EKSISTENSI PIDANA MATI DAN TINJAUAN TERHADAP

Download Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia. Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta. Eksistensi Pidana Mati dan Tinjauan Terhadap Konsepsi. Hak...

0 downloads 584 Views 276KB Size
Eksistensi Pidana Mati dan Tinjauan Terhadap Konsepsi Hak Asasi Manusia di Indonesia

By: Arifin Ma’ruf Abstract The right to life is a right guaranteed in the Indonesian constitution, but such right may be restricted by law instruments, capital punishment is not contrary to the right to life guaranteed by the 1945 Constitution, this is because the Indonesian constitution not absolute adheres to the principles of human rights, the death penalty is the ultimate weapon or end in justice , but in the imposition of capital punishment must be considered matters relating to the rights of the convict and the execution was carried out in a way that is proper and humane, the death penalty is an instrument to protect the public and state in the form of preventive and repressive, existence of the death penalty in indonesian can also be seen in the Criminal Code, the Law on special crimes and draft penal Code still includes the presence of the death penalty. Abstrak Hak untuk hidup merupakan hak yang dijamin dalam konstitusi Indonesia, akan tetapi hak tersebut dapat dibatasi dengan instrumen undang-undang, pidana mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, hal ini dikarenakan konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi manusia, pidana mati itu adalah merupakan senjata pamungkas atau akhir dalam keadilan, namun dalam penjatuhan pidana mati haruslah diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak si terpidana dan eksekusinya pun dilakukan dengan cara yang patut dan berprikemanusiaan, pidana mati merupakan sebuah instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif, Eksistensi hukuman mati di indonesia dapat kita lihat dalam KUHP, UU tentang tindak pidana khusus dan rancangan KUHP yang masih mencantumkan adanya hukuman mati. Kata Kunci: Hukuman Mati dan HAM.



Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. E-mail: [email protected]

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

281

A. Pendahuluan Pemidanaan merupakan salah satu upaya untuk mencegah suatu kejahatan dan pelanggaran, tujuan pemidanaan menurut konsep KUHP 1991/1992 dinyatakan dalam pasal 51, adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, namun kemudian dalam melakukan suatu pemidanaan memanglah harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku, hal ini yang kemudian telah diamanatkan dalam konstitusi kita yaitu UUD 1945 pasal 1 ayat 3 setelah perubahan“Negara Indonesia adalah Negara Hukum” , Sebagai negara hukum maka Indonesia haruslah menegakkan hukum yang berkeadilan, menjamin adanya kepastian hukum dan juga mengindahkan nilai-nilai hak asasi manusia, sehingga nantinya yang menjadi tujuan dari hukum itu sendiri bisa tercapai. Hukum diciptakan untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berbeda antara pribadi, masyarakat, dan negara dapat dijamin dan diwujudkan tanpa merugikan pihak yang lain.1 Konsepsi mengenai negara hukum kemudian sebagai mana dijelaskan oleh Julius Stahl yang mengemukakan pendapatnya mengenai negara hukum yang dikenal dengan Rechsstat, dimana negara hukum memiliki empat elemen penting yaitu: a. Perlindungan hak asasi manusia; b. Pembagian kekuasaan; c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; d. Peradilan tata usaha negara. Abdul Latief juga menjelaskan mengenai negara hukum, pada prinsipnya negara hukum mengandung beberapa unsur-unsur dan salah satu unsurnya adalah dalam negara hukum itu hak-hak manusia dihormati dan diakui oleh penguasa yang bersangkutan.2, Perlindungan mengenai hak asan yang menjadi tujuan hukum itu sendiri, Karl N. Liewellyn mengatakan bahwa hukum diciptakan sebagai alat untuk mencapai tujuantujuan sosial 3 ,hal ini juga sejalan dengan pendapatnya Subekti yang mengatakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan 1Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), hlm. 31. 2Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, (Yogyakarta : UII Press. 2005) hlm. 20. 3 Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung : Refika Aditama, 2010, hlm. 53-54.

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

282

terhadap rakyatnya.4 Jeremy Bentham memaparkan lebih lanjut bawasanya ditegakkanya hukum itu bertujuan untuk “the greatest happiness for the greatest number” yaitu kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak banyaknya orang.5 Sehingga seharusnya diciptakanya aturan hukum adalah untuk mengabdi pada kepentingan masyarakat yang salah satunya adalah melindungi hak-hak asasi masyarakat itu sendiri, Jimly Assydiqie menjelaskan bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu pilar penopang negara hukum di zaman sekarang,6 sehingga keseriusan pemerintah dalam peneggakkanya merupakan salah satu kunci terciptanya negara hukum yang baik. Pengaturan mengenai hak asasi manusia di indonesia terdapat dalam UUD 1945 Pasal 28A-28J dan juga terdapat dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dan terkait tentang hak hidup telah diatur secara terperinci didalam konstitusi kita yaitu dalam pasal 28 A “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”, Selain itu aturan mengenai hak hidup diatur pula dalam pasal 28H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Dan kemudian ditegaskan dalam pasal 28I ayat (1) yang menentukan : “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, aturan mengenai hak hidup ini kemudian diperjelas dalam UU No. 39 Tahun 1999 dalam Pasal 35 menentukan bahwa “Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undnag-undang ini” namun kemudian pelaksanaan dari hak asasi manusia yang telah diatur dalam konstitusi tidak bisa dilaksanakan sebebas-bebasnya, konstitusi kitapun membatasi dalam kaitan pelaksanaan hak asasi tersebut, hal ini sesuai dengan yang termuat dalam Pasal 28J :

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka. 1989) hlm. 41. 5 Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum Dan Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2011) hlm. 100. 6 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitualisme Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press. 2005) hlm. 154-162. 4

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

283

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Selain itu ketentuan tentang pembatasan mengenai hak asasi manusia juga termuat dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia, yaitu dalam Bab VI Pembatasan dan Larangan, Pasal 73 : “Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.” Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa dalam penerapan Hak asasi manusia memanglah perlu adanya pembatasan, dan pembatasan tersebut dilaksanakan dalam rangka untuk melindungi hak asasi manusia dari masyarakat, menurut Jimly Asshiddiqie, Terhadap hak asasi manusia tersebut, dalam keadaan apapun atau bagaimanapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak tersebut, akan tetapi ketentuan tersebut tentu tidak dimaksud dan tidak dapat diartikan atau digunakan sebagai dasar untuk membebaskan seseorang dari penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan.7 Pidana mati dalam hukum indonesia bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi kita, pidana mati sudah lama diterapkan di negara indonesia, eksistensi hukuman mati ini bukan karena merupakan suatu konsep dari barat, namun masyarakat indonesia sendiri telah lama mengenal dan menerapkan hukuman mati dalam hukum adat mereka, Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut 7Jimly Asshiddiqie, Makalah yang disampaikan dalam studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005.

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

284

hukum adat atau hukum para raja dahulu.8 Pidana mati merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang, dilaksanakannya hukuman mati adalah agar masyarakat bisa memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman serta keamanan yang ada di suatu negara. Tulisan ini akan menjelaskan tentang eksistensi pidana mati ditinjau dari konsepsi hak asasi manusia di indonesia, penulisanya dilatarbelakangi tentang bagaimana pidana mati dalam kaitanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. B. Pidana Mati sebagai Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Hak tersebut diperoleh bersama dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat, Hak asasi manusia merupakan ideologi universal pertama di dunia, yang merupakan cita-cita agama, politik, filsafat dan hukum, dan merupakan gagasan yang sekarang ini telah diterima diseluruh dunia.9 HAM bersifat umum (universal) karena diyakini bahwa beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan atas bangsa, ras, atau jenis kelamin. HAM juga bersifat supralegal, artinya tidak tergantung pada adanya suatu Negara atau undang-undang dasar, kekuasaan pemerintah, bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi karena berasal dari sumber yang lebih tinggi (Tuhan). UU No. 39/1999 tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan YME. Dalam pidato presiden tanggal 16 Agustus 1990, presiden telah menegaskan bahwa Ham adalah kemanusiaan yang adil dan beradab,10 sehingga dapat kita artikan bahwa sebenarnya adanya pengaturan tentang ham adalah semata-mata untuk menciptakan keadilan di dalam masyarakat di indonesia, dan untuk menciptakan rasa keadilan tersebut harus ada pembatasan-pembatasan Ham. Sebelum kita lebih jauh membahas tentang pidana mati maka terlebih dahulu kita bahas tentang teori pemidanaan, dalam hukum pidana 8R.

Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, (Bogor : Politea, 2001), hlm 14. 9Peter Davies, Hak Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994). Hlm.1. 10Gunawan Setiardja, Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, (Yogyakarta : Kanisius. 1993). Hlm. 17.

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

285

terdapat dua macam teori pidana dan pemidanaan sebagai dasar pembenar dan tujuan pidana. Pertama, adalah teori absolut atau disebut juga teori retributif. Menurut teori ini, pemidanaan dilakukan karena semata-mata seseorang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est) dan pemidanaan harus ada sebagai akibat mutlak untuk membalaskan perbuatan jahat seseorang. Dasar pembenar pemidanaannya adalah karena kejahatan merupakan pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan wujud dari cita-susil masyarakat. Sedangkan toeri lainya adalah teori relatif atau sering disebut teori utilitarian, inti dari teori ini adalah menolak teori absolut, dimana pemidanaan itu bukan untuk memuaskan keadilan dengan memberi hukuman karena pembalasan merupakan tujuan yang tidak bernilai. Aliran ini lebih berpendapat bahwa pemidanaan memiliki nilai untuk melindungi masyarakat karena bertujuan untuk mengurangi frekuensi kejahatan supaya orang lain jangan melakukan kejahatan (nepaccetur).11 Lebih lanjut Barda Nawawi Arief dan Muladi menjelaskan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan. Barda Nawawi Arief juga menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah : 1. Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan; 2. Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan; 3. Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.

Muladi & Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 10-16. 11

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

286

Sebagaimana diketahui bahwa eksistensi pidana pidana mati dituangkan dalam KUHP, yang secara terperinci menyatakan sebagai berikut: Pasal 10. Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok : 1. Pidana Mati, 2. Pidana Penjara, 3. Kurungan, 4. Denda. b. Pidana tambahan 1. Pencabutan Hak-hak Tertentu, 2. Perampasan Barang-barang Tertentu, 3. Pengumuman Putusan Hakim. 12 Berdasarkan uraian pasal 10 KUHP tersebut dapatlah diketahui bahwa lembaga pidana mati merupakan salah satu hukuman yang masih jelas keberadaannya sebagai bagian dari hukuman (pidana) yang dapat dijatuhkan. Dan dalam pasal 11 KUHP menyatakan bahwa : “hukuman mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terhukum dan dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri”, namun pada prakteknya setelah tahun 1918 tersebut telah mengalami beberapa perubahan pada saat Jepang menjajah Indonesia. “pada waktu itu ada 2 peraturan dijalankan, yaitu peratuan pasal 11 KUHP dan satu lagi praturan baru yang di undangkan olrh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan tembak mati namun kemudian setelah kesatuan RI tercapai dimulai dengan proklamasi kemerdekaan indinesia, maka pidana mati dilakukan kembali dengan cara pidana gantung seperti yang telah tercantumkan didalam pasal 11 KUHP. Pada tahun 1964 telah terjadi perubahan kembali dalam pelaksanaan pidana mati ini melalui penetapan Presiden No.2 tahun 1964 ini yang juga melalui lembaran negara tahun 1964 nomor 38, dirubah menjadi undangundang No.2 tahun 1964. Melaui UU No.2 tahun 1964 diatur bahwa pelaksanaan pidana ini tidak lagi dengan cara digantung oleh sorang algojo, melainkan dengan cara ditembak mati oleh suatu regu tembak, pidana mati ini juga menurut ketetapan tersebut mengharuskan agar dilaksanakan ditempat tertentu dan tidak dimuka umum kecuali ditetapkan lain oleh 12Moeljatno,

Kitab Undang Undang Hukum Pidana, (Jakarta : Bumi Aksara, 2005),

hlm. 5-6.

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

287

Presiden RI. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP diantaranya : 1. Pasal 104 KUHP: Makar membunuh kepala Negara; 2. Pasal 111 ayat (2) KUHP: Mengajak Negara Asing untuk menyerang Indonesia; 3. Pasal 124 ayat (3) KUHP: Memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang; 4. Pasal 140 ayat (4) KUHP: Membunuh kepala Negara sahabat; 5. Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP: Pembunuhan yang direncakan lebih dahulu; 6. Pasal 365 ayat (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih bersekutu pada waktu malam hari dengan cara membongkar dan sebagainya, yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati; 7. Pasal 444 KUHP: Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga mengakibatkan orang mati ; 8. Pasal 124 bis KUHP: Dalam waktu perang menganjurkan huruhara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara ; 9. Pasal 127 dan 129 KUHP: Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang; 10. Pasal 368 ayat (2) KUHP: Pemerasan dengan pemberatan ; Kejahatan yang diancam pidana mati selain dari tindak pidana yang diatur dalam KUHP, ada juga beberapa ketentuan-ketentuan di luar KUHP yang juga mengatur tentang kejahatan yang diancam dengan tindak pidana mati, di antaranya adalah: 1. Tindak Pidana Ekonomi ( UU No 7/Drt/1955 ); 2. Tindak Pidana Narkotika (UU No 35 Tahun 2009); 3. Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001); 4. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (39 tahun 1999); 5. Tindak Pidana Terorisme ( Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003) Eksistensi hukuman mati juga dapat kita lihat didalam rancangan KUHP yang masih dalam tahap penyusunan, dapat dilihat bahwa pidana mati tidak lagi dimasukan memjadi pidana pokok beriringan dengan pidana penjara dsb, melainkan talah mendapat tempat sebagai pidana yang bersifat khusus, yaitu dijadikan suatu ancaman pidana sacara alternatife. (pasal 61 konsep KUHP 1999-2000). Jadi disini dapat disimpulkan bahwa PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

288

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

pidana mati masih dianggap sebagai suatu jenis pidana yang masih diperlukan dan dapat diterapakan di indonesia. Dalam perkembanganya konsepsi pidana mati dalam rancangan KUHP baru sebagai Jus Constituendum telah menerapkan beberapa pemikiran tentang bagaimana pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku kejahatan di indonesia diantaranya adalah : 1. Pidana Mati dilaksanakan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati; 2. Pelaksanakan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum; 3. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan belas tahun; 4. Pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tersebut sembuh; 5. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan Presiden dan Penolakan Grasi oleh Presiden; 6. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika; a. Reaksi masyarakat terhadap terpidana mati terlalu besar b. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki c. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting d. Ada alasan meringankan 7. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dan pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan keputusan menteri kehakiman. 8. Jika terpidana selam masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji tidak ada harapan untuk memperbaiki maka terpidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. 9. Jika setelah permohonan Grasi ditolak, pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri maka terpidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri Kehakiman. Dari ketentuan dalam Rancangan KUHP sebenarnya telah memperhatikan dan menyesuaikan dengan kondisi diindonesia, dan PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

289

penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta memperhatikan juga keputusan terbaik bagi terpidana, contohnya bahwa pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak di bawah umur delapan belas tahun, kita mengetahui bahwa anak merupakan aset negara sehingga masa depan anak perlu untuk diperhatikan, sehingga sebenarnya penangkapan, penahanan dan pemidanaan terhadap anak adalah upaya terahir yang bisa dilakukan (the last resort), selain ketentuan itu dalam Rancangan KUHP juga memberikan ketentuan terhadap wanita hamil dan sakit jiwa bahwasanya pelaksanaan Pidana mati terhadap wanita hamil atau orang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang sakit jiwa tersebut sembuh, ketentuan tersebut dapat kita pahami bahwa pelaksanaan hukuman mati masih memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, R. Santoso Poedjosoebroto yang merupakan mantan wakil ketua Mahkamah Agung, berpendapat pidana mati itu adalah merupakan senjata pamungkas atau akhir dalam keadilan,13 namun dalam penjatuhan pidana mati haruslah diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak si terpidana dan eksekusinya pun dilakukan dengan cara yang patut dan berprikemanusiaan. Menurut Djoko Prakoso hukuman mati masih diperlukan hal tersebut dikarenakan : 1. Pidana mati menjamin bahwa si penjahat tidak akan berkutik lagi. Masyarakat tidak akan diganggu lagi oleh orang ini sebab “mayatnya telah dikuburkan sehingga tidak perlu takut lagi terhadap terpidana”. 2. Pidana mati merupakan suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah. 3. Dengan alat represi yang kuat ini kepentingan masyarakat dapat terjamin sehingga dengan demikian ketentraman dan ketertiban hukum dapat dilindungi. 4. Terutama jika pelaksanaan eksekusi di depan umum diharapkan timbulnya rasa takut yang lebih besar untuk berbuat kejahatan. 5. Dengan dijatuhkan serta dilaksanakan pidana mati diharapkan adanya seleksi buatan sehingga masyarakat dibersihkan dari unsur-unsur jahat dan buruk dan diharapkan akan terdiri atas warga yang baik saja.14 13Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini,( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984), hal 57. 14Djoko Prakoso, Masalah Pidana Mati, Soal Jawab, ( Jakarta: Bina Aksara, 1987) hlm. 25-28.

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

290

Hak atas penghidupan instrumen tidak dijamin sebagai hak mutlak. Misalnya, menurut Konvensi Eropa, pencabutan nyawa tidak bertentangan dengan hak atas penghidupan, apabila pencabutan ini diakibatkan oleh tindakan tertentu yang sudah ditetapkan. Dalam beberapa instrumen, larangan hukuman mati dimuat dalam sebuah Protokol tersendiri. Konvenan internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik dan Konvensi Amerika keduanya membatasi hukuman mati pada “kejahatan yang paling berat”, dikenakan pada suatu “keputusan final suatu pengadilan yang berwenang” sesuai dengan undang-undang yang tidak retroaktif. Kedua perjanjian ini memberikan hak untuk mencari “pengampunan atau keringanan hukuman” dan melarang pengenaan hukuman mati pada orang dibawah usia delapan belas tahun pada saat melakukan kejahatan, dan melarang eksekusinya pada wanita hamil. Konvensi Eropa mensyaratkan hukuman mati dikenakan oleh suatu pengadilan, sesudah memperoleh keyakinan mengenai suatu kejahatan yang karena keputusannya ditetapkan oleh undang-undang. Greg. L. Bahnsen dalam bukunya menjelaskan alasan mengapa ia setuju dengan pidana mati ini tetap diterapkan, yang menurutnya “kita harus mengerti kententuan dari hukuman mati atas dasar bahwa suatu hukuman yang bersifat kewarganegaraan adalah kejahatan yang dibenarkan dimata Allah.” Penjatuhan pidana mati tersebut, tidaklah dijatuhkan kepada sembarangan orang melainkan khusus kepada pelaku kejahatan khusus (extraordinary crime), yang dianggap pelakunya telah memperlihatkan dari perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup.15 Bichon van Ysselmode yang menyatakan bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya. Keduanya Jure divino humano. Pedang pidana, seperti juga pedang harus ada pada Negara. Hak dan kewajiban ini tak dapat 15Leden

Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika,

2005), hlm. 105.

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

291

diserahkan begitu saja. Tetapi haruslah dipertahankan dan juga digunakan.” Simons dalam sebuah tulisannya pernah menyatakan, masalah adiltidaknya hukuman mati itu tidaklah dapat dipersoalkan, apabila sudah jelas bahwa tanpa hukuman tersebut ketertiban hukum tidak dapat dipertahankan.16 Maka berdasarkan pendapat Simons tersebut jelas di sini bahwa keberadaan lembaga pidana mati merupakan kebutuhan yang mutlak pada saat itu, mengingat keberadaan Negara Indonesia yang belum stabil saat itu dan bila dilihat dari segi adat istiadat di Indonesia, hukuman (pidana) mati tidaklah bertentangan dengan adat istiadat dan hukum agama, khususnya hukum pidana Islam yang juga mengenal adanya hukuman mati (yang mana mayoritas Warga Negara Indonesia merupakan penganut agama Islam). Dalam pandangan islam, hukuman mati dapat dijatuhkan kepada pelaku perzinaan dalam bentuk dilempar batu hingga mati (al-rajam) untuk pelaku perzinaan yang sudah menikah. Juga hukuman mati dilakukan dalam kasus pemberontakan (al-bughat) dan pindah agama (al-riddah) yang dikenal sebagai hukuman (al-had/al-hudud) atas pengingkaran terhadap Islam, dan juga hukuman mati bagi pelaku pembunuhan dalam bentuk qishash, dalam hukum islam ketika menerapkan suatu hukum bukan karena faktor balas dendam semata akan tetapi menjustifikasi aturan konkrit tentang nilai-nilai keadilan, dengan kata lain tidak boleh memberikan suatu hukuman melebihi kesalahan seseorang, hal ini adalah untuk menegakkan keadilan ditengah-tengah masyarakat.17 Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.18 Pidana mati, menurut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, hal 16P.AF.

Lamintang & D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht), (Bandung : Pionir Jaya, 1992), Hlm. 393. 17Makhrus Munajat, Fikih Jinayat, Hukum Pidana Islam, Edisi Revisi, (Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2010), Hlm. 142. 18 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), (Jakarta : Rajawali Pers, 2005), hlm. 187.

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

292

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

ini dikarenakan konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi manusia. Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak azasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak azasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Pandangan konstitusi itu, menurut MK, diteruskan dan ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak azasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum. Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, terorisme, MK berpendapat Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun. Bahkan, MK menegaskan pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Sebaliknya, MK menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan kepada negara pesertanya untuk memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan narkotika. Berdasarkan keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak dipertahankan keberadaannyanya dalam hukum pidana positif. Hanya saja berdasarkan putusan tersebut pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan pidana mati hendaknya untuk ke depan memperhatikan sungguh-sungguh hal sebagai berikut : a. Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; b. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 20 puluh tahun; c. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

293

d. Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuanhamil tersebut melahirkan dan terpidana mati yang sakit jiwa tersebut sembuh.19 Jadi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa pidana mati merupakan sebuah instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif. Represif di sini bukanlah menjadikan mereka yang diperintah menjadi rentan dan lemah.20 Dengan demikian implementasi pidana mati yang dijatuhkan dengan pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan keamanan dan ketertiban masyarakat umum, maka jelas tidak bertentangan dengan nilai kemanusian yang adil dan beradab, justru kalau pidana mati tidak dilaksanakan padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap melanggar hukum, maka perwujudan rasa keadilan dan HAM telah diabaikan. C. Penutup Dari uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa hak asasi manusia khususnya Hak untuk hidup memanglah benar dijamin dalam konstitusi Indonesia, namun kemudian hak tersebut bisa atau dapat dibatasi dengan instrumen perundang-undang-an, selain itu pidana mati tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, hal ini dikarenakan konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi manusia, sehingga dimungkikan bahwa penerapan hukuman mati tersebut dapat dilaksanakan di indonesia. Penerapan hukuman mati diterapkan pada kejahatan-kejahatan yang berat atau luar biasa (extraordinary crime), dan dalam pelaksanaanya pidana mati diterapkan bukan dalam kerangka pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternative.

19

Putusan Mahkamah Konstitusi No.2-3/PUU-V/2007. Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, (Bandung : Nusamedia, 2007),

20Philip

hlm. 33.

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

294

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah,. dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993. Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, Yogyakarta : UII Press. 2005. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989. Djoko Prakoso & Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia : Jakarta, 1984. _____________, Masalah Pidana Mati (Soal Jawab), Jakarta: Bina Aksara, 1987. Gunawan Setiardja, Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Yogyakarta : Kanisius, 1993. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitualisme Indonesia, Jakarta : Konstitusi Press, 2005. ______________, Makalah yang disampaikan dalam studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005. Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika : Jakarta, 2005. Makhrus Munajat, Fikih Jinayat, Hukum Pidana Islam, Edisi Revisi, Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2010. Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara : Jakarta, 2005. Muladi & Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992. P.AF. Lamintang & D. Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het Nederlanches Strafrecht), Bandung : Pionir Jaya, 1992. Peter Davies, Hak Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994. Putusan Mahkamah Konstitusi No.2-3/PUU-V/2007. Philip Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung : Nusamedia, 2007.

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015

Arifin Ma’ruf: Eksistensi Hukuman Mati...

295

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta : Rajawali Pers, 2005. R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politea, Bogor, 2001. Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung : Refika Aditama, 2010. Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum Dan Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011.

PANGGUNG HUKUM

Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta

Vol.1, No.2, Juni 2015