesar 44.3400. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecurangan akademik cenderung tinggi pada mahasiswa Unnes angkatan 2010 dengan faktor yang paling berpengaruh adalah faktor efikasi diri akademik.

________________ Keywords: Factors that influence academic cheating ____________________

Abstract ___________________________________________________________________ Academic cheating is an issue in education that could happen anywhere. One way to overcome the problem of academic cheating is to change students attitudes and perceptions. Subjects were Unnes students force in 2010, amounting to 250 peoples. This study uses a quantitative design with a descriptive type, sampling through a two stage cluster random sampling is random by faculty and majors. Data retrieval using scale factors that influence academic cheating with reliability level of 0.905. Scale factors that influence academic cheating consists of 41 items that are valid with the validity coefficients range from 0.230 to 0.735. Data analysis using descriptive analysis. Results of data analysis showed that the level of academic cheating that occurred on Unnes student class of 2010 is still higher by a factor of academic self-efficacy as the most dominant factors and the empirical mean academic self-efficacy factor of 44.3400. Based on the results of this study concluded that academic cheating Unnes students tend to be high in the class of 2010's most influential factor is the factor of academic self-efficacy.

© 2013 Universitas Negeri Semarang 

Alamat korespondensi: Gedung A1 Lantai 2 FIP Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]

ISSN 2252-634X

13

Desi Purnamasari / Educational Psychology Journal 2 (1) (2013)

Hasil penelitian yang ditemukan oleh Kurniawan (2011: 61-63) menyatakan bahwa seluruh responden yakni mahasiswa psikologi Unnes angkatan 2007 hingga 2010 mengaku pernah melakukan setidaknya satu macam perilaku kecurangan akademik. Sebanyak 43 persen responden menggunakan materi yang dilarang digunakan saat proses assessment, tindak plagiasi atau pemalsuan sebanyak 22 persen, 13 persen responden melakukan misrepresentation, kolaborasi hanya dilakukan oleh 10 persen dari responden penelitian, sedangkan perilaku absen berkontibusi dalam tugas kelompok dan sabotase dilaporkan sangat jarang terjadi, berdasarkan data penelitian bahwa seluruh responden berada pada kriteria rendah. Penelitian tersebut diatas dapat diketahui bahwa tindak kecurangan akademik yang dilakukan mahasiswa psikologi Unnes dari tahun penelitian 2009 hingga 2011 mengalami penurunan angka kejadian. Tidak menutup kemungkinan bahwa perilaku kecurangan akademik tetap dilakukan oleh mahasiswa psikologi Unnes secara khusus dan mahasiswa Unnes secara umum di tahun 2013. Berangkat dari fenomena kecurangan akademik yang telah menjadi masalah umum bagi pelaku kecurangan, maka peneliti melakukan penelitian awal dengan menyebar angket pada tanggal 27 Maret 2013 kepada 50 responden mahasiswa Unnes tahun angkatan 2010 yang peneliti pilih secara acak dan ditetapkan jurusan yang terdiri dari 10 mahasiswa jurusan psikologi, 10 mahasiswa jurusan bimbingan dan konseling, 10 mahasiswa jurusan biologi, 10 mahasiswa jurusan akuntansi, dan 10 mahasiswa jurusan pendidikan kewarganegaraan sebagai sampel penelitian awal. Hasil dari penelitian awal menunjukkan nilai rata-rata (Mean) tindak kecurangan akademik yang terjadi pada 50 responden mahasiswa sebesar 20,46 dan nilai standar deviasi (SD) sebesar 3,70. Tindak kecurangan akademik yang terjadi pada 50 responden mahasiswa sebesar 14 persen menunjukkan kecurangan akademik yang dilakukan pada kriteria rendah, 60 persen menunjukkan kecurangan akademik yang dilakukan pada kriteria sedang, dan tindak

PENDAHULUAN Istilah kecurangan akademik sudah banyak dibicarakan oleh para ahli. Bower (dalam Kushartanti, 2009: 40) mendefinisikan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah atau terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademik untuk menghindari kegagalan akademik. Dieghton (dalam Kushartanti, 2009: 40) menyatakan cheating adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak fair (tidak jujur). Perbuatan yang termasuk dalam kategori cheating dalam konteks pendidikan atau sekolah antara lain meniru pekerjaan teman, bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes atau ujian, membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian masuk ke ruang ujian, menerima dropping jawaban dari pihak luar, mencari bocoran soal, saling tukar pekerjaan tugas dengan teman, menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas atau tugas penulisan paper dan take home test. Fenomena perilaku kecurangan akademik yang terjadi di lingkungan Unnes pernah diteliti oleh peneliti lain. Penelitian yang dilakukan oleh Febriyanti (2009: 9-10) terhadap mahasiswa psikologi Unnes angkatan 2006 hingga 2008. Hasil survey diketahui hanya 5 orang atau setara dengan 2,4 persen dari total responden 208 orang yang mengaku tidak pernah sama sekali melakukan kecurangan akademik. Berbanding terbalik dengan 97,6 persen dari total responden yang pernah melakukan tindakan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan pada tahun 2011 terhadap mahasiswa psikologi Unnes angkatan 2007 hingga 2010, ditemukan bahwa perilaku kecurangan akademik yang paling banyak dilakukan adalah dengan menggunakan materi yang dilarang digunakan saat dilaksanakan ujian, plagiasi dan pemalsuan data pada penyusunan laporan atau tugas kuliah (Kurniawan, 2011: 70).

14

Desi Purnamasari / Educational Psychology Journal 2 (1) (2013)

kecurangan akademik yang dilakukan responden dengan kategori tinggi mencapai 26 persen. Peneliti menarik kesimpulan bahwa dari hasil penelitian awal yang dilakukan diketahui tingkat kecenderungan perilaku kecurangan akademik yang dilakukan oleh mahasiswa Unnes angkatan 2010 dinyatakan sebesar 86 persen. Angka tersebut adalah penjumlahan dari persentase kategori sedang dan kategori tinggi. Masih tingginya angka tindak kecurangan akademik menjadi masalah yang lebih serius untuk diperhatikan. Terlebih lagi, kecurangan akademik ini terjadi dan dilakukan oleh mahasiswa Unnes. Sedangkan, perilaku kecurangan akademik dapat berpotensi merusak citra dan harapan masyarakat terhadap lulusan sarjana. Menyadari betapa seriusnya isu mengenai kecurangan akademik dalam dunia pendidikan, akan lebih baik untuk dapat ditemukan solusi terhadap masalah kecurangan akademik dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Beberapa mahasiswa bertindak curang karena mereka sangat fokus pada hasil ekstrinsik seperti peringkat, disisi lain mereka bertindak curang karena mementingkan mempertahankan image untuk mereka sendiri atau untuk peers, serta mereka bertindak curang karena mereka kurang menggunakan self-efficacy dalam tugas yang rumit (Anderman dan Murdock, 2007: 2). Kecurangan akademik muncul sebagai interaksi berbagai faktor, baik yang bersifat internal (ada di dalam diri pelaku) maupun yang bersifat eksternal (berasal dari lingkungan). Menurut Baird (dalam Bjorklund dan Wenestam, 1999: 6) faktor internal mencakup kemalasan, kurangnya kesadaran pekerjaan sesama siswa, kualitas rendah, pengalaman kegagalan sebelumnya dan harapan sukses yang pasti. Faktor eksternal meliputi urutan tempat duduk, ujian yang penting, tingkat kesulitan tes, tes yang tidak adil, penjadwalan dan pengawasan. Menurut Davis (dalam Bjorklund dan Wenestam, 1999: 6) faktor internal mencakup keinginan membantu teman dan adanya rasa benci terhadap pengajar, sedangkan faktor eksternal meliputi kekacauan yang terjadi akibat dari kelas yang besar, pertanyaan dalam

ujian berupa multiple-choice dan keuntungan ekonomis. Hetherington & Feldman (dalam Bjorklund dan Wenestam, 1999: 6) menyebutkan faktor internal terjadi untuk mendapatkan penerimaan sosial, sedangkan faktor eksternal meliputi tes yang sulit, kurangnya pengawasan, dan serangkaian perecanaan yang buruk. Menurut Roig (2006: 121) para pendidik memiliki kewajiban moral untuk mengurangi kecurangan. Dengan demikian, adalah penting bahwa pendidik hadir untuk semua faktor yang dikenal untuk menangani kecurangan akademik. Para pendidik tidak harus fokus pada faktor eksternal dengan mengorbankan faktor internal, karena untuk mengurangi kecurangan, apalagi menghilangkannya, pendidik harus fokus pada faktor-faktor internal. Untuk melawan epidemi kecurangan, hal efektif yang harus dilakukan adalah mengubah persepsi siswa saat mendapatkan tujuan pendidikan. Secara khusus, pendidik perlu menemukan cara untuk membuat siswa menyadari pentingnya memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diberikan kepada mereka. Roig (2006: 121) percaya bahwa alasan utama tindak curang dilakukan karena adanya intervensi terutama dari variabel situasional. Agar dapat mengatasi masalah kecurangan akademik ini, hal yang sebenarnya harus dilakukan adalah mengubah perilaku dan persepsi mahasiswa karena, mahasiswa sebagai pelaku kecurangan akademik yang terbiasa melakukan tindak curang dapat membentuk kepribadian negatif. Kepribadian negatif tersebut antara lain kebergantungan terhadap orang lain, ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri, dan juga ketidakjujuran. Disisi lain akibat dari perilaku kecurangan akademik akan mengakibatkan terbentuknya perilaku atau watak yang tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif, dan tidak berprestasi.

15

Desi Purnamasari / Educational Psychology Journal 2 (1) (2013)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecurangan Akademik

LANDASAN TEORI Kecurangan Akademik

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecurangan akademik menurut Anderman dan Murdock (2007: 18-25) antara lain self-efficacy dan perkembangan moral, serta religi menurut Rettinger dan Jordan (2005: 110). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Self-Efficacy Konsep self-efficacy (efikasi diri) pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Bandura (1997: 3) mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan pada kemampuan diri dalam mengatur dan melaksanakan suatu tindakan yang diperlukan dalam rangka pencapaian hasil usaha. Menurut Schunk (2010: 202) efikasi diri merupakan keyakinan tentang apa yang mampu dilakukan oleh seseorang. Efikasi diri dapat diatur seseorang dengan menilai keterampilanketerampilan mereka dan kapabilitas-kapabilitas mereka untuk menerjemahkan keterampilanketerampilan tersebut ke dalam tindakantindakan. Efikasi diri dalam setting akademik disebut efikasi diri akademik. Efikasi diri akademik dapat didefinisikan sebagai keyakinan yang dimiliki seseorang tentang kemampuan atau kompetensinya untuk mengerjakan tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi tantangan akademik. Individu yang menganggap tingkat efikasi diri akademik cukup tinggi akan berusaha lebih keras, berprestasi lebih banyak, dan lebih gigih dalam menjalankan tugas dengan menggunakan keterampilan yang dimiliki daripada yang menganggap efikasi diri akademiknya rendah. Efikasi diri akademik memiliki aspek yang mempengaruhi proses utama efikasi diri, salah satunya yaitu proses kognitif. Fungsi utama dari proses kognitif adalah memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian, serta mengembangkan cara untuk mengontrol kehidupannya. Keterampilan pemecahan masalah secara efektif memerlukan proses kognitif untuk memproses berbagai informasi yang diterima. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif adalah semakin efektif

Davis, Drinan dan Gallant (2009: 2) mendefinisikan perilaku curang merupakan “deceiving or depriving by trickery, defrauding misleading or fool another”. Kalimat tersebut jika dikaitkan pada istilah kecurangan akademik menjadi suatu perbuatan yang dilakukan oleh siswa untuk menipu, mengaburkan atau mengecoh pengajar hingga pengajar berpikir bahwa pekerjaan akademik yang dikumpulkan adalah hasil pekerjaan siswa tersebut. Anderman dan Murdock (2007: 34) menyatakan bahwa perilaku kecurangan akademik merupakan penggunaan segala kelengkapan dari materi ataupun bantuan yang tidak diperbolehkan digunakan dalam tugastugas akademik dan atau aktivitas yang mengganggu proses asesmen. Menurut Cizek (dalam Anderman dan Murdock 2007: 34) perilaku kecurangan akademik merupakan perilaku yang terdiri atas tiga kategori yaitu (1) memberikan, menggunakan ataupun menerima segala informasi (2) menggunakan materi yang dilarang digunakan dan (3) memanfaatkan kelemahan seseorang, prosedur ataupun suatu proses untuk mendapatkan suatu keuntungan yang dilakukan pada tugas-tugas akademik. McCabe (dalam Anderman dan Murdock, 2007: 38) mendefinisikan pencontek sebagai seseorang yang dapat menerima atau melakukan kegiatan meng-copy atau menyalin (menjiplak) pekerjaan orang lain pada saat tes atau menggunakan catatan yang tidak diperbolehkan atau membantu seseorang dalam mencontek ketika tes atau ketika sedang ujian berlangsung. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa kecurangan akademik adalah perilaku tidak jujur yang dilakukan siswa dalam setting akademik untuk mendapatkan keuntungan secara tidak adil dalam hal memperoleh keberhasilan akademik.

16

Desi Purnamasari / Educational Psychology Journal 2 (1) (2013)

kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan pribadi, maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. 2. Perkembangan Moral Definisi perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah (Santrock, 2007: 117). Perkembangan moral melibatkan tiga aspek, yakni pemikiran, perilaku dan perasaan. Gagasan dasar dalam hal pemikiran mencakup bagaimana seseorang berpikir mengenai aturan-aturan yang menyangkut etika berperilaku. Gagasan dasar dalam hal perilaku mencakup bagaimana mahasiswa sebaiknya berperilaku dalam situasi moral. Gagasan dasar dalam hal perasaan mencakup bagaimana perasaan mahasiswa mengenai masalah-masalah moral. Pikiran, perilaku dan perasaan dapat terlibat dalam kepribadian moral individu. Kepribadian moral dijadikan dimensi keempat sebagai gagasan dasar perkembangan moral. 3. Religi Definisi religi menurut Glock & Stark (dalam Ancok dan Suroso, 1995: 76) adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Salah satu aspek dalam religi yang berhubungan dalam penelitian ini adalah aspek akhlak, karena menunjuk pada seberapa tingkatan seseorang berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Akhlak merupakan perbuatan yang meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu.

untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian (Suryabrata, 2010: 76). Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling yaitu teknik memilih sebuah sampel dari kelompok-kelompok unitunit yang kecil, atau cluster (Nazir, 2005: 311). Cluster random dilakukan dua kali yang disebut juga dengan two stage cluster random karena merandom fakultas dan merandom jurusan. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Unnes angkatan tahun 2010 atau pada tahun ajaran 2012/ 2013 disebut juga mahasiswa semester enam yang berjumlah 250 orang. Skala yang digunakan adalah skala faktor-faktor yang mempengaruhi kecurangan akademik dengan enam aspek yakni, kognitif, pemikiran moral, perilaku moral, perasaan moral, kepribadian moral dan akhlak mempunyai koefisien validitas dari 0,230 sampai dengan 0,735 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,905. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif persentase. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Persentase skor rendah yang didapatkan responden pada skala faktor-faktor yang mempengaruhi kecurangan akademik sebesar 53,60%. Semakin rendah skor yang diperoleh responden semakin tinggi tindak kecurangan akademik yang dilakukan. Sebagian besar mahasiswa memiliki tingkat kognitif yang sedang. Hal tersebut ditunjukkan dengan presentase responden yang tergolong kriteria sangat rendah sebanyak 2,4%, rendah sebanyak 17,2%, tergolong sedang sebanyak 43,2%, tergolong tinggi sebanyak 28,4%, dan 8,8% sisanya tergolong sangat tinggi. Sebagian besar mahasiswa memiliki tingkat pikiran moral yang sedang. Hal tersebut ditunjukkan dengan presentase responden yang tergolong kriteria sangat rendah sebanyak 0,8%, rendah sebanyak 24%, tergolong sedang sebanyak 48%, tergolong tinggi sebanyak 23,6%, dan 3,6% sisanya tergolong sangat tinggi.

METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Penelitian ini menggunakan jenis desain deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud

17

Desi Purnamasari / Educational Psychology Journal 2 (1) (2013)

Sebagian besar mahasiswa memiliki tingkat perilaku moral yang sedang. Hal tersebut ditunjukkan dengan presentase responden yang tergolong kriteria sangat rendah sebanyak 2%, rendah sebanyak 18,8%, tergolong sedang sebanyak 58%, tergolong tinggi sebanyak 20%, dan 1,2% sisanya tergolong sangat tinggi. Sebagian besar mahasiswa memiliki tingkat perasaan moral yang tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan presentase responden yang tergolong kriteria sangat rendah sebanyak 1,2%, rendah sebanyak 5,2%, tergolong sedang sebanyak 26%, tergolong tinggi sebanyak 49,6%, dan 18% sisanya tergolong sangat tinggi. Sebagian besar mahasiswa memiliki tingkat kepribadian moral yang tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan presentase responden yang tergolong kriteria sangat rendah sebanyak 0%, rendah sebanyak 5,6%, tergolong sedang sebanyak 14,8%, tergolong tinggi sebanyak 48,8%, dan 30,8% sisanya tergolong sangat tinggi. Sebagian besar mahasiswa memiliki tingkat akhlak yang tinggi. Hal tersebut ditunjukkan dengan presentase responden yang tergolong kriteria sangat rendah sebanyak 0,8%, rendah sebanyak 11,2%, tergolong sedang sebanyak 39,2%, tergolong tinggi sebanyak 42,8%, dan 6% sisanya tergolong sangat tinggi.

tersebut takut gagal. Mereka curang karena takut memiliki nilai kurang sempurna dari nilai ratarata. Kecurangan akademik dilakukan atau tidak dilakukan oleh mahasiswa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah efikasi diri akademik, perkembangan moral dan religi. Bandura (1997: 3) menjelaskan bahwa seseorang menuntun hidupnya berdasarkan kepercayaan mereka terhadap kemampuan yang dimiliki. Kesadaran efikasi diri adalah percaya pada suatu kemampuan yang dimiliki untuk kemudian direncanakan dan dilaksanakan dengan memerlukan tindakan untuk menghasilkan pencapaian. Hal ini berarti bahwa tinggi rendahnya faktor efikasi diri akademik yang mempengaruhi kecurangan akademik ditinjau dari aspek kognitif ditentukan oleh keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh mahasiswa itu sendiri. Efikasi rendah merupakan kurangnya keyakinan pada kemampuannya untuk melakukan tugas dengan benar dan optimal yang penting untuk kinerja tinggi (Murdock dalam, Barzegar dan Khezri, 2012: 4). Jadi, kecurangan bisa dihubungkan dengan keberhasilan yang rendah, karena keraguan mahasiswa tentang kemampuannya untuk menciptakan hasil yang diinginkan, dapat menyebabkan mahasiswa mengandalkan pada strategi lain (misalnya, melakukan kecurangan) untuk sukses (Murdock dalam, Barzegar dan Khezri, 2012: 4). Dengan kata lain, ketika mahasiswa memiliki keyakinan kemampuan tinggi dan berharap untuk berhasil pada tugas akademik, kecurangan mungkin bukan sebuah strategi dan tidak berguna (Murdock & Anderman dalam, Barzegar dan Khezri, 2012: 4). Hasil penelitian didapat bahwa aspek pikiran moral berada dalam kriteria sedang. Gagasan dasar perkembangan moral dalam hal pemikiran mencakup bagaimana seseorang berpikir mengenai aturan-aturan yang menyangkut etika berperilaku. Konflik mahasiswa yang hendak melakukan tindak curang atau tidak dalam situasi ujian adalah contoh dari dimensi ini. Fokus dimensi ini terdapat pada penalaran yang digunakan

Pembahasan Perolehan total skor pada skala faktorfaktor yang mempengaruhi kecurangan akademik mempunyai arti bahwa responden dengan total skor rendah menganggap dirinya memiliki efikasi diri akademik yang kurang baik, perkembangan moral yang kurang baik serta faktor religi dalam hal akhlak yang kurang baik. Berlaku sebaliknya, responden dengan total skor tinggi menganggap dirinya cukup baik dalam hal efikasi diri akademik, perkembangan moral, serta religinya. Fenomena kecurangan akademik terjadi karena terdapat hal-hal yang mendukung untuk dilakukannya hal tersebut. Davis, Drinan dan Gallant (2009: 1) mengungkapkan terjadinya kecurangan akademik karena pelaku kecurangan

18

Desi Purnamasari / Educational Psychology Journal 2 (1) (2013)

mahasiswa untuk membenarkan keputusan moralnya. Hal ini berarti tinggi rendahnya pikiran moral ditentukan oleh penalaran yang digunakan mahasiswa untuk membenarkan keputusan moralnya dalam hal ini menyangkut kecurangan akademik yang hendak dilakukan atau tidak dilakukan. Semakin baik penalaran mahasiswa akan tindak curang untuk tidak dilakukan, semakin mudah untuk menghindari diri dari tindak kecurangan akademik. Hasil penelitian didapat bahwa perilaku moral berada dalam kriteria sedang. Gagasan dasar perkembangan moral dalam hal perilaku mencakup bagaimana mahasiswa sebaiknya berperilaku dalam situasi moral. Contoh dalam dimensi ini yang berkaitan dengan kecurangan akademik dapat diamati dengan kondisi lingkungan yang menghasilkan dan mempertahankan perilaku. Hal ini berarti tinggi rendahnya aspek perilaku moral ditentukan oleh sikap mahasiswa dalam menentukan dan mempertahankan perilaku jujur atau cenderung untuk saling membiarkan tindak kecurangan akademik itu terjadi. Semakin tinggi pelaku kecurangan akademik semakin rendah kesadaran untuk berperilaku secara moral. Hasil penelitian didapat aspek perasaan moral berada dalam kriteria tinggi. Gagasan dasar perkembangan moral dalam hal perasaan mencakup bagaimana perasaan mahasiswa mengenai masalah-masalah moral. Contoh dalam hal kecurangan akademik, dapat dilihat dari rasa bersalah yang akan diterima siswa sehingga menolak godaan untuk melakukan tindak curang maupun mencegahnya untuk berlaku curang lagi. Tinggi rendahnya aspek perasaan moral ditentukan oleh dampak yang dirasakan setelah melakukan tindak kecurangan akademik. Jika perasaan yang dirasakan mahasiswa adalah seperti rasa bersalah dan rasa menyesal setelah melakukan tindak curang serta tidak ingin melakukan tindak curang lagi maka mahasiswa akan berhenti melakukan tindak curang. Berbanding terbalik jika mahasiswa tidak merasa bersalah ataupun tidak menyesal setelah melakukan tindak curang tersebut maka mahasiswa akan cenderung mengulangi tindak kecurangan akademik.

Hasil penelitian didapat bahwa aspek kepribadian moral berada dalam kriteria tinggi. Hal-hal yang ditekankan dari kepribadian moral adalah identitas moral, karakter moral dan teladan moral. Individu memiliki sebuah identitas moral ketika ide-ide dan komitmen moral menjadi hal utama dalam kehidupan mereka (Blasi dalam Santrock, 2007: 318). Menurut pandangan ini, perilaku yang melanggar komitmen moral akan membahayakan integritas diri (Lapsley & Narvaez dalam Santrok, 2007: 318). Hal ini berarti bahwa tinggi rendahnya aspek kepribadian moral ditentukan oleh komitmen untuk berlaku jujur menjadi hal utama dalam kehidupan mereka. Semakin tinggi mahasiswa berkomitmen untuk berlaku jujur dalam kehidupannya semakin tinggi pula komitmen untuk berkepribadian moral. Moralitas sering digambarkan sebagai keyakinan individu berupa panduan untuk membuat keputusan yang baik atau buruk, benar atau salah (Myrick dalam, Wideman, 2008: 4). Moralitas dikembangkan melalui pengaruh masyarakat dan pemahaman pribadi seseorang, sehingga ada variasi dalam kepercayaan antara individu. Menurut Davis, Drinan dan Gallant (2009: 78) penelitian awal menunjukkan bahwa tingkat perkembangan moral seseorang terkait dengan kecurangan adalah negatif, tingkat perkembangan moral yang lebih rendah dikaitkan dengan tingkat kecurangan yang tinggi. Namun, penelitian yang lebih baru telah gagal untuk mereplikasi temuan awal, maka, tidak ada kesimpulan dapat dibuat tentang hubungan kecurangan dan perkembangan moral. Hasil penelitian didapat bahwa faktor religi yang mempengaruhi kecurangan akademik ditinjau dari aspek akhlak berada dalam kriteria sedang cenderung tinggi, dimana persentase yang ditunjukkan dari kriteria sedang cenderung seimbang dengan persentase kriteria tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian mahasiswa yang memiliki akhlak yang sedang dan sebagian mahasiswa memiliki akhlak yang tinggi dalam menentukan kecenderungan perilaku kecurangan akademik.

19

Desi Purnamasari / Educational Psychology Journal 2 (1) (2013)

Mahasiswa dengan akhlak yang tinggi teridentifikasi sebagai manusia yang beragama sesuai dengan ajaran agamanya untuk menjalin relasi antar umat beragama dengan baik dalam hal suka menolong serta tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama seperti berbohong, mencuri, menipu dalam hal kaitannya dengan perilaku kecurangan akademik. Mahasiswa dengan akhlak yang sedang teridentifikasi sebagai manusia yang beragama sesuai dengan ajaran agamanya untuk menjalin relasi antar umat beragama dengan kecenderungan antara suka menolong atau keberatan dimintai bantuan serta kecenderungan untuk melakukan dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama seperti suka berbohong dalam memberikan jawaban ujian, mencuri informasi ujian, atau menipu dosen. Sampel penelitian yang peneliti ambil dilakukan secara acak dengan cara two stage cluster random sampling dimana tidak menjurus kepada jurusan yang dipilih memiliki orientasi religi yang kuat, namun karena keseluruhan isi agama adalah variabel independen yang penting, maka harus dipahami bahwa agama memainkan peran penting dalam kecurangan. Temuan lebih baru dari Sutton dan Huba (dalam, Rettinger Dan Jordan, 2005: 110) menemukan bahwa religiusitas mempengaruhi sikap kecurangan. Mereka menemukan bahwa mahasiswa yang lebih religius memiliki ambang batas yang lebih rendah untuk mempertimbangkan perilaku melakukan curang. Dapat disimpulkan bahwa religiusitas dapat menyebabkan tingkat kecurangan diturunkan. Penelitian Rettinger dan Jordan yang meneliti tentang hubungan antara religi, motivasi dan tindak curang dalam kampus (2005: 120) menghasilkan ketaatan religius mengurangi kecurangan secara langsung dalam perguruan tinggi tetapi tidak memiliki efek secara langsung. Dalam serangkaian studi agama, terdapat efek langsung dari ketaatan agama dalam kecurangan. Efek ini mengganti penyebab berkurangnya motivasi dalam kelas program studi religious, yang pada gilirannya menyebabkan kecurangan berkurang. Hasil ini dapat diartikan bahwa mahasiswa agama kurang

termotivasi oleh memperoleh peringkat dalam studi agama dan karenanya tindak curang kurang dilakukan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bahwa perilaku kecurangan akademik yang terjadi dan dilakukan oleh mahasiswa Unnes angkatan tahun 2010 berada pada kriteria cenderung tinggi dengan faktor efikasi diri akademik menjadi faktor paling dominan yang mempengaruhi kecurangan akademik yang terjadi pada mahasiswa Unnes. Saran Bagi mahasiswa dapat menerapkan perilaku jujur baik dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan dalam bidang akademik. Kunci dari kebiasaan berperilaku jujur bisa diterapkan dengan melihat dari aspek kognitif. Aspek kognitif dengan cara lebih membiasakan diri sejak dini untuk menekankan keyakinan kemampuan agar dalam memperoleh prestasi akademik tidak mengambil jalan curang. Bagi dosen agar terhindar dari aksi mahasiswa mencontek, lebih baik dosen memberlakukan ujian lisan untuk mata kuliah yang diampuhnya. Ujian lisan sendiri memiliki kelebihan dimana mahasiswa tidak mempunyai pilihan untuk melirik atau bertanya jawaban ujian sehingga dengan sendirinya mahasiswa akan mempersiapkan diri dengan belajar tekun. Bagi fakultas agar pengawas lebih ketat dalam proses mengawasi saat ujian sedang berlangsung, jika perlu diberlakukan sistem mencatat nama atau nomor induk mahasiswa yang terlibat perilaku curang agar memberi efek jera. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik pada penelitian yang berorientasi pada fenomena kecurangan akademik, hendaknya meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan membeli skripsi pada mahasiswa, dimana jenis penelitian yang digunakan adalah

20

Desi Purnamasari / Educational Psychology Journal 2 (1) (2013)

penelitian kualitatif, sehingga diperoleh lebih mendalam.

data

yang

129 diunduh pada tanggal 21 Agustus 2013. Roig, M. 2006. On The Causes Of Academic Dishonesty. The Journal of The European Medical Writers Association Vol 15 No 4 120-121 diunduh pada tanggal 21 Agustus 2013. Santrock, J. W. 2007. Remaja Edisi 11 jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga Schunk, D. H. 2010. Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan edisi keenam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suryabrata, S. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press.

DAFTAR PUSTAKA Ancok, D. dan Suroso, F. N. 1995. Psikologi Islami : Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Jogjakarta : Pustaka Pelajar. Anderman E. M. dan Murdock T. B. 2007. Psychology of Academic Cheating. London : Academic Press, Inc. Bandura, A. 1997. Self Efficacy, The Exercise Control. New York : Stanford University. Barzegar, K. and Khezri, H. 2012. Predicting Academic Cheating Among the Fifth Grade Students: The Role of Self-Efficacy and Academic Self-Handicapping. Journal of Life Science and Biomedicine 2(1): 1-6 diunduh pada tanggal 21 Agustus 2013. Bjorklund, M. dan Wenestam, C. G. 1999. Academic Cheating: frequency, methods, and causes. Diunduh dari http://www.leeds.ac.uk pada tanggal 25 Oktober 2012. Davis, S. F. Drinan, P. F. Gallant, T. B. 2009. Cheating in School : What We Know and What We Can Do. Chicester : Wiley Blackwell. Febriyanti, R. 2009. Hubungan Self Esteem dan Perilaku Academic Dishonesty Mahasiswa FIP UNNES Dengan Mediator Peer Pressure. Intuisi Jurnal Ilmiah Psikologi Vol. 1 No. 1. Kurniawan, A. 2011. Perilaku Kecurangan Akademik pada Mahasiswa Psikologi Unnes. Skripsi. Semarang: Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Kushartanti, A. 2009. Perilaku Mencontek Ditinjau Dari Kepercayaan Diri. Indigenous Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi Vol. 11, No. 2, November 2009 : 38-46. Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. Rettinger, D. A. Jordan, A. E. 2005. The Relations Among Religion, Motivation, and College Cheating: A Natural Experiment. Ethic & Behavior 15(2) 107-

21