Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 8 No. 2, 2014 : 41 - 44
Pengaruh Pemaparan Berbagai Konsentrasi Temefos pada Larva Instar 3 (L3) terhadap Morfologi Telur Aedes aegypti The Effect of Different Concentration of Temephos on Larvae Instar 3 (L3.) to The Morphology Aedes aegypti Eggs Yulidar* Loka Penelitian dan Pengembangan Biomedis Jln. Bandara Sultan Iskandar Muda, Lorong Tgk Dilangga No.9, Lambaro, Aceh Besar, NAD, Indonesia Telp : (0651) 8070189, Fax : (0651) 8070289
INFO ARTIKEL
ABSTRACT/ABSTRAK
Article History: Received : 8 May 2014 Revised : 8 Dec. 2014 Accepted : 10 Dec. 2014
Temephos has commonly been used as larvacide on Aedes aegypti control program. The aim of this quasi experimental study was to determine the influence of different temephos concentration to the morfology of Ae. aegypti eggs. The results showed that temephos caused the abnormalities of Aedes aegypti’s eggs. The abnormalities were in form of the eggs become thin, easily broken or cracked, and the shape of eggs were cut off.
Keywords: temephos, eggs abnormality Kata Kunci: temefos, abnormalitas telur
Temefos sudah lama digunakan sebagai larvisida dalam program pengendalian nyamuk Aedes aegypti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi temefos terhadap morfologi telur Ae. aegypti. Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen. Hasil pemaparan temefos pada konsentrasi uji didapatkan bahwa temefos menyebabkan abnormalitas morfologi bentuk telur nyamuk Ae. aegypti. Abnormalitas tersebut berupa bentuk telur menjadi pipih, kulit luar telur (exochorion) semakin rapuh sehingga telur mudah pecah atau retak serta telur terpotong (terpotong membujur dan melintang). © 2014 Jurnal Vektor Penyakit. All rights reserved
*Alamat Korespondensi : email :
[email protected]
PENDAHULUAN Salah satu nyamuk yang merupakan vektor penyakit demam berdarah dengue adalah Aedes aegypti. Ae. aegypti termasuk ke dalam ordo Diptera, subordo Nematocera, famili Culicidae, subfamili Culicinae, genus Aedes, subgenus Stegomiya dan spesies Aedes 1 aegypti. Nyamuk Ae. aegypti untuk pertama kalinya ditemukan di Mesir pada tahun 1762 oleh Linneaus. Poiret menemukan di Afrika tahun 1787, Meigen menemukan di Portugal tahun 1818. Selanjutnya tahun 1827 ditemukan di India oleh Rob-Desvoidy, tahun 1828 ditemukan di Amerika Serikat oleh Wiedemann, dan tahun 1856 ditemukan di Brazil. Untuk wilayah Indonesia, pertama sekali ditemukan di Ujung Pandang tahun
1860 oleh Walker. 1 Nyamuk Ae. aegypti termasuk serangga dengan siklus hidup yang kompleks, yaitu dimulai dari telur menjadi larva, larva menjadi pupa dan kemudian dewasa. Nyamuk ini memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya yang mampu hidup dan bertelur dalam habitat kecil yang kurang nutrisi, suhu yang kurang optimum dan di bawah cekaman.2,3 Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah suhu, pH air, cahaya, kelembaban dan daya fertilitas telur itu sendiri. 4,5 Telur Ae. aegypti pada waktu dikeluarkan berwarna putih dan berubah menjadi hitam dalam waktu kurang lebih 30 menit. Telur diletakkan satu demi satu di permukaan air, atau sedikit di bawah 41
Pengaruh Pemaparan Berbagai Konsentrasi Temefos ............ (Yulidar)
permukaan air dengan jarak lebih kurang 2,5 cm dari tempat nyamuk hinggap pada saat 1 bertelur. Telur Ae. aegypti dalam kondisi normal yang direndam di dalam air akan menetas sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari kedua. Telur Ae. aegypti berukuran kecil (50µ), berbentuk lonjong (oval) dan pada dinding luar (exochorion) tampak adanya garis-garis membentuk seperti sarang lebah bila diamati di bawah mikroskop. Telur Ae. aegypti dapat bertahan sampai berbulan0 bulan pada suhu 2-4 C dan akan menetas dalam waktu 1-2 hari pada suhu 23-270C bila dalam air. Menurut Christophers (1960) telur yang diletakkan di dalam air akan menetas 0 dalam waktu 1-3 hari pada suhu 30 C, tetapi membutuhkan waktu 7 hari pada suhu 160C. 6 Kerusakan morfologi atau abnormalitas telur dapat terjadi akibat pengaruh cekaman atau tekanan dari luar. Reyes-Villanueva., (1990 & 1992) mencoba konsentrasi subletal temefos 0.009 mg., 0.013 mg., 0.015 mg., 0.016 mg., 0.020 mg dan 0.025 mg mengakibatkan perubahan morfologi, penurunan kesuburan (fecundity) dan jangka hidup (longevity) Ae. aegypti. 7-8 Salah satu cara yang paling efektif mengendalikan nyamuk Ae. aegypti yaitu menggunakan insektisida berupa larvasida. Anjuran Kementerian Kesehatan salah satu larvasida yang digunakan di Indonesia dari ® golongan organofosfat yaitu abate dengan bahan aktif temefos 1%. Penggunaan abate dengan bahan aktif temefos sebagai larvasida sudah sejak tahun 1976. Empat tahun kemudian, pemerintah menetapkan abate sebagai larvasida untuk program pengendalian massal larva nyamuk Ae. aegypti. 10 Abate sebagai larvasida telah digunakan untuk pengendalian larva Ae. aegypti di Indonesia sejak tahun 1980 atau lebih dari 30 tahun yang lalu. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dipelajari bagaimana pengaruh pemaparan temefos pada fase larva instar 3 (L3)terhadap morfologi telur nyamuk Ae. aegypti. Abnormalitas telur yang dimaksud adalah 42
kerusakan morfologi telur hasil oviposisi oleh nyamuk betina dewasa setelah terpapar temefos fase instar 3 (L3). Penentuan larva instar 3 (L3) yang digunakan sebagai objek perlakuan lebih berdasarkan hasil uji pendahuluan. Larva instar 1 dan 2 pada saat dipaparkan dengan temefos tidak mampu mempertahankan kelangsungan hidup selanjutnya. METODE Penelitian ini bersifat quasi eksperimen yang dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan FKH-IPB Bogor dari bulan November 2010 sampai Juni 2011. Penentuan konsentrasi letal berdasarkan analisis probit sedangkan data hasil penelitian dianalisis s e c a ra d e s k r i p t i f . Pe n g a m a t a n d a n pengambilan gambar dilakukan di bawah mikroskop dengan foto kamera Sony Series ecp 12,8 megapixel. Te m e f o s ya n g d i g u n a k a n d a l a m penelitian ini adalah abate dengan bahan aktif temefos 1%. Konsentrasi abate yang tercantum pada kemasan yaitu 10 gr dalam 100 liter air dijadikan sebagai larutan stok. Temefos dalam bentuk granul digerus sampai halus kemudian ditimbang 0,1 gr dilarutkan dalam 1 liter air. Formulasinya yaitu 0,1 gr/liter= 100 mg/liter = 100 ppm. Larutan ini dijadikan sebagai larutan stok yang akan diencerkan sesuai dengan konsentrasi uji yang digunakan. Konsentrasi uji yang digunakan adalah konsentrasi yang menyebabkan kematian larva L3 sebesar 0%, 25%, 50%, 75% dan 90% dari populasi yang diberi perlakuan. Konsentrasi ini dipaparkan berulang-ulang sehingga didapat konsentrasi uji adalah 0.150 ppm (KL0).,0.280 ppm (KL25)., 0.330 ppm (KL50)., 0.384 ppm (KL75), dan 0.433 ppm (KL90). Setiap konsentrasi uji dibuatkan larutan 1500 ml, kemudian dibagi dalam 3 wadah. Setiap wadah berisi 500 ml larutan konsentrasi uji, kemudian dimasukkan 100 ekor larva Ae. aegypti instar 3 (L3) ke dalam tiap-tiap wadah. Setiap konsentrasi dilakukan tiga kali ulangan. Lamanya pemaparan
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 8 No. 2, 2014 : 41 - 44
temefos berlangsung selama 1x24 jam. Larva yang hidup setelah terpapar dengan konsentrasi uji selama 1x24 jam kemudian dipindahkan ke media air. Larva kemudian berubah menjadi pupa dewasa. Diambil 10 p a s a n g nya m u k d e wa s a d a r i s e t i a p konsentrasi uji kemudian dikawinkan dan akan bertelur kembali. Telur ini yang kemudian diamati abnormalitasnya. Abnormalitas telur yang dimaksud adalah perubahan morfologi telur hasil oviposisi oleh nyamuk betina dewasa setelah terpapar temefos pada tahap larva instar 3 (L3). HASIL Abnormalitas telur setelah terpapar temefos pada KL0, KL25, KL50, Kl75 dan KL90 yang 0 dibandingkan dengan kontrol (K ) dapat dilihat pada Gambar 2. Pemaparan temefos ko n s e n t ra s i K L 0 , K L 2 5 m e nye b a b ka n kerapuhan dinding telur sehingga telur mudah pecah, bentuk telur pipih (KL50), salah satu ujung yang tidak sempurna (KL75) dan telur yang membelah secara melintang (Kl90). . normal, bentuk oval
Gambar 1. Abnormalitias telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos pada berbagai konsentrasi letal dibandingkan dengan kontrol (Ko).
PEMBAHASAN Serangga dengan daur hidup yang kompleks memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungannya dibandingkan dengan serangga yang siklus hidupnya tidak kompleks. Ae. aegypti adalah serangga dengan daur hidup yang kompleks. Nyamuk ini dapat hidup dan bertelur dalam habitat yang kecil pada suhu yang optimum, minim nutrisi dan cekaman dari luar. Lingkungan yang tidak optimal di bawah cekaman insektisida temefos memaksa nyamuk Ae. aegypti beradaptasi untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan. Telur Ae. aegypti dalam kondisi normal berukuran kecil (50µ) dan berbentuk lonjong. Dinding luar (exochorion) telur bertekstur garis dan terdapat bahan lengket (glikoprotein) yang akan mengeras bila 1 kering. Pemaparan temefos pada fase larva instar 3 (L3) menyebabkan rapuhnya dinding telur nyamuk Ae. aegypti (Gambar 2). Temefos merupakan racun kontak yang dapat masuk ke dalam tubuh larva melalui spirakel, segmen tubuh abdomen dan mulut. 2.3 Dinding telur nyamuk disusun oleh gikoprotein yang merupakan protein yang terikat lemak glikan. Struktur glikan merupakan unsur utama pembentuk lapisan dinding telur. Penetrasi temefos ke dalam telur yang terakumulasi pada glikan menyebabkan fungsi glikan sebagai perekat dan memperkokoh dinding telur tidak maksimal dan menyebabkan rapuhnya dinding telur. Matsumura (1978) menyatakan bahwa penetrasi insektisida dipengaruhi oleh daya larutnya dalam lemak, semakin larut suatu insektisida dalam lemak maka semakin mudah insektisida tersebut masuk ke dalam tubuh serangga. Akumulasi temefos terbesar adalah di otot dan beredar ke seluruh tubuh melalui hemolim. Temefos terpenetrasi ke dalam ovum pada proses embriogenesi dan tersimpan di dalam folikel ovum. Terakumulasinya temefos di dalam folikel ovum menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan terganggunya sintesis 43
Pengaruh Pemaparan Berbagai Konsentrasi Temefos ............ (Yulidar)
protein ke kuning telur yang berakibat pada penurunan kesuburan telur dan kerapuhan 11,12 dinding telur. Menurut Belinato (2009) kerusakan dinding telur juga diakibatkan oleh penetrasi triflumuron ke dalam spermateka. Triflumuron ini terserap dan terakumulasi ke dalam dinding telur sehingga menurunkan permeabilitas dinding telur (Gambar 2). 9
Gambar 2. Abnormalitas morfologi telur nyamuk Ae.aegypti setelah terpapar triflumuron. 9
KESIMPULAN Pemaparan berbagai konsentrasi temefos pada fase larva instar 3 (L3) menyebabkan abnormalitas telur nyamuk Ae. aegypti. Abnormalitas yang terjadi yaitu terlihat bentuk telur menjadi pipih, kulit luar telur (exochorion) semakin rapuh sehingga telur mudah pecah atau retak serta telur terpotong membujur dan melintang). SARAN Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan analisis molekuler untuk mengetahui gen yang abnormal pada telur nyamuk Ae. aegypti akibat pemaparan temefos. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Kepala Badan Litbang Kesehatan Jakarta, Kepala Loka Litbang Biomedis Aceh, Keluarga Besar Pasca Sarjana Mayor Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) IPB Bogor beserta temanteman Loka Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Biomedis Aceh atas doa dan bantuan sehingga terlaksananya penelitian ini.
44
DAFTAR PUSTAKA 1.
Christophers, S.S.R., 1960. Aedes aegypti (L) the yellow fever mosquito, its life history, bionomics and structure. Cambridge Univ Press. Cambridge.
2.
Hoffman, A.A., Hercus, M.J. 2000. Environmental Stress as an Evolutionary Force. J. Bioscie. 50 (1) : 217-226.
3.
Badvaev, V. 2005. Stress-induced variation in evolution : from behavioural plasticity to genetic assimilation. Proc. R. Soc. 27 (2) : 877866.
4.
Gerberg, E.J., Barnard, D.R., Ward, R.A. 1994. Manual for mosquito rearing and exsperimental techniques. J. Ame Mosq Cont. Assoc. 5 (1) : 97-105.
5.
Chan, K.L., Ho, B.C., & YC, Chan. 1971. Aedes aegypti (L.) and Aedes albopictus (Skuse) in Singapore City.Bull. Wld Hlth Org. 4 (1) : 629633.
6.
Bahang, Z.B. 1978. Life history of Aedes aegypti and Aedes albopictus under laboratory conditions. Institute for Medical Research, Malaysia, Kuala Lumpur.
7.
Reyes-Villanueva., Juarez-Eguia, M., FloresLeal, A. 1990. Effects of sublethal dosages of abate upon adult fecundity and longevity of Aedes aegypti. J. Am. Mosq Contrl. Assoc. 6 (4) : 739-741.
8.
Reyes-Villanueva., Juarez-Eguia, M., FloresLeal, A. 1992. Efecto de concentraciones subletales de abate sobre algunos parametros biological de Aedes aegypti. J. Mex. Salud Publ. 34 (4) : 406-412.
9.
Belinato, T.A., Ademir, J.L., Lima, J.B.P., LimaCamara, T.N., Alexandre, A.P., Denise, V. 2009. Effect of the chitin synthesis inhibitor triflumuron on the development, viability and reproduction of Aedes aegypti. Mem, Inst Oswaldo Cruz. Rio De Janeiro. 104 (1) : 43-47.
10. [DEPKES]. Departemen Kesehatan. 2005. Pencegahan dan pemberantasan demam berdarah dengue di Indonesia. Ditjen PPM & PLP. Jakarta. 11. Matsumura, F. 1975. Toxicology of Insecticides. New York 12. Kumar, S., Anita, T., Anita, V., Arunima, S., Thomas, S., Pillai M.K.K. 2009. Diminished reproductive fitness associated with the deltamethrin resistance in an Indian strain of dengue vector mosquito, Aedes aegypti L. Tropic Biomedicine. 26 (4) : 419-429.