1
EFEKTIVITAS MIDAZOLAM UNTUK PENCEGAHAN MUAL MUNTAH PASCABEDAH PADA PROSEDUR LAPARASKOPI THE EFFECTIVENNESS OF THE MIDAZOLAM FOR PREVENTION OF POSTOPERATIVE NAUSEA VOMITING ON LAPARASCOPIC PROCEDURES
Jamiludin1, Syafruddin Gaus1, Muhammad Ramli Ahmad1, Ilhamjaya Patellongi2, Syafri Kamsul Arif 1 Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri, Fakultas Kedokteran,Universitas Hasanuddin, Makassar 2 Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar 1
Alamat korespondensi: dr. Jamiludin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 08152552925 E-mail:
[email protected]
2
Abstrak Seluruh pasien yang menjalani pembedahan beresiko untuk mengalami mual dan muntah pascabedah (PONV). Berbagai obat dengan mekanisme kerja berbeda, baik menggunakan agen tunggal atau kombinasi obat yang berbeda, telah digunakan untuk mencegah dan mengatasi terjadinya PONV ini. Mekanisme dari midazolam yang bekerja sebagai anti emetik secara menyeluruh masih belum diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk menilai tentang efektivitas pemberian midazolam 35 µg/kgBB intravena dibandingkan dengan ondansetron 4 mg intravena sebagai pencegahan mual muntah pascabedah. Penelitian ini dilakukan pada 48 pasien dengan ASA PS I dan II yang akan menjalani prosedur pembedahan laparaskopi elektif dengan prosedur anestesi umum. Subyek penelitian ini dibagi secara acak dalam dua kelompok yaitu kelompok M yang mendapatkan midazolam 35 µg/kgBB dan kelompok O yang mendapatkan ondansetron 4 mg. Pada penelitian ini tidak terdapat pasien yang di drop out dari penelitian. Pengamatan skor PONV dan skor sedasi pascabedah di amati selama 8 jam pasca anestesi selama di ruang pemulihan dan di ruang perawatan. Pengamatan selama di ruang pemulihan dilakukan selama 2 jam setiap 30 menit sedangkan selama di ruang perawatan dilakukan selama 6 jam setiap1 jam. Data berupa skor PONV dan skor sedasi dilakukan analisis menggunakan uji Fischer Exact dan Mann-Whitney U dengan tingkat kepercayaan 95% dan kemaknaan p<0,05. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna tentang kejadian PONV serta skor sedasi diantara kedua kelompok midazolam dan ondansetron. Dapat disimpulkan bahwa belum dapat dibuktikan bahwa midazolam dosis 35 µg/kgBB lebih efektif dari ondansetron dosis 4 mg sebagai pencegahan PONV dan penggunaan midazolam dosis 35 µg/kgBB tidak memberikan memanjangnya pulih sadar pascabedah. Kata kunci : midazolam, ondansetron, mual muntah pascabedah, skor sedasi.
Abstract All patients undergoing surgery are at risk for experiencing postoperatif nausea and vomiting (PONV). Various drugs with different mechanism of action, either by using a single agent or combination of different drugs, has been used to prevent and overcome the occurrence of PONV. Mechanism of midazolam that works as an anti emetic is still not known for sure. This research aims to assess the effectiveness of intravenous midazolam 35 µg/kgBW compared with intravenous ondansetron 4 mg for prevention of postoperatif nausea and vomiting. This research was conducted on 48 patients with ASA PS I and II which will be undergoing elective laparascopic surgery with general anesthesia. Subject on this study were divided randomly in two groups, group M get midazolam 35 µg/kgBW and group O get ondansetron 4 mg. In this study there where no patients undergoing drop out from research. Observation of PONV score and sedation score postoperatif observed during 8 hours post anesthesia at recovery rooms and rooms care. Observation at recovery rooms made during 2 hour every 30 menit, while over in rooms care made during 6 hours every 1 hours. The data in the form of PONV score and sedation score performed the analysis using Fischer Exact dan Mann-Whitney U test with a confidence level of 95% and the significance of p<0,05. Not obtained meaningful differences about the incident as well as PONV score and sedation score between both group midazolam and ondansetron. This research concluded that has yet to be proved that midazolam dose 35 µg/kgBW more effective than ondansetron dose 4 mg as prevention PONV and the use of midazolam dose 35 µg/kgBW does not provide extended recovered unconscious postoperatif. Key words: midazolam, ondansetron, postoperatif nausea vomiting, sedation score.
3
PENDAHULUAN Seluruh pasien yang menjalani pembedahan beresiko untuk mengalami mual dan muntah pasca bedah (PONV) (Islam dkk., 2004). Didefinisikan sebagai adanya trias tanda dan gejala, dimana meliputi tidak hanya keluhan fisik seperti muntah dan retching tetapi juga perasaan subyektif yang tidak menyenangkan berupa mual yang dirasakan oleh pasien dimana dapat terjadi pada periode dalam 24 jam setelah menjalani pembedahan (Cracken dkk., 2008). Laparoskopi adalah suatu prosedur pembedahan minimal invasif yang memungkinkan akses endoskopik ke dalam rongga peritoneum setelah insuflasi gas karbon dioksida (CO2) (Gerges dkk., 2006). Insidensi terjadinya PONV sekitar 53% pada keseluruhan kasus yang menjalani laparaskopi cholecystektomi (Lichtor dkk., 2008). Pemanjangan durasi pembedahan dan anestesi juga memberikan andil untuk terjadinya PONV. Selain itu terdapat faktor pasca pembedahan yang meningkatkan insidensi terjadinya PONV seperti nyeri, dizzines, ambulasi dan asupan oral lebih awal serta penggunaan opioid pascabedah (Ali dkk., 2010). Berbagai obat dengan mekanisme kerja berbeda, telah digunakan untuk mencegah dan mengatasi terjadinya PONV (Ali dkk., 2010). Midazolam yang merupakan golongan benzodiazepin, juga telah diteliti untuk pencegahan dan terapi terjadinya PONV. Mekanisme midazolam yang bekerja sebagai anti emetik secara menyeluruh masih belum diketahui secara pasti. Anti emetik midazolam mungkin adalah bekerja pada chemoreseptor trigger zone (CRTZ) dengan menurunkan sintesis, pelepasan dan efek pasca sinaptik dopamin (Rodola., 2010). Pada beberapa tahun terakhir, midazolam dilaporkan terbukti efektif sebagai profilaksis PONV setelah pembedahan strabismus pada pasien pediatrik (Riad dkk., 2009), pembedahan bypass kardiopulmonar (Sanjay dkk., 2004), pembedahan abdominal bawah dengan anestesi umum (Safavi dkk., 2009), bedah myringoplasty (Jang dkk., 2012) dan pada pasien pasca bedah yang mendapat patient controlled analgesia (PCA) menggunakan fentanyl (Kim dkk., 2012). Dengan latar belakang diatas dan mengacu pada penelitian sebelumnya maka peneliti ingin mengevaluasi efektivitas pemberian midazolam 35 µg/kgBB
4
intravena dibandingkan dengan ondansetron 4 mg intravena sebagai pencegahan PONV pada prosedur laparoskopi.
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, dari bulan Mei 2013 sampai dengan bulan Juni 2013 di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda (randomized double blind clinical trial). Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah pasien yang akan menjalani prosedur pembedahan laparaskopi elektif dengan prosedur anestesi umum inhalasi di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar selama masa penelitian. Sampel penelitian sebanyak 48 orang yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien yang akan menjalani prosedur bedah laparoskopi elektif dengan prosedur anestesi umum inhalasi, usia 18-60 tahun, IMT 18 – 30, PS ASA 1 dan 2, setuju ikut serta dalam penelitian dan menandatangani surat persetujuan penelitian serta ada persetujuan dari dokter primer yang merawat. Sampel dibagi secara acak menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan ( M ) yaitu kelompok yang mendapatkan midazolam 35 µg/kgBB intravena dan kelompok
kontrol ( O ) yaitu kelompok yang mendapatkan
ondansetron 4 mg intravena. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan
data
dilakukan
setelah
sebelumnya
mendapatkan
rekomendasi persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan FK UNHAS. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dibantu oleh peserta PPDS Anestesiologi FK-UNHAS. Data pasien mengenai skor PONV diobservasi pada 30 menit (P1), 60 menit (P2), 90 menit (P3), 120 menit (P4) pascabedah di ruang pemulihan, 3 jam (P5), 4 jam (P6), 5 jam (P7) dan 6 jam (P8) pasca pembedahan di ruang perawatan. Efek samping berupa perbedaan skor sedasi dinilai pada 30 menit
5
(P1), 60 menit (P2), 90 menit (P3), 120 menit (P4) pascabedah di ruang pemulihan. Bila terjadi muntah ≥ 2 kali dalam 30 menit atau mual menetap selama 15 menit diberikan anti emetik tambahan berupa ondansetron 4 mg intravena. Kemudian dilakukan pengumpulan dan analisa data. Metode Analisis Data Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows. Hasil pengolahan data ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi. Karakteristik sampel (umur, berat badan, IMT, lama operasi) dianalisis menggunakan independent sample t-test sedangkan sebaran jenis kelamin dan ASA PS dianalisis dengan chi-square. Jumlah pemakaian fentanyl selama operasi dianalisis dengan menggunakan independent sample t-test. Data berupa skor PONV dianalisis menggunakan Fischer exact sedangkan komplikasi berupa skor sedasi dianalisis menggunakan Mann-Whitney U test. Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah 5%, artinya bila p<0,05 maka perbedaan tersebut dinyatakan bermakna secara statistik, dengan interval kepercayaan 95%.
HASIL Karakteristik Sampel Dari 48 pasien yang diikutkan dalam penelitian ini tidak ada pasien yang dikeluarkan (drop-out) dari penelitian ini. Dari tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa tidak didapatkan perbedaan bermakna dari data karakteristik sampel pada kedua kelompok penelitian. Jumlah Pemakaian Fentanyl Hasil analisis statistik tentang jumlah pemakaian fentanyl dapat dilihat pada Tabel 3. Jumlah pemakaian fentanyl pada kelompok midazolam sebanyak 251,25 ± 57,128 µg dan pada kelompok ondansetron 246,67 ± 67,545 µg. Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak didapatkan perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok tersebut dengan nilai p = 0,801 (p>0,05). Skor PONV Kejadian mual muntah setelah prosedur pembedahan laparaskopi pada penelitian ini diukur menggunakan skor PONV. Seperti tampak pada tabel 4,
6
pengamatan kejadian PONV ini dilakukan dengan interval 30 menit selama di ruang pemulihan dan setiap 1 jam di ruang perawatan selama 8 jam pascabedah. Pada penilitian ini, diikuti oleh 48 pasien yang menjalani pembedahan laparaskopi elektif yang terbagi atas kelompok midazolam sebanyak 24 pasien dan kelompok ondansetron sebanyak 24 pasien. Analisa secara stastistik perbandingan skor PONV yang tampak pada tabel 4, dimana pada penilitian ini menggunakan uji Fischer Exact tidak terdapat perbedaan bermakna tentang perbedaan kejadian PONV yang diukur dengan skor PONV diantara kelompok midazolam dan kelompok ondansetron dengan hasil nilai p>0,05 pada semua waktu pengamatan. Skor Sedasi Pada penelitian ini diukur menggunakan skor ramsay. Seperti tampak pada tabel 5, pengamatan sebaran skor sedasi dilakukan dengan interval 30 menit selama di ruang pemulihan dan diuji menggunakan uji Mann-Whitney U. Pada penelitian ini, tidak terdapat perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok dengan hasil p>0,05 pada semua waktu pengamatan.
PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik tentang kejadian skor PONV dan skor sedasi pascabedah pada aplikasi midazolam dan ondansetron sebagai pencegahan kejadian mual muntah pasca prosedur laparaskopi. Mual dengan atau tanpa disertai muntah, dapat menjadi salah satu faktor penting yang memberikan konstribusi terhadap penundaan discharge pasien pasca anestesi (Lichtor dkk., 2008). Berbagai faktor independen telah dihubungkan dengan kejadian PONV itu sendiri. Hal ini dapat dibagi menjadi faktor yang berkaitan dengan non anestetik, anestetik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan postoperatif (Cracken dkk., 2008). Obat-obat anestetik seperti golongan opioid merupakan obat yang mempunyai peranan penting dalam terjadinya mual muntah pascabedah (Apfel dkk., 2002). Insidens kejadian dari mual muntah pada penggunaan opioid
7
tampaknya serupa terlepas dari jalur oral, intravena, intramuskular, subkutaneus, transmukosal, transdermal, intratekal dan epidural. (Coda dkk., 2007). Opioid yang lain dapat merangsang terjadinya mual dan muntah dengan menstimulasi langsung CRTZ dan juga meningkatkan sensitifitas sistem vestibular (Apfel dkk., 2002). Pusat muntah terletak di medulla oblongata dan terdiri atas formasio retikuler dan nukleus traktus solitarius bertanggung jawab terhadap kontrol dan koordinasi mual dan muntah (Jang dkk., 2012). Pusat muntah ini dapat diaktifkan ketika menerima input aferen dari traktus gastrointestinal, korteks serebral dan thalamus, sistem vestibuler (terlibat dalam proses motion sickness) dan Chemoreceptor Trigger Zone (CTRZ) (Kim dkk., 2012) CRTZ adalah suatu kelompok sel yang terletak dekat dengan area postrema di dasar ventrikel keempat yang terdiri dari kurang lebih 40 neurotransmiter (Kim dkk., 2012). Namun hanya beberapa yang memegang peranan penting dalam terjadinya mual muntah yaitu asetilkolin, histamin, dopamin dan 5-HT3 (5 Hydroxytriptamin).
Penggunaan
setiap
obat
yang
dapat
mengantagonis
neurotransmiter ini akan memberikan efek secara tidak langsung terhadap pusat muntah untuk mengurangi mual dan muntah (Chandrakantan dkk., 2010). Laparoskopi adalah suatu prosedur minimal invasif yang memungkinkan akses endoskopik ke dalam rongga peritoneum setelah insuflasi gas CO2 untuk menimbulkan ruang antara dinding abdomen anterior dan organ viseral (White dkk., 2008). Pembedahan laparaskopi diketahui menurunkan morbiditas pasca pembedahan, akan tetapi insidensi dari mual muntah pasca bedah pada pembedahan laparaskopi cukup tinggi. Penyebab tingginya kejadian mual muntah tersebut dapat disebabkan oleh gas yang digunakan untuk insuflasi rongga abdomen. Insuflasi ini menyebabkan tekanan pada nervus vagus yang memiliki hubungan dengan pusat muntah. Selain penyebab lain seperti teknik anestesi, jenis kelamin, nyeri, perawatan pasca operatif dan data demografik pasien yang berhubungan dengan pengaruh terjadinya emesis (Scuderi dkk., 2002). Midazolam merupakan salah satu dari depresan sistem saraf pusat golongan benzodiazepin yang larut dalam air. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam
8
adalah dua sampai tiga kali lebih poten. Midazolam telah digunakan secara luas sebelum prosedur medis atau sebelum tindakan anestesi sebelum pembedahan untuk menyebabkan drowsiness, menghilangkan kecemasan dan menghasilkan amnesia (Park dkk., 2013). Pada beberapa penelitian, midazolam telah menunjukkan terdapat peningkatan kenyamanan dan menurunkan kecemasan yang dialami oleh pasien. Secara terpisah, midazolam telah dilaporkan mampu mengurangi keparahan dan durasi mual dan muntah. Namun, midazolam juga dapat menghasilkan sedasi dan efek anxiolitik yang tidak diinginkan lebih panjang daripada yang diharapkan (Shahriari dkk., 2009). Mekanisme midazolam sebagai anti emetik secara menyeluruh belum diketahui secara sepenuhnya. Efek antiemetik midazolam karena bekerja pada CRTZ dengan menurunkan sintesis, pelepasan dan efek pasca sinaptik dopamin (Park dkk., 2013). Benzodiazepin mengurangi pelepasan dopamin secara sentral dengan melakukan hambatan terhadap re-uptake dari adenosin. Adenosin reseptor agonis juga menghasilkan inhibisi terhadap nigrostriatal melepaskan dopamin. Adenosin juga menurunkan aktivitas neuronal dopaminergik dan pelepasan 5-HT3 ketika midazolam berikatan terhadap kompleks GABA (Alstrup dkk., 2011). Dengan demikian, anxiolisis sebagai efek sekunder dapat juga berkonstribusi sebagai anti emesis (Riad dkk., 2009). Midazolam menurunkan input psikis dari thalamus yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap pusat muntah. Sebagai tambahan, Van Den Bosch dkk (2005) dalam Chandrakantan dkk (2010) menyatakan bahwa kecemasan pada periode perioperatif dapat mempengaruhi angka kejadian PONV. Aplikasi dari midazolam berhubungan dengan pemulihan kesadaran yang cenderung lebih lama. Pemanjangan sedasi dapat terjadi sebagai efek potensiasi ketika aplikasi bersama golongan opioid (Stoelting dkk., 2006). Akan tetapi, dosis rendah midazolam adalah aman diberikan pada periode perioperatif (Tang dkk., 2003). Akan tetapi pada penelitian ini, belum berhasil menyimpulkan bahwa midazolam lebih efektif dari ondansetron sebagai pencegahan kejadian mual
9
muntah pascabedah. Akan tetapi serupa dengan penelitian sebelumnya bahwa kejadian mual muntah lebih rendah pada kelompok midazolam. Hal ini serupa dengan penelitian yang oleh Riad dkk (2009), Sanjay dkk (2004), Safavi dkk (2009), Jang dkk (2012) dan Kim dkk (2012). Hal ini disebabkan oleh input dari thalamus yang berkaitan dengan kecemasan perioperatif pada kelompok midazolam yang mempengaruhi secara langsung pada pusat muntah. Penelitian ini juga tidak menemukan adanya perbedaan yang bermakna dalam kejadian memanjangnya waktu pulih sadar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim dkk (2012). Tidak terjadinya pemanjangan waktu pulih sadar disebabkan oleh dosis rendah midazolam yang digunakan pada periode perioperatif.
KESIMPULAN DAN SARAN Pada penelitian ini belum dapat disimpulkan bahwa midazolam lebih efektif dalam mencegah terjadinya mual muntah pascabedah. Pada penelitian ini tidak ditemukan pemanjangan waktu pulih sadar pada aplikasi midazolam sebagai pencegah mual dan muntah.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang
penggunaan midazolam sebagai pencegahan PONV pada prosedur pembedahan laparaskopi dengan jumlah sampel yang lebih besar.
UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini; khususnya kepada dr.Alamsyah, Sp.An, dr. Syafruddin Gaus, Ph.D, Sp.An-KMN-KNA, DR. dr. Muh. Ramli Ahmad, Sp.An-KAP-KAP dan teman-teman sejawat peserta PPDS Anestesiologi FKUNHAS.
10
DAFTAR PUSTAKA Ali Z., Ahmad T. & Ahmad I. (2010). Preoperative dexamethasone in laparoscopic cholecystectomy patients. J Professional Med, 3:394-99. Alstrup A.K.O, Simonsen M. & Landau AM. (2011). Type of anesthesia influences positron emission tomography measurements of dopamine D2/3 receptor binding in the rat brain. Scand J Lab Anim Sci, 38(3):195201. Apfel C.C., Kranke P., Eberhart L.H., Roos A. & Roewer N. (2002). Comparison of predictive models for postoperative nausea and vomiting. Brt J Anaesth, 88: 234–40. Chandrakantan W. & Glass P.S. (2010). Multimodal therapies for postoperative nausea and vomiting, and pain. Brt J Anaesth, 107:i27-i40. Coda B.A. (2007). Opioids. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, editors. Clinical anesthesia. New York: Lippincot William and Wilkins, 353-67. Cracken G.M., Houston P. & Lefebvre G. (2008). Guidline for the management of postoperative nausea and vomiting. SOGC Clinical Practice Guidline. July. Gerges F.J., Kanazi G.E & Jabbour-khoury S.I. (2006). Anesthesia for laparoscopic. J Clin Anesth, 18: 67-68. Islam S. & Jain P.N. (2004). Post operative nausea and vomiting (PONV): a review article. Indian J Anaesth, 48(4):253-58. Jang J.S., Lee J.H., Lee J.J., Park W.J., Hwang S.M., Lee S.K. & Lim S.Y. (2012). Postoperative nausea and vomiting after myringoplasty under continous sedation using midazolam with or without remifentanyl. Yonsei Med J, 53(5):1010-13. Kim D.S., Koo G.H., Baek C.W., Jung Y.H., Woo Y.C., Kim J.Y. & Park S.G. (2012). The antiemetic effect of midazolam or/and ondansetron added to intravenous patient controlled analgesia in patients of pelviscopic surgery. Korean J Anesthesiol, 62(4):343-49. Licthor J.L. & Kalghatgi S.V. (2008). Outpatient anesthesia. In: Longnecker DE, Brown DDL, Newman MF, Zapol WM, editors. Anesthesiology. New York: Mc Graw Hill, 1608-19. Park E.Y., Lee S.K., Kang M.H., Lim K.J., Kim Y.S., Choi E. & Park Y.H. (2013). Comparison of ramosetron with combined ramosetron and midazolam for preventing postoperative nausea and vomiting in patient at high risk following laparascopic gynaecological surgery. J of International Med Research, 0(0):1-10. Riad W., Altaf R., Abdulla A. & Oudan H. (2007). Effect of midazolam, dexamethasone and their combination on the prevention of nausea and vomiting following strabismus repair in children. Europ J of Anaesth, 24:697-701. Rodola F. (2006). Midazolam as an antiemetic. Europ Rev for Medical and Pharmacological Sciences, 10:121-6.
11
Safavi M.R. & Honarmand A. (2009). Low dose intravenous midazolam for prevention of PONV in lower abdominal surgery. MEJ Anaesth, 20(1):75-82. Sanjay O.P. & Tauro D.I. (2004). Midazolam: an effective antiemetic after cardiac surgery-a clinical trial. Anesth Analg, 99:339-43. Scuderi P. & Salem W. (2002). Postoperative nausea and vomiting: prevention and treatment. Can J Anaesth, 49:241-46. Shahriari A., Khooshideh M. & Heidari M.H. (2009). Prevention of nausea and vomiting in cesarean section under spinal anaesthesia with midazolam or metoclopramide?. J Pak Med Assoc, 59(11):756-59. Stoelting R.K & Hillier S.C. (2006). Benzodiazepin. In: Pharmacology & physiology in anesthetic practice. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 104-8. Tang J., Wang B., White P.F. & Gold M. (2003). Comparison of the sedation and recovery profiles of Ro 48-6791, a new benzodiazepine and midazolam in combination with meperidine for outpatient endoscopic procedures. Anesth Analg, 89:893-8. White P.F., Sacan O., Nuangchamnong N. & Sun T. (2008). The relationship between patient risk factors and early versus late postoperative emetic symptoms. Anesth Analg, 107: 459-63.
12
LAMPIRAN
Tabel 1. Karakteristik sampel Midazolam
Ondansetron
Variabel
p n
Mean
SD
n
Mean
SD
Umur
24
42.21
12.860
24
36.21
10.974
0.089
IMT
24
22.07
1.330
24
21.78
1.438
0.463
Lama operasi
24
82.04
21.936
24
78.79
24.73
0.632
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata (mean), ± simpang baku (standart deviation); probabilitas (nilai p) diuji dengan independent sample t-test, p<0,05 dinyatakan bermakna.
Tabel 2. Karakteristik sampel Kelompok
Variabel Laki-laki Perempuan
Jenis Kelamin Total
PS 1 PS 2
ASA PS Total
Total
Midazolam
Ondansetron
5 19 24 5 19
7 17 24 4 20
12 36 48 9 39
24
24
48
p
0,505
0,712
Probabilitas (nilai p) diuji dengan chi-square test; p<0,05 dinyatakan bermakna
Tabel 3. Perbandingan jumlah konsumsi fentanyl pada kedua kelompok Variabel Kebutuhan fentanyl
Midazolam
Ondansetron
n
Mean
SD
n
Mean
24
251.25
57.128
24
246.67
SD 67.545
p 0.801
Data disajikan dalam nilai median (minimum – maksimum); probabilitas (nilai p) diuji dengan Uji T test, p<0,05 dinyatakan bermakna
13
Tabel 4. Perbandingan sebaran skor PONV pada kedua kelompok Waktu Pengamatan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
Skor 0
Kelompok
Skor 1-3
Total
n
%
n
%
n
%
Midazolam Ondansetron Midazolam Ondansetron Midazolam Ondansetron Midazolam Ondansetron Midazolam Ondansetron Midazolam Ondansetron
20 20 23 18 22 22 24 23 24 23 23 23
83.3 83.3 95.8 75 91.7 91.7 100 95.8 100 95.8 95.8 95.8
4 4 1 6 2 2 0 1 0 1 1 1
16.7 16.7 4.2 25 8.3 8.3 0 4.2 0 4.2 4.2 4.2
24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24 24
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Midazolam Ondansetron
23 24
95.8 100
1 0
4.2 4.2
24 24
100 100
Midazolam
23
95.8
1
4.2
24
100
Ondansetron
24
100
0
4.2
24
100
p 1.000 0.097 1.000 0.999 0.999 1.000 0.999 0.999
Data dianalisis menggunakan Fischer Exact test, bermakna bila nilai p<0,05
Tabel 5. Perbandingan sebaran skor sedasi pada kedua kelompok Skor Sedasi Waktu pengamatan P1 P2 P3 P4
Skor 1
Kelompok
Skor 2
Skor 3
n
%
n
%
n
%
Midazolam Ondansetron Midazolam Ondansetron Midazolam Ondansetron Midazolam
0 3 0 2 0 0 0
0 12.5 0 8.3 0 0 0
20 19 20 21 21 24 23
83.3 79.2 83.3 87.5 87.5 100 95.8
4 2 4 1 3 0 1
16.7 8.3 16.7 4.2 12.5 0 4.2
Ondansetron
0
0
24
100
0
0
Data dianalisis menggunakan Mann-Whitney U test, bermakna bila nilai p<0,05
p
0.101 0.060 0.077 0.317