FITOREMEDIASI LIMBAH DETERGEN MENGGUNAKAN KAYU APU (PISTIA

Download Untuk menanggulangi pencemaran yang timbul akibat air limbah ... yang menyebabkan pencemaran air. .... tanaman dalam memperbaiki kualitas a...

1 downloads 590 Views 223KB Size
BioSMART Volume 7, Nomor 2 Halaman: 115-124

ISSN: 1411-321X Oktober 2005

Fitoremediasi Limbah Detergen Menggunakan Kayu Apu (Pistia stratiotes L. ) dan Genjer (Limnocharis flava L.) Phytoremediation of detergent wastes used Pistia stratiotes L. and Limnocharis flava L. ERVINA HERMAWATI, WIRYANTO♥, SOLICHATUN Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126 Diterima: 1 Juni 2005. Disetujui: 18 Agustus 2005.

ABSTRACT This research purposes were to know the contents of detergent waste substance based on the standard environment quality for detergent waste, to learn the capability of Pistia stratiotes L. and Limnocharis flava L. on increasingly water quality of detergent waste, and to learn the effect on detergent waste on growth of Pistia stratiotes L. and Limnocharis flava L. The research used a completely randomized design, 3x4 pattern, with 3 replicates. The treatment was different spesies of plant (P. stratiotes, L. flava, without plant as control) that would be grown at different concentration of detergent waste (0%, 20%, 40%, and 60%). The result of the research indicated that many parameters of detergent waste (pH, temperature, phosphat content, and alkalinity) were upper than the value of the standard environment quality due to Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/02/1997. The level of detergent waste could be increase using the application of P. stratiotes and L. flava. P. stratiotes had capability to decrease temperature, sulphat content, and phosphat content of detergent waste. L. flava had capability to decrease pH of detergent waste. Both plants increased alkalinity level of detergent waste. The detergent waste had capability to decrease the growth (fresh weight, shoot length, and total chlorophyl content) of P. stratiotes and F. flava. Key words: Pistia stratiotes L., Limnocharis flava L, detergent waste, water quality.

PENDAHULUAN Pencemaran perairan tawar di Indonesia, 80% disebabkan oleh limbah domestik baik dalam bentuk cair maupun padatan. Dari limbah domestik yang bersifat cair, 35% berasal dari buangan limbah rumah tangga yang mengandung bahan detergen (Sitorus, 1997). Detergen merupakan senyawa sabun yang terbentuk melalui proses kimia. Pada umumnya komponen utama penyusun detergen adalah Natrium Dodecyl Benzen Sulfonat (NaDBS) dan Sodium Tripolyphosphat (STPP) yang bersifat sangat sulit terdegradasi secara alamiah. Senyawa NaDBS dan STPP dapat membentuk endapan dengan logam-logam alkali tanah dan logam-logam transisi (Sumarno dkk. 1996). Untuk menanggulangi pencemaran yang timbul akibat air limbah, maka pengolahan air limbah merupakan hal yang mutlak diperlukan. Metode pengolahan air limbah dapat berupa metode pengolahan secara fisika, kimia dan biologi. Dari ketiga metode tersebut yang dinilai paling efisien dalam menurunkan zat organik dalam air limbah dengan biaya relatif murah adalah dengan metode pengolahan biologis (Momon dan Meilani, 1997). Dari beberapa metode pengolahan biologis, penggunaan ♥ Alamat Alamat korespondensi: korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-271-663375. +62-368-21273. e-mail: [email protected], [email protected] [email protected]

tanaman air merupakan metode yang relatif baru untuk menurunkan kadar bahan organik detergen di perairan. Kemungkinan penggunaan tanaman air dalam pengolahan air limbah sudah banyak dilakukan baik skala laboratorium maupun industri. Kayu apu dan genjer merupakan jenis gulma air yang sangat cepat tumbuh dan mempunyai daya adaptasi terhadap lingkungan baru yang sangat besar sehingga merupakan gangguan kronis dan sulit dikendalikan (Tjitrosoepomo, 2000). Pada umumnya tumbuhan akan menyerap unsur-unsur hara yang larut dalam air dan dari tanah melalui akar-akarnya. Semua tumbuhan mempunyai kemampuan menyerap yang memungkinkan pergerakan ion menembus membran sel, mulai dari unsur yang berlimpah sampai dengan unsur yang sangat kecil dibutuhkan tanaman dan ternyata dapat diakumulasikan oleh tanaman (Wolverton dan Mcknown, 1975). Oleh sebab itu kayu apu dan genjer dapat dimanfaatkan untuk melakukan penjernihan air. Umumnya tanaman air sangat tahan terhadap kadar unsur hara yang sangat rendah dalam air tetapi responnya terhadap kadar hara yang tinggi juga sangat besar. Tanaman air menyerap senyawa organik maupun anorganik terlarut ke dalam strukturnya sehingga pada umumnya limbah yang polutannya sudah dibersihkan oleh tumbuhan saat dialirkan ke lingkungan akibat kerusakannya lebih kecil (Lusianty dan Soerjani, 1974). Soerjani dkk. (1980) menyatakan bahwa tumbuhan air melalui proses fotosintesis dapat membantu peredaran udara di dalam air dengan menyerap kelebihan zat hara  2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

116

B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 115-124

yang menyebabkan pencemaran air. Penggunaan tanaman air seperti kayu apu dan genjer dalam menurunkan toksisitas air limbah di perairan masih harus terus dikembangkan, untuk mencari sistem pengolahan air limbah yang aman bagi lingkungan dan mudah di dapat dari lingkungan sekitar kita (Anonymous, 1976). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan bahan pencemar yang terdapat dalam limbah detergen dibandingkan dengan Baku Mutu Limbah berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/02 /1997, mengetahui kemampuan tanaman kayu apu dan genjer dalam meningkatkan kualitas limbah detergen dan mengetahui pengaruh limbah terhadap pertumbuhan tanaman kayu apu dan genjer. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan bulan November-Desember 2002 di Laboratorium Pusat MIPA Sublab Biologi dan Kimia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Bahan yang digunakan meliputi bahan tanaman yaitu Kayu apu dan genjer kira-kira berumur 1 bulan diambil dari areal persawahan di Desa Baki Kabupaten Sukoharjo. Limbah detergen diambil dari BINATU Laundry Hotel Sahid Kusuma Jl. Sugiyopranoto no.20 Surakarta, bahan kimia untuk analisis kualitas air (alkalinitas, sulfat dan fosfat) yaitu: indikator PP; indikator Metil Red; dan HCL 1N, Kalium phoshat {KH2PO4}; Asam Sulfat (H2SO4) 5N; Kalium antimonil tartrat {K(sbO)C4H4O}; Amonium molibdat{(NH4)6 Mo7O24 ± 0,03 M}; larutan askorbat 0,01 M; aquades; Na2SO4; Barium Klorida {BaCl2.2H2O}; HCl pekat; etil alkohol 95 %; NaCl dan gliserol dan analisis klorofil total tanaman yaitu aseton. Rancangan percobaan Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), pola faktorial 3x4 dengan 3 ulangan. Faktor pertama konsentrasi limbah detergen yaitu 0%, 20%, 40% dan 60%. Faktor kedua jenis tanaman, yaitu kayu apu, genjer, dan tanpa tanaman. Cara kerja Prosedur percobaan ini dibagi menjadi 2 tahap yaitu: Uji pendahuluan. Air limbah detergen diencerkan dengan konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25% dan 0% (sebagai kontrol). Pengenceran limbah detergen dilakukan dengan penambahan air ledeng. Sepuluh liter air limbah dari masing-masing konsentrasi dimasukkan kedalam bakbak plastik dengan volume 15 L. Tanaman kayu apu dan genjer masing-masing dengan berat 300g sebanyak 10 tanaman dimasukkan ke dalam bak-bak yang telah diisi air limbah detergen. Masing-masing perlakuan diatas dilakukan sebanyak 3 ulangan. Bak-bak perlakuan ditempatkan di rumah kaca. Setiap hari diamati jumlah tanaman yang mati sampai 7 hari perlakuan. Berdasarkan jumlah tanaman yang masih hidup sampai hari ketujuh uji pendahuluan maka dibuat konsentrasi baru yaitu 60%, 40%, 20% dan 0% (sebagai kontrol) dan waktu perlakuan 14 hari untuk uji sesungguhnya.

Perlakuan. Aklimasi tanaman kayu apu dan genjer selama 1 minggu pada bak-bak plastik yang diisi dengan air. Menimbang kayu apu dan genjer dengan berat masingmasing 300 g dengan umur kira-kira 1 bulan. Media air pada bak-bak aklimasi tanaman dibuang dan diganti dengan air limbah yang baru sebanyak 10 L. Sebelum dan setelah perlakuan air limbah diukur parameter fisika dan kimianya yang meliputi: suhu, DO, pH dan alkalinitas dengan metode indikator warna (Alaerts dan Santika, 1987). Pengukuran berat basah, panjang akar dan klorofil total dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada panjang gelombang 663 nm dan 645 nm (Anggarwulan, 2000). Penentuan kadar sulfat dan fosfat menggunakan Spektrofotometer UV-Vis (Bappedal, 1994) Data parameter kualitas air limbah detergen meliputi pH, oksigen terlarut, suhu, alkalinitas, sulfat dan fosfat serta pertumbuhan tanaman air meliputi berat basah, panjang akar dan klorofil total tanaman dianalisis dengan Anava dan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan pencemar pada limbah detergen Penelitian ini dilaksanakan dua tahap yaitu uji pendahuluan dan uji sesungguhnya. Uji pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tanaman yang mampu bertahan hidup paling lama pada konsentrasi limbah yang telah ditentukan yaitu konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25% dan 0% (sebagai kontrol) selama 7 hari dan untuk mengetahui batasan waktu hidup suatu tanaman dalam lingkungan yang tercemar. Pada uji pendahuluan dilakukan pengukuran parameter kualitas air limbah (pH, Oksigen terlarut, suhu, alkalinitas, sulfat dan fosfat) pada konsentrasi limbah detergen 100%. Hal ini digunakan untuk mengetahui besarnya bahan pencemar yang terkandung dalam limbah detergen, untuk kemudian dibandingkan dengan limbah yang telah diencerkan. Dari Tabel 1 diketahui bahwa parameter kualitas air limbah detergen (konsentrasi 100%) berupa pH dan suhu berada di atas baku mutu limbah yang ditetapkan oleh Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No: 660.1/02/1997. Sedangkan untuk parameter kadar fosfat nilainya berada di bawah Baku Mutu Limbah. Pengenceran air limbah dengan air ledeng mempengaruhi parameter kualitas air limbah detergen. Pengenceran akan menurunkan nilai pH, suhu, alkalinitas, kadar sulfat dan fosfat air limbah detergen. Berdasarkan uji pendahuluan, sampai hari ke-7 diketahui bahwa untuk konsentrasi limbah 100% dan 75% tidak ada lagi tanaman uji yang tumbuh. Pada konsentrasi 50%, 5 tanaman uji (dari 10 tanaman uji yang diperlakukan) berupa tanaman kayu apu dan genjer masih hidup. Dari hasil tersebut ditetapkan waktu untuk uji sesungguhnya selama 14 hari, dengan asumsi bahwa pada rentang waktu tersebut tanaman diperkirakan masih dapat diamati (belum mati) sehingga diharapkan dapat diketahui pengaruh limbah terhadap tanaman maupun kemampuan tanaman dalam memperbaiki kualitas air limbah detergen. Uji sesungguhnya dilakukan dengan limbah detergen yang

HERMAWATI dkk. – Fitoremidiasi limbah detergen dengan Pistia stratiotes dan Limnocharis flava

baru, jadi tidak menggunakan limbah yang lama. Jumlah tanaman yang masih tetap hidup pada uji pendahuluan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Nilai awal parameter air limbah detergen pada berbagai konsentrasi. Konsentrasi detergen (%) 0 20 40 60 100 BMLC 6-9 9,31 9,75 9,94 12 7,85 pH 6,35 4,00 2,50 1,03 6 8,07 DO (mg/L) 30 31,6 31,7 32,4 33 30,6 Suhu (0C) 72,7 117,7 127,7 1200 Alkalinitas (mg/L) 57 0,1300 1,500 2,300 2,900 3 Sulfat (mg/L) 4 0,8000 2,000 2,000 2,900 4 Fosfat (mg/L) Keterangan: BMLC: Baku Mutu Limbah Cair Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No: 660.1/02/1997. Parameter

Tabel 2. Jumlah tanaman uji yang hidup sampai pada akhir uji pendahuluan. Konsentrasi Tanaman detergen (%) 1 100 Kayu apu 10 Genjer 10 75 Kayu apu 10 Genjer 10 50 Kayu apu 10 Genjer 10 25 Kayu apu 10 Genjer 10 0 Kayu apu 10 Genjer 10

2

3

9 10 8 9 10 10 10 10 10 10

0 8 6 9 9 10 10 10 10 10

Hari ke4 5 0 3 5 9 9 10 10 10 10

0 0 8 8 10 10 10 10

6

7

6 8 10 10 10 10

5 5 10 10 10 10

Pada uji sesungguhnya konsentrasi limbah detergen yang dipakai (yang akan diuji) adalah konsentrasi limbah detergen di bawah 75% yaitu 60%, 40%, 20% dan 0% (kontrol). Parameter kualitas air limbah detergen pada konsentrasi-konsentrasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Kualitas air limbah detergen setelah perlakuan dengan tanaman Derajat keasaman (pH). Detergen di dalam air menganggu karena larutan sabun akan menaikkan pH air (Wardhana, 1995; Fardiaz, 1992). Nilai pH air limbah industri detergen sebelum pengenceran sebesar 12 (Tabel 1). Tingginya nilai pH sebelum pengenceran dimungkinkan karena dalam detergen terdapat penambahan zat yang bersifat alkalis yang dapat mengikat kotoran. Nilai pH limbah detergen yang masih diperbolehkan untuk dibuang ke lingkungan sebesar 6-9, yang ditetapkan oleh Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No: 660.1/02/1997. Nilai pH baik sebelum maupun setelah pengenceran berada di atas baku mutu limbah cair industri detergen yang diperbolehkan. Menurut Fardiaz (1992) Limbah detergen bersifat alkalis dan air ledeng yang digunakan untuk mengencerkan limbah detergen menganung kapur. Adanya zat kapur di dalam air akan mengubah sistem penyangga (buffer) air dan memungkinkan perubahan nilai pH (Wardhana, 1995; Salisbury dan Ross,

117

1995). Detergen yang mengandung fosfat jika dilarutkan dalam air memiliki pH antara 9-10,5 (Fardiaz, 1992). Hasil analisis sidik ragam pada parameter persentase perubahan pH air limbah detergen menunjukkan bahwa perlakuan jenis tanaman dan interaksi antara jenis tanaman dengan tingkat konsentrasi limbah detergen memberikan pengaruh nyata terhadap persentase perubahan pH air limbah detergen. Tingkat konsentrasi limbah detergen tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase perubahan pH. Nilai pH air limbah detergen disajikan pada Tabel 3, sedangkan persentase perubahan pH air limbah terlihat pada Tabel 4. Derajat keasaman (pH) air limbah detergen pada konsentrasi 60% mengalami penurunan tertinggi pada perlakuan dengan tanaman kayu apu sebesar 7,55% atau dari 9,94 menjadi 9,19. pH limbah detergen dengan konsentrasi 40% mengalami penurunan tertinggi juga pada tanaman kayu apu sebesar 9,74% atau dari 9,75 menjadi 8,80. pH air limbah detergen pada konsentrasi 20% mengalami penurunan tertinggi pada perlakuan dengan tanaman genjer sebesar 9,24% atau dari 9,31 menjadi 8,45, sedangkan pada konsentrasi 0% atau kontrol justru mengalami peningkatan nilai pH pada semua perlakuan tanaman. Penurunan pH oleh kedua tanaman disebabkan karena terserapnya unsur-unsur dalam air limbah ke dalam akar tanaman dalam jumlah yang banyak. Secara umum pH air dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 bebas. Fitoplankton dan tanaman air lainnya akan mengambil CO2 dari air selama proses fotosintesis sehingga mengakibatkan pH air meningkat pada siang hari dan menurun pada malam hari (Cholik dkk., 1991). Penurunan nilai pH limbah detergen diduga karena terjadinya pelepasan gugus sulfonat dari detergen yang kemudian teroksidasi menjadi sulfat (Suharjono dan Kurniati, 1994). Nilai derajat keasaman (pH), kandungan CO2 dan ion bikarbonat dalam air limbah sangat berkaitan. CO2 dapat mempengaruhi pH perairan dan dapat mempengaruhi kandungan bikarbonat. Hal ini berarti bahwa kehadiran CO2 menghasilkan ion bikarbonat. Kandungan ion bikarbonat dan CO2 akan membentuk sistem penyangga air. Jika penguraian CO2 dan bikarbonat meningkat maka pH air menjadi sangat tinggi (Mahida, 1986). Peningkatan CO2 yang diduga akibat adanya penguraian dalam proses fotosintesis menyebabkan terbentuknya asam karbonat dan bikarbonat oleh adanya reaksi ikatan CO2 dengan H2O menjadi lebih sedikit, sehingga jumlah ion H+ yang dibebaskan dalam reaksi tersebut menjadi berkurang dengan berkurangnya kandungan ion H+ maka pH air meningkat (Connell dan Miller, 1995; Hariyati, 1995). Meningkatnya nilai pH juga disebabkan oleh adanya pelarutan ion-ion logam sehingga dapat merubah konsentrasi ion hidrogen dalam air (Wardhana, 1995). Perbaikan nilai pH air limbah detergen pada perlakuan diduga karena kemampuan kedua tanaman untuk menyerap unsur-unsur kimia baik organik maupun anorganik sehingga mencegah proses penguraian senyawa organik maupun anorganik melalui proses kimiawi oleh faktor lingkungan. Sumber dari ion hidrogen pada perairan alami adalah asam karbonat dalam berbagai bentuk (Cole, 1979).

B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 115-124

118

Tabel 3. Nilai parameter lingkungan air limbah detergen sebelum perlakuan dan setelah 14 hari. Parameter lingkungan pH

Oksigen terlarut (mg/L) Suhu (0C)

Alkalinitas (mg/L) Sulfat (mg/L) Fosfat (mg/L)

Konsentrasi Detergen (%) 0 20 40 60 0 20 40 60 0 20 40 60 0 20 40 60 0 20 40 60 0 20 40 60

Tanpa tanaman Sebelum Setelah 8,85 7,85 9,07 9,31 9,12 9,75 9,34 9,94 3,72 8,07 3,69 6,35 3,49 4,00 2,58 2,50 30,6 28,0 31,6 26,8 31,7 27,4 32,4 27,7 57,0 481,3 72,7 502,0 117,7 713,3 127,7 764,7 0,130 0,120 1,500 1,420 2,300 1,556 2,900 1,693 0,800 0,753 2,000 1,456 2,000 1,644 2,900 2,542

Kayu apu Sebelum 7,85 9,31 9,75 9,94 8,07 6,35 4,00 2,50 30,6 31,6 31,7 32,4 57,0 72,7 117,7 127,7 0,130 1,500 2,300 2,900 0,800 2,000 2,000 2,900

Setelah 8,12 8,48 8,80 9,19 2,48 2,41 3,08 3,24 27,6 27,1 27,7 26,9 237,3 484,0 1316,3 1132,7 0,066 1,299 1,420 1,674 0,561 1,162 1,649 2,121

Genjer Sebelum 7,85 9,31 9,75 9,94 8,07 6,35 4,00 2,50 30,6 31,6 31,7 32,4 57,0 72,7 117,7 127,7 0,130 1,500 2,300 2,900 0,800 2,000 2,000 2,900

Setelah 8,52 8,45 8,81 9,23 3,20 2,32 2,41 3,05 26,8 26,9 26,9 27,3 509,7 570,7 912,0 1065,3 0,060 1,312 1,516 1,650 0,738 1,423 1,456 1,977

Tabel 4. Nilai presentase perubahan parameter lingkungan air limbah detergen setelah 14 hari. Perlakuan Tanpa Kayu apu Genjer Rerata tanaman pH 0 + 12.,4a + 3,44j + 8,54e + 8,24b 20 − 8,92d − 9,24c − 6,91c − 2,58k h b b 40 − 9,74 − 9,64 − 8,61a − 6,46 60 − 7,55f − 7,14g − 6,92c − 6,06i Rerata − 7,41b − 8,64a − 6,96c oksigen terlarut 0 − 53,90e − 69,27a − 60,35d − 61,17a (mg/L) 20 − 41,89f − 62,01c − 63,46b − 55,79b 40 − 39,75g − 25,17c − 12,75k − 23,00i l h 60 + 3,20 + 29,60 + 22,00j + 18,27d Rerata − 27,94c − 45,97b − 46,39a Suhu (0C) 0 − 12,40 de − 10,23d − 8,50fg − 9,80ef b cd 20 − 14,90bc − 14,77b − 15,20 − 14,20 40 − 13,60cd − 12,60bc − 15,10ab − 13,77c 60 − 14,50bc − 16,90a − 15,70ab − 15,70a Rerata − 12,95b − 13,38a − 14,53a 0 + 744,4a + 316,3a + 794,2 a + 618,30a Alkalinitas (mg/L) 20 + 590,5a + 565,8a + 685,0a + 613,77a 40 + 506,0a + 1018,4a + 674,9a + 733,10a 60 + 498,8a +787,0a +734,2a + 673,30a Rerata + 584,93a + 671,88a + 722,08a Sulfat (mg/L) 0 − 49,2a − 53,9a − 36,93b − 7,7j j i h 20 − 13,4 − 12,5 − 10,40d − 5,3 40 − 38,3e − 34,1f − 34,90c − 32,3g 60 − 42,3c − 43,1b − 42,33a − 41,6d b a a Rerata − 35,90 − 21,73 − 35,80 Fosfat (mg/L) 0 − 5,9a − 29,9a − 7,8 a − 36,93a a a 20 − 41,9 − 28,9a − 10,40a − 27,2 a a a 40 − 17,8 − 17,6 − 34,90a − 6,1 60 − 39,5a − 31,8a − 42,33 a − 12,3a Rerata − 21,73b − 35,80a − 35,90 a Keterangan: (+) menunjukkan peningkatan. (−) menunjukkan penurunan. Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom maupun dalam baris untuk setiap perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Parameter lingkungan

Konsentrasi detergen (%)

Oksigen terlarut (DO) Oksigen merupakan faktor penting untuk respirasi makhluk hidup. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tergantung dari kemampun air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan untuk kehidupan (Wardhana, 1995). Kadar oksigen terlarut limbah detergen sebelum diencerkan sebesar 1,03 mg/L (Tabel 1). Pengenceran air limbah detergen meningkatkan nilai oksigen terlarut. Nilai ini menurut Dix (1981), terlalu rendah untuk mendukung berlangsungnya kehidupan organisme akuatik. Kadar oksigen terlarut di bawah 3 ppm akan membahayakan organisme perairan karena dapat mengakibatkan kematian. Hasil analisis sidik ragam pada parameter persentase perubahan oksigen terlarut air limbah detergen menunjukkan bahwa perlakuan jenis tanaman dan tingkat konsentrasi detergen berpengaruh nyata terhadap persentase perubahan oksigen terlarut air limbah detergen. Interaksi antara perlakuan jenis tanaman dan tingkat konsentrasi limbah detergen tidak berpengaruh nyata terhadap persentase perubahan oksigen terlarut. Nilai oksigen terlarut air limbah detergen disajikan pada Tabel 3, sedangkan persentase perubahan oksigen terlarut air limbah terlihat pada Tabel 4. Oksigen terlarut limbah detergen pada konsentrasi 60% mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi untuk konsentrasi 60% pada perlakuan tanpa tanaman sebesar 29,6% atau dari 2,50 mg/L menjadi 3,24 mg/L. Sedangkan pada konsentrasi limbah detergen 40% mengalami penurunan tertinggi pada perlakuan dengan tanaman genjer sebesar 39,75% atau dari 4,00 mg/L menjadi 2,41 mg/L. Begitu juga pada konsentrasi limbah detergen 20% dengan perlakuan tanaman yang sama (genjer) mengalami penurunan sebesar 63,46% atau dari 6,35 mg/L menjadi 2,32 mg/L. Sedangkan pada kontrol atau konsentrasi 0% juga mengalami penurunan yang tertinggi pada perlakuan dengan tanaman kayu apu sebesar 69,27% atau dari 8,07 mg/L menjadi 2,48 mg/L. Pengolahan air limbah diharapkan dapat meningkatkan nilai oksigen terlarut, namun yang terjadi pada penelitian justru sebaliknya. Hasil pengukuran nilai oksigen terlarut pada akhir perlakuan berkisar antara 2,32-3,69 mg/L. Nilai ini termasuk rendah untuk mendukung kehidupan organisme perairan. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh tidak adanya aliran air. Pada percobaan ini, air limbah pada kondisi yang tetap dan berada dalam bak tanpa aerasi (aliran air) sehingga mengakibatkan rendahnya oksigen terlarut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dan Terangna (1989) bahwa tanpa aerasi kadar oksigen menurun terus sampai mencapai 2,3

HERMAWATI dkk. – Fitoremidiasi limbah detergen dengan Pistia stratiotes dan Limnocharis flava

119

mg/L. Sedangkan pada kondisi dengan aerasi kadar oksigen terlarut dapat dipertahankan berkisar 6-7 mg/L. Penutupan bak-bak uji oleh tanaman mungkin dapat menurunkan oksigen terlarut air limbah detergen. Pada perlakuan tanpa tanaman tidak terjadi penutupan permukaan air oleh tanaman sehingga nilai oksigen terlarutnya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanaman. Tidak adanya penutupan tanaman pada media uji menyebabkan oksigen bebas sangat mudah untuk larut dalam air. Pada perlakuan dengan tanaman, luas permukaan yang terkena udara bebas lebih sedikit sehingga nilai oksigen terlarut menurun lebih cepat. Selain itu area penutupan permukaan air limbah oleh kedua tanaman juga mempengaruhi oksigen bebas untuk larut dalam air limbah tersebut. Dalam hal ini kayu apu lebih rapat menutupi permukaan air dibandingkan dengan tanaman genjer disebabkan bentuk daun kayu apu mengapung di permukaan air, sedangkan genjer hanya batangnya saja yang berada di dalam air sehingga masih memungkinkan oksigen bebas berdifusi ke dalam media percobaan. Menurut Connell dan Miller (1995) bahwa adanya peletakan tanaman dapat mempengaruhi kelarutan oksigen pada perairan. Waktu pengambilan data juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut. Menurut Connell dan Miller (1995) bahwa kadar oksigen terlarut mencapai maksimum pada siang hari dan petang hari serta menurun terus sampai menjelang fajar. Kandungan oksigen terlarut maksimum pada siang hari karena pada saat itu tanaman aktif melakukan fotosintesis sehingga banyak dihasilkan oksigen. Sedangkan pada saat malam hari semua tanaman tidak melakukan fotosintesis sehingga oksigen yang tersedia digunakan untuk respirasi seluruh makhluk hidup dalam perairan sehingga jumlahnya menurun hingga menjelang fajar. Pada saat matahari muncul maka tanaman akan berfotosintesa lagi dan lambat laun jumlah oksigen terlarut akan mencapai maksimum lagi.

tertinggi pada perlakuan dengan tanaman genjer sebesar 15,1% atau dari 31,70C menjadi 26,90C. Suhu air limbah detergen pada konsentrasi 20% mengalami penurunan tertinggi pada perlakuan tanpa tanaman sebesar 15,2% atau dari 310C menjadi 26,80C dan pada kontrol mengalami penurunan tertinggi pada perlakuan dengan tanaman genjer sebesar 12,4% atau sebesar 30,60C menjadi 26,80C. Hal ini disebabkan karena morfologi tanaman genjer ramping sehingga memungkinkan oksigen bebas dapat berdifusi dengan media. Berdifusinya oksigen bebas ke dalam media mungkin dapat menyebabkan turunnya suhu air limbah. Suhu, pH dan adanya zat-zat lain dapat mempengaruhi kepekatan busa detergen (Connell dan Miller, 1995). Suhu air mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses pertukaran zat (metabolisme) pada makhluk hidup. Disamping itu suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jumlah oksigen terlarut dalam air (Komar dalam Permana, 2003). Suhu dan pH merupakan faktor penentu yang saling menunjang aktivitas enzimatis enzim-enzim perombak alkylbenzensulfonate. Enzim perombak alkylbenzensulfonate bekerja optimal pada suhu 280C (Kaczorowski et al. dalam Wignyanto dkk., 1997; Suharjono dan Kurniati, 1994). Suhu merupakan faktor penentu kerja enzim perombak alkilbenzensulfonat. Suhu yang terlalu tinggi dan terlalu rendah dapat menyebabkan enzim yang berupa protein akan mengalami denaturasi (Wignyanto dkk., 1997). Morfologi kedua tanaman juga mempengaruhi suhu limbah detergen. Menurut Tjitrosoepomo (2000), tanaman kayu apu memiliki bentuk morfologi yang menutupi seluruh permukaan media sedangkan tubuh tanaman genjer tidak seluruhnya menutupi permukaan media. Penutupan oleh tubuh tanaman mempengaruhi penurunan suhu pada limbah detergen. Selain itu waktu pengambilan data juga mempengaruhi nilai suhu. Tingginya suhu buangan limbah detergen akan mengakibatkan turunnya kadar oksigen terlarut (Riyadi, 1984).

Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam penanganan limbah. Limbah detergen sebelum pengenceran mempunyai suhu 330C (Tabel 1). Suhu tersebut berada di atas baku mutu yang telah ditetapkan. Pada suhu yang tinggi oksidasi bahan organik lebih besar (Mahida, 1986). Tingginya suhu pada limbah detergen disebabkan pada saat proses pencucian menggunakan air yang panas sehingga mengakibatkan naiknya suhu air limbah detergen. Hasil analisis sidik ragam pada parameter persentase perubahan suhu air limbah detergen menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi detergen berpengaruh nyata terhadap persentase perubahan suhu air limbah detergen. Perlakuan jenis tanaman dan interaksi antara jenis tanaman dan tingkat konsentrasi limbah detergen tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap persentase perubahan suhu. Nilai suhu air limbah detergen disajikan pada Tabel 3, sedangkan persentase perubahan suhu air limbah terlihat pada Tabel 4. Suhu air limbah detergen pada konsentrasi 60% dengan perlakuan kayu apu mengalami penurunan sebesar 16,9% atau dari 32,40C menjadi 26,90C, sedangkan pada konsentrasi limbah detergen 40% mengalami penurunan

Alkalinitas Alkalinitas biasanya merupakan refleksi dari aktivitas kalsium karbonat dan terbentuknya hidroksida dan karbondioksida yang mengalami proses penguraian (Mahida, 1986). Alkalinitas limbah detergen sebelum pengenceran sebesar 1200 mg/L (Tabel 1). Alkalinitas air limbah detergen setelah diencerkan menunjukkan penurunan, namun setelah diperlakukan selama 14 hari ternyata kadar alkalinitas air limbah detergen menunjukkan peningkatan. Hasil analisis sidik ragam pada parameter persentase perubahan alkalinitas air limbah detergen menunjukkan bahwa perlakuan jenis tanaman, tingkat konsentrasi detergen dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase perubahan alkalinitas air limbah detergen. Nilai alkalinitas air limbah detergen disajikan pada Tabel 3, sedangkan persentase perubahan alkalinitas air limbah terlihat pada Tabel 4. Pada Tabel persentase perubahan alkalinitas dan nilai alkalinitas, terlihat bahwa pada semua tingkat konsentrasi menunjukkan peningkatan. Alkalinitas limbah detergen pada konsentrasi 60% dengan perlakuan tanaman kayu apu mengalami

120

B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 115-124

peningkatan alkalinitas tertinggi sebesar 787% atau dari 127,7 mg/L menjadi 1132,7 mg/L. Pada konsentrasi 40% pada tanaman yang sama (kayu apu) juga mengalami peningkatan alkalinitas air limbah detergen sebesar 1018,4% atau dari 117,7 mg/L menjadi 1316,3 mg/L. Alkalinitas air limbah detergen pada konsentrasi 20% mengalami peningkatan pada perlakuan tanaman genjer sebesar 685% atau meningkat dari 72,7 mg/L menjadi 570,7 mg/L. Pada kontrol atau konsentrasi 0% juga mengalami peningkatan alkalinitas pada tanaman genjer sebesar 794,2% atau meningkat dari 57 mg/L menjadi 509,7 mg/L. Nilai alkalinitas air limbah detergen pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa setelah perlakuan menunjukkan peningkatan. Peningkatan kadar alkalinitas air limbah detergen disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan detergen yang memiliki kadar alkalinitas tinggi yaitu hamixs. Hamixs adalah obat pencucian yang berwujud bubuk atau detergen dengan kadar alkalinitas tinggi. Nilai derajat keasaman (pH), kandungan CO2 dan ion bikarbonat dalam air limbah sangat berkaitan. CO2 dapat mempengaruhi pH perairan dan dapat mempengaruhi kandungan bikarbonat. Hal ini berarti bahwa kehadiran CO2 menghasilkan ion bikarbonat. Kandungan ion bikarbonat dan CO2 akan membentuk sistem penyangga air. Jika penguraian CO2 dan bikarbonat meningkat maka pH air menjadi sangat tinggi (Mahida, 1986). Kadar alkalinitas berkaitan dengan nilai pH dan adanya ion bikarbonat dan karbonat. Terbentuknya ion bikarbonat dan karbonat karena adanya proses fotosintesis oleh tanaman sehingga menyebabkan jumlah ion H+ menjadi sedikit, dengan sedikitnya ion H+ serta adanya penghambatan pembebasan ion hidrogen mengakibatkan peningkatan kadar alkalinitas (Hariyati, 1995). Peningkatan alkalinitas diduga adanya tindakan penyangga yang dilakukan air karena bertambahnya anion-anion bikarbonat dan karbonat sehingga air cenderung bersifat basa dan mempunyai kemampuan menahan ion hidrogen (Michael, 1995). Sulfat (SO42-) Sulfur dalam tumbuhan sebagai protein khususnya dalam asam amino sistein dan metionin yang merupakan bagian pembangun protein. Senyawa esensial lain yang mengandung belerang adalah vitamin, tiamin, biotin dan ko-enzim A, suatu senyawa yang penting dalam respirasi dan dalam sintesis serta pemecahan lemak (Salisbury dan Ross, 1995). Hasil analisis sidik ragam pada parameter persentase perubahan sulfat air limbah detergen menunjukkan bahwa baik perlakuan jenis tanaman, tingkat konsentrasi detergen maupun interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata terhadap parameter persentase perubahan sulfat air limbah detergen. Nilai sulfat air limbah detergen disajikan pada Tabel 3, sedangkan persentase perubahan sulfat air limbah terlihat pada Tabel 4. Sulfat air limbah detergen pada konsentrasi limbah 60% mengalami penurunan tertinggi pada perlakuan dengan tanaman kayu apu sebesar 43,1% atau menurun dari 2,900 mg/L menjadi 1,650 mg/L. Perlakuan dengan tanaman kayu apu pada konsentrasi limbah detergen 40% juga menurunkan kadar sulfat sebesar

38,3% atau dari 2,300 mg/L menjadi 1,516 mg/L. Sedangkan pada konsentrasi limbah detergen 20% dengan tanaman yang sama (kayu apu) juga menurunkan sulfat sebesar 13,4% atau dari 1,500 mg/L menjadi 1,299 mg/L. Pada perlakuan tanaman genjer dengan konsentrasi limbah 0% (kontrol) juga mengalami penurunan sulfat 49,2% atau dari 0,130 mg/L menjadi 0,066 mg/L. Sebagian besar belerang diserap dalam bentuk anion sulfat bervalensi dua. Belerang dimetabolismekan oleh akar sebanyak yang diperlukan saja dan sebagian besar sulfat ditranslokasikan tanpa perubahan ke tajuk melalui xilem. Belerang dalam bentuk sulfit yang bereaksi dengan air dalam sel dapat menghambat fotosintesis dan merusak klorofil (Salisbury dan Ross, 1995). Penurunan kadar sulfat dipengaruhi penyerapan tanaman dan pengendapan sulfat bersama zat-zat lain di dasar perairan (Rompas, 1998). Fosfat (PO42-) Bahan pembentuk utama di dalam detergen adalah natrium tripolifosfat dan dodesil benzen sulfonat (Fardiaz, 1992). Fosfat dalam tanaman ditemukan dalam bentuk fosfat ester, termasuk gula fosfat yang berperan penting dalam fotosintesis dan metabolisme intermedier, nukleotida berupa DNA dan RNA seperti juga fosfolipid dalam membran, fosfat dalam bentuk ATP, ADP dan Pi juga berperan dalam metabolisme energi dalam sel (Hopkins, 1995). Fosfor diserap tanaman terutama dalam bentuk ion H2PO4- dan H2PO42-. Penyerapan anion ini erat kaitannya dengan kondisi pH (Gardner et al., 1991). Hasil analisis sidik ragam pada parameter persentase perubahan fosfat air limbah detergen menunjukkan bahwa perlakuan jenis tanaman berpengaruh nyata terhadap persentase perubahan fosfat air limbah detergen. Tingkat konsentrasi detergen dan interaksi antara perlakuan jenis tanaman dengan tingkat konsentrasi limbah detergen tidak berpengaruh nyata terhadap persentase perubahan fosfat air limbah detergen. Nilai fosfat air limbah detergen disajikan pada Tabel 3, sedangkan persentase perubahan fosfat air limbah detergen terlihat pada Tabel 4. Fosfat air limbah detergen mengalami penurunan pada konsentrasi 60% dengan perlakuan tanaman kayu apu sebesar 39,5% atau menurun dari 2,900 mg/L menjadi 2,121 mg/L. Pada tanaman yang sama (kayu apu) juga menurunkan fosfat air limbah detergen pada konsentrasi 40% sebesar 17,8% atau dari 2,000 mg/L menjadi 1,649 mg/L. Air limbah detergen pada konsentrasi 20% juga mengalami penurunan dengan perlakuan tanaman kayu apu sebesar 41,9% atau menurun dari 2,000 mg/L menjadi 1,162 mg/L. Sedangkan pada konsentrasi limbah 0% (kontrol) penurunan fosfat tertinggi pada perlakuan dengan kayu apu sebesar 29,9% atau menurun dari 0,800 mg/L menjadi 0,561 mg/L. Nilai fosfat air limbah detergen pada Tabel 4, setelah 14 hari perlakuan berkisar antara 0,018-2,542 mg/L masih dalam taraf aman bagi lingkungan karena berada di bawah baku mutu lingkungan yang ditetapkan yaitu 3 mg/L. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa fosfat yang dibutuhkan tanaman masih cukup. Artinya jumlah fosfat tersebut tidak berada dalam jumlah yang mengganggu kehidupan tanaman sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan

HERMAWATI dkk. – Fitoremidiasi limbah detergen dengan Pistia stratiotes dan Limnocharis flava

Tabel 5. Nilai parameter pertumbuhan tanaman air sebelum perlakuan dan setelah perlakuan dengan limbah detergen selama 14 hari. Parameter pertumbuhan Berat basah (g)

Panjang akar (cm)

klorofil total (mg/L)

Kayu apu Konsentrasi detergen (%) Sebelum Setelah 0 300,00 288,33 20 300,00 276,67 40 300,00 276,67 60 300,00 100,00 0 16,03 6,83 20 16,07 6,27 40 16,51 5,67 60 18,90 6,10 0 12,16 8,32 20 12,95 7,25 40 12,24 5,70 60 12,60 5,24

Genjer Sebelum Setelah 300,00 233,33 300,00 161,67 300,00 133,33 300,00 000,00 22,40 17,40 22,09 15,52 23,33 7,40 22,71 0,00 25,78 10,88 25,15 15,60 29,31 15,74 23,71 0,00

Tabel 6. Nilai persentase perubahan parameter pertumbuhan tanaman air dengan perlakuan limbah detergen setelah 14 hari.

121

Penyerapan fosfat oleh akar tergantung pada sistem transpor aktif dalam membran sel dan melibatkan ATP sehingga mampu melawan gradien konsentrasi fosfat dalam sel akar (Poerwowidodo, 1993). Jika fosfor terdapat dalam jumlah yang berlebihan pertumbuhan akar akan melebihi tajuk. Penimbunan fosfat dalam tubuh akan mengakibatkan pengikatan ion logam-logam berat terganggu (Santosa, 1975). Akar tumbuhan berperan sangat baik menyerap fosfor yang terkandung dalam air limbah. Kelebihan fosfat di vakuola tersimpan sebagai endapan polyfosfat dan dalam bentuk inositol heksafosfat (Rompas, 1998). Defisiensi fosfor berpengaruh pada semua aspek metabolisme dan pertumbuhan. Tanaman yang mengalami defisiensi fosfor, pertumbuhannya lambat dan sering tumbuh kerdil (Anggarwulan dan Solichatun, 2001).

Pengaruh limbah detergen terhadap tanaman Berat basah tanaman Tanpa Biomassa tanaman merupakan ukuran yang Kayu apu Genjer Rerata tanaman paling sering digunakan untuk menggambarkan Berat basah 0 − 22,20a − 13,05a − 36,93a − 3,90a dan mempelajari pertumbuhan tanaman. Hal ini a a a a (g) 20 − 7,80 − 46,11 − 26,96 − 10,40 berdasarkan atas kenyataan bahwa taksiran 40 − 55,60a − 24,47a − 34,90a − 17,80a biomassa (berat) tanaman relatif mudah diukur a a a a 60 − 100,00 − 83,35 − 42,33 − 66,70 dan merupakan integrasi dari hampir semua a a Rerata − 55,98 − 24,05 peristiwa yang dialami tanaman (Sitompul dan d e d Panjang akar 0 − 22,3 − 39,85 − 57,4 Guritno, 1995). Menurut Foth (1995) berat (cm) 20 − 61,0c − 29,7e − 45,35c basah tanaman menunjukkan besarnya b b b 40 − 68,3 − 67,00 − 65,7 kandungan air dalam jaringan atau organ 60 − 100,0a − 83,86a − 67,7b tumbuhan selain bahan organik. Rerata − 62,95a − 55,08a f e d Hasil analisis sidik ragam pada parameter Klorofil total 0 − 37,9 − 34,7 − 31,6 persentase perubahan berat basah tanaman air (mg/L) 20 − 46,3d − 45,15c − 44,0d menunjukkan bahwa perlakuan jenis tanaman, 40 − 53,4c − 57,8b − 55,60b b a a tingkat konsentrasi detergen dan interaksi antara 60 − 58,4 − 100,0 − 79,02 tingkat konsentrasi detergen dengan jenis Rerata − 46,85a − 60,50 a tanaman memberikan pengaruh yang nyata Keterangan: (−) menunjukkan penurunan. Angka yang diikuti huruf yang terhadap persentase perubahan berat basah sama dalam kolom maupun dalam baris untuk setiap perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. tanaman air. Nilai rerata berat basah tanaman air dengan perlakuan air limbah detergen disajikan pada Tabel 5, sedangkan persentase perubahan tanaman air secara berlebihan dan mengakibatkan berat basah tanaman air dengan perlakuan air limbah penurunan kualitas air. Ditinjau dari kondisi pH yang berkisar antara 8-9, maka detergen terlihat pada Tabel 6. Berat basah tanaman baik pada kayu apu maupun kondisi tersebut merupakan kondisi pH yang kurang baik genjer mengalami penurunan tertinggi pada konsentrasi bagi tersedianya unsur P (Gardner et al., 1991). Menurut Foth (1995) kondisi pH yang baik untuk penyerapan fosfat limbah detergen 60%. Pada kayu apu berat basah oleh tanaman antara 6-7. Di bawah atau di atas angka mengalami penurunan sebesar 66,7% atau menurun dari tersebut maka penyerapan unsur P akan terganggu. Pada 300g menjadi 100g dan pada tanaman genjer menurun pH di bawah 6 maka P dapat berikatan dengan Al maupun sebesar 100% atau dari 300g menjadi mati. Sedangkan Fe membentuk Al-fosfat atau Fe-fosfat, sehingga sulit pada konsentrasi limbah detergen 40%, 20% dan 0% juga untuk diserap akar tanaman. Menurut Hopkins (1995) pada mengalami penurunan yang lebih kecil dibandingkan pada kondisi di atas 7 maka unsur fosfor dalam bentuk H2PO4- konsentrasi 60%. Dengan kata lain semakin kecil tingkat tereduksi menjadi H2PO42- atau dalam bentuk PO43- yang konsentrasi limbah detergen penurunan berat basah lebih sukar diserap. Reduksi tersebut terjadi akibat adanya tanaman juga semakin kecil. Berat basah tanaman sebelum ion-ion hidroksil OH-. Sehingga pengaruh penghambatan perlakuan pada semua kelompok perlakuan sebesar 300g. penyerapan yang mungkin diakibatkan oleh unsur logam Pada akhir perlakuan terjadi penurunan berat basah tanaman. Hal ini berarti limbah detergen dapat terimbangi oleh kondisi pH yang tinggi. mempengaruhi pertumbuhan tanaman yaitu menurunkan

Parameter Konsentrasi pertumbuhan detergen (%)

Perlakuan

122

B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 115-124

berat basah tanaman. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa limbah detergen merupakan racun pada tanaman jika dalam jumlah yang banyak, dapat menurunkan berat basah tanaman bahkan menyebabkan kematian tanaman. Menurut Phatoni (2000) tanaman dalam kondisi air yang terbatas proses fotosintesisnya akan terhambat. Terhambatnya proses fotosintesis akan berdampak pada penurunan jumlah asimilat yang dibentuk oleh tanaman sehingga berpengaruh pada berat basah tanaman. Sedangkan menurut Salisbury dan Ross (1995), berat basah tanaman menunjukkan aktivitas metabolik tanaman. Nilai berat basah dipengaruhi oleh kadar air jaringan, unsur hara dan hasil metabolisme tanaman. Panjang akar tanaman Akar mempunyai peranan yang penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman karena akar menyerap air dan unsur hara. Denisen dalam Widianingsih (1999) menyatakan bahwa minimnya air yang masuk ke dalam akar mengakibatkan penurunan turgor sel-sel akar sehingga pengembangan sel-sel akar terhambat. Pengukuran parameter panjang akar dilakukan sebelum dan setelah perlakuan sehingga didapatkan selisih panjang akar setelah dan sebelum perlakuan. Hal ini bertujuan untuk melihat adanya perubahan akar karena limbah detergen. Hasil analisis sidik ragam pada parameter persentase perubahan panjang akar tanaman air menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi detergen dan interaksi antara tingkat konsentrasi detergen dengan jenis tanaman memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase perubahan panjang akar tanaman air. Perlakuan jenis tanaman tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap persentase perubahan panjang akar tanaman air. Nilai panjang akar tanaman air dengan perlakuan air limbah detergen disajikan pada Tabel 5, sedangkan persentase perubahan panjang akar tanaman air dengan perlakuan air limbah detergen terlihat pada Tabel 6. Panjang akar tanaman baik pada kayu apu maupun genjer mengalami penurunan tertinggi pada konsentrasi limbah detergen 60%. Pada kayu apu panjang akar mengalami penurunan sebesar 67,7% atau dari 18,90 cm menjadi 6,10 cm dan pada tanaman genjer menurun sebesar 100% atau dari 22,71 cm menjadi mati (0 cm). Pada konsentrasi limbah detergen 40%, 20% dan 0% juga mengalami penurunan yang lebih kecil dibandingkan pada konsentrasi 60%. Dengan kata lain semakin kecil tingkat konsentrasi limbah detergen penurunan panjang akar tanaman juga semakin kecil. Akar merupakan bagian tumbuhan yang pertama kali berinteraksi secara langsung pada limbah, maka akar akan rusak terlebih dahulu dibandingkan bagian lain dari tumbuhan sebagai renspon terhadap racun dari luar tubuh tumbuhan terutama bagi tanaman yang hidup di air. Menurut Gardner et al., (1991) pH di bawah 5 atau diatas 8 berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan akar tanaman. Pada pH dibawah 6, P dapat berikatan dengan Al maupun Fe membentuk Al-fosfat atau Fe-fosfat yang dapat bersifat racun serta membatasi pertumbuhan akar. pH yang baik untuk tersedianya unsur hara bagi tanaman berkisar antara 6-7. Pada percobaan ini pH antara 8-9 sehingga penyerapan

unsur hara oleh akar terganggu dan cenderung merusak akar (Gardner et al., 1991; Foth, 1995). Limbah selain mengandung unsur-unsur esensial (C, H, O, N, P, K, S, Ca, Mg dan Fe) juga mengandung unsur non esensial (Na, Si, Co dan Se) (Hopkins, 1995; Salisbury dan Ross, 1995; Gardner et al., 1991). Pemberian limbah cair yang semakin pekat akan meningkatkan jumlah unsur non esensial yang beracun. Disamping itu juga meningkatkan unsur yang semula esensial namun dalam jumlah banyak dapat menyebabkan gangguan atau keracunan tanaman (Gardner et al., 1991) Untuk mendapatkan unsur hara di lingkungan tumbuhnya, pertumbuhan akar tanaman mempunyai pengaruh yang besar. Perakaran yang baik (perakaran lebat berbentuk seperti benang, banyak rambut akar) akan mampu menyerap unsur hara dengan baik pula. Sedangkan perakaran yang tidak baik (matinya akar) akan menghambat penyerapan unsur hara (Widianingsih, 1999). Pada percobaan, terjadi penurunan panjang akar karena pengaruh limbah detergen. Menurut Srivastava dalam Widoretno (2000) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi absorbsi air adalah konsentrasi media. Semakin banyak zat terlarut konsentrasi semakin meningkat akibatnya ketersediaan air menurun. Dengan demikian konsentrasi limbah detergen yang tinggi dapat menurunkan panjang akar yang kemudian berpengaruh terhadap penyerapan unsur hara. Penurunan panjang akar disebabkan oleh berkurangnya jumlah masukan fotosintat yang didistribusikan ke akar. Berkurangnya jumlah fotosintat ini yang menyebabkan pertumbuhan akar terhambat, termasuk meristem di belakang ujung akar tempat akar mengalami pemanjangan. Menurut Gardner et al., (1991) panjang akar merupakan hasil pemanjangan sel-sel di belakang meristem ujung. Bila distribusi fotosintat ke akar berkurang maka pertumbuhan panjang akarpun ikut terhambat. Pada pengamatan morfologi akar diketahui bahwa akar kedua tumbuhan ini berwarna kemerahan dan beberapa tumbuhan muncul tunas baru. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya zat hara dalam air limbah dan terserapnya zat toksik oleh tumbuhan. Haslam (1997) mengatakan bahwa perubahan warna daun menjadi kekuningan pada beberapa spesies dapat disebabkan oleh pencemaran bahan organik. Tumbuhnya akar dan tunas baru mungkin sebagai cara tumbuhan ini untuk tetap bertahan hidup. Pada hari ke-14 (akhir perlakuan) seluruh daun kayu apu dan genjer berwana kuning bahkan beberapa tumbuhan mati. Akar tumbuhan kayu apu dan genjer menjadi berwarna merah kecoklatan dan beberapa serabut akar rontok. Secara keseluruhan massa kayu apu dan genjer berkurang. Lebih banyak bagian yang mati dari pada bagian yang hidup. Penyebabnya adalah keberadaan zat hara dalam air limbah yang semakin berkurang. Klorofil total tanaman Klorofil merupakan pigmen hijau daun yang berperan penting untuk terjadinya fotosintesis. Klorofil pada tumbuhan terdiri dari 2 macam yaitu: klorofil a dan b. Faktor-faktor yang mempengaruhi biosintesis klorofil adalah faktor genetik, cahaya, oksigen, karbohidrat,

HERMAWATI dkk. – Fitoremidiasi limbah detergen dengan Pistia stratiotes dan Limnocharis flava

Nitrogen (N); magnesium (Mg); besi (Fe), Mangan (Mn); tembaga (Cu); seng (Zn), air, dan temperatur. Tidak tersedianya unsur-unsur tersebut akan mengakibatkan klorosis (Dwijoseputro, 1994). Hasil analisis sidik ragam pada parameter persentase perubahan klorofil total tanaman air menunjukkan bahwa perlakuan jenis tanaman dan interaksi antara tingkat konsentrasi detergen dengan jenis tanaman memberikan pengaruh yang nyata. Tingkat konsentrasi detergen yang berbeda tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap persentase perubahan klorofil total tanaman air. Nilai klorofil total tanaman air dengan perlakuan air limbah detergen disajikan pada Tabel 5, sedangkan persentase perubahan klorofil total tanaman air dengan perlakuan air limbah detergen terlihat pada Tabel 6. Klorofil total tanaman baik pada kayu apu maupun genjer mengalami penurunan tertinggi pada konsentrasi limbah detergen 60%. Pada tanaman kayu apu klorofil total menurun sebesar 58,4% atau dari 12,60 mg/L menjadi 5,24 mg/L dan pada tanaman genjer mengalami penurunan sebesar 100% atau dari 23,71 mg/L menjadi 0 mg/L. Dengan kata lain tanaman genjer mati. Pada konsentrasi limbah detergen 40%, 20% dan 0% juga mengalami penurunan yang lebih kecil dibandingkan pada konsentrasi 60%. Dengan kata lain semakin kecil tingkat konsentrasi limbah detergen penurunan kadar klorofil total tanaman juga semakin kecil. Derajat keasaman (pH) air berkisar antara 6-7. Kondisi ini mendukung bagi tersedianya unsur hara tanaman, sehingga tanaman dapat menyerap unsur hara yang diperlukan untuk biosintesis klorofil (Foth, 1995). Pada penelitian ini pH air limbah antara 8-9. pH ini akan mengganggu penyerapan unsur hara oleh tanaman dan berakibat terganggunya proses biosintesis klorofil (Foth, 1995; Gardner et al., 1991). Pada kedua perlakuan tanaman baik kayu apu maupun genjer rata-rata mengalami penurunan klorofil total. Penurunan klorofil total terbesar pada konsentrasi limbah detergen 60%. Hal ini mungkin disebabkan karena konsentrasi limbah yang terlalu pekat. Penurunan klorofil total mungkin juga dipengaruhi oleh unsur fosfat dan sulfat. Limbah detergen mengandung fosfat anorganik berkisar antara 2-3 mg/L karena fosfat yang tinggi akan menyebabkan rendahnya laju fotosintesis. Jika fotosintesis terhambat maka pembentukan klorofilpun terhambat dan berakibat menurunnya klorofil di dalam daun (Salisbury dan Ross, 1995; Santosa, 1975). Hal ini tampak pada warna daun kedua tananam yang berwarna hijau kekuningan. Perubahan-perubahan morfologi yang dialami oleh tanaman yang digunakan dalam penelitian. Sebelum ditanam dalam air limbah (awal penelitian), tanaman kayu apu dan genjer tampak segar, daun dan akarnya berwarna hijau muda. Setelah beberapa hari, ujung daun terluar dari roset (daun yang lebih muda) daun tanaman kayu apu mulai layu dan warnanya menjadi hijau kekuningan. Pada tanaman genjer daun juga berubah warnanya menjadi hijau kekuningan. Selanjutnya sebagian besar daun-daun tanaman kayu apu berwarna kuning, sebagian daun terendam dalam air limbah dan membusuk, begitu juga

123

pada genjer daunnya berwarna coklat dan terendam dalam air limbah. Pada pengamatan morfologi akar diketahui bahwa akar kedua tumbuhan ini berwarna kemerahan dan beberapa tumbuhan muncul tunas baru. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya zat hara dalam air limbah dan terserapnya zat toksik oleh tumbuhan. Haslam (1997) mengatakan bahwa perubahan warna daun menjadi kekuningan pada beberapa spesies dapat disebabkan oleh pencemaran bahan organik. Tumbuhnya akar dan tunas baru mungkin sebagai cara tumbuhan ini untuk tetap bertahan hidup. Pada hari ke-14 (akhir perlakuan) seluruh daun kayu apu dan genjer berwana kuning bahkan beberapa tumbuhan mati. Akar tumbuhan kayu apu dan genjer menjadi berwarna merah kecoklatan dan beberapa serabut akar rontok. Secara keseluruhan massa kayu apu dan genjer berkurang. Lebih banyak bagian yang mati dari pada bagian yang hidup. Penyebabnya adalah keberadaan zat hara dalam air limbah yang semakin berkurang. Mutu air limbah detergen berada di atas Baku Mutu Limbah Cair untuk parameter pH, suhu, alkalinitas, sulfat dan fosfat. Perlakuan pemberian tanaman air, pada berbagai konsentrasi limbah dapat meningkatkan kualitas air limbah detergen. Perlakuan dengan pemberian tanaman air kayu apu memberikan penurunan yang lebih baik untuk parameter pH, suhu dan fosfat sedangkan tanaman genjer memberikan hasil penurunan yang lebih baik untuk parameter pH dan suhu, tetapi kedua tanaman meningkatkan alkalinitas limbah detergen. Parameter panjang akar, berat basah dan klorofil total tanaman kayu apu dan genjer mengalami penurunan terbesar pada konsentrasi limbah detergen 60%. Semakin tinggi konsentrasi limbah detergen maka penurunan parameter pertumbuhan tanaman juga semakin besar. Dengan demikian limbah detergen mempengaruhi pertumbuhan tanaman kayu apu dan genjer. KESIMPULAN Parameter kualitas air limbah detergen sebelum perlakuan berada di atas Baku Mutu Limbah berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/02/1997 diantaranya pH sebesar 12, Suhu 330C, fosfat (PO42-) 4 mg/L, dan alkalinitas sebesar 1200 mg/L.Tingkat pencemaran oleh limbah detergen dengan parameter kualitas air (pH, oksigen terlarut, suhu, alkalinitas sulfat dan fosfat) dapat diperbaiki oleh tanaman kayu apu dan genjer. Tanaman kayu apu menurunkan parameter suhu sebesar 16,9%, sulfat sebesar 43, 1% dan fosfat sebesar 41,9% sedangkan tanaman genjer hanya menurunkan parameter pH air limbah detergen sebesar 9,24%, tetapi kedua tanaman meningkatkan alkalinitas air limbah detergen. Pada konsentrasi limbah 60%, terjadi penurunan pertumbuhan tanaman kayu apu dan genjer. Berat basah dan panjang akar tanaman kayu apu menurun sebesar 66,7% sedangkan klorofil total menurun sebesar 58,4%. Tanaman genjer pada konsentrasi limbah detergen 60% mengalami kematian.

124

B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 115-124

DAFTAR PUSTAKA Alaerts, G dan S.S. Santika., 1987. Metode Penelitian Air. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Anggarwulan, E., 2000. Pertumbuhan dan Metabolisme C Ottelia alismoides (L.) Pers. pada Tinggi Genangan dan Kadar NPK Berbeda. [Tesis]. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Anggarwulan, E., dan Solichatun. 2001. Fisiologi Tumbuhan. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret. Anonymous, 1976. Making Aquatic Weeds Useful. Some Perspectives for Developing Countries. Washington: NAS. Bappedal. 1994. Standar Nasional Indonesia Pengujian Kualitas Air Sumber dan Limbah Cair. Jakarta: Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Cholik, F.A., Wiyono dan R. Arifudin. 1991. Pengelolaan kualitas air kolam ikan. INFISMANUALSENI 16: 1-9. Cole, G.A. 1979. Text Book of Limnology. 2nd edition. St. Louis: The C.V. Mosby Company. Connell, D.W and G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerjemah: Koestoer, Y. Jakarta: UI Press. Dix, H.M. 1981. Environmental Pollution. New York: John Wiley & Sons. Dwijoseputro, D., 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Gramedia. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air and Udara. Edisi ke-7. Yogyakarta: Kanisius Foth, H.D. 1995. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Edisi ke-7. Penerjemah: Purbayanti, E.D., D.R. Lukiwati, dan R. Trimulatsih. Yogyakarta: UGM Press. Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah: Susilo, H.. Yogyakarta: Universitas Indonesia Press. Hariyati. 1995. Penggunaan Enceng Gondok Dan Kayu Apu Untuk Meningkatkan Kualitas Limbah Cair Pabrik Kulit P.T. Budi Makmur Jaya Murni Yogyakarta. [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Haslam, S.M. 1997. River Pollution an Ecologycal Perspective. London: Belhaven Press. Hopkins, W.G. 1995. Introduction to Plant Phyisiology. New York: John Willey & Sons, Inc. Lusianty, S.W. dan Soerjani, M. 1974. Pertumbuhan Massal Tumbuhan Air dan Pengaruhnya Terhadap Kuantitas dan Kualitas Air; Tropical Pest Biology Programe. Bogor: BIOTROP. Mahida, U.N. 1986. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta: CV. Rajawali. Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan Dan Laboratorium. Penerjemah: Koestoer, Y. Jakarta: Penerbit UI Press. Momon, M.H. dan L., Meilani. 1997. Tingkat pencemaran air limbah rumah tangga. Jurnal Penelitian Pemukiman 13 (1): 34-42. Permana, D. 2003. Keanekaragaman Makrobentos di Bendungan Bapang dan Bendungan Ngablabaan Sragen. [Skripsi]. Surakarta: Jurusan

Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret. Phatoni. 2000. Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan, Hasil dan Kandungan Vitamin Buah Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill). [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Poerwowidodo, M. 1993. Telaah Kesuburan Tanah. Bandung: Penerbit Angkasa. Rahayu, S. dan N. Terangna. 1989. Peranan Mikroorganisme Aerob pada Penguraian Detergen dalam Air. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Perairan 13: 31-35. Riyadi, S. 1984. Pencemaran Air: Dasar-Dasar dan Pokok-Pokok Penanggulangannya. Surabaya: Karya Anda. Rompas, R.M. 1998. Kimia Lingkungan I. Bandung: Penerbit Tarsito. Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan I . Penerjemah: Lukman, D.R. dan Sumaryono. Bandung: ITB. Santosa. 1975. Ilmu Hara. Yogyakarta: Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Sitompul, S.M. and B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sitorus, H. 1997. Uji hayati toksisitas detergen terhadap ikan mas (Cyprinus carpio L). Majalah Ilmiah Visi 5 (2): 63-75. Soerjani, M., S.W. Lusianty, U. Ishidayat, Kasno, T. Machmud, S. Kadarwan, K.A. Aziz, S. Haryanto, K.L.W. Esther, dan S.T. Sri. 1980. Gulma Air Dalam Pengembangan Wilayah Sungai Kali Brantas. Bogor: DPU Dirjen Pengairan. Suharjono, N.H dan T.H. Kurniati. 1994. Potensi komunitas bakteri pemecah detergen jenis alkil benzen sulfonat (ABS) dan linier alkil benzen sulfonat (LAS). Jurnal Universitas Brawijaya 6 (2): 100-108. Sumarno, I. Sumantri, dan A. Nugroho. 1996. Penurunan kadar detergen dalam limbah cair dengan pengendapan secara kimiawi. Majalah Penelitian Lembaga Penelitian 8 (30): 25-35. Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 660.1/02/1997. Tentang Baku Mutu Limbah Cair Berbagai Kegiatan Industri. Tjitrosoepomo, G. 2000. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset. Widianingsih. 1999. Pertumbuhan Dua Forma Portulaca oleracea L. pada Penyediaan Air yang Berbeda. [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Widoretno. 2000. Pengaruh Herbisida Gramoxone yang Terlarut dalam Air terhadap Pertumbuhan Pistia stratiotes L. (Kayu apu). [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Wignyanto, S. Wijana, N. Hidayat, Sukardi, dan Suharjono. 1997. Teknik baru cara peningkatan efektivitas dan efisiensi kemampuan biodegradasi surfaktan detergen alkylbenzene sulfonate. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Teknik 9 (2): 35-45. Wolverton, B.C. and M.M. Mcknown. 1975. Water hyacinth for removal of phenol from polluted water. Journal Aquatic Botany (10): 72721.