KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) TAHAPAN PEMILIHAN TAHUN 2015 1. Komponen yang Dievaluasi Komponen yang dievaluasi dalam kegiatan Evaluasi Tabapan Pemilihan Tabun 2015 meliputi evaluasi terhadap pelaksanaan tahapan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2015 meliputi: a. Anggaran b. Tata kerja c. Logistik d. Pemutakhiran Daftar Pemilih e. Pencalonan f. Sengketa Pencalonan g. Kampanye h. Dana kampanye i. Pemungutan dan Penghitungan Suara, Rekapitulasi Perolehan Suara dan Penetapan Calon Terpilih j. Sengketa Hasil Pemilihan 2. Tujuan Pelaksanaan FGD Focus Group Discussion adalah kegiatan diskusi terbatas yang dilakukan untuk menghasilkan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilihan Serentak Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota. Tujuan dilaksanakannya kegiatan evaluasi dalam bentuk FGD adalah: a. Mengeksplorasi secara lebih mendalam permasalahan yang terjadi dalam implementasi tahapan Pemilihan Serentak tahun 2015 utamanya yang merupakan implikasi dari ketentuan dalam Peraturan KPU. b. Mengumpulkan berbagai gagasan yang solutif untuk direkomendasikan sebagai bahan revisi Undang-Undang Pemilihan dan Peraturan KPU untuk perbaikan penyelenggaraan Pemilihan serentak selanjutnya. FGD diselenggarakan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota dalam masa waktu yang telah ditentukan oleh KPU Pusat. 3. Teknis Pelaksanaan FGD Berikut ini adalah panduan umum pelaksanaan FGD di tiap daerah: a. Dalam setiap FGD,diskusi dipandu oleh seorang fasilitator. b. Peserta FGD merupakan narasumber yang akan memberikan informasi dan data mengenai isu yang dibahas dalam FGD. c. FGD diselenggarakan selama 1 (satu) hari, terdiri dari 3 (tiga) sesi diskusi. d. Jumlah narasumber disesuaikan ruang lingkup permasalahan yang terjadi sehingga diskusi dapat lebih terfokus dan pendapat serta masukan dari para narasumber dapat didiskusikan secara maksimal. e. Narasumber yang diundang berasal dari kalangan: akademisi, pengawas pemilu, partai politik, serta calon dan/atau tim suksesnya. f. Fasilitator dapat berasal dari Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota atau stakeholder. g. Setiap proses FGD harus direkam oeh alat perekam digital agar file diskusi dapat segera dikirimkan kepada KPU Pusat. h. Jalannya diskusi (notulensi) dalam FGD harus dicatat (diketik) oleh seorang notulis, yang hasilnya harus segera dikirimkan kepada KPU Pusat. i. Acara FGD dipandu oleh fasilitator. j. Fasilitator membuka diskusi dengan menjelaskan tiga hal: 1) Konteks dan tujuan kegiatan FGD 2) Penjelasan metode FGD 3) Hasil yang diharapkan dari FGD k. Tugas dari fasilitator yaitu: 1) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan DIM yang sudah dibuat oleh. KPU Pusat kepada para narasumber; -1-
2) Mengklarifikasi hal-hal yang disampaikan oleh narasumber, apabila fasilitator menilai bahwa hal yang disampaikan itu belum jelas; 3) Membuka ruang untuk penyampaian hal-hal di luar DIM yang masih terkait topik evaluasi Pemilihan Serentak, akan tetapi juga mengatur alur diskusi agar kembali kepada DIM jika penggalian informasi di luar DIM sudah cukup; 4) Menjaga alur diskusi dan mengorganisasi waktu diskusi agar tidak melebihi pengaturan waktu (rundown) yang sudah dibuat oleh KPUPusat; 5) Bersikap netral, terbuka dan tidak boleh memberikan pendapat pribadi dalam diskusi; 6) Di akhir setiap sesi diskusi, fasilitator harus menyampaikan rangkuman jalannya diskusi dan poin-poin hasil diskusi. l. Fasilitator harus bersikap: netral, sabar, tidak menebak-nebak (tapi mengklarifikasi) istilah/poin yang dilontarkan dalam diskusi; fasilitator selalu ingin tahu, memfasilitasi partisipasi, tidak menyerang pendapat peserta, membuat beberapa catatan penting dari diskusi, dan berkoordinasi dengan panitia. 4. Pembagian Sesi Diskusi: Sesi Poin/Isu Bahasan Waktu Sesi I Anggaran 60 menit Tata kerja Logistik Sesi II Pemutakhiran Daftar Pemilih 90 menit Pencalonan Kampanye Dana kampanye Sesi III Pemungutan, Penghitungan, dan Rekapitulasi 45 menit serta Penetapan Pasangan Calon Terpilih 5. Waktu: Rabu, 30 Maret 2016 pukul 09.00 WIB s.d. selesai. 6. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) PILKADA DIM merupakan bahan awal pelaksanaan FGD. a. Anggaran 1) Sumber pendanaan Pilkada yang berasal dari APBD dan bukan APBN. 2) Pencairan anggaran Pilkada memakan waktu yang tidak sedikit dan juga menemui hambatan dalam prosesnya. 3) Anggaran Pilkada yang disetujui Pemerintah Daerah lebih kecil daripada yang diajukan. 4) Item-item anggaran Pilkada yang diajukan ada yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil penyelenggaraan Pilkada 5) Kemampuan KPUD untuk mengajukan anggaran Pilkada agar dapat cepat diterima oleh Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri sehingga dapat direview segera. b. Penyusunan dan Pemutakhiran Daftar Pemilih 1) Belum ada ketentuan mengenai tindak lanjut DPT, DPTBI dan DPTB2 yang seharusnya menjadi bahan penyusunan data pemilih untuk pemilihan selanjutnya. 2) Pemutakhiran data pemilih bagi pemilih yang berada di lokasi tertentu seperti rumah sakit, dan Lembaga Pemasyarakatan, baru dapat dilaksanakan menjelang pemungutan suara sehingga sulit didata lebih awal yang berimplikasi ketersediaan surat suara. 3) Pendaftaran Pemilih berdasarkan surat keterangan lainnya tidak didefinisikan di dalam Undang-Undang Kependudukan maupun Undang-Undang lainnya. 4) Waktu pemutakhiran DPT yang berlangsung hanya tiga hari. 5) Rentang waktu penduduk yangbelum terdaftar dalam DPT mendaftarkan dirinya hanya selama 7 hari. 6) Adanya ketentuan di UU yang menyebutkan bahwa syarat untuk menjadi pemilih tidak boleh sedang terganggu jiwa/ingatannya. -2-
c. Pencalonan 1) Kewajiban adanya rekomendasi pencalonan dari DPP Partai Politik dan tidak boleh sekedar rekomendasi DPW/DPC/DPD. 2) Dualisme Kepengurusan Parpol. 3) Keterangan tidak memiliki tanggungan hutang secara perseorangan dan atau badan hukum (terutama bagaimana batasan kategori merugikan negara atau tidak). 4) Status tidak pemah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun atau lebih (bagaimana dengan status bebas bersyarat?). 5) Surat pengunduran diri sebagai anggota TNI, Polri, PNS, BUMN, dan BUMD (mekanisme pemberhentian dan batas waktu penerbitan SK Pemberhentian, serta sanksi jika tidak dipenuhi). 6) Surat pengunduran diri sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD (mekanisme pemberhentian dan batas waktu penerbitan SK Pemberhentian, serta sanksi jika tidak dipenuhi). 7) Adanya putusan MK terkait syarat dukungan calon perseorangan yang berubah menjadi lebih tinggi dari pengaturan UU sebelumnya. 8) Status Petahana yang tidak perlu mengundurkan diri, tetapi tidak diperbolebkan menjadi calon kepala daerah "turun kasta" (contoh: Gubemur mencalonkan diri menjadi Bupati/Walikota). 9) Calon tunggal (kaitan dengan syarat, kondisi politik lokal di mana petahana begitu kuat, dan syarat dukungan berdasarkan DP4. 10) Pengguguran calon setelah ditetapkan sebagai peserta. 11) Laporan adanya indikasi adanya ijazah palsu yang terlambat dilaporkan kepada penyelenggara, yang diakibatkan oleh tidak dipublikasinnya dokumen pendaftaran berupa ijazah tersebut. 12) Aturan tentang larangan mutasi pejabat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatan berakhir yang berimplikasi ke pembatalan calon. Hal ini menjadi masalah mengingat Ambang Masa Jabatan (AMJ) setiap daerah tidak serentak sehingga berpotensi adanya perlakuan yang berbeda. 13) Ketentuan syarat dukungan sebagai calon oleh partai politik atau gabungan partai politik yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketentuan di UU Pilkada sebelumnya. 14) Ketentuan syarat dukungan sebagai calon perseorangan yang lebih tinggi dari Pilkada sebelumnya. d. Kampanye 1) Masih terdapat intepretasi yang berbeda terhadap lokasi pemasangan alat peraga kampanye yang difasilitasi dengan anggaran APBD. 2) Uraian fasilitas negara belum terinci dengan jelas di dalam Undang-Undang. 3) Dalam penyiaran kegiatan debat publik, KPU Kabupaten/Kota yang tidak dapat menyiarkan secara langsung. 4) Masih adanya media massa yang mengabaikan asas berimbang dalam pemberitaan pasangan calon akibat dari peran Dewan Pers dan KPI yang kurang maksimal. 5) Terbatasnya penyiaran kegiatan debat publik hanya pada lembaga penyiaran publik. 6) Ketidakjelasan mekanisme pemberian sanksi terhadap pelanggaran kampanye. 7) Penegasan mengenai ruang lingkup dari unsur-unsur kampanye. 8) Praktik politik uang dan sanksi terhadapnya. 9) Prinsip keadilan dan kesetaraan dalam perolehan sumber dana kampanye belum disebutkan dalam undang-undang. 10) Efektivitas sosialisasi Tahapan Pelaksanaan Pilkada kepada masyarakat. 11) Materi kampanye yang hanya visi misi calon dan belum termasuk program kerja calon kepala daerah. 12) Belum adanya ketentuan di UU Pilkada akan definisi kampanye.
-3-
e. Dana Kampanye 1) Pembiayaan kampanye yang dibebankan APBD berimplikasi pada keterbatasan kegiatan kampanye. 2) Tidak adanya ketentuan batasan jumlah sumbangan dana kampanye yang bersumber dari pasangan calon dan partai politik pendukung. 3) Pengaturan Pembatasan Dana Kampanye paslon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik hanya diperuntukkan bagi perseorangan (50 juta) dan Badan Hukum Swasta (500 juta). Belum ada pengaturan mengenai asal dana kampanye yang diperoleh dari Parpol atau Gabungan Parpol, Paslon itu sendiri, dan Kelompok/paguyuban/perkumpulan (sebutan lain). 4) Tidak konsisten/tidak jelasnya pengaturan mengenai Rekening Khusus Dana Kampanye yang digunakan oleh Paslon yang diusulkan Parpol atau gabungan Parpol, di mana Rekening Khusus Dana Kampanye yang digunakan dibuat oleh Parpol atau gabungan parpol atas nama Paslon yang dapat mengakibatkan permasalahan dalam hal penggunaan dan pelaporannya. 5) Tidak ada pengaturan mengenai periode pembukaan Rekening Khusus Dana Kampanye, pengaturan mengenai jangka waktu pembukaan rekening khusus dana kampanye dimaksudkan untuk keseragaman waktu pembukaan rekening khusus dana kampanye dan mempermudah auditor dalam mengaudit penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. 6) Belum adanya aturan mengenai pembatasan pengeluaran dana kampanye. 7) Belum adanya pengaturan sanksi yang lebih tegas dan pengaturan hukum acara dalam pemberian sanksi bagi pelanggaran mengenai dana kampanye. f. Pengadaan dan Distribusi Logistik 1) Pengadaan alat peraga kampanye dan bahan kampanye yang dibiayai oleh APBD sering kali menjadi masalah karena berimplikasi kepada pemasangan alat peraga. 2) Batas waktu Putusan pengadilan terkait sengketa ealon belum diatur seeara tegas oleh undang-undang sehingga seringkali mengganggu pengadaan logistik. 3) Anggaran pilkada oleh APBD sering menjadi eelah adanya intervensi dari pihak incumbent dan banyak juga terdapat model pencairan yang dicicil sehingga sedikit banyak mengganggu proses penyelenggaran Pilkada. 4) Tidak adanya satuan biaya yang bisa jadi pedoman buat daerah sehingga terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara satu daerah dengan daerah lainnya. 5) Adanya interpretasi yang berbeda-beda terhadap penggunaan cadangan surat suara sebesar 2,5% terhadap jumlah pemilih. 6) Anggaran untuk pengadaan Bahan Kampanye dan Alat Peraga Kampanye serta iklan kampanye melalui media cetak dan elektronik memerlukan anggaran yang eukup besar dibandingkan pengadaan perlengkapan pemungutan suara. 7) Dalam pelaksanaan pemungutan dan perhitungan suara di TPS selain jenis barang yang tercantum dalam penjelasan Pasal 78 (2) tersebut masih diperlukan perlengkapan lainnya, antara lain : kalkulator, papan untuk menepel DPT dan daftar pasangan calon. namun KPU Provinsi dan Kab/K.ota tidak berani mengadakan perlengkapan tersebut karena dibatasi Undang-Undang, kalaupun terpaksa diadakan akan menjadi temuan Aparat Pemeriksa. 8) Ketentuan pasal-pasal UU ada ketidaksinkronan: di Pasal 80 (1) disebutkan penambahan surat suara sebanyak 2,5% dari jumlah DPT. Sedangkan Pasal 87 (4) menyebutkan penambahan surat suara sebanyak 2,5% dari DPT di TPS. Ketentuan ini membuat jumlah surat suara yang diadakan berdasarkan jumlah DPT di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota lebih kecil dibandingkan jumlah surat suara berdasarkan DPT di masing-masing TPS. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi KPU Provinsi dan Kab/K.otadalam menetapkan jumlah surat suara yang harus disediakan. 9) Jumlah surat suara di TPS Khusus Rumah Sakit belum sesuai dengan jumlah pasien di rumah sakit.
-4-
g. Proses Pemungutan dan Penghitungan Suara 1) Ketentuan Pasal 20 huruf v bermakna PPK melakukan penghitungan suara. Ketentuan tersebut tentunya keliru karena proses penghitungan suara dilakukan di TPS oleh KPPS, bukan oleh PPK. 2) Ketentuan Pasal 20 ayat (1) tidak memungkinkan bagi PPS yang merekrut KPPS sebanyak 5 orang yang dapat terjadi akibat keterbatasan anggaran atau mempertimbangkan jumlah pemilih. 3) Formulir C6 banyak digunakan oleh lebih dari satu orang atau digunakan oleh orang lain. 4) Penggunaan surat suara oleh Pemilih Tambahan terbatas akibat adanya ketentuan bahwa pemilih tambahan hanya dapat menggunakan cadangan surat suara. 5) Jumlah suara sah lebih rendah daripada jumlah suara sah Pilkada sebelumnya. 6) Pemilih DPTB2 lebih banyak daripada surat suara cadangan, sehingga apabila mendasarkan pada ketentuan tersebut akan banyak pemilih dengan KTP yang tidak dapat menggunakan hak pilih. 7) Tidak terfasilitasinya pemilih yang mobilitasnya tinggi. 8) Turunnya persentase pemilih yang menggunakan hak pilihnya dibanding Pilkada sebelumnya dan penyebab penurunan tersebut. h. Penyelesaian Sengketa Pemilihan Banyaknya lembaga peradilan yang terlibat dalam proses penyelesaian sengketa pemilihan yang seringkali memunculkan keputusan yang saling bertentangan dan cenderung tidak konsisten. i. Tata Kerja Penyelenggaraan Pemilihan 1) Rekomendasi Bawaslu dalam kasus pelanggaran administratif oleh KPUI dapat bersifat subyektif dan memungkinkan merugikan salah satu pihak. 2) Terbatasnya jumlah tenaga PPK dalam menyelenggarakan pemilihan. 3) Kemampuan KPU menyusun Pedoman Teknis Pelaksanaan Pilkada.
-5-