EVALUASI KUALITAS AIR SUNGAI WAY SULAN KECIL

Download suhu air, kekeruhan, TDS, TSS, pH, DO, COD, BOD, nitrat, fosfat dan sianida, serta struktur komunitas .... asisten praktikum untuk mata kul...

0 downloads 549 Views 5MB Size
EVALUASI KUALITAS AIR SUNGAI WAY SULAN KECIL KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

MIRNA AULIA PRIBADI E34101041

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

EVALUASI KUALITAS AIR SUNGAI WAY SULAN KECIL KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

MIRNA AULIA PRIBADI E34101041

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi

: Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil Kabupaten Lampung Selatan.

Nama

: Mirna Aulia Pribadi

NRP

: E34101041

Departemen

: Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas

: Kehutanan

Menyetujui Komisi Pembimbing Ketua

Anggota

Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si.

Ir. Agus Priyono, MS.

132 257 887

131 578 800 Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS 131 430 799 Tanggal Lulus :

Mirna Aulia Pribadi. E34101041. Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil

Kabupaten Lampung Selatan. Dibimbing oleh Ir. Siti Badriyah

Rushayati, M.Si dan Ir. Agus Priyono, M.S. RINGKASAN Industri berskala besar di Lampung didominasi oleh industri tapioka. Industri tapioka sendiri merupakan agro based industry yang berpotensi paling besar dalam mencemari sungai di Lampung, salah satunya adalah Sungai Way Sekampung, DAS Way Sekampung. Sungai Way Sekampung mendapat masukan dari salah satu percabangannya yaitu Sungai Way Sulan Kecil yang banyak menerima limbah kegiatan agro based industry. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan status kualitas Sungai Way Sulan Kecil dari faktor fisika-kima perairan, mengkaji tingkat keanekaragaman jenis biota perairan yang merupakan bioindikator kualitas perairan, serta menghitung besarnya beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil. Penelitian dilakukan pada aliran Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur pada bulan Juni – Juli 2005. Data primer meliputi sifat fisika-kimia perairan dan limbah cair tapioka meliputi warna dan suhu air, kekeruhan, TDS, TSS, pH, DO, COD, BOD, nitrat, fosfat dan sianida, serta struktur komunitas makrozoobenthos. Data sekunder meliputi peta penggunaan lahan Sub DAS Way Sulan (DAS Way Sekampung), data kualitas DAS Way Sekampung pada musim kemarau tahun 2005, data curah hujan ratarata sepuluh tahun terakhir dan data kapasitas produksi serta volume limbah yang dihasilkan PT. Florindo Makmur. Analisis data dilakukan dengan cara membandingkan data sifat fisika-kimia perairan dan limbah cair tapioka dengan SK Gubernur Propinsi Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 serta Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991, menghitung kepadatan makrozoobenthos, indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (D), serta menentukan beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo ke Sungai Way Sulan Kecil.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas Sungai Way Sulan Kecil dari hulu ke hilir telah tercemar. Pencemaran diduga disebabkan limbah dari industri di sepanjang aliran sungai. Limbah cair industri tapioka sendiri turut menimbulkan dampak pada sifat fisika-kimia perairan berupa peningkatan nilai warna, suhu, kekeruhan, TDS, pH, nitrat, fosfat dan sianida, serta penurunan TSS, DO, BOD dan COD. Kepadatan makrozoobenthos berkisar 39-66 ind/m2, H’ berkisar 1,58-2,25, E berkisar 0,81-0,88 dan D berkisar 0,27-0,34. Beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan yaitu BOD sebesar 281400 kg/th atau 8923,1 mg/dt, COD sebesar 458430 ton/th atau 14536,7 mg/dt, TSS sebesar 203700 kg/dt atau 6459 mg/dt dan TDS sebesar 888300 kg/dt atau 28167,8 mg/dt. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa kualitas fisika-kimia perairan Sungai Way Sulan Kecil tidak memenuhi persyaratan baku mutu kualitas air golongan B pada SK Gubernur Propinsi Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 dikarenakan DO yang berada di bawah baku mutu minimum dan BOD dan sianida yang telah melampaui baku mutu maksimum. Kepadatan makrozoobenthos termasuk rendah, dengan keseragaman jenis tinggi dan tidak terjadi dominansi oleh satu atau sekelompok jenis makrozoobenthos. Sedangkan status kualitas air Sungai Way Sulan Kecil adalah tercemar sedang.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil”. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Industri merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting sebagai penggerak perekonomian Indonesia. Namun dalam penyelenggaraannya, industri selalu bersinggungan dengan lingkungan hidup atas dampak yang ditimbulkannya, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas lingkungan akibat kegiatan industri. Pada skripsi ini, penulis menyajikan hasil penelitian mengenai kualitas air Sungai Way Sulan Kecil, terutama disebabkan adanya masukan berupa limbah cair dari kegiatan Agro based industry khususnya industri tapioka. Hasil dari evaluasi ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan lingkungan, terutama Sub DAS Way Sulan, DAS Way Sekampung secara holistik, interdisipliner dan terpadu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan selanjutnya. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pengelolaan lingkungan, khususnya sumberdaya air yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Bogor, Desember 2005 Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tulus kepada : 1. Ibu Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Bapak Ir. Agus Priyono, MS atas bimbingan, bantuan dan perhatian yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp dan Bapak Effendi Tri Bachtiar, S.Hut selaku dosen penguji, atas bantuan dan kesediaannya dalam meluangkan waktu. 3. Papa dan Mama tersayang. Terima kasih atas curahan kasih sayang, pengorbanan, doa dan nasehat untuk penulis. Semoga Allah SWT senantiasa memberi limpahan rahmat dan karunia-Nya untuk Papa dan Mama. Amin. 4. Rozi Fahlepi untuk perhatian, dukungan, dan kesetiaan yang diberikan kepada penulis. Serta untuk Tri Rahayuningsih atas persahabatan yang tidak ternilai. 5. Pihak PT. Florindo Makmur yang berkenan memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian mengenai kualitas limbah cair yang dihasilkan dan dampaknya terhadap Sungai Way Sulan Kecil. 6. Seluruh staf Laboratorium Analisis Kimia dan Zoologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung yang telah membantu dalam kelengkapan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian. 7. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Way Seputih Sekampung yang telah memberi bantuan dalam kelengkapan data-data. 8. Seluruh staf Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah memberikan bantuan dan kemudahan dalam penyelesaian pendidikan. 9. Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial DKSH serta seluruh teman-teman KSH ceria ‘38 yang telah membuat hari-hari penulis lebih berwarna. Bogor, Desember 2005 Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banyuwangi pada tanggal 13 Juni 1983 dari ayah Drs. Rukis Pribadi, MES dan ibu Dra. Siti Cholidah. Penulis merupakan anak pertama dari 2 (dua) bersaudara. Awal pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1988 di TK. Pertiwi Dharma Wanita Propinsi Lampung dan lulus pada tahun 1989. Kemudian penulis menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 1 Rogojampi-Banyuwangi dan lulus pada tahun 1995. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Malang, lulus pada tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 2 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai Mahasiswa program Sarjana pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2004 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur dan Banyumas Barat (Resort Pemangkuan Hutan Baturraden dan Cilacap) Jawa Tengah serta di Getas, Ngawi, Jawa Timur selama + 2 bulan. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Propinsi Lampung pada bulan Februari – April 2005. Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kampus, antara lain: International Forestry Student Association (IFSA) Local Committee IPB dan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA-KSH IPB). Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Ilmu Ukur Tanah dan Pemetaan Wilayah pada tahun 2003 – 2004. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian berjudul ”Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil Kabupaten Lampung Selatan” dibawah bimbingan Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Agus Priyono, MS.

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ...............................................................................................

i

DAFTAR TABEL .......................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR...................................................................................

v

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................

vi

I.

PENDAHULUAN ..............................................................................

1

1.1. Latar Belakang ............................................................................

1

1.2. Tujuan .........................................................................................

3

1.3. Manfaat ......................................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................

4

2.1. Sungai .........................................................................................

4

2.2. Kualitas Perairan .........................................................................

5

2.3. Pencemaran Perairan ...................................................................

6

2.4. Sifat Fisika Perairan.....................................................................

8

2.4.1. Warna ................................................................................

8

2.4.2. Suhu...................................................................................

8

2.4.3. Kekeruhan..........................................................................

9

2.4.4. Padatan Total .....................................................................

9

2.4.5. Debit..................................................................................

10

2.5. Sifat Kimia Perairan ....................................................................

11

2.5.1. pH......................................................................................

11

2.5.2. DO (Dissolved Oxygen) .....................................................

12

2.5.3. COD (Chemical Oxygen Demand) .....................................

13

2.5.4. BOD (Biochemical Oxygen Demand) ................................

13

2.5.5. Nitrat .................................................................................

14

2.5.6. Fosfat.................................................................................

15

2.5.7. Sianida...............................................................................

15

2.6. Faktor Biologi Perairan................................................................

16

2.6.1. Makrozoobenthos...............................................................

16

II.

III

IV.

V.

2.7. Kualitas Air, Baku Mutu Air dan Baku Mutu Limbah Cair ..........

18

METODE PENELITIAN ..................................................................

20

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................

20

3.2. Bahan dan Alat ..............................................................................

20

3.3. Metode Pengambilan Data .............................................................

20

3.3.1. Data Primer..........................................................................

20

3.3.2. Data Sekunder......................................................................

23

3.4. Analisis Data .................................................................................

23

3.4.1. Analisis Kualitas Fisik dan Kimia Perairan ..........................

23

3.4.2. Analisis Komunitas Makrozoobentos ...................................

23

3.4.3. Perhitungan Beban Pencemaran ...........................................

27

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .....................................

28

4.1. Letak .............................................................................................

28

4.2. Iklim..............................................................................................

28

4.3. Tanah dan Topografi......................................................................

28

4.4. Flora dan Fauna .............................................................................

29

4.5. Penggunaan Lahan.........................................................................

30

HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................

33

5.1. Sifat Fisika Kimia Perairan ............................................................

33

5.1.1. Warna ...................................................................................

33

5.1.2. Suhu .....................................................................................

35

5.1.3. Kekeruhan ............................................................................

37

5.1.4. Padatan Terlarut Total (TDS) ................................................

39

5.1.5. Padatan Tersuspensi Total (TSS)...........................................

41

5.1.6. pH.........................................................................................

43

5.1.7. DO (Dissolved Oxygen) ........................................................

45

5.1.8. COD (Chemical Oxygen Demand) ........................................

48

5.1.9. BOD (Biochemical Oxygen Demand)....................................

50

5.1.10.Nitrat ...................................................................................

52

5.1.11.Fosfat...................................................................................

54

5.1.12.Sianida.................................................................................

56

5.2. Struktur Komunitas Makrozoobenthos...........................................

57

5.2.1. Kepadatan ..........................................................................

58

5.2.2. Keseragaman, Dominansi, Keanekaragaman ......................

59

5.3. Beban Pencemaran Industri Tapioka PT. Florindo Makmur VI.

Terhadap Sungai Way Sulan Kecil.................................................

61

KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................

65

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................

67

DAFTAR TABEL

No. 1.

Teks

Halaman

Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria DO .............................................................................

13

2.

Klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria BOD ..........................

14

3.

Klasifikasi makrozoobenthos berdasarkan ketahanannya terhadap bahan pencemar .....................................................................

17

4.

Parameter, alat dan metode analisis fisika-kimia yang digunakan ........

21

5.

Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ...................

24

6.

Klasifikasi hubungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dan tingkat pencemaran perairan ..........................................................

25

7.

Kriteria indeks keseragaman.................................................................

25

8.

Kriteria indeks dominansi.....................................................................

26

9.

Faktor konversi beban limbah industri tepung.......................................

27

10. Jenis-jenis flora yang ada di sekitar lokasi penelitian ............................

29

11. Jenis-jenis fauna yang ada di sekitar lokasi penelitian...........................

30

12. Jenis-jenis industri yang terdapat di sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil.......................................................................

31

13. Nilai rata-rata indeks keseragaman, dominansi dan keanekaragaman Shannon-Wiener pada setian stasiun pengamatan .................................

59

14. Beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur....................

61

15. Perhitungan beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil ...............................

62

16. Konsentrasi beban limbah pada zona percampuran (mixing zone) .........

63

DAFTAR GAMBAR

No. 1.

Teks

Halaman

Peta lokasi pengambilan contoh air dan spesimen makrozoobentos di Sungai Way Sulan..................................................

22

2.

Letak industri-industri di sepanjang aliran Sungai Way Sulan...............

32

3.

Hasil pengukuran warna pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

4.

Hasil pengukuran suhu pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo makmur.......................................

5.

42

Hasil pengukuran pH pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

9.

39

Hasil pengukuran TSS pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

8.

38

Hasil pengukuran TDS pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

7.

35

Hasil pengukuran kekeruhan pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

6.

33

43

Hasil pengukuran DO pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

45

10. Hasil pengukuran COD pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

49

11. Hasil pengukuran BOD pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

50

12. Hasil pengukuran nitrat pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

53

13. Hasil pengukuran fosfat pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

55

14. Hasil pengukuran sianida pada Sungai Way Sulan di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur ......................................

56

15. Kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan.................

58

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman 1. Hasil pengukuran sifat fisik kimia air Sungai Way Sulan di sekitar dan di outlet limbah PT. Florindo Makmur ........................................

70

2. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 1 .......................................

71

3. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 2 ......................................

72

4. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 3 ......................................

73

5. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 4 .......................................

74

6. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi stasiun 1 ...........................................................................................

75

7. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi stasiun 2 ...........................................................................................

76

8. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi stasiun 3 ...........................................................................................

77

9. Analisis Kepadatan, Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi stasiun 4 ...........................................................................................

78

10. Jumlah dan jenis rata-rata makrozoobentos pada setiap stasiun .........

79

11. Peruntukan air sungai di wilayah Propinsi Lampung menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 ................................................................

80

12. Baku mutu kualitas air golongan B menurut Keputusan Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I Lampung No.G/625/B.VII/HK/1995...........

81

13. Baku mutu limbah cair untuk industri tapioka menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 ....................................................

81

14. Kurva tipe perubahan kualitas air menurut Hynes (1960).....................

82

15. Contoh gambar makrozoobenthos yang ditemukan di stasiun pengamatan............................................................................

83

16. Stasiun-stasiun pengamatan...................................................................

84

17. Peta penutupan lahan DAS Way Sekampung (Sub DAS Way Sulan)...........................................................................

85

18. Data curah hujan Kecamatan Ketibung tahun 1994 – 2005...................

86

18. Hasil pengukuran sifat fisika-kimia perairan Sungai Way Sulan Kecil

87

19. Hasil identifikasi makrozoobenthos di seluruh stasiun pengamatan.....

90

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Industri merupakan salah satu sektor yang memberi kontribusi sangat besar dalam peningkatan perekonomian nasional. Propinsi Lampung sebagai propinsi yang terletak di bagian selatan Pulau Sumatera dan paling dekat dengan kota metropolitan DKI Jakarta, terus dipacu pertumbuhan industrinya sejak Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJPT I). Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 1997, di Propinsi Lampung terdapat 160 unit industri berstatus PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dan 33 unit industri PMA (Penanaman Modal Asing) yang semuanya dikategorikan dalam kelompok industri menengah dan besar (Wiryawan et al., 1999). Berdasarkan jenisnya, sebagian besar unit industri tersebut merupakan industri pengolah hasil pertanian (agro based industry). Industri berskala besar didominasi oleh industri tapioka disusul dengan pengolahan karet dan pabrik gula. Dominasi industri tapioka dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku berupa ubi kayu, dimana Lampung merupakan salah satu propinsi sentra penghasil ubi kayu di Indonesia. Industri pengolah hasil pertanian sendiri merupakan jenis industri yang sangat berpotensi mencemari lingkungan jika limbahnya tidak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya, mengingat kandungan bahan organik yang ada pada buangan industri yang bersangkutan. Berdasarkan catatan Biro Lingkungan Hidup Pemda Lampung, limbah industri yang berpotensi mencemari sungai 85 persennya berasal dari industri pengolah hasil pertanian (agro based industry). Dari seluruh agro based industry yang beroperasi di Propinsi Lampung, industri tapioka berpotensi paling besar dalam mencemari sungai, yaitu sebesar 56 persen. Mengutip dari Kompas tanggal 21 Februari 2002, bahwa hampir seluruh pabrik atau industri di Lampung merusak lingkungan hidup atau alam sekitarnya. Hal tersebut dikarenakan pelanggaran terhadap persyaratan yang ditetapkan pemerintah dalam konteks pelestarian lingkungan. Setiap tahun pencemaran terjadi pada tiga daerah aliran sungai (DAS) utama Way Seputih, Way Tulang Bawang dan Way Sekampung. Beberapa sungai di Lampung yang diduga

tercemar, antara lain Way Tulang Bawang, Way Terusan, Way Pangubuhan, Way Seputih dan Way Sekampung. Pencemaran Sungai Way Sekampung disebabkan oleh beban limbah yang langsung dibuang ke perairan Way Sekampung maupun berasal dari aliran percabangan sungai yang telah tercemar limbah. Pencemaran mengakibatkan dampak negatif berupa terganggunya ekosistem sungai serta kerusakan lingkungan sekitarnya, terutama di bagian hilir Sungai Way Sekampung yang merupakan daerah sebaran mangrove pada pesisir timur Lampung. Hamparan mangrove di pesisir timur Lampung membujur dari daerah Way Sekampung bagian selatan hingga ke utara daerah Way Penet (perbatasan kawasan Taman nasional Way Kambas). Pada ekosistem ini terdapat beberapa jenis burung air seperti Pecuk Ular (Anhinga melanogaster), Bangau Tongtong (Leptotilus javanicus), Milky Stork (Mycterea cinerea), Storm’s Stork (Ciconia stormi), Pasific Reef Egret atau Kuntul (Egretta sacra) dan Itik (Anas gibberifrons atau Anas quequedula) yang memanfaatkan mangrove di sepanjang pantai timur sebagai tempat mencari makan dan bersarang. Aksornkoae (1993) dalam Kusmana et al. (2003) menggambarkan bahwa polutan yang berasal dari pemukiman dan industri dapat menyebabkan penurunan kualitas air sehingga menimbulkan tekanan dan gangguan terhadap ekosistem mangrove. Gangguan tersebut berupa peningkatan suhu air, pencemaran oksigen, nutrien, keseimbangan salinitas, hidrologi, sedimentasi, turbiditas, bahan-bahan toksik dan erosi tanah, sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan rantai makanan dan proses alami seperti regenerasi dan pertumbuhan pada ekosistem mangrove itu sendiri maupun pada ekosistem sekitar pantai. Gangguan pada ekosistem mangrove juga dapat berdampak pada penurunan fungsinya sebagai habitat satwa, sumber plasma nutfah, penghasil kayu, serta fungsi lainnya. Sebagai upaya mencegah serta mengurangi pencemaran lingkungan perairan yang telah terjadi di Sungai Way Sekampung dan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kualitas air Sungai Way Sekampung maupun percabangannya. Salah satu percabangan tersebut adalah Sungai Way Sulan Kecil yang termasuk Sub DAS Way Sulan,

DAS Way Sekampung. Di wilayah Sub DAS Way Sulan sendiri terdapat banyak industri yang sebagian besar adalah industri pengolah hasil pertanian, termasuk industri tapioka. Berdasarkan hal-hal tersebut, Sungai Way Sulan Kecil diduga memberi kontribusi terhadap pencemaran air pada Sungai Way Sekampung. Evaluasi kualitas air Sungai Way Sulan Kecil dilakukan dengan cara membandingkan hasil pengujian yang diperoleh selama penelitian dengan Surat Keputusan Gubernur Lampung No. G/625/B.7/HK/1995 tentang Kualitas Air Badan Penerima dan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri Tapioka. Dengan demikian akan dapat diketahui kualitas air Sungai Way Sulan Kecil pada saat dilakukannya penelitian. Untuk menyajikan hasil penelitian dalam bentuk informasi kualitas perairan juga akan digunakan pendekatan biologis. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menentukan status kualitas badan penerima dari faktor fisik-kimia perairan di Sungai Way Sulan Kecil. 2. Mengkaji tingkat keanekaragaman jenis biota perairan yang merupakan bioindikator kualitas lingkungan perairan. 3. Menghitung besarnya beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil. 1.3. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1. Memberi gambaran kondisi kualitas fisik-kimia dan biologi perairan di Sub DAS Way Sulan yang mendapat pengaruh limbah industri tapioka. 2. Sebagai dasar dalam penetapan status kualitas Sungai Way Sulan Kecil. 3. Memberi masukan bagi pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan dalam pengelolaan lingkungan tentang kondisi air Sungai Way Sulan. Kecil

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai Perairan dibagi dalam tiga kategori utama, yaitu tawar, estuaria dan kelautan. Habitat air tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi bila dibandingkan dengan habitat lainnya, namun peranannya sangat penting bagi manusia yaitu sebagai sistem pembuangan serta digunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, cuci dan kakus (Michael, 1994 dalam Maranti, 2005). Habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik maupun industri. Habitat ini dibagi menjadi dua kategori yaitu habitat air tergenang atau habitat lentik seperti danau, kolam, rawa atau pasir terapung, serta habitat air mengalir atau habitat lotik seperti mata air, aliran air (brook-creek) atau sungai (Odum, 1993). Sungai adalah tempat bermuaranya air dari sumber mata air (hulu) menuju suatu tempat dengan tingkat geografis yang lebih rendah setara dengan ketinggian permukaan laut (hilir). Besar kecilnya sungai sangat tergantung pada aspek daya dukung sekitarnya seperti debit air dari mata air, bentuk geografis tanah pendukungnya, struktur geologis, sebaran flora dan fauna yang tumbuh di sekitarnya dan bentang alam secara keseluruhan (Bapedalda Propinsi Lampung, 2004). Daerah Aliran Sungai atau DAS diartikan sebagai suatu kawasan yang mengalirkan air ke satu sungai utama. DAS adalah suatu wilayah penerima air hujan yang dibatasi oleh punggung bukit atau gunung, dimana semua curah hujan yang jatuh di atasnya akan mengalir di sungai utama dan akhirnya bermuara ke laut, sehingga kualitas air sungai utama akan dipengaruhi oleh masukan-masukan dari anak sungai (Bapedalda Propinsi Lampung, 2003). Wilayah Propinsi Lampung dialiri lima sungai besar dan sekitar 25 sungai kecil yang membentuk lima Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, yaitu DAS Way Sekampung, DAS Mesuji, DAS Semangka, DAS Seputih dan DAS Tulang Bawang. DAS Sekampung dibagi lagi menjadi 15 Sub DAS, yaitu Sub DAS Sekampung-Batu Tegi, Sub DAS Merabung-Lahan Sukoharjo, Sub DAS

Way Tebu, Sub DAS Way Bulok, Sub DAS Way Sekampung Anak, Sub DAS Way Seman, Sub DAS Sekampung Agroguruh, Sub DAS Way Kandis, Sub DAS Way Galih, Sub DAS Way Bekarang, Sub DAS Way Sulan, Sub DAS Ketibung, Sub DAS Way Jabung, Sub DAS Way Sragi dan Sub DAS Way Pisang. Way Sekampung merupakan salah satu sungai besar di Propinsi Lampung yang termasuk DAS Way Sekampung. Bagian hulu sungai Way Sekampung terletak di daerah pegunungan dan perbukitan di sebelah utara Kecamatan Kota Agung, Lampung Selatan dan bermuara di Laut Jawa. 2.2. Kualitas Perairan Pengertian kualitas lingkungan (perairan) adalah sebagai faktor biofisika kimia yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya. Menurut Wardoyo (1981) dalam Bapedalda (2003), perairan yang ideal adalah perairan yang dapat mendukung organisme dalam menyelesaikan daur hidupnya. Sedangkan menurut Boyd (1982) dalam Bapedalda (2003), kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Masuknya bahan pencemar dalam perairan dapat mempengaruhi kualitas air dan terkait dengan kapasitas asimilasinya. Apabila kapasitas asimilasi terlampaui, selanjutnya akan menurunkan daya dukung, nilai guna dan fungsi perairan bagi peruntukan lainnya. Kualitas perairan ditentukan oleh nilai kisaran parameter yang terukur di lingkungan perairan. Nilai kisaran parameter tersebut secara langsung atau tidak langsung ditentukan oleh proses hidrodinamika suatu perairan. Selain itu juga tergantung beberapa faktor seperti intensitas bahan pencemar, iklim, kedalaman arus, topografi dan geografi, sehingga terjadi proses perubahan sifat fisik, kimia dan biologis yang saling berinteraksi. Apabila salah satu faktor terganggu atau mengalami perubahan akan berdampak pada sistem ekologi (Bapedalda 2003).

Terkait dengan kualitas lingkungan perairan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Maranti (2005) menyimpulkan bahwa Sungai Way Sekampung memiliki kualitas dengan status tercemar sedang dengan indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’) berkisar 1,02 – 1,32 dan indeks kemelimpahan antara 15 – 963 ind/m2. Penelitian dilakukan pada lima stasiun pengamatan yang ditentukan berdasarkan pertimbangan terwakilinya gambaran keadaan perairan sungai Way Sekampung pada beberapa titik pengamatan.

Stasiun pengamatan tersebut

meliputi daerah sungai yang melalui kawasan perkebunan, persawahan, daerah pemukiman penduduk serta kawasan industri. Stasiun pengamatan pertama berada di Desa Sukoharjo I Kecamatan Sukoharjo yang termasuk Sub DAS Sekampung Batu Tegi, dan stasiun terakhir berada di Dusun Sungging Sari Desa Peniangan Kecamatan Jabung yang termasuk Sub DAS Way Jabung. Stasiun terakhir terletak tepat setelah Sungai Way Sekampung mendapat masukan dari aliran Sungai Way Sulan. Berdasarkan penelitian tersebut juga dapat diketahui kualitas air Sungai Way Sekampung menurut beberapa parameter fisik dan kimia, antara lain : suhu air dari seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 28,7°C – 31,53°C, kecerahan berkisar 0,1 – 0,63 m, kecepatan arus 1,26 – 3,53 m/dt, pH berkisar 6,32 – 6,63, DO berkisar 3,27 – 4,27 mg/l, BOD berkisar 5,67 – 35,67 mg/l, COD berkisar 13,33 – 72 mg/l, nitrit berkisar 0,04 – 0,43 mg/l, nitrat berkisar 1,38 – 6,86 mg/l dan ammonia berkisar 0,21 – 0,44 mg/l. 2.3. Pencemaran Perairan

Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya zat, makhluk hidup (mikroorganisme patogen), energi (air panas, air dingin dan lain-lain), atau komponen lain (zat radioaktif) ke dalam air dan berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia atau proses alami, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan air kurang berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Definisi pencemaran air menurut Sutamihardja dan Husin (1983) adalah penurunan

kualitas

air

yang

disebabkan

oleh

aktivitas

manusia

dan

mengakibatkan bahaya aktual terhadap kesehatan masyarakat atau penurunan manfaat penggunaan air. Sedangkan menurut Fardiaz (1995), polusi air atau pencemaran air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan dari kemurniannya. Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk air murni, tetapi bukan berarti semua air sudah terpolusi. Sebagai contoh, meskipun di daerah pegunungan atau hutan yang terpencil dengan udara bersih dan bebas dari polusi, air hujan selalu mengandung bahan-bahan terlarut seperti CO2, O2 dan N2, serta bahan-bahan tersuspensi seperti debu dan partikel-partikel lainnya yang terbawa dari atmosfer. Air permukaan dan air sumur biasanya mengandung bahan-bahan metal terlarut seperti Na, Mg, Ca dan Fe. Air yang mengandung komponen-komponen tersebut dalam jumlah tinggi disebut air sadah. Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tidak dapat digunakan secara normal disebut polusi. Ciri-ciri air yang mengalami pencemaran sangat bervariasi tergantung dari jenis air dan penyebab pencemaran atau komponen yang mengakibatkan sumber pencemaran. Husin dan Eman (1991) mengemukakan bahwa terdapat dua jenis sumber pencemaran perairan, yaitu pencemaran yang dapat diketahui secara pasti sumbernya (point sources), misalnya limbah industri dan pencemar yang tidak diketahui secara pasti sumbernya (non point sources) yaitu pencemar yang masuk ke perairan bersama air hujan dan limpasan permukaan. Dilihat dari segi terjadinya pencemaran, maka sumber pencemar perairan dapat berasal secara alami, yaitu disebabkan bencana alam maupun berasal dari aktivitas manusia (anthropogenic), yaitu dari berbagai aktivitas manusia yang menghasilkan limbah Untuk mengetahui apakah suatu perairan tercemar atau tidak, dilakukan pengujian penentuan sifat-sifat air agar dapat diketahui apakah terjadi penyimpangan dari batasan-batasan pencemaran air. Sifat-sifat air yang umum diuji dan dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran air misalnya: (1) nilai pH, keasaman dan alkalinitas, (2) suhu, (3) warna, bau dan rasa, (4) jumlah

padatan, (5) nilai BOD/COD, (6) pencemaran mikroorganisme patogen, (7) kandungan minyak, (8) kandungan logam berat, (9) kandungan bahan radioaktif.

2.4. Sifat Fisika Perairan 2.4.1. Warna Warna air yang terdapat di alam sangat bervariasi, misalnya kuning, coklat atau kehijauan. Air sungai biasanya berwarna kuning kecoklatan karena mengandung lumpur. Warna air yang tidak normal biasanya menunjukkan adanya polusi. Warna air dapat dibedakan atas dua macam yaitu warna sejati (true color) yang disebabkan oleh bahan-bahan terlarut, dan warna semu (apparent color) yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut dan bahan-bahan tersuspensi, termasuk diantaranya yang bersifat koloid (Fardiaz, 1995). 2.4.2. Suhu Pada lingkungan perairan, suhu merupakan faktor pembatas utama karena organisme akuatik sering memiliki toleransi yang sempit terhadap variasi suhu (Odum, 1993). Suhu air sangat penting untuk diketahui secara akurat karena berkaitan dengan kelarutan garam-garam, gas-gas, dan derajat penguraian (disosiasi) garam-garam terlarut demikian pula derajat konduktivitas dan dalam menentukan pH (Sutamihardja dan Husin, 1983). Terhadap organisme perairan, suhu dapat mempengaruhi proses metabolisme dan fisiologis secara luas. Selain metabolisme, suhu juga berpengaruh terhadap proses respirasi, tingkah laku, penyebaran, kecepatan makan, pertumbuhan dan reproduksi organisme perairan (Train, 1974 dalam Sutomo, 1999). Fardiaz (1995) menyatakan bahwa kenaikan suhu akan mengakibatkan penurunan jumlah oksigen terlarut di dalam air, peningkatan kecepatan reaksi kimia, terganggunya kehidupan ikan dan hewan air lainnya bahkan kematian ikan dan hewan air lainnya tersebut jika batas suhu yang mematikan terlampaui. Menurut Welch (1980) dalam Widiastuty (2001), suhu air dengan kisaran 35 40°C merupakan lethal temperature bagi makrozoobenthos artinya pada suhu tersebut organisme bentik telah mencapai titik kritis dan dapat menyebabkan kematian.

2.4.3. Kekeruhan Kekeruhan adalah sebuah ukuran dari partikel-pertikel tersuspensi seperti lumpur, lempung, bahan organik, plankton dan organisme mikroskopik di dalam air yang biasanya terdapat pada suspensi oleh aliran turbulen dan gerak brown. Jumlah material padat pada suspensi di dalam air dapat merupakan hasil dari erosi secara alami, run-off dan blooming algae, maupun disebabkan oleh penambahan material tersebut oleh manusia. Kekeruhan yang tinggi akan mengurangi fotosintesis tumbuhan yang hidup di bawah permukaan air, perakaran vegetasi perairan dan ganggang, dimana penurunan pertumbuhan ini pada gilirannya akan menekan produktivitas ikan (Sutamihardja dan Husin, 1983). Kekeruhan dan kecerahan merupakan parameter penting dalam menentukan produktivitas suatu perairan. Tingkat kekeruhan suatu perairan berbanding terbalik dengan tingkat kecerahannya atau meningkatnya kekeruhan akan menurunkan kecerahan perairan. Koesoebiono (1979) dalam Suriani (2000) menyatakan bahwa pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok sehingga menyebabkan penurunan aktivitas fotosintesis algae dan fitoplankton. Menurunnya aktivitas fotosintesis ini berakibat pada penurunan produktivitas perairan. Biasanya kondisi air yang keruh kurang disukai oleh bentos. Pengendapan partikel tanah yang berlebihan menyebabkan penurunan hewan bentos. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa pengendapan partikel tanah yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan kelimpahan makrozoobentos di sungai sebesar 25% - 50%. 2.4.4. Padatan Total Padatan total terdiri dari padatan terlarut (Total Dissolved Solid) dan padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang dapat bersifat organis dan inorganis. Selanjutnya padatan tersuspensi sendiri dapat diklasifikasikan lagi menjadi zat padat terapung yang selalu bersifat organis dan zat padat terendap yang dapat bersifat organis dan inorganis (Alaerts dan Santika, 1984). Kehadiran padatan total pada suatu perairan mengindikasikan jumlah bahan organik dan

mineral yang bersifat non-volatil (tidak menguap) pada suhu tertentu (Klein, 1971). a. Padatan Tersuspensi Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme, dan sebagainya. Air buangan industri mengandung jumlah padatan tersuspensi dalam jumlah yang sangat bervariasi tergantung dari jenis industrinya. Air buangan industri-industri makanan, terutama industri fermentasi dan industri tekstil sering mengandung padatan tersuspensi dalam jumlah relatif tinggi (Fardiaz, 1995). Jika pada padatan tersuspensi berupa bahan organik dengan kadar yang tinggi,

proses

pembusukan

sangat

mungkin

terjadi

sehingga

akan

menurunkan/menghabiskan oksigen terlarut dalam perairan. Bahan mineral dan organik tersuspensi dapat menjadi endapan yang menutupi dasar aliran sehingga menyebabkan kematian pada tumbuhan dan hewan perairan (Klein, 1971). b. Padatan Terlarut Padatan terlarut adalah padatan-padatan yang mempunyai ukuran lebih kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang larut air, mineral dan garam-garamnya (Fardiaz, 1995). Agregat TDS dapat berupa substansi-substansi karbonat, bikarbonat, klorida, sulfat, phospat, nitrat, serta garam-garam kalsium, magnesium, sodium potasium dan lain-lain (Sutamihardja, 1983). 2.4.5. Debit Debit air adalah volume air yang mengalir pada suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Data debit air sungai memberikan informasi mengenai jumlah air yang mengalir pada waktu tertentu. Oleh karena itu, data debit air berguna untuk mengetahui cukup tidaknya penyediaan air untuk berbagai keperluan (domestik, irigasi, pelayaran, tenaga listrik dan industri), pengelolaan DAS, pengendalian sedimen, prediksi kekeringan dan penilaian beban pencenaran air (Puslitbang Pengairan, 1989 dalam Perdani, 2001).

Mason (1981) menyebutkan bahwa debit air merupakan fungsi dari kecepatan arus rata-rata dengan luas potongan melintang sungai. Kecepatan arus yang berkaitan dengan debit air ditentukan oleh keterjalan permukaan, tingkat tingkat kekasaran, kedalaman dan lebar sungai. Klasifikasikan sungai berdasarkan arusnya, yaitu : berarus sangat cepat (>100 cm/dt), berarus cepat (50 – 100 cm/dt), berarus sedang (25 – 50 cm/dt), berarus lambat (10 – 25 cm/dt) dan berarus sangat lambat (<10 cm/dt). Sedangkan (Sembiring, 1995) menyebutkan bahwa Faktorfaktor yang mempengaruhi fluktuasi debit yaitu curah hujan, intersepsi, infiltrasi dan aliran permukaan. Debit air yang masuk ini akan berpengaruh terhadap proses pengenceran berbagai bahan yang masuk ke dalam perairan tersebut dan mempercepat proses pemurnian air sungai (Damhudi, 2000),

2.5. Sifat Kimia Perairan 2.5.1. pH Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat meningkatkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan kemasaman. pH air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan mempengaruhi tersedianya hara-hara serta toksitas dari unsur-unsur renik. pH perairan tawar berkisar dari 5,0 – 9,0 dimana pada kisaran tersebut ikan air tawar masih dapat hidup (Saeni, 1989). Menurut Fardiaz (1995), nilai pH air yang normal adalah 6 sampai 8 (sekitar netral), sedangkan pH air yang terpolusi, misalnya air buangan, berbedabeda tergantung dari jenis buangannya. Pada industri-industri makanan, peningkatan keasaman air buangan pada umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi sehingga keasamannya juga tinggi. Perubahan keasaman pada air buangan, baik ke arah alkali (pH naik) maupun ke arah masam (pH menurun), akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air di sekitarnya.

2.5.2. DO (Dissolved Oxygen) Pada perairan umum, konsentrasi oksigen sangat penting selain bagi kelangsungan hidup biota di dalamnya tetapi juga menentukan kemampuan air untuk membersihkan diri secara alamiah dari bahan pencemar. Oksigen pada ekosistem perairan terutama dihasilkan dari aktivitas fotosintesis. Selain itu juga diperoleh melalui difusi langsung dari udara (Odum, 1993). Menurut Goldman dan Horne (1983), faktor lingkungan yang paling penting dalam mengatur konsentrasi oksigen dan karbondioksida adalah temperatur. Selain temperatur, juga tergantung dari (1) fotosintesis tanaman, (2) respirasi seluruh organisme , (3) aerasi air, (4) kehadiran gas-gas lain, dan (5) reaksi kimia yang mungkin terjadi. Angin memainkan peranan yang sangat penting dalam kelarutan dan distribusi oksigen di dalam air karena memberi energi yang memungkinkan gas oksigen untuk berpindah antar kolom air. Sedangkan menurut Fardiaz (1995), bervariasinya konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh tergantung dari suhu dan tekanan atmosfer. Semakin tinggi suhu air, semakin rendah tingkat kejenuhan. Konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan binatang air lainnya yang membutuhkan oksigen akan mati. Sebaliknya, konsentrasi oksigen yang terlalu tinggi juga mengakibatkan proses pengkaratan semakin cepat karena akan mengikat hidrogen yang melapisi permukaan logam. Kandungan oksigen di perairan dapat dijadikan petunjuk tentang adanya bahan organik. Limbah organik yang masuk ke dalam perairan akan mengalami dekomposisi. Proses ini merupakan aktivitas bakteri yang memerlukan oksigen terlarut dalam perairan. Oleh karena itu, pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan akan menurunkan oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut akan semakin rendah jika masukan limbah ke perairan semakin besar. Hal ini berhubungan dengan semakin bertambahnya aktivitas dekomposisi dalam menguraikan limbah yang masuk (Abel, 1989 dalam Bapedalda Propinsi Lampung, 2003).

Menurut Nemerow (1991), nilai DO merupakan unsur pokok yang paling sering digunakan untuk mengamati pengaruh polusi organik pada suatu perairan. Parameter ini sendiri terkadang memberikan hasil pemeriksaan yang cukup mewakili kondisi aktual. Lee et al. (1978) dalam Bapedalda Propinsi Lampung (2003), membedakan kualitas air berdasarkan kandungan oksigen yang terlarut dalam air seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kualitas air dan klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria DO (Lee et al., 1978 dalam Bapedalda Propinsi Lampung, 2003) No. 1. 2. 3. 4.

Golongan I II III IV

Kandungan DO (mg/l) >6,0 4,5 – 6,0 2,0 – 4,5 <2,0

Kualitas Air Tidak Tercemar Tercemar Ringan Tercemar Sedang Tercemar Berat

2.5.3. COD (Chemical Oxygen Demand) Besarnya nilai COD menggambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, misalnya kalium dikhromat K2Cr2O7, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat dalam air. Uji COD merupakan suatu cara untuk mengetahui jumlah bahan organik yang lebih cepat daripada uji BOD, yaitu berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan (Fardiaz, 1995). Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologi, dan mengakibatkan berkurangnya oksigen trelarut dalam air (Alaerts dan Santika, 1984). Menurut Sutamihardja dan Husin (1983), air dengan nilai COD yang tinggi dapat mengurangi tingkat oksigen terlarut sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup organisme akuatik. 2.5.4. BOD (Biochemical Oxygen Demand) Nilai BOD menggambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mendekomposisi) secara aerobik sejumlah bahan organik selama periode tertentu pada suhu yang ditetapkan. Toksisitas, konsentrasi mikroorganisme, bahan inorganik dan faktor-faktor lain akan sangat mempengaruhi tingkat reaksi (Nemerow, 1991).

Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara tidak langsung jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik. Jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan oleh semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, berarti terdapat kandungan bahan organik yang membutuhkan banyak oksigen. Menurunnya

oksigen

terlarut

dalam

air

dapat

menyebabkan

terganggunya proses metabolisme suatu biota perairan. Jika konsentrasi oksigen yang terlarut terlalu rendah. Mikroorganisme aerobik tidak dapat hidup dan berkembangbiak. Namun sebaliknya, mikroorganisme yang bersifat anaerob akan menjadi aktif (Bapedalda Propinsi Lampung, 2003). Seperti halnya pada klasifikasi derajat pencemaran menurut kandungan DO, kualitas air juga dapat digolongkan berdasarkan kriteria BOD suatu perairan. Klasifikasi derajat pencemaran berdasarkan BOD dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi derajat pencemaran menurut kriteria BOD (Lee et al., 1978 dalam Bapedalda Propinsi Lampung,2003) No. 1. 2. 3. 4.

Kandungan BOD (mg/l) <3,0 3,0 – 5,0 5,0 – 15 15

Kualitas Air Tidak Tercemar Tercemar Ringan Tercemar Sedang Tercemar Berat

2.5.5. Nitrat Senyawa-senyawa nitrogen terdapat dalam keadaan terlarut atau sebagai bahan tersuspensi dan merupakan senyawa-senyawa yang sangat penting dalam air serta memegang peranan sangat kuat dalam reaksi-reaksi biologi perairan. Jenis-jenis nitrogen anorganik utama dalam air adalah ion nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+), serta ditemukan pula nitrit (NO2-) dalam beberapa kondisi. Nitrat (NO3-) merupakan senyawa toksik terutama bagi bayi dan binatang memamah biak. Dalam sistem pencernaan bayi dan binatang memamah biak, nitrat direduksi menjadi nitrit (NO2-) yang dapat mengikat hemoglobin dalam darah sehingga mengurangi kemampuan hemoglobin sebagai pembawa oksigen dalam

darah.

Hal

ini

menyebabkan

keadaan

yang

dikenal

sebagai

methemoglobinemia (penyakit bayi biru). Saeni (1989) menyatakan bahwa

sumber-sumber nitrogen dalam air meliputi hancuran bahan organik, buangan domestik, limbah industri, limbah peternakan, dan pupuk. 2.5.6. Fosfat Fosfat merupakan senyawa yang mengandung ion unsur fosfor. Fosfor dalam air terjadi baik sebagai bahan padat maupun bentuk terlarut. Fosfor padat dapat terjadi sebagai suspensi garam-garam yang tidak larut, dalam bahan biologik, atau teradsorpsi dalam bahan padat. Fraksi yang paling baik dari senyawa fosfat yang terlarut paling mungkin terdapat dalam bentuk senyawa organik yang terlarut. Fosfor anorganik yang terlarut terjadi terutama sebagai bentuk ion ortofosfat. Kenaikan konsentrasi fosfat menyatakan adanya zat pencemar. Menurut Mahida (1984), fosfor adalah komponen yang sangat penting dalam permasalahan air dan merupakan salah satu dari beberapa unsur kunci yang esensial untuk pertumbuhan ganggang dalam air. Sumber-sumber fosfor adalah pencemaran industri, hanyutan dari pupuk, limbah domestik, hancuran bahan organik, dan mineral-mineral fosfat. Fosfat dari deterjen dalam limbah domestik dan industri merupakan sumber yang paling memegang peranan penting dalam kelebihan hara fosfor dalam air. 2.5.7. Sianida Keberadaan sianida merupakan sifat khas penting yang yang membedakan sampah industri dari limbah domestik normal (Mahida, 1984). Industri tapioka berpotensi besar dalam menghasilkan limbah dengan kandungan sianida sangat tinggi. Hal ini disebabkan umbi singkong (ubi kayu) sebagai bahan baku industri tapioka mengandung asam sianida dengan konsentrasi besar. Sumber cemaran sianida pada industri tapioka terutama pada limbah cairnya. Limbah cair industri tapioka berupa sisa air buangan dari proses pencucian dan penyaringan, banyak mengandung karbohidrat berupa pati serta cemaran lain yang terlarut. Salah satu cemaran yang ikut terlarut dalam air buangan adalah asam sianida dengan kadar 80% sampai 90% (Sukamto, 1998).

Asam sianida merupakan senyawa racun yang cukup mematikan. Keracunan sianida dapat menimbulkan kerusakan hati, kepala pusing, muntahmuntah, mata berkunang-kunang, gangguan sistem pernapasan dan pada konsumsi dengan dosis 0,5 – 3,5 mgHCN/kg berat badan dapat menyebabkan kematian. 2.6. Faktor Biologi Perairan 2.6.1. Makrozoobenthos Gangguan

lingkungan

seperti

terjadinya

pencemaran

dapat

menyebabkan terjadinya perubahan pada struktur dan fungsi sistem biologi. Fenomena tersebut menjadi dasar percobaan untuk mengukur tingkat dan beratnya pencemaran dengan cara menganalisis perubahan pada sistem biologi. Bentos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar endapan (Odum, 1993). Sedangkan zoobenthos merupakan hewan yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktu hidupnya pada atau di dekat sedimen. Biasanya zoobenthos tersebar dalam grup hewan-hewan kecil yang terdiri dari larva serangga, crustacea dan molusca. Golongan utama yang biasanya

dianggap

sebagai

makrozoobenthos

adalah

insekta,

mollusca,

Oligochaeta, Hirudinea, Gastropoda, Pelecypoda, Crustacea, Plecoptera, Odonata, Ephemaraptera, Hemiptera, Megaloptera, Trichoptera, Coleoptera, dan Diptera. Dibandingkan dengan organisme lainnya, makrozoobenthos lebih efektif dalam penentuan kualitas air. hal ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain (Widiastuty, 2001) : 1. Mempunyai sifat hidup yang relatif menetap meskipun kualitas air tidak mengalami perubahan. 2. Termasuk sebagai hewan yang menghuni habitat aquatik dalam spektrum luas dengan berbagai kualitas air. 3. Mempunyai masa hidup relatif lama (beberapa bulan hingga dua tahun) sehingga keberadaannya memungkinkan untuk merekam kualitas lingkungan di sekitarnya. 4. Mempunyai beberapa jenis yang memberikan respon berbeda terhadap kualitas air.

5. Rata-rata lebih mudah untuk diidentifikasi dibandingkan dengan jenis bioindikator lainnya. 6. Mudah dalam pengumpulannya. Patrick (1950) dalam Nemerow (1991) mengelompokkan organisme yang dapat digunakan sebagai indikator biologi kondisi sungai dalam tujuh kelompok taksonomi, yaitu: 1. Ganggang biru-hijau (blue-green algae), beberapa ganggang hijau dan rotifera. 2. Oligochaeta, lintah (leeches), siput (snails). 3. Protozoa 4. Diatoms, ganggang merah (red algae), dan sebagian besar ganggang hijau. 5. Semua rotifera (kecuali pada poin pertama) ditambah remis besar atau semacam kijing (clams), cacing, dan beberapa siput. 6. Semua insecta dan crustacea. 7. Semua ikan. Wilhm (1975) mengklasifikasikan makrozoobenthos menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat ketahanannya terhadap bahan pencemar seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi makrozoobenthos berdasarkan ketahanannya terhadap bahan pencemar No. Kelompok 1. Sangat tahan terhadap bahan pencemar (toleran) 2. 3.

Jenis Makrozoobenthos Cacing tubifisida, lintah, larva, siput toleran khususnya Musculium dan Pisidium

Ketahanan sedang, lebih Jenis-jenis siput yang menyukai perairan berarus, Insecta, Crustacea menyukai air jernih (fakultatif)

Tidak tahan terhadap pencemar Siput dari famili Viviparidae, dan hanya menyukai air bersih Amnicolidae, Insecta atau larva insecta (intoleran) atau nimfa ordo Ephemeridae, Odonata, Neuroptera, Hemiptera, dan Coleoptera. Sumber : Wilhm (1975)

2.7. Kualitas Air, Baku mutu Air dan Baku Mutu Limbah Cair Kualitas air adalah karakter (sifat) air yang digambarkan oleh nilai-nilai dari berbagai macam faktor atau karakteristik atau komponen kualitas air (yang sering disebut sebagai parameter kualitas air). Karakteristik-karakteristik tersebut menggambarkan kondisi fisik-kimia dan mikrobiologi dari air. Kualitas air yang diinginkan dinyatakan dalam nilai (beberapa diantaranya bisa disebut sebagai kadar atau konsentrasi) tertentu. Tidak semua nilai yang rendah selalu berarti baik, sebab komponen yang berfungsi sebagai nutrien biasanya diperlukan dalam jumlah tertentu. Bila jumlah nutrien terlalu rendah dapat menyebabkan defisiensi, tetapi bila terlalu tinggi menyebabkan keracunan. Maka dapat dikatakan bahwa kualitas air ditentukan oleh konsentrasi bahan pencemar di dalam air. Agar tidak terjadi penurunan kualitas air, maka muatan yang dibuang ke perairan harus dibawah atau sama dengan daya tampung beban pencemaran. Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 mendefinisikan daya tampung beban pencemaran sebagai kemampuan air pada sumber air menerima beban pencemaran limbah tanpa mengakibatkan turunnya kualitas air sehingga melewati baku mutu air yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya. Pada pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 ditetapkan penggolongan air menurut peruntukannya sebagai berikut: Golongan A

: Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu;

Golongan B

: Air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum;

Golongan C

: Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan;

Golongan D

: Air yang dapat digunakan untuk keperluan pertanian, dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air.

Peruntukan air sesuai dengan penggolongannya sebagaimana yang dimaksudkan pada pasal 7, dapat ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dengan ketentuan persyaratan yang ditetapkan sebagai dasar penggolongan sama dengan atau lebih ketat daripada peraturan pemerintah tersebut.

Baku mutu air adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemaran yang ditenggang adanya dalam air pada sumber air tertentu sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan baku mutu limbah cair adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemaran yang ditenggang adanya dalam limbah cair untuk dibuang dari satu jenis kegiatan tertentu. Untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam memantau kualitas air, baku mutu air, daya tampung limbah dan baku mutu limbah cair ini ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data kualitas air Sungai Way Sulan Kecil dilaksanakan pada aliran Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah industri tapioka PT. Florindo Makmur, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Pengambilan contoh air dilakukan pada lima lokasi, sedangkan pengambilan spesimen makrozoobenthos dilakukan pada empat lokasi. Kedua jenis pengambilan contoh tersebut masing-masing dilakukan sebanyak tiga ulangan. Waktu penelitian baik penelitian di lapangan, analisis laboratorium, maupun pengambilan data sekunder dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Juni sampai Juli 2005. 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan untuk penelitian adalah zat kimia terdiri dari H2SO4 0,1 N untuk mengawetkan sampel air dan larutan formalin 3% dalam air untuk mengawetkan spesimen benthos. Sedangkan alat-alat yang digunakan meliputi pH meter, termometer Hg, water sampler, jerigen 1 liter, botol plastik, tempat plastik, plastik hitam, pipet, Ekman grab, dan saringan. Peralatan lain disesuaikan dengan parameter fisika-kimia dan biologi perairan yang diukur dan metode analisisnya. 3.3. Metode Pengambilan Data 3.3.1. Data Primer a. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Data parameter fisika dan kimia diperoleh dari pengambilan contoh air Sungai Way Sulan Kecil pada lima stasiun (lokasi). Stasiun I berada pada aliran sungai setelah menerima limbah dari industri-industri di Kawasan Industri Lampung (PT.KAIL), industri pakan ternak, pengalengan rajungan dan pengalengan minuman. Stasiun 1

berjarak 200 m sebelum melewati bagian

perairan yang menerima limbah industri tapioka. Stasiun II berada pada aliran sungai pada saat menerima air buangan (limbah) industri tapioka, stasiun III

berada pada aliran sungai yang berjarak 200 m setelah stasiun II dan stasiun IV merupakan aliran sungai dimana pengaruh limbah industri diperkirakan telah berkurang. Stasiun IV terletak sebelum percabangan dengan sungai lain. Lokasi stasiun pengambilan contoh air dan spesimen makrozoobentos dapat dilihat pada Gambar 1. Dilakukan pula pengambilan contoh limbah cair pada outlet IPAL pabrik tapioka yang mengalirkan ke Sungai Way Sulan Kecil. Pengambilan contoh air yang dianalisis dilakukan sesuai dengan titiktitik sampling yang telah ditetapkan dari badan sungai dan dilakukan secara komposit sebanyak tiga ulangan dengan interval waktu satu minggu sekali. Pada analisis fisika dan kimia air Sungai Way Sulan Kecil, parameter fisika dan kimia yang diukur dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter, alat dan metode analisis fisika-kimia yang digunakan No.

1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Parameter Fisika Warna Suhu TDS TSS Kekeruhan Kimia pH DO COD BOD Nitrat (NO3) Fosfat (PO4) Sianida (CN-)

Satuan

Alat/Metode Analisis

Keterangan

PtCo °C mg/l mg/l NTU

Spektrofotometrik Termometer Gravimetrik Gravimetrik Turbidity meter

Laboratorium In situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium

Unit mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

pH meter Titrimetrik Titrimetrik Titrimetrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Titrimetrik

In situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium

b. Parameter Biologi Contoh benthos diambil pada daerah (lokasi) yang sama dengan stasiun pengambilan contoh air (parameter fisika-kimia). Pengambilan dilakukan dengan Surber Net. Kemudian spesimen benthos yang terambil dipisahkan dari lumpur dan benda lain dengan saringan. Spesimen bentos dimasukkan ke dalam tempat plastik lalu diberi larutan kimia pengawet (formalin 3%). Identifikasi dilakukan di Laboratorium Zoologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan contoh air dan spesimen makrozoobentos di Sungai Way Sulan Kecil.

3.3.2. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan meliputi: 1. Peta penggunaan lahan DAS Sekampung (Sub DAS Way Sulan). 2. Data kualitas DAS Way Sekampung pada musim kemarau tahun 2005. 3. Data curah hujan rata-rata bulanan selama sepuluh tahun terakhir. 4. Data kapasitas produksi dan volume limbah PT. Florindo Makmur. 3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis Kualitas Fisika dan Kimia Perairan Analisis data untuk parameter fisika dan kimia air Sungai Way Sulan Kecil yaitu dengan membandingkan hasil pengukuran dengan SK Gubernur Lampung No. G/625/B.7/HK/1995 tentang Kualitas Air Badan Penerima. Untuk hasil pengukuran pada outlet limbah tapioka dibandingkan dengan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Industri Tapioka. 3.4.2. Analisis Komunitas Makrozoobenthos Analisis makrozoobenthos dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan

kualitas

fisika

dan

kimia

perairan

terhadap

komunitas

makrozoobenthos sebagai indikator biologis pada perairan yang dinamis (mengalir). Dengan mengetahui struktur komunitas makrozoobenthos juga dapat diketahui kondisi dan tingkat kualitas suatu perairan. Analisis komunitas makrozoobenthos meliputi perhitungan kepadatan, indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi.

a. Kepadatan Odum (1993) mendefinisikan kepadatan sebagai jumlah individu suatu jenis per stasiun (ind/m2). Kepadatan dihitung dengan rumus : K=

1000.a b

dimana:

K

= Kepadatan makrozoobenthos (ind/m2)

a

= Jumlah makrozoobenthos yang dihitung (individu)

b

= Luas bukaan transek surber atau Ekmen Grab (20 x 20 cm2) dengan nilai 1000 merupakan konversi dari cm2 ke m2

b. Indeks Keanekaragaman Salah satu cara terbaik untuk mengetahui dan menilai tingkat pencemaran

pada

suatu

perairan

adalah

dengan

menghitung

indeks

keanekaragaman jenis makrozoobenthosnya. Indeks keanekaragaman yang digunakan adalah indeks diversitas Shannon-Wiener. Indeks tersebut tidak tergantung pada besarnya contoh, yang berarti bahwa dengan contoh yang sedikit dapat diperoleh indeks yang dapat dipercaya untuk keperluan pembandingan sehingga cocok untuk pengukuran keanekaragaman makrozoobenthos pada perairan dengan jumlah spesies sedikit. Untuk keperluan ini hanya diperlukan kemampuan membedakan jenis tanpa harus mengidentifikasinya (Odum, 1993). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dihitung dengan rumus : S

H’ = - ∑ pi ln pi I =1

dimana:

H’

= indeks keanekaragaman

pi

=

N

= jumlah total individu

ni

= jumlah individu jenis ke-i

s

= jumlah jenis

ni N

Nilai H’ dari hasil perhitungan dengan rumus di atas mencerminkan tingkat keanekaragaman, penyebaran dan stabilitas komunitas yang klasifikasinya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) Kategori

Nilai Indeks Shannon >3

Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. 1 –3 Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang. <1 Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah. Sumber : Wilhm et al.,(1975) dalam Mason (1981) Melalui nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wieners (H’) dapat diketahui tingkat pencemaran suatu perairan. Hubungan H’ dengan tingkat pencemaran perairan seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6. Klasifikasi hubungan Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan tingkat pencemaran perairan Tingkat Pencemaran (kualitas lingkungan) >3 Air bersih 1 –3 Tercemar sedang <1 Tercemar berat Sumber : Wilhm dan Doris (1968) dalam Wilhm (1975) Indeks Diversitas Shannon (H’)

c. Indeks Keseragaman Keseragaman (equitibilitas) merupakan salah satu komponen utama keanekaragaman yang menyatakan pembagian individu yang merata di antara jenis. Indeks keseragaman dihitung untuk mengetahui pola dominansi suatu jenis atau beberapa kelompok jenis dalam suatu komunitas organisme. E=

H' H 'maks

dimana:

E

= indeks keseragaman (skala 0 – 1)

H’

= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

H’maks

= indeks keanekaragaman maksimum = ln S (dimana S adalah jumlah jenis dalam komunitas)

Indeks keseragaman (E) menggambarkan tingkat keseragaman jenis. Kriteria indeks keseragaman dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kriteria indeks keseragaman Indeks Keseragaman (E) < 0,4 0,4 – 0,6 > 0,6 Sumber : Fitriyana (2004)

Tingkat Keseragaman Jenis Keseragaman jenis rendah Keseragaman jenis sedang Keseragaman jenis tinggi

Semakin kecil nilai E, maka semakin kecil pula keseragaman populasinya. Hal tersebut menggambarkan penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama atau ada kecenderungan dominasi dari satu spesies. Untuk nilai E yang mendekati 1 berarti sebaran individu-individu antar jenis relatif merata. Tetapi untuk nilai E mendekati 0 menggambarkan sebaran individu yang tidak merata atau terdapat sekelompok jenis tertentu yang kelimpahannya relatif lebih besar daripada jenis lainnya (dominan). Dalam memperkirakan terjadinya pencemaran di lingkungan perairan, perhitungan nilai E menggambarkan kemampuan sekelompok jenis tertentu yang telah mampu beradaptasi dengan kondisi tingkat pencemaran tertentu. d. Indeks Dominansi Untuk mengetahui adanya dominansi satu jenis atau beberapa kelompok jenis dalam suatu komunitas, selain menggunakan indeks keseragaman juga dilakukan dengan perhitungan indeks dominansi. Indeks dominansi menyatakan derajat dimana dominansi dipusatkan dalam satu, beberapa, atau banyak jenis. Dengan arti lain, indeks dominansi dihitung untuk menentukan spesies tertentu yang mendominasi suatu komunitas (Odum, 1993). D=

 ni    ∑ i =1  N  n

dimana:

2

D

=

indeks dominansi

ni

=

jumlah individu jenis ke-I

N

=

jumlah seluruh individu

Kriteria indeks dominansi seperti pada Tabel 18 berikut. Tabel 8. Kriteria indeks dominansi Indeks Dominansi (D)

Kategori Dominansi Jenis

< 0,4

Dominansi rendah

0,4 – 0,6

Dominansi sedang

>0,6

Dominansi tinggi

Sumber : Udayana (1997) 3.4.3. Perhitungan Beban Pencemaran Atas dasar jenis sumber pencemar yang diketahui, maka beban pencemaran dapat diketahui pula, yaitu dengan menggunakan faktor konversi. Beban pencemaran pada limbah cair industri tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil, sesuai besarnya kapasitas produksi. Pada setiap ton produk berupa tepung tapioka akan dihasilkan satuan volume limbah yang mengandung beban pencemaran dengan nilai tertentu (faktor konversi beban limbah). Sehingga besarnya beban limbah/beban pencemaran pada suatu proses produksi adalah hasil kali antara besarnya kapasitas produksi dengan faktor konversi beban limbah. Faktor konversi beban limbah untuk indutri tepung dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 9. Faktor konversi beban limbah industri tepung Satuan

Beban Limbah BOD COD SS kg/ton 13,4 21,83 9,7 Sunber : Djajadiningrat dan Amir (1989) Keterangan

TDS 42,3

: BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), SS (Suspended Solid), TDS (Total Suspended Solid).

Konsentrasi beban limbah di zona percampuran (mixing zone) dapat diketahui dengan cara : a. Pengukuran langsung b. Model Pengenceran Sungai (Mixing zone) Cd =

CuxQu + CwxQw Qu + Qw

Dimana : Cd

= Kadar air di hilur

Cw

= Kadar air dalam limbah

Cu

= Kadar air di hulu

Qw

= Debit limbah

Qu

= Debit sungai di hulu

c. Perhitungan konsentrasi menggunakan hasil faktor konversi C=

BL Q Dimana :

C

= Konsentrasi limbah (mg/l)

BL

= Beban pencemaran (mg/dt)

Q

= Debit air (l/dt)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak Penelitian ini dilakukan di aliran Sungai Way Sulan Kecil. Secara administrasi, lokasi penelitian merupakan wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Sedangkan Sungai Way Sulan Kecil termasuk dalam Sub DAS Way Sulan yang merupakan bagian DAS Way Sekampung. 4.2. Iklim Berdasarkan data curah hujan dan hari hujan bulanan, tipe iklim yang ada di wilayah studi berdasarkan klasifikasi iklim Scmidth & Ferguson (1951) adalah tipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 2000 – 3000 mm/th. Suhu ratarata udara berkisar antara 28 - 30°C, dengan kelembaban relatif antara 50–62%. Sedangkan berdasarkan klasifikasi iklim menurut Oldeman (1978), daerah setempat termasuk dalam zone agroklimat C3, karena mempunyai bulan basah dengan curah hujan >200 mm selama 4 sampai 5 bulan berturut-turut dan bulan kering (curah hujan <100 mm) 4 – 6 bulan berturut-turut dalam setahun.

4.3. Tanah dan Topografi Jenis tanah sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil adalah jalur meander dari lembah aluvial luas, endapan halus, dengan lereng 0 – 3%. Tekstur tanahnya lempung pasiran dan memiliki jeluk yang dalam (± 10 meter) dicirikan dengan ditemukan bahan induk pada kedalaman tersebut. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 65 – 75 mdpl. Bentuk muka lahan bergelombang sampai berbukit-bukit. Sedangkan ketinggian lokasi pabrik terhadap daerah sekitar ± 3 meter. Kedalaman air tanah di sekitar daerah penelitian berkisar antara 8 – 10 meter dengan variasi musiman sekitar 1,5 meter. Kondisi air tanah masih di bawah baku mutu untuk air minum sehingga layak digunakan sebagai sumber air bersih oleh penduduk.

4.4. Flora dan Fauna Jenis-jenis tanaman yang terdapat di sekitar lokasi penelitian pada umumnya merupakan tanaman budidaya dan sebagian kecil merupakan semak belukar. Sedangkan jenis fauna yang terdapat di sekitar lokasi penelitian sebagian besar merupakan hewan peliharaan. Jenis-jenis flora yang ada di sekitar lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10 dan jenis-jenis fauna disajikan pada Tabel 11. Tabel 10. Jenis-Jenis flora yang ada di sekitar lokasi penelitian No.

Nama Daerah

Nama Ilmiah

1.

Bambu

Bambusa sp.

2.

Cente Manis

Lantana camara

3.

Senggani

Melastoma polyantum

4.

Babadotan

Ageratum conyzoides

5.

Rumput teki

Cyperus rotundus

6.

Putri malu

Mimosa pudica

7.

Ilalang

Imperata cylindrica

8.

Waru

Hibiscus tiliaceus

9.

Ceplukan blungsum

Passiflora foetida

10.

Rumput mendongan

Fimbristilis ferruginea

11.

Sikejut

Mimosa sp.

12.

Pisang

Musa paradisiaca

13.

Mangga

Mangifera indica

14.

Ubi kayu

Manihot utilisima

15.

Rambutan

Nephelium lappaceum

16.

Pepaya

Carica papaya

17.

Kelapa

Cocos nucifera

18.

Jagung

Zea mays

19.

Sengon

Paraserianthes falcataria

20.

Nangka

Arthocarpus integra

21.

Durian

Durio zibethinus

22.

Rambutan

Nephelium sp.

23.

Melinjo

Gnetum gnemon

24.

Jengkol

Pithecellobium lobatum

25.

Jati

Tectona grandis

26.

Kelapa sawit

Elaeis quinensis

27.

Kopi

Coffea robusta

28

Kemiri

Aleurites moluccana

Tabel 11. Jenis-jenis fauna yang ada di sekitar lokasi penelitian No.

Nama Daerah

Nama Latin

1.

Sapi

Bos indicus

2.

Kerbau

Bos bubalus

3.

Kambing

Capra spec

4.

Kadal

Mabuya multifasciata

5.

Cecak

Calotes jubatus

6.

Burung gereja

Passer montanus

7.

Ayam

Gallus sp.

8.

Belalang daun

Tettigonia sp.

9.

Jangkrik

Grillus bimaculatus

10.

Kupu-kupu

Papilio polyxenue

11.

Capung

Pantala flavescana

12.

Kodok

Bufo biforcatus

4.5. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di lokasi penelitian dan sekitarnya adalah sawah, pekarangan, permukiman pedesaan, pabrik/industri, kebun campuran, dan tegalan. Pada lokasi penelitian, penutupan kanopi relatif rapat. Jenis-jenis penggunaan lahan di Sub DAS Way Sulan terdiri dari pertanian lahan kering, pertanian lahan kering bercampur semak dan tanah industri. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) mendefinisikan pertanian lahan kering sebagai areal pertanian yang tidak dialiri air. Sedangkan tanah industri adalah areal tanah yang digunakan untuk kegiatan ekonomi berupa proses pengolahan bahan-bahan baku untuk menjadi barang jadi/setengah jadi menjadi barang jadi.

Menurut pengamatan di lapangan, Sub DAS Way Sulan khususnya di sekitar Sungai Way Sulan Kecil dari hulu sampai hilir, terdapat berbagai industri yang sebagian besar merupakan jenis industri pengolah hasil pertanian dan membuang limbahnya pada aliran Sungai Way Sulan Kecil. Industri-industri tersebut didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan udang skala besar. Jenisjenis industri yang membuang limbahnya pada aliran Sungai Way Sulan Kecil disajikan pada Tabel 12, sedangkan letaknya terhadap Sungai Way Sulan Kecil dan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 12. Jenis-jenis industri yang terdapat di sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil No. Nama perusahaan 1. PT. Coca Cola Company 2. PT. Kawasan Industri Lampung (PT. KAIL), terdiri dari : a. Balai percobaan LIPPI b. PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. c. PT. Indocom

3. 4. 5. 6. 7.

d. PT. Bratasena Citra Darmaja e. PT. Charoen Pokphand Indonesia Tbk. f. PT. Phillip Morris PT. Toyota Bio PT. Japfa Comfeed Tbk. PT. Sierrad Green Tbk. PT. Panji Saburai Putera PT. Florindo Makmur (divisi tapioka)

Jenis industri Pengalengan minuman Percobaan pembuatan pakan ternak Industri makanan Pembekuan udang (cold storage) Industri pakan udang Industri pakan ternak Pengalengan rajungan Industri pakan ternak Industri pakan ternak Industri pakan ternak Pengalengan rajungan Industri tapioka

Gambar 2. Letak industri-industri di sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Sifat Fisika Kimia Perairan 5.1.1. Warna Warna air dapat dijadikan sebagai salah satu indikator terjadinya pencemaran lingkungan perairan. Walaupun dalam kondisi tidak terpolusi warna air tidak selalu jernih, namun biasanya air yang terpolusi memiliki warna tidak normal yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan terlarut dan bahan-bahan tersuspensi, termasuk yang bersifat koloid (Fardiaz, 1995). Fluktuasi hasil pengukuran warna air Sungai Way Sulan Kecil selama penelitian disajikan pada Gambar 3. 35 30

30

28 25

Warna (PtCo)

25

Hasil pengukuran I

20

Hasil pengukuran II 14.4

15 10 5

Hasil pengukuran III

11.7

10 8 4.8 3

10.6

Nilai rata-rata

7 5.2

5 2.3

1.5

1.7

0 1

2

3

4

Stasiun pengukuran

Gambar 3. Hasil pengukuran warna air Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur. Hasil analisis nilai rata-rata satuan warna pada keempat stasiun berkisar 4,8 – 14,4 PtCo. Nilai rata-rata terendah terdapat pada stasiun 1 dan tertinggi pada stasiun 2. Rendahnya nilai warna pada stasiun 1 diperkirakan karena masukan dari hulu sungai (sebelum stasiun 1), termasuk limbah industri, tidak bersifat menambah ataupun mengubah warna air sungai sehingga relatif tidak menyebabkan penyimpangan warna air sungai dari kondisi normalnya. Hal ini dimungkinkan karena air limbah industri memiliki warna hampir menyerupai

warna air Sungai Way Sulan Kecil dalam kondisi normal, sehingga nilai satuan warna air tidak mengalami peningkatan yang cukup besar. Nilai rataan warna tertinggi pada stasiun 2 diperkirakan merupakan pengaruh limbah cair industri tapioka. Bahan-bahan terlarut maupun tersuspensi dalam limbah cair industri tapioka yang masuk ke perairan Way Sulan Kecil diduga berperan dalam meningkatkan nilai satuan warna. Menurut pengamatan di lapangan, sifat limbah cair tapioka sebelum mengalami pengolahan adalah berwarna keputihan yang berasal dari proses pengendapan ubi kayu yang telah diparut. Namun setelah mengalami proses pengolahan, warna limbah cair tapioka berubah menjadi hijau (kehijauan). Masukan limbah cair tapioka pada Sungai Way Sulan Kecil menyebabkan warna air sungai turut berubah menjadi kehijauan. Perubahan warna air sungai ini yang menyebabkan nilai satuan warna pada stasiun 2 meningkat. Peningkatan nilai satuan warna mengindikasikan adanya tambahan zat warna pada perairan sehingga memperbesar penyimpangan atau menyebabkan perubahan warna air sungai dari warna aslinya. Pada stasiun 3 dan 4 terjadi penurunan nilai satuan warna secara bertahap seiring adanya proses pengendapan serta penguraian partikel-partikel padatan yang mempengaruhi perubahan warna air. Dengan adanya pengendapan dan penguraian tersebut, partikel-partikel padatan yang menyebabkan perubahan warna air semakin berkurang sehingga warna air mendekati sifat normalnya. SK

Gubernur

Kepala

Daerah

Tingkat

I

Lampung

No.

G/625/B.VII/HK/1995 tentang baku mutu kualitas air golongan B, maupun Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tentang baku mutu limbah cair tapioka, tidak menetapkan baku mutu nilai warna.

5.1.2. Suhu Suhu air merupakan faktor pembatas utama dalam lingkungan perairan karena berpengaruh dalam menentukan atau mengendalikan kehidupan organisme perairan sesuai dengan daya adaptasinya terhadap suhu air yang telah mencapai atau melampaui toleransi organime perairan (lethal temperature). Menurut Ardi (2002) dalam Maranti (2005), suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Suhu air juga berperan penting dalam menentukan kecepatan reaksi penguraian bahan organik maupun anorganik yang terlarut, mempengaruhi tingkat kelarutan garam-garam dan gas-gas dalam air terutama O2 yang berperan dalam proses metabolisme mikro maupun makroorganisme, serta gas CO2 sebagai salah satu komponen penting dalam proses fotosintesis yang menetukan produktivitas lingkungan perairan dan suplai oksigen terlarut. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu air rata-rata pada keempat stasiun berkisar antara 29,2 - 31,8°C. Kisaran suhu tersebut masih tergolong normal dalam badan air dan tidak membahayakan kehidupan biota akuatik karena masih di bawah lethal temperature bagi organisme benthic dengan kisaran 35 – 40°C (Welch, 1980 dalam Widiastuty, 2001). Gambar 4 memperlihatkan fluktuasi suhu air pada stasiun-stasiun pengukuran. Suhu air rata-rata tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan terendah pada stasiun 4. 40

Suhu (C)

30

35.4

33.5

35 27.2

29.5

30.1

35.4 31.9 31.8

28.2

31.3 31.2 27

31.2

29.7 29.2

26.6

Hasil pengukuran I

25

Hasil pengukuran II

20

Hasil pengukuran III

15

Nilai rata-rata

10 5 0 1

2

3

4

Stasiun pengukuran

Gambar 4. Hasil pengukuran suhu air Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.

Suhu air rata-rata tertinggi pada stasiun 2 diduga sebagai pengaruh dari masukan limbah cair tapioka. Menurut Suprawihadi (2001), selain bahan organik limbah cair industri tapioka juga mengandung panas (kalor). Limbah cair tapioka sebelum dibuang ke aliran Sungai Way Sulan Kecil telah mengalami proses pengolahan berupa reaksi pemecahan (dissosiasi) atau dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob dan aerob di dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Proses pengolahan limbah melepas energi panas berupa kalor sehingga air limbah memiliki suhu relatif tinggi, dan apabila limbah bercampur dengan air sungai maka akan meningkatkan suhu air sungai. Peningkatan suhu air Sungai Way Sulan Kecil akibat aktivitas bakteri pengurai pada IPAL ditunjukkan oleh suhu air limbah yang relatif tinggi yaitu 32,3°C (hasil pengukuran pada outlet IPAL PT. Florindo Makkmur). Namun demikian, suhu limbah pada outlet termasuk dalam kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan bakteri yaitu 25°C - 40°C (Suprawihadi, 2001). Dengan pertumbuhan bakteri yang baik pada suhu optimum tersebut, maka proses penguraian bahan organik limbah cair tapioka oleh bakteri dapat berjalan, sehingga diperoleh hasil penurunan konsentrasi BOD, COD, TSS, NH3, H2S dan Sianida. Suhu air sungai yang cukup tinggi juga terdapat pada stasiun 1 yaitu 30,1°C. Hal ini diduga disebabkan banyaknya bahan-bahan organik yang mengalami reaksi penguraian sehingga dihasilkan kalor yang cukup tinggi. Bahan-bahan organik terutama berasal dari limbah industri, terutama industri pakan ternak dan pakan udang yang terdapat di daerah hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Berdasarkan sifatnya, limbah industri pakan ternak dan pakan udang memiliki BOD, COD serta konsentrasi padatan tersuspensi total berupa bahan organik yang tinggi, sehingga aktivitas mikroorganisme pengurai dan energi panas yang dihasilkan semakin besar. Dugaan tersebut ditunjukkan pula oleh nilai BOD, COD dan padatan total tersuspensi yang relatif tinggi pada stasiun 1.

Nilai rata-rata suhu air pada stasiun 3 dan 4 kembali mengalami penurunan karena pengaruh dari masukan limbah relatif berkurang, serta adanya daya pemulihan aliran sungai secara alami (self purification). Menurut hasil pengukuran pada seluruh stasiun dapat dilihat adanya pengaruh yang sangat besar dari aktivitas industri terhadap peningkatan suhu air Sungai Way Sulan Kecil. Pada Bapedalda Propinsi Lampung (2004) disebutkan bahwa perubahan suhu air sungai, khususnya di atas suhu normal (>35°C) dapat disebabkan oleh tingginya suhu air limbah suatu industri yang masuk ke badan sungai. Dampak primer kenaikan suhu air sungai akan menyebabkan kematian biota air, sedangkan dampak sekunder akan berpengaruh terhadap kehidupan flora dan fauna air dan darat yang hidup di sekitarnya. Sedangkan Fardiaz (1995) menyatakan bahwa kenaikan suhu air dapat menyebabkan penurunan oksigen terlarut dalam air. Suhu air rata-rata pada semua stasiun masih termasuk dalam kisaran normal bila dibandingkan dengan lethal temperature organisme benthic dan masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 untuk kualitas air golongan B (layak diperuntukkan sebagai air minum). Sedangkan pada Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup, tidak ditetapkan baku mutu suhu limbah cair tapioka. 5.1.3. Kekeruhan Kekeruhan merupakan gambaran sifat optik air suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air tersebut (Alaerts dan Santika, 1987). Pengukuran kekeruhan pada empat stasiun selama penelitian menghasilkan nilai rata-rata berkisar 13,79 - 17,47 NTU. Hasil pengukuran menunjukkan nilai rata-rata kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan nilai terendah pada stasiun 4. Gambar 5 memperlihatkan peningkatan kekeruhan pada stasiun 2 yang diduga merupakan pengaruh dari pembuangan limbah cair industri tapioka ke Sungai Way Sulan Kecil. Peningkatan kekeruhan ini disebabkan adanya masukan padatan total berupa bahan organik maupun partikel tanah yang tidak segera mengendap, yang berasal dari proses penyaringan dan pencucian ubi kayu. Hasil pengukuran pada

outlet IPAL pabrik tapioka selama penelitian menunjukkan nilai kekeruhan limbah yang lebih tinggi dari kekeruhan perairan (stasiun 1) yaitu 18,30 mg/l. Dibandingkan dengan stasiun 3 dan 4, stasiun 1 juga memiliki kekeruhan relatif tinggi. Kekeruhan pada stasiun 1 disebabkan adanya partikel padatan, terutama padatan total tersuspensi yang terkandung pada limbah dari industri pakan ternak dan pakan udang yang berada di daerah hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Kekeruhan juga dapat disebabkan oleh partikel tanah dari sisi sungai sebelum stasiun 1 yang tererosi, terkait dengan penggunaan lahan di Sub DAS Way Sulan yang didominasi pertanian lahan kering dan sebagian bercampur semak. 60

Kekeruhan (NTU)

50

48

46

39

40

37

Hasil pengukuran I

30

Hasil pengukuran II

20 10 0

0.3 0.1

1

Hasil pengukuran III

17.47

15.47

0.82

3.6

2

14.54

0.78

3.85

3

13.79

1.08

Nilai rata-rata

3.3

4

Stasiun pengukuran

Gambar 5. Hasil pengukuran kekeruhan pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur. Pada stasiun 3 dan 4 nilai kekeruhan kembali berangsur mengalami penurunan. Hal ini disebabkan pengendapan partikel padatan maupun penguraian partikel padatan yang berupa bahan organik oleh mikroorganisme. Pada dasarnya kekeruhan disebabkan oleh adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta terurai secara halus sekali. Kekeruhan juga disebabkan oleh kehadiran zat organik yang terurai secara halus, jasad-jasad renik, lumpur, tanah liat dan zat koloid serupa atau benda terapung yang tidak mengendap dengan segera (Mahida, 1984). Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 tentang baku mutu kualitas air golongan B, nilai baku mutu kekeruhan tidak ditentukan. Demikian pula untuk kualitas limbah cair

tapioka, pada Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Tapioka tidak ditetapkan baku mutu nilai kekeruhan limbah. Namun menurut NTAC (1968) dalam Purwani (2001) kisaran nilai kekeruhan pada Sungai Way Sulan Kecil masih tergolong normal karena tingkat kekeruhan air yang disarankan adalah tidak melebihi 100 NTU untuk air mengalir. 5.1.4. Padatan Terlarut Total (TDS) Hasil pengukuran menunjukkan konsentrasi rata-rata padatan terlarut total pada seluruh stasiun berkisar 120,67 - 643,33 mg/l. Gambar 6 menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata TDS tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan TDS pada stasiun 1 merupakan yang terendah. 1200 1000

1000

1000 800 TDS (mg/l)

1000

925

702

854 745

699

643.33

400

526

476.33

Hasil pengukuran III Nilai rata-rata

303 148 86

Hasil pengukuran I Hasil pengukuran II

571.67

600

200

1000

162

128 120.67

158

0 1

2

3

4

Stasiun pe ngukuran

Gambar 6. Hasil pengukuran TDS pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur. Tingginya konsentrasi TDS di stasiun 2 diduga disebabkan oleh masukan limbah cair tapioka yang mengandung padatan terlarut dengan konsentrasi cukup tinggi, sehingga meningkatkan konsentrasi TDS di perairan Way Sulan Kecil. Dugaan tersebut diperkuat oleh hasil pengukuran pada outlet IPAL pabrik tapioka yang menunjukkan bahwa limbah cair tapioka memiliki konsentrasi TDS relatif tinggi yaitu 679,67 mg/l. Menurut Soeriaadmadja (1984) dalam Sukamto (1998), industri tapioka pada dasarnya mengakibatkan

peningkatan zat padat dalam air baik secara terlarut, tersuspensi maupun secara total. Padatan terlarut pada limbah cair tapioka berasal dari proses pencucian ubi kayu dan penyaringan. Pada proses-proses tersebut dihasilkan sisa air buangan yang banyak mengandung karbohidrat berupa pati yang terlarut dan kotoran lainnya, termasuk partikel tanah dalam ukuran koloid sehingga tidak segera mengendap. Kenaikan TDS juga dapat disebabkan oleh kandungan nitrat dan phospat yang terkandung pada limbah organik (Sutamihardja, 1983). Rendahnya konsentrasi TDS di stasiun 1 diduga karena masukan berupa padatan total didominasi oleh padatan tersuspensi. Penggunaan lahan dari hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sampai stasiun 1 sebagian besar merupakan pertanian lahan kering dan semak belukar, sehingga dimungkinkan terjadinya erosi partikel tanah berukuran suspensi yang kemudian masuk ke sungai. Demikian juga jika dilihat dari jenis industri sebelum stasiun 1 yang didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan udang. Limbah industri pakan tersebut mengandung padatan total yang cenderung didominasi oleh padatan tersuspensi (TSS). Penurunan konsentrasi TDS pada stasiun 3 dan 4 mengindikasikan adanya pengendapan partikel–partikel koloid secara berangsur maupun penguraian partikel organik terlarut oleh mikroorganisme. Besarnya TDS dalam suatu perairan memiliki korelasi positif dengan kekeruhannya. Pola perubahan TDS secara spasial menyerupai pola perubahan nilai kekeruhan yang menunjukkan adanya hubungan antara TDS dengan kekeruhan. Korelasi ini sesuai dengan yang dikemukakan Efendi (2000) dalam Fitriyana (2004) bahwa TDS merupakan gambaran seberapa besar (mg/l) jumlah bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan perairan, namum demikian nilai TDS yang tinggi tidak selalu diikuti tingginya nilai kekeruhan seperti halnya yang terjadi pada air laut dan payau. Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 nilai rata-rata TDS pada seluruh stasiun pengamatan masih memenuhi kriteria baku mutu kualitas air golongan B yang telah ditetapkan untuk Sungai Way Sulan yaitu 1000 mg/l. Sedangkan pada Kepmen Kependudukan dan

Lingkungan Hidup tahun 1991 tidak ditetapkan baku mutu untuk kandungan padatan terlarut total pada limbah cair tapioka. 5.1.5. Padatan Tersuspensi Total (TSS) Padatan tersuspensi total (TSS) perairan adalah jumlah bobot bahan yang tersuspensi dalam satuan volume air tertentu dengan satuan mg/l atau bagian per juta (ppm). Padatan ini merupakan partikel-partikel dengan ukuran maupun bobotnya lebih kecil dibandingkan dengan padatan sedimen. Jumlah padatan tersuspensi dapat mengurangi penetrasi sinar yang masuk ke dalam air sehingga mengganggu proses fotosintesis tanaman air. Padatan tersuspensi dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, kotoran hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan, tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, serta limbah industri (Fardiaz, 1995 dan Sastrawidjaja, 1991). Konsentrasi rata-rata TSS pada empat stasiun berkisar 110,1 - 154,47 mg/l. Menurut Lee et al. (1978) dalam Iskandar (1995), perairan dengan kisaran TSS tersebut termasuk kategori tercemar berat. Gambar 7 memperlihatkan bahwa konsentrasi rata-rata TSS tertinggi berada pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 3. Tingginya TSS stasiun 1 diduga disebabkan oleh buangan limbah dari industri sebelum stasiun 1 yang didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan udang. Dugaan ini berdasarkant sifat limbah industri pakan ternak dan pakan udang mengandung TSS dengan konsentrasi tinggi. Selain itu, penggunaan lahan dari hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sampai stasiun 1 sebagian besar merupakan pertanian lahan kering dan semak belukar. Jenis penggunaan lahan ini memungkinkan terjadinya erosi partikel tanah berukuran suspensi yang kemudian masuk ke sungai dan meningkatkan konsentrasi padatan tersuspensi dalam air sungai.

350

308

285

300

286

283

Hasil pengukuran I

TSS (mg/l)

250

Hasil pengukuran II

200

157

154.47

28.4

21.4

122.18

110.10

95

100 50

Hasil pengukuran III

143.80

150

20.31

Nilai rata-rata

63

27 17.53

0 1

2 3 Stasiun pengukuran

4

Gambar 7. Hasil pengukuran TSS pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur. Pada stasiun 2 terjadi penurunan TSS rata-rata sebesar 10,67 mg/l. Penurunan kadar TSS tersebut diperkirakan karena telah terjadi pengendapan maupun proses penguraian partikel organik teruspensi dari stasiun 1. Limbah cair tapioka sendiri memberi kontribusi TSS ke perairan dengan konsentrasi yang lebih rendah daripada stasiun 1 yaitu 132,43 mg/l (hasil pengukuran TSS air limbah pada outlet IPAL pabrik tapioka selama penelitian), sehingga diduga memberi efek pengenceran terhadap TSS air Sungai Way Sulan Kecil. Proses pengendapan maupun penguraian partikel organik tersuspensi terus terjadi hingga stasiun 3 yang dapat dilihat dari penurunan kadar TSS. Pengendapan padatan tersuspensi diperkirakan terjadi karena Sungai Way Sulan Kecil memiliki arus yang kuat (Lampiran 1). Menurut Mason (1981), arus Sungai Way Sulan kecil pada stasiun 1, 2 dan 3 termasuk kategori

arus yang cepat.

Odum (1993)

menyatakan bahwa pada apabila perairan memiliki arus yang kuat, maka yang mengendap adalah partikel yang ukurannya lebih besar. Sebaliknya, pada perairan yang berarus lemah, maka yang mengendap ke dasar perairan adalah partikel yang ukurannya lebih kecil. Partikel padatan tersuspensi mempunyai ukuran yang lebih besar dari partikel terlarut dan koloid, tetapi lebih kecil dari partikel sedimen. Konsentrasi TSS rata-rata pada stasiun 4 kembali meningkat. Hal ini diperkirakan karena adanya masukan partikel tanah dari sisi sungai yang terbawa erosi, mengingat stasiun 4 merupakan lokasi dengan penutupan vegetasi paling sedikit. Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 nilai baku mutu kualitas air golongan B untuk TSS tidak

ditentukan. Namun menurut Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991, kandungan padatan tersuspensi total pada limbah cair tapioka PT. Florindo Makmur masih sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan yaitu 150 mg/l. 5.1.6. pH Nilai pH perairan merupakan suatu ukuran kadar asam atau basa dalam perairan melalui konsentrasi ion hidrogen (H+) dan merupakan parameter penting untuk mengetahui kualitas air dan limbah. Ion H+ selalu ada dalam keseimbangan dinamis dengan air yang membentuk suasana untuk semua reaksi kimiawi yang berkaitan dengan masalah pencemaran air karena sumber ion hidrogen tidak pernah habis. Jumlah reaksi tanpa ion H+ dapat dikatakan sedikit saja karena selain pada molekul air (H2O), ion H+ juga merupakan unsur senyawa lain. Pada kehidupan biologi dan mikrobiologi, nilai pH memiliki peranan yang sangat penting (Alaerts dan Santika, 1984). Hasil pengukuran pH pada keempat stasiun pengamatan berkisar 6,55 – 6,99. Nilai pH terendah terdapat pada stasiun 1, dan nilai pH tertinggi pada stasiun 2. Fluktuasi nilai pH pada seluruh stasiun penelitian disajikan pada Gambar 8. 10 9 8 7 pH

6

8.44

9

9

9

9 7.77

7.74

7.5 6.55

6.4 5.76

5

5

6.99

6.64 5.88

6.72

6.56 5.86

5

6.72

6.52 5.88

5

5

4

Hasil pengukuran I Hasil pengukuran II Hasil pengukuran III Nilai rata-rata

3

Baku mutu maksimum

2

Baku mutu minimum

1 0 1

2 3 Stasiun pengukuran

4

Gambar 8. Hasil pengukuran pH pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur. Rendahnya pH air rata-rata pada stasiun 1 diduga karena besarnya kandungan bahan organik pada limbah yang berasal dari industri-industri di hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1, sehingga dalam proses penguraiannya oleh mikroorganisme maupun terjadinya pembusukan

menyebabkan kondisi asiditas air meningkat (pH menurun). Pada Gambar 8 diperlihatkan bahwa terdapat kenaikan pH rata-rata dari stasiun 1 ke stasiun 2. Sedangkan pada stasiun 3 nilai pH rata-rata kembali mengalami penurunan dan nilainya stabil pada stasiun 4. Kenaikan pH air rata-rata pada stasiun 2 diduga disebabkan pH limbah cair tapioka yang dibuang ke Sungai Way Sulan Kecil relatif lebih tinggi dibandingkan pH air sungai. Dugaan ini berdasarkan pengukuran pH limbah yang menunjukkan

pH relatif lebih tinggi daripada stasiun 1 yaitu 6,71 (hasil

pengukuran pH air limbah tapioka pada outlet IPAL PT. Florindo Makmur). Tingginya pH limbah menandakan bahwa proses pengolahan limbah cair pada IPAL pabrik tapioka berfungsi menaikkan pH limbah, bila mengingat sifat limbah yang baru dihasilkan adalah memiliki pH yang relatif sangat rendah (masam). Melalui proses pengolahan limbah, pH limbah dinaikkan sampai mendekati normal agar saat dilepas ke perairan tidak membawa dampak merugikan baik terhadap organisme air maupun bagi manusia yang menggunakan air sungai. Sesuai dengan pernyataan Suprawihadi (2001) bahwa limbah cair tapioka merupakan limbah yang memiliki nilai pH rendah (saat baru dihasilkan, pH limbah mencapai 4), namun nilai pH limbah dapat naik bila dilakukan pengolahan secara efisien dalam IPAL. Selain itu, peningkatan pH air sungai juga karena pada limbah cair tapioka, selain mengandung bahan organik, juga dapat mengandung larutan alkali. pH air sungai rata-rata pada stasiun 3 dan 4 kembali mengalami penurunan, namun masih berada pada kisaran normal. Penurunan ini disebabkan penguraian bahan organik sehingga meningkatkan asiditas perairan Way Sulan Kecil. Nilai pH rata-rata untuk semua stasiun pengukuran masih berada pada kisaran yang normal dan ideal bagi organisme air pada umumnya yaitu 6 – 9. Menurut

SK

Gubernur

Kepala

Daerah

Tingkat

I

Lampung

No.

G/625/B.VII/HK/1995, pH air pada seluruh stasiun pengamatan masih memenuhi kriteria baku mutu kualitas air golongan B yang telah ditetapkan untuk Sungai Way Sulan

Kecil.

Demikian

pula jika

ditinjau

berdasarkan

Kepmen

Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991, pH limbah cair tapioka masih

di bawah baku mutu baku mutu yaitu 6 – 9, sehingga aman untuk dibuang ke Sungai Way Sulan Kecil. 5.1.7. DO (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme pada ekosistem perairan. Adanya oksigen terlarut memungkinkan organisme perairan melakukan respirasi yang mendukung proses metabolisme. Berkaitan dengan pencemaran, terutama yang disebabkan oleh limbah organik, nilai oksigen merupakan unsur pokok yang paling penting dan sering digunakan untuk mengamati pengaruh dari pencemaran limbah organik tersebut terhadap lingkungan perairan. Fluktuasi kandungan DO pada empat stasiun pengukuran selama waktu penelitian diperlihatkan pada Gambar 9. 7 6

6

6

6

6

5

Hasil pengukuran I

DO (mg/l)

4.1

4 3

3.6 3

3.10 2.7

Hasil pengukuran II

3.4

3.2 2.6 2.5

2.97

2.77

2.9 2.8

3.03

2.4 2.4

Hasil pengukuran III Nilai rata-rata

2

Baku mutu minimum

1 0 1

2 3 Stasiun pengukuran

4

Gambar 9. Hasil pengukuran DO pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur. Hasil pengukuran menunjukkan nilai rata-rata kandungan DO pada empat stasiun termasuk kisaran rendah yaitu 2,77 - 3,10 mg/l. Konsentrasi ratarata DO tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 2. Rendahnya kisaran DO tersebut merupakan indikasi kuat telah terjadi pencemaran yang diduga disebabkan limbah industri. Dilihat dari penggunaan lahan sepanjang

sungai Way Sulan Kecil, industri merupakan jenis penggunaan lahan yang berpotensi paling besar dalam menyebabkan pencemaran. Limbah industri diperkirakan berpengaruh besar dalam menurunkan kandungan DO di perairan Way Sulan Kecil. Konsentrasi DO di stasiun 1 yang relatif rendah diduga disebabkan besarnya kandungan bahan organik pada limbah industri. Limbah industri tersebut berasal dari industri-industri di hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Jenis penggunaan lahan sebelum stasiun 1 yang berupa tanah industri sendiri, didominasi oleh industri pakan ternak dan pakan udang. Iskandar (1995) menyatakan bahwa limbah industri pakan sering menimbulkan masalah pencemaran perairan karena BOD yang tinggi serta rendahnya kandungan oksigen terlarut. Limbah pakan mengalami penguraian menjadi bahan beracun, seperti H2S, ammonia dan nitrit, sehingga akibat dari buangan organik dalam jumlah yang berlebihan adalah penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air. Konsentrasi DO pada stasiun 2 semakin menurun setelah mendapat masukan limbah cair tapioka. Sukamto (1998) menyatakan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh cemaran tapioka adalah menurunnya kadar oksigen dalam air. Penurunan nilai DO pada dasarnya dapat terjadi karena berbagai sebab yaitu kenaikan temperatur, rendahnya fotosintesis tanaman air, besarnya respirasi seluruh organisme air, aerasi yang kurang baik, kehadiran gas-gas lain serta adanya masukan bahan-bahan organik sehingga reaksi pemecahan yang memerlukan oksigen meningkat. Heriyati (2001) menyebutkan bahwa warna air limbah juga akan mengakibatkan turunnya kandungan oksigen di perairan yang menerima limbah tersebut. Penurunan DO di stasiun 2 disebabkan terjadi dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme yang membutuhkan oksigen. Stasiun 2 diperkirakan merupakan zona aktif dekomposisi bagi mikroorganisme dalam penguraian bahan organik yang terkandung dalam limbah cair tapioka. Pada kurva perubahan tipe kualitas air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw (1979), dapat dilihat bahwa zona aktif dekomposisi ditandai dengan penurunan kadar oksigen terlarut dalam air hingga mencapai konsentrasi paling rendah, serta BOD yang mulai mengalami sedikit penurunan akibat berkurangnya bahan organik yang

didekomposisi oleh mikroorganisme. Kurva perubahan tipe kualitas air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw (1979) dapat dilihat pada Lampiran 15. Rendahnya oksigen terlarut pada stasiun 2, selain karena aktivitas penguraian bahan organik oleh mikroorganisme yang membutuhkan oksigen, diduga disebabkan tingkat kejenuhan oksigen karena suhu air yang relatif tinggi yaitu sebesar 31,8°C. Suhu air pada stasiun 2 mengalami peningkatan hampir 2°C dibandingkan dengan stasiun 1. Fardiaz (1995) mengemukakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh dipengaruhi oleh suhu air. Semakin tinggi suhu air maka tingkat kejenuhan oksigen akan semakin rendah. Korelasi konsentrasi oksigen terlarut dengan suhu air dapat dilihat dari pola kenaikan dan penurunan suhu, dimana kenaikan suhu air pada setiap stasiun diikuti dengan penurunan kadar oksigen terlarutnya. Peningkatan nilai warna air sungai diduga turut berpengaruh terhadap penurunan DO pada air sungai. Penambahan zat warna limbah cair tapioka pada air Sungai Way Sulan Kecil sehingga menyebabkan perubahan warna air sungai, dapat berakibat pada turunnya kandungan oksigen terlarut. Dugaan ini sesuai pernyataan Heriyati (2001) bahwa warna air limbah tidak hanya merugikan lingkungan perairan secara estetika, tetapi juga mengurangi kandungan oksigen di dalam air. Korelasi positif antara kandungan DO dan warna air juga dapat dilihat dari kesamaan pola kenaikan maupun penurunan konsentrasi DO dengan nilai warna. Cholik (1989) dalam Iskandar (1995) menyatakan kandungan oksigen terlarut dapat berkurang bahkan mencapai nol bila kebutuhan oksigen untuk penguraian bahan organik lebih besar daripada input oksigen ke badan air. Input oksigen ke badan air salah satunya melalui aktivitas fotosintesis tumbuhan yang hidup di bawah permukaan air, misalnya algae dan fitoplankton. Aktivitas fotosintesis tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan penetrasi cahaya terhadap lapisan air yang juga ditentukan oleh kekeruhan air. Kekeruhan air yang tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya sehingga menyebabkan penurunan fotosintesis algae dan fitoplankton. Berdasarkan hal tersebut, penurunan DO pada stasiun 2 diduga disebabkan pula oleh rendahnya suplai oksigen karena

peningkatan kekeruhan air, sehingga mengurangi aktivitas fotosintesis tumbuhan yang hidup di bawah permukaan air. Konsentrasi oksigen terlarut mulai meningkat kembali pada stasiun 3 dan 4. Pemulihan kualitas ini disebabkan berkurangnya reaksi penguraian bahan organik, adanya daya pemulihan aliran sungai secara alami (self purification), penurunan suhu air, pemulihan warna air sungai mendekati warnanya dalam kondisi normal/alami, serta penurunan kekeruhan air sehingga terjadi peningkatan penetrasi cahaya untuk aktivitas fotosintesis algae dan fitoplankton. Melalui pengukuran nilai DO dapat diketahui kualitas suatu perairan dalam hal ini Sungai Way Sulan Kecil. Menurut Lee et al. (1978) dalam Bapedalda Propinsi Lampung (2003) kisaran nilai rata-rata DO pada keempat stasiun mencerminkan kualitas air yang tercemar sedang. Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995, nilai rata-rata DO pada stasiun 1 dan 4 sesuai dengan baku mutu kualitas air golongan C, sedangkan pada stasiun 2 dan 3 kisaran nilai rata-rata DO termasuk baku mutu kualitas air golongan D. Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung tentang Peruntukan Air Sungai di Propinsi Lampung, maka dapat dinyatakan bahwa nilai DO Sungai Way Sulan Kecil tidak memenuhi persyaratan baku mutu kualitas air golongan B yang ditetapkan untuk Sungai Way Sulan. Sedangkan konsentrasi DO limbah cair tapioka juga relatif sangat rendah. Namun dalam Kepmen Kependudukan Lingkungan hidup tahun 1991, baku mutu DO pada limbah cair tapioka tidak ditetapkan. 5.1.8. COD (Chemical Oxygen Demand) Uji coba kebutuhan oksigen kimiawi (COD) merupakan suatu parameter yang sering digunakan secara luas sebagai suatu ukuran kekuatan pencemaran dari limbah domestik maupun industri. Hasil pengukuran COD seluruh stasiun menunjukkan kisaran 84,67 – 186,33 mg/l. Nilai COD tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan terus mengalami penurunan pada stasiun-stasiun berikutnya, hingga mencapai nilai terendah pada stasiun 4. Nilai rata-rata COD yang cenderung

mengalami penurunan di setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10. 450 400 350

400

400

400

400

351

COD (mg/l)

300 250 192 186.33

200

184 160

150

149.33

144

144 112

104

96.00

100 50

62 32

16

84.67

Hasil pengukuran I Hasil pengukuran II Hasil pengukuran III Nilai rata-rata Baku mutu maksimum

48

0 1

2 3 Stasiun pengukuran

4

Gambar 10. Hasil pengukuran COD pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur. Konsentrasi rata-rata COD tertinggi pada stasiun 1 diduga disebabkan oleh besarnya kandungan bahan organik pada limbah yang berasal dari industri pakan ternak dan pakan udang di daerah hulu sungai dan sepanjang aliran sungai sebelum stasiun 1. Sedangkan pada stasiun 2 yang merupakan bagian Sungai Way Sulan Kecil sesaat setelah menerima limbah cair tapioka justru terjadi penurunan nilai rata-rata COD. Penurunan COD ini mengindikasikan bahwa limbah cair tapioka diduga memiliki pengaruh berupa pengenceran terhadap aliran Sungai Way Sulan Kecil yang telah tercemar limbah organik. Pengukuran COD air limbah menghasilkan nilai yang lebih rendah daripada stasiun 1, yaitu 124,33 mg/l (hasil pengukuran pada outlet IPAL PT. Florindo Makmur selama penelitian). Rendahnya nilai COD limbah dipengaruhi oleh suhu limbah yang termasuk kisaran optimum untuk pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan bakteri yang baik pada suhu optimum menyebabkan proses penguraian bahan organik oleh bakteri dapat berjalan efektif dan diperoleh hasil berupa penurunan COD (Suprawihadi, 2001). Efek pengenceran membantu daya pemulihan aliran sungai secara alami (self purification).

Penurunan COD pada stasiun 2 juga dapat terjadi karena bahan organik pada staiun 1 telah mengalami penguraian sebelum mencapai stasiun 2, sehingga pada stasiun 2 konsentrasinya telah berkurang. Masukan bahan organik dari limbah cair tapioka yang relatif lebih sedikit daripada stasiun 1, tidak menyebabkan konsentrasi bahan organik pada stasiun 2 melebihi konsentrasinya di stasiun 1. Kecenderungan penurunan nilai COD juga dialami oleh stasiun 3 dan 4 seiring dengan makin sedikitnya kandungan bahan organik yang didekomposisi, sehingga kebutuhan oksigen untuk reaksi penguraian bahan organik secara kimiawi berkurang. Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995, konsentrasi COD Sungai Way Sulan Kecil masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan untuk kualitas air golongan B. Demikian pula menurut Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup, COD limbah masih di bawah baku mutu yang ditetapkan untuk limbah cair tapioka. 5.1.9. BOD (Biochemical Oxygen Demand) BOD merupakan gambaran dari jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme dalam menguraikan (mendekomposisi) bahan organik. Nilai BOD rata-rata pada empat stasiun berkisar 31,33 – 57,33 mg/l. Nilai rata-rata BOD tertinggi terdapat pada stasiun 1, sedangkan BOD terendah pada stasiun 4. Hasil pengukuran BOD pada setiap stasiun diperlihatkan pada Gambar 11. 140

127

120 Hasil pengukuran

BOD (mg/l)

100

Hasil pengukuran II

80

80 57.33

60

47.00

40

40

40

33 23

20

6

0 1

32.00

31.33 23

Nilai rata-rata Baku mutu maksimum

11

9

5

Hasil pengukuran III

60 52

6

2 3 Stasiun pengukuran

6

6

4

Gambar 11. Hasil pengukuran BOD pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur.

Tingginya nilai BOD pada stasiun 1 diduga karena pengaruh limbah dari industri pakan ternak dan pakan udang yang terletak di hulu dan sepanjang aliran Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Limbah industri pakan ternak dan pakan udang merupakan polutan yang kaya bahan organik dan memiliki BOD tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai BOD Sungai Way Sulan Kecil. Penurunan nilai rata-rata BOD yang cukup besar, mencapai 10,33 mg/l, terjadi pada stasiun 2 walaupun stasiun ini merupakan bagian aliran sungai sesaat setelah mendapat masukan limbah cair tapioka. Kecenderungan penurunan BOD pada stasiun 2 diduga merupakan efek pengenceran dari limbah cair tapioka, dimana sebagian besar komponennya berupa air. Pada dasarnya, limbah tapioka saat baru dihasilkan memiliki tingkat BOD yang tinggi karena besarnya kandungan bahan organik. Menurut Effendi (1984) dalam Suprawihadi (2001), Total Organic Carbon pada limbah cair tapioka sebesar 1512,40 mg/l dan BOD limbah mencapai 198,25 mg/l. Namun dengan adanya treatment berupa penguraian (dekomposisi) oleh bakteri aerob dan anaerob dalam IPAL, maka BOD dapat diturunkan sehingga dinilai aman bagi lingkungan. Dugaan ini diperkuat dari hasil pengukuran BOD pada outlet limbah yang menunjukkan nilai BOD limbah cair tapioka lebih rendah daripada stasiun 1 yaitu 22 mg/l. Rendahnya nilai BOD limbah dipengaruhi oleh suhu limbah yang termasuk kisaran optimum untuk pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan bakteri yang baik pada suhu optimum menyebabkan proses penguraian bahan organik oleh bakteri dapat berjalan efektif dan diperoleh hasil berupa penurunan BOD (Suprawihadi, 2001). Penurunan BOD pada stasiun 2 menunjukkan bahwa limbah cair tapioka yang dibuang ke aliran Sungai Way Sulan Kecil memberi efek pengenceran terhadap air sungai yang telah tercemar limbah dengan nilai BOD relatif tinggi. Adanya masukan limbah yang sebagian besar komponennya berupa air menyebabkan penurunan konsentrasi bahan organik pada Sungai Way Sulan Kecil, sehingga kemampuan aliran sungai dalam memulihkan dirinya dari pencemaran secara alami (self purification) akan meningkat. Penurunan BOD pada stasiun 2 juga dapat terjadi karena bahan organik pada stasiun 1 telah mengalami penguraian sebelum mencapai stasiun 2, sehingga pada stasiun 2

konsentrasinya telah berkurang. Masukan bahan organik dari limbah cair tapioka yang relatif lebih rendah daripada stasiun 1, tidak menyebabkan konsentrasi bahan organik pada stasiun 2 melebihi konsentrasinya di stasiun 1. Nilai BOD kembali mengalami penurunan pada stasiun 3 dan 4. Penurunan ini diperkirakan karena berkurangnya bahan organik sehingga proses dekomposisi oleh mikroorganisme yang memerlukan oksigen berkurang. Stasiun 3 dan 4 disebut juga zona pemulihan (recovery). Penurunan BOD di stasiun 2 juga mengindikasikan bahwa pada stasiun tersebut merupakan zona aktif dekomposisi bagi aktivitas mikroorganisme dalam penguraian bahan organik yang terkandung dalam limbah cair tapioka. Pada kurva perubahan tipe kualitas air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw (1979), dapat dilihat bahwa zona aktif dekomposisi ditandai dengan penurunan kadar oksigen terlarut dalam air hingga mencapai konsentrasi paling rendah, serta BOD yang mulai mengalami sedikit penurunan akibat berkurangnya bahan organik yang didekomposisi oleh mikroorganisme. Kurva perubahan tipe kualitas air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw (1979) dapat dilihat pada Lampiran 15. Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 nilai rata-rata BOD pada empat stasiun pengamatan telah melampaui baku mutu kualitas air golongan B, dan hanya memenuhi baku mutu kualitas air golongan C pada SK tersebut. Sedangkan menurut Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 nilai rata-rata BOD pada limbah cair tapioka masih di bawah baku mutu yang ditetapkan. 5.1.10. Nitrat Nitrat mewakili produk akhir dari pengoksidasian zat yang bersifat nitrogen. Nitrogen di perairan terdapat dalam berbagai bentuk seperti gas (N2), nitrit (NO2-), nitrat (NO3-), ammonia (NH3) dan amonium (NH4+) serta sejumlah besar N yang berikatan dalam organik kompleks (APH, 1989 dalam Mayani, 2000). Berdasarkan hasil analisis, didapat kandungan rata-rata nitrat yang cukup tinggi pada seluruh stasiun pengamatan yaitu berkisar 0,35 – 0,83 mg/l. Menurut Effendi (2000) dalam Zola (2004) konsentrasi ini sudah melebihi yang dimiliki

perairan alami yang hanya 0,1 mg/l. Limbah cair tapioka merupakan salah satu limbah yang berpotensi besar menambah muatan nitrogen ke dalam perairan karena dalam ubi kayu terdapat kandungan protein mencapai 0,5 – 1,5%. Protein merupakan sengawa yang dibentuk oleh unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen sehingga apabila teroksidasi akan terbentuk senyawa nitrat. 12 10

10

10

10

10

Hasil pengukuran I Nitrat (mg/l)

8 Hasil pengukuran II 6

Hasil pengukuran III Nilai rata-rata

4

Baku mutu maksimum 2

1.41

1.1 0.42

0.46 0.66

0.56 0.83 0.51

0 1

1.19 0.11

0.02

2 3 Stasiun pengukuran

0.44

0.46

0.51 0.09

0.35

4

Gambar 12. Hasil pengukuran nitrat pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur. ` Pada Gambar 12 diperlihatkan bahwa kandungan nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 2 yang diduga disebabkan adanya masukan limbah yang mengandung nitrat dari industri tapioka. Pihak pabrik tapioka sendiri menyumbangkan nitrat sebesar 1,07 mg/l ke badan sungai (hasil analisis limbah pada outlet limbah). Peningkatan kadar nitrat mengindikasikan efisiensi dalam pembenahan air limbah (Mahida, 1984). Namun, bila nitrat di perairan terdapat dalam konsentrasi tinggi akan merangsang pertumbuhan ganggang yang tak terbatas sehingga air kekurangan oksigen terlarut dan mengakibatkan kematian bagi organisme akuatik yang tidak tahan dengan kondisi DO rendah (Alaerts dan Santika, 1984). Limbah organik berpotensi besar dalam meningkatkan konsentrasi nitrat di perairan. Pengaruh limbah organik terhadap konsentrasi nitrat di perairan Way Sulan Kecil juga dapat dilihat pada stasiun 1 dimana kandungan nitrat juga telah melebihi konsentrasi pada perairan alami. Tingginya kandungan nitrat pada

stasiun 1 diduga karena pengaruh limbah organik dari industri-industri di hulu dan sepanjang Sungai Way Sulan Kecil sebelum stasiun 1. Kandungan nitrat berangsur mengalami penurunan pada stasiun 3 dan 4. Penurunan kandungan nitrat terjadi karena pemanfaatan atau penyerapan nitrat oleh organisme akuatik, maupun pengendapan nitrat sehingga konsentrasinya pada perairan berkurang. Seperti yang dikemukakan Welch (1980) dalam Mayani (2000), pada umumnya fitoplankton memanfaatkan nitrogen anorganik seperti nitrat (NO3-N) dan ammonia ( NH3-N). Konsentrasi nitrat pada aliran Sungai Way Sulan Kecil masih memenuhi baku mutu kualitas air golongan B berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995, yaitu 10 mg/l. Sedangkan untuk konsentrasi nitrat dalam limbah cair tapioka tidak ditetapkan baku mutunya pada Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991. 5.1.11. Fosfat Fosfat merupakan salah satu faktor penting dalam perairan, meski hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Dalam air limbah, fosfat dapat berasal dari limbah penduduk, industri dan pertanian (Alaerts dan Santika, 1984). fosfat tidak bersifat toksik bagi organisme perairan. Namun bila kadar fosfat tinggi dan diikuti kadar nitrogen tinggi maka akan mendukung pertumbuhan alga secara berlebihan sehingga terjadi ledakan alga (algae bloom). Berdasarkan hasil pengukuran fosfat, diketahui kandungan rata-rata fosfat pada seluruh stasiun pengukuran yaitu 0,16 – 0,79 mg/l. Kisaran ini masih memenuhi kadar fosfat pada perairan alami. Menurut Boyd (1988) dalam Zola (2004) kadar fosfat perairan secara alami jarang melebihi 1 mg/l. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa terdapat kenaikan kadar fosfat dari stasiun 1 ke 2. Kenaikan kadar fosfat menandakan bahwa terdapat masukan limbah organik, dalam hal ini limbah cair tapioka. Menurut hasil pengukuran outlet limbah, limbah cair tapioka berkadar fosfat sebesar 1,29 mg/l (hasil pengukuran pada outlet IPAL PT. Florindo Makmur selama penelitian). Namun kadar fosfat kembali mengalami penurunan pada stasiun 3 dan 4. Penurunan ini biasanya disebabkan fosfor mengalami pengendapan bersama partikel lumpur sehingga unsur tersebut

menghilang dari badan air (Welch, 1980 dalam Mayani, 2000). Penurunan juga diduga terjadi karena adanya pemanfaatan fosfor oleh organisme akuatik seperti fitoplankton. 1.2

1.09

Pospat (mg/l)

1 0.79

0.8

0.55

0.6 0.4 0.2

Hasil pengukuran I

0.73

0.28 0.18

0.16

Hasil pengkuran II

0.57 0.49

0.21

0.42

Hasil pengukuran III

0.43

0.42

0.36

Nilai rata-rata

0.23

0.01

0 1

2 3 Stasiun pengukuran

4

Gambar 13. Hasil pengukuran fosfat pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur. Unsur fosfor dalam senyawa fosfat termasuk komponen yang sangat penting dan sering dipermasalahkan dalam air. Unsur ini berkaitan dengan esensial pertumbuhan ganggang dalam air karena bertindak sebagai nutrien yang dibutuhkan oleh ganggang, sehingga fosfor termasuk faktor pembatas dalam perairan. Menurut Alaerts dan Santika (1987), bila kadar fosfat dan nutrien lainnya tinggi akan menyebabkan pertumbuhan ganggang yang tak terbatas sehingga menghabiskan oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme air. Berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 tidak ditetapkan baku mutu konsentrasi fosfat untuk berbagai peruntukan air sungai. Demikian pula dalam Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 tidak ditentukan baku mutu fosfat pada limbah cair tapioka.

5.1.12. Sianida Sianida merupakan senyawa khas bersifat toksik yang terkandung dalam limbah industri yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan baku kegiatan produksinya. Sianida banyak terkandung dalam singkong beracun yang pada umumnya merupakan bahan dasar industri tapioka. Kadar rata-rata sianida pada perairan menurut hasil pengukuran selama waktu penelitian berkisar 0,002 – 0,08 mg/l. Kandungan sianida tertinggi terdapat pada stasiun 2 sedangkan kandungan terendah pada stasiun 4, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 14 0.18

0.17

0.16

Sianida (mg/l)

0.14

Hasil pengukuran I

0.12

0.06

0

Nilai rata-rata

0.05

Baku mutu maksimum

0.03

0.04 0.02

Hasil pengukuran III

0.08

0.08 0.06

Hasil pengukuran II

0.1

0.1

0.02 0.003 0.01 0.001

1

0.02 0.01

0.001 0.01 0.001

2 3 Stasiu n pe ngukuran

0.004 0.01 0.001 0.0010.002

4

Gambar 14. Hasil pengukuran sianida pada Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur. Konsentrasi sianida tertinggi pada stasiun 2 disebabkan masukan limbah cair tapioka yang mengandung sianida dengan kadar relatif tinggi, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi sianida di perairan Way Sulan Kecil. Hasil pengukuran pada outlet limbah menunjukkan bahwa kadar sianida limbah cair tapioka mencapai 0,09 mg/l, sehingga pada stasiun 2 terjadi peningkatan konsentrasi sianida yang cukup tinggi. Pada Gambar 14 diperlihatkan bahwa aliran sungai sebelum terkena limbah cair tapioka (stasiun 1) juga memiliki kandungan sianida relatif tinggi dan telah melampaui baku mutu maksimum yang diperbolehkan untuk kualitas air golongan B, yaitu 0.02 mg/l. Hal ini mengindikasikan bahwa aliran Sungai Way Sulan Kecil telah mendapat masukan limbah yang mengandung sianida sebelum mendapat masukan limbah cair tapioka. Bila dilihat dari jenis industri yang

terletak sebelum stasiun 1, diduga bahwa tingginya konsentrasi sianida pada stasiun 1 disebabkan oleh limbah industri pakan ternak dan pakan udang. Kandungan sianida pada limbah industri tersebut berasal dari bahan baku pembuatan pakan ternak dan pakan udang yang sebgaian besar komposisinya terdiri dari ubi kayu. Bahan baku pembuatan pakan ternak terdiri dari ubi kayu (tepung tapioka), jagung dan ikan, sedangkan bahan baku pembuatan pakan udang terdiri dari ubi kayu (tapioka), jagung, ikan dan kepala udang. Pada stasiun 3 dan 4 konsentrasi sianida mengalami penurunan yang relatif besar, bahkan kandungan sianida pada stasiun 4 telah berada di bawah baku mutu maksimum yang diperbolehkan. Besarnya penurunan konsentrasi sianida disebabkan karena sifatnya yang mudah menguap (volatil) pada suhu 25,70 0C (titik didih sianida). Jika dilihat dari suhu air yang telah melebihi titik didih sianida,

memungkinkan

terjadinya

penguapan

sianida

dan

penurunan

konsentrasinya di perairan. Menurut SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995, sianida pada Sungai Way Sulan Kecil (stasiun 1, 2 dan 3) telah melebihi baku mutu kualitas air golongan B. konsentrasi sianida pada stasiun 1 hanya memenuhi baku mutu kualitas air golongan C, sedangkan stasiun 2 dan 3 termasuk golongan D. Namun, pada stasiun 4 kadar sianida telah di bawah baku mutu kualitas air yang ditetapkan untuk perairan golongan B. Menurut Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991, konsentrasi sianida pada limbah masih di bawah baku mutu yang ditetapkan untuk limbah cair tapioka yaitu 0,5 mg/l. 5.2. Struktur Komunitas Makrozoobentos Hasil pengamatan makrozoobenthos di aliran Sungai Way Sulan Kecil menunjukkan bahwa telah ditemukan 26 jenis makrozoobenthos yang tergolong dalam phyllum Annelida dengan 2 kelas yaitu Oligochaeta (6 genus) dan Hirudinea (3 genus), phyllum Arthropoda dengan 6 kelas yaitu Coleoptera (3 genus), Copepoda (4 genus), Diptera (4 genus), Adonata, Ephemenoptera dan Hemiptera (masing-masing 1 genus), phyllum Aschelminyhes dengan 1 kelas yaitu Nematoda (1 genus), phyllum mollusca dengan 1 kelas yaitu

Bivalvia/Pelecypoda (1 genus) serta phyllum Platyhelminthes dengan 1 kelas yaitu Turbellaria (1 genus). Jumlah dan jenis rata-rata makrozoobenthos pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 10. 5.2.1. Kepadatan Secara

keseluruhan,

nilai

kepadatan

atau

kemelimpahan

makrozoobenthos pada keempat stasiun pengamatan berkisar 39 – 66 ind/m2. Kisaran kepadatan atau kemelimpahan benthos ini termasuk rendah, sesuai dengan yang dikemukakan Stolyarov (1995) dalam Zola (2004) bahwa kriteria tidak melimpah adalah 0 – 200 ind/m2, agak melimpah 200 – 500 ind/m2, melimpah 500 – 1000 ind/m2, sangat melimpah >1000 ind/m2. Kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun 1 sedangkan kepadatan terendah pada stasiun 2. Kepadatan makrozoobenthos pada masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 15.

Kepadatan (ind/m2)

70

66

63

64

60 50

39

Stasiun 1

40

Stasiun 2

30

Stasiun 3

20

Stasiun 4

10 0

Gambar 15. Kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan. Kondisi

lingkungan

perairan

sangat

mempengaruhi

kehidupan

organisme yang hidup pada lingkungan tersebut. Oleh karena itu, nilai kepadatan makrozoobenthos dapat digunakan untuk menggambarkan kualitas lingkungan perairan. Semakin buruk kualitas suatu perairan, maka kepadatannya akan semakin kecil, demikian pula jenisnya. Pada kualitas lingkungan yang semakin buruk, jenis makrozoobenthos yang ditemukan akan semakin sedikit karena hanya jenis-jenis yang mampu beradaptasi saja yang dapat bertahan.

Pada stasiun 1 yang memiliki kepadatan tertinggi diperkirakan bahwa stasiun ini kondisinya lebih baik daripada stasiun lainnya. Sebaliknya, stasiun 2 memiliki nilai kepadatan jauh lebih rendah daripada stasiun pengamatan lainnya. Demikian pula dengan jumlah jenisnya dimana pada stasiun 2 ditemukan jenis makrozoobenthos yang paling sedikit. Rendahnya nilai kepadatan dan sedikitnya jenis makrozoobenthos yang ditemukan pada stasiun 2, diperkirakan karena stasiun 2 merupakan bagian aliran Sungai Way Sulan Kecil yang mendapat tekanan paling besar terutama setelah menerima masukan limbah cair industri tapioka sehingga hanya jenis-jenis makrozoobenthos yang dapat beradaptasi dan memiliki toleransi tinggi terhadap tekanan pencemaran yang lebih tinggi saja yang dapat bertahan. Ristiono (2000) menyatakan bahwa apabila makrozoobenthos dapat beradaptasi dengan baik maka akan dapat bertahan dan sebaliknya. Kepadatan kembali meningkat pada stasiun 3 dan 4 dimana peningkatan ini diduga karena membaiknya kualitas perairan sehingga mendukung kehidupan biota air dan organisme yang berasosiasi. 5.2.2. Keseragaman, Dominansi, Keanekaragaman Hasil analisis indeks keseragaman, dominansi dan keanekaragaman pada setiap stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Nilai rata-rata indeks keseragaman, Dominansi dan Keanekaragaman Shannon Wiener pada setiap stasiun pengamatan No. 1. 2. 3.

Indeks Keanekaragaman (H’) Keseragaman (E) Dominansi (D)

1 2,25 0,83 0,16

Stasiun

2 1,58 0,60 0,33

3 1,63 0,60 0,33

4 2,04 0,75 0,20

Perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada seluruh stasiun pengamatan menunjukkan kisaran 1,58 – 2,25 (Tabel 12). Menurut Wilhm et al. (1975) dalam Mason (1981) kisaran indeks keanekaraman Shannon-Wiener pada seluruh stasiun menunjukkan bahwa keanekaragaman makrozoobenthos, penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitasnya termasuk dalam kategori sedang. Bila dihubungkan dengan tingkat pencemaran, maka menurut Wilhm dan Doris (1968) dalam Wilhm (1975), kualitas Sungai Way

Sulan Kecil pada seluruh titik pengamatan termasuk dalam kategori tercemar sedang. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada stasiun 1 menunjukkan bahwa telah terjadi pencemaran pada bagian aliran sungai sebelum mendapat masukan limbah cair tapioka yang diduga disebabkan beban limbah dari industriindustri sebelum stasiun 1. Melalui

indeks

keanekaragaman

Shannon-Wiener

dapat

dilihat

penurunan kualitas perairan sebagai dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair industri tapioka. Penurunan kualitas perairan tersebut ditunjukkan oleh penurunan indeks keanekaragaman makrozoobenthos yang cukup besar dari stasiun 1 ke stasiun 2 hingga merupakan indeks yang paling rendah dari stasiun-stasiun lainnya. Nilai keanekaragaman Shannon-Wiener yang kembali meningkat pada stasiun 3 dan 4. Hal tersebut diduga karena terjadi perbaikan kondisi lingkungan perairan (sifat fisik-kimia air). Terjadinya pencemaran di Sungai Way Sulan Kecil juga dapat dilihat dari keberadaan beberapa spesies makrozoobenthos yang berperan sebagai indikator pencemaran perairan. Makrozoobenthos indikator tersebut antara lain: cacing Tubificidae, Muscullium sp, Diptera dan Chironomidae yang memiliki sifat toleran dan sangat tahan terhadap bahan pencemar. Selain itu juga ditemukan makrozoobenthos yang termasuk Crustacea (Copepoda), Coleoptera dan Ephemenoptera yang memiliki ketahanan sedang terhadap pencemaran (Wilhm, 1975). Indeks keseragaman (E) secara umum memiliki kisaran 0 – 1, dimana nilai E yang semakin mendekati satu berarti bahwa komunitas memiliki keseragaman jenis yang semakin tinggi. Sebaliknya, nilai E yang semakin mendekati nol menggambarkan sebaran individu yang tidak merata dan diperkirakan terjadi dominansi dari sekelompok jenis tertentu yang telah mampu beradaptasi dengan lingkungan perairan yang telah tercemar. Hasil perhitungan nilai E pada seluruh stasiun pengukuran berkisar 0.60 – 0.83 (Tabel 12). Kisaran indeks keseragaman pada stasiun 1 dan 4 termasuk tingkat keseragaman jenis tinggi. Sedangkan stasiun 2 dan 3 memiliki indeks keseragaman yang sama dan digolongkan ke dalam tingkat keseragaman jenis sedang. Besarnya indeks keseragaman dipengaruhi oleh indeks dominansi. Seperti yang dikemukakan

Odum (1993) bahwa indeks dominansi yang semakin kecil akan meningkatkan indeks kemerataan. Berdasarkan Tabel 13, dapat pula dilihat bahwa indeks dominansi (D) pada empat stasiun pengamatan berkisar antara 0,16 – 0,33. Nilai tersebut menunjukkan dominansi dalam derajat yang rendah oleh satu atau sekelompok jenis makrozoobenthos. 5.3. Beban Pencemaran Industri Tapioka PT. Florindo Makmur terhadap Sungai Way Sulan Kecil. Beban pencemaran industri tapioka yang dimaksud adalah besarnya massa limbah, khususnya dalam bentuk parameter pencemar air seperti BOD, COD, padatan tersuspensi (TSS) dan padatan terlarut (TDS). Beban pencemaran industri tapioka hasil perhitungan menggunakan faktor konversi beban limbah seperti yang disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur Kapasitas produksi 21000 ton/th

BOD

Beban pencemar COD TSS TDS

Satuan

281400

458430

203700

888300

kg/th

8923,1

14536,7

6459,3

28167,8

mg/dt

Volume limbah 432.525 m3/th 13,72 l/dt

Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa beban pencemaran terbesar dari limbah cair industri tapioka adalah padatan terlarut (TDS), sedangkan beban pencemaran terkecil adalah padatan tersuspensi (TSS). Besarnya beban pencemaran berupa TDS disebabkan kandungan karbohidrat berupa pati yang terlarut dan kotoran lainnya pada limbah cair tapioka. Selain itu seperti limbah organik lainnya, limbah cair tapioka juga mengandung nitrat dan fosfat yang merupakan TDS limbah. Jika dihitung berdasarkan kondisi debit Sungai Way Sulan Kecil, besarnya kontribusi pencemaran PT. Florindo makmur terhadap Sungai Way Sulan Kecil adalah sebagai berikut: TDS sebesar 53,65 mg/l, TSS sebesar 229,30 mg/l, BOD sebesar 316,76 mg/l dan COD sebesar 516,03 mg/l. Contoh perhitungan beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Perhitungan beban pencemaran industri tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil No. a b c d.

Kapasitas produksi Faktor konversi Beban limbah Konversi beban limbah

e.

Debit limbah f. Konsentrasi pencemar (a) g. Debit limbah pada outlet*) h. Konsentrasi pencemar (b) Keterangan :

Satuan ton/th

Nilai

BOD

COD

TSS

TDS

21000

-

-

-

-

13.4

21.83

9.7

42.3

28140 0 8923.1

458430

203700

888300

14536.7

6459.3

28167.8

-

-

-

-

650.37

1059.53

470.79

2053.05

-

-

-

-

316.8

516

229.3

999.9

kg/ton a x b (kg/th) c x 1000000 x 1/(365 x 24 x 60 x 60) mg/dt liter/dt

13.72

d/e (mg/l) liter/dt

28.17

*) debit limbah rata-rata pada outlet IPAL yang diukur pada saat penelitian. (a) Konsentrasi pencemar pada debit menurut volume limbah yang dihasilkan PT. Florindo Makmur. (b) Konsentrasi pencemar pada debit hasil pengukuran. Dalam memperkirakan beban pencemaran PT. Florindo Makmur terhadap Sungai Way Sulan Kecil juga dihitung konsentrasi pencemar pada zona percampuran (mixing zone). Mixing zone yang dimaksud adalah bagian perairan sesaat setelah menerima limbah cair tapioka dan diperkirakan limbah telah mengalami percampuran dengan air sungai. Pada penelitian ini, yang dimaksud mixing zone adalah stasiun 2. Hasil selengkapnya mengenai konsentrasi beban limbah pada zona percampuran (mixing zone) disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Konsentrasi beban pencemaran pada zona percampuran (mixing zone) No.

Metode Beban Limbah (mg/l) Pendugaan TDS TSS BOD COD Nitrat Fosfat Sianida Konsentrasi 1. Pengukuran 643,33 143,8 47 149,33 0,83 0,79 0,08 langsung 2. Model pengenceran 149,14 153,35 55,53 183,17 0,68 0,22 0,07 sungai (mixing zone) 3. Perhitungan hasil 53,65 229,30 316,76 516,03 faktor konversi Besarnya konsentrasi beban limbah pada zona percampuran diduga

menggunakan tiga metode, yaitu: pengukuran secara langsung di lapangan, menggunakan rumus model pengenceran sungai (mixing zone) dan dengan perhitungan beban limbah hasil faktor konversi. Pada Tabel 15 dapat dilihat perbedaan hasil perhitungan dari masing-masing metode pendugaan konsentrasi beban limbah di zona percampuran. Konsentrasi beban limbah melalui pengukuran langsung menunjukkan hasil relatif tidak jauh berbeda dibandingkan dengan konsentrasi yang diperoleh dari perhitungan menggunakan model pengenceran sungai. Namun pendugaan konsentrasi beban limbah menggunakan hasil perhitungan faktor konversi menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan kedua metode lainnya. Perbedaan konsentrasi beban limbah yang diperoleh melalui pengukuran langsung, dengan perhitungan menggunakan model pengenceran sungai disebabkan oleh pengaruh eksternal maupun internal perairan. Pengaruh tersebut dapat berupa pengendapan, penguraian, maupun masukan dari sekitar sungai yang terjadi pada saat aliran air sungai dari stasiun 1 menuju stasiun 2, serta aliran limbah dari outlet (lokasi pengukuran) sampai stasiun 2. Sedangkan perbedaan pendugaan konsentrasi dengan perhitungan beban limbah hasil faktor konversi dikarenakan konsentrasi tersebut merupakan beban limbah rata-rata selama satu tahun.

Besarnya konsentrasi beban limbah dipengaruhi oleh debit sungai (stasiun 2) yang mengalami fluktuasi sesuai musim kemarau dan penghujan. Pada penelitian ini, perhitungan konsentrasi beban limbah dengan faktor konversi hanya menggunakan debit sesaat bukan debit rata-rata tahunan, sehingga mempengaruhi hasilnya. Bila dibandingkan dengan kedua metode lainnya, perhitungan konsentrasi beban limbah dengan hasil faktor konversi menunjukkan hasil yang lebih besar kecuali nilai TDS. Hal ini disebabkan curah hujan yang masih cukup tinggi sehingga debit air sungai menjadi relatif besar dan konsentrasi beban limbah menjadi lebih kecil, walaupun pada saat dilakukan pengukuran merupakan musim kemarau. Dalam hal ini, curah hujan berperan dalam mempengaruhi besarnya dampak limbah cair tapioka terhadap Sungai Way Sulan Kecil. Hal tersebut dikarenakan dampak yang disebabkan limbah tidak hanya ditentukan dari sifat toksisitas dan volume limbah saja, melainkan juga dari konsentrasi limbah. Masukan air hujan dapat memberikan efek pengenceran terhadap limbah sehingga konsentrasinya menjadi lebih kecil dan dampak yang ditimbulkan juga menjadi relatif berkurang. Dari hasil perhitungan beban pencemaran dapat diketahui bahwa beban pencemaran yang ditimbulkan oleh industri tapioka PT. Florindo Makmur relatif besar. Sehingga untuk mencegah pencemaran lingkungan akibat besarnya beban pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah industri tapioka, maka perlu diterapkan teknologi pengolahan limbah yang efisien dan representatif.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Kondisi kualitas Sungai Way Sulan Kecil di Sub DAS Way Sulan, DAS Sekampung dari hulu ke hilir menurut sifat fisik dan kimia air telah mengalami pencemaran. Limbah cair industri tapioka turut menimbulkan dampak pada sifat fisik kimia air Sungai Way Sulan Kecil berupa peningkatan nilai warna, suhu air, kekeruhan, TDS, pH, nitrat, fosfat dan sianida, serta penurunan TSS, DO, BOD dan COD. 2. Kualitas fisika-kimia perairan Sungai Way Sulan Kecil tidak memenuhi persyaratan baku mutu kualitas air golongan B pada Surat Keputusan Gubernur Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengukuran DO yang berada di bawah baku mutu minimum serta BOD dan kadar sianida yang melebihi baku mutu maksimum yang ditetapkan untuk kualitas air sungai golongan B. Kualitas air Sungai Way Sulan Kecil di titiktitik pengukuran hanya memenuhi peruntukan baku mutu golongan C (stasiun 1 dan 4) dan D (stasiun 2 dan 3). 3. Kepadatan makrozoobentos pada seluruh stasiun termasuk rendah (tidak melimpah), yaitu 39 – 66 ind/m2. Indeks keseragaman berkisar 0,60 – 0,83 (kategori sedang sampai tinggi) dan indeks dominansi berkisar 0,16 – 0,33 (dominansi rendah). Sedangkan menurut indeks keanekaragaman ShannonWiener, tingkat pencemaran disemua stasiun adalah sama, yaitu tercemar sedang dengan H’ berkisar 1,58 – 2,25. 4. Beban pencemaran pabrik tapioka PT. Florindo Makmur ke Sungai Way Sulan Kecil yaitu BOD sebesar 281400 kg/th atau 8923,1 mg/dt, COD sebesar 458430 ton/th atau 14536,7 mg/dt, SS sebesar 203700 kg/dt atau 6459 mg/dt dan TDS sebesar 888300 kg/dt atau 28167,8 mg/dt.

6.2. Saran 1. Perlu diadakan unit instalasi pengolahan limbah cair yang lebih representatif dengan teknologi modern pada industri tapioka PT. Florindo Makmur. Hal tersebut mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan limbah industri tapioka tersebut terhadap lingkungan perairan dan teknologi pengolahan limbah cair yang masih sangat sederhana. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak limbah cair industri tapioka terkait efek pengenceran limbah tersebut terhadap konsentrasi BOD dan COD di Sungai Way Sulan Kecil yang telah tercemar limbah organik.

DAFTAR PUSTAKA

Alaerts G, dan Santika SS. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. Bapedalda Propinsi Lampung. 2003. Laporan Akhir Penyusunan Teknis Desain Pengelolaan Limbah Terpadu Teluk Lampung. (tidak dipublikasikan) __________________________. 2004. Teknis Analisis Pencemaran Air Sungai. Kabupaten Lampung Selatan. (tidak dipublikasikan) Fardiaz, S. 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Fitriyana, I. 2004. Kualitas Perairan Sungai Citarum Berdasarkan Indeks Kualitas Air dan Indeks Biotik. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan) Goldman, C. R. dan A. J. Horne. 1983. Limnology. McGrow-Hill Book Company. Heriyati. 2001. Kajian Terhadap Pengolahan Air Limbah PT. Indonesia Synthetic Textile Mills, Tangerang, Banten. Skripsi. Program Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan) Husin, Y. A. dan K. Eman. 1991. Metoda dan Teknik Analisa Kualitas Air. Kursus Dasar dan Penyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian IPB. Bogor. Iskandar. 1995. Struktur Komunitas makrozoibentos di Kawasan Pandu Tambak Inti Rakyat Karawang Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan) Kantor Menteri Negara KLH. 1988. Pedoman Baku Mutu Lingkungan. Nomor Kep-02/MENKLH/I/1988. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Klein, L. 1971. River Pollution. Volume I. Butterworth. London. Kompas.

2002. Industri di Lampung Cemari Lingkungan. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0202/21/daerah/indu19.htm. Dikunjungi tanggal 26 Desember 2004.

Kusmana, C. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Rajawali Press. Jakarta. Maranti. I. 2005. Indeks Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos Sebagai Indikator Pencemaran di DAS Way Sekampung pada Musim Kemarau. Skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Lampung. Lampung. (tidak dipublikasikan) Mason, C. F. 1981. Biology of Fresh Water Pollution. Longman. London and New York. Mayani, I. 2000. Kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan Unsur Hara dan P serta Struktur Komunitas Fitoplankton di Situ Citayam, Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Program Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan) Nemerow, N. L. 1991. Stream, Lake, Estuary, and Ocean Pollution. Second Edition. Van Nostrand Reinhold. New York. Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Penerjemah: Samingan, T. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air dan Lingkungan. Perdani, V. 2001. Evaluasi Kualitas Air dan Komunitas Makrozoobenthos pada Sungai Cileungsi-Bekasi di Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan) Persoone, G. dan N. De Pauw. 1979. Systems of Biological for Water Quality Assessment in O. Ravera (Ed) Biological Aspects of Freshwater Pollution : Proceedings of The Course held at London. Pergamon Press. Oxford. Roby, A. 2003. Gadung, HCN dan Penyebabnya. http://www.indomedia.com/ sripo/2003/10/06/0610op1.htm. Dikunjungi tanggal 10 Mei 2005. Ristiono. 2002. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Tingkat Pencemaran Perairan Batang Lembang Solok. Eksakta Berkala Ilmiah FMIPA. Universitas Negeri Padang. Saeni, M. S. 1989. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ditjen Pendidikan Tinggi. PAU (Ilmu Hayati) IPB. Bogor.

Sembiring, S. 1995. Pengaruh Perubahan Penutupan Vegetasi Terhadap Fluktuasi Debit dan Sedimentasi pada Sub DAS Cijambu Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan) Sukamto. 1998. Studi Peningkatan Kualitas Limbah Cair Industri Tapioka Secara Katalitik. Skripsi. Jurusan Kimia. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lampung. (tidak dipublikasikan) Suprawihadi, R. 2001. Pengolahan Limbah Cair Tapioka dengan Sistem Kombinasi Biofilter Anaerob-Aerob Aliran ke Atas dan Aspek Kesehatan Masyarakatnya. Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Program Pasca Sarjana. Universitas Indonesia. Jakarta. (tidak dipublikasikan) Suriani, N. 2000. Tingkat Pencemaran Sungai Badung Bagian Hilir Ditinjau dari Sifat Fisiko-Kimia dan Jenis Hewan Makrobentos di Denpasar Selatan, Bali. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan) Sutamihardja, R. T. M. 1983. Water Pollution. In UNESCO-BIOTROP Training Seminar in Environmental Science and Management. SEAMEOBIOTROP. Bogor. Sutamihardja, R.T. M. dan Y. A. Husin. 1983. Water Pollution Analysis Technique. In UNESCO-BIOTROP Training Seminar in Environmental Science and Management. SEAMEO-BIOTROP. Bogor. Sutomo. 1999. Eko-Tipologi Komunitas Zooplankton di Perairan Pesisir PLTU Muara Karang serta Kaitannya dengan Limbah Panas. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan) Udayana, D. 1997. Penentuan Beban Pencemaran dan Status Kualitas Perairan Sungai Karang Mumus Akibat Buangan Bahan Organik. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Wibisono, M. 2001. Struktur Komunitas Phytoplankton Laut di Sekitar Pulau Karimun Kecil Kepulauan Riau. Lembaran Publikasi Lemigas. Vol 39 (3). Widiastuty, S. 2001. Dampak Pengelolaan Limbah Cair PT Pupuk Sriwidjaja Terhadap Kualitas Air Sungai Musi Kotamadya Palembang. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan) Wilhm, J. F. 1975. Biological Indicator of Pollution in B. A. Whitton, (Ed). River Ecology. Blackwell Sci Publ. London. Wiryawan, B., B. Marsden, H. A. Susanto, A. K. Mahi, M. Ahmad, H. Poespitasari (Ed). 1999. Atlas Sumberdaya Pesisir Lampung. Kerjasama Pemda Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir. Bandar Lampung.

Zola, E. 2004. Makrozoobentos sSebagai Bio-Sensor Pencemaran Sungai di Sekitar Tempat Pembuangan Air Olahan Limbah Cair RSUD Serang. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Lampung. Bandar Lampung. (tidak dipublikasikan)

Lampiran 1. Hasil analisis sifat fisik kimia air Sungai Way Sulan Kecil di sekitar outlet limbah PT. Florindo Makmur Stasiun Ulangan keWarna Suhu Kekeruhan TDS (Ptco) (°°C) (NTU) (mg/l) I

II

III

IV

Outlet

1 10 2 3 3 1.5 Rata-rata 4.8 1 30 2 8 3 5.2 Rata-rata 14.4 1 28

27.2 29.5 33.5 30.1 28.2 35.4 31.9 31.8 27

46 0.3 0.1 15.47 48 0.82 3.6 17.47 39

86 148 128 120.67 303 702 925 643.33 162

21.4 157 285 154.47 28.4 95 308 143.80 20.31

Parameter/Satuan PH DO BOD COD Nitrat (mg/l) (mg/l (mg/l) (mg/l) ) 7.5 3.6 127 351 1.1 6.4 3 5 16 0.42 5.76 2.7 40 192 0.46 6.55 3.10 57.33 186.33 0.66 8.44 3.2 52 104 1.41 6.64 2.6 9 184 0.56 5.88 2.5 80 160 0.51 6.99 2.77 47.00 149.33 0.83 7.74 4.1 40 144 1.19

2 3 Rata-rata 1 2 3 Rata-rata

7 2.3 11.7 25 5 1.7 10.6

35.4 31.3 31.2 26.6 31.2 29.7 29.2

0.78 3.85 14.54 37 1.08 3.3 13.79

699 854 571.67 158 526 745 476.33

27 283 110.10 17.53 63 286 122.18

6.56 5.86 6.72 7.77 6.52 5.88 6.72

2.4 2.4 2.97 3.4 2.9 2.8 3.03

1 2 3 Rata-rata

29 11 4.8 15

29 35.5 32.4 32.3

49.2 1.21 4.5 18.30

319 719 1001 679.67

17.3 35 345 132.43

7.5 6.7 5.93 6.71

3.9 3.1 2.9 3.3

TSS (mg/l)

23 32 33 112 32.00 96.00 23 62 11 48 60 144 31.33 84.67 25 19 22 22

112 181 80 124.33

Fosfat Sianida (mg/l) (mg/l) 0.18 0.01 0.28 0.16 0.73 1.09 0.55 0.79 0.21

0.001 0.003 0.06 0.02 0.05 0.02 0.17 0.08 0.001

0.11 0.02 0.44 0.46 0.51 0.09 0.35

0.49 0.57 0.42 0.23 0.42 0.43 0.36

0.001 0.1 0.03 0.001 0.004 0.001 0.002

1.7 0.9 0.6 1.07

1.09 1.3 1.47 1.29

0.14 0.013 0.11 0.09

Kec. Arus (m/dt) 0.6 0.8 0.7 0.7 0.8 0.9 0.9 0.87 0.5

Debit (l/dt)

0.7 0.6 0.6 0.4 0.4 0.4 0.4 -

612.5 525 525 174 174 174 174 26.9

-

27.8 29.8 28.17

450 600 525 525 600 675 675 652.5 437.5

Lampiran 2. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 1 No Phylum

Kelas

Famili

1 Annelida 2 Annelida

Oligochaeta Chaestogaster Oligochaeta Aelosomatidae

3 4 5 6 7

Annelida Annelida Annelida Annelida Arthropoda

Oligochaeta Oligochaeta Hirudinea Hirudinea Coleoptera

Naididae Tubificidae Helobdella Hirudinidae Chrysanelidae

8 Arthropoda 9 Arthropoda 10 Arthropoda 11 Arthropoda 12 Arthropoda 13 Arthropoda 14 Aschelminthes 15 Mollusca Jumlah

Coleoptera Copepoda Diptera Diptera Diptera Hemiptera Nematoda Bivalvia

Dytiscidae Senecellidae Daphniidae Chironomidae Heleidae Belostomatidae Rhabditidae Cyrenidae

Keterangan n1 : n2 : n3 : ni :

Jumlah Makrozoobentos Sub Stasiun 1a Sub Stasiun 1b Sub Stasiun 1c ni n1 n2 n3 na n1 n2 n3 nb n1 n2 n3 nc 7 5.00 5 7 4.00 6 6 9 7.00 5.33 Troglochaetus beranecki sp 4 4 16 18 11.33 12 4.00 12 15 9.00 8.11 Aelosoma sp Pristina barbata sp 4 1.33 6 2.00 1.11 3 1.00 5 1.67 3 1.00 1.22 Tubifex sp 1 2 1.00 2 2 1.33 0.78 Cambarincola sp 3 1.00 3 1.00 0.67 Gnathobdellida sp 3 1.00 2 0.67 0.56 Donacia sp Dytiscus sp 3 1.00 3 1.00 0.67 3 1.00 3 1.00 0.67 Senecella sp 2 1 1.00 2 2 1.33 0.78 Daphnia sp 1 9 3.33 5 1.67 3 6 3.00 2.67 Pentanaura sp 3 2 1.67 3 1 1.33 1.00 Dasyhelea sp 4 1.33 3 1.00 0.78 Belostoma sp 2 0.67 5 1.67 1 3 1.33 1.22 Rhabditis sp 2 0.67 4 1.33 1 2 1.00 1.00 Musculium sp Genus

10 34

: Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu pertama Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu kedua Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu ketiga Jumlah rata-rata makrozoobentos stasiun 1

35 26.33 3 28 36 22.33 16 37 40 31.00 26.56

Lampiran 3. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 2 No Phylum 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Kelas

Annelida Annelida Annelida Annelida Annelida Annelida Arthropoda Arthropoda Arthropoda Arthropoda Arthropoda Arthropoda Aschelminthes

14 Mollusca Jumlah

Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Hirudinea Diptera Diptera Diptera Copepoda Copepoda Coleoptera Nematoda Bivalvia (pelecypoda)

Jumlah Makrozoobentos Sub Stasiun 2a Sub Stasiun 2b Sub Stasiun 2c n1 n2 n3 na n1 n2 n3 nb n1 n2 n3 nc Chaestogaster Troglochaetus beranecki sp 3 7 1 3.67 3 9 23 11.67 3 6 17 8.67 Aelosomatidae Aelosoma sp 12 13 8.33 1 3 1.33 5 3 2.67 Naididae 5 1.67 Pristina barbata sp Ophiodonaisserpentina sp 2 1 1.00 Tubificidae 4 1.33 Tubifex sp Hirudinidae 1 0.33 Gnathobdellida sp Heleidae 2 0.67 2 0.67 Dasyhelea sp Daphniidae 2 0.67 2 0.67 Daphnia sp Chironomidae Symbiocladius sp 1 0.33 Senecellidae Senecella sp 1 0.33 Photidae 2 0.67 Leptoceros sp Helodidae 1 0.33 Scirtes sp Rhabditidae 1 0.33 1 1 0.67 Rhabditis sp

8.00 4.11 0.56 0.33 0.44 0.11 0.44 0.44 0.11 0.11 0.22 0.11 0.33

Cyrenidae

0.44

Famili

Genus

2

Musculium sp

Keterangan :

0.67

2

0.67

3 21 17 13.67 5 18 33 18.67

n1

:

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu pertama

n2

:

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu kedua

n3

:

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu ketiga

ni

:

Jumlah rata-rata makrozoobentos stasiun 2

5 17 23 15.00

ni

15.78

Lampiran 4. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 3 No Phylum

Kelas

Famili

1 Annelida 2 Annelida 3 Annelida 4 Annelida 5 Annelida 6 Arthropoda 7 Arthropoda 8 Arthropoda 9 Arthropoda 10 Arthropoda 11 Arthropoda 12 Arthropoda 13 Arthropoda 14 Aschelminthes 15 Platyhelminthes Jumlah

Oligochaeta Chaestogaster Oligochaeta Aelosomatidae Oligochaeta Tubificidae Oligochaeta Naididae Hirudinea Helobdella Coleoptera Dytiscidae Copepoda Diaptomidae Copepoda Cyclopidae Adonata Agriidae Ephemenoptera Potomanthidae Diptera Heleidae Diptera Daphniidae Diptera Chironomidae Nematoda Rhabditidae Turbellaria

Jumlah Makrozoobentos Sub Stasiun 3a Sub Stasiun 3b Sub Stasiun 3c n1 n2 n3 na n1 n2 n3 nb n1 N2 n3 nc Troglochaetus beranecki sp 2 12 41 18.33 5 3 26 11.33 2 6 21 9.67 12 3 5.00 12 5 5.67 10 5 5.00 Aelosoma sp 2 6 2.67 3 1.00 Tubifex sp 6 2.00 7 2.33 Pristina barbata sp 2 0.67 Cambarincola sp 2 0.67 Dytiscus sp 3 1.00 1 0.33 Dioptomus sp 2 0.67 Cyclops sp 2 0.67 Enallagma sp 2 0.67 Potamanthus sp 2 0.67 4 1.33 3 1.00 Dasyhelea sp 3 1.00 Daphnia sp 3 1.00 1 0.33 Symbiocladius sp 1 2 1.00 Rhabditis sp 3 1.00 Dugesia sp Genus

Keterangan :

4 29

58 30.33 11 20 40 23.67

n1

:

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu pertama

n2

:

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu kedua

n3

:

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu ketiga

ni

:

Jumlah rata-rata makrozoobentos stasiun 3

5 17

41

21.00

ni 13.11 5.22 1.22 1.44 0.22 0.22 0.44 0.22 0.22 0.22 1.00 0.33 0.44 0.33 0.33 25.00

Lampiran 5. Jenis dan jumlah makrozoobentos stasiun 4 No

Phylum

Kelas

1 Annelida 2 Annelida

Oligochaeta Oligochaeta

3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Hirudinea Amphipoda Copepoda Copepoda Coleoptera Diptera Diptera Diptera Nematoda Turbellaria

Annelida Annelida Annelida Annelida Arthropoda Arthropoda Arthropoda Arthropoda Uniramida Uniramida Uniramida Aschelminthes Platyhelminthes

Keterangan :

Jumlah Makrozoobentos Famili Genus Sub Stasiun 4a Sub Stasiun 4b Sub Stasiun 4c n1 n2 n3 na n1 n2 n3 nb n1 n2 n3 nc Chaestogaster 2.33 11 9 5 8.33 Troglochaetusberanecki sp 8 16 17 13.67 7 Aelosomatidae Aelosoma sp 16 17 11.00 13 8 7.00 8 7 5.00 Tubifex sp Tubificidae 3 1.00 3 1.00 1 2 1.00 Naididae 3 8 3.67 Pristina barbata sp Branchiobdellida Branchiobdellida sp 6 2.00 Ichthyobdellidae Piscicola punctata sp 2 0.67 Photidae 2 4 2.00 5 1.67 Leptoceros sp Cyclopidae 5 1.67 Cyclops sp Diaptomidae 4 1.33 Dioptomus sp Dytiscidae 4 1.33 Dytiscus sp Chironomidae 5 1.67 5 1.67 Pentanaura sp Heleidae 3 1.00 Dasyhelea sp Daphniidae 2 5 2.33 Daphnia sp Rhabditidae 6 2.00 2 2 1.33 Rhabditis sp 4 1.33 2 1 1.00 Dugesia sp 16 44 47 35.67 21 18 14 17.67 11 25 35 23.67

n1

:

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu pertama

n2

:

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu kedua

n3

:

Jumlah makrozoobentos yang ditemukan pada minggu ketiga

ni

:

Jumlah rata-rata makrozoobentos stasiun 3

ni 8.11 7.67 1.00 1.22 0.67 0.22 1.22 0.56 0.44 0.44 1.11 0.33 0.78 1.11 0.78 25.67

Lampiran 6. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 1 No Phylum 1 Annelida 2 Annelida 3 Annelida 4 Annelida 5 Annelida 6 Annelida 7 Arthropoda 8 Arthropoda 9 Arthropoda 10 Arthropoda 11 Arthropoda 12 Arthropoda 13 Arthropoda 14 Aschelminthes 15 Mollusca Jumlah

Keterangan :

Kelas Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Hirudinea Hirudinea Coleoptera Coleoptera Copepoda Diptera Diptera Diptera Hemiptera Nematoda Bivalvia (pelecypoda)

Famili Chaestogaster Aelosomatidae Naididae Tubificidae Helobdella Hirudinidae Chrysanelidae Dytiscidae Senecellidae Daphniidae Chironomidae Heleidae Belostomatidae Rhabditidae Cyrenidae

Genus Troglochaetus beranecki sp Aelosoma sp Pristina barbata sp Tubifex sp Cambarincola sp Gnathobdellida sp Donacia sp Dytiscus sp Senecella sp Daphnia sp Pentanaura sp Dasyhelea sp Belostoma sp Rhabditis sp Musculium sp

ni 5.33 8.11 1.11 1.22 0.78 0.67 0.56 0.67 0.67 0.78 2.67 1.00 0.78 1.22 1.00

K 13.33 20.28 2.78 3.06 1.94 1.67 1.39 1.67 1.67 1.94 6.67 2.50 1.94 3.06 2.50

26.56

66.39

ni/N 0.20 0.31 0.04 0.05 0.03 0.03 0.02 0.03 0.03 0.03 0.10 0.04 0.03 0.05 0.04

H 0.32 0.36 0.13 0.14 0.10 0.09 0.08 0.09 0.09 0.10 0.23 0.12 0.10 0.14 0.12

E 0.12 0.13 0.05 0.05 0.04 0.03 0.03 0.03 0.03 0.04 0.09 0.05 0.04 0.05 0.05

D 0.04 0.09 0.002 0.002 0.001 0.001 0.0004 0.001 0.001 0.001 0.01 0.001 0.001 0.002 0.001

2.25

0.83

0.16

ni

: Jumlah makrozoobentos setiap jenis (Individu)

H’

: Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener

N

: Jumlah total mkrozoobentos

E

: Indeks Keseragaman

K

: Kepadatan (individu/m2)

D

: Indeks Dominansi

Lampiran 7. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 2 No Phylum 1 Annelida 2 Annelida 3 Annelida 4 Annelida 5 Annelida 6 Annelida 7 Arthropoda 8 Arthropoda 9 Arthropoda 10 Arthropoda 11 Arthropoda 12 Arthropoda 13 Aschelminthes 14 Mollusca Jumlah

Kelas Famili Oligochaeta Chaestogaster Oligochaeta Aelosomatidae Oligochaeta Naididae Oligochaeta Oligochaeta Tubificidae Hirudinea Hirudinidae Diptera Heleidae Diptera Daphniidae Diptera Chironomidae Copepoda Senecellidae Copepoda Photidae Coleoptera Helodidae Nematoda Rhabditidae Bivalvia (pelecypoda) Cyrenidae

Genus Troglochaetus beranecki sp Aelosoma sp Pristina barbata sp Ophiodonais serpentina sp Tubifex sp Gnathobdellida sp Dasyhelea sp Daphnia sp Symbiocladius sp Senecella sp Leptoceros sp Scirtes sp Rhabditis sp Musculium sp

Keterangan : ni N K H’ E D

:

: : : : :

Jumlah makrozoobentos setiap jenis (Individu) Jumlah total mkrozoobentos Kepadatan (individu/m2) Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener Indeks Keseragaman Indeks Dominansi

ni 8.00 4.11 0.56 0.33 0.44 0.11 0.44 0.44 0.11 0.11 0.22 0.11 0.33 0.44

K 20.00 10.28 1.39 0.83 1.11 0.28 1.11 1.11 0.28 0.28 0.56 0.28 0.83 1.11

15.78

39.44

ni/N 0.51 0.26 0.04 0.02 0.03 0.01 0.03 0.03 0.01 0.01 0.01 0.01 0.02 0.03

D

H 0.34 0.35 0.12 0.08 0.10 0.03 0.10 0.10 0.03 0.03 0.06 0.03 0.08 0.10

E 0.13 0.13 0.04 0.03 0.04 0.01 0.04 0.04 0.01 0.01 0.02 0.01 0.03 0.04

0.26 0.07 0.001 0.000 0.001 0.00005 0.001 0.001 0.00005 0.00005 0.0002 0.00005 0.0004 0.001

1.58

0.60

0.33

Lampiran 8. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 3 No Phylum 1 Annelida 2 Annelida 3 Annelida 4 Annelida 5 Annelida 6 Arthropoda 7 Arthropoda 8 Arthropoda 9 Arthropoda 10 Arthropoda 11 Arthropoda 12 Arthropoda 13 Arthropoda 14 Aschelminthes 15 Platyhelminthes Jumlah

Kelas Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Hirudinea Coleoptera Copepoda Copepoda Adonata Ephemenoptera Diptera Diptera Diptera Nematoda Turbellaria

Famili Chaestogaster Aelosomatidae Tubificidae Naididae Helobdella Dytiscidae Diaptomidae Cyclopidae Agriidae Potomanthidae Heleidae Daphniidae Chironomidae Rhabditidae

Genus Troglochaetus beranecki sp Aelosoma sp Tubifex sp Pristina barbata sp Cambarincola sp Dytiscus sp Dioptomus sp Cyclops sp Enallagma sp Potamanthus sp Dasyhelea sp Daphnia sp Symbiocladius sp Rhabditis sp Dugesia sp

Keterangan : ni

:

Jumlah makrozoobentos setiap jenis (Individu)

ni 13.11 5.22 1.22 1.44 0.22 0.22 0.44 0.22 0.22 0.22 1.00 0.33 0.44 0.33 0.33

K 32.78 13.06 3.06 3.61 0.56 0.56 1.11 0.56 0.56 0.56 2.50 0.83 1.11 0.83 0.83

25.00

62.51

ni/N 0.52 0.21 0.05 0.06 0.01 0.01 0.02 0.01 0.01 0.01 0.04 0.01 0.02 0.01 0.01

H 0.34 0.33 0.15 0.16 0.04 0.04 0.07 0.04 0.04 0.04 0.13 0.06 0.07 0.06 0.06 1.63

E

D 0.13 0.12 0.05 0.06 0.02 0.02 0.03 0.02 0.02 0.02 0.05 0.02 0.03 0.02 0.02

0.27 0.04 0.002 0.003 0.0001 0.0001 0.0003 0.0001 0.0001 0.0001 0.002 0.0002 0.0003 0.0002 0.0002

0.60

0.33

H’

: Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener

N

: Jumlah total mkrozoobentos

E

: Indeks Keseragaman

K

: Kepadatan (individu/m2)

D

: Indeks Dominansi

Lampiran 9. Analisis Kepadatan, Indeks keanekaragaman Shannon Wiener, keseragaman dan dominansi stasiun 4

No

Phylum 1 Annelida 2 Annelida 3 Annelida 4 Annelida 5 Annelida 6 Annelida 7 Arthropoda 8 Arthropoda 9 Arthropoda 10 Arthropoda 11 Arthropoda 12 Arthropoda 13 Arthropoda 14 Aschelminthes 15 Platyhelminthes Jumlah

Kelas Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Oligochaeta Hirudinea Amphipoda Copepoda Copepoda Coleoptera Diptera Diptera Diptera Nematoda Turbellaria

Famili Chaestogaster Aelosomatidae Tubificidae Naididae Branchiobdellida Ichthyobdellidae Photidae Cyclopidae Diaptomidae Dytiscidae Chironomidae Heleidae Daphniidae Rhabditidae

Genus Troglochaetus beranecki sp Aelosoma sp Tubifex sp Pristina barbata sp Branchiobdellida sp Piscicola punctata sp Leptoceros sp Cyclops sp Dioptomus sp Dytiscus sp Pentanaura sp Dasyhelea sp Daphnia sp Rhabditis sp Dugesia sp

Keterangan : ni

:

ni 8.11 7.67 1.00 1.22 0.67 0.22 1.22 0.56 0.44 0.44 1.11 0.33 0.78 1.11 0.78

K 20.28 19.17 2.50 3.06 1.67 0.56 3.06 1.39 1.11 1.11 2.78 0.83 1.94 2.78 1.94

25.67

64.17

ni/N 0.32 0.30 0.04 0.05 0.03 0.01 0.05 0.02 0.02 0.02 0.04 0.01 0.03 0.04 0.03

H 0.36 0.36 0.13 0.14 0.09 0.04 0.14 0.08 0.07 0.07 0.14 0.06 0.11 0.14 0.11

E 0.13 0.13 0.05 0.05 0.04 0.02 0.05 0.03 0.03 0.03 0.05 0.02 0.04 0.05 0.04

D 0.10 0.09 0.002 0.002 0.001 0.0001 0.002 0.0005 0.0003 0.0003 0.002 0.0002 0.001 0.002 0.001

2.04

0.75

0.20

Jumlah makrozoobentos setiap jenis (Individu)

N

: Jumlah total mkrozoobentos

H’

: Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener

K

: Kepadatan (individu/m2)

E

: Indeks Keseragaman

D

: Indeks Dominansi

Lamp

iran 10. Jumlah dan jenis rata-rata makrozoobentos pada setiap stasiun No 1

Phylum Annelida

Kelas Oligochaeta

Famili Chaestogaster

Genus

n1

n2

Troglochaetus 5.33 8 beranecki sp 2 Annelida Oligochaeta Aelosomatidae Aelosoma sp 8.11 4.11 3 Annelida Oligochaeta Naididae Pristina barbata 1.11 0.56 sp 4 Annelida Oligochaeta Tubificidae Tubifex sp 1.22 0.44 5 Annelida Oligochaeta Ophiodonais 0.33 serpentina sp 6 Annelida Oligochaeta Branchiobdellida Branchiobdellida sp 7 Annelida Hirudinea Helobdella Cambarincola sp 0.78 8 Annelida Hirudinea Hirudinidae Gnathobdellida sp 0.67 0.11 9 Annelida Hirudinea Ichthyobdellidae Piscicola punctata sp 10 Arthropoda Adonata Agriidae Enallagma sp 11 Arthropoda Coleoptera Chrysanelidae Donacia sp 0.56 12 Arthropoda Coleoptera Dytiscidae Dytiscus sp 0.67 13 Arthropoda Coleoptera Helodidae Scirtes sp 0.11 14 Arthropoda Copepoda Senecellidae Senecella sp 0.67 0.11 15 Arthropoda Copepoda Photidae Leptoceros sp 0.22 16 Arthropoda Copepoda Diaptomidae Dioptomus sp 17 Arthropoda Copepoda Cyclopidae Cyclops sp 18 Arthropoda Diptera Daphniidae Daphnia sp 0.78 0.44 19 Arthropoda Diptera Chironomidae Pentanaura sp 2.67 20 Arthropoda Diptera Chironomidae Symbiocladius sp 0.11 21 Arthropoda Diptera Heleidae Dasyhelea sp 1 0.44 22 Arthropoda Ephemenoptera Potomanthidae Potamanthus sp 23 Arthropoda Hemiptera Belostomatidae Belostoma sp 0.78 24 Aschelminthes Nematoda Rhabditidae Rhabditis sp 1.22 0.33 25 Mollusca Bivalvia Cyrenidae Musculium sp 1 0.44 (pelecypoda) 26 Platyhelminthes Turbellaria Dugesia sp 26.56 15.78 Jumlah

n3

n4

13.11 8.11 5.22 7.67 1.44 1.22 1.22

1

0.67 0.22 0.22 0.22 0.22 0.44

1.22 0.44 0.44 0.22 0.56 0.33 0.78 1.11 0.44 1 0.33 0.22 0.33 1.11

0.33 0.78 25.00 25.67

Lampiran 11. Peruntukan air sungai di wilayah Propinsi Lampung menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung No. G/625/B.VII/HK/1995 No.

1. 2. 3. 4. 5.

NAMA SUNGAI/ SEGMEN/LUAS Anak Sungai WAY - Hulu di wilayah Kec. SEKAMPUNG Pagelaran s/d muara di Kec. Palas (Laut Jawa). Way Kandis - Hulu Way Kandis Besar di Kec. Natar s/d pertemuan dengan Way Sekampung. Way Hui - Hulu di Wilayah Kec. Kedaton s/d pertemuan Way Kandis Besar. Way Galih - Hulu di Desa Way Galih s/d pertemuan dengan Way Sekampung di Kec. Jabung. Way Sulan - Hulu di Kec. Panjang (Desa Merbau Mataran) s/d pertemuan Way Ketibung. Way Ketibung - Hulu di Desa Babatan Kec. Ketibung s/d pertemuan dengan Way Seputih (Desa Cabang).

PERUNTUKAN (Golongan) B B B B B B

Lampiran 12. Baku mutu kualitas air golongan B menurut Keputusan Gubernur

Kepala

Daerah

Tingkat

I

Lampung

No.G/625/B.VII/HK/1995 No

Parameter

FISIKA Zat Padat Terlarut Suhu KIMIA a. Anorganik 1. Air Raksa 2. Amonia bebas pH 3. 4. DO BOD 5. 6. COD Sulfat 7. Nitrat 8. 9. Nitrit 10. Sulfida (H2S) 11. Sianida b. Organik 1. Karbon Chloroform Ekst 2. Fenol 3. DDT Minyak dan lemak 4. MIKROBIOLOGIK Koliform tinja 1. Total koliform 2. RADIOAKTIVITAS Aktivitas Alpha 1. 2. Aktivitas Betha 1. 2.

Satuan

Kadar Maksimum

mg/l ° (C)

1.000 suhu air normal

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

0,001 0,5 5 –9 * 6 400 12 10 1,0 0,05 0,01

Keterangan

* Air permukaan dianjurkan > atau = 6.

Untuk parameter yang belum 0,5 mg/l terdapat 0,002 mg/l dalam 0,042 mg/l ketetapan ini nihil mg/l disesuaikan dengan 2.000 Jlh/100ml lampiran PP 10.000 Jlh/100ml No. 20 Th, 1990 tentang 0,1 Bq/l Pengendalian 1,0 Bq/l Pencemaran Air. Lampiran 13. Baku mutu limbah cair untuk industri tapioka menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tahun 1991 No.

Kadar Maksimum Beban Pencemaran Parameter Maksimum 1. KOB5 200 mg/l 12,0 Kg/ton produk 2. KOK 400 mg/l 24,0 Kg/ton produk 3. Padatan tersuspensi total 150 mg/l 9,0 Kg/ton produk 4. CN- (Sianida) 0,5 mg/l 0,03 Kg/ton produk 5. pH 6 –9 3 Keterangan: debit limbah maksimum sebesar 60 m per ton produksi.

Lampiran 14. Kurva tipe perubahan kualitas air menurut Hynes (1960) dalam Persoone dan De Pauw (1979)

Lampiran 15. Contoh gambar makrozoobenthos yang ditemukan di stasiun pengamatan

Lampiran 16. Stasiun-stasiun pengamatan

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Stasiun 4

Lampiran 17. Peta penutupan lahan DAS Way Sekampung (Sub DAS Way Sulan)