HAL 22 FOKUS INTERNASIONAL.INDD

Download 3 Sep 2013 ... minta persetujuan dari negara-negara yang terlibat. “Jadi, menurut saya, alasan- alasan seperti itu merendahkan Indonesia. Pe...

0 downloads 588 Views 5MB Size
FOKUS INTERNASIONAL

22

SELASA, 3 SEPTEMBER 2013

Mengungkit Gajah dalam Ruangan

Indonesia Prioritas bagi Australia, tapi...

PEMILIHAN umum Aus- Dr Dave McRae tralia akan digelar pada Pakar Indonesia di The Lowy Institute Sabtu (7/9) mendatang. Persaingan antara kandidat petahana Perdana Menteri Kevin Rudd dari Partai Buruh dan tokoh oposisi Koalisi Liberal Tony Abbott untuk memenangi pemilu begitu sengit. Di tengah rivalitas tersebut, Dr Dave McRae selaku pakar Indonesia dari The Lowy Institute di Australia memaparkan analisisnya kepada jurnalis Media Indonesia Jerome E Wirawan mengenai agenda politik kedua figur dan imbasnya terhadap Indonesia. Berikut petikan wawancaranya: Dalam wacana yang dicetuskan baik oleh Kevin Rudd maupun Tony Abbott, visi strategis macam apa yang ditawarkan kedua figur dalam mengembangkan hubungan Australia-Indonesia? Kedua figur belum mengutarakan visi strategis bagi hubungan Australia-Indonesia. Pada perdebatan kebijakan luar negeri yang digelar di Lowy Institute pada awal masa kampanye pemilu, misalnya, baik Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr maupun pejabat bayangan dari oposisi, Julie Bishop, tidak memaparkan visi strategis yang komprehensif meskipun keduanya menekankan pentingnya hubungan Australia-Indonesia.

AP/TERTIUS PICKARD

AP/LUKAS COCH

Isu pencari suaka merupakan permasalahan terbesar dalam hubungan Indonesia-Australia. Partai Buruh dan Koalisi Liberal menggunakannya untuk saling menyerang menjelang pemilihan umum. JEROME E WIRAWAN

M

OHAMED Ali, 32, tiba-tiba terpaku. Obrolan santai dengan rekannya, Sayed Kamaluddin Mousani, 28, terhenti saat wajah Perdana Menteri Australia Kevin Rudd muncul di layar televisi pada 19 Juli lalu. Mereka menyimak penjelasan Rudd mengenai kebijakan pemindahan pencari suaka ke Papua Nugini dengan saksama. Kala itu, Ali sudah 20 hari berada di salah satu penampungan khusus pencari suaka di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Dia terdampar di Indonesia dalam perjalanan dari Pakistan menuju Australia. Baginya, ‘Negeri Kanguru’ merupakan mimpi sekaligus harapan untuk menata hidup yang lebih baik. Karena itu, meski kebijakan Rudd terbilang tegas, dia tidak ambil pusing. Tekadnya sudah bulat untuk menyeberang ke Australia dengan menggunakan perahu. “Butuh waktu sangat lama bagi kami untuk

memproses kasus di Indonesia. Jadi, sekarang saya terpaksa. Saya tidak punya pilihan selain mengambil perahu (berlayar) ke Australia,” ungkap pria asal Quetta, Pakistan, itu. Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia memang menjadi tempat persinggahan bagi para pencari suaka atau pengungsi yang hendak menuju Australia. Atas dasar itu, menurut Profesor Greg Barton dari Universitas Monash, isu pencari suaka memainkan peran penting dalam hubungan IndonesiaAustralia. “Isu terbesar dalam relasi kedua negara ialah para pencari suaka yang bertolak menggunakan perahu. Isu itu ibaratnya seperti gajah dalam ruangan,” papar Barton.

Pemilihan umum Menjelang pemilihan umum Australia pada Sabtu (7/9) mendatang, isu tersebut bertambah besar. Sebagian rakyat Australia menyalahkan Rudd yang dianggap terlalu lunak dalam menghadapi para pencari suaka mengingat sebanyak 50 ribu pencari suaka telah tiba di Australia sejak Partai Buruh berkuasa pada 2007 silam. Posisi lemah Rudd kemudian dimanfaatkan Tony Abbott, tokoh oposisi Koalisi Liberal yang menjadi pesaing utama Rudd. Abbott menyatakan akan menganggarkan A$420 juta untuk membayar penduduk Indonesia yang memberikan informasi tentang pencari suaka dan membeli kapal yang akan disewa para pencari suaka. Dana itu termasuk A$20

juta untuk membayar kegiatan pengawas desa yang mencakup 100 desa di pesisir pantai Indonesia. Gagasan tersebut sontak mendapat kecaman pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Dia mengatakan kebijakan Abbott merupakan proposal yang gegabah. “Abbott terlalu menyederhanakan masalah. Pandangannya segala sesuatu itu bisa diselesaikan dengan uang saja, mengesampingkan dialog,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Sabtu (31/8) lalu. Di samping itu, Hikmahanto mengatakan program kebijakan yang diajukan Abbott memosisikan Indonesia seolah-olah sebagai tentara bayaran ‘Negeri Kanguru’. “Karena dia yang punya duitnya dan kita yang harus melaksanakan pekerjaan kotornya.” Parahnya lagi, lanjut dia, rencana kebijakan itu digembor-gemborkan ke publik melalui media tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan dari negara-negara yang terlibat. “Jadi, menurut saya, alasan-alasan seperti itu merendahkan Indonesia. Pemerintah dan pembuat kebijakan harus tegas menunjukkan sikapnya terhadap Australia,” tegas Hikmahanto. Dia memastikan penghentian laju imigran gelap tanpa melibatkan negara-negara lain secara komprehensif akan menjadi resep yang hampir bisa dijamin untuk gagal. Rencana pembelian kapal atau perahu nelayan

juga akan memutus penghidupan para nelayan Indonesia. Hikmahanto melihat program Abbott akan memicu instabilitas di dalam negeri Indonesia. Iming-iming imbalan sejumlah uang bagi masyarakat Indonesia yang memberikan informasi mengenai keberadaan imigran gelap dan pencari suaka akan menstimulasi penyisiran secara sepihak. “Itu kan sama aja masyarakat didorong untuk mencari informasi. Ini akan menimbulkan ketegangan di dalam negeri,” tambahnya. Penyelesaian persoalan imigran gelap, kata Hikmahanto, harus dilakukan secara komprehensif. Pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia beserta negara asal para imigran gelap tersebut harus duduk bersama. “Australia itu juga harus bertanggung jawab penuh karena tujuan para imigran gelap itu ialah ke Australia, sebenarnya,” pungkasnya. Secara terpisah, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat RI, Mahfudz Siddiq, menilai ide Abbott gila. “Jelas dia (Abbott) tidak memahami diplomasi atau kerja sama bilateral. Idenya gila, tidak bersahabat, melecehkan, dan menunjukkan kurangnya pemahaman akan permasalahan sebenarnya,” cetus Mahfudz.

Pandangan usang Klaim Mahfudz mengenai cara pandang

Abbott memang tidak sepenuhnya salah. Survei lembaga kajian Lowy Institute menunjukkan ‘hanya’ 30% warga Australia yang sepakat bahwa pemerintah Indonesia membantu Australia dalam melawan penyelundupan manusia. Pandangan ‘miring’ terhadap Indonesia juga nyata. Mayoritas rakyat Australia (54%) berpendapat sah-sah saja bagi ‘Negeri Kanguru’ untuk merasa terancam dengan Indonesia dalam konteks militer. Persentase serupa bahkan melihat Indonesia sebagai sumber teroris Islam. Lebih jauh, hanya 33% warga Australia yang sepakat bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi. Seperlima dari seluruh warga Australia mengira Bali ialah negara. Profesor Greg Barton menegaskan hubungan rakyat kedua negara perlu diperbarui. “Ada semacam potret usang yang masih digunakan sebagai referensi. Ibaratnya, bibi Anda mengirimkan kado sapu tangan kepada Anda seraya mengira Anda masih remaja, padahal masa itu sudah lewat 15 hingga 20 tahun lalu. Dinamika di antara kedua negara seperti itu,” tutur Barton. Meski letak kedua negara berdekatan, Indonesia menempati peringkat bawah dalam daftar mitra dagang Australia. Perdagangan bilateral tahun lalu ‘hanya’ mencapai A$14,6 miliar. Dari sisi pertahanan, Kertas Putih Australia dalam Abad Asia pada 2013 menyebutkan hubungan dengan Jakarta merupakan relasi

paling penting di kawasan. ‘Australia diuntungkan oleh kekuatan dan kesatuan Indonesia sebagai mitra di utara, sebagaimana Indonesia diuntungkan dengan keamanan Australia di selatan. Kedekatan geografis berarti bahwa kepentingan keamanan Indonesia dan Australia berkelindan’, sebut salah satu paragraf Kertas Putih Australia dalam Abad Asia yang merupakan blue print kebijakan negarabenua tersebut. Berdasarkan hal itu, Dr Dave McRae selaku pakar Indonesia dari The Lowy Institute menilai siapa pun yang memerintah Australia sama-sama menganggap hubungan dengan Indonesia sebagai prioritas. Apalagi, Tony Abbott berikrar partainya akan menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih berpusat pada Jakarta ketimbang Jenewa. Masalahnya, lanjut McRae, ialah bagaimana pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia meningkatkan pemahaman rakyat masing-masing. “Pemerintah Australia belum mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk meningkatkan Indonesia-literacy di antara masyarakat Australia. Di sisi lain, belum terlihat upaya yang signifikan dari pemerintah Indonesia untuk melakukan diplomasi publik di Australia,” ujarnya kepada Media Indonesia. (Reuters/The Australian/ABC/HH/I-2)

[email protected]

Sejak Partai Buruh memerintah Australia, hal substansial apa yang mereka tempuh guna mempererat kerja sama dengan Indonesia? Sejak Partai Buruh berkuasa pada 2007, beberapa pertemuan tingkat tinggi yang rutin telah dirintis. Perdana Menteri Australia dan Presiden Indonesia sudah tiga kali mengikuti pertemuan tahunan, sedangkan kedua menteri luar negeri dan menteri pertahanan sudah dua kali berkumpul dalam pertemuan 2+2. Pemerintahan Partai Buruh juga menetapkan hubungan dengan Indonesia sebagai hubungan prioritas dalam Kertas Putih Abad Asia, selain menetapkan bahasa Indonesia sebagai salah satu dari empat bahasa Asia prioritas. Namun, kertas putih itu belum disertai sumber daya yang memadai untuk mencapai target-targetnya. Lalu, justru pada saat hubungan di antara kedua pemerintah cukup dekat, hubungan antarmasyarakat kedua negara masih perlu ditingkatkan. Sebab, terlihat sebagian masyarakat Australia menyimpan kecurigaan terhadap Indonesia. Jika koalisi kembali memerintah Australia, menurut Anda, kebijakan macam apa yang ditempuh Tony Abbott dalam konteks hubungan Australia-Indonesia? Mungkin ada banyak kemiripan dengan kebijakan di bawah Partai Buruh karena kedua partai besar di Australia sama-sama menganggap hubungan dengan Indonesia sebagai prioritas. Sebagai pemimpin oposisi, Tony Abbott pernah bertemu dengan Presiden (Susilo Bambang) Yudhoyono baik di Australia maupun di Jakarta. Kemudian slogan yang sering diucapkan Abbott ialah bahwa partainya akan menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih berpusat pada Jakarta ketimbang Jenewa. Di sisi lain, kebijakan terhadap pencari suaka merupakan sesuatu yang membedakan, khususnya kebijakan menarik kembali perahu (towback) yang mengangkut pencari suaka ke perbatasan laut dengan Indonesia, jika perahu tersebut berbendera Indonesia, awaknya warga negara Indonesia, perahu berangkat dari pelabuhan di Indonesia, dan penarikan dapat dilakukan dengan aman. Jika penarikan itu dilakukan, hal tersebut dapat menjadi sumber gesekan dengan Indonesia. Berdasarkan jajak pendapat Lowy Institute, sebanyak 54% responden menganggap Australia patut mencurigai ancaman militer dari Indonesia. Persentase yang sama menilai Indonesia sebagai sumber terorisme. Menurut Anda, apa penyebab penilaian tersebut? Sikap itu saya rasa sebagian besar bersumber dari ketidaktahuan masyarakat Australia terhadap Indonesia sehingga mereka tidak menyadari perubahan yang terjadi di Indonesia dalam 10 atau 15 tahun terakhir. Selain itu, khusus soal terorisme, trauma dari peristiwa Bom Bali masih ikut berkontribusi. Dalam merespons itu, pemerintah Australia belum mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk meningkatkan Indonesia-literacy di antara masyarakat Australia. Di sisi lain, belum terlihat upaya yang signifikan dari pemerintah Indonesia untuk melakukan diplomasi publik di Australia.

Perjalanan Mendera yang tidak Membuat Jera NAQSH Murtaza tidak sanggup lagi menyaksikan perang tidak berkesudahan di negerinya, Afghanistan. Pemuda 27 tahun itu mengajak ibu dan dua adik lelakinya untuk mencari kehidupan baru. Mereka pun kemudian menyusup ke perbatasan Pakistan dengan tujuan utama mencari suaka ke Australia. Di Pakistan, Naqsh mencoba mencari suaka ke Inggris, Kanada, atau Amerika Serikat. Namun, pencarian suaka ke negeri itu butuh waktu sangat lama, 5-10 tahun. Orang-orang Afghanistan yang ada di Pakistan lantas memberinya solusi untuk ke Australia. Lantaran biaya yang dimiliki keluarga Murtaza tidak mencukupi, akhirnya hanya Naqsh yang mencoba ke Australia. Dia berjanji akan mengajak keluarganya jika dia telah tiba di sana. Dari Pakistan, Naqsh tidak langsung menuju ke Australia. Dia harus ke Indonesia atau Malaysia. Bagi muslim sepertinya, perjalanan ke kedua negara tersebut tidak sulit lantaran aturan visa cukup longgar. Itulah yang kemudian dimanfaatkan jaringan penyelundup manusia. Naqsh memilih terbang ke Kuala Lumpur, Malaysia, terlebih dahulu. Dari sana, dia membayar para penyelundup sebesar US$2.000 untuk membawanya ke Jakarta. Dia kemudian mengeluarkan US$3.200 untuk naik perahu yang akan membawanya menuju Christmas Island, wilayah Australia yang berada di Samudra Hindia.

DOK. PRIBADI

Apakah prasangka tersebut berpotensi dijadikan komoditas politik oleh politisi Australia? Bisa saja. Dalam sejumlah kasus terlihat politisi di Australia lebih mengutamakan keuntungan politik dalam negeri meskipun mengganggu hubungan dengan Indonesia dalam jangka pendek.

FOTO-FOTO: REUTERS/BEAWIHARTA/DANIEL MUNOZ

PENCARI SUAKA: Seorang perempuan yang sedang dirawat di Cianjur, Jawa Barat, pada 24 Juli lalu, menangis setelah mendapat kabar bahwa suaminya telah tewas (foto kiri). Perempuan dan suaminya itu merupakan korban kecelakaan perahu pencari suaka di pesisir Jawa Barat. Kebijakan Perdana Menteri Kevin Rudd untuk menangkal arus pencari suaka ditentang demonstran di Sydney, 10 Agustus lalu. Perahu yang membawa Naqsh dan lebih dari 70 warga Iran, Pakistan, dan Afghanistan berlayar menuju Christmas Island pada 28 Juli lalu. Sejumlah pencari suaka menyimpan nomor-nomor telepon darurat para pejabat Australia yang mereka dapat dari internet untuk berjaga-jaga. Mimpi para pencari suaka untuk mencapai Christmas Island tidak terwujud. Setelah beberapa hari berlayar, badai menghancurkan perahu mereka yang penuh sesak. Perahu itu pun perlahan karam di perairan internasional. Setelah selama 17 jam mencoba menghubungi para pejabat Australia, para penumpang perahu itu akhirnya diselamatkan Badan SAR Nasional Indonesia. Otoritas Australia rupanya meneruskan panggilan permintaan tolong itu kepada Basarnas. Para pencari suaka itu kemudian dibawa

kembali ke Indonesia. Mereka diizinkan tinggal sampai Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi menentukan apakah mereka benar pencari suaka atau migran bermotif ekonomi. Untuk mencegah para pencari suaka seperti Naqsh terus mengalir ke Australia, pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd sejak 19 Juli lalu mengeluarkan kebijakan mengirim para pencari suaka yang datang dengan perahu ke Papua Nugini. Mereka dilarang menetap di Australia. Pemerintah Australia menyosialisasikan peraturan baru itu lewat surat kabar dan televisi. Mereka berharap sosialisasi itu bisa sampai ke seluruh dunia termasuk kantongkantong imigran. Namun, kebijakan Australia yang berubah-ubah justru membuat para pencari suaka bingung. Upaya itu juga terganjal oleh ulah para penyelundup yang

kerap menyampaikan informasi keliru. Seperti diakui Naqsh, dia mendengar kebijakan itu saat berada di Jakarta. Namun, para penyelundup meyakinkannya bahwa kebijakan itu baru akan berlaku pada 14 Agustus. Mereka mengatakan dia tidak bakal dikirim ke Papua Nugini selama dia mendarat di Christmas Island sebelum tanggal tersebut. “Yang jelas dia bohong,” ungkap Naqsh tentang penyelundup manusia yang menipunya. Sandi Logan, pejabat hubungan masyarakat Departemen Imigrasi dan Kependudukan Australia, mengakui upaya untuk mencegah kedatangan para pencari suaka merupakan perjuangan berat. “Terus terang, perubahan kebijakan membuat banyak pencari suaka terutama yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris kebingungan,” ujarnya. Efektivitas kebijakan baru PM Kevin Rudd

untuk mengirim para pencari suaka ke Papua Nugini juga diragukan. Sejauh ini, kebijakan baru itu tidak memiliki efek berarti. Beberapa pencari suaka yang berangkat setelah pengumuman Rudd dikeluarkan mengaku tidak pernah mendengar pengumuman itu, termasuk warga Iran dan Sri Lanka menjadi korban saat kapal yang mereka tumpangi terbalik di lepas pantai Jawa Barat 23 Juli lalu. Dalam kejadian itu, 20 dari 200 penumpang kapal tewas. Menurut para pejabat Australia, empat pekan setelah Rudd mengeluarkan pengumuman itu, 2.784 imigran tiba atau mencoba mendarat di Australia. Sebagian besar datang dari Indonesia. Jumlah itu hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan rata-rata arus imigran per bulan pada 2012 yang mencapai 1.434 orang. (Hde/New York Times/I-1)

Isu Papua Merdeka merupakan salah satu contoh komoditas politik? Saya kira bukan. Papua umumnya baru ramai diberitakan di Australia jika terjadi pelanggaran HAM di sana, lebih-lebih jika proses hukum terhadap pelaku tidak memadai. Ketika perdebatan antara Menlu Carr dan pejabat bayangan dari oposisi, Julie Bishop, digelar di Lowy Institute, Papua tidak disebutkan sama sekali. Menurut Anda, apakah pemerintah Australia secara tulus mematuhi Traktat Lombok dalam konteks Papua merdeka? Iya, pemerintah Australia di bawah perdana menteri Howard, Rudd, serta Gillard selalu mendukung kedaulatan Indonesia atas Papua. Bahkan, setiap ada kontroversi tentang Papua, pernyataan pemerintah selalu diawali dengan pernyataan dukungan terhadap kedaulatan Indonesia. Sebagai negara demokrasi, Australia akan selalu memberi ruang kepada warganya yang ingin secara damai mengkritik keadaan di Papua ataupun yang ingin menyatakan dukungannya atas kemerdekaan bagi Papua. Namun pemerintah sendiri, baik di bawah Partai Liberal maupun Partai Buruh, mendukung kedaulatan Indonesia atas Papua sesuai dengan Traktat Lombok. (Jer/I-2)

23