Epilepsi Simptomatik Akibat Cidera Kepala pada Pria

Epilepsi Simptomatik Akibat Cidera Kepala pada Pria Berusia 20 Tahun Apga Repindo, Zam Zanariah, Oktafany Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abs...

4 downloads 510 Views 624KB Size
Apga Repindo|Epilepsi Simptomatik et causa Cidera Kepala pada Pria Berusia 20 Tahun

Epilepsi Simptomatik Akibat Cidera Kepala pada Pria Berusia 20 Tahun Apga Repindo, Zam Zanariah, Oktafany Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang umum terjadi di seluruh dunia. Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar antara 33-198 per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, prevalensi penderita epilepsi cukup tinggi berkisar antara 0,5-2%. Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti diagnosis epilepsi, oleh karena sebelum pengobatan dimulai epiepsi harus ditegakkan terlebih dahulu. Penelitian ini bertujuan untuk menegakkan diagnosis secara sistematis pada pasien pria berusia 20 tahun sehingga pasien dapat diterapi dengan tepat. Metode yang digunakan adalah case report dengan analisis data primer diperoleh melalui autoanamnesis, alloanamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang dengan keluhan kejang berulang dilakukan anamnesis secara sitematis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis secara etiologi. Pasien dalam kasus ini didiagnosis epilepsi simptomatik et causa cedera kepala. Kata kunci: epilepsi, diagnosis

Epilepsy Symptomatic Caused by Head Injury to 20 Years Old Men Abstract Epilepsy is one of the most common neurological disorders worldwide. The incidence of epilepsy in the world is still high, ranging from 33-198 per 100,000 population each year. In Indonesia alone, the prevalence of epilepsy patients is quite high ranging from 0.5-2%. One problem in the prevention of epilepsy is to determine with certainty the diagnosis of epilepsy, because before treatment begins epiepsy must be established first. This study aims to establish a systematic diagnosis in 20-year-old male patients so that patients can be treated appropriately. This study used case report method with analysis of primary data obtained through autoanamnesis, alloanamnesis, physical examination and spesific examination. A 20year-old man came with recurrent seizures of systematic history taking and physical examination to make the diagnosis etiologically. Patients in this case were diagnosed by epilepsy symptomatic et causa head injury. Keywords: epilepsy, diagnose Korespondensi: Apga Repindo, alamat Jl. H.Komarudin No. 63, HP 082178041050, e-mail [email protected]

Pendahuluan Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang umum terjadi di seluruh dunia.Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi.1,2 Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar antara 33-198 per 100.000 penduduk tiap tahunnya.Di Indonesia sendiri, prevalensi penderita epilepsi cukup tinggi berkisar antara 0,5-2%. Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi.3,4 Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti diagnosis epilepsi, oleh karena sebelum pengobatan dimulai epilepsi harus ditegakkan terlebih dahulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula. Penelitian ini bertujuan untuk

menegakkan diagnosis secara sistematis pada pasien pria berusia 20 tahun sehingga pasien dapat diterapi dengan tepat.5,6 Kasus Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang dengan keluhan kejang berulang 8 kali sejak ± 1 bulan SMRS. Kejang dialami biasanya berlangsung selama ± 5 menit, kejang seperti kaku dan kelonjotan pada seluruh anggota gerak, mata mendelik keatas, tampak pucat dan berkeringat, lidah tidak tergigit dan tidak keluar busa dari mulut. Pada saat kejang pasien dalam keadaan berbaring dan tidak sadarkan diri, setelah kejang pasien langsung tertidur, setelah pasien bangun, pasien tampak bingung selama beberapa saat kemudian kembali sadar dan dapat kembali berkomunikasi seperti biasa. Sebelum mengalami kejang pasien sering merasa nyeri pada seluruh bagian kepala terutama dalam 1 bulan terakhir. Riwayat kejang sebelumnya terjadi pada saat pasien berusia 1 tahun 6 bulan, Kemudian Medula | Volume 7 | Nomor 4 | November 2017 | 26

Apga Repindo|Epilepsi Simptomatik et causa Cidera Kepala pada Pria Berusia 20 Tahun

pada usia 7 tahun pasien kembali mengalami kejang tetapi tidak disertai demam. Kejang dialami 1 kali dengan durasi kejang ± 10-15 menit, dengan tipe kejang yang sama seperti yang dialami pasien dalam 1 bulan terakhir. Pada saat pasien berusia 14 tahun, pasien kembali mengalami kejang dengan durasi yang semakin sering yaitu sekitar 4-6 kali dalam 1 bulan dengan jarak antara kejang yang pertama dengan kejang selanjutnya lebih dari 24 jam. Kejang terjadi selama 15 menit dengan tipe yang sama. Pada saat pasien berusia 16 tahun dilakukan pemeriksaan EEG dan dinyatakan mengalami epilepsi. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6 = 15. Tanda vital didapatkantekanandarah 120/80 mmHg, nadi 92 x/menitreguler, RR 20 x/menit, suhu 36,5oC.Pada status generalis dalam batas normal. Hasil pemeriksaan nervus cranialis dalam batas normal. Refleks patologis tidak ditemukan. Pada pemeriksaan penunjang EEG didapatkan kesan abnormal berupa cetusan, epileptik difus, pada CT SCAN terdapat kesan subdural hygroma di regio frontalis sinistra. Pasien dalam kasus ini didiagnosis dengan diagnosis klinis konvulsi tipe umum tonik klonik, diagnosis topic pada daerah cerebri dan diagnosis etiologi adalah epilepsi simptomatik et causa cedera kepala. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini terdiri dari penatalaksanan umum berupa tirah baring disertai pemantauan terhadap tanda vital pasien, dan diberikan terapi medikamentosa berupa infus RL XV gtt/menit, Phenytoin 3x100 mg/hari, Oxcarbazepine 3x300 mg/hari, dan As. Folat 1x1. Pembahasan Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).2,7 Diagnosis epilepsi ditegakkan secara sistematis dengan 3 langkah, yaitu: Langkah

pertama, melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus, diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang diperoleh dari anamnesis yang mencakup autoanamnesis maupun alloanamnesis. Langkah kedua : untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan memperhatikan klasifikasi ILAE.Klasifikasi ILAE untuk tipe bangkitan epilepsi, antara lain : 1. Bangkitan parsial/ fokal a. Bangkitan parsial sederana dengan gejala motorik, somato sensorik, otonom, psikis. b. Bangkitan parsial kompleks Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran c. Bangkitan parsial yang menjadi umum. Parsial sederhana yang menjadi umum, parsial kompleks menjadi umum, parsial sederhana yang menjadi kompleks lalu menjadi umum. 2. Bangkitan umum a. Bangkitan lena (absence) Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir. b. Bangkitan mioklonik Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal. c. Bangkitan tonik Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi. d. Bangkitan atonik Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh kedepan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh. e. Bangkitan klonik Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot. f. Bangkitan tonik-klonik Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik. Medula | Volume 7 | Nomor 4 | November 2017 | 27

Apga Repindo|Epilepsi Simptomatik et causa Cidera Kepala pada Pria Berusia 20 Tahun

3. Bangkitan tidak terklasifikasi Langkahketiga, menentukan etiologi epilepsi. Menurut ILAE, etiologi epilepsi dibagi dalam 3 kategori, yaitu : 1. Idiopatik Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia. 2. Kriptogenik Dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui. 3. Simtomatik Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.6,7,8,9,10 Setelah dilakukan anamnesis, penegakan diagnosis epilepsi dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan berupa pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologi. 1. Pemeriksaan fisik umum Pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol atau obat terlarang, kelainan pada kulit, kanker dan defisit neurologik fokal atau difus. 2. Pemeriksaan neurologik Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologi sangat tergantung dari interval antara saat dilakukanya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir. Penegakan diagnosis selanjutnya dengan melakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan apabila memungkinkan pemeriksaan ini mencakup : a. Pemeriksaan electro encepalography (EEG), rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu menunjukan diagnosis dan membantu menentukan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat membantu menentukan prognosis dan

menentukan perlu atau tidaknya pengobatan dengan AED. b. Pemeriksaan CT scan dan MRI, meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi lesi epileptogenik diotak. Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologi dapat terdiagnosis secara non invasif, misalnya nesial temporal sklerosis, glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET. Ditemukanya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter terhadsap OAE. c. Pemeriksaan Laboratorium 1. Pemeriksaan hemtologik mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit. Pemeriksaan ini dilakukan pada awal pengobatan beberapa bulan kemudian diulang bila timbul gejala klinik dan rutin setiap tahun sekali. 2. Pemeriksaan kadar OAE Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik. Pemeriksaan ini diulang setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan ini timbul lagi, atau bila timbul gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat fisiologi pada tubuh pasien.9,11 Penatalaksanaan pada pasien epilepsi adalah dengan pemberian OAE. Prinsip terapi farmakologi pada pasien epilepsi antara lain : 1. OAE diberikan apabila : a. Diagnosis epilepsi sudah dipastikan. b. Pastikan factor pencetus bangkitan dapat dihindari. c. Terdapat minimal 2 bangkitan dalam satu tahun. d. Pasien dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan. e. Pasien dan keluarga sudah diberitahu tentang kemungkinan efek samping obat. 2. Terapi dimulai dengan mono terapi, penggunaan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. 3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.

Medula | Volume 7 | Nomor 4 | November 2017 | 28

Apga Repindo|Epilepsi Simptomatik et causa Cidera Kepala pada Pria Berusia 20 Tahun

4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahanlahan. 5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama. Indikasi menghentikan obat pada pasien epilepsi antara lain : 1. Secara klinis : bebas bangkitan selama 2 tahun 2. Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu s/d 6 bulan) 3. Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan kembali dengan dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol bangkitan.12,13,14 Simpulan Diagnosis epilepsi pada kasus ini sudah sesuai dengan beberapa teori dan telaah kritis dari penelitian terkini. Penatalaksaan terhadap pasien ini dapat dilakukan dengan tepat sehingga pengobatan dapat menjadi lebih efektif. Dengan demikian prognosis penyakit dan kualitas hidup penderita epilepsi dapat lebih optimal. Daftar Pustaka 1. WHO. Epilepsy: epidemiology, etiology and prognosis. WHO Fact Sheet No. 1665. 2001. 2. PERDOSSI. Pedoman dan tatalaksana epilepsi. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. 3. International League Against Epilepsy. Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia. 2003, 44(6):23-4. 4. Harsono. Epilepsi, edisi 1. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 2001.

5. Mardjono M. Pandangan Umum tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayanan Epilepsi & Neurologi. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2013. 6. Oguni H. Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia. 2004, 48(8):13-16. 7. International League Against Epilepsy and International Bureau for Epilepsy. Definition: Epilepstic Seizures And Epilepsy. Geneva. International League Against Epilepsy and International Bureau for Epilepsy. 2005. 8. Ahmed Z, Spencer S.S. An Approach to the Evaluation of Patient for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal.2004, 103(1):49-55. 9. Nesbitt V, Kirkpatrick M, Pearson G. Risk and causes of death in children with a seizure disorder. Dev Med Child Neurol. 2012, 54:612-7. 10.Sirven J.I, Ozuna J. Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatric. 2005, 60(10):30-35. 11.McGonigal A, Oto M, Russell AJC, Greene J, Duncan R. Outpatient video EEG recording in the diagnosis of non epileptic seizures: a randomised controlled trial of simple suggestion techniques. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2002;72:549–51. 12.Enjel J. Introduction : What is Epilepsy. Epilepsy a comprehensive textbook 2ndEd. Vol one. USA; 2008. 13.Chen DK, So YT, Fisher RS. For the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Use of serum prolactin in diagnosing epileptic seizures: report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. 2005; 65:668–75. 14.Price AS, Wilson ML. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. AlihBahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC. 2006, hlm: 292 – 9.

Medula | Volume 7 | Nomor 4 | November 2017 | 29